Pengetahuan Dasar Pesisir dan Laut - Coremap.or.id

23 downloads 659 Views 51MB Size Report
Benua. Gunung Laut. Paparan. Benua. PENGETAHUAN DASAR. PESISIR DAN ... serta Samudera Pasifik dan Hindia, dengan kompleksitas geologis dengan ...
Anugerah Nontji  Mohammad Kasim Moosa

Bersahabat dengan terumbu karang berarti menyelamatkan

PENGETAHUAN DASAR PESISIR DAN LAUT

alam dan diri kita sendiri.

10 UNTUK SMA KELAS

DAN SEDERAJAT

Daratan

Permukaan Air Laut

Paparan Benua

k terduga. a d ti g n a t a d a n a c n e B

A yo kit a si a g a!

Lereng Benua

Abisal

Bukit Laut

Gunung Laut Palung

Pengetahuan Dasar Pesisir dan Laut Anugerah Nontji, Mohammad Kasim Moosa, Jakarta, COREMAP - LIPI, 2008 ISBN 978-979-1267-33-5

Pengetahuan Dasar Pesisir dan Laut Hak Cipta dilindungi Undang-undang Diterbitkan oleh COREMAP - LIPI ii

Kata Pengantar Indonesia, sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau melebihi 17.000 dan garis pantai lebih dari 81.000 km. Posisinya di antara Benua Asia dan Australia, serta Samudera Pasifik dan Hindia, dengan kompleksitas geologis dengan perbenturan lempeng Eurasia, Filipina, Pasifik, dan lempeng Samudera Hindia-Australia, memberikan anugerah kepada Indonesia untuk memiliki keanekaragaman hayati paling kaya di dunia. Keanekaragaman hayati yang memberikan manfaat sangat besar bagi masyarakat, di antaranya dipersembahkan oleh ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang. Keanekaragaman hayati laut Indonesia dari segi sosial, ekonomi, dan ekologi tidak hanya besar maknanya bagi penduduk Indonesia, namun juga berperan penting dalam dimensi global. Indonesia adalah tempat ideal untuk pertumbuhan karang, dengan luas total terumbu karang Indonesia mencapai 85.707 km2 atau sekitar 14% luas terumbu karang dunia (Tomascik dkk, 1997). Keanekaragaman hayati terumbu karang Indonesia tercermin dari 2.057 jenis ikan karang, 2.500 jenis moluska, 461 jenis karang batu, serta berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut lainnya yang mengisi kekayaan hayati laut. Kekayaan yang melimpah dari ekosistem terumbu karang saja menyajikan potensi US$ 1.647 juta per tahun (Burke dkk. 2002), dari sektor perikanan, pariwisata, bahan baku obat-obatan dan industri, pertahanan pantai, hingga pendidikan dan penelitian. Namun sejalan dengan waktu, degradasi kondisi laut terus berlanjut ke tingkat parah. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi terumbu karang yang paling baik di Indonesia belum beranjak dari kisaran 6,69% (Suharsono, LIPI 2003). Upaya-upaya pelestarian terumbu karang serta ekosistem laut lainnya, memerlukan usaha yang lebih keras, namun juga perlu mendukung kesejahteraan masyarakat dengan pemanfaatnya secara lestari. Mata rantai keserakahan dan kemiskinan menjadi perhatian utama dalam upaya pemulihan kondisi karang serta pengelolaan sumber daya laut yang lestari. Kemiskinan terbesar berada pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, di mana ironisnya sumber daya alam dan potensinya seyogyanya berlimpah ruah. Tingkat pendidikan yang sangat rendah juga memperburuk kondisi tersebut, di mana jumlah tertinggi penduduk pulau lokasi pilot COREMAP (Kepulauan Riau, Taka Bonerate, Biak) yang meneruskan pendidikan hingga perguruan tinggi hampir mencapai 0% (TNS/JHUCCP/COREMAP LIPI, 2001). Terbatasnya akses informasi ilmiah yang mendukung pemberdayaan masyarakat, serta disorientasi pembangunan laut yang masih bersifat kedaratan, menjadi beban tambahan masyarakat miskin pesisir. Melalui pendidikan masyarakat; formal, non formal, maupun informal konsisten dan berkelanjutan, didukung aspek penegakan hukum, pengelolaan partisipatif oleh masyarakat, serta dukungan ilmiah dari segala pihak, maka pemutusan mata rantai yang menjadi penyebab utama degradasi sumber daya laut, menjadi hal yang sangat mungkin untuk diwujudkan. Kegiatan Pendidikan Kelautan yang diprakarsai oleh LIPI COREMAP sejak awal tahun 2000 meliputi rangkaian lokakarya guru dan praktisi pendidikan, Diknas, LSM lingkungan laut, pihak swasta, dan pakar kelautan, yang kemudian dimantapkan dalam bentuk matriks iii

Kurikulum Kelautan Berbasis Kompetensi pada tahun 2002 untuk tingkat Sekolah Dasar dan Sederajat, dengan bimbingan tim pusat kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, serta digubah menjadi Seri Buku “Pesisir dan Laut Kita” untuk kelas 1 hingga 6 SD, beserta panduan guru. Sejalan dengan tingginya kebutuhan materi pendidikan di jenjang SMP dan SMA, LIPI juga memulai upaya penulisan buku melalui proses lokakarya guru serta diskusi dengan pakar dan praktisi lingkungan laut, dan mempererat kerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional, utamanya Pusat Kurikulum. Buku inilah yang kemudian diharapkan menjadi acuan belajar siswa dan guru dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di bidang kelautan. Buku ini memuat pengayaan materi yang terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengelolaan laut, baik dari ekologi, fisika, kimia, dan biologi, hingga menyentuh aspek sosial budaya, serta ekonomi. Diharapkan buku ini dapat memberikan panduan yang komprehensif bagi siswa dalam melihat berbagai sisi pengelolaan laut yang harus terintegrasi satu sama lainnya. Selain memberikan pemahaman berbagai aspek pengelolaan wilayah pesisir, buku ini juga membuka mata siswa dan guru untuk ikut serta berupaya mengurangi risiko bencana yang kerap terjadi di wilayah pesisir. Terlahirnya buku seri pengetahuan laut tingkat SMP dan SMA ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Karenanya, LIPI menyampaikan penghargaan dan terima kasih terutama kepada tim penulis buku yang telah bekerja keras menuangkan pemikiran serta pengetahuannya dalam sajian yang interaktif dan menarik, sehingga mudah digunakan oleh siswa maupun guru. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Kurikulum yang senantiasa mendukung inisiatif ini, serta mendukung sosialisasi pengetahuan kelautan dalam konteks kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum tingkat satuan pendidikan. Terima kasih kami sampaikan kepada lembaga pemerintah maupun non pemerintah, beserta guru-guru dan sekolah yang turut membantu proses penyempurnaan buku ini. Menjadi sebuah harapan besar, bahwa buku seri pengetahuan laut ini akan turut memberikan kontribusi yang bermakna untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang handal dalam mengelola lingkungan lautnya secara arif hingga generasi-generasi berikutnya. Jakarta, 28 Desember 2007 Direktur CRITC COREMAP LIPI Prof. Dr. Ono Kurnaen Sumadhiharga, MSc

iv

Kata Sambutan Indonesia merupakan salah satu negara bahari yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Potensi tersebut antara lain sebanyak 14 % terumbu karang dunia tersebar di wilayah Indonesia dan lebih dari 2.500 jenis ikan dan 500 jenis karang hidup di dalamnya. Kekayaan dan keanekaragaman jenis biota laut tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal secara berkelanjutan dalam membangun Indonesia menjadi salah satu negara bahari terbesar di dunia. Pusat Kurikulum Balitbang Diknas bekerja sama dengan Bagian Pendidikan dan Komunikasi Masyarakat yang bernaung dalam Program Pelestarian Terumbu Karang Nasional (COREMAP-LIPI) telah berupaya untuk menyusun bahan ajar sehingga menghasilkan buku serial “Pesisir dan Laut Kita” untuk jenjang SMP dan SMA. Upaya serupa telah dilakukan untuk jenjang Sekolah Dasar dan bahan tersebut juga dipergunakan pada sekolah binaan dan sekolah di wilayah lain. Harapannya buku tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk wilayah yang lebih luas lagi. Buku ini disusun sebagai salah satu upaya mengimplementasikan hasil riset peneliti kelautan yang diselaraskan dengan riset bidang sosial dan diperkaya dengan pengalaman di lapangan. Buku ini disusun dengan memperhatikan perkembangan intelektual peserta didik. Penyajian buku meliputi informasi konsep sebagai gambaran keluasan dan kedalaman materi yang dipandu dengan peta konsep dan tugas mandiri agar peserta didik mengkonstruksi sendiri konsep dan menguasai keterampilan dasar, serta rubrik untuk memperluas pemahaman mereka. Selain itu disajikan soal agar peserta didik dapat merefleksikan tingkat pemahaman mereka terhadap materi dalam bab. Dengan demikian peserta didik akan memiliki kompetensi dasar yang tidak hanya berupa pengetahuan yang statis, tetapi dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka sehingga mendukung upaya pelestarian sumber daya laut. Buku serial “Pesisir dan Laut Kita” diharapkan dapat dijadikan bahan ajar untuk diintegrasikan dalam mata-mata pelajaran yang terdapat dalam Standar Isi yang dioperasionalkan dalam KTSP atau menjadi muatan lokal. Buku ini dapat dipergunakan baik di wilayah yang memiliki karakteristik kelautan atau di wilayah lainnya sebagai buku pengayaan. Bahan ajar ini tidak menutup kemungkinan akan lebih diperkaya sesuai dengan kondisi serta kebutuhan wilayah setempat. Dengan disusunnya buku ini diharapkan akan dapat mempersiapkan generasi muda yang memiliki pengetahuan dan kompetensi dasar dalam bidang kelautan. Diharapkan mereka juga memiliki sikap mental yang baik untuk mencintai dan melestarikan lingkungan mereka yang pada akhirnya akan turut meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Jakarta, Desember 2007 Kepala Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Dra. Diah Harianti, M.Psi 

Daftar Isi Kata Pengantar LIPI Depdiknas

iii v

Bab 1 Pengertian Tentang Laut



1

A. Karakteristik Laut B. Laut dan Samudera di Dunia C. Laut Nusantara 1. Laut Banda 2. Laut Flores 3. Laut Sawu 4. Laut Maluku 5. Laut Arafura 6. Laut Sulawesi 7. Laut Jawa 8. Laut Cina Selatan 9. Selat Makassar 10. Selat Sunda D. Pembagian Perairan dan Statusnya 1. Perairan Pedalaman 2. Perairan Kepulauan 3. Perairan Teritorial 4. Zona Tambahan 5. Zona Ekonomi Eksklusif/Landas Kontinen

2 3 5 6 6 6 6 6 6 6 7 7 7 7 7 7 8 8 9

Bab 2 Dasar Laut 12 A. B. C. D.

Perbandingan Darat dan Laut Topografi Dasar Laut Pengukuran Kedalaman Topografi Dasar Laut di Indonesia 1. Paparan Sunda 2. Paparan Sahul 3. Laut-Dalam di Indonesia

14 15 16 17 17 18 19

Bab 3 Sifat-Sifat Fisika dan Kimia di Badan Laut 26 A. Suhu 1. Pengukuran suhu 2. Variasi suhu di laut vi

28 28 29

B. Salinitas 1. Garam dan salinitas 2. Penentuan salinitas 3. Variasi salinitas 4. Salinitas permukaan di Indonesia 5. Dampak perubahan salinitas pada perikanan C. Gas Terlarut dalam Laut 1. Oksigen 2. Karbon dioksida D. Cahaya 1. Penetrasi cahaya ke dalam laut 2. Zonasi vertikal 3. Pengukuran cahaya 4. Warna air laut E. Tekanan Hidrostatik

30 30 31 31 32 33 34 34 35 35 35 35 36 36 37

Bab 4 Dinamika Laut 44 A. Arus Laut 1. Pengukuran arus laut 2. Pola arus laut 3. Upwelling dan downwelling 4. Arlindo (Arus Lintas Indonesia) B. Gelombang 1. Penyebab terjadinya gelom­bang 2. Model gelombang sederhana 3. Gelombang angin 4. Gelombang tsunami C. Pasang Surut 1. Model pasang-surut 2. Kisaran pasang-surut 3. Pasang-surut purnama dan per­bani 4. Pola pasang surut 5. Arus pasang-surut 6. Ramalan pasang surut D. Cuaca dan Laut 1. Siklon tropis 2. Angin Musim (Muson) 3. Angin Laut dan Angin Darat 4. El Nino dan La Nina

46 46 47 49 51 52 52 52 54 55 58 58 59 60 61 61 62 62 62 63 65 65

Daftar Pustaka 72 vii

Bab 1 Pengertian Tentang Laut

Standar Kompetensi • Mampu memahami pengetahuan tentang laut.

Kompetensi Dasar • Mampu menceritakan pengertian tentang laut. • Mampu menjelaskan laut dunia. • Mampu mendeskripsikan laut nusantara. • Mampu menjelaskan status hukum perairan nusantara.

Peta Konsep Pengertian tentang Laut MENCAKUP

Karakteristik Laut Laut & Samudera di Dunia Laut Nusantara TERDIRI DARI

Laut Banda Laut Flores Laut Sawu Laut Maluku Laut Arafura Laut Sulawesi Laut Jawa Laut Cina Selatan Selat Makassar Selat Sunda

Pembagian Perairan dan Statusnya TERDIRI DARI

Perairan Pedalaman Perairan Kepulauan Perairan Teritorial Zona Tambahan Zona Ekonomi Eksklusif/ Landas Kontinen



A. Karakteristik Laut Sebagian besar bumi terdiri dari air yang hampir semuanya (98%) berupa laut dan es. Air ta­war yang terdapat di danauda­nau dan su­ngai-sungai volumenya sangat kecil sekitar 0,036%, se­dang­­kan air tanah sekitar 0,365%. Glet­ser (salju yang mengeras) dan es yang menutupi permukaan bumi me­ngandung sekitar 1,641% dari se­luruh air yang terdapat di bumi. Selain air, bumi juga mengandung gas, tetapi volumenya sangat kecil.

Laut adalah suatu massa air asin yang menutupi sebagian besar permukaan bumi. Laut menutupi sekitar 71% permukaan bu­mi dengan kedalaman rata-rata 3.795 me­ter, sedangkan 29% sisanya merupakan da­­­rat­­ an dengan ketinggian rata-rata 840 me­­­ter. Kalau semua daratan di­ma­sukkan ke da­lam laut maka bu­mi akan merupakan sebuah bulat­an de­ngan permukaan yang rata dan selu­ruh­nya tertutup oleh air de­ngan keda­ lam­an rata-rata 2.686 me­­ter. Massa air yang sangat besar ini (137 x 107 km3) ter­ben­­tuk dalam kurun waktu geologik bumi yang sa­ ngat lama. Suhu rata-rata bumi adalah 16°C, yang me­­ngalami perubahan tahunan (karena mu­ sim) dan perubahan siang dan malam. Suhu bu­­­­mi yang demikian me­mung­kinkan air bi­­­sa di­temukan dalam tiga fase, yaitu gas, cair, dan padat. 

Air laut terdiri dari 96,5% air dan 2,5% garam. Air laut juga mengandung substansi lain, termasuk senyawa organik dan anor­ganik terlarut, serta gas yang berasal da­­ri udara. Ion yang paling banyak terdapat ada­­­lah klor (Cl-), natrium (Na+), sulfat (SO24-), magnesium (Mg2+), kalsium (Ca2+), dan ka­­­­­­­lium (K+). Di dalam air laut juga terlarut ber­­­­bagai unsur kimia lain, seperti karbon an­organik, bromida, boron, strontium, dan fluor. Selain itu masih terdapat pula fosfor an­organik dan nitrogen anorganik yang me­ rupa­­­kan unsur penting karena dibutuhkan oleh organisme laut untuk pertumbuhan. Air laut juga mengandung berbagai senyawa or­ ga­­­nik terlarut, seperti karbohidrat, asam ami­no, dan butiran-butiran yang kaya akan un­sur-unsur organik. Komposisi air laut yang se­perti ini dikarenakan oleh adanya berbagai me­ka­nisme transportasi. Senyawa-senyawa ter­­larut dan butiran-butiran masuk ke dalam laut melalui sungai-sungai. Butiran-butiran ju­­ga bisa dibawa oleh angin sampai ke te­ ngah lautan, sangat jauh dari sumbernya di da­­ratan. Senyawa-senyawa kimia juga bisa ma­­suk ke dalam perairan laut melalui celahce­­lah hidrotermal yang berada di kedalaman da­­sar laut.

B. Laut dan Samudera di Dunia Ilmuwan mengenal tiga samudera utama dunia, yaitu Samudera Pasifik, Samudera Atlan­­tik, dan Samudera Hindia. Batas ketiga sa­­mu­dera ini berada di lintang selatan. Ba­ tas yang memisahkan Samudera Atlantik de­ngan Samudera Hindia membentang mu­ lai dari Tanjung Harapan di Afrika Selatan ke Be­­nua Antartika. Batas yang memisahkan Sa­­mu­dera Atlantik dengan Samudera Pasifik mem­­bentang dari ujung Amerika Selatan (Tan­­jung Tanduk) ke arah Benua Antartika. Se­­dang­kan yang memisahkan Sa­mu­dera Pa­ sifik dengan Sa­mu­dera Hindia adalah per­­­­air­ an Indonesia dan me­lalui Australia men­jurus ke se­latan ke Benua Antartika. Ada yang menganggap bahwa samudera yang me­ngelilingi Benua Antar­tika sebagai Samudera Se­la­tan. Samudera Pasifik me­ru­ pa­­­kan samudera yang terluas, menutupi ham­­­­­pir sepertiga permukaan bumi. Luas sa­­­­­mu­­­dera ini, tidak termasuk laut-laut yang ber­­­ba­tasan dengannya, adalah 165.250.000 km2. Kedalaman rata-rata Samudera Pasifik ada­­lah 4.280 meter dengan bagian yang ter­­dalam, yaitu Palung Mariana, terletak di se­be­lah timur Filipina, mencapai kedalaman 11.034 meter.

Samudera Atlantik merupakan samu­de­ ra terluas kedua. Luas samudera ini, ti­dak ter­masuk laut-laut yang berbatasan dengan­ nya, adalah 82.440.000 km2. Jika ditambah dengan laut-laut yang berbatasan dengannya ma­ka luasnya menjadi 106.460.000 km2. Ke­ dalaman rata-rata Samudera Atlantik adalah 3.300 meter dengan bagian yang terdalam, yaitu Palung Puerto Rico, mencapai 8.380 meter. Samudera Hindia adalah samudera ter­ luas ketiga, menutupi kira-kira seperlima luas samudera dunia. Samudera Hindia mem­­­ben­tang sepanjang lebih dari 10.000 km antara ujung selatan Afrika sampai ujung se­­la­t­an Australia tanpa mempunyai laut-laut ping­­giran. Luas Samudera Hindia seki­tar 73.440.000 km2. Kedalaman rata-rata Sa­ mu­­­dera Hindia adalah 3.888,90 m dengan ba­­­gian terdalam berada di selatan Jawa yang dikenal sebagai Palung Jawa dengan ke­­­dalaman 7.450 meter. Samudera Arktika yang terletak di se­be­ lah utara dianggap merupakan bagian dari Samudera Atlantik. Meskipun samudera ini yang terkecil dengan luas sekitar 14.090.000 km2, namun masih sekitar lima kali luas laut terbesar, yaitu Laut Mediteranea (Laut Te­­ ngah). Bagian yang paling dalam dari Sa­­mu­ dera Arktika ada­­lah sekitar 5.502 me­ter, de­­ngan ke­dalam­an ra­ ta-rata­nya ha­nya se­ki­ tar 600 me­ter. Samudera Antar­ tika, se­­ring­kali disebut juga se­bagai Samudera Selatan yang meru­ Gambar 1-1 Peta Samudera Dunia. (Sumber: M. Kasim Moosa)



pakan bagian se­latan dari Samudera Pasi­fik, Samudera Atlantik, dan Sa­mu­dera Hindia. Sa­ mudera ini mengi­tari be­nua Antartika. Jarak terdekat dari sa­mu­dera ini dengan Amerika Selatan adalah di Selat Drake yang lebarnya hanya 1.000 km, terletak antara Amerika Selatan dan ujung benua Antartika. Di antara laut-laut yang ada di dunia, Laut Tengah atau dikenal sebagai Laut Me­ diteranea merupakan laut yang terbesar di dunia. Laut ini membentang mulai dari Selat Gibraltar (disebut juga Selat Jabal Tariq) di sebelah barat ke arah timur sampai ke Teluk Iskenderun di barat daya Turki. Panjang laut ini 4.000 km, sedang lebar rata-ratanya ada­ lah sekitar 900 km diukur dari Pantai Libia di se­latan dan Yugoslavia di utara; dan bagian ter­sempit yaitu Selat Gibraltar yang terletak antara Spanyol dan Maroko, lebarnya hanya 15 km. Luas Laut Tengah, termasuk Laut Marmara, adalah 2.510.000 km2. Beberapa laut lain yang terkenal adalah Laut Merah yang membentang dari Suez di Mesir sampai ke Selat Babel-Mandep de­ ngan bentangan sepanjang 1.930 km. Laut Me­rah merupakan laut terbuka dengan ka­­ dar garam yang sangat tinggi. Luas laut ini se­kitar 450.000 km2, dengan bagian ter­da­ lam 3.040 meter. Laut ini diberi nama Laut Merah dikarenakan pada musim-musim ter­ tentu terjadi ledakan populasi alga biru ke­ hijauan Trichodesmium erythraeum, yang apa­­bila akan mati berubah warna menjadi me­rah kecokelatan. Laut Kaspi, Laut Hitam, dan Laut Mati me­rupakan badan air yang berada di darat­­ an. Laut Kaspi dan Laut Hitam merupa­kan ba­dan air yang sangat luas. Laut Kas­pi ter­ letak di wilayah Rusia, sedangkan Laut Hi­



Gambar 1-2 Orang bisa berenang di Laut Mati dengan mudah karena kadar garam yang tinggi. (Sumber: www.people.fas.harvard.edu)

tam berbatasan dengan beberapa ne­ga­ra di Eropa Timur dan Asia. Luas Laut Kaspi se­ kitar 386.400 km2 dengan bagian yang pa­ ling dalam mencapai 1.025 meter. Luas Laut Hitam sekitar 422.000 dengan ke­da­lam­an maksimum 2.210 meter. Laut Mati me­ru­pa­ kan perairan dengan kadar ga­ram yang sa­ ngat tinggi, terletak antara Israel, Jor­da­nia, dan Tepi Barat jalur Gaza, Pales­tina. Laut ini terletak 400 meter di bawah permuka­­an laut. Luas Laut Mati sekitar 1.020 km2 dengan bagian terdalam mencapai 400 meter.

C. Laut Nusantara Kepulauan Indonesia membentang dari 6º Lintang Utara sampai 10º Lintang Selatan dan dari 95º Bujur Timur sampai 142º Bujur Timur, terdiri dari 17.508 buah pulau dengan panjang garis pantai 80.791 km. Sekitar 78% wilayah Indonesia tertutup oleh air laut de­ ngan dua buah paparan dangkal, yaitu Pa­ pa­ran Sunda di sebelah barat dan Paparan Sa­­hul di sebelah timur yang keduanya di­pi­ sah­kan oleh Laut Banda yang dalam. Bebe­ rapa laut dan selat yang terdapat di perairan Nusantara yang terpenting adalah:

1. Laut Banda

Gambar 1-3 Pantai Laut Banda.

Laut Banda merupakan bagian dari per­ airan Nusantara yang di bagian sebelah uta­ ranya terdapat pulau-pulau Buru, Sula, Am­ bon, dan Seram; di bagian selatan terdapat pu­lau-pulau Wetar, Babar, Alor, Timor, dan Ta­nimbar; di bagian timur terdapat pulau-pu­

lau Aru; dan di bagian barat terdapat pulaupu­lau Wakatobi (Wangi-Wangi, Kaledupa, To­ mea, dan Binongko). Luas Laut Banda se­kitar 470.000 km2 dengan bagian yang ter­dalam mencapai 5.800 meter.

LAUT CINA SELATAN THAILAND

Perairan Nusantara

FILIPINA

SAMUDERA PASIFIK

BRUNEI DARUSSALAM

MALAYSIA BARAT

ZON A

LAUT SULAWESI

MALAYSIA TIMUR

SELAT

SINGAPURA

EKO

NOM

I EK

IND

ONE

SIA

LAUT JAWA

SELAT

MAKA

ATA

SSAR

KARIM

LAUT MALUKU

SKL USIF

LAUT BANDA PNG

Garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

ZON A

EKON

OMI

LAUT ARAFURA EKSK

LUSIF

INDO

NESIA

LAUT SAWU

TIMOR LESTE

SAMUDERA HINDIA

AUSTRALIA

Garis batas perairan teritorial Indonesia ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

PERAIRAN NUSANTARA

GARIS BATAS PERAIRAN TERITORIAL INDONESIA

Gambar 1-4 Kepulauan Indonesia dengan garis batas perairan.



2. Laut Flores Laut Flores di sebelah utara berbatasan dengan Sulawesi, sedang di sebelah selatan ber­batasan dengan Nusa Tenggara. Luas Laut Flores sekitar 240.000 km2 dengan ba­­gi­­an yang paling dalam mencapai 5.140 me­ter.

3. Laut Sawu Laut Sawu di bagian utaranya terdapat pulau-pulau Flores, Solor, Lomblen, Pantar, dan Alor, sedangkan di bagian selatannya ter­­dapat pulau-pulau Sumba, Roti, Sawu, dan Timor. Luas Laut Sawu sekitar 105.000 km2, titik terdalam dari laut ini adalah 3.470 m yang terletak di sebelah selatan Pulau Pantar.

4. Laut Maluku Laut Maluku berbatasan dengan Sula­ we­si di sebelah barat, Halmahera di sebelah ti­mur, dan pulau-pulau Sula di sebelah se­la­ tan. Luas Laut Maluku sekitar 200.000 km2 dengan bagian terdalam berada dekat Pulau Bacan, yaitu 4.810 meter.

5. Laut Arafura Luas Laut Arafura sekitar 650.000 km2. Laut ini membentang ke arah timur menca­

kup wilayah Australia Utara dan selatan Papua Niugini. Laut ini pada umumnya dangkal de­ ngan kedalaman rata-rata berkisar antara 50 sampai 80 meter. Bagian yang terdalam men­ capai 3.660 meter mendekati Pulau Aru.

6. Laut Sulawesi Laut Sulawesi berbatasan dengan Kepu­ lauan Sulu dan Pulau Mindanao di Filipina di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan pulau-pulau Sangir, di sebelah barat de­ngan Kalimantan, dan di sebelah selatan de­ngan Sulawesi. Laut ini membentang se­ panjang 675 km utara-selatan dan 837 km barat-timur, dengan luas permukaan air men­­­capai 280.000 km2. Lebih dari separuh luas­­­nya, laut ini mempunyai kedalaman me­ lebihi 4.000 meter dengan bagian yang pa­ ling dalam mencapai 6.220 meter. Ke arah selatan, Laut Sulawesi berhubungan dengan Selat Makassar.

7. Laut Jawa Laut Jawa berbatasan dengan Kaliman­ tan di sebelah utara, Pulau Jawa di sebelah se­latan, di sebelah timur dengan ujung se­ latan Selat Makassar, dan di sebelah barat de­ ngan Selat Sunda serta Pulau Bangka dan Be­ litung. Laut Jawa membentang dari barat ke timur sepanjang 1.450 km dan dari utara ke selatan sepanjang 420 km. Luas Laut Jawa se­ kitar 1.790.000 2 km , dengan ke­ da­laman rata-rata 46 meter.

Gambar 1-5 Laut di Indonesia.

(Sumber: M. Kasim Moosa)



8. Laut Cina Selatan Laut Cina terbagi menjadi dua, yaitu Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Sebagian dari Laut Cina Selatan yang terletak antara Kalimantan dan Semenanjung Malaya meru­ pa­­kan wilayah perairan Indonesia. Di sebe­lah barat, Laut Cina Selatan berbatasan de­­­­­ngan daratan Asia, di sebelah selatan de­ngan Sumatera dan Kalimantan, dan di se­be­lah timur dengan Kalimantan dan Filipi­na, se­ dang­­kan ­batas utaranya adalah bagian uta­ra Tai­­­wan dan Provinsi Fukien di Cina. Laut Cina me­­ru­pa­kan laut tepi dari Samudera Pasi­fik yang sangat luas dengan perkiraan luas­nya men­­capai 3.685.000 km2, dengan ke­da­lam­­an rata-rata 1.060 meter. Bagian yang ter­da­lam dari Laut Cina Selatan, yang dise­but sebagai Basin Laut Cina, adalah 5.016 me­ter.

rat. Lebar selat ini yang tersempit adalah 130 km dan yang terlebar mencapai 370 km.

10. Selat Sunda Selat Sunda terletak antara Jawa dan Su­ ma­tera, mempunyai lebar yang sangat ber­ variasi, lebar yang tersempit adalah 26 km, sedangkan yang terlebar mencapai 110 km.

9. Selat Makassar Selat Makassar merupakan sebuah selat yang sempit dan dalam dengan panjang se­ kitar 800 km. Selat ini diapit oleh Sulawesi di sebelah timur dan Kalimantan di sebelah ba­

Gambar 1-6 Selat Sunda dengan latar belakang Gunung Krakatau. (Sumber: www.gso.uri.edu)

D. Pembagian Perairan dan Statusnya Wilayah perairan Indonesia, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, mempunyai status hukum yang berbeda-beda. Perairan Indo­ nesia dibagi dalam dua bagian, yaitu perairan de­ngan status hukum kedaulatan penuh (ti­ dak dibebani oleh hak dan kewajiban in­ter­ nasional), yaitu perairan yang disebut de­ ngan Perairan Pedalaman dan yang kedua ada­lah perairan dengan status hukum ke­dau­ latan yang tunduk pada ketentuan Konvensi Hukum Laut Tahun 1982.

1. Perairan Pedalaman Perairan Pedalaman atau “internal wa­ ters” merupakan bagian dari Perairan In­do­ ne­sia yang memiliki status hukum seba­gai

wilayah kedaulatan penuh negara, dan oleh karena itu tidak memiliki beban hak dan kewajiban apa pun dari masyarakat inter­na­ sio­nal sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982.

2. Perairan Kepulauan Perairan kepulauan merupakan bagian dari Perairan Indonesia yang memiliki status hukum sebagai wilayah kedaulatan negara yang tunduk pada ketentuan Konvensi Hu­ kum Laut, dan oleh karena itu memiliki beban hak dan kewajiban tertentu sebagaimana di­ atur dalam ketentuan Konvensi Hukum Laut. Perairan ini pada dasarnya terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan. 

3. Perairan Teritorial Perairan teritorial merupakan bagian da­ ri Perairan Indonesia yang memiliki status hu­kum sebagai wilayah kedaulatan negara, akan tetapi tunduk pada ketentuan Konvensi Hukum Laut dan oleh karena itu memiliki be­­ ban hak dan kewajiban sebagaimana di­­atur dalam ketentuan Konvensi Hukum Laut. Per­­airan ini terletak di luar daratan dan Per­ air­­an Pedalaman dan di luar Perairan Ke­pu­ lau­an yang dibatasi oleh garis-garis pangkal kepulauan. Perairan teritorial merupakan pro­­­duk hukum kewilayahan yang paling men­­­dasar dan tertua. Perairan teritorial lahir da­ri pertumbuhan hukum kewilayahan yang ber­­­sumber dari hak-hak atas sumber alam, hak atas keamanan negara, dan hak atas ko­ mu­­nikasi perhubungan.

Se­dangkan semua pihak baik asing mau­ pun sub­jek hukum Indonesia yang berada di ka­wasan ini, baik dalam rangka menuju Per­ air­an Indo­nesia ataupun yang akan mening­ galkan Per­airan Indonesia, wajib untuk tun­ duk pa­da peraturan-peraturan Bea Cukai, Fis­kal, Imi­­grasi, dan Sanitair Indonesia. Le­ bar Zona Tam­bahan tersebut adalah 12 mil di­hi­tung dari batas terluar laut teritorial. Status hukum perairan zona tambahan ini merupakan perairan yurisdiksi Indonesia untuk menyelenggarakan peraturan Bea Cu­ kai, Fiskal, Imigrasi, dan Sanitair saja. Status hu­kum mengenai isinya, yaitu sumber daya alam di Zona Tambahan Indonesia tersebut, me­ru­pakan sumber daya alam dengan status hu­kum sumber daya alam Zona Ekonomi Eks­klusif Indonesia, dan sumber daya alam Lan­das Kontinen Indonesia. Karena perairan Zona Tambahan ini kedudukannya sudah ber­ada di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indo­nesia, atau di atas zona Landas Kontinen Indo­nesia yang juga merupakan bagian dari Laut Bebas maka hal-hal yang terkait dengan per­soalan hak dan kewajiban negara atas ke­ dua wilayah tersebut dapat dilihat pada urai­ an di bawah ini.

5. Zona Ekonomi Eksklusif/ Landas Kontinen Gambar 1-7 Kapal TNI AL.

(Sumber: http://alutsista.blogspot.com)

4. Zona Tambahan Zona tambahan bukan merupakan ba­ gian dari Perairan Indonesia, akan tetapi me­ ru­pakan zona di luar Perairan Indonesia yang bersambungan dan berbatasan dengan Per­ airan Indonesia di luar batas terluar laut teritorial Indonesia. Mengingat letak zo­na tersebut, negara memiliki perluasan hak di wilayah zona tambahan ini, untuk me­nye­ leng­garakan pengawasan terhadap Bea Cu­ kai, Fiskal, Imigrasi, dan Sanitair sebagai­ma­ na yang berlaku di Perairan Indonesia. 

Zona Ekonomi Eksklusif merupakan wi­la­ yah sumber daya alam di luar Perairan Indo­ nesia, yang memiliki status hukum sebagai wi­layah dengan hak berdaulat atas sumber da­ya alam negara pantai yang berbatasan dan bersambungan dengan Perairan Indo­ne­ sia, dan tunduk pada ketentuan Konvensi Hu­ kum Laut. Artinya bahwa pengelolaan sum­ ber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indo­­nesia tersebut harus dilakukan sesuai ke­ ten­tuan Konvensi Hukum Laut. Wilayah Zona Eko­­nomi Eksklusif tersebut terdapat di luar Per­airan Indonesia, atau di luar laut teritorial Indo­nesia, sejauh 200 mil yang diukur dari ga­ris pangkal laut teritorial. Secara kongkrit,

le­bar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia itu ada­lah 200 mil dikurangi 12 mil laut teri­to­ rial. Hak-hak atas sumber daya alam di Lan­­ das Kontinen bersumber dari keten­tu­an me­­ nge­nai sumber daya alam di Zona Eko­­no­­­­mi Eksklusif, khususnya Art. 56 Konven­si Hu­ kum Laut, akan tetapi kemudi­an pelaksana­

annya diatur secara khusus da­lam Art. 76 me­ngenai pengertian landas kon­tinen. Ke­ du­­dukan Zona Ekonomi Eksklusif Indo­ne­sia ter­letak pada Laut Bebas, yang me­mi­liki sta­ tus hukum tersendiri. Oleh ka­rena itu, pelak­ sanaan hak dan kewajiban atas Laut Bebas ha­rus disesuaikan dengan pe­lak­sa­na­an hak dan kewajiban negara atas Zona Eko­nomi Eks­klusif Indonesia.

Ringkasan •

Laut adalah air asin yang menutupi 71% permukaan bumi.



Air laut terdiri dari 96,5% air dan 2,5% garam.



Tiga Samudera utama dunia: Samudera pasifik, Samudera Atlantik, dan Samudera Hindia.



Perairan Indonesia dibagi atas: Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan, dan Perairan Teritorial.



Zona Tambahan adalah zona di luar Perairan Indonesia yang bersambungan dan berbatasan dengan Per­airan Indonesia di luar batas terluar laut teritorial Indonesia.



Zona Ekonomi Eksklusif adalah wi­la­yah sumber daya alam di luar Perairan Indo­ nesia, yang memiliki status hukum sebagai wi­layah dengan hak berdaulat atas sumber da­ya alam negara pantai yang berbatasan dan bersambungan dengan Perairan Indo­ne­sia, dan tunduk pada ketentuan Konvensi Hu­kum Laut.

Soal Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar! 1. Samudera manakah yang terbesar? a. Samudera Pasifik b. Samudera Atlantik c. Samudera Hindia d. Samudera Antartik e. Samudera Arktik



2. Negara apa saja yang berbatasan dengan Laut Mediteranea? a. Indonesia b. Jepang c. Afrika Selatan d. Italia e. Amerika Serikat 3. Laut Pedalaman adalah a. Laut yang cukup dalam b. Laut yang sangat dalam c. Laut yang berada dalam yurisdiksi penuh sebuah negara d. Laut dalam yang bebas dilayari oleh semua negara e. Laut yang hanya bisa dilayari oleh kapal berukuran tertentu saja 4. Hampir 2,5 % air laut terdiri dari garam mineral. Jenis mineral terbesar yang ada di laut adalah ... a. Natrium

b.

Borium

c. Kalsium

d.

Kalium

e. Sulfat 5. Kita mengenal banyak samudera di dunia. Tiga samudera utama adalah ... a. Samudera Atlantik, Pasifik, dan Antartika b. Samudera Pasifik, Hindia, dan Antartika c. Samudera Hindia, Atlantik, dan Pasifik d. Samudera Hindia, Antartika, dan Atlantik e. Samudera Antartika, Indonesia, dan Pasifik Jawablah pertanyaan di bawah ini. 1. Apa yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif? 2. Jelaskan pembagian tiga daerah perairan Indonesia dan berikan contoh masingmasing. 3. Apa yang dimaksud dengan zona tambahan 4. Jelaskan seluk-beluk tentang Selat Makassar dan Laut Jawa. 5. Apa yang dimaksud dengan palung dan beri contoh-contohnya.

10

Tugas Lakukan pengamatan ke salah satu wilayah perairan yang terdekat dengan tempat tinggalmu. Tanyakan pada petugas (Polisi Perairan), penyuluh/orang yang mengetahui tentang: a. Status hukum wilayah perairan. b. Hak-hak yang dimiliki wilayah perairan. c. Hak-hak yang tidak boleh dilanggar. d. Permasalahan yang terjadi dengan adanya status hukum. e. Cara memecahkan masalah. Buatlah laporan hasil yang memuat antara lain: •

Pendahuluan



(Latar belakang, tujuan, strategi kerja)



Landasan Pemikiran



(berisi pengertian, konsep yang relevan dengan topik)



Hasil Temuan



(berisi hasil pengamatan, wawancara, lain-lain)



Simpulan dan Saran



Serahkan hasil laporan tepat waktu.

Glosari •

Alga adalah tumbuhan air, bisa sangat kecil (plantonik) atau menempel di dasar (makro alga).



Celah hidrotermal adalah retakan di kerak bumi bawah laut yang mengeluarkan energi panas



Gletser : sungai es.



Palung : bagian laut yang sangat dalam.



Paparan : bagian laut dangkal yang luas.



Sanitair : yang berkenaan dengan kebersihan.



Teritorial : batas wilayah.

11

Bab 2 Dasar Laut

Standar Kompetensi • Mampu memahami dasar laut.

Kompetensi Dasar • Mampu membandingkan antara darat dan laut. • Mampu menjelaskan mengenai topografi dasar laut. • Mampu menjelaskan cara-cara pengukuran kedalaman laut. • Mampu mendeskripsikan topografi dasar laut di Indonesia.

12

Peta Konsep Dasar laut MEMBAHAS

Perbandingan Darat & Laut

Topografi Dasar Laut

Pengukuran Kedalaman

Topografi Dasar Laut di Indonesia TERDIRI DARI

Paparan Sunda Paparan Sahul Laut dalam di Indonesia

13

A. Perbandingan Darat dan Laut Perhatikan kurva di bawah ini dan cer­ mati pembahasannya. Kita, manusia sebagai makhluk yang hidup di darat sering merasa bah­wa daratan adalah bagian yang terluas dan terpenting di bumi. Tetapi cobalah te­ ngok pada bola bumi (globe). Di sana akan ter­lihat bahwa bumi ini merupakan planet yang didominasi oleh laut. Luas seluruh mu­ ka bumi adalah sekitar 510 juta km2, yang ter­diri dari laut seluas 361 juta km2 atau se­ kitar 71% dari luas muka bumi, sedangkan da­ratan hanya se­luas 148 juta km2 atau se­ besar 29%. Puncak tertinggi di daratan sekitar 8.849 m yang terdapat di Gunung Himalaya, se­­dang­­kan palung yang terdalam di laut se­ da­lam 10.830 m yang terdapat di Palung Min­­dano di Samudera Pasifik dekat Filipina. Apa­­bila elevasi (ketinggian) seluruh daratan di bumi ini dirata-ratakan maka diperoleh ke­­tinggian daratan sebesar 840 m. Ban­ding­ kan dengan laut, yang bila dirata-ratakan ke­­­dalamannya adalah sedalam 3.795 m. Ja­di dari berbagai data ini saja sudah jelas be­­­tapa besar dimensi laut dibandingkan de­ ngan daratan.

Bagaimana dengan Indonesia? Negeri ki­ta dikenal sebagai negara ke­pulau­­­an mem­ punyai luas total sebesar 5 juta km2 dengan luas seluruh daratan 1,9 juta km2 (38% dari seluruh wilayah), sedangkan luas seluruh laut adalah 3,1 juta km2 (62% da­ri seluruh wi­layah). Data di atas tidak ter­m­asuk luas per­airan ZEEI (Zona Ekonomi Eks­klusif Indo­ nesia) -yang merupakan jalur se­lebar 200 mil di luar perairan teritorial In­do­nesia- dengan luas 2,7 juta km2. Jadi ka­lau di­hi­tung, luas seluruh laut yang harus di­ke­lola In­do­nesia adalah 5,8 juta km2.

Daratan

Permukaan Air Laut

Paparan Benua Lereng Benua

Abisal

Bukit Laut

Gunung Laut Palung

Gambar 2-2. Relief dasar laut. (Sumber: Anugerah Nontji)

Gambar 2-1. Puncak Mount Everest (8.849 m) adalah puncak tertinggi di dunia. (Sumber: www.letsgodigital.org)

14

Gunung tertinggi di daratan Indonesia adalah Puncak Jaya Wijaya, Papua, yang se­ lalu diliputi salju dengan ketinggian 5.030 m. Bandingkan dengan laut terdalam di In­do­ nesia yang terdapat di Laut Banda sedalam 7.440 m. Gunung tertinggi di Jawa adalah Gunung Semeru setinggi 3.676 m. Jadi bila dua Gunung Semeru ditumpukkan dan di­ letak­kan di dasar Laut Banda masih akan ter­benam. Demikianlah kita melihat bahwa di­mensi laut, baik dalam ukuran global mau­ pun untuk Indonesia, sangat dominan.

B. Topografi Dasar Laut

Coba perhatikan gambar re­ lief/dasar laut di samping. Ada be­ berapa bentuk umum topo­grafi di laut, misalnya berupa ele­vasi atau penaikan dasar laut yang bi­ sa berupa pematang yang me­man­ jang di tengah samudera (ridge), Samudra Pasifik bagian tenggara A. Paparan benua B. Lereng benua C. Palung (trench) D. Gunung.

0

1

2

3

4

5

10.000

Luas muka bumi 106 km2 8.000 6.000

Kedalaman (m)

4.000 2.000

Elevasi daratan rata-rata 840 m

Muka laut

0

Kedalaman laut rata-rata 3795 m

Elevasi (m)

Pada mulanya orang mengira bahwa per­mukaan dasar laut itu datar saja. Tetapi per­kembangan ilmu pengetahuan dan tek­no­l­ogi telah membuktikan bah­wa topo­ grafi (ben­tuk relief per­muka­an bumi) yang ter­da­pat di dasar laut itu sangat kompleks. Se­perti hal­ nya di darat yang mempunyai bu­­kit, pegunungan, gunung api, lem­bah, ju­rang, dan sebagainya, di laut pun dapat dijum­pai ber­ bagai bentuk topografi yang amat beragam. Tetapi karena semua­ nya ter­pendam dalam laut maka tidak dapat lang­sung terlihat.

2.000 4.000

% Luas muka bumi

6.000 8.000

0 0

10

20

% Daratan

30 100

40

50

60

0

70

80

90

100

10.000

100

% Laut

Gambar 2-3 Kurva menunjukkan luas muka bumi pada elevasi (ketinggian) dan kedalaman dengan acuan muka laut. (Sumber: Duxbury dkk., 2002)

Samudra Atlantik A. Paparan benua (continental shelf) B. Lereng benua (continental slope) C. Ampuan benua (continental rise)

D

D

A

A

A

B

B A BC

B

C

C

Gambar 2-4 Bentuk umum tepian benuaC (continen­tal margin). (Sumber: Anugerah Nontji)

15

pung­gung laut (rise), atau gunung api bawah laut (sea mount). Ada pula cekungan atau de­ pres­si yang dalam seperti lubuk (basin) yang da­sar­­n­­ya melebar, atau palung (trench) yang dalam dengan tepiannya yang terjal. Ada pula bentuk-bentuk yang khusus seperti te­ rum­bu karang, yang hampir tersembul ke per­­mukaan laut, yang komponen utamanya ada­lah karang batu. Selain itu di depan mua­ ra sungai dapat terbentuk topografi yang khu­sus yang dikenal sebagai daerah estuari, yang sangat dipengaruhi oleh endapan dari sungai.

Di setiap tepian benua (coastal margins) yang merupakan peralihan antara daratan benua dan samudera sering ditandai de­ ngan adanya perubahan kedalaman yang ber­­­angsur-angsur dari pantai ke arah laut, di­­­mulai dari paparan benua (continental shelf) yang relatif sangat landai dan dangkal (se­ring­­kali disebut pula sebagai landas kon­ tinen). Kemudian diikuti dengan lereng be­ nua (continental slope) yang lebih curam dan selanjutnya menuju ke ampuan benua (con­­tinental rise), atau palung laut dalam (trench).

C. Pengukuran Kedalaman Pada mulanya orang mengukur kedalam­ an dasar laut dengan cara yang sangat se­ derhana, yakni dengan menggunakan tali yang diberi skala dan di ujungnya diberi ban­ dul pemberat. Tali ini diulurkan dengan ta­ ngan hingga bandul menyentuh dasar, dan ke­da­laman pun dapat dibaca pada panjang tali yang diulur. Tetapi cara ini hanya dapat di­gu­nakan di laut dangkal saja, misalnya sam­­ pai puluhan meter. Untuk laut yang lebih da­ lam, cara ini sudah tidak efektif karena akan lebih sulit merasakan atau mengetahui ka­ pan bandul menyentuh dasar. Pada pertengahan abad 19, orang su­ dah menggunakan mesin penduga keda­ lam­­an (sounding machine) bertenaga uap dengan kabel baja yang panjangnya bisa ribu­an meter, yang di ujungnya diberi ban­ dul pemberat. Mesin ini dilengkapi rol untuk me­ngukur panjang kabel yang diulur. Tentu saja teknologi ini memakan waktu yang lama hanya untuk mengukur kedalaman di satu ti­tik di laut, apalagi di laut yang dalamnya ribu­an meter. Baru pada pasca Perang Dunia I, sekitar tahun 1920-an mulai dikembangkan tek­ no­logi baru dengan menggunakan prin­sip rambatan bunyi di dalam air. Alat de­ngan tek­nologi ini disebut perum gema (echo­ 16

100 meter

Gambar 2-5 Pengukuran kedalaman laut dengan prin­sip rambatan bunyi dalam air. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Bunyi dengan fre­kuen­si tertentu dipancarkan dari lunas kapal. Bunyi itu me­rambat dalam air hingga membentur dasar-laut, ke­mu­dian dipantulkan kembali dan diterima di kapal. Dengan mengetahui waktu tempuh bunyi untuk bo­lak–balik dan kecepatan rambat bunyi dalam air ma­ka kedalaman dasar laut dapat ditentukan.

sounder). Prinsip operasinya adalah dengan me­mancarkan sinyal bunyi dari pemancar (trans­mitter) di lunas kapal dengan frekuensi tertentu, dan bunyi ini merambat dalam air hing­ga menyentuh dan dipantulkan oleh dasar laut.

Bunyi yang dipantulkan ini diterima kem­­­­­bali oleh penerima (receiver) di lunas ka­­­­­pal. Apabila waktu yang diperlukan ram­ bat­­­­an bunyi untuk bolak-balik diketahui, dan kecepatan rambat bunyi dalam air di­ ke­­tahui pula (rata-rata 1.500 m/detik), ma­ ka kedalaman laut dapat dengan mudah di­­ke­tahui. Kecepatan rambat bunyi dalam laut dipengaruhi oleh suhu dan salinitas.

Se­­ka­rang ini teknologi echosounder sudah sa­ngat maju hingga kedalaman laut dapat di­­ re­kam secara berterusan (continuous) oleh se­buah kapal yang sedang berlayar hing­­­ga pro­fil dasar laut di sepanjang lintas layar lang­ sung dapat diperoleh gambaran ben­­­tuknya. De­ngan kemajuan teknologi ini pu­la, maka peta-peta dasar laut (peta batime­tri) di bumi sudah dapat diperbaiki dan di­­sem­­purnakan.

D. Topografi Dasar Laut di Indonesia Tidak ada negara di bumi ini yang mem­ punyai gambaran topografi dasar laut yang se­unik seperti yang terdapat di perairan Nusan­tara kita. Dalam kawasan terbatas ini bo­leh dikatakan semua tipe topografi dasar laut bisa ditemukan seperti paparan (shelf) yang dangkal, cekungan yang dalam dengan ber­bagai variasi bentuk (lubuk, palung), ber­ bagai bentuk elevasi berupa punggung (rise, ridge), gunung bawah laut (sea mount), te­ rumbu karang, dan sebagainya. Kompleksnya topografi dasar laut di In­­ donesia disebabkan karena di kawasan ini berbenturan atau bergesekan empat lem­ peng li­tosfer, yakni lempeng Eurasia, Filipi­ na, Pasi­fik, dan Samudera Hindia-Australia. Dalam geo­logi dikenal teori tektonika lem­ peng (pla­te tectonics) yang menganggap kerak bu­­mi ini terdiri atas lempeng-lempeng yang ke­­nyal dan lentur yang senantiasa ber­ gerak re­­la­tif terhadap lempeng lainnya. Apa­ bila dua lempeng berbenturan maka salah satu­­nya akan tertekan menukik ke bawah lem­­peng lainnya hingga di zona benturan itu ter­bentuk palung-palung laut dalam. Sebaliknya pada lempeng lawannya ter­ jadi penonjolan ke atas di mana energi panas berupa magma dilepas dan membentuk gu­­nung-gunung api. Rangkaian busur gu­ nung api dari Sumatera, Jawa, sampai Nusa Teng­gara yang sejajar dengan palung lautdalam di sebelah luarnya, di Samudera Hin­

dia, mencerminkan zona benturan dua lem­ peng di sepanjang busur ini. Kondisinya bi­sa menjadi lebih kompleks karena tiap lem­peng dapat terpecah menjadi fragmen lem­penglempeng yang lebih kecil dan saling ber­ge­ sekan. Kejadian ini membuat struktur geo­ logi di tempat itu menjadi kompleks seperti ter­lihat pada dasar perairan laut-dalam di bagian timur Indonesia. Secara umum dapat disebutkan bahwa dasar laut di Indonesia terdiri dari dua bagi­ an penting, yakni laut dangkal yang me­ru­ pakan paparan (shelf) dan laut-dalam. Ada dua paparan yang terkenal di Indonesia, yak­­­ni Paparan Sunda dan Paparan Sahul, ma­­ sing-masing terdapat di bagian barat dan ba­ gi­­an timur Indonesia. Di antara keduanya ter­­ dapat laut-dalam yang topografinya sa­ngat kompleks.

1. Paparan Sunda

Gambar 2-6 Daerah Paparan Sunda di sebelah barat dan Paparan Sahul di sebelah timur Indonesia. (Sumber: Anugerah Nontji)

17

Paparan Sunda merupakan paparan dang­­­­kal (kurang dari 200 m) yang terluas di du­nia yang menghubungkan Pulau-pulau Ja­­ wa, Kalimantan, dan Sumatera, dengan da­ rat­­an besar Asia.

LEMPENG FILIPINA

LEMPENG EURASIA

sama­annya, yang berbeda dengan di ka­was­ an Indonesia sebelah timur­nya. Laut Jawa di paparan ini mempunyai da­sar laut yang melandai dari dengan keda­ lam­­an sekitar 20 m dekat pantai Sumatera Selatan sampai menjadi sekitar 60-80 m yang menghadap ke Selat Makassar.

2. Paparan Sahul Sulawesi

LEMPENG PASIFIK

tra ma Su

Kalimantan Irian Jaya Jawa

LEMPENG SAMUDRA HINDIA - AUSTRALIA Palung Laut

Sesar

Australia

Arah Gerakan

Gambar 2-7 Batas-batas lempeng litosfer di Asia Tenggara menunjukkan arah gerak tiap lempeng. (Sumber: Anugerah Nontji)

Penelitian geologi menunjukkan bah­wa se­luruh paparan Sunda ini dulunya me­mang me­rupakan daratan besar yang me­nyatu dengan benua Asia. Kira-kira 170.000 tahun lalu muka laut ber­ada kira-kira 200 m lebih rendah daripada muka laut sekarang ini hingga seluruh kawasan ini kering berupa daratan. Bekas-bekas darat­an di zaman da­ hulu kala itu masih da­pat ditelusuri di da­­sar laut paparan ini dengan menggunakan pe­ rum ge­ma (echosounder). Para ahli me­ne­mu­kan bahwa di paparan ini dulu ada dua sis­tem sungai yang kini su­ dah terbenam yang masing-masing di­se­but Sungai Sunda Uta­ra dan Su­ngai Sunda Se­ latan. Sungai Sunda Utara mempunyai hulu di Sumatera dan Kalimantan dan ber­mua­ra di Laut Cina, sedangkan Su­ngai Sunda Selatan mem­pu­nyai hulu di Jawa dan Kalimantan dan ber­­muara di Selat Makassar. Karena dulunya seluruh daerah ini me­ rupakan satu kesatuan daratan maka hing­ga se­karang pun masih da­pat dijumpai he­wan dan tumbuhan di daerah ini banyak per­­ 18

Paparan Sahul, acapkali di­se­­but pula se­ bagai Paparan Ara­fu­ra, merupakan perairan dang­kal di sebelah selatan Papua. Se­perti hal­nya dengan Paparan Sun­da, ka­­wasan ini pun di zaman da­hulu ke­­ring berupa daratan yang me­nya­tu­kan daratan Pulau Papua de­ ngan Aus­­tralia. Sangat menarik melihat po­­ sisi Kepulauan Aru dan Kepulauan Kei di se­ kitar perairan ini. Kepulauan Aru berada da­lam Paparan Sa­hul yang dulunya menyatu de­ngan Pu­ lau Papua, oleh karenanya kondisi florafau­na­nya pun le­bih dekat dengan Pu­lau Pa­ pua. Kepulauan Kei adalah tetangga de­kat Kepulauan Aru, te­tapi telah berada di luar paparan. Di antara ke­­dua­nya terdapat pa­

Kalimantan Sumatra

Samudra Hindia

Jawa

Gambar 2-8 Sungai Sunda Utara dan Sungai Sun­da Selatan yang terbenam di Paparan Sunda. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Su­ngai Sun­da Utara berhulu di Sumatra Timur dan Kaliman­­tan Barat, dan bermuara ke Laut Cina Se­la­tan. Sungai Sunda Selatan berhulu di Kalimantan Se­la­tan, Sumatra Selatan dan Jawa, dan bermuara ke Se­lat Makassar.

lung laut-dalam yang memisahkan ke­dua­­ nya. Meskipun Ke­pu­lauan Kei lebih dekat ke Pa­pua, namun ke­hidup­an flora-faunanya ber­beda jauh dibandingkan dengan ke­­ke­ rabatan Ke­pulauan Aru dengan Papua. Ke­ dalaman per­airan Paparan Sahul ini berkisar 30-90 m.

3. Laut-Dalam di Indonesia Laut-dalam di Indonesia terutama ter­ da­pat di Indonesia bagian timur dan bagian tengah, di kawasan yang diapit oleh Pa­­­pa­r­ an Sunda dan Paparan Sahul. Di sini ter­­dapat beragam bentuk topografi berupa lu­­buk (basin) dan palung (trench). Ekspedisi Snel­ Tabel 1. Lubuk dan Palung di Perairan Indonesia (lokasi lihat Gambar 2-8). Basin atau Palung I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI XVII XVIII XIX XX XXI XXII XXIII XXIV XXV XXVI XXVII

Lubuk Sulu Palung Mindanao Palung Talaud Palung Sangihe Lubuk Sulawesi Lubuk Morotai Palung Ternate Lubuk Bacan Lubuk Mangole Lubuk Gorontalo Palung Makassar Lubuk Halmahera Lubuk Buru Lubuk Banda utara Lubuk Banda Selatan Palung Weber Lubuk Manipa Lubuk Ambalau Lubuk Aru Palung Buton Lubuk Selayar Lubuk Flores Lubuk Bali Lubuk Sawu Lubuk Wetar Palung Timor Palung Jawa

Batas garis kedalaman (m) 4.000 6.000 3.000 3.000 4.000 3.000 3.000 3.000 3.000 3.000 2.000 1.000 3.000 4.000

Kedalaman maksimum (m) 5.350 10.830 3.450 3.850 6.220 3.890 3.450 4.810 3.510 4.180 2.540 2.039 5.319 5.800

46.000 2.700 10.000 26.000 1.500 1.000 6.800 1.900 14.000 55.000 15.000 16.000 80.000

4.000

5.400

120.000

4.000 3.000 4.000 3.000 4.000 2.000 3.000 1.000 3.000 3.000 2.000 6.000

7.440 4.360 5.330 3.680 4.180 3.370 5.130 1.590 3.470 3.460 3.310 7.140

50.000 2.800 7.000 11.000 1.200 4.000 30.000 19.000 30.000 6.000 33.000 -

Kelompok Lubuk Maluku : VI, VII, VIII, IX, X Kelompok Lubuk Banda : XIII, XIV, XV, XVI, XVII, XVIII, XIX, XX, XXII, XXIV, XXV (Sumber: Van Riel, 1934)

Luas (km2)

lius I (1929–1930) banyak sekali mem­per­ kaya pengetahuan kita tentang topografi da­ sar laut di kawasan ini. Tabel 1 dan Gam­bar 2-9. menampilkan beberapa data dan gam­­­ bar­an tentang laut-dalam di sini. Di sebelah utara, dekat perbatasan de­ ngan Filipina terdapat Palung Mindanao, de­ ngan kedalaman 10.830 m, yang merupakan salah satu palung yang terdalam di dunia. Di dekatnya terdapat Lubuk Sulawesi yang sa­ngat luas dengan dasarnya yang kurang le­bih mendatar pada kedalaman 5.100 m. Ke arah selatannya terdapat Lubuk Sulawesi yang memanjang di Selat Makassar dengan ke­dalaman sekitar 2.300 m. Di sekitar Laut Maluku dan Laut Banda ter­­­dapat beberapa lubuk dan palung yang sa­ling berhubungan. Lubuk yang paling luas adalah Lubuk Banda Selatan yang ke­ dalam­an maksimumnya 5.400 m. Tak jauh di se­belah timurnya terdapat Palung Weber, de­­ngan kedalaman maksimum 7.440 m, yang merupakan palung yang paling da­lam di Indonesia (bandingkan dengan gu­nung 120˚ 8˚

LAUT CINA

132˚ 8˚

I

II

SAMUDRA PASIFIK

IV 4˚



III

V VI VII XI

X

VIII IX

XII XIII

XIV

XVII



XVIII LAUT JAWA XXIII

XXI XXII

XX

XV

XXIV XXVII



XXV XXVI

SAMUDRA HINDIA 116˚

XIX XVI

120˚

124˚

LAUT TIMOR 128˚

132˚

Gambar 2-9. Lubuk dan palung di perairan Indonesia. Nama-nama untuk angka Rumawi dicantumkan dalam Tabel 1. Panah menunjukkan arah pasokan air dari Samudra Pasifik yang mengisi lubuk dan palung tersebut. (Sumber: Anugerah Nontji)

19

Puncak Gunung Api + 288 m m

0 2000 4000 6000

Gambar 2-10. Profil Pulau Gunung Api di Laut Banda. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Yang mencuat ke atas permukaan laut (tinggi 288 m) hanyalah bagian puncak dari gunung besar yang duduk di dasar Laut Banda pada kedalaman sekitar 4.000-5.000 m.

ter­­tinggi di Indonesia, Puncak Jaya Wi­ja­ya, Papua, yang tingginya 5.030 m). Na­ma We­ ber untuk palung ini diambil dari na­ma Pro­ fe­sor Max Weber yang memimpin Eks­pe­disi Si­­boga yang dilaksanakan di perairan ini tahun 1899-1900. Seluruh massa air yang mengisi lubuk dan palung laut-dalam di perairan Indonesia ber­asal dari massa air yang datangnya dari Samudera Pasifik. Gambar 2-9 menunjukkan jalur masuknya air laut ke dalam lubuk dan pa­lung tersebut. Meskipun di Laut Banda terdapat banyak lu­buk laut-dalam, tetapi di sini juga terdapat gu­gus pulau-pulau gunung api aktif, yang me­rupakan bagian dari rangkaian Busur Gu­ nung Api Banda. Pulau-pulau gunung api ini tampaknya kecil saja, tetapi itu sebenarnya ha­nya merupakan puncak dari gunung api besar, yang kakinya terletak ribuan meter di dasar Laut Banda. Pulau Gunung Api, mi­­ salnya, tingginya ha­nya sekitar 288 m, tetapi itu hanyalah ba­gian puncak dari gu­nung api be­sar yang duduk pada ke­da­laman lebih 4.000 m. Pulau ini tidak ber­penghuni, tetapi meru­pa­kan tempat ber­sa­rang burung-bu­­ rung laut.

20

Tidak semua gunung api di Laut Banda tersembul ke atas permukaan. Be­­be­rapa gu­ nung api berada di bawah per­mukaan laut. Bah­kan belum semuanya su­dah diketahui ke­beradaannya. Pada tahun 2003 misalnya Eks­pedisi Baru­na Jaya VIII me­­ne­­mukan gu­ nung api ba­ru di ba­wah per­mu­ka­an laut di ba­­gi­an se­la­tan Laut Banda, dekat Pulau We­ tar, yang ke­mu­dian dinamai Gu­nung Ba­ru­­na Kom­ba. Gunung api ini pun­caknya be­­rada sekitar 180 m di bawah mu­ka laut, se­dang­ kan kakinya berada pada ke­dalaman lebih 1.000 m. Di Samudera Hindia, di sebelah selatan Jawa, terdapat Palung Jawa (Java Trench) yang memanjang dan melengkung mulai dari se­­belah timur Sumatera sampai ke sebelah

Gambar 2-11. Kapal riset Baruna Jaya VIII sedang melakukan survei dekat pulau gunung api Komba di Laut Banda, tahun 2003. (Sumber: Anugerah Nontji)

Gambar 2-12. Pulau Komba. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Tak jauh dari Pulau Komba ini dijumpai temuan baru berupa gunung api bawah laut, dengan puncak berada sekitar 180 m di bawah permukaan dengan kaki berada sekitar 1.000 m di bawah permukaan laut. Gunung api yang baru ditemukan ini dinamai Baruna Komba.

se­­latan NTT. Palung Jawa mempunyai ke­ dalaman maksimum sampai lebih 7.000 m. Pa­lung Jawa yang me­leng­kung ini kurang le­ bih sejajar dengan busur gu­nung api yang berderet di sepanjang daratan Suma­teraJawa.

21

Ringkasan •

Luas laut di bumi ini lebih besar dari daratan. Luas laut adalah sekitar 71% dari luas seluruh muka bumi. Elevasi (ketinggian) rata-rata daratan adalah 840 m, sedangkan kedalaman rata-rata lautan adalah 3795 m.



Laut juga merupakan faktor fisik yang dominan bagi Indonesia. Luas Laut Nusantara sekitar 62% dari luas seluruh wilayah. Demikian pula kedalaman laut maksimum di Indonesia (7400 m) jauh lebih besar dari ketinggian gunung tertinggi (5030 m).



Dasar laut mempunyai topografi yang sangat beragam, ada paparan yang dangkal, lubuk dan palung yang dalam, gunung api bawah laut, dan sebagainya.



Kedalaman laut dapat diukur dengan cermat dengan perum gema (echosounder) dengan prinsip perambatan dan pemantulan bunyi dalam air.



Topografi dasar laut Indonesia dapat dibagi menjadi dua yakni: 1) laut dangkal berupa Paparan Sunda (di Indonesia bagian barat) dan Paparan Sahul (di Indonesia bagian timur), dan 2) laut-laut dalam yang terletak di antara keduanya.



Keanekaragaman bentuk topografi dasar laut Indonesia terkait dengan pertemuan dan pergesekan tiga lempeng besar dunia, yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Samudera Hindia-Aus­tralia (Indo-Australia).

Soal Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar! 1. Bagaimana cara menentukan kedalaman laut dengan cara modern? a. Mengulurkan tali dengan pemberat ke dasar laut b. Menurunkan jaring ke dasar laut c. Menggunakan alat echosounder d. Menyelam e. Menggunakan biota laut sebagai indikator kedalaman 2. Jelaskan mengapa Indonesia sangat kaya akan variasi bentuk topografi dasar lautnya? a. Sangat kaya akan keanekaragaman jenis b. Adanya paparan laut dangkal c. Adanya penaikan massa air laut d. Fitoplanktonnya sangat subur e. Adanya perbenturan lempeng-lempeng tektonik

22

3. Jelaskan mengapa Laut Jawa itu dangkal? a. Disebabkan hutan mangrovenya sudah habis ditebangi b. Adanya endapan sedimentasi dari sungai-sungai di Jawa dan Kalimantan c. Akibat dari reklamasi pantai d. Akibat dari proses penenggelaman daratan e. Dahulu kala merupakan daratan yang menyatu dengan daratan Asia 4. Di daerah manakah di Indonesia dapat dijumpai laut-laut dalam yang ribuan meter dalamnya? a. Paparan Sunda b. Paparan Sahul c. Perairan timur Indonesia d. Perairan Sumatera Timur e. Selat Madura 5. Bentuk topografi laut dalam ada dua macam, yaitu lubuk dan palung.Palung yang terdapat di perbatasan dengan Filipina merupakan palung yang terdala di dunia, yaitu palung ... a. Talaud b. Mindanau c. Makassar d. Weber e. Timor Jawablah pertanyaan di bawah ini. 1. Dasar laut memiliki topografi yang sangat beragam. Apa yang dimaksud dengan topografi? Gambarlah salah satu bentuk topografi tersebut! 2. Jelaskan bagaimana proses terbentuknya topografi laut. 3. Apa yang dimaksud dengan lempeng dan sebutkan jenis-jenis lempeng yang ada di dunia.

23

Tugas 1. Cobalah amati bentuk fisik pantai di dekat tempat tinggalmu. Ban­dingkan dengan pantai di daerah lain. Dapatkah kamu menganalisis perbedaannya? 2. Ukurlah kedalaman laut dengan seutas tali (atau sebatang bambu) yang telah diberi skala meter. Lakukan pengukuran dalam satu garis lu­rus (transek), mulai dari bibir pantai (batas antara darat dan air laut) sampai ke tengah yang masih memungkinkan. Lakukan beberapa transek. Bagamana bentuk profil da­sar lautnya? Diskusikan dengan kawanmu.

Glosari

24



Garis dasar: garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau terluar, yang dijadikan dasar untuk menetapkan batas wilayah Nusantara.



Lereng benua (continental slope): bagian dasar laut yang berbatasan dengan paparan benua (continental shelf). Pada wilayah lereng benua dasar laut akan menurun dengan drastis. Kedalaman lereng benua mencapai 200 sampai 2.500 meter.



Lubuk (basin): bagian laut dalam yang dasarnya melebar.



Topografi: bentuk atau relief permukaan bumi atau dasar laut.



Palung (trench): bagian dasar laut dalam yang tepiannya terjal. Bagian ini merupakan laut yang terdalam di dasar laut.



Paparan benua (continental shelf): bagian dasar laut yang terletak paling tepi dan agak sempit yang mengelilingi benua. Paparan benua ini merupakan relief dasar laut yang menurun perlahan-lahan mulai dari pantai ke arah tengah lautan. Kedalaman umumnya kurang dari 200 meter.



Perum gema (echosounder): alat untuk mengukur kedalaman dengan prinsip perambatan dan pemantulan bunyi.



Tektonika lempeng: teori bahwa kerak bumi itu terdiri dari lempeng-lempeng lentur yang saling berbenturan dan bergesekan.

Catatan:

25

Bab 3 Sifat-Sifat Fisika dan Kimia di Badan Laut Standar Kompetensi • Mampu memahami sifat-sifat fisika dan kimia di badan laut.

Kompetensi Dasar • Mampu mendiskripsikan sifat fisika air laut, seperti suhu, salinitas, cahaya, dan tekanan hidrostatik • Mampu menjelaskan sifat kimia air laut, seperti pengaruh kandungan oksigen dan karbondioksida di air laut.

26

Peta Konsep Sifat-sifat Fisika dan Kimia di Badan Laut TERDIRI DARI

Suhu MENCAKUP

Pengukuran suhu Variasi suhu di laut

Salinitas MENCAKUP

Garam dan Salinitas Penentuan Salinitas Variasi salinitas Salinitas permukaan di Indonesia Dampak perubahan salinitas pada perikanan

Gas Terlarut dalam Laut MENCAKUP

Oksigen Karbon dioksida

Cahaya MENCAKUP

Penetrasi cahaya ke dalam laut Zonasi vertikal Pengukuran cahaya Warna air laut

Tekanan Hidrostatik 27

A. Suhu 1. Pengukuran suhu

Dengan perkembangan teknologi mo­ dern sekarang ini, berbagai alat peng­ukur dilengkapi dengan sensor suhu, dan hasilnya di­olah dengan sistem komputer digital, hing­­­ ga sangat mudah penggunaannya. Suatu alat pengambil contoh air laut yang disebut rosette sampler dapat dilengkapi dengan ber­bagai sensor untuk langsung mengukur ber­­­bagai parameter oseanografi dalam laut seperti suhu, salinitas, kekeruhan, kan­­du­ng­­­ an klorofil, dan sebagainya. Pada saat alat ini diturunkan ke dalam laut, semua da­ta di­rekam secara ber­terusan dan langsung di­ kirimkan ke laboratorium di kapal dan hasil­ nya langsung terbaca di layar kom­puter. Untuk mendapatkan data suhu per­mu­ ka­­an laut pada areal yang luas dalam waktu yang sama, sekarang dapat digunakan sa­ te­lit. Dengan teknologi satelit ini kondisi su­­hu pada areal permukaan yang sangat

Gambar 3-1. Termometer bolak-balik (reversing thermometer) yang dipasang pada rossete sampler. (Sumber: www.kc-denmark.dk)

Ada beberapa cara untuk mengukur su­ hu air laut. Yang paling sederhana adalah de­­ngan menggunakan termometer air raksa yang umum dipakai di mana-mana. Tetapi ini lebih sesuai untuk lapisan permukaan sa­­ja. Untuk mengukur suhu air laut pada la­­pis­­­­an di bawah permukaan, apalagi sam­ pai kedalaman ribuan meter, diperlukan ter­­mo­me­­ter khusus. Di dalam oseanografi, du­lu sa­ngat lazim digunakan termometer bo­­lak-balik (reversing thermometer) yang da­­pat mengukur suhu dengan sangat cer­ mat pa­da kedalaman berapa pun dalam laut. Dinamai demikian karena pada saat di­ tu­run­­kan dengan kabel sampai kedalaman yang diinginkan, posisinya terbalik. Baru se­ te­lah diberi isyarat mekanis ia berputar me­ ne­­gak­­kan diri dan menunjukkan suhu pada ke­­dalam­an tersebut. 28

Gambar 3-2. Teknologi modern dalam oseanografi. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Pengambilan contoh air dan pengukuran berbagai parameter oseanografi seperti suhu, salinitas, kekeruhan dan sebagainya berada pada unit pengambilan contoh (rosette sampler) yang siap diturunkan ke dalam laut. Seluruh data pengukuran dalam laut langsung dikirim dan diterima di laboratorium komputer, di kapal riset.

air yang terperangkap karena air surut, bisa dijumpai suhu yang panas di siang hari, kadang-kadang mencapai 35o C atau lebih. Air yang cukup panas bisa dijumpai di depan pelimbahan industri atau pembangkit listrik yang membuang bekas air pendinginnya ke laut. Dalam kondisi seperti itu bisa terdapat lidah air dengan suhu tinggi sampai 37o C atau lebih. Di perairan yang dalam di Indonesia, umumnya dapat dijumpai sebaran vertikal suhu seperti tercantum dalam Gambar 3-4. Pada dasarnya dapat dibedakan tiga lapisan, yakni lapisan hangat di bagian atas, lapisan termoklin di tengah, dan lapisan dingin di sebelah bawah. Secara alami, air di lapisan permukaan suhunya hangat karena mendapat radiasi panas ma­tahari pada siang hari. Karena di Gambar 3-3 Sebaran suhu permukaan laut yang direkam dari satelit. Atas: tanggal 11 Juli 1995. Bawah: tanggal 16 September 1995. Pada bulan September terjadi penaikan air (upwelling) di selatan Jawa-Bali yang menyebabkan suhu air turun.

Suhu (ºC) 0 200

(Sumber: Hendiarti, 2003)

2. Variasi suhu di laut Di perairan tropis seperti di Indonesia -yang tak mengenal musim dingin dan musim panas- suhu permukaan laut relatif tidak besar perubahannya sepanjang ta­hun. Su­hu permukaan laut di Indonesia umum­ nya ber­kisar 28-32o C. Di lokasi tempat ter­ jadi­nya penaikan air (upwelling), seperti di Laut Ban­­da dan di selatan Jawa, suhu air per­ mu­ka­an bisa turun hingga menjadi 24-25o C. Ini di­sebabkan karena air yang dingin di lapisan bawah terangkat naik ke atas. Suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi daripada yang di lepas pantai. Di goba (lagoon) yang dangkal atau di kobakan

400

20

30

}A

}

B C

600 800

Kedalaman (m)

luas dapat dipantau dari waktu ke waktu. In­ for­masi dari satelit ini bermanfaat untuk ke­ pentingan perikanan dan lingkungan.

10

900 1000 1200 1400 1600 1800 2000

Gambar 3-4 Pola umum sebaran vertikal suhu di laut. A: Lapisan hangat dan homogen; B: Lapisan termoklin, dimana suhu turun cepat menurut kedalaman; C: Lapis­an dingin, suhu berangsur-angsur turun hingga ke lapisan terdalam. (Sumber: Anugerah Nontji)

29

per­mu­ka­an sering terjadi angin dan ombak, maka lapisan permukaan umumnya teraduk secara merata hing­ga suhu di tempat itu kurang lebih homogen sam­pai kedalaman sekitar 50-70 m. Oleh ka­rena itu, lapisan atas itu sering pula di­se­but sebagai lapisan homogen. Pada per­air­an dang­kal, seluruh kolom air dapat te­r­a­duk merata secara sempurna hingga seluruhnya bersifat ho­mo­ gen sampai ke dasarnya. Suhu permukaan laut di Indonesia se­be­­ narnya juga mengalami variasi yang di­­­se­­­bab­ kan perubahan cuaca, meskipun pe­r­­­u­bah­­an itu relatif kecil. Di Teluk Jakarta mi­­­sal­­­nya, pada Musim Pancaroba bulan April dan Oktober angin umumnya teduh, hing­­­­ga pemanasan oleh matahari terjadi de­­­­ngan lebih kuat, dan karenanya suhu air per­­­­muka­­ an pada saat itu sedikit lebih tinggi da­ri­­pada di bulan-bulan lainnya. Di bawah lapisan homogen terdapat la­ pisan termoklin, di mana suhu menurun de­ ngan cepat terhadap kedalaman. Karena su­ hu yang turun menyebabkan densitas (berat jenis) meningkat, maka lapisan termoklin ini

merupakan lapisan dengan lonjakan densi­tas yang sangat menyolok. Perubahan densitas ini dapat diperkuat lagi karena di lapisan ini pun salinitas sering meningkat dengan ta­ jam pula. Karena adanya lonjakan densitas ini maka air di lapisan atas yang ringan ti­dak dapat bercampur dengan air di lapisan ba­ wahnya yang lebih berat. Oleh karena itu la­pisan ini sering pu­la disebut lapisan pegat (dis­continuity layer), karena mencegah percam­puran antara la­pis­ an atas dan lapisan ba­wah. Dalam hal terjadi penaikan air dari ba­wah (upwelling), lapisan termoklin yang me­rupakan lapisan pegat akan bergerak naik ke atas. Di bawah lapisan termoklin, baru terda­ pat lapisan yang dingin dengan suhu yang ber­angsur-angsur turun menurut ke­­­dalam­ an. Jadi pada kedalaman sekitar 1.000 m suhu biasanya sekitar 5o C, dan pa­­da ke­­ dalaman 4.000 m suhu berkisar 1-2o C. Ber­ beda dengan perairan di lapisan per­muka­­ an, lapisan di bawah termoklin sudah ti­­dak terpengaruh oleh kondisi cuaca di per­muka­ an.

B. Salinitas 1. Garam dan salinitas Air adalah pelarut yang sangat baik. Oleh karena itu sangat banyak zat yang da­ pat terlarut dalam air laut. Hampir semua un­sur kimia alami terdapat dalam air laut, mes­­kipun kadarnya sangat kecil. Tetapi di sam­ping itu terdapat juga berbagai jenis garam yang terlarut dalam air laut. Rasa asin pada air laut itu disebabkan karena adanya garam-garam yang ter­kan­ dung dalam air laut. Garam yang paling ba­ nyak terdapat dalam air laut adalah garam Natrium klorida (NaCl) atau disebut pula garam dapur. Tetapi selain itu terdapat pula berbagai garam lainnya seperti garam-ga­ram magnesium, kalium, kalsium, dan se­bagai­ 30

Gambar 3-5 Pembuatan garam secara tradisional di Jeneponto (Sulawesi Selatan). (Sumber: Kom­pas 28/10/06)

nya. Petani tambak memproduksi garam de­ngan jalan memasukkan air laut ke dalam tam­bak-tambak, kemudian airnya diuapkan de­ngan pemanasan sinar matahari, hingga akan diperoleh endapan garam. Banyaknya kandungan garam dalam sa­tu satuan air laut lazim disebut salinitas. Am­billah seliter air laut, kemudian panaskan atau uapkan hingga semua airnya habis dan tinggal kristal putih saja. Itulah garamga­ram dari air laut. Apabila total padatan garam itu ditimbang dan beratnya misalnya 30 g, maka salinitasnya adalah 30 g/liter. Satuan g/liter adalah satuan salinitas yang lazim digunakan dalam oseanografi, yang sering pula ditulis dengan satuan ‰ (baca: permil). Penentuan salinitas seperti tersebut di atas tentulah tidak praktis. Ada berbagai cara dan istilah yang di­gunakan untuk memberi nama air ber­ dasarkan salinitasnya. Salah satu misalnya: di­sebut air tawar bila salinitasnya 0-0,5 ‰, air payau 0,5-17 ‰, dan air laut bila le­bih dari 17 ‰.

ki­an akan mudah mendapatkan gam­baran profil salinitas dan suhu di suatu perairan.

3. Variasi salinitas Di perairan samudera terbuka, salinitas umumnya berkisar antara 34-35 ‰. Di per­ air­an pantai, karena terjadi pengenceran dan pengaruh aliran sungai, salinitas bisa tu­run rendah, misalnya sampai 20 ‰ atau le­bih rendah. Sebaliknya di perairan dengan penguapan yang sangat kuat, salinitas bisa meningkat tinggi. Di Laut Merah, Saudi Ara­­ bia, karena suhu dan penguapan yang ting­ gi, salinitas bisa sampai 40 ‰. Air Tawar

Air Laut A

0

Air Tawar 5

Di kapal-kapal riset oseanografi modern sekarang banyak dipakai alat yang disebut CTD (Conductivity, Temperature, Depth re­ cor­der) yang dapat langsung merekam data kon­duktivitas (yang langsung dikon­versi menjadi salinitas), suhu dan kedalaman se­ cara berterusan (continuous). Dengan de­mi­

20 Air Laut 30

B

2. Penentuan salinitas Dalam oseanografi, salinitas dapat diten­ tukan dengan berbagai cara baik secara kimia maupun secara fisika. Sekarang ini ca­ra praktis yang banyak dilakukan adalah de­­ngan mengukur konduktivitas atau daya hantar lis­triknya (electrical conductivity), dengan dasar pertimbangan bahwa konduktivitas sejalan dengan kadar garam dalam air. Jadi makin tinggi kadar garam (salinitas), makin tinggi pula konduktivitasnya. Dengan kata lain, bila konduktivitasnya dapat diukur ma­ ka salinitasnya pun dapat diketahui.

10

Pasang

Surut

10 20

Air Laut

30

C

Gambar 3-6 Tiga jenis struktur salinitas di daerah mua­ra. A. Dengan stratifikasi kuat; B. Dengan stra­tifikasi sedang; C. Dengan pencampuran vertikal. Ga­ris dengan angka menunjukkan nilai salinitas yang sama. (Sumber: Anugerah Nontji)

Perairan di depan muara sungai dapat mempunyai struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan air ta­war yang relatif ringan dan air laut yang le­bih berat, juga pengadukan air sangat me­­ nen­tukan. Beberapa kemungkinan ditunjuk­ kan dalam Gambar 3-6. Pertama, adalah perairan dengan stra­ti­ fi­kasi salinitas yang kuat, terjadi di mana air ta­war yang ringan merupakan lapisan tipis se­­­olah-olah mengambang di permukaan, se­­­ 31

dangkan di bawahnya terda­pat air laut yang lebih berat. Keadaan semacam ini bisa ditemukan di depan muara sungai besar yang alirannya kuat sedangkan pengaruh pasang-surut ke­ cil. Lapisan air tawar di permukaan ini dapat me­luas sampai jauh ke lepas pantai. Kedua, adalah perairan dengan stra­ti­fi­ kasi sedang. Ini terjadi karena adanya gerak pa­sang-surut yang menyebabkan terjadinya pe­ngadukan pada kolom air hingga terjadi pe­campuran air secara vertikal, tetapi tidak sempurna. Di permukaan, air dengan sa­li­ni­ tas lebih rendah cenderung mengalir ke­luar, sedangkan air laut yang lebih berat merayap masuk dari bawah. Antara kedua­­­nya terjadi percampuran. Akibatnya garis isohalin (garis yang menghubungkan salini­tas yang sama) mempunyai arah yang con­dong ke luar. Keadaan semacam ini ju­ga bi­sa dijumpai di beberapa perairan di de­pan mua­ra sungaisungai Sumatera dan Kali­man­tan. Ketiga, adalah perairan dengan pe­ng­ aduk­an vertikal yang kuat, yang disebab­kan oleh gerak pasang-surut hingga meng­aki­ T (suhu)oC 0

0 2

4

6

8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

100 200

Kedalaman m

300

S

T

400 500 600 700 800 900

1000 34,2

34,3

34,4

S (Salinitas) ‰

34,5

Gambar 3-7 Profil suhu dan salinitas di Laut Banda. (Sumber: Tomascik dkk, 1997)

32

34,6

bat­kan perairan menjadi homogen secara ver­tikal. Karena berada di bawah kendali pa­­sang-surut maka salinitas di semua titik da­pat berubah dengan drastis, bergantung pa­da kedudukan pasang-surut. Pada saat su­ rut, salinitas didominasi oleh air tawar yang datang dari sungai, sedangkan pada saat pasang, masuknya air lautlah yang banyak menentukan salinitas. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula mengadakan pengadukan di lapisan atas sampai kedalaman 50-70 m atau lebih, bergantung pada kekuatan angin dan intensitas pengadukan. Seperti pada se­baran vertikal suhu yang menunjukkan ter­­­moklin, sebaran vertikal salinitas pun da­ pat terjadi pelonjakan di bawah lapisan ho­ mo­­gen. Hal ini akan memperkuat ter­jadinya la­pisan pegat (discontinuity layer) yang meng­­­hambat bercampurnya air la­pis­an da­ lam dengan lapisan permukaan. Gambar 37 menunjukkan profil suhu dan salinitas di Laut Banda.

4. Salinitas permukaan di Indonesia Pada tahun 1950-1954 telah diadakan survei salinitas di seluruh perairan Indonesia dengan melibatkan kapal-kapal niaga KPM (cikal bakal PELNI sekarang) dan pe­rusa­ha­ an pelayaran lainnya yang melayari perairan seantero Indone­sia. Kapal-kapal ini dalam pelayarannya me­­­ ngum­pulkan contoh-contoh air per­mukaan ke dalam botol, yang kemudian diana­li­ sis salinitasnya oleh Lembaga Penelitian Laut, Jakarta. Hasilnya telah dipetakan dan mem­berikan hasil yang menarik. Ter­nya­ta po­la sebaran salintas di Indonesia sa­ngat di­pengaruhi oleh angin atau muson (mon­ soon). Pada Musim Barat (Desember hingga Februari) bertiup angin dari barat ke timur. Musim ini dikenal juga sebagai musim hujan

100o

110o

120o

130o

140o

100o

110o

120o

130o

140o

20o

20o

20o

20o

FEBRUARI FEBRUARI

10o

10o

10o

10o

0o

0o

0o

0o

10o

10o

10o

10o

100o 100o

110o 110o

120o 120o

130o 130o

140o 140o

100o 100o

110o 110o

120o 120o

130o 130o

140o 140o

20o

20o

20o

20o

AGUSTUS AGUSTUS

10o

10o

10o

10o

0o

0o

0o

0o

10o

10o

10o

10o

100o

110o

120o

130o

140o

100o

110o

120o

130o

140o

Gambar 3-8 Sebaran rata-rata salinitas di permukaan perairan Nusantara dan sekitarnya pada bulan Februari (atas) dan Agustus (bawah). Warna biru = air samudera (> 34 o/oo); hijau = air campuran (32 – 34 o/oo); kuning = air pesisir (30 -32 o/oo,) merah = air “sungai” (< 32 o/oo,). (digambar kembali dari Wyrtki, 1961).

tak menentu, tetapi pada umumnya teduh dan tenang. Pola sebaran salinitas ini, yang sangat dipengaruhi oleh musim, sangat nyata ter­ lihat di Laut Jawa. Pada Musim Barat hampir seluruh Laut Jawa terisi dengan salintas rendah sekitar 31-32 o/oo, dan mendorong air dengan salinitas yang lebih tinggi ke arah timur. Sebaliknya pada Musim Timur, air dengan salinitas tinggi masuk dari timur (dari arah Selat Makassar dan Laut Flores) dan mendesak air dengan salinitas rendah ke barat, hingga Laut Jawa mempunyai salinitas sekitar 32-34 o/oo.

5. Dampak perubahan salinitas pada perikanan Terjadinya pola perubahan salinitas se­ cara musiman ini di Laut Jawa, menye­bab­­ kan ikan-ikan yang senang pada salinitas ter­tentu juga bermigrasi mengikuti pola se­­baran salinitas. Ikan layang (Decapterus) di Laut Jawa misalnya, dikenal sebagai ikan yang bermigrasi ke timur pada Musim Barat, dan kembali bermigrasi ke barat pada Musim Ti­mur. Banyak nelayan kita yang memahami pe­ri­laku migrasi ikan ini, dan karenanya mu­ sim penangkapannya juga disesuaikan.

(Sumber: Anugerah Nontji)

yang menyebabkan sungai mengalirkan le­ bih banyak air ke laut (terutama dari Pu­lau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa), dan ka­ rena­nya menurunkan salinitas di Laut Jawa. Jadi pada musim ini air dengan sali­ni­tas ren­ dah mengalir menuju ke timur. Seba­lik­nya pa­da Musim Timur (Juni hingga Agustus), angin yang lebih kering bertiup dari timur ke barat. Bersama dengan itu maka air de­ngan salinitas lebih tinggi mengalir dari ti­mur ke barat, mendesak mundur salinitas yang lebih rendah. Musim-musim di antara ke­­ duanya dikenal sebagai Musim Pancaroba, biasa­nya disertai dengan kondisi angin yang

Gambar 3-9 Ikan layang (Decapterus) bermigrasi setiap terjadi perubahan salinitas. (Sumber: tdyk.cool.ne.jp)

33

C. Gas Terlarut dalam Laut

1. Oksigen Di antara gas-gas yang terlarut dalam air, oksigen mempunyai peranan yang sa­ ngat penting karena sangat diperlukan oleh semua makhluk hidup di dalam laut. Umum­ nya gas oksigen banyak dijumpai di lapisan per­­muka­an karena oksigen dari atmosfer da­pat langsung terserap atau terdifusi ke da­ lam air. Selain dari udara, sumber oksigen ju­ga bi­ sa berasal dari tumbuhan dalam laut, seperti rum­­put laut dan fitoplankton. Fito­plank­ton ada­lah tumbuhan renik (mikroskopis) yang hidup­nya melayang dalam air. Untuk ke­hi­ dup­annya, selu­ruh tum­buhan melak­sa­na­­ kan fotosintesis, di mana bahan anorganik di­ubah menjadi bahan organik dengan ada­ nya energi cahaya matahari. Dalam proses fo­to­­sintesis itu, selain dihasilkan bahan or­ ganik juga dihasilkan gas oksigen. Kadar oksigen di lapisan permukaan laut berkisar sekitar 4-5 ml/l (mililiter per li­ ter), tetapi di lapisan-dalam kandungannya ber­kurang. Dengan adanya sirkulasi yang ter­­jadi di dalam laut maka seluruh laut, sam­­pai di bagian laut yang terdalam, masih me­­ngandung oksigen, meskipun kadarnya ren­­dah. Pada kedalaman sekitar 1.000 m mi­ sal­­nya, masih dapat dijumpai oksigen sekitar 2 ml/l. Namun ini sudah cukup un­tuk dapat me­­­nunjang adanya kehidupan di dasar laut yang dalam. Di Palung Jawa (Samudera Hin­­­ 34

0

10

20

30

TELUK KAU 0

2.0

100

40

50

60

70

km

S A M U D R A PA S I F I K 3.0

4.0

4.5 3.5

1.5 1.0

200 Kedalaman m

Selain berbagai jenis garam, beberapa jenis gas yang terdapat dalam atmosfer se­ perti nitrogen (N2), oksigen (O2), dan karbon dioksida (CO2) dapat terlarut dalam laut, meskipun tentunya kadarnya lebih rendah. Di dalam laut, perbandingan komposisinya da­lam prosentase volume kurang lebih: ni­ trogen 78,08%, oksigen 20,99%, dan kar­ bon­dioksida 0,03%.

0.5 0.25

300 400

TELUK KAU

0.0 3.0

H 2S

500

HALMAHERA

600

Gambar 3-10 Sebaran vertikal oksigen (ml/l) dan Hidrogen Sulfida (H2S) penampang dari Teluk Kau (Halmahera) ke Samudera Pasifik di luarnya. (Sumber: Anugerah Nontji)

dia di selatan Jawa) yang dalamnya le­bih 7.000 m dan di Palung Mindanao dekat Fili­ pina yang dalamnya lebih 10.000 m, masih ter­­dapat oksigen yang dapat menunjang ke­ hidup­an hewan-hewan laut di dasarnya. Akan tetapi bila suatu lubuk bersifat ter­tutup dan sirkulasi tidak dapat terjadi de­ ngan baik maka pasokan oksigen ke dasar­ nya akan terhambat dan menimbulkan kon­ disi yang namanya anoksik, atau kehabisan ok­si­gen. Keadaan semacam ini terjadi di Te­ luk Kau, Halmahera (Maluku Utara). Topografi dasar laut teluk ini berbentuk seperti mangkok, dengan kedalaman mak­­­­si­ mum 500 m. Tetapi mulut teluknya sangat sempit dan dangkal, sekitar 50 m sa­ja. Ka­ rena pintu masuk yang sempit dan dang­­kal ini maka air dari Samudera Pasifik di luar­nya ter­­­halang untuk memberikan venti­lasi atau pe­­nyegaran air ke dasar lubuk. Akibat­nya ok­­sigen di lubuk ini semakin dalam se­makin ce­pat menipis dan akhirnya pada kedalaman 350-400 m oksigen telah habis. Dan sebagai gantinya terdapat gas hidrogen sulfida (H2S) yang beracun. Jadi di dasar lubuk ini tak di­jumpai adanya kehidupan hewan, mes­ki­ pun kedalamannya hanya sekitar 500 m. Ke­

hidupan fauna di Teluk Kau ini hanya ter­da­ pat di lapisan permukaan.

terurai meng­hasil­kan ion bikarbonat dan selanjutnya meng­hasilkan ion karbonat.

2. Karbon dioksida

Sistem karbon dioksida – asam karbonat – ion bikarbonat merupakan suatu sistem ki­ mia yang kompleks yang cenderung ber­ada dalam keseimbangan. Sistem ini menen­tukan de­rajat keasaman yang lazim disebut pH. Ni­ lai pH yang normal adalah 7, sedangkan pH di bawah 7 bersifat asam, sedangkan pH di atas 7 bersifat basa. Air laut biasanya mem­ pu­nyai nilai pH berkisar 7.5 sampai 8.4.

Kelarutan karbon dioksida agak berbeda dengan oksigen, karena gas ini bereaksi se­ cara kimia di dalam air. Karbon dioksida me­ limpah dalam air laut dan kapasitas laut untuk menyerap gas ini cukup besar. Hal ini terjadi karena karbon dioksida, keti­ka masuk ke air laut, bereaksi dengan air dan menghasilkan asam karbonat. Asam karbonat selanjutnya

D. Cahaya Cahaya yang bersumber dari matahari mempunyai peranan yang sangat pen­ting karena merupakan sumber energi yang me­ nen­tukan berfungsinya seluruh eko­sistem di laut. Pertama, sinar mata­hari merupakan sum­ber radiasi panas yang meng­hangatkan su­hu di permukaan laut. Kedua, sinar mata­ hari juga sangat dibutuhkan untuk proses fo­ to­sintesis tumbuhan di laut. Proses fotosintesis di laut terutama ter­ jadi pada fitoplankton, yakni tumbuhan re­nik yang hidup melayang di laut. Energi ca­haya yang disadap oleh fito­plankton lewat foto­ sintesis, merupakan pangkal yang men­du­ kung keberadaan sebagian besar hewan laut lewat jalur rantai makanan (food chain).

uraikan menjadi susunan warna pelangi yang terdiri dari warna ungu/vio­­let dengan pan­jang gelombang 390-422 nm, biru 422492 nm, hijau 492-535 nm, ku­ning 535-586 nm, jingga atau oranye 586-647 nm, dan me­rah 747-760 nm. Cahaya matahari yang menembus laut me­­ngalami dua perubahan penting. Pe­r­ta­ ma, intensitasnya akan semakin ber­kurang se­­cara eksponensial (deret ukur), dan kedua, le­bar spektrumnya semakin sempit.

2. Zonasi vertikal

1. Penetrasi cahaya ke dalam laut Cahaya matahari yang jatuh ke permuka­­ an laut sebenarnya berupa gelombang elek­­­­ tro­magnetik yang mempunyai spektrum yang sangat lebar, dengan panjang gelom­­­­ bang berkisar 300-2500 nm (1 nm = 1 nano­ meter = 10 -9 m), yang men­cakup spek­trum da­ ri sinar ultra violet hing­ga sinar infra merah. Te­tapi sinar yang da­pat me­nem­bus ke dalam laut hanyalah spek­trum cahaya tampak (vi­ si­ble light) dengan pan­jang gelombang ber­kisar 390-760 nm. Ca­ha­ya tampak yang ber­warna putih pada ha­kekatnya dapat di­

ZONA EUFOTIK ZONA DISFOTIK ZONA AFOTIK

Gambar 3-11 Zona vertikal di laut berdasarkan daya tembus sinar surya. Zona eufotik: zona terang de­ngan intensitas yang masih cukup untuk terjadi­nya fo­to­sintesis. Zona disfotik: zona redup, intensitas ca­ha­ya sangat lemah. Zona afotik: zona yang gelap gu­lita. (Sumber: Anugerah Nontji)

35

zona efufotik ini di samudera bisa sampai sekitar 150 m, te­tapi di perairan pantai hanya beberapa puluh me­ter, bahkan di perairan yang keruh bisa kurang dari 1 meter. Jadi meskipun laut di bumi ini mempunyai kedalaman sampai ri­buan meter (rata-rata sekitar 3.800 m), te­tapi yang produktif dapat menghasilkan ba­han organik (lewat proses fotosintesis) re­latif sangat tipis, hanya seki­ tar 100-150 m ter­atas saja. Di bawahnya me­ ru­­pakan ruang laut yang gelap gulita.

3. Pengukuran cahaya

30 cm

Gambar 3-12 Pengukuran kecerahan air laut. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Kecerahan air laut dapat diukur secara sederhana dengan cakram Secchi (Secchi disc) yang berupa lempeng putih berdiameter 30 cm, yang di­­­­tu­run­kan ke dalam laut dan diamati dari atas hing­­­­ga lempeng itu tepat hilang dari penglihatan. Ke­da­­­lam­­an pada saat hilangnya lempeng dari peng­li­hatan adalah kedalaman Secchi.

Karena intensitas cahaya yang menem­ bus laut semakin dalam semakin berkurang, maka secara vertikal, kondisi cahaya dalam laut dapat dibagi menjadi zona terang (zona fotik) dan zona gelap (zona afotik). Zo­na fo­tik sendiri terdiri dari zona eufotik dan zo­­na disfotik. Pada zona eufotik, kon­di­si ca­ ha­yanya masih cukup kuat untuk berlang­­­ sungnya proses fotosintesis. Pada zona dis­­­­­fotik cahaya sudah sangat redup dan foto­­ sin­­­tesis sudah tak dapat terjadi secara po­si­ tif. Di bawahnya adalah zona afo­tik yang ge­lap gulita. Tebalnya zona eu­fotik di­per­ kira­kan sampai pada kedalaman di mana intensitas ca­ha­ya tinggal 1% dari intensitas ca­haya yang ja­tuh di permukaan. Tebalnya 36

Sekarang orang dapat mengukur in­ten­­­­ sitas cahaya dalam laut dengan alat cang­gih yang disebut light meter. Tetapi in­ten­sitas cahaya dalam laut dapat juga di­per­kirakan de­ngan cara sangat sederhana, yakni de­ ngan mengukur kecerahannya (trans­paren­ cy) meng­gunakan cakram Secchi (Secchi disc). Ca­kram ini terdiri dari lempeng bundar ber­­­warna putih dengan diameter 30 cm, dan di­beri pem­berat agar mudah di­tu­runkan ke laut, dan digantung pada seutas tali yang su­­ dah diberi skala dengan ukuran me­ter. Bila cakram Secchi diturunkan ke dalam laut, dan diamati dari atas, maka pada ke­da­lam­­ an tertentu cakram itu akan hilang dari pan­­ dangan. Kedalaman (m) pada saat cakram itu te­­pat hilang dari pandangan disebut ke­da­ lam­­an Secchi, atau kecerahan. Di perairan sa­­mu­dera kedalaman Secchi bisa sampai 30-40 m, tetapi di perairan pantai yang ke­ ruh hanya beberapa meter saja, bahkan bi­sa kurang dari satu meter. Dari banyak pe­nga­ laman dapat diperkirakan tebalnya zona eu­ fo­tik di suatu perairan itu kurang lebih tiga kali ke­dalaman Secchi.

4. Warna air laut Ketika cahaya matahari menembus ma­ suk ke dalam laut, kualitasnya juga akan ber­­­­ ubah, karena spektrum warna pelangi yang menyusunnya, diserap tidak seragam oleh

air, hingga warnanya pun bergeser menjadi se­makin hijau.

Gambar 3-13 Perbedaan warna air laut karena perbedaan spektrum warna cahaya matahari. (Sumber: Anugerah Nontji)

air laut. Warna ungu dan warna merah mi­ sal­nya diserap pada lapisan tipis di per­­­muka­ an. Makin dalam makin banyak war­­­­na yang terserap, hingga makin sempit le­­­bar spek­ trum yang dapat menembus, dan ak­hir­­nya mengerucut pada warna biru. War­­na yang dapat kita indra adalah war­ na yang di­­pan­tul­­kan yang diterima oleh ma­ ta kita. Karena warna lain telah diserap dan ting­­gal warna biru yang tersisa yang dapat di­­pantul­kan, maka kita melihat laut yang ber­sih itu berwarna biru-laut. Makin dekat ke pantai makin banyak plankton, partikel lum­pur, dan bahan terlarut lainnya dalam

Pada saat-saat tertentu dapat dijumpai ledakan populasi fitoplankton di laut hingga menyebabkan laut berwarna sesuai pigmen yang banyak dikandung oleh fitoplankton tersebut. Laut Merah di Saudi Arabia misal­ nya, mendapatkan namanya karena di per­ airan ini sering dijumpai ledakan populasi fi­­to­­plankton Trichodesmium erythraeum yang mengandung pigmen merah. Di Te­luk Ja­­­­kar­­­ta sering dijumpai ledakan popu­la­si fito­ plankton Noctiluca scintillans yang menye­ bab­­kan air laut berwarna hijau pekat.

Gambar 3-14 Perubahan warna laut menjadi hijau karena ledakan populasi fitoplankton Noctiluca scintillans. (Sumber: funscience.gistda.or.th)

E. Tekanan Hidrostatik Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang disebabkan karena tekanan air yang se­­tara dengan tinggi kolom air di atasnya. Se­tiap turun sedalam 10 m ke dalam laut, tekan­an hidrostatik akan meningkat setara Gambar 3-15 Tekanan hidrostatik. Gambar kiri: Seorang teknisi me­numpangkan mangkok Pop Mie yang terbuat dari styrofoam pada alat CTD yang diturunkan di Pa­­lung Senunu (Samudera Hindia, selatan Sumbawa) sam­­pai sedalam 3.500 m. Setelah diangkat kembali, mang­­kok tersebut menciut ukurannya setelah men­dapat­kan tekanan hidrostatik yang besar. Gambar kanan: Ukuran mangkok yang normal. (Sumber: Anugerah Nontji)

37

ku­rang lebih 1 atmosfer. Apabila seseorang menyelam sampai sedalam 20 m maka ia akan menerima tekanan sebesar kurang le­ bih 2 atmosfer yang menekan seluruh tubuh­­ nya. Itu sebabnya seorang penyelam tak da­pat menyelam sampai kedalaman yang sa­ngat dalam. Hewan yang hidup di dasar laut di Palung Mindanao (sekitar perbatasan Indonesia-Fili­ pina) yang dalamnya sekitar 10.000 m, ber­

arti mengalami tekanan hidrostatik sebe­sar 1.000 atmosfer, atau setara sekitar 1000 kg/cm2 (bayangkan tekanan berat sekitar sa­ tu mobil kijang per cm2). Hewan yang hi­dup di dasar laut-dalam itu antara lain ber­bagai jenis teripang, krustasea, cacing, dan lain­ nya. Hewan-hewan laut-dalam ini telah ber­ adaptasi hidup dalam tekanan yang sangat tinggi itu. Justru jika dibawa ke permukaan mereka akan mati.

Ringkasan Suhu •

Suhu air laut pada berbagai kedalaman dapat diukur dengan termometer yang dibuat khusus untuk tujuan itu. Selain itu suhu permukaan laut dapat pula diindra dengan satelit.



Suhu di permukaan sampai lapisan tertentu umumnya hangat dan homogen. Di bawahnya terdapat lapisan termoklin di mana suhu turun cepat terhadap ke­ dalaman. Di bawah lapisan termoklin terdapat air bersuhu dingin.



Suhu permukaan laut di Indonesia (yang terletak di daerah tropis) pada umum­ nya mempunyai variasi yang relatif kecil. Variasi terutama disebabkan karena pengaruh cuaca.



Di lokasi terjadinya upwelling (penaikan air) suhu permukaan laut menjadi lebih dingin pada saat upwelling terjadi.

Salinitas •

Salinitas adalah total kandungan garam dalam satu satuan air laut. Komponen garam yang terbesar adalah garam natrium klorida (NaCl).



Salinitas air laut dapat ditentukan baik secara fisika maupun secara kimia.



Salinitas di perairan samudera berkisar 34-35 o/oo (g/kg), sedangkan di daerah pantai lebih rendah, bergantung pada pengaruh aliran sungai dari daratan.



Salinitas di lapisan dalam lebih tinggi dari pada di permukaan.



Salinitas permukaan di Indonesia dipengaruhi oleh musim atau muson (monsoon). Pada Musim Barat yang merupakan musim hujan, salinitas umumnya lebih rendah dari pada di Musim Timur yang kemarau.



Pola sebaran salinitas permukaan ditentukan pula oleh pola angin musim.

38

Gas terlarut •

Gas terlarut yang penting di dalam laut adalah oksigen dan karbon dioksida.



Sumber oksigen yang terlarut adalah dari atmosfer. Selain itu dalam jumlah lebih kecil oksigen dapat pula dihasilkan oleh tumbuhan air lewat proses fotosintesis.



Keberadaan oksigen merupakan kunci keberadaan makhluk hidup dalam laut.



Oksigen masih dapat dijumpai pada lapisan laut yang terdalam. Tetapi bila ven­ tilasi terhalang (karena bentuk topografi dasar laut), maka oksigen di dasar dapat ber­kurang sampai nihil (kondisi anoksik) hingga tak ada hewan yang bisa hidup di situ.



Kandungan karbon dioksida dalam laut dapat menentukan derajat keasaman (pH) air laut.

Cahaya •

Cahaya matahari merupakan sumber energi yang sangat penting dalam laut. Cahaya matahari yang menembus laut mengakibatkan intensitasnya semakin berkurang secara eksponensial. Selain itu spektrumnya pun semakin menyempit ke arah warna biru.



Dilihat dari kondisi cahayanya, kedalaman laut dapat dibagi menjadi zona eufotik (yang terang), disfotik (remang-remang), dan afotik (gelap gulita).



Pengukuran kecerahan dalam laut dapat dilakukan dengan sederhana meng­ gunakan cakram Secchi (Secchi disc).



Perubahan warna air laut dapat disebabkan karena plankton, partikel lumpur atau sedimen, atau bahan-bahan terlarut lainnya.

Tekanan hidrostatik •

Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang disebabkan karena tekanan air yang setara dengan tinggi kolom air di atasnya. Setiap turun 10 m ke dalam laut, tekanan hidrostatik meningkat setara kurang lebih 1 atmosfer.



Hewan yang hidup di dasar laut-dalam mengalami tekanan hidrostatik yang sangat besar.

39

Soal Pilihlah salah satu jawaban yang benar! 1. Yang dimaksud dengan termoklin adalah: a. Suhu air yang sangat dingin b. Suhu air yang hangat c. Lapisan di mana suhu turun cepat dalam kolom air d. Lapisan yang homogen e. Naiknya air ke permukaan 2. Mengapa suhu penting bagi kehidupan makhluk hidup di laut? a. Karena suhu mengendalikan berfungsinya organ-organ biota laut b. Karena suhu yang hangat membuat air menguap c. Karena suhu di lapisan dalam lebih dingin dari di permukaan d. Karena suhu menentukan berat jenis e. Karena makhluk hidup bisa hidup pada segala tingkat suhu 3. Dapatkah suhu air laut diukur dari satelit? a. Suhu permukaan laut dapat diukur dengan menggunakan satelit b. Satelit digunakan hanya untuk memetakan permukaan daratan c. Suhu air laut dapat diukur hanya dengan langsung mengukurnya di laut d. Suhu dapat diukur dengan barometer e. Suhu air laut tidak mengalami perubahan menurut musim 4. Apa yang dimaksud dengan salinitas? a. Salinitas adalah plankton yang hidup di laut dalam b. Salinitas adalah air laut yang berubah warna c. Salinitas adalah seluruh garam yang terkandung dalam air laut d. Salinitas adalah berat jenis air di permukaan 5. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan salinitas di laut menurun atau me­ ningkat? a. Gerakan ombak b. Terjadinya tsunami c. Pasang surut d. Erosi yang terjadi di pantai e. Banyaknya aliran air sungai ke laut 40

6. Apa kaitan musim hujan dengan sebaran salinitas di laut? a. Musim hujan dapat meningkatkan salinitas air laut b. Musim hujan dapat menurunkan salinitas air laut c. Musim hujan tak ada kaitannya dengan salinitas d. Musim hujan akan menyebabkan perubahan pasang surut e. Musim hujan umumnya terjadi di Indonesia di pertengahan tahun 7. Dari manakah asal oksigen yang terdapat di dalam laut? a. Dari udara b. Dari hasil fotosintesis tumbuhan air c. Dari bahan pencemar d. Dari pantai yang berlumpur e. Dari berbagai kegiatan perikanan 8. Apakah di dasar laut yang terdalam masih terdapat oksigen? a. Di dasar laut yang terdalam tak mungkin ada oksigen b. Di dasar laut yang terdalam masih terdapat oksigen c. Oksigen tak diperlukan oleh hewan laut-dalam d. Oksigen dihasilkan dari hasil pencemaran e. Kadar oksigen dalam laut lebih tinggi dari di udara 9. Apa yang dimaksud dengan zona fotik? a. Zona fotik adalah lapisan laut yang masih dapat ditembus oleh sinar surya b. Zona fotik adalah lapisan yang gelap gulita c. Zona terlarang untuk menangkap ikan d. Zona yang dikelola untuk perikanan e. Zona bebas untuk melakukan kegiatan apa pun di laut 10. Mengapa laut tampak berwarna biru? a. Karena warna biru yang paling banyak dipantulkan oleh air laut b. Karena dalam air banyak terkandung plankton c. Karena terjadinya pencemaran d. Karena sedimentasi e. Karena erosi pantai

41

11. Apa yang dimaksud dengan tekanan hidrostatik? a. Tekanan hidrostatik adalah tekanan udara di atas laut b. Tekanan hidrostatik adalah tekanan yang diakibatkan oleh adanya kolom air c. Tekanan yang menyebabkan benda terapung d. Tekanan yang mengakibatkan kenaikan permukaan laut e. Tekanan yang ditimbulkan oleh pasang surut Jawablah pertanyaan di bawah ini. 1. Jelaskan dengan contoh, apa yang dimaksud dengan tekanan hidrostatik. 2. Bagaimana cara mengukur intensitas cahaya di dalam laut dengan metode sederhana. 3. Apa yang dimaksud dengan salinitas dan jelaskan cara organisme beradaptasi dengan perubahan salinitas, misalnya ikan. 4. Jelaskan mengapa warna air laut bisa berubah-ubah.

Tugas 1. Ukurlah suhu udara dan suhu air laut secara berkala setiap jam se­la­ma sehari penuh. Diskusikan hasil yang diperoleh. Bagaimana hasi­l­nya bila pengukuran itu dilakukan di kobakan air yang terisolir dari laut lepas. 2. Ambillah seliter air laut, kemudian panaskan hingga semua airnya menguap. Timbanglah berat kristal yang tertinggal. Berapa salinitas air laut itu? 3. Buatlah lempengan bundar dari papan berdiamter 30 cm, di cat pu­tih, dan diberi pemberat di bawahnya. Turunkan ke dalam laut de­ngan tali yang telah diberi skala meter. Amati dari permukaan. Pada ke­da­laman berapa lempeng itu menghilang dari pandangan? Lakukan di perairan laut yang jernih dan yang keruh. Adakah bedanya? Nilai yang diperoleh menunjukkan tingkat kecerahan air laut.

42

Glosari

Cakram Secchi = cakram putih yang digunakan untuk mengukur kecerahan air.



Perum gema (echosounder) = alat untuk mengukur kedalaman laut dengan prinsip perambatan dan pemantulan bunyi dalam air.



Salinitas = kadar garam air laut.



Termoklin = lapisan di mana suhu turun cepat terhadap kedalaman.



Upwelling = proses penaikan air dari lapisan dalam ke permukaan, yang dapat menyuburkan perairan permukaan.



Zona afotik = lapisan laut yang gelap gulita.



Zona fotik = lapisan laut yang masih mendapat sinar matahari.



Tekanan hidrosatik = tekanan air yang besarnya tergantung pada tinggi kolom air.

43

Bab 4 Dinamika Laut Standar Kompetensi • Mampu memahami pergerakan arus laut.

Kompetensi Dasar • Mampu menjelaskan pengertian arus laut. • Mampu menjelaskan pola arus laut di samudera dunia dan perairan Indonesia. • Mampu membedakan proses terjadinya upwelling dan downwelling. • Mampu mendeskripsikan Arlindo (Arus Lintas Indonesia)

• Mampu memahami keadaan gelombang.

• Mampu mengidentifikasikan terjadinya gelombang laut. • Mendeskripsikan model gelombang laut sederhana. • Mengidentifikasikan macam-macam gelombang.

• Mampu memahami pasang surut.

• Mampu menjelaskan model pasang-surut. • Mampu mendeskripsikan kisaran pasang-surut. • Mampu membedakan pasang surut purnama dan perbani. • Mampu mendeskripsikan pola pasang surut.

• Mampu memahami hubungan cuaca dan laut.

• Mampu mengidentifikasi macam-macam angin • Mampu menceritakan tentang siklon tropis, angin musim, angin laut, dan angin darat. • Mampu mendeskripsikan el-nino dan la-nina.

44

Peta Konsep Dinamika laut D I B E DA K A N ATA S

Arus MENCAKUP

Pengukuran arus Pola arus di samudera dunia Pola arus permukaan di perairan Indonesia Upwelling & downwelling Arlindo (Arus Lintas Indonesia) Sabuk penghantar Samudera Raya

Gelombang MENCAKUP

Penyebab terjadinya gelombang Model gelombang sederhana Gelombang angin Gelombang tsunami

Pasang Surut MENCAKUP

Model pasang surut Kisaran pasang surut Pasang surut purnama dan perbani Pola pasang surut Arus pasang surut Ramalan pasang surut

Cuaca dan laut MENCAKUP

Siklon tropis Angin musim (Muson) Angin laut & angin darat El Nino & La Nina 45

A. Arus Laut Laut tak pernah berhenti bergerak, baik di permukaan maupun di bawah­nya. Hal ini menyebabkan terjadi­nya sirkulasi air, bi­ sa berskala kecil tetapi bisa pula berukuran sangat besar. Penampilan yang paling mudah terlihat adalah arus di permukaan laut. Arus yang terjadi di permukaan laut tidak se­lalu searah dengan arus yang terjadi di la­ pisan yang lebih dalam. Ada arus yang ber­ sifat lokal saja, tapi ada pula yang mengalir lin­­tas samudera. Pengetahuan me­ngenai arus laut sa­­ngat penting, misalnya untuk kese­lamatan pe­­layaran, tetapi juga untuk perikanan, pem­­bangunan konstruksi pantai, keamanan wi­sa­ta pantai, pengelolaan ling­ kungan laut, dan sebagainya. Arus yang dapat kita saksikan di permu­­ ka­an laut merupakan gerak mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiup­ an angin, atau perbedaan dalam den­sitas air laut, atau oleh gerakan bergelombang pan­ jang. Yang di­maksud terakhir ini termasuk an­tara lain arus yang disebabkan oleh pa­ sang-surut. Arus yang disebabkan oleh pasang-surut biasanya lebih banyak diamati di perairan pantai terutama pada selat-selat atau teluk yang sempit dengan kisaran pasang-surut yang tinggi. Di laut yang terbuka, arah dan ke­kuatan arus di lapisan permukaan sangat ba­nyak ditentukan oleh angin.

1. Pengukuran arus laut Pengukuran arus laut dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi pada dasarnya da­pat terbagi dalam dua metode.

a. Metode Eulerian Merupakan cara pengukuran arus laut di­ mana alat ukurnya menetap pada sua­tu po­ sisi tertentu, dan air mengalir melewati­nya.

46

A KABEL

PENCATAT PUTARAN BALINGBALING

BALINGBALING

SIRIP

PEMBERAT

B Angin

Botol Hanyut Muka Laut

Kartu berisi catatan hadiah bagi yang menemukan botol hanyut ini

Gambar 4-1 Pengukuran arus di laut. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Pengukuran arus di laut dapat dilaksa­na­­kan dengan dua cara utama. Pertama dengan sis­tem Eulerian yakni alat ukur yang tetap pada posi­si ter­ten­tu dan arus melaluinya, misalnya alat Peng­ukur Arus Ekman (Gambar A) . Kedua, dengan sistem Lag­rangian yakni alat ukurnya ikut mengalir ber­sama arus laut, misalnya botol hanyut (drift bot­tle) (Gambar B).

Dengan cara pertama (Eulerian), berba­­ gai instrumen telah dikembangkan. Salah satunya yang pernah sangat terkenal ada­ lah Pengukur Arus Ekman (Ek­man Current Meter) yang terdiri dari ba­ling-ba­ling yang putarannya sebanding dengan kekuatan arus, sedangkan arah arus ditentu­kan dengan posisi sirip yang ter­pasang di belakang­­nya (Gambar 4-1). Ber­bagai modifikasi te­lah di­ kembangkan sesuai dengan per­kem­­­­bang­

an teknologi elektronika dan kom­­pu­ter mu­ takhir. Sekarang bahkan ada sistem mooring untuk mengukur arus yang dipasang pa­da kedalaman tertentu dan dibiarkan di­ situ me­ rekam data arus se­­cara berterusan sam­pai berbulan-bulan atau tahunan sesuai yang diprogramkan (Gambar 4-2).

b. Metode Lagrangian Merupakan cara pengukuran arus laut di mana alatnya mengalir mengikuti arus laut yang membawanya. Cara kedua (Lagrangian), dapat dilaku­kan dengan cara sederhana. Misalnya dengan meng­­­gunakan botol hanyut (drift bottle)

ARGO

Mengirim data

Tenggelam hingga kedalaman tertentu

Hanyut

Naik ke permukaan sambil mengumpulkan data

Gambar 4-3 Pengukuran arus dengan teknologi mo­­dern: mengggunakan pelampung Argo. (Sumber: Anugerah Nontji)

MOORING PELAMPUNG BAWAH PERMUKAAN

INSTRUMEN PEREKAM DATA

JANGKAR

HUBUNGAN AKUSTIK

DASAR LAUT

Gambar 4-2 Pengukuran arus dengan teknologi mo­­dern: Pengukuran arus dengan sistem mooring. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Ins­­tru­men merekam data pada kedalaman tertentu se­la­ma waktu yang diprogramkan (bisa tahunan). Setelah se­le­sai seluruh sistem dilepas dari jangkar de­ngan sinyal akus­tik, dan naik ke permukaan untuk dikum­pul­kan.

Catatan: Pelampung Argo dilepas di laut, tenggelam sam­pai kedalaman tetentu, dan mengikuti arus selama dua minggu, kemudian naik ke permukaan sambil me­­ ngum­­pulkan data, dan mengirim data lewat satelit. Se­lan­jut­nya akan tenggelam lagi mengulangi siklus se­perti pada awal.

atau pelampung lainnya yang dilepaskan pa­­­da posisi tertentu di laut dan mengamati ke­ mana perginya. Sekarang berbagai tipe pe­lampung telah dikembangkan. Untuk men­­­­­deteksi jalur yang dilintasi pelampung ini, ada yang dilengkapi antena pemancar hing­­­­ga jejak dan posisinya bisa dipantau se­­ tiap saat dari satelit. Selain itu ada pula pe­ lam­­pung Argo yang dapat mengikuti arus pa­­­da kedalaman tertentu dan kemudian me­­­ngirimkan datanya via satelit ke stasiun bumi (Gambar 4-3)

2. Pola arus laut a. Pola arus laut di samudera dunia Pola arus permukaan di samudera ra­ya dunia sangat ditentukan oleh angin. Di per­ airan samudera ini sangat jelas terli­hat pe­ ng­aruh gaya perputaran bumi, yang dikenal de­ngan gaya Coriolis. 47

oleh daratan Benua Asia. Sementara itu di katu­listiwa terjadi arus balik katulistiwa (Equa­­torial Counter Cu­rent) yang mengalir da­ri barat ke timur. Di per­airan samudera ba­­gi­an selatan, se­­kitar Benua An­tartika, ber­tiup angin yang te­­rus-me­nerus dari barat ke ti­mur tanpa ada­­ nya ham­batan pu­lau hingga arus di sini te­ rus-menerus meng­alir ke timur me­ngitari bu­­mi. Gambar 4-4 Sirkulasi di permukaan samudera dunia. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Di belahan bumi utara terjadi pusaran besar (gyre) yang memutar ke kanan (searah putaran jam), se­­­ dang­­kan di belahan bumi selatan memutar ke ki­­ri (berlawanan dengan arah putaran jam). Di ka­tu­­­­lis­­­tiwa terjadi Arus Balik Katulistiwa (Equatorial Coun­­­ter Current) yang mengarah ke timur. Di sekitar be­­nua Antartika, arus mengalir ke timur mengelilingi bu­mi tanpa adanya hambatan pulau.

Gaya Corio­lis adalah ga­ya yang ditim­ bulkan akibat terjadinya per­putaran bumi yang menyebab­kan lintasan ben­da yang ber­ gerak dalam jarak jauh di bu­mi ini arahnya akan melen­ceng atau mem­belok, yakni ke kanan di belah­an bumi utara atau ke kiri di belahan bumi selatan. (Seperti hal­nya bila kita me­nem­bakkan meriam ja­rak jauh, ma­ ka peluru­nya akan jatuh me­nyim­pang dari sasaran, yakni ke kanan di belah­an bumi utara, atau ke kiri di belahan bumi selatan).

b. Pola arus permukaan di perair­an Indonesia Pola arus permukaan di perairan Indo­ne­ sia sangat banyak ditentukan oleh angin mu­ sim (monsoon) yang berhembus di ka­was­an ini. Angin Musim ini terdiri dari Musim Ba­rat (bulan Desember-Februari), Musim Pan­ca­ro­ ba atau Peralihan I (Maret-Mei), Mu­sim Ti­ mur (Juni-Agustus), dan Musim Peralihan II (September-November). Dalam setahun ter­ jadi dua kali pembalikan arah yang mantap, ma­sing-masing Angin Musim Barat dan Angin Musim Timur. Dari pola arah angin musim tersebut (Gambar 4-5) dapat terlihat bahwa Laut Cina, Laut Jawa, Laut Flores, sampai ke Laut

Dari banyak data dan informasi menge­ nai arus laut, kini kita telah mengetahui bah­­wa sebagai akibat dari gaya Coriolis, di samu­dera raya dunia, terutama di Samudera Pa­sifik dan Samudera Atlantik, terdapat arus yang membentuk pusaran besar (gyre), yang berputar searah putaran jam di belah­­ an bumi utara. Sebaliknya di samudera di­­­ be­lah­­­an bu­ mi selatan terjadi pusaran yang arahnya ber­­lawanan arah jarum jam (Gam­bar 4-4). Pusaran besar ini tak terlihat je­­las di Samu­ dera Hin­dia karena bagian utara­­­nya tertutup 48

Gambar 4-5 Pola arus laut permukaan di Indonesia dan sekitarnya pada bulan Februari (Musim Barat). Gambar Inset: Pola angin pada bulan yang sama. (Sumber: Anugerah Nontji)

Jadi di sebagian besar perairan di Indo­ nesia, arusnya mengalami pembalikan arah dua kali dalam setahun mengikuti mu­sim. Namun di selat-selat antar pulau, arus umum­­ nya mengalir ke arah tertentu. Arus di Selat Makassar sepanjang tahun mengalir ke se­ latan, sedangkan di Selat Malaka sepanjang ta­hun mengalir ke barat-laut menuju Laut An­da­man. Sementara itu di selat-selat yang ter­dapat sepanjang untaian pulau-pulau dari Sumatera sampai ke NTT (Nusa Tenggara Ti­ mur), arus umumnya sepanjang tahun me­ ng­alir ke luar menuju Samudera Hindia.

3. Upwelling dan downwelling Gambar 4-6 Pola arus laut permukaan di Indonesia dan sekitarnya pada bulan Agustus (Musim Timur). Gambar Inset: Pola angin pada bulan yang sama. (Sumber: Anugerah Nontji)

Banda dan Laut Arafura berada pada posisi yang po­rosnya tepat dalam arah utama kedua angin musim tersebut. Karena angin musim ini bertiup dengan mantap, walaupun ke­kuat­­annya relatif tidak besar, maka akan ter­ciptalah kondisi yang sangat ideal untuk ter­jadinya Arus Musim (Monsoon Current) di perairan Indonesia. Con­toh pola arus laut permukaan di Indonesia dan sekitarnya da­ lam kedua mu­sim yang berbeda itu (Musim Barat dan Mu­sim Timur) ditampilkan da­lam Gam­bar 4-6. Pada Musim Pancaroba atau Mu­sim Per­alihan, angin umumnya me­ngen­ dur, laut le­bih tenang, disertai arus yang me­ lemah dengan arah yang tak tetap. Pada Musim Barat (Februari), arus uta­ ma mengalir dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa dan seterusnya ke timur me­nuju Laut Banda dan Laut Arafura. Semen­tara itu arus dari Selat Maka­ssar menuju ke selatan memperkuat arus yang menuju ke timur. Pada Musim Timur, terjadi hal yang se­ balik­nya. Arus utama mengalir dari Laut Ban­­­ da melewati Laut Flores menuju Laut Ja­wa dan Laut Cina Selatan, sementara di Se­lat Makassar sepanjang tahun arus me­ng­alir ke selatan.

Upwelling atau penaikan air di laut ada­­ lah istilah yang lazim digunakan untuk me­ nya­­­takan proses penaikan air dari lapisan ba­­­wah ke permukaan. Gerakan naik ini mem­­­­­­ bawa serta air yang suhunya lebih di­ngin, sa­ linitas yang tinggi, dan tak kalah pen­­­ting­nya zat-zat hara yang kaya seperti fos­­­fat dan ni­ trat ke permukaan. Zat-zat hara ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan plank­­ton di permukaan. Peris­ tiwa ini meru­pa­kan salah satu mekanisme pemupuk­an alami yang berlangsung secara besar-be­sar­­­an. Oleh sebab itu di perairan tem­pat ter­jadinya upwelling, planktonnya sa­ngat su­bur. Karena plankton merupakan pang­kal uta­ma rantai makanan di laut maka daerah up­welling biasanya dikenal pula sebagai dae­rah yang potensi perikanannya tinggi. Penelitian mengenai upwelling ini se­ring menarik banyak perhatian, tidak sa­ja untuk kepentingan perikanan tetapi ju­ga dalam fi­sika kelautan, karena daerah up­welling me­rupakan tempat pertemuan lang­sung an­ tara sirkulasi di permukaan dan sirkulasi di lapisan bawah. Upwelling yang berskala be­ sar bahkan dapat pula me­nimbulkan dampak cuaca tertentu. Upwelling dapat dibedakan menjadi be­ berapa jenis, yakni: 49

1. Jenis tetap (stationary type) yang terjadi sepanjang tahun meskipun inten­si­tas­­nya bisa berubah-ubah. Contoh yang sa­­ngat populer adalah upwelling yang ter­jadi di perairan lepas pantai Peru (Amerika Sela­ tan), yang merupakan per­airan dengan pro­duksi perikanan tertinggi di dunia. 2. Jenis berkala (periodic type) yang ter­jadi hanya selama satu musim saja. Con­toh jenis ini adalah upwelling yang terjadi di se­panjang pantai selatan Jawa-Bali pada Mu­sim Timur. 3. Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian antara up­­wel­ling dan downwelling. Dalam satu mu­sim, terjadi upwelling tetapi pada musim lain­­nya terjadi downwelling di mana air di permukaan tenggelam ke lapisan lebih da­­lam. Contohnya dapat dijumpai di Laut Ban­da.

mendorong keluar air permukaan Laut Ban­ da ke arah barat menuju Laut Flo­res dengan volume transpor yang lebih be­­sar daripada yang dapat diimbangi oleh air permukaan se­kitarnya, hingga air dari ba­­wah pun ber­ gerak naik untuk mengisi ke­kosongan. Air yang naik ini bersumber dari lapisan ba­wah, dari kedalaman sekitar 125-300 m, yang menyusup dari Samudera Pa­si­fik. Ke­ cepatan naiknya tampaknya kecil saja, di­per­ kirakan sekitar 0,0006 cm/detik. Tetapi ini mem­­punyai arti yang besar, karena dengan itu volume air yang terangkat di perairan ini bisa mencapai rata-rata 2 juta m3/detik. Air inilah yang antara lain ikut membangun Arus Musim Timur yang mengalir ke Laut Flores.

Terjadinya upwelling di Laut Banda te­ lah mendapat banyak perhatian dari para il­mu­­wan karena merupakan mekanisme sir­­­ ku­lasi yang menghubungkan air dari Samu­­ dera Pasifik ke Samudera Hindia. Model up­ welling di Laut Banda ditampilkan dalam Gambar 4-7.

Pada saat upwelling, suhu air permukaan laut dapat turun sebanyak 4-5o C lebih ren­ dah dari saat tanpa upwelling. Pada saat upwelling, suhu permukaan di Laut Banda ber­­kisar sekitar 24-25o C, padahal di luar mu­­sim upwelling suhu berkisar 29-30o C. Upwelling di Laut Banda ini telah me­nye­ babkan pula naiknya kandungan hara yang menyuburkan kehidupan plankton di per­­ airan ini.

Upwelling terjadi pada Musim Ti­mur. Pada saat ini Arus Musim Timur yang kuat,

Pada Musim Barat, hal yang sebaliknya terjadi. Pada saat ini terbentuk Arus Mu­sim

Musim Barat Sulawesi

Musim Timur

SAMUDRA PASIFIK Sulawesi

SAMUDRA PASIFIK

Tak Bergerak Air Subtropis Bawah 125 - 300 m

Arus Musim NTT

Arus Timor Lemah SAMUDRA HIN DIA

Arus Musim Tenggelam

NTT

Arus Timor Lemah DIA

Naik

SAMUDRA HIN Aliran Air Banda pada 1000 m

Tak Bergerak

Gambar 4-7 Model terjadinya downwelling (pe­neng­­gelaman) dan upwelling (penaikan air) di Laut Ban­da yang berkaitan dengan Arus Musim (Mon­soon Current). (Sumber: Anugerah Nontji)

50

Barat yang membawa masuk air dari Laut Ja­ wa dan Laut Flores ke Laut Banda de­ngan volume yang terlalu besar untuk dapat di­ imbangi dengan yang bisa keluar le­wat se­ lat-selat di sekitarnya. Akibatnya air yang me­numpuk disini lalu tenggelam (down­ welling) dan keluar ke Samudera Hindia pada ke­dalaman 1.000 m lewat celah Timor.

Tirta Pasifik Utara Tirta Pasifik Selatan Arus Musim

5˚N

Samudra Pasifik Pusaran Mindanao

L. Sulawesi

Halmahera Pusaran Halmahera

Kalimantan

Sel.

Ma

kas

sar



5˚S

Samu

8 L. Banda

10 110˚E

Sirkulasi yang terjadi di laut tidak ha­ nya berupa arus permukaan saja, tetapi ju­ ga di lapisan bawahnya yang pola dan ke­ kuatannya tidak selalu sama dengan yang ter­jadi di permukaan. Oleh sebab itu volume to­tal seluruh massa air yang mengalir dari suatu samudera ke samudera lainnya sering menjadi perhatian untuk memahami inte­rak­ si antara keduanya.

L. Flores

dra Hin

10˚S

Papua Seram

L. Jawa Jawa

4. Arlindo (Arus Lintas Indonesia)

wesi Sula

L. Maluku 1.5

dia

4.5

1.7

or

Tim

4.3 L. Timor

ARLINDO 115˚E

120˚E

125˚E

130˚E

135˚E

Gambar 4-8 Arlindo (Arus Lintas Indonesia atau In­do­­nesia Through Flow). (Sumber: Anugerah Nontji)

Arlindo dipandang sangat stra­tegis dalam kaji­an oseanografi dan me­teo­rologi sejagat karena merupakan satu-satu­nya jalur yang menghubungkan Samudera Pa­sifik dan Samudera Hindia di lintang rendah.

Pemahaman mengenai proses yang ter­ kait de­ngan Arlindo telah memungkinkan un­tuk pe­mahaman interaksi atmosfer dan laut­an yang pada gilirannya telah membantu da­­lam peramalan terjadinya El Niño, yang di Indo­nesia direfleksikan dengan terjadinya mu­­sim kering yang berkepanjangan dan me­­nim­bulkan bencana di daratan. SABUK PENGHANTAR SAMUDRA RAYA

Hang

Din

Samudera Atlantik

at

gin

Sejak tahun 1993 ba­nyak perhatian du­ nia dicurahkan untuk me­­mahami aliran da­ ri Samudera Pasifik ke Sa­mudera Hindia le­ wat perairan di selat-selat Indo­nesia, yang dikenal dengan Arlindo (Arus Lintas Indo­ nesia, atau ITF = Indonesia Through Flow).

Samudera Pasifik

Samudera Hindia Samudera Atlantik

Hangat

Samudera Pasifik

Dingin

Gambar 4-9 Sabuk Penghantar Samudera Raya (The Great Ocean Conveyor Belt). (Sumber: Anugerah Nontji)

Kajian Arlindo me­nun­­ jukkan daya ang­­kut Arlin­ do yang me­ngalirkan air dari Sa­­mu­dera Pasifik ke Sa­mu­­dera Hindia adalah se­­besar kurang lebih 10 juta m3/detik (Gambar 48). Transpor air yang ter­ be­sar adalah lewat Selat Ma­kassar yang da­pat meng­ angkut se­­­­­banyak 8 juta m3/de­­tik. Massa air yang ter­­­angkut ini sebagian ada yang berasal dari per­­airan Pasifik Utara dan sebagian lagi dari per­airan Pasifik Selat­an. 51

B. Gelombang Cobalah tengok laut di pantai. Tentu Anda akan melihat ada gelombang di per­ mu­­ka­annya. Tak pernah laut tenang sem­pur­ na tanpa gelombang. Laut dalam ke­ada­an tenang yang kadang kala terlihat licin bagai­ kan kaca, tetap saja mempunyai ge­lom­ bang. Gelombang di laut dapat sangat kecil de­ngan tinggi gelombang kurang dari 1 mm (di­se­but gelombang kapiler atau ca­pillary wave), sampai yang berukuran rak­sasa hing­ga setinggi puluhan meter yang dapat menim­bulkan ben­cana.

1. Penyebab terjadinya gelombang Gelombang yang paling umum kita sak­si­kan di laut terutama disebabkan oleh tiup­an angin. Makin kuat hembusan angin dan makin lama hembusannya makin be­ sar gelombang yang dapat ditimbulkan. Se­ lain karena angin, gelombang juga dapat di­sebab­kan karena terjadinya gempa di da­sar laut, letusan gunung api di laut atau long­soran besar ke dalam laut, yang dapat me­nimbulkan gelombang tsunami yang dah­ syat dan menimbulkan malapetaka. Pa­sang-surut yang kita kenal sebenarnya juga merupakan fenomena gelombang de­ ngan panjang gelombang yang sangat pan­ jang, yang penyebab utamanya adalah gaya tarik bulan dan matahari.

2. Model gelombang sederhana Gelombang yang sering terlihat di per­ mu­kaan acapkali tampak kacau dan rumit karena bisa merupakan pertemuan berbagai gelombang yang datang dari berbagai arah hingga gelombang-gelombang itu saling tum­­pang tindih (Gambar 4-10), dan tidak mung­­kin me­ngisolasi gelombang tunggal di laut. Na­mun untuk menjelaskan bagaimana ter­­­ja­di­­nya gelombang para ilmuwan me­ ngem­­ban­g­kan model gelombang seder­hana yang bentuk­nya mempunyai puncak dan lem­­bah se­perti terlihat pada Gambar 4-11.

Gambar 4-10 Gelombang yang dapat diamati di laut Catatan: Gelombang laut umumnya bentuknya rumit karena merupakan tum­pang tindih banyak gelombang dengan kekuat­an dan arah yang berbeda.

52

Setiap gelombang mempunyai tiga un­­­ sur penting yakni panjang, tinggi, dan pe­ rio­­de. Panjang gelombang (L) ada­lah ja­rak men­datar antara dua puncak yang ber­­urut­ an. Tinggi gelombang (H) ada­lah ja­rak ver­ ti­kal antara puncak dan lem­bah, se­dang­kan periode gelombang yang me­ram­bat (T) ada­ lah waktu yang diper­lu­kan oleh dua pun­cak yang berurutan untuk me­lalui satu titik.

L H

1/2 L

Gerakan air bisa diabaikan Dasar Laut Gambar 4-11 Model sederhana gelombang laut. (Sumber: Anugerah Nontji)

Ukuran besar kecilnya gelombang umum­­­­­nya ditentukan berdasarkan tinggi ge­ lom­­­bang. Tinggi gelombang ini bisa sangat ke­­­cil, kurang dari 1 mm, tetapi bisa juga sam­­­ pai puluhan meter. Antara panjang gelombang dan tinggi gelombang tidak terdapat suatu hubungan yang pasti. Akan tetapi gelombang yang mem­punyai panjang yang jauh akan mem­ punyai kemungkinan mencapai gelombang yang tinggi pula. Apabila kita mengamati perambatan gelombang di laut, seolah-olah tampak air laut itu bergerak maju beserta dengan ge­lom­­ bangnya. Tetapi kenyataan yang sebenar­ nya tidaklah demikian. Pada perambatan ge­lombang, yang bergerak maju adalah ben­ tuk gelombangnya saja, sedangkan par­­tikel airnya sendiri hampir tak bergerak ma­ju. Untuk membuktikannya cukup de­ngan me­ng­amati gerakan sepotong gabus yang ter­apung di laut. Gabus itu akan ber­gerak naik turun mengikuti bentuk gelom­bang yang melaluinya, tetapi ia sendiri ham­pir tak ber­anjak dari tempat semula, kalau pun maju ha­nya sedikit sekali. Gabus itu se­benarnya ber­gerak mengikuti lintasan vertikal yang bentuknya merupakan orbit lingkaran. Secara teoritis memang setiap molekul air di permukaan yang dilalui gelombang

akan bergerak dalam orbit yang secara ver­ ti­kal membentuk lingkaran (Gambar 4-11). Wak­tu yang diperlukan untuk menyelesaikan satu lingkaran penuh sama dengan pe­riode gelombang, sedangkan diameter ling­­kar­­­­­­an­ nya sama dengan tinggi gelombang. Sema­ kin jauh ke dalam laut, orbit ling­­­karan ini se­makin kecil. Umumnya pada kedalaman le­bih dari setengah panjang ge­lom­bang, pe­ng­aruh gelombang sudah sangat kecil hing­­ga dapat diabaikan, atau dengan kata lain dapat dianggap diam tak bergerak. Itu­ lah sebabnya kapal selam dapat berlayar de­ ngan lebih mulus bila ia menyelam di bawah per­­mukaan. Apabila gelombang mendekati perair­an yang dangkal maka akan terjadilah pe­ru­ba­ h­an yang nyata. Suatu gelombang da­pat di­se­but mulai “menyentuh dasar” apa­bila tiba pada kedalaman yang sama de­ngan se­ tengah panjang gelombang atau ½ L (Gam­­ bar 4-14). Gelombang dengan pan­jang 50 m misalnya akan “menyentuh da­sar” pada kedalaman 25 m. Karena telah “me­­­nyen­­ tuh dasar” maka gerak molekul air yang mulanya berupa orbit lingkaran ter­­mam­ pat menjadi lonjong (ellips), dan se­ma­kin gepeng. Kecepatan gelombang pun ter­ hambat hingga menjadi melambat. Pun­cakpuncak gelombang yang lain menyusul dan A

Arah Arus

1 B

2

3

4

5

6

Arah Arus

Gambar 4-12 A: Urutan gerak gabus di permukaan yang dilalui satu gelombang, yang merupakan gerak dalam orbit lingkaran. B: Molekul air yang bergerak melingkar hanya maju sedikit saja searah arus. (Sumber: Anugerah Nontji)

53

berjejal di belakangnya. Bagian bela­kang ge­lombang berjalan lebih cepat daripa­da ba­gian depannya lalu mengejar dan memak­­ sa bagian depan naik menjadi pun­cak yang te­rus meninggi. Puncak ini cenderung con­ dong ke depan serta mem­bentuk lengkung­ an, dan akhirnya terlalu con­dong se­hing­ga pun­caknya roboh mem­ben­tuk apa yang dikenal dengan ombak pe­cah (Gambar 414). Secara umum, gelombang atau ombak yang pecah di pantai dapat dibagi menjadi dua macam, yakni ombak hempasan (plung­ ing breaker) dan ombak limpahan (spilling breaker). Ombak hempasan kerap ka­li ter­lihat di pantai yang dasar lautnya ter­jal. Om­bak se­macam ini menggulung ting­gi lalu jatuh dengan hempasan hebat ber­jungkir-jungkir dengan suara berdebum yang gemuruh. Ombak limpahan biasanya terbentuk di pantai dengan dasar laut yang melandai. Sewaktu gelombang menyerbu ke pantai, pada bagian depannya terdapat sebaris buih yang senantiasa berjatuhan. Ombak lim­pah­ an ini selamanya berada dalam keadaan ham­ pir pecah, tetapi tidak benar-benar pecah. Ber­kurangnya kedalaman air tidak secara men­­dadak sehingga gelombang bergulung ke pantai sampai agak jauh sebelum benar-

Gambar 4-13 Gerakan gelombang. (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Apabila gelombang mendekati per­air­an dangkal maka gerakan molekul air berubah da­ri or­bit lingkaran menjadi bentuk lonjong (ellips) dan ge­peng, sedangkan kecepatan pun berkurang. Pun­ cak­­nya meninggi dan akhirnya menggulung jatuh mem­bentuk ombak pecah di pantai.

54

Spilling Breaker

Plunging Breaker

Gambar 4-14 Pecahnya ombak di pantai dapat berupa: A. ombak hempasan (plunging breaker) atau B. ombak limpahan (spilling breaker). (Sumber: Ingmanson & Wallace, 1985)

be­nar pecah. Ombak se­macam inilah yang di­ge­mari para pemain se­lancar karena mem­ beri kesempatan untuk meluncur dengan ja­ rak paling jauh.

3. Gelombang angin Umumnya gelombang yang dapat kita amati di laut disebabkan oleh hembusan angin, atau disebut juga gelombang angin (wind wave). Ada tiga faktor yang menen­ tu­kan besarnya gelombang angin, yakni (1) kekuatan atau kecepatan angin, (2) lama­ nya hembusan, dan (3) jangkauan atau jarak tempuh angin (fetch). Yang dimaksud dengan jangkauan angin adalah bentang air terbuka yang dilalui angin. Apabila kecepatan angin sangat lemah, maka gelombang besar tidak akan terjadi, berapa pun lamanya hembusan dan panjang jangkauannya. Jika kecepatan angin cukup kuat, tetapi lama hembusannya singkat ha­ nya beberapa menit, tidak akan terjadi ge­ lom­­bang besar, berapa pun panjang jang­ kau­annya. Demikian pula bila angin kuat ber­­hembus untuk waktu yang panjang, te­­­tapi jarak jangkauannya sangat pendek, tidak akan menghasilkan gelombang besar.

Jadi hanya bila ketiga faktor itu bergabung bersama-sama baru dapat meng­hasil­kan gelombang angin yang besar di laut. Di samudera terbuka (open ocean) di­ mana lama hembusan dan jangkauan tidak me­rupakan pembatas, maka kecepatan angin sajalah yang menentukan tinggi gelombang. Kecepatan angin sebesar 10 knot (5,1 m/det.) misalnya, dapat menghasilkan gelombang se­tinggi kira-kira 1 m, sedangkan angin dengan kekuatan 30 knot (15,3 m/det.) bisa menghasilkan gelombang sekitar 6 m. Bila kekuatan angin mencapai 40 knot (20,4/ det.) maka gelombang setinggi 14 m akan dapat dihasilkan. Rekor gelombang tertinggi yang pernah tercatat di samudera adalah yang diukur oleh kapal tanker Angkatan Laut Amerika, USS Ramapo, ketika dilanda badai di Samudera Pasifik tahun 1933. Tinggi gelombang yang diukur oleh para perwira laut di kapal itu adalah setinggi 34 m (kurang lebih setinggi gedung berlantai 11). Sekali gelombang telah terbentuk oleh angin maka gelombang itu akan merambat terus sampai jauh, melampaui daerah angin yang menyebabkannya. Itulah sebabnya di pantai selatan Jawa misalnya sering dapat kita saksikan gelombang besar datang dan terhempas ke pantai meskipun angin se­tem­ pat saat itu tidak besar. Gelombang besar yang datang itu bisa merupakan gelom­bang kiriman yang berasal dari badai yang terjadi jauh di bagian selatan Samudera Hindia.

4. Gelombang tsunami Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang aslinya bermakna “gelombang besar di pelabuhan”, tetapi kini telah menjadi istilah internasional untuk menyatakan gelombang besar luar biasa yang datang menyerang tibatiba, menghempas pantai, dan menimbulkan malapetaka yang hebat. Dalam berbagai literatur kadang kala tsunami disebut pu­la sebagai gelombang pasang, yang sebenar­ nya tidak tepat, karena sama sekali tak ada

hu­bungannya dengan pasang-surut yang di­­ten­tukan oleh gaya tarik benda-benda as­­ tro­nomis, terutama bulan dan matahari. Tsu­ nami berbeda pula dengan gelombang yang ditimbulkan oleh angin (gelombang angin) yang hanya menggerakkan air laut bagi­an ter­atas saja. Gelombang tsunami me­nim­ bulkan gerak pada seluruh kolom air, dari permukaan hingga ke dasar. Ada tiga penyebab utama terjadinya tsunami, yakni (1) gempa bawah laut, (2) tanah longsor di dalam atau ke dalam laut, dan (3) letusan gunung api di laut (Gambar 4-15). Tidak semua gempa bawah laut dapat menimbulkan tsunami. Tsunami baru terjadi jika sampai terjadi dislokasi vertikal pada dasar laut yang biasanya disebabkan oleh gem­pa kuat yang sumbenya relatif dangkal. Bi­la terjadi patahan atau sesar (fault) di da­ sar laut, massa batuan dalam jumlah yang sangat besar amblas tiba-tiba dan se­bagi­ an lagi melenting ke atas yang secara kese­ luruh­an akan menyebabkan pemukaan laut mengalami osilasi naik-turun untuk men­cari keseimbangan baru dan karenanya timbul­ lah gelombang tsunami yang kemudi­an me­ ram­bat ke segala arah dengan energi yang sa­ngat besar. Gelombang tsunami merambat ke segala arah dengan kecepatan yang bergantung pa­da kedalaman laut. Makin dalam laut, ma­ kin tinggi kecepatan rambatnya. Pada ke­da­ laman 5.000 m (kedalaman rata-rata di Sa­ mu­­dera Pasifik) kecepatan rambat tsunami sa­ngat dahsyat mencapai 230 m/detik (= 828 km/jam), pada kedalaman 4.000 m ke­ ce­­­patannya bisa mencapai 200 m/detik, dan pada kedalaman 40 m kecepatannya 20 m/ detik. Periode tsunami, yakni waktu yang di­ perlukan untuk tibanya dua puncak gelom­ bang yang berurutan, bisa sangat lama. Bila sumbernya jauh, periodenya bisa mencapai 55

lebih satu jam (bandingkan dengan periode gelombang yang disebabkan oleh angin, yang periodenya sekitar 10-20 detik).

A

B

Panjang gelombang, yakni jarak dari satu puncak ke puncak berikutnya, sangat luar biasa panjangnya, bisa mencapai 200 km. Tinggi gelombangnya di tengah samudera biasanya kecil saja, kadang-kadang hanya seperempat hingga setengah meter, hing­ga sering tak dapat dirasakan oleh ka­pal yang sedang berlayar di tengah laut. Tetapi, bila gelombang ini mendekati pan­tai yang semakin dangkal akan men­da­ pat­kan tahanan yang semakin besar dari da­ sar laut dan sebagai kompensasi, ener­gi­nya yang be­sar dilampiaskan ke arah permukaan dan menimbulkan gelombang yang maha dah­syat di pantai yang bisa mencapai tinggi puluh­an meter. Konfigurasi dasar laut sa­ ngat menentukan besarnya bencana yang da­pat ditimbulkan. Teluk yang berbentuk V memberikan efek corong yang dapat menye­ bab­kan gelombang tsunami sangat besar. Penduduk di pantai dapat mengamati pertanda akan datangnya tsunami dengan mula-mula melihat laut menjadi cepat su­ rut yang sangat jauh dari surut normal. Laut menjadi kering tidak seperti biasanya. Ikan banyak yang menggelepar di pantai, dan terum­bu karang mengering. Keajaiban ini sering me­ngundang orang untuk turun ke laut, ter­dorong rasa ingin tahu. Justru ini adalah saat yang sangat berbahaya. Keringnya laut sebenarnya menunjuk­ kan bahwa lembah gelombang tsunami te­ lah tiba, dan sebentar lagi disusul datangnya pun­cak gelombang raksasa yang segera meng­­hancurkan segala sesuatu di pantai. Pada saat demikian orang sudah sukar un­tuk menghindar.

C Gambar 4-15 Gelombang tsunami dapat disebabkan karena: A. Gempa kuat yang terjadi di dasar laut yang mengakibatkan terjadinya sesar (fault) ; B. Longsor yang terjadi di atau ke dalam laut; C. Letusan gunung api di laut. (Sumber: Anugerah Nontji)

56

Indonesia dilalui oleh jalur gempa dan ja­lur vulkanik yang aktif. Oleh karena itu In­­do­­nesia merupakan daerah yang sangat ra­wan bencana tsunami. Telah banyak pe­

Peristiwa runtuhnya atau longsornya daratan di dalam atau ke dalam laut dapat pu­ la menyebabkan tsunami. Terjadinya per­ge­ seran massa batuan di dalam atau ke dalam laut secara mendadak akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada permukaan laut dan seluruh kolom air secara tiba-tiba hing­ ga akan menimbulkan gelombang tsu­na­mi yang kemudian akan merambat ke se­gala penjuru.

Gambar 4-16 Kapal uap “Berouw” yang semula ber­labuh di Teluk Betung (Bandar Lampung), dilem­par­kan oleh gelombang tsunami Krakatau (1883) dan ter­hempas di lembah Sungai Kuripan, 2,8 km dari pan­tai. (Sumber: Simkin & Fiske, 1983).

ris­tiwa tsunami yang dilaporkan terjadi di Indonesia. Tahun 1992, tsunami dengan ge­ lom­bang sampai 20 m menghantam Pulau Babi, di sebelah utara Maumere (Flores, Nu­­sa Tenggara Timur), dan telah menyapu ber­sih seluruh penduduk pulau itu. Tsunami ter­be­sar yang tercatat dalam sejarah adalah tsu­nami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004, yang sumbernya berada di Samudera Hin­dia, sebelah barat Aceh. Gelombang tsu­­nami yang diakibat­kan­ nya memencar de­­ngan kekuatan dahsyat, menghantam pe­si­sir delapan negara, yaitu Indo­nesia, Malaysia, Thai­land, Bangladesh, Bur­ma, Maladewa, Sri Langka, dan India. Diper­kirakan lebih 200.000 orang yang meninggal, dengan kor­ban terbesar pen­ duduk Aceh dan Sumatra Utara.

Tsunami yang disebabkan karena le­ tus­­­­an gunung api yang paling populer ada­­­ lah letusan gunung api Krakatau di Selat Sunda, pada tanggal 27 Agustus 1883 yang merenggut lebih 36.000 jiwa. Dua per ­­tiga bagian pulau, seluas 5x8 km2, di­ter­­­bang­­ kan pada saat letusan itu. Tsuna­mi yang ditimbulkannya luar biasa be­sar dan mala­ petaka yang diakibatkan tak ter­ki­ra hebatnya. Se­kitar 165 kota dan desa di pesisir pantai Suma­tera dan Jawa luluh lan­tak. Di Teluk Betung (Bandar Lampung), tsu­­ nami menerjang dengan gelombang se­ting­ gi 20 m, sedangkan di Merak ham­pir setinggi 40 m. Sebuah kapal yang ber­labuh di Teluk Be­tung dilemparkan se­jauh 3,3 km dari tem­ patnya semula dan tersungkur di lembah su­ ngai sejauh 2,8 km dari pantai. Gelombang tsu­nami Kra­ka­tau merambat ke seluruh dunia. Di Samu­dera Hindia gelombangnya me­rambat dengan kecepatan sekitar 600 km/jam. Gelom­bang­nya dapat terekam sam­ pai ke English Channel dan Panama yang ma­ sing-masing berjarak 19.872 dan 20.646 km dari Krakatau.

57

C. Pasang Surut Ketika para pelaut Yunani dan Romawi telah mampu berlayar keluar dari Laut Te­ ngah (Mediterania) melalui Selat Gibral­tar dan masuk ke Samudera Atlantik, mereka keheranan menghadapi kenyataan bahwa di pantai Atlantik muka air laut tiap hari bergerak naik-turun berirama, sesuatu yang tidak mereka kenal di negeri asal mereka di Laut Tengah. Mereka pun sukar untuk me­ nafsirkan dan menjelaskan fenomena ini. Karena itu lahir­lah berbagai legenda mengenai ini, sa­­lah satunya adalah bahwa naik-turunnya mu­ka laut itu disebabkan ka­rena terdapat paus raksasa nun jauh di samu­dera yang tak terjangkau, yang bila bernapas, irama napas­nya akan menyebab­ kan muka laut pun naik-turun mengikuti ira­ ma napas sang makhluk raksasa tersebut. Fenomena naik-turunnya muka laut se­ cara berirama setiap hari itu adalah pasangsurut (acapkali disingkat sebagai pasut). Na­­mun penjelasan secara ilmiah mengenai pa­­sang-surut ini baru dapat berkembang se­ telah Newton mengajukan teorinya yang sa­ ngat terkenal mengenai gravitasi (gaya ta­rik bumi) tahun 1687, yakni bahwa semua ben­ da yang ada di bumi akan ditarik oleh gaya yang menuju pusat bumi. Gravitasi tidak hanya dimiliki oleh bumi, te­tapi juga oleh benda-benda astronomis se­ perti bulan dan matahari. Dengan demikian apa yang terjadi di bumi dipengaruhi oleh ga­ya tarik benda-benda astronomis seperti bu­lan dan matahari. Gaya paling utama se­ ba­gai pembangkit pasang-surut adalah gaya tarik bulan dan matahari. Matahari mempunyai massa 27 juta ka­li le­bih besar dari massa bulan, tetapi ja­raknya pun sangat jauh dari bu­mi (rata-rata 149,6 juta km). Se­dang­kan bulan, sebagai sa­telit ke­cil, jaraknya sangat dekat ke bumi (ra­ta­ 58

rata 381.160 km). Dalam mekanika alam se­mesta, jarak lebih menentukan daripada mas­sa. Oleh karenanya, bulan mempu­nyai pe­ranan yang lebih besar da­ri­pada mata­hari da­­lam menentukan pa­sang-surut. Per­hi­­tung­­­ an matematis telah me­nun­jukkan bahwa gaya tarik bulan yang mem­pe­ngaruhi pa­ sang-surut besarnya ku­rang le­bih 2,2 kali le­bih kuat daripada gaya tarik mata­ha­ri. Ben­ da-benda astronomis lain­nya pun se­­­be­nar­­ nya mempengaruhi pa­sang-surut, te­­­ta­pi pe­ ngaruh itu sangat kecil dan bisa di­abai­kan.

1. Model pasang-surut Pasang-surut sebenarnya merupakan peristiwa yang sangat kompleks. Oleh sebab itu, untuk memahami dan menerangkan prin­sip mekanisme terjadinya, orang menco­ ba membuat model sederhana dengan ber­ ba­gai asumsi bahwa: (1) bumi berbentuk bulat penuh; (2) se­ luruh permukaan bumi tertutup merata oleh laut; (3) bulan mempunyai orbit yang benarbe­nar berupa lingkaran dan orbitnya tepat di atas katulistiwa. Dengan asumsi ini bisa kita bayangkan bahwa bola bumi yang diselimuti merata oleh samudera, karena adanya gaya tarik bu­ lan yang kuat, maka bagian bumi yang ter­ dekat ke bulan akan tertarik membengkak atau membenjol hingga perairan samudera di­ situ akan naik dan menimbulkan pasang. Pada saat yang sama, bagian bola bumi di baliknya akan mengalami keadaan serupa atau pasang pula. Sementara itu pada sisi lain­­nya yang tegak lurus terhadap po­ros bu­ mi-bulan, air samudera akan ber­gerak ke sam­ping hingga menyebabkan ter­jadinya kon­­disi surut. Secara sederhana meka­nis­ me­­nya dapat ditunjukkan seperti dalam Gambar 4-17.

Surut A

Pasang

C

BUMI

C

D

Pasang

B Surut

Sementara bulan mengitar bumi, bumi pun bergerak dalam orbit mengitari mata­ hari. Oleh karenanya, bulan memerlukan waktu untuk mengelilingi bumi sekali dalam 24 jam 51 menit. Dengan demikian tiap siklus pasang-surut pun akan bergeser mundur 51 menit tiap hari. Dalam kenyataannya asumsi-asumsi yang dikemukakan di atas tidak pernah dite­­ mu­­kan dalam alam sebenarnya. Misalnya sa­ja, laut tidak meliputi bumi ini secara me­ ra­­ta, tetapi terputus-putus oleh adanya be­ nua dan pulau-pulau. Topografi dasar laut pun tidak rata mendatar, tetapi sangat ber­ va­­riasi, dari palung yang sangat dalam, gu­ nung ba­wah laut, serta paparan yang luas dan dang­kal. Demikian pula ada selat yang sem­­pit dan panjang atau teluk berbentuk co­rong de­ngan dasar melandai dan sebagai­ nya. Selain itu, bumi dan bulan pun tidak mem­­punyai orbit berupa lingkaran penuh, te­­tapi berupa ellips yang lonjong. Bumi me­ ng­i­tari matahari dengan orbit yang pada suatu ketika jarak keduanya terpendek dan di lain waktu terjauh, yang ten­tu saja menim­­ bulkan efek yang berbeda pada bumi. Keada­ an­nya akan lebih kom­pleks lagi karena orbit bulan dan matahari tidaklah tegak lurus di atas katulistiwa.

BULAN

Gambar 4-17 Model sederhana terjadinya pasang-surut. Pasang terjadi di posisi C dan D, pada garis poros bumibulan. Surut terjadi di posisi A dan B, pada garis tegak lurus terhadap poros bumi-bulan. (Sumber: Anugerah Nontji)

Jadi kenyataan yang dihadapi di la­pang­ an, banyak penyimpangan dari kondisi ideal yang diasumsikan, dan karenanya pula dam­paknya menimbulkan ciri-ciri pasangsurut yang berbeda-beda dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Adalah suatu paradoks bahwa sumber penggerak pasang-surut adalah benda-benda astronomis di luar bumi (terutama bulan dan matahari), tetapi penampilan pasang-surut itu sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal.

2. Kisaran pasang-surut Kisaran pasang-surut (tidal range) ada­ lah perbedaan tinggi air pada saat pasang mak­­simum dengan tinggi air pada surut mi­­ni­mum, rata-rata berkisar antara 1-3 m. Tetapi dua lokasi pantai yang terpisah se­ jauh 50 km, kadang-kadang sudah dapat me­nimbulkan ciri pasang-surut yang sangat ber­lainan. Apalagi jika kondisi lingkungan fisik­nya sangat berbeda. Di Te­rus­an Panama misal­nya, pada pantai Atlan­tiknya kisaran pa­sang-surutnya adalah seki­tar 0,5 m te­ta­pi di pantai Pasifiknya, hanya 40 km ke se­belah barat, kisaran pa­ sang-surut­nya men­capai 4-5 m. Di Teluk Fundy (Ca­na­da) ditemukan kisaran pasangsurut ter­be­sar di dunia, bisa mencapai sekitar 20 m. Sebaliknya di Pulau Tahiti, di tengah 59

MATAHARI BUMI TINGGI AIR

BULAN

A B M M B A WAKTU

PASANG-SURUT PURNAMA

BULAN

BUMI

TINGGI AIR

MATAHARI

Di perairan Indonesia, beberapa contoh dapat diberikan misalnya Tanjung Priok (Ja­ kar­ta) kisaran pasang-surutnya hanya seki­ tar 1 m, Ambon sekitar 2 m, Bagan Siapiapi sekitar 4 m, sedangkan yang ter­ting­gi di mua­ra Sungai Digul dan Merauke (Pa­pua bagi­­­an selatan), kisaran pasang-su­rut­­nya cu­ kup tinggi, bisa mencapai 7-8 m. Untuk keselamatan pelayaran, tiap na­ kho­da kapal harus memperhatikan pola pa­ sang-surut setempat agar kapalnya dapat se­la­mat masuk atau keluar dari pelabuhan, atau melewati selat-selat yang dangkal. In­ for­masi tentang pasang-surut juga akan me­ nen­tu­kan keberhasilan suatu operasi mi­li­ter dalam pendaratan amfibi. Demikian pula data pasang-surut diperlukan dalam pem­ buatan tambak-tambak udang di pantai. 60

M

M

A B WAKTU

PASANG-SURUT PERBANI

Sa­mu­dera Pasifik, kisaran pasang-surutnya ke­cil, tidak lebih dari 0,3 m, sedangkan di Laut Te­ngah (Mediterranea) hanya berkisar 0,10-0,15 m. Itulah sebabnya orang-orang Ro­mawi dan Yunani zaman dulu tidak pernah memperhatikan masalah pasang-surut ini.

B A

Gambar 4-18 Mekanisme terjadinya pasang-su­rut purna­ ma (spring tide) dan pasang-surut per­bani (neap tide). (Sumber: Anugerah Nontji)

Catatan: Pada pasang-surut purnama, pe­ngaruh bu­lan dan matahari saling memperkuat. Pa­da pa­sangsurut perbani, pengaruh bulan dan mata­ha­ri sa­ling meniadakan. B = Pengaruh bulan; M = Peng­aruh matahari; A = Tinggi muka air.

3. Pasang-surut purnama dan per­bani Posisi kedudukan bulan dalam orbitnya dan posisi matahari selalu berubah relatif ter­hadap bumi. Apabila bulan dan matahari ber­ada kurang lebih pada satu garis lurus de­­ngan bumi, seperti pada saat bulan mu­ da atau bulan purnama, maka gaya tarik ke­­dua­nya akan saling memperkuat. Dalam ke­­adaan demikian akan terjadilah pasangsu­rut pur­na­ma (spring tide) dengan pasang ting­­gi air yang luar biasa, melebihi tinggi pa­ sang yang umum. Sebaliknya, surutnya pun sangat rendah, hingga lokasi-lokasi tertentu dengan pantai yang landai bisa menjadi ke­ ring sampai jauh ke laut.

Tetapi jika bulan dan matahari memben­ tuk sudut siku-siku terhadap bumi ma­ka ga­­ ya tarik keduanya akan saling meniada­kan. Akibatnya, perbedaan tinggi air an­ta­ra pa­ sang dan surut hanya kecil saja, dan ke­adaan ini dikenal sebagai pasang-su­rut per­bani (neap tide). Proses terjadinya pa­sang-surut pur­nama dan perbani ditun­jukkan dengan le­bih jelas dalam Gambar 4-18.

Dilihat dari pola gerakan muka lautnya, pasang-surut di Indonesia dapat dibagi men­ jadi empat jenis yakni pasang surut ha­ri­an tunggal (diurnal tide), harian ganda (semi­ diurnal tide), dan dua jenis campuran an­tara keduanya. Pada jenis harian tunggal hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari, misalnya terjadi di perairan se­ kitar Selat Karimata, antara Sumatera dan Kali­mantan. Pada jenis harian ganda, tiap hari ter­jadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya masing-masing hampir sama, mi­sal­nya terdapat di perairan Selat Malaka bagi­an utara hingga ke Laut Andaman. Di sam­ping itu dikenal juga campuran dari ke­ dua­nya, meskipun jenis tunggal atau gan­ danya masih menonjol. Pada pasang-surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide, prevailing semi­ diurnal) terjadi dua kali pasang dan dua kali Hari ke-

3

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

A. HARIAN GANDA

B. CAMPURAN, CONDONG KE HARIAN GANDA

Tinggi Air

2 1 0 3

C. CAMPURAN, CONDONG KE HARIAN TUNGGAL

2 1 0

D. HARIAN TUNGGAL

3 2 1 0

Gambar 4-19 Contoh pola gerakan muka air pada empat jenis pasang-surut selama waktu 16 hari. (Sumber: Anugerah Nontji)

C

CAMPURAN, CONDONG KE HARIAN GANDA HARIAN GANDA

CAMPURAN, CONDONG KE HARIAN TUNGGAL

HARIAN TUNGGAL

4. Pola pasang surut

m 6 5 4 3 2 1 0

D

CAMPURAN, CONDONG KE HARIAN GANDA CAMPURAN, CONDONG KE HARIAN GANDA

HARIAN GANDA

Gambar 4-20 Sebaran jenis-jenis pasang-surut di Indonesia dan sekitarnya. (Sumber: Anugerah Nontji)

su­rut dalam sehari, tetapi berbeda dalam ting­gi dan waktunya. Ini misalnya terdapat di sebagian besar perairan Indonesia bagian timur. Dan yang terakhir adalah jenis pasangsurut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide, prevailing diurnal). Pada jenis ini tiap hari terjadi satu kali pasang dan satu ka­li surut, tetapi kadang-kadang pula untuk se­men­tara dengan dua kali pasang dan dua kali surut, yang sangat berbeda dalam ting­­ gi dan waktunya. Contohnya terdapat di pantai selatan Kalimantan dan pantai uta­ ra Jawa Barat. Pola gerak muka air pada ke­ empat jenis pasang-surut yang terdapat di Indonesia diberikan contohnya pada Gam­ bar 4-19. Sedangkan sebaran geografis je­ nis-jenis pasang-surut itu disajikan dalam Gambar 4-20.

5. Arus pasang-surut Di perairan pantai, terutama di telukteluk dan selat-selat yang sempit, gerakan naik-turunnya muka air akan menimbulkan terjadinya arus pasang-surut. Biasanya arah­ nya kurang lebih bolak-balik, misalnya jika muka air bergerak naik, arus mengalir masuk. Sedangkan pada saat muka air bergerak 61

turun arus pun mengalir keluar. Di tempattem­pat tertentu arus pasang-surut ini cukup kuat. Arus pasang-surut yang terkuat di Indonesia tercatat di Selat Capalulu, antara Pulau Taliabu dan Pulau Mangole (Kepulau­ an Sula), yang kekuatannya bisa mencapai 5 m/detik.

6. Ramalan pasang surut Dengan memperhatikan faktor-faktor lokal dan pengaruh gravitasi benda-benda astronomis, kini telah dapat dibuat ramalan pasang surut. Di Indonesia, Dinas HidroOseanografi TNI Angkatan Laut mempunyai tugas untuk membuat ramalan pasang surut

setahun lebih awal untuk sekitar 80 lokasi di Indonesia dalam bentuk buku ramalan pasang surut. Dengan ramalan itu dapat diketahui kon­ disi pasang-surut di suatu daerah pada tang­ gal dan jam tertentu, sehingga sangat mem­ bantu bagi para nakhoda yang membawa ka­pal. Bagi seorang yang akan melakukan pe­nelitian biologi laut, ramalan pasangsu­rut ini pun sangat penting karena dapat mem­­bantu perencanaan sebaiknya kapan tu­run ke laut. Demikian pula dalam operasi am­fibi militer yang akan mendaratkan pasu­ kan di pantai, ramalan pasang-surut ini sa­ ngat menentukan.

D. Cuaca dan Laut Manusia hidup dalam medium atmosfer yang terdiri dari campuran uap air dan ber­ bagai gas. Dengan adanya gravitasi, at­mos­ fer ini menimbulkan tekanan udara yang di per­mukaan laut besarnya adalah 1,04 kg/cm2 atau sekitar 1 atmosfer. Apa­bila ter­­jadi per­ ubahan tekanan udara, maka ini dapat me­ micu timbulnya berbagai peru­ba­h­an cuaca. Perubahan cuaca ini sangat mem­pe­ ngaruhi kehidupan manu­sia, bah­kan hampir se­mua kegiatan kita dipengaruhi oleh cua­ ca, seperti pertanian, kehutan­an, perikanan, trans­­­por­tasi, pelayaran, pener­bang­an, dan lain-lain. Dalam banyak hal cua­ca yang kita hadapi tidak lepas dari hu­bungan­nya de­ ngan kondisi di laut. Sebagian besar permukaan bumi ini ter­­ diri dari laut. Antara laut dan atmosfer di atasnya terdapat interaksi yang sangat kuat yang menentukan kondisi cuaca. Masya­­ra­kat tradisional kita bahkan melihat cua­ca dan laut sebagai suatu kesatuan. Para nelayan dan pelaut kita misalnya, melihat kon­di­si awan, angin, dan ombak merupakan sua­tu kesatuan yang tak terpisahkan. 62

Perubahan cuaca akan mempengaruhi kondisi laut, sebaliknya kondisi laut dapat pula mempengaruhi kondisi cuaca. Angin mi­salnya, sangat menentukan terjadinya ge­ lom­bang dan arus di permukaan laut, dan cu­­rah hujan dapat menentukan salinitas (ka­­dar garam) air laut. Sebaliknya, proses fi­­sik di laut seperti terjadinya penaikan air (up­welling) dapat mempengaruhi keadaan cua­ca setempat.

1. Siklon tropis Indonesia yang terletak tepat di katu­ listiwa, umumnya jarang ditemukan amuk­

Gambar 4-21 Siklon tropis yang terjadi di atas samudera, sebagaimana terindra dari satelit. (Sumber: Anugerah Nontji)

LU 40 0.1

5.0 3.0 4.0

20 0.2 0.4

0.2 1.0 0.4 2.0 0.8

0.1 0

3

20

2 0.2

LS

0.6

0.4

1.8 1.6

0.1

0.8 0.6 0.4

40 40

60

80

100

120

140

160

BT

LU 40

20

0

Frekuensi terjadinya siklon tropis ini di­ sajikan dalam gambar 4-22. Kawasan yang sangat sering dilanda badai tropis ini adalah Filipina dan Bangladesh. Badai atau siklon ini akan bergerak menempuh jalur tertentu hingga akhirnya dapat terurai habis. Gambar 4-22 ini juga menunjukkan kecenderungan ja­lur gerakan siklon tropis sebelum terurai habis. Meskipun Indonesia boleh dikatakan be­­­­­­­ bas dari amukan siklon tropis, namun dam­­­­­­­ pak­­nya tetap dapat dirasakan dan menim­­­­­­­­ bul­kan gangguan cuaca. Perairan di se­la­tan Jawa dan antara Nusa Tenggara dan Aus­­­tralia sering merupakan tempat ke­­lahir­an siklon tropis yang akibatnya acap­kali me­­­nimbulkan bencana di daratan dan laut kita. Siklon yang terjadi di selatan Nu­sa Teng­ gara tahun 1985 misalnya, telah melum­puh­ kan semua jalur penerbangan ke Nusa Teng­ gara, dan hujan lebat disertai angin kuat telah menghancurkan ribuan rumah.

20

40

LS 40

60

80

100

120

140

160

BT

Gambar 4-22 Atas: Frekuensi rata-rata siklon tropis per tahun di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Posisi Indonesia relatif aman dari serangan siklon tropis. Bawah: Kecenderungan arah lintasan siklon tropis di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. (Sumber: Anugerah Nontji)

an angin yang sangat kuat. Badai yang le­bih dikenal dengan siklon tropis, sering me­ ngamuk di samudera sekitar garis lintang 10o Utara dan juga sekitar 10o Selatan. Si­ klon tropis ini umumnya mempunyai nama yang khusus, dan menimbulkan angin yang sangat kuat disertai gelombang besar yang dapat menimbulkan bencana besar bi­la melanda kawasan pantai. Kecepatan angin yang disebabkan oleh badai ini bisa men­capai ratusan km/jam. Kel­ahiran, per­kem­bangan, dan perjalanan si­klon tro­pis kini dapat dipantau dengan sa­ telit, yang me­nampilkan pusaran awan yang se­nan­tia­sa bergerak berputar dengan inti yang ber­tekanan rendah.

2. Angin Musim (Muson) Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah Angin Musim, disebut ju­ ga muson (monsoon). Posisi Indonesia an­ tara dua benua (Asia dan Australia) dan an­ tara dua samudera (Samudera Pasifik dan Samu­dera Hindia) menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat ideal untuk ber­ kembangnya Angin Musim. Angin Musim ber­hembus de­ngan sta­ bil ke arah tertentu pada suatu pe­rio­de se­ dangkan pada periode lain­nya angin ber­hem­ bus secara mantap pu­la dengan arah yang berlawanan. Angin Musim ini di­­picu oleh terjadinya pemanasan dan pen­dingin­an di benua Asia dan Australia yang menyebabkan angin berhembus dari daerah bertekanan tinggi ke arah yang ber­tekanan rendah. Bulan-bulan Desember, Januari, dan Fe­ brua­ri adalah musim dingin di belahan bumi uta­­ra dan musim panas di belahan bumi 63

se­­latan. Pada saat itu terjadi pusat tekanan ting­­gi di atas daratan Asia dan pusat tekanan ren­dah di daratan Australia. Keadaan ini menyebabkan angin ber­ hem­­bus dari Asia menuju Australia, yang di Indonesia dikenal sebagai Angin Musim Ba­ rat. Karena pengaruh putaran bumi (ga­ya Coriolis), arah angin ini umumnya dibelok­ kan ke kanan di belahan bumi utara dan dibelokkan ke kiri di belahan bumi selatan. Sebaliknya pada bulan-bulan Juli hingga Agustus terjadi pusat tekanan tinggi di atas daratan Australia dan tekanan rendah di atas daratan Asia, hingga di Indonesia ber­hem­ buslah Angin Musim Timur. Sistem te­­kan­an itu ternyata begitu tetap hingga me­­nye­bab­ kan angin musim berhembus de­ngan stabil terutama di atas lautan. Jadi dua kali dalam setahun angin musim berganti arah. Gambar 4-23 menunjukkan pola angin di Indonesia pada Musim Barat dan Musim Timur, ratarata untuk 30 tahun. 15

15 MALAYA

10

20

15

10

10

SARAWAK

10

15

5

10 15

5

JANUARI 15

15 10

10

15 10

15 10

MALAYA SARAWAK

15 72 m

10

15

JULI

Gambar 4-23 Atas: Pola umum arah angin dalam ke­adaan normal pada bulan Januari (Musim Barat), ra­ta-rata selama 30 tahun. Bawah: Pola umum arah angin dalam keadaan normal pada bulan Ju­li (Musim Timur), rata-rata selama 30 tahun. (Sumber: BMG)

64

Gambar 4-24 Perahu-perahu layar tradisional sejak dulu memanfaatkan angin musim dalam pelayaran antar pulau.

Bulan Maret hingga April, dikenal se­ba­ gai musim per­alih­an atau pancaroba awal tahun. Pada masa ini ke­kuat­an angin me­ lemah dengan arah yang tak menentu. De­ miki­an pula terjadi dalam bu­lan Oktober dan November, yang dikenal de­ngan musim per­ alih­an atau pancaroba akhir tahun. Karena ke­kuatan angin umum­nya lemah pada mu­ sim peralihan, maka laut pun umumnya te­ nang pada masa ini. Pelaut-pelaut tradisional kita telah lama memahami pola perubahan angin ini dan memanfaatkannya dalam pelayaran antar pulau. Ketika hubungan antar pulau masih dilakukan dengan perahu layar, para pelautpedagang memanfaatkannya untuk berlayar ke timur pada Musim Barat, dan kembali ke barat mengikuti hembusan Angin Timur. Angin musim membawa pengaruh pula pada curah hujan. Untuk kawasan Indonesia bagian barat misalnya, pada umumnya Mu­ sim Barat banyak membawa hujan sedang­ kan Musim Timur sedikit membawa hujan atau dikenal sebagai musim kemarau. Mu­ sim Barat yang membawa banyak hujan me­­nye­­bab­kan sungai-sungai lebih banyak me­­ngalirkan air tawar ke laut hingga me­nye­ bab­­kan turunnya salinitas di laut.

3. Angin Laut dan Angin Darat Selain angin musim, di pesisir pantai dapat ditemukan pula angin laut dan angin darat. Proses terjadinya sama dengan terja­ dinya angin musim dalam skala yang lebih kecil, yakni karena terjadinya perbedaan pemanasan dan pendinginan antara daratan dan lautan. Pada siang hari, permukaan daratan men­­jadi lebih cepat panas. Akibatnya uda­ra di atas permukaan daratan menjadi pa­nas dan memuai serta mudah menguap naik ke atas. Kekosongan udara di dekat per­muka­an da­ratan akan diisi oleh udara dari laut yang su­hunya lebih rendah. Udara yang naik di atas daratan kemudian menuju ke laut. Se­ lan­jutnya udara yang naik ini akan tu­run lagi di laut hingga membentuk daur kon­veksi se­ per­ti terlihat dalam Gambar 4-25. Jadi yang di­maksud dengan angin laut adalah angin

Angin Laut

per­mukaan yang berhembus dari laut ke darat yang terjadi pada siang hari. Sebalik­ nya angin darat adalah angin per­mukaan yang ber­hembus dari darat ke arah laut dan terjadi pada malam hari. Biasa­nya angin darat lebih le­mah daripada angin laut. Ketinggian sel angin laut dapat menca­ pai 3-4 km sedangkan jaraknya dari garis pan­­­tai sering mencapai 20 km, baik ke arah da­­ratan maupun ke arah laut, meskipun ja­ rak ini dapat pula melebar sampai 80 km dari pan­­tai. Angin laut mulai berhembus sekitar pu­­kul 9-11 pagi, sedangkan angin darat mu­lai pukul 5 sore. Nelayan-nelayan pan­tai de­ngan perahu layar memanfaatkan sifat angin ini. Perahu-perahu layar mereka be­rangkat ke laut pada malam hari meman­fa­ at­­kan angin darat, dan kembali besok siang­ nya dengan memanfaatkan angin laut. Angin musim dapat mempengaruhi angin laut dan angin darat. Di daerah-daerah yang angin musimnya lemah, angin laut dan angin daratlah yang memegang peranan di daerah pantai. Di daerah-daerah yang perbedaan angin musimnya jelas, angin laut dan angin darat berbeda sepanjang tahun, dibayangi oleh angin musim. Bentang darat seperti adanya gunung di daerah pantai bisa mempengaruhi kekuatan angin laut dan angin darat. Angin Darat 4. El Niño dan La Niña

Salah satu gangguan cuaca yang dapat memberi dampak bencana kekeringan yang ber­kepanjangan di Indonesia adalah El Niño. Mulanya fenomena El Niño ini diduga me­ru­ pa­kan fenomena yang hanya terjadi lokal di perairan Pasifik di sekitar pantai Peru.

Angin Darat Gambar 4-25 Mekanisme terjadinya angin laut dan angin darat. (Sumber: Anugerah Nontji)

Per­air­an Peru terkenal dengan perikan­ annya yang sangat produktif karena adanya air naik (upwelling) yang menyuburkan per­ air­an ini. Pada saat-saat tertentu, yang di­ ke­nal dengan El Niño, air hangat masuk ke per­airan ini dan menyebabkan upwelling ter­ henti, dan dampaknya luar biasa karena pro­ 65

KONDISI NORMAL

KONDISI EL NINO

Konveksi Konveksi Katulistiwa Katulistiwa

Australia Amerika Selatan

Australia

Termoklin 120º Bujur Timur

Termoklin

80º Bujur Barat

Gambar 4-26 Kiri: Samudera Pasifik pada kondisi normal. Terjadi pe­numpukan air hangat di Pasifik Barat, sebelah uta­­ra Papua. Kanan: Samudera Pasifik pada saat terjadinya El Ni­no. Air hangat mengalir ke timur. Kedalaman ter­mo­­klin di bagian barat Pasifik menaik, sedangkan di ba­­gian timur Pasifik menurun. Awan hujan ber­gerak ke ti­mur, hingga Amerika Selatan kebanjiran, se­dang­­kan In­do­nesia mengalami kekeringan (Sumber: NOAA)

Amerika Selatan

120º Bujur Timur

80º Bujur Barat

duksi plankton turun, yang pada gi­liran­nya me­nyebabkan produksi perikanan pun turun de­ngan drastis. Perkembangan pe­nge­tahu­ an kelautan mutakhir menunjuk­kan bah­wa fe­nomena El Niño ini merupakan feno­mena yang berskala besar yang dampak­nya pun ber­sifat global.

Ringkasan Arus

Sirkulasi adalah gerakan aliran air laut, yang dapat berupa arus.



Arus laut dapat diukur dengan berbagai cara, baik dengan alat ukur yang tetap (sta­sioner) maupun dengan alat ukur yang ikut menyertai aliran arus.



Pola arus utama di Indonesia sangat ditentukan oleh angin musim (mon­soon), yakni Musim Barat, Musim Timur, dan Musim-Peralihan di antara keduanya.



Upwelling adalah gerak naiknya air dari lapisan dalam ke permukaan, yang mem­ bawa hara yang kaya ke permukaan hingga dapat menyu­bur­kan perairan per­ mukaan.



Arlindo (Arus Lintas Indonesia) adalah arus yang mengalirkan massa air dari Samu­dera Pasifik ke Samudera Hindia melalui selat-selat di perairan Nusantara.



Seluruh dunia terkait dalam sistem sirkulasi yang dikenal dengan Sabuk Penghan­ tar Samudera Raya (The Great Ocean Conveyor Belt) yang menghantarkan air dingin dan air hangat dalam sistem sirkulasi global.

Gelombang

66

Gelombang selalu terjadi di laut, mulai dari gelombang yang sangat kecil (tinggi < 1 mm) hingga gelombang besar yang tingginya puluhan meter.



Pembangkit gelombang yang paling utama adalah angin. Tingginya gelombang bergantung pada kekuatan angin, lamanya angin berhembus, dan jangkauan atau jarak tempuh angin.



Gelombang besar juga dapat disebabkan karena tsunami, yakni karena gempa di dasar laut, longsoran di atau ke dalam laut, atau letusan gunung api di laut.

Pasang-surut

Pasang-surut (disingkat pasut) adalah gerak berirama permukaan laut yang pembangkit utamanya adalah gaya tarik (gravitasi) bulan dan matahari.



Kondisi lokal sangat menentukan kisaran tinggi pasut. Ada pantai yang kisaran tinggi pasutnya kecil (beberapa cm), tetapi ada juga yang sangat tinggi sampai 7-8 m.



Pasut purnama terjadi bila bulan, bumi, dan matahari terletak pada satu garis lurus hingga gravitasi bulan dan matahari saling memperkuat, hingga pasangnya sa­ngat tinggi tetapi surutnya juga sangat rendah. Pasut perbani, terjadi bila bulan dan matahari membentuk sudut tegak lurus terhadap bumi hingga pasang mau­ pun surutnya kecil.



Pola irama pasut dapat dibagi menjadi pasut harian tunggal (sekali pasang dan se­kali surut dalam sehari), pasut harian ganda (dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari), dan campuran keduanya.



Pasut dapat diramalkan terjadinya untuk berbagai daerah tertentu. Buku ramalan pasang-surut diterbitkan tiap tahun oleh Jawatan Hidrografi TNI AL.

Cuaca

Kehidupan dan aktivitas manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca.



Kondisi cuaca banyak dipengaruhi oleh interaksi fisik antara laut dan atmosfer.



Angin bertiup dari tempat yang tekanan udaranya tinggi ke tempat yang tekanan angin udaranya rendah.



Angin musim (muson) terjadi secara berkala di Indonesia. Angin Musim Barat umumnya berhembus dari daratan Asia ke Australia, sebaliknya terjadi pada Musim Timur, di mana angin berhembus dari Australia ke daratan Asia. Musim Barat lebih banyak membawa hujan daripada Musim Timur.



Di antara kedua musim tersebut, Indonesia mengalami musim peralihan atau musin pancaroba. Musim ini berlaangsung saat matahari terletak di khatulistiwa.



Angin darat berhembus pada malam hari dari daratan ke arah laut. Sebaliknya angin laut terjadi pada siang hari dari laut ke darat.



El Niño adalah kelainan cuaca yang dapat menyebabkan kekeringan yang ber kepanjangan di Indonesia. La Niña adalah kebalikan dari El Niño yang menyebab­ kan hujan berlebihan di Indonesia.

67

Soal Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar! 1. Apa yang dimaksud dengan penaikan air (upweling)? a. Air yang mengalir dari pantai ke tengah samudera b. Permukaan air yang bergerak naik-turun secara periodik c. Air yang mengalir dari sungai ke laut d. Air dari lapisan dalam yang bergerak naik ke permukaan e. Kondisi laut pada saat pasang tinggi 2. Apa yang dimaksud dengan Arlindo? a. Arus yang mengalir di sepanjang katulistiwa b. Arus yang polanya berpusar c. Arus bolak balik d. Arus yang mengalir sepanjang pantai e. Arus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui selat-selat di Indonesia 3. Apa penyebab terjadinya gelombang tsunami? a. Karena pasang-surut b. Karena badai yang terjadi di samudera c. Karena angin puting beliung terjadi di pantai d. Karena gempa bawah laut e. Karena perubahan global 4. Jelaskan apa yang menjadi pendorong utama terjadinya pasang-surut. a. Pasang surut terjadi karena pengaruh gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi b. Karena terjadinya perubahan musim dari Musim Timur ke Musim Barat c. Karena terjadinya perubahan pola arus d. Karena terdapat perbedaan suhu di permukaan laut e. Karena naiknya permukaan laut akibat pencairan es di kutub

68

5. Apa yang dimaksud dengan pasang-surut purnama? a. Pasang surut yang terjadi pada saat bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus b. Pasang surut yang terjadi di daerah sekitar muara c. Perbedaan tinggi muka air pada saat pasang dan surut sangat kecil d. Pasang yang terjadi hanya pada malam hari e. Pasang disebabkan karena badai di samudera 6. Apa yang dimaksud dengan pola pasang-surut harian tunggal? a. Pasang yang terjadi hanya sekali dalam sehari b. Pasang yang terjadi dua kali dalam sehari c. Pasang-surut yang tak beraturan d. Pasang-surut yang perbedaan antara pasang dan surutnya sangat kecil e. Pasang-surut dengan perbedaan antara pasang dan surutnya sangat besar 7. Mengapa nelayan tradisional (dengan perahu layar) biasanya mulai melaut pada malam hari dan kembali ke darat keesokan paginya? a. Karena pada malam hari terjadi angin darat yang menghembus dari darat ke laut, sedangkan pada pagi hari bertiup angin laut dari laut ke darat b. Karena pada malam hari suhu udara di darat lebih hangat daripada di laut c. Agar lebih mudah memasarkan hasil tangkapan pada pagi hari d. Agar tidak melelahkan di bawah terik matahari e. Karena mengkap ikan lebih mudah pada malam hari 8. Apa itu El Niño? a. El Niño adalah perubahan iklim yang disebabkan terjadinya anomali cuaca di Samudera Pasifik yang mengakibatkan terjadinya musim kering yang berkepanjangan di Indonesia b. El Niño adalah musim hujan yang berkepanjangan yang menimbulkan bencana alam di mana-mana c. El Niño adalah badai yang menimpa sebagian besar wilayah Indonesia d. El Niño adalah gelombang besar yang menimbulkan bencana di pantai e. El Niño adalah terjadinya pemanasan permukaan laut yang diakibatkan oleh emisi gas dari industri

69

Jawablah pertanyaan di bawah ini. 1. Jelaskan tiga sebab terjadinya tsunami. 2. Sikap apa yang harus kita lakukan menghadapi bencana, misalnya gempa, tsunami, banjir, dan lain-lain. 3. Jelaskan bagaimana cara mengukur kecerahan air laut.

Tugas 1. Ukurlah suhu udara dan suhu air laut secara berkala, setiap jam selama sehari penuh. Diskusikan hasil yang diperoleh. Bagaimana hasilnya bila pengukuran itu dilakukan di kobakan air yang terisolir dari laut lepas. 2. Ambillah seliter air laut, kemudian panaskan hingga semua airnya menguap. Timbanglah berat kristal yang tertinggal. Berapa salinitas air laut itu? 3. Buatlah lempengan bundar dari papan berdiamter 30 cm, di cat pu­t­ih, dan diberi pem­berat di bawahnya. Turunkan ke dalam laut de­ngan tali yang telah diberi skala meter. Amati dari permukaan. Pada kedalaman berapa lempeng itu menghilang dari pandangan? Lakukan di perairan laut yang jernih dan yang keruh. Adakah beda­nya. Nilai yang diperoleh menunjukkan tingkat kecerahan air laut. 4. Ambillah sebuah botol kosong, dan isi dengan air sekitar sepertiganya kemudian tutup yang erat. Lepaskan di laut. Amati ke mana hanyutnya. Dapatkah engkau mem­perkirakan arah dan kekuatan arus setempat. 5. Pancangkan sebuah tonggak yang telah diberi skala di laut. Catatlah ketinggian air setiap jam selama sehari penuh. Buatlah kurvanya. Kajilah berapa kali pasang dan berapa kali surut dalam sehari di tempat itu. Berapakah kisaran tinggi pasang surut­nya? Termasuk dalam kategori manakah pasang-surut di tempat itu. 6. Amatilah berita-berita cuaca dari koran atau televisi. Adakah hubungan antara kekuatan angin, hujan, dan tinggi gelombang di laut?

70

Glosari

Arlindo = Arus Lintas Indonesia.



Angin darat = angin yang berhembus dari darat ke laut pada malam hari.



Angin laut = angin yang berhembus dari laut ke darat pada siang hari.



Angin musim (muson) = angin yang berhembus secara berkala mengikuti pola arah tertentu, misalnya Musim Barat, Musim Timur, dan Musim Peralihan.



El Niño = kelainan cuaca yang dipicu oleh kelainan interaksi fisik antara laut dan atmosfer, yang mempunyai dampak sangat luas. Di Indonesia dapat menyebabkan musim kering yang berkepanjangan yang bisa mengakibatkan meluasnya kegagalan panen, meningkatnya kebakaran hutan, dan sebagainya.



La Niña = adalah kebalikan dari El Niño, yang di Indonesia menyebabkan hujan yang berlebihan.



Siklon = angin kuat yang terjadi di laut, yang merupakan pusaran besar yang dapat bergerak berpindah sebelum terurai habis. Siklon dapat menimbukan bencana di laut maupun di darat.

71

Daftar Pustaka Allen, W.E. & E. E. Cupp. 1935. Plankton diatoms of the Java Sea. Ann. du Jard. Bot. de Buit. 44: 1174. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: Asset pembangunan berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Delsman, H. C. 1939. Preliminary plankton investigation in the Java Sea. Treubia 17: 139-184. Duxbury, A. B., A. C. Duxbury & K. A. Sverdrup. 2002. Fundamentals of Oceanography. 4th Edition. New York: McGraw-Hill. Hendiarti, N. 2003. Investigation of ocean color remote sensing in Indonesian waters using SeaWiFs. Doctor Disertation, University of Rostock. Hutabarat, S. & S. M Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Ingmanson, D.E. & W. J. Wallace. 1973. Oceanograhy: an introduction. Third Edition. Belmont: Wadsworth Publishing Company. McConnaughey, B. H. 1978. Introduction to Marine Biology. Saint Louis: The C.V. Mosby Co. Mojetta, A. 1995. The Barrier Reef: Guide to the World of Corals. Shrewsbury: Swan Hill Press. Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ke-3. Jakarta: Penerbit Djambatan. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut: Suatu pendekatan ekologis. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Russell-Hunter, W.D. 1970. Aquatic productivity: An Introduction to Some Basic Aspects of Biological Oceanography and Limnology. London: The Macmillan Co. Collier-Macmillan Ltd.. Sverdrup, H.U., M. W. Johnson & R.H. Fleming. 1961. The oceans: Their physics, Chemistry, and General Biology. Modern Asia Edition. Englewood: Prentice-Hall Inc. . Webber, H.H. & H.V. Thurman. 1991. Marine Biology. New York: Harper Collins Publ. Inc. Weihaupt, J. G. 1979. Exploration of The Oceans: an Introduction to Oceanography. New York: Macmillan Publishing Co. Weyl, P.K. 1970. Oceanography: an Introduction to The Marine Environment. New York: John Wiley & Sons. Wickstead, J. H. 1965. An Introduction to The Study of Tropical Plankton. London: Hutchinson Tropical Monographs. Hutchinson and Co. Ltd. Wyrtki, K. 1958. The Water Exchange Between The Pacific and Indian Oceans in Relation to Upwelling Processes. Proc. 9th Pacif. Sci. Cong.16: 61-66. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Naga Report, Vol 2, San Diego: University of Caifornia, 195 hlm.

72