peranan bethara katong dalam islamisasi di ... - Jurnal Online UM

32 downloads 88 Views 195KB Size Report
Perang paregreg sendiri terjadi pada tahun 1401 M yang diawali dengan ... dengan perang saudara tersebut, pengawasan terhadap daerah-daerah bawahan.
PERANAN BETHARA KATONG DALAM ISLAMISASI DI PONOROGO PADA TAHUN 1482-1496

ANTIKA CHRISTANTINA Universitas Negeri Malang E-mail: [email protected] ABSTRAK: Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) Mengenai masayarakat Jawa di masa akhir Majapahit (2) Keadaan Ponorogo sebelum agama Islam masuk, (3) Proses Islamisasi oleh Bethara Katong di Ponorogo, (4) Strategi Islamisasi yang dilakukan oleh Bethara Katong di Ponorogo. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dan juga metode kompilatif. Metode penelitian memaparkan tentang proses menguji dan menganalisis secara kritis, rekaman dan peninggalan masa lampau. Secara teoritis penulisannya meliputi pemilihan topik, heuristik, yaitu sumber data primer dan sekunder, kritik sumber dan Historiografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Adanya perebutan kekuasaan serta perselisihan keluarga Kerajaan Majapahit yang berlarut-larut serta terjadi secara terus menerus, menimbulkan peperangan antara keluarga kerajaan. Masa akhir Majapahit telah meninggalkan permasalahan keagamaan, yaitu masalah perkembangan agama Hindu (Siwa) dan agama Budha. Adanya gejala kemunduran agama Siwa dan Budha serta “menghilangnya” peranan agama Budha yang ketika itu disebabkan karena terjadinya hubungan yang erat diantara kedua agama tersebut. (2) Sebelum agama Islam masuk Ponorogo adalah bagian dari daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit, sebelum agama Islam masuk di Ponorogo agama yang ada di Ponorogo adalah agama Hindu dan agama Budha. (3) Agama Islam masuk ke Ponorogo dimulai ketika Adipati Terung, adik dari Raden Patah mendapatkan perintah langsung dari Raden Patah untuk menaklukkan daerah sebelah timur. Daerah sebelah timur tersebut diantaranya adalah Ponorogo. Ketika Itu Ponorogo dipimpin oleh seorang Adipati Bethara Katong. Pada saat penakhlukan Raden Patah diangkat sebagai Sultan di Demak pada tahun 1481 M. Islam masuk di Ponorogo sekitar 1482 M, hal tersebut dapat dilihat pada batu peninggalan Bethara Katong yang ditemukan di daerah sekitar Telaga Ngebel. (4) Berkembangan agama Islam di Ponorogo sangat dipengaruhi oleh peranan Bethara Katong. Cara-cara yang dilakukan oleh Bethara Katong tidak lepas dari saluran-saluran Islamisasi yang berkembang di Nusantara. Cara-caranya diantaranya adalah: (a) kesenian, (b) pengaruh politik, (c) perkawinan (d) strategi kultural. Kata kunci: Agama Islam, masyarakat Ponorogo

Pada saat itu Ponorogo adalah merupakan daerah kekuasaan di bawah Majapahit. Ponorogo atau Wengker pada masa Airlangga, merupakan daerah penting bagi Kerajaan Majapahit. Hal itu dapat dilihat pada penyebutan hubungan keduanya dan peranan-peranan penting yang dilakukan dan diterima oleh

1

Wengker pada masa Majapahit. Wengker mulai ada hubungan erat dengan Majapahit setelah Raden Kuda Merta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wijayarajasa mengawini Bhre Daha (Poesponegoro, 1984:433). Pada 1481 M Raden Patah dinobatkan menjadi seorang Sultan di Demak maka Adipati Terung mulai melakukan Islamisasi di kawasan Jawa bagian Timur, ketika Islamisasi di Ponorogo itulah Adipati yang masih beragama Hindu-Budha dibawa untuk menghadap Raden.Patah ke Demak Bintoro dan diIslamkan (Santoso, 1970:175176). Ketika Itulah Bethara Katong mulai berganti agama dan memeluk Islam. Bethara Katong berganti agama menjadi Islam dapat dilihat ketika penundukan kadipaten Ponorogo bersamaan dengan diangkatnya Raden Patah menjadi SultanDemak. Dengan Islamnya Bethara Katong dan berpindahnya Kadipaten dibawah panji-panji kesultanan Demak, maka Bethara Katong mulai melakukan Islamisasi terhadap masyarakat Ponorogo. Pada saat Islam masuk dan berkembang di Ponorogo, terjadilah akulturasi budaya asli dari masyarakat setempat dengan agama dan kepercayaan baru yaitu Islam. Masa tersebut adalah masa peralihan, istilah tersebut adalah istilah dimana suatu periode transisi dari zaman Hindu-Budha ke zaman Islam secara resmi. Kebudayaan pada masa peralihan lahir dan berkembang sebagai hasil interaksi kultural antara Islam dengan kebudayaan Hindu-Budha. Pada saat kekuasaan Majapahit mulai menurun. Islam saat itu memainkan peran yang sangat aktif dalam proses islamisasi. Dengan menggunakan pendekatan yang lentur dengan budaya-budaya Hindu-Budha yang telah tertanam di dalam masyarakat (Mustopo, 2001:5-34). Berkembangnya agama Islam di Ponorogo tidak bisa lepas dari pengaruh ekspansi kekuasaan Kesultanan Demak. Masuk dan berkembangnya Islam di Ponorogo menurut tradisi setempat, yaitu adalah larungan dan juga kesenian yang berkembang di Ponorogo yaitu REOG, dimana merupakan media yang digunakan untuk melakukan Islamisasi tidak lepas dari peran Bethara Katong, Islam mulai berkembang di Ponorogo ketika Bethara Katong dinobatkan menjadi Adipati di daerah Ponorogo, yang ketika itu nama sebelumnya adalah Wengker.

2

METODE Penelitian mengenai Peranan Bethara Katong Dalam Islamisasi di Ponorogo Pada Tahun 1482-1496 ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk mendapatkan data yang lebih mendekati pada kebenaran maka peneliti juga menggunakan metode sejarah, agama Islam berkembang pada masyarakat Ponorogo pada abad ke-15 M. Selain itu metode yang penulis gunakan adalah metode kompilatif. Metode ini adalah metode yang dilakukan dengan cara berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin data dan keterangan yang diperlukan dan juga dibutuhkan dalam penelitian (Djafar, 2009:4-5). Disini peneliti menggunakan pedoman dari Kuntowijoyo yaitu meliputi: (1) pemilihan topik (2) heuristik (3) kritik sumber (4) interpretasi (5) historiografi. HASIL DAN PEMBAHASAN Masyarakat Jawa di Masa Akhir Kerajaan Majapahit Masa akhir Majapahit telah meninggalkan permasalahan keagamaan, yaitu masalahperkembangan agama Hindu (Siwa) dan agama Budha. Pada pertengahan abad ke-15 agama Siwa dan Budha masih berkembang dan hidup berdampingan dengan kokoh. Namun menjelang akhir abad ke-15, peranan agama Budha sebagai agama resmi diduga sudah mulai menghilang. Sebaliknya agama Siwa pada akhir abad ke-15masih berkembang. Akan tetapi menjelang akhir abad ke-15, agama Islam mengalami kemunduran. Pada masa Majapahit akhir, gejala adanya kemunduran kehidupan agama Hindu (Siwa) dan Budha (Sogata) tampak sekali. Hal tersebut terlihat sangat jelas berdasarkan perkembangan kegiatan pembangunan bangunan suci keagamaan, seperti candi, baik yang berlatar agama Siwa maupun yang berlatar agama Budha. Pada masa Majapahit akhir, adanya gejala kemunduran agama Siwa dan Budha serta “menghilangnya” peranan agama Budha yang ketika itu disebabkan karena terjadinya hubungan yang erat diantara kedua agama tersebut. Pada masa Majapahit akhir telah muncul pandangan hidup dan tradisi keagamaan ‘asli’. Pandangan ini sebenarnya telah ada pada masa-masa sebelumny, tetapi belum berkembang secara luas. Pandangan hidup dan agama ini

3

tercermin dalam pembuatan bangunan-bangunan suci keagamaan, diantaranya dalam bentuk bangunan punden berundak dan bangunan berbentuk piramid, seperti bangunan-bangunan suci yang ada di lereng Gunung Penanggungan dan di lereng Gunung Lawu (Djafar, 2009:134-135). Bangunan-bangunan tersebut memperlihatkan unsur-unsur tradisi asli yang telah berkembang pada zaman Prasejarah, yaitu tradisi bangunan megalitik. Ponorogo Sebelum Agama Islam Masuk Di Ponorogo terdapat arca-arca peninggalan yang diperkirakan pada abad ke-9 hingga abad ke-10. Arca-arca tersebut ditemukan di dalam tanah berupa arca-arca perunggu di Desa Kunti, Kecamatan Bungkal. Di dalam kelompok arcaarca tersebut terdapat lempeng logam mulia bertulisan. Tulisan tersebut adalah tulisan yang berisikan “mantra puja Buddihst” dan dari paleografinya diketahui aksaranya Jawa Kuna (Sedyawati, 2002:151). Dari pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pada abad ke-9 hingga ke-10, masyarakat di Ponorogo telah mengenal dan telah memeluk agama Hindu-Budha. Hal tersebut terlihat pada penemuan-penemuan arca. Agama Hindu dan agama Budha pada mulanya adalah agama yang berbeda yang sulit untuk dipersatukan, tetapi dengan berjalannya waktu, kedua agama yang hakekatnya bertentangan itu kemudian dipersatukan menjadi satu agama dengan nama “SIWA BUDHA”. Agama tersebut hanya ada di Indonesia saja (Salam, 1960:11). Bukti-bukti lain dapat dilihat pada hasil seni bangunan, seni arca dan lain sebagainya. Candi-candi Hindu dan Budha di Jawa tidak sama bentuk arsitekturnya dengan bangunan serupa di India. Pada stupa di Borobudur tidak sama bentuknya dengan stupa Sanchi, bahkan fungsinya tidak sama. Candicandi di Jawa pada prinsipnya lebih banyak menyerupai bangunan makam berundak pada zaman pra-Hindu. Bahkan kebudayaan asli itu tidak lenyap sama sekali dapat dibuktikan dengan munculnya proses javanisatie dalam sejarah kebudayaan Jawa Timur (Oemar, 1994:48). Pernyatan yang mengatakan melemahnya penganut ajaran agama Hindu dan Budha di Ponorogo dapat diperkuat dengan bukti batu peninggalan kerajaan Wengker yang menunjukkan angka tahun 1318 Saka atau 1396 M. Dari tahun

4

tersebut dapat dipastikan bahwa ketika itu Ponorogo masih berada dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Perang paregreg sendiri terjadi pada tahun 1401 M yang diawali dengan mulai timbulnya persengketaan antara BhreWirabhumi dan Wikramawarddhana (Poesponegoro, 1984:440). Perang paregreg menyebabkan banyak dari daerah kekuasaan Majapahit banyak yang melepaskan diri akibat kurangnya perhatian dari pemerintahan pusat. Ketika istana Majapahit disibukkan dengan perang saudara tersebut, pengawasan terhadap daerah-daerah bawahan tidak sepenuhnya dilakukan , sehingga beberapa daerah tidak lagi menunjukkan kesetiaannya. Daerah-daerah yang melepaskan diri tersebut menimbulkan peperangan di berbagai daerah (Pinuluh, 2010:81-82) Dengan pernyataan di atas bisa dianalisis bahwa pada masa kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran dan Ponorogo berusaha untuk melepaskan diri. Di dalam masyarakat Ponorogo berkembang agama Budha. Hal tersebut dapat dilihat pada peninggalan berupa patung Budha. Dengan demikian berarti dapat disimpulkan bahwa masyarakat Ponorogo pada masa tersebut agama yang berkembang pada ketika itu adalah agama Hindu dan juga Budha. Selain itu dengan adanya patung-patung tersebut mengidentifikasikan bahwa benar adanya kerajaan Wengker lokasinya berada di Ponorogo yang tepatnya di Badegan Ponorogo. Proses Islamisasi Oleh Bethara Katong di Ponorogo Sebenarnya yang mendasari mengapa agama Islam bisa masuk dengan mudah didaerah Ponorogo karena peran pemimpin atau raja sangatlah penting apabila dilihat sebelumnya bahwa pada masa itu pemimpin ataupun raja selalu diikuti oleh rakyatnya dan pemikiran raja adalah titisan dewa sehingga apapun yang dilakukan dan apapun yang diperbuat oleh pemimpinnya maka rakyat wajib mengikutinya. Agama Islam masuk di Ponorogo sebenarnya juga dilihat dari dua hal diantaranya adalah latar belakang dari Bethara Katong. 1. Asal – Usul Bethara Katong a. Silsilah Bethara Katong Silsilah yang dimiliki oleh Bethara Katong menunjukkan bahwa Bethara Katong adalah keturunan dari seorang raja yang benar-benar diperhitungkan

5

keberadaannya. Didalam babad Ponorogo disebutkan bahwa Bethara Katong digadang-gadang sebagai pengganti dari Brawijaya V di kerajaan Majapahit. Dari pernyataan yang membahas tentang itu maka dari silsilah tersebut Bethara Katong pantaslah menjadi seorang raja ataupun sebagai seorang pemimpin karena latar belakangnya yang juga anak dari seorang yang berlatar belakang raja. Dengan silsilah tersebutlah maka masyarakat Ponorogo mulai memperhitungkan Bethara Katong sebagai seorang pemimpin dan juga sebagai seorang raja di tlatah Wengker. Keberadaan Bethara Katong yang telah menjadi Adipati di kadipaten Ponorogo tersebut juga terkenal dengan kesaktiannya. Kesaktian tersebut terbukti dengan Bethara Katong bisa mengalahkan Ki Ageng Kutu yang terkenal dengan kesaktiannya yang sakti mandraguna. b. Struktur Pemerintahan dan Birokrasi Bethara Katong Struktur dari pemerintahan serta birokrasi dari Kadipaten Ponorogo sendiri juga menyerupai Kerajaan Majapahit, hal ini tercermin juga di dalam kekuasaan yang bersifat teritorial yang terjadi karena adanya suatu pengaruh kepercayaan yang bersifat kosmologis (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992:453). Di dalam Babab Ponorogo disebutkan bahwa kadipaten merupakan pusat dari suatu pemerintahan yang ada di Ponorogo (Purwowijoyo, 1978:26), para penguasa daerah biasanya mempunyai beban dan juga tanggung jawab yang sangat besar. Penguasa daerah ini biasanya dibantu oleh sejumlah pejabat daerah, dengan struktur yang hampir sama dengan yang ada di pusat kerajaan, tetapi dalam skala yang lebih kecil. Oleh karena itu mereka berhak mengangkat pejabatpejabat birokrasi yang berada di bawahannya.

Strategi Islamisasi Yang Dilakukan Oleh Bethara Katong di Ponorogo Agama Islam berkembang di Ponorogo tidak lepas dari peranan Bethara Katong. Bethara Katong adalah tokoh yang dianggap sebagai pendiri Kadipaten Ponorogo

serta

Penyebar

agama

Islam

di

Ponorogo.

Adapun

berkembangnya agama Islam di Ponorogo sebagai berikut: 1. Bukti Berkembangnya Agama Islam pada Masyarakat Ponorogo

6

bukti

Sumber-sumber

dan

juga

bukti-bukti

peninggalan

mengenai

berkembangnya Islam di Ponorogo diantaranya adalah Masjid pertama yang didirikan oleh Bethara Katong untuk mengenalkan dan juga untuk menyebarkan agama Islam di Ponorogo. Selain itu juga masjid yang juga merupakan masjid tertua yang didirikan di Desa Mirah Kecamatan Sumoroto Kabupaten Ponorogo. Masjid tersebut didirikan oleh Kyai Mirah untuk menyebarkan Islam di daerah bekas kerajaan Wengker ketika itu. Selain itu terdapat banyak sekali peninggalanpeninggalan yang kesemuanya itu juga menunjukkan akulturasi antara HinduBudha dengan agama Islam. Peninggalan-peninggalan tersebut terlihat pada kompleks makam Bethara Katong. Selain itu Babad Tanah Jawi Galuh Mataram juga menyebutkan bahwa Adipati yang telah ditakhlukkan juga di Islamkan oleh Adipati Terung (Santoso, 1970:176). Dengan pernyataan tersebut berarti menunjukkan bahwa Bethara Katong telah Islam, dengan demikian sekembalinya Bethara Katong ke Ponorogo otomatis Bethara Katong juga menyebarkan agama Islam di kadipatennya tersebut. Peninggalan berupa masjid tersebut yang dibangun oleh Bethara Katong oleh salah satu keturunan Brawijaya V yang telah masuk Islam, menandakan bahwa pada saat itu di Ponorogo agama Islam sudah mengalami perkembangan. Kehadiran seorang yang dianggap sebagai pembawa dan penyebar agama Islam, berasal dari keluarga kerajaan yang sangat erat memegang kepercayaan HinduBudha. 2. Saluran-saluran Islamisasi pada Masyarakat di Ponorogo a. Saluran Kesenian Reog Kesenian Reog sangatlah mengakar di dalam masyarakat Ponorogo, oleh karena alasan tersebutlah mengapa Bethara Katong memilih kesenian Reog sebagai media dakwahnya dalam menyebarkan agama Islam. Musik gamelan yang awalnya digunakan oleh Ki Ageng Kutu untuk adu kekuatan dan adu kesaktian ini lah yang cenderung dimanfaatkan oleh Bethara Katong. Suara nyaring dari gamelan tersebut sangatlah keras, sehingga menarik masyarakat untuk datang ke arah sumber suara tersebut. Ketika masyarakat mulai berkumpul, Bethara Katong memulai untuk memasukkan unsur-unsur Islam

7

tersebut dengan menunjukkan makna dari setiap alat gamelan yang digunakan sebagai pengiring kesenian Reog. Selain itu musik yang keras dari suara gamelan itu digunakan Bethara Katong untuk mengumpulkan msyarakat agar berkumpul dan setelah berkumpul barulah Bethara Katong menyebarkan agama Islam. b. Saluran Perkawinan Di Ponorogo dalam Islamisasi melalui saluran pernikahan juga dilakukan oleh Bethara Katong dengan beberapa perempuan. Di dalam babad Ponorogo Bethara Katong memiliki lima istri yang masingmasing diantaranya ada yang merupakan putri dari musuhnya sendiri yaitu Niken Gandini putri dari Ki Ageng Kutu. c. Saluran Politik Islamisasi yang terjadi di Ponorogo juga tidak melupakan saluran politik,

Bethara

Katong

menggunakan

saluran

Politik

dalam

mengislamkan masyarakat Ponorogo. Saluran politik yang digunakan ada dua model yaitu pertahanan diri dan juga aliansi. d. Strategi Kultural Dengan terjadinya perombakan agama serta semakin terkikisnya kebudayaan Hindu-Budha maka masyarakat liminal tersebut berusaha mencari suatu pegangan atau penguat bagi kebudayaan yang menurut mereka sudah tidak mampu lagi untuk mengayomi. Dengan hadirnya agama dan kebudayaan baru yang menurut masyarakat liminal tersebut bisa diterima dengan baik dan juga mudah untuk dipelajari maka dengan demikian Islam dengan mudah masuk dan berkembang di masyarakat Hindu-Budha khususnya masyarakat Ponorogo yang ketika itu pemimpin dari daerah tersebut adalah Bethara Katong yang telah menganut agama Islam dan berusaha untuk menyisipkan agama Islam kedalam kebudayaan yang telah mengalami masa peralihan tersebut.

8

PENUTUP Kesimpulan Adanya perebutan kekuasaan serta perselisihan keluarga Kerajaan Majapahit yang berlarut-larut serta terjadi secara terus menerus, menimbulkan peperangan antara keluarga kerajaan. Masa akhir Majapahit telah meninggalkan permasalahan keagamaan, yaitu masalah perkembangan agama Hindu (Siwa) dan agama Budha. Adanya gejala kemunduran agama Siwa dan Budha serta “menghilangnya” peranan agama Budha yang ketika itu disebabkan karena terjadinya hubungan yang erat diantara kedua agama tersebut. Sebelum agama Islam masuk Ponorogo adalah bagian dari daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit, sebelum agama Islam masuk di Ponorogo agama yang ada di Ponorogo adalah agama Hindu dan agama Budha. Agama Islam masuk ke Ponorogo dimulai ketika Adipati Terung, adik dari Raden Patah mendapatkan perintah langsung dari Raden Patah untuk menaklukkan daerah sebelah timur. Daerah sebelah timur tersebut diantaranya adalah Ponorogo. Ketika Itu Ponorogo dipimpin oleh seorang Adipati Bethara Katong. Pada saat penakhlukan Raden Patah diangkat sebagai Sultan di Demak pada tahun 1481 M. Islam masuk di Ponorogo sekitar 1482 M, hal tersebut dapat dilihat pada batu peninggalan Bethara Katong yang ditemukan di daerah sekitar Telaga Ngebel. Berkembangan agama Islam di Ponorogo sangat dipengaruhi oleh peranan Bethara Katong. Cara-cara yang dilakukan oleh Bethara Katong tidak lepas dari saluran-saluran Islamisasi yang berkembang di Nusantara. Cara-caranya diantaranya adalah: (a) kesenian, (b) pengaruh politik, (c) perkawinan (d) strategi kultural. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka saran atau rekomendasi yang diajukan dirumuskan sebagai berikut: 1. Dilestarikan dan dipelajarinya sejarah lokal khususnya sejarah lokal Ponorogo maka akan semakin menjaga kearifan lokal yang ada. Dengan melestarikan sejarah yang telah ada dan berkembang maka menjadikan suatu kebanggaan dan keunggulan terhadap kota Ponorogo.

9

2. Keikut sertaan masyarakat kota Ponorogo dalam melestarikan kebudayaan Indonesia akan mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan tanpa membedabedakan agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing masing umat beragama. 3. Penelitian tentang Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Masyarakat Ponorogo ini dapat memperkaya wawasan mahasiswa jurusan sejarah tentang sejarah lokal yang ada dan berkembang di Indonesia. 4. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan apabila meneliti dengan tema yang sama sebisa mungkin fokus penelitian lebih luas dan lebih banyak serta lebih kreatif. Sehingga bisa memberikan tambahan ataupun saran dan kritik yang lebih membengun. Dengan demikian para pembaca bisa dengan mudah memahami apa yang peneliti maksud dan bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang luas tentang siapa sebenarnya Bethara Katong dan dengan demikian kearifan lokal bisa tetap terjaga dengan baik. DAFTAR RUJUKAN Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Abror, Lutfi Zainal. 2011. Masuk dan Berkembangnya Islam di Ponorogo 14861517 (Tinjauan Histori). Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: IAIN Sunan Ampel. Adimihardja, K. 1983. Kerangka Studi Antropologi Sosial Dalam Pembangunan. Bandung: Tarsito. Agung Gede Agung, Dewa. 1991/1992. Sejarah Indonesia Lama I. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas. ___________. 1992/1993. Sejarah Indonesia Lama II. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas. Atmodarminto. 1955. Babad Demak. Yogyakarta: Pesat. Azra, Azyumardi. 2007. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Coedes, George. 2010. Asia Tenggara Masa Hindu-Budha. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Ecole Francaise d’Extreme-Orient Forum Jakarta-Paris Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Djafar, Hasan. 2009. Masa Akhir Majapahit, Girindrawarddana dan Masalahnya. Jakarta: Komunitas Bambu.

10

Gazalba, Sidi. 1975. Mesjid, Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara. Gottschalk, Lois. 1986. Mengerti Sejarah. Universitas Indonesia: UI press. Graff, H. J. De dan T. H. G. GH. Pigieud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam Di Jawa. Jakarta: Grafiti Press. Guillot, Claude dan Ludvik Kalus. 2008. Inskripsi Islam Tertua di Indonesia. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Ecole Francaise d’Extreme-Orient Forum Jakarta-Paris Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam IV. Jakarta: Bulan Bintang. Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya. Hasymy, A. 1993. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. (Kumpulan prasarana pada seminar di Aceh). Jakarta: PT. Alma’arif. Huda, Nor. 2007. Islam Nusantara. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Iskandar, Mohammad; dkk. 2009. Kebudayaan Indonesia (Sistem Pengetahuan). Jakarta: Rajawali Pers. Iskandar, Mohammad. 2001. Para Pengemban Amanah. Yogyakarta: Mata Bangsa. Koentjaraningrat.1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Yogyakarta: Dian Rakyat. Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Kusumajaya, I Made; dkk. ------. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit Di Daerah Trowulan.-------------. Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Mangkudimedja, Hardjana. 1980. Serat Pararaton, Ken Arok 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Martodarmono. 1988. Babad Majapahit awit Prabu Brawijaya Kaping I dumugi Prabu Brawijaya kaping V Utawi Winastan Serat Damarwulan, Awit Ugi Nyariosaken Lelampahipun Raden Damarwulan. Solo: REKSOPUSTOKO Istana Mangkunegaran. Masroer. 2004. The History of Java. Yogyakarta: Ar – Ruzz. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moleong, L. J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muda, Ranu. 2006. Wali Songo Kisah-kisah yang Nyaris Tak Terungkap. Solo: Katta. Mudzhar, Mohammad Atho. 1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Inis. Mulyana, Prof. Dr. Slamet. 1968. Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa Dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara: Baharatara. 1979.

11

Negara kertagama dan tafsir Sejarahnya,Jakarta: Bharatara Karya Aksara. Mulyana, Prof. Dr. Slamet. 1979. Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bharatara Karya Aksara. Munandar, Agus Aris; dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia, Religi dan Falsafah. Jakarta: Rajawali Pers. Mustopo, M. Habib. 2001. Kebudayaan Islam di Jawa Timur. Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa Peralian. Yogyakarta: Penerbit Jenderal. Ningsih, Surya. 2006. Masuk Dan Berkembangnya Agama Islam Di Pulau Sapudi (XVI-XIX M). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra. Nurhayati, Feby; dkk. 2007. Wali Sanga, Profil dan Warisannya. Yogyakarta: Pustaka Timur. Oemar, Moh; dkk. 1994. Sejarah Daerah Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Ditektorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi sejarah Nasional. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo. 1996. Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa. Ponorogo: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo Pinuluh, Esa Damar. Esa. 2010. Pesona Majapahit. Jogjakarta: Buku Biru. Poesponegoro, M. D. & Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka. _________________. 1984 Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. _________________. 1990 Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. _________________. 1993 Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. Prabowo, Dhanu Priyo. 2007. Pengaruh Islam Dalam Karya-karya R. NG. Ranggawarsita. Yogyakarta: Narasi. Pramono, Muh Fajar. 2006. Raden Bathoro Katong Bapak-e Wong Ponorogo. Ponorogo: Lembaga Penelitian Pemberdayaan Birokrasi dan Masyarakat Ponorogo. Prasetyo, B. & Yuniawati, D.Y. 2004. Religi Pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Puar, Yusuf Abdullah. 1985. Masuknya Islam ke Indonesia. Jakarta: CV Indra Djaya. Purwadi. 2006. Prabu Brawijaya Raja Agung Binthara Ambeg Adil Paramarta. Yogyakarta: Tugupublisher. Purwowijoyo. 1978. Babad Ponorogo Jilid I Bathoto Katong. Ponorogo: CV.Nirbita. ___________. 1978. Babad Ponorogo Jilid II R.A.Surodiningrat. Ponorogo: CV.Nirbita. Qurtuby, Sumanto Al. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press. Rahardjo, Supratikno dan Ramelan, Wiwin Djuwita. 1994. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan

12

Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Rayuda, R. Panji Prawi. 1987. Babad Majapahit dan Para Wali I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ricklefs. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Salam, Solichin. 1960. Sekitar Wali Sanga. Yogyakarta: Menara” Kudus. Santoso, Soewito. 1970. Babad Tanah Jawi (Galuh-Mataram). Sala. Sari, Anwar. 1977. Peranan Dinasti Icana di Abad X – XIII Dalam Sejarah Jawa Timur. Malang: Tridaya. Sedyawati, Edi. 2002. 25 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi dan Ecole Francaise d,Extreme-Orient. Jakarta: Ecole Francaise d,ExtremeOrient. Sedyawati, Edi, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia, Seni Pertunjukan dan Seni Media. Jakarta: Rajawali Pers. Sen, Tan Ta. 2010. Cheng Ho, Penyebar Islam Dari China ke Nusantara. Jakarta: KOMPAS. Simon, Hasanu. 2003. Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Puataka Pelajar. Sjamsuddha. 2004. Sejarah Sunan Ampel, Guru Para Wali di Jawa dan Perintis Pembangunan Kota Surabaya. Surabaya: Jawa Pos Press. Sjamsuddin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Dirjendikti. Sujud P.J, Slamet, ____. Kajian Historis Legenda Reog Ponorogo. Malang: Jurusan Sejarah Fak. Sastra Universitas Negeri Malang. Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid III. Jakarta: Kanisius. Soetjipto. 1994/1995. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang Bagian Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas Proyek IKIP Malang. Sumardjo, Joko. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Qalam. Sutrisno, Sulastin; dkk. 1985. Bahasa Sastra Budaya. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Toebari, dkk. 1996. Kabupaten Ponorogo. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo. Wahyuni, Sri. 2006. Awal Masuk Dan Berkembangnya Islam di Kerajaan Banjarmasin Abad XVI-XVII. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra. Wirjomartono, Bagoes; dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia, Arsitektur. Jakarta: Rajawali Pers. Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo. ____________. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Zam Zani, Anggun. 2009. (Skripsi). Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di Lombok Abad XVI-XVII (Sebuah Kajian Sejarah Lokal Dan

13

Pembelajaran Dalam IPS Sejarah). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial.

14