peranan keluarga dalam pembiasaan ibadah shalat anak usia 7-10 ...

358 downloads 2360 Views 1MB Size Report
Unayah, 106011000200, Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan. Keguruan. “Peranan Keluarga dalam Pembiasaan Ibadah Shalat Anak Usia.
PERANAN KELUARGA DALAM PEMBIASAAN IBADAH SHALAT ANAK USIA 7-10 TAHUN (Studi Kasus di Lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara)

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh : Unayah NIM : 106011000200

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M

ABSTRAK

Unayah, 106011000200, Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. “Peranan Keluarga dalam Pembiasaan Ibadah Shalat Anak Usia 7-10 Tahun (Studi Kasus di Lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara.” Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang utama dan pertama bagi seorang anak. Sebelum anak berkenalan dengan dunia sekitarnya, ia akan berkenalan terlebih dahulu dengan situasi keluarga. Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan anak untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu orang tua bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya termasuk di dalamnya pendidikan ibadah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peran orang tua dalam pendidikan ibadah shalat anak usia 7-10 tahun di lingkungan Rt07/01 Cilincing, untuk mengetahui usaha-usaha apa saja yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anaknya shalat, serta untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami orang tua dalam membiasakan anak shalat. Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara. Adapun subyek penelitiannya adalah seluruh orang tua yang memiliki anak usia 710 tahun yang berjumlah 37 KK, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, angket dan dokumentasi. Teknik pengolahan dan analisa data yang penulis lakukan adalah dengan mentabulasi data jawaban kedalam bentuk tabel dan dinyatakan dalam bentuk frekuensi dan prosentase kemudian penulis mendeskripsikan hasil angket tersebut. Hasilnya dapat diketahui bahwa orang tua cukup berperan dalam pelaksanaan pendidikan ibadah shalat anak. Hal ini berdasarkan hasil jawaban responden sebanyak 81.1% orang tua menjawab mulai membiasakan anak shalat sejak berusia 7 tahun, 54.1% orang tua sering melatih anak shalat, 49.5% orang tua mengajarkan tata cara shalat pada anak, 45.9% orang tua selalu menegur anak apabila tidak shalat dan 91.8% orang tua memarahi anak sebagai hukuman apabila meninggalkan shalat. Mengenai usaha yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anak shalat adalah dengan memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat apabila waktu shalat tiba, membangunkan anak pada waktu subuh, mengajak anak shalat berjamaah dan menyekolahkan anak di yayasan yang ada di lingkungan Rt07/01 Cilincing. Sedangkan kesulitan yang dialami orang tua dalam membiasakan shalat adalah anak terlalu banyak bermain sehingga sulit dan tidak mau bila diperintahkan shalat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Peranan Keluarga dalam Pembiasaan Ibadah Shalat Anak Usia 7-10 tahun dapat dikategorikan cukup baik.

v

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat hidup dan kehidupan hingga detik ini masih memberikan izin untuk menikmati indahnya hidup. Alhamdulillahirrabbil‘aalamiin, penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan bagi seluruh pengikutnya yang telah mengenalkan Islam kepada seluruh umat manusia. Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati penulis mengakui bahwa penulisan skripsi ini banyak menemukan kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapt terselesaikan. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bahrissalim, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang selalu memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI. 3. Drs. Sapiuddin Sidiq, M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Abdul Ghofur, M.A, Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan Agama Islam sekaligus Dosen Pembimbing skripsi,, yang memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis yang tidak pernah menutup pintu keluasan vi

waktunya untuk membimbing dan memberikan semangat dan arahan dalam penulisan skripsi ini.. 5. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), terutama untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan motivasi dan kontribusi, selama penulis menjadi mahasiswa. 6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Ayahanda Jaenudin dan Ibunda Sukaenah tercinta yang selalu menyayangi dan mendoakan penulis. Semoga pintu Rahman dan Rahim-Nya selalu terbuka untuk pengorbanan kalian, Amin. Adik-adik tercinta Miawati dan Ayu Hacicah serta seluruh keluarga, terimakasih selalu setia memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis hingga terselesaikannya skpripsi ini. 8. Seseorang yang memberikan inspirasi terbesar, Welly C. S yang selalu ada buat penulis, baik suka maupun duka. 9. Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan Agama Islam angkatan 2006 kelas E yang selalu memberi dukungan kepada penulis untuk tetap semangat, semoga persahabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini tak usang ditelan waktu. 10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moral maupun materil. Bagi mereka semua tiada kata selain ucapan ribuan terimakasih penulis, semoga Allah SWT., membalas semua amal baik mereka, dan akhirnya penulis berharap sekripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Jakarta, 13 Mei 2011

Unayah

vii

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................... iv ABSTRAK ....................................................................................................... v KATA PENGANTAR .................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ........................................................................................... x BAB I :

PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................... 8 C. Pembatasan Masalah .................................................................. 9 D. Perumusan Masalah.................................................................... 9 E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 10

BAB II : ACUAN TEORITIK ...................................................................... 11 A. Pendidikan Ibadah Shalat .......................................................... 11 1. Pengertian Pendidikan Ibadah ............................................... 11 2. Pengertian Shalat ................................................................... 13 3. Kedudukan Shalat dalam Agama .......................................... 14 4. Hikmah Shalat ....................................................................... 16 5. Pembinaan Ibadah Shalat pada Anak .................................... 17 B. Peranan Keluarga....................................................................... 29 1. Pengertian Peranan ................................................................ 29

viii

2. Pengertian Keluarga .............................................................. 30 3. Fungsi dan Peranan Keluarga................................................ 31 4. Kedudukan Keluarga ............................................................. 36 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 38 A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 38 B. Metode Penelitian ...................................................................... 38 C. Populasi dan sampel .................................................................. 39 D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 39 E. Teknik Analisis Data ................................................................. 41 BAB IV : HASIL PENELITIAN .................................................................. 42 A. Gambaran Umum Rt 07/01 Cilincing ...................................... 42 1. Letak Geografis Wilayah ..................................................... 42 2. Keadaan Penduduk ............................................................... 42 3. Sarana Pendidikan dan Ibadah ............................................. 43 B. Analisis Data ............................................................................. 44 C. Pembahasan Hasil Penelitian..................................................... 56 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 61 A. Kesimpulan ................................................................................ 61 B. Saran .......................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 63 LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix

DAFTAR TABEL Tabel 1 : Kisi-kisi Quisioner ............................................................................... 40 Tabel 2 : Skala prosentase yang digunakan dalam penulisan laporan skripsi .... 41 Tabel 3 : Jenjang pendidikan penduduk .............................................................. 43 Tabel 4 : Mulai membiasakan anak shalat .......................................................... 44 Tabel 5 : Melatih anak untuk melaksanakan shalat ............................................ 45 Tabel 6 : Membangunkan anak untuk melaksanakan shalat Subuh .................... 45 Tabel 7 : Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Zuhur ..................... 46 Tabel 8 : Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Ashar ..................... 47 Tabel 9 : Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Magrib ................... 47 Tabel 10 : Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Isya ........................ 48 Tabel 11 : Melatih anak untuk shalat di awal waktu ............................................. 48 Tabel 12 : Mengajak anak shalat berjamaah ......................................................... 49 Tabel 13 : Mengajak anak shalat berjamaah di masjid ......................................... 50 Tabel 14 : Mengajarkan tatacara berwudhu pada anak ......................................... 50 Tabel 15 : Mengajarkan tatacara shalat pada anak................................................ 51 Tabel 16 : Tatacara shalat yang diajarkan pada anak ............................................ 51 Tabel 17 : Cara mengajarkan shalat pada anak ..................................................... 52 Tabel 18 : Orang tua mulai mengajarkan tatacara shalat pada anak ..................... 53 Tabel 19 : Sikap orang tua apabila anak melakukan gerakan yang salah ketika shalat ......................................................................................... 53 Tabel 20 : Menegur anak bila tidak shalat ............................................................ 54 Tabel 21 : Memarahi anak apabila meninggalkan shalat ...................................... 54 Tabel 22 : Memukul anak apabila meninggalkan shalat ....................................... 55 Tabel 23 : Cara yang digunakan untuk menghukum anak .................................... 56

x

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah institusi pertama yang dikenal oleh anak. Dalam keluarga ibulah orang pertama yang dikenal, maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa seorang ibu mewarnai pendidikan anak-anaknya.1 Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang utama dan pertama bagi seorang anak, sebelum ia berkenalan dengan dunia sekitarnya, ia akan berkenalan terlebih dahulu dengan situasi keluarga. Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan anak untuk masa yang akan datang. Keluargalah yang akan memberikan warna kehidupan seorang anak baik perilaku, budi pekerti maupun adat kebiasaan sehari-hari. Keluarga jualah tempat dimana seorang anak mendapat tempaan pertama kali yang kemudian menentukan baik buruk kehidupan setelahnya di masyarakat hingga tak salah lagi kalau keluarga adalah elemen penting dalam menentukan baik buruknya masyarakat.2

1

Abudin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 239 2 Athiyah al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. VII, h. 133

1

2

Anggota keluarga terdiri dari suami, istri atau orang tua (ayah dan ibu) serta anak-anak. Ikatan keluarga tersebut didasarkan kepada cinta kasih sayang antara suami istri yang melahirkan anak-anak. Oleh karena itu hubungan pendidikan dalam keluarga adalah didasarkan atas adanya hubungan kodrati antara orang tua dan anak. Salah satu fungsi keluarga yang ada hubungannya dengan kehidupan si anak yaitu fungsi keagamaan. Keluarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya, disamping peran yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa agama pada si anak.3 Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mulai menerima pendidikan. Islam memerintahkan agar para orang tua berlaku sebagai kepala dan pemimpin dalam kelurganya serta berkewajiban untuk memelihara keluarga dari api neraka, sebagaimana firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S at-Tahrim: 6).4 Anak dalam ajaran Islam ialah amanat dari Allah yang dititipkan kepada kedua orangtuanya. Pandangan ini mengisyaratkan adanya keterpautan eksistensi anak dengan al-Khaliq maupun dengan kedua orangtuanya. Istilah amanat mengimplikasikan keharusan menghadapi dan memperlakukan anak dengan sungguh-sungguh, hati-hati, teliti dan cermat. Sebagai amanat, anak harus dijaga, diraksa, dibimbing dan diarahkan selaras dengan apa yang diamanatkan. Anak dilahirkan tidak dalam keadaan lengkap dan tidak dalam keadaan kosong. Ia dilahirkan 3

Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya), cet.1, h. 14 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 560 4

3

dalam keadaan fitrah. Memang ia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa, akan tetapi ia telah dibekali dengan pendengaran, penglihatan dan kata hati (Af Idah), sebagai modal yang harus dikembangkan dan diarahkan kepada martabat manusia yang mulia, yaitu yang mengisi dan menjadikan kehidupannya sebagai takwa kepada Allah.5

“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, …. (QS. Al-Hujurat: 13).6 Anak adalah buah hati, belahan jiwa, perhiasan dunia, dan kebanggaan orang tua yang merupakan karunia terbesar karena anak pahala orang tua mengalir walaupun mereka sudah meninggal.7 Allah berfirman:

”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.:” (al-Kahfi: 46).8 Ngalim Purwanto mengatakan bahwa anak atau manusia adalah makhluk yang berpribadi dan berkesusilaan. Ia dapat dan sanggup hidup menurut normanorma kesusilaan, ia dapat memilih dan menentukan apa-apa yang akan dilakukan, juga menghindari atau menolak segala yang tidak disukainya.9 Untuk menjadikan anak berakhlak baik hendaknya orang tua menanamkan nilai-nilai pendidikan agama atau keimanan sejak dini, karena apabila pendidikan agama ini terabaikan dalam keluarga sampai masa remaja maka akan sulitlah bagi

5

Muhammad „Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam , Terj. Dari Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), h. 11-12 6 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 517 7 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, (Jakarta: Darul Haq, 2007), Cet. V, h. 86 8 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 299 9 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. XVIII, h. 5

4

si anak menghadapi perubahan pada dirinya, yang tidak jarang membawa keguncangan jiwa.10 Peran orang tua sangat besar artinya, sebab orang tua adalah unsur pertama dan utama dalam pendidikan anak-anaknya, orang tua harus membina dan membimbing mereka.11 Peranan orang tua sangat berpengaruh dalam mendidik anak, peranan tersebut akan berjalan dengan baik apabila diimbangi dengan pengetahuan mereka tentang agama. Di antara akidah dasar peran orang tua dalam mendidik anak mereka yaitu menanamkan prinsip-prinsip yang mulia dan sifatsifat terpuji dalam dirinya terlebih dahulu sejak dini. Orang tua harus mampu menjaga dan mendidik anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang shaleh serta taat beribadah kepada Allah. Karena manusia diciptakan oleh Allah semata-mata untuk menyembahnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman di dalam al-Qur‟an surat az-Dzariyat: 56:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Q.S Adz-Dzariat/51: 56).12 Adapun salah satu tujuan pendidikan Islam menurut al-Ghazali adalah beribadah kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang tujuan utamanya adalah kebahagiaan dunia akhirat.13 Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagai insan pengabdi kepada sang Khaliq, guna mampu membangun dunia dan mengelola alam semesta sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan Allah SWT.14 Berdasarkan tujuan pendidikan

Islam adalah untuk mengabdi atau

beribadah kepada Allah, maka orang tua haruslah membimbing dan mengajarkan 10

Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya), cet ke-1, hal. 101 11 Abudin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits…, h. 237 12 Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya…, h. 523 13 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), cet ke-2, h. 26 14 Samsul Nizar, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 105

5

anak-anaknya untuk beribadah kepada Allah. Ibadah kepada Allah banyak bentuknya tetapi shalatlah yang membawa sesuatu yang amat dekat dengan Allah, di dalamnya terdapat komunikasi antara Tuhan dan hamba-Nya. Dalam shalat manusia menuju ke kesucian Tuhan. Berserah diri kepada Tuhan, memohon pertolongan, perlindungan, ampunan, dan memohon di jauhkan dari kesesatan. Dilihat dari kehidupan perasaan, ibadah dapat mendidik manusia agar mempunyai perasaan rabbani yang murni dan selalu tunduk dan taat kepada perintah Allah SWT semata. Dilihat dari segi nilai-nilai sosial, ibadah dapat mendidik manusia untuk selalu terpaut kepada sesama muslim dimanapun ia berada dan dalam keadaan apapun. Sebagian besar ibadah yang dilakukan secara rutin, didirikan secara berjamaah dan teratur dalam suasana yang penuh kecintaan, mempunyai satu tujuan dan mempersatukan.15 Berdasarkan

hal

tersebut

orang

tua

bertanggung

jawab

dalam

membimbing, mengajarkan, dan membiasakan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat, berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW:

“Dari „Amr Bin Syu‟aib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda (yang maknanya), “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika mereka tidak mengerjakan shalat pada usia sepuluh tahun, dan (pada usia tersebut) pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud). Rasulullah SAW memberikan masa tenggang atau jarak masa yang cukup untuk orang tua dan sang anak, sebelum orang tua berpindah pada masa 15

Muhammad „Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam…, h. 89-90

6

memberikan hukuman badani terhadap sang anak apabila meninggalkan shalat. Kemungkinan anak lelaki atau anak perempuan dalam usia ini, terpengaruh oleh faktor-faktor psikologis dan pemikiran yang mendorongnya bersikap bandel atau malas atau lain sebagainya. Dengan demikian perintah yang terus-menerus untuk mendirikan shalat kepada sang anak, dapat dijadikan peringatan dan perhatian yang cukup membuat perhatian sang anak tertumpu kepada shalat. Dan manakala sang anak masih saja tetap membandel, maka baik anak laki-laki maupun anak perempuan dikenakan hukuman sebagai peringatan baginya.16 Hadis di atas dapat dipahami bahwa orang tua harus membiasakan anak shalat sejak usia tujuh tahun dan harus dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang, sebelum akhirnya berpindah pada masa pemberian hukuman yaitu ketika anak berusia sepuluh tahun. Seandainya dilogikakan dengan hitungan, dalam sehari seseorang melaksanakan shalat sebanyak 5 kali, kemudian dikalikan setahun maka orang tua telah mengajarkan dan membiasakan anak shalat sebanyak 1825 kali, lalu dikalikan 3 (jarak dari 7 sampai 10 tahun) berarti sebanyak 5475 kali orang tua telah membiasakan anak untuk melaksanakan shalat. Artinya apabila orang tua telah membiasakan anaknya melaksanakan shalat sampai 5475 kali tetapi sang anak masih tetap membandel dan tidak mau melaksanakan shalat maka orang tua berhak untuk memukul anak nya, namun apabila orang tua belum mebiasakan anaknya shalat sampai 5475 kali maka orang tua tidak boleh memukul anaknya. Sebab bagaimana orang tua mau memukul anaknya sedangkan orang tua itu tidak menjalankan kewajibannya untuk mangajarkan anaknya shalat ketika berusia tujuh tahun. Sebenarnya apabila orang tua benar-benar telah membiasakan anaknya untuk shalat sebanyak 5475 kali yang ia biasakan sejak anak nya berusia tujuh tahun, maka dengan sendirinya anak tersebut akan terbiasa untuk melaksanakan shalat, sebagaimana Zakiah Daradjat dalam bukunya Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah menjelaskan bahwa apabila orang tua melatih anaknya untuk shalat secara terus-menerus dan berulang-ulang maka anak akan terbiasa melakukannya dan kebiasaan itu akan terbawa sampai ia dewasa. 16

Muhammad „Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam…, h. 90-91

7

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa betapa besar peran dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anaknya untuk melaksanakan shalat. Dan yang perlu disampaikan adalah pendidikan ibadah dalam keluarga harus ditekankan. Untuk menumbuhkan kebiasaan beribadah pada diri anak tidaklah mudah, karena pada masa anak-anak ini akan terlihat beberapa sikap perlawanan, yang ingin menentukan keinginannya sendiri. Masa ini disebut masa negativisme yang dipandang dari segi pendidikan merupakan masa yang sukar. Akan tetapi masa ini akan terlewati dengan baik bila seorang anak dibesarkan, dipelihara, dan dididik dalam rumah tangga yang aman, tentram, penuh kasih sayang maka pribadinya akan terbina dengan baik. Terlebih bila ayah dan ibunya taat dalam melaksanakan ajaran agama. Ini merupakan pengalaman yang baik yang ditangkap oleh anakanak.17 Begitu besar dan pentingnya peranan orang tua dalam mendidik anakanaknya terutama dalam membimbing dan membiasakan anaknya untuk beribadah, yang apabila semua itu terealisasikan dengan baik maka akan membentuk pribadi anak yang taat dalam menjalankan perintah Allah dan akan menjadi bekal yang baik bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Tetapi kenyataannya banyak para orang tua yang belum menjalankan perannya dengan baik. Khususnya di lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara, banyak para orang tua yang sibuk bekerja untuk mencari nafkah atau uang sehingga mengabaikan pendidikan ibadah anaknya.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi

yaitu pengasuhan balita yang seharusnya dilakukan oleh orang tua mereka kemudian diserahkan kepada pembantu atau baby sitter, sehingga tujuan pembinaan spiritual dasar yang seharusnya dilakukan oleh orang tua tidak terealisasi. Kesalahpahaman orang tua dalam dunia pendidikan saat ini adalah adanya anggapan bahwa hanya sekolah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya, sehingga orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada guru di sekolah dan mengabaikan tanggung jawab nya dalam mendidik anak. 17

Akyas Azhari, Psikologi Pendidikan, (Semarang: PT. Dina Utama, 1996) Cet. I, h. 26

8

Seorang

anak

sangat

membutuhkan

perhatian,

pengawasan

dan

pembiasaan dari orang tua nya terutama dalam membiasakan anak nya untuk melaksanakan shalat. Namun yang terjadi kebanyakan anak-anak menghabiskan waktu nya hanya untuk bermain atau menonton televisi tanpa ada pengawasan dari orang tua sehingga pendidikan ibadah pada anak terabaikan. Kebanyakan dari para orang tua melalaikan tanggung jawabnya dalam mendidik anak

untuk

melaksanakan shalat sejak usia dini. Mereka menganggap bahwa seorang anak tidak perlu melaksanakan shalat karena anak-anak mereka masih kecil dan tidak ada kewajiban pula bagi anak-anak untuk melaksanakan shalat. Beranjak dari apa yang penulis paparkan di atas dapat dipahami bahwa usaha dalam membimbing dan membiasakan anak melakukan ibadah shalat sejak usia tujuh tahun perlu mendapat perhatian yang serius dari para orang tua, karena akan sangat berpengaruh untuk kehidupan anak di masa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut mendorong penulis untuk membahasnya lebih jauh dalam bentuk skripsi dengan judul: PERANAN KELUARGA DALAM PEMBIASAAN IBADAH SHALAT ANAK USIA 7-10 TAHUN. (Studi Kasus di Lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara). B. Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang diatas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan, antara lain: 1. Banyaknya orang tua yang sibuk bekerja atau mencari nafkah, sehingga mengabaikan pendidikan ibadah anaknya. 2. Banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan dan tanggung jawab mereka sepenuhnya pada sekolah, sehingga mengabaikan tanggung jawab nya dalam mendidik anak. 3. Banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan dan pengasuhan anaknya pada babysitter, sehingga pendidikan dasar spiritual yang seharus nya ditanamkan oleh orang tua tidak terealisasikan. 4. Kebanyakan anak-anak belum bisa mengatur waktu.

9

5. Banyak orang tua yang lalai dalam mengajarkan ibadah shalat pada anak sejak dini. C. Pembatasan Masalah Dari permasalahan-permasalahan yang tercantum dalam identifikasi masalah, penulis melihat perlu melakukan pembatasan masalah. Hal itu dilakukan agar permasalahan penelitian tidak menimbulkan kerancuan, maka permasalahan penelitian menjadi sebagai berikut: 1. Peranan keluarga. Peranan adalah tindakan atau tugas yang dilakukan orang tua dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. sedangkan yang dimasksud dengan keluarga adalah suatu lingkungan yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Dalam hal ini yang berperan di dalam kelaurga adalah orang tua. 2. Yang dimaksud ibadah shalat ialah ibadah shlat fardlu (shalat wajib). 3. Pelaksanaan shalat yang penulis maksud adalah shalat anak usia 7-10 tahun. D. Perumusan Masalah Dari pembatasan masalah pada poin sebelumnya dapat dirumuskan menjadi pertanyaan berikut: a. Bagaimana peranan keluarga dalam membiasaan ibadah shalat anak usia 7-10 tahun? b. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anak untuk melaksanakan ibadah shalat? c. Kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami orang tua dalam membiasakan anak melaksanakan ibadah shalat?

10

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Untuk mengetahui bagaimana peranan orang tua dalam pelaksanaan ibadah shalat anak. b. Untuk mengetahui usaha-usaha yang di tempuh orang tua di lingkungan RT 07/01 Cilincing Jakarta Utara dalam membimbing dan membiasakan anak-anak melakukan ibadah shalat lima waktu. c. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami orang tua dalam membimbing dan membiasakan anak-anak melaksanakan ibadah shalat. 2. Manfaat penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para orang tua akan pentingnya tanggung jawab mereka dalam mendidik anak, terutama pendidikan ibadah shalat. b. Hasil penelitian ini menjadi sumbangan berarti sebagai bahan bacaan untuk mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, juga dapat dijadikan bahan masukan bagi penelitian selanjutnya.

11

BAB II ACUAN TEORITIK A. IBADAH SHALAT 1. Pengertian Ibadah Ibadah secara etimologi berarti taat, tunduk, patuh, mengikuti dan doa.1 Secara terminology terdapat macam-macam rumusan yang telah di kemukakan para ulama antara lain: Menurut ulama tauhid, ibadah adalah mengesakan, mengagungkan sepenuhnya serta merendahkan diri dan menundukkan jiwa kepada-Nya.2 Menurut ulama akhlak ibadah adalah mengerjakan segala bentuk ketaatan badaniyah dan menyelenggarakan segala syariat (hukum). Sedangkan menurut ulama fiqh ibadah adalah bentuk ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharapkan pahalanya diakhirat.3 1

Dewan Direksi Islam, Ibadah Ensiklopedi, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhoeve, 1994), Cet.

III, h. 43 2

Abdurrahman Ritonga dan Zainudin, Fikih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Cet. I, h. 2 3 Zurinal Z, dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: LP. UIN Ayarif Hidayatullah Jakarta, 2008), Cet. I, h. 27-28

11

12

Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa seorang hamba yang taat kepada Allah perlu untuk beribadah kepada-Nya setiap saat. Karena ibadah merupakan suatu ungkapan syukur atas segala nikmat yang diberi Allah kepada hamba Nya. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan ibadah adalah segala usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa untuk membantu anak dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan mengharap keridhaan dan pahala guna membentuk manusia yang beriman dan memiliki kepribadian yang mulia. 2. Pengertian Shalat Shalat adalah suatu ibadah yang mengandung beberapa ucapan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.4 Menurut Dr. Shalih shalat ialah rukun-rukun yang khusus dan bacaanbacaan tertentu dengan ikatan waktu yang sudah ditentukan atau ucapan dan perbuatan yang dibuka dengan takbir dan diakhiri dengan salam disertai niat.5 Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu definisi tentang shalat yaitu suatu perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam berdasarkan syarat dan rukun-rukun tertentu, dikerjakan dengan penuh khusyu’ dan ikhlas untuk mengagungkan kebesaran Allah serta mengharapkan keridhaan-Nya.

Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mukallaf. Dalildalil mengenai perintah shalat banyak terdapat di dalam al-Quran, di antaranya:

“…Sungguh salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).6

4

Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), cet ke2, h. 13 Salih bin Ganim as-Sadlan, Fiqih Shalat Berjama,ah… h. 27 6 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 95 5

13

“Dan dia menyuruh keluarganya, untuk (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat, dan dia seorang yang diridai di sisi Tuhannya”. (QS. Maryam: 55).7 ...

“… Dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S al-Ankabut/29: 45).8

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam salatnya.” (Q.S al-Mu’minun/23: 1-2).9 Terdapat pula hadits nabi yang memerintahkankan para orang tua untuk mengajarkan anak melaksanakan shalat. Rasulullah SAW bersabda:

“Ajarilah anak shalat oleh kalian sejak usia 7 tahun dan pukullah dia karena meninggalkannya bila telah berusia 10 tahun.” (H.R Tirmidzi). 3. Kedudukan Shalat dalam Agama Dalam ajaran Islam ibadah shalat mempunyai kedudukan yang tertinggi dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Shalat merupakan tiang agama islam. Islam tidak dapat tegak kecuali dengan shalat.10 Hal ini dijelaskan Rasulullah dalam hadits nya:

“Shalat itu tiang agama, maka barang siapa yang mendirikan shalat berarti ia menegakkan agama. Dan barang siapa meninggalkannya, berarti ia telah merobohkan agama.” (HR. Baihaqy). Shalat juga merupakan kewajiban manusia yang pertama-tama dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah pada hari kiamat. Bila shalat seseorang itu

7

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 309 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 401 9 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 342 10 Zurinal Z., dan Aminuddin, Fiqih Ibadah…, h. 66 8

14

baik, maka baik pulalah seluruh amalnya, begitupun sebaliknya jika rusak shalatnya maka rusak pula seluruh amalnya.11

“…Sungguh salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).12 Pilar seluruh agama adalah shalat, karena shalat ibadah yang terdahulu sebagai konsekwensi iman, tidak ada syari’at samawi yang lepas darinya. Telah datang perintah melaksanakannya juga motivasi (pendorong) bagi pelaksananya yang disampaikan oleh lisan para Nabi dan Rasul, karena dampaknya yang besar pada pengolahan jiwa dan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Tidak ada sesuatu yang terbukti ampuh memperbaiki jiwa dan meluruskannya serta mengajaknya pada keutamaan-keutamaan yang tinggi juga akhlak yang mulia selain shalat.13 Shalat merupakan rangkaian ibadah yang sempurna dan terbaik bagi seorang hamba dalam bermunajat kepada Rabbnya dimana mengikutsertakan segenap anggota badan, mulai dari ucapan lisan, gerakan kaki dan kepala, panca indera dan seluruh bagian badan. Semua itu mengambil bagian dari tetesan hikmah ibadah yang agung ini disertai dengan olah batin, tegaknya hati dalam keajiban yang terangkum dalam sanjungan dan pujian, pengagungan dan pensucian, takbir, syahadat yang benar. Setelah selesai dari shalat, duduk sejenak memuji Rabb dan bersalam pada Nabi dan hamba-hamba Allah yang lain. Lalu dilanjutkan dengan bershalawat atas Rasulnya dilanjutkan dengan meminta kebajikan, kebaikan dan karunia kepada Allah SWT.14 Dalam sebuah hadits Rasulullah dengan tegas menyebutkan bahwa shalat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: 11

Masjfuk Zuhdi, Studi Islam…, h. 13-14 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemanhannya…, h. 95 13 Shalil bin Ghanim as-Sadlan, Fiqh Shalat Berjamaah; Ensiklopedi Hukum Shalat Berjamaah, Bid’ah dan Kemungkarannya, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006), Cet. I, h. 30 14 Shalil bin Ghanim as-Sadlan, Fiqh Shalat Berjamaah… h. 38 12

15

Sesungguhnya amal (manusia) yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik maka ia beruntung; dan kalau jelek maka ia gagal dan akan merugi. (H.R. at-Tirmidzi).15 Melihat begitu besar pentingnya shalat, maka menjadi tanggung jawab orang tua untuk bisa mengajarkan pendidikan shalat kepada anak-anaknya. Karena selain merupakan pesan dari nabi, shalat adalah sarana untuk mensyukuri dan memuji nikmat-nikmat Allah Swt, tiang dan fondasi agama, penghapus dosa, serta penyuci hati dan jiwa.

4. Hikmah Shalat Ibadah shalat memiliki pengaruh yang besar bagi kemaslahatan dan kebaikan hidup jasmani dan rohani. a. Bagi jasmani. 1) Mementingkan kesucian dan kebersihan. Salah satu syarat shalat adalah bersuci karena shalat ditujukan kepada Allah yang Maha Suci. Bersuci dengan berwudhu, mandi dan lain-lain sangat besar pengaruhnya bagi kesehatan dan kesegaran tubuh, sehingga memungkinkan mencapai prestasi kerja yang lebih baik. 2) Menguatkan tubuh. Shalat adalah latihan jasmani atau senam. Gerakan dalam shalat seperti berdiri, angkat tangan, ruku, tegak kembali, sujud, duduk dan lain-lain adalah merupakan gerakan dasar dalam olah raga. Gerakan tersebut sangat berpengaruh untuk menguatkan otot, urat, persendian, melancarkan peredaran darah, dan lain-lain.16 b. Bagi rohani. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan dan semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin mampu ia menghadapi kesukaran dalam hidup. Shalat merupakan cara-cara pelegaan

15 16

22-23

Muhammad Jihad Akbar, Mukjizat Ibadah Fajar (Jakarta: Alifbata, 2007), Cet. I, h.24 M. Ardani, Fikih Ibadah Praktis, (Ciputat: PT. Mitra Cahaya Utama, 2008), Cet. I, h.

16

batin yang akan mengembalikan ketenangan dan ketentraman jiwa bagi orang-orang yang melakukannya.17 5.

Rukun, Syarat dan Hal-Hal yang Membatalkan Shalat Ulama Fikih menyepakati bahwa rukun shalat itu adalah:

a. Niat Niat yaitu sengaja melakukan shalat karena mengikuti perintah Allah supaya diridhaiNya. Yang terpenting niat adalah kehendak hati yang dilakukan secara sengaja dan ikhlas, tanpa paksaan dari pihak manapun, kecuali semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT. b. Berdiri Orang yang mampu dan kuasa untuk berdiri dalam melaksanakan shalat fardhu, berdiri merupakan salah satu rukun yang harus dilaksanakan. Sedangkan bagi orang yang lemah, tidak diharuskan dengan berdiri, bisa dilakukan dengan duduk, berbaring sesuai dengan kemampuan orang yang akan shalat. c. Takbiratul Ihram Takbiratul Ihram adalah membaca “Allahu Akbar”. Disebut takbirtul ihram

karena

setelah

mengucapkannya

dalam

shalat

diharamkan

mengerjakan perbuatan-perbuatan di luar shalat, seperti makan dan minum. d. Membaca surat al-Fatihah e. Rukuk serta tuma’ninah Rukuk adalah membungkukkan badan membentuk sudut siku-siku atau sudut 90 derajat saat shalat dilakukan dengan berdiri, antara punggung dengan bokong, sampai lurus punggung dengan lehernya. Bagi yang shalat dengan duduk hendaknya melakukan rukuk sampai setentang antara muka dengan lutut, atau antara muka dengan tempat sujudnya.

17

Zakiah Darajdjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), Cet. VI, h. 79

17

f. I’tidal serta tuma’ninah I’tidal adalah berdiri tegak kembali sperti ketika membaca surat alFatihah. g. Sujud dua kali serta tuma’ninah Sujud yaitu sekurang-kurangnya meletakkan sebagian kening ke tempat shalat. Sujud yang sempurna adalah meletakkan kedua tangan ke tempat shalat, lutut, telapak kaki, dan kening serta hidung. h. Duduk di antara dua sujud serta tuma’ninah i. Duduk tawarruk atau duduk akhir Duduk tawarruk adalah duduk dengan telapak kaki yang kanan dalam posisi terbalik, sedangkan telapak kaki kiri dimasukkan ke bawah kaki kanan. j. Membaca tasyahud akhir k. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW setelah membaca tasyahud akhir adalah wajib, adapun membaca shalawat atas keluarga Nabi menurut Imam Syafi’i merupakan sunat. l. Memberi salam yang pertama ke kanan m. Menertibkan rukun. Menertibkan rukun adalah melakukan semua rukun shalat secara berurutan, mulai dari awal hingga akhir, sesuai urutannya.18 Dalam shalat terdapat syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang hendak melakukan shalat, yaitu syarat wajib dan syarat sahnya shalat, syaratsyarat wajib shalat yaitu: a. Islam b. Suci dari haid dan nifas c. Berakal d. Baligh e. Telah sampai dakwah Islam kepadanya. 18

Zurinal Z., dan Aminuddin, Fiqih Ibadah…, h. 73-79

18

f. Melihat dan mendengar. Maksudnya wajib melaksanakan shalat setelah melihat atau mendengar dakwah Islam melalui berbagai media, sehingga mengetahui kewajiban untuk melaksanakan shalat. g. Jaga, maksudnya tidak tidur, lupa atau gila.19 Syarat-syarat sahnya shalat adalah; a. Kesucian tubuh, pakaian dan tempat shalat. b. Mengetahui masuknya waktu shalat. c. Menghadap kiblat. d. Menutup aurat.20 Hal-hal yang dapat merusak shalat atau yang membatalkannya, yaitu: a. Makan dan minum. b. Berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan shalat. c. Mengerjakan sesuatu pekerjaan yang bukan dari pekerjaan-pekerjaan shalat. Meninggalkan suatu rukun dan syarat dengan sengaja.21 6.

Pembinaan Ibadah Shalat Pada Anak Pembinaan ketaatan beribadah pada anak juga mulai dari dalam keluarga,

dengan membimbing dan mengajarkan atau melatih anak dengan ajaran agama, seperti syahadat, shalat (bacaan dan gerakannya), berwudhu, doa-doa, bacaan alQur’an. Lafaz zikir dan akhlak terpuji, seperti bersyukur ketika mendapat anugerah, bersikap jujur, menjalin persaudaraan dengan orang lain, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah.

22

Anak yang masih kecil

kegiatan ibadah yang lebih menarik baginya adalah yang mengandung gerak. Anak-anak suka melakukan shalat, meniru orang tuanya kendatipun ia tidak mengerti apa yang dilakukannya itu. Pengalaman keagamaan yang menarik bagi

19

Zurinal Z., dan Aminuddin, Fiqih Ibadah…, h. 69-71 Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut al-Qur’an, as-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. III, h. 110-111 21 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), Cet. II, h. 183-187 22 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. XII, h. 139 20

19

anak di antaranya shalat berjamaah. Di samping itu, anak senang melihat dan berada di dalam tempat ibadah (masjid, mushala, surau dan sebagainya) yang bagus, rapi dan dihiasi dengan lukisan atau tulisan yang indah. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan unsur-unsur positif dalam pembentukan kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang itu.23 Orang tua perlu mengetahui tahapan-tahapan dalam membiasakan anak melakukan ibadah shalat agar orang tua bisa memahami cara yang tepat dalam menanamkan pembiasaah ibadah shalat sesuai dengan perkembangan usia anak. Dalam buku Begini Seharusnya Mendidik Anak, al-Magribi menjelaskan bahwa ada tiga tahapan dalam membiasakan anak untuk melakukan shalat24, yaitu: Tahapan Pertama: Perintah untuk shalat Ini adalah masa pertumbuhan kesadaran anak hingga umur tujuh tahun, pada masa ini anak gemar melihat dan meniru, ketika anak melihat kedua orang tuanya sedang shalat maka dengan cepat menirunya sehingga bila kedua orang tua melatih dan membiasakan hal itu sejak usia dini, yang demikian itu lebih baik. Sebagaimana Zakiah daradjat mengatakan bahwa pelaksanaan perintah shalat

bagi anak-anak adalah dengan persuasi, mengajak dan membimbing

mereka untuk melakukan shalat. Jika anak-anak telah terbiasa shalat dalam keluarga maka kebiasaan tersebut akan terbawa sampai ia dewasa.25 Secara praktis, orang tua menumbuhkan kecintaan anak terhadap shalat bisa dilakukan pada usia antara 2-7 tahun. Di masa ini orang tua bisa mengajak anak membiasakan diri untuk shalat berjamaah. Misalnya, suami atau seorang ayah menjadi imam di depan dan seorang ibu bersama anak menjadi makmum. Bila hal ini dilakukan setiap waktu, maka lama kelamaan anak akan terbiasa.

23

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 61 Al- Maghribi bin as-Said al –Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, (Jakarta: Darul Haq, 2007), Cet. V, h. 282-286 25 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 62 24

20

Dalam menumbuhkan kecintaan anak pada shalat, beberapa pakar mengemukakan berbagai cara yang

bisa membantu orang tua dalam

mewujudkannya, diantaranya: 1. Orang tua sebagai teladan Orang tua seringkali mengeluh karena anak-anak mereka melalaikan shalat. Padahal mereka telah menasehati dan memperingatkan agar anak tidak meninggalkannya. Namun satu hal yang kadang-kadang tidak disadari adalah bahwa seringkali orang tua yang melalaikannya sendiri. Padahal anak akan banyak “bercermin” pada orang tua. Setiap tingkah laku orang tua akan mudah ditiru oleh anak. Oleh karena itu bila orang tua menyuruh anak, maka orang tua pun harus melaksanakannya terlebih dahulu atau langsung mengajak anak-anak secara bersama-sama berjamaah dimasjid. Dengan cara tersebut anakpun akan mudah mengikuti seruan orang tua.26 Pada tahap ini keteladanan merupakan cara yang paling baik dalam menanamkan nilai ibadah pada anak. Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak.27 Orang tua khususnya ibu perlu memberikan contoh dan teladan yang dapat diterima dalam mengembangkan kepribadian dan membentuk sikap anak. Seorang anak yang sering mendengar perintah-perintah diiringi suara keras dan bentakan-bentakan, tidak bisa diharapkan untuk bicara lemah lembut, karena itu untuk menanamkan kelembutan dan sikap ramah pada anak dibutuhkan contoh dari ibu yang penuh kelembutan dan keramahan. Demikian halnya dalam pembinaan ibadah shalat wajib, seorang anak membutuhkan contoh teladan dari orang tuanya sejak kecil. Jika sejak kecil orang tua menanamkan akan pentingnya pelaksanaan ibadah shalat maka anak akan terbawa suasana tersebut. Dengan adanya teladan tersebut, seorang anak akan belajar shalat dan menekuninya ketika melihat orang tuanya tekun menunaikannya di setiap waktunya, demikian juga ibadah-ibadah lainnya. 28

26

Imam Musbikin, Kudidik Anakku Dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h. 414 27 Dr.Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam … , h.2 28 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak ...., h. 368

21

2. Shalat di awal waktu. Orang tua bisa menanamkan rasa cinta anak terhadap shalat, melalui cara membiasakan diri mengajak anak untuk shalat berjamaah di awal waktu. Dengan cara ini anak akan tergerak hatinya untuk cepat-cepat mendirikan shalat ketika terdengar suara adzan.29 3. Menghargai tiap tindakan anak Apapun yang dilakukan orang tua untuk mengajarkan anaknya shalat, namun tidak jarang orang tua akan mendapati tindakan anak yang bermacammacam. Misalnya anak setelah berdiri langsung sujud tanpa rukuk, menoleh ke sana-kemari, bahkan kadang baru mendapatkan satu rakaat saja, anak telah berlari. Walaupun demikian, orang tua perlu menghargai dan menghormati setiap tindakan anak. Sebagai orang tua harus tetap bersyukur, Alhamdulillah, sebab bagaimanapun juga anak masih dalam tahap belajar. Walaupun sedikit, anak telah belajar untuk berbuat kebajikan. Orang tua harus tekun, sabar, dalam membimbing, mengarahkan dan memberi contoh agar anak sedikit demi sedikit bisa menjalankan dengan baik.30 Firman Allah: QS. 20: 132

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132).31 Dengan kesabaran dan ketekunan orang tua, kelak anak benar-benar menjadi orang yang disiplin dalam shalatnya. 4. Memisahkan tempat anak. Anak biasanya sering ramai sendri dalam shalatnya. Kadang antara satu dengan yang lain saling mengganggu, menjahili dan saling dorong. Kebiasaan seperti ini, anak tidak lagi bisa berkonsentrasi dalam shalat, bahkan 29

Imam Musbikin, Kudidik Anakku dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h. 415 30 Hana binti Abdul Azis ash-Shani, Mendidik Anak Agar Terbiasa Shalat, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), Cet. I, h. 107 31 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemanhannya…, h. 321

22

mengundang pertengkaran hingga anak menangis. Kondisi seperti ini, biasanya akan membawa trauma pada anak. Akibatnya anak tidak mau lagi diajak ke masjid untuk shalat, karena takut dijahili oleh temannya. Oleh karena itu, memisahkan posisi antar anak dalam shalat sangat berguna dan banyak sekali manfaatnya. Misalnya bila ada dua anak yang akan mengerjakan shalat, orang tua bisa berada di tengah-tengah. Dengan cara ini, anak tidak lagi saling dorong dan dengan senang akan mengikuti shalat hingga selesai. Melatih anak untuk mencintai shalat membutuhkan kebijaksanaan dan kesabaran. Memberi contoh yang baik lagi kreatif sangat bermanfaat. Orang tua yang rajin dan mempunyai disiplin dalam shalat akan sangat berpengaruh dan menjadi teladan yang baik bagi belahan jiwanya, yakni menjadi anak yang shaleh dan shalehah yang taat beribadah kepada Allah SWT.32 Tahapan Kedua: Mengajarkan Tata Cara Shalat Periode ini mulai diajarkan ketika anak berumur antara tujuh hingga sepuluh tahun, maka pengarahan dan bimbingan pada anak tentang tata cara shalat dari mulai rukunnya, syaratnya, waktunya, dan hal-hal yang merusak shalat harus sudah dimulai. Dari Sabirah bin Ma’bad al-Juhani bahwa Rasulullah saw bersabda:

Ajarilah anakmu untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah untuk shalat ketika berumur sepuluh tahun.”33 Dalam mendidik anak untuk melaksanakan shalat orang tua harus mengajarkan tata cara shalat dengan benar berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan di atas, sehingga anak dapat mengetahui dan mempraktekkan nya dengan benar.

32

Imam Musbikin, Kudidik Anakku dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h. 416-418 33 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak ...., h. 283

23

Tahapan Ketiga: Memukul Anak Karena Tidak Shalat Tahapan ini dimulai semenjak anak berusia sepuluh tahun, ketika anak mulai teledor, sembrono, atau malas dalam menunaikan shalat. Orang tua atau pendidik boleh memukul anak sebagai bentuk pemberian sanksi kepada anak yang teledor menunaikan kewajibannya terhadap Tuhan karena mengikuti jalan syetan.34 Mengenai tahapan pertumbuhan anak, Muhammad Ali Quthb dalam karyanya Auladuna fi Dlau-it tarbiyyatil Islamiyyah menjelaskan bahwa anak melampaui masa penanaman dan pertumbuhan diri pada tiga tahun pertama dari usianya. Kemudian ia mengalami masa pendidikan, pengajaran dan penanaman akhlak, yaitu pada usia antara empat tahun sampai dengan tujuh tahun. Pada usia terakhir ini sang anak mulai memasuki masa-masa stabil dan mulai merasakan insting sexnya, baligh dan tanggung jawab. Maka dalam usia tersebut sang anak harus mengalami proses penekanan dan kekerasan. Pendidikan dipusatkan dengan pemberian rangsangan dan perhatian, yaitu melalui perintah pada permulaannya, dan melalui pukulan yang tidak membahayakan ketika anak berusia sepuluh tahun untuk tahap kedua.35 Memang Rasulullah sendiri memberikan masa tenggang atau jarak masa yang cukup untuk orang tua dan sang anak sebelum orang tua berpindah pada masa memberikan hukuman badani terhadap sang anak apabila meninggalkan shalat. Kemungkinan anak laki-laki atau anak perempuan dalam usia ini, terpengaruh oleh faktor-faktor psikologis dan pemikiran yang mendorongnya bersikap bandel atau malas. Dengan demikian perintah yang terus menerus untuk mendirikan shalat kepada sang anak dapat dijadikan peringatan dan perhatian yang cukup membuat perhatian sang anak tertumpu pada shalat. Dan apabila sang anak masih saja tetap membandel, maka baik anak laki-laki ataupun perempuan dikenakan hukuman sebagai peringatan baginya. Menurut Syekh waliyullah ad-Dahlawi, anak telah mencapai usia baligh dilihat dari dua sisi: pertama, apabila dia telah dianggap sehat secara 34 35

Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak ...., h. 286 Muhammad Ali Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam…, h. 90-91

24

kejiwaannya, anak mampu membedakan senmdiri antara sakit dan sehat atau dalam istilah lain, anak telah berakal. Dan petunjuk yang bisa diketahui anak telah berakal adalah saat anak sudah mencapai usia tujuh tahun. Anak sudah mulai bisa berpikir tentang keadaan sekitarknya, bertanya kerena keinginannya untuk mengetahui apa yang ia temukan saat itu, dan lain sebagainya. Sedangkan tanda berakalnya anak dapat terlihat lebih maju ketika dia telah berusia sepuluh tahun. Saat itu anak telah mampu menilai tingkah laku dirinya atau orang lain. Anak dapat membedakan perbuatan seseorang atau dirinya berbahaya atau bermanfaat. Pada saat ini anak sudah mampu berdagang dan mengadakan perjanjian. Kedua, ketika anak telah berusia limabelas tahun. Dia telah mencapi kesempurnaan akalnya. Jasmani dan rohaninya telah berfungsi dengan baik. Tanda-tanda yang jelas terlihat adalah dengan keluarnya air mani ketika bermimpi, serta mulai tumbuhnya rambut di bagian vital anak.36 Dalam pendidikan Islam diakui perlunya hukuman berupa pukulan. Ahli didik muslim berpendapat bahwa hukuman itu tidak boleh berupa siksaan, baik badan maupun jiwa. Bila keadaan amat memerlukan hukuman, maka hukuman itu harus digunakan dengan sangat hai-hati. Anak-anak jangan dicela dengan keras, tetapi dengan lemah lembut. Bila perlu gunakanlah muka masam atau cara lain yang menggambarkan ketidak senangan pada kelakuan anak. Hukuman itu harus adil atau sesuai dengan kesalahan. Anak harus mengetahui mengapa ia dihukum. Selanjutnya hukuman itu harus membawa anak pada kesadaran akan kesalahannya, sehingga hukuman tidak meninggalkan dendam pada anak.37 Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis karya M Ngalim Purwanto dijelaskan bahwa hukuman dan menghukum itu bukanlah soal perseorangan, melainkan mempunyai sifat kemasyarakatan. Hukuman tidak dapat dilakukan sewenang-wenang menurut kehendak seseorang, tetapi

36

Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, terj. Dari Manhaj al-Tarbiyah al-Nabawiyah li al-Thifl oleh Kuswandani, dkk, (Bandung: al-Bayan, 1997), Cet. I, h. 153-155 37 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), Cet. IX, h.186

25

menghukum itu adalah suatu perbuatan yang tidak bebas, yang selalu mendapat pengawasan dari masyarakat dan negara. Apalagi hukuman yang bersifat pendidikan, harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat hukuman itu antara lain: a. Hukuman itu harus bersifat memperbaiki. Ini berarti bahwa hukuman harus mempunya nilai mendidik (normatif) bagi si terhukum. Sehingga dengan hukuman itu dapat memperbaiki kelakuan dan moral anak. b. Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau balas dendam, karena hukuman yang seperti ini tidak memungkinkan adanya hubungan baik antara si pendidik dengan yang didik. c. Jangan menghukum ketika dalam keadaan sedang marah. Sebab jika demikian, kemungkinan hukuman itu tidak adil atau terlalu berat. d. Tiap-tiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu. e. Bagi si terhukum (anak), hukuman itu hendaklah dapat dirasakannya sebagai penderitaan yang sebenarnya. Sehingga dengan hukuman itu anak merasa menyesal dan merasa bahwa untuk sementara waktu ia kehilangan kasih sayang orang tuanya. f. Jangan melakukan hukuman badan. Sebab pada hakikatnya hukuman badan itu dilarang oleh negara, tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan merupakan penganiayaan sesama makhluk, lagi pula, hukuman badan tidak meyakinkan kita adanya perbaikan bagi siterhukum, tetapi sebaliknya hanya menimbulkan sikap suka melawan. g. Hukuman tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidikan dan anak didiknya. Untuk itu perlulah hukuman yang diberikan itu dapat dimengerti dan dipahami oleh anak. Anak hendaknya memahami bahwa hukuman itu akibat yang sewajarnya dari pelanggaran yang telah diperbuatnya. 38 Wiliam Stern membedakan tiga macam hukuman yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu. 38

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. XVIII, h. 191-192

26

a. Hukuman asosiatif. Umumnya, orang mengasosiasikan antara hukuman dan kejahatan atau pelanggaran, antara penderitaan yang diakibatkan oleh hukuman

dengan

perbuatan

pelanggaran

yang

dilakukan.

Untuk

menyingkirkan perasaan tidak enak terhadap hukum itu, biasanya anak menjauhi perbuatan yang tidak baik atau yang dilarang. b. Hukuman logis. Hukuman logis dipergunakan terhadap anak yang telah agak besar. Dengan hukuman ini, anak mengerti bahwa hukuman itu adalah akibat yang logis dari pekerjaan atau perbuatannya yang tidak baik. Anak mengerti bahwa ia mendapat hukuman itu adalah akibat dari kesalahan yang diperbuatnya. Misalnya, seorang anak disuruh menghapus papan tulis karena ia telah mencoret-coret dan mengotorinya. Karena datang terlambat, si Amir ditahan guru di sekolah untuk mengerjakan pekerjaannya yang tadi belum diselesaikan. c. Hukuman normatif. Hukuman normatif adalah hukuman yang bermaksud memperbaiki

moral

anak-anak.

Hukuman

ini

dilakukan

terhadap

pelanggaran-pelanggaran mengenai norma-norma etika, seperti berdusta, menipu, dan mencuri. Jadi, hukuman normatif sangat erat kaitannya dengan pembentukan watak anak-anak. Dengan hukuman ini, pendidik berusaha mempengaruhi kata hati anak, menginsafkan anak terhadap perbuatannya yang salah dan memperkuat kemauannya untuk selalu berbuat baik dan menghindari kejahatan.39 Islam memberi arahan dalam memberi hukuman terhadap anak atau peserta didik, si pendidik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Tidak menghukum anak ketika marah, karena terbawa emosional yang dipengaruhi nafsu syetan. b. Tidak menyakiti perasaan dan harga diri anak. c. Tidak merendahkan derajat dan martabat yang dihukum. d. Tidak menyakiti secara fisik.

39

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis…, 190

27

e. Bertujuan mengubah perilaku yang tidak atau kurang baik.40 Tokoh-tokoh

cendekiawan

muslim

memberikan

komentar

dan

pendapatnya mengenai hukuman, diantaranya: menurut Ibnu Sina Islam sangat menghargai martabat manusia dan naluri manusia yang selalu ingin disayangi, dan hukuman itu boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau kondisi yang tidak normal. Al-Aghazali berpendapat seorang pendidik laksana dokter, apabila dia berlebihan member obat (hukuman) kepada anak, hati mereka akan beku dan jiwanya akan mati. Maksudnya penerapan hukuman harus proporsional, tidak boleh berlebihan dan diusahakan member kesempatan terlebih dahulu kepada anak untuk memperbaiki. Sedangkan ibnu Khaldun berpendapat bahwa seorang

pendidik

memberikan

pengajaran

pada

anak

didik

harus

memahami/menguasai ilmu jiwa anak, apabila tidak, dikhawatirkan seorang pendidik bertindak ceroboh, kasar, keras dan mudah marah. Hal ini tentu akan menyebabkan anak menjadi pendusta, pemalas, pemurung, tidak percaya diri dan akan mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta karena takut dihukum.41 Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukuman memiliki tujuan untuk merubah tingkah laku manusia menjadi lebih baik. Hukuman merupakan upaya akhir yang dilakukan pendidik apabila upaya prefentif yang bersifat lemah lembut tidak menunjukkan perubahan atau hasil yang positif. Dalam menerapkan hukuman harus dilakukan dengan hati-hati dan proporsional dalam arti sesuai dengan tingkat kesalahan anak dan yang terpenting adalah hukuman dapat merubah perilaku anak menjadi lebih baik.

40

Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Cet. I, h. 18-22 41 Abuddin Nata, dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 375-376

28

B. Peranan Keluarga 1. Pengertian Peranan Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, peranan diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. 42 Peranan dapat diartikan pula sebagai sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan terutama (di dalam terjadinya sesuatu hal). Ada juga yang merumuskan lain, bahwa peranan berarti bagian yang dimainkan, tugas kewajiban pekerjaan. Selanjutnya bahwa peranan berarti bagian yang harus dilakukan di dalam suatu kegiatan.43 Secara sederhana peran orang tua dapat dijelaskan sebagai kewajiban orang tua kepada anak. Di antaranya adalah orang tua wajib memenuhi hak-hak (kebutuhan) anaknya, seperti hak akan kebutuhan minum, makan, pakaian dan kebutuhan lain yang terpenting adalah kebutuhan akan pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama, termasuk di dalamnya pembinaan shalat. 2. Pengertian Keluarga Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia keluarga adalah Ibu, bapak beserta anak-anaknya; sanak saudara dan kaum kerabat.44 Keluarga adalah lembaga sosial resmi yang terbentuk setelah adanya suatu perkawinan. Dalam UU perkawinan pasal 1 ayat 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa” Menurut H. Ali Akbar keluarga merupakan masyarakat terkecil yang sekurang-kurangnya terdiri dari suami/istri sebagai anggota inti berikut anak

42

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi ke-3, Cet. IV, h. 854 43 Sahilun A. Nasir, Peranan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. II, h. 9 44 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 536

29

yang lahir dari mereka. Jadi setidak-tidaknya anggota keluarga terdiri dari suami dan istri, bila belum mempunyai anak atau tidak punya anak sama sekali.45 Hasan Langgulung dalam bukunya “Manusia dan Pendidikan” menjelaskan tentang definisi keluarga: “…Jadi keluarga dalam pengertian yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan istri, atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus dimana yang satu merasa tentram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan agama dan masyarakat dan ketika kedua suami istri itu dikaruniai seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur ketiga pada keluarga tersebut”. Lain halnya dengan Masyfuk Zuhdi yang memberikan pengertian keluarga dalam arti luas. Ia menjelaskan “keluarga dalam arti yang luas ialah ayah, ibu dan anak ditambah mertua, kemenakan-kemenakan, adik-adik dan sebagainya yang kebutuhan semuanya tergantung pada keluarga. Dengan demikian menurut Masyfuk Zuhdi keluarga tidak hanya beranggotakan suami/istri dan anak, akan tetapi bisa juga yang lainnya yang merupakan tanggungan keluarga tersebut. Pengertian ini banyak terdapat pada kehidupan bangsa Indonesia yang berlainan dengan bangsa Barat.46 Dari pengertian di atas, pengertian keluarga secara sempit dapat diartikan bahwa keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Sedangkan pengertian keluarga secara luas adalah suatu keluarga inti dengan adanya tambahan dari sejumlah orang baik yang sekerabat yang secara bersamasama hidup dalam suatu rumah tangga dalam keluarga inti. Dengan melihat pengertian keluarga secara sempit dan luas, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah suatu komunitas masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang juga terdapat kerabat dari pihak suami dan istri yang dapat hidup bersama dalam suatu rumah tangga.

45

Ali Akbar, Remaja dan Kesadaran Nikah, (Jakarta: Pustaka Anta, 1992), Cet. II, h. 135 Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), h. 28 46

30

3. Fungsi dan Peranan Keluarga Sebagai salah satu pusat pendidikan, keluarga mempunyai tugas yang sangat fundamental dalam upaya mempersiapkan anak bagi peranannya pada masa yang akan datang. Dalam lingkungan keluarga ini sudah dimulai ditanamkan dasar-dasar perilaku, sikap hidup dan kebiasaan lainnya. Dengan demikian

perlu

diciptakan

lingkungan

keluarga

yang

kondusif

bagi

perkembangan anak.47 Fungsi keluarga yang utama ialah mendidik anak-anaknya. Anak manusia berbeda dengan binatang, tanpa pendidikan dan bimbingan dalam arti yang luas, anak tidak akan menjadi anggota masyarakat yang dapat menjalankan kewajiban dalam kehidupan bersama. Dalam hal ini anak berakar dalam diri orang tuanya, sedangkan orang tua merupakan faktor pendidik bagi anak dan memainkan peranan paling utama dalam pertumbuhan kepribadiannya. Singgih D. Gunarsa dalam bukunya “Psikologi Praktis Anak Remaja dan Keluarga” menjelaskan tentang fungsi keluarga antara lain: a. Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak. Rasulullah bersabda:

Menikahlah, berketurunanlah, niscaya kamu menjadi banyak karena aku akan merasa bangga olehmu di hadapan umat lain pada hari kiamat.” Dengan

perkawinan,

manusia

akan

semakin

banyak

dan

berkesinambungan, dengan demikian akan terpelihara kelangsungan hidup manusia. Dalam kelestarian dan kesinambungan terdapat suatu pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup jenis manusia dan suatu dorongan bagi para spesialis untuk meletakkan metode-metode pendidikan dan dasar-dasar yang benar untuk mencapai keselamatan jenis manusia dari aspek moral dan

47

Hery Noer Aly. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. II, h. 211

31

fisikal secara berbarengan. Al-Qur’an menjelaskan hikmah sosial dan maslahat kemanusiaan,48 Allah berfirman:

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. (QS. An-Nahl: 72).49

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamudari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS. AnNisa: 1).50 Dengan perkawinan yang sesuai dengan syari’at Allah maka anak yang dilahirkan akan merasa bangga dengan bapak-bapaknya yang menjadi keturuanannya. Dengan

adanya keturunan terdapat penghargaan diri,

kemantapan jiwa, dan penghormatan terhadap kemanusiaan mereka. sekiranya tidak ada perkawinan yang disyari’atkan oleh Allah, maka masyarakat tidak akan merasa bangga dengan anak yang tidak memiliki kehormatan dan keturunan. Maka lahirlah celaan besar yang menimpa

48

Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Terj. Dari Ushulut Tarbiyatu ‘l-Aulad fi ‘l-Islam oleh Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali, (Semarang: CV. AsySyifa, 1998), Cet. I, h. 6 49 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 274 50 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 77

32

akhlak mulia, dan tersebarlah kerusakan dan upaya menghalalkan segala cara.51 b. Memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban. Naluri menyayangi anak merupakan potensi yang diciptakan oleh Allah bersamaan dengan penciptaan manusia dan binatang. Allah menjadikan naluri kasih dan sayang sebagai salah satu landasan kehidupan alamiah, psikologis, dan sosial mayoritas makhluk hidup. Keluarga, terutama orang tua, bertanggung jawab untuk untuk memberikan kasih sayang kepada anak, karena kasih sayang merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan perkembangan psikologis dan sosial anak. Jika seorang anak mengalami ketidakseimbangan rasa cinta, kehidupan bermasyarakatnya akan dicemari penyimpangan-penyimpangan. Anak akan sulit berteman atau bekerjasama, apalagi jika harus melayani atau mengorbankan miliknya demi orang lain. Setelah dewasa, anak sulit untuk menjadi ayah yang penyayang, suami yang bergaul dengan baik dan penuh pertimbangan, atau tetangga yang santun pada tetangga lainnya. Rasulullah adalah figur pencinta anak yang ideal, beliau mengasihi anak dan bersabar dalam menghadapi rajukannya.52 c. Mengembangkan kepribadian. Ibu

yang baik, saleh, penyayang, dan bijaksana, sebelum

mengandung telah memohon kepada Allah agar mendapatkan anak yang saleh, yang berguna bagi bangsa, negara dan agamanya. Ketika mulai mengandung, hatinya gembira menanti kelahiran sang anak. Sejak dalam kandungan bayi mendapatkan pengaruh yang positif dalam kepribadiannya yang akan tumbuh di masa yang akan datang. Ketika dalam kandungan, janin mendapatkan pengaruh dari sikap dan perasaan ibunya, melalui sarafsaraf yang terdapat dalam rahim. Sikap positif sang ibu terhadap janin dan ketentraman batinnya dalam hidup menyebabkan saraf-saraf bekerja lancar 51

Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam…, h. 6-7 Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ oleh Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 141 52

33

dan wajar, karena tidak ada kegoncangan jiwa yang menegangkan. Maka unsur-unsur dalam pertumbuhan kepribadian anak yang akan lahir cukup baik dan positif, yang nantinya menjadi dasar pertama dalam pertumbuhan setelah lahir. Maka beruntunglah anak yang lahir dan dibesarkan oleh ibu yang shaleh dan penyayang. Karena pertumbuhan kepribadian anak terjadi melalui seluruh pengalaman yang diterimanya sejak dalam kandungan.53 d. Mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama dan sistem nilai moral kepada anak. Menurut ST. Vebriarto dalam buku Pengantar Ilmu Pendidikan karya Drs. M. Alisuf Sabri keluarga mempunyai 7 fungsi yang ada hubungannya dengan kehidupan anak, yaitu: a. Fungsi biologik: yaitu keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak, secara biologik anak berasal dari orang tuanya. b. Fungsi afeksi: yaitu keluarga merupakan tempat terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi (penuh kasih sayang dan rasa aman). c. Fungsi sosialisasi: yaitu fungsi keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam rangka perkembangan kepribadiannya. d. Fungsi pendidikan: yaitu keluarga sejak dahulu merupakan sebuah institusi pendidikan. Dahulu keluarga merupakan satu-satunya institusi untuk mempersiapkan anak agar dapat hidup secra sosial dan ekonomi masyarakat. Saat ini keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama dalam mengembangkan dasar kepribadian anak. e. Fungsi rekreasi: yaitu keluarga merupakan tempat atau medan rekreasi bagi anggotanya untuk memperoleh afeksi, ketenangan dan kegembiraan.

53

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), Cet. II, h. 52-53

34

f. Fungsi keagamaan: yaitu keluarga merupakan pusat pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi anggotanya, di samping peran yang dilakukan institusi agama. g. Fungsi perlindungan: yaitu keluarga berfungsi memelihara, merawat dan melindungi anak baik fisik maupun sosialnya. Fungsi ini oleh keluarga tidak dilakukan sendiri tetapi banyak dilakukan oleh badan-badan sosial seperti tempat perwatan bagi anak-anak cacat tubuh mental, anak yatim piatu, anakanak nakal dan perusahaan asuransi.54 Ketujuh fungsi tersebut sangat besar peranannya bagi kehidupan dan perkembangan kepribadian si anak. Oleh karena itu harus diupayakan oleh orang tua sebagai realisasi tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik secara kodrati. Setiap orang tua mempunyai peran masing-masing dalam mengasuh dan mendidik anak. Dalam keluarga sosok seorang ibu sangat diperlukan sebagai pendidik dasar bagi anak-anaknya, untuk itu seorang ibu hendaklah seorang yang bijaksana dan pandai mendidik anak-anaknya. Sesuai dengan fungsi serta tanggung jawabnya sebagai anggota keluarga. M. Ngalim Purwanto dalam buku nya Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis menyimpulkan peran ibu dalam pendidikan anak-anaknya adalah sebagai berikut: ibu merupakan sumber dan pemberi kasih sayang, pengasuh dan pemelihara, tempat mencurahkan isi hati, pengatur kehidupan dalam rumah tangga, pembimbing hubungan pribadi, dan pendidik dalam segi emosional. Bukan saja peran seorang ibu yang sangat dibutuhkan dalam keluarga tetapi peran seorang ayah juga sangat dibutuhkan dalam membentuk perkembangan keluarga. Adapun peran ayah sebagai berikut: sumber kekuasaan di dalam keluarga, penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar, pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga, pelindung terhadap

54

h. 23-24

M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I,

35

ancaman dari luar, mengadili jika terjadi perselisihan dan pendidik dalam segisegi rasional.55 Peranan keluarga sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan jiwa anak apabila orang tua salah mendidik maka anakpun akan mudah terbawa arus pada hal-hal yang tidak baik. Maka dengan adanya peranan masing-masing hendaknya orang tua saling melengkapi sehingga dapat membentuk keluarga yang utuh dan harmonis serta dapat menjalankan perintah agama dengan sebaikbaiknya. 4. Kedudukan Keluarga Sebelum anak mengenal lingkungan luar terlebih dahulu mereka mengenal situasi keluarga di mana mereka berada. Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan anak selanjutnya. Oleh karena itu, keluarga di sebut “primary community” yaitu sebagai lingkungan yang pertama dan utama. Keluarga disebut lingkungan yang pertama karena dalam keluarga inilah anak pertama kalinya mendapatkan pendidikan dan bimbingan utama, karena sebagian besar hidup anak berada dalam keluarga, maka pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam lingkungan keluarga.56 Oleh karena itu dalam kehidupan keluarga jangan sampai memberikan pengalaman atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik pada anak yang nantinya akan berpengaruh bagi kehidupannya ketika dewasa.

55

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. XVIII, h. 82-83 56 M. Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jiwa, 1999), Cet. I, h. 15-16

36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan masyarakat, khususnya keluarga yang berada di wilayah Rt 07/ 01 Cilincing Jakarta Utara, tepatnya di Jl. Baru Gg III Rt 07/01 Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Adapun waktu penelitiannya dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan April 2011. B. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis melalui penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Jenis penelitian lapangan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh fakta, data dan informasi yang lebih obyektif dan akurat mengenai peran orang tua dalam pendidikan ibadah shalat anak usia 7-10 tahun, dan penelitian kepustakaan penulis lakukan dengan mempelajari atau menelaah dan mengkaji buku-buku yang erat kaitannya dengan masalah yang dibahas.

36

37

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah seluruh subyek penelitian.1 Penelitian ini merupakan penelitian populasi. Sehingga yang menjadi populasi target terjangkau adalah seluruh orang tua di Rt 07/01 Cilincing yang memiliki anak usia 7-10 tahun berjumlah 37 KK. 2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.2 Menurut Suharsimi Arikunto, apabila subjek yang diteliti kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar atau lebih dari 100 orang dapat diambil antara 10-15%, atau 20-25% atau lebih.3 Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua yang memilki anak usia 7-10 tahun di Rt07/01 Cilincing yang berjumlah 37 KK. D. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data untuk menunjang kesuk sesan penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Observasi yaitu mengadakan pengamatan secara langsung ketempat-tempat atau instansi terkait. Dalam hal ini penulis melakukan pengamatan langsung ke lingkungan RT 07 Rw 01 Cilincing Jakarta Utara, dengan tujuan untuk memperoleh profil atau gambaran mengenai keadaan penduduk, jenjang pendidikan, serta sarana dan prasarana yang ada di Rt 07/01 Cilincing. 2. Wawancara atau biasa disebut dengan interviu, yaitu sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi atau data. Penulis melakukan wawancara dengan ketua RT 07 RW 01 Cilincing dan Guru Ngaji di ar-Raihan, dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai usahausaha yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anak shalat dan 1

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka cipta, 1998), h. 115 2 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek…, h. 117 3 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek…, h. 120

38

kesulitan-kesulitan yang dialami orang tua ketika membiasakan anak shalat. Dalam melakukan wawancara penulis menggunakan instrumen wawancara sebagai alat untuk memudahkan penulis dalam mendapatkan informasi yang jelas dari nara sumber. 3. Angket (kuisioner) yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang disampaikan kepada responden untuk memperoleh informasi dari responden. Angket yang digunakan terdiri dari 20 butir pertanyaan. Angket ini digunakan untuk memperoleh data dari orang tua mengenai bagaimana peran atau tugas yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anaknya shalat. Angket ini ditujukan pada orang tua yang memiliki anak usia 7-10 tahun. Adapun kisi-kisi angket mengenai Peran Keluarga Dalam Pendidikan Ibadah Shalat Anak Usia 7-10 tahun, sebagai berikut: Tabel 1 KISI-KISI QUISIONER Variabel

Sub variable

Peran keluarga Memerintahkan dalam shalat pendidikan ibadah shalat anak

No Jumlah item Membiasakan anak 1, 2, 3, 8 melaksanakan shalat 4, 5, 6, 7, 8, Indikator

Mengajak anak 9 shalat bersama/berjamaah . Membimbing anak 10 shalat bersama/berjamaah.

1

1

Mengajarkan rukun, 11, 12, Mengajarkan tata dan syarat sah shalat. 13, 14, cara shalat. 15,16

6

Menasehati anak. Menghukum anak bila tidak Memarahi anak. melaksanakan shalat Memukul anak.

17

1

18

1

19, 20,

2

39

4. Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan dokumen-dokumen yang bekaitan dengan judul skripsi, seperti data mengenai jumlah KK yang ada di Rt 07/01, sarana dan prasarana dan sebagainya. E. Teknik Analisis Data Data yang penulis peroleh dari hasil wawancara dan angket akan di analisis dengan menggunakan analisa data statistik deskriptif, dengan tujuan untuk membuat deskriptif atau gambaran secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat yang diteliti. Teknik perhitungan dari angket akan dianalisa menggunakan rumus berupa prosentase atau frekuensi relatif. Rumus tersebut yaitu: P=

F X 100% N

Keterangan : P = prosentase F = frekuensi jawaban responden N = number of case atau jumlah responden4. Tabel 2 Skala prosentase yang digunakan dalam penulisan laporan skripsi ini adalah: No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

4

Prosentase % 100% 90%-99% 60%-89% 51%-59% 50% 40%-49% 10%-39% 1%-9% 0%

Penafsiran Seluruhnya Hampir seluruhnya Sebagian besar Lebih dari setengah Setengah Hampir setengahnya Sebagian kecil Sedikit sekali Tidak ada

Anas Sudjono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. XVI, h. 40

40

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Rt 07/01 Cilincing 1. Letak geografis wilayah Rt 07/01 Cilincing Wilayah Rt 07/01 berada di Jalan Baru Gg III Kelurahan Cilincing Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Adapun luas wilayah Rt 07/01 Cilincing kurang lebih 5865 m2, dengan perbatasan sebagai berikut: a. Sebelah timur

: Rt 12/01 Cilincing

b. Sebelah barat

: Rt 06/01 Cilincing

c. Sebelah selatah

: Rt 08/01 Cilincing

Letak Rt 07/01 Cilincing persis di sebelah utara, dekat pinggir kali Banglio perbatasan antara kelurahan Kalibaru dan kelurahan Cilincing. Wilayah ini juga dekat dengan pasar yang bernama Pasar Jalan Baru. 2. Keadaan Penduduk Adapun jumlah penduduk di Rt 07/01 Cilincing berjumlah 244 orang dengan jumlah KK 86. Dari 244 orang terdapat 20 orang beragama Kristen, 4 orang beragama Budha dan 220 orang beragama Islam. Dengan rincian 141 orang laki-laki dan 103 orang perempuan.

40

41

Mengenai jenjang pendidikan yang dialami penduduk Rt 07/01 sebagian besar lulusan SMP dan SMU. Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3 No

Pendidikan

Prosentasi

1

Tidak Sekolah

3,4 %

2

Sekolah Dasar

21,7 %

3

Sekolah Menengah Pertama

35,5 %

4

Sekolah Menengah Umum

37,2 %

5

D1, D2, D3, S1

2,2 %

Jumlah

100

Adapun mengenai pekerjaan, kebanyakan dari warga Rt 07/01 Cilincing bekerja sebagai karyawan, ada pula yang bekerja sebagai pedagang, buruh dan juga guru. 3. Sarana Pendidikan dan Ibadah Sarana pendidikan dan ibadah yang ada di Rt 07/01 Cilincing yaitu pengajian ar-Raihan, Yayasan al-Ihsaniyyah dan satu buah masjid yang dinamakan masjid al-Ikhlas. Masjid al-Ikhlas digunakan sebagai tempat kegiatan keagamaan, seperti kegiatan pengajian ibu-ibu yang biasa dilaksanakan setiap hari jum’at dan pengajian bapak-bapak yang diadakan setiap hari minggu, masjid ini pun digunakan sebagai tempat peringatan harihari besar Islam, misalnya Isra Mi’raj, Maulid Nabi dan lain-lain.

42

B. Analisis Data Data penelitian ini diperoleh dari 37 responden orang tua yang ada di Rt 07/01, mengenai Peran Orang Tua dalam Pendidikan Ibadah Shalat Anak Usia 7-10 tahun. Data angket yang terkumpul penulis olah ke dalam tabel-tabel sebagai berikut: Tabel 4 Mulai membiasakan anak shalat No item 1

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Sebelum usia 7 tahun

3

8.1 %

Sejak usia 7 tahun

30

81.1 %

Sejak usia 10 tahun

4

10.8 %

Tidak pernah

-

0%

37

100 %

Jumlah

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sedikit sekali (8.1%) dari orang tua yang menjawab sebelum usia 7 tahun, sebagian besar (81.1%) orang tua menjawab sejak usia 7 tahun, sebagian kecil (10.8%) orang tua yang menjawab sejak usia 10 tahun dan tidak ada (0%) dari orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua mulai membiasakan anaknya shalat sejak usia 7 tahun. hal tersebut dapat dikatakan baik, karena sesuai dengan hadits Rasulullah yang memerintahkan orang tua untuk mengajarkan anak shalat ketika berusia 7 tahun. Usia 7 tahun merupakan kesiapan anak dalam menerima sesuatu. Untuk itu sangatlah baik bila orang tua memulai pendidikan ibadah shalat anak sejak ia berusia 7 tahun. dalam hal ini bukan berarti orang tua yang menjawab sebelum usia 7 tahun (8.1%) dinilai tidak baik, justru lebih baik karena untuk menumbuhkan rasa kecintaan anak pada shalat bisa dilakukan ketika usia anak belum mencapai usia 7 tahun. Di masa ini orang tua bisa mengajak anak membiasakan diri untuk shalat berjamaah. Meskipun anak belum bisa melakukan gerakan dan bacaan shalat dengan benar, namun upaya ini dapat membuat anak terbiasa melakukan shalat sejak kecil.

43

Tabel 5 Melatih anak untuk melaksanakan shalat No item 2

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

8

21.6 %

Sering

20

54.1 %

Kadang-kadang

9

24.3 %

Tidak pernah

-

0%

37

100 %

Jumlah

Ini menunjukkan bahwa orang tua sering melatih anaknya untuk melaksanakan shalat. Hal ini berarti baik sebab masa pertumbuhan kesadaran anak hingga umur tujuh tahun, pada masa ini anak gemar melihat dan meniru, ketika anak melihat kedua orang tuanya sedang shalat maka dengan cepat meniru sehingga bila kedua orang tua melatih anak sejak usia dini, yang demikian itu lebih baik. Dalam melatih dan membiasakan anak untuk shalat peran yang baik dari orang tua sangat dibutuhkan, untuk itu sebagai orang tua harus mampu menjadi teladan dan pembimbing yang baik bagi anak-anaknya. Terlihat pada tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil (21.6%) orang tua menyatakan selalu, lebih dari setengahnya (54.1%) orang tua menyatakan sering, sebagian kecil (24.3%) menyatakan kadang-kadang, dan tidak ada (0%) orang tua yang menyatakan tidak pernah. Tabel 6 Membangunkan anak untuk melaksanakan shalat Subuh No item 3

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

4

10.8

Sering

6

16.2 %

Kadang-kadang

21

56.8 %

Tidak pernah

6

16.2 %

44

Jumlah

37

100 %

Ini menunjukkan bahwa usaha orang tua dalam membiasakan anak untuk shalat subuh dapat dikatakan kurang baik. Kebanyakan dari orang tua hanya kadang-kadang saja membangunkankan anak shalat subuh. Seharusnya orang tua lebih perhatian lagi dalam hal ini sebab apabila orang tua tidak membiasakan anak untuk shalat subuh maka ketika remaja nanti anak akan terbiasa bangun siang dan akan sulit untuk dibiasakan melaksanakan shalat subuh. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil (10.8%) orang tua menjawab selalu, sebagian kecil (16.2%) orang tua menjawab sering, lebih dari setengahnya (56.8%) orang tua menjawab kadang-kadang dan sebagian kecil (16.2%) dari orang tua yang menjawab tidak pernah. Tabel 7 Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Zuhur No item 4

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

7

18.9 %

Sering

9

23.3 %

Kadang-kadang

20

54 %

Tidak pernah

1

2.7 %

Jumlah

37

100 %

Berdasarkan data yang terdapat dalam tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil (18.9%) orang tua menjawab selalu, sebagian kecil (23.3%) orang tua menjawab sering, lebih dari setengahnya (54%) menjawab kadang-kadang dan sedikit sekali (2.7%) dari orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua kadang-kadang memerintahkan anaknya untuk melaksanakan shalat dzuhur. Dalam memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat dzuhur dibutuhkan kesabaran ekstra dari orang tua karena biasa nya pada waktu tersebut anak sedang berada diluar rumah/bermain dan sudah menjadi

45

tanggung jawab orang tua untuk memerintahkan anak shalat pada waktu dzuhur meskipun anak sedang berada di luar rumah. Tabel 8 Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Ashar No item 5

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

8

21.6 %

Sering

16

43.2 %

Kadang-kadang

13

35.1 %

-

0%

37

100 %

Tidak pernah Jumlah

Dari hasil jawaban responden mengenai perintah dalam mengerjakan shalat ashar dapat diketahui bahwa sebagian kecil (21.6%) orang tua menjawab selalu, hampir setengahnya (43.2%) dari orang tua yang menjawab sering, sebagian kecil (35.1%) orang tua menjawab kadang-kadang dan tidak ada (0%) dari orang tua yang menjawab tidak pernah. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua sering memerintahkan anaknya untuk melaksanakan shalat ashar. Tabel 9 Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Magrib No item 6

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

10

27 %

Sering

18

48.6 %

Kadang-kadang

9

24.3 %

Tidak pernah

-

Jumlah

37

0% 100 %

46

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil (27%) orang tua menjawab selalu, hampir setengahnya (48.6%) orang tua menjawab sering, sebagian kecil (24.3%) dari orang tua yang menjawab kadang-kadang dan tidak ada (0%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua sering memerintahkan anaknya untuk melaksanakan shalat magrib. Tabel 10 Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Isya No item 7

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

6

16.2 %

Sering

12

34.4 %

Kadang-kadang

18

48.6 %

Tidak pernah

1

2.7 %

Jumlah

37

100 %

Dari data yang tertera dalam tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil (16.2%) orang tua menjawab selalu, sebagian kecil juga (34.4%) orang tua menjawab sering, hampir setengahnya (48.6%) dari orang tua yang menjawab kadang-kadang dan sedikit sekali (2.7%) dari orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab orang tua dalam membiasakan anak untuk melaksanakan shalat isya dapat dikatakan cukup baik, waktu isya adalah waktu dimana anak telah menjalankan aktivitasnya seharian sehingga pada waktu ini anak biasanya mengantuk dan sulit apabila diperintahkan shalat, namun meskipun demikin orang tua tetap berusaha memerintahkan anaknya untuk shalat isya. Tabel 11 Melatih anak untuk shalat di awal waktu No item 8

Alternatif jawaban Selalu

Frekuensi

Prosentase

7

18.9 %

47

Sering

18

48.6 %

Kadang-kadang

11

29.7 %

Tidak pernah

1

2.7 %

Jumlah

37

100 %

Dari hasil jawaban responden terlihat bahwa sebagian kecil (18.9%) orang tua menjawab selalu, hampir setengahnya (48.6%) orang tua menjawab sering, sebagian kecil (29.7%) orang tua menjawab kadang-kadang dan sedikit sekali (2.7%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua sering memerintahkan anaknya untuk shalat pada awal waktu. Hal ini berarti baik, sebab orang tua bisa menanamkan rasa cinta anak terhadap shalat melalui cara membiasakan diri mengajak anak untuk shalat di awal waktu. Dengan cara ini anak akan tergerak hatinya untuk cepat-cepat mendirikan shalat ketika suara adzan terdengar

Tabel 12 Mengajak anak shalat berjamaah No item 9

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

1

2.7 %

Sering

12

34.4 %

Kadang-kadang

19

51.3 %

Tidak pernah

5

13.5 %

Jumlah

37

100 %

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sedikit sekali (2.7%) orang tua menjawab selalu, sebagian kecil (34.4%) orang tua menjawab sering, lebih dari setengahnya (51.3%) orang tua yang menjawab kadang-kadang dan sebagian kecil (13.5%) dari orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua kadang-kadang mengajak anaknya untuk melaksanakan shalat

48

berjamaah di rumah. Hal tersebut dapat dikatakan cukup baik, sebab masih ada usaha orang tua dalam mengajak anaknya untuk shalat berjamaah. Anak yang masih kecil sangat tertarik dengan hal-hal yang mengandung gerakan untuk itu sangat baik bila orang tua selalu mengajak anak untuk shalat berjamaah di rumah agar anak dapat terbiasa dalam mengerjakannya.

Tabel 13 Mengajak anak shalat berjamaah di masjid No item 10

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

2

5.4 %

Sering

6

16.2 %

Kadang-kadang

24

64.8 %

Tidak pernah

5

13.5 %

Jumlah

37

100 %

Hasil jawaban responden dapat diketahui bahwa sedikit sekali (5.4%) orang tua yang menjawab selalu, sebagian kecil (16.2%) orang tua menjawab sering, sebagian besar (64.8%) orang tua menjawab kadang-kadang dan sebagian kecil (13.5%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua kadang-kadang mengajak anaknya untuk melaksanakan shalat berjamaah dimasjid. Hal tersebut dapat dikatakan cukup baik. Dengan membiasakan anak shalat berjamaah, secara tidak sadar orang tua telah mendidik anaknya untuk menumbuhkan rasa persaudaraan, persatuan dan cinta di antara kaum muslimin dan menjalin ikatan erat, menumbuhkan di antara mereka tenggang rasa, saling menyayangi dan pertautan hati di samping itu juga mendidik mereka untuk terbiasa hidup teratur, terarah dan menjaga waktu.

49

Tabel 14 Mengajarkan tatacara berwudhu pada anak No item 11

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

14

37.8 %

Sering

17

45.9 %

Kadang-kadang

6

16.2 %

Tidak pernah

-

0%

Jumlah

37

100 %

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian kecil (37.8%) orang tua menjawab selalu, hampir setengahnya (45.9%) orang tua menjawab sering, sebagian kecil (16.2%) orang tua menjawab kadang-kadang dan tidak ada (0%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa orang tua sering mengajarkan anak nya tata cara berwudhu. Dalam mengajarkan tata cara berwudhu pada anak banyak cara yang dapat dilakukan orang tua, misalnya dengan menggendong anak kekamar mandi agar anak mau diajarkan berwudhu dan mengajak anak untuk berwudhu bersama. Dengan begitu anak akan mudah mempelajari bagaimana tata cara berwudhu yang benar Tabel 15 Mengajarkan tatacara shalat pada anak No item 12

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

13

35.1 %

Sering

17

45.9 %

Kadang-kadang

7

18.9 %

Tidak pernah

-

0%

Jumlah

37

100 %

50

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil (35.1%) orang tua menjawab selalu, hampir setengahnya (45.9%) orang tua menjawab sering, sebagian kecil (18.9%) orang tua menjawab kadang-kadang dan tidak ada (0%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua sering mengajarkan tata cara shalat pada anak. Tabel 16 Tatacara shalat yang diajarkan pada anak sudah sesuai dengan rukun dan syarat sahnya shalat No item 13

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Sesuai

34

91.8 %

Mungkin sesuai

1

2.7 %

Belum sesuai

2

5.4 %

Tidak tahu

-

0%

Jumlah

37

100 %

Dari data jawaban responden di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruhnya (91.8%) orang tua menjawab sesuai, sedikit sekali (2.7%), sedikit sekali (5.4%) orang tua menjawab belum sesuai dan tidak ada (0%) orang tua yang menjawab tidak tahu. Hal ini berarti baik, sebab ketika anak sudah berusia 7 tahun, maka pengarahan dan bimbingan pada anak tentang tata cara shalat mulai dari rukun, syarat, waktu dan hal-hal yang merusak shalat harus sudah dimulai.

Tabel 17 Cara mengajarkan tatacara shalat pada anak No item 14

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Menyampaikan langsung

33

89.1 %

Diserahkan pada guru agama

4

10. 8

Memberikan buku bacaan

-

0%

51

Tidak pernah

-

Jumlah

37

0% 100 %

Hasil jawaban responden mengenai cara mengajarkan shalat pada anak dapat

diketahui

bahwa

sebagian

besar

(89.1%)

orang

tua

menjawab

menyampaikan langsung, sebagian kecil (10.8%) orang tua menjawab diserahkan pada guru agama, tidak ada (0%) orang tua menjawab diberikan buku bacaan dan tidak ada (0%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini berarti dalam mengajarkan tata cara shalat, orang tua mengajarkan langsung dengan cara menyampaikannya pada anak.

Tabel 18 Orang tua mulai mengajarkan tatacara shalat pada anak No item 15

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Sebelum usia 7 tahun

2

5.4 %

Sejak usia 7 tahun

30

81 %

Sejak usia 10 tahun

5

13.5 %

Tidak pernah

-

0%

Jumlah

37

100 %

Berdasarkan data dalam tabel dapat diketahui bahwa sedikit sekali (5.4%) orang tua menjawab sebelum usia 7 tahun, sebagian besar (81%) orang tua menjawab sejak usia 7 tahun, sebagian kecil (13.5%) orang tua menjawan sejak usia 10 tahun dan tidak ada (0%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua mulai mengajarkan tata cara shalat pada anak sejak usia 7 tahun, dan hal tersebut berarti baik sebab sudah sesuai dengan hadis nabi yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa orang tua wajib mengajarkan shalat anaknya ketika berusia 7 tahun.

52

Tabel 19 Sikap orang tua apabila anak melakukan gerakan yang salah ketika shalat No item

Alternatif jawaban Memberitahu mengarahkan

16

Frekuensi dan

36

Prosentase 97.2 %

Memarahi

-

0%

Memukul

-

0%

Diam saja

1

2.7 %

Jumlah

37

100 %

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruh nya (97.2%) orang tua menjawab memberi tahu dan mengarahkan, tidak ada (0%) orang tua menjawab memarahi, tidak ada pula (0%) orang tua menjawab memukul dan sedikit sekali (2.7%) orang tua yang menjawab diam saja. Ini berarti ketika orang tua melihat anaknya melakukan gerakan yang salah dalam shalat maka sikap orang tua adalah memberitahu dan mengarahkannya.

Tabel 20 Menegur anak bila tidak shalat No item 17

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

17

45.9 %

Sering

12

32.4 %

Kadang-kadang

8

21.6 %

Tidak pernah

-

0%

Jumlah

37

100 %

Dari hasil jawaban responden yang tertera dalam tabel dapat diketahui bahwa hampir setengahnya (45.9%) orang tua menjawab selalu, sebagian kecil (32.4%) orang tua menjawab sering, sebagian keci (21.6%) orang tua menjawab

53

kadang-kadang dan tidak ada (0%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Berdasarkan hasil prosentase di atas dapat dikatakan baik sebab ketika anaknya tidak melaksanakan shalat, orang tua tidak acuh atau diam saja tetapi menegur anaknya. Tabel 21 Memarahi anak apabila meninggalkan shalat No item 18

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

16

43.2 %

Sering

12

32.4 %

Kadang-kadang

5

13.5 %

Tidak pernah

4

10.8 %

Jumlah

37

100 %

Dari hasil jawaban responden dapat diketahui bahwa hampir setengahnya (43.2%) orang tua menjawab selalu, sebagian kecil (32.4%) orang tua menjawab sering, sebagian kecil (13.5%) orang tua menjawab kadang-kadang dan sebagian kecil pula (10.8%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini berarti bahwa orang tua memarahi anak apabila ia tidak mengerjakan shalat. Hal tersebut berarti baik karena dengan memarahi anak tahu akan kesalahannya. Tabel 22 Memukul anak apabila meninggalkan shalat No item 19

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Selalu

-

0%

Sering

-

0%

Kadang-kadang

2

5.4 %

Tidak pernah

35

94.5 %

Jumlah

37

100 %

54

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tidak ada (0%) orang tua menjawab selalu, tidak ada (0%) pula orang tua yang menjawab sering, sedikit sekali (5.4%) orang tua menjawab kadang-kadang dan hampir seluruh nya (94.5%) orang tua yang menjawab tidak pernah. Ini menunjukkan bahwa orang tua tidak memukul anaknya apabila meninggalkan shalat. Hal tersebut berarti baik sebab dalam Islam hukuman itu tidak boleh berupa siksaan yang dapat melukai badan maupun jiwa si anak. Dalam hal ini Ibnu Sina berpendapat bahwa Islam sangat menghargai martabat manusia dan naluri manusia yang selalu ingin disayangi, dan hukuman itu boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa dan harus dilakukan dengan hati-hati. Tabel 23 Cara yang digunakan untuk menghukum anak apabila tidak shalat No item 20

Alternatif jawaban

Frekuensi

Prosentase

Memarahi

34

91.8 %

Bermuka masam

1

2.7 %

Memukul

-

0%

Diam saja

2

5.4 %

Jumlah

37

100 %

Dari data

tersebut dapat diketahui bahwa hampir seluruhnya (91.8%)

orang tua menjawab memarahi, sedikit sekali (2.7%) orang tua menjawab bermuka masam, tidak ada (0%) orang tua menjawab memukul dan sedikit sekali (5.4%) orang tua yang menjawab diam saja. Ini berarti cara yang digunakan orang tua dalam menghukum anaknya apabila tidak melaksanakan shalat adalah dengan memarahi. Hukuman merupakan upaya akhir yang dilakukan orang tua apabila upaya prefentif tidak menunjukkan perubahan atau hasil yang positif. Banyak cara yang dilakukan orang tua dalam memberikan hukuman pada anak diantaranya adalah dengan memarahi.namun yang terpenting adalah hukuman itu tidak melukai badan maupun jiwa anak, dan dengan diberikannya

55

hukuman tersebut anak menyadari akan kesalahannya dan dapat memperbaikinya, sehingga hukuman tidak meninggalkan dendam pada anak. C. Pembahasan Terhadap Hasil Penelitian. Dari tabel-tabel yang telah diuraikan dari data pengelompokkan peranan keluarga dalam pendidikan ibadah shalat anak, terlihat bahwa para orang tua di wilayah Rt 07/01 Cilincing cukup berperan dalam pelaksanaan pendidikan ibadah shalat anaknya. Hal ini terlihat dari jawaban responden sebanyak (81.1%) orang tua mulai membiasakan anak shalat ketika berusia 7 tahun, (54.1%) orang tua menjawab sering melatih anak untuk melaksanakan shalat 5 waktu. Meskipun dalam praktek sehari-hari tidak semua orang tua membiasakan anak untuk shalat tiap waktu (subuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya). Hal itu terlihat dari dari tabel bahwa lebih dari setengahnya (56.8%) orang tua menjawab kadang-kadang membangunkan anak untuk melaksanakan shalat subuh dan hanya sebagian kecil saja orang tua yang menjawab selalu dan sering. Dalam penyebaran angket, penulis berbincang-bincang dengan para orang tua dan kebanyakan dari mereka menjelaskan bahwa anak-anak mereka susah untuk dibangunkan pagi-pagi dan karena anak-anak mereka masih kecil maka wajar saja bila ia tidak melaksanakan shalat subuh “namanya anak-anak”, itu yang sering mereka ucapkan ketika menjelaskan alasan mereka tidak membangunkan atau memerintahkan anak mereka untuk shalat tiap waktu. Ada pula sebagian dari mereka yang mengatakan “tidak tega membangunkan anak yang sedang terlelap tidur”. Dalam memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat dzuhur tidak setiap hari orang tua menyuruh anak untuk melaksanakannya tetapi hanya kadang-kadang saja hal itu terlihat dalam tabel, lebih dari setengahnya (54%) orang tua menjawab kadangkadang, begitu pun dengan shalat isya hampir setengahnya (48.6%) orang tua menjawab kadang-kadang dan hanya sebagian kecil yang menjawab selalu dan sering. Dalam hal ini orang tua beralasan setelah magrib anak-anak belajar, kemudian bermain dan setelah itu mereka langsung tidur karena sudah dalam keadaan lelah. untuk itu orang tua kadang-kadang saja menyuruh anaknya untuk melaksanakan shalat isya. Dalam praktek sehari-hari kebanyakan dari orang tua

56

menjawab sering dalam memerintahkan anaknya untuk melaksanakan shalat pada waktu ashar dan magrib. Terlihat dari jawaban responden sebanyak (43.2%) menjawab sering memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat magrib, dan hampir setengahnya (48.6%) orang tua menjawab sering memerintahkan anak utuk melaksanakan shalat ashar. Dalam mengajarkan tata cara shalat, orang tua tidak mengandalkan guru agama ataupun orang lain karena kebanyakan dari orang tua mengajarkan langsung kepada anak-anak mereka tata cara shalat yang benar berdasarkan rukun dan syarat sahnya shalat. Hal itu terbukti dari jawaban reponden sebagian besar (89%) menjawab mengajarkan langsung tata cara shalat pada anak dan hampir seluruhnya (98%) mereka menjawab tata cara shalat yang mereka ajarkan sudah sesuai dengan rukun dan syarat syahnya shalat. Kemudian dalam memberikan hukuman hampir seluruh orang tua memarahi anak apabila ia tidak melaksanakan shalat. Hal itu terlihat dalam tabel 23 hampir seluruhnya (91.8%) orang tua memarahi anak apabila tidak shalat. Ini berarti adanya perhatian orang tua dalam membiasakan anak untuk shalat, karena mereka tidak acuh dan diam saja ketika anak nya tidak melaksanakan shalat. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan orang tua yang juga selaku guru ngaji di pengajian ar-Raihan mengenai usaha-usaha yang dilakukan dalam membiasakan anak untuk melaksanakan shalat sejak kecil dijelaskan bahwa, usaha yang dilakukan adalah dengan melatih dan memerintahkan anak shalat ketika waktunya tiba. Meskipun anak sedang main di luar rumah namun bila waktu shalat telah tiba maka orang tua selalu mencari ketempat biasa ia bermain, agar melaksanakan shalat terlebih dahulu. Selain itu dalam membiasakan anak shalat orang tua kadang-kadang mengajak anak shalat berjamaah dirumah, dan selalu membangunkan anak untuk melaksanakan shalat subuh. Meskipun pada akhirnya anak tidak mau shalat dikarenakan menangis apabila dibangunkan, namun orang tua tidak memaksakannya untuk melaksanakan shalat karena menurutnya dengan membangunkan saja sudah berupaya untuk membiasakan anak shalat. Dengan dibiasakan seperti itu maka lama-kelamaan anak pasti akan

57

mau dan terbiasa nantinya untuk bangun dan melaksanakan shalat subuh. Usaha lain yang dilakukan adalah dengan menyekolahkannya di yayasan al-Ihsaniyyah yang terdapat dilingkungan Rt 07/01 Cilincing dengan begitu orang tua dapat terbantu dalam mengajarkan anak shalat dengan benar. Sedangkan kesulitan yang dihadapi orang tua adalah anak sulit dan tidak mau bila diperintahkan shalat. Karena terlalu banyak bermain sehingga ada rasa malas untuk menjalankannya. Bahkan ada anak yang berbohong dengan mengatakan telah shalat berjamaah dimasjid padahal tidak shalat akan tetapi habis bermain. Dari hasil wawancara dengan ketua Rt, beliau menjelaskan bahwa kesulitan atau hambatan dalam membiasakan anak shalat terdapat dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern misalnya, karena adanya rasa malas pada diri anak sehingga bila diperintahkan shalat anak tersebut enggan melaksanakannya. Faktor yang kedua adalah lingkungan dan pergaulan. Lingkungan merupakan tempat mereka bermain dengan teman-temannya sehingga karena terlalu lama bermain mereka lupa dan malas untuk melaksanakan ibadah. Itulah kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang tua dan memang sebagai orang tua haruslah bersabar dan terus berusaha melatih anak agar terbiasa melaksanakan shalat, sehingga ketika dewasa nanti sudah tidak ada paksaan dan malas dalam melaksanakan shalat lima waktu. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa peran orang tua dalam memerintahkan anak shalat sudah cukup baik hal itu terlihat pada tabel no.5 sebagian besar orang tua menjawab sering melatih anak untuk shalat lima waktu, dan itu dimulai sejak anak mereka berusia 7 tahun, terlihat pada tabel no 4 bahwa sebanyak 81.1% orang tua menjawab mulai melatih anak shalat sejak usia 7 tahun. Dalam mengajarkan tata cara shalat orang tua mengajarkan langsung pada anak sesuai dengan rukun dan syarat sahnya shalat dan sebanyak 51.3% orang tua menjawab kadang-kadang mengajak anak untuk shalat berjamaah. Mengenai hukuman yang diberikan orang tua bila anak tidak melaksanakan shalat, para orang tua tidak diam saja ketika anak tidak melaksanakan shalat, hukuman yang digunakan orang tua adalah dengan

58

memarahi anaknya tanpa memukulnya meskipun usia anak mereka sudah mencapai 10 tahun. Usaha-usaha yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anaknya shalat adalah dengan memerintahkan anak mereka shalat apabila waktu shalat telah tiba, membangunkan anak shalat subuh, mengajak anak shalat berjamaah dirumah dan menyekolahkan anak mereka di yayasan agar orang tua dapat terbantu dalam membiasakan anaknya shalat. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang tua adalah anak sulit apabila diperintahkan shalat, karena terlalu banyak bermain sehingga mereka malas dan tidak mau mengerjakan shalat apabila diperintahkan oleh orang tuanya.

59

BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan dan membahas mengenai masalah yang berkaitan dengan Peranan Keluarga dalam Pendidikan Ibadah Shalat Anak, maka kesimpulannya adalah: 1. Peran orang tua dalam pembiasaan ibadah shalat anak, sudah cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh upaya orang tua dalam melatih anak untuk melaksanakan shalat lima waktu dan itu dimulai sejak anak berusia tujuh. Dalam mengajarkan tata cara shalat orang tua mengajarkan langsung pada anak sesuai dengan rukun dan syarat sahnya shalat. Apabila anak tidak melaksanakan shalat, orang tua memarahi anak tanpa memukulnya meskipun usia anak mereka sudah mencapai sepuluh tahun. 2. Usaha-usaha yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anaknya shalat adalah dengan memerintahkan anak mereka shalat apabila waktu shalat telah tiba, membangunkan anak shalat subuh, mengajak anak shalat berjamaah 59

60

dirumah dan menyekolahkan anak mereka di yayasan agar orang tua dapat terbantu dalam mengajarkan anak untuk shalat. 3. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang tua adalah anak sulit apabila diperintahkan shalat, karena terlalu banyak bermain sehingga mereka malas dan tidak mau mengerjakan shalat apabila diperintahkan oleh orang tuanya.

B. Saran 1. Orang tua hendaknya memberi contoh atau tauladan kepada anak, karena seorang anak akan bercermin dari orang tuanya. Oleh karena itu bila orang tua menyuruh anak untuk shalat, maka orang tua pun harus melaksanakannya terlebih dahulu atau langsung mengajak anak secara bersama-sama melaksanakan shalat berjamaah baik dirumah maupun di masjid. Dengan cara tersebut anakpun akan mudah mengikuti seruan dari orang tua. 2. Dalam membiasakan ibadah shalat pada anak, orang tua hendaknya lebih bersabar dan terus melatih anak untuk shalat setiap waktu, karena dengan melatih anak untuk shalat lima waktu secara terus menerus akan membuat anak terbiasa dalam melaksanakannya. 3. Orang tua harus mengontrol dan dapat mengatur waktu bermain anak, sehingga anak-anak tidak melupakan waktu shalat.

61

DAFTAR PUSTAKA Al-Abrasy, Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet 7, 1993. Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, Cet. II, 1999. Akbar, Muhammad Jihad, Mukjizat Ibadah Fajar, Jakarta: Alifbata, Cet. I, 2007. Annahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Dari Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ oleh Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1995. Ardani M., Fikih Ibadah Praktis, Ciputat: PT. Mitra Cahaya Utama, Cet. I, 2008. Azhari, Akyas, Psikologi Pendidikan, Semarang: PT. Dina Utama, Cet. I, 1996. Binti Abdul Azis ash-Shani, Hana, Mendidik Anak Agar Terbiasa Shalat, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, Cet. I, 2008. Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. XXIII, 1996. _____, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: CV. Ruhama, Cet. II, 1995. _____, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: PT. Gunung Agung, Cet. VI, 1982. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-3, Cet. IV, 2007. DEPDIKNAS, UURI No. 20 Tahun 2003 SISDIKNAS, Bandung: Fokus Media, 2003 Dewan Direksi Islam, Ibadah Ensiklopedi, Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhoeve, Cet. III, 1994. Rimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, Cet. VIII, 1989. al-Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqih Praktis Menurut al-Qur’an, as-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan, Cet. III, 2001. 61

62

Hafizh, Muhammad Nur Abdul, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, terj. Dari Manhaj al-Tarbiyah al-Nabawiyah li al-Thifl oleh Kuswandani, dkk, Bandung: al-Bayan, Cet. I, 1997. Al-Maghribi, Al- Maghribi bin as-Said, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, Jakarta: Darul Haq, Cet. V, 2007. Muchtar, Heri Jauhari, Fikih Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2005. Nasir, Sahilun A., Peranan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja , Jakarta: Klam Mulia, Cet. II, 2002. Nata, Abudin, dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2005. M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. XVIII, 2007. Nizar, Samsul, Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Quthb, Muhammad ‘Ali, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam , Terj. Dari Auladuna fi Dlau-it Tarbiyyatil Islamiyyah oleh Bahrun Abu Bakar Ihsan, Bandung: CV. Diponegoro, 1993. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet II, 1998. Ritonga, Ar-Rahman, dan Zainudin, Fikih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 1997. Sabri, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2005. _____, Ilmu Pendidikan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet.1, 1999. as-Sadlan, Shalil bin Ghanim, Fiqh Shalat Berjamaah; Ensiklopedi Hukum Shalat Berjamaah, Bid’ah dan Kemungkarannya, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, Cet. I, 2006.

63

ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Shalat, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. II, 1997. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. IX, 2010 _____, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, Cet. I Ulwan, Abdullah Nashih, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Terj. Dari Ushulut Tarbiyatu ‘l-Aulad fi ‘l-Islam oleh Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali, Semarang: CV. Asy-Syifa, Cet. I, 1998. Yafi, Ali, Remaja dan Kesadaran Nikah, Jakarta: Pustaka Antara, Cet. II, 1992. Zuhdi, Masyfuk, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1982. _____, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, Cet II, 1992. Zurinal Z, dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta: LP. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. I, 2008.

BERITA WAWANCARA Nama : Lia Amalia Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan : Guru ngaji di pengajian ar-Raihan Pertanyaan: 1. Usaha-usaha apa saja yang anda lakukan dalam membiasakan anak untuk melaksanakan ibadah shalat lima waktu? 2. Kesulitan atau hambatan apa saja yang anda hadapi ketika membiasakan anak untuk melaksanakan ibadah shalat lima waktu? 3. Bagaimana sikap anak anda bila diperintahkan untuk shalat? Jawaban: 1. Usaha yang saya lakukan untuk membiasakan anak shalat yaitu dengan melatih dan memerintahkan anak saya ketika waktu shalat tiba, meskipun anak saya sedang tidak dirumah/main saya selalu mencari ditempat ia biasa main agar melaksanakan shalat terlebih dahulu, sayapun selalu membangunkan anak saya untuk melaksanakan shalat subuh meskipun pada akhirnya anak saya tidak melaksanakan shalat subuh karena selalu menangis ketika saya bangunkan. Namun meskipun begitu saya sudah berusaha untuk melatih anak agar melaksanakan shalat walaupun hanya membangunkannya. Karena sya yakin lama kelamaan anak saya akan bisa bangun untuk melaksanakan shalat subuh secara berjamah dengan ayahnya. Selain saya dan ayah nya sebagai orang tua yang melatih anak saya untuk shalat saya juga menyerah kan pada guru agama nya, agar membantu dalam mengajarkan tata cara shalat, bacaan-bacaan shalat dan lain sebagainya. 2. Kesulitan yang di hadapi adalah anak terkadang sulit dan tidak mau apabila diperintahkan shalat karena mungkin terlalu banyak bermain. Dan anak saya terlalu sering main di warnet sehingga ketika saya suruh pulang untuk melaksanakan shalat dia tidak mau. Namanya anak-anak kadang susah untuk diberi nasihat. 3. Sikap anak saya terkadang langsung mau apabila diperintahkan shalat baik sendiri mapun secara berjamaah, namun seperti yang saya bilang tadi anak-anak biasanya terlalu banyak bermain dengan temannya sehingga terkadang susah dan tidak mau apabila diperintahkan shalat. Bahkan anak saya pernah berbohong bahwa dia sudah melaksanakan shalat dimasjid

padahal dia belum shalat dan dia datang sehabis bermain bukannya nya dari masjid. Anak-anak itu memang harus lebih dikontrol lagi dalam shalat nya sehingga kita sebagai orang tua benar-benar tahu aktivitas apa saja yang dilakukannya terutama shalatnya.

BERITA WAWANCARA Nama Jabatan Tempat Wawancara Hari/Tanggal Wawancara

: Sayuti : Ketua Rt07/01 Cilincing : di Rumah Ketua Rt : Jumat/8 April 2011

Pertanyaan: 1. Bagaimana letak geografis, jumlah penduduk serta sarana pendidikan dan ibadah yang ada dilingkungan Rt 07 Rw 01 Cilincing? 2. Bagaimana perhatian dan usaha orang tua dalam pendidikan ibadah shalat anaknya? 3. Kesulitan apa yang dirasakan orang tua dalam pendidikan ibadah anak? 4. Bagaimana pendidikan agama yang dimiliki para orang tua dilingkungan Rt 07/01 Cilincing? Jawaban: 1. Letak geografis: a. Letak geografis Rt 07/01 Cilincing terletak di Sebelah Timur Rt 12, sebelah barat Rt o6 dan sebelah selatan Rt 08. Rt 07 Rw 01 Cilincing terletak persis di sebalah utara, di pinggir kali Bang LIO perbatasan antara Kelurahan Kali Baru dan Kelurahan Cilincing. Adapun luas wilayah Rt 07 Rw 01 kurang lebih 5745 m2. b. Jumlah penduduk di Rt 07/01 Cilincing seluruhnya berjumlah 244 dengan banyaknya kepala keluarga 86 KK. Dengan jumlah 4 orang beragama Budha, dan 20 orang beragama Kristen. Adapun jenjang pendidikan yang di alami penduduk Rt 07/01 sebagian besar lulusan SMP dan SMU. c. Sarana pendidikan yang ada di Rt 07/01 cilincing yaitu TPA Ar-raihan dan yayasan Al-ihsaniyyah. Adapun sarana ibadah yang ada dir t 07/01 terdapat 1 buah masjid yaitu masjid al-ikhlas. 2. Di lingkungan Rt 07/01 terdapat 82 Kepala Keluarga yang berama Islam, 3 kepala keluarga beragama Kristen, dan 1 kepala keluarga beragama Budha. 3. Perhatian orang tua mengenai pendidikan agama anak nya cukup baik karena hal itu terbukti dengan di sekolahkannya anak-anak mereka di yayasan ataupun di TPA yang ada dilingkungan ini. secara khusus perhatian orang tua dalam melatih anak nya untuk shalat dinilai cukup baik pula, karena ada sebagian besar dari orang tua yang menyuruh anak nya shalat bila adzan tiba. Tidak semua orang tua menyuruh anak nya shalat, hal ini dimungkinkan orang

tua yang sibuk bekerja dan anak-anak mereka masih kecil sehingga tidak ada penekanan dalam hal pendidikan ibadah shalat anaknya. 4. Kesulitan yang banyak dialami orang tua ada dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern misalnya, karena adanya rasa malas pada diri anak sehingga bila diperintahkan shalat anak tersebut enggan melaksanakannya, dan hal itu saya alami sendiri ketika menyuruh anak saya shalat dan orang tua yang lain pun pasti merasakan hal yang sm seperti saya. Faktor yang kedua adalah lingkungan dan pergaulan. Lingkungan merupakan tempat mereka bermain dengan teman-temannya sehingga mereka lupa dan malas untuk melaksanakan ibadah. Dan masa anak-anak adalah masa bermain sehingga mereka terlalu asyik bermain tanpa memperdulikan waktunya. 5. Pendidikan agama yang dimilki warga Rt 07/01khususnya yang muslim terlihat cukup baik, karena sebagian besar warga yang beragama Islam memiliki latar belakang pendidikan agama, terwujud dengan adanya pengajian orang tua yang dilaksanakan setiap sabtu di masjid al-Ikhlas. Dan para orang tua yang mengikuti pengajian tersebut lumayan banyak meskipun tidak semua nya ikut dalam pengajian tersebut. Jakarta, 08 April 2011 Ketua Rt 07/01 Cilincing

Sayuti

Angket Penelitian A. Identitas Responden 1. Nama : 2. Jenis Kelamin : B. Petunjuk Pengisian 1. Isilah jawaban yang menurut anda tepat dengan member tanda silang (x) sesuai dengan kenyataan yang dialami. 2. Jawaban anda sangat dibutuhkan oleh peneliti dalam menyelesaikan penelitian. 3. Jawaban anda dijamin kerahasiaannya. 4. Terima kasih atas jawaban anda. C. Pertanyaan 1. Sejak usia berapa anak anda dibiasakan shalat? a. Sebelum usia 7 tahun c. Sejak 10 tahun b. Sejak usia 7 tahun d. Tidak pernah 2. Apakah anda melatih anak untuk melaksanakan ibadah shalat lima waktu? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 3. Apakah anda membangunkan anak anda untuk melaksanakan shalat subuh? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 4. Apakah anda memerintahkan anak anda untuk melaksanakan shalat zuhur? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 5. Apakah anda memerintahkan anak anda untuk melaksanakan shalat ashar? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 6. Apakah anda memerintahkan anak anda untuk melaksanakan shalat magrib? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 7. Apakah anda memerintahkan anak anda untuk melaksanakan shalat isya? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah

8. Apakah anda melatih anak anda untuk shalat pada awal waktu? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering ` d. Tidak pernah 9. Apakah anda mengajak anak anda shalat secara berjamaah? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 10. Apakah anda mengajak anak shlat berjamaah di masjid? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 11. Apakah anda mengajarkan tata cara berwudhu pada anak? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 12. Apakah anda mengajarkan tata cara shalat pada anak? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 13. Apakah tata cara shalat yang anda ajarkan pada anak sudah sesuai dengan rukun dan syarat syah nya shalat? a. Sesuai c. Belum sesuai b. Mungkin sesuai d. Tidak tahu 14. Bagaimana cara anda mengajarkan tata cara shalat pada anak? a. Menyampaikan langsung c. Memberikan buku bacaan b. Diserahkan pada guru agama d. Tidak pernah 15. Sejak usia berapa anda mulai mengajarkan tata cara shalat pada anak? a. Sebelum usia 7 tahun c. Sejak usia 10 tahun b. Sejak usia 7 tahun d. Tidak pernah 16. Jika anak anda melakukan gerakan yang salah ketika shalat, apakah yang anda lakukan? a. Memberitahu dan mengarahkan c. Memukul b. Memarahi d. Diam saja 17. Bila anak tidak shalat, apakah anda menegurnya? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah

18. Apakah anda memarahi anak apabila meninggalkan shalat? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 19. Apakah anda memukul anak apabila meninggalkan shalat? a. Selalu c. Kadang-kadang b. Sering d. Tidak pernah 20. Cara apa yang biasanya anda pakai untuk menghukum anak apabila tidak shalat? a. Memarahi c. Memukul b. Bermuka masam d. Diam saja