PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA ... - PTTUN Medan

57 downloads 3174 Views 219KB Size Report
30 Jan 2013 ... tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD ... Apabila kita merujuk pada pengertian tata usaha negara pada Pasa 1 ...
PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU OLEH PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum

Kewenangan absolut pengadilan dilingkungan peradilan tata usaha negara adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara ( Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ). Kewenangan absolut tersebut diperluas melalui ketentuan Pasal 269 ayat (1) jis Pasal 259 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan Pasal 2 butir 1 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2012, yaitu memeriksa, mengadili dan memutus sengketa tata usaha negara Pemilu. Sengketa tata usaha negara Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota atau Partai Politik calon peserta Pemilu dengan KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/kota ( Pasal 268 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Dengan demikian sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara : a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos virifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu; b. KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap ( Pasal 268 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 ).

1

.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat dikemukakan unsur-unsur sengketa tata usaha negara Pemilu sebagai berikut : 1. Sengketa dalam bidang tata usaha negara Pemilu; 2. Sengketa terjadi antara Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota atau Partai Politik calon peserta Pemilu dengan KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota; 3. Adanya keputusan KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota; ad 1).

Apabila kita merujuk pada pengertian tata usaha negara pada Pasa 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan, bahwa tata usaha negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, maka dapat dikemukakan bahwa sengketa tata usaha negara Pemilu adalah sengketa dalam bidang administrasi Pemilu baik di pusat maupun di daerah.

ad 2). Penggugat dalam sengketa tata usaha negara Pemilu adalah: a. Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, Calon Anggota yang dicoret dari daftar calon tetap; atau b. Partai Politik calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi; dan Tergugat dalam sengketa tata usaha negara Pemilu adalah: a. Komisi Pemilihan Umum, atau b. Komisi Pemilihan Umum Propinsi, atau c. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota;

2

( Pasal 268 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 jo Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu ); dan ad 3). Obyek gugatan pada sengketa tata usaha negara Pemilu adalah : a. Keputusan Komisi Pemilhan Umum tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu; b. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Propinsi, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Pemilu . ( Pasal 268 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012). Seseorang atau suatu partai politik yang tidak menerima keputusan KPU atau KPU Propinsi atau Kabupaten/Kota dapat mengajukan gugatan secara tertulis ke pengadilan tinggi tata usaha negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat, dengan menyebutkan keputusan KPU yang digugat dan alamat lengkap termasuk alamat email. Namun sebelum gugatan diajukan ke pengadilan tinggi tata usaha negara, sengketa tersebut harus terlebih dahulu diselesaikan di Bawaslu ( Pasal 269 ayat (1) jis Pasal 259 ayat (2) UU No.8 Tahun 2012, Pasal 2 butir 1 Perma No. 6 Tahun 2012 dan 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Dengan demikian pengadilan tinggi tata usaha Negara baru berwenang mengadili sengketa tata usaha Negara Pemilu setelah ditempuh upaya administratif seperti diatur pula pada Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, hanya saja gugatan berdasarkan Pasal 48 UU No.5 Tahun 1986 obyeknya adalah keputusan dari proses administratif yang bersangkutan, misalnya pada sengketa pemberhentian pegawai negeri sipil, obyek gugatannya bukan surat keputusan pemberhentiannya, melainkan keputusan badan pertimbangan kepegawaian, sedangkan

3

pada sengketa tata usaha negara Pemilu, yang menjadi obyek gugatan bukan keputusan dari Bawaslu, tetapi keputusan KPU atau KPU Propinsi atau KPU Kabupatenj/Kota. Pemeriksaan sengketa tata usaha negara Pemilu di pengadilan tinggi tata usaha negara

dilakukan

tanpa

pemeriksaan

persiapan

oleh

majelis

hakim

untuk

menyempurnakan surat gugatan penggugat sebagaimana dimaksud Pasal 63 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 269 ayat (3) UU No.8 Tahun 2012 dan Pasal 3 butir 2 Perma No. 6 Tahun 2012), sehingga kesempatan untuk menyempurnakan surat gugatan penggugat dilakukan oleh ketua pengadilan tinggi tata usaha negara atau hakim yang ditunjuk, setelah gugatan diterima oleh pengadilan tinggi tata usaha negara. Perbaikan gugatan penggugat tersebut tentu mengacu pada Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu penyempurnaan formalitas surat gugatan penggugat, terutama yang berhubungan dengan penyebutan identitas penggugat, tergugat, keputusan obyek sengketa, uraian posita dan petitum. Tenggang waktu untuk memperbaiki gugatan oleh penggugat dihadapan ketua pengadilan tinggi tata usaha negara atau hakim yang ditunjuk hanya diberikan waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya surat gugatan tersebut. Apabila penggugat tidak dapat menyempurnakan surat gugatannya dalam tenggang waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya surat gugatan, maka hakim memberikan putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum (Pasal 269 ayat (3), (4), dan (5) UU No.8 Tahun 2012 dan Pasal 3 butir 4 Perma No.6 Tahun 2012). Untuk mendukung percepatan proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara Pemilu, setelah gugatan diterima oleh kepaniteraan perkara, gugatan tersebut harus segera diserahkan pada hari itu juga oleh kepaniteraan perkara melalui panitera kepada ketua pengadilan tinggi tata usaha negara.

4

Menurut hemat penulis proses perbaikan gugatan oleh ketua atau hakim yang ditunjuk tersebut merupakan proses yang bersifat informal, karena secara yuridis formal gugatan tersebut belum terdaftar dikepaniteraan perkara. Apabila perbaikan gugatan oleh ketua pengadilan tinggi tata usaha negara tidak dihadiri oleh tergugat, tentu dapat memicu timbulnya kecurigaan tergugat adanya keberpihakan ketua pengadilan tinggi tata usaha negara terhadap penggugat. Hal tersebut tentu tidak selaras dengan asas peradilan audi et alterem partem dan asas fair play. Selanjutnya setelah gugatan dinyatakan lengkap, ketua menyerahkan kembali berkas gugatan tersebut kepada kepaniteraan perkara untuk didaftarkan di kepaniteraan perkara pengadilan tinggi tata usaha negara ( Pasal 3 butir 5 Perma No.6 Tahun 2012). Kemudian berkas gugatan tersebut diserahkan kembali kepada ketua pengadilan tinggi tata usaha Negara dan paling lama dalam waktu 3 (tiga) hari kerja setelah gugatan didaftarkan, ketua pengadilan tinggi harus sudah menetapkan majelis hakim yang akan mengadilinya ( Pasal 3 butir 6 dan 13 Perma No.6 Tahun 2012). Majelis hakim yang ditunjuk untuk mengadili sengketa tata usaha Pemilu adalah hakim karier di lingkungan pengadilan tinggi tata usaha negara dan Mahkamah Agung RI yang ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung RI ( Pasal 4 butir 1 dan 2 Perma No.6 Tahun 2012). Setelah ketua menetapkan majelis hakimnya, gugatan diserahkan kembali oleh ketua kepada panitera untuk menetapkan panitera atau panitera pengganti yang akan mendampingi hakim bersidang. Selanjutnya panitera menyerahkan berkas gugatan tersebut kepada kepaniteraan perkara untuk diteruskan kepada majelis hakim yang bersangkutan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak diterimanya gugatan sampai penunjukan majelis hakim, alur pengadministrasian perkara

5

bolak-balik dari

kepaniteraan perkara kepada ketua pengadilan tinggi tata usaha negara, yang tentu juga tidak sejalan dengan asas efisiensi dan asas efektifitas. Tata cara proses pemeriksaan sengketa tata usaha negara Pemilu di pengadilan tinggi tata usaha negara dan Mahkamah Agung RI dilakukan sesuai dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012, Perma Nomor 6 Tahun 2012. Dalam hal tidak diatur secara tegas dalam Perma No.6 Tahun 2012, maka secara mutatis mutandis berlaku hukum acara yang berlaku terhadap sengketa tata usaha negara sebagaimana diatur dalam undangundang tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan dan undang-undang tentang Mahkamah AgungRI ( Pasal 5 Perma No.6 Tahun 2012). Setelah berkas gugatan diterima oleh majelis hakim, lalu ketua majelis menetapkan hari sidang, kemudian memerintahkan panitera/panitera pengganti untuk memanggil para pihak sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali sengketa tersebut diperiksa dengan acara cepat (Pasal 64 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 ). Untuk mendukung percapatan tersebut, semestinya jangka waktu pemanggilan terhadap para pihak juga dipercepat dengan menggunakan email sebagaimana telah disepakati pada forum Rakernas MA tahun 2012 ( Rumusan Hasil Diskusi Kelompok IV Bidang PERATUN, huruf I, hal. 4), sehingga pemanggilan tersebut tidak harus dilakukan semata-mata melalui surat tercatat sebagaimana dimaksud Pasal 65 UU No.5 Tahun 1986. Setelah majelis hakim membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum pada hari sidang pertama, pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan surat gugatan penggugat dan surat jawaban tergugat oleh ketua sidang ( Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986 ). Bagaimana jika tergugat tidak hadir memenuhi panggilan sidang pertama ? Apakah harus dipanggil lagi sesuai dengan ketentuan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ? atau apakah sidang

6

dapat dilanjutkan tanpa kehadiran tergugat sebagaimana dimaksud Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ? dan bagaimana pula jika tergugat tidak bersedia mengajukan alat bukti surat yang diminta oleh hakim ? Apakah tergugat dianggap mengakui kebenaran dalil gugatan penggugat ?. Permasalah-permasalahan tersebut tidak terjawab oleh undang-undang Peratun dan undang-undang Pemilu dan Perma diatas, oleh karena itu hakim harus berupaya mencarikan solusinya, karena sesuai dengan amanah pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Setelah acara jawaban tergugat, acara sidang dilanjutkan dengan acara replik penggugat dan duplik tergugat serta pembuktian para pihak. Pada tahap pembuktian, sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 107 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, hakim harus aktif menentukan apa yang harus dibuktikan dan menentukan kepada siapa pembuktian itu dibebankan. Untuk itu agar tercapai target pemutusan perkara paling lama 21 hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap, sebaiknya pada hari persidangan pertama, majelis hakim telah memberikan pengarahan tentang pembuktian tersebut kepada para pihak. Pada sengketa tata usaha negara Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu, seyogyanya majelis hakim memberikan pengarahan supaya mengajukan alat-alat bukti surat sekurang-kurangnya berupa : 1. Surat pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik yang disertai dokumendokumen: a. Berita Negara RI yang menyatakan bahwa partai politik terdaftar sebagai badan hukum;

7

b. Keputusan pengurus pusat partai politik tentang pengurus tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kota; c. Surat keterangan dari pengurus pusat partai tentang kantor dan alamat tetap pengurus tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota; d. Surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %; e. Surat keterangan tentang pendaftaran nama, lambang, dan/atau tanda gambar partai politik dari Kementrian Hukum dan Hak asasi manusia; f. Bukti keanggotaan partai poltik paling sedikit 1000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada setiap kabupaten/kota; g. Bukti kepemilikan nomor rekening atas nama partai politik; h. Salinan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik. ( vide Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 dan Pasal 8 ayat (2) UU No.8 Tahun 2012); 2. Surat tanda bukti pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu dari KPU ( vide Pasal 14 ayat (2) UU No.8 Tahun 2012) ; 3. Penetapan partai politik pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagai peserta pemilu berikutnya dari KPU ( vide Pasal 8 ayat (1) UU No.8 Tahun 2012); 4. Berita Acara Sidang Pleno KPU tentang verifikasi partai politik sebagai peserta Pemilu ( vide Pasal 17 ayat (3) UU No.8 Tahun 2012); 5. Penetapan partai politik sebagai peserta Pemilu dari KPU ( vide Pasal 17 ayat (3) UU No.8 Tahun 2012); 6. Berita acara sidang pleno terbukaa KPU untuk menetapkan nomor urut partai politik sebagai peserta Pemilu ( vide Pasal 17 ayat (4) UU No.8 Tahun 2012);

8

7. Penetapan nomor urut partai politik sebagai peserta Pemilu dari KPU ( vide Pasal 17 ayat (4) UU No.8 Tahun 2012); 8. Pengumuman Penetapan partai politik sebagai peserta Pemilu (vide Pasal 17 ayat (5) UU No.8 tahun 2012); 9. Hasil pengawasan Bawaslu, Bawaslu Propinsi, Panwaslu kabupaten/kota atas verifikasi partai yang dilakukan oleh KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota ( Pasal 18 ayat (1) UU No.8 Tahun 2012). Demikianpun dalam sengketa tata usaha negara Pemilu yang berkaitan dengan Daftar Calon Tetap anggota DPR,DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/kota, majelis hakim seyogyanya memberikan pengarahan supaya mengajukan alat-alat bukti surat paling kurang berupa : 1. Kartu tanda penduduk warga Negara Indonesia; 2. Fotocopi ijzah, surat tanda tamat belajar (STTB), syahadah, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah; 3. Surat pernyataan diatas materai bagi calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang tidak pernah dipidana dengan diancam hukuman 5 (lima) tahun atau lebih atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana; 4. Surat keterangan sehat jasmani dan rohani; 5. Surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih; 6. Surat pernyataan diatas kertas bermaterai tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu; 7. Surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaries, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan/atau

9

tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yang ditandatangani diatas ketas bermaterai cukup; 8. Surat pengunduran diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Repblik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; 9. Kartu tanda anggota partai politik peserta Pemilu; 10. Surat pernyataan tentang kesediaan untuk hanya dicalonkan oleh 1(satu) partai politik untuk 1(satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani diatas kertas bermaterai cukup; 11. Surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan pada 1(satu) daerah pemilihan yang ditandatangani diatas kertas bermaterai cukup; ( Pasal 51 UU No.8 Tahun 2012); 12. Daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dari pengurus partai politik pusat, propinsi, kabupaten/kota ( Pasal 53 UU No.8 Tahun 2012); 13. Berita acara verifikasi kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota ( Pasal 58 UU No.8 Tahun 2012);

10

14. Surat tanda bukti pengembalian dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dari KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota kepada partai politik ( Pasal 59 UU No.8 Tahun 2012 ); 15. Daftar calon sementara anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dari Ketua KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota ( Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2012 ); 16. Pengumuman daftar calon sementara anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota dari Ketua KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota ( Pasal 62 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 2012 ); 17. Keputusan KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota tentang Penetapan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota ( Pasal 66 ayat (1), (2) UU No.8 Tahun 2012 ); 18. Pengumuman dari KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota tentang Penetapan Daftar Calon Tetap anggota DPR, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota ( Pasal 67 ayat (1) UU No.8 Tahun 2012); Selain pengajuan alat bukti surat, para pihak juga harus juga diberi kesempatan untuk mengajukan saksi dan ahli sebagaimana dimaksud Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Setelah acara pembuktian selesai, hakim memberikan kesempatan kepada para pihak

untuk

mengajukan

kesimpulannya

masing-masing.

Kemudian

setelah

bermusyawarah majelis hakim akan memutus sengketa tersebut ( Pasal 97 ayat (2), (3), (4), (5), (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ). Bunyi amar putusan hakim dalam sengketa tata usaha negara yang berhubungan dengan verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu dan Daftar Calon Tetap Anggota DPR,DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 8

11

Tahun 2012 dan Perma Nomor 6 Tahun 2012. Menurut penulis gugatan dalam sengketa tata usaha negara Pemilu tidak murni didasarkan pada ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, tetapi secara implisit juga didasarkan pada ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, karena pada hakikatnya tujuan pengajuan gugatan penggugat adalah menuntut agar tergugat menerbitkan keputusan tata usaha negara yang baru, yang memuat nama penggugat didalamnya, sehingga amar putusan hakim pengadilan tinggi tata usaha Negara harus merujuk pula pada ketentuan Pasal 97 ayat (8), (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahunh 1986, yaitu dalam hal gugatan dikabulkan dan surat keputusan obyek sengketa dinyatakan batal, maka hakim memerintahkan tergugat untuk menerbitkan surat keputusan baru, yang memuat nama penggugat didalamnya. Agar majelis hakim dapat memenuhi ketentuan tersebut diatas, sejak ia menerima berkas perkara majelis hakim harus sudah membuat rencana jadwal persidangan dan menyampaikannya kepada para pihak pada hari sidang pertama serta meminta para pihak untuk mematuhinya. Misalnya dengan ilustrasi kasus gugatan dinyatakan lengkap pada tanggal 2 Januari 2013, kemudian pada hari dan tanggal itu juga ketua menunjuk majelis hakimnya, maka majelis hakim dapat membuat perencanaan jadwal sidang sebagai berikut : a. Pada tanggal 2 Januari 2013, setelah kepaniteraan perkara pengadilan tinggi tata usaha negara menerima berkas gugatan, kemudian pada hari itu juga menyerahkannya kepada ketua untuk meneliti kelengkapannya dan setelah dinyatakan lengkap pada hari itu juga ketua menunjuk majelis hakim untuk mengadilinya ;

12

b. Pada tanggal 2 Januari 2013 itu juga ketua majelis memerintahkan panitera/ panitera pengganti untuk memanggil para pihak supaya hadir pada tanggal 8 Januari 2013; c. Pada tanggal 8 Januari 2013 merupakan hari sidang pertama dengan acara pembacaan gugatan penggugat ; d. Pada tanggal 10 Januari 2013 pemberian kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan jawabannya; e. Pada tanggal 11 Januari 2013 pemberian kesempatan kepada penggugat untuk mengajukan replik; f. Pada tanggal 14 Januari 2013 pemberian kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan duplik; g. Pada tanggal 15 s/d 18 Januari pemberian kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat bukti ; h. Pada tanggal 21 Januari 2013 pemberian kesempatan kepada para pihak untuk menyerahkan kesimpulannya masing-masing; i.

Pada tanggal 30 Januari 2013 pembacaan putusan hakim. (dari tanggal 2 Januari s/d 30 Januari 2013 = 21 hari kerja ).

Putusan pengadilan tinggi tata usaha negara tersebut hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia ( Pasal 269 ayat (7) UU No.8 Tahun 2012), yang harus diajukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan pengadilan tinggi tata usaha negara diucapkan (Pasal 269 ayat (8) UU No.8 Tahun 2012) dan Mahkamah Agung wajib memberikan putusan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diajukan ( Pasal 269 ayat (9) UU No9.8 Tahun 2012). Putusan Mahkamah Agung tersebut bersifat mengikat, sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali ( Pasal 269 ayat (1) UU No.8 Tahun 2012).

13

Selanjutnya KPU atau KPU Propinsi atau Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tinggi tata usaha negara atau putusan Mahkamah Agung RI paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan diucapkan ( Pasal 269 ayat (11) UU No.8 tahun 2012 ).

14