PERANAN ORANG TUA DENGAN ANAK ... - yimg.com

7 downloads 167 Views 796KB Size Report
Dalam kasus ini, orang tua dan lingkungan memang ... satu contoh, masih banyak contoh-contoh lain bila kita ingin mengamatinya. Perlu memahami .... sangat muda. Pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia anak berkebutuhan khusus.
PERANAN ORANG TUA DENGAN ANAK BERKEKHUSUSAN1 (sekedar bermimpi akan adanya perbaikan)

Julia Maria van Tiel Orang tua anak berkekhususan gifted visual spatial learner. Pembina kelompok diskusi orang tua anak gifted [email protected]

1

Dibawakan dalam acara Seminar dan Workshop IlmiahThe Best Future For Special Needs Children, Kasandra & Associate bekerjasama dengan Ikatan Psikologi Klinis dan Universitas Persada Indonesia YAI , Jakarta, 24 Juli, 2010

Bila anak lahir membawa kekhususan Tugas pengasuhan yang berat dan penuh dilema Perlu memahami tumbuh kembang anak Perlu memahami pola alamiah tumbuh kembang anak berkekhususan Membutuhkan informasi dan intervensi yang EBP Membutuhkan jalur rujukan dan protokol yang jelas Membutuhkan layanan kolaboratif dan multidisiplin Membutuhkan metoda pendidikan yang sesuai Membutuhkan lembaga bantuan psikologi-pedagogi Membutuhkan guru sebagai sahabat Membutuhkan perlindungan hukum Membutuhkan tenaga pendampingan Harapan orang tua sebagai konsumen bidang kesehatan dan pendidikan (suatu solusi)

Bila anak lahir membawa kekhususan Orang tua anak berkekhususan biasanya tidak dapat menceritakan kesulitannya pada sembarang orang tua lain, sebab masalah kekhususan memang kurang dikenal secara umum. Apa yang sering dialami, justru orang tua menerima kritikan dari keluarga lain sebagai orang tua yang tidak mampu mendidik anaknya. Kritikan ini akan jauh lebih banyak diterima oleh orang tua dari anak penyandang masalah perilaku dan emosi. Orang tua anak ADHD misalnya, mendapatkan kritikan bahwa anaknya tidak pernah diajar berperilaku yang benar, sopan santun, dan menahan emosinya. Padahal betapa sulitnya orang tua ini menghadapi anaknya yang memang mengalami gangguan pada pusat pengatur perilaku (excecutive function) di susunan syaraf pusat (otak). Gangguan itu juga adalah gangguan bawaan sejak lahir yang akan disandangnya seumur hidupnya. Orang tua sering putus asa sendiri menghadapinya. Sejak bayi kecil, si anak sudah sering menunjukkan emosi yang memusuhi orang tuanya, seperti mengamuk, membuang mainan, dan merusak apa saja bila ia marah. Situasi seperti ini saja sudah membuat hubungan ibu dan anak menjadi kurang mesra, terjadilah gangguan relasi ibu anak. Padahal ibu mempunyai tugas sebagai pemegang peranan terbesar dalam perkembangan anak. Orang tua jika tak memahami masalah yang disandang anak, mucullah konflik tajam dengannya. Begitu pula anggota keluarga yang lain, akan memusuhi saudaranya yang ADHD, atau selalu berkelahi. Banyak dari anak ADHD akhirnya putus hubungan dengan ayahnya karena sering dipukuli. Saat anak ini mulai besar, lingkungan luar, baik tetangga maupun famili juga mengambil jarak, yang menyebabkan keluarga ini menjadi terisolasi. Jika ada acara-acara bersama, atau ke restoran, dan tempat keramaian, anak ini dianggap pengganggu, yang sering menyebabkan keluarga ini tidak lagi berani membawa anaknya ke tempat keramaian. Padahal si anak memerlukan juga lingkungan sosial dalam fase-fase tumbuh kembangnya. Si Ibu sering bertanya-tanya: “Apa salahku melahirkan anak yang begitu sulit mengasuhnya?” Ibu yang taqwa dan tawakal akan berkata bahwa bagaimanapun ia akan tetap tabah dalam menghadapi ujian ini, pasti ada hikmahnya. Tetapi tidak semua Ibu bisa begini. Lebih banyak ibu-ibu yang stress. Pada keluarga yang mempunyai anak mengalami keterlambatan perkembangan seperti misalnya anak-anak yang bersymptom perilaku autisme (seperti misalnya kurang mampu bersosialisasi, sulit menerima nasihat, rigid, dan kaku) sering mendapatkan kritikan bahwa anaknya terlalu dimanja, apa-apa diperbolehkan, kurang dilatih, dan sebagainya. Anak yang mengalami cacat kasat mata seperti penyandang disleksia seringkali dituduh sebagai anak yang malas, tidak punya motivasi belajar, dan tidak disiplin. Akibatnya karena ia dianggap mengecewakan, sementara dirinya sendiri tidak mengerti mengapa sangat sulit mencapai prestasi, ia pun mengalami kefrustrasian yang tidak jarang justru memunculkan masalah perilaku. Demikianlah lingkaran setan yang dihadapi anak yang lahir dengan kekhususan. Tapi kesulitan ini bukan hanya sampai disini saja. Saat mana orang tua sadar bahwa ia harus meminta pertolongan, kenyataannya justru banyak mulut harimau mengancam di hadapannya. Mulut harimau itu siap menerkamnya lalu mengoyak-ngoyak pemahamannya tentang

kekhususan anak dengan memberinya informasi yang menyesatkan, kemudian merampas apa saja yang masih tersisa. Orang tua seringkali mendapatkan informasi bahwa gangguan yang ada pada anak dapat diobati, dapat dipulihkan, dapat dinormalkan, dan bahkan tak sungkansungkan mengatakan asalkan rajin dan telaten maka dapat bersekolah menjadi anak yang luar biasa cerdas. Siapa orang tua yang tak tergiur dengan info ini? Apapun, demi anak, akan dilakukannya. Dana keluarga, sumbangan saudara, bahkan menjual aset tanah dan rumah sekalipun akan digunakan. Tidak jarang memunculkan percekcokan dalam keluarga yang menyulut rusaknya ikatan perkawinan. Inilah dunia kekhususan – yang seringkali orang tua anggota baru suatu Parents Support Groups disambut oleh anggota lama dengan sambutan: Welcome onboard!

Tugas pengasuhan yang berat dan penuh dilema Pada suatu hari saya mendapat email dari seorang keponakan yang menceritakan perihal anaknya: “Si Salman, anak pertama Nanang kelas satu SD, kemarin dapet Piala Anak Berbakat, dan satu pialanya lagi Piala Rajin Sekolah. Tapi orang tua murid yang lain pada protes, karena di keseharian si Salman bandelnya ampun ampun. Jadi orang tua murid yang lain tidak bisa terima dengan gelar yang didapet oleh Salman.Karena tidak hanya di rumah, di pengajian pun sama, guru ngajinya sampai minta ampun. Tapi kalau ditanya pelajaran di sekolah maupun di pengajian, ya bisa. Prestasi di sekolah, ya bagus. Pelajaran yang diterima gurunya diserap dengan baik. Di pengajian, beberapa surah pendek dia bisa hapal. Tetapi ya itu tadi, bandelnya minta ampun. Kalau bibirnya pecah, atau kukunya lepas, seperti engga ada rasanya. Sudah ke rumah sakit, bagian tumbuh kembang anak, dirujuk ke psikiater, katanya ADHD. Nanang mau cari opini lain, karena anak itu pinter sekali, bisa berprestasi bagus, konsentrasinya bagus, engga suka marah, masak ADHD? Lagipula yang cocok dengan kriteria ADHD cuma 30 %. Mana obatnya mahal sekali.” Surat ini menunjukkan sebuah dilema dari orang tua anak kekhususan. Kebetulan kekhususannya adalah seorang anak yang luar biasa cerdas. Dengan kata lain ia anak cerdas istimewa (gifted child) . Tetapi anak ini selalu on the go, dengan tingkat aktivitas tinggi, banyak maunya, dengan gerak yang luar biasa cepat. Jelas lingkungannya akan mengalami kesulitan beradaptasi dengan model anak yang berbeda dalam kapasitas geraknya ini. Dorongan lingkungan menyebabkan orang tua menanyakan pada dokter yang merawatnya, yang sudah pasti ia akan mendapatkan hadiah sebagai anak hiperaktif, ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Suatu diagnosa yang ditegakkan dalam waktu singkat di dalam ruang klinik seorang dokter, tanpa ada observasi jangka panjang dan wawancara mendalam, maupun mengisi ceklist perilaku. Menjatuhkan vonis diagnosa seperti ini hanya membuat dilemma bagi orang tua. Apalagi, karakteristik tumbuh kembang, perilaku, dan kepribadian seorang anak cerdas istimewa memang tidak dikenal di bidang ilmu kedokteran. Apa yang selalu dipahami secara luas tentang anak cerdas istimewa adalah anak yang cerdas dengan prestasi baik tanpa ada embel-embel masalah perilaku yang menyusahkan lingkungan. 2 Diagnosa adalah suatu kumpulan gejala yang harus mampu membedakan antara diagnosa satu dengan diagnosa lainnya. Jika kumpulan gejala yang ada pada satu anak itu 2

Tentang bagaimana karakteristik perilaku, kepribadian, serta tumbuh kembang seorang anak cerdas istimewa lihat buku Anakku Terlambat Bicara, Anak berbakat yang mengalami disinkronitas perkembangan, memahami dan mengasuhnya (Julia Maria van Tiel, Prenada Media 2007, 2008).

ternyata cocok juga dengan diagnosa lainnya , jelas ada yang salah. Salah dalam menginterpretasikan gejala menjadi kriterianya (dalam hal ini salah si profesional yang menegakkan diagnosa), atau salah kriteria ataupun protokol yang sudah dibuat oleh para pakarnya. Tinggal pilih mana yang bisa kita amati, salah si profesionalnya atau salah protokol/kriterianya sebagai alat ukurnya. Anak cerdas istimewa di Indonesia memang masuk ke dalam kelompok anak berkekhususan (dalam bidang pendidikan), tetapi yang dimasukkan adalah karena mempunyai kekhususan pada tingkat inteligensi yang di atas rata-rata. Pola alamiah tumbuh kembang dan karakteristik perilaku serta kepribadiannya tidak pernah dibicarakan di bidang kedokteran, sekalipun di bidang psikologi dan pendidikan anak gifted, sudah banyak dibicarakan bagaimana pola tumbuh kembang, karakteristik perilaku, dan kepribadian kelompok anak gifted itu. Tidak adanya informasi dari bidang psikologi ke bidang kedokteran ini justru merugikan perkembangan si anak itu sendiri. Apalagi jika justru ada “penjegalan” informasi dengan sengaja: “Orang tua jangan diberi tahu bahwa si anak adalah anak gifted sebab nanti si anak tidak diberi terapi, karena anak mempunyai perilaku yang jelek.” Kecurigaan seperti ini jelas sudah tidak memberi kepercayaan pada orang tua, agar orang tua dapat mengendalikan perilaku anak dengan strategi yang tepat sesuai dengan karakteristik anak (perilaku anak gifted yang “jelek” itu – tersering akan dianggap jelek, padahal sedang tahap perkembangan - memang tidak membutuhkan tindakan terapi - apalagi terapi medikamentosa - tetapi strategi pengasuhan yang tepat3). Dalam kasus ini, orang tua dan lingkungan memang dituntut untuk memberikan toleransi dan beradaptasi dengan pola tumbuh kembang anak cerdas istimewa yang polanya memang luar biasa itu. Jika lingkungan tidak bisa beradaptasi, jelas anak akan dianggap sebagai anak yang punya masalah di hadapan semua orang. Lingkunganlah yang harus merubah diri, agar anak dapat hidup di lingkungan yang aman. Dengan lingkungan yang dirasa aman, anak akan tumbuh sebagai anak yang sehat secara bathiniah. Bukan sebaliknya, anak diberi obat-obatan, untuk memenuhi permintaan lingkungan yang merasa terganggu. Dimana hak anak berkekhususan agar ia dapat hidup? Tetapi bagaimana cara yang efektif agar lingkungan dapat beradaptasi? Jawabnya adalah: informasikan yang benar tentang pola tumbuh kembang, perilaku dan kepribadian seorang anak gifted. Sebaliknya informasi yang benar ini jangan diupayakan untuk “dijegal” hanya dengan maksud mendorong orang tua agar membawa anaknya ke tempat terapi. Tentunya orang tua yang menghadapi kesulitan ini akan penuh dengan kesadaran bisa diajak bekerjasama dengan berbagai pihak profesi, karena ia memang membutuhkannya. Lagipula sudah diketahui bahwa ada banyak masalah yang bisa menyertai perkembangan seorang anak gifted, yang kemudian ia disebut sebagai anak gifted dengan komorbiditas (gifted plus masalah lain)4. Anak-anak ini juga membutuhkan bantuan terapi tertentu. Kelompok anak 3

Masa kecil anak-anak gifted yang mempunyai kemauan keras, sulit diatur, keras kepala, merupakan karakteristik kepribadian anak gifted, dapat dibaca dalam berbagai buku-buku yang membahas perkembangan sosial emosional anak-anak gifted. 4 Lihat buku-buku: Kieboom, T (2007): Als je kind (g)een Einstein is, Uitgeverij Lanno,NV, Tielt. Montgomery, D (2009): Able, gifted, and talented underachiever, Wiley-Blackwel, West Sussex. Mooij, T., Hoogeveen, L., Driessen, G., van Hell, J., Verhoeven, L. (2007): Succescondities voor onderwijs aan hoogbegaafde leerlingen, Eindverslag van drie deelonderzoeken, Radboud Universiteit Nijmegen Neihart,M; Reis, SM; Robinson, NM; Moon,SM (2005): The social emosional development of gifted children, what do we know?, Prufrock Press,Inc.Texas. Webb,JT; Armend,ER; Webb,NE;Goerss,J; Beljan,P; Olenchak,FR (2005): Misdiagnois and Dual Diagnosis of Gifted Children and Adults, Great Potential Pers,inc., Scottsdale, Arizona. Welling, F (2005): Kinderen en slim zijn, waarom slim maar knap lastig zijn, LifeTime, Kosmos-Z&K Uitgeverij, Utrecht.

seperti ini membutuhkan penanganan ke dua arah, faktor kuat dan faktor lemahnya. Kuncinya dimana? Pada orang tua dan guru. Orang tua dan guru perlu dibekali dengan strategi pengasuhan dan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik anak. Masalah anak gifted baru satu contoh, masih banyak contoh-contoh lain bila kita ingin mengamatinya.

Perlu memahami tumbuh kembang anak “Mom and dad... mau tanya, anak saya normal tidak ya?” Pertanyaan seperti ini banyak sekali diajukan banyak orang tua di berbagai mailinglist Indonesia oleh para orang tua yang mendapatkan anaknya yang dirasa mempunyai perilaku, emosi, perkembangan bicara dan bahasa, perkembangan sosial, atau perkembangan motorik, yang berbeda. Tetapi mengapa para orang tua harus bertanya ke kiri dan ke kanan akan perkembangan anaknya? Seharusnya tidak, sebab di semua negara (maju) di dunia, tumbuh kembang anak sudah terpantau dengan baik oleh dokter tumbuh kembang, tersistem dalam sistem kesehatan nasional. Yang disayangkan adalah di Indonesia, pemantauan tumbuh kembang anak baru mencakup perkembangan berat badan – tinggi badan, kesehatan fisik, dan vaksinasi. Pemantauan perkembangan yang lain pada seorang anak belum dilaksanakan, seperti perkembangan motorik (kasar dan halus), perkembangan bicara dan bahasa, perkembangan kepribadian, adapatasi, sosial, kognitif, dan sebagainya. Jadi tidak heran bila orang tua dalam upaya melihat perkembangan anak seringkali berselancar dalam dunia maya dan menemukan pola perkembangan anak bangsa lain yang kemudian dicocok-cocokkan dengan perkembangan anaknya. Padahal pola tumbuh kembang suatu ras akan berbeda dari satu ras ke ras yang lain; dari satu iklim ke iklim yang lain; dari satu pola budaya makan ke pola budaya makan yang lain. Suatu dilema orang tua yang ingin mengetahui tumbuh kembang anak-anaknya. Ada baiknya pola tumbuh kembang anak Indonesia dapat diakses dengan mudah oleh orang tua, agar orang tua mempunyai pegangan. Di negara maju, pemantauan tumbuh kembang anak menjadi semakin detil, adalah karena adanya tuntutan tentang school readiness (persiapan sekolah). Sejak dini bagaimana tumbuh kembang anak harus sudah dipantau baik-baik, agar dapat diketahui prasyarat dan syarat (fisik, psikologis, sosial, motorik, bicara bahasa, dan kognitif) apa saja yang bisa menghambat proses pembelajarannya kelak. Baik pembelajaran di usia dini, sekolah dasar, maupun sekolah lanjutan. Apabila saat anak berusia sangat dini misalnya usia batita diketahui ada prasyarat proses pembelajaran yang terganggu (fisik, psikologis, sosial, motorik, bicara dan bahasa, serta kognitif) maka anak segera mendapatkan bendera merah. Ia dikelompokkan sebagai anak beresiko (resiko perkembangan dan resiko proses pembelajaran). Namun dalam praktiknya di negara kita belum ada, yang ada baru konsep-konsep yang tidak operasional, dan berbeda dari satu lembaga ke lembaga lain. Sungguh ironis memang. Padahal penerapan pendidikan yang menghormati keragaman murid harus melihat keragaman tumbuh kembang anak5. Bagaimana kita tahu anak kita adalah anak berkekhususan jika tidak ada patokan perkembangan normal? Bagaimana kita akan tahu bahwa anak kita menyimpang dari

5

Lihat penjelasan dari Unesco tentang Inclusive Education : Unesco (2001): Understanding and responding to children’s needs in inclusive classroom. http://unesdoc.unesco.org/images/0012/001243/124394e.pdf Unesco (2009): Policy guidelines on Inclusion in Education . http://unesdoc.unesco.org/images/0017/001778/177849e.pdf

perkembangan normal jika tidak ada patokannya? Bisa jadi orang tua kelak hanya mengkirakira, dan akibatnya adalah anak normal disangka tidak normal, dan punya anak tidak normal orang tua tidak menyadari. Artinya disini, sukses tidaknya pendidikan anak berkekhususan seperti misalnya sekolah inklusi yang tengah digalakkan di Indonesia juga tergantung dari bagaimana berkembangnya sistem pematauan tumbuh kembang anak Indonesia. Dengan kata lain dalam hal ini maju tidaknya ilmu kedokteran anak yang mengkhususkan diri pada pemantauan tumbuh kembang anak akan berkaitan erat dengan maju tidaknya sistem pendidikan di Indonesia.

Perlu memahami pola alamiah tumbuh kembang anak berkekhususan “Setiap anak adalah unik”. Kata-kata ini adalah filosofi masa kini, bahwa anak yang lahir bukanlah anak yang sempurna (bagai kertas putih siap ditulisi) sebagaimana filosofi terdahulu, tetapi anak yang membawa keunikannya masing-masing. Keunikan ini dimulai dengan keunikan genothypnya yang akan menjadi blue print perkembangan dan berujud dalam phenothypnya. Namun bagaimana prestasi perkembangan seorang anak juga dipengaruhi oleh lingkungannya (mengasuhnya, mendidiknya, menstimulasinya, dan memberinya nutrisi). Artinya disini kita akan berhadapan dengan faktor yang disebut sebagai nature biologis seorang anak dan juga faktor lingkungan yang biasa disebut sebagai nurture. Dalam mengasuh anak-anak kita, dua kata inilah yang harus selalu kita ingat, yaitu nature + nurture. Namun bila kita berhadapan dengan dua hal ini, kita sebagai orang tua yang mempunyai tugas mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak, mempunyai konsekuensi akan berhadapan dengan kelompok-kelompok yang hanya berpegang pada masalah nurture saja, tanpa melihat lagi bagaimana kondisi nature nya. Dalam hal inilah kita harus membekali diri dengan pengetahuan yang dalam dan luas tentang anak-anak berkekhususan kita, supaya kita tidak tergeret masuk ke dalam tawaran-tawaran yang sebetulnya misleading (menyesatkan) dan fraudulence (menipu)6 dengan tawaran-tawarannya yang hanya berpegang pada nurture saja. Menyesatkan dan menipu, karena tidak sesuai dengan temuan-temuan ilmiah yang terus semakin berkembang7, demi lakunya tawaran komersial itu. Orang tua anak berkekhususan mau tidak mau harus mempelajari bagaimana karakteristik anaknya. Semuanya harus dipelajari secara detil karena orang tua harus melayaninya, mengasuhnya, melakukan intervensi, dan mendidiknya dengan cara-cara yang sesuai dengan karakteristiknya itu. Untuk ini semua, orang tua membutuhkan diagnosa yang tepat.

6

Di banyak negara saat ini sudah dibangun lembaga informasi yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk penipuan dalam pelayanan kesehatan seperti misalnya URL di bawah ini: http://www.ncahf.org/ http://www.kwakzalverij.nl/ 7 Selama ini selalu saja terjadi perdebatan tentang inteligensi. Satu kubu berkata bahwa inteligensi bukan karena keturunan, tetapi karena stimulasi dan nutrisi. Anak jika tidak distimulasi dan tidak diberi nutrisi yang benar akan menyebabkan sel-sel otaknya mati. Akibatnya ada keturunan dari kubu ini yang menjelaskan bahwa masalah kurang stimulasi dan nutrisi yang tepat dapat menyebabkan gangguan belajar. Informasi yang misleading seperti ini sudah menggoncangkan hati para orang tua yang takut anaknya menjadi ABK (anak dengan kebutuhan khusus).

Bagaimana mendapatkan diagnosa yang tepat, agaknya bukanlah hal yang mudah. Hal ini bukan hanya disebabkan karena pola tumbuh kembang, karakteristik lainnya belum banyak dipahami, namun juga ilmu tentang anak-anak berkebutuhan khusus adalah masih sangat muda. Pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia anak berkebutuhan khusus dituntut harus terus mengikuti perkembangan dunia ilmiah yang terus menggali dan melakukan penelitian untuk ini. Ironis pula, pengetahuan tentang anak berkekhususan berkembang sangat cepat, ilmunya cepat berubah, dan terus diperbaharui. Tidak heran jika kita banyak mendapatkan laporan ada anak mendapatkan lima label yang berbeda dari lima diagnotician yang berbeda-beda. Atau si anak mendapatkan diagnosa yang berganti-ganti dari waktu ke waktu. Adanya kekisruhan situasi seperti ini justru kini muncul anggapan bahwa, demikianlah adanya bahwa seorang anak berkekhususan akan selalu bergonta-ganti diagnosa dari waktu ke waktu. Suatu pendapat yang sudah membenarkan apa yang sebenarnya salah. Namun apa yang terjadi pada orang tua dengan situasi seperti ini? Orang tua kebingungan, pola tumbuh kembang alamiah anak yang macam apa yang harus menjadi pegangannya? Dan akibat diagnosa yang berganti-ganti anakpun tidak mendapatkan penanganan yang konsisten. Hal ini ujungnya adalah merugikan anak itu sendiri. Atau, muncul suatu trend dimana satu model terapi digunakan untuk segala macam diagnosa, yang justru bertentangan dengan filosofi bahwa setiap anak adalah unik. Hingga kini juga masih ada anggapan, bahwa sekalipun anak itu cerdas (sekalipun cerdas luar biasa) namun jika mengalami masalah dalam perkembangan sosialnya, maka anak ini disebut sebagai anak dari kelompok autisme Asperger, bukan anak gifted. Sebab, menurut kelompok yang mempercayai anggapan ini, bahwa seorang anak autisme yang mempunyai IQ yang tinggi disebut sebagai Asperger Syndrome. Maka jika kita tidak lagi mendalami permasalahan kedua kelompok itu (Asperger Syndrome dan Gifted Child8), kita akan keliru dalam memilih strategi pendidikannya9. Seorang anak Asperger Syndrome mempunyai keterbatasan pada kemampuan logika analisa dan berpikir kreatif dalam pemecahan masalah. Sedang seorang anak gifted justru mempunyai kekuatan dalam kemampuan logika analisa dan berpikir kreatif dalam pemecahan masalah. Jelas kedua karakteristik itu membutuhkan strategi pendidikan yang berbeda. Pada autisme Asperger membutuhkan bimbingan tahap pertahap (sekuensial dan prosedural), sedangkan pada anak gifted dibutuhkan strategi pengajaran yang mendahulukan pemecahan masalah (simultan dan sirkuler)10. Apabila masalah ini tidak diperhatikan, maka pendidikan yang sebenarnya dapat memanfaatkan faktor kuat anak, jadi terabaikan. Padahal sementara itu gifteness nya adalah karunia Tuhan yang menjadi hak yang harus kita hormati. Hak itu tertuang dalam filosofi 8

Anak gifted yang sering terjebak dalam diagnosa Asperger ini adalah kelompok anak gifted yang mengalami keterlambatan bicara, yang kelak menjadi gifted visual spatial learner. Dalam masa-masa perkembangannya, ia selalu tertinggal dalam kemampuan bahasa ekspresif yang menyebabkan ia pun mengalami ketertinggalan dalam perkembangan bersosialisasi. Sekalipun demikian, ia akan mampu mengejar ketertinggalannya dengan cepat, dan masalah ketertinggalan bersosialisasi juga akan teratasi. Artinya masalah bersosialisasinya ini merupakan masalah sekunder, berbeda dengan kelompok autisme (sekalipun adalah kelompok autisme yang berfungsi tinggi sebagaimana Asperger Syndrome) dimana masalah bersosialisasi yang disandangnya adalah sebagai gangguan primer. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh para orang tua. 9 Untuk mempelajari perbedaan antara Asperger Syndrome dan Gifted Children dapat di pelajari misalnya dalam buku: Webb,JT; Armend,ER; Webb,NE;Goerss,J; Beljan,P; Olenchak,FR (2005): Misdiagnois and Dual Diagnosis of Gifted Children and Adults, Great Potential Pers,inc., Scottsdale, Arizona. 10

Penjelasan tentang bagaimana model pendekatan pengajaran kedua bentuk kekhususan ini dapat dipelajari dalam buku: Sousa, DA (2003): How the gifted brain learns, Corwin Press Inc. California.

pendidikan masa kini. Filosofi yang telah dikumandangkan oleh negara-negara di dunia anggota Unesco dalam bentuk Deklarasi Salamanca 1994 adalah, menghormati hak azazi anak untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya sesuai dengan keunikan yang dimilikinya.

Membutuhkan informasi dan lembaga intervensi yang EBP Apakah EBP itu? EBP singkatan dari Evidence Based Practice, sebuah aturan yang harus dipegang oleh semua tenaga praktisi maupun profesi dalam memberikan layanan kepada masyarakat11. Evidence Based Practice artinya layanan yang diberikan kepada masyarakat itu harus ada dukungan bukti-bukti kebenaran secara ilmiah. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya terapi, ketidak efektifan, maupun ketidak efisiensian pelayanan tersebut. Setiap profesi, pada waktu lulus dari pendidikannya dan akan bekerja menjalankan tugasnya, pasti akan disumpah bahwa ia akan menjalankan tugas dengan menjunjung tinggi keluhuran ilmu pengetahuan. Keluhuran ilmu pengetahuan artinya bahwa apa yang disebut ilmu pengetahuan mengandung suatu metodologi pembuktian kebenaran. Dengan begitu, berbagai informasi, layanan intervensi, pengobatan, maupun pendidikan, memerlukan dukungan metodologi pembuktian kebenaran. Hasil-hasil pembuktian melalui berbagai penelitian ilmiah itu pun masih harus meliwati sebuah kelompok bijak bestari (peer reviewer), yang kemudian secara bertahap akan meliwati kesepakatan asosiasi profesinya. Setelah disepakati, didukung dengan berbagai peraturan dan protokol, barulah berbagai informasi, layanan pemeriksaan, intervensi dan pengobatan, bisa diberikan kepada masyarakat. Dengan kata lain, demi menjaga keamanan masyarakat, informasi yang belum diterima kebenarannya melalui uji klinik, maupun pembuktian epidemiologis, tidak dibenarkan untuk disebarluaskan. Kita ambilkan contoh tentang informasi vaksin MMR sebagai penyebab autisme. Informasi yang belum diuji secara klinik dan epidemiologis, baru dalam bentuk penelitian pendahuluan, sudah disebarluaskan ke seluruh bagian dunia. Negara seperti Indonesia yang sistem perlindungan informasinya masih lemah, telah juga menjadi korban isyu yang menyebabkan rasa takut orang tua untuk memberikan vaksinasi pada anaknya. Kelanjutan dari isyu ini kemudian muncul berbagai upaya terapi autisme (yang tentu saja fraud – tidak benar secara ilmiah) membersihkan badan/darah anak penyandang autisme dari MMR yang sudah terlanjur diberikan. Kekhususan autisme adalah salah satu kekhususan yang paling banyak dikelilingi oleh bentuk-bentuk yang non-EBP, mulai dari teori penyebab hingga layanan intervensinya. Hal ini disebabkan karena hingga kini penyebab autisme masih belum dapat diketahui mekanisme gangguannya. Apa yang dapat diketahui barulah bahwa genetik mempunyai peranan yang penting12, hal ini dapat diketahui dari penelitian pada kembar identik yang menunjukkan bahwa kans mengalami gangguan autistik akan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan 11

Salah satu buku yang sangat baik dan banyak menjelaskan tentang EBP serta berbagai teori, identifikasi, deteksi, intervensi dan terapi anak berkekhususan adalah: Mowder, BA; Rubinson, F; Yasik, AE (2009): Evidence Based Practice in Infant & Early Childhood Psychology, John Wiley & Sons, Inc. Canada. 12 Tentang penyebab autisme yang dipegang oleh kelompok ilmiah dapat dilihat dalam artikel ini: Buitelaar, JK; Willemsen-Swinkels, SHN (2000): Medication treatment in subject of autism spectrum disorder, European Child & Adolescents Psychiatry, 9:I/85-I/97.

anak kembar non-identik. Walaupun para ahlinya sudah sepakat bahwa genetik mempunyai peranan penting, namun bagaimana transmisi genetiknya belum dapat diketahui. Begitu pula dimana lokasi gen marker pembawa sifat autisme pada susunan DNA-RNA dalam kromosom, hingga saat ini belum dapat diketahui. Sekalipun autis disepakati sebagai gangguan neurologis, tetapi untuk menjelaskan perilaku autisme secara neurokognitif dan neuroscience juga masih belum ada yang berhasil mendirikannya. Karena itulah, banyak sekali orang yang mencoba menjelaskannya melalui pemahaman-pemahaman yang masih wacana. Penyebab autisme yang non-EBP dalam informasi di pasaran bebas luar biasa banyak, yang akhirnya menawarkan terapinya yang juga sangat beragam serta non-EBP. Orang tua adalah kelompok masyarakat awam, mereka bukanlah para ahli dalam bidang ini, kebetulan saja ia mendapatkan tugas mengasuh anaknya yang berkekhususan. Bisa kita bayangkan jika kita tidak mempunyai tempat mencari informasi yang EBP. Penanganan anak-anak berkekhususan hanya akan mendapatkan layanan yang efektivitas, efisensi, dan keamanannya masih dipertanyakan. Resiko. Seharusnya semua tenaga profesi dan praktisi, praktek pribadi, maupun rumah sakit dan klinik di Universitas senantiasa menyediakan informasi dan sarana pelayanan yang EBP. Karena tenaga yang menjalankan sudah berada di bawah sumpah dan dibatasi oleh kode ethic profesi. Namun tidak yang kita temui di Indonesia. Sebagai orang tua kita seringkali justru mendapatkan undangan-undangan dari berbagai lembaga, baik lembaga sosial maupun lembaga ilmiah yang ternyata di dalamnya banyak berisi informasi yang non-EBP. Begitu banyaknya praktek yang non-EBP ini menjadikan suasana di negara kita, pada akhirnya yang menjalankan praktek EBP menjadi “barang aneh” atau “benda asing”. Yang salah dibenarkan, dan yang benar disalahkan.

Membutuhkan jalur rujukan dan protokol yang jelas “Shopping dokter” adalah salah satu kegiatan orang tua anak berkekhususan. Tujuannya mencari kejelasan akan diagnosa anaknya. Sebab dari dokter satu ke dokter lain, dari psikolog satu ke psikolog lain, anaknya mendapatkan stempel berbeda-beda serta anjuran yang berbeda-beda. Dalam kelompok orang tua ini, pada akhirnya ada beberapa kemungkinan yang terkembang diantara mereka: • Ada orang tua yang bosan dan jemu, akhirnya tidak mau lagi membawa anaknya ke tenaga siapapun baik dokter maupun psikolog. Ia menjadi frustrasi dan akhirnya apatis. Kelompok orang tua ini perlu mendapatkan dukungan agar dapat merangkak kembali ke permukaan. • Ada orang tua yang bosan dan jemu, akhirnya tidak mau lagi berhubungan dengan dokter dan psikolog, tetapi mempelajari dan mendapatkan strategi sendiri. Ia menjadi mandiri. • Ada orang tua yang tetap mencari kesana kemari, dengan berbagai informasi yang akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan. Ia cerdas dan optimis. • Ada orang tua yang masuk ke dalam suatu parents support groups tertentu, dimana para orang tua itu saling mendukung dan bersama-sama mencari intervensi, terapi, maupun pengobatan anak-anaknya melalui berbagai cara baik EBP maupun nonEBP. Tidak dipisahkan lagi. Dengan diagnosa maupun tidak. Dengan catatan, bahwa upaya ini adalah perjuangan demi buah hatinya. “Rasanya berdosa jika tidak mengupayakannya” demikian perasaan para orang tua ini. Banyak orang tua yang sudah masuk kelompok seperti ini juga sungkan untuk keluar lagi, karena sudah

sehati dan sepakat saling mendukung apapun yang terjadi, kebersamaan dalam persahabatan. Kelompok orang tua ini tetap membutuhkan bantuan informasi EBP. Adanya jalur rujukan tentunya jika kita sudah mempunyai protokol yang jelas tentang anak-anak berkekbutuhan khusus ini. Siapa yang berhak melakukan diagnosa, dan bentuk apa diagnosa itu. Advis apa yang dapat diberikan pada si anak. Bagaimana jika salah satu profesi dalam jalur rujukan itu memberikan penjelasan yang berbeda? Jelas akan menyebabkan jalan yang harus ditempuh orang tua menjadi lebih panjang. Karena ia harus mencari opini lain. Yang tersulit bagi orang tua adalah untuk memahami jalur rujukan itu (karena memang di Indonesia belum ada jalurnya, karena protokolnya juga belum ada). Namun jika pun ada, orang tua juga kurang memahami mengapa anaknya harus dibawa pergi kemanamana. Untuk masalah kekhususan yang disebabkan karena cacat fisik primer, seperti buta, tuli, cacat fisik, atau masalah retardasi mental, tidak banyak membawa masalah dalam pendeteksian dan pendiagnosisannya. Tetapi bila kekhususan itu sudah ke arah masalah neurologis dan gangguan perkembangan, maka deteksi dan penegakan diagnosanya sungguh sangat bermasalah. Hal ini disebabkan gangguan neurologis dan perkembangan akan menyangkut banyak aspek sehingga membutuhkan banyak keilmuan, dan ilmunya juga masih terus berkembang. Untuk menggambarkan betapa repotnya menangani anak kekhususan yang mengalami gangguan neurologis dan atau gangguan perkembangan, kita ambil contoh, seorang anak yang mengalami keterlambatan bicara (gangguan perkembangan bicara dan bahasa spesifik atau dari speech patolog dengan nama lain Speech Language Impairment, dari neurolog dengan nama Developmental Dysphasia). Gangguan ini merupakan gangguan yang hanya sementara saja, ia mempunyai prognosa yang baik, dan kelak akan berkembang mengalami normalisasi perkembangan. Jumlahnya terbanyak dari semua gangguan bicara dan bahasa.13 Tetapi sekalipun demikian jalur yang harus ditempuh sangat panjang berliku-liku sampai si anak mendapatkan pelayanan intervensi dan pendidikan yang tepat14. Setiap anak yang mengalami keterlambatan bicara memerlukan pemeriksaan menyeluruh dari seorang dokter tumbuh kembang, sehingga dokter tumbuh kembang dapat memperkirakan kemana anak harus dirujuk. Sayangnya dokter tumbuh kembang di Indonesia berjumlah sangat sedikit dan tidak dapat melayani seluruh rakyat Indonesia15. Sementara itu angka yang didapatkan dari penelitian-penelitian di berbagai negara menunjukkan angka anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa luar biasa tinggi. Sekalipun angka itu berbeda dari satu negara ke negara lain. Hal ini tergantung dari definisi operasional dan alat ukur yang digunakan. 13

Lihat dalam buku: Goorhuis,SM & Schaerlaekens, AM (2008): Handboek taalontwikkelling, taalpathologie en taaltherapie bij Nederlandsspreekende kinderen, De Tijdstroom Uitgeverij, Utrecht. 14

Lihat dalam buku: Goorhuis,SM & Schaerlaekens, AM (2008): Handboek taalontwikkelling, taalpathologie en taaltherapie bij Nederlandsspreekende kinderen, De Tijdstroom Uitgeverij, Utrecht.

15

Untuk mengatasi masalah ketenagaan bagi pemeriksaan dan pemantauan tumbuh kembang setiap bayi dan anak di Belanda, Negera Belanda membangun layanan masyarakat (community health center) setingkat puskesmas di Indonesia dengan tenaga dokter yang berlatar belakang pendidikan dokter ilmu kesehatan masyarakat yang mengkhususkan diri pada tumbuh kembang anak. Dengan demikian dokter tumbuh kembang ini bukanlah peditrician tetapi dokter tumbuh kembang yang community based. Ia akan melayani anak-anak berusia 0 – 4 tahun. Dokter tumbuh kembang disini disebut CB artsen (Consultatiebureau artsen) yang bertugas selain memantau tumbuh kembang dan juga melakukan deteksi dini masalah tumbuh kembang anak, untuk kemudian melakukan rujukan ke layanan kesehatan yang lebih spesialistik atau lebih tinggi.

Laporan dari Belanda tahun 2005 tentang anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan bicara bahasa itu (semua bentuk) saat usia masuk sekolah dasar diketahui berjumlah 37-56 persen, demikian yang dilaporkan oleh TNO-rapport: http://tno-kwaliteitvan-leven.adlibsoft.com/docs/spraaktaalont.pdf Tetapi dalam laporan itu tidak diperinci lagi mana gangguan perkembangan bicara dan bahasa yang spesifik (gangguan bicara dan bahasa ekspresif) maupun dan yang non spesifik – serta apa saja penyebabnya. Tetapi dapat kita bayangkan jika masalah gangguan perkembangan bicara dan bahasa ini memang luar biasa banyak. Setengah dari populasi anak usia balita sudah dipastikan mempunyai masalah dengan gangguan perkembangan bicara dan bahasa dengan berbagai sebab. Dan tidak heran pula jika rumah sakit bagian anak kini selalu kedatangan pasien anak dengan keluhan belum bisa bicara. Orang tua yang panik semakin hari juga semakin banyak. Terlihat dari banyaknya orang tua yang sudah panik saat melihat anaknya baru satu tahun sudah tanya kiri kanan, anakku terlambat bicara atau tidak, perlu terapi apa? Dari dokter tumbuh kembang, seorang anak yang mendapatkan suspect (kemungkinan/dicurigai) bergangguan bicara bahasa spesifik akan dirujuk ke dokter THT atau ke audiolog memeriksakan pendengarannya. Bila didapatkan bahwa si anak tidak mempunyai gangguan dalam telinganya, maka dokter audiologi harus menentukan apakah si anak mengalami keterlambatan bicara atau karena adanya gangguan kognitif? Audilog membutuhkan bantuan pemeriksaan perkembangan inteligensi dari seorang tenaga psikolog. Bila dalam kemampuan performansi (IQ performansi) menunjukkan skala yang baik, maka barulah dokter audiologi dapat menentukan bahwa si anak hanya bergangguan dalam pemrosesan informasi, telinganya sendiri baik, dan kemampuan penerimaannya juga baik. Ia sesuai dengan gejala-gejala seorang anak gangguan bicara dan bahasa spesifik. Dari dokter audiologi anak harus di kirim kembali ke dokter anak yang telah mengirimnya. Namun dokter anak perlu mengirim kembali ke neurolog untuk melihat apakah ada gangguan ikutan lainnya. Sebab anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekspresif sekalipun, bisa jadi ia akan juga diikuti oleh gangguan neurologis sebagai gangguan ikutan lainnya. Setengah dari anak-anak ini didapatkan mengalami komorbiditas atau diikuti dengan gangguan lain16. Gangguan ikutan lain terbanyak adalah gangguan motorik halus dan motorik kasar yang tertinggal, dan gangguan konsentrasi17. Sementara itu anak-anak ini juga mengalami sosial emosional yang merupakan masalah sekunder sebagai akibat dari masalah gangguan bahasa ekspresifnya (sementara itu reseptifnya baik).18 Masalah ketertinggalan perkembangan sosial ini di lapangan sungguh menjadi sangat krusial, sebab anak-anak ini kemudian bisa “tertuduh” sebagai penyandang autis hanya karena mengalami ketertinggalan perkembangan sosial ini. Padahal gangguannya hanya bersifat sementara, kelak jika masalah ketertinggalan berbahasa ekspresif ini bisa dilalui dengan baik, ketertinggalan sosial ini dapat dikejarnya dengan cepat. Gangguan sosialnya merupakan gangguan sekunder, bukan gangguan primer sebagaimana pada autisme. Anak-anak yang mengalami ketertinggalan sosial ini juga masih perlu dibantu oleh tenaga psikolog yang mendalami masalah perkembangan anak. Karena masalah ini dapat merambat pada perkembangan konsep diri, rasa percaya diri, dan kemampuan meregulasi 16

Lihat berbagai bacaan di bawah ini: Beesems,MAG (2007): Developmental Dysphasia, Amsterdam Developmental Dysphasia Foundation, dibawakan dalam Disable 07 Congress, Turky. http://www.dysphasia.org/turkije.pdf 17 Lihat dalam buku: Goorhuis,SM & Schaerlaekens, AM (2008): Handboek taalontwikkelling, taalpathologie en taaltherapie bij Nederlandsspreekende kinderen, De Tijdstroom Uitgeverij, Utrecht. 18 Lihat artikel di bawah ini: De Jong, J (2005): Dysfatische ontwikkeling, VHZ tijdschrift. http://home.medewerker.uva.nl/j.dejong1/bestanden/2005-2-artikel1.pdf

masalah sosial yang harus dihadapinya (seperti misalnya menghadapi pelecehan oleh temantemannya). Rasa percaya diri yang jatuh, menyebabkannya ia akan menarik diri. Masalah jatuhnya menjadi anak yang menarik diri adalah masalah yang selalu terjadi pada anak yang terlambat bicara yang kurang dibantu dalam perkembangan sosialnya. Dalam hal ini orang tua diberi pelatihan oleh seorang tenaga psikolog untuk bagaimana menghadapinya dan mengasuh anaknya. Bila hal ini tidak dicegah dengan strategi pengasuhan yang tepat, si anak akan jatuh lebih dalam lagi, yang akan menyebabkannya sulit merangkak kembali ke permukaan. Penampilan sosial anak kemudian menjadi lebih mirip lagi kepada penampilan autisme, seperti rasa takut dengan orang lain, tidak berani berdiri dimuka kelas, tidak berani bicara, tidak berani ke tempat keramaian dan seterusnya19. Situasinya menjadi lebih krusial, sebab ia benar-benar mirip dengan penampilan seorang anak autisme. Guna mengatasi kekrusialan ini maka si anak perlu dilakukan pemeriksaan psikiatri ke psikiater. Apakah benar ia penyandang autisme? Dalam hal ini orang tua juga perlu tetap selalu mendapatkan informasi tentang berbagai gejala yang ada dan artinya apa. Seorang anak bergangguan autisme adalah seorang anak yang antara lain juga mengalami gangguan komunikasi dan bahasa non-verbal. Kemampuan non-verbal adalah kemampuan membaca mimik orang, membaca jalan pikiran orang lain, membaca bahasa tubuh, memahami kiasan, memahami canda, memahami emosi orang lain, dan memahami kedalaman pesan dari intonasi suara/ucapan orang lain. Keterbatasan kemampuan ini akan menyebabkan seorang anak mengalami kesulitan membaca pesan-pesan sosial, keterbatasan kemampuan dimensi (pandang ruang) dan kreativitas, kesulitan memahami sebab-akibat, dan kesulitan dalam kemampuan pemecahan masalah. Ia melihat dunia ini secara harafiah dan bagai potongan-potongan fragmen yang tidak ada kaitannya20,21. Karena itu, pada anak-anak yang mempunyai gejala perilaku mirip dengan autisme itu, bila mempunyai kemampuan pemecahan masalah perlu dikeluarkan dari kelompok autisme, sekalipun kelompok itu adalah autisme Asperger. Karena tidak sesuai dengan karakteristik perkembangan kognitifnya. Ia perlu dikeluarkan demi menata strategi pembelajaran baginya22. Apabila orang tua meragukan diagnosa yang diberikan oleh psikiater (karena dalam hal ini psikiater hanya melihat dari sudut gangguan perilaku), maka orang tua dapat menghubungi dokter anak kembali, dan meminta rujukan kepada seorang tenaga psikologi perkembangan atau psikologi klinik yang memang mempelajari perkembangan kognitif seorang anak berkekhususan. Psikolog dapat melihat bagaimana perkembangan kognitif anak dengan melihat berbagai subtest profil IQ yang diraih anak. Sekalipun terdapat deskrepansi antara 19

Dalam malilinglist [email protected] banyak sekali ditemui anak-anak gifted terlambat bicara yang mengalami masalah sosial, yang seringkali mendapatkan diagnosa yang salah: Asperger Syndrome. 20 Lihat perkembangan kemampuan dasar dan inteligensi autisme dalam buku: Baltussen, M; Clijsen, A (2003): Leerling met autisme in de klas, een praktische gids voor leerkrachten en interne begeleider, Landelijk Netwerk Autism, ’s-Hertogenbosch. 21 Apabila anak-anak terlambat bicara ini mempunyai kemampuan bahasa reseptif yang baik, dan mempunyai kemampuan bahasa nonverbal yang baik, ia akan menjadi anak yang mempunyai kemampuan pandag ruang yang juga baik. Kemampuan pandang ruang yang baik ini akan menjadikannya sebagai anak yang mempunyai kemampuan logika analisa yang juga baik. Untuk memahaminya lebih lanjut lihat dalam buku: Greenspan,SI & Salom, J (1995): The Challanging Child, Adisson-Wesey Publishing Company, Massachusetts. Atau lihat dalam buku lain yang menjelaskan juga bahwa anak-anak gangguan bicara dan bahasa spesifik ini mempunyai visual spatial giftedness dalam buku: De Groet, R & Paagman, C (2003): Denkbeelden over Beelddenken, een beeld zegt meer dan duizen woorden, Theorie en praktijk rond beeldddenkers: over opvoeden, begeleiden en hun specifieke taalproblemen, Uitgeverij Agiel, Utrecht. 22 Lihat dalam buku: Klin, A; Volkmar,FR & Sparrow,S (2000): Asperger Syndrom, The Guilford Press, New York.

skala verbal ( rendah karena mengalami keterlambatan bicara) dan skala performansinya, namun bila ternyata anak menunjukkan skala performansi di atas rata-rata terutama dalam kemampuan pemecahan masalah, maka si anak perlu dikeluarkan dari diagnosa Asperger. Untuk kemudian perlu pendekatan yang tepat sesuai dengan karaketeristik perkembangan kepribadiannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari jatuhnya anak menjadi anak yang menarik diri, gangguan sosial emosional yang lebih berat. Dari sini, tugas orang tua mengantar anaknya melakukan perjalanan menyusuri sistem rujukan belum selesai. Orang tua masih harus menghubungi seorang tenaga ahli kependidikan kekhususan yang disebut orthopedagogi (special education specialist) dengan membawa setumpuk data yang sudah ada. Tenaga orthopedagogi akan kembali melakukan berbagai testes kemampuan pembelajaran dan membantu guru membuatkan IEP (Individual Education Program). Masih ada tenaga lain yang harus dihubungi, yaitu seorang ahli speech patologi, yang akan memeriksa bagaimana perkembangan anak, dalam kemampuan berbicara dan berbahasa23. Jika memang anak mempunyai masalah dalam perkembangan motorik (sebagai gangguan ikutan), maka anak juga perlu mendapatkan bantuan mengembangkan kemampuan motoriknya. Bila perlu dibantu oleh seorang tenaga atau ahli gerak. Memberikan bantuan pelatihan motorik ini bukan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya tetapi agar ia mempunyai prasyarat yang baik dalam menempuh pembelajaran. Misalnya saja bagaimana kordinasi tangan kiri dan kanan serta jari-jari, kelenturan dan keluwesan gerakan tangan dan pergelangan. Dapatkah kita membayangkan betapa rumitnya sesungguhnya jalan yang harus ditempuh anak dan orang tua agar si anak dapat menerima pengasuhan dan pendidikan yang tepat baginya. Contoh di atas adalah contoh bagi ABK yang terlambat bicara karena perkembangannya sendiri (gangguan bicara dan bahasa ekspresif), yang mana ia mempunyai prognosa yang baik. Dan lebih sering dianggap dapat membaik dengan sendirinya, karena itu anak-anak ini sering ditanggapi dengan tidak serius serius (bahkan sering hilang dari peta sistem perujukan). Baru akan diperhatikan jika ternyata sudah mengalami masalah yang sulit. Dalam syering pengalaman pun orang tua sering menganjurkan pada orang tua lain dengan kata-kata: “stimulasi saja terus mom, nanti juga bisa catching up, anakku juga dulu begitu...” Kita sungguh sangat membutuhkan protokol dan jalur rujukan yang jelas. Nampaknya kebutuhan ini memang sangat mendesak, mengingat pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai Permendiknas tentang sekolah inklusi yang harus segera diselenggarakan. Disamping itu anak-anak berkekhususan kita memang tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Kita sungguh sangat membutuhkan protokol dan jalur rujukan yang jelas. Nampaknya kebutuhan ini memang sangat mendesak, mengingat pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai Permendiknas tentang sekolah inklusi yang harus segera diselenggarakan. Disamping itu anak-anak berkekhususan kita memang tidak dapat menunggu lebih lama lagi.

Membutuhkan pelayanan kolaboratif dan multidisiplin 23

Untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam buku: van Tiel, JM (2007 dan 2008): Anakku terlambat bicara, anak berbakat yang mengalami disinkronitas perkembangan, memahami dan mengasuhnya, Prenada Media, Jakarta.

Pelayanan kolaboratif dan multidisiplin artinya bukan memberikan pelayanan secara bersama-sama oleh beragam tenaga profesi dari berbagai disiplin ilmu, dengan menggunakan alat ukur yang sama (misalnya kriteria untuk autisme dari DSM IV), lalu bersama-sama mengambil kesimpulannya. Bentuk seperti ini disebut sebagai kalibrasi. Pelayanan kolaboratif dan multidisiplin adalah suatu bentuk pelayanan dimana masing-masing tenaga profesi memberikan pelayanan masing-masing berdasarkan keilmuannya. Lihat contoh dalam bahasan “Memerlukan jalur perujukan dan protokol yang jelas” di atas. Pelayanan kolaboratif dan multidisiplin ini dibutuhkan karena pada seorang anak berkekhususan masalah yang disandang anak bisa beragam bentuk, dan bisa mengakibatkan ke masalah lain, dan atau diikuti oleh masalah lain. Anak-anak inipun harus dipantau secara longitudinal – jangka panjang berkesinambungan – untuk melihat gejala yang bisa menghilang, menipis, menetap – kronis, atau bahkan menjadi lebih parah. Maka anak ini tidak bisa dijelaskan hanya oleh satu disiplin saja tetapi oleh banyak disiplin ilmu. Setiap disiplin ilmu akan membahasnya dari sudut pandangnya, dan melihat kumpulan gejala-gejala sesuai dengan sudut pandangnya. Dan kumpulan gejala itu kemudian disebut sebagai diagnosa. Kita ambilkan contoh, anak penyandang Learning Disabilities. Learning Disabilities dapat berupa gangguan membaca murni, gangguan menulis, dan gangguan berhitung, dengan segala macam tipe dan subtipenya. Bahasan Learning Disabilities sebenarnya adalah area pekerjaan seorang tenaga orthopedagogi. Orthopedagog lah yang mempunyai ilmu untuk menegakkan seorang anak apakah mempunyai gangguan Learning Disabilities atau tidak. Sekalipun pada dasarnya Learning Disabilities adalah gangguan yang eksklusif. Ia tidak disebabkan oleh gangguan lain, dan tidak menyebabkan gangguan lain (yang sama-sama permanen) dan area dari orthopedagogi, tetapi akibat dari Learning Disabilities jika tidak mendapatkan layanan kekhususan akan dapat memunculkan masalah lain sebagai masalah sekunder, seperti misalnya kefrustrasian, penarikan diri, rasa percaya diri yang merosot, konsep diri negatip, depresi, dan bahkan memunculkan masalah perilaku. Kepadanya juga memerlukan perhatian dari seorang tenaga psikologi perkembangan. Anak-anak yang mempunyai gangguan neurologis sebagainya penyandang Learning Disabilities ini juga seringkali diikuti dengan gangguan neurologis lainnya, karena itu harus diperiksa baik-baik oleh seorang dokter neurologi. Hambatan yang sering terjadi dari pihak orang tua untuk menjalankan/menerima layanan kolaboratif multidisiplin ini adalah selain masalah dana, juga kadang masih ada keraguan orang tua mengapa si anak harus diperiksa oleh banyak profesi. Dalam hal ini orang tua memerlukan bantuan informasi yang baik tentang seluk beluk dunia anak berkekhususan. Alasan lain yang menghambat, selain perasaan orang tua yang kecewa terhadap anak, juga anak sendiri sering tidak mau dibawa untuk diperiksa kemana-mana.

Membutuhkan tawaran pendidikan yang adaptif Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak adalah suatu pendekatan yang dirasa sangat ideal. Namun membangun pendidikan ini bukanlah hal yang mudah. Selain pendidikan ini harus adaptif dan dapat diterima anak, ia juga membutuhkan pilar penunjang yang juga banyak membutuhkan sumber (SDM, dana, materi, metoda, lembaga) dan waktu. Tanpa adanya itu semua tujuan yang diharapkan mustahil dapat dicapai. Namun inilah tantangan bagi kita semua. Tantangan semakin besar manakala kelompok yang memperjuangkan

pendidikan yang adaptif ini harus bertarung dengan pejuang kelompok pendidikan untuk anak-anak normal yang populasinya memang lebih besar. Banyak sekali sudah buku-buku sebagai sumber untuk memahami pendidikan yang adaptif ini, namun pada umumnya buku-buku itu menjelaskan program dan strategi sesuai dengan kondisi yang ada di negara setempat. Karena itu dirasa sangat sulit bagi kita untuk memulainya dari mana. Padahal sementara itu pendidikan yang adaptif ini sungguh akan menjadi suatu pendidikan yang sangat beragam, yang disebabkan karena kekhususan anak juga sangat beragam. Banyak sudah ulasan-ulasan di negara kita bahwa kita membutuhkan pendidikan yang adaptif, atau pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak, yang kemudian disebut sebagai kelas inklusi. Bahkan Permendiknasnya pun sudah ada. Tetapi juklak dan juknisnya belum ada, pelaksanaannya perlu dikembangkan sendiri di lapangan, yang konsekwensinya akhirnya bentuk sekolah inklusi sangat beragam dari satu sekolah ke sekolah lain. Ulasan-ulasan yang ada seringkali hanya mengupas secara garis besar. Jadi bagaimana sebetulnya pendidikan yang adaptif, yang sesuai dengan kebutuhan anak itu? Banyak yang mengatakan: dibutuhkan kreativitas guru. Atau jika ditanya, pendidikan yang disajikan ini menggunakan metoda apa? Jawabnya: metoda hati nurani. Dua kalimat itu (dibutuhkan kreativitas guru; dan metoda hati nurani) tentu saja akan mengundang banyak pertanyaan tentang seberapa besar kualitas pendidikan yang disajikan? Tidak adakah dasar-dasar pendidikan kekhususan yang dapat dipegang oleh guru dan bisa diinformasikan kepada orang tua? Pendidikan yang adaptif akan menuntut perubahan yang besar bukan saja dasar kurikulum berubah dari content-based curriculum ke arah competence-based curriculum, tetapi juga keterbukaan sekolah dalam memberikan pelayanan. Mau tidak mau, pendidikan yang adaptif ini membutuhkan bantuan dari segala penjuru, baik bantuan dari orang tua, masyarakat, berbagai lembaga yang berkaitan terutama pihak universitas yang senantiasa mengembangkan ilmu kependidikan dan pendeteksian kekhususan. Dalam pendidikan dengan murid di dalam kelas yang beragam, artinya juga akan menuntut kurikulum yang beragam atau biasa disebut sebagai kurikulum berdiferensiasi. Tetapi bukan itu saja, di dalam kelas akan pula kita temui keragam murid yang berarti juga kita akan menjumpai perkembangan anak yang berdiferensiasi. Guru kelas harus memahami semuanya. Artinya agar cita-cita penyelenggaraan pendidikan yang adaptif bisa tercapai, disini setiap sekolah membutuhkan dua strategi pengembangan: 1. Strategi perluasan jejaring sekolah 2. Strategi pendalaman masalah

Strategi perluasan jejaring sekolah Apabila dahulu kita dalam menjalankan tugas pendidikan, lembaga pendidikan atau sekolah dapat berdiri sendiri tanpa bantuan lembaga lain, maka dengan adanya anak yang membutuhkan perhatian ekstra ini ataupun anak berkebutuhan khusus ini justru kita memerlukan bantuan dari lembaga-lembaga lain. Dalam hal ini guru tidak mungkin (sekalipun secara kreatif) mengatasi masalah seorang diri. Karena masalah yang dihadapi perlu penjelasan dari berbagai disiplin ilmu secara terpadu. Tugas guru memang menjadi

semakin berat, karena itu guru kelas juga memerlukan dukungan dari tenaga-tenaga lain yang memahami persoalan, agar tugas pendidikan dapat dijalankan dengan baik24 . Untuk lebih mudahnya memahami bagaimana perluasan jejaring sekolah adalah sebagai berikut (lihat gambar di bawah ini). Lembaga sekolah dapat meminta bantuan keahlian (dalam rangka pendidikan) kepada tenaga ahli kependidikan berkekhususan dan psikolog sekolah yang memahami anak-anak yang mempunyai masalah. Dua tenaga ahli ini pada hakikatnya perlu membangun suatu lembaga di luar sekolah, yang sewaktu-waktu dapat dimintai bantuan oleh pihak sekolah. Dengan demikian sekolah tidak langsung berhubungan dengan dokter, tetapi dapat melalui lembaga bantuan psikologi-dan pedagogi25.

Jejaring sekolah. Jejaring yang perlu dibangun oleh pihak sekolah dalam rangka melayani anak-anak dengan kebutuhan khusus.

Strategi pendalaman masalah Pihak sekolah terutama sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar adalah lembaga pendidikan yang menerima anak-anak yang tengah dalam fase perkembangan. Padahal setiap anak mempunyai keunikannya masing-masing. Apabila pihak sekolah menerima anak yang membutuhkan perhatian khusus, maka pihak sekolah memerlukan berbagai informasi dari berbagai sudut, serta guru membutuhkan suatu panduan yang dapat digunakannya dalam menghadapi muridnya. Tanpa hal ini semua pendidikan anak dengan perhatian khusus itu 24

Lihat dalam buku: Montgomery, D (2009): Able, gifted, and talented underachiever, Wiley-Blackwel, West Sussex. 25 Lembaga bantuan psikologi-pedagogi akan membantu guru/konselor, murid, dan orang tua melakukan asesmen psiko-edukasional, membantu menentukan strategi pengajaran,membantu memilihkan materi yang cocok, serta membantu membuatkan Individual Educational Program. Sayangnya lembaga seperti ini belum dibangun di Indonesia. Di berbagai negara maju, lembaga ini berada di bawah kantor kementrian pendidikan, sebagai pilar penunjang pendidikan inklusi.

tidak mungkin dapat berjalan. Dalam rangka menerima anak-anak berkekhususan, seringkali si anak juga membawa banyak risiko atau juga mempunyai masalah yang spesifik yang memerlukan penanganan. Disinilah pihak sekolah membutuhkan berbagai informasi awal yang datangnya dari pihak luar sekolah yang dapat mendukung pihak sekolah untuk mengembangkan pendekatan psikologi-pedagogi dalam melayani anak Dengan adanya pendidikan yang tergantung dari berbagai karakteristik yang ada pada murid baru ini, maka pihak sekolah perlu membuatkan sebuah rencana pendidikan individual bagi si anak, yang dibantu oleh tenaga profesi yang berkaitan (psikolog dan orthopedagog). Agar pendidikan ini sukses, berbagai pihak yang terlibat, diperlukan kemampuan pemahaman tentang masalah yang dihadapi anak, terutama pihak profesi yang dapat memberikan informasi terbaik kepada guru dan orang tua sebagai ujung tombak pelayanan pendidikan.

Membutuhkan lembaga bantuan psikologi – pedagogi Suksesnya pendidikan yang memperhatikan keunikan setiap anak (inklusi) adalah antara lain adanya dukungan dalam sistem diagnosis yang kepentingannya bagi pendidikan. Diagnosa ini disebut psycho-educational diagnostic atau diagnosa psiko-edukasional. Bila pihak sekolah mendapatkan diagnosa dari seorang dokter misalnya saja ADHD, maka diagnosa ini sebenarnya tidak dapat masuk ke dalam kelas. Maksudnya hanya dengan diagnosa ini seorang guru belum dapat membuat perencanaan program pendidikan bagi si anak, serta menentukan strategi pembelajaran dan materi yang harus diberikan pada anak. Sebab diagnosa ADHD adalah diagnosa dari seorang dokter berdasarkan kriteria perilaku yang dianggap menyimpang, yang akan digunakan oleh dokter untuk merencanakan terapinya. Jadi tidak berisi data-data yang dapat digunakan oleh seorang guru untuk memberi pelajaran dan membantu anak dalam berproses belajar. Karena itu diagnosa ADHD ini masih harus diterjemahkan ke dalam diagnosa psikoedukasional. Diagnosa psiko-edukasional akan menjelaskan ke arah mana anak akan mendapatkan metoda pendidikannya, materi pendidikannya, serta penempatan kelas yang sesuai baginya. Dengan demikian tiang penyangga yang sangat penting bagi kelangsungan kelas inklusi ini adalah adanya lembaga psikologi – pedagogi yang mempunyai tugas26 : - membantu guru, orang tua, dan murid, dalam hal bagaimana cara mengatasi permasalahan baik di sekolah maupun di rumah; - membantu guru BP menyusun IEP (Individual Education Program); - bersama guru BP membantu guru kelas menentukan strategi pengajaran, dan materi pelajaran; - membantu orang tua merencanakan penanganan secara keseluruhan, misalnya anak masih tetap membutuhkan intervensi penanganan yang tidak didapatkan di dalam sekolah; 26

Lihat penjelasan dalam buku: Wijnekus, M & Pluymakers, M (2008): Begaafgde leerling, dalam: Handboek Diagnostiek in de leerlingbegeleiding, red: Verschueren K & Koomen H, Uitgeverij Garant, Anstwerpen – Appeldoorn.

-

membantu murid untuk belajar bagaimana strategi belajar yang paling tepat bagi dirinya; memberi pelatihan pada murid tentang perilaku dan sosial emosional.

Penegakan diagnosa psiko – edukasional pada dasarnya dimaksudkan untuk27: 1) mencari pemecahan permasalahan; 2) penempatan murid sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya; 3) melakukan penyeleksian murid; 4) pengklasifikasian kekhususan murid; 5) kepentingan evaluasi proses belajar. Guna mendapatkan diagnosa psiko - edukasional yang tepat biasanya dibutuhkan beberapa langkah bukan hanya dilakukan tes-tes dengan berbagai alat ukur sesuai kebutuhan, tetapi juga dilakukan tanya jawab mendalam, dan observasi baik jangka pendek dan jangka panjang kepada murid. Dalam proses penegakan diagnosa psiko - edukasional di atas, hal-hal yang dapat diberikan antara lain: 1) bagaimana masalah yang ada dan bagaimana kaitannya dengan masalah-masalah lain, faktor-faktor apa saja yang turut bermain terhadap munculnya masalah, jalan keluar apa saja yang dapat disarankan untuk mengurangi masalah; 2) bagaimana dan kemana keputusan penempatan anak (sekolah luar biasa, sekolah khusus, atau kelas inklusi); 3) bagaimana kemungkinan anak dapat menyelesaikan program pendidikannya, dan dukungan apa saja yang diperlukan agar anak mampu menjalankan proses pendidikannya; 4) di kelompok kekhsususan apa yang sesuai bagi anak; 5) intervensi apa saja yang dibutuhkan, dan efek apa yang dapat diharapkan dari intervensi yang diberikan. Jika kita melihat butir-butir di atas, betapa pentingnya lembaga psikologi-pedagogi ini bagi kepentingan kelangsungan hidup si anak. Dengan adanya lembaga ini, yang ditangani oleh psikolog dan orthopedagog yang mempunyai kompetensi sebagaimana yang dibutuhkan, protokol yang jelas, sistem rujukan dengan network yang baik, niscaya pendidikan anak berkekhususan dapat berjalan sebagaimana yang kita semua harapkan. Guru dapat melaksanakan tugasnya, orang tua tidak kebingungan mencari-cari diagnosa, pihak sekolahpun bisa mengambil keputusan yang tegas dan jelas. Kesalahan penanganan dalam pendidikan sebagai hasil dari motto: “tergantung kreativitas guru dan pengajaran dengan metoda hati nurani”, bisa dikurangi.

Membutuhkan guru sebagai sahabat Tercapainya pendidikan yang memperhatikan keunikan setiap anak, memang membutuhkan guru kelas yang memahami persoalan. Bukan hanya memberikan materi 27

Lihat dalam buku: Verschueren,K & Koomen, H (2007): Handboek Diagnostiek in de leerling begeleiding, uitgeverij Garant, Antwerpen – Apeldoorn.

pelajaran, namun juga bagaimana berbagai aspek perkembangan yang lain mendapatkan perhatian. Untuk mencapai ini semua maka guru pun dituntut mempunyai kompetensi yang dibutuhkan. Beberapa kompetensi yang diperlukan adalah28: ƒ Pengetahuan tentang metoda pengajaran. - guru perlu memahami tujuan inti pendidikan, terutama tujuan inti setiap tahun ajaran, serta tujuan antara untuk mencapai tujuan inti tersebut; - guru perlu memahami berbagai metoda yang harus diberikan pada murid, serta struktur dan fungsinya. ƒ Pengetahuan tentang teori mengajar dan berbagai cara belajar - untuk mengembangkan strategi kerja serta strategi mengajar yang dibutuhkan sesuai gaya belajar serta kesulitan yang dihadapi anak; - guru harus juga memperhitungkan berbagai perbedaan gaya belajar anak, serta gaya belajar yang sangat individual yang dapat mempengaruhi caracara pemberian pelajaran pada anak. Ia harus mampu secara luwes dan fleksibel melayani gaya belajar anak yang berbeda-beda. ƒ Pengetahuan tentang metoda pembelajaran - guru perlu memahami berbagai kategori metoda pembelajaran; - guru mempunyai persediaan materi belajar yang dapat diberikan kepada murid; - guru selalu siap selama proses pembelajaran dalam mencapai tujuan belajar baik terhadap materi-materi reguler maupun materi tambahan ƒ Pengetahuan tentang anak berkekhususan - guru perlu memahami berbagai karakteristik anak didiknya yang mempunyai kekhususan, gangguan dan kesulitan dalam pembelajaran; - guru perlu memahami bagaimana metoda pembelajaran bagi anak-anak berkekhusuan; - guru perlu memahami dan mampu tentang cara-cara mengatasi jika terjadi kedaruratan pada anak didik (misalnya terjadi peledakan emosi pada anak). ƒ Manajemen kelas yang efektif - guru mempunyai kemampuan menguasai kelas dengan berbagai pola perilaku maupun kebutuhan; - guru mampu memberikan struktur yang jelas bagi berbagai macam pola kemampuan dan gaya belajar murid (struktur waktu, struktur materi, dan struktur ruang); - guru mampu memberikan materi berbeda-beda (kurikulum berdiferensiasi) - guru mampu menguasai kelas selama proses belajar sedapat mungkin dalam keadaan tidak ada ketegangan. Guru sebagai sahabat orang tua, tentu bukan pekerjaan mudah bagi guru sendiri. Sebab ia harus bisa memahami juga bagaimana emosi, ide, dan harapan orang tua. Mau tidak mau guru harus memahami kekhususan anak. Namun kekhususan itu mempunyai keragaman yang banyak. Satu kelompok penyandang autisme saja sudah banyak ragamnya, ADHD banyak ragamnya, terlambat bicara banyak ragamnya, Learning Disabilities banyak ragamnya, anak gifted juga banyak ragamnya. Belum yang lainnya. Bagaimana susahnya seorang guru kelas di sekolah inklusi? 28

Lihat buku: Montgomery, D (2009): Able, gifted, and talented underachiever, Wiley-Blackwel, West Sussex.

Pengalaman saya sebagai orang tua anak berkekhususan dan harus (mau tak mau) bersahabat dengan para guru, akhirnya memberikan hikmah pemahaman tersendiri bagi saya. Saya banyak belajar dari para guru. Barangkali pengalaman sekolah anak saya dapat menjadi sebuah contoh. Sekolah dasar anak saya adalah sekolah dasar negeri di bilangan Noord Holland. Taman kanak-kanak disebut grup 1 dan 229, selanjutnya SD disebut grup 3 sampai 8. Ia menggunakan pendekatan inklusi terbatas pada beberapa kekhususan (Learning Disabilities, ADHD, autisme, terlambat bicara, down syndrom, motoric disorder, dan gifted) sebanyak 30 persen dari jumlah keseluruhannya. Satu kelas terdiri dari 20 – 25 anak, dengan tiga level kecepatan/kecerdasan. Jam belajar dari jam 8.30 hingga jam 12.15. Masuk kembali jam 13.30 – 15.30. Pagi hari digunakan untuk belajar di kelas, dan siang hari diisi dengan segala macam kegiatan. Yang mendapatkan remedial teaching dilakukan pada jam ini, pengkayaan dan pendalaman bagi anak gifted, pilihan ekstra, dan juga digunakan bagi anak-anak yang harus pergi ke berbagai terapi atau intervensi (terapi gerak, terapi wicara, pelatihan emosi dan sosial), olah raga mandiri, dan sebagainya. Sekolah dengan pendekatan inklusi membutuhkan tenaga banyak, karena itu masyarakat dan orang tua diikut sertakan menjadi tenaga relawan. Saya bertahun-tahun selalu menjadi tenaga relawan di sekolah ini, dengan segala macam kegiatannya. Setidaknya di dalam kelas ada 5 – 7 anak berkekhususan, dengan kekhususan yang berbeda-beda, beragam kemampuannya. Tetapi tidak semua guru harus mampu menguasai semua kekhususan, yang tentu saja akan memberatkan. Setiap guru diwajibkan mempunyai brevet salah satu kekhususan yang menjadi minatnya. Dengan begitu di dalam sekolah itu semua guru akan saling mendukung. Guru yang mempunyai brevet kekhususan tertentu akan membawahi semua anak yang menjadi perhatiannya. Ia pula yang akan membimbing orang tua bagaimana membantu anaknya belajar. Guru ini bersama konselor akan membantu membuatkan program pendidikan individual, yang kelak akan dilaksanakan oleh guru kelas. Guru berbrevet kekhususan ini juga bertugas sebagai penjaga piket jika ada kedaruratan pada anak. Misalnya di suatu kelas, tiba-tiba anak ADHD mengalami gejolak emosi, maka guru pemegang brevet ADHD tadi segera membantu guru kelas, dan juga mengontak orang tua. Ia lah juga yang akan membantu orang tua bagaimana memecahkan permasalahan dan bersama konselor mencari bantuan selanjutnya30. Guru berbrevet kekhususan ini bisa dijadikan juga sebagai tempat bertanya dan berdiskusi bagi orang tua. Dengan cara berbagi kemampuan ilmu pendidikan anak berkekhususan seperti ini, maka guru kelas dapat terbantu dan mempunyai tempat rujukan. Pihak sekolah juga mempunyai tempat rujukan masalah ke sekolah luar biasa terdekat, untuk meminta bantuan keahlian, dan berbagai intervensi yang dibutuhkan. Sebaliknya guru kelas bisa juga mempelajari karakteristik anak dari para orang tua, karena bagaimana pun, ragam anak berkekhususan sangat luas. Dari satu anak ke anak lain bisa mempunyai gambaran yang berbeda-beda. Disini kemudian guru dan orang tua menjadi mitra pendidikan. Pendidikan di rumah dan di sekolah memerlukan strategi dan pendekatan yang simultan. Sebuah sekolah inklusi adalah sekolah yang membutuhkan banyak tenaga dan keahlian. Pengalaman saya di sekolah ini, menunjukkan betapa bermanfaatnya tenaga-tenaga 29

Taman kanak-kanak di Belanda merupakan pusat tumbuh kembang anak, dalam lembaga ini anak mendapatkan segala pemeriksaan yang berkaitan dengan kebutuhan prasyarat dan syarat pembelajaran. Dokter sekolah, ahli gerak, ahli wicara, dan psikolog akan bekerja di lembaga taman kanak-kanak ini melakukan berbagai tes-tes skrining. 30 Lihat buku: Paternotte,A & Buitelaar,J (2006): Het is ADHD – Alles over kenmerken, diagnose, behandeling, en aanpak thuis en op school, Vereniging Balans/Bohn Stafleu van Loghum, Bilthoven.

relawan dari orang tua anak berkekhususan yang telah mendapatkan pelatihan untuk membantu orang tua yang lain. Atau membantu remedial teacher menjalankan tugasnya. Orang tua berpengalaman yang sudah terlatih dapat dibimbing lebih lanjut agar ia juga dapat melatih anak-anak lain, membantu orang tua lain dalam menangani anak. Dalam upaya ini tetap diawasi bagaimana upaya-upaya ini agar berjalan sesuai dengan protokol, karena itu secara berkala diberikan penyegaran dan pelatihan tambahan31.

Membutuhkan perlindungan hukum Hukum bagi anak-anak berkekhususan dapat dibuat jika memang bentuk (diagnosa) kekhususannya sudah jelas, protokol deteksi – asesmen – diagnosa – intervensi – terapi memang sudah jelas, sistem perujukan sudah jelas. Semua harus sudah dalam bentuk protokol di bawah peraturan. Andaikan masih tidak ada kesepakatan antara banyak keilmuan, tentunya protokol dan peraturan tidak dapat dibuatkan. Jika ini semua sudah ada, maka hukum pun dapat dibuatkan dan dapat dilaksanakan. Jika tidak ada maka kita akan meletakkan benar tidaknya suatu hukum berdasarkan apa? Sampai saat ini diagnosa dapat berganti-ganti dari satu diagnotician ke diagnotician yang lain, masih sulit meminta penjelasannya, apalagi meminta bantuan hukumnya. Inilah dilema yang paling getir bagi semua orang tua yang memiliki anak berkekhususan di Indonesia. Bagaimana jika ada kasus misalnya seharusnya anak ini diperhitungkan sebagai anak gifted yang mengalami disinkronitas perkembangan, namun karena tidak ada protokolnya dan tidak ada peraturannya, lalu si anak dimasukkan saja ke kelompk autisme agar ia bisa sekolah (pokoknya sekolah) di sekolah autisme (dengan catatan bahwa gejalanya mirip dengan austisme tentunya tidak mengapa jika belajar sebagaimana anak autisme). Akibatnya si anak mengalami kefrastrasian dan berakhir dalam kondisi menarik diri dan depresi karena kebutuhannya sebagai anak gifted tidak terpenuhi. Ia tidak maju dalam pendidikan, waktunya akhirnya dihabiskan hanya dengan melamun dan berkelahi dengan orang tua, ia juga tidak mendapatkan peningkatan kemampuan sebagai bekal hidupnya. Siapa yang dapat disalahkan dalam hal ini? Hal-hal seperti ini yang sering menanggung beban kesalahan adalah orang tua sendiri. Bagaimana jika dalam suatu kasus salah diagnosa, lalu si anak harus menerima berbagai terapi dan intervensi yang sebetulnya bukan untuknya? Suatu terapi non-EBP yang radikal. Ia pun meninggal dunia. Lalu siapa yang dapat dipersalahkan? Orang tua, dengan alasan karena terapi non-EBP memang tidak ada protokolnya hanya berdasarkan kesepakatan antara orang tua dan pemberi jasa pelayanan? Apakah orang tua dapat dituntut ke muka pengadilan, sementara ia adalah seseorang yang lugu yang sudah mendapatkan informasi yang memang salah. Satu-satunya jalan yang dapat melindungi anak-anak ini adalah etika dari para profesi dan praktisi dalam menjalankan tugasnya, namun jika etika tidak didukung dengan moral yang dapat menjalankan etika dengan baik, maka anak akan menjadi korban. Anak juga 31

Pengalaman dengan anak terlambat bicara ini antara lain, anak saya selain mendapatkan pelatihan bahasa dan bicara oleh terapis wicara (logopedist) juga mendapatkan bantuan dari orang tua lain dalam uapaya latihan tehnik membaca, mengeja, kecepatan membaca, dan pemahaman bacaan. Latihan dari tenaga relawan ini setelah anak mendapatkan training dan pelatiahn dari guru remedial, dan kemudian dilanjutkan oleh tenaga relawan. Dengan menggunakan IEP, sampai batas waktu dan tujuan pelatihan dicapai. Kemudian dilakukan evaluasi, apakah pelatihan masih dilanjutkan, di perbaharui, ataukah sudah cukup dan dihentikan.

menjadi korban akibat keluguan orang tua (umumnya memang lugu karena awam) yang tidak memahami seluk beluk tentang anak-anak berkekhususan ini. Keluguannya akan membawanya dengan mudah menerima segala macam tawaran yang non-EBP, bahkan mudah terintimidasi oleh penjaja terapi non-EBP. Kata-kata yang bernada intimidasi seperti: “Kalau anaknya tidak diterapi nanti malah mundur” atau “Kalau tidak diterapi nanti anaknya begini-begini saja” Padahal anaknya belum tentu membutuhkan terapi yang ditawarkan. Karena diagnosanya masih tidak jelas. Atau bentuk intimidasi lain, semisal didapatkan anaknya masih takut memanjat tangga, atau memasuki ruang gelap, dikatakan bahwa si anak masih autis dan masih terus memerlukan terapi. Keluguan orang tua terhadap gejala dan kriteria autisme sudah menyebabkan orang tua terpontang panting membawa (dan membayar) ke tempat-tempat terapi dengan harapan anaknya sembuh dari gangguannya (yang juga belum tentu). Hal yang sering ditemukan juga, teori yang mendukung adalah teori yang tidak termasuk dalam pembahasan scientific, seperti misalnya gangguan belajar disebabkan karena masa bayi tidak melalui masa merangkak. Maka terapi yang diberikan kepada si anak adalah si anak setiap hari harus merangkak 500 meter (padahal si anak sudah berusia di atas enam tahun), dengan maksud agar struktur otak yang salah (akibat tidak merangkak) dapat diperbaiki (suatu hal yang tidaklah mungkin). Janji-janji muluk bahwa si anak bila diterapi dengan telaten bisa menjadi normal, bisa masuk sekolah mainstream, atau bahkan akan menjadi cerdas, tanpa lagi memperhatikan berat ringannya gangguan, jelas tindakan kurang beretika ini hanya menggelincirkan harapan orang tua. Dengan kata lain bahwa, anak-anak berkekhususan Indonesia tidak seorang pun yang mempunyai perlindungan hukum. Lalu bagaimana orang tua dan anak dapat hidup nyaman? Tidak adanya hukum bagi perlindungan anak, maka orang tua dituntut untuk terus menerus belajar dalam track penanganan yang tidak merugikan anak, aman, efektif dan efiesien. Disinilah pentingnya adanya lembaga yang mampu memberikan informasi yang EBP. Tidak banyak tenaga ahli terutama dalam bidang anak berkekhususan yang bersedia meluangkan waktunya secara sukarela terus menerus membantu masyarakat memberikan informasi yang EBP.

Membutuhkan pendampingan dan bimbingan Bukan rahasia jika orang tua anak berkekhususan mengalami stress berkepanjangan dalam upaya mencari informasi, diagnosa, intervensi yang tepat, dan juga pendidikan yang tepat. Lebih stress lagi jika segala sesuatu yang dihadapi penuh tanda tanya yang tidak pernah terjawab. Belum lagi percekcokan pendapat antara suami istri, pihak sekolah, terapis, maupun pihak profesi dan praktisi yang membantu. Sekali lagi, ilmu anak berkekhususan adalah ilmu yang masih muda, tengah berkembang, ahlinya sedikit, dan masih terlalu banyak pertanyaan. Buat orang tua yang cerdas dan berpendidikan masih bisa mencari tahu melalui berbagai jurnal-jurnal ilmiah atau buku-buku ilmiah maupun panduan yang banyak mengupas tentang anak berkekhususan. Bagi orang tua yang sulit mendapatkan akses dan sulit membaca artikel-artikel berbahasa asing maupun ilmiah baginya sungguh sulit memahami masalah kekhususan ini. Karena itu, orang tua anak berkekhususan sungguh sangat memerlukan pendampingan dan bimbingan dari seorang ahli dibidang kekukhsusuan anaknya.

Pengalaman menjadi orang tua anak berkekhususan di Eropa bagi saya membawa hikmah tersendiri, memahami betapa pentingnya informasi, pendampingan dan bimbingan di track yang benar. Sebab tidak jarang banyak orang tua sekalipun di Eropa kurang beruntung mendapatkan penbimbing yang tepat. Walaupun dibutuhkan tenaga pendamping dan pembimbing ini yang dapat ditanyai terus menerus, nyatanya tidak bisa hanya satu orang pendamping atau pembimbing saja. Karena banyak masalah yang harus dihadapinya. Pemdambing dan pembimbing yang sungguh sangat penting adalah seorang yang mampu memberikan family counceling, baik ia seorang psikolog maupun orthopedagog. Bagaimanapun, mempunyai anak berkekhususan adalah tugas yang berat bagi orang tua, apalagi jika masalahnya masih penuh tanda tanya. Maka perdebatan antara suami istri sering terjadi. Dalam hal ini orang tua perlu mawas diri jangan sampai masalah anak dapat menyulut percekcokan dalam rumah tangga, yang mengakibatkan perceraian. Tugas seorang psikolog atau orthopedagoglah untuk memberikan penjelasan-penjelasan bagaimana duduk perkaranya, dan jalan mana yang harus dipilih dengan aman. Kedua suami istri harus mempunyai kata sepakat dalam menghadapi anak, bila tidak, kerugian dapat terjadi bukan saja bagi pasangan suami istri tetapi juga bagi anak itu sendiri. Pendampingan dan bimbingan juga penting dalam membantu orang tua memahami gejala anak, memberikan pengertian-pengertian antar satu diagnosa dengan diagnosa yang lain. Dalam hal ini diperlukan tenaga yang mempunyai pengetahuan luas tentang anak berkekhususan. Tidak jarang terjadi terjadi beda pendapat antara orang tua dan pihak sekolah, maka untuk mengatasi ini semua pihak harus duduk bersama mendiskusikan jalan mana yang paling realis dapat ditempuh. Bagaimana pun anak berkekhususan mempunyai keragaman yang luas, karena itu dari satu kasus ke kasus lain bisa berbeda, karena itu tidak ada satupun protokol yang baku yang bisa cocok untuk semua anak. Jalan yang bisa ditempuh adalah dengan cara memerlukan diskusi yang menyeluruh atas gambaran anak, dan kesepakatan di semua pihak.

Harapan orang tua sebagai konsumen kesehatan dan pendidikan (suatu solusi) Kita semua menyadari begitu banyak masalah yang dihadapi dunia anak berkekhususan. Masalah itu bisa ada dimana-mana. Mulai dari rumah, sekolah, ruang klinik, rumah terapi, maupun di lingkungannya. Memecahkan masalah ini dan mencari jalan keluar yang paling realis dan dapat dilaksanakan, tidak bisa sepotong-sepotong tambal sulam, dan tidak ada tujuan akhir. Karena itu solusi yang perlu kita pikirkan adalah melihat dahulu permasalahannya secara garis besar, untuk kemudian dapat dilihat perkategori persoalan. Dari sana kita bisa mengambil langkah tujuan antara yang perlu dicapai. Sekalipun menyadari bahwa solusi persoalan anak berkekhususan tidak dapat dengan waktu sekejap dapat diatasi, namun setidaknya gambaran secara global dapat memberikan arahan kepada kita. Beberapa hal yang dapat dicatat adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya kerjasama antar departemen (kesehatan dan pendidikan) dalam hal penyusunan protokol anak berkekhususan. Bagaimanapun masalah anak berkekhusuan adalah masalah kesehatan dan pendidikan. 2. Adanya lembaga khusus sebagai jembatan dari kedua departemen tersebut. 3. Masing-masing departemen baik departemen kesehatan maupun departemen pendidikan mempunyai lembaga yang mengkhususkan diri pada anak-anak berkekhususan. Lembaga di bawah departemen kesehatan melaksanakan pendeteksian, asesmen, diagnosa, intervensi sesuai dengan bidang kesehatan. Begitu juga lembaga di bawah departemen pendidikan, mempunyai lembaga yang berkaitan dengan masalah pendidikan (lembaga bantuan psikologi-pedagogi). Namun kedua lembaga itu membangun sistem perujukan guna menangani masalah yang ada. 4. Peningkatan peranan berbagai profesi yang berkaitan dengan perkembangan anak dan pendidikan anak berkekhususan. 5. Guna membangun lembaga bantuan psikologi-pedagogi maka diperlukan penambahan kurikulum terpadu antara bidang psikologi dan pedagogi tentang anak-anak berkekhususan yang tujuannya adalah bagaimana menanganinya dalam pendidikan (penanganan pedagogik). 6. Perlu adanya lembaga yang memberikan lisensi yang tegas tentang penanganan anakanak berkekhususan secara pedagogis (tenaga orthopedagogi). Menimbang masalah ini akan menyangkut pada sistem pendeteksian, pendiagnosisan, dan intervensinya, maka tenaga ini memerlukan kestandartan kerja dan lisensi. 7. Perlu adanya ketegasan dalam sistem rujukan beserta protokolnya. 8. Perlu diadakan lembaga informasi dan lembaga intervensi anak berkekhususan yang menekankan pada EBP. 9. Perlu diadakan perekrutan relawan-relawan yang membantu orang tua serta mendirikan badan-badan relawan ini di bawah naungan universitas.

Lampiran Usulan pemecahan masalah dari kelompok diskusi orang tua anak gifted [email protected] kepada Staf Ahli Deputy Kesra Wapres RI (2009).

_______________________________________________________________________