pergeseran kurikulum madrasah dalam undang-undang sistem ...

51 downloads 943 Views 2MB Size Report
Kedua, menyatakan bahwa perencanaan, perubahan dan pergeseran kurikulum dipengaruhi faktor politik, bahkan struktur politik masuk dalam situasi.
PERGESERAN KURIKULUM MADRASAH DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DISERTASI Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan Islam

Oleh: Muhajir NIM. 06.3.00.1.03.01.0019

PROMOTOR: 1. PROF. DR. SUWITO, MA 2. PROF. DR. M. HUSNI RAHIM

SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI

Disertasi berjudul: “Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional”, yang ditulis oleh Sdr. Muhajir, NIM. 06.3.00.1.03.01.0019 telah diperbaiki sesuai saran dan masukan-masukan Tim Penguji Ujian Pendahuluan tanggal 08 Nopember 2010. Demikian untuk dimaklumi.

Tim Penguji: Dr. Yusuf Rahman (Ketua Sidang/Penguji)

(………………...............) Tgl. ……………………..

Prof. Dr. Suwito, MA. (Pembimbing/Penguji)

(………………………...) Tgl. ……………………..

Prof. Dr. M. Husni Rahim (Pembimbing/Penguji)

(………………………...) Tgl. ……………………..

Prof. Dr. Ana Suhaenah Suparno (Penguji)

(………………………...) Tgl. ……………………..

Prof. Dr. A. Malik Fadjar, M. Sc. (Penguji)

(………………………...) Tgl. ……………………..

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. (Penguji)

(………………………...) Tgl. ……………………..

iii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: Muhajir

Tempat/Tgl Lahir

: Kebumen, 28 Desember 1970

NIM

: 06.3.00.00.1.03.0019

Program

: Doktor

Program Studi

: Pengkajian Islam

Konsentrasi

: Pendidikan Islam

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang berjudul: Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah benar asli karya saya sendiri, kecuali kuipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Dan jika karya ini terbukti plagiat, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk pencabutan gelar akademik. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, Oktober 2010 Yang membuat pernyataan

Muhajir NIM. 06.3.00.1.03.01.0019

ii

ABSTRAK Kesimpulan besar disertasi ini menunjukkan bahwa pergeseran kurikulum lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Walaupun tidak menafikan faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam mempengaruhi pergeseran kurikulum seperti faktor agama (ideologi), sosial, ekonomi dan budaya. Namun ending diputuskannya pergeseran kurikulum lebih dominan dipengaruhi oleh suatu kebijakan pemerintah yang merupakan penjabaran dari undang-undang dan tidak jauh ditetapkannya undang-undang karena syarat muatan politis. Temuan ini didasarkan oleh dua pendapat yang berbeda dalam membicarakan faktor yang mempengaruhi pergeseran kurikulum, yaitu pertama, bahwa pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi (agama), sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi bahkan faktor intern pendidikan itu sendiri. Pendapat ini dikemukakan Larry Cuban dalam Hand Book of Research on Curriculum, yang di edit oleh Philip W. Jakson. Sebagaimana Cuban, Audrey Osler dalam Schooling Society and Curriculum, yang diedit oleh Alex More, juga memperkuat pendapat ini. Dalam edisi Indonesia, Anwar Jasin ketika menulis disertasinya, Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisis Perkembangan Tentang Perubahan Konseptual Kurikulum SD Sejak Proklamasi Kemerdekaan, dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan, juga identik dengan Cuban dan Audrey. Kedua, menyatakan bahwa perencanaan, perubahan dan pergeseran kurikulum dipengaruhi faktor politik, bahkan struktur politik masuk dalam situasi pendidikan. Pendapat ini dinyatakan oleh John I. Goodlad, dalam The Curriculum Studies Reader, yang diedit oleh David J. Flinders dan Stephen J. Thornton. Pernyataan Goodlad dipertegas oleh A.V. Kelly dalam The Curriculum Theory and Practice. Temuan dalam disertasi ini adalah bahwa pergeseran kurikulum lebih dipengaruhi faktor politik. Dengan demikian disertasi ini hendak memperkuat pendapat Goodlad dan Kelly, dengan satu revisi bahwa faktor politik bukan satusatunya faktor yang dapat mempengaruhi pergeseran kurikulum, karena masih ada faktor lain, yaitu ideologi (agama), sosial, ekonomi dan budaya. Disertasi ini hendak mempertegas bahwa faktor politik lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum. Temuan di dalam disertasi ini didasarkan pada sumber-sumber primer, yaitu dokumen kurikulum Madrasah Aliyah dari tahun 1950-2006, yang di dalamnya terdiri dari kurikulum Madrasah Aliyah sebelum muncul secara nasional, kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1973, 1975/1976, 1984, 1994, 2004 dan 2006. Sumbersumber ini merupakan sumber primer yang relevan dengan Madrasah Aliyah. Disamping kurikulum Madrasah Aliyah juga, tiga Undang-Undang Pendidikan yaitu Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954, UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UUSPN No. 20 Tahun 2003. Adapun sumber-sumber pendukung yang mengarahkan disertasi ini adalah tulisan John I. Goodlad dalam The Curriculum Studies Reader, yang diedit oleh David J. Flinders dan Stephen J. iv

Thornton (2004) dan bukunya A.V. Kelly dalam The Curriculum Theory and Practice (2004). Dua orang ini yang teorinya akan diperkuat oleh disertasi ini. Untuk membaca sumber-sumber yang ada, semua kurikulum Madrasah Aliyah dari tahun 1950-2006 yang didokumentasikan diletakkan secara kronologis sesuai periodesasi. Karakteristik Madrasah Aliyah, dan kebijakan pendidikan pemerintah yang mempengaruhi pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah, include faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah. Termasuk faktor yang dominan mempengaruhi kurikulum Madrasah Aliyah. Kesemuanya itu diletakkan dalam konteks historis (sejarah), dengan menggunakan pendekatan sejarah, kemudian dianalisis menggunakan metode komparasi (perbandingan) dan content analysis.

v

Abstract The great conclusion of this dissertation is that the curriculum shift is dominantly influenced by political factor even though other factors such as religion, ideology, social, economy, and culture also play an important role on it. However, the decision of the curriculum shift is dominantly influenced by the government policy as the spelling out of the constitution. To decide of the law and regulation is often due to the political interest. This finding is based on two different views on the factors that influence the curriculum shift. Firstly, the curriculum shift is influenced by ideological (religious), social, political, economical, cultural, and technological factors; indeed, the internal factor of the education itself influences the curriculum shift as well. This view is stated by Larry Cuban in his work’s Hand Book of Research on Curriculum which is edited by Philip W. Jakson. Audrey Osler in his work’s Schooling Society and Curriculum edited by Alex More also supports this opinion. Similar to Cuban and Osler’s opinions, Anwar Jasin in his dissertation’s Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisis Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum SD sejak Proklamasi Kemerdekaan, dengan Menggunakan Bahan-Bahan yang Relevan, also has the same opinion. Secondly, it is stated that the planning, the change, and the shift of curriculum are influenced by political factor; indeed, the structure of politics enter into the educational situation. This opinion is stated by John l. Goodlad in his work’s The Curriculum Studies Reader edited by David J. Flinders and Stephen J. Thornton. Goodlad’s statement is asserted by A.V. Kelly in his work’s The Curriculum Theory and Practice. The finding of this dissertation is that the curriculum shift is more influenced by political factor. Therefore, this dissertation will strengthen both Goodlad and Kelly’s views with one revision that political factor is not the only one that influences the curriculum shift. There are other factors that influence the curriculum shift: ideological (religious), social, economical, and cultural factors. This dissertation shows that political factor becomes more dominant in influencing the curriculum shift. The finding of this dissertation is based on the primary sources, i.e. the documents of curriculum of Madrasah Aliyah (Islamic Senior High School) from 1950-2006. These documents consist of the curriculum of Madrasah Aliyah before it nationally appears, the 1973, 1975/1976, 1984, 1994, 2004 and 2006 curriculums. These are the primary sources which are relevant to Madrasah Aliyah. Besides the curriculum of Madrasah Aliyah as stated above, the three laws of education, i.e. the laws of education of 1950 No. 4 Jo UU of 1954 No. 12, the laws of National Educational System (UUSPN) of 1989 No.2 and UUSPN of 2003 No.20, become other primary sources for this dissertation. Moreover, the works of John l. Goodlad’s The Curriculum Studies Reader edited by David J. Flinders and Stephen J. Thornton (2004) and A.V. Kelly’s The Curriculum Theory and Practice (2004) become the vi

secondary sources of this dissertation. The theories of both of the two writers will be strengthened by this dissertation. To read the available sources, all of the curriculum of Madrasah Aliyah from 1950-2006 documented is put chronologically based on its periods. The characteristics of Madrasah Aliyah and the government policy on education become the factors influencing the curriculum shift of Madrasah Aliyah. Both of them dominantly influence the curriculum of Madrasah Aliyah. All of them is explained in the historical context by using historical approach and be analyzed by using comparative method and content analysis.

vii

Kata Pengantar Mengawali karya ilmiah ini saya ingin memanjatkan puji syukur kehadlirat Allah SWT, karena atas rid}a dan ‘ina>yah-Nya jualah disertasi yang berjudul: “Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini sengaja dibuat untuk diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam (Pendidikan Islam) di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang ikut berperan dalam proses penyelesaian studi di Sekolah Pascasarjana ini. Mereka itu antara lain sebagai berikut: 1. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atas asuhan dan kepemimpinannya, baik selama saya menjalani masa-masa perkuliahan maupun andilnya dalam keberhasilan studi saya. 2. Dirjen Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, yang telah mengizinkan saya untuk menempuh pendidikan S3 pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. H. M. A. Tihami, MA., MM., Rektor IAIN “SMH” Banten, yang telah memberi restu dan mengizinkan saya untuk menempuh studi S3, dimana IAIN “SMH” Banten merupakan institusi tempat mengabdikan keilmuan saya di dalamnya. Institusi ini jualah yang memberikan sebagian support dana dan motivasi kepada saya sehingga dapat menyelesaikan studi S3 ini. 4. Prof. Dr. Suwito, MA dan Prof. Dr. Husni Rahim, MA, dalam kedudukannya dan peran pentingnya sebagai promotor saya, yang telah dengan kesabaran dan ketelitiannya menunjukkan serta mengarahkan penulisan disertasi saya ini, sehingga berhasil dan selesai ditulis.

x

5. Semua guru besar, para dosen dan semua staf Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyampaikan ilmu dengan tulus ikhlas kepada saya. Juga semua staf di bagian akademik yang telah memberikan pelayanan administrasinya dengan baik. 6. Perpustakaan Kementerian Agama, perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan UNJ, dan Pusat Kurikulum (Puskur) Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah andil besar dalam menyediakan rujukan-rujukan khususnya tentang kurikulum,

sehingga saya dapat

menyelesaiakan tulisan disertasi ini. 7. Para ulama, cendekiawan dan ilmuwan yang tulisannya dijadikan rujukan oleh saya dalam penulisan disertasi ini. Untuk para sahabat yang ada di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam saat-saat kuliah yang penuh kenangan, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu namanya dalam lembar pengantar ini, saya hanya dapat berdo’a semoga amal shaleh mereka di terima sebagai amal akherat yang kekal abadi. Amin. Disertasi ini secara khusus saya dedikasikan kepada Abi, Umi, isteri (Tri Yuni Hartati), dan anak-anak saya yang shaleh (Faiz Arfan Bahar dan Faza Farzanggi Muhajir), yang dengan segala ketulusan serta kelonggaran kalbunya memberi motivasi, do’a dan rasa cinta kasih sejati kepada saya. Inilah salah satu sumber energi saya yang tak pernah habis dan kering serta selalu menunjukkan untuk melakukan yang terbaik. Semoga Allah senantiasa memberikan hida>yah dan ma‘u>nah-Nya, perjuangan sungguh-sungguh mereka, meskipun harus hidup tertatih-tatih di tengah kesulitan dan penderitaan yang besar di dunia ini. Amin. Ciputat, Oktober 2010 Penulis

Muhajir

xi

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN .......................................................................................

i

KATA PENGANTAR .................................................................................

ii

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................

iv

DAFTAR ISI ...............................................................................................

v

BAB I

PENDAHULUAN .........................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................

1

B. Permasalahan............................................................................

10

1.

Identifikasi Masalah..........................................................

10

2.

Pembatasan Masalah .........................................................

11

3.

Perumusan Masalah ...........................................................

13

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ...........................................

13

D. Kajian Pustaka ..........................................................................

15

E. Metodologi Penelitian ...............................................................

25

F. Sistimatika Pembahasan............................................................

28

BAB II PERGESERAN KURIKULUM DALAM PERDEBATAN...…

31

A. Pergeseran Kurikulum Adalah Sebuah Keniscayaan.................

31

B. Pergeseran, Inovasi, Pengembangan dan Perubahan Kurikulum

36

C. Dua Pendapat yang Berbeda .....................................................

47

1. Pergeseran Kurikulum Dipengaruhi oleh Faktor Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Agama ....................

48

2. Pergeseran Kurikulum Dipengaruhi oleh Faktor Politik, Bahkan Situasi Politik Masuk dalam Situasi Pendidikan .....

v

53

BAB III KARAKTERISTIK KURIKULUM MADRASAH ALIYAH .

62

A. Masa Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954 ........................................................

70

1. Kurikulum MA Sebelum Tahun 1972: Dominasi Muatan Agama ...................................................................

70

2. Kurikulum MA Tahun 1973: Dominasi Muatan Umum ......

87

3. Kurikulum MA 1975: Dominasi Muatan Umum Secara Politis Memperkuat Pengakuan Pemerintah Terhadap Eksistensi Lembaga Madrasah ............................................

92

4. Kurikulum MA 1984: Pemantapan Dominasi Muatan Umum SKB Tiga Menteri dalam Menggiring Madrasah Menjadi Bagian dari Sistem Pendidikan Nasional ...............

98

B. Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989............................................................................... 103 1. Kurikulum MA 1994: Sekolah Umum Berciri Khas Islam .. 103 C. Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003............................................................................... 113 1. Kurikulum MA 2004: Mempertahankan Ciri Khas ke-Islaman Sebagai Karakteristik Asli Madrasah ................ 113 2. Kurikulum MA 2006: Modifikasi Ciri Khas ke-Islaman dengan Penciptaan Suasana Keagamaan di Madrasah.......... 126

BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH TERHADAP PERGESERAN KURIKULUM MADRASAH ALIYAH................................................................. 137 A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Kurikulum ....... 137 1.

Faktor Agama (Ideologi).................................................... 137

2.

Faktor Sosial...................................................................... 144

vi

3.

Faktor Ekonomi ................................................................. 151

4.

Faktor Budaya ................................................................... 154

B. Dominasi Faktor Politik ............................................................ 158 C. Tarik Menarik Kepentingan Partai Politik dalam Pendidikan .... 164 D. Kebijakan Politis Pemerintah dalam Kurikulum Madrasah........ 174 E. Tafsir Pergeseran ...................................................................... 203 1.

Bergeser Sebagaian Komponen Kurikulum ........................ 203

2.

Bergeser Seluruh Komponen Kurikulum............................ 204

F. Indikator Pergeseran ................................................................. 204 1. Tujuan Kurikulum Madrasah Aliyah ................................... 204 2. Isi Kurikulum Madrasah Aliyah .......................................... 218 3. Pendekatan Kurikulum Madrasah Aliyah ............................ 242 4. Evaluasi Kurikulum Madrasah Aliyah................................. 252

BAB V KURIKULUM MADRASAH ALIYAH MASA DEPAN............ 262 A. Tuntutan Pembaharuan Pendidikan Madrasah Aliyah: Upaya Mempertahankan Sisi Politis ......................................... 262 B. Tuntutan Integritas: Menepis Dikotomi Ilmu Menyusun Keilmuan yang Ideal dalam Rangka Mewujudkan Kekuatan politis ....................................................................................... 270 C. Tuntutan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ....... 278 D. Tantangan Modernitas .............................................................. 284

BAB VI PENUTUP.................................................................................... 289 A. Kesimpulan............................................................................ 289 B. Saran ..................................................................................... 291

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 293

vii

LAMPIRAN-LAMPIRAN .......................................................................... 320 DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... 351

viii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi berjudul: Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional yang ditulis oleh Sdr. Muhajir, NIM. 06.3.00.1.03.01.0019

telah

diperbaiki

sesuai

saran

dan

masukan-masukan

pembimbing. Demikian untuk dimaklumi.

Jakarta, Oktober 2010 Pembimbing

Prof. Dr. Suwito, MA

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi berjudul: Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional yang ditulis oleh Sdr. Muhajir, NIM. 06.3.00.1.03.01.0019

telah

diperbaiki

sesuai

saran

dan

masukan-masukan

pembimbing. Demikian untuk dimaklumi.

Jakarta, Oktober 2010 Pembimbing

Prof. Dr. Husni Rahim, MA

iv

346

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Nama lengkap

: Muhajir

Tempat/tanggal lahir

: Kebumen, 28 Desember 1970

Jenis kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat Asal

: Gandusari, R.T. 02 R.W. 04 Kuwarasan, Kebumen Jawa Tengah.

Alamat Sekarang

: Perumahan Taman Banjar Agung Indah Blok D-6 No. 02 Serang, Banten.

Alamat e-mail

: [email protected]

Alamat Kantor

: Fakultas Tarbiyah IAIN “SMH” Banten Jl. Jend. Sudirman No. 30 Serang 42118.

Telp.

: Hp. 08121907168 Rumah 0254-284154

B. Keluarga Orang Tua : 1. Bapak

: Achmad Suyuthi

2. Ibu

: Siti Aminah (almarhumah)

Mertua : 1. Bapak

: Basrudin

2. Ibu

: Ratimah

Isteri

: Tri Yuni Hartati, A.Md.

Anak

: 1. Faiz Arfan Bahar (11 Pebruari 2003) 2. Faza Farzanggi Muhajir (29 September 2008)

347

C. Riwayat Pendidikan I. Pendidikan Formal 1. SD Negeri Gandusari, Kebumen, lulus tahun 1984. 2. MTs Negeri Purwosari, Rowokele, Kebumen, lulus tahun 1987. 3. PGA Negeri Kebumen, lulus tahun 1990. 4. S1 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fak. Tarbiyah Jur. PAI, lulus tahun 1995. 5. S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Pendidikan Islam, lulus tahun 2003. 6. S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Pendidikan Islam, lulus tahun 2010. II. Pendidikan Non Formal 1. Madrasah Diniyah Pondok Gebangsari, Kebumen, 3 tahun, dari tahun 1978 –1981. 2. Madrasah Diniyah Kuwarasan Kebumen, 5 tahun, dari tahun 1982-1987. 3. Pondok Pesantren “Al-Huda” Jetis Kutosari, Kebumen, 3 tahun, dari tahun 1987-1990. 4. Pondok Pesantren Mahasiswa (Wahid Hasyim) Gaten Condong Catur, Yogyakarta, 2 tahun, dari tahun 1991-1993.

D. Kegiatan Ilmiah dan Penelitian 1. Diskusi bulanan di KAPGAN Kebumen, 5 tahun, dari tahun 1990 –1995. 2. Diskusi bulanan Pendidikan Islam di KD-PAI-6 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3 tahun, dari tahun 1991-1993. 3. Peserta seminar “Tantangan Pendidikan Islam pada Era Global” di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, tahun 1993. 4. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, selama 10 hari, tahun 1994, di Wisma Sejahtera Kaliurang Yogyakarta. 5. Peserta seminar “Prospek Pendidikan Islam di Era Global” di IKIP Yogyakarta, utusan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1993.

348

6. Diskusi mingguan Program Studi Pendidikan Islam di KDPI-Pasca UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 tahun, dari tahun 2000 – 2002. 7. Peserta seminar “The Reconstruction of Syari’a in The Islamic State”, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2003. 8. Peserta bedah buku “Pemikiran Syari’ah Hasan al-Bana”, di Islamic Centre Bekasi, tahun 2003. 9. Penelitian untuk para peneliti tingkat lanjut, Dosen IAIN “SMH” Banten, di Anyer, tahun 2007. 10. Pembicara seminar pendidikan “Metamorfosis Mutu Pendidikan Banten: Kurikulum, Mutu Guru dan Budaya Lokal banten”, tahun 2009. 11. Pembicara Seminar pendidikan “Menguak Rahasia Pendidikan ala Rasulullah”, 2010.

E. Tulisan Ilmiah I. Tulisan Yang di Publikasikan 1. “Perjumpaan Sufisme dan Agama-agama Lain”, dipulikasikan oleh Majalah Bulanan Departemen Agama Jawa Barat “Media Pembinaan”, No. 08/XXVIII November 2001. 2. “Pendidikan Sebagai Media Transformasi Budaya (Renungan Bagi Para Pendidik dan Penyelenggara Pendidikan Dalam Menyambut Tahun Pelajaran Baru 2002/2003)”, “Media Pembinaan”. 3. “Madrasah di Makkah dan Madinah”, Jurnal Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan, “Al-Qalam”, Vol. 20/No. 98, 99/Juli-Desember 2003, Serang: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IAIN “SMH” Banten, 2003. 4. Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah dalam Sejarah Pendidikan Islam, pada Periode Klasik dan Pertengahan, Prof. Dr. H. Abudin Nata, MA. (Ed.), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

349

5. Ibnu Khaldun (1332-1402 M): Prinsip dan Metode Pengajaran, dalam Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Prof. Dr. Suwito, MA. dan Fauzan, MA. (Ed.), Bandung: Angkasa, 2003. 6. Kurikulum Madrasah Orde Reformasi – 2007: Analisis Pengembangan dan Pembaharuan ke Arah Modern, Jurnal Ke-Islaman, Kemasyarakatan dan Kebudayaan, “Tazkia”, Vol. IX No. 02, 2008. II. Dalam Bentuk Skripsi, Tesis dan Disertasi 1. “Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an (Studi Tentang Materi dan Metode)”, Skripsi S1, 1995. 2. “Pendidikan Jasmani Dalam Perspektif Islam”, Tesis S2, 2003. 3. “Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional”, Angkatan 2006.

F. Riwayat Pekerjaan 1.

Direktur TPA “Al-Huda”, Klitren Lor Yogyakarta, tahun 1992 – 1993.

2.

Guru Privat Keluarga dari Yayasan Tunas Melati Yogyakarta, tahun 1992 – 1995.

3.

Guru al-Qur’an pada Program Pemberantasan Baca Tulis al-Qur’an se SD Klitren Lor Yogyakarta, tahun 1993 – 1994.

4.

Distributor PT. Amindoway Jaya, tahun 1993.

5.

Marketing Supervisor PT. Cahaya Matahari Timur Yogyakarta, tahun 1994.

6.

Kepala Cabang PT. Cahaya Matahari Timur di Kebumen, tahun 1994 (6 bulan).

7.

Anggota ASBI (Asosiasi Sarang Burung Walet Indonesia), tahun 1994 –1995.

8.

Cyper Operator di Subur Tiasa Playwood Sdn. Bhd., Sibu East Malaysia, tahun 1996.

9.

Boyler Operator di Azaz Mahir Sdn. Bhd., Bintulu East Malaysia, tahun 1997.

10. TU MI Asy-Syuhada Jakarta, tahun 1998 (3 bulan). 11. Guru MI Asy-Syuhada Jakarta, tahun 1998-1999. 12. Dosen STAI Al-Ghuraba’ Jakarta, tahun 1998-1999.

350

13. Guru (PNS) MTs Negeri Rengasdengklok, Karawang, tahun 1999 –2003. 14. Dosen STAI Darul Qalam Tangerang dan Bekasi, tahun 1999 – 2007. 15. Dosen PGSD dan PGTK Darul Qalam Cut Mutia Bekasi, Islamic Centre Bekasi dan Tanjung Barat Jakarta, tahun 1999 – 2007. 16. Dosen STIMIK Kharisma Karawang, tahun 2000 – 2003. 17. Dosen Tetap (PNS) pada Fakultas Tarbiyah dan Adab IAIN “SMH” Banten Serang, tahun 2003 – sekarang. 18. Ketua Badan Pelaksana Harian PGTK/RA-PGSD/MI STAIKHA “Nur El-Qolam” untuk kampus Serang, Cilegon dan Jayanti, tahun 2005 – 2008. 19. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) TIARA Jakarta mulai Januari 2008-2009. 20. Badan Pembina Yayasan “Nur El-Qolam” Banten, tahun 2005-2009. 21. Ketua Yayasan “Nur El-Qolam” Banten, 2009-sekarang.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pada tahun 1950-an, kurikulum1 yang diselenggarakan madrasah, menurut laporan Steenbrink

sepertiganya terdiri dari pelajaran agama, sedang sisanya

merupakan pelajaran umum. 2 Berarti, pelajaran umum dua pertiganya. Hal ini didukung pernyataan pemerintah

dalam Undang-Undang 1950 pasal 10 yang

menyebutkan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah memenuhi kewajiban belajar.3 Bukti madrasah semakin tidak mendominasi mata pelajaran Agama, ketika KH. Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama tahun 1949–1952, supaya memasukkan tujuh pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu mata pelajaran Membaca-Menulis (latin), Berhitung, Bahasa Indonesia, Sejarah, Ilmu Bumi dan Olahraga.4 Ketika Departemen Agama dipimpin oleh KH. Moh. Ilyas (1953-1959) mengadakan pembaharuan sistem pendidikan madrasah dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 tahun. Tujuan dari MWB ini diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa, yaitu untuk kemajuan di bidang ekonomi, industri dan transmigrasi dengan kurikulum yang menyelaraskan tiga perkembangan yaitu perkembangan otak, perkembangan hati dan keprigelan tangan/ketrampilan (three H:

1

Caswell dan Campbell mengatakan bahwa Kurikulum adalah seluruh pengalaman siswa di bawah bimbingan para guru. Saylor dan Alexander memberikan penguat, bahwa kurikulum didasarkan pada semua kesempatan belajar yang disediakan oleh sekolah. Lihat, Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum (New York: Macmillan Publishing Company, 1999), 4. 2

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1996), 96. 3

Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 88.

4

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 26.

1

heart, head, hand).5 Senada dengan tujuan MWB, seperti dijelaskan oleh Plato, bahwa suatu bangsa harus mempunyai konsep/teori pendidikan yang mendalam. Hal itu ditujukan dengan metode pengajaran, membangun teori ilmu pengetahuan, kerangka kurikulum pendidikan, pendidikan dalam peran sosial dan analisis manusia secara alamiah.6 Baru setelah keluar Keputusan Menteri Agama No. 52 Tahun 1971, dirumuskanlah Kurikulum di Cibogo yang diberlakukan secara nasional. Dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian dikenal dengan kurikulum 1973.7 Dari struktur materi yang ditawarkan kurikulum itu, menurut cacatan Maksum, sudah cukup mencerminkan perkembangan yang serius dalam rangka mengarahkan madrasah sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Komponen-komponen kurikulum itu meliputi tidak saja mata-mata pelajaran agama, tetapi juga mata-mata pelajaran umum dan mata-mata pelajaran kejuruan. 8 Mata pelajaran agama dan umum saja menurut penulis tidak cukup karena implementasi keduanya sangat penting –teori dan praktek– kesimpulan ini diyakini oleh Bobbit, bahwa content (materi) yang diberikan kurikulum harus dapat diketahui (secara teori) dan diaplikasikan (secara praktek), teori dan praktek hendaklah menjadi scope dan sequence kurikulum (Madrasah Aliyah).9 Perlu diketahui bahwa perubahan kurikulum madrasah (Madrasah Aliyah/MA) terkait dengan gerakan pembaharuan pendidikan Islam. Seperti madrasah-madrasah Diniyah yang ada di Padang Panjang. Madrasah-madrasah

5

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 26.

6

Robert S. Brumbaugh, dan Nathaniel M. Lawrence, Philosopher on Education, Six Essays on the foundations of Western Thought (Boston: Houghton Mifflin Company, 1963), 20. 7

Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 34.

8

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), Cet II, 142.

9

Dengan kurikulum ini, tegas Bobbit, hendaknya siswa akan dapat menikmati hasil dari proses pendidikan, sehingga Bobbit percaya bahwa para siswa akan dapat meraih kesuksesan pada masa depannya. Lihat, Franklin Bobbit dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (Ed.), The Curriculum Studies Reader (New York dan London: Routledgefalmer, 2004), Cet II, 3.

2

Diniyah seperti ini, sistemnya mencontoh sekolah pemerintah (HIS), seperti memakai meja dan kursi, serta mengajarkan mata pelajaran umum disamping pelajaran agama. Model madrasah seperti ini, awal mula didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad dengan Adabiyah School10 (1909), kemudian juga Madrasah Diniyah yang didirikan oleh Zainuddin Labai tahun 1915 yang merupakan perkembangan dari surau Jembatan Besi. Madrasah ini juga menggunakan sistem ko-edukasi yang dicontoh dari kebiasaan yang berlaku di sekolah-sekolah pemerintah.11 Disamping itu juga madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Yogyakarta yang didirikan kira-kira tahun 1918, dimana kurikulumnya diklasifikasikan menjadi agama dan umum, Prosentase ilmu umum dan agama seimbang (50% agama dan 50% umum).12 Tahun-tahun berikutnya setelah madrasah Mu’allimin, isi kurikulumnya sudah mulai didominasi oleh umum. Realitas demikian yang mendasari kurikulum madrasah (MA) bergeser. Sekilas diamati, bahwa beberapa laporan para penulis di atas mendukung pernyataan bahwa pergeseran kurikulum madrasah (MA) sejak sebelum merdeka, setelah merdeka, Orde Lama sampai Orde Baru (1966) bahkan sampai tersusunnya kurikulum madrasah secara nasional (1971), telah mengalami pergeseran baik komponen tujuan, isi, metode, maupun evaluasi yang penulis asumsikan, bahwa pergeseran tersebut lebih dominan bersifat politis untuk tujuan dan isi kurikulum dan bergeser ke arah modern untuk metode dan evaluasi. Argumen Raimond William, dapat menjadi dasar analisis ini, bahwa definisi baru pendidikan secara umum adalah output-nya dapat memecahkan masalah dan dapat mempraktekannya. Pendidikan bentuk ini, tegas William, adalah bentuk kurikulum modern. 13 Hal ini dapat diperkuat dengan apa yang direkam oleh John. D. Mc. Neil, para sosiolog melaporkan, bahwa 10

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996), 51.

11

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 62.

12

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung,

1996), 227. 13

Terlebih ketika ditambah, matematika, geografi, bahasa modern, dan sain fisika yang sangat penting, lihat, John White dalam Alex More, Schooling, Society and Curriculum (London and New York: Rountledge, 2006), Cet I, 43.

3

inovasi kurikulum –tentunya mengandung makna pergeseran– di sebuah sekolah adalah merupakan suatu keharusan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik.14 Terkait dengan munculnya kurikulum secara nasional tahun 1971, menurut Maksum bahwa madrasah (MA) pada awalnya didirikan oleh masyarakat secara mandiri, tetapi dengan penegerian dan pembakuan kurikulum itu madrasah-madrasah cenderung berjalan secara seragam. Civil Effect bagi lulusannya pun menjadi teratur. Madrasah dengan demikian tidak diragukan lagi sebagai lembaga pendidikan yang pengelolaan, struktur dan kurikulumnya mendekati sama dengan sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.15 Kurikulum yang baik, menurut Franklin Bobbit akan dapat mendiagnosa kesulitan belajar siswa dan dapat membawa pendidikan ke arah yang lebih prospek.16 Usaha merevisi terus menerus kurikulum madrasah (MA) dari sisi metode dan evaluasi, adalah dalam rangka merealisasikan kurikulum seperti diungkapkan Bobbit. Tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah.” Dalam Surat Keputusan Bersama itu, masing-masing Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri memikul tanggungjawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan madrasah. 17

14

John. D. Mc. Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction (Boston Toronto: Luttle Brown and Company, t.t.), 117. Sebagai bahan perbandingan reformasi kurikulum yang ada di Amerika Serikat, pergerakan reformasi kurikulum dimulai sejak suksesnya peluncuran satelit Rusia yang pertama, 1957, kejadian spektakuler ini mempercepat revisi kurikulum, terutama dalam hal matematika dan fisika, walaupun sempat mengalami stagnan ketika terjadinya perang dunia II, lihat John I. Goodlad dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (Ed.), The Curriculum Studies Reader, 60. 15

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 144.

16

Franklin Bobbit dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (Ed.), The Curriculum Studies Reader (New York dan london: Routledgefalmer, 2004), cet II, 3. 17

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 149, lihat pula, M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 230. Pada saat ini Menteri Agamanya adalah H.A. Mukti Ali, lihat, Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 197.

4

Dalam SKB disebutkan bahwa mata pelajaran Agama di madrasah (MA) adalah kurang lebih 30%, berarti yang 70% adalah mata pelajaran umum. 18 Artinya implementasi dalam pengajaran tidak mengurangi kuantitas jam pelajaran mata-mata pelajaran umum. Pada tahap awal setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 197619 –keputusan Menteri Agama No. 75, tanggal 29 Desember 1976– yang diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 Tahun 1987.20 Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penjelasan di atas membuktikan bahwa kenyataan sejarah keberadaan serta peran madrasah adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini terlihat dari Undang-Undang Pendidikan tahun 1950, sejarah pembaharuan madrasah sejak sebelum Indonesia merdeka, pasca kemerdekaan, dan bergesernya kurikulum madrasah pasca tahun 1950-2006. Dari sisi metode dan evaluasi kurikulum madrasah (MA) terus melakukan pembaharuan, walaupun secara politis tujuan dan isi kurikulum madrasah (MA) harus mengikuti undang-undang pendidikan yang berlaku. Namun peran madrasah (MA) dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa tidak bisa dialpakan. Selanjutnya,

penulis

mencermati

bahwa

ada

faktor-faktor

yang

menyebabkan kurikulum madrasah bergeser, bila merujuk uraian di atas, diantara faktor yang menyebabkan kurikulum madrasah bergeser adalah faktor perubahan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Analisis penulis ini diperkuat oleh Larry Cuban, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perubahan daerah dan sekolah adalah 18

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197. 19

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 34.

20

Hemat penulis saat ini Menteri Agamanya adalah Munawir Sjadzali, lihat Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197.

5

demografi, culture (kebudayaan), politik, sosial dan ekonomi. 21

Hal ini identik

dengan apa yang dikatakan Jonathan Tudge dalam Vygotsy and Education, sebagaimana dikutip Tilaar, mengatakan "bahwa dari perkembangan pribadi seseorang menuntut perkenalan premier dari lingkungannya. Dunia kehidupan di dalam perkembangan pribadi manusia (individuasi) akan semakin lama semakin meluas dari lingkungan keluarga, masyarakat sekitar, masyarakat etnisnya, masyarakat negara, dan seterusnya masyarakat global.”22 Catatan Audrey Osler, mendukung pernyataan Tudge, dalam seminar Internasional dan Interdisipliner di Harvard University tahun 2002, bahwa kehidupan dan pengalaman senantiasa berkembang sampai hari ini yang senantiasa berhubungan dengan realitas ekonomi, proses sosial, inovasi teknologi dan media, dan arus budaya yang melewati batasbatas negara dengan kejadian yang lebih besar.23 Program pendidikan haruslah disusun berdasarkan perkembangan dunia tersebut. Dengan demikian kurikulumpun harus bergeser. Pendidikan adalah penting sekali di dalam pembentukan kapital sosial. Dalam fungsinya yang demikian perlu mengetahui organisasi sosial, adat istiadat setempat dimana peserta didiknya hidup dan berkembang.24 Tidak dapat diabaikan, perkembangan ekonomi juga merupakan faktor penting yang menyebabkan kurikulum bergeser. Larry Cuban, memberikan contoh, ketika pasokan dolar dikurangi ke sekolah-sekolah di Amerika, maka program-

21

Larry Cuban menjelaskan faktor-faktor ini, untuk sekolah di Amerika, dimana sistem sekolah dan kurikulumnya adalah desentralisasi. Lihat Larry Cuban, dalam Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum (New York: Macmillan Publishing Company, 1999), 217. 22

H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan (Jakarta: Grasindo, 2002), 88.

23

Kondisi lokal dan global tidak bisa ditawar lagi harus berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, kurikulum sekolah membutuhkan hubungan-hubungan ini secara eksplisit. Lihat, Audrey Osler dalam, Alex More (ed.) Schooling, Society and Curriculum, 101-102. 24

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, 91, bandingkan dengan catatan Alan Peskhin dalam Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, 248. Pendidikan tak dapat tiada harus memberikan jawaban atas tekanan-tekanan yang datang dari desakan dan tekanan dari kekuatankekuatan sosio-politik –ekonomi yang dominan pada saat tertentu, lihat, S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet II, 23.

6

program pengajaran di sekolah banyak berhenti. 25 Para penyumbang sekolah-sekolah di

Amerika

diantaranya,

para

dermawan

(donatur),

organisasi-organisasi

philanthropic dan juga support dari para komunitas bisnis. 26 Selanjutnya faktor politik, sebagai bukti bahwa faktor politik menentukan pergeseran kurikulum, seperti dikatakan John I. Goodlad, bahwa perencanaan kurikulum adalah proses politik, bahkan proses politik itu adalah sebuah proses ideologi yang menentukan ending (akhir) dan arti pendidikan.27 Bahkan jika melihat kebijakan-kebijakan pemerintah faktor politik ini nampaknya yang lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum madrasah. Faktor budaya, tidak bisa absent, merupakan faktor penyebab pergeseran kurikulum, hal ini senada dengan laporan Alex More, kurikulum sekolah sering dipresentasikan dan dipahami untuk menyeleksi ilmu pengetahuan (knowledge) dan kebudayaan dari suatu negara, tipikal penyeleksian yang demikian hendaklah dilakukan terus menerus untuk menggambarkan secara khusus skill-skill kebudayaan dan pemilihan kebudayaan-kebudayaan tersebut dari kelompokkelompok sosial tertentu. Referensi seperti ini hendaknya menjadi jalan kurikulum sekolah untuk merespon kerja sekolah dari murid-muridnya. 28 Disamping itu, bahwa implikasi UUSPN No. 2 Tahun 1989 terhadap Pendidikan Madrasah dapat dilihat pada kurikulum dari semua jenjang madrasah, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, sampai dengan Aliyah. Secara umum penjenjangan itupun paralel dengan penjenjangan Pendidikan Sekolah, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, sampai dengan Sekolah Menengah Umum. Di bawah ketentuan yang terintegrasi itu Madrasah Ibtidaiyah

25

Cuban dalam Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, 217.

26

Walter Feinberg dan Jonas F. Soltis, School and Society (New York and London: Teachers College Press, 2004), 121. 27

Statement lain mengatakan bahwa struktur politik masuk dalam situasi pendidikan. Unik dan sensitif hubungan antara lokal, negara dan pemerintah daerah dalam memberikan support dan mensikapi masalah-masalah sekolah, demikian contoh di Amerika, lihat Goodlad dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (Ed.), The Curriculum Studies Reader, 62. 28

Alex, Schooling, Society and Curriculum, 87.

7

pada dasarnya adalah “Sekolah Dasar Berciri Khas Islam”, Madrasah Tsanawiyah adalah “Sekolah Lanjutan Pertama Berciri Khas Islam”, kedua-duanya MI dan MTs termasuk dalam kategori Pendidikan Dasar. Sedang Madrasah Aliyah (MA) dikategorikan sebagai “Sekolah Menengah Umum Berciri Khas Islam”. 29 Bisa dilihat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 372 tahun 1993 tentang kurikulum Pendidikan Dasar Berciri Khas Islam. 30 Menurut Kurikulum ini MI dan MTs melaksanakan Kurikulum Nasional SD dan SLTP.31 Terkait kurikulum Madrasah Aliyah (MA), telah dikeluarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah. Dalam ketentuan ini, isi kurikulum terdiri dari dua program pengajaran umum dan pengajaran khusus sebagaimana berlaku dalam sekolah umum. 32 Tarmizi Taher ketika menjadi Menteri Agama, nampaknya mencoba menawarkan kebijakan dengan jargon “Madrasah sebagai sekolah umum yang Berciri Khas Agama Islam –kurikulum 1994– yang muatan kurikulumnya sama dengan non madrasah. Kebijakan ini ditindak lanjuti oleh A. Malik Fadjar –kurikulum 2004– bahkan Malik menetapkan eksistensi Madrasah untuk memenuhi tiga tuntutan minimal dalam peningkatan kualitas madrasah, yaitu (1) bagaimana menjadikan Madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan praktek hidup ke-Islaman; (2) bagaimana memperkokoh keadaan madrasah sehingga sederajat dengan Sistem Sekolah; (3) bagaimana madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna

29

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 155, lihat pula, Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 35. 30

Sesuai keterangan Muhaimin, saat ini menteri Agamanya adalah Tarmizi Taher, Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197. 31

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 155 – 156.

32

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 58.

8

mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi. 33 Nampak jelas pergeseran kurikulum madrasah (MA) untuk metode/pendekatan mengarah ke modern, indikator mengarah kepada modern salah satunya ditandai dengan beralihnya aktifitas yang berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa. Seperti dikatakan oleh Beane, "bahwa bila kreasi kurikulum di prioritaskan kepada siswa akan lebih baik dari pada kepada para pendidik –dari level-level yang berbeda sampai tegaknya suatu kurikulum". 34 Tentunya pendekatan modern dengan tetap tidak meninggalkan ruh keIslamannya. Apabila dibandingkan jenis nama pelajaran agama antara mata pelajaran dalam struktur kurikulum madrasah (MA) tahun 1994 dengan struktur tahun 2004, tidak mengalami perubahan karena jenis mata pelajaran itu masih didasarkan atas Keputusan Menteri Agama No. 110 Tahun 1982 tentang pembidangan ilmu keIslaman. Pada kurikulum tahun 2004 dihindarkan pertemuan tatap muka yang hanya satu jam pelajaran, agar pembobotan dalam prinsip belajar tuntas dapat diselesaikan. Adapun keseluruhan jumlah jam pelajaran perminggu dipertahankan seperti yang tercantum pada struktur kurikulum tahun 1994.35 Dalam kurikulum Madrasah 2004 (KBK) menggunakan sistem semester dan ditetapkan tingkat kelas yang berkelanjutan, MI enam tahun kelas I–VI, MTs tiga tahun kelas VII–IX, MA tiga tahun kelas X–XII. Pemilihan program pada MA ditetapkan sesudah kelas X.36 Kurikulum Berbasis Kompetensi selanjutnya diterjemahkan ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Ilustrasi di atas nampak jelas, bahwa setiap periode kurikulum mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Kurikulum madrasah sejak tahun 1950–2006 adalah

33

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197-199. 34

Beane dalam Vincent A. Anfara, Jr., Sandra L. Stacki (ed.), Middle School Curriculum Instruction and Assessment (US: National Middle School Association Westerville, 2002), 9. 35

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 202.

36

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 204.

9

mengalami pergeseran, baik dari komponen tujuan, isi, strategi pembelajaran maupun evaluasi pembelajarannya, asumsi peneliti pergeseran tersebut, adalah lebih dominan dipengaruhi faktor politik dan bergeser tradisional ke modern. Selanjutnya adanya, faktor-faktor yang menyebabkan kurikulum madrasah bergeser. Di antara faktorfaktor yang ada, salah satunya –menurut penulis– ada faktor yang lebih dominan mempengaruhinya.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia merupakan dampak positif dari lembaga pendidikan Islam seperti surau dan pesantren. Karena tertinggalnya surau dan pesantren saat itu disebabkan pengelolaannya yang masih bersifat tradisional. Maka hadirlah madrasah di Indonesia sebagai suatu model pendidikan Islam yang lebih modern dari pada surau dan pesantren. Namun demikian, kurikulum madrasah senantiasa tertinggal dalam perkembangannya, bila dibanding dengan kurikulum persekolahan. Padahal secara historis madrasah telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal ini patut dipertanyakan, sebenarnya ada apa dengan madrasah?. Apakah input madrasah yang berupa siswa kurang diseleksi secara profesional, demikian pula Sumber Daya Manusianya (para guru). Apakah kurikulumnya kurang ideal –tidak mengintegrasikan iptek dan imtaq– atau manajemennya kurang profesional ataukah faktor dana yang minim untuk mengoperasionalisasikan madrasah. Beberapa pertanyaan ini memang belum terjawab oleh madrasah, dalam arti secara praktis belum memadai. Padahal bila dilihat secara teori bahwa siswa, guru, kurikulum, dana dan manajemen adalah termasuk unsur-unsur yang menentukan maju mundurnya –keunggulan – suatu madrasah. Bila unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi –utamanya adalah kurikulum dalam pembahasan ini– maka madrasah senantiasa marjinal. Banyak faktor yang menyebabkan pergeseran kurikulum madrasah, diantaranya faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Madrasah sebelum merdeka, 10

masa kemerdekaan, masa orde lama dan orde baru bila dilihat secara sosial budaya, banyak didirikan di daerah, dimana di daerah juga banyak muncul pesantren. Masih fanatisnya masyarakat daerah terhadap tafaqquh fi> al-di>n karena pengaruh pesantren, membuat madrasah eksis di daerah walaupun pengelolaannya dengan manajemen yang kurang profesional. Dilihat dari sisi ekonomi, madrasah yang banyak berada di daerah, adalah ekonominya minim, karena madrasah kebanyakan swasta, dimana para pendirinya mayoritas golongan ekonomi menengah ke bawah. Terlebih secara politis, karena sulitnya madrasah menyesuaikan dengan kurikulum sekolah, maka sangat dikesampingkan oleh pemerintah. Disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran kurikulum madrasah, maka tiap kurikulum mempunyai karakteristik masing-masing. Dimana karakteristik itu berbeda antara satu periode dengan periode lainnya. Perbedaan karakteristik tersebut dapat diamati secara cermat, mengapa terjadi demikian. Kurikulum madrasah bergeser ke arah modern dalam rangka mensejajarkan madrasah dengan sistem persekolahan dan keunggulan lainnya dengan tidak menghilangkan warna ke-Islamannya sebagai ciri khas madrasah. Namun terjadi pro dan kontra di antara para pendidik Muslim, karena terjadi minimalisasi content pelajaran agama dan memaksimalkan content pelajaran umum. Pihak yang pro mengatakan, ini adalah proses modernisasi madrasah, sementara pihak yang kontra mengatakan, ini adalah proses sekularisasi madrasah. 2. Pembatasan Masalah Bila merujuk banyak literatur sebenarnya banyak perdebatan mengenai madrasah dan kurikulumnya. Charles Michael Stanton sendiri menulis dalam Higher Learning In Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Tinggi dalam Islam, madrasah sama dengan College (Akademi). Mahmud Yunus juga menyebut madrasah dalam bukunya “Sejarah Pendidikan di Indonesia” meliputi, Madrasah Ibtidaiyah (SRI), Madrasah Tsanawiyah (SMPI), Madrasah Tsanawiyah Atas (SMAI) dan Tingkat Tinggi (Universitas Islam). Di sisi lain Abdul

11

Rachman Shaleh menyebut madrasah dalam bukunya “Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi” meliputi Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Dalam hal ini penulis akan membatasi kajiannya hanya pada Madrasah Aliyah (MA) saja tanpa memasukkan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Raudlatul Athfal (RA) dan Akademi atau Perguruan Tinggi Agama Islam (STAIN, IAIN, UIN). Madrasah Aliyah pun banyak tipologinya, seperti Madrasah Aliyah Umum (MA Umum), Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang selanjutnya berkembang menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), Madrasah Aliyah Ketrampilan (MA Ketrampilan), Madrasah Aliyah Model (MA Model) dan Madrasah Aliyah Diniyah (MA Diniyah). Oleh karenya, sangat perlu penulis batasi pembahasan disertasi ini, yaitu fokus kajiannya Madrasah Aliyah Umum (MA Umum). Alasan penulis membatasi kajiannya pada MA Umum, karena MA Umum adalah sebagai MA inti (core) dan yang awal mula muncul. Adapun MA Keagamaan (MAK/MAPK), MA Ketrampilan, MA Diniyah, MA Model adalah pengembangan dari MA Umum yang inti/pokok. Adapun pembatasan kurun waktu, juga menjadi sangat penting, mengingat perkembangan madrasah ternyata sudah mulai sejak zaman klasik Islam. Di Indonesia sendiri perkembangan pendidikan Islam juga sudah mulai sejak zaman kolonial Belanda, walaupun saat itu masih sangat tradisional dan dalam bentuk pesantren, yang merupakan cikal bakal lembaga Pendidikan Islam bernama madrasah. Mengingat masalah yang demikian, maka penulis mendasarkan pembahasan pergeseran kurikulum madrasah ini dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), yaitu: Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 JO UU No. 12 Tahun 1954, UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UUSPN No. 20 tahun 2003.

12

3. Perumusan Masalah Setelah melihat latar belakang masalah yang ada, penulis pada dasarnya akan mengarahkan disertasi ini untuk menjawab masalah sekitar pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Adapun masalah tersebut adalah “Faktor apa yang lebih dominan mempengaruhi Pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional?”. Untuk menjawab masalah tersebut perlu dimunculkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional?. b. Bagaimana pengaruh kebijakan pendidikan pemerintah terhadap pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional?.

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui faktor yang lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. b. Untuk mengetahui karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional. c. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan pendidikan pemerintah terhadap pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 2. Signifikansi Penelitian Penting dicatat dalam penelitian ini, bahwa kurikulum Madrasah Aliyah mengalami pergeseran disebabkan karena beberapa faktor. Timbul pertanyaan, 13

mengapa bergeser, bukannya kurikulum madrasah itu tetap saja (baku), mustahil menerima pergeseran, ini menarik untuk diteliti. Lebih menarik jika faktor politik lebih dominan mempengaruhi pergeserannya. Disamping itu, seringnya pergantian kurikulum Madrasah Aliyah (MA) mengindikasikan bahwa setiap kurikulum mempunyai corak dan karakteristik berbeda antara satu dan lainnya. Corak dan karakteristik demikian juga tidak lepas dari dominasi unsur politik. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan analisa tentang pergeseran kurikulum MA dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, di mana pergeseran tersebut adalah bersifat politis dan bergeser dari tradisonal ke modern. Hal ini akan menepis anggapan masyarakat bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang senantiasa mempertahankan nilai tradisionalnya, menutup diri dari dunia luar untuk menerima pembaharuan. Bahkan pesantren yang merupakan cikal bakal pendidikan madrasah juga sudah mulai mengadakan pembaharuan. Hal tersebut dapat dibuktikan adanya mata-mata pelajaran umum yang diajarkan sekolah juga diajarkan secara penuh di madrasah, disamping mata-mata pelajaran agama yang merupakan ciri khas ke-Islaman madrasah. Penelitian ini juga berfungsi untuk melihat perbedaan kepentingan secara politis antara Departemen Agama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau Dapartemen Pendidikan Nasional saat ini. Indikasi demikian dapat diamati dari usaha Departemen Agama untuk senantiasa mengikuti perkembangan kurikulum Pendidikan Nasional, sehingga dapat diakui madrasah merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Madrasah mendapat pengakuan sama dengan sistem persekolahan di mata pemerintah.

14

D. Kajian Pustaka Para peneliti yang interes terhadap kajian kurikulum, cukup banyak, diantaranya, Bistok Adrianus Siahaan,37 Sukamto,38 Anwar Jasin, 39 Muhammad Zuhdi, 40 Muhammad Sirozi.41 Para peneliti ini, meneliti dalam bentuk tesis dan disertasi. Judul disertasi yang Adrianus tulis, dalam rangka mencapai gelar doktornya, Pengembangan Kurikulum Suatu Analisis Isi Kurikulum Bahasa Indonesia dari Sudut Fungsi Bahasa. Konsentrasi pembahasan kurikulum Adrianus adalah kurikulum 1975. Pembaharuan kurikulum, tegas Adrianus, adalah penting sekali, oleh karenanya disadari bahwa sistem kurikulum adalah unsur strategis yang menentukan dapat berperannya sistem pendidikan. 42 Pembaharuan kurikulum ini terjadi, karena memang prinsip kurikulum tidak kaku, tetapi fleksibel, tegas Adrianus. 43 Adrianus tidak mengfokuskan penelitiannya pada salah satu jenjang pendidikan, tetapi konsentrasi pada kurikulum 1975. Kurikulum yang dimaksud di sini adalah kurikulum nasional,

37

Bistok Adrianus Siahaan, “Pengembangan Kurikulum Suatu Analisis Isi Kurikulum Bahasa Indonesia dari sudut fungsi Bahasa”, Disertasi IKIP Jakarta, 1982. 38

Sukamto, “Aspek-aspek Filosofis Kurikulum Sejarah SMA dari Zaman Orde Lama Sampai dengan Orde Baru”, Tesis IKIP Jakarta, 1991. 39

Anwar Jasin, “Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan”, Disertasi IKIP Jakarta, 1983. 40

Muhammad Zuhdi, “Political and Social Influences on Religious School: A Historical Perspective on Indoesian Islamic School Curricula” (Disertasi), Montreal-Canada: McGill University, 2006. 41

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 / 1989 (Disertasi) (Leaden-Jakarta: INIS, 2004). 42

Adrianus, Pengembangan Kurikulum Suatu Analisis Isi Kurikulum Bahasa Indonesia dari Sudut Fungsi Bahasa, 1. 43

Prinsip-prinsip yang melandasi kurikulum, prinsip fleksibilitas, efesiensi, efektifitas, berorientasi pada tujuan, kontinuitas, prinsip pendidikan seumur hidup. Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ketentuan-ketentuan Pokok Kurikulum Sekolah Menengah Pertama 1975, Buku I (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), 14 -19, lihat pula, Bistok Adrianus Siahaan, ”Pengembangan Kurikulum Suatu Analisis Isi Kurikulum Bahasa Indonesia dari Sudut Fungsi Bahasa”, 2.

15

dalam arti sekolah-sekolah di bawah otoritas Departemen Pendidikan Nasional, bukan kurikulum Depag. Dalam menyelesaikan studi S2-nya, Sukamto menulis tesis, Aspek-aspek Filosofis Kurikulum Sejarah SMA dari Zaman Orde Lama Sampai dengan Orde Baru. Kamto bermaksud menggali aspek-aspek filosofis kurikulum sejarah di SMA. Kurikulum, ujar Kamto, semestinya disusun dengan dasar-dasar yang kokoh, agar menjawab tantangan zaman dan secara dialektis menunjukan suasana zamannya. Dasar penyusunan kurikulum yang kurang kuat dapat mengakibatkan gagalnya kurikulum dalam pelaksanaannya atau ditolaknya kurikulum dalam praktek.44 Sementara disertasi ini melihat pergeseran kurikulum MA, yang secara spesifik melihat pergeseran komponen kurikulumnya, dimana aspek politisnya yang lebih dominan mempengaruhinya. Rentang waktu kurikulum yang diteliti Kamto, dari zaman Orde Lama sampai Orde Baru, berarti aspek-aspek filosofis itu terus berkembang, dan penelitian ini untuk kurikulum SMA. Nampak beda, sebab disertasi ini mengkaji pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dari sejak munculnya UndangUndang Pendidikan Nasional, yaitu: Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 JO UU No. 12 Tahun 1954, sampai munculnya UUSPN No. 20 tahun 2003. Yang jelas, bila cross chek sejarah kurikulum di Indonesia, perkembangan kurikulum SMA berbeda dengan kurikulum MA.45 Anwar Jasin dalam meneliti disertasinya, Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan. Anwar, menyoroti pembaharuan kurikulum SD 46 di Indonesia.

44

Sukamto, ”Aspek-aspek Filosofis Kurikulum Sejarah SMA dari Zaman Orde Lama Sampai dengan Orde Baru”, 8. 45

Sukamto dalam tesisnya menulis sejarah kurikulum SMA secara detel, lihat Sukamto, ”Aspek-aspek Filosofis Kurikulum Sejarah SMA dari Zaman Orde Lama Sampai dengan Orde Baru”, 21. 46

Nama Sekolah Rakyat dirubah Sekolah Dasar berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 13 tahun 1963 Selanjutnya istilah Sekolah Dasar digunakan juga sebagai

16

Pembaharuan diawali oleh perubahan, indikatornya, sejak proklamasi kemerdekaan sampai 1975, tegas Anwar kurikulum SD telah berubah 4 kali. Banyak faktor yang mendorong perubahan, seperti faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, teknologi dan faktor intern pendidikan itu sendiri. 47 Berbeda dengan Anwar, disertasi ini menekankan pada faktor politik yang lebih dominan mempengaruhinya. Dalam menyelesaikan disertasi doktornya di McGill University, Muhammad Zuhdi menulis Political and Social Influences on Religious School: A Historical Perspective on Indonesian Islamic School Curricula. Sepintas agak mirip tulisan Zuhdi dengan disertasi ini, namun bila ditelusuri banyak perbedaan. Disertasi Zuhdi berbicara tentang pengaruh sosial politik terhadap sekolah Islam di Indonesia, khususnya kurikulumnya. Zuhdi membatasi sekolah Islam dari SD/MI sampai MA/SMA, bahkan ia juga membahas tentang pesantren. Zuhdi tidak membatasi kurikulum madrasah saja, tetapi kurikulum sekolah umum yang berlebel Islam juga ia kemukakan. 48 Pembahasan Zuhdi tidak secara spesifik terhadap komponen kurikulum sekolah-sekolah tersebut, sementara disertasi ini fokus pada pergeseran komponen kurikulum MA, yang diasumsikan lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Uraian Zuhdi sampai 2004,49 sementara disertasi ini sampai 2006. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, demikian judul disertasi yang ditulis Muhammad Sirozi, dalam menyelesaikan Ph.D nya, yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Disertasi ini berisi studi kasus tentang keterlibatan para pemimpin Muslim dalam pengertian umum yang mencakup sekolah rendah, Sekolah Rakyat dan Sekolah Dasar. Anwar Jasin, ”Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahanbahan yang Relevan”, 5. 47

Anwar, ”Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan”, 5. 48

Zuhdi, Political and Social Influences on Religious School: A Historical Perspective on Indoesian Islamic School Curricula, 148, 152, 154. 49

Zuhdi, “Political and Social Influences on Religious School: A Historical Perspective on Indoesian Islamic School Curricula”, 159.

17

pengembangan kebijakan UUSPN ketika ada ketegangan politik dan budaya antara mereka yang ingin mengembangkan satu sistem pendidikan nasional yang “beragama” dan mereka yang menganggap pendidikan sekuler lebih relevan. 50 Sirozi lebih melihat tarik menarik kepentingan politik intern tokoh Muslim, sementara disertasi ini lebih melihat tarik menarik otoritas pengelolaan madrasah antara Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Sirozi juga mengfokuskan penelitian disertasinya pada perjuangan politik para pemimpin Muslim untuk memasukkan pendidikan Agama wajib dalam pendidikan nasional. 51 Sementara disertasi ini mengfokuskan pada pergeseran komponen kurikulum MA, tidak menyinggung kurikulum persekolahan secara umum. Penelitian yang sudah dipublikasikan dalam bentuk buku, seperti tulisan A.V. Kelly, 52 John McNeil, 53 Jon Wiles dan Joseph Bondi,54 Walter Feinberg dan Jonas F. Soltis, 55 Alex More,56 dan William H. Schubert.57 Menarik, apa yang diuraikan Kelly, dalam The Curriculum Theory and Practice, bahwa proses pengembangan kurikulum harus memperhatikan pendekatan ideologi yang respek terhadap pendidikan, masyarakat, pengetahuan manusia, dan kemanusiaan itu sendiri. 58 Posisi nilai amat menentukan di sini, lanjut Kelly, tetapi tidak harus eksplisit, cukup implisit. Nampaknya Kelly lebih menghendaki kurikulum berkembang secara humanis. Disamping pengembangan Kelly juga berbicara, 50

Sirozi, Politik Kebijakan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 / 1989, 1. 51

Sirozi, Politik Kebijakan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 / 1989, 1. 52

A.V. Kelly, The Curriculum Theory and Practice (London: Sage Publications, 2004).

53

Neil, Curriculum A Comprehensive Introductio.

54

Jon dan Josep, Curriculum Development, A Guide to Practice.

55

Walter dan Jonas, School and Society.

56

Alex, Schooling, Society and Curriculum.

57

William H. Schubert, Curriculum, Perspective, Paradigm and Possibility (USA: Prentice

Hall, 1987). 58

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 76.

18

perubahan dan inovasi kurikulum, menurutnya, pengembangan kurikulum juga didasarkan pada politik Negara. 59 Sebenarnya posisi disertasi ini akan memperkuat pendapat Kelly, tetapi dengan satu revisi, bahwa faktor politik bukan satu-satunya yang mempengaruhi pergeseran kurikulum melainkan lebih dominan dibanding faktor lain. John McNeil, dalam Curriculum A Comprehensive Introduction, mengurai 5 klasifikasi besar, pertama, konsepsi kurikulum, kedua, pengembangan kurikulum ketiga, manajemen kurikulum, keempat, isu-isu dan trend kurikulum, kelima, inquiri kurikulum: masa lalu (retrospect) dan masa depan (prospect) kurikulum. Terkait dengan posisi tulisan Neil terhadap disertasi ini, secara umum Neil mengurai kontek pengembangan kurikulum, 60 fungsi kurikulum, 61 prinsip-prinsip pengembangan kurikulum. 62 Dengan demikian, pada dasarnya Neil hanya mengenalkan dasar-dasar kurikulum pada bukunya, maka nampak perbedaan yang tajam dengan disertasi ini. Jon Wiles dan Joseph Bondi, dalam Curriculum Development, A Guide To Practice, merekam bahwa pengembangan kurikulum itu harus dimanage. Jon dan Joseph, menjabarkan bahwa kenyataan di sekolah, sukses pengembangan kurikulum sering diartikan dengan baiknya manajemen proses pengembangan kurikulum. Lebih lanjut Jon dan Joseph melaporkan bahwa bukti modernisasi pengembangan kurikulum, melibatkan lebih banyak implementasi jalan pengajaran yang baru atau standar kemudahan yang diberikan oleh lembaga. Hal ini adalah bagian dalil kebenaran yang terjadi pada era teknologi. 63 Pada periode 1990-2005, kurikulum di sekolah berubah secara signifikan, tulis Jon dan Joseph, kurikulum berubah, kenapa tidak. Kurikulum harus bertanggung jawab terhadap implementasi pembelajaran di

59

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 102.

60

Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 116.

61

Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 118.

62

Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 149.

63

Jon dan Josep, Curriculum Development, A Guide to Practice, 73.

19

kelas, sebagai jaminan keefektifannya. 64 Jon dan Joseph memberikan indikator modernisasi kurikulum, tetapi hal itu merupakan hasil dari pengembangan dan perubahan kurikulum, sementara indikator modern dalam disertasi ini merupakan hasil dari pergeseran (transformasi) kurikulum. Bila diamati sangat sedikit perbedaannya, tetapi modernisasi yang disebutkan Jon dan Joseph lebih dipengaruhi oleh faktor teknologi, sementara dalam disertasi ini lebih merupakan hasil dinamisasi politik, walaupun faktor perkembangan teknologi tidak dapat dikecilkan. Walter Feinberg dan Jonas F. Soltis, dalam School and Society. Dalam bab 5 Walter dan Jonas, membahas secara detel tentang “hidden curriculum”. 65 Secara eksplisit disertasi ini tidak mengkaji hidden curriculum namun pergeseran kurikulum lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Alex More lebih cenderung pembahasannya tentang posisi sekolah dan kurikulum di masyarakat, pembahasan ini Alex uraikan dalam Schooling, Society and Curriculum. Di sini Alex jelas menegaskan bahwa kurikulum tidak dapat terlepas dari masyarakat, dimana secara kompleks di masyarakat terdapat, sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Disertasi ini tidak menafikan faktor-faktor itu semua mempengaruhi pergeseran kurikulum, tetapi dominasinya dalam disertasi ini adalah lebih dipengaruhi faktor politik. William H. Schubert, dalam Curriculum, Perspective, Paradigma and Possibility, melaporkan cukup lengkap tentang serba-serbi kurikulum. Ada tiga bagian besar yang William tulis yaitu perspektif, paradigma dan kemungkinan (possibility).William lebih cenderung memakai pendekatan filosofis dalam membahas kurikulum. Seperti komponen kurikulum, yaitu tujuan (purpose), isi (content), organisasi dan evaluasi dilihat dari perspektif paradigma analisis perennial, demikian ungkap William. 66 William melihat bahwa ada beberapa kemungkinan ke depan yang

64

Jon dan Josep, Curriculum Development, A Guide to Practice, 175.

65

Walter dan Jonas, School and Society, 59.

66

William, Curriculum, Perspective, Paradigm and Possibility, 188, 212, 233, 261.

20

dihadapi kurikulum, 67 baik itu tantangan maupun harapan. Walaupun komponen kurikulum yang diurai William tidak jauh beda dengan komponen kurikulum yang dibahas pada disertasi ini, namun William menggunakan pendekatan filosofis, sementara, disertasi ini menggunakan pendekatan historis dan politis. Kumpulan tulisan (artikel) kurikulum yang diedit oleh para ahli kurikulum seperti Vincent A. Anfara, dan Jr. Sandra L. Stacki (ed.),68 Philip W. Jakcson (ed.),69 serta David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (ed.).70 Vincent dan Sandra yang telah mengedit buku dengan judul Middle School Curriculum Instruction and Assessment, lebih cenderung pembahasannya tentang kurikulum pelajaran dan penilaian di sekolah menengah. Sementara disertasi ini memasukkan penilain sebagai salah satu komponen kurikulum. Berbeda dengan Jakcson, dalam Handbook of Research on Curriculum, dia mengedit 34 tulisan yang terkait dengan kurikulum. Tiga puluh empat tulisan ini diklasifikasikan ke dalam 4 bagian, pertama, berbicara konsep dan metodologi kurikulum, kedua, bagaimana kurikulum dibuat, ketiga, kurikulum adalah sebuah kekuatan, keempat, topik-topik dan isu-isu kurikulum. 71 George F. Madaus dan Thomas Kellaghan menulis evaluasi dan taksiran kurikulum, dalam tulisannya George dan Thomas memperdebatkan kata evaluasi (evaluation) dan taksiran (assessment), suatu ketika diartikan sinonim, di lain sisi diartikan beda. 72 Sementara evaluasi yang dimaksud dalam disertasi ini adalah evaluasi sebagai komponen kurikulum. Di sisi lain Larry Cuban dari Stanford University, lebih tertarik menyoroti stabilitas dan perubahan kurikulum. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan, lanjut Cuban, pertama, merencanakan perubahan adalah

67

William, Curriculum, Perspective, Paradigm and Possibility, 341

68

Vincent dan Sandra (ed.), Midle School Curriculum, Instruction and Assesment.

69

Philip (ed.), Hand Book of Research on Curriculum.

70

David dan Stephan, The Curriculum Studies Reader.

71

Philip (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, 1, 155, 463, 685.

72

George F. Madaus dan Thomas Kellaghan, Curriculum Evaluation and Assessment, dalam Philip (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, 119.

21

baik, kedua, perubahan dapat mencerai beraikan stabilitas, ketiga, sekali merencanakan perubahan harus diambil, untuk perbaikan yang tepat.73 Alan Peskin, dari universitas Illinois, menulis hubungan kebudayaan dengan kurikulum, dalam cuplikan tulisannya ia berpendapat, bahwa dunia pendidikan harus menyesuaikan dengan lingkungannya –sosial budaya– dimana lembaga tersebut berada,74 secara otomatis kurikulumnya mengikuti. Tulisan Alan ini sebenarnya yang akan dikritisi dalam disertasi ini, bahwa sosial budaya mempengaruhi pergeseran kurikulum, namun lebih dominan faktor politik. Sementara John I. Goodlad dari universitas Washington dan Zhixin Su dari universitas California, menulis organisasi kurikulum, 75 Charles E Bidwell dan Robert Dreeben, keduanya dari University of Chicago, menulis organisasi sekolah dan kurikulum. 76 Kumpulan tulisan yang diedit Jackson inilah yang akan jadi rujukan primer sebagai bahan pembanding rujukan primer yang berupa naskah kurikulum MA sejak munculnya Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo. UU Pendidikan No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003. Farnis ‘Abd Nu>r, dalam tulisannya al-Tarbiyah wa al-Mana>hij. Buku ini memberikan

informasi

pembahasan

tentang

pendidikan

dan

kurikulum,

perkembangan pemikiran pendidikan dan kurikulum, asas atau prinsip kurikulum dan lain-lain. ‘Abd al-Nu>r lebih menulis kurikulum dan pendidikan secara teoritis. 77 Berbeda dengan Muhaimin, dalam bukunya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Dalam buku ini

73

Cuban, “Curriculum Stability and Change”, dalam Philip (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, 216. 74

Alan Peshkin, “The Relationship Between Culture and Curriculum: A Many Fitting Thing”, dalam Philip (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, 248. 75

John I. Goodlad dan Zhixin Su, “Organization of The Curriculum”, dalam Philip (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, 327. 76

Charles E. Bidwell dan Robert Dreeben, “School Organization and Curriculum”, dalam Philip (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, 345. 77

‘Abd al-Nu>r, al-Tarbiyah wa al-Mana>hij, 144.

22

Muhaimin banyak mengkritik dan menganalisis keberadaan kurikulum madrasah yang terkesan masih dikotomik. Eksistensi kurikulum madrasah masih dipandang sebelah mata dengan penafsiran simbolis–kuantitatif, bukan substansialis–kualitatif.78 Bergesernya kurikulum madrasah ke arah modern ini yang akan bisa mengarah pada substansialis-kualitatif, berarti disertasi ini dapat memperkuat teori Muhaimin. Madrasah cukup banyak, baik pada zaman klasik Islam, 79 pertengahan, kolonial Belanda, kemerdekaan –kalau di Indonesia–80 maupun modern.81 Charles Michael Stanton, dalam bukunya Higher Learning In Islam, The Clasic Period, A.D. 700 – 1300 yang telah diterjemahkan oleh Afandi dan Hasan Asari “Pendidikan Tinggi dalam Islam (Sejarah dan Peranannya dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan)”. Stanton membahas madrasah pada masa klasik, dimana ia menyebut madrasah sebagai akademi (college).82 Ia juga berbicara kurikulum madrasah, tetapi pada masa klasik. 83 Karel A. Steenbrink, dalam bukunya Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht), yang telah diterjemahkan oleh penulis sendiri Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman, menjadi Pesantren, Madrasah, Sekolah (Pendidikan Islam dalam Kurun Modern). Steenbrink membahas sejarah pesantren hingga madrasah dan sekolah sejak zaman kolonial Belanda hingga

78

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 198. 79

Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, The Classical Period, A.D. 7001300, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari (Jakarta: Logos, 1994). Lihat pula, Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya. 80

Steenbrink, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht, Pesantren Madrasah, Sekolah (Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern). 81

Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi.

82

Stanton, Higher Learning in Islam, The Classical Period, A.D. 700-1300, 45-52. Lihat pula, Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 51-78. Walaupun dalam buku ini ada, dijelaskan mengenai kurikulum madrasah tapi hanya sebagai contoh saja, seperti kurikulum madrasah 1973 dan 1994. 83

Stanton, Higher Learning in Islam, The Classical Period, A.D. 700-1300, 52-57.

23

zaman kemerdekaan Indonesia.84 Perubahan dalam materi pelajaran agama, diantaranya ada pembahasan tentang kurikulum dan silabus mata pelajaran. Dalam pembahasan ini Steenbrink lebih menfokuskan pembahasannya mengenai arti penting bahasa Arab diajarkan di madrasah, yang merupakan ciri khasnya. 85 Steenbrink jelas secara spesifik tidak membahas kurikulum dalam bukunya. Abdul Rachman Shaleh, dalam bukunya Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, buku ini secara menyeluruh membahas tentang isu madrasah dalam era kini. Secara spesifik Abdul Rachman memunculkan pembahasannya mengenai kurikulum madrasah, tetapi hanya satu jenis kurikulum yaitu 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Para peneliti kurikulum yang telah penulis sebut, sedikit banyak telah memberikan informasi tentang kurikulum, yang merupakan issue sentral dalam disertasi ini, sekaligus mendunia. Hal ini dapat dijadikan bahan masukan dalam penulisan disertasi ini sekaligus pembanding. Adapun issue intern –yang ada di dalam Islam atau Indonesia adalah Madrasah Aliyah– dimana secara eksplisit mereka –para peneliti terdahulu– belum menjelaskan secara panjang lebar tentang Madrasah Aliyah ini. Demikian pula Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang perjalanannya adalah progres ke depan, dimana para peneliti terdahulu belum secara komplit mendapat informasi sampai masa kini –sampai 2006, dimana menjadi batasan akhir pembahasan kurikulum MA dalam disertasi ini. Dengan penelusuran hasil-hasil karya para peneliti terdahulu tentang kurikulum ini, dimungkinkan oleh peneliti disertasi ini belum pernah ditulis oleh penulis

sebelumnya. Praktis, judul disertasi ini mendapat ruang (lakuna) untuk

diteliti lebih lanjut.

84

Steenbrink, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht, (Pesantren Madrasah Sekolah), 1-102. 85

Steenbrink, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht, (Pesantren Madrasah Sekolah), 163-221.

24

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam kajian tulisan ini adalah riset kepustakaan, oleh karena itu metode penelitian yang digunakan adalah library research, yaitu bentuk pengumpulan data dan informasi dengan bantuan bahan yang ada di perpustakaan berupa; arsip, dokumen, majalah, buku, dan materi pustaka lainnya, dengan asumsi bahwa yang diperlukan dalam pembahasan ini terdapat di dalamnya.86 Ruang lingkup perpustakaan tidak sebatas yang telah tersebut tetapi juga media elektronik di antaranya internet dan cyber-library. Cara tersebut dimaksud untuk mendapatkan informasi dari sumber yang lebih luas. Juga untuk menggali informasi yang lebih tua daripada yang lebih umum dituntut dalam penelaahan kepustakaan, dan banyak juga menggali bahan yang tak diterbitkan yang dikutip dalam bahan acuan buku.87 2. Obyek Penelitian dan Pendekatannya Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini bermaksud menjawab persoalan yang ada dalam rumusan masalah yaitu tentang bagaimana pergeseran Kurikulum madrasah berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk menjawab permasalahan yang demikian perlu mengetahui obyek penelitian yang ada. Jika melihat judul disertasi ini, maka obyek penelitiannya adalah pertama, kurikulum Madrasah Aliyah (MA), kedua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,

sebagai

patokan

periodesasinya.

Adapun

yang

diamati

adalah

pergeserannya. Adapun pendekatan yang digunakan adalah historis (sejarah), yaitu analisis kurun waktu kurikulum Madrasah Aliyah (MA) sejak munculnya Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 4 Tahun 1950 JO UU No. 12 Tahun 1954, sampai munculnya UUSPN No. 20 tahun 2003, dengan menggunakan teori komparasi

86

Winarno Surakhmad, Pengantar Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1982), lihat pula, Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti (Jakarta: STIA-LAN, 2000), 65. 87

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta, Rajawali, 1988), 18.

25

(perbandingan), untuk mengetahui karakteristik masing-masing kurikulum. Untuk mengetahui bagaimana terjadi pergeseran, perlu diketahui indikator bergeser dengan menggunakan content analisis. Acuan bergeser adalah pada komponen kurikulum, yaitu tujuan, isi, strategi pembelajaran dan evaluasi kurikulum. Jika kurikulum sebelumnya mengalami perbedaan dengan kurikulum sesudahnya satu, dua atau tiga komponen, maka disebut bergeser walaupun hanya sebagaian artinya tidak menyeluruh. Contoh, misalnya kurikulum 1976 berbeda dengan kurikulum 1973 dalam tujuannya, maka disebut bergeser dari sisi komponen tujuan. Jika kurikulum sebelumnya berbeda dengan kurikulum sesudahnya dalam semua komponen, maka pergeseran tersebut adalah secara total. Misalnya kurikulum 1976 berbeda dengan kurikulum 1973 dalam semua komponen, baik tujuan, isi, strategi pembelajaran maupun evaluasinya. Kemudian, berapa kali bergeser. Untuk mengetahui hal ini peneliti harus mendapatkan data pergeseran, sejak munculnya Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 JO UU No. 12 Tahun 1954, sampai munculnya UUSPN No. 20 tahun 2003, dalam semua komponen kurikulum. Sebagai contoh, misalnya dalam komponen tujuan mengalami 4 kali pergeseran, kemudian isi, strategi pembelajaran dan evaluasinya, masing-masing mengalami berapa kali pergeseran. Selanjutnya bergesernya dari mana ke mana, dimana menurut dugaan sementara penulis bergeser dari tradisional ke modern dan pergeseran tersebut lebih dominan dipengaruhi oleh faktor politik. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pergeseran kurikulum. Untuk menjawab masalah ini

peneliti harus mengkaitkan dengan faktor-faktor yang

mendasar penyebab bergesernya kurikulum, faktor sosial, politik, ekonomi, dan budaya, faktor-faktor ini berimplikasi membuka faktor-faktor lain. Misalnya faktor pembaharuan pendidikan, tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi dan lain-lain. Adapun metode berfikir yang digunakan adalah deduktif, karena penelitian ini bersifat kualitatif. Hasil-hasil analisis tersebut kemudian dituangkan dalam penulisan disertasi ini.

26

3. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Untuk mengetahui dan menganalisis pergeseran kurikulum madrasah dari tradisional ke modern perlu sumber data. Penulis memanfaatkan data kepustakaan yang ada sebagai sumber data, baik dari hasil penelitian maupun penjelasan dari kepustakaan klasik maupun modern yang di dalamnya memberikan komentar fokus yang dibahas. Secara garis besar sumber data yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini ada dua bentuk, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari bentuk materi kurikulum MA sejak munculnya Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 JO. UU No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003 secara autentik. Adapun data primer tersebut adalah: kurikulum-kurikulum Madrasah Aliyah di daerah yang masih belum seragam secara nasional –sejak munculnya UUP No. 4 Tahun 1950 JO. UU No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya kurikulum madrasah secara nasional. Kurikulum MA 1973, Kurikulum MA 1976, Kurikulum MA 1984, Kurikulum MA 1994, Kurikulum MA 2004 dan Kurikulum MA 2006. UU Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954, UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UUSPN No. 20 Tahun 2003. Tulisan John I Goodlad dalam The Curriculum Studies Reader yang di edit oleh David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (2004) dan bukunya A.V. Kelly dalam The Curriculum Theory and Practice (2004). Sedangkan data sekunder diambil dari bahan pustaka selain yang telah disebut, berupa arsip, dokumen, majalah, buku dan materi pustaka lainnya yang masih relevan dengan fokus penelitian. Peneliti berusaha melakukan kajian ini secara analitik dan kritis terhadap semua data yang ditemukan. Mengelaborasi semua temuan data dari berbagai sumber kepustakaan, sekaligus meng cross-chek dengan data lain yang ditemukan di perpustakaan umum. Instrumen data dan teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi –kurikulum MA sejak munculnya UUP No. 4 Tahun 1950 JO. No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003, bahan pustaka primer dan sekunder– dan observasi terhadap pergeseran kurikulum 27

MA sejak munculnya UUP No. 4 Tahun 1950 JO. No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003. Disamping itu penulis juga melakukan wawancara dengan orang yang kompeten dalam bidang kurikulum madrasah dan mempunyai otoritas terhadap kurikulum madrasah. Untuk membuktikan dan cross check lapangan penulis juga mengadakan observasi di salah satu MA Umum. 4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah terkumpul, yang diperoleh melalui proses elaborasi dari berbagai sumber, diklasifikasikan, diseleksi dan disusun sesuai dengan kategori data yang diperlukan untuk pembahasan rumusan masalah yang ditemukan yang kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif.

Analisis data dalam

penelitian ini terkait dengan pengumpulan dan interpretasi data. Ini merupakan hal yang wajar, sebab analisis data dalam penelitian kualitatif berbeda dengan analisis data di penelitian lain. 88 Hal ini berarti bahwa, data tentang kurikulum MA sejak munculnya UUP No. 4 Tahun 1950 JO. No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003 yang terakomodir dari berbagai macam sumber dianalisis, diklasifikasi dan diseleksi untuk mengetahui karakteristik masing-masing kurikulum MA dari setiap kurun waktu, pergeseran masing-masing kurikulum MA, faktor-faktor apa saja yang menjadikan pergeseran kurikulum MA.

F. Sistimatika Pembahasan Penyusunan laporan ini, nantinya akan dituangkan dalam bentuk disertasi, dengan sistematika yang dapat mengakomodir keutuhan pembahasan. Adapun uraian rancangan disertasi ini terdiri dari enam bab, yaitu:

88

Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti, 100.

28

Bab pertama, merupakan pendahuluan dari tulisan ini. Di dalamnya memuat penjelasan mengenai latar belakang masalah yang perlu dipecahkan mengenai pergeseran kurikulum MA sejak munculnya UUP No. 4 Tahun 1950 JO. No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003. Supaya penjelasan mengenai sasaran, maka selanjutnya diuraikan tentang permasalahan yang memuat tentang identifikasi masalah, batasan masalah dan perumusan masalah. Memuat pula tujuan dan signifikansi penelitian. Supaya disertasi ini jauh dari duplikasi dan senantiasa original, diuraikan pula kajian Pustaka. Metodologi penelitian yang merupakan syarat untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah dan dibangun atas dasar teori tertentu. Metode penelitian ini terdiri dari jenis metode yang digunakan dalam obyek penelitian, yang menjadi dasar untuk mengkaji berbagai masalah yang ada, yaitu sumber data yang menjadi rujukan pokok dalam penelitian ini, instrumen dan teknik pengumpulan data, analisis data dan sistimatika pembahasan. Bab kedua, berisi pembahasan mengenai Pergeseran Kurikulum dalam Perdebatan, dimana secara detel dibahas; Pergeseran Kurikulum adalah Sebuah Keniscayaan, Pergeseran, Inovasi, Pengembangan dan Perubahan Kurikulum. Ada dua pendapat yang berbeda dalam hal ini, pertama pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Pendapat yang kedua, pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor politik, bahkan situasi politik masuk dalam situasi pendidikan. Bab ketiga, berisi pembahasan mengenai Karakteristik Kurikulum MA, yang dibagi beberapa periode, pertama, Masa Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 JO. No. 12 Tahun 1954, meliputi, Kurikulum MA 1972, Kurikulum MA 1973, Kurikulum MA 1976 dan Kurikulum MA 1984. Kedua, Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, meliputi Kurikulum MA 1994. Ketiga, Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, meliputi, Kurikulum MA 2004, dan Kurikulum MA 2006.

29

Bab keempat, berisi Pengaruh Kebijakan Pendidikan Pemerintah terhadap Pergeseran Kurikulum Madrasah Aliyah, dibagi menjadi tujuh bagian, pertama, Faktor yang Menyebabkan Pergeseran Kurikulum Madrasah Aliyah, meliputi faktor agama (ideologi), sosial, ekonomi, dan budaya. Kedua, Dominasi faktor politik. Ketiga, Tarik Menarik Kepentingan Partai Politik dalam Pendidikan. Keempat, Kebijakan Politis Pemerintah dalam Pendidikan. Kelima, Tafsir Pergeseran, meliputi, Bergeser Sebagaian Komponen Kurikulum dan Bergeser Seluruh Komponen Kurikulum. Keenam, Indikator Pergeseran, meliputi, Tujuan Kurikulum Madrasah Aliyah, Isi Kurikulum Madrasah Aliyah, Metode Pengajaran Kurikulum Madrasah Aliyah, dan Evaluasi Pengajaran Kurikulum MA. Bab kelima, memuat Kurikulum Masa Depan, terdiri dari Tuntutan Pembaharuan Pendidikan MA: Upaya Mempertahankan Sisi Politis, Tuntutan Integrasi: Menepis Dikotomi Ilmu Menyusun Keilmuan yang ideal dalam rangka Mewujudkan Kekuatan Politis, Tuntutan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serta Tantangan Modernitas. Bab keenam, Penutup, dalam bab ini dimunculkan Kesimpulan, dan Saran.

30

31

BAB II PERGESERAN KURIKULUM DALAM PERDEBATAN

Perdebatan seputar pergeseran kurikulum menarik, ketika dua kubu yang berbeda saling mempertahankan pendapatnya masing-masing, yang pertama mengatakan bahwa pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi (agama), ekonomi, sosial, budaya, teknologi dan intern pendidikan itu sendiri. Kedua, berargumen bahwa pergeseran kurikulum dipengaruhi faktor politik, bahkan struktur politik itu sendiri masuk dalam pendidikan. Ini merupakan perdebatan inti dalam bab ini, yang akan dikemas dalam bentuk landasan teori.

A. Pergeseran Kurikulum adalah Sebuah Keniscayaan Berkembangnya ideologi, sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat menyebabkan kurikulum1 harus bergeser (berinovasi, berkembang dan berubah). Berkembang dan

berubahnya

faktor-faktor tersebut

di atas

memunculkan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hal ini juga menjadi pemicu utama pergeseran kurikulum. Ini diperkuat oleh Posner dan Rudnisky, bahwa kurikulum harus diorganisir, dikembangkan dan dianalisis. Kurikulum memberikan indikasi untuk dipelajari, tujuan-tujuan itu memberikan indikasi mengapa kurikulum harus dipelajari, dan perencanaan pengajaran memberikan indikasi, bagaimana mempelajari

1

Ornstein dan Hunkins, mengatakan bahwa secara umum fondasi kurikulum adalah include mengikuti area ilmu pengetahuan sebagai berikut; filsafat, sejarah, psikologi dan sosial. Lihat, Susan Pennnock Smith, Barriers Encountered In The Instruction of Students Who Have Sustained Brain Injuries: An Instructional Curriculum To Assist in Eliminating Barriers (Detroit, Michigan: Graduate School of Wayne State University, 2005), 15. Bandingkan dengan Norman Cousins, dalam Modern Man is Obsolete, seperti dikutip S. Nasution, bahwa kita senantiasa terbelakang bila kita tidak senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial, politik, ekonomi. Lihat, S. Nasution, Asasasas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 154. Bandingkan pula dengan Imam Tholkhah, bahwa pengembangan –pergeseran– kurikulum sekolah –madrasah– tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan perkembangan budaya, tradisi, dan peradaban masyarakat yang ada serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Lihat, Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), 229.

32

dan memanfaatkan fasilitas-fasilitas pendidikan itu.2 Bahkan Dewey memperkuat, bahwa kurikulum dan pembelajar adalah dua elemen yang simpel, keduanya harus didefinisikan menjadi satu proses.3 Berbeda dengan Khodadad Khodi Kaviani, yang berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya berisi kurikulum dan buku teks, tetapi juga berisi pengalaman para siswa dan interaksi guru dalam diskusi kelas. 4 Dalam arti yang luas sebenarnya apa yang dikatakan Khodi, pengalaman siswa dan interaksi guru dalam diskusi kelas termasuk kurikulum. Dengan demikian seorang pendidik harus hati-hati memahami kurikulum, Suyanto jeli melihat ini, dia berkomentar, jika kurikulum dipahami dalam arti yang sempit, jangan diharapkan kalau pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan akan mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan dan pendidikan yang diselenggarakan tidak akan menghasilkan generasi yang pintar tangguh dan cerdas.5 Sebagai jawaban beberapa argumentasi di atas, pergeseran kurikulum adalah sebuah keharusan. Demikian pula berkembangnya dunia pendidikan, konsep kurikulum juga turut mengalami perkembangan dan pergeseran makna isi ke proses pendidikan. Seperti dinyatakan oleh Doll, secara umum definisi kurikulum mengalami perubahan dari isi dan subyek dan jalan untuk semua pengalaman yang mengarahkan para siswa di bawah pengawasan secara langsung dari sekolah.6 Argumentasi ini dikuatkan oleh Dasar pengembangan kurikulum sebenarnya cukup jelas, seperti disebut dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, pasal 36 ayat 1,

2

George J Posner and Alan N Rudnitsky, Course Design-A Guide To Curriculum Development For Teachers (New York: Longman Inc, 1982), 7. 3

Lihat, Rosalie M Mirenda, A Conceptual - Theoretical Strategy For Curriculum Development in Baccalaureate Nursing Programs (tk: Widener University Press), 2. 4

Khodadad Khodi Kaviani, “Influences on Social Studies Teachers’ Issue-Selection for Classroom Discussion: Social Positioning and Media”, dalam Social Studies Research and Practice, Volume 1, Number 2 (Summer, 2006), 3. 5

Lihat, Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 53-54. 6

Lihat, Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), 22.

33

yang menyatakan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dan dilakukan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan potensi daerah dan peserta didik.7 Sebelum munculnya UndangUndang ini kurikulum dikembangkan secara sentralistik, namun sekarang sudah desentralisasi dengan melihat h{asanah potensi daerah baik budaya (culture), sumber daya alam, manusia dan lain-lain. Dalam hal belajar umpamanya, Bruner seperti dikutip oleh Judith Howard, bahwa belajar adalah membawa kita untuk sesuatu yang lebih mudah, memperoleh kemampuan aplikasi guna menyelesaikan problem-problem baru.8 Tafsir belajar yang lebih maju menurut Howard ini mengindikasikan bahwa kurikulum juga harus dapat mengatasi masalah-masalah baru yang muncul. Dengan demikian kurikulum harus menyesuaikan baik dari sisi tujuan, content, strategi pembelajaran maupun evaluasinya. Maka diperlukan lembaga pendidikan yang profesional, seperti ditulis oleh Kenneth J. Meier, bahwa sistem pendidikan yang establish dari sebuah lembaga pendidikan selalu bersifat profesional terhadap murid-muridnya sebagai peserta didik dan kemudian mendesain secara spesial kurikulum untuk mereka.9 Laporan Yu>suf al-Ani>zy dapat dijadikan dasar, bahwa pendidikan sekarang lebih difokuskan pada permasalahan umum, masalah umum diibaratkan dengan sesuatu yang harus didahulukan, kita dapat melihat Amerika lima puluh tahun yang lalu, ketika Amerika memisahkan diri dengan Rusia sebagai awal bagi Amerika untuk menjadi penguasa dunia, maka terjadilah kebangkitan pendidikan di wilayah itu, dan berkembang pula kurikulum dan sistem pendidikannya, yang demikian terjadi

7

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 (Jakarta: Sinar Grafika,

2008), 24. 8

Judith Howard, Curriculum Development (Elon University: Center for the Advancement of Teaching and Learning, t.t.), 1. 9

Desain Kurikulum secara special maksudnya secara khusus, disesuaikan dengan tujuan institusi, perkembangan anak didik dan daerah di mana institusi itu berada. Kenneth J. Meier, “School Boards and the Politics of Education Policy”, dalam Christina Wolbrecht And Rodney E. Hero (Ed.), The Politics of Demokratic Inclusion (Philadelphia: Temple University Press, 2005), 239.

34

di Amerika sebagai negara yang telah maju ilmu pengetahuan umumnya. Dari sini terjadi perkembangan ilmu-ilmu tadi ke negara lain. Hal seperti ini adalah sunnatulla>h (QS. Al-Fathir: 43).10 Lapangan pendidikan, demikian laporan yang diberikan Yu>suf al-Ani>zy, sebagai content dari kurikulum adalah luas, hal ini mengharuskan untuk mengikat pendidikan mengandung berbagai makna, masuknya pendidikan adalah beserta ilmu yang lain. Ada bekas dari pendidikan itu dan ada bekas pula dalam pendidikan itu. Di antara beberapa contoh ilmu yang merupakan content dari kurikulum ini adalah ilmu agama, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu jiwa, ilmu sosial, sejarah dan lainlain. 11 Dalam Islam, ungkap Salabi, kurikulum sebagai bagian penting dari sistem pendidikan Islam telah ada sejak periode awal keberadaan pendidikan Islam, yaitu pada masa hidup Rasulullah Muhammad SAW. Mata pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum pada periode tersebut adalah berupa; membaca, menulis dan sha‘ir ‘Arab.12 ‘Ali Ashraf menambahkan dengan al-Qur’an dan Hadis, Tata Bahasa, Retorika, dan Prinsip-Prinsip Hukum. 13 Kurikulum pendidikan Islam pernah mengalami kemajuan pesat, seperti diungkap Nakosteen, ketika pendidikan Islam sudah mulai diformalkan, masa kemajuan ini pada abad klasik pertengahan, content kurikulumnya meliputi; Matematika (Aljabar, Trigometri dan Geometri), Sains (Kimia, Fisika dan Astronomi), Kedokteran (Anatomi, Pembedahan, Farmasi, dan cabang-cabang ilmu kedokteran khusus), Filsafat (Logika, Etika dan Metafisika), Kesusasteraan (Filologi, Tata Bahasa, Puisi dan Ilmu Persajakan) Ilmu-ilmu Sosial (Sejarah, Geografi, disiplin-disiplin yang berhubungan dengan Politik, Hukum, Sosiologi, Psikologi dan

10

Yu>suf al-Ani>zy, Mana>hij al-Bah}si al-Tarbawi> bain al-Nadz}ariyah wa al-Tat}biqiyah (Beirut: Maktabah al-Fala>h li al-Nashri wa al-Tauzi>’i, 2005), 54. 11

Yu>suf al-Ani>zy, Mana>hij al-Bah}su al-Tarbawi> bain al-Naz}ariyah wa al-Tat}biqiyah, 59.

12

Ahmad Salabi, History of Muslim Education (Beirut: Da>r al-Kashaf, 1954), 16.

13

Syed Ali Asyraf, New Horison in Muslim Education (Cambridge: Hodder and Staughton The Islamic Academy, 1985), 29-30.

35

Jurisprudensi (Fikih), Teologi (Perbandingan Agama, Sejarah Agama, Studi alQur’an, Tradisi Religius (Hadis) dan topik-topik ilmu keagamaan lainnya.14 Jika melihat content kurikulum yang telah diuraikan di atas, jelas bahwa kurikulum pendidikan Islam pada awalnya terpadu (monisme) antara ilmu-ilmu keagamaan (shar‘iyah) dan ilmu-ilmu alamiyah (qauniyah). Mengalami pergeseran ketika dunia Islam mundur, yaitu terjadi dikotomi ilmu. Selanjutnya muncul abad pembaharuan pendidikan Islam, yang jika diamati memunculkan sekularisme dan ortodoks. Di sini jelas kurikulum mengalami pergeseran. Bila melihat kasus sejarah pendidikan Islam, kurikulum bergeser bisa ke arah kemajuan, juga bisa ke arah kemunduran. Ada statement yang mengatakan bahwa ganti menteri, berubah

pula

kurikulumnya, ini juga dibenarkan oleh William J. Ellena, kepemimpinan dalam pengembangan kurikulum adalah respon utama dari pengawasan. Operasional dari sistem sekolah dengan kepemimpinan yang salah dalam kurikulum adalah potensi sebuah kerusakan untuk kualitas pendidikan tiap anak. 15

Seraya menguatkan

pendapat Ellena, William A. Niles, melaporkan bahwa ada sebuah tingkatan yang tinggi dari ekspektasi pengawasan sekolah yang harus terlibat dalam pengembangan kurikulum. Tetapi secara alami dan lebih luas keterlibatan tidak diakui semua.16 Seraya mengurai secara rinci, tentang kepemimpinan dalam pengembangan kurikulum, Saylor dan Alexander mengidentifikasikan, bahwa ada tiga tugas lapangan kepemimpinan kurikulum; (1) Kepemimpinan, adalah proses perencanaan kurikulum, (2) Koordinasi, adalah usaha dari semua kelompok dan individu bekerja pada problem-problem kurikulum, (3) Acting, adalah sebuah agen perubahan untuk

14

Lihat, Syaifudin Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq, Desain Pengembangan dan Implementasi, 1-2. 15

William J. Ellena (Ed.), Curriculum Handbook For School Ececutives (Arlington, Virginia: AASA, 1973), 370. 16

William A. Niles, Pennsylvania Superintendents Perception of Their Role In Curriculum Development and The Improvement of Instruction (Temple: University Board, 1986), 38.

36

perbaikan kurikulum. 17 Jelas bahwa pergeseran kurikulum harus didasarkan pada kepemimpinan yang kuat, koordinasi yang jelas dan acting dalam rangka merealisasikan perubahan ke arah yang lebih baik. Pergeseran (pengembangan) kurikulum sebenarnya terjadi secara umum di semua negara, tidak hanya di Indonesia, sebagai contoh Mansour A. M. Bin Salamah, menjelaskan secara panjang lebar dalam disertasinya, bahwa pengembangan kurikulum juga terjadi di Arab Saudi. 18 Terlebih Indonesia adalah negara berkembang, maka pergeseran kurikulum lebih sering terjadi dari pada negara maju. Beberapa argumen di atas cukup kuat mengatakan bahwa pergeseran kurikulum merupakan sebuah keniscayaan.

B. Pergeseran, Inovasi, Pengembangan dan Perubahan Kurikulum Kerancuan pemahaman akan terjadi ketika perbedaan pengertian antara pergeseran, inovasi, pengembangan dan perubahan kurikulum tidak diuraikan secara jelas. 1. Pergeseran Terkait dengan pergeseran kurikulum ini, Connelly, Elbaz dan Kennedy berpendapat bahwa fungsi guru adalah seorang penggeser kurikulum dari guru yang 17

J. Galen Saylor dan William M. Alexander, Curriculum Planning For Modern School (New York: Holt Renehart and Wilson, 1966), 505. 18

Lihat, Mansour A. M. Bin Salamah, An Investigation of the Relationship Between Saudi Teachers’ Curriculum Perspectives and Their Preference of Curriculum Development Models (Morgantown, West Virginia: Virginia University Press, 2001), 40. Kelemahann pengembangan kurikulum di Arab Saudi adalah diakui oleh al-Qahtani dan al-Ajroush, bahwa pengambil keputusan kurang kontak dengan aktifitas harian atau praktek-praktek di sekolah dan tidak menghadirkan input para guru, prinsip-prinsip, orang tua, para siswa dan dalam pengembangan kurikulum. Sama halnya Razik dan Willis menegaskan, bahwa mayoritas percaya bahwa pengembangan kurikulum untuk memberikan kurikulum dalam hubungannya dengan lingkungan. Kenyataan, pengembangan kurikulum adalah secara ketat mendapat kontrol dari Kementerian Pendidikan. Deskripsi yang sangat detel dari content di atas dan kunjungan supervisi pendidikan adalah arti yang sangat utama untuk mengontrol implementasi kurikulum. Lihat, Mansour, An Investigation of the Relationship Between Saudi Teachers’ Curriculum Perspectives and Their Preference of Curriculum Development Models, 42. 18

William J. Ellena (Ed.), Curriculum Handbook For School Executives (Morgantown, West Virginia: Virginia University Press, 2001), 40.

37

berfungsi sebagai seorang implementer kurikulum untuk seorang guru yang berfungsi sebagai seorang pengembang kurikulum. 19 Hal ini membuktikan bahwa peran seorang guru penting sekali dalam pergeseran kurikulum. 20 Karena sebab kuat terjadinya pergeseran berawal dari guru sebagai pelaksana kegiatan belajar mengajar di kelas. Jan Parker berpendapat untuk sebuah pergeseran kurikulum, bahwa kurikulum akan lebih ideal dan mempunyai model yang baik, bila orientasi kemampuan para siswanya tertumpu pada 3 domain. Lebih lanjut Parker mengatakan bahwa para siswa mendesain diri mereka dengan interaksi aspek-aspek pengetahuan, skill (action) dan sikap (good attitude). Demikian juga bahwa kurikulum mengajak kepada kecintaan siswa terhadap pengetahuan, dan menggunakan inspirasi guru, mengembangkan kritik kematangan diri, yang demikian disebut dengan apresiasi sufistik. Dimana tidak dilegalkan oleh Barnett merupakan paradigma superkomplek, dan merupakan sistem nilai yang mengandung pengertian bagaimana dan mengapa kepribadian merupakan sebuah investasi. Pendekatan ini untuk kurikulum merupakan pusat

metakognisi dan

self-direction

dan

dikatakan oleh Parker

sebagai

19

Mansour, An Investigation of the Relationship Between Saudi Teachers’ Curriculum Perspectives and Their Preference of Curriculum Development Models, 52-53. 20

Ada sebuah pendapat, bahwa partisipasi seorang guru dalam pengembangan kurikulum bukan hal yang baru. Lebih awal Dewey menebak bahwa guru adalah seseorang yang dengan sendirinya dapat membuat kurikulum hidup. Didasarkan pada pandangan Dewey, guru bukan hanya sebagai pembuat kurikulum tetapi mereka adalah bagian dari seseorang yang mendesain kurikulum untuk diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran tanpa pandang waktu dan tempat. Lihat, J. D. Clandinin dan F. M. Connelly, Teachers as Curriculum Maker, dalam Handbook of Research on Curriculum, (Ed) P. Jackson (New York, Macmillan: Publishing Co., 1992), 365. Oleh karena itu pergeseran (pengembangan) kurikulum tidak dapat eksis tanpa peran guru. Guru memainkan peran yang dominan dalam pergeseran (pengembangan) kurikulum. Lihat, L. Stenhouse, An Introduction to Curriculum Research and Development (London: Heinemann, 1975), lihat pula J. Jennings, School Reform Based on What is Taught and Learned (Phi Delta: Kappan, V 76, 1995), 10. Lihat pula, P. White, Teacher Empowerment Under “Ideal” School-Site Autonomy, Educational Evaluation and Policy Analysis, v 14, (1992), 1. Demikian pula pergeseran (pengembangan) kurikulum tidak akan eksis tanpa peran serta guru. Guru punya peran yang dominan dalam pergeseran (pengembangan) kurikulum. Lihat, L. Stenhouse, An Introduction to Curriculum Research and Development (London: Heinemann, 1975). Lihat pula, G. I. Maeroff, The Empowerment of Teachers, (New York: Teachers College Press, 1988). Lihat pula, L. McNeil, Contradictions of Control, (New York: Routledge dan Kegan Paul, 1989). Lihat pula, A. Shanker, Reform and the Teaching Profession, dalam Crisis in Teaching Perspectives on Current Reforms (Eds) L. Weis ( Altbach: P. G., 1989).

38

transformasi. 21 Singkatnya pergeseran kurikulum berarti peralihan atau pemindahan dari satu kurikulum ke kurikulum lainnya, atau dari kurikulum lama ke kurikulum baru, atau pun juga dari kurikulum tradisional ke kurikulum modern. Pergeseran kurikulum di sini juga lebih bersifat dinamis. 2.Inovasi McNeil melaporkan, banyak orang-orang yang percaya bahwa inovasi22 kurikulum adalah sebuah kekuatan sekolah.23 Sekolah unggulan, sebagai contoh, biasanya berbeda dari yang umum, ia mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri, beda di sini adalah dari sisi keunggulannya, seperti unggul bahasanya, ilmu-ilmu sosial maupun eksaknya dan lain-lain. Munculnya sekolah unggulan adalah karena ada inovasi dalam kurikulumnya. Bila melihat realitas yang demikian berarti laporan Neil ada benarnya. Lebih lanjut Neil melaporkan, bahwa para sosiolog menginformasikan inovasi kurikulum di sekolah lebih banyak daripada penemuan kurikulum yang baru. Peminjaman sebuah model kurikulum adalah peniruan secara langsung atau sebuah kepentingan bagi personil yang baru. Pendahulu dicontoh oleh orang yang datang kemudian, dengan cara melihat pusat pembelajaran di daerah lain sebagai bahan pembanding. Berikutnya memulai dengan desain kurikulum yang mirip, menghindari hal-hal yang tidak benar dan beberapa hal yang telah menjadi gabungan dengan inisial pengembangan.24 Report Neil, dapat disetujui dengan analog, bahwa inovasi kurikulum lebih mudah karena mengembangkan kurikulum yang sudah ada,

21

Judith Howard, Curriculum Development, 3.

22

Karakteristik suatu inovasi adalah; kreatif, baru, praktis, perubahan nilai, ekonomis, dan merupakan suatu terobosan. Dan lingkup inovasi terdiri dari tiga bagian yaitu inovasi struktur (SD 5 tahun), inovasi materi (materi teknologi informasi dan komunikasi untuk SMU tahun 2004), dan inovasi proses (e-learning) melalui tahapan konwledge, persuasion, decision, implmentation, dan confirmation. Lihat, Rogers. M. Everett, Diffusion of Inovations (London: Collier Macmillan Publishers, 1983), Cet III, 164. 23

McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction (Boston, Toronto: Little, Brown and Company, tt.), 121. 24

McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 117.

39

sementara menemukan kurikulum yang baru jauh lebih sulit karena seratus persen merubah desain kurikulum yang telah ada, hal ini mesti banyak faktor yang terkait dan mempengaruhinya. Ada pernyataan menarik dari Parker, bahwa tanpa rasionalisasi pekerjaan sekolah tidak akan tercapai. 25 Rasionalisasi adalah sangat terkait dengan manajemen dan kualitas manajemen yang berimplikasi pada kualitas pengajaran dan out put suatu lembaga pendidikan. Rasionalisasi sangat terkait dan mendukung terjadinya inovasi kurikulum. Model-model pengembangan kurikulum nampaknya memiliki asumsi bahwa komunikasi yang baik adalah perlu, tulis Neil. Tetapi satu kritik yang dimunculkan, sebagai contoh, bahwa sebuah himpunan guru mungkin menjadi oposisi sebuah inovasi kurikulum sebab tambahnya beban kerja dan jam pelajaran yang lebih panjang membutuhkan personil yang banyak. 26 Disisi lain, guru yang merupakan agen perubahan adalah memperoleh perhatian banyak, tulis Neil kemudian. Di Inggris, banyak inovasi kurikulum tumbuh dari imajinasi kerja guru di kelas. Di Amerika Serikat, bagaimanapun, inovasi kurikulum masih memperhatikan apa yang datang dari sekitar kelas, melalui pemerintahan dan foundation (yayasan) yang memberi

support

proyek-proyek

melalui

wartawan-wartawan

komersial. 27

Kelihatannya Neil menulis dari dua sisi, top down, yang anti inovasi kurikulum, yaitu himpunan para guru, nampaknya sisi ini lebih bersifat politis. Kedua, bottom up, yang pro inovasi kurikulum bahkan merupakan agen inovasi kurikulum, sisi ini lebih dipengaruhi oleh faktor kenyataan yang ada di kelas (sosial). Thelma Harms berpendapat, seraya lebih mendukung tulisan Neil yang kedua, bahwa guru Amerika mempunyai sebuah peran dalam inovasi kurikulum. Dia

25

Pendapat Parker seperti dikutip oleh Khodadad (Khodi) Kaviani, “Influences on Social Studies Teachers’ Issue-Selection for Classroom Discussion: Social Positioning and Media”, dalam Social Studies Research and Practice, Volume 1, Number 2, Summer 2006, 3. 26

McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 122.

27

McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 124.

40

menebak bahwa peran guru adalah untuk men-establish-kan sebuah kurikulum yang berbeda. 28 Pada akhirnya Neil memberikan kesimpulan, bahwa guru harus mensintesakan banyak strategi pembelajaran sebagai oposisi yang inhern pada material kurikulum yang berbeda dari luar kelas. 29 Yang jelas terjadi oposisi yang kuat antara realitas dalam kelas dengan kepentingan politis luar kelas. Hal ini juga terjadi di Indonesia, terjadinya tabrakan antara kepentingan elit politik dengan masyarakat bawah (guru) dalam hal inovasi kurikulum. James M. Mahan telah menulis pengalamannya pada tataran regional, daerah yang luas, dan bangunan –tingkat aktifitas instalasi kurikulum. 30 Kemudian dia memformulasikan satu dari beberapa bimbingan secara spesifik untuk merespon orang-orang terhadap inovasi kurikulum pada realitas pengajaran di kelas. Dia membuat beberapa generalisasi, (1) meng-establish-kan kondisi pemerintah, (2) menyeleksi inovasi kurikulum, (3) memelihara pengenalan kelas terhadap inovasi kurikulum, (4) menyediakan mekanisme asisten, (5) memonitor kurikulum di kelas, (6) memelihara kurikulum setelah kurikulum diinovasi. 31 Generalisasi, Mahan terhadap inovasi kurikulum melibatkan

pihak pemerintah sebagai pemegang

kebijakan, personil pemerintah yang diberi kewenangan untuk mengadakan inovasi kurikulum, serta menjalankan fungsinnya,

diantaranya fungsi kontrol dan

pemeliharaan, yang tidak terlepas dengan pelaksana kurikulum yaitu para guru. 3.Pengembangan Pengembangan kurikulum (Curriculum Development), logikanya, dari kurikulum yang sudah ada dikembangkan menjadi kurikulum yang lebih baik. Herma Rosenfeld Mastoon, mendefinisikan pengembangan kurikulum sebagai suatu usaha

28

Thelma Harms, Change – Agent in Curriculum, Young Children 29, No. 5 (July 1974),

280-288. 29

McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 124.

30

James M. Mahan Frank, Observations on Innovation in Elementary School, Interchange 3, nos. 2-3 (1972), 144-160. 31

McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 129.

41

secara sistematis untuk mendesain program pendidikan yakni fasilitas-fasilitas pembelajaran. 32 Pengembangan kurikulum, lanjut Herma, harus merupakan sebuah proses yang terus menerus. Seperti material dan prosedur yang dikembangkan, dicoba dan dirasa, hasil-hasilnya dinilai dan dievaluasi, kekurangan-kekurangan mereka dapat diidentifikasi dan direvisi agar lebih maju. Hasil pengembangan kurikulum dan program pengajaran akan maju secara terus menerus. 33 Herma meyakini bahwa pengembangan kurikulum tak pernah henti, analisis Herma membenarkan pernyataan bahwa pengembangan kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Berbeda

dengan

Herma,

pengembangan

kurikulum

(curriculum

development) menurut Zais, adalah sebuah proses menentukan bagaimana konstruksi (bangunan) kurikulum itu berproses.34 Di sini curriculum construction mirip dengan curriculum development. Oemar Hamalik lebih jelas dalam mendukung pernyataan Zais, bahwa pengembangan kurikulum merupakan salah satu proses dari perekayasaan kurikulum, dimana perekayasaan kurikulum

harus melibatkan,

konstruksi kurikulum, pengembangan kurikulum, dan implementasi kurikulum. 35 Dengan Redaksi dan substansi yang berbeda dengan Herma dan Zais, Ralph Tyler, mendefinisikan pengembangan kurikulum adalah proses yang mengaitkan satu komponen kurikulum dengan komponen kurikulum lainnya untuk menghasilkan kurikulum yang lebih baik. Untuk mendapatkan kurikulum yang lebih baik Ralph Tyler mengatakan ada empat kelompok penentu pengembangan kurikulum, yaitu; (1) the philosophy of community, the school and the teacher, (2) the expectation, need 32

Herma Rosenfeld Mastoon, Curricululm Reform in The Art Humanities in Pennsylvania: An Evaluation, (tk: Temple University Press, 1989), 17. 33

Mastoon, Curricululm Reform in The Art Humanities in Pennsylvania: An Evaluation,

20. 34

H.A. Girouk, A.N. Penna dan W.F. Pinar, Curriculum and Instruction Alternatives in Education (California: McCutchan Publishing Corporation, 1981), 45. 35

Konstruksi kurikulum adalah proses pembuatan keputusan yang menentukan hakikat dan rancangan kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah prosedur pelaksanaan pembuatan konstruksi kurikulum, dan implementasi kurikulum adalah proses pelaksanaan kurikulum yang dihasilkan oleh konstruksi dan pengembangan kurikulum. Lihat, Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), 14.

42

and/or demands of society (parents, local community, national government, etc….), (3) the nature of the learner (level of physical, mental, and psychological growth and development), (4) the nature of discipline to be tought (content).36 Dari tiga ahli kurikulum dijumpai definisi yang berbeda antara satu dan lainnya. Herma lebih menekankan desain fasilitas pembelajaran, sementara Zais bagaimana konstruksi kurikulum berproses dan Tyler menghasilkan kurikulum lain yang lebih baik. Menurut analisa saya, ketika fasilitas pembelajaran didesain dengan baik akan membentuk konstruksi kurikulum yang kokoh, sehingga memanifestasikan suatu kurikulum yang lebih baik daripada kurikulum sebelumnya. Analisis ini diperkuat Ahmad, dkk, bahwa pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlalu, sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang lebih baik. Dengan kata lain pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu tertentu.37 Ide yang cukup bryliant dari Filosof pendidikan Franklin Bobbitt (18761956) dan Werrett Charters, pengembangan adalah mesin teori. Teori adalah mengembangkan efesiensi pada sekolah-sekolah yang mengimplementasikan ide-ide tertentu; eliminasi kelas-kelas kecil, rasio guru-siswa, pemotongan gaji-gaji guru ketika diperlukan dan lain-lain. 38 Ketika teori pengembangan kurikulum sudah cukup kuat, maka implementasinya dalam manajemen sekolah menjadi cukup baik.

36

M. Ahmad, dkk, Pengembangan Kurikulum (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 62.

37

M. Ahmad, dkk, Pengembangan Kurikulum, 64.

38

Bobbitt mempublikasikan buku ini dengan judul ”Kurikulum Tahun 1819”, ia menjelaskan metode-metode untuk pengembangan kurikulum, indikasi hanya subject matter bukan sesuatu yang disediakan. Lihat, Susan Pennnock Smith, Barriers Encountered In The Instruction of Students Who Have Sustained Brain Injuries: An Instructional Curriculum To Assist in Eliminating Barriers (Detroit, Michigan: Graduate School of Wayne State University, 2005), 18.

43

Beauchamp (1975) mengidentifikasi model pengembangan kurikulum, menurutnya ada tiga komponen yang esensial, pertama, include dalam filsafat kurikulum, kedua, sebuah model konsep disiplin, ketiga, teori pembelajaran.39 Sementara, Hilda Taba mengidentifikasikan tujuh langkah rencana pengembangan kurikulum; (1) mendiagnosis kebutuhan, (2) menformulasikan tujuan, (3) menyeleksi content, (4) mengorganisir content, (5) menyeleksi pengalaman belajar, (6) mengorganisir pengalaman belajar, (6) penentuan evaluasi dan metode serta arti yang akan dilakukan. 40 Judith Howard, sedikit memperkuat identifikasi Beauchamp dan Taba di atas, kurikulum yang baik adalah akan merencanakan pembelajaran untuk menempatkan komunitas-komunitas praktek dalam kelompok kerja dan kelompok evaluasi. 41 Langkah selanjutnya adalah merealisasikan rencana pengembangan ini. Ketika

pelaksanaan

pengembangan

kurikulum

sudah

cukup

baik,

maka

pengembangan itu juga akan berfungsi dengan baik. Daniel dan Laurel N Tanner, menyebutkan setidaknya ada empat

fungsi pengembangan kurikulum, (1)

39

Lihat, Rosalie M Mirenda, A Conceptual - Theoretical Strategy For Curriculum Development in Baccalaureate Nursing Programs (tk: Widener University Press), 5-6. 40

Hilda Taba, Curriculum Development: Theory and Practice (New York: Harcourt, Brace and World, 1962), 12. Walaupun berbeda dengan Beauchamp dan Taba, tetapi dapat dijadikan bahan pembanding, The Directorate of Research and Curriculum, mengembangkan Comprehensive Project of Curriculum Development (CPCD). Yang terdiri dari 6 tahapan; yaitu (1) Mempelajari realita dan menentukan pondasi dan kriteria pengembangan kurikulum oleh individu-individu secara khusus, (2) menyiapkan dokumen kurikulum yang di dalamnya mengandung tujuan, content kognitif, arti dan aktifitas pembelajaran, evaluasi dan kriteria secara teknik dari buku-buku para siswa dan petunjuk para guru, (3) mempersiapkan learning material yang memuat tulisan buku-buku sekolah dan petunjuk guru untuk semua subyek, (4) ekperimen yang terdiri dari implementasi buku-buku sekolah pada sekolah-sekolah secara random kemudian mengubah dalam sebuah keberhasilan, (5) generalisasi yang di dalamnya terdiri dari desain buku-buku sekolah dan cetakan mereka kemudian mengirim ke seluruh negeri, (6) evaluasi dan supervisi secara berkesinambungan untuk mengembangkan buku-buku sekolah. 41

Judith Howard, Curriculum Development (tk.: Center for the Advancement of Teaching and Learning Elon University, tt.), 3.

44

mengidentifikasi obyek, (2) menyeleksi arti untuk dicapai dari beberapa obyek, (3) mengorganisir arti, dan (4) mengevaluasi out come.42 4.Perubahan Perubahan kurikulum sebenarnya merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan apabila salah satu atau beberapa komponen kurikulum dalam waktu tertentu perlu diperbaiki atau diubah.43 Ketika diperbaiki berarti tidak berubah total, diubah bisa juga berarti berubah total. Menurut McNeil ada 5 tahap perubahan kurikulum, yaitu: pertama, penggantian (substitution). Satu elemen yang dapat menggantikan untuk kurikulum yang sedang berjalan. Penggantian atau penukaran, misalnya mengganti buku pelajaran yang lama dengan yang baru, metode yang lama dengan yang baru, atau menukar guru atau kepala sekolah. Kedua, perubahan (alteration). Mengadakan perubahan dalam struktur yang ada, misalnya menyerahkan bimbingan dan penyuluhan kepada seorang ahli sedangkan selama ini dipegang oleh guru. Dengan kata lain, perubahan cocok ketika sebuah perubahan dikenalkan ke dalam eksistensi material dengan harapan akan memunculkan yang baru dan kemudian siap diadopsi. Ketiga, kekacauan (perturbation). Beberapa perubahan ini bersifat pengacauan, tetapi guru-guru dapat menyesuaikan mereka secara fair dalam tempo yang singkat. Kebanyakan guru dalam hal ini, dengan mudah keluar memberi penghargaan untuk sebuah perubahan pada schedule kelas dan setiap waktu memberi penghargaan untuk pengajaran. Keempat, perubahan re-struktur (restructuring changes). Perubahan ini mengarah pada modifikasi sistem itu sendiri. Desentralisasi dan konsep baru dari peran pembelajaran adalah beberapa contoh re-strukturisasi. Ketika para siswa dan orang tua mulai berpartisipasi pada seleksi yang obyektif dan mendesain kesempatan pembelajaran, ini adalah sebuah perubahan sistem. Kelima, perubahan yang berorientasi nilai (value orientation changes). Ini merupakan tingkat yang fundamental dari partisipasi orientasi nilai. Ketika sebuah sekolah mulai 42

Daniel and Laurel N Tanner, Curriculum Development: Theory into Practice (New York: Macmillan Publishing Co, 1980), 83. 43

M. Ahmad, dkk, Pengembangan Kurikulum, 64.

45

mempekerjakan para guru baru yang dapat menumbuhkan nilai kepribadian siswa atau lebih banyak merekontruksi nilai-nilai sosial daripada pencapaian akademik, beberapa orientasi nilai seperti ini disebut perubahan. 44 Ronald Lippitt, seorang psikolog sosial terkemuka aktif mencermati pengembangan kurikulum, dia mendapatkan 6 fase perubahan kurikulum. Modelnya lebih komprehensip daripada model-model perubahan yang lain. Lippitt adalah seseorang yang sedikit melihat tentang keterlibatan anak didik dalam perubahan dan spesifikasi fungsi bahwa kepemimpinan guru dalam penerimaan dan penggunaan inovasi lebih besar. Jika garis pedoman Lippitt untuk komite kurikulum diikuti, sekolah kita mempunyai lebih banyak keefektifan material kurikulum. Enam fase perubahan kurikulum menurut Lippitt, yaitu; (1) Pemanfaatan Sumber Baru (New Resources Utilization), (2) Presentasi Sumber Baru (Presentation of New Resources), (3) Adopsi Sumber Baru (New Resources Adoption), (4) Pencarian Sumber Baru (New Resources Search), (5) Distribusi Sumber Baru (New Resources Distribution), (6) Pengembangan Sumber Baru (New Resources Development).45 Bila dibandingkan tahap perubahan kurikulum menurut Neil lebih mendasar dengan metode yang cukup revolusioner. Sementara Lippitt, nampak lebih hati-hati dan akomodatif dengan pihak sekolah, dengan metode yang halus, seolah-olah tidak terjadi perubahan tetapi sebenarnya berubah. Bila dicermati sumber perubahan kurikulum berasal dari dua pihak, pertama para administrator sekolah, kedua, guru di kelas. Hal ini sering terjadi konflik. Seperti dinyatakan oleh para sosiolog, bahwa para administrator sekolah bagaikan kumpulan orang-orang “di pertengahan” sedikit kemungkinan untuk mengadakan perubahan kurikulum. Lebih lanjut diperkuat Art Gallaher, Jr., sebagai contoh, ungkapnya,

44 45

McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 116-117.

McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 119-121. Bahkan kurikulum sekolah selalu ditentukan oleh masyarakat dan kebudayaannya tempat sekolah itu berada, lihat, S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 158. Dimana masyarakat dan kebudayaan senantiasa mengalami perubahan.

46

bahwa pada organisasi formal, para administrator sekolah harus menjaga keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang berbeda. Mereka tidak mengasingkan diri dari publik dan tempat-tempat formal seperti sekolah. Kemudian masalah perubahan kurikulum tidak dapat berhenti terlalu lama dengan para administrator.46 Connelly and Elbaz melaporkan bahwa pada dasarnya para guru melawan adanya perubahan kurikulum. 47 Dalam hal ini, Smith dan kawan-kawan, memperkuat Connelly dan Elbaz, pernyataannya, setiap orang terlibat dalam pengembangan kurikulum, tetapi semua orang melawan adanya perubahan kurikulum, perlawanan ini datang dari para guru, siswa, para administrator dan organisasi dari setiap golongan. 48 Uraian di atas memberikan garis bawah bahwa perbedaan antara pergeseran (shift), inovasi (innovation), pengembangan (development), dan perubahan (change) kurikulum adalah sangat minim, hampir tidak kelihatan. Seperti pergeseran diartikan peralihan atau pemindahan, juga diartikan perubahan. Inovasi diartikan pembaharuan, tetapi juga diartikan perubahan. Pengembangan adalah perbaikan dari yang sudah ada berarti juga berubah. Sementara perubahan itu sendiri diartikan pergantian atau perbaikan. Dengan demikian menurut kesimpulan saya, perbedaan ini sangat minim bahkan hampir tidak kelihatan. Sementara persamaannya adalah jelas berubah ke arah yang lebih baik dan dinamis.

46

Lihat, Jr. Art Gallaher,: Directed Change in Formal Organizations: The School System, Change Processes in the Public Schools (Eugene, Ore: The Center For The Advanted Study of Educational Administration, 1995). 47

F. M. Connelly dan F. Elbaz, “Conceptual Bases for Curriculum Thought: A Teacher’s Perspective, dalam Considered Action for Curriculum Thought (Alexandria: Fashay, A. W., Yearbook of the Association for Supervision and Curriculum Development, 1980), 106. 48

B. Smith, W. Stanley, dan J. Shores, Fundamentals of Curriculum Development (New York: Harcourt, Brace, and World, 1957), 425. Jika kurikulum terpadu iptek dan imtaq yang dikembangkan betul-betul menjadi sebuah kurikulum baru, maka bias dimaknai sebagai curriculum construction. Jika ia merupakan sekedar perbaikan atau penyempurnaan maka ia dapat dimaknai curriculum innovation atau curriculum reconstruction Lihat, Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), 52.

47

C. Dua Pendapat yang Berbeda Definisi kurikulum mempunyai bermacam-macam pemahaman seiring dengan perubahan dan perkembangan sosial dan teknologi. Oleh karena itu pemahaman kurikulum sekarang –pemahaman kaum modernist– mesti berbeda dengan pemahaman kurikulum para kaum tradisionalist, dimana mereka –kaum tradisionalist– memandang kurikulum adalah subyek yang diorganisir oleh guru untuk murid-muridnya. 49 Hal ini dikuatkan oleh Tanner dan Tanner, perubahan definisi kurikulum harus menampilkan bagaimana konsep dan fungsi kurikulum terlibat dalam melihat perubahan konsep ilmu pengetahuan, pembelajar, dan fungsi pendidikan. 50 Agak sedikit beda dengan Darder, bahwa kurikulum dapat dipandang sebagai presentasi dokumen untuk diimplementasikan bukan keharusan untuk dikembangkan dalam hubungannya dengan respon untuk implementasi dari kurikulum. 51 Diskusi Darder diteruskan Beauchamp, bahwa kurikulum menurutnya adalah sebuah dokumentasi dimana berisi tulisan yang menggambarkan scope dan arrangement dari proyek program pendidikan, sebagai dasar struktur lingkungan dari para guru untuk mengembangkan strategi pembelajaran secara spesifik di kelas. 52 Apa yang dikatakan Beauchamp sebenarnya memberikan sinyal bahwa pergeseran kurikulum itu dipengaruhi oleh faktor budaya (culture) dan politik. Sebagai sebuah cara pandang yang berbeda maka faktor yang mempengaruhi pergeseran kurikulum dapat diklasifikasikan pada dua pendapat yang berlainan, yaitu:

49

Mastoon, Curricululm Reform in The Art Humanities in Pennsylvania: An Evaluation,

16. 50

Daniel dan Laurel N Tanner, Curriculum Development: Theory Into Practice (New York: Macmillan Publishing Co, 1980), 43. 51 52

Darder, Culture and Power in the Classroom (New York: Bergin and Garvey, 1991), 19.

G. A. Beauchamp, Curriculum Theory: Meaning, Development, and Use. Theory Into Practice (tk: tp, 1982), 25.

48

1. Pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Anwar Jasin, seperti ditulis dalam disertasi doktornya, bahwa banyak faktor yang mendorong perubahan kurikulum, seperti faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, teknologi dan faktor intern pendidikan itu sendiri. 53 Walaupun tidak tertuju langsung pada pergeseran kurikulum, namun indikatornya jelas ke sekolah, pastinya itu kurikulum, Larry Cuban, menulis dalam bukunya, bahwa faktorfaktor yang menyebabkan perubahan daerah dan sekolah –dalam hal ini kurikulum– adalah demografi, culture (kebudayaan), politik, sosial dan ekonomi. 54 Di sini Cuban tidak memasukkan faktor ideologi (agama), tetapi ia memunculkan faktor demografi. Berbeda dengan Anwar, dimana faktor ideologi (agama), bahkan teknologi dan faktor intern pendidikan itu sendiri, ia masukkan, sebagai suatu faktor yang mempengaruhi pergeseran kurikulum. Nampakknya perbedaan keduanya masih relatif kecil dan bisa ditolelir. Catatan Audrey Osler, juga dapat dijadikan penguat, bahwa dalam seminar internasional dan interdisipliner di Harvard University tahun 2002, kehidupan dan pengalaman senantiasa berkembang sampai hari ini yang senantiasa berhubungan dengan realitas ekonomi, proses sosial, inovasi teknologi dan media, dan arus budaya yang melewati batas-batas negara dengan kejadian yang lebih besar.55 Cacatan

53

Anwar Jasin, “Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan”, Disertasi IKIP Jakarta, 1983, 5. Dalam mengembangkan dirinya manusia –sebagai subyek dan obyek kurikulum– tidak dapat berdiri sendiri, dia membutuhkan lembaga-lembaga sosial, dia membutuhkan masyarakat dan negara. Dia membutuhkan sistem nilai dan ideologi yang membutuhkan pedoman dan tujuan hidupnya sebagai warga dari suatu negara. Begitu pula sebaliknya, proses hidupnya sebagai pribadi ikut memberi bentuk pada lembaga-lembaga sosial, sistem nilai dan ideologi yang bersangkutan. Lihat, Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 7. 54

Larry Cuban menjelaskan faktor-faktor ini, untuk sekolah di Amerika, dimana sistem sekolah dan kurikulumnya adalah desentralisasi. Lihat Larry Cuban, dalam Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum (New York: Macmillan Publishing Company, 1999), 217. 55

Kondisi lokal dan global tidak bisa ditawar lagi harus berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, kurikulum sekolah membutuhkan hubungan-hubungan ini secara eksplisit. Lihat,

49

Audrey tidak menyebut kurikulum di sini, tetapi kurikulum sangat erat hubungannya dengan kehidupan, dimana kehidupan itu dinamis disebabkan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang telah disebut. Audrey juga tidak menyebut faktor ideologi (agama) dan politik dalam catatannya. Pergeseran kurikulum pastinya erat sekali hubungannya dengan pendidikan, para antropolog, seperti dilaporkan oleh Levinson, setuju bahwa pendidikan adalah suatu aktivitas yang bersifat manusiawi berdasarkan pada kehidupan sosial yang mengharuskan adanya hubungan dengan politik, ekonomi dan dimensi budaya dalam masyarakat.56 Laporan Levinson nampaknya diperkuat oleh Durkheim, investigasi sejarah ungkap Durkheim, dari formasi dan pengembangan sistem pendidikan mewujudkan bahwa mereka –orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan– tergantung pada agama, organisasi politik, tingkat pengembangan sains dan negara industri. 57 Pendidikan, lanjut Durkheim, kemudian, hanya berarti jika dapat menyiapkan masyarakat, seperti para siswa, sementara kondisi yang esensial dari pendidikan itu sangat diperlukan.58 Henry, setuju dengan Durkheim, bahwa pendidikan adalah dapat mengantisipasi sesuatu dan selalu untuk yang lain.59 Produk dan reproduksi dari kebudayaan ini di sekolah, oleh karenanya, sebuah situasi

Audrey Osler dalam, Alex More (ed.) Schooling, Society and Curriculum, 101-102. Bandingkan dengan catatan Alan Peskhin dalam Philip W. Jakcson (ed.) Hand Book of Reserch on Curriculum, 248. 56

B. A. U. Levinson, “Whither the Symbolic Animal? Society, Culture, and Education at The Millennium”, Dalam B. A. U. Levinson, K. M. Borman, M. Eisenhart, M. Foster, A. E. Fox, dan M. Sutton (Eds.), Schooling the Symbolic Animal: Social and Cultural Dimensions of Education (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2000), 3. 57

E. Durkheim, The Nature of Education. Dalam B. A. U. Levinson, K. M. Borman, M. Eisenhart, M. Foster, A. E. Fox, dan M. Sutton (Eds.), Schooling the Symbolic Animal: Social and Cultural Dimensions of Education ( Lanham, MD: Rowman dan Littlefield, 2000), 58. 58

E. Durkheim, The Nature of Education. Dalam B. A. U. Levinson, K. M. Borman, M. Eisenhart, M. Foster, A. E. Fox, & M. Sutton (Eds.), Schooling the Symbolic Animal: Social and Cultural Dimensions of Education, 61. 59

Lihat, J. Henry, Education and the Human Condition, dalam B. A. U. Levinson, K. M. Borman, M. Eisenhart, M. Foster, A. E. Fox, dan M. Sutton (Eds.), Schooling the symbolic animal: Social and cultural dimensions of education.

50

realitas

dan identitas sosial sangat mendesak.60 Eksistensi kurikulum dalam

pendidikan adalah merupakan bagian dari proses formal dari sekolah. Scribner dan Cole setuju dengan statement ini, sebuah teori pendidikan formal juga memerlukan teori bagaimana belajar dan bagaimana berfikir mengembangkan skill individu sebagai anggota masyarakat dan bagaimana proses pendidikan (pengembangan / pergeseran kurikulum juga merupakan sebuah proses pendidikan) memberikan kontribusi untuk jenis skill-skill ini. 61 Konsekwensinya, seseorang dapat memperluas hal ini untuk mengimplikasikan bahwa pendidikan dan faktor-faktor yang telah disebut, komponen utamanya adalah manifestasi budaya dan arti hubungan, dalam proses pengembangan kurikulum. Boykin, mengingatkan para pendidik, bahwa kita harus sadar dari sebuah obsesi dengan homogenitas sosial dan kontrol sosial untuk memprediksi sebuah sistem pada kebudayaan dan ras yang berbeda-beda. Anak-anak tidak berasal dari latar belakang yang sama dan mereka juga tidak memiliki pengalaman yang sama pula. Kita mengakui dan menghormati perbedaan sosial dan pendidikan ini. 62 Ladson-Billings, melaporkan bahwa banyak sekolah yang berharap mempunyai sebuah lingkungan yang kondusif untuk merekayasa kurikulum, 63 bahwa kurikulum itu respon terhadap masyarakat dan kebudayaan dalam mengembangkan kurikulum yang akan segera diimplementasikan. Banyak guru setuju bahwa mereka bekerja supaya murid mereka sukses, setiap orang dari mereka, bagaimanapun juga mempunyai perbedaan latar belakang kebudayaan, etnis dan bahasa. Bagaimanapun, 60

R. Erickson, dan J. Schultz, (1982). The counselor as Gatekeeper: Social Interaction Interviews (New York: Academic Press, 1982). 61

S. Scribner dan M. Cole, Cognitive Consequences of Formal and Informal Education (tk: tp, 1973), 553. 62

B. S. M. S. Dawn A. Lauridsen, What Are Teachers’ Perception of The Curriculum Development (New York: The Ohio State University press, 2003), 50. 63

Dalam merekayasa kurikulum perlu diingat aktifitas kurikulum. Montgomery, mencatat bahwa dasar aktifitas kurikulum adalah kurikulum inti (core curriculum), fleksibel, dan kontrak belajar. Lihat, Patricia C. Montgomery, “Toward Freedom in Education: A Survey of Independent Alternative School” (Unpublished Doctor’s Dissertation Wayne State University, Detroit, Michigan, 1980), 99-100.

51

kebudayaan harus menjadi dasar pengajaran, bukan hanya semata-mata mencocokan dengan eksistensi ekonomi dan sosial siswa. Siswa membutuhkan pemikiran kebudayaan mereka yang paralel dan berselisih dari kebudayaan sekolah (atau kebudayaan yang lain) dan bagaimana tradisi itu diharuskan. Kebudayaan relevan dengan pengajaran yang melibatkan pengembangan pemahaman yang mendalam dari kesadaran budaya dan apresiasi setiap waktu. Ini adalah kebudayaan yang relevan dengan pendidikan dan praktek pengajaran adalah bagian dari eksistensi sosial yang berpengaruh pada pengembangan kurikulum. 64 Oleh karena itu, tegas Ralph Tayler dan John Dewey, pengetahuan kurikulum senantiasa didesain dan dikembangkan terus menerus supaya terlibat dengan perubahan masyarakat dan menempatkan perkembangan baru pada sistem pendidikan. Dengan demikian fondasi kerja kurikulum adalah by theory. Pengembangan (pergeseran) kurikulum, lanjut Tayler dan Dewey harus terjadi dan kurikulum juga harus relevan dengan tuntutan masyarakat sekarang dan yang akan datang.65 Tuntutan masyarakat, berarti tuntutan sosial. Mansour A. M. Bin Salamah, ketika menulis disertasinya mencontohkan kurikulum Arab Saudi, bahwa kebijakan pendidikan yang ada di Arab Saudi, yaitu kurikulum akan membantu para siswa untuk berpartisipasi dalam pengembangan sosial. Dengan kata lain, kurikulum akan membantu siswa aktif menemukan solusi untuk masalah-masalah sosial dan lingkungan yang ada sekarang. Setuju dengan kebijakan Kementerian Arab tersebut, kurikulum fleksibel dan mengatur keadaan siswa dimana mereka berada. 66 Identik 64

B. S. M. S. Dawn A. Lauridsen, What Are Teachers’ Perception of The Curriculum Development, 51. Bandingkan dengan, G. Ladson-Billings, Reading Between the Lines and Beyond the Pages: A Culturally Relevant Approach to Literacy Teaching. Theory Into Practice (tk: tp, 1992), 312-320. 65

Lihat, Susan Pennnock Smith, Barriers Encountered In The Instruction of Students Who Have Sustained Brain Injuries: An Instructional Curriculum To Assist in Eliminating Barriers (Detroit, Michigan: Graduate School of Wayne State University, 2005), 15 – 16. 66

Mansour, An Investigation of the Relationship Between Saudi Teachers’ Curriculum Perspectives and Their Preference of Curriculum Development Models, 40. Berdasarkan 207 artikel, secara umum karakteristik kurikulum menurut Kementerian Pendidikan Arab Saudi adalah kurikulum harus mempunyai; (1) sumber dari Islam, dasar dan sistem negara, (2) konsisten dengan kebutuhan dan

52

dengan Mansour, Dawn A. Lauridsen berpendapat, bahwa proses pengembangan kurikulum dan persepsi para guru dalam pengembangan kurikulum adalah merupakan fenomena sosial. Pemberian aspek sosial dari proses pengembangan kurikulum, lensa penafsiran/konstruksi

adalah

tepat

untuk

eksplorasi

proses

pengembangan

kurikulum. 67 Pendapat Dawn diperkuat Wolcott, bahwa kebudayaan dan sosial mempengaruhi secara inhernt dalam proses pengembangan/pergeseran kurikulum, Wolcott mengakui bahwa ilmu pengetahuan adalah sosial yang dibangun oleh para generasi dan individu. 68 Kurikulum adalah sebagai pedoman para siswa dan guru untuk belajar dan mengajar, Greg Light dan Roy Cox, menulis, belajar adalah suatu proses perubahan, perubahan tidak hanya dalam hubungannya dengan intelektual saja tetapi kita harus mendasarkan pada kepribadian, sosial, dan perubahan nyata.69 Begitu besarnya pengaruh aspek sosial dalam pergeseran kurikulum sampai perubahan dalam hasil belajarpun tidak hanya aspek intelektual saja tetapi juga aspek sosial. Ornstein dan Hunkins menjelaskan bahwa pendekatan kurikulum adalah sebuah pendekatan yang merefleksikan posisi secara holistik atau sebuah metaorientasi yang didasarkan pada sebuah orientasi kurikulum (filsafat seseorang, pandangan sejarah, pandangan psikologi, teori pembelajaran, dan pandangan isu-isu sosial), beberapa domain kurikulum (umum dan mementingkan pengetahuan di lapangan), dan prinsip-prinsip kurikulum baik secara teori dan praktek.70 Ornstein dan Hunkins masih mengatakan keterlibatan kurikulum dengan faktor sosial yang obyek negara, (3) sesuai dengan tingkatan siswa, (4) pencapaian standar siswa dan pencapain tujuan pendidikan, (5) seimbang, fleksibel dan sesuai untuk kondisi dan situasi yang variatif. Lihat, Ministry of Education, Educational Policy in the Kingdom of Saudi Arabia ( Saudi Arabia, 1980), 38. 67

B. S. M. S. Dawn A. Lauridsen, What Are Teachers’ Perceptions of The Curriculum Development Process?, 10. 68

H. Wolcott, Education as Cultural Transmission and Acquisition, dalam International Encyclopedia of Education (Oxford, England: Pergamon, 1994), 1724. 69

Greg Light dan Roy Cox, Learning and Teaching in Higher Education (London: Paul Chapman Publishing, 2001), 69. 70

Lihat, Susan Pennnock Smith, Barriers Encountered in The Instruction of Students Who Have Sustained Brain Injuries: An Instructional Curriculum To Assist in Eliminating Barriers, 67.

53

merupakan faktor, dimana tidak dapat dipisahkan dengan faktor lain. Dalam bahasa yang berbeda Oliver melihat bahwa perbaikan (kemajuan) kurikulum adalah sebuah usaha secara kooperatif dan pengakuan kuat terhadap keterlibatan para guru, pembelajar, publik, administrasi dan konsultan.71 Kurikulum terlibat dengan apa yang disebut Oliver, seperti guru, pembelajar, publik dan lain-lain adalah merupakan unsur / komponen sosial yang ada di masyarakat. Membuat buku-buku teks siap pakai yang memungkinkan memberi perhatian secara kompleks terhadap para siswa dari ruangan kelas juga merupakan salah satu definisi kurikulum, seperti pembelajaran tentang kemanusiaan dan interes para guru atau sebuah kompleksitas dari politik, ekonomi, 72 kebudayaan, sejarah dan aspek-aspek kehidupan dari kehidupan sekolah. 73 Buku teks yang baik mesti disusun berdasarkan kurikulum yang sedang berkembang, sehingga scope dan squence-nya sesuai dengan perkembangan ilmu yang ada saat ini. Dengan demikian pendapat yang pertama ini tetap mengatakan bahwa pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi, agama, sosial, politik, ekonomi, dan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi. 2. Pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor politik, bahkan situasi politik masuk dalam situasi pendidikan John I. Goodlad berpendapat, bahwa perencanaan, pengembangan, pergeseran dan perubahan kurikulum74 adalah proses politik,75 bahkan proses politik

71

Albert I. Oliver, Curriculum Improvement: A Guide to Problem, Priciples and Procedures (New York: Dodd, Mead dan Co., 1965), 47-48. 72

Perdebatan teori kurikulum memunculkan berbagai macam paradigma, tetapi paradigma itu bukanlah sebuah representasi literal dari dunia pengembangan kurikulum, tetapi sebuah percaturan ekonomi dan skema yang sederhana untuk dipraktekan dengan proses yang komplek dari dunia kurikulum. Lihat, Daniel dan Laurel N Tanner, Curriculum Development: Theory into Practice, 97. 73

Lihat, Mansour, An Investigation of the Relationship Between Saudi Teachers’ Curriculum Perspectives and Their Preference of Curriculum Development Models, 40. 74

Laurel N Tanner berpendapat, bahwa sumber obyek kurikulum adalah masyarakat, pembelajar, dan dunia ilmu pengetahuan, lihat, Laurel N Tanner, Observation: Curriculum History As Usable Knowledge, Curriculum Inquiri (tk: tp, 1982), 409.

54

adalah sebuah proses ideologi yang menentukan ending (akhir) dan arti pendidikan. Statement lain mengatakan bahwa struktur politik masuk dalam situasi pendidikan. Unik dan sensitive hubungan antara lokal, negara dan pemerintah daerah dalam memberikan support dan mensikapi masalah-masalah sekolah, demikian contoh di Amerika.76 Secara sederhana, bahwa pergeseran kurikulum karena adanya masalahmasalah pembelajaran yang bermula dari kelas sebagai tempat belajar. Kemudian sampai kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan –pembuat, perubah, pengembang dan inovator kurikulum. Proses politik dalam pergeseran kurikulum, saya amati, sejak dari kelas. Seperti Olivia Bevis dalam disertasinya yang sedikit menguraikan ”Politics in The Classroom”, dia melaporkan, bahwa power (kekuasaan/kekuatan) selalu menjadi isu dalam dunia politik. Ketika seorang guru menjadi informator, menyampaikan yang benar dan salah, membuat tata tertib di kelas,

dan

merespon

hubungan,

menganalogikan,

membuat

asumsi,

mengimplikasikan ide dan teori, itu semua adalah power (kekuasaan) guru di dalam kelas. Demikian pula ketika guru mengkritik, mengevaluasi, juga power guru dalam kelas. Ketika guru membuat semua keputusan,

menjalankan prosedur, dan

menentukan siapa yang berbicara. Dan ketika pertanyaan itu harus ditanyakan dan dijawab, semua itu adalah power (kekuasaan) seorang guru di dalam kelas. 77 Karena besarnya otoritas guru terhadap siswanya, sampai ada penelitian yang dilakukan LeCompt, bahwa lebih dari 50% pernyataan seorang guru pesannya selalu

75

Proses politik juga terjadi di dalam kelas. Dalam kegiatan belajar mengajar misalnya, sikap pendidik bermacam-macam, ada yang otoriter ada pula yang demokratis. Kedua sikap ini adalah otoritas atau power (kekuasaan) seorang pendidik di kelas. Dimana kekuasaan seolah-olah adalah ending dari politik. Lihat, J. Krishnamurt, Education and Significance of Life (San Fransisco: Harper and Row, 1953), 36. 76

Goodlad dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (ed.), The Curriculum Studies

Reader, 62. 77

EM. Olivia Bevis, A New Direction for Curriculum Development For Professional Nursing: A Paradigm Shif From Training to Education (Athens, Georgia: The Chicago University Press, 1990), 199.

55

dihubungkan dengan otoritas, perintah, orientasi tugas dan orientasi waktu.78 Freire nampaknya lebih berlian dengan pemikiran reformasinya, bahwa esensi yang sesungguhnya politik yang terjadi di dalam kelas adalah adanya kekuatan yang dimiliki oleh kedua pihak yaitu siswa dan guru untuk terjadinya dialog.79 Kemudian proses politik80 itu meningkat pada level di atasnya, ending-nya adalah di pemerintahan pusat yang menangani bidang pendidikan. Joseph Fischer menulis seraya memperjelas keterangan Goodlad, bahwa sistem politik di sekolah pertama kali muncul adalah dengan karakteristik yang tidak bervariasi dengan formulasi kelas, kadangkala kasta, struktur. Pada masyarakat ini ada preser tentang perbedaan kondisi ekonomi dan secara rutin selalu muncul untuk diterapkan pertama kali pada kelas elit.81 Kenneth J. Meier menambahkan sekaligus memperkuat keterangan Fischer, sistem pendidikan adalah penting sekali untuk demokrasi politik, bahkan Botkin et. al., melaporkan bahwa dalam seminar internasional yang disponsori oleh The Club of Rome, mereka melihat pendidikan adalah sebuah alat politik yang harus diberikan untuk mengantisipasi problem dunia dan menghadapi hari kiamat. Mereka memposisikan bahwa dunia harus dihadapi dengan program kekusutan yang sangat

78

Lihat, Bevis, A New Direction for Curriculum Development For Professional Nursing: A Paradigm Shif From Training to Education, 202. 79

Dialog yang dimaksud Freire adalah mengenai pemikiran, imajinasi, dan kompetensi siswa berdasarkan keaktifannya yang memungkinkan adanya jawaban, solusi, perencanaan dan strategi pemecahannya. Dialog jangan hanya guru yang berkomentar, melainkan keduanya –guru dan siswa– ada. Diskusi itu menghasilkan pemikiran guru dan murid. Ini yang dimaksud dengan demokrasi pendidikan di dalam kelas. Bukan hanya guru yang mempunyai kekuatan (power) tetapi juga para siswa. Kekuatan (power) digunakan untuk mengorganisasi kelas dalam men-support pembelajaran. Kekuatan ini menjadi sebuah content keahlian, bagaimana belajar, menyimpulkan, dan bagaimana menjadi seorang yang ahli. Lihat, Bevis, A New Direction for Curriculum Development For Professional Nursing: A Paradigm Shif From Training to Education, 200. 80

Yang dimaksud politik di sini adalah kebijakan pemerintah terkait dengan kurikulum baik itu otoritas pemerintah untuk menggeser, mengembangkan, menginovasi ataupun merubah kurikulum. Di sini kelihatan bahwa otoritas pemerintah (politis) lebih dominan dibanding faktor lain yang mempengaruhinya. 81

Joseph Fischer, The Social Sciences and the Comparative Study of Educational, Systems (Scranton, Pennsylvania: International Textbook Company, t.t), 132.

56

besar pada beberapa area seperti energi, populasi, pemborosan, polusi, dan makanan. Mereka berfikir bahwa pendidik dan pembuat kebijakan pendidikan harus memberi pemahaman pada dua kritik: (1) kemanusiaan bergerak cepat ke arah ”kejadian simpang jalan dimana tidak ada ruang untuk berbuat kesalahan”, (2) kita harus memutuskan lingkaran jahat dari sesuatu yang komplek, dan pemahaman yang salah dimana masih ada waktu untuk belajar.82 Dari sini muncul dua pendapat: pertama, bahwa nyatanya pendidikan disediakan untuk skill dan pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Secara alamiyah bahwa kontribusi pendidikan diakui secara nyata, dimana bahwa ukuran pendidikan adalah riil mandat dari beberapa studi partisipasi politik. Kedua, sedikit kenyataan bahwa pengaruh kuat proses pendidikan itu sendiri termasuk demokrasi. Pada umumnya untuk semua proses yang lain, pendidikan menyediakan manfaat lebih besar untuk individu-individu daripada manfaat untuk yang lain. Tidak hanya sarjana dari institut ke institut atau sekolah ke sekolah, pendidikan tidak hanya menyediakan prospek yang lebih besar untuk demokrasi, untuk murid-murid dari pada yang lain, tetapi menyediakan aktualisasi prospek untuk seseorang.83 Memperkuat argumen Goodlad, A. V. Kelly, menegaskan, sebuah analisis fungsi historis dari sistem sekolah seperti aspek-aspek atmosfir peradaban negara menduga bahwa sistem sekolah adalah distimulasi oleh lingkaran politik. Khususnya bagaimana, baru-baru ini telah mengakumulasikan bukti bahwa sektor politik dari negara yang merupakan konstitusi dari masyarakat, dan lingkaran ekonomi diakui diantara instrumen kontrol infrastruktur pertahanan, bimbingan hipotesis lebih lanjut bahwa lingkaran politik dan ekonomi dalam posisi difusi dalam pendidikan.84 Kenneth J. Meier melaporkan, orang Amerika yang ideal adalah seseorang yang 82

J. Botkin, M. Elmandjra, dan M. Malitza, No Limits to Learning: Bridging The Human Gap, A Report to the Club of Rome (New York: Pergamon Press, 1978), 2. 83

Kenneth J. Meier, School Boards and the Politics of Education Policy, dalam Christina Wolbrecht dan Rodney E. Hero (Ed.), The Politics of Demokratic Inclusion (Philadelphia: Temple University Press, 2005), 238. 84

Fischer, The Social Sciences and the Comparative Study of Educational Systems, 130.

57

menempati posisi strategis dalam pendidikan, seperti jalan yang menanjak, hal itu sama saja ketika seseorang berpartisipasi dalam bidang politik dan ekonomi. Jika demikian, orang Amerika yang ideal memandang pendidikan sebagai solusi untuk kesamaan dalam demokrasi. Itu sangat baik seperti diungkapkan Marx yang menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah kembali menguatkan bias politik, untuk struktur pendidikan supaya perbedaan-perbedaan diantara kelompok besar dan kecil tidak kelihatan.85 Dengan lugasnya Marx mengatakan bahwa pendidikan dengan politik adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, hal ini jelas berpengaruh terhadap pergeseran kurikulum. Ada contoh politisasi pendidikan di Amerika, seperti ditulis Joel Spring, yang menyatakan bahwa tekanan ekonomi mengalami depresi sehingga menutup aliansi (persekutuan) antara para pendidik dan komunitas bisnis. Pada tahun 1950, para pebisnis menjalin hubungan dengan para politisi untuk mendeklarasikan para pendidik yang profesional supaya membuat hubungan sekolah, lemah dalam mempertahankan musuh-musuh komunis Amerika. Kritik ini diteruskan pada tahun 1980, dengan mengkutuk sekolah-sekolah untuk mempersulit Amerika dalam kompetisi internasional dengan Jepang dan Jerman Barat. Pada tahun 1990, sebuah kombinasi agama, politisi konservatif dan para komunitas bisnis mencoba menghindari

lembaga

pendidikan

untuk

membuat

pendidik-pendidik

yang

profesional, mereka juga men-support sekolah pilihan dan sekolah-sekolah berprestasi. 86 Spring menambahkan, dari konflik ini, muncul kekuatan guru. Para guru mempercayai mayoritas mereka supaya mendapatkan kepatutan upah, kondisi kerja yang harmonis, dan menghubungkan kekuatannya dengan organisasi buruh. Pada beberapa kasus, para guru beraliansi dengan para pengusaha lokal dalam memperjuangkan gaji yang lebih baik, kondisi kerja yang lebih baik dan pilihan yang 85

Kenneth J. Meier, “School Boards and the Politics of Education Policy”, dalam Christina Wolbrecht dan Rodney E. Hero (Ed.), The Politics of Demokratic Inclusion, 239. 86

Joel Spring, The American School, 1642-2004 (New York: Mc Graw Hill, 1986), 318.

58

lebih besar adalah dalam membuat kebijakan pendidikan. Perjuangan ini memunculkan gairah para guru untuk melawan para administrator yang tertarik melindungi kekuatan mereka sendiri dan para komunitas bisnis yang tertarik untuk menurunkan gaji para guru pada tingkat yang rendah. Action yang seperti ini diadakan untuk menegakan Federasi para Guru Amerika (AFT), yang beberapa tahun dilaksanakan sebagai taktik gabungan dalam pendidikan. 87 Para guru, lanjut Spring, juga mencoba mengontrol Asosiasi Pendidikan Nasional (NEA), dan meneruskan organisasi tersebut dalam sebuah kementerian untuk mengurusi kesejahteraan para guru. Para guru kemudian bertekad untuk melawan para administrator sekolah pada awal abad 20 tetapi baru ditanggapi pada tahun 1960 dan 1970 dan menjadikan NEA organisasi para guru yang paling besar. Tahun 1980 dan 1990, NEA dan AFT menjadi faktor penting dalam perpolitikan nasioanl. Tetapi dua organisasi tersebut establish untuk menjadi aliansi dengan para politisi guna mendapatkan legislasi kepentingan mereka.88 Kesimpulan Spring, bahwa dunia politik pendidikan pada awal abad 20 yaitu adanya aliansi antara administrator sekolah dan elit bisnis lokal, aliansi antara guru-guru urban dan organisasi perdagangan, aliansi antara administrator sekolah dan kolega para kaum profesional untuk menjadikan NEA menjadi sebuah organisasi kesejahteraan guru, dan sebuah pergerakan grassroot yang tumbuh untuk memisahkan dengan sekolah. Kebijakan pendidikan nasioanl menformulasikan NEA dan menyebarkannya melalui hubungan informal para administrator sekolah dan para kolega profesional. 89 Terlepas dari politisasi guru dalam pendidikan dalam memperjuangkan kesejahteraan mereka, Ornstein dan Hunkins, melaporkan, bahwa selama kebangkitan pendidikan secara universal dari tahun 1820 – 1920, di Amerika, pemikiran

87

Spring, The American School, 1642-2004, 318.

88

Spring, The American School, 1642-2004, 318.

89

Spring, The American School, 1642-2004, 318-319.

59

pendidikan mengharuskan partisipasi kecerdasan dalam demokrasi politik dan pendidikan memperluas sekolah umum untuk sekolah tinggi dan akademi. Konsep ini memunculkan ide bahwa semua masyarakat dan anggota masyarakat berpartisipasi secara produktif dalam pendidikan.90 Masih terkait dengan demokrasi politik, Kenneth J. Meier, memperkuat laporan Ornstein dan Hunkins, bahwa rasial dan etnis dalam mengakses kualitas pendidikan dicatat oleh beberapa sarjana ternama, kontribusi para kolega dan hubungan langsung dengan outcome, outcome tidak dapat memberi komentar tetapi outcome itu sendiri mempunyai masa depan demokrasi untuk politik dan distribusi kekuatan politik91 Lebih lanjut, Kenneth J. Meier, memperkuat laporannya, bahwa demokrasi inklusi, kemampuan minoritas untuk mengakses kekuatan politik adalah positif jika dihubungkan dengan konsekwensi positif untuk murid-murid yang minoritas. Meskipun kita tidak mempunyai demonstrasi hubungan, minoritas dapat keluar dengan jelas dan mempunyai akses lebih besar untuk kualitas pendidikan pada suatu waktu kemudian memberikan efek pada demokrasi di lain waktu.92 Di sini jelas bahwa Ornstein, Hunkins dan Meier berpendapat bahwa pendidikan erat sekali hubungannya dengan politik, tetapi mereka lebih cenderung pada tataran demokrasi politik. Dengan demikian maka pergeseran kurikulumpun dipengaruhi oleh faktor politik juga. Joseph Fischer menggambarkan, satu hal yang penting dari aspek-aspek kurikulum sebuah sistem sekolah negara adalah siswa belajar sejarah masyarakatnya. Ini dapat diperlihatkan bersama ujian-ujian, seperti elemen sentral pada kurikulum sekolah sejak sistem pendidikan yang pertama. Hal itu selalu ditulis dengan ideologi jika tidak sering diputarbalikan, sejarah dibutuhkan bukan sekedar demonstrasi.

90

Lihat, Susan Pennnock Smith, Barriers Encountered In The Instruction of Students Who Have Sustained Brain Injuries: An Instructional Curriculum To Assist in Eliminating Barriers, 15 – 16. 91

Meier, “School Boards and the Politics of Education Policy”, dalam Christina Wolbrecht And Rodney E. Hero (Ed.), The Politics of Demokratic Inclusion, 240. 92

Meier, “School Boards and the Politics of Education Policy”, dalam Christina Wolbrecht And Rodney E. Hero (Ed.), The Politics of Demokratic Inclusion, 240.

60

Seperti digambarkan, murid-murid Amerika, Jepang, Rusia dan lain-lain mempelajari sejarah negara mereka sendiri-sendiri. 93 Hal ini dimaksud supaya para siswa timbul rasa nasionalismenya. Joel Spring melaporkan, bahwa hancurnya perekonomian pada tahun 1930 mengakibatkan mayoritas politik bergeser pada dunia pendidikan. Pertama, krisis ekonomi memulai adanya keretakan aliansi antara para administrator sekolah lokal, sekolah lokal yang berasrama, dan para elit lokal. Banyak para administrator sekolah dan

sekolah

berasrama

menginginkan untuk

memelihara program-program

pendidikan dalam menghadapi beberapa tuntutan para pemimpin lokal yang lain untuk mengurangi angggaran pendidikan.

Kedua, tekanan ekonomi akibat dari

depresi mengakibatkan para pemimpin pendidikan menyumbang pendidikan untuk memberikan perubahan radikal pada masyarakat. Kreasi ini

memberikan image

radikal yang berlebihan pada sekolah, yang memberikan argumen positif pada tahun 1940 dan 1950 sekolah-sekolah publik di bawah pengaruh komunis. Akhirnya pemerintah daerah memperkenalkan program baru untuk memberikan solusi masalah pengangguran baru. Ekspansi ini merupakan peran pemerintah daerah pada pendidikan dan men-setting tingkatan intervensi selanjutnya pada tahun 1940 dan tahun 1950. Tambahan, keterlibatan pemerintah membuat tensi naik antara para pendidik profesional dan pemerintah daerah seperti peran setiap golongan dalam mengontrol hal yang baru. 94 Dua pandangan yang berbeda titik tekan dalam melihat faktor yang mempengaruhi pengembangan, pergeseran dan perubahan kurikulum, walaupun dengan berbagai variasi pendapat. Anwar Jasin, Lary Cuban, Audrey Osler, Levinson, Durkheim dan lain-lain, mereka berpendapat bahwa pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi (agama), sosial, ekonomi, politik, budaya, teknologi bahkan faktor intern pendidikan itu sendiri turut mempengaruhi. Anwar Jasin cukup

93

94

Fischer, The Social Sciences and the Comparative Study of Educational Systems, 138. Spring, The American School, 1642-2004, 326.

61

lengkap menyebut faktor-faktor ini, sementara yang lain, seperti Lary Cuban, menambahi demografi, Audrey Osler tidak menyebut ideologi dan politik. Levinson dan Durkheim lebih cenderung ke faktor sosial dan budaya. Walaupun, dugaan saya, bahwa orang-orang seperti John I Goodlad, Olivia Bevis, Freire, Joseph Fischer, Botkin, A.V. Kelly, J. Spring dan lain-lain juga tetap tidak meninggalkan faktorfaktor yang telah disebut Anwar Jasin c.s, tetapi mereka Goodlad c.s menekankan, bahwa yang mempengaruhi pergeseran kurikulum adalah faktor politik. Goodlad, proses politik ada dalam proses pendidikan bahkan proses politik merupakan ending dari pendidikan. Olivia Bevis, nampaknya lebih tertarik dengan politics in classroom, yang saya pikir merupakan awal dari proses sebab terjadinya pergeseran kurikulum. Freire dengan pemikiran reformasinya mengemukakan tentang demokrasi politik di kelas, sementara Joseph Fischer lebih menyoroti bahwa terjadinya politisasi pendidikan karena perbedaan backgraund sosial ekonomi mereka di dalam kelas sehingga menimbulkan kasta. Botkin lebih mengglobal lagi, bahwa out put pendidikan harus dapat mengatasi krisis politik dunia. Kelly, menyoroti politik difusi dalam pendidikan, dan Spring lebih mengangkat

peran serta para guru dalam

mempertahankan nasibnya di dunia pendidikan terkait dengan gaji yang mereka terima. Dari dua pandangan yang bertolak belakang ini, posisi penulis akan memperkuat pendapat yang kedua dengan suatu revisi bahwa pergeseran kurikulum lebih dipengaruhi oleh faktor politik. Hal ini memberi arti bahwa bukannya faktorfaktor lain tidak menentukan, tetapi yang lebih menentuakan adalah faktor politik.

62

BAB III KARAKTERISTIK KURIKULUM MADRASAH ALIYAH Pada awal Islam masuk Indonesia, sekitar abad ke-7 M/1 H,1 lembaga pendidikan Islam secara resmi belum disebut madrasah,2 seperti di Minangkabau (Sumatera Barat) lembaga pendidikan Islam yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin3 disebut surau, di Sumatera Selatan dan Jawa disebut langgar, di Aceh disebut dayah atau meunasah, di Gayo disebut meresah,4 di Kalimantan dan Sulawesi Selatan disebut pondok, sementara di Jawa dan Kalimantan Selatan disebut pesantren,5 yang

1

Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, 1981), 32. Marwan Saridjo, Dkk, juga melaporkan bahwa Islam masuk Indonesia sekitar Abad 1 Hijriyah atau 7 Masehi. Laporan Marwan ini berdasarkan kesimpulan “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia”. Lihat, Marwan Saridjo, Dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1983), 14. 2

Madrasah baik yang ada di dunia Islam pada umumnya maupun yang ada di Indonesia khususnya, adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang muncul agak belakangan, setelah terlebih dulu muncul lembaga-lembaga pendidikan non madrasah. Lihat, Abudin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: UIN Press, 2006), 124. Ahmad Salabi, menuliskan dalam bukunya tentang lembaga-lembaga pendidikan sebelum madrasah (masa klasik Islam), yaitu: alKuttab, guna mengajarkan membaca dan menulis, al-Kuttab; untuk mengajarkan membaca al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam, Pengajaran di istana dengan cara privat, Hawa>nit al-Wa>riqi>n (toko-toko buku), Mana>zil al-Ulama> (rumah para ulama), al-S{oluna>t al-Ada>biyah (sanggar sastera), al-Badiyah (tempat belajar sastera dan budaya asli), dan Masjid. Lihat, Ahmad Salabi, Tari>kh al-Tarbiyah alIsla>miyah (Mesir: al-Kashf li al-Nashr wa al-T{ila>ba’ah wa al-Tauji, 1954), 20-84. Lihat juga, Asma Hasan Fahmi, Maba>di al-Tarbiyah al-Isla>miyah (Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam) edisi Indonesia (Pent. Ibrahim Husein), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 30-50. 3

Sayang tidak dijumpai sistem pendidikan dan kurikulumnya. Sebagai peninggalan dari Syekh Burhanuddi>n yaitu sebuah stempel dari tembaga dengan tulisan Arab, sebilah pedang, sebuah kitab bernama Fath{ul Wahab, karangan Abi Yahya Zakaria Ans{ari. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidrakarya Agung, 1996), 33. Dimungkinkan kitab tersebut sebagai rujukan kurikulumnya. Syekh Burhanuddin adalah seorang pendakwah Islam pertama di Minangkabau, lihat Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in The Islamic Reform Movement in Minangkabau in The Early Twentieth Century (DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20) edisi Indonesia (Jakarta: INIS, 2002), 52. 4

Lihat, C. Lekkerker, Land en Volk van Sumatra (Leiden: N.V. Boekhandel en Drukkerij, 1916), 166-167. 5

Azyumardi Azra, Dina Afrianty, dan Robert W. Hefner, “Pesantren and Madrasa: Muslim Schools and National Ideals in Indonesia”, dalam Robert W. Hefner dan Muhammad Qosim Zaman

63

semua ini oleh Mahmud Yunus disebut madrasah.6 Pemimpin surau disebut Syekh, sementara pengasuh pesantren di Jawa disebut Kyai. 7 Sebagai bahan perbandingan Helen N. Boyle, menulis bahwa sekolah yang pertama dalam dunia Islam adalah masjid. 8 Diperkuat oleh M.A. Zaki Badawi, bahwa masjid sebagai jantung semua aktifitas keagamaan dan puncak semua sistem. 9 Jika tulisan Boyle, dapat dijadikan bahan pembanding, berarti sejarah perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia urutannya tidak jauh berbeda dengan sejarah perkembangan lembaga pendidikan Islam dalam dunia Islam. Masjid di Indonesia juga sebagai lembaga pendidikan Islam pertama. Pendidikan Agama Islam di surau (langgar) bersifat elementer. Tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar (surau) adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan pemahaman akan isi dan

(ed.), Schooling Islam, The Culture and Politics of Modern Muslim Education (United State of America: Princeton University Press, 2007), 174. 6

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 20. Menurut informasi Mahmud Yunus bahwa Syekh Burhanuddi>n mengajarkan ilmunya di Ulakan, Pariaman, Minangkabau mulai tahun 1100 H (1680 M), berduyun-duyun para pelajar menuntut ilmu syari’ah kepada beliau, lihat, Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 24. 7

Azyumardi Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos, 2003), 7. Menurut Sidi Gazalba, seperti dikutip Azyumardi Azra, Surau merupakan bangunan peninggalan kebudayaan masyarakat setempat sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kaum, suku atau indu. Lihat, Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi, 8. Perkembangan selanjutnya surau sebagai lembaga pendidikan Islam, berkembang layaknya pesantren di Jawa. Seperti surau yang dibangun oleh Syekh Abdurrahman (1777-1899 M), ia membangun 30 surau, rata-rata berukuran 7x8 meter kebanyakan bertingkat dua. Surau-surau ini dibangun mengelilingi bangunan induk. Bangunan induk yang pertama dan utama adalah “Masjid Dagang”, yang dibangun bertingkat dua, dengan arsitektur gaya rumah adat Minangkabau. Lihat, Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi, 11, lihat juga Azyumardi Azra, Dina Afrianty, dan Robert W. Hefner, Pesantren and Madrasa: Muslim Schools and National Ideals in Indonesia, dalam Hefner dan Kasim (ed.), Schooling Islam, The Culture and Politics of Modern Muslim Education, 174. 8

Helen N. Boyle, Qur’anic Schools, Agents of Preservation and Change (New York and London: Rountledge Falmer, 2004), 11. 9

M.A. Zaki Badawi, “Traditional Islamic Education – Its Aims and Purposes in Present Day”, dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Atas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), 105.

64

makna al-Qur’an tersebut.10 Nampaknya tujuan pendidikan surau ini belum banyak mengalami pergeseran dari dulu sampai sekarang. Adapun pendidikan Islam di surau, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci alQur’an.11 Sementara itu juga diajarkan tata cara mengerjakan ibadah shalat, masalah keimanan yang lebih dikenal dengan sifat dua puluh serta akhlak yang diajarkan lewat cerita-cerita seperti nabi-nabi, orang-orang shaleh sehingga diharapkan anak mampu meneladaninya. 12 Metode utama yang dipakai dalam pengajaran di surau adalah ceramah, membaca dan menghafal. 13 Dengan demikian tidak ada metode yang dipakai pada pengajaran surau itu, yang dapat menimbulkan murid berpikir kritis dan analisis. Padahal dalam metode pendidikan modern, pendidikan yang bermakna ketika anak mengalami langsung. Jean Piaget, dalam laporan singkatnya, mengatakan bahwa anak-anak menggunakan struktur mental yang berbeda untuk berpikir dan merasakan

10

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 23. Ini untuk surau tingkat rendah. Menurut Munawaratul Ardi, dalam disertasi doktornya, bahwa surau tidak mempunyai tujuan pendidikan secara tertulis. Pendidikan di surau menurut kemauan dan kemampuan Tuanku yang mengajar –dugaan saya ini untuk surau ketika Islam baru masuk Indonesia. Ketika Ardi mengadakan wawancara dengan Tuanku Labai Umar Batang Sariak Sungai Limau, Tuanku Ali Amran Hasan, Pakandangan, Tuanku Abu Bakar Sungai Geringging dan Tuanku Bermawi Surau Pondok Ulakan, tanggal 3 Maret 2002, Ardi mendapatkan tujuan pendidikan surau yaitu, menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Sehingga dengan segala ketaatan dan kepatuhan akan terwujud sebuah pengabdian dan ketaqwaan. Untuk itu pendidikan surau berusaha melahirkan manusia yang berilmu pengetahuan Agama, mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari untuk diri sendiri dan masyarakat dengan ikhlas mandiri dan teguh dalam pendirian. Lihat, Ardi, “Surau: Lembaga Pendidikan Islam Tradisional pada Masa Kontemporer di Padang Pariaman” (Disertasi Doktor), 186187. 11

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 21-22. 12

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 34.

13

Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, 98.

65

dunia lain. Kemampuan terstruktur untuk anak ditentukan oleh kesiapan biologis dan pengalaman hidup mereka. 14 Sistem pendidikan yang digunakan pada lembaga ini yaitu sorogan, dimana seorang murid mengajukan sebuah kitab berbahasa Arab kepada gurunya, dan guru menjelaskan cara membaca dan menghafalnya; dalam hal murid yang sudah maju, guru juga memberikan penjelasan mengenai penerjemahan teks dan juga tafsirnya.15 Dan juga metode h{alaqah yakni seorang guru/kyai dalam memberikan pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya, 16 metode ini dalam pesantren di Jawa disebut bandongan.17 Sistem h{alaqah/bandongan dan sorogan, sebenarnya bukan sistem baru, ini sudah dimulai sejak zaman Rasul SAW. Walaupun dalam sistem pendidikan modern sistem tradisional sudah dimodifikasi bahkan dirubah. Evaluasi pendidikan yang ada di surau tidak diprogramkan seperti di madrasah/sekolah formal. Evaluasi dilaksanakan setiap kegiatan belajar. Setiap belajar murid disuruh membaca dan menerjemahkan bacaan di hadapan guru. Dengan demikian guru langsung mengetahui dan menyaksikan perkembangan kemampuan muridnya. Bagi fakih yang sudah menamatkan dan memahami satu kitab, ia boleh pindah ke kitab lain. Cara ini terus berlangsung sampai fakih selesai dan menguasi kitab-kitab standar yang ditentukannya.18 Mahmud Yunus berpendapat, bahwa di Jawa lembaga pendidikan Islam saat awal Islam masuk, yang mirip dengan surau disebut pesantren. Nama pondok 14

Lihat, Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks, In Search of Understanding The Case For Constructivist Classrooms (Alexandria, Virginia: Association For Supervision and Curriculum Development, 1993), 70. 15

Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, 99.

16

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 23. 17

Yaitu seorang kyai membaca dan menjelaskan isi suatu kitab dalam lingkaran muridmuridnya, sementara para murid (santri) memegang bukunya sendiri; mereka mendengarkan penjelasan guru dan membuat catatan pada sisi halaman kitab atau dalam buku catatan khusus. Lihat, Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, 99. 18

Lihat, Ardi, “Surau: Lembaga Pendidikan Islam Tradisional pada Masa Kontemporer di Padang Pariaman”, 193-194.

66

pesantren baru dikenal di sumatera seteleh Indonesia merdeka, sebelumnya namanya surau atau langgar. 19 Menurut Marwan Saridjo dkk, orang yang pertama kali mendirikan pesantren di Indonesia ialah Syekh Maulana> Malik Ibrahi>m. Tentu saja bentuk pesantren mula pertama itu sangat sederhana. 20 Abdurrahman Mas’ud, dalam bahasa yang sedikit berbeda seraya menguatkan, Maulana> Malik Ibrahi>m (meninggal 1419 M di Gresik, Jawa Timur), spiritual father walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. 21 Tujuan yang utama dari pesantren pada awalnya adalah sekedar menyiarkan Islam sambil beribadah.22 Sementara sistem pendidikan pesantren hampir mirip dengan sistem pengajaran di surau-surau Sumatera Tengah. Mahmud Yunus, menginformasikan isi kurikulum pesantren, ”Di pesantren inilah para santri dihadapkan dengan berbagai cabang ilmu agama yang bersumber dari kitab-kitab kuning, seperti Sharaf, Nahwu, Fikih, Tafsir, Kalam (Tauhid), Tasawuf dan lainlain”. 23 Metode yang dipakai oleh pesantren, tidak berbeda dengan metode yang dipakai oleh surau, seperti telah dijelaskan. Hanya perbedaan istilah saja, wetonan 19

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 231.

20

Saridjo, Dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, 24.

21

Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam, Isma’il SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 3. 22

Saridjo, dkk, Sejarah Pesantren di Indonesia, 30. Arifin, menjelaskan tujuan pesantren ada dua, tujuan umum; membimbing anak didik (santri) yang berkerpribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballi>gh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Tujuan khusus, mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat. Lihat, Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 248. Nurcholish Madjid, seperti dikutip Saifudin Zuhri, mensinyalir bahwa tujuan pendidikan pesantren pada umumnya diserahkan kepada proses improvisasi menurut perkembangan pesantren yang dipilih sendiri oleh kyai atau bersama-sama pembantunya secara intuitif. Sementara Manfred Ziemek, masih merupakan kutipan Saifudin Zuhri, mengemukakan bahwa tujuan pesantren adalah untuk menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai dasar maupun gambaran akhlak dan keistimewaan yang dimiliki oleh kyai sebagai pengembangan tradisi. Mencetak kyai muda, ulama, ustadh maupun tujuan formal yang utama dari pesantren. Lihat, Saifudin Zuhri, “Formulasi Kurikulum Pesantren”, dalam Isma’il SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, 98-99. 23

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 131-132.

67

dipergunakan pesantren di jawa –Tengah dan Timur– bandongan istilah yang dipakai pesantren di Jawa Barat, sedangkan h{alaqah dipakai di Sumatera (Minangkabau). Istilah h{alaqah berarti merujuk metode pengajaran yang dilaksanakan oleh nabi Muhammad SAW. Nabi duduk di masjid24 dan mengajar para sahabatnya teks-teks suci. Para sahabat duduk mengelilingi Nabi pada setengah lingkaran –tidak ada satu sahabatpun yang duduk di samping beliau– majelis yang demikian disebut h{alaqah,25 dan metode sorogan. Evaluasi pendidikan pesantren, sebenarnya tidak berbeda dengan sistim evaluasi surau, yaitu hafalan dan ujian tahunan (khatam al-kutub).26 Ketika santri sudah menyelesaikan sebuah kitab, maka boleh pindah ke kitab lainnya dengan seizin kyainya, atau sudah hafal kitab tertentu. Analisis Zaki Badawi dapat dijadikan bahan pembanding, bahwa tahap pencapaian siswa/santri pada sistem tradisional adalah menilai totalitas siswa/santri sebagai seseorang. Kesalehan dan sikap moral merupakan pengakuan yang sama, walaupun superioritas juga penting untuk mencapai bidang-bidang yang lain. 27 24

Menurut Makdisi, dalam komunitas Muslim klasik masjid memang bersifat multifungsi. Selain sebagai tempat ibadah dalam pengertian sempit ia juga tempat bertukar pikiran dalam arti yang luas. Searah dengan kebutuhan tersebut, lambat laun banyak masjid-masjid yang dikenal sebagai tempat al-rih{lah al-‘ilmiah (pengembaraan mencari ilmu), mendirikan asrama dan pemondokan di sekitarnya sebagai tempat menginap para pencari ilmu tersebut yang datang dari berbagi kota. Dikenallah istilah masjid khan. Lihat, JM. Muslimin, “Tradisi Ilmiah dalam Masyarakat Islam: Sejarah, Institusi dan Tantangan Perubahan” dalam, Kusmana dan JM. Muslimin (ed.) Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2008), 141, 144. 25

Setelah Nabi wafat, sistim h{alaqah tidak berhenti, diteruskan oleh para sahabat, hampir setiap masjid ada h{alaqah. Kurikulumnyapun terus berkembang, tidak hanya pelajaran agama yang dikajinya, periode selanjutnya –sekitar abad ke-9– sudah diajarkan philology, gramer, kimia, fisika, aritmatika, aljabar dan geometri. Lihat, Boyle, Qur’anic Schools, Agents of Preservation and Change, 11. 26

Azyumardi Azra, Dina Afrianty, dan Robert W. Hefner, “Pesantren and Madrasa: Muslim Schools and National Ideals in Indonesia”, dalam Hefner dan Qosim Zaman (ed.), Schooling Islam, The Culture and Politics of Modern Muslim Education, 176. 27

Badawi, “Traditional Islamic Education – Its Aims and Purposes in Present Day”, dalam Syed Muh{ammad al-Naquib al-Atas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, 106. Pesantren yang belum mencangkok sistem modern belum mengenal atau memang tidak perlu mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri

68

Tahap berikutnya kurikulum madrasah pada masa kerajaan/kesultanan di Indonesia, seperti

kerajaan Islam di Aceh meliputi,

kerajaan Samudera Pasai,

kerajaan Perlak dan kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Islam Malaka, kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam Mataram, kerajaan Islam di Kalimantan (Banjarmasin), kerajaan Islam di Maluku dan kerajaan Islam di Sulawesi. Karakteristik kurikulum madrasah (pesantren/surau) pada masa kesultanan hampir tidak berbeda dengan pada masa awal Islam, dimana pendidikan Islam dilaksanakan sesuai dengan latar belakang keilmuan sang raja, tujuannya memperdalam pengetahuan agama, sistem dan metodenya masih h{alaqah dan bandongan, content materinya juga ulu>m al-di>n, serta evaluasinya juga sama dengan pesantren dan surau pada masa Islam awal. Kemudian kurikulum madrasah pada masa penjajahan Belanda. Ada dua tahap perkembangan pendidikan Islam pada masa ini, pertama, kemunduran pendidikan Islam yaitu sebelum tahun 1900 M, kedua, bangkit kembali pendidikan Islam yaitu setelah tahun 1900 M. Dimana setelah tahun 1900 M muncul madrasah yang sebelumnya adalah pesantren atau surau. Madrasah ini tertata secara lebih modern, dibanding pesantren atau surau. Seperti laporan Deliar Noer, lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas (1909-1930); pendidikan Islam yang mula-mula berkelas memakai bangku, meja dan papan tulis adalah Sekolah Adabiah (Adabiah School)28 didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad 1909 -1914 di Padang. Pada masa sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar juga tidak ditentukan, waktu tamat tidak dibatasi sehingga memberi kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat. Penilain tidak dilakukan melalui angka-angka yang diberikan oleh guru dan secara formal diakui oleh institusi pendidikan yang bersangkutan, tetapi ditentukan oleh kemampuannya mengajar kitab-kitab atau ilmu-ilmu yang diperolehnya kepada orang lain. Dengan kata lain potensi lulusan pondok pesantren langsung ditentutakan oleh masyarakat konsumen, demikian Mastuhu, seperti dikutip Saifudin. Lihat, Saifudin, “Formulasi Kurikulum Pesantren”, dalam Ismail SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, 104. 28

Adabiah School yang didirikan Abdullah Ahmad ini awal mula pendiriannya adalah mencontoh sekolah yang didirikan oleh Syekh Taher di Singapura yaitu al-Iqbal al-Isla>miyah, yang didirikan tahun 1908 M bersama Raja Haji ‘Ali bin Ahmad. Lihat, Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900 – 1942 (Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942) edisi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996), Cet VIII, 41. Adabiah School, Tawalib dan Muhammadiyah pada masa ini gencar untuk memperkenalkan Sekolah Islam dengan model dan materi pengajaran semisal

69

ini pesantren di jawa juga sudah mulai mengajarkan ilmu-ilmu umum. Lembaga pendidikan Islam yang muncul pada masa penjajahan Belanda ini ada yang dapat bertahan sampai sekarang dan ada yang sudah colaps. Yang masih ada seperti Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Al-Khairiyah, NU dan lain-lain. Selanjutnya kurikulum madrasah pada masa penjajahan Jepang. Seperti dilaporkan Mahmud Yunus bahwa antara tahun 1931-1945 terjadi pembaharuan madrasah di Indonesia. 29 Karakteristik secara umum kurikulum madrasah pada masa pasca kemerdekaan sampai lahirnya Undang-Undang Pendidikan NO. 4 Tahun 1950 JO UU NO. 12 Tahun 1954. Steenbrink melaporkan bahwa dalam rangka konvergensi, Departemen Agama pada masa ini menganjurkan supaya pesantren yang tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal dengan memakai kurikulum yang tetap dan memasukan pelajaran umum disamping agama. Sehingga murid di madrasah tersebut mendapatkan pendidikan umum yang sama dengan murid di sekolah umum. 30 Pesantren berbondong-bondong memasukkan pelajaran umum pada kurikulumnya. Sebagai contoh pesantren Tebuireng, sejak KH. Ilyas ditunjuk menjadi kepala Madrasah Salafiyah, tahun 1958 KH. Ilyas menjadi Menteri Agama. Dibawah kepemimpinan KH. Ilyas, madrsasah yang ada di pesantren ini, isi kurikulumnya dimasukkanlah pengetahuan umum, meliputi; membaca dan menulis huruf latin, mempelajari bahasa Indonesia, mempelajari ilmu bumi dan sejarah Indonesia, mempelajari ilmu berhitung.31 Salah satu tandanya lagi kondisi saat ini adalah mulai masuknya pelajaran agama di sekolah umum. dengan Sekolah Belanda. Hanya saja, di sekolah-sekolah ini diajarkan agama Islam pada waktu ekstra. Dengan kata lain, pada era ini misi pendidikan Islam adalah untuk memperkuat barisan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan serta dalam konsteks pendidikan Islam menawarkan pendidikan yang integratif. Yang menggabungkan tradisi baru, seperti yang dikenal Belanda ditambah dengan pengajaran ke-Islaman pada jam-jam ekstra. Lihat, JM. Muslimin, “Tradisi Ilmiah dalam Masyarakat Islam: Sejarah, Institusi dan tantangan Perubahan”, dalam Kusmana dan JM. Muslimin (ed.), Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, 147. 29

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 104.

30

Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 97.

31

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 235-236

70

Ilustrasi di atas menjadi bahan bahwa ternyata cikal bakal madrasah sudah tumbuh dan berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka. Madrasah tumbuh dan berkembang secara alamiah, murni dari keinginan dan kekuatan masyarakat, khususnya umat Islam. Selanjutnya bagaimana karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah sejak munculnya Undang-Undang pendidikan yang pertama sampai munculnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003?.

A. Masa Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954 1. Kurikulum MA sebelum Tahun 1973: Dominasi Muatan Agama Sebelum tahun 1973, kurikulum madrasah belum muncul secara nasional32, praktis kurikulum madrasah masih ditentukan oleh lembaga madrasah masingmasing, tentunya terjadi perbedaan antara satu dan lainnya. Pada saat itu pun namanya bukan kurikulum melainkan rencana pelajaran33. Seperti rencana pelajaran madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1959, berbeda dengan rencana pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur tahun 1958 yang di dalamnya ada KMI (Kulliatul Mu’allimin al-Islamiyah), berbeda pula dengan rencana pelajaran Sekolah Guru P.U.I 6 Tahun 1958. Menurut pemikiran penulis, berbeda pula dengan madrasah-madrasah lain yang muncul saat itu. Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta yang menurut Mahmud Yunus didirikan sekitar tahun 1918, awalnya bernama madrasah Muhammadiyah

32

Pada tahun 1950 Barat –Amerika dan Soviet– sudah menggunakan kurikulum yang cukup maju, walaupun tahun 1950 sebagai dekade (dasa warsa) kecaman, konflik dan reformasi dalam kurikulum. Sementara periode kecaman dapat dibedakan menjadi dua pertama, mulai tahun 1950, kedua, setelah Soviet meluncurkan Satelit yang bernama Sputnik pada tahun 1957. Lihat, William F. Pinar et. al., Understanding Curriculum, An Introduction to the Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses (New York: Peter Lang, 2004), 151. Meluncurkan Satelit adalah indikator kemajuan hasil teknologi suatu negara, hal ini tidak terlepas dari kualitas pendidikan, dimana kurikulum memainkan peran penting. Sementara Indonesia baru mengawali sejarahnya dalam bidang kurikulum, begitu jauhnya jarak ketertinggalan Indonesia dengan mereka. 33

Bahkan sering kebanyakan orang mengatakan kurikulum itu masih silabus, lihat A.V. Kelly, The Curriculum Theory and Practice (London: Sage Publication, 2004), 46.

71

kemudian berganti nama menjadi Qismul-Arqa, selanjutnya bernama Kweekschool Muhammadiyah, dan akhirnya dipilih nama madrasah Mu’allimin Muhammadiyah sampai sekarang. Di madrasah ini diajarkan mata pelajaran agama dan umum yang perbandingannya seimbang 34 –rencana pelajarannya dapat dilihat pada lampiran (tabel 1). Kemudian Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur yang menerapkan sistim KMI. Pesantren ini didirikan pada tahun 1926, kemudian diperbaharui menjadi pondok modern pada tahun 1936 oleh Imam Zarkasyi. Konon Imam Zarkasyi keluaran Normal Islam Padang tahun 1935, dimana sekolah ini merupakan madrasah yang sudah modern, dan menurut catatan Mahmud Yunus adalah muridnya. Isi Rencana pelajaran pesantren ini meliputi ilmu-ilmu Agama, bahasa Arab dan pengetahuan umum35 –isi rencana pelajarannya dapat dilihat pada lampiran (tabel 2). Sebagai perwakilan madrasah yang ada di jawa Barat adalah Sekolah Guru P.U.I 6 tahun. P.U.I (Persatuan Umat Islam), adalah organisasi gabungan dari Perikatan Umat Islam yang didirikan tahun 1917 oleh Kyai H. A. Halim (Majalengka) dan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (A.I.I) yang didirikan oleh Kyai H. A Sanusi di Sukabumi. Didirikannya sekolah Guru, karena menjawab kebutuhan tenaga pengajar di Jawa Barat. Para siswa yang masuk Sekolah Guru P.U.I adalah yang lulus dari Madrasah Tsanawiyah 4 tahun atau lulus dari SMP P.U.I 3 tahun, jadi Sekolah Guru P.U.I setaraf Madrasah Aliyah. Adapun isi rencana pelajaran Sekolah Guru P.U.I ini meliputi mata pelajaran agama dan umum, tetapi masih lebih didominasi pelajaran agamanya36 –isi rencana pelajarannya terlampir pada lampiran (tabel 3). Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa kurikulum madrasah belum seragam. Di tahun mendekati 1970, kurikulum madrasah mulai diarahkan supaya

34

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 272.

35

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 248-249.

36

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 290, 294.

72

seragam dan bersifat nasional. Seperti keterangan Nur Ahid bahwa kurikulum Madrasah Aliyah sudah muncul sejak 1968, yaitu hasil konferensi kepala Madrasah Aliyah di Semarang, yang pada waktu itu Madrasah Aliyah untuk pelajaran agama dan soal-soal ujian menggunakan bahasa pengantar Bahasa Arab. 37 Dengan demikian muatan agamanya saat ini masih dominan. Perkembangan selanjutnya, dalam rencana pembangunan 8 tahun (19611969), yang diserahkan pemerintah kepada MPRS dinyatakan, bahwa madrasah (yang juga memuat pelajaran umum) akan berkembang mengikuti tipe sekolah umum dan akhirnya akan masuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun dalam Tap MPRS tahun 1960 dan kemudian tahun 1963, menetapkan bahwa madrasah akan tetap berada di bawah Departemen Agama,38 perebutan otoritas yang demikian adalah politis. Dan ada benarnya, ketika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bersikap demikian, karena sebenarnya ruh UU pendidikan No. 4 Tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954 mengabaikan pendidikan madrasah.39 Walaupun mayoritas orang Islam tetap tidak setuju kalau madrasah di bawah otoritas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 40 Kelihatan sangat jelas bahwa UU pendidikan pertama setelah Indonesia merdeka tidak mengakui keberadaan madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan setara sekolah, karena madrasah pada awalnya tidak mengajarkan ilmu umum. 37

Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia (Kediri: STAIN Kediri Press,

2009), 119. 38

Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah pada Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,

99. 39

Penafsiran Maksum dengan Mastuki, rupanya berbeda, jika Maksum bahwa UU pendidikan yang pertama itu mengabaikan pendidikan madrasah, tetapi Mastuki sebaliknya, UU pendidikan pertama itu mengapresiasi pendidikan Madrasah. Teks lengkap isi UU tersebut adalah, pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan, “Belajar di sekolah agama yang mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”. Selanjutnya ayat (3) pasal yang sama menyebutkan, “Kewajiban belajar itu diatur dalam undang-undang tersendiri”. Lihat, Departemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001), 18. Tetapi yang menjadi masalah undang-undangnya tidak segera direalisasikan. 40

Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), 132.

73

Awal mula terjadinya perebutan otoritas ini jika dianalisis secara jeli sebenarnya disebabkan karena kurikulum, dimana madrasah mengajarkan mata pelajaran umum. Seolah-olah otoritas madrasah hanya sebagai lembaga tafaquh fi> aldi>n saja yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Memang pergeseran kurikulum secara umum baik di sekolah maupun madrasah itu syarat dengan sebab politik. Dalam bab 5 William F Pinar dan kawan-kawannya mengatakan kurikulum adalah politik. William menjelaskan banyak term yang terkait dengan ini, seperti sosiologi baru dari kurikulum, teori radikal dan kritik kurikulum, teori kurikulum yang berorientasi politik. Term ini yang berkembang setelah abad 20, tegas William. 41 Jika dianalisis politik tidak dapat lepas dari sosial, demikian pula pergeseran kurikulum sebagai langkah dinamisasi pendidikan, juga tidak dapat lepas dari faktor sosial. Perkembangan selanjutnya, sebelum Madrasah Aliyah muncul, lembaga pendidikan setingkat dengan MA yang didirikan oleh pemerintah adalah Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) yang didirikan tahun 1950. Lulusan SGAI dipersiapkan untuk menjadi guru di Sekolah Dasar. Sedangkan guru yang mengajar di sekolah menengah, pemerintah mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), lulusan dari sini juga diperuntukan mengajar di SGAI dan tenaga panitera pengadilan agama. 42 Sekolah-sekolah seperti ini termasuk sekolah-sekolah kedinasan, yang lulusannya siap pakai terutama untuk mengajar. Dan sebutan yang dipakai juga sekolah bukan madrasah. Sekolah-sekolah seperti ini memang didirikan oleh Departemen Agama sendiri dan dipersiapkan untuk mengajar agama Islam, baik itu di sekolah umum seperti SD atau sekolah menengah.

41

William F Pinar et. al. , Understanding Curriculum, An Introduction to the Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses (New York: Peter Lang, 2004), 243. Kita secara umum dapat melihat betapa pentingnya pendidikan untuk mencapai tujuan politik. Sesungguhnya eksponen pertama yang memunculkan teori pendidikan, Plato sendiri, menggambarkan perhatian kita untuk hal ini dan mengakui pendidikan sebagai kunci untuk mencapai bentuk masyarakat, dia menginginkan hal itu terjadi. Nasihat dia sesungguhnya didasarkan pada mesin sosial dari banyak bentuk yang terjadi masa itu. Lihat, Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 14. 42

Lihat, Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 197.

74

Sebenarnya sebelum didirikan SGAI dan lain-lain, madrasah sudah cukup banyak di masyarakat. Dimana mereka hidup dengan swadaya masyarakat bahkan perorangan. Maka tidak heran ketika madrasah bisa eksis dengan dirinya sendiri artinya tanpa bantuan pemerintah, keadaan ini terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun munculnya peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1950, madrasah swasta sudah mulai mendapatkan bantuan materiil maupun bimbingan dari pemerintah. Akhirnya pada tahun 1967, madrasah swastapun banyak dinegerikan. Yaitu menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN).43 Tidak ketinggalan Pendidikan Guru Agama (PGA), pada saat ini PGA 4 tahun, pun banyak dinegerikan.44 Kemudian dalam rangka pembinaan madrasah tahun ajaran 1958/1959 diadakan Madrasah Wajib Belajar (MWB)45 salah satu bentuk madrasah yang dicetuskan oleh KH. Moh. Ilyas, dimana ketika itu beliau menjadi Menteri Agama. Setidaknya ada 4 bentuk Institusi Madrasah Aliyah, pertama, Madrasah Aliyah Umum, dasar munculnya madrasah ini adalah Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1946, tanggal 19 Desember 1946. Dalam Permen tersebut salah satunya dimuat bahwa dalam madrasah itu hendaknya diajarkan juga pengetahuan umum setidaktidaknya; a) Bahasa Indonesia, Berhitung, Membaca dan Menulis dengan huruf latin di madrasah tingkat rendah, b) Ilmu-ilmu tentang Bumi, Sejarah, Kesehatan, 43

Baca, Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 177-178. 44

Pada tahun 1967, banyak PGA dinegerikan. Penegerian PGA ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama (KMA), seperti KMA No. 13 Tahun 1967 tentang pembentukan PGAN Isinu Gorontalo Propinsi Sulawesi Utara, KMA No. 15 Tahun 1967 tentang pembentukan PGAN 4 tahun Pemangkat Propinsi Kalimantan Barat, dll, cukup banyak KMA tentang penegerian PGA menjadi PGAN, lihat Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundangan Produk Departemen Agama RI tahun 1967 (Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1983), 56-57, 60-61. 45

Masa belajar MWB ini 8 tahun. Kurikulumnya, merupakan kurikulum pengajaran terpadu antara aspek keagamaan, pengetahuan umum, dan ketrampilan. Departemen Agama RI, Problematika Madrasah (Jakarta: Direktorat Jenderal Dapartemen Agama RI, 2001), 9. Mengomentari lama belajar 8 tahun, hal ini jauh sebelum ada wajar 9 tahun yang diberlakukan pada tahun 1994, Departemen Agama sudah lebih dulu. Adapun kurikulum terpadu ini karena mengembangkan kemampuan otak atau akal, hati atau perasaan, dan tangan kecekatan. Kurikulum model ini disebut pada masa sekarang ”Life Skills”.

75

Tumbuh-tumbuhan dan Alam, di madrasah lanjutan.46 Walaupun madrasah tetap menjadi tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya. Jumlah jam pengajaran untuk pengetahuan umum sekurang-kurangnya 30% dari jumlah jam pengajaran seluruhnya. Ketentuan untuk mengajarkan pengetahuan umum 30% dari seluruh jam pengajaran dilatarbelakangi oleh saran Panitia Penyelidik Pengajaran yang mengamati bahwa di madrasahmadrasah jarang sekali diajarkan pengetahuan umum yang sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari. Kekurangan pengetahuan umum akan menyebabkan orang mudah diombang-ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran kurang luas. Dikarenakan dalam kurikulumnya porsi pengetahuan umum lebih banyak daripada pengetahuan agama, maka disebut Madrasah Aliyah umum. 47 Kedua, Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK)/Madrasah Aliyah Keagamaan, latar belakang munculnya madrasah ini adalah antisipasi terhadap menurunnya kemampuan bidang agama pada lulusan Madrasah Aliyah setelah menjadi madrasah dengan beban kurikulum 70% umum dan 30% agama (Kurikulum Madrasah 1975 hasil SKB tiga menteri). Terlebih setelah munculnya UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 yang menyamakan kurikulum madrasah dengan sekolah, yang membedakan hanya jumlah pelajaran ciri khas agama. Kekhawatiran masyarakat akan makin kekurangan ahli agama (kyai/ulama) menjadi alasan utama dibukanya MAPK ini. 48 Dalam rangka mengantisipasi krisis ulama ini, maka Munawir Sjadzali ketika menjadi Menteri Agama (1983-1993) mendirikan Madrasah Aliyah Program

46

Lihat, Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia, 67

47

Madrasah Aliyah Umum, sebenarnya dibedakan dari sisi content kurikulumnya. Di MA umum ini pelajaran umum lebih dominan dibanding pelajaran agamanya. Yang lazim disebut 30% mata pelajaran agama dan 70% mata pelajaran umum, bahkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mata pelajaran agama hanya dua jam pelajaran per minggu. Sebagai bahan perbandingan, lihat, Departemen Agama RI, Problematika Madrasah, 7. Di buku ini disebutkan madrasah adalah bentuk lembaga pendidikan Islam yang sudah modern karena mengajarkan mata pelajaran umum. 48

Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2005), 176.

76

Khusus (MAPK), dengan kurikulum kebalikan dari kurikulum hasil SKB, yakni 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum –menurut penulis ketika masa ini MAPK menggunakan kurikulum 1984– plus pengajaran Bahasa Arab dan Inggris secara intensif. Dengan usaha seperti ini maka output IAIN secara kualitatif dapat ditingkatkan, dan yang penting lagi adalah dalam rangka mengantisipasi krisis ulama. Tujuan utama dibukanya Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) adalah: a) untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli bidang agama Islam sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada Madrasah Aliyah, b) untuk menyiapkan lulusan agar memiliki kemampuan dasar yang diperlukan bagi pengembangan diri sebagai ulama yang intelek, c) menyiapkan lulusan sebagai calon mahasiswa IAIN atau PTAI lainnya termasuk calon mahasiswa al-Azhar Mesir. Lama belajar MAPK ini sama dengan program Madrasah Aliyah yang

lain

yaitu

tiga

tahun,

hanya

saja

diselenggarakan

dengan

sistem

49

pesantren/berasrama (boording school). Banyak tanggapan orang yang mengatakan bahwa kualitas output MAPK cukup baik.50 Munculnya Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 371 tahun 1993, restrukturisasi madrasah dilakukan lagi yaitu dengan merubah MAPK menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Secara substansial antara MAPK dengan MAK tidak ada perbedaan yang berarti kecuali beban kurikuler agak lebih berat

49

Depag RI, Satuan Pendidikan Madrasah Aliyah Keagamaan (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan dan Kelembagaan Agama Islam, 2001), 8. Adapun Visi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) adalah penguasaan ilmu pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam (tafaquh fi al-di>n) yang diperlukan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dan mampu beradaptasi dengan anggota masyarakat serta memiliki kemampuan memasuki dunia kerja. Sedang Misinya adalah; 1) memberikan kemampuan ilmu ke-Islaman bagi tamatan untuk melanjutkan pendidikan, 2) menyiapkan umat untuk menjadi masyarakat belajar pada masa yang akan datang, 3) menyiapkan tamatan yang mampu menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat. Lihat, Departemen Agama RI, Madrasah Aliyah Keagamaan (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001), 10. 50

Dari MAPK Ciamis, sebanyak 13 orang 79 orang lulusannya diterima langsung di Universitas al-Azhar Cairo (Mesir), 56 orang di IAIN dan 10 orang lainnya belum diketahui nasibnya, lihat, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama, Laporan Penelitian Evaluasi Sistem Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan pada Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) (Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama, 1992/1993), 40.

77

ketimbang MAK. Dari segi operasional, MAPK didukung proyek, sedang MAK tidak. Disamping itu dengan KMA No. 371 tahun 1993, kanwil Departemen Agama juga diberikan kewenangan untuk membuka MAK sesuai kebutuhan MA. Yang melaksanakan bukan hanya MAN tetapi juga MAS. Dengan demikian jumlah MAK semakin banyak dan massif. Tetapi sayang pertambahan jumlah MAK ini tidak diimbangi dengan dana, sarana prasarana, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai. Akibatnya kualitas MAK menurun, lama kelamaan semakin buruk, tingkat kepercayaan masyarakat untuk memasukan anaknya ke MAK juga semakin menurun. Akhirnya banyak MA yang undur diri dari penyelenggaraan MAK ini akibat tidak dapat murid.51 Mendengar cerita MAK yang demikian, sebenarnya penyelenggaraan madrasah substansinya adalah kualitas, baik kualitas sarana prasarana, kurikulum, SDM guru maupun dana yang memadai. Dengan kualitas ini akan menghasilkan outcome yang berkualitas pula dan masyarakat juga tertarik. Ketiga, Madrasah Aliyah Program Ketrampilan adalah Madrasah Aliyah yang diberi tambahan program ekstrakurikuler dalam berbagai bidang ketrampilan yang terstruktur. Output dari program ini membekali siswa yang tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi agar dapat memasuki dunia kerja dengan bekal ketrampilan tertentu. Madrasah Aliyah Program Ketrampilan ini mempunyai visi dan misi, dimana visi madrasah ini adalah menyiapkan sumber daya manusia yang terampil, mandiri, religious, dan berwawasan ke depan. Sedang misi yang merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari madrasah ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran global bagi siswa. Dengan proyeksi ini, siswa diharapkan memiliki motivasi untuk memandang jauh ke depan dan meyakini mampu berbuat

51

Di MAK Yogyakarta, penerimaan siswa baru tahun 2004, hanya mendapat 6 orang siswa. Data keseluruhan jumlah siswa MA 2003-2004 secara nasional juga menunjukkan bahwa siswa yang mengambil program MAK hanya 2,8% (6.246 siswa) saja dari keseluruhan siswa MA yang berjumlah 223.729 siswa. Demikian juga, dari sekitar 300 MA penyelenggara MAK sekitar, 100 buah diantaranya tidak lagi membuka program keagamaan karena tidak ada atau minimnya pendaftar, lihat, EMIS Depag RI Tahun 2004.

78

banyak di dalamnya. 52 Adapun sasaran utama dari program ini adalah; a) siswa Madrasah Aliyah yang berasal dari keluarga yang tak mampu dari segi pembiayaan, b) siswa yang menjadikan Madrasah Aliyah sebagai terminal/tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi, siswa yang telah tamat menjadi pencari kerja.53 Ketrampilan yang diberikan pada madrasah ini mulai dari program pendidikan ketrampilan (vocational life skills) yang bertujuan membekali siswa untuk siap bekerja dan mampu menciptakan usaha sendiri (mandiri), memberi dorongan kepada mereka (alumni) dari siap mencari kerja menjadi siap mencipta kerja. Program Madrasah Aliyah Program Ketrampilan dimulai tahun 1989 –kurikulum tahun 1984– dengan bantuan UNDP/UNESCO, awal mula dibuka dengan ketrampilan menjahit, reparasi radio/tv, dan otomotif. Walaupun demikian hebatnya Depag merekayasa lembaga madrasah, tetapi lulusan madrasah belum juga sama secara politis, buktinya lulusan madrasah masih kesulitan untuk diterima di instansi pemerintah, perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia baik pribumi maupun asing, dan juga masih kesulitan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di lembaga-lembaga pendidikan negeri yang dikelola Depdikbud (saat itu). Keempat, Madrasah Aliyah Model, adalah madrasah yang mempunyai program agar sebuah madrasah menjadi madrasah yang baik dari semua unsurnya, agar dapat dijadikan percontohan bagi madrasah-madrasah di sekitarnya. Oleh karenanya, madrasah harus memenuhi persayaratan sebagai sekolah, yaitu memiliki manajemen madrasah yang baik, SDM yang berkualitas, kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan dan bantuan pendidikan yang memadai serta keunggulan kualitas lulusannya. Oleh karena itu, program ini diharapkan dapat berfungsi sebagai agen perubahan (agent of change) dalam dunia pendidikan Islam (madrasah). Tujuan umum pengembangan Madrasah Aliyah Model mengacu kepada Tujuan Pendidikan

52

Departemen Agama RI, Madrasah Aliyah Program Ketrampilan (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001), 4 - 5. 53

Husni Rahim, ”Anatomi Madrasah di Indonesia”, dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Vol 2, No. 2, 2004, 40-41.

79

Nasional seperti termaktub dalam UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989. Sedang secara khusus, madrasah bertujuan menghasilkan keluaran (output) pendidikan yang memiliki keunggulan dalam, a) keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, b) nasionalisme dan patriotisme yang tinggi, c) wawasan IPTEK yang luas dan mendalam, d) motivasi dan komitmen yang tinggi untuk mencapai prestasi dan keunggulan, serta memiliki kepribadian yang kokoh, e) kepekaan sosial dan kepemimpinan, dan f) disiplin yang tinggi dan kondisi fisik yang prima.54 Tujuan di atas dijadikan dasar untuk merumuskan fungsi madrasah

Model, a) sebagai

percontohan bagi madrasah satelit di sekitarnya dalam bidang mutu kelembagaan, kurikulum, proses dan outcome pembelajaran yang optimal, b) sebagai pusat kegiatan belajar mengajar atau pusat sumber belajar yang inovatif, yang didukung sarana prasarana pendidikan yang lengkap dan memadai, serta memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, Islami dan populis, yang dapat memberikan kesempatan bagi madrasah lain memanfaatkan fasilitas yang tersedia bagi peningkatan mutu madrasah di lingkungannya yang bergabung dalam Kelompok Kerja Madrasah (KKM), dan c) sebagai pusat pemberdayaan yang dapat menumbuhkan sikap mandiri bagi madrasah dan masyarakat di lingkungannya.55 Madrasah Model untuk Madrasah Aliyah dimulai tahun 2000 yang dikembangkan oleh DMAP (Development of Madrasah Aliyah Project), berarti kurikulum yang dipakai suplemen tahun 1999. Dari Madrasah Aliyah Model ini hendaknya akan muncul madrasah yang bertarap nasional dan internasional, terlebih kurikulumnya sama dengan sekolah umum yang sederajat. Sehingga akan mengurangi image masyarakat yang beranggapan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan nomor dua setelah sekolah. Kelima, Madrasah Aliyah Diniyah, muncul dari bentuknya yang sederhana berupa pengajian di masjid-masjid, langgar dan surau. Pada mulanya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Dalam perkembangan selanjutnya, 54

Departemen Agama RI, Development of Madrasah Aliyah Project (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002), 2-3. 55

Departemen Agama RI, Development of Madrasah Aliyah Project, 3.

80

sebagaian di madrasah diberikan mata pelajaran umum dan sebagaian lainnya tetap mengkhususkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.56 Madrasah Diniyah dibentuk dengan Keputusan Menteri Agama No. 13 tahun 1964, yang meliputi Diniyah Awaliyah, Wustho dan Aliyah.57 Madrasah Diniyah yang di dalamnya termasuk Madrasah Aliyah Diniyah bertujuan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam

memahami,

menghayati dan

mengamalkan

nilai-nilai

agama

yang

menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. 58 Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.59 Madrasah Aliyah Diniyah (Diniyah Ulya) berdiri di dalam pondok pesantren ada pula yang berdiri di luar pondok pesantren. Pengelola Madrasah Diniyah sebagaian besar yayasan, organisasi keagamaan maupun perorangan. Dengan demikian Madrasah Diniyah adalah merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat. Madrasah Diniyah sebenarnya sudah muncul sejak dulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka Madrasah Diniyah ini sudah muncul, dalam bentuk non formal. Adapun kurikulum Madrasah Diniyah mulai muncul secara nasional sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1983, di sini juga disebut

56

Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), 22. 57

Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 168. Lihat juga, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab I, Pasal 1, ayat 3. 58

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab II, Pasal 2, ayat (2). 59

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Bab III, Pasal 2, ayat (1dan 2).

81

Madrasah Diniyah ada tiga tingkatan, yaitu Awaliyah, Wustha dan Ulya.60 Diprediksi bahwa Madrasah Diniyah ini sebenarnya sudah muncul sejak dulu, bahkan bisa dikatakan bahwa Madrasah Diniyah muncul bersamaan dengan munculnya pesantren, karena seolah-olah Madrasah Diniyah itu include di pesantren. Walaupun yang menjadi pusat perhatian, terkait dengan eksistensi madrasah dalam hubungannya dengan sistem persekolahan adalah Madrasah Aliyah Umum, namun macam-macam bentuk madrasah yang telah disebut itu merupakan jati diri lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Dan secara politis madrasah dapat mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, sekaligus juga dapat sejajar dengan sistem persekolahan dalam hal kurikulumnya. Hal ini identik dengan ide IP Simanjuntak, bahwa perubahan yang signifikan ketika madrasah dikembangkan bukanlah terletak pada sistem pengajarannya tetapi pada substansi pelajaran Islamnya.61 Substansi pelajaran Islam, seperti disebut Simanjuntak, merupakan inti dari ciri khas keIslamannya. Ragam madrasah seperti yang telah diuraikan jangan hanya eksis secara kuantitas tetapi juga kualitas, sehingga secara politis eksistensinya diakui dan diminati masyarakat, dengan demikian pemerintahpun –dalam hal ini Diknas– secara tidak langsung akan mengakuinya. Untuk menuju kualitas madrasah mesti harus mengadakan perubahan dan pembaharuan. Malik Fadjar, setidaknya mencatat tiga kepentingan dalam rangka madrasah menyongsong perubahan. Pertama, menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup ke-Islaman. Kedua, bagaimana kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh keberadaan madrasah sebagai ajang membina warganegara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif, sederajat dengan sistem sekolah. Yang demikian madrasah harus dapat menghantarkan siswanya menguasai kemampuan dasar dalam bidang bahasa, matematika, fisika, kimia, biologi, ilmu pengetahuan sosial dan pengetahuan 60

Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), 23. 61

IP Simanjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1972), 24.

82

kewarganegaraan. Ketiga, bagaimana kebijakan itu bisa menjadikan madrasah dapat merespon tuntutan-tuntutan masa depan. 62 Nampaknya madrasah tidak boleh tinggal diam,

madrasah harus

mereformasi diri dalam rangka menyongsong perubahan dan tantangan masa depan. Pembaharuan dan pergeseran kurikulum madrasah (MA) merupakan sebuah keniscayaan, sebab pembaharuan kurikulum madrasah dapat diilhami oleh normanorma agama, kebijakan politik, perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.63 Yang jelas kebijakan yang muncul berkenaan dengan isi kurikulum MA syarat bernuansa politis. Kurikulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal dan menjadi pedoman setiap guru, kepala madrasah, dan pengawas pendidikan dalam pelaksanaan tugas mereka sehari-hari. Lebih dari itu kurikulum merupakan pengejawantahan dari tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Karena itu kurikulum memuat mata pelajaran, garis-garis besar pokok pengajaran, dan jumlah jam belajar masing-masing mata pelajaran dalam satu pekan, satu semester, selama satu tahun ajaran dan selama jenjang pendidikan. 64 Pendek kata kurikulum merupakan pedoman akademik yang sangat lengkap. Unggul tidaknya suatu madrasah/sekolah salah satunya dapat dilihat dari kurikulumnya. Sehingga tujuan pendidikanpun dapat dicapai melalui perealisasian kurikulumnya. Madrasah Aliyah (MA) sebagai institusi (tafaqquh fi> al-di>n) sejak awal kurikulumnya mengalami pergeseran isi kurikulum karena tuntutan zaman, mulai kurikulum yang 100% agama, 90% agama 10% umum, 80% agama 20% umum, 70% agama 30% umum, 60% agama 40% umum, 50% agama 50% umum, 30% agama

62

A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1999), 31-32.

63

Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 75. Bandingkan dengan Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional; Pergeseran Kebijakan Pendidikan Islam dari Proklamasi Ke Reformasi (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), 6. 64

Azyumardi Azra, Paradigma Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi (Jakarta: Buku Kompas, 2002), 95-96.

83

70% umum dan seterusnya.65 Pergeseran

content materi kurikulum MA yang

demikian karena dipengaruhi oleh faktor politik. Terutama sekali –jika diamati secara cermat– pengaruh keberadaan madrasah terhadap sekolah, dimana isi kurikulum madrasah harus ikut kurikulum sekolah jika madrasah ingin menjadi lembaga pendidikan dalam sistem pendidikan nasional. Adapun Faktor tersebut memang secara alamiyah ada di dalam masyarakat, walaupun sebenarnya sekolah juga bukan untuk merubah masyarakat, tetapi sekolah adalah untuk memberi penerang atau agar warga masyarakat menjadi cerdas, demikian Thelen berpendapat.66 Namun bergeser isi kurikulumnya MA tetap dapat mempertahankan ciri khas ke-Islamannya sampai sekarang. Steenbrink, memberikan laporan bahwa pada tahun 1965 kondisi metode madrasah tidak cukup baik, sebab metode yang dipakai adalah hafalan tanpa memahami artinya. Namun demikian sebenarnya tahun 1959, KH. Moh. Ilyas, waktu itu sebagai Menteri Agama mencetuskan Madrasah Wajib Belajar (MWB), dimana kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan pikir (head), ketrampilan tangan (hand) dan sikap (heart), dengan demikian sebenarnya kurikulum MWB ini sudah cukup modern, karena integrated. Walaupun strategi pembelajaran saat itu juga tidak cukup melenceng dari dugaan Steenbrink. Selanjutnya, evaluasi merupakan komponen yang penting pula dalam kurikulum. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui seberapa besar efesiensi proses belajar yang sudah berlangsung. Tujuan Evaluasi adalah untuk mengetahui sampai

65

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 35-37. Sebagai bahan perbandingan kurikulum di Barat, walaupun nampaknya sangat sekuler jika dipersandingkan dengan kurikulum Madrasah Aliyah. Pada tahun sekitar 1960 Phenix telah mengklasifikasikan 6 kelompok materi kurikulum, yaitu, 1) Symbolics meliputi, bahasa dan matematika, 2) Empirics meliputi, fisika, biologi dan budaya manusia, 3) Aesthetics meliputi, musik, seni lukis, dance dan literature, 4) Ethics meliputi, sikap seseorang dan pengambil keputusan, 5) Synoptics meliputi, arti yang integrative, sejarah, agama dan filsafat, 6) Synoetics meliputi pengetahuan pribadi dan kesadaran. Lihat, P. Phenix, Realms of Meaning: A Phylosophy of the Curriculum for general education (New York: McGraw-Hil, 1964), 6. Nyatanya Phenix juga memasukan agama sebagai salah satu content kurikulum. 66

H. Thelen, Education and The Human Quest (New York: Harper and Row, 1960), 84.

84

dimana tujuan dapat dicapai atau untuk mengetahui seberapa banyak terjadi perubahan tingkah laku pada anak sebagai akibat dari proses belajar. Dilihat dari sifat dan fungsinya, evaluasi dapat dibedakan menjadi dua, pertama, evaluasi formatif ialah evaluasi yang diadakan pada pertengahan atau akhir tiap proses belajar, yang tujuan utamanya untuk mendorong anak dalam proses belajar. Kedua, evaluasi sumatif, yang dilaksanakan pada tiap akhir catur wulan. 67 Kurikulum pada mulanya masih memakai sistem catur wulan, oleh karena itu masih mengenal tes sumatif – kalau sekarang Ujian Akhir Semester (UAS). Menarik jika kita sandingkan dengan pendapat Bower, bahwa kurikulum adalah suatu bentuk alamiah dari kerja, jalan untuk mengetahui dasar-dasar materi. Kurikulum juga membantu siswa untuk mengetahui cakupan materi (ruang lingkup) dan sistem budaya dalam kehidupan.68 Di sini Bower tidak hanya mengfungsikan kurikulum untuk evaluasi materi ajar saja tetapi lebih jauh materi yang terjadi dan ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bahkan sebenarnya latihan evalusi formal cukup cepat dikerjakan, jika setengah waktu atau energi kita curahkan terhadap materi itu, demikian Robin Barrow berpendapat.69 Jadi sebenarnya materi evaluasi jangan hanya terkonsentrasi pada materi yang telah ditentukan oleh kurikulum, tetapi lebih jauh dari itu. Karena pada dasarnya nantinya para siswa setelah lulus pasti akan terjun di masyarakat, maka evaluasi juga harus menyentuh kehidupan dasar yang ada di masyarakat. Di sini kelihatan jelas, bahwa yang bergeser dan bersifat politis adalah isi (content) kurikulum MA, yang tentunya akan mempengaruhi tujuan didirikannya MA sebagai 67

Team Dedaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Dedaktik Metodik Kurikulum PBM (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), 116-117. 68

C. Bower, The Promise of Theory: Education of Politics of Cultural Change (New York: Longman, 1984), 80. 69

Robin Barrow, Giving Teaching Back to Teacher: A Critical Introduction to Curriculum Theory (Totowa, NJ: Barnes dan Noble), 251. Jika evaluasi kurikulum dikonsentrasikan di kelas, maka evaluasi itu sebenarnya adalah proses esensial dari pengajaran untuk mengetahui obyek pendidikan guna merealisasikan program kurikulum dan pengajaran. Lihat, R. Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (Chicago, IL: University of Chicago Press, 1949), 105-106, lihat pula G. Madaus dan T. Kellaghan, “Curriculum Evaluation and Assessment”, dalam P. Jackson (Ed.), Handbook of Research on Curriculum (New York: Macmillan, 1992), 120.

85

lembaga tafaqquh fi> al-di>n, adapun komponen metode dan evaluasi dalam kurikulum MA bergeser ke arah penyempurnaan (modern). Setelah diketahui komponen-komponen kurikulum MA, perlu diketahui pula karakteristik kurikulumnya, dimana karakteristik ini yang tidak boleh hilang walaupun telah bergeser. Menurut Steenbrink madrasah mempunyai karakteristik 70 yang unik dimana berbeda dengan sekolah. Madrasah mempunyai isi kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan oleh sekolah, madrasah mempunyai karakter tersendiri, yaitu sangat menonjol nilai religiusitas –keIslaman– masyarakatnya. Sementara sekolah merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.71 Dalam Sejarah Madrasah yang disusun oleh Badri Yatim dkk atas proyek Depag RI, dikemukakan bahwa karakteristik yang cukup menarik pada madrasah di awal pertumbuhannya adalah di dalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu umum. 72 Hal ini sesui dengan kurikulum pendidikan Islam pada masa klasik Islam –zaman Abasiyah dan Umayah– dimana dua klasifikasi besar ilmu –ilmu agama dan ilmu umum– dipelajari semua. Seperti kurikulum pendidikan yang dikelola Ikhwan al-S}afa terdiri dari 51 bidang yaitu: (1) Propaedeutic (pelajaran permulaan) dan logika terdiri 13 bidang, (2) Ilmu Pengetahuan Alam (Naturals

70

Husni Rahim menyebut paling tidak ada empat karakteristik madrasah, (1) Madrasah milik masyarakat (Community Base Education), (2) Madrasah sebagai manajemen berbasis sekolah (School Based Management), (3) Madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n, (4) Madrasah sebagai lembaga kaderisasi dan mobilisasi umat, Lihat, Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia (Ciputat: Logos, 2005), 38-40. 71

Lihat, Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun

Modern. 72

Departemen Agama RI, Sejarah Madrasah (Jakarta: Proyek Peningkatan Madrasah Aliyah, 2000), 12.

86

Science), terdiri 17 bidang, (3) Metafisika terdiri 10 bidang, (4) Teologi 11 bidang.73 Demikian pula para filosof-filosof Muslim yang lain. Menarik ketika bersandingnya ilmu Islam dan ilmu umum dalam pengajaran di madrasah diajarkan secara integrasi (integration). Hal ini seperti catatan As{raf, bahwa kebutuhan untuk mengformulasikan konsep Islam untuk semua cabang-cabang ilmu pengetahuan modern adalah untuk menggantikan konsep sekuler. Dia mengatakan bahwa pada tahap awal konsepsi tidak membutuhkan sesuatu yang dalam, tetapi pada tahap kedua konsepsi penting untuk dikembangkan dalam pendidikan Islam. Dia juga mengklaim bahwa hal ini bisa terjadi hanya dengan jalan mengintegrasikan sistem pendidikan tradisional dan modern melalui kurikulum. Yaitu semua materi pelajaran didasarkan pada konsep Islam. 74 Sebenarnya konsep integrasi kurikulum sudah muncul sejak zaman klasik Islam, tetapi karena pengaruh sekularisme Barat, sehingga terjadilah dikotomi ilmu –pemisahan ilmu umum dan agama– ini yang mengganjal integrasi ilmu. Bila membandingkan dengan kurikulum Barat, Pinar et. al. menyebut tahun 1950 –terkait dengan pembahahasan perkembangan/pergeseran kurikulum madrasah sebelum tahun 1973– adalah dekade (dasa warsa) kecaman, konflik dan reformasi. 75 Kurikulum di Indonesia saat ini belum sampai tahap reformasi, tetapi masih dalam tahap fondasi awal penyusunan kurikulum secara nasional, dengan demikian masih mencari bentuk. Tahun 1960 kurikulum sekolah di Barat, lanjut William masa ekspansi, konflik dan kontra action. Tahun 1960 Indonesia masih dalam otoritas 73

Mansoor A. Quraishi, Same Aspects of Muslim Education (Lahore: Universal Books,

1983), 35. 74

Lihat, Anne Sofie Roald, Tarbiya: Education and Politics in Islamic Movements in Jordan and Malaysia (Lund: Graphic Systems, 1994), 89. 75

Goodlad memberikan konsep tentang reformasi kurikulum, adalah bagian dari reaksi untuk menerima kurikulum sebelumnya. Perluasan reaksi ini bahwa teori kurikulum tentang berpusat pada anak (child center) dan orientasi masyarakat (society-orientation) itu sendiri harus diterima untuk mendasari subject matter dalam membahas akhir dan makna kurikulum, pergerakan sekarang masih terus berlanjut dengan pro-kontra yang akan datang. Lihat, William F. Pinar et. al., Understanding Curriculum, An Introduction to The Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses, 163.

87

politik Orde Lama, dimana stabilitas politik belum mapan, kurikulum pun belum kuat ikatan secara nasional. 76 Dari pembahasan di atas dapat dirumuskan karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah sebelum tahun 1973 yaitu, pertama, dari sisi tujuan bahwa tujuan kurikulum Madrasah Aliyah berkembang menyesuaikan dengan tujuan lembaga pendidikan madrasah masing-masing, karena masa ini kurikulum madrasah belum seragam, disebabkan secara nasional kurikulum madrasah juga belum muncul saat itu. Kedua, dari sisi isi (content) kurikulum MA masih didominasi muatan agama, prosentase muatan agama lebih besar dari pada muatan umumnya, karena tujuan didirikannya MA adalah sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n. Adapun karakteristik madrasah yang sesungguhnya adalah ciri khas ke-Islaman sebagai ciri yang melekat pada madrasah, seperti dijelaskan oleh Steenbrink, bahwa madrasah mempunyai sifat religiousitas yang tinggi. Ciri khas ini tidak akan hilang walaupun diterpa badai yang bersifat politis. Dan ciri khas itu mestinya melakat dalam isi kurikulum MA, ini yang oleh penulis akan diamati pergeserannya secara detel. Berdasarkan uraian di atas pula dapat ditarik ciri khusus kurikulum MA sebelum tahun 1973, yaitu pertama, pendekatan pembelajaran masih berpusat pada guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Kedua, evaluasi pembelajaran dalam kurikulum masih terfokus pada content kurikulum. 2. Kurikulum MA 1973: Dominasi Muatan Umum Pada tanggal 10-20 Agustus 1970 telah dilangsungkan pertemuan di Cibogo, Bogor, Jawa Barat dalam rangka menyusun kurikulum madrasah dalam semua tingkat secara nasional. 77 Kurikulum Madrasah yang dirumuskan di Cibogo diberlakukan secara nasional berdasarkan, Keputusan Menteri Agama No. 52 Tahun 1971. Dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian

76

Lihat, Pinar et. al., Understanding Curriculum, An Introduction to The Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses, 159. 77

Departemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001), 24.

88

dikenal dengan kurikulum 1973.78 Dari struktur materi yang ditawarkan kurikulum itu sudah cukup mencerminkan perkembangan yang serius dalam rangka mengarahkan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Komponen kurikulum itu meliputi tidak saja mata-mata pelajaran agama tetapi juga mata-mata pelajaran umum dan mata-mata pelajaran kejuruan.79 Dengan disusunnya kurikulum madrasah secara nasional berarti kurikulum madrasah telah seragam, walaupun di sana sini tetap diperbolehkan menambah sesuai dengan ciri khas lembaga yang mendirikan. Isu sentral dari kurikulum madrasah secara nasional nampaknya masuknya mata pelajaran umum ke dalam madrasah (MA) secara dominan. Dimana mata pelajaran agama menjadi berkurang. Makna penting tersusunnya kurikulum 1973 ini adalah, pertama, adanya standar pendidikan bagi madrasah pada setiap jenjang, yang berlaku juga bagi madrasah-madrasah swasta, kedua, adanya acuan yang lebih detail dalam hal mata pelajaran yang dapat dijadikan dasar-dasar kerja dan pengembangan bagi pendidikan madrasah, ketiga, mata pelajaran umum dan kejuruan di madrasah dengan demikian telah mendapatkan landasan formal, apalagi dalam jumlah yang cukup tinggi melebihi jumlah yang telah dilakukan para pembaharu pada masa-masa sebelumnya.80 Lagi-lagi penyusunan kurikulum madrasah secara nasional juga harus mempertimbangkan kebijakan pemerintah yang berlaku saat itu. Sesungguhnya kebijakan –termasuk kebijakan kurikulum– secara rasional lazim diintervensikan dengan masalah politik, demikian Elmore dan G. Sykes berpendapat.81 Bila diamati secara cermat, benar, dimana ketika madrasah belum mengajarkan mata pelajaran umum, madrasah tidak diakui sebagai lembaga pendidikan, terlebih madrasah yang

78

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi,

79

Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, 142.

80

Maksun, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 144.

34.

81

Lihat, R. Elmore dan G. Sykes, “Curriculum Policy”, dalam P. Jackson (Ed.), Handbook of Research on Curriculum, 186.

89

masih identik dengan pesantren, dimana menggunakan metode yang sangat buruk kata Steenbrink, yaitu metode hafalan tanpa mengenal artinya –verbalisme– madrasah sama sekali tidak dianggap sebagai lembaga pendidikan. Dengan hanya berbekal kurikulum madrasah yang bersifat nasional saja ternyata tidak cukup untuk menjadikan madrasah sebagai bagian dari satu sistem pendidikan nasional, karena secara politis eksistensi madrasah –seperti telah disebut sebelumnya– akan di bawah otoritas Depdikbud. Namun tidak disetujui oleh umat Islam, mereka lebih menghendaki madrasah tetap ada di Departemen Agama. Resistensi umat Islam itu semakin nampak ketika Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974, yang isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres itu sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam. Situasi ini menandai hubungan yang cukup panas dalam hubungannya madrasah dengan pendidikan nasional. Munculnya reaksi keras umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan Kepres 34/1972 dan Inpres 15/1974, pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional terkait dengan madrasah. Yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya peningkatan mutu pembinaan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB), yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. 82 Dapat dianalisis bahwa kekuatan pemerintah dengan kekuatan masyarakat (people power) –dalam hal ini umat Islam– ternyata masih kuat kekuatan masyarakat. Dengan demikian maka kebijakan pemerintahpun harus mempertimbangkan aspirasi masyarakat.

82

Departemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 25-26.

90

Dengan diberlakukannya kurikulum 1973 Madrasah Aliyah memiliki jurusan Pasti Alam dan Sosial Budaya. 83 Dalam kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1973, mata pelajaran dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu dasar, pokok, pilihan dan ekstra kurikuler. Dalam kelompok dasar diajarkan 8 mata pelajaran yaitu Tafsir/Ilmu Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Tauhid, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Penjas. Dalam kelompok pokok diajarkan 15 mata pelajaran, meliputi Fikih/Ushul Fikih, Tarikh Tasyri’, Sejarah Islam, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Sejarah Kebudayaan, Ilmu Pasti, IPA, Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Ekonomi/Koperasi, Hitung Dagang, Tata Buku dan dalam kelompok khusus hanya tercantum dua mata pelajaran, meliputi Menggambar/Seni, Prakarya/PKK. Dalam kelompok ekstra kurikuler tercatat mata pelajaran kepramukaan dan koperasi.84 Alokasi waktu kurikulum Madrasah Aliyah perminggu sesuai dengan kelompok mata pelajarannya adalah sebagai berikut, mata pelajaran agama jumlah jam pelajaran perminggu 12-14 jam pelajaran, mata pelajaran umum jumlah jam perminggu 31-33 jam pelajaran, dan mata pelajaran kejuruan jumlah jam perminggu 6 jam pelajaran. Jumlah alokasi waktu selama seminggu 48 jam pelajaran. Dengan alokasi waktu ini dapat dilihat bahwa komposisi mata pelajaran umum lebih banyak daripada mata pelajaran agama. Yang dimasukan ke dalam mata pelajaran agama ialah mata pelajaran yang memiliki kaitan langsung dengan agama, seperti umumnya terdapat pada madrasahmadrasah klasik. Sedangkan mata pelajaran kejuruan meliputi mata pelajaran dalam kelompok khusus dan ekstra kurikuler, selebihnya dikategorisasikan dalam mata pelajaran umum. 85

83

Abdul Rachman Shaleh, Penyelenggaraan Madrasah, Petunjuk Pelaksanaan Administrasi dan Teknis Pendidikan (Jakarta: Dharma Bhakti, 1984), 23. 84

Dapat dilihat pada “Rekapitulasi Kurikulum” 1973 untuk MIN 7 Th, MTs AIN 3 Th, dan MAAIN, Direktur Bimas Islam Departemen Agama RI, Al-Manak, 1974 (Jakarta: 1974), 196-200. 85

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 145.

91

Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1973, sebagaimana kurikulum pada umumnya masih berorientasi pada materi dan tujuan. Pembelajaran masih berpusat pada guru (teacher center) sebagai satu-satunya sumber pembelajaran. Penguasaan pelajaran masih bersifat teoritis, belum aplikatif. Kemudian, kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1973 menggunakan sistem catur wulan. Jenis penilaian yang dipakai adalah penilaian formatif, sumatif, penempatan dan diagnostik. Nilai formatif dilaksanakan setelah guru mengajarkan satu pokok bahasan, nilai sumatif dilaksanakan setiap akhir catur wulan, nilai penempatan yaitu untuk menempatkan murid dalam situasi belajar mengajar, dan nilai diagnostik yaitu untuk membantu kesulitan belajar mengajar yang dialami oleh murid. Uraian di atas menggambarkan karakteristik kurikulum MA tahun 1973 yaitu, dilihat dari isi kurikulum, mata pelajaran agama sudah tidak mendominasi lagi. Dengan demikian mata pelajaran umum lebih dominan atau lebih banyak, kecuali pada jurusan keagamaan. Hal ini menjadi indikator bahwa secara politis misi MA sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n mulai bergeser. Perlu diketahui bahwa kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1973 merupakan kurikulum madrasah pertama yang telah disusun secara nasional, hal ini punya makna penting tersendiri. Dengan demikian tujuan masing-masing MA dapat di seragamkan dengan kurikulum tersebut, karena sudah ada standar nasional, dimana sebelumnya kurikulum MA masih bersifat kedaerahan bahkan berbeda antara lembaga madrasah satu dan lainnya. Perlu diketahui pula bahwa berlakunya kurikulum madrasah secara nasional menjadi pemicu politis, terjadinya dominasi perebutan otoritas Dikbud dan Depag terhadap institusi madrasah. Adapun ciri khusus kurikulum MA tahun 1973 adalah sebagai berikut, pertama, pendekatan pembelajaran berpusat pada guru serta orientasi pelajaran terletak pada tujuan. Kedua, evaluasi pembelajaran terfokus pada materi yang

92

diajarkan, dan lebih mementingkan pengembangan kognitif, serta berlaku sistem catur wulan. 3. Kurikulum MA 1975: Dominasi Muatan Umum Secara Politis Memperkuat Pengakuan Pemerintah Terhadap Eksistensi Lembaga Madrasah Tahun 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tanggal 24 Maret 1975 sebagai pelaksanaan dari keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974, serta petunjuk Presiden di dalam rapat kabinet terbatas tanggal 24 Nopember 1974 mengenai “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah”, yaitu mata pelajaran umum mencapai tingkat yang sama dengan sekolah umum yang setingkat. Dalam Surat Keputusan Bersama itu, masing-masing Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Dalam Negeri memikul tanggungjawab dalam pembinaan dan pengembangan pendidikan madrasah, 86 maka diperlukan penguatan muatan pelajaran umum dalam kurikulum MA. SKB itu menghasilkan, pertama, madrasah meliputi tiga tingkatan; MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA. Kedua, ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat. Ketiga, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas. Keempat, siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.87 Adanya SKB beban madrasah semakin berat, karena disatu sisi beban kurikulum semakin berat di sisi lain mutu pendidikan harus ditingkatkan karena harus sesuai standar sekolah. Dengan demikian Departemen Agama tidak perlu menyusun sendiri kurikulum mata

pelajaran umum untuk

madrasah, tetapi dapat menggunakan kurikulum dan materi pelajaran umum yang sudah diberlakukan di sekolah-sekolah umum.

86

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 149.

87

Lihat, Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 182.

93

Sikap madrasah terhadap SKB ini ada yang pro dan kontra. Karena banyak madrasah yang tetap mempertahankan pelajaran agamanya. 88 Seperti Madrasah Diniyah. Disamping itu SKB dapat dipandang sebagai model solusi yang disatu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan disisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. 89 Dengan demikian isi kurikulum SKB –yang didominasi muatan umum– merupakan sebuah persyaratan bagi MA jika mau diakui sebagai bagian dari satu sistem pendidikan nasional. Terkait SKB, penyempurnaan kurikulum madrasah merupakan langkah strategis dan esensial dalam merealisasikan SKB. Persamaan status madrasah dengan sekolah tidak hanya tampak pada struktur kelembagaan, tetapi juga dalam struktur mata pelajaran yang mengakomodasi secara penuh kurikulum sekolah.90 Cukup banyak keuntungan SKB, tetapi hal itu tidak berarti menafikan kelemahan yang ada dari SKB. Alumni Madrasah Aliyah tidak siap untuk memasuki dunia pendidikan IAIN karena hanya berbekal kurang lebih 30% pelajaran agama di MA. Untuk mengantisipasi keadaan seperti ini, selanjutnya Menteri Agama Munawir Sjadzali menggagas Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), dalam rangka mengatasi krisis ulama. Tahap awal setelah SKB, Departemen Agama menyusun kurikulum 197691 –Keputusan Menteri Agama No. 75, tanggal 29 Desember 1976– dalam rangka penyempurnaan kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1976, keputusan Menteri Agama

88

Seperti madrasah yang di bawah naungan Pondok Pesantren Darusalam Gontor, tetap mempertahankan kurikulum mereka. 89

Departemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 26.

90

Signifikansi SKB Tiga Menteri ini bagi umat Islam adalah, pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa-siswi madrasah yang selama ini terbatas di lembaga-lembaga tradisional (madrasah dan pesantren) dan berbarengan dengan itu, kedua, membuka peluang dan kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lihat, Departemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 27. 91

34.

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi,

94

tersebut perlu diganti dengan SK Menteri Agama Nomor 24 tahun 1980. Kurikulum Madrasah Aliyah tersebut diberlakukan secara intensif mulai tahun 1978.92 Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 Tahun 1987.93 Nampak di sini bahwa isi mata pelajaran umum kurikulum madrasah harus mengikuti kurikulum sekolah, dengan alasan agar supaya lembaga pendidikan madrasah diakui sebagai suatu sistem pendidikan nasional. Ini cukup politis, tetapi walaupun demikian, lembaga madrasah tetap mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, terbukti dengan bergantinya kurikulum dari Depdikbud, yang selanjutnya diikuti oleh madrasah, Menteri Agama selalu mengeluarkan keputusannya (KMA) dalam rangka menyikapi pergantian kurikulum tersebut. Dan KMA itu berisi tentang desain kurikulum madrasah yang baru dengan substansi senantiasa mempertahankan ciri khas ke-Islamannya yang tergambar dalam muatan pelajaran agama. Adapun tujuan dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yang merupakan bentuk kurikulum tahun 1975 meliputi, tujuan institusional, tujuan instruksional yang dibagi menjadi Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Rangkaian tujuan-tujuan ini sebenarnya untuk mencapai tujuan nasional. 94 Dalam SKB disebutkan bahwa mata pelajaran Agama di madrasah kurang lebih 30%, berarti yang 70% adalah mata pelajaran umum. 95 Bergesernya dominasi muatan agama menjadi dominasi muatan umum dalam isi kurikulum MA, adalah syarat dengan muatan politis. Karena hal ini yang akan menggiring sistem pendidikan di Indonesia dari dualistik menjadi satu sistem pendidikan nasional. 92

Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia, 124.

93

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197. 94

Departemen Agama RI, Kurikulum Madrasah Aliyah 1975, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 1976). 95

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197.

95

Ketika madrasah melaksanakan kurikulum SKB Tiga Menteri (1976 -1993), kelihatan beban kurikulum antara madrasah dan sekolah berbeda, madrasah mempunyai beban kurikulum yang lebih berat dibanding sekolah. Sebagai contoh, SMA mempunyai beban kurikulum 222, sementara MA mempunyai beban kurikulum 240, berbeda 18, berat MA dibanding SMA.96 Mengapa demikian, karena kurikulum MA harus menambah jam pelajaran rumpun mata pelajaran PAI, guna mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Dalam rangka memperjelas content kurikulum yang ada pada kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1975/1976, perlu diketahui struktur kurikulumnya, terlampir (tabel 4-8). Ketika berlakunya kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1975 (SKB), Madrasah Aliyah dibagi menjadi lima jurusan yaitu, jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),

jurusan

Ilmu

Pengetahuan

Sosial (IPS),

jurusan

Bahasa,

jurusan

Syari’ah/Agama dan jurusan Qodlo/Peradilan Agama. Mata pelajaran terbagi menjadi tiga program, yaitu program umum, akademis dan ketrampilan. Untuk jenis mata pelajaran yang termasuk program umum, semua jurusan adalah sama. Mata pelajaran yang termasuk program umum ini meliputi, Akhlak – Ilmu Tauhid, al-Qur’an Hadis, Syari’ah, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Olahraga Kesehatan, dan Pendidikan Kesenian. Adapun sebaran alokasi waktu untuk mata pelajaran program umum ini, antara jurusan IPA, IPS dan Bahasa sama persis, untuk jurusan Syari’ah/Agama sama persis dengan jurusan Qodlo/Peradilan Agama. Jenis mata pelajaran yang benar-benar berbeda untuk masing-masing jurusan adalah mata pelajaran program akademis. Mata pelajaran yang muncul pada program akademis ini disesuaikan dengan keahlian yang diharapkan oleh masingmasing jurusan. Jurusan IPA mata pelajarannya meliputi, Sejarah Kebudayaan Islam, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Fisika (mayor), Kimia (mayor), Biologi (mayor),

96

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), 182.

96

Bumi Antariksa (minor), Bahasa Asing (minor), dan Menggambar (minor).97 Jurusan IPS mata pelajarannya meliputi, Sejarah Kebudayaan Islam, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Fisika (mayor), Kimia (mayor), Biologi (mayor), Geografi Antropologi (minor), Bumi Antariksa (minor), Bahasa Asing (minor), Menggambar.98 Jurusan Bahasa mata pelajarannya meliputi, Sejarah Kebudayaan Islam, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu pengetahuan Sosial, Bahasa Asing (mayor), Sejarah (mayor), Geografi Antropologi (mayor), Bahasa Daerah, Menggambar (minor), IPS (minor), Ekonomi –Koperasi (minor).99 Jurusan Syari’ah/Agama mata pelajarannya meliputi, Sejarah Kebudayaan Islam, Filsafat Islam, Perbandingan Agama, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Sejarah, Tata Buku –Hitung Dagang, Geografi– Antropologi, Tafsir –Ilmu Tafsir (mayor), Hadis– Ilmu Hadis (mayor), Fikih –Ushul Fikih– Mantiq (mayor), Tarikh – Tasyri’ (mayor), Menggambar (minor), Ekonomi Koperasi (minor), Bahasa Asing (minor).100 Jurusan Qodlo/Peradilan Agama mata pelajarannya meliputi, Sejarah Kebudayaan Islam, Filsafat Islam, Perbandingan Agama, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Administrasi – Manajemen, Pengantar Ilmu Hukum, Human Relation (mayor), Hukum Pidana (mayor), Hukum Perdata (mayor), Hukum Acara, Hukum Adat, Fikih- Ushul Fikih –

97

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1976), 9. 98

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 10-11. 99

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 9-10. 100

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 11.

97

Mantiq, Tafsir–Ilmu Tafsir, Hadis-Ilmu Hadis, Tarikh Tasyri’, Menggambar, Ekonomi Koperasi (minor), Bahasa Asing (minor).101 Selanjutnya adalah jenis mata pelajaran yang masuk program ketrampilan, meliputi pilihan bebas dan pilihan terikat. Jenis mata pelajaran dan alokasi waktu masing-masing jurusan semua sama, kecuali jurusan Qodlo/Peradilan Agama. Untuk jurusan Qodlo/Peradilan Agama disamping pilihan terikat dan pilihan bebas ditambah Praktek Peradilan Agama. Adapun jumlah jam pelajaran perminggu, 44 jam pelajaran, semua sama baik jurusan IPA, IPS, Bahasa, Syari’ah/Agama maupun Qodlo/Peradilan Agama. Adapun lebih jelas dan rincinya harus melihat struktur kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 (terlampir, lihat tabel 4-8). Kurikulum

Madrasah

Aliyah

1975

ini

menggunakan

Prosedur

Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yaitu bahwa proses belajar mengajar sebagai suatu sistem harus diarahkan kepada pencapaian tujuan. Tujuan ini harus jelas, spesifik dan terukur dan dirumuskan dalam bentuk kemampuan atau tingkah laku murid. Dengan tujuan yang jelas juga akan mudah menyusun alat evaluasinya, akan mudah pula menyusun materi pelajarannya, dan akan mudah kita menentukan metode pengajarannya yang relevan serta akan mudah menyusun proses kegiatannya secara sistematis.102 Sebagaimana kurikulum jenjang madrasah atau sekolah lain, kurikulum Madrasah Aliyah 1975 dalam hal penilaian akan merubah pandangan lama tentang sistem penilaian, dalam mana pelaksanaan penilaian hanya dapat diadakan pada akhir catur wulan atau akhir tahun. Dengan mengimplementasikan PPSI, dengan sendirinya guru-guru dituntut untuk melaksanakan penilain pada setiap akhir satu satuan

101

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 11-12. 102

Departemen Agama RI, Kurikulum Madrasah Aliyah 1975, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

98

pelajaran. Dengan kata lain evaluasi diadakan terus menerus, dan diselenggaran secara menyeluruh, dalam arti seluruh aspek tingkah laku murid dinilai. 103 Dari uraian di atas dapat dilihat karakteristik kurikulum MA tahun 1975/1976 yaitu, isi kurikulum ini berkiblat pada SKB yang muatan mata pelajarannya berkisar 30% mata pelajaran agama dan 70% mata pelajaran umum. Beban kurikulum MA 1975/1976, berat, sebab mata pelajaran umum sama dengan sekolah ditambah mata pelajaran agamanya yang 30%. Tetapi jika komitmen cara pelaksanaannya didukung SDM yang handal, biaya dan sarana prasarana yang memadai serta input yang unggul, sebenarnya Madrasah Aliyah menjadi SMA plus. Adapun mata pelajaran dibagi tiga klasifikasi yaitu, program umum, akademis dan ketrampilan, dimana perbedaan yang sangat substansial adalah di program akademis. Adapun ciri khusus kurikulum MA 1976 berdasarkan uraian di atas adalah, pertama, kurikulum ini menekankan pada tujuan/hasil, jadi proses tidak begitu diperhatikan. Kedua, pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran, guru menjadi sentral dan satu-satunya sumber dalam kurikulum ini. Ketiga, kurikulum ini menggunakan sistem catur wulan, jadi macam-macam tesnya yaitu tes formatif, subsumatif dan tes sumatif. 4. Kurikulum MA 1984: Pemantapan dominasi muatan umum SKB Tiga Menteri dalam Menggiring Madrasah Menjadi Bagian dari sistem Pendidikan Nasioanl Lahirnya kurikulum 1984, sebagai penyempurna kurikulum 1975 (SKB) kalangan madrasah merasa gembira karena lahir pula keputusan bersama antara Menteri Agama dan Menteri P dan K No. 0299/U/1984 (Dikbud); 045/1984 (Depag) tahun 1984 tentang pengakuan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah yang isinya antara lain ialah mengizinkan kepada lulusan sekolah (madrasah) agama untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi.

103

Departemen Agama RI, Kurikulum Madrasah Aliyah 1975, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

99

Hal ini berarti adanya pengakuan yang resmi dari pemerintah RI terhadap persamaan derajat dan kemampuan ilmiah antara madrasah dan sekolah umum di Indonesia. Walaupun pelaksanaan SKB tersebut masih mengalami hambatan dan kekurangan namun inti dan jiwa SKB tersebut merupakan perjuangan dari Depag dan Dikbud.104 Esensi isi SKB 2 menteri tersebut adalah, a) kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah terdiri program inti dan program khusus, b) program inti dalam rangka memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama, c) program khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi bagi sekolah/madrasah tingkat menengah atas, d) pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah umum dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karir, ketuntasan belajar, dan sistem penilaian adalah sama, e) hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum, akan diatur bersama oleh kedua Departemen yang bersangkutan.105 Dengan demikian sebenarnya lahirnya kurikulum madrasah tahun 1984 diilhami oleh SKB 3 Menteri dan SKB 2 Menteri. Tertuang dalam keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 99 tahun 1984 untuk kurikulum Madrasah Ibtidaiyah (MI), KMA Nomor 100 Tahun 1984 untuk kurikulum Madrasah Tsanawiyah (MTs), KMA Nomor 101 tahun 1984 untuk kurikulum Madrasah Aliyah (MA). Dalam GBPP kurikulum MA 1975 disebutkan bahwa tujuan meliputi tujuan kurikuler dan Tujuan Instruksional Umum (TIU). Tujuan kurikuler adalah tujuan yang harus dicapai oleh setiap mata pelajaran yang ada di Madrasah Aliyah, sedang Tujuan Instruksional Umum (TIU) adalah tujuan yang harus dicapai dalam masingmasing pokok bahasan. 106

104

Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, 198.

105

Muwardi Sutejo dkk, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, 1992), 16. 106

Departemen Agama RI, Kurikulum Madrasah Aliyah 1975, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

100

Terkait kurikulum MA tahun 1984, telah dikeluarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah. Dalam ketentuan ini, isi kurikulum terdiri dari dua program pengajaran umum dan pengajaran khusus sebagaimana berlaku dalam sekolah umum. 107 Adapun struktur program kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1984, pendidikan Agama terdiri: Qur’an Hadis,

Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah dan

Peradaban Islam, Bahasa Arab, semua mata pelajaran ini digolongkan ke dalam program inti. Program inti adalah jenis program yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan pada Madrasah Aliyah. Program inti wajib diikuti oleh semua siswa.108 Program inti terdiri dari kelompok Pendidikan Agama dan kelompok pendidikan dasar umum. Kelompok Pendidikan Agama telah disebut di atas, sedang kelompok pendidikan dasar umum terdiri: Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Bahasa dan Sastera Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Dunia, Ekonomi, Geografi, Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, Bahasa Inggris, Pendidikan Olahraga dan Kesenian, Pendidikan Seni dan Pendidikan Ketrampilan.109 Bobot dari masing-masing mata pelajaran dalam program inti berbeda sesuai dengan fungsi dan pentingnya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya, program pilihan adalah sejumlah mata pelajaran yang dapat dipilih atas dasar perbedaan bakat, minat dan tujuan belajar perorangan serta kebutuhan lingkungan. Program ini terdiri, pilihan A dan pilihan B. Pilihan A memberikan bekal kepada para siswa untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi. Madrasah Aliyah mempunyai 5 kelompok program pilihan A, yaitu: 1) Program pilihan A1 (ilmu-ilmu Agama), mata

107

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, 159.

108

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, 102. 109

Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Madrasah Aliyah (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1988/1989), 1-2.

101

pelajarannya terdiri dari; Tafsir Ilmu Tafsir, Hadis Ilmu Hadis, Ushul Fikih, Tarikh Tasyri’, Ilmu Kalam, Sejarah Islam, Bahasa Inggris dan Matematika. 2) Program pilihan A2 (Ilmu-ilmu Fisika), mata pelajarannya terdiri dari; Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, dan Bahasa Inggris. 3) Program pilihan A3 (ilmu-ilmu Biologi), mata pelajarannya terdiri dari; Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, dan Bahasa Inggris. 4) Program pilihan A4 (ilmu-ilmu sosial), mata pelajarannya terdiri dari; Ekonomi, Sosiologi dan Antropologi, Tata Negara, Matematika, Bahasa Asing lain, Bahasa Inggris. 5) Program pilihan A5 (ilmu-ilmu Budaya), mata pelajarannya terdiri dari; Sejarah Budaya, Sastera, Sosiologi dan Antropologi, Bahasa Inggris, Bahasa Daerah dan atau Bahasa Asing lainnya, dan Matematika. 110 Dibanding kurikulum sebelumnya, pada kurikulum 1984 ini nampaknya Madrasah Aliyah membuka program lebih banyak dan lebih terinci. Adapun, pilihan B merupakan sarana untuk berbagai ketrampilan yang disesuaikan dengan bidang kehidupan dalam masyarakat. Mata pelajaran yang termasuk kategori pilihan B diklasifikasikan menjadi dua: pertama, kelompok mata pelajaran yang berfungsi sebagai dasar bagi pengembangan kemampuan kejuruan yang dipilih siswa untuk terjun ke dunia kerja. Kedua, kelompok mata pelajaran yang berfungsi mempersiapkan siswa untuk mengembangkan kemampuan managerial dan teknis kejuruan yang sesui dengan jenis pekerjaan yang ada dalam masyarakat dan dipilih siswa. Jenis program yang termasuk pilihan B ini meliputi; (a) Program Bidang Keagamaan, (b) Program di Bidang Pertanian dan Kehutanan, (c) Program di Bidang Jasa, (d) Program di Bidang Kesejahteraan Keluarga, (e) Program di Bidang Maritim, dan (g) Program di Bidang Budaya. 111 Pada kurikulum selanjutnya program pilihan B ini yang sering disebut Madrasah Aliyah Program Ketrampilan. Disamping itu berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1983 tentang kurikulum Madrasah Diniyah yang membagi Madrasah Diniyah menjadi tiga

110

Departemen Agama RI, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Madrasah Aliyah, 5.

111

Lihat, Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia, 138.

102

tingkatan, yaitu Awaliyah, Wustha dan Ulya.112 Adapun istilah kurikulum dalam Madrasah Aliyah Diniyah di pesantren kurang populer, yang lebih populer adalah manhaj, yang dapat diartikan dengan kurikulum atau arah pembelajaran tertentu. Manhaj dalam Madrasah Aliyah Diniyah tidak dalam bentuk jabaran silabus, tetapi beberapa funu>n kitab yang diajarkan kepada para siswa/santri. Materi yang diajarkan meliputi, Tafsir al-Qur’an, Ilmu Tafsir, Hadis, Musthalah al-Hadis, Tauhid, Fikih, Ushul Fikih, Nahwu dan sharaf, Akhlaq, Tarikh dan Balaghah. Dimana masingmasing materi ada kitab-kitab tertentu, untuk lebih jelasnya dapat dilihat struktur kurikulumnya, terlampir (lihat tabel 9). Kurikulum Madrasah Aliyah 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).113 Bila dicermati, subyek belajar sudah mengalami kemajuan, yang semula berpusat pada guru (teacher centre), pada kurikulum 1984 ini berpusat pada siswa (students centre). Tentunya metode yang digunakan oleh guru juga metode yang dapat membuat siswa aktif. Sistem yang dipakai pada kurikulum ini adalah semester.114 Hal ini berbeda dengan kurikulum sebelumnya yang memakai sistem catur wulan. Penilaian hasil belajar siswa menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor tidak hanya cukup dilakukan dengan melalui tes tulis tetapi juga perbuatan, khusunya untuk rumpun mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).

112

Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, 23.

113

Lihat, http://kesadaransejarah.blogspot.com/2007/11/kurikulum-pendidikan-kita.html. 07/01/2010. Lihat juga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMTA), Garis-garis Besar Program Pengajaran (Jakarta: Balitbang Depdikbud, 1988), vii. 114

Departemen Agama RI , Sejarah Madrasah, 188.

103

Uraian kurikulum MA 1984 di atas merupakan dasar untuk merumuskan karakteristik kurikulum tahun 1984 adalah sebagai berikut, pertama, Isi kurikulum MA 1984 tidak berbeda jauh dengan isi kurikulum MA 1976, yaitu muatan agama berkisar 30% dan muatan umum 70%. Isi kurikulum yang tidak berbeda ini dikarenakan kurikulum MA 1984 merupakan penguatan/pemantapan SKB Tiga Menteri, yaitu dikeluarkannya SKB 2 Menteri. Hal ini nampak keseriusan pemerintah untuk menggiring madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga sistem dualistik di Indonesia akan segera dihapuskan. Kedua, ciri khas ke-Islaman sebagai karakteristik asli madrasah masih terasa, karena kisaran muatan agama 30% masih berjalan. Adapun ciri khusus kurikulum MA 1984 yang bukan merupakan karakteristik madrasah berdasarkan uraian di atas adalah pertama, proses belajar mengajar dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar

dan

apa

yang

dipelajarinya.

Kedua,

penilaian

dilakukan

secara

berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan meningkatkan proses dan hasil belajar serta pengolahan program. 115 Ketiga, proses belajar ditekankan pada keaktifan siswa –Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)– metode-metode yang dapat menimbulkan keaktifan siswa116 amat ditekankan pada kurikulum ini. Kelima, menekankan pada pendekatan ketrampilan proses, seperti mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan hasil kerjanya.

B. Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 1. Kurikulum MA 1994: Sekolah Umum Berciri Khas Islam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 nomor 2 tahun 1989, menyatakan: kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan 115 116

Lihat, Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 185.

Aktif di sini tidak hanya aktif fisiknya saja, tetapi psikhisnya juga harus aktif. Malah sebagian ahli pendidikan lebih menekankan aktif jiwa (psikhis).

104

kesesuaiannya

dengan

lingkungan,117

kebutuhan

pembangunan

nasional,

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.118 Dalam pasal 4 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar menyatakan bahwa, SD dan SLTP yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).119 Sedangkan mengenai Madrasah Aliyah disebutkan sebagai sekolah menengah umum, sebagaimana dikemukakan pada bab 1 pasal 1 ayat 6, bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah Umum (SMU) yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. 120 Dalam rangka merealisasikan tuntutan UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Menteri Agama RI mengeluarkan ketentuan-ketentuan tentang kurikulum madrasah yang berlaku secara nasional. Yaitu didasarkan atas Surat Keputusan Nomor 371 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Ibtidaiyah, Nomor 372 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Tsanawiyah, Nomor 373 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah. 121 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama tersebut maka lahirlah kurikulum Madrasah Aliyah 1994.122

117

Barry Franklin, seperti dikutip Michael W. Apple, mengatakan bahwa nampaknya kurikulum harus menyentuh kehidupan nyata dan sejarah masyarakat, lebih lanjut Franklin mengatakan, bahwa kurikulum harus merupakan bagian sejarah yang menghubungkan antara sekolah dan lingkungan masyarakat. Lihat, Michael W. Apple, Ideology and Curriculum (New York and London: Routledge Falmer, 2004), 59-60. 118

UUSPN No. 2 Tahun 1989, 34, lihat juga Depag RI, Himpunan Peraturan Perundangundangan Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992), 15-16. 119

UUSPN No. 2 Tahun 1989, 34, lihat juga Depag RI, Himpunan Peraturan Perundangundangan Sistem Pendidikan Nasional, 65. 120

Surat Keputusan Mendikbud Nomor 0489/1992 tentang Sekolah Menengah Umum

(SMU). 121

Depag RI, Panduan Kurikulum Madrasah Aliyah 1994 (Jakarta: Depag RI, 1994).

122

Depag RI, Sejarah Madrasah, 187.

105

Tarmizi Taher ketika menjadi Menteri Agama, nampaknya mencoba menawarkan kebijakan dengan jargon “Madrasah sebagai sekolah umum yang Berciri Khas Agama Islam –kurikulum 1994– yang muatan kurikulumnya sama dengan non madrasah.123 Terutama muatan mata pelajaran umumnya yang sama dengan non madrasah, adapun muatan pelajaran agamanya untuk MA ditambah jumlah jam pelajaran dalam rangka memunculkan ciri khas ke-Islamannya. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang pendidikan menengah, yang diiringi dengan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0489/U/1992 tentang Sekolah Menegah Umum (SMU). Dalam UU Sisdiknas no. 2 Tahun 1989, yang diatur oleh PP no 28 dan 29 dan diikuti oleh SK Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, menyebutkan bahwa madrasah adalah sekolah yang berciri khas agama Islam. Berkenaan dengan ini maka MI, MTs dan MA memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah, ditambah dengan ciri ke-Islamannya yang ada dalam kurikulum madrasah, yaitu memiliki pelajaran agama yang lebih dari sekolah.124 Ini adalah tantangan bagi madrasah, di satu sisi kurikulumnya harus sesuai dengan sekolah, di sisi lain harus mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan dan strategi yang mampu mendorong peningkatan kualitas dan mampu mengatasi kekurangan yang ada pada MA. 125 Jika tantangan ini dihadapi dan direalisasikan secara konsekwen, maka MA akan menjadi SMA plus, tetapi kalau tidak justeru akan sebaliknya --tidak berkualitas– pelajaran umum tidak dapat mengejar SMA secara kualitatif, pelajaran agama tidak bisa mengejar lulusan pesantren secara kualitatif pula.

123

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197. 124

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, 111. 125

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, 35-37.

106

Untuk memberi ciri khas ke-Islaman pada madrasah tidak cukup hanya ciri formal dalam kurikulum. Karena itu, ditetapkan tiga program utama yaitu, pertama, program Mafikibb dengan nuansa Islam. Kedua, program pelajaran agama dengan nuansa iptek, dan ketiga, program penciptaan suasana keagamaan di madrasah. Program

Mafikibb

dengan

nuansa

Islam

dimaksudkan

untuk

mengembangkan bidang kajian Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris yang lebih bernuansa dan berkaitan dengan kajian ke-Islaman. Program ini untuk menopang proyek reintegrasi ilmu-ilmu umum dengan ilmu agama. Pada masa kemajuan Islam, kedua ilmu tersebut diperkenalkan dan dikembangkan oleh ilmuwan Islam tanpa mendikotomikan secara tajam. Namun akibat dominannya filsafat Barat yang sekuler, kedua ilmu tersebut dibedakan lagi secara tajam. Program ini hendak memadukan kembali kedua bidang kajian Islam secara integral. Program kedua memberikan nuansa iptek pada bidang studi agama merupakan program lanjutan dari program Mafikibb dengan nuansa Islam. Melalui program ini dilakukan pula upaya menjembatani pemaduan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena bagaimanapun teknologi dapat membantu pengalaman beragama. Bila upaya Mafikibb dengan nuansa agama dan bidang studi agama dengan nuansa iptek dapat berhasil, tidak ada lagi kesan dikotomi antara pelajaran agama dan umum ataupun dualisme antara sekolah dan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia yang sering diperdebatkan. Sementara penciptaan suasana keagamaan di madrasah tidak terbatas dalam proses belajar mengajar. Penciptaan suasana keagamaan ini harus didukung dengan perbaikan fisik dan sarana bangunan maupun dalam pergaulan dan pakaian siswa. Suasana keagamaan ini dapat pula berupa simbol dan pelaksanaan aktifitas keagamaan di dalam madrasah. Program ini harus integral dan untuk menopang dua program lainnya. 126 Substansi pemikiran di atas adalah menginginkan integrasi

126

141-142.

Lihat, Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001),

107

kurikulum direalisasikan di MA, seiring isi kurikulum MA telah disamakan dengan kurikulum SMA. Dalam keputusan Menteri Agama No. 370 tahun 1993, Madrasah Aliyah adalah dikelompokkan dalam pendidikan menengah umum, dengan demikian kurikulumnya mesti sejalan dengan Sekolah Menengah Umum, 127 karena Madrasah Aliyah adalah sekolah Menengah Umum (SMU) berciri khas Islam maka isi kurikulumnya juga harus tergambar ciri khas tersebut. Adapun tujuan institusional Madrasah Aliyah ada 2 yaitu, pertama, perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan siswa, kedua, pelaksanaan ciriciri ke-Islamannya.128 Dilihat dari tujuan MA cukup ideal, karena tujuan yang pertama merupakan kualifikasi yang harus dicapai oleh SMU, sementara tujuan yang kedua adalah kualifikasi yang harus dicapai oleh MA sebagai pengemban misi keIslaman. Tujuan yang pertama dan kedua dalam kurikulum 1994 harus dicapai oleh siswa MA, kalau demikian halnya sebenarnya tujuan ini sangat ideal. Terlebih ketika hal ini dilaksanakan secara integrasi, maka dikotomi ilmu umum dan agama akan hilang. Bila dibandingkan dengan kurikulum 1984, pelaksanaan pengajarannya adalah semester, maka kurikulum 1994 dilakukan melalui catur wulan. Istilah bidang studi pada kurikulum 1984 diganti dengan mata pelajaran. Pendidikan Agama Islam (PAI) yang semula porsinya 30% (kurikulum 1984), pada kurikulum 1994 hanya

127

Tujuan pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) seperti tercantum dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 pasal 15, dan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990, menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah; 1) meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian, 2) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya. Lihat, Benny Karyadi, ”Kurikulum Sekolah Umum” dalam Konvensi Nasional Pendidikan II, Kurikulum Untuk Abad Ke-21 (Jakarta: Grasindo, 1994), 62. 128

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, 114.

108

lebih kurang 10%.129 Kelihatan sekali pergeseran isi kurikulum MA 1984 dengan 1994, dalam muatan pelajaran agama yang hanya mendapat porsi 10%. Berarti implikasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 sangat nampak terhadap kurikulum MA, agar MA setara dengan SMU. Hal ini secara politis adalah tuntutan pemerintah, karena madrasah telah masuk dalam satu sistem pendidikan nasional, dimana persyaratannya adalah muatan umum kurikulum MA harus sama dengan muatan umum kurikulum SMA. Dengan demikian tujuan politis pemerintah telah berhasil, yaitu merubah dualisme pendidikan di Indonesia menjadi satu sistem pendidikan nasional. Sehingga sangat jelas jika dikatakan, bahwa muatan umum kurikulum MA sama persis dengan muatan umum kurikulum SMA. Perbedaannya hanya terletak pada ciri khas ke-Islamannya, sehingga MA tidak dapat meninggalkan mata pelajaran kunci yaitu mata ajar keagamaan (PAI).130 Program Pengajaran, khususnya di Madrasah Aliyah, sebagai bahan penguasaan iptek tersusun dalam program umum dan program khusus. Program umum diselenggarakan dari kelas I sampai kelas II dan program khusus di kelas III. Pada program umum diberikan semua mata pelajaran plus mata ajar agama, dan pada program khusus berupa pendalaman program Bahasa, IPA dan IPS. Selain itu digunakan sistem remedial dan pengayaan melalui program ekstrakurikuler, jika dirasa perlu.131 Untuk kelas I dan II program132 IPA, IPS dan Bahasa, jenis mata pelajaran dan jumlah alokasi waktunya sama persis. Jenis mata pelajarannya meliputi, Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan, Pendidikan Agama Islam meliputi, (a) Qur’an Hadis, (b) Fikih, (c) Aqidah–Akhlak, Bahasa Indonesia dan Sastera 129

Departemen Agama RI , Sejarah Madrasah, 188.

130

Departemen Agama RI, Panduan Kurikulum Madrasah Aliyah 1994, 2.

131

Badri Yatim dkk, Sejarah Madrasah, 191.

132

Istilah di sini dipakai pogram bukan jurusan, tidak seperti kurikulum Tahun 1975 (SKB) yang memakai istilah jurusan.

109

Indonesia, Sejarah Nasional dan Umum, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam meliputi, (a) Fisika, (b) Biologi, (c) Kimia, Ilmu Pengetahuan Sosial meliputi, (a) Ekonomi, (b) Sosiologi, (c) Geografi dan Pendidikan Seni. 133 Berbeda dengan kurikulum sebelumnya (1975), dimana mata pelajarannya dibagi menjadi program umum, akademis dan ketrampilan, nampaknya kurikulum 1994 tidak. Pada kurikulum 1994 ini penjurusan yang mengarah pada program studi adalah terjadi pada kelas III. Dalam kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1994, MA dibagi menjadi 3 program disamping program tafaqquh fi> al-di>n yaitu Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Tiga program tersebut adalah program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan program Bahasa. Dimana penjurusan program ini

terjadi di kelas III. Jenis mata pelajaran yang ada di kelas III ini

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu umum dan khusus. Untuk jenis mata pelajaran umum pada program IPA, IPS dan Bahasa sama persis. Adapun jenis mata pelajaran yang

masuk

kelompok

umum

ini

meliputi,

Pendidikan

Pancasila

dan

Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam meliputi, (a) Qur’an Hadis, (b) Fikih, (c) Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Umum, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Adapun jumlah alokasi waktunya pun sama persis. Yang membedakan antara satu program dengan program yang lain terletak pada jenis dan alokasi waktu pada mata pelajaran khusus. Untuk program IPA, jenis mata pelajarannya meliputi, Fisika 7 jam pelajaran perminggu, Biologi 7 jam pelajaran perminggu, Kimia 6 jam pelajaran perminggu dan Matematika 8 jam pelajaran perminggu.134 Jenis mata pelajaran untuk

133

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1994, Landasan, Program dan Pengembangan (Jakarta: Depag RI, 1993). Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah), (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999/2000), 393. 134

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah), 395.

110

program IPS terdiri, Ekonomi 10 jam pelajaran perminggu, Sosiologi 6 jam pelajaran perminggu, Tata Negara 6 jam pelajaran perminggu, dan Antropologi 6 jam pelajaran perminggu.135 Adapun jenis mata pelajaran untuk program bahasa meliputi, Bahasa dan Sastra Indonesia 8 jam pelajaran perminggu, Bahasa Inggris 6 jam pelajaran perminggu, Bahasa Asing lain 9 jam pelajaran perminggu, dan Sejarah Budaya 5 jam pelajaran perminggu.136 Satu jam pelajaran berlangsung selama 45 menit, dan jumlah jam pelajaran perminggu 45 menit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat struktur kurikulum (terlampir, lihat tabel 10–13). Berdasarkan isi (content) dan alokasi waktu yang ada di dalam struktur kurikulum MA tahun 1994, maka madrasah dapat menambah mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional. Madrasah juga dapat menjabarkan dan menambah bahan kajian dari mata pelajaran sesuai dengan kebutuhan setempat.137 Dalam kurikulum 1994 program tafaqquh fi> al-di>n berdiri sendiri dalam satu kelembagaan yaitu Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), yang sebelumnya disebut Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), sebagaimana dinyatakan dalam Surat Keputusan Menteri Agama No. 371 tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah Keagamaan dan kurikulumnya dituangkan dalam keputusan Menteri Agama No. 374 tahun 1993.138 Dalam kurikulum MAK pelajaran agamanya mendapatkan prosentase

135

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah), 396. 136

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah), 394. 137

Surat Keputusan Menteri Agama (KMA) TI, No. 371, 372, 373 Tahun 1993 tentang kurikulum MI, MTs dan MA. 138

Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia, 119.

111

yang lebih tinggi dari pada pelajaran umum, yaitu 70% agama dan 30% umum.139 Dengan tujuan bahwa outcome dari MAK ini benar-benar menguasai disiplin ilmu agama dan siap terjun di masyarakat. Disamping itu, Madrasah Aliyah Model juga menggunakan kurikulum 1994, dimana menurut UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989, disebutkan bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Menengah Umum (SMU) berciri khas Islam. Salah satu usaha MA Model ini adalah meningkatkan mutu mata pelajaran inti, yaitu Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Sosiologi dan Antropologi.140 Pendekatan baru dalam penyempurnaan kurikulum inti dilakukan melalui identifikasi kemampuan dasar (Basic Competencies) yang seharusnya dikuasai oleh siswa dalam mata pelajaran tertentu pada jenjang tertentu, baik dari segi relevansi, fleksibilitas dan akuntabilitas. Kurikulum MAN Model merupakan perpaduan antara ilmu umum, ketrampilan, dan ilmu agama.141 Adapun struktur kurikulum MAN Model yang mengikuti kurikulum 1994 dapat dilihat di lampiran, (lihat tabel 14 -17). Setelah madrasah melaksanakan kurikulum baru (kurikulum 1994) sebagai tindak lanjut dari UU No. 2 Tahun 1989 dan PP No. 28 dan 29 Tahun 1990, struktur kurikulum madrasah berbeda dengan kurikulum SKB Tiga Menteri. Walaupun berbeda, tetapi beban kurikulum madrasah tetap lebih berat daripada beban kurikulum sekolah. Dalam kurikulum baru ini madrasah, khususnya Madrasah Aliyah mempunyai kelebihan jam pelajaran agama, yaitu: Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab. Agar tidak mengurangi bobot kualitas, maka tambahan mata pelajaran agama ini tidak boleh mengurangi jumlah

139

Kurikulum 1968, 80% agama dan 20% umum, kurikulum 1973 dan 1975, 70% agama serta 30% umum. 140

Departemen Agama RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan Madrasah Model (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002), 5. 141

Model, 5.

Departemen Agama RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan Madrasah

112

jam mata pelajaran umum. 142 Logis, sebenarnya berat, karena MA adalah sebagai SMU plus, tetapi ketika terealisasi maka kualitas MA di atas kualitas SMU pada umumnya. Letak kelebihan kualitas tersebut, karena dalam kurikulum MA ditambah jam pelajaran PAI untuk mendukung ciri khas ke-Islaman. Strategi pembelajaran pada kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994 adalah dengan menggunakan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL), seperti kurikulum sebelumnya. Sistem catur wulan berlaku pada kurikulum Madrasah Aliyah 1994, dimana pada kurikulum sebelumnya memakai sistem semester. Walaupun setelah kurikulum 1994 berakhir muncul kurikulum 2004 (KBK), sistem semester kembali dipakai. Dengan sistem catur wulan yang dipakai dalam kurikulum 1994, maka penilaian terdiri dari nilai formatif (nilai harian/setelah selesai satu pokok bahasan), kemudian nilai sub sumatif dan nilai sumatif, dimana ketiga penilaian selanjutnya diakumulasi menjadi nilai raport. Dari penjelasan di atas dapat diketahui karakteristik kurikulum MA tahun 1994 yaitu bahwa kurikulum MA 1994 terkenal dengan sebutan kurikulum sekolah umum berciri khas Islam, karena muatan umumnya sama dengan kurikulum SMA, sementara ada tambahan jumlah jam pelajaran untuk rumpun mata pelajaran PAI, sebagai ciri khas ke-Islamannya. Walaupun beban belajar di MA lebih berat dibanding di SMA, tetapi hal ini harus ditempuh, karena kalau tidak kurikulum MA akan kehilangan ciri khasnya. Disamping itu, kurikulum MA 1994 menghendaki kurikulum yang integratif, artinya tidak ada dikotomi keilmuan, antara ilmu umum dan ilmu agama. Adapun ciri khusus kurikulum MA 1994 dapat dirumuskan sebagai berikut; pertama, berbeda dengan kurikulum sebelumnya, kurikulum 1994 dirancang dan dikembangkan dengan cermat dan penuh pertimbangan, dengan tekanan sedini mungkin pada kelemahan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya. Kelemahan itu

142

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, 182.

113

terutama pada syaratnya beban pelajaran yang ditanggung siswa dan orientasinya terarah pada target hasil belajar, bukan pada proses pembelajarannya. Kedua, pada kurikulum MA 1994 ini, guru diberi wewenang untuk berimprovisasi dengan kurikulum yang sudah disusun. Ketiga, pada kurikulum MA 1994, guru leluasa mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap pokok bahasan atau sub pokok bahasan sesuai dengan kebutuhan. Keempat, guru juga diberi wewenang dalam menentukan metode, penilaian, dan sarana pembelajaran sesuai dengan kebutuhan sehingga siswa aktif dalam pembelajaran, baik secara fisik dan mental (intelektual dan emosional), maupun sosial. 143

C. Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 1. Kurikulum MA 2004: Mempertahankan Ciri Khas ke-Islaman sebagai Karakteristik Asli Madrasah Kedudukan madrasah semakin kokoh, merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional dengan keluarnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003. Dalam pasal 18 disebutkan bahwa pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau berbentuk lain yang sederajat.144 Pada kurikulum sebelumnya sebutan nama SMA adalah SMU, untuk SMK masih STM, SMEA dan lain-lain, namun sebutan MA masih tetap. Di sisi lain munculnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Terkait dengan madrasah, sebelumnya –sebelum munculnya UU ini– madrasah secara full dan otonomi di bawah wewenang Departemen Agama, setelah munculnya UU No. 22 ini, agama tidak diotonomikan, sedangkan pendidikan termasuk bagian

143

Departemen Agama RI, Sejarah Madrasah, 187. Bandingkan dengan Barry Franklin yang mengatakan bahwa kita butuh interes sosial yang dapat membimbing untuk menyeleksi kurikulum dan organisasi. Lihat, Michael, Ideology and Curriculum, 61. 144

Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, 166.

114

yang diotonomikan.145 Dengan demikian sebenarnya mata pelajaran umum yang ada di madrasah di bawah otoritas Dinas Pendidikan yang ada di daerah, sedangkan untuk mata pelajaran rumpun PAI tetap di bawah otoritas Departemen Agama, karena tidak diotonomikan. Konsekwensi logisnya, mata pelajaran PAI yang ada di sekolah juga menjadi otoritas Departemen Agama. Menteri Agama dalam suratnya kepada Menteri Dalam Negeri No. MA/402/2000, tanggal 21 November 2000 tentang penyerahan wewenang di bidang agama dan keagamaan. Dalam surat tersebut dinyatakan sebagai menindaklanjuti keputusan rapat tanggal 26 September 2000 yang membahas tanggapan dan masukan dalam rangka PP No. 84 Tahun 2000 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 118/1375/PUMDA tentang rencana kerja percepatan implementasi Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 2000 disampaikan bahan dari Departemen Agama bahwa kewenangan penyelenggaraan pendidikan agama pada sekolah umum dan penyelenggaraan MI, MTs dan MA diserahkan kepada daerah kabupaten/kota sesuai asas desentralisasi pemerintah yang meliputi aspek-aspek; operasional penyelenggaraan, penjabaran kurikulum, penyediaan tenaga dan kependidikan, penyediaan sarana dan prasarana, penyediaan anggaran. 146 Di sini sebenarnya juga terkesan bahwa Dinas Pendidikan hendak berminat mengurusi madrasah lagi, rupanya Departemen Agama tetap dalam pendiriannya tidak mau melepas madrasah. Buktinya sampai sekarang madrasah tetap di bawah kewenangan Departemen Agama. Dalam rangka menyikapi kebijakan yang ada dan mengejar ketertinggalan madrasah, A. Malik Fadjar rupanya tidak tinggal diam, terlebih beliau adalah orang yang pernah menjadi Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional. Untuk ini Malik menetapkan eksistensi Madrasah untuk memenuhi tiga tuntutan minimal dalam peningkatan kualitas madrasah, yaitu (1) bagaimana menjadikan madrasah sebagai 145 146

145-146.

Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, 176. Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi,

115

wahana untuk membina ruh dan praktek hidup ke-Islaman; (2) bagaimana memperkokoh keadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah; (3) bagaimana madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi. 147 Tiga jargon Malik tersebut sebenarnya perlu direnungi secara dalam, sehingga madrasah bangkit dan melaksanakan pembaharuan. Terlebih munculnya kurikulum 2004 yang syarat dengan otonomi daerah, madrasah juga harus menyesuaikan diri. Kurikulum 2004 yang diilhami oleh UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, dalam pasal 36 dan 38, disebutkan bahwa kurikulum dikembangkan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah.148 Melihat realitas yang demikian madrasah juga harus bersikap, dengan tetap mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 2004 disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Substansi KBK adalah kompetensi, sedangkan kompetensi merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang dilakukan secara konsisten dan terus menerus, sehingga memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten dalam bidang tertentu. Dengan kata lain, kompeten mempunyai arti memiliki pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.149 Deborah DeZure mengartikan

147

Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, 197-199. 148

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 24, 26. 149

Departemen Agama RI, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2004), 40. Lihat juga, Syafrudin Nurdin, Model Pembelajaran Yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), xi.

116

kompetensi, para siswa yaitu mampu mempraktekan apa yang mereka ketahui.150 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) berarti menuntut seorang siswa mampu menguasai teori dan praktek. Secara

umum

kompetensi

yang

harus

dimiliki

oleh

siswa

dapat

diklasifikasikan menjadi empat, yaitu pertama, kompetensi tamatan adalah pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan belajar pada suatu jenjang tertentu. Kedua, kompetensi mata pelajaran adalah rumusan kompetensi siswa dalam berfikir, bersikap dan bertindak setelah menyelesaikan pelajaran tertentu. Ketiga, kompetensi rumpun mata pelajaran adalah kompetensi-kompetensi yang dihasilkan dari setiap mata pelajaran dan kompetensi rumpun mata pelajaran akan menghasilkan kompetensi lulusan. Keempat, kompetensi lintas kurikulum adalah kompetensi yang dapat diterapkan untuk beberapa mata pelajaran. 151 Ketika empat hal di atas dapat dikuasai oleh siswa berarti KBK dapat berhasil secara ideal. Kurikulum Berbasis Kompetensi menekankan pada hasil dan proses. Pengembangan kurikulum yang berorientasi pada hasil menekankan pada pemahaman, pengahayatan secara komprehensip dan perwujudannya dalam berfikir dan berbuat atau bertindak sebagai dampak dari pemahaman dan pengahayatan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai. Pengembangan kurikulum berorientasi pada proses menekankan pada terlaksananya proses pembelajaran dan suasana yang kondusif bagi pembentukan atau pencapaian kompetensi. 152 Disamping KBK berorientasi pada hasil dan proses, KBK juga memperhatikan keberagaman yang

150

Deborah DeZure, Innovations in the Undergraduate Curriculum dalam James W Guthrie (ed.), Encyclopedia of Education (New York: Thomson, 2003), 510. Kita dapat melihat bahwa otak dalam pengajaran untuk mengetahui content ilmu pengetahuan dan harus menjadikan otak itu dapat menyeleksi content ilmu pengetahuan itu yang demikian disebut term perkembangan kompetensi. Lihat, Kelly, The Curriculum, Theory and Practice (London: Sage Publication, 2004), 87. 151

Syafrudin, Model Pembelajaran Yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, xi. 152

Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 186.

117

dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. 153 Munculnya KBK pendidikan berbasis multikultural kiranya dapat direalisasikan. Apabila dibandingkan jenis nama pelajaran agama antara mata pelajaran dalam struktur kurikulum madrasah tahun 1994 dengan struktur tahun 2004, tidak mengalami perubahan karena jenis mata pelajaran itu masih didasarkan atas Keputusan Menteri Agama No. 110 Tahun 1982 tentang pembidangan ilmu keIslaman. Namun bila dilihat dari sisi alokasi waktu setiap mata pelajaran, berubah sangat signifikan, karena terkait dengan hasrat peningkatan mutu PAI di madrasah.154 Pada kurikulum tahun 2004 dihindarkan pertemuan tatap muka yang hanya satu jam pelajaran, agar pembobotan dalam prinsip belajar tuntas dapat diselesaikan. Adapun keseluruhan jumlah jam pelajaran perminggu dipertahankan seperti yang tercantum pada struktur kurikulum tahun 1994.155 Secara riil bila mengikuti kurikulum Diknas sebenarnya alokasi waktu untuk PAI sangat sedikit, tetapi secara intern Depag juga membuat kebijakan supaya jangan sampai ciri khas ke-Islaman itu hilang. Melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) kurikulum MA terus dipertahankan ciri khas keIslamannya, dengan cara mengatur alokasi waktu serta content materi mata pelajaran PAI tersendiri yang berbeda dengan mata pelajaran PAI yang ada di SMA.156 Pada kurikulum tahun 2004, jenis mata pelajaran madrasah dengan sekolah umum sama, MI sama dengan SD, MTs sama dengan SMP, MA sama dengan SMA, MAK sama dengan SMK. Bedanya hanya di Pendidikan Agama, baik jenis maupun alokasi waktunya, di sekolah umum berkisar 2-3 jam perminggu, di madrasah 7–12 jam perminggu. 157 Perbedaan alokasi waktu PAI di SMA dengan di MA cukup tinggi,

153

Departemen Agama RI, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan,

154

Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 202.

155

Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 202.

41.

156

Wawancara dengan Unang Rahmat Kaur Kurikulum Madrasah Aliyah (MA) Kementerian Departemen Agama pada tanggal 4 Januari 2010. 157

Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 202.

118

karena kurikulum MA mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, inilah sisi politis yang cukup substansial untuk dikaji. Kurikulum Madrasah Aliyah umum terdiri dari dua rumpun mata pelajaran utama, yaitu rumpun mata pelajaran PAI dan Bahasa Arab, dan rumpun mata pelajaran non PAI mulai kelas XI (kelas 2 Madrasah Aliyah), diselenggarakan program pilihan. Di Madrasah Aliyah umum terdapat program studi yaitu, 1) program studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), 2) program studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan 3) program studi Bahasa. Pemilihan program studi dilaksanakan sejak kelas XI (kelas II Madrasah Aliyah). Dengan demikian kelas X (kelas I Madrasah Aliyah) merupakan program bersama yang diikuti oleh semua siswa. Ketika mereka naik ke kelas XI, siswa mengikuti program studi pilihan tersebut. Keempat program studi tersebut adalah; pertama, program studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menekankan pada pemahaman prinsip alam serta mendorong siswa untuk bekerja dan bersifat ilmiah. Fokus program studi ini pada mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Kedua, program studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menekankan pada pemahaman

prinsip-prinsip

kemasyarakatan

untuk

mendorong

siswa

mengembangkan potensinya dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama. Konsentrasi program studi ini pada mata pelajaran, Kewarganegaraan, Ekonomi, Sejarah dan Sosiologi. Ketiga, program studi Bahasa menekankan pada pemahaman prinsip-prinsip multikultural dan komunikasi secara intensif melalui bahasa. Konsentrasi program studi bahasa ini pada mata pelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia, Bahasa dan Sastera Inggris, Bahasa Asing lainnya (selain Bahasa Arab), Teknologi Informasi dan Komunikasi. 158 Keempat, program studi Ilmu Agama Islam, menekankan pada penguasaan materi-materi dasar ilmu pengetahuan agama Islam. Konsentrasi mata pelajaran untuk program ini adalah Tafsir dan Ilmu Tafsir, Ilmu

158

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004 (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2004), 23-24.

119

Hadis, Tasawuf, dan Ilmu Kalam. Adapun struktur masing-masing kurikulum Madrasah Aliyah tahun 2004 ini terlampir (lihat tabel 18-22).159 Untuk Madrasah Aliyah Keagamaan, mata pelajarannya dibagi atas tiga bidang pengembangan, yaitu pertama, bidang pengembangan karakter, dimaksud sebagai pemberian peluang atau mata kajian yang dianggap dapat memberikan nilai tambah bagi sekolah bersangkutan, meliputi Pendidikan Akhlak, Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia. Kedua, bidang pengembangan pendidikan akademik, meliputi Qur’an Hadis, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Fikih, Ushul Fikih, Tauhid, Akhlak, Tasawuf, Sejarah Peradaban Islam, Bahasa Arab, Matematika, Sains, Ilmu Sosial dan Bahasa Inggris. Ketiga, bidang pengembangan pendidikan ketrampilan, meliputi, Olahraga, Kesenian, Komputer, Akuntansi, dan Vokasional. Unggulan Madrasah Aliyah Keagamaan adalah Kajian Islam, Pengantar Penelitian dan Bahasa Asing lainnya. 160 Prosentase perbandingan mata pelajaran antara kelompok mata pelajaran agama dan umum, adalah 60% agama dan 40% umum. Walaupun kelihatannya banyak jenis mata pelajaran umumnya dibanding agama tetapi alokasi jam pelajaran agama lebih banyak dibanding umum. Khusus mata pelajaran bahasa, Bahasa Arab dan Inggris diberikan pada seluruh semester (6 semester) dan diajarkan 4/6 jam pelajaran setiap minggu. Tingginya jam pelajaran tersebut didasarkan atas alasan bahwa kedua bahasa tersebut merupakan core dari kebijakan kurikulum MAK, disamping materi pelajaran agama. Dalam hal ini siswa dituntut menguasai kedua bahasa dalam percakapan sehari hari. Sejak diterima menjadi siswa MAK, pada dua semester pertama siswa dipadatkan dengan pelajaran kedua bahasa baik melalui pembelajaran di kelas, tutorial maupun melalui kajian kelompok. Sebab di semester

159

Lihat, Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 25 - 28

dan 30. 160

Lihat, Departemen Agama RI, Landasan dan Standar Nasional Kurikulum Pendidikan Keagamaan: Satuan Pendidikan Madrasah Aliyah Keagamaan (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2001), 11-12.

120

dua siswa harus mampu berkomunikasi dengan dua bahasa tersebut. Adapun struktur kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan terlampir (lihat tabel 23). Penyelenggaraan proses belajar mengajar program MAK secara umum dilakukan dengan mengadopsi sistem pondok pesantren. Pembelajaran dikemas melalui tiga program, yaitu pembelajaran pagi, program tutorial sore dan program pengkajian kitab. Meskipun demikian, di luar program yang telah terjadwal masih ada kegiatan yang bersifat pengembangan kemampuan dan pengetahuan siswa serta kegiatan keagamaan. Kegiatan semacam ini dilakukan pada pagi hari setelah subuh sampai jam 6. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi tilawah/tadarus al-Qur’an, pengembangan kosa kata Arab dan Inggris, kuliah tujuh menit (kultum) dengan menggunakan bahasa Arab/Inggris dan conversation Arab dan Inggris. Program pembelajaran pagi merupakan program utama/kurikulum seperti pada madrasah reguler, yakni siswa melakukan belajar pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.30 dengan materi pelajaran sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dalam hal ini, siswa mengikuti proses belajar mengajar seperti lazimnya sekolah. Kegiatan belajar mengajar dilakukan di dalam kelas yang dipimpin oleh seorang guru. Materi pelajaran terjadwal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan. Program tutorial sore, meskipun bukan program utama/kurikuler, namun sebenarnya merupakan program inti dari penyelenggaraan MAK. Sebab dalam program ini, materi yang diajarkan meliputi materi keagamaan (kajian ke-Islaman) dan pengembangan serta pendalaman bahasa (Arab dan Inggris). Metode yang digunakan sama dengan program pagi yakni kegiatan belajar mengajar secara klasikal yang dipimpin oleh seorang guru/tutor. Rata-rata kegiatan ini dilakukan mulai pukul 14.30 sampai dengan pukul 17.00 wib. Program pengkajian kitab meliputi kitab-kitab fikih, tafsir, hadis, bahkan tasawuf. Program ini dilaksanakan setelah maghrib selama satu jam mulai pukul 18.15 sampai dengan 19.15 menjelang isya dipimpin oleh seorang ustadh atau kyai.

121

Kegiatan belajar tidak dilakukan di kelas, tetapi di mushala dengan sistem h}alaqah161 yakni para murid duduk melingkar mengitari ustadh/kyai. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah metode tradisional bandongan162 atau biasa disebut weton, yakni seorang ustadh/kyai membacakan kitab, menterjemahkannya kemudian menerangkan isinya kepada kelompok murid yang mendengarkan. Kadang-kadang ustadh/kyai mengulas beberapa buku Islam dalam menerangkan isi kitab tersebut sebagai bahan perbandingan. Para murid kemudian mencatat setiap hal yang dianggap penting baik meliputi arti atau ulasan materi kitab. Program belajar mandiri atau kelompok merupakan kegiatan rutin yang dilakukan siswa setelah shalat isya sampai dengan pukul 22.00 malam. 163 Gambaran kurikulum MAK sebenarnya cukup ideal, tetapi MAN tidak sukses melanjutkan estafet ini, kurikulum tersebut sekarang diadop oleh pesantren modern dengan boarding school-nya. Terbukti mereka cukup berhasil secara kualitas dan banyak diminati masyarakat. Salah satu landasan pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah yang bersifat empiris, dalam kajian dokumen kurikulum 1975, 1984, 1994 pada dasarnya adalah kurikulum berbasis materi, sehingga dalam pembelajarannya terasa terburu-buru dan menekankan ketercapaian materi yang menjadi tuntutan kurikulum dan mengesampingkan kebutuhan ketercapaian kompetensi yang

161

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 23. 162

Metode bandongan ini dilaksanakan, seorang kyai/ustadh membaca dan menjelaskan isi suatu kitab dalam lingkaran murid-muridnya, sementara para murid (santri) memegang bukunya sendiri; mereka mendengarkan penjelasan guru dan membuat catatan pada sisi halaman kitab atau dalam buku catatan khusus. Lihat, Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, 99. 163

Secara umum demikian penyelenggaraan MAK terutama yang berstatus swasta, seperti MAK Diponegoro, Klungkung, Bali, dan MAK Bahrul Ulum, Jombang Jawa Timur. Namun MAK yang dikelola oleh Departemen Agama melalui MAN kebijakan penyelenggaraannya sampai saat ini belum dapat sepenuhnya dilaksanakan secara mandiri oleh pengelola MAK. Manajemen pengelolaan program berada di bawah kepemimpinan yang sama dengan MAN, sehingga pengelola MAK belum memiliki otonomi penuh untuk melakukan pengelolaan. Lihat, Suwendi dkk, ”Restrukturisasi MAK: Studi Kebijakan Penyelenggaraan Program Tafaqquh Fi> al-di>n Era UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003”, dalam Edukasi (Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan), Volume 4, Nomor 4, Oktober-Desember 2006, 16-17.

122

seharusnya dikuasai siswa. Dari hasil kajian terhadap literatur, kurikulum, buku panduan, dan buku-buku pelajaran di negara-negara maju, seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia dan Singapura, perkembangan pendekatan kurikulum sejak akhir 1960-an sampai dengan tahun 1980-an telah menggunakan pendekatan berbasis kompetensi (competence based approach) dan pendekatan belajar tuntas (mastery learning aproach).164 Demikian pula Jepang, tahun 1980 Jepang sudah memasuki era postindustri (ini adalah hasil dari kompetensi), ini menunjukkan bahwa jauh sebelumnya Jepang telah mereformasi kurikulum sekolahnya. Sebab tanpa reformasi kurikulum pendidikan tidak akan maju, ketika pendidikan mundur, industri juga akan terpuruk. Shigeru Asanuma, melaporkan tentang reformasi pendidikan Jepang untuk abad 21 yang berimplikasi pada pendidikan ke arah era postmodernisasi Jepang. Dalam laporannya Shigeru mengemukakan bahwa reformasi kurikulum terkait erat dengan kebijakan pemerintah secara politis. 165 Hal ini identik dengan Yonghwan Lee ketika menulis Politik dan Teori dalam Sejarah Reformasi Kurikulum di Korea Selatan, ia melaporkan bahwa reformasi kurikulum selalu diikuti perubahan situasi politik, khususnya setelah tahun 1945. Oleh karena itu, ukuran kekuatan politik selalu dibutuhkan dalam mereformasi kurikulum nasional, kedunya

include dalam

menentukan content dari kekuatan itu dan mengakui kurikulum untuk pendidikan kontemporer serta teori kurikulum yang dikenalkan di Korea. Setiap kurikulum 164

Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 181-182. Belajar tuntas (mastery learning) adalah sebuah pola pembelajaran yang mengharuskan pencapaian siswa secara tuntas, terhadap setiap unit pembahasan dan pemberian tes formatif pada setiap pembelajaran baik sebelum maupun sesudahnya untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap bahan pelajaran yang telah mereka pelajari serta penguasaan minimal 80% dari isi (content) kurikulum. Lihat, C. Ellis, Fundamental of Human Learning, Memory, and Cognition (University of New Mexico: Wim. C. Brown Company Publishers, 1978), 108. Model pembelajaran dalam belajar tuntas ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu model individual dan model kelompok. Kemudian konsep belajar tuntas kaitannya erat dengan kompetensi, lihat, J. Carroll, A Model of School Learning (Teacher College Record, 1963), 64. Dengan demikian belajar tuntas cocok diterapkan di Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 165

Shigeru Asanuma, “Japanese Educational Reform for the 21st Century: The Impact of The New Course of Study Toward the Postmodern Era in Japan”, dalam William F. Pinar (ed.), International Handbook of Curriculum Research (London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2003), 438 – 439.

123

nasional sejak tahun 1945 selalu menghasilkan kurikulum yang sesuai, pada suatu ketika sangat mengkombinasikan dua proses ini, pertama, situasi (waktu) untuk menghasilkan kurikulum tidak dapat dibedakan secara mudah, kedua, tujuan itu jelas.166 Ke mana arah politik ke situ pergeseran kurikulum diarahkan. Masih terkait dengan pengembangan kurikulum di Barat, Seperti di-review oleh Schubert, bahwa sejarah pengembangan kurikulum, mulai abad 19 diantaranya pada abad pertengahan klasik, seni pengembangan kurikulum sudah liberal, seperti grammar, retorika, dan logika (quadrivium), dan kepercayaan bahwa otak paling baik dikembangkan melalui praktek (empiric) dan pembelajaran sesuai dengan tahap perkembangan, kebutuhan dan interes manusia. Kebanyakan perubahan ini dari para elit, intelektual dalam kebijakan kurikulum, ke arah yang lebih universal, aplikatif, dan bermanfaat bagi sekolah. 167 Yang jelas start mereka dalam menggeser, merubah dan menginovasi kurikulumnya sudah lebih dulu daripada Indonesia, maka wajar kalau sekarang mereka lebih maju. Dalam pengimplementasian KBK, kegiatan pembelajaran harus berpusat pada siswa (active learning), berlangsung dalam suasana yang mendidik, menyenangkan dan menantang dengan berbasis prinsip paedagogis dan andragogis. Dengan pendekatan tersebut siswa diharapkan secara aktif dapat berkembang menjadi pribadi yang berwatak, matang dan utuh serta memiliki kompetensi selaras dengan perkembangan kejiwaannya. 168 Ringkas dari bentuk pembelajaran ini adalah Pembelajaran Aktif, Inovatif, kreatif, dan menyenangkan yang sering disebut PAIKEM. Dalam kurikulum Madrasah 2004 (KBK) menggunakan sistem semester dan ditetapkan tingkat kelas yang berkelanjutan, MI enam tahun kelas I–VI, MTs tiga 166

Yonghwan Lee, Politics and Theories in the History of Curricular Reform in South Korea, dalam Pinar (ed.), International Handbook of Curriculum Research, 550. 167

Lihat, Bruce S. Cooper, Lance D. Fusarelli dan E. Vance Randall, Better Policies, Better Schools, Theori and Applications (New York: Pearson, 2004), 169. 168

Syafrudin, Model Pembelajaran Yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, xii.

124

tahun kelas VII–IX, MA tiga tahun kelas X–XII. Pemilihan program pada MA ditetapkan sesudah kelas X.169 Dengan demikian perbedaan dan pergeserannya cukup jelas, MA sebelumnya berlaku sistem kelas I–III, sekarang kelas X–XII, tadinya memakai sistem catur wulan sekarang memakai sistem semester. Pada kurikulum 2004 dihindarkan pertemuan tatap muka yang hanya satu jam pelajaran, agar pembobotan dalam prinsip belajar tuntas dapat diselesaikan. Adapun keseluruhan jumlah jam pelajaran perminggu dipertahankan seperti yang tercantum dalam struktur kurikulum tahun 1994.170 Penilaian

dalam

KBK

dilaksanakan

secara

terus

menerus

dan

berkesinambungan guna memperoleh informasi tentang kemajuan kompetensi dan hasil belajar siswa pada setiap pembelajarannya. Dalam penilaian diterapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning). Informasi kemajuan dan hasil belajar digunakan untuk menentukan tindak lanjut pembelajaran. 171 Tindak lanjut pembelajaran dari mastery learning adalah diadakan remedial teaching bagi siswa yang nilainya kurang dari standar minimal, dan diadakan pengayaan bagi siswa yang nilainya sudah mencapai standar maksimal. Evaluasi hasil belajar dalam implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dilakukan dengan beberapa penilaian yaitu, pertama, penilaian kelas, yang terdiri dari ulangan harian, ulangan umum dan ujian akhir semester. Ulangan harian dilakukan setiap selesai proses pembelajaran dalam satuan bahasan atau kompetensi tertentu. Ulangan umum dilaksanakan setiap akhir semester dengan bahan ujian, semester pertama, bahannya diambil dari semester pertama, semester kedua bahannya diambil dari semester pertama dan kedua dengan penekanan pada semester kedua. Kedua, tes kemampuan dasar, tes ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang diperlukan dalam rangka memperbaiki program

51.

169

Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 204.

170

Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 02.

171

Departemen Agama RI, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan,

125

pembelajaran (program remedial). Tes kemampuan dasar dilakukan pada setiap tahun. Ketiga, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, penilaian ini berfungsi untuk mendapatkan gambaran secara utuh dan menyeluruh mengenai ketuntasan belajar peserta didik dalam satuan waktu tertentu. Untuk keperluan sertifikasi, kinerja, dan hasil belajar yang dicantumkan dalam Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) tidak semata-mata didasarkan atas hasil penilain pada akhir jenjang sekolah. Keempat, bench-marking merupakan standar untuk mengukur kinerja yang sedang berjalan, proses dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang memuaskan. Ukuran keunggulan dapat ditentukan di tingkat sekolah, daerah atau nasional. Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan sehingga peserta didik dapat mencapai satuan tahap keunggulan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan usaha dan keuletannya. Kelima, penilaian program dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional/Depag RI dan Dinas Pendidikan secara kontinue dan berkesinambungan. Penilaian program dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta kesesuaiannya dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan kemajuan jaman. 172 Bila melihat sistem evaluasi yang digunakan sudah sangat maju dari pada kurikulum sebelumnya. Berdasarkan ilustrasi di atas karakteristik kurikulum MA tahun 2004 adalah sebagai berikut; perlu diketahui bahwa kurikulum MA 2004 didasarkan pada UUSPN No. 20 Tahun 2003, dimana tidak ada perbedaan antara kurikulum MA dengan kurikulum SMA. Kedudukan MA sama dengan SMA. Yang diperlukan hanya kepedulian Depag, sebagai departemen yang berwenang terhadap kurikulum MA, untuk mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Muatan agama yang asli pada kurikulum MA 2004, sama persis dengan kurikulum SMA, yaitu kira-kira 4,4%, tetapi karena karakteristik ke-Islaman tidak boleh hilang dari kurikulum MA sebagai ciri khasnya, maka penambahan jam pelajaran untuk rumpun mata pelajaran PAI juga

172

E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung: Rosda, 2003), 103-105.

126

tetap diadakan. Tanpa penambahan jumlah jam pelajaran untuk rumpun mata pelajaran PAI, MA akan melupakan sejarah pendiriannya. Adapun ciri khusus kurikulum MA 2004 yang terkenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah sebagai berikut; 1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal, 2) berorientasi pada hasil belajar (learning outcome) dan keberagaman, 3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, 4) sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, 5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. 173 2. Kurikulum MA 2006: Modifikasi Ciri Khas ke-Islaman dengan Penciptaan Suasana Keagamaan di Madrasah Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).174 Dengan demikian maka KTSP merupakan kurikulum yang paling baru di Indonesia –saat ini. Pemerintahan, daerah, dan sekolah adalah tempat eksperimen kurikulum baru, tempat proses tahapan kurikulum baru diputuskan, kurikulum baru itu include di sekolah dan guru, dan konsep kurikulum yang baru itu harus dapat mengakses kualitas program untuk standar yang baru.175 Kurikulum MA 2006 diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum ini tidak hanya berlaku untuk madrasah tetapi juga sekolah. KTSP ini disusun untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan berbagai karakteristik dan 173

Departemen Agama RI, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan, 42. Bandingkan dengan Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi, 42. Lihat juga, Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 101-102. 174

Disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Lihat, Masnur Muslich, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Dasar Pemahaman dan Pengembangan (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 1. 175

Lihat, Bruce, Fusarelli dan Randall, Better Policies, Better Schools, Theory and Applications, 184.

127

potensi daerah, sosial budaya masyarakat, kebutuhan dan potensi SMA/MA serta peserta didik. 176 Munculnya Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) ini

mengacu pada Undang-Undang no. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1 dan 2, pasal 38 ayat 2 dan pasal 51 ayat 1,177 Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 17 ayat 1 dan 2, dan pasal 49 ayat 1, dan beberapa peraturan menteri.178 Pendidikan menengah –SMA/MA– bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.179 Dengan demikian banyak landasan kebijakan yang mendukung eksisnya KTSP. Dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dijelaskan, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Winaja Sanjaya menganalisis konsep yang ada dalam SNP ini adalah, pertama, sebagai kurikulum yang bersifat operasional, maka dalam pengembangannya, KTSP tidak akan lepas dari ketetapan-ketetapan yang telah disusun pemerintah secara nasional. Kedua, sebagai kurikulum operasional, para pengembang KTSP, dituntut dan harus memperhatikan ciri khas kedaerahan, sesuai dengan bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ayat 2, yakni bahwa kurikulum

176

Muhaimin, et. al., Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Sekolah dan Madrasah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 334. 177

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, 24, 26.

178

Beberapa Peraturan Menteri yaitu; Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Peraturan Mendiknas Nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan Permendiknas Nomor: 22 dan 23, dan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Islam nomor: DJ. II.I/PP.00/ED/681/2006, tanggal 1 Agustus, tentang pelaksanaan Standar Isi (khusus untuk Madrasah). 179

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, 7.

128

pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi180 sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.181 Ketiga, sebagai kurikulum operasional, para pengembang kurikulum di daerah memiliki keleluasaan

dalam

mengembangkan

kurikulum

menjadi unit-unit

pelajaran. 182 Dengan harapan dapat diaktualisasikan oleh siswa dengan lebih mudah. Adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), nampaknya memungkinkan gagasan pendidikan Islam pluralis-multikultural. Madrasah Aliyah sebagai lembaga pendidikan Islam yang banyak ragam program dan jurusannya itu memungkinkan menjadi lembaga pendidikan Islam yang pluralis-multikultural. Ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dalam pendidikan Islam pluralismultikultural, pertama, pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada. Kedua, pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas pluralis yang multikultural. Hal ini penting dilakukan, karena tanpa adanya 180

Dalam pendidikan perlu dimasukan konsep multycultural, merupakan obyek kurikulum di mana di dalamnya terdiri dari ras, jender, kelas sosial ekonomi, etnik, agama, orientasi kelamin, dan ketidak mampuan (disability), lihat DeZure, “Innovations in the Undergraduate Curriculum”, dalam Guthrie (ed.), Encyclopedia of Education, 511. Bandingkan, bahwa dalam pendidikan multikultural, selalu muncul dua kata kunci, pluralitas dan kultural. Sebab, pemahaman terhadap pluralitas mencakup segala perbedaan dan keragaman, apapun bentuk perbedaan dan keragamannya. Sedangkan kultur itu sendiri tidak dapat terlepas dari empat tema penting, aliran (agama), ras (etnis), suku, dan budaya. Lihat, Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 50. Pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun dia datangnya dan berbudaya apapun dia. Harapannya adalah terciptanya kedamaian sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, dan kebahagiaan tanpa kecemasan. Lihat, Ainurrafiq Dawam, Emoh Sekolah (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), 100. 181

Kurikulum harus relevan dengan kebutuhan pembangunan dan potensi daerah serta kebutuhan siswa yang dituangkan dalam tujuan jenjang dan satuan pendidikan. Oleh karena itu kurikulum harus memberikan substansi belajar mengajar yang menghantarkan kepada visi dan misi madrasah. Lihat, Departemen Agama RI, Madrasah Aliyah Kejuruan, Arah dan Prospek Pengembangan (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2004), 38. 182

Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), 128-129.

129

usaha secara sistematis, realitas keragaman akan dipahami secara sporadis, fragmentaris, atau bahkan memunculkan eklusivitas yang ekstrem. Pada titik ini, keragaman dinilai dan dilihat secara inferior. Bahkan mungkin tumbuh keinginan untuk melakukan penguasaan dan ambisi menaklukkan mereka yang berbeda. Ketiga, pendidikan Islam pluralis-multikultural tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas suku, agama, ras, atau golongan. Mereka yang berasal dari beragam perbedaan harus diposisikan secara setara, egaliter, dan diberikan medium yang tepat untuk mengapresiasi karakteristik yang mereka miliki. Dalam kondisi semacam ini, tidak ada yang lebih unggul antara anak didik satu dengan anak didik yang lain. Mereka memiliki posisi yang sama dan memperoleh perlakuan yang sama. Keempat, pendidikan Islam pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya sens of self kepada setiap anak didik. Ini penting untuk membangun kepercayaan diri, terutama bagi anak didik yang berasal dari kalangan ekonomi kurang beruntung, atau kelompok yang relatif terisolasi.

183

Ini barangkali

kesadaran kita untuk menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan rahmatan lil ‘alami>n, sehingga madrasah tidak melangit tapi membumi. Menurut M. Atho Mudzhar, setidaknya ada tiga pendekatan (approach) dalam mengajarkan mata pelajaran agama yaitu; pertama, pendekatan dogmatik (dogmatic approach), yaitu pendekatan yang melihat pendidikan agama di sekolah sebagai media transmisi ajaran dan keyakinan agama tertentu semata secara ”ecclesiastical”. Tujuannya ialah terwujudnya komitmen dogmatik peserta didik terhadap agamanya. Kedua, pendekatan ilmu-ilmu sosial (social studies approach), yaitu pendekatan yang melihat pendidikan agama di sekolah sebagai mata pelajaran seperti mata pelajaran lainnya (ilmu-ilmu sosial) dan materi agama yang diajarkan dilihat sebagai sesuatu yang sekuler seperti halnya yang dilakukan oleh ilmu antropologi dan sosiologi. Ketiga, pendekatan perencanaan sosial (social planning approach), yaitu pendekatan yang mendorong pemahaman dan komitmen peserta

183

Naim dan Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, 54.

130

didik terhadap agama yang dipeluknya dan pada waktu yang sama juga mendorong lahirnya sikap menghormati pemeluk dan ajaran agama lain untuk hidup saling berdampingan dalam kemajemukan.184 Kelemahan pendekatan pertama akan menimbulkan fanatisme yang berlebih-lebihan, sedangkan kelemahan pendekatan kedua menimbulkan sekularisme sehingga memunculkan pemeluk agama yang tidak taat terhadap ajarannya. Pendekatan ketigalah yang menjadi solusi, karena mampu melayani kebutuhan agama anak (to meet the religious need of the children) dan pada waktu yang sama juga mendorong harmoni diantara berbagai pemeluk agama berkat kandungan multikulturalisme yang ada secara inhernt di dalamnya. Selanjutnya, bila mengamati struktur kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum tahun 2006, maka kurikulum madrasah sama persis dengan kurikulum sekolah umum, MI sama dengan SD, MTs sama dengan SMP, MA dan MAK sama dengan SMA dan SMK185 semua jurusan, baik jurusan IPA, IPS maupun bahasa. Kesamaan ini termasuk untuk mata pelajaran agama. Adapun yang berbeda hanya Madrasah Aliyah Keagamaan, perbedaan ini untuk kelas XI dan XII.186 Tetapi sebenarnya

walaupun

sama

Madrasah

Aliyah

diberi

kebebasan

untuk

mengembangkan isi, karena memang madrasah mempunyai ciri khas tertentu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi, maka Madrasah Aliyah dapat mengembangkan standar isi sesuai dengan

184

M. Atho Mudzhar, “Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, dalam Edukasi (Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan), Volume 4, Nomor 1, Januari-Maret, 2006, 7-8. 185

Munculnya Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), dan program pemerintah yang akan merealisasikan 60% sekolah kejuruan sebagai bukti bahwa orientasi kurikulum ke depan adalah dunia kerja. Seperti dikatakan Wandira, kurikulum berorientasi kerja berangkat dari harapan untuk membantu peningkatan mutu hidup dalam semua dimensinya. Kurikulum tersebut harus menunjukan bahwa ia berperan bagi kemajuan individu dan masyarakat. A. Wandira, Work-Oriented Curricula for Rural Areas: an Overvew of Educational Problems and Issues, G. Supplit, U. Bude (eds), WorkOriented Educational for Africa: Conference Report (Bonn: DSE), 31-50. 186

Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: Rosda, 2007), 50-61. Lihat juga, Muhaimin, et. al., Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 348.

131

situasi dan kondisi serta kebutuhan. Hal ini sesuai dengan surat edaran Dirjen Pendidikan Agama Islam Nomor DJ. II/PP.00/ED/681/2006 tentang pelaksanaan standar isi yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan kompetensi lulusan, Madrasah Aliyah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar isi yang lebih tinggi daripada standar kompetensi lulusan dengan melakukan inovasi dan akselerasi. Seperti telah disebut sebelumnya, bahwa Madrasah Aliyah Umum pada kurikulum 2006 juga terdiri dari 3 program yaitu Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Bahasa. Walaupun KTSP disusun dan dirumuskan oleh satuan pendidikan masing-masing, tetapi ada rambu-rambu dari Departemen Agama RI. Adapun rambu-rambu tersebut adalah komponen mata pelajaran dibagi menjadi 3 yaitu pertama, mata pelajaran yang isinya macam-macam jenis mata pelajaran, kedua, muatan lokal dan ketiga pengembangan diri. Untuk kelas X (kelas I) semua jurusan sama persis, baik jenis mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri, kesamaan ini termasuk alokasi waktunya.187 Jenis mata pelajaran di kelas X semua program ini meliputi, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan Ketrampilan/Bahasa Asing. Adapun Pendidikan Agama Islam terdiri atas: al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak dan Fikih. Bedanya dengan struktur kurikulum SMA terletak pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, dimana di SMA alokasi waktunya tetap 2 jam pelajaran perminggu sedang isi PAI di SMA merupakan perpaduan, di MA dirinci seperti telah disebut. Di SMA tidak ada Bahasa Arab di MA ada.188 Perbedaan ini merupakan kebijakan Menteri Agama untuk mempertahankan ciri khas Islam. Disamping itu diperlukan kepedulian insan madrasah untuk menciptakan suasana

187

Lihat, Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006), 6. 188

Lihat, Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis (Bandung: Rosda, 2007), 56.

132

keagamaan di lingkungan madrasah, dalam rangka mengantisipasi minimnya jumlah jam pelajaran untuk rumpun mata pelajaran PAI. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan potensi dan ciri khas daerah, termasuk keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan terhadap mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan

kesempatan

pada

peserta

didik

untuk

mengembangkan

dan

mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh kanselor, guru atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. 189 Dalam pengembangan diri ini dapat dimanfaat oleh insan madrasah untuk penciptaan suasana ke-Islaman. Kemudian, jenis mata pelajaran Madrasah Aliyah kelas XI dan XII program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) meliputi; Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah, Geografi, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Ketrampilan/Bahasa Asing.190 Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) jenis mata pelajarannya meliputi, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah, Geografi, Pendidikan Jasmani, Olahraga

dan

Kesehatan,

Teknologi

Informasi

dan

Komunikasi,

dan

Ketrampilan/Bahasa Asing.191 Dan program Bahasa jenis mata pelajarannya terdiri, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Sastra Indonesia, Bahasa Asing, Antropologi, Sejarah, Seni 189

Lihat, Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, 6. lihat juga, Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis, 55. 190

Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, 7.

191

Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, 8.

133

Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan Keterampilan.192 Adapun program yang tidak ada di SMA, tetapi hanya di MA adalah program keagamaan, yang mata pelajarannya meliputi, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ushul Fikih, Tasawuf/Ilmu Kalam, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, dan Keterampilan. 193 Bila dibanding dengan SMA, untuk program IPA, IPS dan Bahasa, berbeda di isi PAI dan alokasi waktunya serta Bahasa Arab. Dengan demikian maka jumlah jam pelajaran perminggunya lebih berat MA dari pada SMA. Di MA 43 jam pelajaran perminggu, sementara di SMA 39 jam pelajaran perminggu.194 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat struktur kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006, terlampir (lihat tabel 24-28). Untuk Madrasah Aliyah Kejuruan dalam rangka memberikan kemampuan bekerja sesuai dengan keahlian tertentu, struktur kurikulumnya dibagi menjadi tiga, pertama, komponen normatif, berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik menjadi warga masyarakat dan warga negara yang berprilaku sesuai dengan nilainilai ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mata pelajarannya meliputi, Pendidikan Agama Islam (al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, dan SKI), Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah, Olahraga dan Kesehatan, Bahasa Indonesia. Kedua, komponen adaptif, berisi kompetensi yang bertujuan agar peserta didik mampu beradaptasi dan mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, budaya dan seni, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan perkembangan dunia kerja sesuai dengan keahlian. Mata pelajarannya meliputi, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Matematika, Ketrampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi, Kewirausahaan. Ketiga,

192

Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis, 60.

193

Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis, 61.

194

Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis, 58.

134

produktif, kompetensi yang bertujuan agar peserta didik mampu melaksanakan tugas di dunia kerja sesuai dengan program keahlian. Kompetensi dalam komponen produktif merupakan standar kompetensi yang berlaku di bidang keahlian yang ditetapkan asosiasi profesi, hasil inventarisasi dan konsensus dunia kerja, serta pihakpihak terkait. Adapun mata pelajaran yang termasuk komponen produktif disesuaikan dengan program keahlian. Mulai tahun 2006, komponen produktif meliputi Ketrampilan, Otomotif, Elektronika, Tata Busana, Pertanian dan Komputer.195 Semua mata pelajaran yang terakomodir dalam tiga komponen ini, ditempuh dalam suatu periode belajar selama 3 tahun (kelas X, XI, XII) atau 4 tahun (X, XI, XII, XIII).196 Adapun struktur kurikulum Madrasah Aliyah Ketrampilan ini dapat dilihat di lampiran (lihat tabel 29-30). Strategi pembelajaran yang diterapkan dalam kurikulum KTSP ini sebenarnya tidak berbeda dengan kurikulum sebelumnya yaitu menekankan keaktifan siswa (active learning), siswa disuruh mencari, mendiskusikan, mengkomunikasikan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran juga harus menumbuhkan kreatifitas dan inovasi siswa serta disajikan dengan suasana yang menyenangkan. Silabus disusun sendiri oleh satuan pendidikan masing-masing, ini yang membedakan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Dimana sebelumnya sentralistik, kurikulum disusun oleh pemerintah pusat. Prinsip penilain dalam KTSP juga tidak beda dengan KBK, karena substansinya adalah kompetensi siswa. Standar kompetensi sudah ditentukan oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), yang menyebutkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Karena kurikulum ini berorintasi pada proses dan hasil, maka proses itu harus baik, dan hasilnya juga harus memuaskan. Dengan demikian penilain harus dilakukan secara obyektif, comprehensip, dan berkesinambungan. Sistem semester kembali dipakai dalam KTSP. Dengan demikian penilain itu 195 196

Profil MAN Jember 1 2006 – 2007, hlm. 64.

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004 untuk RA, MI, MTs dan MA (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2004), 31.

135

meliputi nilai formatif, ujian tengah semester dan ujian semester, yang kemudian mengakumulasi menjadi nilai raport. Melihat uraian di atas dapat di cermati karakteristik kurikulum MA tahun 2006 yaitu bahwa muatan agama pada kurikulum MA 2006 semakin menipis dibanding 2004, dengan demikian berimplikasi pula pada tambahan jumlah jam untuk memelihara ciri khas ke-Islamannya. Termasuk berimbas pada jumlah jam keseluruhan untuk mata pelajaran rumpun PAI. Antisipasi hal ini MA harus berusaha memodifikasi jumlah jam pelajaran PAI yang minim dengan cara menciptakan suasana keagamaan di lingkungan MA. Dengan cara ini ciri khas ke-Islaman MA akan dapat dipelihara. Adapun ciri-ciri khusus kurikulum MA tahun 2006 yang sering disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) adalah sebagai berikut; pertama, dilihat dari desain KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari, (a) struktur program KTSP yang memuat sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik, (b) kriteria keberhasilan KTSP lebih banyak diukur dari kemampuan siswa menguasai materi pelajaran. Kedua, kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu. Ketiga, KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah. Barry Franklin ketika membahas power and culture dalam kurikulum, sangat menekankan adanya hubungan antara kekuatan dan kontrol ekonomi dengan kekuatan dan kontrol kebudayaan. Kemudian hubungan antara pengetahuan atau kontrol kebudayaan dengan kekuatan ekonomi dan sosial.197 Perbedaan kebudayaan, sosial dan kekuatan ekonomi antara satu daerah dengan

197

Lihat, Michael, Ideology and Curriculum, 61. Lapangan kurikulum sangat penting didefinisikan – para ahli kurikulum yang setuju dengan definisi ini Franklin Bobbitt, W.W. Charters, Edward L. Thorndike, Ross L Finney, Charles C. Peters, dan David Snedden – hubungan antara konstruksi kurikulum dengan kontrol dan kekuatan masyarakat harus terus menerus mempengaruhi lapangan kurikulum masa kini. Lihat, Clarence J. Karier, Elite Views on American Education, Education and Social Structure in the Twentieth Century, Walter Laquer and George L. Mosse, (eds) (New York: Harper Torchbooks, 1967), 149-151.

136

daerah lain tidak sama, dengan demikian harus diakses melalui KTSP, agar supaya aktual. Keempat, KTSP merupakan kurikulum teknologis. 198 Winaja lebih lanjut menganalisis, dilihat dari karakteristik yang demikian maka KTSP adalah kurikulum yang memuat semua unsur desain kurikulum. Namun demikian, walaupun semua unsur desain mewarnai KTSP, akan tetapi desain KTSP sebagai desain kurikulum berorientasi pada pengembangan disiplin ilmu atau desain kurikulum subjek akademis tampak lebih dominan. Hal ini tampak jelas dari pengaturan secara ketat nama-nama disiplin ilmu serta kriteria keberhasilan setiap siswa dalam mempelajari kurikulum. 199 Berdasarkan analisa di atas maka KTSP merupakan kurikulum yang lebih baik saat ini

dibanding dengan kurikulum

sebelumnya. Berdasarkan pembahasan dari beberapa sub bab dalam bab ini, dapat diambil kesimpulan bahwa isi kurikulum MA terus bergeser sejak isi kurikulum MA mendominasi muatan agama sampai muatan agama menipis. Dan akhirnya muatan umum pun dominan dalam kurikulum MA. Tetapi walaupun demikian ciri khas keIslaman tetap dipertahankan sebagai karakteristik asli madrasah.

198

Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), 130-131. 199

Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), 131.

137

BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH TERHADAP PERGESERAN KURIKULUM MADRASAH ALIYAH Madrasah Aliyah Negeri pertama kali didirikan, tidak secara langsung oleh pemerintah (Departemen Agama), tetapi melalui proses penegerian seperti halnya Madrasah Tsanawiyah Negeri, yakni dengan Keputusan Menteri Agama No. 80 tahun 1967. Dalam keputusan itu disebutkan bahwa madrasah yang dinegerikan itu adalah Madrasah Aliyah Al-Islam di Surakarta, Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) Takeran Magetan di Jawa Timur dan Madrasah Aliyah Palangki di Sumatera Barat, dengan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri atau MAAIN.1 Melihat realitas yang demikian, madrasah benar-benar milik masyarakat (umat). Selanjutnya, bab ini merupakan analisis yang akan membuktikan bahwa pergeseran kurikulum lebih dipengaruhi faktor politik.

A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pergeseran Kurikulum MA 1. Faktor Agama (ideologi)2 Menurut Kelly, dalam perspektif politik, ideologi adalah dominan dalam pendidikan. 3 Pendidikan tidak hanya sebuah materi yang diwariskan secara turun 1

Departemen Agama RI, Sejarah Madrasah, Pertumbuhan, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam melalui Proyek Peningkatan Madrasah Aliyah Tahun Anggaran 1999/2000, 1999), 12. 2

Menurut golongan positivistic yang dikategorikan ideologi adalah segala penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua yang termasuk ideologi itu termasuk keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak rasional dan hanya merupakan keyakinan subyektif. Bila ideologi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan menurut Kuntowijoyo ideologi bersifat subyektif, normatif, dan tertutup sedangkan ilmu pengetahuan mempunyai watak obyektif, faktual dan terbuka. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 20. Istilah ideologi paling sering dihubungkan dengan dua pemikir besar, Karl Marx dan Karl Mannheim. Bagi Marx, ideologi-ideologi politikpun tak pelak lagi sebagaian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi ekonomi masyarakat. Sementara konsep Manheim tentang sebuah ideologi total –sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi tertentu– pada intinya sama dengan Marx. Lihat, William F. O’neil, Educational Ideologies: Contemporary Expression of Educational Philosophies (Santa Mania, California, Amerika Serikat: Goodyear Publishing Company, Inc, 1981), 31.

138

temurun dari generasi tua kepada generasi muda, dan evaluasi dari ilmu pengetahuan dan masyarakat saja tetapi pendidikan itu adalah sebuah materi (isi kurikulum) dari satu golongan masyarakat yang dominan dalam mempropagandakan ideologinya, kemudian mencapai kontrol politik dalam rangka pengembangan kekuasaannya, demikan lanjut Kelly. 4 Pernyataan Kelly diperkuat oleh Harris, bahwa pendidikan adalah sebuah kekuatan ideologi dan kepentingan yang maha dasyat.5 Bila kita kembali ke pembahasan bab sebelumnya, bahwa pendidikan dengan kurikulumnya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ibaratnya, pendidikan adalah wadahnya, sedangkan kurikulum adalah isinya, maka substansi dari pendidikan adalah kurikulumnya. Dengan demikian yang digarap oleh para ideolog adalah kurikulum pendidikan itu sendiri. Maka apa yang dikatakan Kelly dan Harris sebenarnya, bahwa kurikulum pendidikan tidak dapat lepas dari ideologi. Kelly melaporkan, terdapat ideologi yang berbeda-beda, dari ilmu pengetahuan, kehidupan sosial dan kemanusiaan.6 Laporan Kelly, dapat diberi ciri dengan pernyataan Alastair C. MacIntyre, yang menyatakan bahwa sebuah ideologi selalu

mempunyai

tampilan

kunci,

pertama,

bahwa

ideologi

berusaha

menggambarkan karakteristik-karakteristik umum tertentu alam, atau masyarakat, atau kedua-duanya, karakteristik yang tidak hanya ada di tampilan-tampilan tertentu dari dunia yang sedang berubah, yang hanya dapat diselidiki lewat pengkajian empiris. Kedua, adanya perhitungan tentang hubungan tentang apa yang dilakukan dengan apa yang seharusnya dilakukan, keterkaitan antara hakikat dunia dengan hakikat moral, politik dan panduan-panduan prilaku. Ketiga, ideologi tidak hanya dipercayai oleh anggota-anggota kelompok sosial tertentu, melainkan diyakini sedemikian rupa sehingga ia setidak-tidaknya merumuskan sebagaian keberadaan 3

A. V. Kelly, The Curriculum Theory and Practice (London: Sage Publication, 2004), 38.

4

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 38.

5

K. Harris, Education And Knowledge: The Structured Misrepresentation of Reality (London: Routledge, 1979), 140. 6

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 97.

139

sosial mereka.7 Tampilan kunci yang dinyatakan Alastair, memberikan ciri ideologiideologi yang dilaporkan Kelly. Ini dapat dibenarkan, karena realitasnya ideologi, terutama yang berkembang di dunia pendidikan, banyak dan bermacam-macam – berbeda antara satu dan lainnya. Bila diamati secara jeli, nampaknya laporan Kelly dan pernyataan Alastair, terangkum dalam uraian Sargent, bahwa sebuah ideologi, demikian Sargent, adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ia tersusun dari serangkaian sikap terhadap berbagai lembaga serta proses masyarakat. Ia menyediakan sebuah potret dunia sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya dunia itu bagi mereka yang meyakininya. Dan, dengan keyakinan itu ia mengorganisir kerumitan atau kompleksitas yang besar di dunia menjadi sesuatu yang cukup sederhana dan bisa dipahami. Derajat organisasi atau penataan itu, juga penyederhanaannya yang tampak pada potret tadi, cukup bervariasi dari satu ideologi ke ideologi lain; dan semakin meningkatknya kompleksitas dunia membuat potret tadi menjadi kabur. Di saat yang sama, potret dasar yang disediakan oleh ideologi tampaknya tetap cukup mapan dan konstan. 8 Bahasa ideologi yang disampaikan kepada para anggotanya cukup sederhana dan mudah dicerna, namun sebenarnya kajiannya cukup rumit. Bila diperhatikan secara seksama, uraian Sargent, ideologi sama halnya dengan keyakinan agama, faham dan lain-lain. Bila demikian kenyataannya, maka sebuah lembaga pendidikan punya ideologi tertentu, yang tentunya ideologi itu akan di save dalam kurikulumnya dan disosialisasikan dalam proses belajar mengajar, kepada para siswanya. Sebelumnya, tentulah sudah disepakati oleh para pimpinan sekolah dan guru-gurunya serta pegawai yang lain. Bila dibedakan dari sisi masa (zaman), ideologi sebenarnya dapat dibedakan menjadi dua, ideologi klasik, meliputi kapitalisme, sosialisme, dan nasionalisme.

7

Alastair MacIntyre, Against the Self Images of the Age (New York: Shocken Books, 1971),

8-9. 8

Lihat, O’neil, Educational Ideologies: Contemporary Expression of Educational Philosophies, 32-33.

140

Menurut Achmadi, ideologi ini dalam dua atau tiga dekade terakhir ini, sudah mulai kehilangan momentumnya. Hilangnya ideologi klasik diganti dengan ideologi kontemporer, seperti feminisme, pluralisme, dan postmodernisme.9 Bergesernya kurikulum Madrasah Aliyah tidak dapat dinafikan dari dua klasifikasi besar ideologi tersebut, yakni ideologi klasik dan ideologi kontemporer. Berbeda dengan klasifikasi yang disebut Achmadi, William F. O’Neil, menyebutkan ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh berdasarkan varian

masing-masing,

pertama,

ideologi

konservatif

dengan

variasi:

fundamentalisme, dan konservatisme; kedua, ideologi liberalis dengan variasi: liberalisme, liberasionisme dan anarkhisme. 10 Sebelum O’Neil, sebenarnya Henry Giroux, juga telah menyebutkan, bahwa ada aliran ideologi, yaitu konservatisme, liberalisme dan aliran kritis. 11 Bila dibandingkan antara klasifikasi yang diberikan O’Neil dan Giroux, sebenarnya tidak jauh berbeda, karena konservatif dan liberalisme disebut oleh dua ahli ini. Sementara perbedaan hanya di aliran kritis dan anarkisme, walaupun arti kedua istilah ini sebenarnya juga tidak jauh berbeda. Konservatif memandang bahwa konsep yang selama ini digunakan masih tetap aktual dan relevan sehingga tidak perlu perubahan. 12 Bila berdasarkan ideologi konservatif, kurikulum Madrasah Aliyah (MA) masih tetap aktual sampai sekarang, tidak perlu ada perubahan atau pergeseran atau dinamisasi. Ideologi semacam ini akan terus ortodoks, dan tidak akan maju. Liberalisme

menekankan

pengembangan

kemampuan,

melindungi

dan

menjunjung tinggi hak dan kebebasan individu. Konsep pendidikannya bertolak dari paradigma

9

Barat

tentang

rasionalisme

dan

individualisme,

yang

sejarah

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 3.

10

O’Neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, alih bahasa Omi Intan Naomi Pustaka Pelajar, 2002), 104-120. 11

(Yogyakarta:

Lihat, H. A. Giroux, Ideology, Culture, and The Process of Schooling (Philadelphia: Tempel University and Falmer Press, 1981). 12

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 4.

141

perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kapitalisme di Barat. Segi positif rasionalisme, individualisme dan kebebasan yang berkembang di Barat mendorong tumbuhnya kreativitas, semangat inovatif, dan optimalisasi kualitas individu yang sanggup bersaing dan bertanggung jawab dalam iklim kapitalisme. Itulah sebabnya pendidikan lebih diarahkan untuk mengejar kualitas –akademis ataupun profesional– walaupun dengan resiko biaya tinggi. 13 Dengan ideologi liberalisme, kurikulum Madrasah Aliyah akan bergeser ke arah modern, tetapi perlu dicatat bahwa kurikulum MA, tetap harus mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, kalau tidak maka kurikulum MA akan menghasilkan manusia individualis dan kapitalis, yang ini jelas bertentangan dengan Islam. Yang menjadi idaman kurikulum MA, bagaimana supaya bergesernya ke arah modern dan Islami. Hal ini perlu perpaduan antara ideologi Islam dan liberalisme. Anarkisme, kritisisme dan rekontruksionisme,

ketiga istilah ini saling

mendukung. Istilah anarkisme yang digunakan William F. O’Neil bukan berkonotasi buruk, karena maksudnya adalah aliran yang anti kemapanan. Istilah yang agak halus adalah kritisisme, atau rekontruksionisme. Aliran ini memandang bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan dari upaya rekontruksi sosial. Mereka menghendaki perubahan struktur sosial, ekonomi, politik melalui pendidikan. Oleh karenanya pendidikan difungsikan sebagai wahana transformasi sosial, kalau perlu melakukan dekontruksi dan rekontruksi sosial, menuju tatanan yang lebih adil dan manusiawi. 14 Tokoh-tokoh kritis bahkan sering dianggap radikal yang muncul di tahun 1970-an yang gemanya di Indonesia cukup kuat ialah: Ivan Illich dengan ”de Schooling Society”, Poulo Freire dengan ”Pedagogy for The Oppressed”, dan Everett Reimer dengan ”Kematian Sekolah”. Walaupun mereka berbeda dalam menformulasikan gagasannya tetapi mereka mempunyai ide yang hampir sama, yang artinya pendidikan adalah merupakan wahana yang sangat strategis untuk melakukan penyadaran bagi setiap

13

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 5.

14

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 5-6.

142

individu masyarakat atas hak-haknya. Oleh karenanya pendidikan harus melakukan peranannya yang sangat signifikan untuk memerdekakan dan membebaskan individu manusia, terutama generasi muda dari penindasan, kebodohan dan kemiskinan. Menurut mereka sekolah-sekolah formal yang ada sekarang ini tidak dapat menjalankan peran pembebasan dan kemerdekaan ini, bahkan sebaliknya sering digunakan untuk melanggengkan kekuasaan. 15 Penulis lebih menyebut apa yang dilakukan Ivan Illich, Poulo Freire dan Everett Reimer adalah ideologi oposan, dalam rangka mengkritisi keadaan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, karena secara politis, ideologi tidak dapat dipisahkan dengan politik. Hal yang demikian secara alamiah akan terus terjadi, contoh ketika kurikulum SKB diberlakukan yang menyatakan madrasah mengajarkan 30% pelajaran agama, 70% pelajaran umum, sehingga efek sipil dari keadaan yang demikian terjadi krisis ulama, maka muncul kebijakan pendirian Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), dalam rangka menjawab krisis ulama tersebut. Hal ini pula terjadi dalam kurikulum MA, ketika dalam KBK dan KTSP, content materi PAI mengecil sampai 2 jam perminggu, maka banyak umat Islam yang berkomentar terjadi sekularisasi dalam kurikulum MA. Ini perlu menjadi perhatian serius, bagaimana cara mengatasinya, sehingga secara politis madrasah terintegrasi dengan pendidikan nasional, tetapi ciri khas ke-Islamannya tetap include. Menurut Achmadi, cukup besar pengaruh ideologi pendidikan liberal di dunia pendidikan Indonesia, sebagai contoh konkrit, pada awal Orde Baru dikembangkan Sekolah Pembangunan (masih pilot proyek), dalam proses belajar mengajar dikembangkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), kemudian CBSA, dan Sistem Kredit Semester (SKS). Di Era Reformasi salah satu upaya reformasi pendidikan ialah diberlakukannya kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang kemudian dikembangkan menjadi KTSP. Bahkan secara sadar atau tidak sadar kita juga mengadopsi ideologi liberalisme dan kapitalisme sekaligus, misalnya 15

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 6.

143

adanya gerakan pelatihan masyarakat dengan model ”Comunity Development” yang muatan pelatihannya menggunakan konsep Achievement Motivation Training ciptaan David McClelland. Sedangkan contoh paling mutakhir ialah pemberlakuan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi Perguruan Tinggi Negeri tertentu. Yang ini rasa sulit menepis adanya ideologi kapitalisme dalam sistem pendidikan di Indonesia. 16 PPSI, CBSA, SKS, KBK dan KTSP adalah perjalanan sejarah kurikulum nasional Indonesia dari pasca munculnya UU pendidikan yang pertama tahun 1950 sampai munculnya UU pendidikan tahun 2003. Secara tidak langsung merupakan perjalanan sejarah pergeseran kurikulum MA, dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa pergeseran kurikulum MA secara tidak sadar dipengaruhi ideologi liberalisme. Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi dapat dibagi menjadi dua, ideologi dalam arti netral dan ideologi terbuka. Ideologi dalam arti netral adalah sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam hal ini ideologi tergantung isinya, kalau isinya baik maka ideologi itu baik, begitu pula sebaliknya. Sedang ideologi terbuka adalah ideologi yang hanya menetapkan nilai-nilai dasar, sedang penerjemahannya ke dalam tujuan dan norma-norma sosial/politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan cita-cita masyarakat. Operasionalisasinya tidak ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis. Oleh karena itu ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter, dan tidak dimaksudkan untuk melegitimasi kepentingan sekelompok orang.17 Berdasar klasifikasi yang diuraikan Frans, dapat diamati perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang jelas menggambarkan kurikulumnya secara totalitas, seperti pendidikan Islam tradisional, modern dan muncul fenomena baru yang lagi populer pendidikan Islam dengan ideologi salafi. Penulis pikir pendidikan Islam tradisional dan salafi menggunakan ideologi dalam arti netral, karena pendidikan –kurikulum– yang

236.

16

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, 7.

17

Lihat, Frans Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992),

144

dikembangkan merupakan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan kelompok sosial atau kebudayaan dari umat Islam tertentu.18 Sedangkan pendidikan Islam modern menggunakan ideologi terbuka karena hanya menetapkan nilai-nilai dasar, sedang penerjemahannya ke dalam tujuan dan norma-norma sosial/politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip moral dan perkembangan cita-cita masyarakat. Adapun pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah Negeri (MAN) merupakan kelompok pendidikan Islam modern, oleh karenanya menggunakan ideologi terbuka. Banyaknya ideologi yang muncul saat ini perlu menjadi perhatian para praktisi pendidikan. Terlebih, disamping ideologi-ideologi yang berasal dari Barat, pada masa Orde Baru, sistem pendidikan nasional di Indonesia juga syarat dengan ideologi Pancasila. Yang menjadi sebuah pertanyaan, apakah Islam juga termasuk sebuah ideologi?, jawabannya pasti, bahwa Islam adalah sebuah ideologi. Dalam sistem pendidikan Islam, Islam merupakan inti pokok ideologi yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian pergeseran kurikulum MA, walaupun dibawa oleh ideologi apapun menurut penulis, tetap harus punya landasan yang kuat dengan ideologi Islam. 2. Faktor Sosial Sosial, merupakan faktor yang menyebabkan bergesernya kurikulum madrasah. Sosial di sini adalah keadaan/kondisi sosial yang ada di masyarakat, seperti dinyatakan Tilaar, bahwa kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) sebenarnya merupakan refleksi dari perubahan sosial, 19 yang terjadi di dalam masyarakat, dan

18

Madrasah di Indonesia yang dikelola oleh suatu organisasi sosial kemasyarakatan banyak dipengaruhi oleh orientasi idologi organisasinya. Misalnya, madrasah yang didirikan Muhammadiyah, kurikulumnya lebih bersifat ala ideologi Muhammadiyah. Demikian halnya madrasah yang dikelola oleh NU orientasi kurikulumnya juga lebih menitikberatkan pada kemurnian mazhab. Lihat, Supriyanto, Pendidikan Islam dan Politik, dalam Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), 272. 19

Menurut Carolyn Zerbe Enns dan Linda M. Forrest, bahwa tujuan perubahan sosial direfleksikan melalui usaha-usaha transformasi disiplin, yaitu (a) perubahan content orang-orang dengan tidak mendominasi status sehingga menjadi jarak untuk memusatkan kurikulum; (b)

145

oleh sebab itu sewajarnyalah apabila kurikulum tersembunyi itu menjadi titik tolak kurikulum sekolah. Kurikulum formal di sekolah hampir selalu mengalami kegagalan, oleh karena tidak memperhitungkan adanya kurikulum tersembunyi. Berbagai kurikulum sekolah sudah out-of-date sebelum para siswa meninggalkan ruangan sekolah.20 Pernyataan Tilaar didukung Ivan Illich, bahwa kurikulum tersembunyi itu penting, karena kurikulum semacam ini merespon masalah sosial yang ada di masyarakat. Agaknya Illich sedikit lebih kejam, karena sampai pada tingkat penghapusan pendidikan formal, yang menurutnya akan lebih bermanfaat.21 Menurut penulis, tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tetap pemerintah dan masyarakat, cuma, pergeseran kurikulum yang terjadi, harus terus memperhatikan perkembangan sosial yang ada di masyarakat, sehingga kurikulum tersebut, termasuk kurikulum Madrasah Aliyah tetap relevan dengan kebutuhan sosial masyarakat. Menurut Paulo Freire, pendidikan harus dapat menyelesaikan masalah

--

termasuk masalah sosial– oleh karena itu isi pendidikan –kurikulum– harus disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul. Manusia, lanjut Freire, adalah pencipta dari sejarahnya sendiri. 22 Keberadaan manusia dalam menghadapi masalah sebagai mahluk yang berada dalam proses menjadi, meskipun manusia menyadari dirinya masih belum lengkap dan tidak selesai, dalam kesadaran ketidaklengkapan tersebut tertanam dalam diri manusia bahwa pendidikan, dimana terkandung kurikulumnya, harus mampu memberikan kepuasan tersendiri bagi kelangsungan hidup di dunia ini. Sifat tidak selesainya manusia serta sifat realitas transformasi pengajaran, pembelajaran, penelitian dan metode-metode tes; (c) kesenjangan kebijakan yang melarang para siswa; (d) kembali memikirkan hubungan antara para siswa dan guru. Lihat, Carolyn Zerbe Enns dan Linda M. Forrest, Toward Defining and Integrating Multicultural and Feminist Paedagogies, dalam Carolyn Zerbe Enns dan L. Sinacore (ed.), Teaching and Social Justice, Integrating Multicultural and Feminist Theories (Washington, DC: American Psychological Association, 2002), 15. 20

H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002), 371. 2121 22

Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1972), 12.

Paulo Freire, Cultur Action For Freedom (Massachusetts: Harvard Educational Review and Center For Studi of Development and Social Change, 1970), 57.

146

dalam transformasi sosial mengakibatkan bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan yang berlangsung tiada batas.23 Oleh karena itu, tegas Freire, pendidikan adalah proses kemerdekaan bukan penjinakan (domestifikasi) sosial sebagaimana terjadi dalam dunia ketiga bahwa pendidikan sering dijadikan alat melegitimasi kehendak penguasa terhadap rakyat yang tidak berkuasa, untuk itu pendidikan harus menjadi aksi dan refleksi secara menyeluruh untuk merubah realitas yang menindas.24 Naluri manusia yang merdeka dan hidup bermasyarakat di lingkungannya harus dipelihara lewat kurikulum madrasah. Ketika ”naluri merdeka” manusia dikekang oleh kurikulum, karena kurikulum yang ada digunakan untuk melanggengkan legalitas politik tertentu, pastilah manusia akan menuntut terbebasnya naluri tersebut. Sebab jika kurikulum dipaksakan sentralistik, berarti kurikulum tersebut bergeser bukan karena tuntutan sosial yang ada di masyarakat, tetapi kurikulum tersebut telah dikebiri oleh penguasa. Pada dasarnya perkembangan sosial masyarakat adalah dinamis, dengan demikian ketika pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor sosial, maka pergeseran tersebut juga dinamis. Di awal Indonesia baru merdeka, situasi sosial masyarakat Muslim menghendaki bahwa lembaga madrasah adalah identik dengan pesantren, yaitu sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n. Maka kurikulumnyapun menghendaki 100% mengajarkan agama. Tetapi dalam perjalanan sejarah umat Islam di Indonesia, misalnya situasi sosial umat Islam di tahun 1990-an, umat Islam sudah sadar akan pentingnya pengetahuan umum, dan perlunya madrasah diakui oleh pemerintah, maka kurikulumnyapun menyesuaikan dengan tuntutan sosial umat Islam saat itu dan pemerintah. Begitu seterusnya. Menurut Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman sosial sedemikian rupa sehingga pengalaman itu ”punya arti”. 25 Supaya pengalaman

23

Freire, Cultur Action For Freedom, 68.

24

Freire, Cultur Action For Freedom, xiii.

25

Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), 320.

147

mempunyai arti, diperlukan penjelasan, adapun penjelasan ini harus ditransformasi melalui media pendidikan, yakni kurikulumnya. Dalam mentransformasi pengalaman tersebut juga jangan hanya diberi tafsir intelektualis dan psikomotoris, sehingga siswa hanya akan menjadi orang pandai dan terampil saja tetapi tidak mempunyai sense of social di masyarakat, oleh karena itu pendidikan juga harus mengembangkan potensi spiritual anak didiknya. 26 Dengan kesadaran sikap afektif-nya, para siswa akan menyadari dirinya merupakan bagian dari anggota sosial masyarakat, hal seperti ini mesti harus muncul dalam kurikulum madrasah. Di awal munculnya madrasah, nampak bahwa kurikulumnya mengarah pada pembentukan manusia spiritualis, tetapi perkembangan sosial masyarakat Muslim kini, kurikulum madrasah telah diarahkan kepada pembentukan manusia intelektualis dan psikomotoris, terbukti ada MAN Model dan ada MA Ketrampilan. Ketika zaman ini masih Orde Baru, pendidikan masih bersifat sentralistik, semua kebijakan pendidikan berasal dan yang menentukan pusat. Seolah-olah pemerintah menutup diri dengan perkembangan sosial masyarakat ini, padahal, meminjam pernyataan Tilaar, pendidikan dan pengajaran harus mengikutsertakan peran serta masyarakat

(sosial) sebagai stakeholder.27 Sejak perencanaan,

pelaksanaan program, evaluasi sampai pada manajemen sekolah, harus mengikut sertakan peran masyarakat, demikian tegas Tilaar.28 Hal ini senada dengan teori John Wiles dan Joseph Bondi, dalam teorinya Wiles dan Bondi menguraikan, bahwa pengembangan kurikulum adalah pekerjaan dan usaha bersama-sama. Pengembangan kurikulum harus melibatkan banyak kelompok, agensi dan individu, baik dalam sekolah maupun luar sekolah. Guru yang akan melaksanakan kurikulum akan lebih

26

Pendidikan harus bertujuan untuk membangun kemampuan kognitif (pengetahuan), psikomotorik (keterampilan) dan afektif (sikap). Lihat, M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2007), 144. 27

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 427 28

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 430.

148

besar menentukan sukses dan tidaknya perubahan kurikulum. Demikian pula dengan siswa, mereka harus menjadi bagian dari proses pengembangan kurikulum. Orang tua dan kelompok anggota masyarakat –komite sekolah– yang harus mendukung perubahan dan pengembangan kurikulum tersebut sejak dari awal, juga harus terlibat.29

Semakin

banyak kontribusi masyarakat

terhadap pengembangan,

pergeseran dan perubahan kurikulum, maka semakin tinggi tingkat validitas dan kualitasnya. Pernyataan Wiles dan Bondi diperkuat Walker, bahwa guru mempunyai kewenangan yang amat besar untuk melakukan inovasi dan pergeseran kurikulum, mengujicobakannya di dalam kelas, lalu mereka memiliki kurikulum operasional yang kuat untuk diterapkannya dalam proses pembelajaran. Mereka dapat melakukan hal itu karena didukung dengan kepercayaan masyarakat pengguna sekolah, dan bahkan mereka diberi dukungan untuk melaksanakannya. Akan tetapi guru juga tidak boleh main-main dalam pengembangan, pergeseran dan inovasi kurikulumnya, karena siswa, orang tua siswa, para pengguna juga memiliki hak untuk terlibat dalam mengkritisi kurikulumnya itu. Orang tua memiliki ekspektasi terhadap anak-anaknya sehingga mereka harus diikutkan dalam pembahasan kurikulum di sekolah tersebut. Demikian juga universitas yang akan menerima lulusan sekolah menengah, boleh menyampaikan berbagai kualifikasi yang diperlukan, sebagaimana pasar tenaga kerja juga boleh menyampaikan kualifikasi keilmuan, keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan. Bahkan siswa juga dapat mengontrol kurikulum sekolah dengan tidak mengikuti pelajaran yang menurut mereka tidak relevan dengan kompetensi yang dibutuhkannya. 30 Preser masyarakat terhadap pergeseran kurikulum madrasah agar lebih demokratis, kemudian lembaga tersebut merubah kurikulumnya sesuai tuntutan 29

John Wiles dan Joseph Bondi, Curriculum Development A Guide to Practice (Columbus, Ohio, USA: Merryl Publishing Company, 1989), 119. 30

Decker F. Walker dan Jonas F. Soltis, Curriculum and Aims (New York: Teacher College Press, 1997), 5. Lihat juga, Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 78.

149

sosial masyarakat Muslim khususnya, adalah bukti bahwa pergeseran kurikulum madrasah merespon tuntutan sosial. Pesantren tradisional yang sudah mulai membuka lembaga pendidikan formal di dalamnya, munculnya pesantren modern, dan modernisasi madrasah, ini juga termasuk indikatornya. Kurikulum pendidikan mengikuti perkembangan sosial kemasyarakatan, seperti teorinya Karl Marx, ada kaitan antara sistem pendidikan (kurikulum) dengan kapitalisme industri. Namun teori ini menurut Tilaar punya kelemahan, karena secara realitas perkembangan industri dengan perkembangan pendidikan biasanya tidak sejalan. Tilaar lebih lanjut, menjelaskan, ketika terjadi boom pendidikan pada tahun 60-an, dengan lahirnya negara-negara baru seperti di Afrika dan Asia, maka pendidikan dianggap suatu investment yang sangat penting sebelum negara-negara itu memasuki dunia industri. Menurut Tilaar, struktur sekolah tidak usah berakar dari kapitalisme. Ledakan pendidikan ternyata muncul pula pada masyarakat non industri.31 Ketika pandangan kita materialistik, ada benarnnya teori Marx, karena dalam kurikulum pendidikan yang dikembangkan ada kemampuan intelektual dan skill. Tetapi perlu diingat bahwa perkembangan tersebut, bukan satu-satunya, ada attitude (sikap) yang tidak kalah pentingnya dikembangkan dalam pendidikan. Ketika kita berfikir yang kedua ini, ada benarnya pula pendapat Tilaar. Dengan demikian maka pendapat Marx dan Tilaar harus dikawinkan sehingga muncul teori baru. Pendidikan dikejar oleh masyarakat untuk mencapai sukses ekonomi dan mobilitas sosial, demikian Collins dan Dore.32 Demikian pula pendidikan dikejar juga bukan bertujuan material semata, tetapi pendidikan dikejar juga untuk menciptakan keadilan sosial. Gagasan Andrew Milner, barangkali perlu dicatat untuk mendasari masalah ini, untuk menciptakan keadilan sosial kita harus menghilangkan ketidakadilan dengan menangani sebabnya pada tingkat akar, dengan kata lain, seakar

31

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 412-413 32

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 413, lihat pula, Ronald Dore, The Diploma Disease (t.k: t.p., 1976).

150

akarnya. 33 Doktrin keadilan sosial dan ketidakadilan sosial, yang paling efektif pastilah disampaikan lewat proses pendidikan –transfer of values– yang materinya harus include dalam kurikulum. Terlebih, ketika masuk dalam kurikulum MA, sangat efektif

karena kurikulum MA sendiri banyak muatan Islamnya, tergantung

bagaimana metode guru yang paling efektif dalam transfer of values terhadap ajaran keadilan sosial ini. Ini tuntutan masyarakat di Era Reformasi, dimana pada masa Orde Baru, keadilan terpasung. Bahasa juga dapat menjadi pemicu masalah sosial, ketika suatu bangsa tidak mempunyai Bahasa Nasional. Karena secara politis, Bahasa Nasional adalah alat pemersatu komponen bangsa. Seperti India, sebagaimana dilaporkan Thut dan Don Adams, bahwa tidak adanya Bahasa Nasional di India setelah kemerdekaan, menghambat persatuan dan kesatuan. Karena bahasa Inggris tidak dapat diterima dengan pertimbangan kebudayaan34 dan kebangsaan, maka bahasa yang paling populer yaitu Hindi, menjadi pilihan yang masuk akal. Pemerintah menetapkan Hindi sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1965. Tetapi menjadi persoalan, karena Hindi hanya digunakan setengah dari populasi India. Masih ada sembilan bahasa utama yang dituturkan paling sedikit satu juta warga.35 Dalam prakteknya bahasa mengalami perkembangan, seperti bahasa Indonesia sendiri mengalami perkembangan dari ejaan Van Oposyen, Suwandi sampai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perkembangan bahasa sebagai alat komunikasi sosial maupun ilmiah, akan berpengaruh terhadap pergeseran kurikulum. Content bahasa, baik untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, maupun mata pelajaran lain yang disampaikan dengan bahasa Indonesia, pastilah mengikuti perkembangan ejaan yang ada di Indonesia, kalau tidak maka akan

33

Andrew Milner, “Change or charity”, Alliance, Vol. 8 No. 3, September 2003, 21-24.

34

Arab, sebagai contoh, bahasa –sebagai hasil kebudayaan– Arab dan sejarah Arab merupakan dua elemen dalam pendidikan baik Islam maupun Kristen, lihat, A.L. Tibawi, Islamic Education, Its Traditions and Modernization into the Arab National Systems (London: Luzac and Company Ltd, 1979), 224. 35

I.N. Thut dan Don Adams, Educational Patterns in Contemporary Societies (New York: McGraw-Hill Book Company, 1984), 625.

151

menimbulkan masalah sosial. Demikian, dinamisasi sosial di masyarakat yang tidak dapat dibendung perkembangannya, menuntut pergeseran kurikulum –dalam pembahasan ini adalah kurikulum MA. 3. Faktor Ekonomi Ekonomi juga tidak kalah pentingnya mempengaruhi pergeseran kurikulum madrasah. Karena dengan pertumbuhan perekonomian yang baik akan menjadi faktor pendukung pergeseran kurikulum madrasah ke arah dinamis, demikian pula sebaliknya pertumbuhan perekonomian yang buruk akan menjadi kendala pergeseran kurikulum madrasah ke arah dinamis, bisa-bisa statis atau bahkan mundur ke belakang. Senada dengan hal ini, Hasan Langgulung, memasukan ekonomi sebagai salah satu asas dalam pendidikan. Seperti pernyataannya, bahwa ekonomi dengan pendidikan –kurikulumnya– selalu bergandengan sejak dahulu kala. Ahli-ahli ekonomi sejak zaman itu, begitu juga pencipta-pencipta sains telah mengakui pentingnya peranan yang dimainkan oleh pendidikan dalam pertumbuhan pengetahuan manusia dan selanjutnya pentingnya yang belakangan ini untuk perkembangan ekonomi. 36 Kemudian, dalam bidang ekonomi yang sangat relevan dengan pendidikan, tegas Langgulung, adalah hal-hal yang berkaitan dengan invesment dan hasilnya. Artinya kalau modal ditahan sekian lama dan sekian banyak, berapa banyak nanti keuntungan yang diharapkan dari situ. Negara-negara industri memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar, jadi memerlukan lebih banyak investasi dalam pendidikan, sedangkan di negara-negara berkembang waktu belajar itu lebih sedikit, dan tentunya budget untuk pendidikan juga kurang. 37 Di sini nampak jelas, bahwa pendidikan berimplikasi hasil ekonomi, dan ekonomi mendukung kualitas pendidikan. Di negara maju kurikulumnya lebih kompleks dibanding dengan negara berkembang, berbanding lurus, demikian pula ekonomi di negara maju lebih kompleks dibanding negara berkembang. 36

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003),

37

Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, 19.

19.

152

Pendidikan dengan kurikulumnya, lanjut Langgulung, merupakan faktor produksi. Dalam teori ekonomi klasik, tenaga manusia ditambah tanah menghasilkan produksi. Dalam teori ekonomi neo-klasik, tanah dan tenaga harus dibedakan dari modal fiskal, yaitu alat-alat, seperti pabrik, perkakas, dan bangunan dalam proses produksi. Diakui bahwa sumbangan setiap faktor, tanah, tenaga atau modal, dapat dibedakan dari sumbangan yang lain. Belakangan ini sumbangan tenaga dapat dibagi lagi menjadi sumbangan tenaga tulen –sederhana dan sumbangan tenaga keikhlasan– terampil (skill). Istilah yang terakhir ini disebut modal manusia (human capital) yang dianggap faktor terpenting dalam produksi.38 Untuk menciptakan human capital yang berkualitas tinggi, perlu kurikulum pendidikan yang berkualitas. Sebagaimana Langgulung, Oemar Hamalik, melengkali pernyataanya, bahwa kehidupan ekonomi pada dasarnya tidak hanya berpangkal pada kegiatan produksi saja, tetapi juga distribusi, dan konsumsi. Kegiatan ekonomi yang baik ialah sistem ekonomi yang dipergunakan bagi masyarakat luas. Oleh karenanya masalah ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, fungsional dan struktural.39 Setiap masyarakat, lanjut Hamalik, memiliki keyakinan, adat kebiasaan, dan nilainilai kultural yang mendasari kegiatan ekonominya, serta memanifestasikan pola kelakuan ekonomi tertentu. Pola itu diperlukan oleh masyarakat dan dilembagakan dalam institusi ekonomi. Dengan demikian, nilai-nilai kultural tersebut menjiwai sistem dan kegiatan, serta memberikan kekuatan dan prestise tertentu terhadap masyarakat untuk berusaha dan menciptakan kesejahteraannya. 40 Demikian pula dengan masyarakat Indonesia, mempunyai sistem ekonomi yang tentunya berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Terkait dengan perekonomian Indonesia, Dawam Raharjdo menyatakan bahwa perekonomian di Indonesia adalah bersifat demokratis, seperti koperasi, Badan

38

Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, 19.

39

Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: Rosda, 2009), 90.

40

Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, 90.

153

Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bentuk perekonomian seperti ini, yang mempunyai landasan konstitusi kuat di Indonesia, adapun swasta, tegas Dawam, kedudukannya dalam konstitusi lemah. Tetapi dalam prakteknya, justeru yang menguasai perusahaan-perusahaan besar adalah swasta. Yang menjadi konglomerat juga perusahaan swasta. Dengan demikian, kesimpulan Dawam, karena pemerintah membiarkan liberalisasi untuk pihak swasta, dan pemerintah juga nampaknya demikian dengan BUMN-nya. 41 Realitas perekonomian yang demikian mempengaruhi kondisi pendidikan di Indonesia. Karena dengan praktek perekonomian yang demikian, yang kaya semakin kaya, yang miskin makin miskin, padahal yang miskin lebih banyak, akhirnya akan menimbulkan masalah sosial di masyarakat, yang berimplikasi pada pendidikan. Bahkan menurut catatan kompas tahun 1998, yang dikutip Musa Asy’arie, penduduk Indonesia yang miskin mencapai 113 juta jiwa. 42 Masyarakat miskin, enggan bersekolah, karena ketiadaan biaya. Maka kurikulum pun berjalan apa adanya, tidak dapat tercapai secara ideal, karena untuk merealisasikan kurikulum yang ideal diperlukan biaya yang cukup. Masyarakat miskin di kota oleh Parsudi Suparlan disebut gelandangan. Gelandangan artinya selalu berkeliaran, atau tidak pernah mempunyai tempat tinggal yang tetap. Pekerjaan mereka disebut Parsudi, seperti pedagang kaki lima, penjual pakaian bekas (tukang loak), penyapu jalan, tukang becak, dan penjaga malam. Bahkan diantara mereka ada yang menjadi pelacur.43 Pertanyaannya kemudian, bagaimana mereka memikirkan pendidikan, gaya hidupnya saja jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian faktor ekonomi sangat mempengaruhi masyarakat memperoleh pendidikan dengan kurikulum yang layak.

41

Uraian lengkap dapat dibaca, M. Dawam Rahardjo, “Demokrasi Ekonomi Dalam Alam Leberalisasi Ekonomi”, dalam Rizal Ramli et. al., Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia (Yogyakarta: Pusat Pengembangan Manajemen (PPM) FE UII, 1997), 247-250. 42 43

Musa Asy’arie, Keluar dari Krisis Multidimensi (Yogyakarta: LESFI, 2001), 165.

Penjelasan lengkap penelitian Parsudi, dapat dibaca, Parsudi Suparlan (Pny.), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), 178-181.

154

Barangkali, dapat menjadi penguat, uraian Kelly, bahwa setiap institusi pendidikan mempunyai tugas untuk membantu anak-anak atau para siswa mereka agar supaya mereka produktif dan mencapai kepuasan karir; lembaga pendidikan itu mempunyai tanggung jawab untuk men-support ekonomi yang menjadi dana untuk para siswa. Ide yang demikian, lanjut Kelly hendaknya masuk dalam kurikulum sekolah44 (madrasah). Dengan demikian untuk mewujudkan outcome yang produktif dan dapat bekerja sesuai disiplin ilmunya, maka kurikulum harus benar-benar aplikatif, artinya menekankan pada kemampuan akal dan skill dan bersifat praktis, tidak hanya sekedar teoritis. 4. Faktor Budaya Pendidikan beserta kurikulumnya adalah sebuah lingkungan, menurut Hasan Langgulung lingkungan inilah yang berusaha mewariskan nilai-nilai budaya yang dimilikinya kepada setiap anggotanya –para siswanya dalam pendidikan– dengan tujuan memelihara kepribadian dan identitas budaya tersebut sepanjang zaman. Sebab budaya dan peradaban, lanjut Langgulung, dapat mati seperti orang perseorangan. Orang disebut mati bila nyawanya putus. Budaya dan peradaban disebut mati bila nilai-nilai, norma-norma dan berbagai unsur lain yang dimilikinya berhenti berfungsi, artinya tidak diwariskan lagi dari generasi ke generasi dan tidak lagi diamalkan setiap hari oleh penganut-penganutnya. 45 Hal ini dikuatkan, oleh Tilaar, kebudayaan tanpa pendidikan akan punah.46 Dengan demikian pendidikan beserta kurikulumnya merupakan media pelestarian budaya dan peradaban. Ketika budaya dan peradaban berkembang, secara otomatis pendidikan beserta kurikulumnya akan mengikutinya, atau sebaliknya.

44

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 188.

45

Langgulung, Pendidikan Islam pada Abad ke 21 (Jakarta: Pustaka Al-H{usna Baru, 2003),

75. 46

Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 8.

155

Menurut Tilaar, Tanpa kebudayaan, tanpa lembaga-lembaga sosial, tidak mungkin seorang individu berkembang atau menjadi individu yang inovatif.47 Demikian pula Thomas R. Rochon, menurutnya, lembaga politik juga berpotensi merubah budaya. 48 Sebab meminjam perkataan Langgulung, kebudayaan adalah faktor luar yang harus dikendalikan dari dalam –potensi manusia yang berupa fitrah. Ibarat sebuah mata uang, tegas Langgulung, adalah bermuka dua, satu muka disebut potensi yang satu disebut din, yang satu berkembang dari dalam tiap individu, sedang yang satu lagi dipindahkan (transmission) dari orang ke orang, dari generasi ke generasi, jadi bersifat dari dalam ke luar.49 Harus ada kecerdasan dari dalam untuk menyikapi dan mengolah kebudayaan. Dalam hal budaya, yang menurut penulis perlu diperhatikan dalam kurikulum pendidikan khususnya madrasah, Langgulung, menjelaskan; dalam mensikapi budaya, ada yang menerima dan menolak, jika budaya itu baik dan tidak bertentangan dengan inti pokok ajaran Islam –dalam madrasah–

maka dapat

diterima, dan jika sebaliknya, maka ditolak. Dalam hal adaptasi, ada dua kecenderungan, yaitu assimilasi dimana kebudayaan Yunani dan Persi itu diasimilasikan atau dicernakan oleh kebudayaan Islam supaya dapat berpadu dengan kepribadian Islam. Kecenderungan yang kedua, akomodasi dimana si peminjam, dalam hal ini kaum Muslimin, membuka diri terhadap budaya baru itu kalau perlu

47

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 417. 48

Indikator ini terjadi ketika kasus pelecehan seksual yang diperankan oleh Senat Komite Yudisial mendengarkan tuntutan Profesor Hill melawan Judge Thomas sebelum berhadapan dengan publik. Tanpa mendengarkan kesaksian Anita Hill tuntutan tidak akan didengarkan. Dan tanpa kekerasan kampanye pemilihan umum, para senat komite juga tidak akan turun mendengarkan secara jelas kecemasan publik secara langsung. “Anda tidak hanya mengambil kasus itu”, yaitu menceritakan tuduhan untuk para senator supaya meresponnya dengan menentukan usaha-usaha supaya memunculkan sensitifitas mereka pada isu pelecehan seksual. Proses politik Amerika merespon keduanya antara konfrontasi publik dengan Anita Hill dan Clarence Thomas dan untuk membuktikan bahwa para senat Amerika memonitor reakasi publik. Penjelasan lebih lanjut, baca Thomas R. Rochon, Culture Moves, Ideas, Activism, and Changing Values (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1998), 200. 49

Langgulung, Pendidikan Islam Pada Abad ke 21, 79.

156

menyesuaikan diri dengan

kehendak pendatang itu supaya betah hidup dalam

lingkungan budaya Islam. Ini merupakan kecenderungan golongan filosof-filosof Muslim. 50 Apa yang diuraikan Langgulung, merupakan sikap kita –kurikulum madrasah– terhadap budaya yang datang. Untuk mensikapi hal tersebut, pastilah kita –kurikulum madrasah– harus mempunyai filter yang kuat, sehingga tidak salah mentransformasi budaya. Perlu direkam pengakuan Michael S. Merry, yang menyatakan sesungguhnya tidak seperti Yahudi, Sikhis dan Hindu, Islam adalah merupakan agama yang universal, diantara misinya adalah menerima perbedaan budaya, etnis, politik atau afiliasi bahasa. Sehingga berkembangnya sekolah Islam menjadi sekolah yang pluralis, demikian Merry.51 Dalam beberapa peradaban Barat dapat dilihat gejala ini, seperti gejala asimilasi pada zaman Stalin di Rusia, tetapi pada zaman Kruschov kecenderungan akomodatif lebih menonjol. Begitu juga di Komunis Cina, pusat kecenderungan asimilatif, dapat dilihat pada revolusi kebudayaan pada tahun 60-an, sedang semenjak Komunis Cina dipimpin oleh Deng Xiao Peng kecenderungan akomodatif mulai menonjol. Gerakan Muhammad Ali di Mesir, mencapai puncaknya di Turki di bawah Kemal Attaturk bukanlah gerakan adaptasi, tetapi adopsi dengan pengertian mengambil; bulat-bulat dari Barat dan membuang warisan budaya sendiri, sebab mereka berpendapat kalau ingin maju tirulah orang Barat dan buang yang kita punya sebab itulah sumber kemunduran. Kalau orang Barat pakai cepiau maka pakailah cepiau, sampai-sampai di Turki diusahakan penghapusan tulisan Arab. Adzan sendiri diucapkan pakai bahasa Turki. Di Iran sendiri terjadi gerakan modernisasi melalui jalan yang sama, yaitu adopsi, di bawah dinasti Pahlevi, yang mengikis pengaruh

50 51

Langgulung, Pendidikan Islam pada Abad ke 21, 82-83.

Michael S. Merry, Culture, Identity, and Islamic Schooling: A Philosophical Approach (Macmillan: Palgrave, 2007), 162.

157

Islam dari masyarakat Iran.52 Berdasarkan teori transmisi kebudayaan dan contoh transmisi kebudayaan baik negara Islam maupun negara Barat, maka jelas, terjadinya transmisi kebudayaan pada suatu negara, kelompok maupun lembaga pendidikan tertentu, akan mengubah content materi yang akan dipelajari khususnya dalam kurikulum. Dengan demikian maka budaya menjadi faktor terjadinya pergeseran kurikulum. Hal ini dapat diketahui pula, bahwa secara umum, filter budaya dalam kurikulum madrasah adalah ajaran Islam –al-Qur’an dan al-Hadis– ini tentunya berbeda dengan filter kurikulum di sekolah umum. Terkait dengan Indonesia, Tilaar menegaskan, selama Orde Baru nilai-nilai moral yang merupakan inti dari kebudayaan dan pendidikan telah diredusir menjadi nilai-nilai indoktrinasi yang tanpa arti dan sekedar menjadi semboyan untuk melindungi kebobrokan hidup para pemimpin. 53 Seperti halnya penjelasan di atas, bahwa filter budaya kurikulum madrasah adalah al-Qur’an dan Hadis, maka nilainilai ini harus dikembalikan lagi dalam kurikulum madrasah, sehingga tidak dipolitisasi. Realitas yang terjadi pada masa Orde Baru, ternyata berbeda dengan Era Reformasi. Masih terkait dengan pernyataan Tilaar, pada Era Reformasi, pendidikan mempunyai visi baru, membangun manusia dan masyarakat madani Indonesia yang mempunyai identitas, berdasarkan budaya Indonesia.54 Kenyataan transformasi budaya pada masa Orde Baru dengan Orde Reformasi ternyata, berbalik seratus delapan puluh derajat, dimana pada masa Orde Baru nilai moral untuk menfilter budaya diindoktrinasi oleh kekuasaan politik, tetapi pada Orde Reformasi justeru mendambakan identitas masyarakat madani berdasarkan budaya Indonesia. Realitas yang demikian, pastilah berpengaruh pada kurikulum, khususnya kurikulum

52

Lihat, Langgulung, Pendidikan Islam Pada Abad ke 21, 79.

53

Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, 10. 54

Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, 11.

158

madrasah, sehingga jelas terjadi pergeseran kurikulum MA dari zaman Orde Baru ke zaman Orde Reformasi.

B. Dominasi Faktor Politik Pembahasan ini akan membuktikan bahwa dalam pergeseran kurikulum MA, faktor politik lebih dominan daripada faktor lain yang telah disebut. Dalam undang-undang pendidikan yang pertama yaitu UU No. 4 tahun 1950 belum secara spesifik memberikan ketentuan khusus dalam hal pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam.

Meskipun demikian,

undang-undang

ini telah

memberikan pengakuan terhadap kedudukan sekolah agama (madrasah), seperti tercantum dalam pasal 10 ayat 2 undang-undang tersebut, bahwa ”Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah mengakui kewajiban belajar”. Sebelum ditetapkannya undang-undang tersebut, Menteri Agama telah mengeluarkan ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam, yakni Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember tahun 1946 tentang bantuan dan subsidi terhadap madrasah. 55 Dalam peraturan tersebut dianjurkan agar madrasah memberikan setidak-tidaknya sepertiga dari jumlah jam pelajarannya untuk pelajaran umum meliputi bahasa Indonesia, berhitung, membaca dan menulis huruf latin pada madrasah rendah, ditambah dengan ilmu bumi, sejarah, kesehatan, tumbuhtumbuhan di madrasah lanjutan. 56 Bila melihat content, kurikulum madrasah bergeser, dan pergeseran ini nampak jelas unsur politisnya, karena madrasah diakui oleh pemerintah sebagai memenuhi kewajiban belajar ketika mau mengajarkan pelajaran umum. Yang tadinya madrasah mengajarkan 100%, pelajaran agama (ulu>m al-di>n).

55

Lihat, Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 179. 56

Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 180.

159

Pada tahun 1972, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan Presiden tersebut diikuti oleh Inpres No. 15 tahun 1974 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.57 Menurut penulis ada tiga tafsir menanggapi Kepres dan Inpres tersebut, pertama, pemerintah berbuat demikian karena menghendaki satu sistem pendidikan nasional, bukan dualisme atau sistem ganda, sehingga memanagnya mudah. Kedua, ada semacam rasa ketakutan pemerintah terhadap politik umat Islam, ketika pendidikan agama kuat akan melawan pemerintah dan membentuk negara Islam. Ketiga, supaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapat pekerjaan yang lebih besar berupa proyek, dengan dimasukannya pendidikan agama di dalamnya. Melihat realitas yang demikian, Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No 15 Tahun 1974 mendapat tantangan yang sangat keras dari kalangan Islam. Kedua keputusan tersebut dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peran Departemen Agama dan bagian dari sekularisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Menurut Nurhayati Djamas, kecurigaan tersebut cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintahan Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik, memarjinalkan politik Islam melalui pengebiran partai politik Islam.58 Melihat reaksi umat Islam yang sangat mengecam pemerintah, membuat pemerintah gerah dan ketakutan, kemudian mengadakan sidang kabinet terbatas, tanggal 26 Oktober 1974, kemudian Presiden Soeharto memberikan penjelasan keputusan tersebut: pertama, karena tujuan pembangunan nasional adalah untuk mencapai kemajuan material dan spiritual yang seimbang, maka harus ada keseimbangan antara pendidikan umum dan agama. Kedua, pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedang pendidikan agama

57

Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 183-184.

58

Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 184.

160

berada di bawah tanggung jawab Menteri Agama. Ketiga, untuk melaksanakan kepres No. 34 Tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama. 59 Berdasarkan keterangan presiden tersebut akhirnya muncul kurikulum 1975 yang terkenal dengan sebutan kurikulum SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri. Hal ini jelas, bahwa munculnya kurikulum SKB Tiga Menteri ini syarat muatan politis. Muatan politis tersebut dapat dilihat, bahwa sejarah munculnya SKB dilandasi oleh reaksi umat Islam terhadap Kepres dan Inpres yang kontroversial. Selanjutnta SKB tersebut diantaranya berisi mewajibkan kepada madrasah untuk mengajarkan 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum. Maka ada sebagaian madrasah yang mengikuti SKB, ada sebagaian madrasah yang lain yang tidak mau mengikuti SKB. Madrasah Aliyah Negeri (MAN), karena di bawah otoritas Departemen Agama secara otomatis mengikuti SKB. Menanggapi kebijakan pendidikan yang sentralistik pada masa Orde Baru, meminjam istilahnya Neil, bahwa sering terjadi kebijakan yang kontroversi antara pemerintah pusat dan daerah. 60 Kebijakan yang kontroversi tersebut, biasanya bersifat politis. Karena menurut Kelly, bahwa sistem pendidikan dapat dimanipulasi oleh kepentingan politik dalam rangka mencapai tujuannya. 61 Sedangkan manipulasi pendidikan dan masyarakat itu sendiri dominan dipengaruhi oleh kekuatan kelompok yang masuk di dalamnya, demikian lanjut Kelly. 62 Berbeda dengan Tilaar, harapan besarnya adalah mengesampingkan kepentingan kelompok, partai politik, sehingga ia berharap muncul undang-undang di negeri ini, pendidikan yang tanpa membedakan ras, agama, tingkat sosial ekonomi, gender, sehingga terbentuk masyarakat yang

59

Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 184.

60

John D. McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction (New York: John Wiley & Sons, INC., 1996), 289. 61

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 38.

62

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 38.

161

demokratis. 63 Menanggapi dua ide yang bertolak belakang, sebenarnya Neil dan Kelly, lebih melihat perkembangan pendidikan secara alamiyah, sementara Tilaar menginginkan konsep yang ideal yaitu demokratisasi pendidikan, bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia untuk mengembangkan dirinya, sehingga diperlukan undang-undang dan kebijakan baru yang mengaturnya. Di Indonesia sangat nampak sebagai bukti apa yang dikatakan Neil dan Kelly, bahwa kebijakan pendidikan khususnya yang terkait dengan umat Islam harus mendapat restu dari presiden Soeharto. Sebagai contoh, di awal pemerintahannya terangkatnya presiden Soeharto, karena dukungan militer yang kuat. Namun pada periode berikutnya dukungan militer melemah, sehingga Soeharto mulai melirik kelompok Muslim. Muncullah Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI), sebagai organisasi Muslim modern. Dengan ICMI inilah aspirasi umat Islam dapat tersampaikan. Sehingga ditetapkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional UU No. 2 tahun 1989 yang oleh kalangan Muslim dianggap memenuhi aspirasi mereka, serta UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama tidak dapat dilepaskan dari restu yang diberikan Soeharto.64 Dalam UU No. 2 tahun 1989 ini madrasah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga secara politis umat Islam merasa diakui eksistensinya. Walaupun sebagai konsekwensinya kurikulum MA harus mengikuti kurikulum pendidikan nasional. Menanggapi sejarah lahirnya kurikulum SKB, sebagai bahan perbandingan seperti pernyataan Kelly, bahwa tidak efektif ketika kurikulum yang kontroversial didasarkan pada pembuatan kebijakan yang profesional. 65 Atau menurut penulis dibalik, tidak efektif ketika kebijakan kontroversial didasarkan pada pembuatan kurikulum yang profesional. Dengan demikian yang paling efektif adalah kurikulum yang diterima semua pihak didasarkan pada kebijakan yang profesional. Atau 63

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, 430. 64

Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 170-171.

65

Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 97.

162

sebaliknya, akan efektif ketika kebijakan yang diterima semua pihak didasarkan pada pembuatan kurikulum yang profesional. Selanjutnya Neil menyatakan, bahwa kebijakan kurikulum jarang rasional, atau didasarkan pada penelitian. Pengambilan keputusan sering tidak berdasar pada analisa content yang hati-hati dalam berbagai disiplin dan kebututuhan-kebutuhan yang bersifat sosial, atau pada studi proses pembelajaran dan konsen para pembelajar. Kurikulum yang ada sering tidak netral berdasarkan ilmu pengetahuan, padahal kurikulum merupakan hasil seleksi dari kebutuhan masyarakat secara umum.66 Kebijakan kurikulum yang demikian adalah politis. Sebab, lanjut Neil, bahwa pembuatan keputusan kurikulum merupakan sebuah proses politik. 67 Bila dianalisa kenyataan bukan hanya sekarang, pendidikan terkait dengan politik, sebab sejak zaman Plato dan Aristoteles, telah disebutkan bahwa pendidikan ada kaitannya dengan politik, ungkapan yang menegaskan ”As is the state, so is the school”, (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah), atau ”What you want in the state, you must put into the school” (apa yang anda inginkan dalam negara, harus anda masukkan ke sekolah).68 Hal ini jelas bagi kita, bahwa berdasarkan pada teori para ahli kurikulum, kebijakan pembuatan kurikulum sering bersifat politis, hal ini terbukti pada keputusan-keputusan pembuatan kurikulum di Indonesia. Menurut Azyumardi, sepanjang perjalanan sejarah Islam misalnya, terdapat hubungan yang amat erat antara pendidikan dengan politik. Kenyataan ini, lanjut guru besar UIN Jakarta ini, dapat dilihat dari pendirian banyak madrasah di Timur Tengah yang disponsori oleh penguasa politik. Contoh paling terkenal dalam hal ini adalah madrasah Niz}amiyah di Baghdad yang didirikan sekitar 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk, Niz}am al-Mulk. Azyumardi melanjutkan laporannya, bahwa di

66

Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 290.

67

Neil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 290.

68

James S. Coleman, ed., Education and Political Development (Princeton: Princeton University Press, 1965), 6., lihat juga, Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: logos, 1999), 61.

163

madrasah ini, seorang pemikir dan ulama besar, al-Ghazali pernah menjadi guru besar.69 Semakin kuatlah, bahwa madrasah –include kurikulumnya– tidak dapat dipisahkan dengan politik, baik di dunia Barat, Islam maupun Indonesia sendiri. Di Indonesia pernah terjadi sosialisasi politik terbuka melalui lembaga pendidikan. Menurut Azyumardi, sosialisasi politik70 terbuka, merupakan upaya sengaja untuk menanamkan sikap politik tertentu melalui kandungan politik tertentu ke dalam kurikulum pendidikan. Semua ini dapat dilakukan dalam bentuk penyajian subjek tertentu dalam kurikulum (seperti mata pelajaran Pancasila); indoktrinasi atau penataran –seperti penataran P4– atau bahkan kegiatan-kegiatan brain washing. Hasil dari sosialisasi politik terbuka ini sering diragukan orang. 71 Sangat kentara, bahwa penataran P4 itu alat politiknya Orde Baru melalui kurikulum pendidikan. Indikatornya, dengan penataran P4 dapat mendoktrin siswa dan menyampaikan pesan-pesan politiknya Orde Baru, indikator selanjutnya, setelah lengsernya Soeharto sebagai lambang otoriter Orde Baru, nyatanya penataran P4 sudah tidak ada lagi. Hasil dari sosialisasi politik melalui kurikulum dalam kasus Indonesia ini, menyebabkan wacana demokrasi politik tidak terbangun secara ideal. Kecurigaan para penguasa terhadap aksi-aksi frontal semakin kuat, ditambah oleh ambisius penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Karena itu, sosialisasi politik 69

Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 61.

70

Alfred de Grazia dan James S Coleman, seperti dikutip Azyumardi, membedakan antara pendidikan politik (political education) –Grazia– dengan sosialisasi politik (political socialization) – Coleman. Pendidikan politik –sama dengan propaganda– bertujuan membangun dukungan bagi kebijakan-kebijakan penguasa. Melalui pendidikan politik, penguasa mendidik anak didik tentang, misalnya, bagaimana bertingkah laku sebagai warga negara atau bagaimana menyikapi pemerintah, dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu pendidikan politik yang semula bersifat persuasif dapat berubah menjadi koersi (pemaksaan) fisik. Istilah politik mengacu kepada proses dimana individu-individu memperoleh sikap dan perasaan terhadap sistem politik, dan terhadap peranan mereka di dalamnya, yang mencakup: cognition (apa yang diketahui dan dipercayai orang tentang sistem politik eksistensinya dan modus operandinya), feeling (bagaimana perasaan seseorang terhadap sistem politik, termasuk kesetiaan dan perasaan kewajiban sipil), sense of political competence (apa peranan seseorang dalam sistem politik). Lihat, Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 63-64. 71

Azyumardi Azra, “Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol. I, Nomor, 02/1/1997, 22.

164

melalui kurikulum pendidikan ini merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. 72 Pendekatan politik lewat kurikulum adalah metode doktrin yang cukup efektif, karena secara hukum, para siswa yang belum mempunyai hak pilih secara aktif pun, sudah mengetahui pesan politik penguasa yang sedang berkuasa. Hancurnya rezim Orde Baru, muncul Orde Reformasi, dimana masyarakat, khususnya dalam dunia pendidikan merasa terbebas dari unsur politisasi pendidikan. Yang tadinya kebijakan pendidikan bersifat sentralistik, pada zaman reformasi bersifat otonomi. Sehingga munculnya UU Pendidikan No. 20 Tahun 2003, seiring dengan munculnya undang-undang otonomi daerah. Muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dimana seorang siswa dituntut memiliki kompetensi yang diharapkan. Pengetahuan tidak hanya bersifat teoritis tetapi praktis, tidak hanya bersifat intelektualis tetapi juga spiritual. Kemudian muncul juga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang intinya sama dengan KBK, hanya saja otoritas pembuatan kurikulumnya bersifat otonomi dari satuan pendidikan. Bila di teliti secara seksama, munculnya kurikulum semuanya ini bersifat politis. Dengan demikian melihat penjelasan di atas maka jelas memberikan ilham, bahwa kebijakan kurikulum, khususnya kurikulum MA, muncul lebih didominasi faktor politik.

C. Tarik Menarik Kepentingan Partai Politik dalam Pendidikan Ketika negeri ini baru merdeka, perdebatan mengenai Dasar Negara sebagai falsafah negara hangat dibicarakan. Ada dua golongan yang cukup berperan dalam perdebatan ini, yaitu golongan Islam dan nasionalis sekuler serta Kristen. Seperti diprediksi oleh para sarjana bahwa umat Islam menghendaki Islam sebagai Dasar Negara Indonesia, namun ditentang habis oleh golongan nasionalis sekuler serta Kristen, dengan alasan bahwa Indonesia terdiri dari macam-macam agama, ketika

72

Supriyanto, Pendidikan Islam dan Politik, dalam Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), 276.

165

dasar negaranya Islam maka tidak terakomodir semua. Menurut Syafi’i Ma’arif, akhirnya di bawah panitia kecil yang dipimpin Soekarno didapat kesepakatan pada tanggal 22 Juni 1945, sebagai rumusan kompromi yang dikenal sebagai Piagam Jakarta yaitu: ”....Negara berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.....” Tetapi karena satu dan lain hal –terutama karena pertimbangan aspirasi kalangan Kristen di wilayah Timur– sehari setelah kemerdekaan, rumusan ini akhirnya dicabut dari draf Undang-Undang Dasar tersebut.73 Melihat realitas yang demikian, umat Islam sangat kecewa, karena suara mayoritas tidak dapat mewakili umat mayoritas. Lain dengan India, justeru, Hindu mayoritas yang menguasai pemerintahannya, sementara Muslim minoritas ketakutan. Untuk mengantisipasi ketakutan tersebut, mengambil tindakan melalui partai politiknya sendiri, Moslem League, untuk membentuk negara terpisah; ”Muslim India merasa bahwa mereka sudah menjadi orang Islam sebelum menjadi orang India”.74 Setelah membandingkan dengan India, maka inilah satu babak kekalahan umat Islam Indonesia. Dengan kekalahan ini tentunya berimplikasi terhadap keadaan kurikulum madrasah –terutama kurikulum MA setelah tahun 1950 dan sebelum tahun 1973– dapat dibayangkan ketika negara ini berdasarkan Islam, tentulah kepentingan madrasah yang diprioritaskan. Karena secara tidak langsung golongan nasionalis sekuler yang secara politis menang dalam hal ini, maka secara politis pula merekalah yang lebih berkuasa, akhirnya sekolah diposisikan nomor satu, sedangkan madrasah beserta kurikulumnya nomor dua.

73

Syafi’i Ma’arif menguraikan proses dan dinamika politik yang berlangsung dalam perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dengan kelompok Islam tentang Dasar Negara. Ia menyebutkan proporsi kelompok Islam dalam BPUPKI yang berjumlah 68 orang hanya 20% saja. Begitu pula dengan kompromi Piagam Jakarta yang dicapai oleh panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan salah seorang anggotanya yaitu AA Maramis, seorang Kristen. Baca, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), 101-109. 74

E. Blunt (ed.), Social Service in India (India: H.M. Stationery Office, 1939), 109. Dikutip dari Wallbank, A Short History of India and Pakistan (New York: American Library, 1958), 169.

166

Babak kedua kekalahan politis umat Islam, seperti dilaporkan BJ. Boland, yaitu tentang pembentukan Kementerian Agama dalam kabinet pertama pemerintahan RI, tanggal 19 Agustus 1945. Laporan Boland, bahwa Latuharhary, salah seorang wakil dari kalangan Kristen, keberatan dengan pembentukan Kementerian Agama meskipun pada pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang saja telah ada lembaga khusus yang mengurusi keperluan keagamaan umat Muslim. 75 Dapat dibayangkan ketika tidak ada Kementerian Agama, bagaimana nasib madrasah beserta kurikulumnya, apakah dapat eksis atau kemudian hilang. Lagi-lagi dibentuknya Kementerian Agama juga karena alasan politis, Pemerintah menyadari, bahwa kepentingan umat Islam selama ini tidak terakomodir, takut kalau umat Islam marah. Akhirnya pada masa kabinet Syahrir dari Partai Sosialis memutuskan pembentukan Kementerian Agama, pada tanggal 3 Januari 1946.76 Melalui kementerian ini, kepentingan-kepentingan dan nasib madrasah beserta kurikulumnya dapat diperjuangkan. Kemudian kebijakan kurikulum pada masa Orde Baru –kurikulum MA tahun 1973, 1975/1976, 1984, dan 1994– sesuai dengan situasi politiknya adalah bersifat sentralistik. Indikator ini adalah kuatnya kekuasaan Soeharto sebagai presiden, sekaligus sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Dimana DPR sebagai kekuatan legislatif dan MA yang mempunyai kekuasaan yudikatif, semuanya di bawah kendali presiden Soeharto. Kenapa demikian, Harun Al-Rasyid mengatakan: ”Peran legislatif pemerintah menjadi sangat besar, karena kebanyakan anggota DPR adalah wakil partai pemerintah Golkar dan kelompok militer, ABRI, yang sesungguhnya adalah orang-orang pemerintah”. 77 Dengan demikian, lanjut Al-Rasyid, kebanyakan anggota DPR mewakili partainya –pemerintah– bukan aspirasi rakyat. DPR sebagai legislatif

75

Lihat, B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 (Jakarta: Grafiti Pers,

76

Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, 12.

1982), 40. 77

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 tahun 1989 (Leiden-Jakarta: INIS, 2004), 70.

167

tidak mempunyai otonomi untuk menentukan kebijakan, hal ini sangat malang, kata Montesquieu. Menurutnya, apabila kekuatan legislatif dan eksekutif dipegang oleh orang yang sama, atau oleh Dewan Hakim yang sama, tidak bisa ada kebebasan. Malang benar halnya jika orang yang sama, atau badan yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu kekuasaan menetapkan hukum, menjalankan keputusan publik, dan menghakimi tindak kriminal. 78 Hal ini diperkuat oleh John Locke, yang menyarankan agar kekuasaan negara dibagi menjadi dua bagian terpisah; kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. 79 Dia juga menyarankan agar kedua kekuasaan tersebut melibatkan orang yang berbeda, dan kekuasaan legislatif harus lebih tinggi daripada kekuasaan eksekutif, agar dapat mengendalikan kinerja eksekutif. Seperti pernyataan Locke, hanya ada satu kekuasaan tertinggi yaitu kekuasaan legislatif, yang lain berada di bawahnya. 80 Berdasarkan teori para ahli tersebut, jelas, bahwa kebijakan pemerintah Indonesia yang saat itu bersifat sentralistik, berimplikasi pada tujuan dan hasil kurikulum, terlebih pada kurikulum madrasah yang saat itu secara politis masih diposisikan pada tempat yang nomor dua. Madrasah yang secara politis adalah hasil perjuangan para tokoh Muslim dan yang memelihara perkembangannya juga orang Islam secara mayoritas, tetapi kurang mendapat perhatian pemerintah. Dikarenakan kebijakan yang sangat sentralistik, termasuk dalam kurikulumnya. Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru ini, muncul dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), yang merupakan kepanjangan tangan dari Presiden. Dan presiden mengakui bahwa yang mengurusi pendidikan adalah Depdikbud bukan Depag, maka kebijakan pendidikan pun yang diberi kewenangan adalah Mendikbud. Adapun Menteri Agama dalam menentukan kebijakan madrasah termasuk kurikulum, hanya merujuk pada Mendikbud. Kebijakan

78

Montesquieu, The Spirit of Laws, dalam D.W. Carrithers (ed.), Compedium of the first English Edition (Barkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1977), 78. 79

W. S. Carpenter, Introduction to John Locke, Two Treatises of Civil Government (London: J.M. Dent dan Son Ltd., 1962), 190-191. 80

Carpenter, Introduction to John Locke, Two Treatises of Civil Government, 192.

168

yang sentralistik ini memunculkan otoritarianisme. Biasanya dalam pemerintahan seperti ini, sering memunculkan kebijakan yang mementingkan penguasa atau kelompok yang dekat dengan penguasa. Hal ini berbeda dengan kebijakan dalam pemerintahan yang demokratis, demikian Almond dan Powell. 81 Selanjutnya, Almond dan Powel mengatakan, bahwa dalam proses pembentukan kebijakan, kepentingan politik lebih diprioritaskan dalam rangka melakukan perjuangan politik untuk golongannya. 82 Melihat realitas yang demikian, secara politis madrasah mendapat dukungan masyarakat karena sifatnya yang populis, namun secara politis pula perhatian pemerintah terhadap madrasah kecil, dalam segala hal. Disatu sisi pemerintah Orde Baru menginginkan pendidikan nasional membesar dan kuat, dengan resiko mengabaikan madrasah, di sisi lain para tokoh Muslim tidak rela membiarkan keadaan madrasah termasuk kurikulumnya demikian. Sebenarnya hubungan yang tidak nyaman antara pemerintah dengan organisasi Muslim dikarenakan adanya perbedaan perspektif mengenai ideologi negara dan konstitusi. Liddle mencatat bahwa selama duapuluh tahun pertama Orde Baru, aktivis politik Muslim modernis dikucilkan dan dianiaya oleh pemerintah sebagai golongan kanan ekstrim.83 Dengan dukungan perwira militer sekuler, pemerintah Orde Baru menghasilkan banyak kebijakan yang menurut Hefner 84 adalah anti Islam. Selama periode ini, menurut Liddle, tuntutan kaum Muslim modernis, khususnya dalam bidang pendidikan seperti izin bagi siswa perempuan untuk memakai kerudung di sekolah negeri, dianggap pemerintah sebagai

ganjal pembuka dalam kampanye

81

Almond dan G. B. Powell, System, Process, and Policy, Comparative Politics (Boston dan Toronto: Little, Brown dan Company, 1978), 232. 82

Almond dan Powell, System, Process, and Policy, Comparative Politics, 233.

83

W. Liddle, Coercion, Co-Optation, and The Management of Ethnic Relation in Indonesia. dalam M.E. Brown & Ganguly, S. (eds), Government Policies and Ethnic Relations in Asia and The Pasific (Harvard University: The Center of Science and International Affair, John F. Kennedy School of Goverment, 1997), 307. 84

R. Hefner, Islam, State and Civil Society: ICMI and The Struggle for the Indonesian Midlle Class, Indonesia, 56 (t.k: t.p., 1993), 2-4.

169

untuk

menciptakan

negara

Islam.85

Perseteruan

yang

demikian

tentunya

mempengaruhi hasil kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendiskreditkan umat Islam, yang secara langsung pula berimplikasi terhadap pembuatan kebijakan kurikulum madrasah. Agar content materi kurikulumnya kering dari nilai-nilai Islam. Ada dua model dalam mempertahankan ideologi Islam guna merealisasikan kebijakan yang menguntungkan pendidikan Islam. Model yang pertama, adalah modelnya Muhammad Natsir, yang menggunakan partai politik Islam, Masyumi, sebagai alat perjuangannya. Para pendukung pendekatan politik percaya bahwa kepentingan Muslim hanya bisa terwakili dalam kebijakan negara jika ada partai politik Islam formal atau organisasi, atau sebaliknya, jika ada kaukus Islam di dalam kelompok politik Islam formal atau organisasi dan jika ada kaukus Islam di dalam kelompok politik yang ada dalam birokrasi.86 Masyumi, sebagai kendaraan politiknya Natsir, menyatakan bahwa partai politik bermaksud: untuk menerapkan pikiran Islam dalam urusan negara, untuk mewujudkan negara berdasar kedaulatan rakyat dan masyarakat berdasar keadilan menurut ajaran Islam, untuk memperkokoh dan menyempurnakan konstitusi Republik Indonesia, sehingga terwujud masyarakat dan negara Islam.87 Sebenarnya tidak hanya Masyumi, tetapi juga NU, yang pada awal pemikirannya tidak memisahkan antara agama dan kehidupan negara.88 Pendekatan politik yang demikian inilah yang disebut Anwar sebagai ”pendekatan politik” yang menurut dia menimbulkan salah pengertian dan konflik antara Islam

85

Liddle, Coercion, Co-Optation, and The Management of Ethnic Relation in Indonesia. Dalam M.E. Brown & Ganguly, S. (eds), Government Policies and Ethnic Relations in Asia and The Pasific, 307. 86

Abdurrahman Wahid, “RUU Pendidikan Memerlukan Penalaran yang Lebih Bermakna dan Dinamis”, Suara Pembaharuan (Jakarta: Suara Pembaharuan, 24 Agustus 1988). 87

Lihat, Munawir Sjadzali, Islam and Governmental System: Teaching, History and Reflection (Jakarta: INIS, 1991), 129. 88

Pemikiran mereka dipengaruhi oleh pemikiran politik Islam yang dikembangkan oleh para ulama seperti Al-Mawardi dan Ibnu Taimiyah, serta tokoh-tokoh Islam lain, baik pada masa awal, klasik, pertengahan serta modern. Lihat, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 172.

170

dan negara.89 Model politik yang demikian, cocok ketika masyarakatnya homogen – Islam semua– tetapi ketika masyarakatnya heterogen seperti Indonesia, akan mengalami kendala yang cukup serius. Adapun model yang kedua adalah modelnya Nurcholish Madjid, yang gagasannya tertuang dalam bukunya ”Islam Yes, Partai Politik No”, yang ditulis pada tahun 1970. Inti gagasannya, bahwa memajukan nilai-nilai Islam –kurikulum MA– dalam masyarakat Indonesia tidak harus dilakukan melalui partai politik, melainkan melalui program budaya. Bagi Nurcholish dan pengikutnya, hakikat Islam mengacu kepada kondisi kehidupan Muslim dan bagaimana mencapainya, bahwa kaum

Muslim

harus

lebih

memperhatikan

pembangunan

pendidikan

dan

kesejahteraan.90 Para pendukung ”pendekatan budaya” lebih lanjut mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi para pemimpin Muslim adalah agar tidak mendesak pemerintah

untuk

menghasilkan

kebijakan

berorientasi

Islam,

melainkan

mensosialisasikan nilai-nilai Islam dalam masyarakat Muslim melalui pendekatan moral, pendidikan –kurikulum MA– dan persuasif.91 Mereka percaya bahwa dalam masyarakat yang sangat pluralistik seperti Indonesia, pendekatan budaya ”lebih menguntungkan” baik bagi kaum Muslim sebagai mayoritas maupun bagi kelompok minoritas.92 Nampaknya model yang kedua lebih bijak dan lebih halus dalam

89

M. S. Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Musli>m Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), 237. 90

A. Santoso, Islam and Politics in Indonesia During the 1990s, Asian Journal of Political Science (tk: tp., 1995), 10. 91

Abdurrahman Wahid, Islam, Politics and Democracy in Indonesia in the 1950s and 1990s. Paper presented to Conference on Democracy in Indonesia (Clayton: Monash University, 1720 Desember 1992). 92

Abdurrahman Wahid, Islam, Politics and Democracy in Indonesia in the 1950s and 1990s. Paper presented to Conference on Democracy in Indonesia (Clayton: Monash University, 1720 Desember 1992). Sebenarnya ada dua model lagi, yaitu model Barat yang memisahkan urusan agama dengan pemerintahan dan modelnya Munawir yang mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi memiliki perangkat tata nilai dan etika kehidupan bernegara. Lihat, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Pres, 1993), 1-2.

171

memasukan nilai-nilai ke-Islaman –kurikulum MA, dibanding model yang pertama, karena memperhatikan heterogenitas. Dalam sejarah dipaparkan bahwa dengan model yang kedua ini, hubungan pemerintah dengan Islam modernis menjadi akrab, sementara hubungan pemerintah dengan kaum sekuler agak mengendur.93 Sebagai contoh terkait dengan pendidikan, pada tahun 1991, sesudah pertentangan selama sebelas tahun antara Muslim shaleh dan pihak berwenang di Depdikbud, wanita-wanita Muslimah diperkenankan memakai jilbab ke sekolah.94 Melihat hal ini, banyak pemimpin Muslim melihat perubahan ini sebagai ”niat baik pemerintah Orde Baru terhadap Islam”.95 ”Sekarang dapat dikatakan bahwa pemerintah Orde Baru sangat aktif dan efektif dalam mewakili aspirasi Islam” kata Lukman Harun pada tahun 1995. Baginya, kecenderungan ini ”suatu perkembangan yang menarik” menunjukan bahwa pada waktu itu hubungan ”Muslim dengan pemerintah mantap, dan pemerintah bersikap arif terhadap Muslim dan Muslim memakai cara bijak dalam mengkritisi pemerintah.96 Bahkan Sekretaris Jenderal DDII, Hussen Umar, menggambarkan proses perangkulan terhadap kepentingan Muslim oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai indikasi terjadinya ”perubahan strategi global (pemerintah) dari sekularisasi ke Islamisasi.97 Pendek kata perjuangan Islam modernis adalah berhasil. Berhasilnya Muslim modernis mendekati pemerintahan Orde Baru, terjadi perubahan secara politis terhadap nasib madrasah termasuk kurikulumnya, munculnya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan

93

Santoso, Islam and Politics in Indonesia During the 1990s, Asian Journal of Political

Science, 5. 94

Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 tahun 1989, 141. 95

Anwar, “Politik Islam di Tengah Isu Suksesi” (Peristiwa Utama), Ummat, 1995, 42.

96

Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 tahun 1989, 141. 97

Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 tahun 1989, 142.

172

Nasional, dimana madrasah menjadi sub sistem pendidikan nasional. Lulusan madrasah diterima di Perguruan Tinggi Umum Negeri, dan lulusan madrasah juga dapat diterima di berbagai departemen, tidak hanya Departemen Agama. Kurikulum MA, dimodernisir dari sisi metode dan evaluasinya. Walaupun lagi-lagi content agamanya lebih sedikit dari pada umumnya, tetapi pelajaran agama menjadi ruh semua mata pelajaran umum dan suasana ke-Islaman tetap terus di pertahankan di lingkungan MA. Bagaimana dengan Islam tradisionalis, seperti kalangan Nahdlatul Ulama (NU), apakah ikut berkiprah dan berpartisipasi dalam birokrasi Orde Baru?, rupanya tidak. Menurut Hendro Prasetyo dkk, Muslim tradisionalis, justeru disingkirkan oleh rezim Orde Baru. Dalam rangka mengantisipasi hal ini maka muncul wacana civil society. Munculnya civil society dari kalangan Muslim tradisionalis adalah upaya melawan hegemoni negara. Nada umumnya dipengaruhi dan dibentuk oleh situasi politik Orde Baru yang kurang memberi tempat dan peran kepada kalangan NU, serta akibat-akibat yang tidak menguntungkan yang ditimbulkannya terhadap para intelektual dan aktivisnya. Situasi yang tidak menguntungkan ini muncul terutama, meskipun tidak seluruhnya, karena hubungan politik yang kurang baik antara NU dan Orde Baru.98 Wacana masyarakat sipil di lingkungan NU dimotori oleh generasi baru para intelektual dan aktivis NU yang sejak awal dasawarsa 1980-an berusaha mengembangkan satu format baru perjuangan Islam di Indonesia. Format baru itu menempatkan kekuatan gerakan masyarakat (civil society), bukan negara (political society), sebagai basis sosial-kultural tumbuhnya masyarakat yang mandiri.99 Perjuangan tersebut mengambil bentuk program-program transformasi sosial yang dilakukan secara hampir merata, dari kalangan aktivis organisasi NU di kota-kota

98

Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk., Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2002), 195. 99

Lihat Bosco Carvallo dan Dasrizal (ed.), Aspirasi Umat Islam Indonesia (Jakarta: Leppenas, 1984, lihat juga KH. Abdurrahman Wahid, Pergumulan Islam dan Pembangunan (Jakarta: Leppenas, 1984).

173

besar hingga santri dan para kyai pesantren di desa-desa.100 Program transformasi sosial yang direalisasikan dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), berkembang terbesar di Indonesia. Kemudian muncul para aktivis muda NU, seperti Ulil Absar Abdalla dengan Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam), Imam Aziz dengan Lembaga kajian Islam dan Sosial (LKiS) dan lainlain. Lembaga-lembaga ini berkembang secara spektakuler dan menjadi wadah penggerak pembaharuan pemikiran NU, sehingga NU maju. Bahkan ketika lembagalembaga ini lagi populer, dan ketika itu Nurcholish Madjid masih hidup pernah memberikan

komentar,

bahwa

terjadi

fenomena

perkembangan

pemikiran

pembaharuan NU lebih maju101 daripada Muhammadiyah, lewat para pemuda aktivis NU. Ending pergerakan aktivis NU ini pada masa reformasi, dimana dapat mengantarkan KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), menjadi orang nomor satu di Republik ini. Pada masa inilah terjadi pergeseran status bagi para intelektual alumni pondok pesantren, sehingga falsafah pendidikan mereka pun dapat tersalurkan, lewat kebijakan orang-orang NU yang menduduki pemerintahan. Natsir dengan partai politiknya Masyumi, tentu perjuangan dalam bidang pendidikannya juga berhaluan ideologi Masyumi, dimana ideologi tersebut include dalam kurikulum pendidikannya. Demikian pula para pemikir Muslim modernis walaupun tidak melalui jalur politik, tetapi sebenarnya politis, dimana mereka mendekati penguasa. Ketika itu partai penguasa Orde Baru adalah Golkar, dengan demikian mau tidak mau mereka –Muslim modernis– mengikuti politik Golkar. Berdasarkan latar belakang pendidikannya, mereka lebih condong kepada back ground akademiknya dari pada politiknya. Dengan demikian haluan ideologi mereka dalam kurikulum pendidikannya adalah liberal (terbuka/Barat). Sedang Islam 100 101

Prasetyo, Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, 196.

Pemikiran filsafat Barat modern, seperti materialism historis Karl Marx, postmodernisme Michael Fucoult, orientalisme Edwar Said, teologi pembebasan Gustavo Gittierez, gerakan anti-sekolah Ivan Illich, kritik ideologi Jurgen Habermas, dan lain sebagainya, akrab terdengar menjadi rujukan intelektual bagi kalangan pemikir muda NU, lihat, Prasetyo, Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia, 202.

174

tradisionalis yang notabene NU, kendaraan politiknya adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ini muncul ketika negara Indonesia memasuki Era Reformasi – kurikulum MA tahun 2004 dan 2006– dimana telah lepas dari rezim Soeharto. Karena mayoritas back ground pendidikan mereka adalah pesantren tradisional, maka kultur pesantren yang salafiyah, tidak dapat ditinggalkan, dan secara otomatis mewarnai kurikulum pendidikan mereka, walaupun para pemuda aktifisnya sudah banyak menggunakan rujukan Barat, kultur tetap sulit dihilangkan. Dengan demikian, maka tarik menarik partai politik amat kental dalam kebijakan kurikulum, termasuk dalam aplikasi kurikulumnya, terutama kurikulum MA.

D. Kebijakan Politis Pemerintah dalam Kurikulum Madrasah 1. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan yang merugikan Kurikulum Madrasah Menurut Malik Fadjar, tidak seluruh kebijakan lahir dengan gampang. Ia harus mempunyai kekuatan tawar menawar kultur, dan dalam kadar tertentu bisa bersifat politis. 102 Sekurang-kurangnya untuk melahirkan kebijakan (kurikulum) madrasah perlu diakomodasikan berbagai kepentingan masyarakat,103 khususnya umat Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Husni Rahim, bahwa madrasah adalah milik masyarakat,104 yang merupakan salah satu karakteristiknya. Maka kebijakan tentang pergeseran kurikulum madrasah selayaknyalah harus mendapat support, aspirasi dan dukungan dari masyarakat. Jadi yang paling baik di sini aspirasi

102

Politik dalam pendidikan berbeda dengan politik praktis, dalam arti partai politik. Walaupun substansi politik itu sendiri secara teoritik adalah sama, dalam arti berorientasi kemenangan dan kekuasaan, namun dalam pendidikan lebih bersifat halus dan mengedepankan nilai. Baca, D. Easton, A framework for Political Analysis (New York: Prentice-Hall, 1965), ketika mendefinisikan politik pendidikan. Lihat pula, J. D. Scribner dan R. M. Englert (Ed.), “The Politics of Education: An Introduction”, dalam J. D. Scribner, The Politics of Education: The Seventy-Sixth Yearbook of The National Society for The Study of Education (Chicago: University of Chicago Press, 1977). Lihat juga, Jane C. Owen, The Impact of Politics in Local Education (Toronto: Rawman dan Little Field Education, 2006), 4, 6. 103 104

A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999), 95.

Husni Rahim, Visi Madrasah, http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul, 2008. 27/02/2010.

175

kebijakan berasal dari masyarakat ke penguasa (bottom up), walaupun ending produksi dan isi kebijakan tetap di penguasa. Masyarakat adalah obyek penerapan kebijakan tersebut. Ketika lahirnya kebijakan merupakan paket dari penguasa tanpa adanya peran serta aspirasi masyarakat, berarti kebijakan yang lahir masih seperti kebijakan pendidikan pada masa Belanda. 105 Efek dari kebijakan pendidikan Belanda yang sentralistik menimbulkan diskriminasi antara Muslim dan non Muslim. Sekolah Kristen menyebar dan berkembang di mana-mana, sementara sekolah Islam sangat dibatasi. Sekolah Islam juga tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, bahkan anak-anak Muslim jarang bisa bersekolah. 106 Hal demikian, bukan karena kekurangan keuangan, melainkan sengaja orang Islam Indonesia dibuat bodoh oleh pemerintah Hindia Belanda. Disamping itu, sebenarnya substansi yang paling mendasar Belanda hendak melakukan tugas misionarisnya –yakni menyebarkan agama Kristen kepada masyarakat Indonesia, sebagai negara jajahannya. Maka lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dianggap rendah. Seperti pandangan Snouck Hurgronje, penasihat Belanda mengenai masalah-masalah Islam, memandang rendah pesantren sebagai tidak punya makna dedaktik dan mengecam para santri yang membuang waktu mencari pengetahuan yang moralistik dan tidak toleran. 107 Muhammad Sirozi memberikan kesimpulan, bahwa pendidikan secara sistematik dipakai oleh kolonial Belanda untuk memanipulasi masa lampau dan masa depan penduduk pribumi. 108 Di 105

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Belanda sepenuhnya mengendalikan proses produksi, isi, dan penerapan kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan Belanda melayani kepentingan pendidikan Belanda yang “substantive” mengesampingkan kebutuhan pendidikan “substantive” dari rakyat Indonesia. Lihat, Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, 20. 106

C. A. Fisher, South-East Asia: A Social Economic and Political Geography (London: Methuen & Co. Ltd., 1967), 106. 107 108

Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 49.

Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, 29. Kesimpulan Sirozi diperkuat oleh Fanon, yang menyatakan, kolonialisme tidak hanya puas memaksakan kekuasaannya untuk masa kini dan masa mendatang negara yang dijajah. Kolonialisme tidak puas hanya menyembunyikan suatu bangsa dalam

176

sini jelas, bahwa pada masa kolonial Belanda lembaga pendidikan Islam –pesantren dan madrasah– beserta kurikulumnya mendapat posisi yang marjinal secara politis. Setelah Indonesia merdeka, menurut Sirozi, Indonesia menganut sistem ganda dalam pendidikan. Dimana sejak zaman kolonial para pemimpin nasionalis, baik yang sekuler maupun yang agama telah mengembangkan program pendidikan yang terpisah dan memainkan peran penting dalam pergerakan nasional. Sehingga, ketika itu pemerintahan baru Soekarno-Hatta, kesulitan mencari format sistem pendidikan nasional. Di satu sisi, pemerintah diwajibkan oleh pasal 31 ayat 2 UUD 1945 untuk “mendirikan dan melaksanakan satu sistem pendidikan nasional yang diatur oleh undang-undang”. Di sisi lain perdebatan yang berkelanjutan antara pemimpin sekuler dan agama mengenai ciri sistem pendidikan nasional Indonesia memaksa kompromi,

pemerintah 109

mempertimbangkan

suatu

model

alternatif

sebagai

yaitu sistem ganda (dualistik).

Bentuk pendidikan yang dikomandoi oleh tokoh nasionalis sekuler, kemudian disebut dengan pendidikan umum, di bawah otoritas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara, format pendidikan yang dinahkodai oleh para tokoh nasionalis religious, disebut pendidikan agama, di bawah wilayah kekuasaan Departemen Agama.110 Sebenarnya Cikal bakal terjadinya dualistik dalam

cengkeramannya dan mengosongkan otak penduduk asli dari segala bentuk dan isi. Melalui logika yang terbalik, kolonialisme menengok masa lalu bangsa yang tertindas itu, dan memutarbalikannya, mengubah bentuknya, dan menghancurkannya. Lihat, Fanon, “On National Culture”, dalam P. Williams dan L. Chrisman (eds) Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader (London: Harvester Wheatsheaf, 1994), 37. 109

Lihat, Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, 41. 110

Setelah Indonesia merdeka, satu tahun kemudian Departemen Agama berdiri, diantaranya atas usul BP-KNIP, dimana pada tanggal 25-28 mengadakan sidang pleno. Wakil-wakil KNIP dari daerah karesidenan Banyumas mengusulkan, supaya dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambillalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya tetapi hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri, lihat Departemen Penerangan RI, 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid VII (Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1965), 358-359. Usul ini direalisasikan oleh pemerintah, pada tanggal 3 Januari 1946, pemerintah membentuk Departemen Agama RI, dengan Menteri Agama pertama H. Rasjidi, BA. Lihat Departemen Agama RI, Peranan Departemen Agama

177

pendidikan di Indonesia, telah muncul sejak zaman kolonial, hal ini bukan dieliminasi, malah diperkuat. Akibatnya semakin terjadi gap antara sekolah dan madrasah. Ada komentar miring dari Naim, siapapun yang mengamati sistem pendidikan nasional Indonesia, kesan pertamanya adalah bahwa sistemnya ruwet, sukar diikuti dan dualistik.111 Namun, perdebatan antara para tokoh nasionalis sekuler dan nasionalis religious, perlu diakomodir oleh pemerintah, sampai akhirnya terjadi dualistik dalam pendidikan di Indonesia. Sebenarnya Soekarno sendiri juga tidak setuju dengan sistem ini, tetapi persatuan dan kesatuan bangsa lebih diprioritaskan, yang akhirnya sistem ganda ini adalah sebagai alternatif. Tetapi walaupun demikian, menurut Sirozi, karena kedua model pendidikan ini disokong oleh posisi ideologi dan perspektif pendidikan yang berlainan maka keduanya lebih bersaing ketimbang bekerja sama,112 realitasnya demikian sampai sekarang. Menanggapi ide Sirozi, Naim berkomentar sembari beranalog, “mereka berjalan bersama seperti di atas rel kereta api, tetapi terpisah satu sama lain”. 113 Lagi-lagi bila diamati secara jeli pendidikan umum, mempunyai otoritas yang lebih dominan secara politis, dibandingkan dengan pendidikan agama. Sebagai bukti, dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri –Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri– keputusan ini memberi hak yang sama bagi lulusan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk memperoleh pendidikan universitas, tetapi hanya dengan syarat bahwa kurikulum MAN disesuikan dengan kurikulum SMA. Kurikulum MAN yang dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa (Jakarta: Departemen Agama RI, 1965), 104. Namun pada akhirnya pembentukan Kementerian Agama ini sempat terjadi kontroversi, bila diamati kontroversi itu adalah pada masalah ideologi, lihat, Azyumardi Azra, HM. Rasjidi BA, “Pembentukan Kementerian Agama dalam Revolusi”, dalam Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Ed.), (Jakarta: INIS, 1998), 5-8. 111

Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah (Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996).

112

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, 42. 113

Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah (Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996).

178

aslinya berisi 70% mata pelajaran agama dan 30% mata pelajaran umum, diganti dengan kurikulum yang terdiri 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.114 Idealisme para tokoh agama yang merupakan warisan para tokoh nasionalis religious, lagi-lagi terganjal secara politis, karena kurikulum madrasah harus mengikuti kurikulum sistem persekolahan, bila nasib lulusan madrasah ingin dapat diterima di universitas negeri milik pendidikan umum. Ini adalah satu poin kekalahan kurikulum madrasah. Komentar Naim, “konsep madrasah sebagai perpaduan kombinasi pendidikan agama dan umum yang setara tidak lagi banyak ditemukan dalam Madrasah Aliyah”. 115 Menurut Sirozi, karena kurikulum dan status kedua jenis sekolah telah disamakan, nama-nama ini menyiratkan bahwa sistem sekolah yang ganda tetap dipertahankan, meski tidak dalam arti materi, tetapi dalam arti simbolik.116 Secara content, bukan merupakan sistem ganda lagi dalam pendidikan, tetapi sudah dicaplok oleh pendidikan umum. Kebijakan yang demikian bila direnungkan secara jeli adalah sangat politis. Hal ini juga dinyatakan oleh Angus, “gagasan pendidikan pada hakikatnya adalah suatu konstruk historis dan politis”.117 Walaupun secara historis, sebenarnya sama-sama posisinya, dalam arti sekolah umum yang merupakan perjuangan kaum nasionalis sekuler dan sekolah agama (madrasah) yang merupakan perjuangan tokoh nasionalis Muslim, tetapi pada akhirnya idealisme tokoh Muslim terjepit secara politis, karena content kurikulum madrasah semakin kering dari ruh pelajaran Islam. Bila kebijakan pendidikan dibuat lebih cenderung ke arah politis, maka pembahasan ini tidak lepas dari tahapan orde dalam pemerintahan Indonesia. Yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Kebijakan pendidikan pada masa 114

Lihat, Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokohtokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, 43. 115

Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah (Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996).

116

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, 43. 117

L. Angus, Schooling For Social Order: Democracy, Equality and Social Mobility in Education (Victoria: Deakin University Press, 1986), 8.

179

kolonial Belanda, Jepang, masa sebelum merdeka, setelah merdeka dan orde lama sepintas telah penulis jelaskan. Tinggal masa Orde Baru dan Orde Reformasi dengan tetap tidak meninggalkan undang-undang yang berlaku selama orde itu. Menurut pandangan Sirozi, bahwa sistem politik di bawah Orde Baru cenderung berat ke eksekutif dan bersifat tertutup. Sistem ini memungkinkan pemerintah yang eksekutif, terutama presiden dan para menteri, untuk mengendalikan proses pembentukan kebijakan. Dalam proses pembentukan kebijakan pendidikan, presiden mempertahankan kendalinya melalui Depdikbud. Dengan memiliki kantor di pusat dan daerah, Depdikbud mampu mengendalikan pembentukan dan penerapan kebijakan pendidikan di daerah dan di pusat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bertanggung jawab menentukan strategi pemerintah dan mengarahkan mekanisme pembentukan kebijakan pendidikan. Menteri mempunyai kewenangan untuk mengatur struktur yang akan dilalui kebijakan pendidikan yang diusulkan. Atas nama Presiden, Mendikbud berkewenangan untuk mengangkat pejabat yang menangani persiapan kebijakan pendidikan dan untuk memutuskan hal-hal yang penting

bagi

pembahasan

kebijakan

pendidikan.

Lebih

lagi,

Mendikbud

berkewenangan untuk menerapkan kebijakan pendidikan dan merancang peraturan operasional yang ditetapkan oleh kebijakan dalam bentuk keputusan menteri. Oleh sebab itu Mendikbud tidak hanya mengawasi penerapan kebijakan, tetapi juga menafsirkan dan merumuskan kembali isinya menurut nilai-nilai pendidikannya, tanpa campur tangan masyarakat dan parlemen. 118 Ilustrasi ini cukup jelas bahwa, kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru bersifat sentralistik, demikian juga dengan madrasah. Karena penentu kebijakan dalam bidang pendidikan adalah Presiden lewat tangan Mendikbud, maka kebijakan yang terjadi pada madrasah adalah lewat Mendikbud, tentu saja lewat pertimbangan Menag, tetapi kekuasaan kuat tetap di Mendikbud. Maka dari sisi kebijakan yang diuntungkan tetap pendidikan

118

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, 77.

180

umum (sekolah) bukan pendidikan agama (madrasah), termasuk dalam bidang kurikulum. Almond dan Powell menyatakan bahwa tuntutan politik bisa efektif jika “didorong oleh kekuatan politik yang memiliki sumber daya –suara, kedudukan dalam badan legislatif, kedudukan penting dalam pemerintahan dan kehidupan pribadi, uang, pengetahuan, teknis dan keahlian, menguasai media, atau sarana untuk memaksa”.119 Di sini jelas bahwa politik tujuannya kemenangan. Menurut Hefner, sebenarnya keterlibatan politik dan urusan publik dalam sekolah Islam (madrasah), tidak menjadi persoalan asal tidak dijadikan tendensi etika dan pengetahuan orang Islam dalam sebuah cara yang eklusive dan absolute.120 Oleh karena itu sebenarnya, dukungan penguasa, dalam hal ini adalah pemerintah, sangat efektif dalam politik pendidikan. Hal ini tergambar pada masa klasik Islam, di mana zaman keemasan pendidikan Islam terwujud di sini. 121 Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru –kurikulum MA 1973, 1984, dan 1994– yang bersifat politis terutama adalah munculnya SKB Tiga Menteri yang memasukan 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum –kurikulum tahun 1975. SKB Tiga Menteri diperkuat dengan SKB Dua Menteri –kurikulum 1984– pada akhirnya muncul UUSPN No. 2 tahun 1989 yang mengakui madrasah sebagai sub sistem pendidikan nasional. Akhirnya MA disebut sebagai sekolah umum berciri khas Islam –kurikulum MA tahun 1994– dimana kurikulum MA hampir sama persis dengan kurikulum SMA kecuali dalam mata-mata pelajaran untuk menunjukkan ciri khas ke-Islamannya. Jelas yang bersifat politis di sini dari sisi tujuan kurikulum MA dan content-nya.

119

Almond dan G.B. Powell, System, Process, and Policy, Comparative Politics (Boston dan Toronto: Litle, Brown dan Company, 1978), 232. 120

Robert W. Hefner, Ed., Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia (Honolulu, HI: University of Hawa’i Press, 2009), 130. 121

Lihat, Pihlip K. Hitti, History of The Arabs (London: Macmillan,1974), 296-298.

181

Contoh selanjutnya, ketika Mendikbud 1993-1998, Wardiman Djojonegoro, tepatnya 1 Januari 1995, ia memulai kebijakan lima hari sekolah. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengembangkan lima hari sekolah yang efektif dan efesien, memungkinkan anak-anak mendapatkan libur akhir pekan yang cukup dan menggunakan waktu mereka secara lebih disiplin”122 Dengan kebijakan ini jam belajar diperpanjang dari jam 7.30 sampai dengan jam 4 sore.123 Sebagai uji coba kebijakan ini, beberapa sekolah pemerintah dan non pemerintah dipakai sebagai uji coba. Namun kebijakan ini juga mendapat protes dari banyak kalangan tokoh Muslim. Dikarenakan, mereka –anak-anak sekolah– tidak dapat memasuki sekolah agama –Madrasah Diniyah. Dengan demikian maka akan mematikan lembaga Madrasah Diniyah, sebenarnya motivasi yang prinsip bukan ini, tetapi anak-anak Muslim dikhawatirkan tidak mendapat pelajaran agama yang maksimal, dikarenakan pelajaran di sekolah umum cuma 2 jam per minggu. Dimana pelajaran agama yang maksimal adalah di Madrasah Diniyah (saat itu). Beberapa kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang telah diuraikan di atas adalah bersifat politis. Kebijakan pendidikan pada era reformasi –kurikulum MA 2004 dan 2006– mengalami banyak perubahan dibanding dengan masa Orde Lama dan Orde Baru. Minimal ada prioritas dan usaha yang serius dari pemerintah untuk meningkatkan 122 123

Panji Masyarakat, 1-10 Oktober 1994, 20.

Pada saat itu belum ada Sekolah Islam Terpadu (SIT), dimana sekolah ini menerapkan konsep Full Day School, yakni kurikulum Madrasah Diniyah sudah tercakup dalam sekolah ini. Bahkan lebih baik kurikulumnya. Sekolah ini juga menerapkan lima hari sekolah. Sebenarnya secara psikologis, untuk anak, lima hari kerja itu baik, asalkan jangan merugikan pelajaran agama anak. Baca, Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Pendidikan Nondikotomik: Humasnisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2002). Sekolah Islam Terpadu (SIT), didirikan berdasarkan ideologi salafi, yang banyak didirikan oleh orang-orang tarbiyah, binaan PKS. Hefner memberi teori dan pemahaman baru dalam pendidikan Islam, bahwa pertumbuhan PKS dan Hidayatullah yang begitu cepat, merupakan kekuatan paralel antara Sekolah Islam Terpadu (SIT) dan pergerakan sosial. SIT dan pergerakan sosial mempunyai hubungan timbal balik diantara keduanya. Menurut Hefner, fungsi Sekolah Islam Terpadu bagi pergerakan sosial, adalah: 1. mendiagnosa problem kronis dalam masyarakat untuk mendata hal-hal yang dibutuhkan oleh masyarakat, 2. merekomendasikan sebuah strategi untuk mengatasi masalah. 3. menyediakan sebuah pemikiran bahwa pemikiran dapat memberikan support untuk mengusulkan tindakan berupa penyelesaian masalah. Lihat, Robert W. Hefner, Ed., Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 130.

182

kualitas pendidikan. Indikator ini tergambar dalam pidato politiknya Habibie, sesaat setelah lengsernya Soeharto, sebagai tanda dimulainya reformasi, “hanya pendidikan yang berkualitas sajalah yang dapat menyampaikan generasi yang mampu menghadapi permasalahan ke depan yang makin kompleks, karena itu usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan merupakan hal yang perlu mendapat dukungan semua pihak dan tak dapat ditunda-tunda”. 124 Pidato Habibie, perlu mendapat apresiasi semua pihak. Pidato Habibie, dipertegas Megawati ketika menjadi Presiden, bahwa pemerintahan Mega harus dapat memperbaiki masalah hukum, ekonomi dan pendidikan. Di era Reformasi, bila dianalisa kurikulum Madrasah Aliyah mengalami perubahan yang sangat mengejutkan, karena pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) alokasi waktunya sama dengan sekolah umum, yaitu 2 jam pelajaran perminggu.125 Di satu sisi insan madrasah merasa gembira, karena secara politis, posisi madrasah sama persis dengan sistem persekolahan. Di sisi lain, insan madrasah juga merasa kehilangan, dengan sedikitnya jam mata pelajaran PAI. Jadi Madrasah Aliyah substansinya juga sama persis dengan SMA, karena kurikulumnya, sama persis. Bila diamati secara jeli, pemerintah hendak membentuk satu sistem pendidikan nasional secara substansial, walaupun pada hakekatnya secara simbolik ada dua sistem yaitu sistem sekolah dan madrasah. Satu sistem ini terlihat dari, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, dalam UU ini, tidak ada diskriminasi antara sekolah dan

124 125

Media Indonesia, 24 September 1999, 19.

Untuk mensiasati alokasi waktu mata pelajaran PAI yang hanya 2 jam pelajaran perminggu, mayoritas MA senantiasa menambahkan alokasi waktu tersebut, yaitu Aqidah Akhlak 1 jam pelajaran, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) 1 jam pelajaran, al-Qur’an Hadis 2 jam pelajaran, Fikih 2 jam pelajaran, jika Bahasa Arab dimasukan rumpun PAI, Bahasa Arab 3 jam pelajaran perminggu. Sehingga ketika Bahasa Arab tidak dimasukan jumlah jam pelajaran perminggu 6 jam pelajaran, tetapi ketika Bahasa Arab dimasukkan dalam rumpun PAI maka berjumlah 9 jam pelajaran perminggu. Untuk kasus MAN 2 Serang memberlakukan sistem fullday school, pulang jam 16.00 WIB dan MAN I Serang untuk kelas 1 dan 2 pulang jan 14.00 dan kelas 3 pulang jam 14.00. Wawancara dengan Uus Kadarusman, Kepala MAN I Serang dan Hidayat Kepala TU MAN 2 Serang, tanggal 25 Nopember 2010.

183

madrasah.126 Bahkan selanjutnya, Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri dan kebijakan lain mengenai pendidikan terlihat tidak ada diskriminasi. Nampak bahwa satu Sistem Pendidikan Nasional ini telah terbentuk secara politis. Walaupun banyak insan madrasah yang secara nurani masih banyak protes terhadap keadaan yang demikian. Yang menjadi catatan positif pada era ini, kebijakan pendidikan, yang tadinya sentralistik pada masa Orde Lama dan Orde Baru, menjadi desentralisasi. Pergeseran ini disebabkan, menurut Indra Djati Sidi, karena sistem terpusat terbukti tidak terlalu kondusif bagi peningkatan mutu pendidikan di sekolah/madrasah.127 Selama ini (masa Orde Baru) lembaga pendidikan madrasah berada di bawah naungan Departemen Agama (Depag) atau pemerintah pusat. Bagaimana di era otonomi? Madrasah tidak mengalami otonomi128 seperti halnya sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Meskipun pengelolaan madrasah tetap berada di bawah naungan Depag, 129 tetapi di era otonomi130 diterapkan kebijakan baru. Kalau dulu madrasah murni dikelola oleh Depag pusat, tetapi sekarang diberlakukan

126

kebijakan

"dekonsentrasi".

Artinya,

kewenangan-kewenangan

Baca, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.

127

Lihat, Indra Jati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001), 31. 128

Sebenarnya otonomi (pendidikan) dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah, bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten dan kota. Demikian juga otonomi (sistem pengelolaan) pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan memindahkan atau mengembangbiakkan masalah pendidikan yang menjadi beban pemerintah pusat ke kabupaten dan kota. Lihat, Indra Jati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 2930. 129

Dalam PP Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan pasal 9 ayat (3) pengelolaan pendidikan keagamaan dilakukan oleh Menteri Agama. 130

Menurut Indra, mengapa dilaksanakan otonomi dalam pendidikan, karena, pertama, akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan masih sangat rendah, kedua, penggunaan sumber daya tidak optimal, ketiga, partisipasi masyarakat masih rendah, keempat, sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannya. Lihat, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 31-33.

184

penyelenggaraan madrasah yang semula dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat maka sebagian dapat diturunkan ke daerah. Ini terutama menyangkut masalahmasalah teknis di lapangan yang berkaitan dengan sumber anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Misalnya, soal Rencana Anggaran Belanja (RAB) madrasah. Untuk masalah ini kepala madrasah bisa menyampaikannya kepada kepala kantor Depag kabupaten/kota setempat. RAB tersebut selanjutnya dikonsultasikan kepada Bupati/Wali Kota untuk dimintakan alokasi anggaran yang menyatu dalam Dana Alokasi Umum (DAU). Karena DAU itu sendiri merupakan dana dari pemerintah pusat, dan sebagian di antaranya adalah jatah untuk madrasah negeri. 131 Walaupun realisasinya tetap memprioritaskan sekolah daripada madrasah. 2. Beberapa Kritik Tentang Kualitas Kurikulum Madrasah Selanjutnya beberapa kritik terhadap madrasah, terutama kurikulumnya. Sebenarnya pada masa awal madrasah identik dengan pesantren,132 bedanya kalau madrasah tanpa asrama sedangkan pesantren menggunakan asrama, namun content (isi) kurikulumnya sama yaitu sama-sama 100% mengajarkan agama, karena sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n. Disebabkan hal ini, eksistensi madrasah menimbulkan efek sosial, seperti kata Steenbrink, “suatu hal yang tragis yang dewasa ini diderita oleh anak-anak didik kalangan Islam Indonesia, adalah belum dapat diperolehnya lapangan kehidupan di luar keagamaan setelah mereka ini berhasil menyelesaikan pendidikannya dari sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pesantren maupun perguruan tingginya”. 133 Walaupun, sepintas diamati bahwa pernyataan Steenbrink adalah doktrin Barat, tetapi ini adalah merupakan kritik bagi madrasah untuk mereformasi kurikulumnya. 131

http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/26042007172801_333pkn.doc.webmaster.

25/03/2010. 132

Menurut Geertz’s, bahwa pesantren (Islamic Boarding Schools) adalah sebuah institusi yang dipengaruhi pengajaran Hindu Budha. Lihat, Hefner, (Ed.), Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 129. 133

Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 15.

185

Secara politis, nasib madrasah masih terpojok. Seperti laporan penelitian Ki Supriyoko bahwa pencapaian rata-rata Nilai Ujian Nasional (NUN) siswa madrasah memang lebih rendah dari pada nilai sekolah, tetapi terpautnya relatif kecil. Sebenarnya hal ini membanggakan bagi madrasah mengingat substansi ilmu umum di dalam kurikulum madrasah hanya 70%. Apakah masyarakat kita dapat memahami kebanggaan tersebut, ungkap Supriyoko, jawabannya adalah “Pada umumnya tidak”. Mereka tahunya pencapaian prestasi akademis siswa madrasah lebih rendah daripada siswa sekolah. Bagi insan madrasah hal ini terasa pahit. Tetapi kenyataan yang demikian harus diterima. 134 Hasil penelitian Supriyoko ini perlu menjadi bahan renungan, bahwa madrasah harus terus membuktikan kualitasnya secara akademik, walaupun image masyarakat masih menganggap madrasah kualitasnya 135 di bawah sekolah. Tetapi dengan terus meningkatkan kualitas madrasah itu, suatu saat masyarakat akan melihat bukti, bahwa madrasah juga tidak kalah kualitasnya dengan sekolah secara akademik. Di sisi lain, menanggapi umat Islam Indonesia sebagai wadah dan pelaksana madrasah perlu mengetahui kualitas umat Islam Indonesia, menurut Snouck Hurgronje dan pengikut-pengikutnya, “secara sosial politik masyarakat Islam Indonesia sudah termasuk minoritas”. 136 Minoritas maksud Snouck adalah dari sisi

134

Ki Supriyoko, Problema Besar Madrasah, dalam http://www.republika.co.id, 2008. 07/03/2010. Lebih lanjut Supriyoko memberikan solusi kreatif, cara konvensional adalah menyampaikan ilmu umum yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan ilmu agama. Cara ini bagus, tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasramakan alias dipondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya mampu menjalankan cara ini secara produktif. Namun, pada madrasah non pesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan. Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi, lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif. 135

Rendahnya kualitas madrasah ditandai, pertama, rendahnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah, kedua, rendahnya prosentase alumni madrasah untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, lihat, Afrianto Daud, Madrasah dan Tantangan Dunia Global, dalam Singgalang, 17 September 2004. 136

Lihat, Verspreide Gescbriften IV/2, 351-353.

186

pengamalan ajaran agamanya, jadi sedikit yang mengamalkan agamanya secara benar-benar, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dari sisi pengakuannya saja. Logikanya ketika umat Islam Indonesia mayoritas dari sisi pengamalan ajaran agamanya, akan berpengaruh cukup besar terhadap kualitas madrasah. Jika benar demikian, maka kritik Snouck menjadi introspeksi buat umat Islam Indonesia, tetapi jika tidak, maka kritik Snouck adalah politis. Tidak habis-habisnya kritik terhadap madrasah, selanjutnya kritik tentang latar belakang sosial ekonomi para siswanya yang menjadi input madrasah. Bahwa para siswa yang masuk madrasah adalah dari golongan sosial ekonomi bawah. Tidak hanya Indonesia, yang para siswanya

masuk madrasah dari kalangan ekonomi

bawah, Pakistan saja sebagai negara Islam, mayoritas yang masuk madrasah adalah dari kalangan populasi penduduk yang tidak mampu (miskin). 137 Ini membuktikan bahwa dana madrasah untuk meningkatkan kualitas madrasah masih sangat minim, baik dari sisi kualitas akademik (kurikulum), manajemen, aktifitas menuju siswa berprestasi maupun sarana dan prasarananya. Madrasah harus terus berbenah diri menuju kualitas. Walaupun berbagai kritik, telah dilontarkan, Menurut Hefner bahwa tersebarnya

sekolah-sekolah

(madrasah)

untuk

kemajuan

pengembangan

pembelajaran modern138 sejak abad 18 di Sumatera Barat dan Patani sampai akhir abad 19 melebar ke Sulawesi Selatan dan Kalimantan. Perkembangan ini sangat ironi karena dijajah oleh kolonialis Barat, tetapi memberikan kemudahan perjalanan bagi Timur Tengah untuk menyebarkan Islam, walaupun pada akhirnya terjadi krisis

137

Samina Ahmed, Extreme Madrasahs (Harvard International Review Winter: Academic Research Library, 2009), 7. 138

Pengembangan madrasah dan kurikulumnya ke arah modern adalah sangat dibutuhkan, sebab Pakistan –negara Islam– sendiri sebagai bahan perbandingan pernah di tekan oleh dunia internasional untuk mereformasi kurikulum madrasahnya ke arah modern. Ini bukti bahwa memodernisasi lembaga pendidikan termasuk madrasah adalah sangat perlu. Lihat, Samina Ahmed, Extreme Madrasahs, 7.

187

otoritas kekuasaan.139 Dalam keadaan Indonesia dijajah, madrasah malah justeru eksis dan terus menyebar ke seluruh Indonesia. Setelah

kebijakan-kebijakan

pemerintah

dan

kritik-kritik

terhadap

kurikulum madrasah berlalu, yang lebih mengarah bagaimana madrasah dapat mereformasi kurikulumnya, dikarenakan madrasah banyak mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada anak didiknya. Perkembangan selanjutnya, tuntutan madrasah untuk mengajarkan ilmu-ilmu umum, dalam rangka mengejar ketertinggalan kurikulum madrasah. 3. Perebutan Otoritas Depag dan Dikbud terhadap Madrasah Masalah politis selanjutnya, ada semacam perebutan otoritas antara Depdikbud dan Depag. Seperti problematika madrasah, diantaranya, perbandingan antara jumlah madrasah swasta lebih banyak daripada jumlah madrasah negeri. Menurut catatan Husni Rahim jumlah Madrasah Aliyah Negeri 457 buah, sedangkan Madrasah Aliyah Swasta 2.701 buah, 140 cuma tidak disebutkan data ini diinput tahun berapa. Tetapi dengan melihat data ini perbandingan Madrasah Aliyah swasta dengan negeri tidak seimbang, hal ini akan menyulitkan pembinaan madrasah dari Departemen

Agama.

Padahal

pemerintah

lebih

mengutamakan

strategi

pengembangan pada sekolah-sekolah negeri, khususnya dalam penyediaan tenaga guru dan pembagian alokasi dana pembiayaan pendidikan lainnya. Kasus ini berbeda dengan sekolah negeri yang di bawah otoritas Depdikbud, dimana penegerian madrasah di bawah Depag berjalan sangat lamban. Kelambanan ini disebabkan karena Departemen Agama dianggap bukan sebagai unit yang memerlukan perhatian dan prioritas untuk memperoleh dukungan dana dan dukungan kelembagaan seperti Depdikbud. 141 Hal ini diperkuat, bahwa lahirnya UU Sisdiknas No. 2 tahun 1989 dan PP Nomor 2 tahun 1990, dimana madrasah merupakan sub sistem pendidikan 139

Hefner, (Ed.), Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast

Asia, 129. 140

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 2001), 109.

141

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 110.

188

nasional. Tetapi dengan UU dan PP tersebut, terjadi dualisme kewenangan penyelenggaraan pendidikan, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Agama. 142 Ini politis, dimana seolah-olah Departemen Agama jangan ngurusi pendidikan, madrasah serahkan saja kepada Depdikbud, Departemen Agama cukup ngurusi, haji, wakaf, nikah, thalak dan

rujuk. Efek politis dari hal ini,

madrasah marjinal, karena kurang terurus dan kurang dana. Bagaimana dengan nasib madrasah swasta? Eksistensi madrasah selama ini dilihat dari analisis edukatif variabel mutu pendidikan, bahwa biaya dari pemerintah bukan satu-satunya faktor penentu untuk memajukan lembaga pendidikan madrasah. Yang paling penting adalah variabel Sumber Daya Manusia (SDM) dan dukungan masyarakat di sekitarnya. Selama ini madrasah bersifat bottom up atau lahir dan dikembangkan oleh masyarakat (umat Islam), sedangkan sekolah umum lebih bersikap top down atau merupakan program dari pemerintah pusat. Karena madrasah berkembang dari bawah, sehingga resikonya madrasah tidak mendapat dukungan dana yang kuat dari pemerintah. Kalaupun ada dana, nilainya jauh lebih kecil dari sekolah-sekolah umum. 4. SKB Tiga Menteri: Pro-Kontra Masuknya Pelajaran Umum ke dalam Madrasah Di muka telah dijelaskan, bahwa SKB tiga menteri adalah politis, karena porsi pelajaran agama menjadi berkurang di madrasah. Sebagai klarifikasi ulang, dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri (MAN), pasal 2 disebutkan, bahwa Madrasah Aliyah Negeri mempunyai tugas dalam bidang pendidikan dan pengajaran Agama Islam sekurang-kurangnya 30% sebagai mata pelajaran dasar, disamping pendidikan dan pengajaran umum143 berarti 70% adalah pelajaran umum. Namun oleh Menteri Agama pada saat itu, Mukti Ali, dijelaskan bahwa dalam prakteknya kedua mata pelajaran tersebut dapat saling mengisi, 142 143

Akhwan, Pengembangan Madrasah Sebagai Pendidikan untuk Semua, 44.

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 17 Tahun 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri (MAN), 2.

189

sehingga sama-sama 100%. Jika hal ini benar-benar direalisasikan, maka madrasah dapat menjadi sekolah unggul. Tetapi pada kenyataannya memang tidak dapat direalisasikan apa yang dikatakan Mukti Ali. Dengan demikian sisi politisnya adalah penekanan terhadap kurikulum madrasah dengan mengurangi pelajaran agama. Jauh sebelum SKB muncul, sebenarnya Departemen Agama telah melakukan penataan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, seperti dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 1 tahun 1952, setelah munculnya UndangUndang Pendidikan tahun 1950. Berdasarkan KMA tersebut pendidikan madrasah dilaksanakan dalam tiga tingkat yaitu, tingkat dasar 6 tahun (Madrasah Ibtidaiyah), tingkat menengah pertama 3 tahun (Madrasah Tsanawiyah), tingkat menengah atas 3 tahun (Madrasah Aliyah). Dalam peraturan itu disebutkan bahwa di ketiga tingkat madrasah ini minimal harus mengajarkan tiga mata pelajaran akademik yang diajarkan di sekolah umum dan mengikuti standar kurikulum Departemen Agama. Tahun 1958 muncul Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang ditempuh selama delapan tahun. MWB memuat kurikulum terpadu antara aspek keagamaan, pengetahuan umum, dan ketrampilan. Walaupun hasilnya juga belum maksimal. Munculnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa Madrasah Ibtidaiyah adalah Sekolah Dasar berciri khas Islam, Madrasah Tsanawiyah adalah SLTP berciri khas Islam, Madrasah Aliyah adalah SMU berciri khas Islam. Bila diamati perjalanan kurikulum madrasah sejak munculnya undang-undang pendidikan pertama tahun 1950 sampai munculnya Undang-Undang Pendidikan tahun 1989, bahkan sampai munculnya Undang-Undang Pendidikan No. 20 tahun 2003, telah mengalami berkali-kali pergeseran. Tetapi pergeseran tersebut nampak jelas mengarah bagaimana sistem madrasah dapat diterima oleh sistem persekolahan dalam arti pendidikan nasional yang dalam hal ini di bawah otoritas Departemen Pendidikan Nasional. Walaupun dengan mengorbankan kuantitas tetapi kualitas pendidikan Agama Islam tetap ada pada kurikulum madrasah. Dan dengan demikian Madrasah tetap mempertahankan

190

ciri khas ke-Islamannya. Setelah MA kurikulumnya sama dengan SMA, insan madrasah masih tetap mempertahankan suasana keagamaannya, walaupun suasana keagamaan ini berbeda antara satu MA dengan MA lainnya. Untuk MA yang boarding school suasana keagamaan nampak lebih lekat dan nampak, seperti senyum sapa dan salam yang dilakukan para siswa dan siswi MAN Insan Cendekia. Suasana ini tidak begitu lekat dan nampak pada MAN reguler –tidak boarding school. Tetapi suasana keagamaan yang lain masih kelihatan seperti tadarus, praktek khitabah dengan dua bahasa (Inggris dan Arab), shalat dluha, shalat dhuhur dan ‘asar berjama’ah, dan lain-lain. 144 Secara politis terjadinya pergeseran kurikulum madrasah muncul hal-hal yang merupakan problem madrasah dintaranya, pertama, dengan inovasi (pergeseran) struktur kurikulum yang diajarkan, madrasah seolah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan dari pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam yang pertama di Indonesia, kedua, terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikan dengan sekolah (umum) karena memiliki muatan kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap pesantren dengan sistem pendidikan klasikal yang kemudian dikenal dengan Madrasah Diniyah. Ketiga, muatan kurikulum yang relatif sama dengan muatan kurikulum di sekolah, menjadikan madrasah kurang memiliki jati diri sebagai lembaga yang mencetak ahliahli agama.

Keempat,

dengan penegerian

beberapa

madrasah

yang ada,

mengakibatkan berkurangnya peran serta masyarakat terhadap madrasah. Ada suatu anggapan bahwa setelah dinegerikan, maka semua tanggung jawab berada di tangan pemerintah, sehingga masyarakat lepas sama sekali. Kelima, kendatipun status madrasah sama dengan sekolah umum, namun dalam realitasnya keberadaan madrasah tetap dianggap pendidikan kelas dua, baik dari segi kualitas akademik,

144

Observasi di MAN Insan Cendekia, 20 Pebruari 2010, sebagai bahan perbandingan penulis juga mengadakan observasi di MAN 1 dan 2 Serang, 25 November 2010.

191

maupun sarana dan prasarana. 145 Di sini menjadi sebuah keprihatinan, bagaimana madrasah dapat bangkit dan diakui kualitasnya oleh masyarakat sebagai lembaga pendidikan Islam yang unggul juga dalam mata pelajaran umum sehingga minimal pengakuan masyarakat sejajar dengan sekolah. Pada mulanya banyak masyarakat yang tidak setuju, masuknya pelajaran umum ke madrasah. Menurut analisa Steenbrink, penolakan mereka146 dalam rangka mempertahankan sifat tradisional agama di bidang pendidikan. Pada masyarakat pedesaan yang terisolir, rencana pendidikan dari Departemen Agama merupakan suatu bentuk peralihan dari pendidikan agama tradisional kepada bentuk madrasah dengan cap agama yang masih kuat, lebih mudah diterima daripada sekolah umum yang kurang bersifat agama.147 Menurut Husni Rahim, hal demikian terjadi karena merupakan warisan sejarah Islam di Indonesia, bahwa Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang bercorak mistik dan sufistik yang lebih mementingkan agama dari pada dunia. 148 Madrasah yang merupakan kepanjangan tangan dari pesantren, dimana pengaruh mistik dan sufistik cukup besar di pesantren

145

Fatah Syukur, “Madrasah dan Pemberdayaan”, dalam Citra Edukasi Blog spot.com, 2008. 08/03/2010. 146

Penolakan mereka tidak hanya dalam mata pelajaran umum, tetapi juga karena sekolah Gubernemen memakai meja, kursi, papan tulis, penghapus dan lain-lain, ini semua juga ditolak, hal yang sama berlaku di bidang pakaian: celana, sepatu, dasi dianggap sebagai simbol dunia modern dan profan. Di pesantren Mustafawiyah, Purba Baru, Tapanuli Selatan para santri harus memakai sepatu dan celana untuk masuk pelajaran madrasah, yang dididik dalam pelajaran pesantren. Tetapi untuk shalat dan untuk pelajaran tambahan (dari kitab kuning) yang diberikan dalam masjid, wajib dipakai sarung dan sepatu harus dilepas, --hal yang sama terjadi dengan bahasa daerah dan bahasa Indonesia, dalam madrasah dipakai bahasa Indonesia, tetapi dalam masjid dan pengajian tambahan di dalamnya selalu dipakai bahasa daerah. Lihat, Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 233. 147

Lihat Boland, The Struggle, 123, dimana seorang responden mengatakan: “Orang desa masih kirim anaknya ke pesantren. Pimpinan pesantren mengirim anaknya ke madrasah. Para guru madrasah kirim anak-anak mereka ke SMP dan SMA, supaya mereka nanti bisa belajar ke IAIN. Tetapi para dosen IAIN mencari kemungkinan untuk mengirim anak-anak mereka ke universitas negeri untuk belajar di sana. Memang gambaran ini berlebih-lebihan tetapi ada unsur benarnya juga di dalamnya. 148

Husni Rahim, “Visi Madrasah”, http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul, 2008. 27/02/2010.

192

khususnya pesantren tradisional (salafiyah). Mempengaruhi pula budaya dan tradisi serta pola pikir masyarakat Islam. Dengan demikian di Madrasah Aliyah, lanjut Husni, diadakan program Mafikibb (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris) dengan nuansa Islam dimaksudkan menjembatani kekurang akraban dan kekurang tertarikan madrasah di Indonesia dengan bidang studi Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris. Padahal di masa kejayaan Islam ilmu tersebut diperkenalkan dan dikembangkan oleh ilmuwan Islam, seperti Jabir ibn Hayyan, oleh orang Barat dikenal dengan "geber" adalah ahli kimia yang diakui dunia Barat. Demikian pula Musa al-Khawarizmi seorang ahli matematika yang memperkenalkan "al-gebra atau al-jabar" dan memperkenalkan angka Arab; Ibn Sina seorang ahli ket}abiban (kedokteran) yang banyak menulis buku kedokteran, dan masih banyak lagi tokoh ilmuwan Islam yang muncul di masa kejayaan Islam. Bidang studi Mafikibb berdasarkan kurikulum 1994 dirasakan sukar bagi kebanyakan guru madrasah dan pondok pesantren untuk mengajarkannya dan juga dirasakan sulit oleh para siswa. Padahal bidang studi Mafikibb merupakan aspek pendidikan yang sangat dominan dalam meningkatkan kemampuan nalar dan analisis siswa dalam mempelajari dan mengembangkan iptek.149 Melihat realitas yang demikian rupanya kejayaan Islam sangat pelan bangkitnya kembali. Salah satu sebab lagi, mengapa sejumlah pesantren dan madrasah tidak dapat mengembangkan pendidikan umum adalah karena kenyataan bahwa pendidikan umum jauh lebih mahal daripada pendidikan agama. Para guru pendidikan umum kebanyakan minta gaji yang lebih tinggi dan mereka juga segan datang ke pesantren yang terletak di pelosok. Hal ini terutama berlaku bagi guru di tingkat sekolah menengah. 150 Para guru yang demikian, sebenarnya karena mentalitas keagamaan 149

Husni Rahim, “Visi Madrasah”, http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul, 2008. 27/02/ 2010. 150

hlm. 234.

Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,

193

mereka rendah, dikarenakan terjadinya dikotomi ilmu. Para intelektual Muslim, seperti Ibnu Sina, al-Khwarizmi, al-Biruni dan lain-lain, mereka ahli dalam pengetahuan umum, karena dasar agamanya kuat maka mentalitas untuk pengabdiannya juga besar. Dengan masuknya Mafikibb ke dalam kurikulum madrasah, dan madrasah dapat mengintegrasikan kurikulumnya –ilmu umum dan agama– pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia akan dapat diperhitungkan. Tetapi dengan catatan, bahwa integrasi tersebut, jangan hanya menjumlahkan mata pelajaran -agama dan umum– seperti kurikulum madrasah tahun 1994.151 Integrasi yang dimaksud adalah integrasi secara sistem dan metode, bukan hanya content. Setelah permasalahan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam selesai secara sistem, masih ada persoalan dengan madrasah sebagai sekolah agama yang memberikan porsi utama pengajaran agama ditambah pengajaran umum sebagai ciri ke-Indonesiaan dan ke-modernan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989. "( Hal ini tampak dari data siswa yang ikut ebtan 1994/1995 ternyata murid terbanyak berada di jurusan umum – 52,11%-- yang mencakup IPS, IPA, dan Budaya. Sedangkan jurusan Ilmu Agama hanya (47,89%)." Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan umat, karena masih ada perasaan pemerintah memojokkan madrasah yang mengfokuskan pada pengajaran agama dan dengan tambahan pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama” bagi umat Islam Indonesia. Tentu prasangka ini tidak beralasan, karena memang peminat untuk memasukkan anak ke madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah agama yang pengetahuan 151

Menurut Mastuhu, dengan kurikulum madrasah tahun 1994, masih terasa sekali dikotomi ilmu –agama dan umum– lihat Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), 58.

194

agamanya lebih besar dari pengetahuan umum seperti ditunjukkan oleh data bahwa anak-anak yang memilih program pilihan agama jauh lebih kecil (48%) dari yang memilih pilihan IPS atau matematika (52%) . "(yang telah disahkan Presiden pada tanggal 8 Juli 2003 setelah melalui perdebatan panjang di masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat)".152 Melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, yaitu diakuinya madrasah sebagai suatu Sistem Pendidikan Nasional, sehingga terbuka juga peluang lulusan madrasah dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum. Menurut Danim, terbukanya peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi umum harus dimanfaatkan oleh madrasah sebaik mungkin dan harus meningkatkan kualitas153 pelajaran umum eksakta seperti Matematika, Fisika dan Biologi. Pernyataan Danim, dipertegas Akhwan, madrasah harus mendorong peserta didiknya untuk mau bekerja di bidang ekonomi, teknik, dan ilmu eksakta murni agar bidang tersebut tidak hanya dikuasai oleh lulusan non madrasah yang belum tentu memiliki mental keagamaan yang kuat.154 Pernyataan Akhwan ini memperkuat temuan bahwa walaupun

kurikulum

MA

telah

sama

dengan

SMA,

namun

MA

tetap

mempertahankan ciri khas ke-Islamanya. Masuknya pelajaran umum ke dalam kurikulum madrasah ternyata ditanggapi beragam oleh para tokoh Muslim dan lembaga pendidikan Islam. Di awal-

152

Husni Rahim, “Pengakuan Kembali Madrasah sebagai Sekolah Agama Berwawasan Umum”, dalam http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul, 2008. 27/02/2010. 153

Kualitas pendidikan menurut Danim, tidak semata-mata diukur dari mutu keluaran pendidikan secara utuh (education outcomes) akan tetapi dikaitkan dengan konteks dimana mutu itu ditempelkan dan berapa besar persyaratan tambahan yang diperlukan untuk itu. Misalnya, seorang lulusan Madrasah Aliyah untuk menduduki dunia kerja tidak perlu mendapatkan pelatihan tambahan sebelum memberikan layanan di tempat kerjanya, berarti ia adalah lulusan yang lebih bermutu daripada yang masih harus menempuh pelatihan pra penempatan dengan spesifikasi yang sama Kualitas pendidikan juga bisa diukur dari besarnya kapasitas layanan pendidikan dalam memenuhi customers needs dikaitkan dengan besarnya pengorbanan yang diperlukan untuk itu, seperti biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat atau pemerintah, lama belajar, dan biaya-biaya tidak langsung. Lihat, Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 80. 154

Akhwan, “Pengembangan Madrasah sebagai Pendidikan untuk Semua”, dalam ElTarbawi (Jurnal Pendidikan), No. 1 Vol. 1 2008, 45.

195

awal masuknya pelajaran umum ke dalam kurikulum madrasah, banyak tokoh Muslim yang tidak setuju, karena lulusan madrasah akan mandul. Dari sisi ilmu agama mereka tidak matang, dan ilmu umumnya pun masih kalah sama lulusan SMA. Sehingga ada madrasah yang tetap mempertahankan 100% pelajaran agama, seperti KMI (Kulliyatul Mu‘allimi>n al-Isla>miyah) Pondok Pesantren Modern Gontor. Ada juga yang mengikuti kebijakan pemerintah, dengan memasukan pelajaran umum secara dominan. Yang jelas ketika, hal ini ditanggapi secara sinis, adalah politis, tetapi jika ditanggapi secara lapang dada ini adalah peluang bagi madrasah untuk bangkit. 5. Madrasah Masuk Sistem Pendidikan Nasional: Leburnya Sistem Ganda Munculnya Undang-Undang Pendidikan No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah harus berbenah diri, karena dalam pasal 11 ayat (6): ”Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Pendidikan keagamaan yang dimaksud di sini tentunya madrasah. Secara spesifik dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990, pasal 3 ayat (3): “Pendidikan menengah keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Pendidikan menengah keagamaan yang dimaksud di sini tentunya Madrasah Aliyah. Cuma yang dimaksud Madrasah Aliyah di sini, Madrasah Aliyah umum atau Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), karena dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990, pasal 4 ayat (1) disebutkan: “Bentuk satuan pendidikan menengah terdiri atas, Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Menengah Keagamaan,155

155

--dimungkinkan

Dalam PP No. 29 Tahun 1990 disebutkan bahwa penamaan masing-masing bentuk sekolah menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 3 ditetapkan oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

196

MA– Sekolah Menengah Kedinasan dan Sekolah Menengah Luar Biasa”.156 Jika Madrasah Aliyah termasuk sekolah keagamaan, maka menurut penulis yang tepat adalah Madrasah Aliyah Keagamaan, bukan Madrasah Aliyah umum yang mempunyai jurusan ilmu-ilmu Fisika, ilmu Biologi, ilmu-ilmu Sosial dan Pengetahuan Budaya. Sebenarnya dilihat dari kebijakan-kebijakan tersebut di atas jelas bahwa ruang lingkup pembelajaran yang ada di madrasah dibatasi pada pengetahuan agama saja. Hal ini sangat politis, seolah-olah madrasah yang dalam bahasa Indonesianya sekolah tidak boleh berkembang layaknya sekolah-sekolah umum yang lain. Kemudian Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990, pasal 11 ayat (1) dan (2) menyebutkan: “Pengelolaan pendidikan menengah sebagai bagian dari sistem pendidikan adalah tanggung jawab menteri”.157 Menteri yang mempunyai kewenangan dalam bidang pendidikan tentunya Mendikbud. Dengan demikian Keputusan Menteri Agama (KMA), pada dasarnya menjabarkan keputusan Mendikbud. Di sini sebenarnya kelihatan unsur politisnya, nampaknya Menag hanya merujuk kepada Mendikbud, ketika ada Peraturan Pemerintah yang terkait dengan pendidikan, seperti sekolah kedinasan yang lain. Melihat hal ini sebenarnya posisi madrasah tidak mungkin sekuat sekolah, karena eksistensi madrasah layaknya sekolah kedinasan yang lain. Posisi politis yang demikian akan berimplikasi di segala hal terkait dengan perkembangan madrasah. 158 Padahal jika melihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan Agama dan pendidikan Keagamaan Bab I pasal 11 disebutkan, “Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan”. Berarti otoritas pendidikannya sebenarnya penuh, tetapi realitasnya tidak, karena dari sisi anggaran 156

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 114. Lihat juga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Bab 1 Pasal 1, 1. 157 158

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 114.

PP No. 29 Tahun 1990, masih dalam suasana Orde Baru, PP ini di tandatangani oleh Presiden Soeharto.

197

pendidikan, kucuran dana di madrasah adalah nomor dua setelah sekolah baik secara urutan maupun secara kuantitas. Dalam pasal 12 PP yang sama disebutkan, “Menteri Agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama”. Dengan demikian Menteri Agama sebenarnya punya otoritas pendidikan dan agama, seperti ketika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih menjadi satu. Tetapi realitasnya madrasah di bawah Departemen Agama marjinal dengan suatu alasan dana yang tidak sama dengan sekolah, hal ini juga politis. Argumen ini diperkuat bunyi ayat (2) PP yang sama: “Tanggung jawab sekolah menengah keagamaan dilimpahkan oleh Menteri kepada Menteri Agama”. Bunyi ayat (2) ini bila disandingkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0489/U/1992 pasal 1 butir 6: “Madrasah Aliyah adalah SMU yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama”. Ini jelas bahwa secara hirarkis, nampaknya interpretasi kebijakan pendidikan sampai tahap realisasi adalah sebagai berikut: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan baru Keputusan Menteri Agama sebagai tindak lanjut dari Keputusan Mendikbud. Dalam bahasa politis kebijakan Menteri Agama tentang madrasah tetap menduduki posisi nomor dua setelah sekolah. Merujuk Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990, pasal 4 ayat (1), pasal 11 ayat (1) dan (2) dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0489/U/1992 pasal 1 butir 6, secara politis membingungkan Madrasah Aliyah dan nasib yang kurang baik bagi MAK. Maksudnya kesulitan dalam menata. Husni Rahim memberikan beberapa alternatif, pertama, Madrasah Aliyah dijadikan dua satuan pendidikan, 1) Satuan pendidikan menengah umum yang berciri khas agama Islam yang legalitasnya didasarkan pada pelimpahan wewenang dan tanggung jawab penyelenggaraan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (SK Mendikbud No. 0489/U/1992 pasal 1 butir 6), 2) Satuan Pendidikan Menengah Keagamaan yang legalitasnya didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990 pasal 11 ayat (2). Alternatif ini didasarkan pada Keputusan-keputusan Menteri Agama, Nomor 370

198

Tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah, Nomor 371 Tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah Keagamaan, Nomor 373 tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, dan Nomor 374 Tahun 374 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan. 159 Logikanya, dengan ditetapkannya Madrasah Aliyah menjadi 2 satuan pendidikan, pada Madrasah Aliyah Negeri terdapat dua jenis lembaga yaitu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Umum dan Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN). Keberadaan MAN Umum tidak menjadi persoalan, karena dasarnya sudah ada, yaitu keputusan-keputusan Menteri Agama yang berisi penetapan keberadaan Madrasah Aliyah Negeri. 160 Tetapi secara yuridis masalah bagi MAKN, karena dalam prakteknya,

menurut

laporan

Husni

Rahim,

16

MAN

yang

sebelumnya

menyelenggarakan MAPK, mulai tahun pelajaran 1994/1995 telah melaksanakan kurikulum MAK. 161 Menurut penulis, walaupun Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Umum dijadikan menjadi dua satuan pendidikan, MAN Umum dan MAK, kalau anggaran dana dari pemerintah juga kecil dan tidak mencukupi, maka nasib peningkatan kualitas output MAN Umum dan MAK juga tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Dalam rangka peningkatan mutu MAN Umum dan MAK, lebih baiknya dijadikan dua satuan pendidikan, tetapi dana MAN Umum ditingkatkan dan dana MAK seperti pada masa MAPK. Kedua, alternatif kedua, seperti alternatif pertama, tetapi Madrasah Aliyah, disamping dibuka program-program seperti SMU, juga dibuka program Ilmu-ilmu Agama, yang dilaksanakan di kelas III, dengan demikian programnya menjadi 159

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 115. Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), diberlakukan mulai tahun Pelajaran 1994/1995, lihat, Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 374 Tahun 1993, 2. Yang menandatangani Keputusan Menteri Agama (KMA), adalah Menteri Agama, ketika KMA ini ditandatangani, Menteri Agamanya adalah Tarmizi Taher, apabila diamati, situasi politiknya adalah masih dibawah otoritas rezim orde Baru. 160

KMA Nomor 17 Tahun 1987 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri; KMA Nomor 137 tahun 1991 tentang Pembukaan dan Penegerian Madrasah; KMA Nomor 42 tahun 1992 tentang pengalihan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN); KMA Nomor 244 Tahun 1993 tentang Pembukaan dan Penegerian Madrasah. Lihat, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 115. 161

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 115.

199

Bahasa, IPA, IPS dan Ilmu-ilmu Agama. Menurut Husni Rahim jika alternatif ini dipilih, selain penetapan kelembagaan MAKN, juga perlu dilakukan penyempurnaan SK Menteri Agama Nomor 373, tahun 1993 tentang kurikulum Madrasah Aliyah.162 Menurut penulis, supaya lulusan Madrasah Aliyah umum berkualitas tetap saja membuka jurusan-jurusan umum tidak perlu membuka jurusan ilmu-ilmu agama, karena ketika dibuka jurusan ini dan dimulai kelas tiga, secara kualitas hasilnya di bawah lulusan MAKN, toh ciri khas keagamaannya sudah include dalam mata pelajaran PAI. Dengan catatan PAI di Madrasah Aliyah umum alokasi waktunya di tambah dalam rangka memenuhi target ciri khas ke-Islaman, dan alokasi waktu untuk pelajaran umum tetap sama dengan SMU. Sehingga ketika kualitasnya sama-sama baik antara Madrasah Aliyah Umum dan MAKN, maka secara market, juga dapat bersaing. Ketiga, Madrasah Aliyah menjadi satuan pendidikan sekolah menengah umum berciri khas agama Islam, seperti dimaksud dalam SK Mendikbud Nomor 0489/U/1992, tetapi disamping menyelenggarakan program-program seperti di SMU di lingkungan Depdikbud pada Madrasah Aliyah dilaksanakan Madrasa Aliyah dibuka program Madrasah Aliyah Keagamaan yang dimulai kelas satu, sebagai bagian ciri khas agama Islam. Menurut Husni Rahim, jika alternatif ini dipilih langkah yang harus segera diambil adalah penyempurnaan keputusan-keputusan Menteri Agama Nomor 370, 371, 373 dan 374 tahun 1993 untuk disesuaikan dengan alternatif tersebut.163 Secara kelembagaan cukup simpel dan lebih efesien, hanya saja ketika MAKN jadi istilah tersendiri, maka MAKN manajemennya numpang di MAN Umum. Kalau demikian realitasnya, maka lulusan MAKN juga tidak berkualitas,

162

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 116.

163

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 116.

200

akibatnya MAKN semakin tidak diminati masyarakat, lama kelamaan bisa gulung tikar. Dengan demikian keberadaan MAKN164 secara politis jadi sangat dilematis. Nampak jelas, bahwa jalan pikiran pemerintah, akan menjadikan sistem ganda, yang secara historis merupakan tuntutan tokoh nasionalis sekuler dan tokoh nasionalis Muslim, akan dijadikan satu sistem yaitu Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Sehingga, digunakan berbagai cara, bagaimana kurikulum madrasah sekaligus legalitas madrasah disamakan kedudukannya dengan sistem persekolahan. Secara politis insan madrasah dirugikan, tetapi jika disadari juga mendapat keuntungan dan peluang yang cukup besar bagi lulusan madrasah. Tinggal bagaimana, insan madrasah dapat tetap mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, karena hal ini yang membedakan secara substansial antara sistem madrasah dengan sistem persekolahan. 6. Madrasah adalah Sekolah Umum Berciri Khas Islam: Sebuah Realitas Yang Harus Diterima Lahirnya PP Nomor 29 Tahun 1990 tentang pendidikan menengah menjadi dasar bahwa Madrasah Aliyah adalah SMU/sekolah umum berciri khas Islam. Dalam PP Nomor 29 tersebut ditegaskan bahwa pada jenjang pendidikan menengah, terdapat bentuk-bentuk satuan pendidikan, yaitu sekolah keagamaan, sekolah menengah kedinasan dan sekolah menengah luar biasa. 165 Sekolah menengah keagamaan di sini berarti Madrasah Aliyah. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0489/U/1992 Tahun 1992 tentang sekolah menengah umum, ditetapkan bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dalam SK Mendikbud tersebut juga 164

Padahal dalam Keputusan Menteri Agama (KMA), dalam Bab 1 Ketentuan Umum, pasal 2 disebutkan, “Sekolah Menengah Keagamaan adalah bentuk satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama”. Kemudian dalam Bab 2, pasal 1, “Menyiapkan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam”. Lihat, Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia (KMA) No. 371 Tahun 1993 Tentang Madrasah Aliyah Keagamaan, 2. 165

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 106.

201

ditegaskan bahwa Madrasah Aliyah wajib memberikan bahan kajian sekurangkurangnya sama dengan Sekolah Menengah Umum (SMU). Dalam mata pelajaran umum, tetapi dalam mata pelajaran agama, madrasah tetap mendapat porsi lebih. Husni Rahim melaporkan, jika di SMU, alokasi waktu pelajaran agama perminggu hanya 2 jam, tetapi pada Madrasah Aliyah, 9 jam pelajaran166 --kurikulum 1994–. Dalam kurikulum 2004 dan 2006, alokasi waktu mata pelajaran agama pada Madrasah Aliyah program studi Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa167 sama persis dengan SMU. Secara umum, diakuinya madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tersurat dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU ini mengakui madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Juga berdasarkan PP. No. 28 dan 29 tahun 1989 ditetapkan, bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam. Kurikulum madrasah adalah sama dengan kurikulum sekolah, plus ciri khasnya.168 Menurut Husni Rahim, bahwa dalam memberikan ciri khas Islam pada madrasah, perlu dilakukan upaya memberikan “nuansa Islam” pada bidang studi umum (Mafikibb),169 Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris. Dengan kata lain mata pelajaran PAI berintegrasi dengan mata-mata pelajaran Mafikibb. 166

Jumlah yang demikian itu, masih dirasakan “kurang” sehingga masih ada suara, kurikulum 1994 sebagai kurikulum yang “mendangkalkan agama”. Pertanyaan sekarang, apakah ciri khas agama pada madrasah hanya menjadi tanggungjawab guru bidang studi agama, sehingga bila jam belajar bidang studi agama berkurang berarti terjadi pendangkalan agama? Ciri khas Islam pada madrasah menjadi tanggung jawab semua orang yang berkait dengan madrasah. Mulai dari kepala madrasah (pimpinan), guru (baik bidang studi agama maupun bidang studi umum), tenaga kependidikan lainnya, BP3 dan para murid sendiri. Lihat, Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Logos, 2005), 47. Bandingkan dengan hasil observasi penulis terhadap MAN Insan Cendekia, tanggal 20 Pebruari 2010, observasi MAN 1 dan 2 Serang, tanggal 25 November 2010. 167

E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), 81-85. 168 169

Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, 46.

Mafikibb, adalah Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dan Bahasa Inggris, merupakan aspek pendidikan yang sangat dominan dalam meningkatkan kemampuan nalar dan analisa siswa. Lihat, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, 47.

202

Dalam rangka menindak lanjuti Keputusan Mendikbud di atas, telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 370 tahun 1993 tentang Madrasah Aliyah. Selain

MA

sebagai

SMU

berciri

khas

Agama

Islam

yang

penyelenggaraannya didasarkan pada SK Mendikbud Nomor 0489/U/1992, Departemen Agama juga berkewajiban menyelenggarakan sekolah menengah keagamaan berdasarkan PP nomor 29 tahun 1990 pasal 11 ayat (2) yang menegaskan, “tanggung jawab pengelolaan sekolah menengah keagamaan dilimpahkan oleh Menteri (Pendidikan dan Kebudayaan) kepada Menteri Agama”. Sekolah keagamaan ini, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 371 tahun 1993, dinamakan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK).170 Intinya, walaupun kurikulum madrasah sudah didominasi oleh mata pelajaran umum secara kuantitas, tetapi PAI, harus tetap menjadi ruh dalam matamata pelajaran umum tersebut. Kemudian madrasah jangan hanya sebagai tempat menggali ilmu saja, tetapi juga sebagai tempat mengamalkan ilmu. Hal ini menjadi tanggungjawab seluruh personil madrasah, dari Kepala Madrasah sampai Office Boy (OB). Penguatan pengakuan eksistensi madrasah dalam sistem pendidikan nasional (UU No. 20 tahun 2003), hendaknya menjadikan kesempatan emas bagi insan madrasah untuk meningkatkan kualitas madrasah171 dari semua aspek, utamanya adalah aspek kurikulum. Karena sentral utamanya, politisasi sistem persekolahan terhadap madrasah adalah kurikulumnya. Dalam trend sekarang, alumni madrasah tidak hanya terampil berdo’a, tetapi mereka sudah visioner, sehingga membentuk alumni yang berwawasan luas. Seperti dikatakan Hefner, bahwa sejak tahun 1990, ia menulis beberapa sekolah Islam (madrasah) baru yang sebagian madrasah tersebut mendekati teori pergerakan sosial 170 171

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 107.

Afrianto Daud, September 2004.

“Madrasah dan Tantangan Dunia Global”, dalam Singgalang, 17

203

seperti mereka mencapai transformasi politik dan sosial dan lebih jauh lagi adalah “Islam tetapi merupakan kelompok nasionalis yang pluralis”. Dan ini adalah benar, bukan kenyataan yang ditolak minoritas, bukan berpusat pada negara, tetapi tujuannya adalah merubah warga negara dan masyarakat.172 Alumni madrasah telah terbukti dapat diterima di semua kalangan, bisa bekerja di banyak bidang pemerintahan, seperti Departemen Keuangan, Pendidikan, Hukum, Transmigrasi dan lain-lain. Pergeseran kurikulum madrasah173 sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang bersifat politis. Kebijakan tersebut membawa madrasah ke arah satu sistem pendidikan nasional, yang secara historis pada dasarnya, sistem pendidikan di Indonesia adalah sistem ganda. Bila ditinjau dari integrasi Ilmu, pergeseran kurikulum madrasah adalah ke arah mewujudkan integrasi ilmu, walaupun, banyak juga komentar miring, bahwa madrasah sudah tidak dapat mencetak ulama yang ahli agama. Tetapi sebenarnya masih ada MAK, yang secara content, muatan ilmu agamanya lebih dominan dibanding ilmu umumnya. Dari MAK ini, dapat mencetak ulama yang ahli agama.

E. Tafsir Pergeseran 1.

Bergeser Sebagaian Komponen Kurikulum Komponen kurikulum terdiri dari tujuan, isi/materi (content), pendekatan

(strategi pembelajaran), dan penilaian (evaluasi). Dari masing-masing periode kurikulum Madrasah Aliyah mengalami pergeseran. Pergeseran terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Yang dalam hal ini penulis memberi kesimpulan bahwa pergeseran kurikulum lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor 172

Hefner, (Ed.), Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast

Asia, 130. 173

Pergeseran (perubahan) kurikulum merupakan konsekwensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Lihat, “Perjalanan Kurikulum Nasional (pada Pendidikan Dasar dan Menengah)” http://www.esamrtschool.com/sptPendidikan/artikel. 28/08/2010.

204

politik. Diantara empat komponen kurikulum tersebut, jika hanya terjadi pergeseran pada salah satu komponen saja, misal komponen tujuan kurikulum, sedangkan yang lain tidak, berarti pergeseran tersebut hanya sebagaian komponen kurikulum. 2.

Bergeser Seluruh Komponen Kurikulum Seperti telah diuraikan pada bab-bab terdahulu dalam disertasi ini, bahwa

pergeseran mestilah berbeda dengan perubahan, karena pergeseran lebih cenderung pada arti perubahan hanya sebagaian, sedangkan perubahan adalah perubahan dalam arti total (revolusi). Prediksi penulis, bahwa kurikulum Madrasah Aliyah mengalami pergeseran secara menyeluruh dari masing-masing komponen kurikulum, walaupun pergeseran antar komponen kurikulum pada periode satu ke periode berikutnya tidak secara menyeluruh, artinya secara kuantitas, ada yang sedikit dan agak banyak bergesernya, yang terlalu banyak (total) tidak ada. Pada prinsipnya pergeseran menyeluruh tersebut secara kualitas mengarah pada perbaikan, penyempurnaan dan modernisasi. Untuk membuktikan tafsir ini dapat dilihat indikator pergeseran di bawah ini.

F. Indikator Pergeseran Dalam indikator pergeseran ini penulis akan menjelaskan bahwa pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Hal ini telah banyak dijelaskan sebelumnya, bahwa diantara empat komponen kurikulum yaitu tujuan, content (isi), metode dan evaluasi, yang pergeserannya dikatakan politis adalah pada content (isi) kurikulum Madrasah Aliyah, adapun komponen yang lainnya bergeser ke arah modern. 1. Tujuan Kurikulum Madrasah Aliyah Tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional, baik UU No. 4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954, yang mencitakan manusia terdidik Indonesia sebagai “manusia susila yang cakap dan demokratis serta

205

bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”, 174 atau UU no. 2 tahun 1989 yang mencitakan wujud manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”,175 dan yang terakhir UU No. 20 Tahun 2003 yang mencitakan “manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.176 Bila dibandingkan secara detel, antara tujuan pendidikan dalam UndangUndang Pendidikan tahun 1950, tahun 1989 dan tahun 2003, terdapat pergeseran secara jelas ke arah perbaikan (penyempurnaan). a. Tujuan Kurikulum MA Sebelum Muncul Secara Nasional Ketika Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1946 diberlakukan yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 tahun 1952, salah satu pesannya adalah madrasah supaya mengajarkan pelajaran umum dengan tujuan karena pelajaran umum sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari, kekurangan pengetahuan umum menyebabkan orang mudah diombang-ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran yang kurang luas.177 Berarti sebelum munculnya peraturan ini memang madrasah hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (ulu>m al-di>n), padahal ilmu umum berguna untuk menguasai dunia. Sebagai bahan pembanding, dalam sejarah kurikulum nasional setelah munculnya Undang-Undang Pendidikan tahun 1950, pada masa Orde Lama

174

Lihat, Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999), 130. 175 176 177

Lihat, Undang-Undang Nomor 2Tahun 1989, pasal 4. Lihat, UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.

Husni Rahim, “Visi Madrasah”, dalam http://www. blogger.com/feeds/35417963/posts/ defaul, 2008. 27/02/2010.

206

kurikulum terdiri dari kurikulum 1952 yang terkenal dengan nama Rentjana Pelajaran Terurai, kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional (dalam sistem persekolahan, artinya di luar madrasah, adapun madrasah ketika itu belum masuk pada sistem pendidikan nasional). Kemudian tahun 1964 pemerintah menyempurnakan kurikulum nasional dengan nama Rentjana Pendidikan 1964, dari kurikulum ini pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mempunyai pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan dan jasmani. Selanjutnya setelah tumbangnya Orde Lama dan munculnya Orde Baru, kurikulum juga mengalami pembaharuan, yaitu kurikulum 1968. Kurikulum ini mengalami perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi dari pelaksaan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Tujuan kurikulum 1968 adalah pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk kekuatan dan kesehatan jasmani, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan jasmani, moral budi pekerti dan keyakinan beragama. 178 Nampak jelas perubahan tujuan pendidikannya, dari Orde Lama ke Orde Baru, dimana pada tahun 1965 (Orde Lama) terjadi peristiwa besar G 30 SPKI, dengan demikian sentral pokoknya adalah merubah Pancasila sebagai dasar negara RI menjadi ideologi komunis, maka secara drastis pula dalam kurikulum nasional tahun 1968, tujuan pendidikannya dirubah menjadi membentuk manusia Pancasila sejati. Yang selanjutnya tujuan ini diimplementasikan dengan penataran P4 untuk para siswa, dan secara politis ternyata hal ini untuk mempertahankan kekuasaan presiden Soeharto. Dalam dunia madrasah dalam rangka merealisasikan Undang-Undang Pendidikan pertama tahun 1950, salah satu pasalnya berbunyi, “belajar di sekolah 178

http://rbaryan.wordpress.com/2007/05/16, Bagaimana Perjalanan Kurikulum Nasional. 07/05/2010. Lihat pula, Direktorat Pendidikan Umum, Kejuruan dan Kursus-kursus, Rencana Pendidikan dan Pelajaran SMA (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969), 7.

207

Agama yang telah mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar”.179 Maka Departemen Agama RI mendirikan MWB (Madrasah Wajib Belajar) tahun 1958/1959, pada saat ini menteri Agamanya adalah KH. Moh. Ilyas. Pendirian MWB bertujuan untuk pembangunan jiwa bangsa guna kemajuan di lapangan ekonomi, industrialisasi dan swadaya. Di MWB anak tidak hanya dididik pengetahuan umum dan agama180 tetapi juga ketrampilan, untuk mendukung kesiapan siswa berproduksi dengan swadaya dan ketrampilan yang di peroleh di MWB.181 MWB memadukan tiga kemampuan, yaitu kemampuan otak atau akal, hati atau perasaan dan tangan atau kecekatan. Kurikulum MWB yang pada zaman sekarang disebut dengan “life skills”.182 Bila diamati lebih teliti, sebenarnya para pemikir Departemen Agama sudah cukup maju, KH. Wahid Hasyim yang mencoba memasukan pelajaran umum ke dalam madrasah, disusul KH. Moh Ilyas yang mencoba menggagas MWB, dimana dalam MWB ini disamping dipelajari ilmu agama dan umum, juga plus ketrampilan, gagasan Ilyas, pada waktu itu, selangkah lebih maju. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, kebijakan dalam beberapa hal mengenai madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan Orde Lama. Pada saat ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan secara nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Hal ini disebabkan karena kenyataan bahwa sistem pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum berstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan

179

Dapartemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001), 18. 180

Bahkan disebutkan bahwa pengetahuan agamanya hanya 25 %, hal ini yang kemudian menjadi pemicu, bahwa MWB tidak memenuhi standar pendidikan Islam, akhirnya MWB pun gulung tikar. Lihat, Jumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan di Indonesia Khusus Madrasah (Bandung: CV. Ilmu, 1976), 227. 181

http://www.husnirahim.com. 08/12/2010.

182

Dapartemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 19.

208

managemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.183 Walaupun dua Menteri Agama (KH. Wahid Hasyim dan KH. Moh Ilyas) berusaha memasukan pelajaran umum dalam madrasah, tetapi belum cukup berarti bagi eksistensi madrasah secara umum, nyatanya pada zaman ini muatan-muatan agama masih cukup mendominasi daripada muatan umumnya. Praktis, kurikulum madrasah belum tersusun secara nasional,

dengan

demikian,

maka

tujuan

kurikulumnyapun

belum

dapat

teridentifikasi, kecuali melalui peraturan Menteri Agama dan MWB yang telah diuraikan. b. Tujuan Kurikulum MA Tahun 1973 Kurikulum madrasah tahun 1973 ini merupakan hasil dari pertemuan di Cibogo, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 10-20 Agustus 1970, pada saat ini kurikulum madrasah disusun dari semua tingkatan secara nasional. Kurikulum madrasah secara nasional ini disusun dalam usaha supaya madrasah diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional. Dengan demikian, berarti tujuan kurikulum Madrasah Aliyah saat ini, secara umum tidak beda dengan tujuan kurikulum SMA tahun sebelumnya yaitu kurikulum tahun 1968, tujuannya adalah membentuk manusia Pancasila sejati, walaupun secara spesifik tujuan ini pastinya berbeda dengan kurikulum Madrasah Aliyah. Berdasarkan keputusan Menteri Agama No. 52 tahun 1971, dengan berbagai perbaikan dan penyempurnaan, maka kurikulum ini dikenal dengan kurikulum madrasah tahun 1973.184 Dengan tersusunnya kurikulum madrasah secara nasional, posisi madrasah secara politis menjadi kuat di bawah otoritas Departemen Agama RI. c. Tujuan Kurikulum MA Tahun 1976 Kurikulum MA Tahun 1976, adalah disusun berdasarkan kurikulum SKB Tiga Menteri tahun 1975. Tujuan Institusional Umum (TIU) pada kurikulum

183

Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, 132.

184

Lihat, Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, 142.

209

Madrasah Aliyah 1976,185 sesuai Keputusan Menteri Agama no. 75 tahun 1976 pasal 3 adalah sebagai berikut: (1) menjadi seorang Muslim yang bertaqwa, berakhlak mulia, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, (2) menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air, (3) menjadi manusia yang berkepribadian bulat dan utuh, percaya pada diri sendiri, sehat rohani dan jasmani, (4) memiliki pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan yang lebih luas serta sikap yang diperlukan untuk melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi atau untuk dapat bekerja dalam masyarakat sambil mengembangkan diri untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, (5) memiliki pengetahuan agama dan umum yang lebih luas dan mendalam serta pengalaman, ketrampilan dan kemampuan, yang diperlukan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, (6) mampu melaksanakan tugas hidup dalam masyarakat dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa guna mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.186 Tujuan ini cukup ideal, untuk membentuk manusia yang mempunyai kepribadian utama secara komprehensip. Pada saat kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1976, Menteri Agamanya adalah A. Mukti Ali. 187 Tugas Mukti Ali sebagai Menteri Agama cukup berat, digambarkan oleh Ali Munhanif, mentransformasikan sikap dan pandangan 185

Konsep kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efesien, yang mempengaruhinya adalah konsep di bidang manajemen, yaitu Management by Objective, http://viendutzz.com/2009/11/perbedaan-kurikulum-1975-1984-1994-204.com. 10/08/2010. 186

Lihat, KMA No. 75 Tahun 1976, pasal 3. Lihat pula, Keputusan Menteri Agama (KMA) RI No. 75 tahun 1976 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 3-6. Sejak diberlakukannya kurikulum 1975, yang waktu itu dikenal dengan sebutan pembakuan kurikulum, para guru diwajibkan menggunakan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) dalam melaksanakan tugasnya dari mulai perencanaan pengajaran, pelaksanaan proses belajar-mengajar sampai evaluasi pengajaran. Kewajiban itu merupakan implikasi dari penggunaan prinsip objective oriented sebagai salah satu asas pengembangan kurikulum. Penerapan prinsip berorientasi pada tujuan ini nampak pada kurikulum 1975 dengan dicantumkannya berbagai jenis tujuan yang tersusun secara hirarkhis, dari mulai Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Kurikuler sampai ke Tujuan Instruksional Umum. Atas dasar tujuan-tujuan itu, guru diwajibkan mengembangkan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) untuk diusahakan pencapaiannya pada proses belajar-mengajar yang diselenggarakannya. Lihat, http://www.infodiknas.com/manfaat-tujuan-pembelajaran-khusus-dalam-proses-belajar-mengajar. 26/05/2010. 187

Lihat, Keputusan Menteri Agama (KMA) RI No. 75 tahun 1976 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 12.

210

keagamaan umat beragama Indonesia

--Muslim khususnya– sedemikian rupa,

sehinga melicinkan jalan bagi konsolidasi kekuasaan Orde Baru dan untuk kemudian, mempersiapkan landasan bagi program-program modernisasi. Karena tantangan itu, Mukti Ali lalu mengadakan reorientasi kebijakan pemerintah dalam bidang politik – keagamaan. Pada periode kementeriannya, wacana keagamaan di Indonesia diwarnai reorientasi total hampir di seluruh aspek kehidupan masyarakat; mulai dari konsep negara modern yang cocok bagi kultur keagamaan Indonesia, pembaharuan pemikiran, dialog antar umat beragama, modernisasi lembaga keagamaan, hingga pembaharuan kurikulum lembaga pendidikan agama. 188 Sebagai kaum akademisi yang ulama, Mukti Ali, sangat tepat jika mengadakan modernisasi lembaga pendidikan Islam dan pembaharuan kurikulum madrasah. Oleh karena itu kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1976, inipun sudah lebih baik bila dibanding kurikulum sebelumnya. d. Tujuan Kurikulum MA Tahun 1984 Dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia No. 101 tahun 1984 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, 189 disebutkan pada pasal 2, pendidikan Madrasah Aliyah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pada pasal 3 diuraikan lebih rinci, bahwa tujuan pendidikan Madrasah Aliyah adalah untuk menunjang tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional, dan dijabarkan ke dalam tujuan umum sebagai berikut: (a) mendidik para siswa untuk menjadi manusia yang bertakwa, berakhlak mulia, sebagai Muslim yang menghayati dan mengamalkan 188

Ali Munhanif, “Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru”, dalam, Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Ed.) (Jakarta: INIS, 1998), 272. 189

Kurikulum 1984 mengusung process skill approach, yang senada dengan tuntutan GBHN 1983 bahwa pendidikan harus mampu mencetak tenaga terdidik yang kreatif, bermutu, dan efisien bekerja. Kurikulum 1984 tidak mengubah semua hal dalam, kurikulum 1975, meski mengutamakan proses tapi faktor tujuan tetap dianggap penting. Oleh karena itu kurikulum 1984 disebut kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi Siswa dalam kurikulum 1984 diposisikan sebagai subyek belajar. Dari hal-hal yang bersifat mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan, menjadi bagian penting proses belajar mengajar, inilah yang disebut konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). http://viendutzz.com/2009/11/perbedaan-kurikulum-1975-1984-1994-204.com. 10/08/2010.

211

ajaran agamanya, (b) mendidik para siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warga negara Indonesia yang berpedoman kepada Pancasila dan UUD 1945, (c) memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke IAIN dan ke perguruan tinggi lainnya, (d) memberi bekal kemampuan yang diper1ukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke tingkat akademi) politeknik, program diploma dan pendidikan tinggi lainnya yang setingkat, (e) memberi bekal kemampuan bagi siswa yang akan terjun ke dunia kerja setelah menyelesaikan pendidikannya.190 Hal ini sejalan dengan tuntutan GBHN 1983, bahwa pendidikan harus mampu mencetak tenaga terdidik yang kreatif, bermutu, dan efisien bekerja.191 Pada saat kurikulum Madrasah Aliyah 1984, Menteri Agamanya adalah Munawir Sjadzali. 192 Ketika Munawir menjadi Menteri Agama, ada tarik menarik antara tokoh Islam dan nasionalis, dimana tokoh Islam menghendaki negara Islam, sementara tokoh nasionalis tetap mengendaki Indonesia berdasarkan Pancasila. Ketegangan yang demikian dicairkan oleh Munawir, dengan menulis buku tentang politik Islam yang dicetak sebanyak 5000 eksemplar, habis terjual dalam tempo singkat, selama 4 bulan. Subtansi pemikiran Munawir, “tidak ada ketetapan doktrinal yang mengharuskan kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam”.193 Dengan demikian, kehadiran Munawir menjadi Menteri Agama, adalah mencairkan ketegangan ideologis.

190

Keputusan Menteri Agama (KMA) RI No. 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah

Aliyah, 3. 191

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html, 19 Mei 2008. 25/07/2010. 192

Keputusan Menteri Agama (KMA) RI No. 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah

Aliyah, 7. 193

Baca, Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, dan Arief Subhan, “Munawir Sjadzali, MA, Pencairan Ketegangan Ideologis”, dalam, Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, 371-372.

212

e. Tujuan Kurikulum MA tahun 1994194 Lahirnya Undang-Undang Pendidikan No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjadi pemicu lahirnya kurikulum 1994, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki ketrampilan dan pengetahuan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.195 Tujuan kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994, tentunya merujuk kepada UU tersebut. Pendidikan menengah bertujuan: (1) meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dan mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian; (2) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya. 196 Dengan mengacu kepada tujuan pendidikan menengah dan kepada pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Namor 29 Tahun 1990, pendidikan pada Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) bertujuan menyiapkan siswa dalam penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama Islam yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi; untuk mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian; serta untuk menjadi anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan 194

Kurikulum 1994 adalah seperangkat rencana/peraturan yang menekankan pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan kurikulum 1994 adalah seperangkat rencana/peraturan yang menekankan pada Cara Belajar (CBSA) secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan. Lihat, http://viendutzz.com/2009/11/perbedaan-kurikulum-1975-1984-1994-204.com. 10/08/2010. 195

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html, 19 Mei 2008. 25/07/2010. Lihat juga, UU No. 2 Tahun 1989. 196

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990, pasal 2.

213

lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya. 197 Menteri Agama yang berkuasa, ketika kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1994 berlaku adalah Tarmizi Taher. Dalam bidang pendidikan kebijakannya adalah berusaha meningkatkan citra Departemen Agama, mengangkat mutu sekolah yang dikelola Departemen Agama serta menata IAIN, melahirkan STAIN. 198 Tarmizi, juga menghasilkan kebijakan, menyekolahkan pejabat Depag ke luar Negeri, termasuk para karyawan dan dosen-dosen IAIN maupun STAIN. Yang tidak kalah menariknya kebijakan Tarmizi, yang menyerukan 70% para kakanwil Depag harus berpendidikan minimal S1. Menurut Tarmizi, sekolah Depag, mulai dari tingkat dasar (Ibtidaiyah) hingga lanjutan (Tsanawiyah dan Aliyah) harus berkualitas lebih dibanding sekolah umum. Menurut Tarmizi, sekolah yang dikelola Depag seharusnya punya nilai plus karena selain tetap menerapkan kurikulum sekolah umum, juga punya

tambahan bobot pelajaran pendidikan

keagamaan. Semua orang tua sesungguhnya menginginkan anak-anaknya mendalami pelajaran agama. Orang tua menginginkan anak-anaknya dapat tetap terbina akhlak dan moral agamanya, tapi juga menginginkan anaknya tidak tertinggal dalam pengetahuan umum. Karena itu Tarmizi menekankan sekali perlunya peningkatan kualitas guru mata pelajaran umum. 199 SDM

madrasah mulai membaik, dengan

kebijakan Tarmizi. Sebelum muncul kurikulum 2004, diawali dengan kurikulum suplemen 1999, walaupun kurikulum ini tidak terkenal, seperti kurikulum sebelumnya tahun 1994, dan kurikulum setelahnya 2004. Dalam filosofi kebijaksanaan dan strategi pendidikan nasional tahun 1999 dijabarkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia adalah terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang bercirikan: demokratis, kepastian hukum, egalitarian, penghargaan yang tinggi terhadap human dignity,

197

KMA No. 374 Tahun 1993 Tentang Kurikulum MAK, 9.

198

Usep Fathudin, H. Tarmizi Taher, Globalisasi Kerukunan, dalam, Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, 417. 199

Usep Fathudin, “H. Tarmizi Taher, Globalisasi Kerukunan”, dalam, Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, 436-437.

214

kemajuan budaya dan bangsa dalam satu kesatuan, dan religious.200 Tujuan ini sebenarnya tidak secara spesifik mengarah kepada Madrasah Aliyah, tetapi menjadi gambaran umum bahwa dalam dunia Madrasah Aliyahpun tujuan kurikulumnya ikut dimodernisir, sebagaimana terlukis dalam tujuan kurikulum suplemen 1999. f. Tujuan Kurikulum MA Tahun 2004201 Kurikulum ini disebut

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).202

Penyelenggaraan pendidikan Madrasah Aliyah (MA) setingkat dengan pendidikan umum, bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan demokratis; menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi; memiliki etos budaya kerja; dan dapat memasuki dunia kerja atau dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dengan kata lain tujuan pendidikan Madrasah Aliyah (MA) adalah memproduk lulusan yang bisa masuk ke perguruan tinggi umum dan agama serta dapat diterima bekerja sesuai dengan kebutuhan pasar.

200

Alexander Jatmiko Wibowo dan Fandy Tjiptono, Pendidikan Berbasis Kompetensi (Ed.) (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2002), 184. 201

Kurikulum 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Lahir sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya UU No. 2 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, dan Tap MPR No IV/MPR/1999 tentang arah kebijakan pendidikan nasional. KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan. Kompetensi dimaknai sebagai perpaduan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, dan bertindak. Seseorang telah memiliki kompetensi dalam bidang tersebut yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari. http://viendutzz.com/2009/11/perbedaan-kurikulum-1975-1984-1994-204.com. 10/08/2010. 202

Kebanyakan tafsir kompetensi, hampir mirip (seragam), Jones, mendefinisikan kompetensi, sebagai suatu pengetahuan dan ketrampilan khusus (specific) dan cara penerapan pengetahuan serta ketrampilan tersebut mengikuti sebuah baku kinerja (standard performance) yang ditetapkan”. Sedang Taylor-Powell, memberikan arti kompetensi, sejumlah pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan untuk melakukan tugas atau rencana tertentu. Lihat, Taylor-Powell, Competence in Extension Education Evaluation, What is it? What Does Capacity Building Entail? Hear it From the Board. Januari, 2002. Sedangkkan Risher mengatakan, kompetensi adalah kemampuan yang menyumbangkan tercapainya keberhasilan kinerja. Lihat, H. Risher, Paying for Employee Competence. School Administrator, 2000.

215

Sebagai implementasi dari tujuan tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk kompetensi lulusan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Untuk kompetensi lulusan Madrasah Aliyah dapat dilihat sebagai berikut : (a) berprilaku dalam kehidupan sosial sehari-hari sesuai dengan ajaran agama Islam; menjalankan hak dan kewajiban; berpikir logis dan kritis terutama dalam memecahkan masalah, kreatif dalam berkarya; beretos kerja secara produktif; kompetitif, kooperatif dan mampu memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab, (b) menginternalisasi nilai agama dan nilai dasar humaniora yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat serta menunjukan sikap kebersamaan dan saling menghargai dalam kehidupan yang pluralis, (c) memiliki wawasan kebangsaan dan bernegara, (d) berkomunikasi secara verbal baik lisan maupun tertulis sesuai dengan konteknya melalui berbagai media termasuk teknologi informasi, (e) memanfaatkan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki untuk hidup di masyarakat, (f) memanfaatkan pengetahuan dan kecakapan melalui belajar secara mandiri dalam rangka membangun masyarakat belajar, (g) gemar berolahraga dan menjaga kesehatan, membangun ketahanan dan kebugaran jasmani, (h) berekspresi dan menghargai seni dan keindahan, (i) mengembangkan pengetahuan dan keterampilan akademik (kerangka dasar dan struktur kurikulum 2004 untuk MA).203 Perbedaan kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1973, 1984, 1994 dan 2004 adalah sangat kelihatan secara tajam di kurikulum 2004, karena beralih ke kompetensi dan berorientasi proses serta tujuan (hasil), hal ini berbeda dengan kurikulum sebelumnya. g. Tujuan Kurikulum MA Tahun 2006. Kurikulum 2006 yang juga disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).204 Dalam kurikulum ini, tidak ada perbedaan antara kurikulum sekolah

203

Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004 (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2004). 204

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan serta

216

dengan kurikulum madrasah, baik dari segi tujuan, content (isi), strategi (metode) pembelajaran, maupun evaluasinya.205 Oleh karena itu tujuannya pun sama, yaitu “tujuan pendidikan menengah (SMA/MA) adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut”.206 Adapun tujuan yang diharapkan dari penyelenggaraan

pendidikan di

Madrasah Aliyah adalah; (1) terlaksananya Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAIKEM) dan kekompakan (team teaching) untuk lebih mengoptimalkan SDM guru dan mencegah terjadinya kekosongan jam pelajaran sehingga setiap siswa berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki, (2) penerapan evaluasi dan penilaian hasil belajar (ulangan blok dua kali dalam satu semester dan ulangan blok bersama akhir semester) secara konsisten dan berkesinambungan, (3) optimalisasi pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan, (4) memotivasi dan membantu peserta didik untuk pengembangan diri dalam mengenali potensi diri dan minat melalui program bimbingan konseling sehingga setiap siswa dapat berkembang secara optimal, (5) optimalisasi pelayanan terhadap peserta didik dengan melengkapi sarana dan prasarana penunjang proses pembelajaran, (6) optimalisasi pengembangan diri dalam hal minat dan bakat siswa melalui program bimbingan konseling dan ekstrakurikuler (KIR, Pramuka, PMR, Seni, Olah Raga, dan Ketrampilan lain yang relevan) sehingga setiap siswa dapat

berpedoman pada panduan yang telah disusun oleh BNSP (Badan Standar Nasional Pendidikan), lihat, PP No.19 Th.2005, Pasal 17. 205

Baca, Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 335. 206

Henny Riandari, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA dan MA: Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Ria Setyo Mardani (Ed.), (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007), 3. Baca juga, Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 335.

217

mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal. 207 Bila diamati secara teliti, tujuan penyelenggaraan Madrasah Aliyah ini, telah mengalami pergeseran yang cukup berarti ke arah modernisasi pendidikan. Kurikulum Madrasah Aliyah sebelum tahun 1973 dan pada tahun 1973 – dimana kurikulum madrasah telah tersusun secara nasional– secara khusus tidak menyebutkan tujuan kurikulumnya, hanya saja bila berkiblat dengan kurikulum nasional,

maka

tujuannya

adalah

pengembangan

moral,

kecerdasan,

emosional/artistik, keprigelan dan jasmani (kurikulum 1964) serta membentuk manusia Pancasila sejati (kurikulum 1968). Hal ini mengalami perubahan yang berarti dengan kurikulum setelahnya. Pergeseran juga terjadi dari kurikulum 1973 ke kurikulum 1976. Karena kurikulum 1976 sudah lebih matang dan SKB yang secara substansi menekankan 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama telah ditetapkan dan disepakati. Selanjutnya, dalam kurikulum MA tahun 1976 tidak disebut, siap terjun dalam dunia kerja, sementara dalam kurikulum MA tahun 1984, hal tersebut tersurat. Adapun unsur yang lain seperti bertakwa, berakhlak mulia, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, menjadi warganegara yang baik, punya ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, sama persis. Dengan demikian kurikulum MA tahun 1976 ke kurikulum MA tahun 1984, mengalami pergeseran, yaitu penambahan siap terjun dalam dunia kerja. Pada kurikulum MA tahun 1994 ada penambahan secara substansial yaitu mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Dan menjadi anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitarnya. Di sini jelas, bahwa dari kurikulum MA tahun 1984 ke kurikulum MA tahun 1994, mengalami dinamisasi pergeseran yang cukup berarti. Dalam kurikulum MA tahun 2004 ada penambahan bahwa tujuan kurikulum Madrasah Aliyah (MA) adalah memproduk lulusan yang 207

Departemen Agama, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah Aliyah (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Depag RI, 2007), 3.

218

bisa masuk ke perguruan tinggi umum dan agama serta dapat diterima bekerja sesuai dengan kebutuhan pasar. Pergeseran tujuan kurikulum MA tahun 1994 ke 2004 kelihatan sekali pergeserannya, bahwa lulusan MA harus menguasai dua disiplin ilmu yaitu agama dan umum serta mampu bersaing dalam dunia kerja. Kemudian dalam tujuan kurikulum 2006 terjadi penambahan yang cukup berarti, ketika kita tidak jeli dan teliti, nampaknya tidak ada pergeseran, penambahan itu adalah ketrampilan untuk hidup mandiri. Di sini pun telah terjadi pergeseran yang cukup berarti. Dari analisis per periode tujuan kurikulum MA, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran ke arah dinamis (perbaikan dan penyempurnaan) dari tujuan kurikulum MA sejak sebelum kurikulum MA muncul secara nasional –sebelum tahun 1973–

sampai

kurikulum MA tahun 2006.

2. Isi Kurikulum Madrasah Aliyah a. Isi Kurikulum MA Sebelum Muncul Kurikulum Madrasah Secara Nasional Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1946 (tentang pemberian bantuan madrasah), dalam peraturan ini diberi tambahan tentang pemberian pengajaran mata pelajaran umum, jumlah jam pelajaran umum minimal sepertiga dari jumlah jam secara keseluruhan. Adapun mata pelajarannya meliputi, Bahasa Indonesia, Berhitung dan Membaca serta Menulis untuk madrasah tingkat rendah, sedangkan untuk madrasah lanjutan diberi tambahan, Ilmu Bumi, Sejarah, Kesehatan, Tumbuhtumbuhan dan Alam. Sebenarnya hal ini merupakan usaha KH. Wahid Hasyim ketika menjadi Menteri Agama (1949-1952). Dengan alasan supaya tidak terjadi dualisme yang tajam antara madrasah dan sekolah. 208 Diam-diam ide Hasyim ini adalah politis, dimana negara ini mempunyai sistem pendidikan yang dualistik, dengan posisi madrasah yang marjinal, seolah-olah Hasyim mau berusaha menyamakan kedudukan antara madrasah dengan sekolah.

208

Dapartemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 16.

219

Peraturan tersebut di atas, kemudian disempurnakan oleh Peraturan Menteri Agama No. 7 tahun 1952 yang berlaku di seluruh Wilayah Negara RI, dalam peraturan ini madrasah dibagi menjadi tiga, Madrasah Rendah (yang sekarang dikenal dengan Madrasah Ibtidaiyah), masa belajar 6 tahun. Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (sekarang Madrasah Tsanawiyah), lama belajar 3 tahun. Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Madrasah Aliyah) lama belajar 3 tahun. 209 Masa ini –ketika Menteri Agamanya KH. Wahid Hasyim– secara kelembagaan sebenarnya, madrasah sudah mulai tertata dengan baik. Namun demikian, kurikulum madrasah belum muncul secara nasional, artinya kurikulum madrasah masih ditentukan oleh lembaga madrasah masingmasing. Dalam arti lain kurikulum madrasah masih beragam. Penulis akan memperlihatkan keragaman dan dominasi mata pelajaran agamanya sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n. Adapun sebagai contohnya adalah rencana pelajaran madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta (tahun 1959), rencana pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor (1958) dan rencana pelajaran Sekolah Guru P.U.I 6 tahun (1958). Isi rencana pelajaran Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dibagi menjadi dua yaitu agama dan umum, adapun agama meliputi mata pelajaran; Tauhid, al-Qur’an (terdiri dari Hafalan, membaca, Tajwid, Terjemah, dan Tafsir), Hadis/Must}alah, Fikih/Ushul, dan Tarikh. Umum meliputi mata pelajaran; Bahasa Arab (terdiri dari Mut}ala’ah, Imlak, Nahwu/S}araf, dan Khat), Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu pasti (terdiri dari al-Jabar, Ilmu Ukur, Berhitung/Ilmu Hitung, Hitung Dagang, Pengetahuan Dagang, Ilmu Alam, Ilmu Hayat/Hegien, Ilmu Bumi (terdiri dari Pengetahuan Peta, Alam/Pasti, dan Ekonomi), Sejarah Indonesia/Umum, Tata Negara, Menulis latin, Menggambar, Seni Suara, Pendidikan Jasmani, Ilmu Guru (terdiri dari Ilmu Mendidik, Ilmu Jiwa), Ekonomi/Ethnologi, Filsafat/Peng.

209

http://www.husnirahim.com. 12/08/2010. Lihat juga Dapartemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 16.

220

Agama, Ke-Muhammadiyahan, Kepanduan.210 Adapun alokasi waktu perminggu rata-rata 42 jam pelajaran. Jumlah jam pelajaran rumpun mata pelajaran PAI adalah 21 jam pelajaran perminggu sedang sisanya 21 jam pelajaran untuk mata pelajaran umum. Bila diprosentasekan maka, pelajaran agama: 21:42x100%= 50%, dan mata pelajaran umum juga sama yaitu: 21:42x100%= 50%. Di sini kelihatan bahwa perbandingan antara mata pelajaran agama dan umum seimbang, walaupun jenis mata pelajaran umum lebih banyak, tetapi alokasi waktunya lebih diperbesar mata pelajaran agama. Coba kita bandingkan dengan isi rencana pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor. Mata pelajarannya diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Bahasa Arab, Ilmu-ilmu Agama dan Ilmu-ilmu Umum. Untuk kelompok bahasa Arab pelajarannya meliputi; Imlak, Mengarang/Pidato, Membaca, Hafalan, Khat, Nahwu/S}araf, Balaghah, dan Adab Lughah. Untuk kelompok ilmu-ilmu Agama, mata pelajarannya meliputi; al-Qur’an, Tajwid, Tafsir, Hadis, Must}alah Hadis, Ushul Fikih, Aqaid/Agama, Mantiq, dan Tarikh Islam. Dan untuk kelompok mata pelajaran ilmu-ilmu umum mata pelajarannya terdiri dari; Berhitung, al-Jabar, Ilmu Ukur,

Ilmu

Alam,

Ilmu

Hayat,

Sejarah

Indonesia/Umum,

Ilmu

Bumi,

Pendidikan/Ilmu Jiwa, Praktek Mengajar, Gerak badan, Menggambar/Seni Suara, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.211 Adapun jumlah alokasi waktu perminggu adalah 39 jam pelajaran, dibagi menjadi dua, untuk pelajaran rumpun PAI 22 jam pelajaran perminggu, sisanya 17 jam pelajaran untuk mata pelajaran umum. Bila diprosentasekan, mata pelajaran agama: 22:39x100%= 56,4%, dan mata pelajaran umum: 17:39x100%= 43,6%. Hal ini terlihat bahwa pelajaran agama lebih dominan alokasi waktunya dibanding dengan mata pelajaran umum.

210

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), 273-274. 211

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 252.

221

Selanjutnya kita bandingkan lagi dengan isi rencana pelajaran sekolah guru P.U.I 6 tahun yang diklasifikasikan menjadi pokok, penting dan pelengkap. Untuk kelompok mata pelajaran pokok meliputi; al-Qur’an/Tafsir, Hadis/Must}alah, Tauhid/Mantiq, Bahasa Arab, Fikih/Ushul, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Daerah, Ilmu Guru/Jiwa, Ilmu Bumi/Alam, Sejarah Indonesia/Umum, Tata Negara, dan Ekonomi. Kelompok penting, mata pelajarannya terdiri dari; Tarikh Islam/Kebudayaan, Faraidl, Akhlak, Ilmu Hayat, Al-Jabar, Ilmu Ukur, Ilmu Alam, dan Ilmu Kimia. Dan untuk kelopok pelengkap, mata pelajarannya meliputi; AlAdyan, ‘Arudl, Miqat, Ilmu Berhitung, Gerak Badan, Menggambar/Menulis, Seni Suara, Kerajinan tangan/Pertanian, Etnologi/Sosiologi dan Kepanduan.212 Adapun jumlah alokasi waktu jam pelajaran perminggu adalah 42 jam pelajaran. Mata pelajaran agama mempunyai alokasi waktu 22 jam pelajaran perminggu sedang sisanya mata pelajaran umum, yaitu 20 jam pelajaran perminggu. Bila diprosentasekan maka, rumpun pelajaran agama: 22:42x100%= 52,4%, dan mata pelajaran umum: 20:42x100%= 47,6%. Di sini kelihatan dominasi pelajaran agamanya. Melihat perbandingan prosentase pelajaran agama dan umum pada masa kurikulum sekitar tahun 1958, dimana belum ada kurikulum madrasah yang bersifat nasional, maka dapat dilihat pelajaran agama lebih dominan. Isi rencana Pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor, mata pelajaran agama 56,4%, isi rencana pelajaran sekolah guru P.U.I 6 tahun, agama 52,4%. Dan untuk isi rencana pelajaran Mu’allimin Yogyakarta imbang antara pelajaran agama dan umum yaitu 50%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prosentase mata pelajaran agama dan umum masing-masing madrasah sebelum tahun 1973 adalah beragam, dalam arti belum seragam. Dan lebih cenderung dominasi ke mata pelajaran agama karena sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n.

212

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 295.

222

Pada saat ini madrasah belum merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama, karena muatan (isi) kurikulum didominasi oleh muatan-muatan agama, 213 menggunakan kurikulum yang belum standar, memiliki struktur yang belum seragam, dan menggunakan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.214 b. Isi kurikulum MA Tahun 1973 Kurikulum madrasah 1973, merupakan kurikulum madrasah yang baru secara nasional, yang merupakan hasil pertemuan pada tanggal 10-20 Agustus 1970 di Cibogo, Bogor.215 Ketika diberlakukannya kurikulum MA tahun 1973, dibuka jurusan yaitu, 1) jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), 2) jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), 3) jurusan Bahasa, 4) jurusan Agama (Syari’ah), dan 5) jurusan Qodlo (Peradilan Agama).216 Mata pelajaran diklasifikasikan menjadi empat, yaitu dasar, pokok, khusus dan ekstrakurikuler. Adapun untuk kelompok dasar mata pelajarannya meliputi Tafsir/Ilmu Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Tauhid, Kewarga Negaraan, Bahasa Indonesia dan Penjas. Untuk kelompok pokok mata pelajarannya meliputi Fikih/Ushul Fikih, Tarikh Tasyrikh, Sejarah Islam, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Sejarah Kebudayaan, Ilmu Pasti, IPA, Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Biologi, Ekonomi/Koperasi, Hitung Dagang, Tata Buku. Dan untuk kelompok khusus, mata pelajarannya meliputi, Menggambar/Seni, Prakarya/PKK. Serta ekstrakurikulernya

213

Kalau ada keluhan tentang pesantren dan madrasah isinya hampir selalu bukan tentang pendidikan agama yang kurang, namun keluhan hampir umum yaitu kurangnya pendidikan umum yang tidak setaraf dengan sekolah semacam dan tidak mempunyai efek sipil dalam masyarakat. Lihat, Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 214. 214

Dapartemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 23.

215

Dapartemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 24.

216

Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia, Solusi dan Jawaban Pelbagai Problem MA Umum, MA Program Khusus, MA Ketrampilan, MA Model dan MA Diniyah. Lihat juga, Abd Rahman Saleh, Penyelenggaraan Madrasah, Petunjuk Pelaksanaan Administrasi dan Teknis Pendidikan (Jakarta: Dharma Bhakti, 1984), 23-24.

223

adalah Kepramukaan dan Koperasi. 217 Mata pelajaran MA saat ini sudah cukup mewarnai pengetahuan umum bila dilihat dari alokasi waktu yang tersedia, yaitu jumlah alokasi waktu pelajaran agama perminggu 12-14 jam pelajaran, sementara pelajaran umum 31-34 jam pelajaran. Sedangkan jumlah jam pelajaran perminggu secara keseluruhan adalah 48 jam pelajaran.218 Bila diprosentase, maka jumlah jam pelajaran agama perminggu: 14:48x100%= 29,2%. Sedangkan jumlah jam pelajaran untuk mata pelajaran umum perminggu bila diprosentase: 34:48x100%= 70,8%. Dengan demikian isi kurikulum MA 1973 sudah mulai didominasi mata pelajaran umum. c. Isi Kurikulum MA Tahun 1976 Munculnya kurikulum SKB Tiga Menteri Tahun 1975 adalah mendasari lahirnya kurikulum MA Tahun 1976. Kurikulum ini, memuat 30% mata pelajaran agama219 dan 70 % mata pelajaran umum. Dalam kurikulum Madrasah Aliyah 1976, sebaran mata pelajaran diklasifikasikan berdasarkan program, yaitu program umum, meliputi Akhlak – Ilmu Tauhid, al-Qur’an Hadis, Syari’ah, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Olah Raga– Kesehatan, Pendidikan Kesenian. Jenis mata pelajaran yang termasuk program umum ini wajib diikuti oleh semua siswa. Program akademis, mata pelajaran yang termasuk program ini disesuaikan dengan jurusan yang ada di Madrasah Aliyah. Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), mata pelajarannya meliputi; Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), (Fisika, Kimia, Biologi) termasuk yang mayor, (Menggambar, Gambar Antariksa, Bahasa Asing) termasuk yang minor. 217

Departemen Agama RI, Rekapitulasi Kurikulum 1973 untuk MIN 7 Tahun, MTs. A.I.N 3 Tahun, dan MA AIN (Jakarta: Direktorat Bimas Islam Departemen Agama RI, Almanak 1974), 196200. 218

Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

1999), 145. 219

Keputusan Menteri Agama No. 75 tahun 1976 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, 2.

224

Jurusan Bahasa, mata pelajarannya meliputi; Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, Matematika, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Sosial, (Bahasa Asing, Sejarah, Geografi/Antropologi, Bahasa Daerah) termasuk yang mayor, (Menggambar, Ekonomi/Koperasi, Ilmu Pengetahuan Sosial) termasuk yang minor. Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, mata pelajarannya meliputi; Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, (Tata Buku/Hitung Dagang, Ekonomi/Koperasi,

Sejarah,

Geografi/Antropologi)

termasuk

yang

mayor,

(Menggambar, IPS, Bahasa Asing) termasuk yang minor. Jurusan Agama, mata pelajarannya meliputi; Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Tata Buku/Hitung Dagang, Ekonomi Koperasi, Sejarah, Geografi/Antropologi, (Tafsir Ilmu Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Fikih/Ushul Fikih, Tarikh Tasyri’) yang termasuk mayor, (menggambar, IPA, Bahasa Asing) yang termasuk minor. Program

pendidikan

ketrampilan

terdiri

atas,

program pendidikan

ketrampilan terikat meliputi; Agraria, Teknik, Maritim, Jasa, Kerajinan. Program pendidikan ketrampilan bebas penunjang teori, yang dapat dipilih, meliputi; praktikum Fisika, Bumi Antariksa, Bahasa Asing. Program Pendidikan Ketrampilan Keagamaan, meliputi; memimpin dan menyelenggarakan upacara keagamaan dan Hari Besar Islam, memimpin Usaha Kemakmuran Masjid dan tempat ibadah, memimpin pelaksanaan ibadah sosial. 220 Adapun alokasi waktu perminggu 44 jam pelajaran, 221 mata pelajaran yang termasuk rumpun PAI (agama) untuk jurusan IPA dan IPS berjumlah 12-13 jam 220

Keputusan Menteri Agama No. 75 tahun 1976 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 6-

221

Keputusan Menteri Agama No. 75 tahun 1976 Pasal 7 Tentang Kurikulum Madrasah

8. Aliyah, 8.

225

pelajaran perminggu, dengan demikian alokasi mata pelajaran umum berjumlah 3132 jam pelajaran perminggu. Bila diprosentase, untuk mata pelajaran rumpun PAI: 13:44x100%= 29,55%, untuk mata pelajaran umum: 31:44x100%= 70,45%. Untuk jurusan bahasa jumlah alokasi waktu rumpun mata pelajaran PAI: 13-16 dan mata pelajaran umum 28-31. Jika dibuat prosentase, mata pelajaran rumpun PAI: 16:44x100%=, mata pelajaran umum: 28:44%= 63,6%, mata pelajaran rumpun PAI prosentasenya bertambah karena di kelas 3, mata pelajaran Bahasa Arab alokasi waktunya

tinggi

sampai

7

jam pelajaran

perminggu.

Kemudian

jurusan

Syari’ah/Agama, jumlah jam pelajarannya perminggu, untuk mata pelajaran rumpun PAI 13-25, untuk mata pelajaran umum 19-31. Bila diprosentasekan, maka pelajaran rumpun

PAI:

25:44x100%=

56,8%,

sedangkan

mata

pelajaran

umumnya

19:44x100%= 43,2%. Dengan demikian untuk jurusan IPA, IPS dan Bahasa mata pelajarannya didominasi pengetahuan umum dan untuk jurusan Syari’ah/Agama, mata pelajarannya didominasi pelajaran agama. d. Isi Kurikulum MA Tahun 1984 Dalam pasal 8 Keputusan Menteri Agama Nomor 101 tahun 1984, tentang kurikulum Madrasah Aliyah disebutkan bahwa isi kurikulum Madrasah Aliyah adalah sebagi berikut: dikelompokan menjadi dua yaitu, kelompok Pendidikan Agama terdiri atas; al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Peradaban Islam, dan Bahasa Arab. Kelompok Pendidikan Agama ini merupakan program identitas Madrasah Aliyah. Program ini adalah sebagai dasar utama dalam pengembangan suasana keagamaan di sekolah, yang merupakan ciri kekhususan kelembagaannya.222 Kelompok pendidikan dasar umum terdiri mata pelajaran, Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa PSPB), Bahasa dan Sastera Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Dunia, Ekonomi, Geografi,

222

Keputusan Menteri Agama No. 101 tahun 1984 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 10

226

Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, Bahasa Inggris, Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Ketrampilan. 223 Disamping itu ada program pilihan adalah jenis program yang terutama dimaksudkan untuk memenuhi tujuan pendidikan pada Madrasah Aliyah yakni menyiapkan siswa yang akan melanjutkan ke IAIN atau perguruan tinggi lainnya dan yang akan terjun ke dunia kerja. Program pilihan ada dua yaitu program pilihan A dan B. Program pilihan A terdiri; program Ilmu-Ilmu Agama,224 program Ilmu-Ilmu Fisika, 225 program Ilmu-Ilmu Biologi, 226 program Ilmu-Ilmu Sosial, 227 program Pengetahuan Budaya. 228 Program pilihan B adalah program pendidikan pengembangan kejuruan. Program ini disediakan sebagai sarana untuk menampung minat dan bakat siswa untuk mendalami berbagai bidang kehidupan yang ada di masyarakat. Program ini lebih diarahkan untuk mempersiapkan siswa-siswa yang akan langsung bekerja

223

Keputusan Menteri Agama No. 101 tahun 1984 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 4.

224

Arah program Ilmu-Ilmu Agama menyiapkan siswa yang akan melanjutkan pendidikannya ke program studi pendidikan tinggi yang mengkaji ilmu-ilmu sejarah, ilmu-ilmu Ushluddin, ilmu-ilmu Da’wah, Tarbiyah Islamiyah, Adab dan sebagainya. 225

Arah program ilmu-ilmu fisik menyiapkan siswa yang akan melanjutkan pendidikannya ke program studi pendidikan tinggi yang mengkaji baik gejala-gejala alamiah yang menyangkut benda/bahan tak hidup, seperti Fisika, Kimia, Elektronika, Astronomi, Geologi dan sebagainya, maupun bidang Matematika. 226

Arah program Ilmu-Ilmu Biologi menyiapkan siswa yang akan melanjutkan ke program studi pendidikan tinggi yang mengkaji gejala-gejala alamiah yang hidup, seperti Pertanian, Kedokteran, Biologi dan sebagainya. 227

Arah program ilmu-ilmu sosial menyiapkan siswa yang akan melanjutkan pendidikannya ke program studi pendidikan tinggi yang mengkaji kehidupan sosial manusia, seperti ilmu Administrasi, ilmu Ekonomi, ilmu Politik, Sosiologi, Psikologi dan lain sebagainya. 228

Arah program pengetahuan budaya menyiapkan siswa yang akan melanjutkan pendidikannya ke program studi pendidikan tinggi yang mengkaji aspek-aspek budaya, seperti Hukum, Filsafat, Bahasa, Sastera, Sejarah dan sebagainya. Lihat, Keputusan Menteri Agama No. 101 tahun 1984 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 11-12.

227

sesudah tamat Madrasah Aliyah maupun yang akan memasuki akademi, politeknik, program diploma, dan sebagainya sebelum bekerja.229 Selanjutnya, output Madrasah Aliyah harus menyelesaikan 240 kredit, dengan perincian satu kredit adalah satu jam pelajaran. Karena sistimnya kredit, maka setiap satu jam pelajaran ditambah setengah jam pelajaran untuk Pekerjaan Rumah (PR). Adapun perhitungan jumlah alokasi waktu perminggu adalah 240 kredit dibagi 6 semester = 40 jam pelajaran perminggu. Jumlah jam pelajaran rumpun mata pelajaran PAI 12 jam pelajaran permingu, dan mata pelajaran umum 28 jam pelajaran. Jumlah jam pelajaran seperti ini untuk program ilmu-ilmu Fisika, ilmuilmu Biologi, ilmu-ilmu Sosial, dan ilmu-ilmu Pengetahuan Budaya. Bila diprosentasekan adalah sebagai berikut, untuk mata pelajaran rumpun PAI: 12:40x100%= 30%, dan mata pelajaran umum: 28:40x100%= 70%. Adapun untuk program ilmu-ilmu Agama jumlah jam pelajarannya perminggu 23, dan mata pelajaran umum 17. Sehingga jika diprosentasekan, pelajaran rumpun PAI: 23:40x100%= 57,5% dan mata pelajaran umum: 17:40x100%= 42,5%. Kurikulum MA tahun 1984 ini, program dan susunan materinya semakin mantap, terlebih pengetahuan umumnya, karena pada dasarnya kurikulum ini menyempurnakan kurikulum SKB Tiga Menteri. Kurikulum 1984 ini terkenal dengan kurikulum SKB Dua Menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pemantapan susunan materi yang lebih mendominasi pengetahuan umum semakin memperlihatkan unsur politis, bahwa MA hendak di bawa sejajar dengan SMA. e. Isi Kurikulum MA Tahun 1994 Disamping Madrasah Aliyah Umum, pada saat ini sudah muncul Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) dan Madrasah Aliyah Model. Namun kedua madrasah

229

12.

Keputusan Menteri Agama No. 101 tahun 1984 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah,

228

tersebut sebagai tambahan referensi saja, karena yang pokok dalam pembahasan ini untuk mengetahui pergeseran kurikulumnya adalah Madrasah Aliyah umum. Madrasah Aliyah umum mempunyai tiga program yaitu program Bahasa, program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Adapun program Agama, yang muncul pada kurikulum MA tahun 1984, pada kurikulum MA 1994, masuk pada MAK. Untuk kelas I dan II belum terjadi pembagian program, program ini ditentukan pada kelas III MA. Adapun mata pelajaran kelas I dan II adalah sebagai berikut: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam (Qur’an Hadis, Fikih, Aqidah–Akhlak), Bahasa Indonesia dan Sastera Indonesia, Sejarah Nasional dan Umum, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika, Biologi, Kimia), Ilmu Pengetahuan Sosial (Ekonomi, Sosiologi, Geografi). Sedangkan mata pelajaran masing-masing program pada kelas III MA adalah, pertama, program Bahasa, mata pelajarannya meliputi; umum: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam (Qur’an Hadis, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam), Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Umum, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, khusus: Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Asing lain, Sejarah Budaya. Kedua, program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), mata pelajarannya meliputi; umum: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam (Qur’an Hadis, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam), Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Umum, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, khusus: Fisika, Biologi, Kimia, Matematika. Ketiga, program Ilmu Pengetahuan Sosial mata pelajarannya meliputi; umum: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam (Qur’an Hadis, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam), Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia,

229

Sejarah Nasional dan Umum, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Khusus: Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Antropologi. 230 Adapun alokasi waktu jam pelajaran perminggu, untuk ketiga program, yaitu program Bahasa, program IPA dan program IPS adalah sebagai berikut: mata pelajaran rumpun PAI berjumlah 7 jam pelajaran perminggu. Ada catatan bahwa untuk kelas 3, Bahasa Arab 2 jam pelajaran dilaksanakan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Adapun mata pelajaran umum berjumlah 38 jam pelajaran perminggu. Sedangkan jumlah jam keseluruhan perminggu adalah 45 jam pelajaran. Dengan demikian jika diprosentasekan menjadi, mata pelajaran rumpun PAI: 7:45x100%= 15,6% dan mata pelajaran umum: 38:45x100%= 84,4%. f. Isi Kurikulum MA Tahun 2004 Pada tahun 2004, munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), secara institusional MA menjadi variatif, yaitu MA Umum, MA Ketrampilan (MAK), MA Keagamaan (MAK), MA Diniyah dan MA Model. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pembahasan ini tidak mengarah secara spesifik terhadap bentuk institusi yang variatif terhadap MA tersebut, tetapi terhadap pergeseran kurikulum secara umum, berarti bidikannya adalah MA umum. Ketika berlakunya kurikulum 2004 ini, MA Umum terdiri dari empat program studi, yaitu program studi Ilmu Agama Islam, program studi Ilmu Alam, program studi Ilmu Sosial, dan program studi Bahasa. Dalam perspektif KBK, sebutan kelas diteruskan dari MI (kelas I–VI), MTs (kelas VII–IX) dan MA (kelas X– XII). Untuk kelas X, dari semua program studi mata pelajarannya sama, meliputi: Pendidikan Agama Islam (al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam), Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa (Bahasa dan Sastera Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris), Matematika, Kesenian, Pendidikan

230

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994, Landasan, Program dan Pengembangan (Jakarta: Depag RI, 1993). Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999/2000), 393-396.

230

Jasmani, Ilmu Pengetahuan Sosial (Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi), Ilmu Pengetahuan Alam (Fisika, Kimia, Biologi), Teknologi Infomasi dan Komunikasi, Ketrampilan/Bahasa Asing, Muatan Lokal.231 Adapun isi kurikulum MA kelas XI–XII, masa ini adalah: pertama, program studi Ilmu Agama Islam, meliputi: Pendidikan Agama Islam (al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam), Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa (Bahasa dan Sastera Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris), Matematika, Kesenian, Pendidikan Jasmani, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ushul Fikih, Tasawuf, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Ketrampilan/Bahasa Asing, Muatan Lokal. Kedua, program studi Ilmu Alam, mata pelajarannya meliputi; Pendidikan Agama Islam (al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam), Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa (Bahasa dan Sastera Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris), Matematika, Kesenian, Pendidikan Jasmani, Geografi, Fisika, Kimia, Biologi, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Ketrampilan/Bahasa Asing, Muatan Lokal. 232 Ketiga, program studi Ilmu Sosial, mata pelajarannya meliputi; Pendidikan Agama Islam (al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa (Bahasa dan Sastera Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris), Matematika, Kesenian, Pendidikan Jasmani, Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Ketrampilan/Bahasa Asing dan Muatan Lokal.233 Keempat, program studi Bahasa, mata pelajarannya meliputi; Pendidikan Agama Islam (al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam), Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Matematika, Kesenian, Pendidikan

231

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 25.

232

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 26.

233

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 27.

231

Jasmani, Sejarah, Antropologi, Sastera Indonesia, Bahasa Asing lain, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Ketrampilan/Bahasa Asing dan Muatan Lokal. 234 Adapun alokasi waktu jumlah jam pelajaran perminggu adalah 45 jam pelajaran. Untuk program studi Ilmu Alam dan Ilmu Sosial, jumlah jam pelajaran perminggu rumpun mata pelajaran PAI adalah 9 jam pelajaran, yang aslinya hanya 2 jam pelajaran perminggu. Dengan demikian maka tambahannya adalah 7 jam pelajaran perminggu dalam rangka mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Adapun sisanya adalah mata pelajaran umum yaitu 36 jam pelajaran. Bila diprosentasekan, untuk rumpun mata pelajaran PAI: 9:45x100%= 20%, sedangkan mata pelajaran umum: 36:45x100%= 80%. Prosentase mata pelajaran PAI ketika tidak ditambah jam pelajaran dalam rangka mempertahankan ciri khas ke-Islamannya adalah: 2:45x100%=4,4%. Dengan demikian untuk mempertahankan ciri khas keIslamannya adalah 20%-4,4%= 15,6%. Melihat realitas yang demikian, betapa kuatnya kurikulum MA mempertahankan ciri khas ke-Islamannya sebagai karakteristik yang melekat pada madrasah. Untuk program studi Bahasa hanya berbeda sedikit, karena ada tambahan mata pelajaran Bahasa Arab satu jam pelajaran perminggunya. Dengan demikian maka jumlah jam pelajaran perminggu untuk rumpun mata pelajaran PAI adalah 10 jam pelajaran dan mata pelajaran umum 35 jam pelajaran. Bila diprosentasekan, mata pelajaran rumpun PAI: 10:45x100%= 22,2%, dan mata pelajaran umum: 35:45x100%= 77,8%. Tambahan jam untuk mempertahankan ciri khas ke-Islamannya adalah 22,2%-4,4%= 17,8%. Hal ini pasti berbeda dengan program studi Ilmu Agama Islam yang jumlah pelajaran agamanya adalah 26 jam pelajaran perminggu dan sisanya adalah mata pelajaran umum yaitu 19 jam pelajaran perminggu. Bila diprosentasekan, mata pelajaran agamanya adalah: 26:45x100%=57,8%, dan mata pelajaran umumnya

234

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 30.

232

19:45x100%= 42,2%. Mata pelajaran agamanya mendominasi adalah wajar karena program studi Ilmu Agama Islam. Melihat isi kurikulum MA 2004, sepertinya sudah sangat akomodatif dengan kurikulum SMA, khususnya untuk program studi Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan program studi Bahasa, tetapi walaupun bergeser menyesuaikan kurikulum nasional, nampaknya MA tetap mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Nyatanya dalam rumpun mata pelajaran PAI (al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab) tetap dipertahankan. g. Isi kurikulum MA Tahun 2006 Standar isi kurikulum Madrasah Aliyah 2006, yang kurikulumnya disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), harus berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 tahun 2006 tentang standar isi pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Isi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. 235 Menurut Peraturan Mendiknas ini, berarti standar isi yang ditetapkan oleh Mendiknas merupkan standar minimal yang harus dilaksanakan oleh setiap institusi pendidikan. Masing-masing lembaga pendidikan boleh menambah serta menaikan tingkat kuantitas maupun kualitas isi kurikulum. Logikanya kurikulum Madrasah Aliyah boleh lebih tinggi, dari pada kurikulum sekolah, tergantung Keputusan Menteri Agama yang muncul menanggapi peraturan ini, maupun lembaga pendidikan madrasah yang melaksanakannya.

235

Lihat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menegah. Dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.

233

Untuk mengetahui isi kurikulum Madrasah Aliyah tahun 2006 tidak terlepas dari melihat struktur kurikulum 2006 pula. Struktur kurikulum Madrasah Aliyah 2006 meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai kelas X sampai dengan kelas XII dan terdiri atas sejumlah mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. Pengorganisasian kelas-kelas dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelas X merupakan program umum yang diikuti oleh seluruh peserta didik, kelas XI dan XII yang merupakan program penjurusan, terdiri atas empat program, yaitu program IPA, IPS, Bahasa, dan Program Keagamaan. 236 Adapun macam-macam Madrasah Aliyah, nampaknya belum banyak perubahan dengan kurikulum 2004, yaitu: Madrasah Aliyah Umum, Madrasah Aliyah Ketrampilan (MAK) –Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) karena tidak banyak diminati akhirnya banyak gulung tikar– Madrasah Aliyah Model, mulai banyak muncul madrasah bertaraf internasional yang berbentuk boarding school. MA disarankan untuk mengembangkan struktur dan beban belajar yang ada. Perubahan/pengembangan struktur

kurikulum

menambah mata pelajaran yang ada di MA.

dapat

dilakukan dengan cara

Sedangkan perubahan/penambahan

beban belajar dimungkinkan dengan mengubah/mengembangkan alokasi waktu yang ada. Penambahan beban belajar diperhitungkan dengan mendasarkan jumlah jam MA tiap minggu dan jumlah minggu efektif setiap semester.237 Untuk kelas X Madrasah Aliyah semester 1 dan 2 semua mata pelajaran sama, baik program studi IPA, IPS, Bahasa dan Keagamaan, yaitu terdiri dari; (semester 1 dan 2), meliputi; Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Arab (penambahan), Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Seni Budaya, Pendidikan

236

Muhaimin, Sutiah, dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 346. 237

Muhaimin, Sutiah, dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 348.

234

Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi dan Komunikasi dan Kaligrafi (Ketrampilan). Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. Jumlah alokasi waktu perminggu 45 jam pelajaran dan jumlah mata pelajaran 17 ditambah Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. 238 Untuk kelas XI dan XII, mata pelajaran disesuaikan dengan program studinya masing-masing. Pertama, program studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), meliputi pelajaran; Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Keterampilan/Bahasa Arab. Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. Jumlah alokasi waktu perminggu adalah 45 dan jumlah mata pelajaran 13 ditambah Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. 239 Kedua, program studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), kelas XI dan XII, semester 1 dan 2, meliputi pelajaran; Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Keterampilan/Bahasa Asing. Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. Jumlah alokasi waktu perminggu 45 jam pelajaran dan jumlah mata pelajaran 13 ditambah Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. 240 Ketiga, program studi Bahasa, kelas XI dan XII, semester 1 dan 2, mata pelajarannya meliputi; Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Sastera Indonesia, Bahasa Asing, Antropologi, Sejarah, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi, Keterampilan. Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. Jumlah alokasi waktu perminggu 45 jam pelajaran dan jumlah jam pelajaran 13 ditambah 238

Muhaimin, Sutiah, dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 354. 239

Muhaimin, Sutiah, dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 354. 240

Muhaimin, Sutiah, dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 354.

235

Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. 241 Keempat, program studi Keagamaan, kelas XI dan XII, semester 1 dan 2, mata pelajarannya meliputi; Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Tafsir dan Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ushul Fikih, Tasawuf/Ilmu Kalam, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bahasa Arab (perubahan). Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. Jumlah alokasi waktu perminggu 44 jam pelajaran dan jumlah jam pelajaran 13 ditambah Muatan Lokal dan Pengembangan Diri. 242 Adapun perhitungan prosentase alokasi waktu antara mata pelajaran rumpun PAI (agama) dan umum adalah sebagai berikut: untuk program studi IPA, IPS dan Bahasa jumlah mata pelajaran agamanya perminggu adalah 6 jam, yang aslinya hanya 2 jam pelajaran, karena ada keterangan dalam kurikulum itu, 4 jam PAI dan 2 jam Bahasa Arab jika untuk Madrasah Aliyah, jika untuk SMA 2 jam PAI dan bahasa Arab ditiadakan. Dengan demikian jelas bahwa sebenarnya hanya 2 jam pelajaran PAI perminggu di MA, menurut kurikulum 2006, selebihnya mata pelajaran umum. Adapun jumlah jam mata pelajaran umum adalah 39 perminggu dan jumlah alokasi keseluruhan dalam seminggu adalah 45 jam peajaran. Bila diprosentasekan maka, mata

pelajaran

PAI:

6:45x100%=

13,3%,

dan

mata

pelajaran

umum:

39:45x100%=86,7%, dimana ketika melihat prosentase mata pelajaran rumpun PAI aslinya

adalah:

2:45x100%=

4,4%.

Dengan

demikian

kurikulum

MA

mempertahankan ciri khas ke-Islamannya adalah 13,3%-4,5%= 8,8%. Dari sini terlihat bahwa perjuangan mempertahankan kurikulum MA agar tetap mempunyai cirri khas ke-Islamanya terus dilakukan, walaupun kurikulum MA sudah disamakan dengan kurikulum SMA.

241

Muhaimin, Sutiah, dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 355. 242

Muhaimin, Sutiah, dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 355.

236

Untuk program studi Keagamaan, tentunya berbeda dengan tiga program studi lainnya. Jumlah jam pelajaran perminggu untuk rumpun mata pelajaran PAI 14 jam pelajaran sisanya mata pelajaran umum 30 jam pelajaran perminggu dari jumlah alokasi waktu keseluruhan perminggu 44 jam pelajaran. Bila diprosentase, mata pelajaran rumpun PAI: 14:44x100%= 31,8%, dan mata pelajaran umumnya: 30:44x100%= 68,2%. Melihat data yang seperti ini adalah sebuah politisasi yang cukup besar, kenapa program studi keagamaan tetapi mata pelajarannya didominasi oleh mata pelajaran umum, seharusnya pastilah mata pelajaran agamanya. Direktur Madrasah Depag RI, Firdaus, menyatakan bahwa isi kurikulum madrasah (tahun 2006) sama persis dengan kurikulum sekolah, hanya saja kurikulum madrasah diperkaya dengan pelajaran agama sebagai ciri khas dan bentuk tanggung jawab dunia madrasah pada keseimbangan IPTEK dan IMTAK.243 Dalam arti, kualitas pengetahuan umum untuk madrasah sudah sejajar dengan sekolah, bahkan mempunyai nilai plus yaitu ciri khas ke-Islaman, yang tidak akan hilang selamanya, karena merupakan misi utama madrasah. Sejak munculnya UU pendidikan tahun 1950 sampai tahun 2006, isi kurikulum terasa sekali pergeserannya, dari dominan pelajaran agama, seperti dicontohkan oleh penulis, rencana pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor, dan rencana pelajaran Sekolah Guru P.U.I 6 tahun, yang jelas dominan mata pelajaran agamanya. Kemudian rencana pelajaran madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, yang isinya seimbang antara mata pelajaran agama dan umum. Terkait dengan mata pelajaran umum, KH. Wahid Hasyim yang juga berusaha memasukan pengetahuan umum ke dalam madrasah, kelihatannya masih sederhana, karena baru

243

Selain kurikulum, perhatian pada pendidikan IPTEK pun diperhatikan dengan menyediakan sarana prasarana seperti komputer, multi media, lab. bahasa, biologi, fisika, kimia, bahkan lab. ketrampilan. Menurut laporan Direktur Madrasah, saat ini ada 29 madrasah swasta yang mempunyai pusat science dan teknologi. Lebih lanjut Firdaus melaporkan, bahwa prestasi madrasah sekarang dibuktikan MAN 3 Malang dan MAN Insan Cendekia telah meraih juara olimpiade IPA dan Biologi tingkat internasional. MAN 3 Malang juara I UKS tingkat nasional tahun 2007, MAN I Bukittinggi juara 2 lomba UKS tingkat nasional tahun 2006. http://pendis.depag.go.id/madrasah/pidato direktur madrasah Depag RI, 1 Juni 2010.10/06/2010.

237

Bahasa Indonesia, Berhitung, Membaca, Menulis, Ilmu Bumi, dan Sejarah. Muncul Madrasah Wajib Belajar (MWB), pada masa KH. Moh Ilyas, yang memasukan pengetahuan umum dan ketrampilan disamping pengetahuan agama. Kemudian muncul kurikulum Madrasah Aliyah secara nasional pada tahun 1973, dimana dominasi pelajaran umum di MA sudah mulai terasa. Efeknya pada kurikulum MA 1973 pengetahuan agamanya mulai berkurang. Munculnya kurikulum 1973, kurikulum MA sudah lebih teratur dan seragam. Disusul kurikulum MA tahun 1976 yang merespon kurikulum 1975 (SKB), dimana mata pelajaran agama sudah mulai menipis, berkisar 30%. Muncul kurikulum MA 1984, pelajaran agama juga berkurang lagi. Akhirnya muncul UUSPN No. 2 Tahun 1989, yang mengakui madrasah sebagai sub sistem pendidikan nasional. Implikasi dari hal ini, kurikulum MA tahun 1994 terjadi pengurangan jam pelajaran agama yang cukup drastis. Isi kurikulum MA disamakan dengan kurikulum SMA, hanya beberapa tambahan jam untuk mata pelajaran agama sebagai mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Muncul UUSPN No. 20 Tahun 2003, dimana status MA sama persis dengan SMA, termasuk isi kurikulumnya. Hal ini terjadi pula pada kurikulum MA tahun 2006, karena kurikulum MA 2006 sebagai penguat kurikulum 2004. Ini adalah indikator bahwa isi kurikulum MA bergeser dari dominan mata pelajaran agama, karena MA sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n, ke arah minimnya mata pelajaran agama, karena isi kurikulum MA disamakan dengan kurikulum SMA. Kenapa hal ini tidak disebut berkembang atau berubah, tetapi penulis menggunakan istilah bergeser, karena ciri khas ke-Islaman dalam isi kurikulum MA tetap di pertahankan. Ini terbukti pada kurikulum MA tahun 1994, 2004 dan 2006, seperti telah dijelaskan di muka. Pergeseran isi kurikulum MA dari dominan mata pelajaran agama ke minimnya mata pelajaran agama adalah bersifat politis, karena MA kehilangan misinya sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n yang bertujuan mencetak ulama ahli ilmu-ilmu agama (ulu>m al-di>n). Sehingga output MA sebagai input IAIN, STAIN dan fakultas-fakultas agama yang ada di UIN, tidak dapat diharap banyak.

238

Logikanya ketika hal ini terjadi, maka akan terjadi krisis ulama yang ahli ilmu-ilmu agama, hal ini adalah politis. Namun demikian, di sisi lain hadirnya UUSPN No. 20 Tahun 2003 membuka peluang bagi Departemen Agama untuk membesarkan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) dengan tujuan mencetak para calon ulama (tafaqquh fi> al-di>n) sebagai input STAIN, IAIN dan UIN. Sebagai tindak lanjutnya pemerintah mengeluarkan PP No. 19 Tahun 2005. Adapun sebagai contoh adalah kurikulum MAK tahun 2007 yang muatan agamanya: 24:47= 51,1% dan umumnya 21:47= 48,9%. Setelah menelusuri pergeseran kurikulum MA, dari tahun 1950 sampai 2006, maka dapat divisualisasikan tabel dan grafik pergeseran kurikulum MA yang bersifat politis tersebut. Adapun tabel dan grafiknya adalah sebagai berikut: Tabel Pergeseran Kurikulum MA yang Bersifat Politis NO.

1.

JENIS KURIKULUM MA

JURUSAN/PROGRAM STUDI

Kurikulum MA sebelum tahun 1973

1. Rencana Pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor (1958) 2. Rencana Pelajaran sekolah guru P.U.I 6 tahun (1958) 3. Rencana Pelajaran Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarya (1959)

2.

Kurikulum MA tahun 1973

1. Jurusan IPA 2. Jurusan IPS 3. Jurusan Bahasa

PROSENTASE PERGESERAN Muatan Muatan Mata Mata Pelajaran Pelajaran Agama Umum 56,4% 43,6%

52,4%

47,6%

50%

50%

29,2%

70,8%

ASPEK POLITIS

UU Pendidikan saat ini adalah UU Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954. Aspek politisnya (pasal 10 ayat 2) Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Kurikulum MA masih beragam. Kurikulum MA sudah seragam tetapi madrasah

239

3.

4.

5.

Kurikulum MA tahun 1976

Kurikulum MA tahun 1984

Kurikulum MA tahun 1994

1. Jurusan IPA 2. Jurusan IPS 3. Jurusan Bahasa 4. Jurusan Syari’ah/Agama

29,55%

70,45%

36,4% 56,8%

63,6% 43,2%

1. Program ilmu-ilmu Fisika 2. Program ilmu-ilmu Biologi 3. Program ilmu-ilmu Sosial 4. Program ilmu-ilmu Pengetahuan Budaya 5. Program ilmu-ilmu Agama

30%

70%

57,5%

42,5%

15,6%

84,4%

1. Program IPA 2. Program IPS 3. Program Bahasa Program Keagamaan pada kurikulum MA tahun 1994 menjelma menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK)

belum diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, karena belum memenuhi syarat prosentase muatan pelajaran umumnya. Adanya kesepakatan tiga menteri untuk mulai mengakui output madrasah dapat melanjutkan di sekolah umum yang lebih tinggi dan siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang sederajat. Pemantapan SKB Tiga Menteri, sehingga memunculkan SKB Dua Menteri yang mulai mengarahkan madrasah menuju satu sistem pendidikan nasional Sudah muncul UUSPN No. 2 Tahun 1989, yang mengakui madrasah sebagai bagian dari satu sistem pendidikan nasional, dengan satu syarat, muatan umum MA sama dengan SMU. Adapun bertambahnya muatan agama karena mempertahan kan ciri khas keIslamannya. Di

240

6.

Kurikulum MA tahun 2004

1. Program studi Ilmu Alam 2. Program studi Ilmu Sosial

3. Program studi Bahasa

7.

Kurikulum MA tahun 2006

4. Program studi ilmu Agama Islam 1. Program Studi IPA 2. Program studi IPS 3. Program studi Bahasa

4. Program studi Keagamaan

8.

Kurikulum MA 1. Kurikulum Madrasah tahun 2007 Aliyah Keagamaan (kurikulum MAK (MAK). setelah munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 5 Tahun 2005, yang membuka peluang bagi Depag untuk membesarkan MAK)

20% yang sesungguh nya 4,4%, tambahan ciri khas ke-Islaman 20%4,4%=15,6 % 22,2% yang sesungguh nya 4,4%, tambahan ciri khas ke-Islaman 22,2%4,4%= 17,8% 57,8%

80%

77,8%

sinilah MA disebut sekolah menengah umum berciri khas Islam. Telah muncul UUSPN No. 20 Tahun 2003, dimana muatan agama pada kurikulum MA telah sama persis dengan kurikulum SMA, tetapi tambahan jam pelajaran PAI terus diadakan, sehingga ciri khas ke-Islaman sebagai karakter asli madrasah terus dapat dipertahankan.

42,2%

13,3% yang sesungguh nya 4,4%, tambahan ciri khas ke-Islaman 13,3%4,4%= 8,8% 31,8%

86,7%

51,06%

48,9%

68,2%

Muatan agama di MA semakin menipis, terlihat program studi keagamaan saja muatan agamanya lebih kecil daripada muatan umumnya, dimana hal ini belum pernah terjadi pada kurikulum MA sebelumnya. Kurikulum MA umum contentnya telah sama dengan SMA, tetapi USPN No. 20 Tahun 2003 membuka peluang baru bagi masyarakat atau instansi pemerintah

241

dengan tujuan menciptakan ahli agama (ulama).

Grafik Pergeseran Kurikulum Madrasah Aliyah yang Bersifat Politis Jurusan IPA, IPS dan Bahasa Prosentase 60% 50% 40%

30%

56,4% 29,55%

20%

29,2% 30%

10%

15,6%

1958

1973

1976

1984

1994

4,4%

4,4%

2004

2006

Jenis Kurikulum

Grafik Pergeseran Kurikulum Madrasah Aliyah Jurusan Agama Prosentase 60% 50% 40% 30%

56,4% 56,8%

20%

51,06% 57,5% 57,8%

10%

31,8%

1958

1976 1984

2004

2006

2007

Jenis Kurikulum

242

Keterangan: 1. Kurikulum MA 1994 untuk jurusan Keagamaan menjelma menjadi kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). 2. Kurikulum MA 2007 adalah kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) setelah munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005. Mencermati tabel dan grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum MA bergeser, artinya muatan agama kurikulum MA terus mengalami perubahan yang bersifat politis, yakni diminimalisir. Tetapi walaupun demikian, muatan agama tetap eksis, beserta tambahan jam untuk memelihara ciri khas ke-Islamannya, dengan demikian kurikulum MA bergeser tetapi karakter madrasah tetap melekat.

3. Pendekatan Kurikulum Madrasah Aliyah Ada tiga istilah yang mirip dalam pembelajaran maupun pengajaran, tetapi sebenarnya pengertiannya berbeda, yaitu pendekatan, metode dan strategi. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).244

244

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12/pengertian-pendekatan-strategi-tekniktaktik-dan-model-pembelajaran. 06/07/2010.

243

Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan245 mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu: pertama, mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (output) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya. Kedua, mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran. Ketiga, mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan di tempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran. Keempat, mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (kriteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha. 246 Sedangkan metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya. 247 Dengan menganalisa pengertian pendekatan, strategi dan metode dalam pembelajaran, maka yang tepat dalam pembahasan ini adalah pendekatan pembelajaran kurikulum Madrasah Aliyah. a. Pendekatan Kurikulum MA Sebelum Muncul Kurikulum Secara Nasional Pendekatan pelajaran secara khusus dalam kurikulum Madrasah Aliyah masa ini belum teridentifikasi secara sistematis, hanya dapat melihat kurikulum sekolah menengah atas sebagai bahan perbandingan. Seperti pendekatan pembelajaran yang 245

Lihat, Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan (Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003). 246

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12/pengertian-pendekatan-strategi-tekniktaktik-dan-model-pembelajaran. 06/07/2010. 247

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12/pengertian-pendekatan-strategi-tekniktaktik-dan-model-pembelajaran. 06/07/2010.

244

dilakukan oleh kurikulum SMA tahun 1968, diantaranya sebagai berikut; dengan cara membangkitkan

minat

siswa

secara

maksimal

–dalam

bahasa

sekarang

membangkitkan motivasi siswa baik intrinsik maupun ekstrinsik– guru mengajar harus menghubungkan dengan mata pelajaran yang lain –corelated curriculum– diusahakan setiap pelajaran disajikan dengan cara experience centered, sehingga melalui pengalaman pembangkitan minat siswa dapat mempraktekan apa yang diketahui, menggunakan metode problem solving.248 Pembangkitan minat belajar siswa sangat perlu ketika itu, dimana pelajar masih sedikit dibanding sekarang. Mereka masih malas untuk sekolah. Dengan pendekatan pembangkitan motivasi, diharapkan para siswa muncul motivasi intrinsik, dimana motivasi ini merupakan faktor pendorong yang cukup kuat pada diri anak siswa. b. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 1973 Pendekatan, UNESCO melalui International Commision on Education for The Twenty First Century yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from technologically divided world where high technology is privilege of the few to technologically united world” mengusulkan empat pilar belajar yaitu “learning to know, learing to do, learning to be, and learning to live together”. Menerapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target untuk Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”.249 Ilustrasi di atas belum muncul di Indonesia pada tahun 1973, apalagi pada pendekatan kurikulum 248

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Rencana Pendidikan dan Pelajaran SMA (Jakarta: Direktorat Pendidikan Umum, Kejuruan dan Kursus-kursus, 1969), 8. 249

Sudijarto, Jurnal Pendidikan, 8.

245

Madrasah Aliyah. Pendekatan kurikulum MA tahun 1973, masih berpusat pada guru (teacher center), guru yang aktif menerangkan. Orientasinya juga pada tujuan (goal oriented), proses tidak begitu diperhatikan pada saat ini. Pendekatan yang digunakan masih banyak mengadopsi pendekatan yang ada di pesantren, sebagai cikal bakal lembaga pendidikan Islam. c. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 1976 Kurikulum 1975 yang dipakai landasan untuk kurikulum madrasah 1976 menggunakan

pendekatan-pendekatan

diantaranya

sebagai

berikut:

pertama,

berorientasi pada tujuan, kedua, menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif, ketiga, menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu, keempat, menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa. 250 Dampak dari kurikulum 1975 –kurikulum 1976 untuk Madrasah Aliyah– adalah banyak guru menghabiskan waktunya untuk mengerjakan tugas administrasi, seperti membuat TIU, TIK, dan lain-lain; sedangkan substansi materi yang akan diajarkan kurang didalami. 251 Sistem yang dipakai pada kurikulum Madrasah Aliyah 1976 adalah sistem semester.252 Pendekatan yang digunakan berdasarkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang dikembangkan melalui Satuan Pelajaran.253 Pada kurikulum Madrasah Aliyah 1976, guru yang aktif (teacher center) sedangkan murid pasif. Seolah-olah Guru merupakan sumber segala ilmu, karena

250

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html.

28/07/2010. 251

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html.

28/07/2010. 252

Keputusan Menteri Agama No. 75 tahun 1976 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, 2.

253

Keputusan Menteri Agama No. 75 tahun 1976 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, 12.

246

masa itu belum banyak media lain. Tetapi walaupun demikian, setidaknya guru sudah persiapan sangat matang ketika mau mengajar, hal ini dibuktikan dengan Satuan Pelajaran (SP), dimana guru merumuskan berbagai tujuan pembelajaran. Sementara kurikulum MA tahun 1973 belum demikian. d. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 1984 Sistem yang berlaku pada kurikulum Madrasah Aliyah 1984 adalah semester.254 Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seseorang belajar, selain kepada apa yang ia pelajari. Ketrampilan untuk mampu mengelola perolehannya biasa disebut pendekatan ketrampilan proses.255 Posisi Siswa dalam kurikulum 1984 diposisikan sebagai subyek belajar. Dari hal-hal yang bersifat mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan, menjadi bagian penting proses belajar mengajar, inilah yang disebut konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).256 Aktif di sini lebih ditekankan pada jiwa, bukan fisik, walaupun tidak dipungkiri bahwa keikutsertaan fisik juga diperlukan. Terkait dengan pendekatan ini kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa. Kedua, pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh 254

Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 2. 255

Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 29. 256

28/07/2010.

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html.

247

pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Ketiga, materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan. Keempat, menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya. Kelima, materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkrit, semi konkrit, semi abstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks. Keenam, menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.257 Bila dianalisis, pendekatan kurikulum MA tahun 1984, mengutamakan proses bukan tujuan. Keaktifan siswa sangat ditekankan, walaupun kelemahannya kadangkala kalau muridnya aktif, gurunya kemudian santai-santai. Maka CBSA, kemudian direvisi menjadi Cara Belajar Semua Aktif, baik murid maupun guru. Hal ini berbeda dengan kurikulum MA tahun 1976, yang menekankan pada tujuan, sementara proses diabaikan. Perbedaan yang tajam ini menjadi sebuah indikator bahwa kurikulum MA tahun 1976 ke kurikulum MA tahun 1984 mengalami pergeseran ke arah modern.

257

28/07/2010.

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html.

248

e. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 1994 Di awal berlakunya kurikulum 1994 ini, terjadi perubahan waktu dari semester (kurikulum 1984) ke catur wulan (kurikulum 1994).258 Namun di penghujung berlakunya kurikulum ini berlaku sebaliknya, yaitu perubahan sistem catur wulan ke semester sesui keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 084/U/2002 tentang perubahan sistem catur wulan menjadi semester yang terjadi pada tahun ajaran 2002/2003.259 Adapun ciri-ciri yang menonjol dari kurikulum 1994, yang terkait dengan pendekatan adalah

sebagai berikut: 1) pembagian tahapan pelajaran di sekolah

dengan sistem catur wulan, 2) pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi), 3) kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.260 4) Dalam pelaksanaan kegiatan, guru memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan, 5) dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan

258

http://rbaryan.wordpress.com/2007/05/16, Nasional”. 07/05/2010.

“Bagaimana

Perjalanan

Kurikulum

259

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 084/U/2002 tentang Perubahan sistem catur wulan menjadi sistem semester, 2. 260

Sebenarnya kurikulum 1994, sudah mengarah ke otonomi, terbukti kurikulumnya bersifat kurikulum inti, sehingga daerah dapat mengembangkan kurikulum tersebut sesuai dengan kondisi cultur daerah tersebut.

249

terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah, 6) pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks, 7) pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.261 Dalam kurikulum MA tahun 1994, karena banyaknya materi, sementara materi itu harus dikuasai oleh para siswa, mengakibatkan siswa harus hari-harinya habis untuk menguasai materi yang bersifat teori tanpa dapat mengaplikasikan teori (eksperimen) lebih jauh, sehingga pengetahuan mereka terlalu teoritis. Berbeda dengan kurikulum luar negeri, justeru sebaliknya, mata pelajaran sedikit, aplikasi (eksperimen) lebih banyak. Kelebihan kurikulum

MA

1994,

karena

bersifat

inti,

mengakibatkan

daerah

bebas

mengembangkannya sesuai budaya yang mereka miliki. Tetapi walaupun demikian sudah lebih maju dibanding kurikulum MA tahun 1984, yang hanya berorientasi proses. Ini dapat dijadikan bukti terjadi pergeseran dari kurikulum MA 1984 ke kurikulum MA tahun 1994. f. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 2004 Kurikulum MA Tahun 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Lahir sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya UU No. 2 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, dan Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang arah kebijakan pendidikan nasional. KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan. Kompetensi dimaknai sebagai perpaduan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, dan

261

25/07/2010.

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html.

250

bertindak. Seseorang telah memiliki kompetensi dalam bidang tersebut yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari. 262 KBK cukup efektif, untuk menjadikan para siswa terampil skill-nya, cerdas kognisinya, peka afeksinya. Kurikulum MA Tahun 2004 (KBK), mempunyai ciri-ciri yang merupakan pendekatannya yaitu: pertama, yang dikedepankan adalah hasil dan kompetensi, kedua, paradigma pembelajarannya, versi UNESCO; learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be, ketiga, dilihat dari silabusnya, guru dan siswa punya peran dalam proses pembelajaran, sedang silabus menjadi kewenangan guru, keempat, jumlah jam pelajaran perminggu 23 jam pelajaran, tetapi mata pelajaran belum bisa dikurangi, kelima, metode pembelajarannya yaitu metode PAIKEM

dan

CTL,

keenam,

sistem

penilaiannya,

penilaian

memadukan

keseimbangan kognitif, psikomotorik, dan afektif, dengan penekanan penilaian berbasis kelas. 263 Pendekatan kurikulum 2004, cocok dengan zamannya, yakni zaman IT. Orang tidak boleh hanya bisa berteori tanpa mempraktekkan, dan kejujuran atau good attitude juga diprioritaskan. Dengan demikian mengalami pergeseran yang cukup berarti dalam pendekatan dari kurikulum MA 1994 ke kurikulum MA tahun 2004. Kurikulum MA tahun 1994 mencetak manusia teoritis, sementara kurikulum MA tahun 2004 mencetak manusia pandai berteori dan mempraktekkan teorinya. g. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 2006 Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat kelas umum dan kelas akselerasi (pendidikan berbasis keunggulan).264 Bila diamati kedua kelas

262

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html.

25/07/2010. 263

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html.

25/07/2010. 264

Accelerated Learning adalah suatu program pembelajaran dengan sistem percepatan yang dilakukan dengan cara pemanfaatan waktu. Jika program pembelajaran biasa menyelesaikan materi dalam tiga tahun program akselerasi hanya memakan waktu 2 tahun untuk menyelesaikan materi yang sama, sehingga setiap semester hanya disediakan waktu 4 bulan. Program pembelajaran ini memang disediakan bagi siswa yang memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata sehingga terhindar dari rasa bosan yang diakibatkan lambatnya materi yang disampaikan. Dalam proses belajar mengajar.

251

tersebut menggunakan pendekatan mastery learning (belajar tuntas), pendekatan ini menentukan standar ketuntasan minimal. Ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu kompetensi dasar berkisar 0–100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%. Satuan pendidikan harus menentukan kriteria ketuntasan minimal dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Satuan pendidikan diharapkan meningkatkan ketuntasan belajar secara terus menerus untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal. Dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik, tingkat esensial dan kompleksitas kompetensi dasar, serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran, Madrasah Aliyah menetapkan ketuntasan belajar minimal yang berbeda-beda untuk setiap mata pelajaran dan setiap tingkat kelas. Kepada peserta didik yang telah mencapai ketuntasan diberi layanan pengayaan dan bagi peserta didik yang belum mencapai ketuntasan diberi layanan perbaikan (remedial). Madrasah Aliyah juga diharapkan untuk selalu berupaya meningkatkan ketuntasan belajar minimal agar dapat mencapai ketuntasan maksimal. 265 Teknik bimbingan guru terhadap para siswa dengan menggunakan pendekatan ini bisa secara individual dan juga dapat secara kelompok. Dapat juga dengan sistem modul, jadi para siswa berkompetisi menyelesaikan modul. Terjadi kemajuan dari KBK MA ke KTSP MA, yaitu adanya pendekatan mastery learning (belajar tuntas)266 pada KTSP dan juga adanya KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Dengan adanya ini penyelesaian modul pada MA menjadi sangat kompetitif,

Lihat, Departemen Agama, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah Aliyah, 230. 265

Departemen Agama, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah Aliyah, 231. Lihat juga, Henny Riandari, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA dan MA, Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007), 18. 266

Lihat teorinya Binyamin S Bloom tentang mastery learning.

252

sementara dalam KBK MA, hal ini belum ada. Kemajuan yang demikian merupakan indikator pergeseran kurikulum MA tahun 2004 ke kurikulum MA tahun 2006.

4. Evaluasi Kurikulum Madrasah Aliyah Ada beberapa faktor yang menyebabkan definisi evaluasi menjadi berbeda, seperti dikemukakan Worthen dan Sanders, perbedaan konsep evaluasi pendidikan, makna evaluasi menurut asalnya, perbedaan filsafat dan ideologi, latar belakang metodologi, perbedaan tafsir evaluasi, respon yang berbeda dalam memandang kebutuhan pendidikan, dan pertimbangan praktis.267 Worthen dan Sander dengan tegas mengatakan berdasarkan, argumen kedua orang ini, maka definisi evaluasi menjadi tidak seragam. Tyler mendefinisikan evaluasi, berfokus pada upaya untuk menentukan tingkat perubahan yang terjadi pada hasil belajar (behavior). Nampaknya sangat sederhana definisi Tyler, namun pengaruh Tyler masih sangat kuat, banyak usaha evaluasi yang hanya memusatkan perhatian pada pencapain hasil belajar semata.268 Lain dari Orient, termasuk kelompok evaluator yang lebih mementingkan tujuan evaluasi yaitu memberikan pertimbangan (judgment). Pertimbangan yang diberikan berdasarkan kriteria yang disepakati dan data yang diperoleh dari lapangan. Pertimbangan adalah suatu proses intrapolasi yang harus dilakukan evaluator antara apa yang diinginkan oleh kriteria dengan data yang dikumpulkan. 269 Sebagai pembanding lebih lanjut, Stufflebeam, menempatkan evaluasi sebagai suatu kegiatan yang menjadi bagian dari manajemen. Oleh karena itu, evaluasi bertujuan untuk merumuskan apa yang harus dilakukan, mengumpulkan informasi, dan menyajikan

267

B. R. Worthen dan J. R Sanders, Educational Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines (New York dan London: Longman, 1987), 41-59. 268

Baca, R.W. Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (Chicago: University of Chicago Press, 1949). 269

36.

Lihat, S. Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008),

253

informasi yang berguna bagi penetapan alternatif keputusan.270 Dari beberapa ahli evaluasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Tyler menekankan pada hasil belajar. Dalam arti, suatu kurikulum dikatakan baik apabila dapat mengantarkan hasil belajar siswa dengan baik. Definisi Tyler ini lebih praktis, dan memang banyak evaluator yang cenderung pada penggunaan definisi Tyler tersebut. Sementara Orient, lebih ke arah pertimbangan (judgment), pertimbangan manusiawi, dalam proses belajar mengajar berfungsi sebagai Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Dalam arti suatu kurikulum dianggap baik, jika dapat membimbing para siswa memperbaiki tingkah laku mereka. Stufflebeam, evaluasi berproses, jadi prinsip evaluasi yang dia tekankan adalah prinsip komprehensip. Artinya, evaluasi kurikulum itu berproses secara terus menerus sampai menemukan kurikulum yang ideal. a. Evaluasi Kurikulum MA Sebelum Muncul Kurikulum Madrasah Secara Nasional Seperti telah diketahui, bahwa sebelum tahun 1973 kurikulum madrasah belum muncul secara nasional, dengan demikian cara evaluasinyapun belum seragam. Tetapi bila berkiblat dengan kurikulum nasional, minimal dapat mengetahui gambaran evaluasinya. Dalam kurikulum menengah atas tahun 1968 disebutkan bahwa penilaian diadakan secara praktek, karena ini lebih obyektif. Selanjutnya penilaian dengan pemecahan masalah, untuk melatih daya pikir. 271 Jenis evaluasi pada masa ini masih sederhana yaitu praktek, dimana bentuk ini merupakan warisan lembaga pendidikan Islam pada masanya. Kebanyakan pesantren tradisional melaksanakan evaluasi dengan cara praktek untuk materi seperti t}aharah, shalat dan lain-lain. Juga hafalan, setelah para santri mengkhatamkan kitab tertentu. Adapun problem solving, sebenarnya belum populer saat itu, karena melihat kultur pada masanya masih relatif homogen. b. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 1973

SMA, 8.

270

Lihat, Hamid, Evaluasi Kurikulum, 37.

271

Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Rencana Pendidikan dan Pengajaran

254

Bentuk dan jenis evaluasi Madrasah Aliyah pada kurikulum 1973, sudah lebih maju dibanding dengan kurikulum sebelumnya. Karena madrasah sudah mempunyai kurikulum secara nasional. Jenis penilaian, seperti tulis dan lisan. Teknik penilaian, tes dan non tes serta kuantitatif dan kualitatif. Sudah ada pada masa ini. Namun pengaruh penilain pesantren masih kental, seperti praktek, menghafal dan bah}sul masa>il (pemecahan masalah/problem solving), juga sudah mulai digalakan untuk tingkat MA. c. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 1976 Kurikulum 1975, yang menjadi dasar kurikulum MA tahun 1976, didasari konsep SAS (Struktural, Analysis, Sintesis). Anak menjadi pintar karena paham dan mampu menganalisis sesuatu yang dihubungkan dengan mata pelajaran di sekolah. Kurikulum 1975 juga dimaksudkan untuk menyerap perkembangan ilmu era 1970an. 272 Evaluasi pembelajaran pada kurikulum 1975 yang menjadi dasar kurikulum MA 1976, terlihat lebih sistematis, karena evaluasi pembelajaran tidak hanya dilaksanakan pada akhir semester saja, melainkan evaluasi dilaksanakan setiap selesai satu pokok bahasan atau sub pokok bahasan, yang dikemas dalam bentuk Satuan Pelajaran (SP). Dalam kurikulum ini, evaluasi diadakan terus menerus dan diselenggarakan secara menyeluruh dalam arti seluruh aspek tingkah laku siswa dinilai, 273 dilaksanakan secara obyektif. Hal ini sebenarnya merupakan prinsip penilain. Karena kurikulum MA tahun 1975 berorientasi pada tujuan, maka penilaian menjadi sangat penting. Dalam kurikulum 1975 Sekolah Menengah Atas (SMA) yang menjadi dasar kurikulum MA 1976, terdapat jenis penilaian, yang dipakai adalah pertama, penilaian formatif, yaitu nilai harian atau penilaian hasil belajar setelah akhir Satuan Pelajaran (SP), yang berfungsi untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Kedua, penilaian

272

Herlanti, Kurikulum Pendidikan Indonesia yherlanti.wordpress.com, 2008/15/05. 17/07/2010. 273

dari

Zaman

ke

Zaman

(2008)

Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975 Buku 1: Bidang Studi Ketentuan-ketentuan Pokok (Jakarta: Depdikbud RI, 1975), 2.

255

sumatif,

adalah

nilai

semester

yang

berfungsi

untuk

menentukan angka

kemajuan/hasil belajar siswa. Ketiga, penilaian penempatan (placement) yang berfungsi untuk menempatkan siswa dalam situasi belajar mengajar/program pendidikan yang sesuai. Keempat, penilain diagnostik, berfungsi untuk membantu kesulitan-kesulitan belajar yang dialami para siswa tertentu.274 Penilaian seperti ini dapat mengakses kemampuan siswa, baik kognitif, afektif dan psikomotor, baik fisik maupun psikis. Cara pemberian nilai dalam kurikulum ini adalah kuantitatif, dengan menggunakan angka 1-10 atau 10-100, dan kualitatif, dengan menggunakan pernyataan-pernyataan verbal, seperti baik, cukup, kurang maupun memuaskan. Dan teknik penilaian yang digunakan dalam kurikulum ini adalah teknik tes dan non tes. Materi soal disesuaikan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). d. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 1984 Kegiatan penilaian pada kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1984 ini terutama diarahkan pada upaya untuk menentukan seberapa jauh tujuan-tujuan maupun proses belajar mengajar yang diinginkan telah terwujud. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan peningkatan proses maupun hasil belajar serta pengelolaan program.275 Kurikulum 1984 ini menekankan pada proses pembelajaran, bukan pada tujuan. Jenis penilaian yang dipakai sama dengan kurikulum MA 1975 yaitu penilain formatif, sumatif (semester), penempatan dan diagnostik. Para siswa lebih banyak diberi tugas untuk membuat LKS (Lembar Kerja Siswa), dan pada kurikulum ini pula dikenalkan Sistem Kredit Semester (SKS). Cara pemberian nilai dengan kuantitatif dan kualitatif serta teknik penilain, yaitu

274

Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum, Buku: III B, Pedoman Penilaian (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1979), 3. 275

Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 29. Lihat juga, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA), Landasan, Program, dan Pengembangan (Jakarta: Depdikbud RI, 1984), 12.

256

teknik tes dan non tes, adalah sama dengan kurikulum MA 1976. Hanya saja yang Nampak berbeda bentuk soal uraian lebih ditekankan, karena orientasinya adalah proses –soal penalaran lebih diutamakan. Nampak ada dua perbedaan kurikulum MA 1976 dengan kurikulum MA 1984, yaitu orientasi dan bentuk soal penalaran, sementara pada kurikulum MA 1976 lebih pada bentuk soal obyektif dan orientasinya adalah kepada tujuan. Perbedaan ini menjadi indikator pergeseran dari kurikulum MA 1976 ke kurikulum MA 1984, walaupun bergesernya hanya sebagaian. e. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 1994 Guru hendaknya memilih strategi yang dapat mengaktifkan siswa, baik mental, fisik maupun sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarahkan kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan. Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berfikir siswa, sehingga diharapkan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan ketrampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Pengulanganpengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk memantapkan pemahaman siswa. 276 Dalam kurikulum MA 1994, dimana madrasah sudah menjadi satu sistem pendidikan nasional, maka pedoman kurikulum MA sama dengan kurikulum Sekolah Menengah Umum (SMU). Dalam proses belajar mengajar, penilaian dalam kurikulum ini meliputi penilaian program, penilaian proses dan penilaian hasil. Pertama, penilaian program, adalah untuk mengetahui sejauh mana tercapainya Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara keseluruhan. Penilaian ini dilakukan dengan

cara

membandingkan

perencanaan

yang

telah

disusun

dengan

pelaksanaannya. Penilain ini mencakup penilain terhadap rencana tahunan, catur

276

http://rbaryan.wordpress.com/2007/05/16, Nasional”. 07/05/2010.

“Bagaimana

Perjalanan

Kurikulum

257

wulan, dan persiapan mengajar. Kedua, penilaian proses, merupakan penilain secara menyeluruh dan berkesinambungan terhadap kegiatan belajar mengajar yang mencakup cara guru mengajar dan cara siswa belajar. Penilain proses digunakan dalam rangka membina, memperbaiki, dan membentuk sikap atau cara belajar maupun cara guru mengajar. Ketiga, penilain hasil, merupakan penilain hasil belajar siswa yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pelaksanaan penilaian ini dapat dilaksanakan terus menerus dan atau pada waktu-waktu tertentu. Cara penilaian dapat dilakukan melalui pengamatan, tes tertulis atau lisan, dan penugasan. 277 Ada beberapa hal yang berbeda dengan kurikulum MA 1984 diantaranya, kurikulum MA 1984 memakai sistem semester, kurikulum MA 1994 memakai sistem catur wulan. Orientasi kurikulum MA 1984 pada proses, sedangkan orientasi kurikulum MA 1994 pada proses dan hasil. Dari sisi penilaian kurikulum MA 1994 lebih lengkap, karena ada penilaian program, penilaian proses dan penilaian hasil, sedangkan kurikulum MA 1984 lebih banyak di penilaian proses. Hal-hal yang telah disebut merupakan indikator pergeseran kurikulum MA 1984 ke kurikulum MA 1994, walaupun bergesernya hanya sebagaian, yang merupakan unsur penyempurna kurikulum sebelumnya. f. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 2004: Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK Instrumen penilain pada KBK Madrasah Aliyah meliputi jenis tagihan, bentuk instrumen, dan contoh instrumen. Jenis tagihan dapat digunakan antara lain; a) kuis, bentuknya berupa isian dan menanyakan hal-hal yang prinsip. Biasanya dilakukan sebelum pelajaran dimulai kurang lebih 5–10 menit. Kuis dilakukan untuk mengetahui penguasaan pelajaran oleh peserta didik. Tingkat berpikir yang terlibat adalah pengetahuan dan pemahaman, b) pertanyaan lisan, materi yang ditanyakan

277

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kurikulum 1994 Pendidikan Menengah, Pedoman Umum Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar Sekolah Menengah Umum (SMU), (Jakarta: PUSKUR dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan kebudayaan, 1994), 10.

258

berupa pemahaman terhadap konsep, prinsip, atau teori. Tingkat berpikir yang terlibat adalah pengetahuan dan pemahaman, c) ulangan harian, dilakukan secara periodik di akhir pembelajaran satu atau dua kompetensi dasar. Tingkat berpikir yang terlibat sebaiknya mencakup pemahaman , aplikasi dan analisis, d) ulangan blok, adalah ujian yang dilakukan dengan cara menggabungkan beberapa kompetensi dasar dalam satu waktu. Tingkat berpikir yang terlibat mulai pemahaman sampai dengan evaluasi, e) tugas individual, dapat diberikan pada waktu-waktu tertentu dalam bentuk pembuatan kliping, makalah dan yang sejenisnya. Tingkat berpikir yang terlibat sebaiknya aplikasi, analisis, sampai sintesis, dan evaluasi, f) tugas kelompok, digunakan untuk menilai kompetensi kerja kelompok. Bentuk instrumen yang digunakan salah satunya adalah uraian bebas dengan tingkat berpikir tinggi yaitu aplikasi dan evaluasi, g) Responsi atau ujian praktek, bentuk ini dipakai untuk mata pelajaran yang ada kegiatan praktikumnya. Ujian respons dapat dilakukan di awal dan di akhir praktek. Ujian yang dilaksanakan sebelum praktek bertujuan untuk mengetahui kesiapan peserta didik melakukan praktek di laboratorium atau tempat lain, sedangkan ujian yang dilakukan setelah praktek, tujuannya untuk mengetahui kompetensi dasar praktek yang telah dicapai peserta didik dan yang belum, h) laporan kerja praktek, bentuk ini dipakai untuk mata pelajaran yang ada praktikumnya. Peserta didik bisa diminta untuk mengamati suatu gejala dan melaporkannya. 278 Adapun instrumen tes yang digunakan dalam KBK meliputi; pilihan ganda, uraian obyektif, uraian non obyektif/uraian bebas, jawaban singkat atau isian singkat, menjodohkan, performance (penilaian unjuk kerja),279 dan portofolio (karya peserta

278

Departemen Agama RI, Kurikulum 2004, Pedoman Khusus Fikih Madrasah Aliyah (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2004), 13-14. Dalam semua buku – untuk semua mata pelajaran– kurikulum 2004 untuk Madrasah Aliyah, instrumen penilaian pada KBK disebut demikian. 279

Bentuk ini cocok untuk mengukur kompetensi peserta didik dalam melakukan tugas tertentu, seperti pengambilan keputusan secara voting (pemungutan suara) atau prilaku yang baik.

259

didik).280 Instrumen yang demikian, digunakan untuk penilaian kelas, memang KBK berbasis penilain kelas.281 Perbedaan dengan kurikulum MA 1994 sangat jelas yaitu, pada kurikulum MA 1994 menggunakan sistem catur wulan, kurikulum MA 2004 memakai sistem semester. Kurikulum MA 1994 menitik beratkan pada penguasaan materi (pengetahuan), kurikulum MA 2004 berorientasi pada kompetensi (rangkain kemampuan), instrumen penilaian pun berbeda. Rambu-rambu penilaian kelas pada kurikulum MA 2004, mengalami perbedaan yang cukup berarti dengan kurikulum MA 1994. Portofolio dan performance pada kurikulum MA 2004 merupakan ciri khas penilaian yang cukup dominan, sementara pada kurikulum MA 1994, hal ini jarang digunakan dan bahkan tidak pernah. Beberapa perbedaan tersebut merupakan indikator pergeseran yang jelas dari kurikulum MA 1994 ke kurikulum MA 2004. g. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 2006: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, dilakukan penilaian yang menyeluruh dan berkelanjutan. Bentuk penilaian di Madrasah Aliyah adalah tes dan non tes yang dapat berupa tes tertulis (pilihan ganda dan uraian), tes praktik, tes lisan, portofolio, penugasan proyek dan atau produk.282 Bentuk tes yang demikian telah memenuhi kriteria penilaian komprehensip, karena dapat mengakses semua kompetensi siswa secara maksimal. Hal ini sama dengan kurikulum MA tahun 2004. Adapun model sistem penilaian di SMA/MA adalah: pertama, mengacu pada standar penilaian yang ditetapkan oleh pemerintah, kedua, mengacu pada 280

Bentuk ini cocok untuk mengetahui perkembangan unjuk kerja peserta didik, dengan menilai kumpulan karya-karya dan tugas-tugas yang dikerjakan oleh peserta didik. Karya-karya ini dipilih dan kemudian dinilai, sehingga dapat dilihat perkembangan kemampuan peserta didik. Lihat, Departemen Agama RI, Kurikulum 2004, Pedoman Khusus Fikih Madrasah Aliyah, 14-15. 281

Lihat, Departemen Pendidikan Nasional RI, Pelayanan Profesional Kurikulum 2004, Pedoman Penilaian Kelas (Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas, 2004), 10. 282

Aliyah, 237.

Departemen Agama RI, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah

260

ketetapan kriteria ketuntasan belajar minimal (KKM), ketiga, mengacu pada prosedur penilaian proses dan hasil belajar, keempat, mengacu pada ketentuan kriteria kenaikan kelas. 283 Bila diamati secara detel, sistem penilain SMA/MA pada kurikulum 2006 ini, mengakomodir sistem penilain yang dipakai kurikulum sebelumnya. Seperti penilaian berorientasi pada hasil adalah kurikulum 1975, penilaian berorientasi pada proses adalah kurikulum 1984. Kriteria kenaikan kelas Madrasah Aliyah adalah sebagai berikut: 1) peserta didik harus menyelesaikan seluruh program pembelajaran di kelas yang bersangkutan, 2) peserta didik dinyatakan tidak naik ke kelas XI, apabila yang bersangkutan tidak mencapai ketuntasan belajar minimal, lebih dari tiga mata pelajaran, 3) peserta didik dinyatakan tidak naik ke kelas XII, apabila yang bersangkutan tidak mencapai ketuntasan minimal, lebih dari tiga mata pelajaran yang bukan mata pelajaran ciri khas program studi. Sebagai contoh; bagi siswa kelas XI dan XII, untuk program studi Ilmu Alam, tidak boleh memiliki nilai yang tidak tuntas pada mata pelajaran Matematika, Fisika Kimia, Biologi. Untuk program studi Ilmu Sosial, tidak boleh memiliki nilai yang tidak tuntas pada mata pelajaran Sejarah, Geografi, Ekonomi, dan Sosiologi. Untuk program studi Ilmu Bahasa, tidak boleh memiliki nilai yang tidak tuntas pada mata pelajaran Antropologi, Bahasa dan Sastera Indonesia, bahasa asing lain yang menjadi pilihan.284 Kriteria kenaikan kelas selanjutnya adalah, 4) peserta didik memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir tahun pelajaran untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan. 5) siswa yang tidak naik kelas, diwajibkan mengulang, yaitu mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran pada tingkat kelas yang sama pada tahun pelajaran berikutnya, 6)

283

Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah , 366-367. 284

Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 367.

261

laporan hasil belajar siswa disampaikan kepada siswa dan orang tua/wali siswa, setiap akhir semester.285 Kriteria kenaikan kelas pada kurikulum Madrasah Aliyah tahun 2006 ini bila di teliti secara jeli, mengakui teori belajar tuntasnya (mastery learning) Benyamin S Bloom. Indikator tersebut terlihat dari kriteria ketuntasan minimal. Substansi perbedaan dalam penilaian antara KBK dengan KTSP cukup kecil, paling tidak penulis melihat pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), di mana pada KBK hal ini belum muncul. Selanjutnya, karena substansi perbedaannya KBK belum otonomi sedangkan KTSP sudah otonomi, maka berpengaruh pula pada otonomisasi penilaiannya. Tetapi walaupun kecil perbedaannya, hal ini merupakan indikator pergeseran ke arah penyempurnaan kurikulum. Selanjutnya bila diamati secara seksama, dalam penilaian sejak kurikulum MA belum muncul secara nasional sampai kurikulum MA tahun 2006, mengalami pergeseran, walaupun pergeseran tersebut bervariasi, ada yang cukup tajam dan ada yang datar-datar saja. Mengacu pada kesimpulan besar disertasi ini, bahwa berdasarkan undangundang yang bersifat politis kemudian dijabarkan oleh kebijakan pemerintah, selanjutnya berimplikasi pada pergeseran kurikulum MA. Substansi pergeseran yang bersifat politis terletak pada pergeseran isi kurikulum MA yang tidak dapat dilepaskan dengan komponen tujuan dalam kurikulum MA. Adapun komponen metode/pendekatan dan evaluasi dalam kurikulum MA bergeser ke arah modern (penyempurnaan), ini tidak politis.

285

Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 367.

262

BAB V KURIKULUM MADRASAH ALIYAH MASA DEPAN

Masuk zaman modern, kurikulum Madrasah Aliyah dituntut untuk mengadakan pembaharuan dalam upaya mempertahankan sisi politisnya. Berusaha mengintegrasikan ilmu pengetahuan dalam rangka

menepis dikotomi ilmu

menyusun keilmuan yang ideal untuk mewujudkan kekuatan politis serta memperhatikan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bab ini akan melihat bagaimana tuntutan kurikulum Madrasah Aliyah ke depan, setelah kurikulumnya sama dengan SMA, tetapi secara politis tetap mempertahankan ciri khas ke-Islamannya.

A. Tuntutan

Pembaharuan

Pendidikan

Madrasah

Aliyah:

Upaya

Mempertahankan sisi politis Beberapa tuntutan pembaharuan pendidikan Madrasaha Aliyah (MA) diantaranya;

tuntutan

pembaharuan

manajemen

pengelolaan

MA,

tuntutan

peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) guru, tuntutan perbaikan sarana prasarana dan tuntutan pembaharuan kurikulum MA. Masih ada tuntutan pembaharuan yang lain, tetapi penulis batasi hanya yang telah disebut. Tuntutan pembaharuan manajemen pengelolaan MA. Madrasah Aliyah dituntut untuk meningkatkan manajemen pengelolaan, dimana secara historis untuk kasus Indonesia, sebenarnya institusi madrasah merupakan transformasi dari lembaga tradisional yang bernama pesantren. 1 Tentunya secara manajemen, madrasah lebih modern dibanding pesantren. Cuma yang menjadi pertanyaan sudahkah institusi 1

Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak bangsa: Visi, Misi, dan Aksi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 12. Indikasi munculnya madrasah dipicu oleh semangat pembaharuan Isla>m di Timur Tengah –disamping sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah kolonial– adalah banyaknya madrasah yang kelahirannya dibidani oleh para lulusan pendidikan di Timur Tengah, seperti: Madrasah Adabiyah yang dirintis oleh Syekh Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908 M., kemudian berubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915 M, dan Madrasah Nurul Iman yang didirikan oleh Abdul Samad pada tahun 1913 di Jambi.

263

madrasah manajemennya melebihi manajemen sekolah pada umumnya atau minimal sama?. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu pengamatan secara mendalam. Karena sebagai salah satu ciri negatif yang melakat pada madrasah adalah mempunyai berbagai kelemahan manajemen, meskipun tidak seluruhnya harus dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Kelemahan menajemen ditunjukan oleh sifatnya yang tertutup dan tidak berorientasi keluar sehingga perkembangan madrasahpun menjadi lamban atau statis.2 Bagi madrasah yang masih di pelosok, juga masih menerapkan manajemen figur. Ketika figur itu diterima masyarakat, maka madrasah tersebut berkembang dan banyak siswanya, tetapi ketika figur itu telah tiada, maka madrasah itu pun gulung tikar. Manajemen yang dilaksanakan di Madrasah Aliyah adalah manajemen pendidikan yang tentunya tidak jauh berbeda dengan manajemen pendidikan di sekolah pada umumnya. Menurut Gaffar, manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sistemik, dan komprehensip dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Manajemen pendidikan, lanjut Gaffar, juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang. 3 Dengan demikian manajemen pendidikan di Madrasah Aliyah sangat komprehensip, dan memunculkan potensi untuk menjadi madrasah mandiri dengan Manajemen Berbasis Madrasah (MBM). Manajemen pendidikan Madrasah Aliyah merupakan komponen yang sangat penting, karena menurut Mulyasa, manajemen atau pengelolaan merupakan 2

Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), 203. Julukanjulukan negatif yang diberikan kepada madrasah, terisolir dari arus modernisasi, berkonotasi kampungan (terbelakang), isi pendidikan cenderung berorientasi pada praktek-praktek ritual keagamaan dan kurang memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemennya bersifat tertutup dan lain-lain. Lihat, Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan (Bandung: Nuansa, 2003), 198. 3

E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi (Bandung: Rosda, 2005), 19-20.

264

komponen yang integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan. Alasannya tanpa manajemen tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif dan efesien. Konsep tersebut berlaku di MA yang memerlukan manajemen yang efektif dan efesien. Dalam kerangka ini tumbuh kesadaran akan pentingnya Manajemen Berbasis Madrasah (MBM), yang memberikan kewenangan penuh kepada madrasah dan guru dalam mengatur pendidikan

dan

pengajaran,

merencanakan,

mengorganisasi,

mengawasi

mempertanggungjawabkan, mengatur serta memimpin sumber-sumber daya insani serta barang-barang untuk membantu pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan tujuan madrasah.4 Pendek kata manajemen MA, harus terus ditingkatkan kualitasnya dalam rangka mempertahankan sisi politis pergeseran kurikulum MA, karena Sahabat Ali Ibn Abi Thalib pernah berkata ”Kebenaran yang tidak diorganisir dengan baik maka akan dapat dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisir dengan baik”. Tentunya orang madrasah harus lebih dulu tahu perkataan ini sekaligus mengaplikasikannya. Tuntutan peningkatan kualitas SDM. Madrasah Aliyah dituntut untuk memperbaiki SDM guru, dikarenakan MA akan menghadapi era global yang penuh dengan persaingan baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan lainlain. Dalam konteks ini, teringat kata-kata Sachiko Murata dan William Chitik, bahwa obat untuk mengatasi berbagai problem masyarakat –sebagai akibat globalisasi– seperti kelaparan, penyakit, penindasan, polusi dan berbagai penyakit sosial lainnya, adalah to return to God through religion.5 Sehingga ketika jawabannya madrasah adalah tepat, karena sesuai kurikulum 1994 madrasah adalah sekolah umum berciri khas Islam. Selanjutnya, Husni Rahim memberi gambaran visi madrasah dalam alam globalisasi, yaitu menjadi madrasah dalam ”sekolah plus” yang berkualitas, berkarakter dan mandiri. Madrasah plus, lanjut Husni, adalah madrasah yang menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan teknologi, namun tetap dengan 4 5

Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi, 20.

Lihat, Muhaimin, “Madrasah Menatap Peradaban Global”, makalah disajikan pada seminar di Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo, Sabtu 8 Maret 2003.

265

identitas ke-Islamannya. Ketika kurikulum MA terus dapat mengikuti perkembangan IPTEK dan diakui keunggulannya oleh pemerintah serta terus dapat mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, maka secara politis umat Islam akan dapat bersaing dengan lulusan persekolahan. Dalam upaya peningkatan kualitas tersebut, Husni menambahkan, bahwa dunia madrasah masih berkutat dengan masalah ”kualitas guru” yang belum memadai. Keadaan ini menjadi menonjol, tegas Husni, setelah ditetapkan kurikulum 1994, dimana kurikulum MA sama dengan kurikulum SMA, plus ciri khas Islam untuk tingkat MA. Saat ini –Husni tidak menyebutkan tahun berapa data ini di input– guru dalam kategori layak hanya 20%, sedangkan untuk kategori salah kamar (mismatch) 20%, dan sisanya 60% masih dalam kategori belum layak. Ini tantangan berat yang dihadapi dunia MA yang bermutu lebih rendah dibanding SMA. 6 Menurut Husni dengan mutu guru MA yang rendah kualitas, akan berimplikasi terhadap rendahanya kualitas outcome MA, 7 sehingga tidak dapat bersaing dengan kualitas lulusan SMA. Husni Rahim lebih lanjut melaporkan, bahwa saat ini yang menjadi beban kesulitan para murid madrasah adalah bidang studi rumpun Mafikibb (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris) ditambah lagi kekurangan guru yang mumpuni dalam mata-mata pelajaran ini. 8 Guru MA yang berkualitas tidak hanya mempunyai kemampuan akademis semata, tetapi harus mempunyai kepribadian yang Islami. Hal ini berbeda dengan tuntutan kualitas guru di SMA pada umumnya. Menurut Muhaimin, guru MA harus mempunyai wawasan akademis dan sekaligus memiliki komitmen ke-Islaman yang 6

Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Ciputat: Logos, 2001), 130.

7

Demikian pula menurut Azyumardi seraya beranalog, menurutnya banyak ekonom yang berpendapat bahwa terdapat korelasi yang erat antara kualitas SDM –katakanlah pendidikan– dengan kemiskinan. Rendahnya kualitas SDM dapat merupakan penyebab kemiskinan –tegasnya dari segi materi– sebaliknya, kemiskinan adalah salah satu sebab utama rendahnya kualitas SDM. Dengan demikian, lanjut Azyumardi, antara rendahnya kualitas SDM dengan kemiskinan terdapat semacam “vicious cirle” –lingkaran setan, lihat Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 54. 8

Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 130.

266

tinggi, agar mereka mampu menangkap makna substansial dari eksistensi madrasah. Sebagai konsekwensinya rekruitmen tenaga kependidikan di MA perlu dibedakan dengan sekolah non madrasah. Demikian pula penyiapan calon guru madrasah perlu dibedakan dengan calon guru non madrasah.9 Dari sini logikanya, guru MA lebih berkualitas daripada guru SMA, tetapi realitasnya ternyata belum sampai tahap ideal. Padahal ketika SDM MA mencapai tahap ideal, maka secara politis, hal ini merupakan peluang umat Islam untuk menjadikan institusi MA menjadi pilihan umat. Mulai sekitar tahun 2003, pemerintah khususnya Departemen Agama mulai memberi beasiswa kepada para guru MA untuk melanjutkan studi mereka ke jenjang S2, bahkan banyak yang belajar ke luar negeri, seperti Australia, Belanda, Canada dan lain-lain. Mereka sebagaian besar belajar rumpun ilmu Mafikibb. Peningkatan SDM guru yang demikian sangat perlu, Nabi saja memberikan contoh, seperti dilaporkan Azyumardi, bahwa Rasulullah memberikan kebijakan membebaskan para tawanan kafir Quraisy setelah mereka mengajarkan anak-anak Muslim untuk membaca dan menulis. Kebijakan seperti ini, lanjut Azyumardi, Nabi memberikan teladan, bahwa segala potensi yang ada di lingkungan kaum Muslimin –sekalipun potensi itu ada dipunyai non Muslim– dapat digunakan untuk peningkatan kualitas SDM Muslim. 10 Merujuk usaha Rasulullah, betapa pentingnya peningkatan SDM, terlebih SDM itu untuk menjadi guru, karena guru akan mencetak SDM-SDM lain yang lebih berkualitas dari pada dirinya. Tuntutan perbaikan sarana dan prasarana. Dibandingkan dengan sekolah, sarana prasarana madrasah jauh tertinggal. Karena secara historis madrasah tumbuh dari kekuatan masyarakat itu sendiri, bahkan pada masa klasik Islam, menurut George Makdisi, bahwa madrasah biasanya dibangun oleh individu atau komunitas

9

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, 203. 10

Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 56.

267

Muslim berdasarkan tradisi wakaf, 11 maka dana untuk membuat sarana prasarana dan operasional pendidikannya juga disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Sehingga, ketika ada bantuan, maka bantuan tersebut, menurut Husni Rahim, dipahami sebagai bantuan pihak luar kepada madrasah. Karena sifat kehadirannya datang dari luar madrasah, sering terjadi bantuan tidak sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu manfaat pemberian bantuan tidak dapat dioptimalkan bagi pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah. Demikian pula, lanjut Husni, pemberian bantuan acapkali menimbulkan ketergantungan. Perbaikan dan pengembangan madrasah hanya dapat dilakukan selama ada bantuan. Akan tetapi sebaliknya, semua program pengembangan ikut berhenti bersamaan dengan dihentikannya pemberian bantuan. 12 Pernyataan Husni Rahim dapat dianalisis, bahwa madrasah dapat survive dengan dana seadanya dari masyarakat. Tetapi dana tersebut tidak dapat meningkatkan kualitas sarana dan prasarana. Dan madrasah juga tidak kreatif mencari dana, indikator tersebut terbukti ketika ada sumbangan dari luar madrasah, hal ini menjadi ketergantungan madrasah. Gambaran yang demikian, menunjukan tidak profesionalnya lembaga madrasah. Husni Rahim selanjutnya memberi pengarahan, sebaiknya bantuan yang diberikan kepada madrasah bersifat terpadu, artinya dibarengi dengan tindak lanjut bantuan tersebut. Karena selama ini tidak demikian, seperti bantuan gedung tidak dibarengi dengan kebutuhan peralatan, bantuan peralatan pendidikan tidak dibarengi dengan bantuan pelatihan tenaga guru, demikian pula bantuan keuangan tidak dihubungkan dengan bantuan pengelolaan administratif kemadrasahan. Hal seperti ini menimbulkan beberapa kasus, seperti: peralatan laboratorium yang tidak dapat didayagunakan disebabkan tidak ada tenaga pengelolanya, buku siswa yang

11

JM. Muslimin, “Tradisi Ilmiah Dalam Masyarakat Islam: Sejarah Institusi dan Tantangan Perubahan”, dalam Kusmana dan JM. Muslimin (ed.), Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: IIESP, 2008), 141. 12

115.

Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Logos, 2004),

268

menumpuk di kantor kepala madrasah; atau ruang belajar yang berubah fungsi menjadi sarana olahraga. 13 Pernyataan Husni yang demikian, mengingatkan pada statement ”sarana prasarana yang tidak dibarengi dengan tenaga ahli mengakibatkan sarana itu tidak berfungsi, akhirnya mubadhir”. Tuntutan pembaharuan kurikulum MA. Menurut Abdul Munir Mulkhan, selama ini, umat Islam meyakini, ajaran Islam telah selesai disusun tuntas dalam ilmu agama sebagai panduan penyelesaian seluruh persoalan kehidupan duniawi. Sementara ilmu-ilmu umum (non agama) dipandang bertentangan dengan ilmu agama akan membuat kesengsaraan umat Islam. Namun, persoalan kehidupan duniawi yang terus berkembang, ternyata tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu-ilmu agama. Oleh karena itu, lanjut Munir, sejak madrasah dikembangkan bersamaan munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, kurikulum madrasah terus berubah dan diperbaharui. Awalnya kurikulum madrasah hanya terdiri dari ilmu agama. Bentuk madrasah dikenal dengan Madrasah Diniyah yang telah ada sejak abad-abad pertama sejarah Islam di Timur Tengah.14 Selanjutnya Munir menegaskan, bahwa ilmu umum baru meluas dipelajari di madrasah sejak tahun 1945. Posisi ilmu umum dalam kurikulum madrasah terutama Madrasah Aliyah, terus menguat searah perkembangan kehidupan umat

Islam dan masyarakat

Indonesia.

Dengan

perkembangan kurikulum yang demikian, sehingga madrasah sekarang disebut sekolah umum berciri khas Islam.15 Sebagai penguat, Muhaimin memberi pernyataan, bahwa Madrasah Aliyah tidak seharusnya hanya menggarap persoalan-persoalan keagamaan, tetapi belajar matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Sains dan Teknologi, Seni, Budaya, Ilmu Pengetahuan Alam, dan sebagainya, ternyata juga

13

Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, 116-117.

14

Abdul Munir Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah (Ciputat: Logos, 2003), 3. 15

Lihat, Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, 4.

269

belajar Islam itu sendiri. 16 Hal ini adalah tuntutan bagi MA, untuk terus memperbaharui kurikulumnya, sehingga lulusan MA akan trampil mengatasi persoalan hidup. Lulusan madrasah tidak hanya bisa menjadi tukang do’a, tetapi secara politis dapat bekerja di lapangan-lapangan kehidupan sosial lainnya, seperti halnya lulusan persekolahan. Menurut, Munir, perubahan –pergeseran– kurikulum Madrasah Aliyah, lebih didasari oleh tuntutan kebutuhan masyarakat pengguna jasa madrasah. Munculnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberi landasan teologis perubahan –pergeseran– kurikulum Madrasah Aliyah. Dari sini mulai berkembang gagasan integrasi ilmu agama dan iptek yang selama ini dikelompokkan ke dalam ilmu umum atau sekuler. Muncul kemudian berbagai model Madrasah Aliyah terpadu yang mengintegrasikan ilmu umum dan agama ke dalam satuan kurikulum Madrasah Aliyah. 17 Bahkan tidak hanya madrasah, sekolah umum yang berlebel Islam di bawah otoritas Diknas pun sekarang sudah banyak yang mengaplikasikan keterpaduan ini. Sebenarnya kurikulum madrasah secara politis menjadi inspirasi awal munculnya Sekolah Islam Terpadu di bawah naungan Diknas. Tetapi karena keterpaduan dalam kurikulm madrasah, hanya integrasi materi, secara aplikasi masih jauh dari konsep keterpaduan, mengakibatkan madrasah belum bisa menjadi pilihan umat. Adapun integrasi ilmu akan di bahas pada sub bab setelah ini. Apa yang dijelaskan di atas merupakan tuntutan pembaharuan kurikulum Madrasah Aliyah seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan politis, yang selama ini madrasah menjadi anak tiri pemerintah. Hal ini akan terus terjadi di masa-masa yang akan datang. Yang menjadi idaman kita –insan madrasah– bagaimana di masa-masa yang akan datang madrasah menjadi pilihan prioritas bagi mayoritas umat –masyarakat.

16

Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, 202. 17

Lihat, Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, 4.

270

B. Tuntutan Integrasi: Menepis Dikotomi Ilmu Menyusun Keilmuan yang Ideal dalam Rangka Mewujudkan Kekuatan Politis Bergesernya kurikulum Madrasah Aliyah tidak terlepas dari tuntutan integrasi ilmu. Karena di awal perkembangan madrasah di Indonesia –seperti telah disebut Munir– perbedaan antara kurikulum madrasah dengan sekolah cukup terasa. Para pembaharu pemikiran Islam Indonesia pun tidak tinggal diam menyikapi masalah ini. Kemudian muncul istilah Islamisasi ilmu pengetahuan. Berbicara Islamisasi ilmu pengetahuan, yang merupakan akar permasalahan yang terjadi pada pergeseran kurikulum MA, memunculkan tiga paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma18 sekuler,19 paradigma Islamisasi dan paradigma integrasi. Hal ini dalam rangka mewujudkan konsep keilmuan yang ideal dalam kurikulum MA. Karena dengan kurikulum yang ideal, lembaga madrasah akan mempunyai kekuatan secara politis. Paradigma sekuler. Di dunia Islam istilah sekuler pertama kali dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog Turki. Istilah ini sering dipahami sebagai sesuatu yang irreligious (tidak agamis) bahkan anti religius. Dalam bahasa Indonesia kata ini mempunyai konotasi negatif. Sekuler diartikan dengan bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian, sehingga sekularisasi berarti

18

Kata paradigma mempunyai arti model, pola atau contoh, lihat, John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 143. Immanuel Kant menyebut paradigma sebagai skema konseptual, Marx menyebutnya dengan ideologi dan Wittgestein dengan cagar bahasa, lihat, Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika (Jakarta: Teraju, 2004), 11. Oleh karenanya paradigma dapat dimaknai sebagai sekumpulan asumsiasumsi, konsep-konsep yang secara logis dianut bersama dan dapat mengarahkan cara berpikir, mengkaji dan meneliti. Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset (Jakarta: UIN Press, 2006), 33. 19

Secara harfiyah, kata sekuler berasal dari bahasa latin, saeculum yang berarti masa, waktu atau generasi, lihat, Havey Cox, The Secular City (New York: The MacMillan Company, 1966), 2. Berbeda dengan Niyazi Berkes yang mengartikan kata saeculum dengan dunia masa kini, lihat Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey (Montreal: McGill University Press, 1964), 5. Kata saeculum sebenarnya salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia. Karena masih ada kata lain yaitu mundus, yang menunjukan ruang, sementara saeculum menunjukan waktu. Saeculum sendiri lawan dari kata eternum yang berarti abadi, yang digunakan untuk alam yang kekal abadi, lihat, Naquib alAttas, Islam and Secularism, terj. Karsijo Joyosumarno (Bandung: Pustaka, 1998), 18.

271

membawa ke arah kecintaan kehidupan dunia, dan karena itu norma-normanya tidak perlu didasarkan pada agama.20 Dalam bahasa Arab, dapat dikaitkan dengan kata ‘alama>ni dari kata ‘alam (dunia) yang bermakna dunia diversuskan dengan yang selain dunia. 21 Istilah tersebut digunakan dan diadopsi dari orang-orang Kristen Arab untuk mengekspresikan gagasan ini sebelum ia menarik perhatian kaum Muslimin. Pada masa modern istilah tersebut dibaca kembali menjadi ‘ilma>ni yang berarti ilmu pengetahuan atau sains yang dilawankan dengan religius yang oleh sarjana Muslim dianggap sebagai penafsiran yang keliru sebab dalam Islam dua kata tersebut tidak pernah dipertentangkan.22 Ilmu-ilmu sekuler, meminjam istilah Kuntowijoyo, merupakan produk bersama seluruh manusia, yang pada akhirnya merupakan diverensiasi dan pemisahan yang jelas antara ilmu umum dan agama serta klaim obyektifitas masing-masing.23 Berdasarkan uraian di atas, untuk kasus Indonesia, sebenarnya ilmu agama (‘ulu>m aldi>n) yang mayoritas menjadi content kurikulum dan diajarkan di madrasah pada awalnya, dan ilmu umum yang mayoritas menjadi muatan kurikulum dan diajarkan di sekolah, bukan hal baru, karena sejarah Islam telah menjelaskan jauh sebelumnya. Terjadinya dikotomi ilmu –untuk konteks Indonesia– sebenarnya karena politisasi dari kaum nasionalis sekuler –golongan kristen. Dimana bila menengok zaman Rasulullah SAW dan sejarah masa klasik Islam, dikotomi ilmu pengetahuan tidak terjadi. Paradigma

Islamisasi.

Paradigma

ini

dalam

pembahasan

tentang

epistemologi Islam secara garis besar dapat dibagi dua macam. Pertama, berkaitan dengan epistemologi Islam dalam versi filosof Muslim. Dalam kaitan ini maka 20

Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 797. Lihat juga, Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1984), 3061. 21

Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicago, London: Chochago University Press, 1988), 4. 22

Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas

23

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, 54.

Riset, 34.

272

penting untuk melihat perkembangan filsafat di dunia Islam demi mencari asal muasal dan orisinalitas berpikir mereka. Kedua, mencari epistemologi Islam yang secara spesifik berasal dari pandangan al-Qur’an dimana harus dibiarkan al-Qur’an bicara sendiri. Bagian pertama, yaitu epistemologi Islam dalam pandangan kaum filosof Muslim, terlebih dahulu harus benar-benar dipahami bahwa ilmu pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas objek fisik, karena realitas mempunyai objek fisik dan non fisik sekaligus. Islam mengakui objek non fisik seperti Tuhan, malaikat, dan jiwa. Inilah yang paling membedakan dengan paradigma sekuler, karena mereka membatasi objek pengetahuan hanya pada objek-objek fisik sejauh bisa diindera.24 Dalam bahasa yang berbeda, Abdul Munir Mulkhan, menjelaskan bahwa dikotomi ilmu Islam dan ilmu umum secara ideologis dan teologis, dicairkan bukan dengan Islamisasi ilmu-ilmu umum tetapi melalui peletakan semua ilmu dalam sebuah sistem kebenaran dan metodologi. Suatu ilmu ditolak hanya jika ternyata ilmu salah. Sebaliknya, lanjut Munir, jika terbukti benar, bukan karena ada hubungan dengan sumber al-Qur’an dan Sunnah Nabi.25 Bila epistemologi yang dipakai oleh para filosof Muslim, diaplikasikan dalam kurikulum Madrasah Aliyah, tentunya diverensiasi antara ilmu agama dan umum tidak ada. Karena ilmu Tafsir/Hadis, ilmu Tauhid, ilmu Fikih dan lain-lain, pembahasan ini lebih bersifat non-fisik, sementara ilmu Matematika, Fisika, Biologi, Kimia dan lain-lain lebih bersifat fisik. Sehingga ketika ilmu-ilmu ini diintegrasikan, tidak ada pembeda antara ilmu agama dan umum, adanya adalah ilmu Islam. Adapun bagian yang kedua, epistemologi al-Qur’an, pembahasan ini menurut Kuntowijoyo untuk mendapatkan pemahaman tentang pendekatan alQur’an, Kunto menamakannya dengan pendekatan sintetik analitik. Pada dasarnya, 24

Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas

Riset, 42. 25

Lihat, Mulkhan, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, 6.

273

lanjut Kunto, kandungan al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian yaitu konsep, dan kisah-kisah dan amsa>l. Bagian pertama berisi seperangkat konsep tentang yang abstrak dan tidak abstrak dan bisa diamati. Konsep yang abstrak seperti Tuhan, malaikat, akhirat dan lain-lain. Sementara konsep yang tidak abstrak dan bisa diamati adalah fuqara>, masa>ki>n dan lain-lain. Semua konsep tersebut memiliki makna, dan di sinilah al-Qur’an bermaksud memberikan gambaran yang utuh tentang doktrin Islam. Sementara bagian yang kedua berisi kisah dan amsa>l, lebih merupakan ajakan al-Qur’an untuk merenungi kejadian-kejadian agar diperoleh hikmah. Di sinilah al-Qur’an memperkenalkan arche-type tentang kondisi universal. Bukan obyektif-empiris-nya yang ditonjolkan tapi ta’wil subyektif-normatif-nya.26 Bila dibandingkan menurut penulis antara epistemologi para filosof dengan alQur’an, berbeda metodologi. Epistemologi para filosof, menjelaskan sesuatu berawal dari fisik kemudian non fisik, dari empirik kemudian menghasilkan kesimpulan yang berimplikasi ke non fisik. Sementara al-Qur’an, menjelaskan sesuatu bermula dari abstrak ke tidak abstrak, untuk menggambarkan keduanya ini al-Qur’an memberi penguat (ta’kid) penjelasannya dengan kisah dan amsa>l. Walaupun metodenya berbeda, tetapi substansinya sama, dan inilah yang mengharuskan kurikulum madrasah mengajarkan dua macam ilmu itu –agama dan umum– dalam arti integrasi dengan porsi yang seimbang, karena sesungguhnya keduanya adalah ilmu Islam. Dengan kekuatan integrasi ini kurikulum MA akan tampil menjadi kurikulum unggul melebihi kurikulum SMA. Jika dapat terealisasi, maka secara politis kurikulum MA selangkah lebih maju dari pada kurikulum SMA. Paradigma integrasi.27 Dalam buku yang diedit Kusmana, integrasi keilmuan, dijelaskan tentang integrasi ilmu, yaitu cara pandang tertentu atau model

26 27

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, 12.

Terdapat tiga jenis makna bila merujuk kata integrasi. Sebagai kata kerja to integrate yang berarti mengintegrasikan, menyatupadukan, menggabungkan, mempersatukan (dua hal atau lebih menjadi satu). Sebagai kata benda, integration, berarti integrasi, pengintegrasian, atau integrity berarti ketulusan hati, kejujuran dan keutuhan. Bila berkaitan dengan bilangan integrasi merujuk ke

274

pendekatan tertentu terhadap ilmu pengetahuan, yang bersifat menyatukan disebut paradigma integrasi ilmu integratif atau singkatnya paradigma ilmu integratif. Bisa juga disebut paradigma integrasi ilmu integralistik, yaitu pandangan yang melihat sesuatu ilmu sebagai bagian dari keseluruhan. Terakhir paradigma integrasi ilmu terbuka/dialogis, yaitu pandangan terhadap ilmu yang bersifat terbuka, siap untuk sharing atau mengapresiasi keberadaan lainnya. 28 Paradigma integrasi ilmu integratif. Adalah cara pandang ilmu yang menyatukan semua pengetahuan ke dalam satu kotak tertentu dengan mengasumsikan sumber pengetahuan

dalam satu sumber tunggal (Tuhan), demikian Kusmana.

Sementara sumber-sumber lain, lanjut Kusmana, seperti indera, pikir dan intuisi dipandang sebagai sumber penunjang sumber inti. Dengan demikian sumber wahyu menjadi inspirasi etis, estetis sekaligus logis dari ilmu. Dengan kata lain paradigma ini berusaha melebur paradigma-paradigma yang ada baik yang sekuler maupun yang agama ke dalam satu kerangka pikir tertentu, yaitu kerangka pikir yang konprehensip yang menganggap penting semua sumber ilmu mulai dari pikir, indera, intuisi sampai wahyu. Bagaimana proses peleburan itu dilakukan, paradigma ini menempatkan wahyu sebagai hirarki tertinggi dari sumber-sumber ilmu lainnya. Gerakan Islamisasi ilmu sebenarnya dapat dikategorisasikan sebagai upaya mengintegrasikan ilmu ke dalam satu pohon ilmu pengetahuan integratif. 29

kata integer yang berarti bilangan bulat/utuh. Dari kata ini dijumpai kata integrationist yang bermakna penyokong paham integrasi, pemersatu. Sebagai kata sifat, kata ini merujuk pada kata integral yang bermakna hitungan integral, bulat, utuh yang perlu untuk melengkapi seperti dalam kalimat reading is integral part of the cours (membaca merupakan bagian pelengkap dari kursus itu). Bentuk kata sifat lainnya adalah integrated yang berarti yang digabungkan, yang terbuka untuk siapa saja seperti integrated school (sekolah terpadu) atau integrated society (masyarakat yang utuh, masyarakat tanpa perbedaan warna kulit). Lihat, John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 326. Bandingkan dengan, Hornby, Oxford Advenced Learner’ Dictionary (Oxford University Press, 1989), 651-652. 28

Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas

29

Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas

Riset, 49. Riset, 49.

275

Terkait dengan penjelasan di atas, sembari meminjam istilahnya Mulyadi Kertanegara, bahwa sebenarnya basis ilmu-ilmu agama dan umum berasal dari sumber yang sama, yaitu dari Tuhan, al-Haqq (Sang Kebenaran) the Ultimate Reality (Realitas Sejati). Mulyadi juga menjelaskan, bahwa tujuan ilmu adalah untuk mengetahui kebenaran apa adanya. Artinya, lanjut Mulyadi, ilmu bertugas mencari kebenaran sejati, sehingga dapat disimpulkan bahwa karena Tuhan adalah kebenaran sejati, tentunya merupakan sumber bagi kebenaran-kebenaran yang lain, termasuk kebenaran yang dihasilkan dari analisa ilmu-ilmu umum. 30 Dalam kurikulum Madrasah Aliyah, kebenaran Tuhan harus menjadi sentral semua mata pelajaran. Paradigma integrasi ilmu yang integralistik. Adalah melihat ilmu berintikan pada ilmu dari Tuhan seperti pada paradigma ilmu integratif, tetapi bedanya ada pada perlakuan hubungan ilmu-ilmu agama dan umum. Paradigma ilmu integratif melebur semua jenis ilmu ke dalam satu kotak dengan sumber utama Tuhan dan sumbersumber ilmu lainnya sebagai penunjang, sementara dalam paradigma ilmu integralistik, memandang Tuhan sebagai sumber segala ilmu, dengan fungsi tidak untuk melebur sumber-sumber lain tetapi untuk menunjukan bahwa sumber-sumber ilmu lainnya sebagai bagian dari sumber ilmu dari Tuhan.31 Terkait dengan integrasi ilmu yang integralistik, Kuntowijoyo menawarkan paradigma

Islam

yang

mengintegralisasikan

ilmu.

Sebelumnya

Kunto,

mendiskusikan pengilmuan Islam. Istilah ini dipakai Kunto untuk menggantikan istilah Islamisasi ilmu, karena Islamisasi bersifat reaktif dan pengilmuan Islam bersifat proaktif.32 Reaktif setidaknya berkonotasi semangat apologetik sementara proaktif mengandung semangat pengakuan atas keberhasilan yang dicapai pihak lain dengan tentunya penerimaan yang kritis. Islamisai pengetahuan sebenarnya suatu

30

Mulyadi Kertanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam (Jakarta: UIN Press, 2003), 38-39. 31

Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas

32

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, Vi.

Riset, 51.

276

usaha menciptakan teori atau metode tersendiri dan tidak meniru metode-metode dari luar. Hal itu mungkin dengan cara mengembalikan pengetahuan pada pusatnya yaitu Tauhid. Dari Tauhid muncul tiga kesatuan; kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan sejarah. Kesatuan pengetahuan artinya pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu. Kesatuan hidup dapat dimaknai tidak adanya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dan ilmu yang bebas nilai. Sementara kesatuan sejarah dapat dimaknai bahwa pengetahuan harus mengabdi pada pengetahuan dan umat.33 Dengan kata lain, lanjut Kunto, bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah usaha mengembalikan ilmu pengetahuan kepada Tauhid atau konteks teks. Kunto menambahkan, bahwa yang perlu diislamisai bukan ilmu tetapi niat subyek.34 Kemudian integralisasi ilmu menurut Kunto dijelaskan dalam konteks metodologi pengilmuan Islam yang terdiri dari dua bagian; integralisasi dan obyektivikasi (menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua). Integralisasi diartikan sebagai ”pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu”.35 Integrasi ilmu menempatkan agama sebagai sumber dan pada saat yang sama melihat filsafat dapat bersumber dari agama, dan atau berdampingan dengannnya. Alur pertumbuhan ilmu-ilmu integralistik seperti berikut: agama – teoantroposentris

–dediferensiasi–

ilmu

integralistik.

Agama,

bermakna

menempatkan wahyu sebagai pengatur dunia; teoantroposentrisme menempatkan agama sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit kebenaran ilmu pengetahuan. Artinya, Kuntowijoyo mengakui bahwa wilayah produk pengetahuan kebenarannya didapat dari pengalaman. Karenanya, sumber pengetahuan terdiri dari agama dan manusia.36 Dengan demikian antara agama dan

33

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, 9.

34

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, 10.

35

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, 55-57.

36

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, 57-58.

277

manusia menyatu, bila dianalogikan agama adalah ilmu agama seperti Tauhid, Fikih Tafsir, Hadis dan lain-lain, sementara Matematika, Fisika, Biologi, Kimia dan lainlain adalah hasil pengalaman manusia, kedua klasifikasi besar ini harus menyatu (integralisasi). Dengan demikian semua ilmu yang menjadi content kurikulum Madrasah Aliyah, baik rumpun PAI (Sejarah Kebudayaan Islam, Tafsir, Hadis, Fikih, dan Tauhid), merupakan satu rumpun ilmu agama, kemudian Matematika, Biologi, Fisika, Kimia dan lain-lain merupakan hasil pencarian manusia, keduanya harus bermuara ke Islam. Hal ini merupakan kekuatan kurikulum MA ke depan. Paradigma integralisasi ilmu terbuka/dialogis. Dapat diartikan sebagai cara pandang terhadap ilmu yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jenis ilmu yang ada secara proporsional dengan tidak meninggalkan sifat kritis. Terbuka artinya suatu ilmu atau sekumpulan ilmu dapat bersumber dari agama dan ilmu-ilmu sekuler yang diasumsikan dapat bertemu saling mengisi secara konstruktif. 37 Adanya tuntutan integrasi keilmuan ini, menyebabkan kurikulum Madrasah Aliyah harus merespon secara positif, sehingga tidak ketinggalan zaman, dan menjadi solusi alternatif, permasalahan umat ini. Disamping itu, sebenarnya secara politis kurikulum Madrasah Aliyah juga merespon tuntutan dari pemerintah, yang menghendaki kurikulum MA sejajar dengan kurikulum SMA, bila ingin diakui sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional. Ternyata hal yang demikian tidak hanya terjadi di Indonesia, di Netherland (Belanda) dan Belgia, semua sekolah Islam juga harus mengikuti kurikulum nasional, disebabkan sekolah Islam tersebut mendapatkan dana dari pemerintah, 38 ini jelas politis. Hal ini secara politis membuka peluang bagi lulusan madrasah untuk berkompetisi di jenjang berikutnya. Tuntutan integrasi secara politis ini telah banyak dijelaskan pada bab sebelumnya. Terlepas bahwa integrasi keilmuan dalam MA di Indonesia ada unsur politis, tetapi bila 37

Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas

Riset, 55. 38

Michael S. Merry, Culture, Identity, and Islamic Schooling: A Philosophical Approach (Macmillan: Palgrave, 2007), 157.

278

disikapi secara positif, keuntungannya jauh lebih besar, karena hal ini menjadi sosok ideal kurikulum madrasah masa depan, dimana walaupun demikian madrasah tetap akan mempertahankan ciri khas ke-Islamannya.

C. Tuntutan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dibendung, sampai-sampai Hodgson mengatakan, bahwa zaman sekarang lebih tepat disebut dengan ”zaman teknik” (technical age), karena pada kemunculan zaman itu, ada peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme itu. 39 Hal ini diperkuat Tilaar, menurutnya bahwa era abad 21 merupakan era ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa support ilmu pengetahuan dan teknologi suatu masyarakat akan tertinggal dari perubahan. Oleh sebab itu, negaranegara baik negara maju maupun negara berkembang memberikan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan, khususnya pendidikan sains dan pengembangan teknologi.40 Mau tidak mau jelas berimplikasi terhadap umat Islam, yang menuntut dunia madrasah khususnya kurikulum MA harus menyesuikan dengan perkembangan zaman tersebut. Menarik untuk diamati bahwa pada tahun 1994/1995, The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA), suatu organisasi internasional non profit yang berkedudukan di Belanda menyelenggarakan studi matematika dan sains41 secara bersamaan yang dinamakan The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS). TIMSS diulangi kembali pada tahun 1999 dan Indonesia menjadi salah satu dari 36 negara peserta. Hasil dari TIMSS ulangan ini menunjukan bahwa di dalam bidang IPA Indonesia berada pada urutan ke-32 dari

39

Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina,

1998), 43. 40

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), 51. 41

Lihat, Barry Buzan dan Gerald Segal, Anticipating the Future (t.k.: t.p., 1998), 139.

279

38 negara peserta. Yang

menarik di dalam hasil tersebut ialah 5 terbaik dunia

diduduki oleh Taiwan, Singapura, Hongaria, Jepang dan Korea Selatan. Dalam bidang Matematika Indonesia berada di urutan ke-34 dari 38 negara peserta. Kemudian, lima urutan terbaik dunia diduduki oleh Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Jepang dan Belgia. 42 Melihat hasil yang seperti ini, Indonesia harus merenung, bahwa masih ketinggalan dari pada negara-negara lain prestasi IPA dan Matematikanya. Islam sebagai mayoritas di Indonesia, pastilah merasa bahwa prestasi ini harus ditingkatkan melalui pendidikan, khususnya adalah pendidikan MA. Kurikulum MA dituntut untuk direformasi, agar mata-mata pelajaran rumpun iptek diperkuat, dengan tetap melandaskan diri pada ciri khas ke-Islamannya, sebagai kekuatan politis madrasah. Menanggapi persoalan masih tertinggalnya Indonesia dalam prestasi IPA dan Matematika, Tilaar, memberikan kesimpulan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dapat berkembang apabila dasarnya ialah sains dan matematika mempunyai mutu tinggi. 43 Menurut Baiquni, sains merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan; sains merupakan sumber teknologi dan teknologi merupakan aplikasi sains. Sains dapat diartikan sebagai: himpunan rasionalitas kolektif insani, yakni: himpunan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar. Sedangkan teknologi adalah sebagai himpunan pengetahuan terapan manusia tentang proses-proses pemanfaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains dalam kegiatan yang produktif ekonomis. 44 Sebagai bahan perbandingan, Hodgson menyebutnya technicalized, yang berpadanan dengan industrialized, jadi yang dapat diterapkan 42

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, 51. 43

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, 52. 44

Lihat, Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain Pengembangan dan Implementasinya (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), 32. Sains sebagai ilmu pengetahuan manusia pada dasarnya merupakan natural science (Ilmu Pengetahuan Alam) seperti Biologi, Fisika, dan Kimia dan Social Science (Ilmu Pengetahuan Sosial) seperti Ilmu Sejarah, Ekonomi, Bahasa dan lain-lain.

280

pada perkembangan teknis bukan hanya dalam pabrik, tetapi juga dalam pertanian, administrasi, ilmu pengetahuan dan sebagainya.45 Nampaknya Hodgson lebih luas memberi tafsir teknik/teknologi, karena dapat diterapkan dalam scope lapangan keilmuan yang lebih luas. Sementara Baiquni memberi tafsir lebih spesifik. Berpijak pada penjelasan di atas, oleh karenanya, seperti sering disebut oleh Husni Rahim, bahwa pelajaran Mafikibb di MA harus mendapat prioritas, peningkatan pembelajaran Mafikibb dan dukungan media pembelajarannya serta peningkatan SDM guru yang dapat mengajarkan Mafikibb dengan profesional. Yang selama ini menjadi momok dan ditakuti madrasah. Kita tahu bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hasil modernisasi Barat yang identik dengan sekularisme. Walaupun, Arkoun lebih mengatakan bahwa modernitas intelektual adalah netral –akan di bahas selanjutnya. Terkait dengan sekularisme, maka perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat bersifat dikotomi. Hal ini diperkuat Ziauddin Sardar, bahwa perkembangan kebudayaan Barat telah menempatkan ilmu pengetahuan dan agama dalam satu bingkai dikotomi. Atau telah terjadi proses sekularisasi ilmu pengetahuan di dalam kebudayaan Barat. Seperti kita ketahui di dalam sejarah peradaban Barat Aufklarung atau abad pencerahan telah melepaskan diri dari dogma-dogma agama pada waktu itu. Dengan berkembang pesatnya aliran rasionalisme maka kebudayaan Barat menganggap bahwa ilmu adalah bebas nilai atau ilmu terlepas dari agama.46 Budaya dikotomi Barat yang demikian jika diteruskan akan mewujudkan, manusia-manusia yang materialistik.

45

Istilah technicalized, dapat digunakan untuk menandai beberapa sektor atau keseluruhan dari sebuah masyarakat, dimana unsur-unsur yang dominan berada pada tingkat organisasi sosial, dimana dalam kegiatan intelektual dan praktis, prosedur-prosedur teknik yang dispesialisasi dan dirasionalisasi secara kalkulatif membentuk suatu pola yang saling bergantung dan lebih unggul. Lihat, Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia Masa Klasik, Edisi Indonesia oleh Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 1999), 72. 46

23-25.

Lihat, Ziauddin Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim (t.k.: t.p., 2000),

281

Dikotomi ilmu pengetahuan seperti konsep Barat, ditentang Sardar, sebab menurut Sardar, jika ilmu merupakan bagian dari kebudayaan maka ilmu pengetahuan bertujuan mencari kebenaran. Kebenaran menurut pandangan Islam, lanjut Sardar, tidak mungkin merupakan kebenaran mutlak. Sardar selanjutnya menambahkan, manusia ditugaskan Tuhan untuk mengeksplorasi dunia sekitarnya untuk kemaslahatan umat manusia. Dengan demikian, lanjut sardar, ilmu tidak bebas nilai dan oleh sebab itu merupakan ibadah. Apabila ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan ibadah atau sebagian dari iman dan taqwa, maka dalam proses pendidikan tidak dapat dibedakan antara ilmu dan taqwa (imtaq).47 Memperhatikan konsep Sardar ini, maka sejatinya bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Islam adalah sesuatu yang tidak terpisah dari doktrin Islam artinya tidak terjadi dikotomi. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius bagi kurikulum MA sekarang dan ke depan. Munculnya penghapusan dikotomi ilmu pengetahuan dan terbentuknya konsep integrasi ilmu, membuat MA harus mereformasi kurikulumnya, terutama memelihara kebudayaan Islam di satu sisi serta penelitian ilmiah dan teknologi di sisi lain. 48 Adanya integrasi ilmu pengetahuan, kurikulum MA harus bergeser ke arah integrasi ilmu yang utuh, artinya terjadi format baru di dalam kurikulum MA, hal ini merupakan tuntutan. Sehingga ketika para teknolog itu berasal dari orang-orang madrasah dan didasari spiritual keagamaan yang kuat, maka diharapkan hasil teknologi itu bermanfaat bagi umat manusia. Seperti diungkapkan Sardar, bahwa kebebasan akal manusia akan mencari pintu-pintu lainnya agar arah perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan ditujukan kepada pengrusakan bahkan pembinaan keberadaan manusia di planet bumi ini, tetapi ditujukan pada kemakmuran, keamanan dan kemaslahatan umat manusia.49 Jika para teknolog

47

Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, 23-25.

48

Hery Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani,

2003), 243. 49

Baca Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim.

282

didasari spiritual ke-Islaman yang kuat, niscaya teknologi yang dihasilkannya akan bermanfaat dan mendatangkan maslahat, tetapi jika tidak maka akan sebaliknya. Dengan demikian perlu kiranya kurikulum MA yang mengintegrasikan antara Iptek dan Imtaq, demikian sembari meminjam istilahnya Syaifuddin Sabda. Dasar kurikulum integrasi MA cukup kuat, yaitu bahwa terdapat dua jenis ilmu, yakni ilmu yang berasal dari Tuhan (yang bersifat mutlak) dan ilmu yang berasal dari alam, akal/nalar dan sejarah manusia. Ilmu yang pertama tidak diragukan kebenaran dan pemakaiannya, sedangkan ilmu yang kedua harus diuji dan diverivikasi kebenarannya berdasarkan konsep dan nilai Islam. Perlunya pengujian dan verivikasi atas ilmu pengetahuan yang kedua ini, menurut Kuhn (Filsuf dan Ilmuwan Barat) dan juga Sardar (Ilmuwan Muslim), keduanya menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak bebas nilai, ia amat ditentukan oleh paradigma penemu atau pengembang ilmu tersebut.50 Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) itulah yang berasal dari nalar/akal manusia dan dari alam, sementara yang kebenarannya mutlak berasal dari Tuhan itu yang disebut rumpun ilmu yang memanifestasikan iman dan taqwa (imtaq). Sardar juga membagi tiga pola cara pengintegrasian, dimana ini dapat menjadi pedoman pengintegrasian kurikulum MA. Pertama, kelompok yang melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral serta bebas nilai. Kedua, kelompok yang bekerja dengan sains modern sambil berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak Islami dan dilakukan Islamisasi. Ketika sains modern berada dalam masyarakat yang Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk kepentingan dan cita-cita Islam. Ketiga, 50

Lihat, S. Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (California: The University of Chicago Press, 1970), lihat pula Sardar, Jihad Intelektual, Merumuskan Paramiterparamiter Sains Islam, AE Priyono (Pentj.), (Surabaya: Risalah Gusti, 1969), lihat pula Syaifuddin Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain Pengembangan dan Implementasinya (Ciputat: Quantum Teaching, 2006), 37.

283

kelompok yang percaya adanya sains Islam dan berusaha membangunnya untuk melahirkan sains yang benar-benar Islami (sains Islami) yang berangkat dari paradigma sains Islam.51 Sehingga, ketika konsep Sardar direalisasikan maka dapat digambarkan secara praktis pemaduan iptek dan imtaq dalam kurikulum MA, yaitu pertama, pemaduan iptek dan imtaq. Dimana kurikulum mata pelajaran iptek, seperti Biologi, Fisika, Kimia dan lain-lain dicoba direkayasa ulang dengan memasukan konsep, teori, nilai-nilai Islami ke dalamnya, baik dalam konsep tujuan, isi/materi, proses maupun hasil yang diharapkan. Model pemaduannya dapat dilakukan baik dalam bentuk apologetik, Islamisasi sains, ataupun pembentukan sains Islami. Kedua, pemaduan imtaq dengan iptek. Yaitu kebalikan yang pertama, yaitu memadukan imtaq –mata pelajaran PAI– dengan iptek, baik dalam bentuk iptek yang terdapat dalam mata pelajaran umum, seperti Biologi, Fisika, Kimia, Sejarah, Ekonomi, dan lain-lain atau konsep dan teori iptek yang ada di luar mata pelajaran resmi tersebut. Dalam rangka pemaduan mata pelajaran PAI (materi imtaq) ini dengan iptek tersebut dapat dilakukan dengan cara: a) memadukan materi pelajran PAI dengan materi pelajaran iptek –IPA dan IPS – untuk saling mendukung guna perluasan wawasan pengetahuan siswa, dan b) memadukan materi pelajaran PAI dengan konsep/teori iptek di luar mata pelajaran iptek untuk memberi wawasan terhadap mata pelajaran PAI. Ketiga, pemaduan iptek dan imtaq secara timbal balik. Konsep kurikulum terpadu dan konsep keterpaduan iptek dan imtaq adalah bukan sekedar sebuah bentuk organisasi materi kurikulum atau pembelajaran, tetapi dimaksudkan sebagai sebuah konsep kurikulum yang memiliki maksud dan rancang bangun yang khusus sesuai dengan konsep kurikulum terpadu yang dikembangkan oleh berbagai pakar kurikulum seperti Beane, Kniep, Fogarty, Maurer dan lain-lain.52 Menganalisis konsep ini

51 52

Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Paramiter-paramiter Sains Islam, 172-182.

Sabda, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq: Desain Pengembangan dan Implementasinya, 54-55.

284

maka, keterpaduan yang dimaksud adalah bersifat substansialis, bukan hanya sekedar simbolik, seperti yang selama ini direalisasikan oleh kurikulum MA pada umumnya. Sehingga menimbulkan lulusan (outcome) yang mandul, ilmu agamanya –imtaq– tidak matang, ilmu umumnya –iptek– juga demikian. Ketika telah terealisasi konsep integrasi kurikulum MA dengan muatan iptek dan imtaq, maka harus didukung oleh peningkatan dari segala hal –seperti telah dijelaskan– termasuk media pendidikan yang lebih modern dibanding sebelumnya, seperti radio, bioskop, televisi, OHP, LCD, berbagai macam surat kabar53 dan mediamedia pendidikan yang lebih canggih lainnya, dalam rangka peningkatan kualitas proses belajar mengajar.

D. Tantangan Modernitas Semakin lama manusia menginginkan otonomi yang lebih besar dalam hidupnya, dalam hal ini adalah kemerdekaan, berpikir rasional, dimana kesemuanya ini dapat menghantarkan perubahan, baik dalam kehidupan beragama, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Apa yang baru saja disebut, sebenarnya merupakan prinsipprinsip modernitas, dimana menurut Tariq Ramadan, dalam The West and the Challenges of Modernity, prinsip-prinsip modernitas meliputi, rasionalitas, perubahan dan kemerdekaan. 54 Jika kurikulum MA, ingin menyesuaikan dengan zaman yang sedang berkembang, maka harus memenuhi tuntutan modernitas55 ini, yakni kurikulum tersebut harus rasional, dimana pelajaran Mafikibb yang disebut Husni Rahim jangan menjadi momok madrasah, karena itu adalah rumpun mata-mata

53

Hery Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani,

2003), 227. 54

Tariq Ramadan, The West and the Challenges of Modernity (Menjadi Modern Bersama Islam: Islam Barat dan Tantangan Modernitas), edisi Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003), 1. 55

Menurut Arnold Toynbee, bahwa modernitas telah mulai menjelang akhir abad ke-15 M, ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi Kristen abad pertengahan. Lihat, Arnold Toynbee, A Study of History, diringkas oleh D.D. Somervelle (Oxford: Oxford University Press, 1957), 148.

285

pelajaran yang bersifat rasional. Kurikulum MA harus berani berubah dan bergeser ke arah yang lebih baik. Serta kurikulum MA harus independen, artinya tidak ditunggangi kepentingan politik. Lucian W. Pye menggambarkan modernitas, adalah didasarkan pada kemajuan teknologi dan semangat memperoleh ilmu pengetahuan (sains), didasarkan pada pandangan hidup yang rasional, pendekatan sekuler untuk hubungan sosial, merasa keputusan sosial adalah urusan publik dan di atas semua itu, didasarkan pada realitas politik.56 Bila implikasi modernitas merambat ke berbagai lapangan kehidupan, seperti juga godaan kehidupan, seperti diungkapkan Ta>riq Ramad}a>n, bahwa Barat muncul dengan gambaran yang indah, dimana standar-standar pendidikan dan kemampuan yang menakjubkan, prestasi teknologi yang luar biasa, kepedulian atas hak-hak asasi seseorang, kehidupan sehari-hari yang sangat menyenangkan, berbagai aktivitas waktu luang yang sangat menyenangkan, berbagai aktifitas waktu luang yang terus berjalan tanpa henti, dan kebebasan dari nilai-nilai moralitas. Siapapun di dunia ketiga yang, walau sedikit, tidak tertarik oleh semua ini pastilah bukan manusia. 57 Begitu indah gambaran modernitas, bila boleh penulis katakana laksana “surga dunia”. Tetapi yang menjadi permasalahan, ketika terjadi efek negatif dari modernitas itu, seperti kebebasan seks, nilai moral yang rendah dan lain-lain, yang jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ini adalah tugas orangorang madrasah. Sebenarnya, sambil meminjam istilahnya Arkoun, ada nilai-nilai modernitas yang bersifat netral, yaitu ilmu pengetahuan. 58 Harus disikapi secara positif oleh madrasah, sebab modernitas yang oleh Malik Fadjar disebut identik dengan Barat,59 tidak selamanya negatif. Arkoun, membedakan modernitas “material”, modernitas 56

Lucian W. Pye, Aspect of Political Development (Boston: Litle Brown, 1965), 8.

57

Tariq, The West and the Challenges of Modernity, 347.

58

Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina,

59

A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, 19.

1998), 44.

286

“intelektual” dan modernitas “kultural”. Yang pertama berarti kemajuan yang terjadi pada bingkai luar dari wujud manusia, sedang yang kedua mencakup metode, alat analisis, dan yang ketiga adalah sikap intelektual yang memberi kemampuan untuk lebih memahami realitas.60 Yang pertama harus ditangkap oleh orang madrasah adalah modernitas intelektual, adapun modernitas material dan kultural disesuaikan dengan nilai-nilai religiusitas Islam. Sehingga modernitas yang berkembang di dunia Islam lewat perantara orang madrasah dapat berkembang sesuai konsep modernitas dalam Islam. Efek modernitas memang cukup terasa, sehingga cukup kelihatan penampilan seseorang ketika mensikapi modernitas hanya ikut-ikutan tanpa didasari oleh rasio dan filosofi yang mapan. Hal ini menjadi peringatan bagi ketiga agama samawi, Yahudi, Kristen dan Islam, sebab pernah terdengar ungkapan Hobbes dan Nietzche bahwa “modernitaslah yang terutama akan mengguncang agama-agama besar”.61 Penulis akan lebih berkonsentrasi bagaimana sikap Islam terhadap modernitas. Sebab ilmu Islam diajarkan di MA, maka orang-orang MA harus menjadi pelopor

modernitas yang sesungguhnya

menurut Islam. Jelaslah

sebagaimana teori kedua filosof tadi, bahwa modernisasi pasti akan mengguncang Islam. Terkait dengan modernitas ini, menarik mencermati sikap orang Islam terhadap arus modernitas, Edgar Morin, melaporkan, bahwa dalam waktu-waktu tertentu, dimulai dari kungkungan masa lalu , Eropa yang sekuler, dunia Islam sekali lagi menutup diri satu sama lain; penguatan Islam dalam perlawanannya terhadap Eropanisasi moral yang menghancurkan rakyat Muslim. 62 Jelas menurut penulis, sebagaimana telah diungkapkan Arkoun sebelumnya, bahwa umat Islam harus menerima modernitas ilmu pengetahuan, dari sini kemudian umat Islam dapat

60

Arkoun, Al-Isla>m, As}ala>h wa Muma>rasah, Khalil Ahmad (pent.), (t.k: t.p., 1986), 42.

61

Tariq, The West and the Challenges of Modernity, 347.

62

Edgar Morin, Power I’Erope (Paris: Gallimard, 1990), 40.

287

menyesuaikan modernitas material dan kultural sesuai dengan norma-norma Islam, hal ini tidak berarti bahwa modernitas intelektual dikesampingkan dari nilai-nilai Islam. Perdebatan modernitas cukup menarik karena ada yang pro dan kontra, tetapi setidaknya kita dapat mengambil benang merah dari perdebatan tadi, sembari meminjam istilahnya Robert C. Wood, bahwa modernisasi –walaupun dalam bentuknya yang paling lahiriah, yakni usaha peningkatan kesejahteraan material– merupakan kelanjutan wajar dorongan naluri manusia sendiri untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.63 Tetapi lagi-lagi, orang madrasah harus dapat mengimbangi antara faktor naluri manusia dengan nilai-nilai agama yang dipeluknya. Sehingga tidak terjebak dengan modernisai material semata. Sedikit kita akan melihat perjalanan historis, modernisasi lembaga pendidikan Islam. Menurut Fazlur Rahman, dalam Islam and Modernity, perkembangan modernisasi berbeda antara satu daerah Islam dengan daerah lain. Ia menyebut empat faktor: (1) budaya daerah dalam menghadapi perluasan politik Eropa dan dominasi pemerintah dalam menghadapi otoritas kolonial Eropa, (2) watak organisasi ulama, atau kepemimpinan agama, dan watak hubungan mereka dengan institusi pemerintahan sebelum kolonial berkuasa, (3) negara membangun pendidikan Islam serta budayanya sebelum kolonial berkuasa, (4) watak kebijakan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya –seperti Inggris, Perancis dan Belanda.64 Negara kolonial jelas dalam menjajah negeri-negeri jajahannya tidak hanya berkeinginan material semata, tetapi bagaimana pula budaya modernitas mereka dapat diadopsi oleh masyarakat negeri jajahannya. Terkait dengan modernisasi

63

Robert C. Wood, “The Future of Modernizazion”, dalam Myron Weiner (ed.), Modernization, the Dinamics of Growth (Washington D. C.: Voice of America Forum Lecturers, 1968), 49. 64

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago, London: The University of Chicago Press, 1984), 43.

288

lembaga pendidikan Islam,65 perubahan tersebut cukup jelas, seperti munculnya madrasah yang tadinya pesantren, ini adalah usaha modernisasi lembaga pendidikan Islam. Yang tentunya ide seperti ini berasal dari para sarjana Muslim yang memparoleh pendidikan Barat. Malik Fadjar menguatkan hal ini, bahwa pada paro pertama abad ke-20 intervensi

budaya dan politik

Hindia

Belanda,

setidaknya

mempengaruhi

pembaharuan format madrasah. Demikian pula gerakan internal pembaharuan Islam, sudah barang tentu merupakan variabel penting dalam pembentukan format madrasah. Malik mengidentifikasi hal tersebut, seperti meningkatnya kualitas Madrasah Diniyah, dan madrasah sudah mulai mengajarkan pelajaran umum.66 Kemudian Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang mendominasi pelajaran umumnya. Kemudian munculnya SKB tiga menteri yang mengharuskan MA mengajarkan 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Disusul terbitnya Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, yang memasukan MA sebagai sub sistem pendidikan nasional, yang secara politis madrasah harus menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum SMA. Muncul kurikulum 1994, dimana Departemen Agama dengan menterinya Tarmizi Taher menetapkan MA adalah SMU berciri khas Islam. Datangnya era reformasi, munculnya masa otonomi daerah terbit UU Pendidikan No. 20 tahun 2003, dimana kurikulum MA sama persis dengan kurikulum SMU. Demikian pula munculnya KTSP, kurikulum MA juga sama persis dengan kurikulum SMA. Ini adalah bukti bahwa kurikulum MA harus mengikuti tuntutan-tuntutan modernitas, tetapi walaupun demikian kurikulum MA tetap mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. 65

Kerangka dasar yang berada di balik “modernism” Islam secara keseluruhan adalah bahwa “modernisasi” pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum Muslimin di masa modern. Karena itu pemikiran dan kelembagaan Islam –termasuk pendidikan– haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai dengan kerangka “modernitas”; mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum Muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern. Lihat, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernitas Menuju Milenium Baru, 31. 66

A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, 24-25.

289

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian beberapa bab terdahulu dapat disimpulkan, bahwa pergeseran kurikulum (Madrasah Aliyah) lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Hal ini tidak berarti bahwa faktor-faktor lain seperti, faktor agama (ideologi), sosial, ekonomi, dan budaya, tidak ikut berperan dalam mempengaruhi pergeseran kurikulum (Madrasah Aliyah). Namun di antara faktor-faktor tersebut ada yang lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum (Madrasah Aliyah) yaitu faktor politik. Biasanya ending dari terjadinya pergeseran kurikulum (Madrasah Aliyah) ditentukan oleh kebijakan pendidikan, dan kebijakan tersebut muncul untuk menindaklanjuti undang-undang, sedangkan undang-undang itu biasanya syarat dengan kepentingan politis. Kesimpulan ini dikuatkan oleh bebarapa bukti argumen, sebagai berikut: 1. Undang-Undang Pendidikan di Indonesia yang syarat dengan nuansa politis mengharuskan kebijakan pendidikan untuk menjabarkan undang-undang tersebut. Hal ini terkait erat dengan pergeseran kurikulum MA. Sehingga tujuan, isi, pendekatan (metode) dan penilaian kurikulum MA mengalami pergeseran dari masing-masing periode. Pergeseran metode dan penilaian dalam kurikulum MA tidak menjadi persoalan krusial, karena pergeseran ini mengarah pada modernisasi, dalam arti bergeser ke arah yang lebih baik. Tetapi ketika pergeseran tersebut pada tujuan dan isi kurikulum menjadi problem yang serius, karena ketika kedua komponen kurikulum MA ini bergeser pastilah harus sesuai dengan dasar keIslaman madrasah yang menjadi fundamen pokok dan merupakan karakteristiknya. Yang cukup menarik bahwa bergesernya kurikulum MA karena dipengaruhi oleh undang-undang yang bersifat politis. Indikatornya, ketika tujuan kurikulum MA adalah untuk mencetak calon ulama (ulu>m al-di>n), tetapi tujuan tersebut tidak

290

tercapai karena terganjal dengan content kurikulum

MA yang senantiasa

meminimalisir pelajaran agama Islam, hal ini dijalankan oleh madrasah (MA) karena tuntutan undang-undang. Walaupun keadaannya terjepit oleh undangundang yang bersifat politis, kurikulum MA tetap mempertahankan ciri yang melekat padanya dimana merupakan karakteristiknya. Adapun ciri yang melekat tersebut adalah senantiasa mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, yang secara substansi terkandung dalam tujuan dan isi kurikulum MA. 2. Undang-Undang Pendidikan yang bersifat politis menggiring sistem ganda (dualistik) dalam pendidikan menjadi satu sistem pendidikan nasional (UndangUndang Pendidikan pertama No. 4 tahun 1950 dan kedua No. 2 tahun 1989). Hal ini terbukti dengan bergesernya kurikulum MA yang semula memprioritaskan ulu>m al-di>n kemudian lambat laun mengadopsi pelajaran umum yang pada akhirnya kurikulum MA sama dengan kurikulum SMA pada umumnya. Implikasi dari realitas yang demikian menyebabkan Diknas mempunyai otoritas yang lebih dominan. Dengan demikian outcome MA terus diklaim lebih rendah kualitasnya dari pada output SMA. Namun perlu menjadi catatan, bahwa setelah munculnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 30, pendidikan agama dengan tujuan menciptakan ahli agama (ulama) dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat. Dengan demikian Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) dengan kurikulum dominan mata pelajaran agama Islam di bawah otoritas Kementerian Agama dapat direalisasikan, maka secara substansi tujuan dan content awal kurikulum MA tidak hilang, hal ini hendaknya menjadi perhatian bagi Kementerian Agama, agar meningkatkan kualitas pendidikan yang di bawah kewenangannya. Selanjutnya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan cukup efektif mempengaruhi pergeseran kurikulum MA. Dimana berdasarkan data yang penulis kumpulkan terjadi pergeseran kurikulum MA yang secara spesifik dapat diketahui pergeserannya dari komponen-komponen kurikulum MA. Semua komponen kurikulum MA sejak

291

tahun 1950–2006 (UU pendidikan pertama sampai ketiga) baik tujuan, isi, metode maupun penilaian terjadi pergeseran. 3. Alur pergeseran kurikulum MA cukup jelas, bahwa sebelum muncul kurikulum 1975 kurikulum MA beragam dengan tetap mempertahankan ciri khas keIslamannya. Namun setelah muncul kurikulum 1975 (kurikulum SKB tiga menteri), kurikulum MA menjadi seragam, dimana mengajarkan kurang lebih 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum, persyaratan ini mutlak, ketika madrasah ingin diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional (UU pendidikan No. 4 Tahun 1950 dan UUSPN No. 2 Tahun 1989). Dan perlu menjadi catatan penting bahwa kurikulum MA menjadi beragam kembali setelah munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003, yaitu pendidikan agama dengan menciptakan ahli agama (ulama) dapat diselenggarankan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat, dengan demikian MAK dapat payung hukum, hal ini dapat disimpulkan bahwa keragaman kurikulum madrasah setelah munculnya UUSPN Tahun 2003 secara politis dinaungi undang-undang.

B. Saran Ada beberapa hal yang perlu direkomendasikan atau disarankan dalam penelitian ini: 1. Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka kebenaran yang dihasilkan dari penelitian ini bersifat relatif, dan memiliki berbagai keterbatasan. Maka diharapkan penelitian-penelitian selanjutnya khususnya tentang kurikulum Madrasah Aliyah dapat menyempurnakan kebenaran penelitian ini. 2. Sepanjang pengetahuan penulis penelitian tentang pergeseran kurikulum madrasah belum begitu banyak. Terlebih ketika tema sentralnya Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), MA dengan berbagai macam ragamnya dan STAIN, IAIN maupun UIN. Maka perlu diperbanyak penelitian tentang tema-tema tersebut, agar kebenarannya lebih akurat dan dapat diketahui kemajuan serta kemunduran kurikulum madrasah.

292

3. Bila merujuk pada komponen-komponen kurikulum, masih banyak bidang kajian tentang pergeseran kurikulum, seperti tujuan, isi, metode dan evaluasi kurikulum. Hal ini perlu penelitian khusus secara mendalam tentang komponen-komponen tersebut, yang selanjutnya menjadi pedoman pengembangan madrasah. 4. Perlu dibuka jurusan kurikulum di STAIN, IAIN maupun UIN, sehingga memunculkan sarjana-sarjana yang ahli dalam bidang kurikulum pendidikan Islam. Karena, para ahli kurikulum pendidikan Islam di Indonesia penulis pikir belum terlalu banyak, tidak seperti di Barat. 5. Karena kajian kurikulum erat juga dengan politik pendidikan, maka perlu juga dibuka jurusan baru di STAIN, IAIN dan UIN, yaitu jurusan Politik Pendidikan Islam. Politik Pendidikan Islam jangan hanya menjadi wacana saja dalam dunia madrasah, tetapi riil kita mempunyai ahlinya. 6. Perlu menjadi perhatian bagi Kementerian Agama pada khususnya yang mempunyai kewenangan dalam pendidikan madrasah, bahwa munculnya UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 membuka peluang bagi kementerian tersebut untuk secara konsentrasi mengurusi MA Umum, MA Ketrampilan, MA Keagamaan dan MA Diniyah. Karena MA Keagamaan telah diatur oleh pasal khusus, sehingga membuka kelonggaran dan otoritas khusus, untuk mengelola MA Keagamaan secara profesional, sehingga para calon ulama ahli agama (ulu>m al-di>n) dapat di ciptakan dari sini.

293

DAFTAR PUSTAKA

Abu-Duhou, Ibtisam, School-Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah), Jakarta: Logos, 2002. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Humanisme

Teosentris,

Ahmad, H.M., Pengembangan Kurikulum, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Ahid, Nur, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia, Kediri: STAIN Kediri Press, 2009. Ahmed, Samina, Extreme Madrasahs, Harvard International Review Winter: Academic Research Library, 2009. Akhwan, Muzhoffar, Pengembangan Madrasah sebagai Pendidikan untuk Semua, dalam El-Tarbawi (Jurnal Pendidikan), No. 1 Vol. 1 2008. Alberty, Harold B., dan Elsie J. Alberty, Reorganizing The High-School Curriculum, New York: The Macmillan Company, cet. Ke 3, 1962. Almond dan G.B. Powell, System, Process, and Policy, Comparative Politics, Boston dan Toronto: Litle, Brown dan Company, 1978. Aly, Hery Noer dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2003. Anfara, Vincent A.dan Sandra L. Stocki (ed.), Midle School Curriculum, Instruction and Assesment, Us: Information Age Publishing Inc., 2002. Angus, L., Scooling For Social Order: Democracy, Equality and Social Mobility in Education, Victoria: Deakin University Press, 1986. Al-‘Anizy, Yu>suf, Mana>hij al-Bahthu al-Tarbawi bain al-Nad}ariyah wa alTat}biqiyah, Beirut: Maktabah al-Falah li al-Nashri wa al-Tauzi‘i, 2005. Anwar, M. S., Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Musli>m Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.

294

Anwar, “Politik Islam di Tengah Isu Suksesi” (Peristiwa Utama), Ummat, 1995. Apple, Michael W., Educating The "Right" Way Market, Standards, God, and Equality, New York dan London: Routledge Taylor dan Francis Group, cet. Ke-2, 2006. --------, Ideology and Curriculum, New York and London: Routledge Falmer, 2004. Ardi, Munawaratul, Surau: Lembaga Pendidikan Islam Tradisional pada Masa Kontemporer di Padang Pariaman (Disertasi Doktor), Jakarta: t.p., 2008. Arifin, M, Kapita Selekta Pendidikan, Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008. Asanuma, Shigeru, “Japanese Educational Reform for the 21st Century: The Impact of The New Course of Study Toward the Postmodern Era in Japan”, dalam William F. Pinar (ed.), International Handbook of Curriculum Research, London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2003. Assegaf, Rachman, Politik Pendidikan Nasional; Pergeseran Kebijakan Pendidikan Islam dari Proklamasi Ke Reformasi, Yogyakarta: Kurnia kalam, 2005. Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999. Asyraf, Syed Ali, New Horison in Muslim Education, Cambridge: Hodder dan Staughton The Islamic Academy, 1985. Asy’arie, Musa, Keluar dari Krisis Multidimensi, Yogyakarta: LESFI, 2001. Al-Attas, Naquib, Islam and Secularism, terj. Karsijo Joyosumarno, Bandung: Pustaka, 1998. Azra, Azyumardi, Dina Afrianty, and Robert W. Hefner, “Pesantren and Madrasa: Musli>m Schools and National Ideals in Indonesia”, dalam Robert W. Hefner and Muhammad Kasim Zaman (ed.), Schooling Islam, The Culture and Politics of Modern Muslim Education, United State of America: Princeton University Press, 2007.

295

Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (Ed.), Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Jakarta: INIS, 1998. Azra, Azyumardi, Paradigma Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Buku Kompas, 2002. --------, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos, 2003. --------, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: logos, 1999. --------, “Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol. I, Nomor, 02/1/1997. --------, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Rajawali Pers, 1999. al-Babat}in, ‘Abd Al-‘Aziz ‘Abd al-Wahab, Al-Tadri>s Min Ajli Tanmiyah al-Tafki>r, Riyad: Maktabah al-Tarbiyah al-‘Arabi Li> Daul al-Kha>lij, 1416 H / 1995 M. Badawi, M.A. Zaki, “Traditional Islamic Education – Its Aims and Purposes in Present Day”, dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Atas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979. Baldock, Peter, The Pleace of Narrative in The Early Years Curriculum, How The Tale Unfolds, London dan New York: Routledge, 2006. Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Barrow, Robin, Giving Teaching Back to Teacher: A Critical Introduction to Curriculum Theory, Totowa, NJ: Barnes and Noble. Beauchamp, G. A., Curriculum Theory: Meaning, Development, and Use. Theory Into Practice, tk: tp, 1982. Berkes, Niyazi, The Development of Secularism in Turkey, Montreal: McGill University Press, 1964.

296

Bevis, EM. Olivia, A New Direction for Curriculum Development For Professional Nursing: A Paradigm Shif From Training to Education, Athens, Georgia: The Chicago University Press, 1990. Billings, G. Ladson, Reading Between the Lines and Beyond the Pages: A Culturally Relevant Approach to Literacy Teaching. Theory Into Practice, tk: tp, 1992. Blunt, E., (ed.), Social Service in India, India: H.M. Stationery Office, 1939. Boechari, Sidi Ibrahim, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, Jakarta: Gunung Tiga, 1981. Boland, B. J., Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: Grafiti Pers, 1982. Boyle, Helen N., Qur’anic Schools, Agents of Preservation and Change, New York and London: Rountledge Falmer, 2004. Botkin, J., M. Elmandjra, dan M. Malitza, No Limits to Learning: Bridging The Human Gap, A Report to the Club of Rome, New York: Pergamon Press, 1978. Bower, C., The Promise of Theory: Education of Politics of Cultural Change, New York: Longman, 1984. Bradjanegara, Sedjarah Pendidikan Indonesia, Jogjakarta: Badan Konggres Pendidikan Indonesia, 1965. Bridges, T., Multiculturalism as a Postmodernist Project, Inquiry Critical Thinking Across the Disciplines, tk.: tp., 1991. Brooks, Jacqueline Grennon dan Martin G. Brooks, In Search of Understanding The Case For Constructivist Classrooms, Alexandria, Virginia: Association For Supervision and Curriculum Development, 1993. Brown, M. E., & Ganguly, S. (eds), Government Policies and Ethnic Relations in Asia and The Pasific, Harvard University: The Center of Science and International Affair, John F. Kennedy School of Goverment, 1997. Brumbaugh, Robert S., dan Nathaniel M. Lawrence, Philosopher on Education, Six Essays on the foundations of Western Thought, Boston: Houghton Mifflin Company, 1963.

297

Buzan, Barry dan Gerald Segal, Anticipating the Future, t.k.: t.p., 1998. Carroll, J., A Model of School Learning, Teacher College Record, 1963. Carpenter, W. S., Introduction to John Locke, Two Treatises of Civil Government, London: J.M. Dent dan Son Ltd., 1962. Carvallo, Bosco, dan Dasrizal (ed.), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1984. Clandinin, J. D. dan F. M. Connelly, “Teachers as Curriculum Maker”, dalam Handbook of Research on Curriculum, (Ed) P. Jackson, New York, Macmillan: Publishing Co., 1992. Coleman, James S., (ed.), Education and Political Development, Princeton: Princeton University Press, 1965. Cooper, Bruce S., Lance D Fusarelli, E. Fance Randall, Better Policies, Better Schools Theories and Application, USA: Pearson, 2004. Connelly, F. M. dan F. Elbaz, “Conceptual Bases for Curriculum Thought: A Teacher’s Perspective”, dalam Considered Action for Curriculum Thought, Alexandria: Fashay, A. W., Yearbook of the Association for Supervision and Curriculum Development, 1980. Cox, Havey, The Secular City, New York: The MacMillan Company, 1966. Cuban, Larry, dalam Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, New York: Macmillan Publishing Company, 1999. Daud, Afrianto, “Madrasah dan Tantangan Dunia Global”, dalam Singgalang, 17 September 2004. Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Daniel dan Laurel N Tanner, Curriculum Development: Theory into Practice, New York: Macmillan Publishing Co, 1980.

298

Danim, Sudarwan, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Darder, A., Culture and Power in the Classroom, New York: Bergin and Garvey, 1991. Dawam, Ainurrafiq, Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003. Departemen Agama RI,, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2004. --------, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001. --------, Himpunan Peraturan Perundangan Produk Departemen Agama RI tahun 1967, Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1983. --------, Problematika Madrasah, Jakarta: Direktorat Jenderal Dapartemen Agama RI, 2001. --------, Satuan Pendidikan Madrasah Aliyah Keagamaan, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan dan Kelembagaan Agama Islam, 2001. --------, Madrasah Aliyah Keagamaan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001. --------, Madrasah Aliyah Program Ketrampilan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001. --------, Developmen of Madrasah Aliyah Project, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002. --------,

Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003.

--------, Sejarah Madrasah, Jakarta: Proyek Peningkatan Madrasah Aliyah, 2000. --------, Sejarah Madrasah, Pertumbuhan, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam melalui Proyek Peningkatan Madrasah Aliyah Tahun Anggaran 1999/2000, 1999.

299

--------, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001. --------,“Rekapitulasi Kurikulum” 1973 untuk MIN 7 Th, MTs AIN 3 Th, dan MAAIN, Direktur Bimas Islam Departemen Agama RI, Al-Manak, 1974, Jakarta: 1974. --------, Kurikulum Madrasah Aliyah 1975, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 1976. --------, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1976. --------, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Madrasah Aliyah, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1988/1989. --------, Himpunan Peraturan Perundang--undangan Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992. --------, Panduan Kurikulum Madrasah Aliyah 1994, Jakarta: Depag RI, 1994. --------, Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1994, Landasan, Program dan Pengembangan, Jakarta: Depag RI, 1993. --------, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah), Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999/2000. --------, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan Madrasah Model, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002. --------, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2004. --------, Landasan dan Standar Nasional Kurikulum Pendidikan Keagamaan: Satuan Pendidikan Madrasah Aliyah Keagamaan, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2001. --------, Standar Isi Madrasah Aliyah, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006.

300

--------, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004 untuk RA, MI, MTs dan MA, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2004. --------, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah Aliyah, Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, 2007. --------, Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 2008 Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam di Madrasah, Jakarta, Depag RI, 2008. --------, Peranan Departemen Agama dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: Dep. Agama RI, 1965. --------, Kurikulum 2004, Pedoman Khusus Fiqh Madrasah Aliyah, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelambagaan Agama Islam, 2004. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMTA), Garis-garis Besar Program Pengajaran, Jakarta: Balitbang Depdikbud, 1988. --------, Kamus Bahasa Indonesia II, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. P & K, 1983 --------, Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMTA), Garis-garis Besar Program Pengajaran, Jakarta: Balitbang Depdikbud, 1988. --------, Rencana Pendidikan dan Pengajaran SMA, Jakarta: Direktorat Pendidikan Umum, Kejuruan dan Kursus-kursus, 1969. --------, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975 Buku 1: Bidang Studi Ketentuan-ketentuan Pokok, Jakarta: Depdikbud RI, 1975. --------, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum, Buku: III B, Pedoman Penilaian, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1979. --------, Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA), Landasan, Program, dan Pengembangan, Jakarta: Depdikbud RI, 1984. --------, Kurikulum 1994 Pendidikan Menengah, Pedoman Umum Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar Sekolah Menengah Umum (SMU), Jakarta:

301

PUSKUR dan Sarana Pendidikan Pendidikan dan kebudayaan, 1994.

Badan Penelitian dan Pengembangan

DeZure, Deborah, “Innovations in The Undergraduate Curriculum” dalam James W Guthrie (ed.), Encyclopedia of Education, New York: Thomson, 2003. Djamaludin, Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999. Djamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in The Islamic Reform Movement in Minangkabau in The Early Twentieth Century, (DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20) edisi Indonesia, Jakarta: INIS, 2002. Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Dhoofier, Zamakhsyari, K.H. Hasyim Asy’ari, Penggalang Islam Tradisional, Prisma I, Januari 1984. Durkheim, E., “The Nature of Education”, dalam B. A. U. Levinson, K. M. Borman, M. Eisenhart, M. Foster, A. E. Fox, dan M. Sutton (Eds.), Schooling the Symbolic Animal: Social and Cultural Dimensions of Education, Lanham, MD: Rowman dan Littlefield, 2000. Drost, Sj. J., Dari KBK Sampai MBS, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, cet. Ke3, 2006. Easton, D, A Framework for Political Analysis, New York: Prentice-Hall, 1965. Echls, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1996. Education, Ministry of, Educational Policy in the Kingdom of Saudi Arabia, Saudi Arabia, 1980. Eisner, Elliot W., The Educational Imagination on The Design and Evaluation of School Programs, USA: Merrill Prentice hall, cet. Ke-3, 2002. Ellena, William J. (Ed.), Curriculum Handbook For School Ececutives, Arlington, Virginia: AASA, 1973.

302

Ellis, C., Fundamental of Human Learning, Memory, and Cognition, University of New Mexico: Wim. C. Brown Company Publishers, 1978. Enns, Carolyn Zerbe dan L. Sinacore (ed.), Teaching and Social Justice, Integrating Multicultural and Feminist Theories, Washington, DC: American Psychological Association, 2002. Erickson, R., dan J. Schultz, (1982). The counselor as Gatekeeper: Social Interaction Interviews, New York: Academic Press, 1982. Fahmi, Asma Hasan, Maba>di al-Tarbiyah al-Isla>miyah (Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam) edisi Indonesia, (Pent. Ibrahim Husein), Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1999. --------, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fadjar Dunia, 1999. Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Feinberg, Walter, dan Jonas F. Soltis, School and Society, New York and London: Teachers College Press, 2004. Feillard, Andre, NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LkiS, 1999. Fischer, Joseph, The Social Sciences and the Comparative Study of Educational Systems, Scranton, Pennsylvania: International Textbook Company, t.t. Flinders, David J., dan Stephan J. Thornton, The Curriculum Studies Reader, New York dan London: Routledge Falmer, 2004. Fisher, C. A., South-East Asia: A Social Economic and Political Geography, London: Methuen & Co. Ltd., 1967. Frank, James M. Mahan, Observations on Innovation in Elementary School, Interchange 3, nos. 2-3, 1972. Freire, Paulo, Cultur Action For Freedom, Massachusetts: Harvard Educational Review and Center For Studi of Development and Social Change, 1970.

303

Gallaher, Jr. Art: Directed Change in Formal Organizations: The School System, Change Processes in the Public Schools, Eugene, Ore: The Center For The Advanted Study of Educational Administration, 1995. Gorton, Richard A., Gail Thierbach Schnaider, School-Based Leadership Challenges and Opportunities, USA: WM. C. Brown Publisher, 1976. Gestwicki, Carol, Home, School, and Community Ralations, Canada,: Thomson, cet. Ke-7, 2007. Girouk, H. A., A.N. Penna dan W.F. Pinar, Curriculum and Instruction Alternatives in Education, California: McCutchan Publishing Corporation, 1981. Giroux, H. A., Ideology, Culture, and The Process of Schooling, Philadelphia: Tempel University and Falmer Press, 1981. Al-Hadi, Al-Ustadh ‘Abd, Ta‘li>m wa Ta‘li>m al-Lughah al-‘Arabiyah wa Thaqafatuha>, Dirasah Naz}ariyah wa Maida>niyah fi> Tas}khis}i al-‘Uqubati – Iqtarahin Maqa>ribati wa Mana>hiji Didaktikiyyah– Bina Tas}nif Thalasa alIb‘adi fi al-Ihda>fi al-Saniyah, T.K: ‘Arabian al-Hilal, 1994. Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. --------, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. --------, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Rosda, 2009. Harms, Thelma, Change – Agent in Curriculum, Young Children 29, No. 5 July 1974. Harris, K., Education And Knowledge: The Structured Misrepresentation of Reality, London: Routledge, 1979. Hasan, S. Hamid, Evaluasi Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet ke2, 2002. --------, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Hefner, Robert W. (Ed.), Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, Honolulu, HI: University of Hawa’i Press, 2009.

304

Hefner, R. Islam, State and Civil Society: ICMI and The Struggle for the Indonesian Midlle Class, Indonesia, 56, t.k: t.p., 1993. Herlanti, Y., Kurikulum Pendidikan Indonesia dari Zaman ke Zaman. (2008) yherlanti.wordpress.com. 17/07/2010. Hitti, Pihlip K., History of The Arabs, London: Macmillan,1974. Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia Masa Klasik, Edisi Indonesia oleh Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 1999. Howard, Judith, Curriculum Development, Elon University: Center for the Advancement of Teaching and Learning, t.t. Hornby, Oxford Advenced Learner’ Dictionary, Oxford University Press, 1989. http://kesadaransejarah.blogspot.com/2007/11/kurikulum-pendidikan-kita.html. 07/01/2010. http://www.uny.ac.id/akademik/sharefile/files/26042007172801_333pkn.doc. 25/03/2010. http://www.infodiknas.com/manfaat-tujuan-pembelajaran-khusus-dalam-prosesbelajar-mengajar. 26/05/2010. http://rbaryan.wordpress.com/2007/05/16, Nasional”. 07/05/2010.

“Bagaimana

Perjalanan

Kurikulum

http://mypandhawa.blogspot.com/2009/03/biografi-kyai-hasyim-muzadi.html. 24/09/2010. http://naifu.wordpress.com/2010/07/dr-h-tuty-alawiyah/. 24/09/2010. http://fithab.multiply.com/journal/item/245. Biografi H. Agus Salim. 24/09/2010. http://beritaakbar.blogspot.com/2009/03/biografi-muhammad-natsir-1908-1993.html. Oleh Sofwan Karim. 24/09/2010. http://duniakaryautama.blogspot.com/2010/07/biografi-prof-dr-abdul-mukti-ali.html. 24/09/2010.

305

http://diyya.wordpress.com/2009/06/29/munawir-sjadzali/. 24/09/2010. http://mahmudi.multipli.com/review/item/24. Reiview Biografi Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. 24/09/2010. http://wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Fadjar. 24/09/2010. Illich, Ivan, Deschooling Society, New York: Harper & Row, 1972. Irawan, Prasetya, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti, Jakarta: STIA-LAN, 2000. Iskandar, Tengku, Kamus Dewan, Malaysia: Art Kuala Lumpur, 1970. Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam jilid II, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993. Ismail SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Jalaludin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Kalam Mulia, 1990. Jakcson, Philip W. (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, New York: Macmillan Publishing Company, 1999. Jumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan di Indonesia Khsusus Madrasah, Bandung: CV. Ilmu, 1976. Al-Jundudi, Sa‘id, Al-Duru>r al-Nad}id ‘Ala> Kitab al-Tauhi>d, Saudi Arabia: t.p, 1978. James, Beane A. (Ed.), Toward A Coherent Curriculum, Alexandria, Virginina: ACCD. Jasin,

Anwar, “Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan”, Disertasi IKIP Jakarta, 1983.

Jeynes, William, Religion, Education, and Academic Success, USA: Information Age Publishing, 2003.

306

Karier, Clarence J., Elite Views on American Education, Education and Social Structure in the Twentieth Century, Walter Laquer and George L. Mosse, (eds), New York: Harper Torchbooks, 1967. Karyadi, Benny, ”Kurikulum Sekolah Umum” dalam Konvensi Nasional Pendidikan II, Kurikulum Untuk Abad Ke-21, Jakarta: Grasindo, 1994. Kaviani, Khodadad Khodi, “Influences on Social Studies Teachers’ Issue-Selection for Classroom Discussion: Social Positioning and Media”, dalam Social Studies Research and Practice, Volume 1, Number 2, Summer, 2006. Kertanegara, Mulyadi, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, Jakarta: UIN Press, 2003. Kindsvatter, Richard, William Wilen, Margaret Ishler, Dinamics of Effective Teaching, USA: Longman Publisher, 1996. Kelly, A.V., The Curriculum Theori and Practice, London: Sage Publications, 2004. Klein, M.F., Curriculum Reform in The Elementary School, New York & London: Teacher College Pres, 1989. Krishnamurt, J., Education and Significance of Life, San Fransisco: Harper and Row, 1953. Kuhn, S. Thomas The Structure of Scientific Revolution, California: The University of Chicago Press, 1970. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta: Teraju, 2004. Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset, Jakarta: UIN Press, 2006. Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003. --------, Pendidikan Islam pada Abad ke 21, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003. Lauren dan Klopfer, Toward The Thinking Curriculum: Curren Cognitive Research, ASCD Publication, 1989. Lauridsen, B. S. M. S. Dawn A. What Are Teachers’ Perception of The Curriculum Development, New York: The Ohio State University press, 2003.

307

Lekkerkerker, C., Land en Volk van Sumatra, Leiden: N.V. Boekhandel en Drukkerij, 1916. Lewis, Bernard, The Political Language of Islam, Chicago, London: Chochago University Press, 1988. Levinson, B. A. U., “Whither the Symbolic Animal? Society, Culture, and Education at The Millennium”, dalam B. A. U. Levinson, K. M. Borman, M. Eisenhart, M. Foster, A. E. Fox, dan M. Sutton (Eds.), Schooling the Symbolic Animal: Social and Cultural Dimensions of Education, Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2000. Light, Greg, dan Roy Cox, Learning and Teaching in Higher Education, London: Paul Chapman Publishing, 2001. Longstreet dan Shane, Curriculum For a New Millenium, Boston, London: Allyn dan Bacon, 1993. Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985. MacIntyre, Alastair, Against the Self Images of the Age, New York: Shocken Books, 1971. Madaus G., dan T. Kellaghan, “Curriculum Evaluation and Assessment”, dalam P. Jackson (Ed.), Handbook of Research on Curriculum, New York: Macmillan, 1992. Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1999. Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999. Makmun, Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan. (Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003). Maeroff, G. I., The Empowerment of Teachers, (New York: Teachers College Press, 1988. Maran, Rafael Raga, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Mastoon, Herma Rosenfeld, Curricululm Reform in The Art Humanities in Pennsylvania: An Evaluation, tk: Temple University Press, 1989.

308

Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Pendidikan Nondikotomik: Humasnisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002. McNeil, L, Contradictions of Control, New York: Routledge dan Kegan Paul, 1989. McNeil, John D., Curriculum A Comprehensive Introduction, Boston, Toronto: Little, Brown and Company, tt. Meier, Kenneth J., “School Boards and the Politics of Education Policy”, dalam Christina Wolbrecht And Rodney E. Hero (Ed.), The Politics of Demokratic Inclusion, Philadelphia: Temple University Press, 2005. Merry, Michael S., Culture, Identity, and Islamic Schooling: A Philosophical Approach, Macmillan: Palgrave, 2007 Milner, Andrew, “Change or charity”, Alliance, Vol. 8 No. 3, September 2003, 21-24. Mirenda, Rosalie M, A Conceptual - Theoretical Strategy For Curriculum Development in Baccalaureate Nursing Programs, tk: Widener University Press. Montgomery, Patricia C., “Toward Freedom in Education: A Survey of Independent Alternative School”, Unpublished Doctor’s Dissertation Wayne State University, Detroit, Michigan, 1980. Montesquieu, The Spirit of Laws, dalam D.W. Carrithers (ed.), Compedium of the first English Edition, Barkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1977. Morin, Edgar, Power I’Erope, Paris: Gallimard, 1990. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers, 2005. --------, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Isla>misasi Pengetahuan, Bandung: Nuansa, 2003. --------, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Sekolah dan Madrasah, Jakarta: Rajawali Pers, 2008. --------, “Madrasah Menatap Peradaban Global”, makalah disajikan pada seminar di Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo, Sabtu 8 Maret 2003.

309

Muhaimin et. al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: Rosdakarya, 2002. Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah , Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Mulyasa, E., Implementasi Kurikulum 2004, Panduan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006. --------, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Suatu Panduan Praktis, Bandung: Rosda, cet. Ke 3, 2007. --------, Kurikulum Yang Disempurnakan Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Bandung: Rosda, 2006. --------, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung: Rosda, 2003. --------, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung: Rosda, 2005. More, Alex, Schooling, Society and Curriculum, London dan New York: Routledge, 2006. Mudzhar, M. Atho, “Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, dalam Edukasi (Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan), Volume 4, Nomor 1, Januari-Maret, 2006. Mulkhan, Abdul Munir, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, Ciputat: Logos, 2003. Al-Munawar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-nilai al-Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2005. Muslich, Masnur, Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan, Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Muslimin, JM., “Tradisi Ilmiah dalam Masyarakat Islam: Sejarah, Institusi dan Tantangan Perubahan”, dalam, Kusmana dan JM. Muslimin (ed.) Paradigma

310

Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2008. --------, “Tradisi Ilmiah Dalam Masyarakat Islam: Sejarah Institusi dan Tantangan Perubahan”, dalam Kusmana dan JM. Muslimin (ed.), Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Isla>m di Indonesia, Jakarta: IIESP, 2008. Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah, Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996. Naim, Ngainun, dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Nasional RI, Departemen Pendidikan, Pelayanan Profesional Kurikulum 2004, Pedoman Penilaian Kelas, Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas, 2004. Nasution, S., Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. --------, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Nata, Abudin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: UIN Press, 2006. --------,

(ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001.

Niles, William A., Pennsylvania Superintendents Perception of Their Role In Curriculum Development and The Improvement of Instruction, Temple: University Board, 1986. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta: LP3ES, 1996. Neil, John D., Mc., Curriculum A Comprehensive Introduction, Boston Toronto: Little, Brown and Company, t.t Nurdin, Syafruddin, dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. --------, Model Pembelajaran Yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.

311

Al-Nur, Farnis ‘Abd, al-Tarbiyah wa al-Mana>hij, Al-Qa>hirah: Da>r Nah}d}ah Misri Lit}a>bi’i wa al-Nashri, tt. Oliver, Albert I., Curriculum Improvement: A Guide to Problem, Priciples and Procedures, New York: Dodd, Mead dan Co., 1965. O’neil, William F., Educational Ideologies: Contemporary Expression of Educational Philosophies, Santa Mania, California, Amerika Serikat: Goodyear Publishing Company, Inc, 1981. Owen, Jane C, The Impact of politics in Local Education, Toronto: Rawman dan Little Field Education, 2006. Oxford, Encyclopedia of Education, Oxford, England: Pergamon, 1994. Penerangan RI, Departemen, 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid VII, Jakarta: Dep. Penerangan RI, 1965. Phenix, P., Realms of Meaning: A Phylosophy of the Curriculum for general education, New York: McGraw-Hil, 1964. Pinar, William F., International Hand Book of Curriculum Research, London: Lowrence Erlbdum Associates Inc., 2003. Pinar, William F., et. al., Understanding Curriculum, An Introduction to the Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses, New York: Peter Lang, 2004. Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976. Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2000. Posner, George J., Alan N. Rudnitsky, Course Design, A Guide to Curriculum Development for Teachers, USA: Pearson, 2006. Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti, Jakarta: STIA-LAN, 2000. Prasetyo, Hendro, Ali Munhanif, dkk., Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002.

312

Print, Murray, Curriculum Development and Design, Sidney: Allen & Unwin, 1987. Putro, Suadi, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998. Pye, Lucian W., Aspect of Political Development, Boston: Litle Brown, 1965. Quraishi, Mansoor A., Same Aspects of Muslim Education, Lahore: Universal Books, 1983. Al-Rawafi, Haya Binti Sa‘id bin ‘Abdilla>h, Ta‘li>m al-Kibari wa al-Ta‘li>m alMustamar, al-Mafhu>mu, al-Khas}ais}u, al-Tat}bi>qatu, Riyad: Maktab alTarbiyah al-‘Arabi li-Dauli al-Kha>liji, 1422 H / 2002. Rahmat, Anton Habib, Istismar al-Qit}a’ al-Khas} fi> al-Maja>li al-Tarbawi al-Khali>j al‘Arabiyah Ru‘un Mustaqbaliyatun, Riyad: Maktabah al-Tarbiyah al-‘Arabi Li> Daul al-Khal>ij, 1423 H / 2002 M. Rahim, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2005. --------, ”Anatomi Madrasah di Indonesia”, dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Vol 2, No. 2, 2004. --------, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001. --------, “Visi Madrasah”, 2008. 27/02/2010.

http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul,

--------, “Pengakuan Kembali Madrasah sebagai Sekolah Agama Berwawasan Umum”, dalam http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul, 2008. 27/02/2010. Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago, London: The University of Chicago Press, 1984. Ramadan, Tariq, The West and the Challenges of Modernity, (Menjadi Modern Bersama Islam: Islam Barat dan Tantangan Modernitas) edisi Indonesia, Jakarta: Teraju, 2003.

313

Ramli, Rizal, et. al., Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Pengembangan Manajemen (PPM) FE UII, 1997. Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005. Recontruction, The International Bank For, and Development, Expanding opportunities and Building Competencies for Young Peaple A New Agenda for Scondary Education, Washington DC: The World Bank, 2005. Riandari, Henny, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA dan MA: Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Ria Setyo Mardani (Ed.), Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007. Risher, H., Paying for Employee Competence. School Administrator, 2000. Roald, Anne Sofie, Tarbiya: Education and Politics in Islamic Movements in Jordan and Malaysia, Lund: Graphic Systems, 1994. Rochon, Thomas R., Culture Moves, Ideas, Activism, and Changing Values, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1998. Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Sabda, Syaifuddin, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq, Ciputat: Quantum Teaching, 2006. Salabi, Ahmad, History of Muslim Education, Beirut: Da>r al-Kashshaf, 1954. --------, Ta>rikh al-Tarbiyah al-Isla>miyah, Mesir: al-Kasyf li al-Nasyr wa alThilaba’ah wa al-Tauji, 1954. Salamah, Mansour A. M. Bin, An Investigation of the Relationship Between Saudi Teachers’ Curriculum Perspectives and Their Preference of Curriculum Development Models, Morgantown, West Virginia: Virginia University Press, 2001.

314

Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Santoso, A., Islam and Politics in Indonesia During the 1990s, Asian Journal of Political Science, tk: tp., 1995. --------, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Sardar, Ziauddin, (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, t.k.: t.p., 2000. --------, Jihad Intelektual, Merumuskan Paramiter-paramiter Sains Islam, AE Priyono (Pentj.), Surabaya: Risalah Gusti, 1969. Saridjo, Marwan, Dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1983. Saylor, J. Galen dan William M. Alexander, Curriculum Planning For Modern School, New York: Holt Renehart and Wilson, 1966. Schubert, William H., Curriculum, Perspective, Paradigm and Possibility, USA: Prentice Hall, 1987. Scribner, S.,dan M. Cole, Cognitive Consequences of Formal and Informal Education, tk: tp, 1973. Scribner, J. D, The Politics of Education: The Seventy-Sixth Yearbook of The National Society for The Study of Education, Chicago: University of Chicago Press, 1977. Siahaan, BistokAadrianus, Pengembangan Kurikulum Suatu Analisis Isi Kurikulum Bahasa Indonesia dari sudut fungsi Bahasa, Disertasi IKIP Jakarta, 1982. Sidi, Indra Jati, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001. Simanjuntak, IP., Perkembangan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1972. Sirozi, Muh}ammad, Politik Kebijakan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 / 1989, Leaden-Jakarta: INIS, 2004.

315

Sjadzali, Munawir, Islam and Governmental System: Teaching, History and Reflection, Jakarta: INIS, 1991. Skillbeck, Malcolm, School Based Curriculum Development and Teacher Education, Mimeograph: OECD, 1976. Smith, Susan Pennnock, Barriers Encountered In The Instruction of Students Who Have Sustained Brain Injuries: An Instructional Curriculum To Assist in Eliminating Barriers, Detroit, Michigan: Graduate School of Wayne State University, 2005. Smith, B, W. Stanley, dan J. Shores, Fundamentals of Curriculum Development, New York: Harcourt, Brace, and World, 1957. Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002. Sukmadinata, Nana Syaodah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet ke-4, 2001. Sukamto, Aspek-aspek Filosofis Kurikulum Sejarah SMA dari Zaman Orde Lama Sampai dengan Orde Baru, Tesis IKIP Jakarta, 1991. Suseno, Frans Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Stanton, Charles Michael, Higher Learning in Islam, The Classical Period, A.D. 7001300, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta: Logos, 1994. Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Isla>m dalam Kurun Modern, terj. Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman, Jakarta: LP3ES, 1994. Stenhouse, L, An Introduction to Curriculum Research and Development, London: Heinemann, 1975. Shaleh, Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, Jakarta: Rajawali Pers, 2006. --------, Penyelenggaraan Madrasah, Petunjuk Pelaksanaan Administrasi dan Teknis Pendidikan, Jakarta: Dharma Bhakti, 1984.

316

Shanker, “Reform and the Teaching Profession”, dalam Crisis in Teaching Perspectives on Current Reforms, (Eds) L. Weis, Altbach: P. G., 1989. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat, Bandung: Mizan, 1993. Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 1998. Sommers, Peranakan Chinese Minority, Indonesia, Ithaca, New Reports Series, 1964.

York: Interim

Sudijarto, Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004. Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985. Suparlan, Parsudi, (Pny.), Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. Supriyoko, Ki, “Problema Besar Madrasah”, dalam http://www.republika.co.id, 2008. 07/03/2010. Surakhmad, Winarno, Pengantar Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsito, 1982. Susilo, Muhammad Joko, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Rajawali, 1988. Sutejo, Muwardi, dkk, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, 1992. Suwendi dkk, ”Restrukturisasi MAK: Studi Kebijakan Penyelenggaraan Program Tafaqquh Fi al-din Era UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003”, dalam Edukasi (Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan), Volume 4, Nomor 4, Oktober-Desember 2006. Spring, Joel, The American School, 1642-2004, New York: Mc Graw Hill, 1986. Syadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1984.

317

Syukur, Fatah, “Madrasah dan Pemberdayaan”, dalam Citra Edukasi Blog spot.com, 2008. Tafsir, Ahad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rordakarya, 1992. Taba, Hilda, Curriculum Development: Theory and Practice, New York: Harcourt, Brace and World, 1962. Tanner, Laurel N Observation: Curriculum History As Usable Knowledge, Curriculum Inquiri, tk: tp, 1982. Team Dedaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Dedaktik Metodik Kurikulum PBM, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993. Thelen, H., Education and The Human Quest, New York: Harper and Row, 1960. Tibawi, A. L., Islamic Education, Its Tradition and Modernization into the Arab National Systems, London: Luzac and Company LTD, 1979. Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2002. --------, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada, 2004. --------, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002. --------, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Tholkhah, Imam, dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Thut I. N., dan Don Adams, Educational Patterns in Contemporary Societies, New York: McGraw-Hill Book Company, 1984. Toynbee,Arnold, A Study of History, diringkas oleh D.D. Somervelle, Oxford: Oxford University Press, 1957. Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS, 2004.

318

Tyler, R., Basic Principles of Curriculum and Instruction, Chicago, IL: University of Chicago Press, 1949. Udelhofen, Susan, Keys to Curriculum Mapping, Strategies and Tools to Maka It Work, California: Corwin Press, 2005. Umum, Direktorat Pendidikan, Kejuruan dan Kursus-kursus, Rencana Pendidikan dan Pelajaran SMA, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969. Undang-undang Sistem Pendidikan No. 2 Tahun 1989. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Wahid, Abdurrahman, “RUU Pendidikan Memerlukan Penalaran yang Lebih Bermakna dan Dinamis”, dalam Suara Pembaharuan, Jakarta: Suara Pembaharuan, 24 Agustus 1988. --------, Islam, Politics and Democracy in Indonesia in the 1950s and 1990s. Paper presented to Conference on Democracy in Indonesia, Clayton: Monash University, 17-20 Desember 1992. --------, Pergumulan Islam dan Pembangunan, Jakarta: Leppenas, 1984. Walker, Decker F., dan Jonas F. Soltis, Curriculum and Aims, New York: Teacher College Press, 1997. Wallbank, A Short History of India and Pakistan, New York: American Library, 1958. Wandira, A., Work-Oriented Curricula for Rural Areas: an Overvew of Educational Problems and Issues, G. Supplit, U. Bude (eds), Work-Oriented Educational for Africa: Conference Report, Bonn: DSE. Wibowo, Alexander Jatmiko, dan Fandy Tjiptono, Pendidikan Berbasis Kompetensi (Ed.), Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2002. Wiles, John, dan Josep Bondi, Curriculum Development, A Guide to Practice, Columbus, Ohio: Pearson, cet. Ke 7, 2007.

319

Williams, P., dan L. Chrisman (eds) Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, London: Harvester Wheatsheaf, 1994. White, P, Teacher Empowerment Under “Ideal” School-Site Autonomy, Educational Evaluation and Policy Analysis, v 14, 1992. Wood, Robert C, “The Future of Modernizazion”, dalam Myron Weiner (ed.), Modernization, the Dinamics of Growth, Washington D. C.: Voice of America Forum Lecturers, 1968. Worthen, B. R., dan J. R Sanders, Educational Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines, New York dan London: Longman, 1987. Yacob, Fakhri, ”Respon Lokal Terhadap Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003” (Hasil Penelitian). Yaqin, M Ainul, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007. Yunus, Mah}mud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidrakarya Agung, 1996. --------, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, 1973. Zuhdi, Muhammad, “Political and Social Influences on Religious School: A Historical Perspective on Indoesian Islamic School Curricula (Disertasi), Montreal-Canada: McGill University, 2006. Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada tahun 1950-an, kurikulum1 yang diselenggarakan madrasah, menurut laporan Steenbrink sepertiganya terdiri dari pelajaran agama, sedang sisanya merupakan pelajaran umum. 2 Berarti, pelajaran umum dua pertiganya. Hal ini didukung pernyataan pemerintah dalam Undang-Undang 1950 pasal 10 yang menyebutkan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah memenuhi kewajiban belajar. 3 Bukti madrasah semakin tidak mendominasi mata pelajaran Agama, ketika KH. Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama tahun 1949–1952, supaya memasukkan tujuh pelajaran di lingkungan madrasah, yaitu mata pelajaran Membaca-Menulis (latin), Berhitung, Bahasa Indonesia, Sejarah, Ilmu Bumi dan Olahraga.4 Ketika Departemen Agama dipimpin oleh KH. Moh. Ilyas (1953-1959) mengadakan pembaharuan sistem pendidikan madrasah dengan memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) 8 tahun. Tujuan dari MWB ini diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa, yaitu untuk kemajuan di bidang ekonomi, industri dan transmigrasi dengan kurikulum yang menyelaraskan tiga perkembangan yaitu perkembangan otak, perkembangan hati dan keprigelan tangan/ketrampilan (three H: heart, head, hand).5 Senada dengan tujuan MWB, seperti dijelaskan oleh Plato, bahwa suatu bangsa harus mempunyai konsep/teori pendidikan yang mendalam. Hal itu ditujukan dengan metode pengajaran, membangun teori ilmu pengetahuan, kerangka kurikulum pendidikan, pendidikan dalam peran sosial dan analisis manusia secara alamiah.6 Baru setelah keluar Keputusan Menteri Agama No. 52 Tahun 1971, dirumuskanlah Kurikulum di Cibogo yang diberlakukan secara nasional. Dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum itu kemudian dikenal dengan kurikulum 1973.7 Dari struktur materi yang ditawarkan kurikulum itu, menurut cacatan Maksum, sudah cukup mencerminkan perkembangan yang serius dalam rangka mengarahkan madrasah sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. 1

Caswell dan Campbell mengatakan bahwa Kurikulum adalah seluruh pengalaman siswa di bawah bimbingan para guru. Saylor dan Alexander memberikan penguat, bahwa kurikulum didasarkan pada semua kesempatan belajar yang disediakan oleh sekolah. Lihat, Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum (New York: Macmillan Publishing Company, 1999), 4. 2 Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1996), 96. 3 Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 88. 4 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 26. 5 Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 26. 6 Robert S. Brumbaugh, dan Nathaniel M. Lawrence, Philosopher on Education, Six Essays on the foundations of Western Thought (Boston: Houghton Mifflin Company, 1963), 20. 7 Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, 34.

Komponen-komponen kurikulum itu meliputi tidak saja mata-mata pelajaran agama, tetapi juga mata-mata pelajaran umum dan mata-mata pelajaran kejuruan. 8 Mata pelajaran agama dan umum saja menurut penulis tidak cukup karena implementasi keduanya sangat penting –teori dan praktek– kesimpulan ini diyakini oleh Bobbit, bahwa content (materi) yang diberikan kurikulum harus dapat diketahui (secara teori) dan diaplikasikan (secara praktek), teori dan praktek hendaklah menjadi scope dan sequence kurikulum (Madrasah Aliyah).9 B. Rumusan Masalah Setelah melihat latar belakang masalah yang ada, penulis pada dasarnya akan mengarahkan disertasi ini untuk menjawab masalah sekitar pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Adapun masalah tersebut adalah “Faktor apa yang lebih dominan mempengaruhi Pergeseran Kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional?”. Untuk menjawab masalah tersebut perlu dimunculkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional?. b. Bagaimana pengaruh kebijakan pendidikan pemerintah terhadap pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional?. C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui faktor yang lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. b. Untuk mengetahui karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional. c. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan pendidikan pemerintah terhadap pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 2. Signifikansi Penelitian Penting dicatat dalam penelitian ini, bahwa kurikulum Madrasah Aliyah mengalami pergeseran disebabkan karena beberapa faktor. Timbul pertanyaan, mengapa bergeser, bukannya kurikulum madrasah itu tetap saja (baku), mustahil menerima pergeseran, ini menarik untuk diteliti. Tambah menarik jika faktor politik lebih dominan mempengaruhi pergeserannya. Disamping itu, seringnya pergantian kurikulum Madrasah Aliyah mengindikasikan bahwa setiap kurikulum mempunyai corak tersendiri dan senantiasa mempertahankan karakteristiknya. Corak dan 8

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), Cet II, 142. Dengan kurikulum ini, tegas Bobbit, hendaknya siswa akan dapat menikmati hasil dari proses pendidikan, sehingga Bobbit percaya bahwa para siswa akan dapat meraih kesuksesan pada masa depannya. Lihat, Franklin Bobbit dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (Ed.), The Curriculum Studies Reader (New York dan London: Routledgefalmer, 2004), Cet II, 3. 9

pertahanan karakteristik demikian tidak lepas dari dominasi faktor politik. Ini adalah alasan yang cukup menarik untuk diteliti, guna mengetahui perbedaan dan spesifikasinya. D. Kajian Pustaka Para peneliti yang interes terhadap kajian kurikulum, cukup banyak, diantaranya, Bistok Adrianus Siahaan,10 Sukamto,11 Anwar Jasin, 12 Muhammad Zuhdi, 13 Muhammad Sirozi.14 Para peneliti ini, meneliti dalam bentuk tesis dan disertasi. Namun dari sekian penulis tesis dan disertasi ini secara substansi berbeda dengan tulisan disertasi ini. Penelitian yang sudah dipublikasikan dalam bentuk buku, seperti tulisan A.V. Kelly, 15 John McNeil, 16 Jon Wiles dan Joseph Bondi,17 Walter Feinberg dan Jonas F. Soltis, 18 Alex More,19 dan William H. Schubert.20 Kemudian kumpulan tulisan (artikel) kurikulum yang diedit oleh para ahli kurikulum seperti Vincent A. Anfara, dan Jr. Sandra L. Stacki (ed.),21 Philip W. Jakcson (ed.),22 serta David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (ed.).23 Tulisantulisan ini walaupun berbicara tentang kurikulum tetapi fokus kajian dan pembahasannya berbeda dengan disertasi ini. Dengan demikian posisi disertasi ini mempunyai peluang (lakuna) untuk ditulis. E. Metodologi Penelitian Jenis penelitian dalam kajian tulisan ini adalah riset kepustakaan, oleh karena itu metode penelitian yang digunakan adalah library research, yaitu bentuk pengumpulan data dan informasi dengan bantuan bahan yang ada di perpustakaan

10

Bistok Adrianus Siahaan, “Pengembangan Kurikulum Suatu Analisis Isi Kurikulum Bahasa Indonesia dari sudut fungsi Bahasa”, Disertasi IKIP Jakarta, 1982. 11 Sukamto, “Aspek-aspek Filosofis Kurikulum Sejarah SMA dari Zaman Orde Lama Sampai dengan Orde Baru”, Tesis IKIP Jakarta, 1991. 12 Anwar Jasin, “Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan”, Disertasi IKIP Jakarta, 1983. 13 Muhammad Zuhdi, “Political and Social Influences on Religious School: A Historical Perspective on Indoesian Islamic School Curricula” (Disertasi), Montreal-Canada: McGill University, 2006. 14 Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 / 1989 (Disertasi) (Leaden-Jakarta: INIS, 2004). 15 A.V. Kelly, The Curriculum Theory and Practice (London: Sage Publications, 2004). 16 Neil, Curriculum A Comprehensive Introductio. 17 Jon dan Josep, Curriculum Development, A Guide to Practice. 18 Walter dan Jonas, School and Society. 19 Alex, Schooling, Society and Curriculum. 20 William H. Schubert, Curriculum, Perspective, Paradigm and Possibility (USA: Prentice Hall, 1987). 21 Vincent dan Sandra (ed.), Midle School Curriculum, Instruction and Assesment. 22 Philip (ed.), Hand Book of Research on Curriculum. 23 David dan Stephan, The Curriculum Studies Reader.

berupa; arsip, dokumen, majalah, buku, dan materi pustaka lainnya, dengan asumsi bahwa yang diperlukan dalam pembahasan ini terdapat di dalamnya. 24 Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini bermaksud menjawab persoalan yang ada dalam rumusan masalah yaitu tentang bagaimana pergeseran Kurikulum Madrasah berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk menjawab permasalahan yang demikian perlu mengetahui obyek penelitian yang ada. Jika melihat judul disertasi ini, maka obyek penelitiannya adalah pertama, kurikulum Madrasah Aliyah (MA), kedua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai patokan periodesasinya. Adapun yang diamati adalah pergeserannya, yang diduga sementara oleh peneliti bergesernya karena lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Adapun pendekatan yang digunakan adalah historis (sejarah), yaitu analisis kurun waktu kurikulum Madrasah Aliyah (MA) sejak munculnya Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 4 Tahun 1950 JO UU No. 12 Tahun 1954, sampai munculnya UUSPN No. 20 tahun 2003, dengan menggunakan teori komparasi (perbandingan), untuk mengetahui karakteristik masing-masing kurikulum. Untuk mengetahui bagaimana terjadi pergeseran, perlu diketahui indikator bergeser dengan menggunakan content analisis. Secara garis besar sumber data yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini ada dua bentuk, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari bentuk materi kurikulum Madrasah Aliyah sejak munculnya Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 JO. UU No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003 secara autentik. Adapun data primer tersebut adalah: kurikulumkurikulum Madrasah Aliyah di daerah yang masih belum seragam secara nasional – sejak munculnya UUP No. 4 Tahun 1950 JO. UU No. 12 Tahun 1954 sampai munculnya kurikulum madrasah secara nasional, yaitu kurikulum Madrasah Aliyah 1973, Kurikulum Madrasah Aliyah 1976, Kurikulum Madrasah Aliyah 1984, Kurikulum Madrasah Aliyah 1994, Kurikulum Madrasah Aliyah 2004 dan Kurikulum Madrasah Aliyah 2006. Kemudian UU Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954, UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UUSPN No. 20 Tahun 2003. Adapun sumber sekunder adalah tulisan John I Goodlad dalam The Curriculum Studies Reader yang di edit oleh David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (2004) dan bukunya A.V. Kelly dalam The Curriculum Theory and Practice (2004) serta bukubuku lain yang terkait. F. Sistimatika Pembahasan Penyusunan laporan ini, dituangkan dalam bentuk disertasi, dengan sistematika yang dapat mengakomodir keutuhan pembahasan. Adapun uraian rancangan disertasi ini terdiri dari enam bab, yaitu:

24

Winarno Surakhmad, Pengantar Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1982), lihat pula, Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti (Jakarta: STIA-LAN, 2000), 65.

Bab pertama, merupakan pendahuluan dari tulisan ini. Di dalamnya memuat penjelasan mengenai latar belakang masalah, permasalahan, tujuan dan signifikansi penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistimatika pembahasan. Bab kedua, berisi pembahasan mengenai pergeseran kurikulum dalam perdebatan, dimana secara detel dibahas; pergeseran kurikulum adalah sebuah keniscayaan, pergeseran, inovasi, pengembangan dan perubahan kurikulum. Ada dua pendapat yang berbeda dalam hal ini, pertama pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Pendapat yang kedua, pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor politik, bahkan situasi politik masuk dalam situasi pendidikan. Bab ketiga, berisi pembahasan mengenai karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah, yang dibagi beberapa periode, pertama, masa Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 JO. No. 12 Tahun 1954. Kedua, masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989. Ketiga, masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Bab keempat, berisi pengaruh kebijakan pendidikan pemerintah terhadap pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah, dibagi menjadi tujuh bagian, pertama, faktor yang menyebabkan pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah, meliputi faktor agama (ideologi), sosial, ekonomi, dan budaya. Kedua, dominasi faktor politik. Ketiga, tarik menarik kepentingan partai politik dalam pendidikan. Keempat, kebijakan politis pemerintah dalam pendidikan. Kelima, tafsir pergeseran, meliputi, bergeser sebagaian komponen kurikulum dan bergeser seluruh komponen kurikulum. Keenam, indikator pergeseran, meliputi, tujuan kurikulum Madrasah Aliyah, isi kurikulum Madrasah Aliyah, metode pengajaran kurikulum Madrasah Aliyah, dan evaluasi pengajaran kurikulum Madrasah Aliyah. Bab kelima, memuat kurikulum MA masa depan, terdiri dari tuntutan pembaharuan pendidikan Madrasah Aliyah: upaya mempertahankan sisi politis, tuntutan integrasi: menepis dikotomi ilmu menyusun keilmuan yang ideal dalam rangka mewujudkan kekuatan politis, tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tantangan modernitas. Bab keenam, penutup, dalam bab ini dimunculkan kesimpulan, dan saran.

BAB II PERGESERAN KURIKULUM DALAM PERDEBATAN A. Pergeseran Kurikulum adalah Sebuah Keniscayaan Berkembangnya ideologi, sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat menyebabkan kurikulum25 harus bergeser. Berkembang dan berubahnya faktor-faktor tersebut di atas memunculkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hal ini juga menjadi pemicu utama pergeseran kurikulum. Ini diperkuat oleh Posner dan Rudnisky, bahwa kurikulum harus diorganisir, dikembangkan dan dianalisis. Kurikulum memberikan indikasi untuk dipelajari, tujuan-tujuan itu memberikan indikasi mengapa kurikulum harus dipelajari, dan perencanaan pengajaran memberikan indikasi, bagaimana mempelajari dan memanfaatkan fasilitas-fasilitas pendidikan itu.26 Bahkan Dewey memperkuat, bahwa kurikulum dan pembelajar adalah dua elemen yang simpel, keduanya harus didefinisikan menjadi satu proses.27 Berbeda dengan Khodadad Khodi Kaviani, yang berpendapat bahwa pendidikan tidak hanya berisi kurikulum dan buku teks, tetapi juga berisi pengalaman para siswa dan interaksi guru dalam diskusi kelas. 28 Dalam arti yang luas sebenarnya apa yang dikatakan Khodi, pengalaman siswa dan interaksi guru dalam diskusi kelas termasuk kurikulum. Dengan demikian seorang pendidik harus hati-hati memahami kurikulum, Suyanto jeli melihat ini, dia berkomentar, jika kurikulum dipahami dalam arti yang sempit, jangan diharapkan kalau pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan akan mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan dan pendidikan yang diselenggarakan tidak akan menghasilkan generasi yang pintar tangguh dan cerdas.29 Sebagai jawaban

25

Ornstein dan Hunkins, mengatakan bahwa secara umum fondasi kurikulum adalah include mengikuti area ilmu pengetahuan sebagai berikut; filsafat, sejarah, psikologi dan sosial. Lihat, Susan Pennnock Smith, Barriers Encountered In The Instruction of Students Who Have Sustained Brain Injuries: An Instructional Curriculum To Assist in Eliminating Barriers (Detroit, Michigan: Graduate School of Wayne State University, 2005), 15. Bandingkan dengan Norman Cousins, dalam Modern Man is Obsolete, seperti dikutip S. Nasution, bahwa kita senantiasa terbelakang bila kita tidak senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial, politik, ekonomi. Lihat, S. Nasution, Asasasas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 154. Bandingkan pula dengan Imam Tholkhah, bahwa pengembangan –pergeseran– kurikulum sekolah –madrasah– tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan perkembangan budaya, tradisi, dan peradaban masyarakat yang ada serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Lihat, Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), 229. 26 George J Posner and Alan N Rudnitsky, Course Design-A Guide To Curriculum Development For Teachers (New York: Longman Inc, 1982), 7. 27 Lihat, Rosalie M Mirenda, A Conceptual - Theoretical Strategy For Curriculum Development in Baccalaureate Nursing Programs (tk: Widener University Press), 2. 28 Khodadad Khodi Kaviani, “Influences on Social Studies Teachers’ Issue-Selection for Classroom Discussion: Social Positioning and Media”, dalam Social Studies Research and Practice, Volume 1, Number 2 (Summer, 2006), 3. 29 Lihat, Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 53-54.

beberapa argumentasi di atas, menyatakan bahwa pergeseran kurikulum adalah sebuah keharusan. B. Pergeseran, Inovasi, Pengembangan dan Perubahan Kurikulum Kerancuan pemahaman akan terjadi ketika perbedaan pengertian antara pergeseran, inovasi, pengembangan dan perubahan kurikulum tidak diuraikan secara jelas. Pertama, pergeseran, terkait dengan pergeseran kurikulum ini, Connelly, Elbaz dan Kennedy berpendapat bahwa fungsi guru adalah seorang penggeser kurikulum dari guru yang berfungsi sebagai seorang implementer kurikulum untuk seorang guru yang berfungsi sebagai seorang pengembang kurikulum. 30 Hal ini membuktikan bahwa peran seorang guru penting sekali dalam pergeseran kurikulum. 31 Karena sebab kuat terjadinya pergeseran berawal dari guru sebagai pelaksana kegiatan belajar mengajar di kelas. Disamping itu tuntutan masyarakat (umat)/sosial, ekonomi, ideologi, budaya dan politik adalah mempengaruhi pergeseran kurikulum. Kedua, inovasi, McNeil melaporkan, banyak orang-orang yang percaya bahwa inovasi kurikulum adalah sebuah kekuatan sekolah.32 Sekolah unggulan, sebagai contoh, biasanya berbeda dari yang umum, ia mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri, beda di sini adalah dari sisi keunggulannya, seperti unggul bahasanya, ilmu-ilmu sosial maupun eksaknya dan lain-lain. Munculnya sekolah unggulan adalah karena ada inovasi dalam kurikulumnya. Ketiga, pengembangan kurikulum (Curriculum Development), logikanya, dari kurikulum yang sudah ada dikembangkan menjadi kurikulum yang lebih baik. Herma Rosenfeld Mastoon, mendefinisikan pengembangan kurikulum sebagai suatu 30

Mansour, An Investigation of the Relationship Between Saudi Teachers’ Curriculum Perspectives and Their Preference of Curriculum Development Models, 52-53. 31 Ada sebuah pendapat, bahwa partisipasi seorang guru dalam pengembangan kurikulum bukan hal yang baru. Lebih awal Dewey menebak bahwa guru adalah seseorang yang dengan sendirinya dapat membuat kurikulum hidup. Didasarkan pada pandangan Dewey, guru bukan hanya sebagai pembuat kurikulum tetapi mereka adalah bagian dari seseorang yang mendesain kurikulum untuk diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran tanpa pandang waktu dan tempat. Lihat, J. D. Clandinin dan F. M. Connelly, Teachers as Curriculum Maker, dalam Handbook of Research on Curriculum, (Ed) P. Jackson (New York, Macmillan: Publishing Co., 1992), 365. Oleh karena itu pergeseran (pengembangan) kurikulum tidak dapat eksis tanpa peran guru. Guru memainkan peran yang dominan dalam pergeseran (pengembangan) kurikulum. Lihat, L. Stenhouse, An Introduction to Curriculum Research and Development (London: Heinemann, 1975), lihat pula J. Jennings, School Reform Based on What is Taught and Learned (Phi Delta: Kappan, V 76, 1995), 10. Lihat pula, P. White, Teacher Empowerment Under “Ideal” School-Site Autonomy, Educational Evaluation and Policy Analysis, v 14, (1992), 1. Demikian pula pergeseran (pengembangan) kurikulum tidak akan eksis tanpa peran serta guru. Guru punya peran yang dominan dalam pergeseran (pengembangan) kurikulum. Lihat, L. Stenhouse, An Introduction to Curriculum Research and Development (London: Heinemann, 1975). Lihat pula, G. I. Maeroff, The Empowerment of Teachers, (New York: Teachers College Press, 1988). Lihat pula, L. McNeil, Contradictions of Control, (New York: Routledge dan Kegan Paul, 1989). Lihat pula, A. Shanker, Reform and the Teaching Profession, dalam Crisis in Teaching Perspectives on Current Reforms (Eds) L. Weis ( Altbach: P. G., 1989). 32 McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction (Boston, Toronto: Little, Brown and Company, tt.), 121.

usaha secara sistematis untuk mendesain program pendidikan yakni fasilitas-fasilitas pembelajaran. 33 Pengembangan kurikulum, lanjut Herma, harus merupakan sebuah proses yang terus menerus. Seperti material dan prosedur yang dikembangkan, dicoba dan dirasa, hasil-hasilnya dinilai dan dievaluasi, kekurangan-kekurangan mereka dapat diidentifikasi dan direvisi agar lebih maju. Hasil pengembangan kurikulum dan program pengajaran akan maju secara terus menerus. 34 Herma meyakini bahwa pengembangan kurikulum tak pernah henti, analisis Herma membenarkan pernyataan bahwa pengembangan kurikulum adalah sebuah keniscayaan. Keempat, perubahan kurikulum sebenarnya merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan apabila salah satu atau beberapa komponen kurikulum dalam waktu tertentu perlu diperbaiki atau diubah.35 Ketika diperbaiki berarti tidak berubah total, diubah bisa juga berarti berubah total. Menurut McNeil ada 5 tahap perubahan kurikulum, yaitu: (1) penggantian (substitution). Satu elemen yang dapat menggantikan untuk kurikulum yang sedang berjalan. Penggantian atau penukaran, misalnya mengganti buku pelajaran yang lama dengan yang baru, metode yang lama dengan yang baru, atau menukar guru atau kepala sekolah, (2) perubahan (alteration). Mengadakan perubahan dalam struktur yang ada, misalnya menyerahkan bimbingan dan penyuluhan kepada seorang ahli sedangkan selama ini dipegang oleh guru, (3) kekacauan (perturbation). Beberapa perubahan ini bersifat pengacauan, tetapi guruguru dapat menyesuaikan mereka secara fair dalam tempo yang singkat. Kebanyakan guru dalam hal ini, dengan mudah keluar memberi penghargaan untuk sebuah perubahan pada schedule kelas dan setiap waktu memberi penghargaan untuk pengajaran, (4) perubahan re-struktur (restructuring changes). Perubahan ini mengarah pada modifikasi sistem itu sendiri. Desentralisasi dan konsep baru dari peran pembelajaran adalah beberapa contoh re-strukturisasi. Ketika para siswa dan orang tua mulai berpartisipasi pada seleksi yang obyektif dan mendesain kesempatan pembelajaran, ini adalah sebuah perubahan sistem, (5) perubahan yang berorientasi nilai (value orientation changes).36 C. Dua Pendapat yang Berbeda Dua pendapat tersebut adalah pertama, pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Anwar Jasin, seperti ditulis dalam disertasi doktornya, bahwa banyak faktor yang mendorong perubahan kurikulum, seperti faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, teknologi dan faktor intern pendidikan itu sendiri. 37 Walaupun tidak tertuju 33

Herma Rosenfeld Mastoon, Curricululm Reform in The Art Humanities in Pennsylvania: An Evaluation, (tk: Temple University Press, 1989), 17. 34 Mastoon, Curricululm Reform in The Art Humanities in Pennsylvania: An Evaluation, 20. 35 M. Ahmad, dkk, Pengembangan Kurikulum, 64. 36 McNeil, Curriculum A Comprehensive Introduction, 116-117. 37 Anwar Jasin, “Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan”, Disertasi IKIP Jakarta, 1983, 5. Dalam mengembangkan

langsung pada pergeseran kurikulum, namun indikatornya jelas ke sekolah, pastinya itu kurikulum, Larry Cuban, menulis dalam bukunya, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perubahan daerah dan sekolah –dalam hal ini kurikulum– adalah demografi, culture (kebudayaan), politik, sosial dan ekonomi. 38 Di sini Cuban tidak memasukkan faktor ideologi (agama), tetapi ia memunculkan faktor demografi. Berbeda dengan Anwar, dimana faktor ideologi (agama), bahkan teknologi dan faktor intern pendidikan itu sendiri, ia masukkan, sebagai suatu faktor yang mempengaruhi pergeseran kurikulum. Nampakknya perbedaan keduanya masih relatif kecil dan bisa ditolelir. Kedua, pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor politik, bahkan situasi politik masuk dalam situasi pendidikan. John I. Goodlad berpendapat, bahwa perencanaan, pengembangan, pergeseran dan perubahan kurikulum39 adalah proses politik,40 bahkan proses politik adalah sebuah proses ideologi yang menentukan ending (akhir) dan arti pendidikan. Statement lain mengatakan bahwa struktur politik masuk dalam situasi pendidikan. Unik dan sensitif hubungan antara lokal, negara dan pemerintah daerah dalam memberikan support dan mensikapi masalah-masalah sekolah, demikian contoh di Amerika. 41

dirinya manusia –sebagai subyek dan obyek kurikulum– tidak dapat berdiri sendiri, dia membutuhkan lembaga-lembaga sosial, dia membutuhkan masyarakat dan negara. Dia membutuhkan sistem nilai dan ideologi yang membutuhkan pedoman dan tujuan hidupnya sebagai warga dari suatu negara. Begitu pula sebaliknya, proses hidupnya sebagai pribadi ikut memberi bentuk pada lembaga-lembaga sosial, sistem nilai dan ideologi yang bersangkutan. Lihat, Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 7. 38 Larry Cuban menjelaskan faktor-faktor ini, untuk sekolah di Amerika, dimana sistem sekolah dan kurikulumnya adalah desentralisasi. Lihat Larry Cuban, dalam Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum (New York: Macmillan Publishing Company, 1999), 217. 39 Laurel N Tanner berpendapat, bahwa sumber obyek kurikulum adalah masyarakat, pembelajar, dan dunia ilmu pengetahuan, lihat, Laurel N Tanner, Observation: Curriculum History As Usable Knowledge, Curriculum Inquiri (tk: tp, 1982), 409. 40 Proses politik juga terjadi di dalam kelas. Dalam kegiatan belajar mengajar misalnya, sikap pendidik bermacam-macam, ada yang otoriter ada pula yang demokratis. Kedua sikap ini adalah otoritas atau power (kekuasaan) seorang pendidik di kelas. Dimana kekuasaan seolah-olah adalah ending dari politik. Lihat, J. Krishnamurt, Education and Significance of Life (San Fransisco: Harper and Row, 1953), 36. 41 Goodlad dalam David J. Flinders dan Stephen J. Thornton (ed.), The Curriculum Studies Reader, 62.

BAB III KARAKTERISTIK KURIKULUM MADRASAH ALIYAH A. Masa Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954 1. Kurikulum MA sebelum Tahun 1973: Dominasi Muatan Agama Karakteristik kurikulum Madrasah Aliyah sebelum tahun 1973 yaitu, pertama, dari sisi tujuan bahwa tujuan kurikulum Madrasah Aliyah berkembang menyesuaikan dengan tujuan lembaga pendidikan madrasah masing-masing, karena masa ini kurikulum madrasah belum seragam, disebabkan secara nasional kurikulum madrasah juga belum muncul saat itu. Kedua, dari sisi isi (content) kurikulum MA masih didominasi muatan agama, prosentase muatan agama lebih besar dari pada muatan umumnya, karena tujuan didirikannya MA adalah sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n. Adapun karakteristik madrasah yang sesungguhnya adalah ciri khas keIslaman sebagai ciri yang melekat pada madrasah, seperti dijelaskan oleh Steenbrink, bahwa madrasah mempunyai sifat religiousitas yang tinggi. Ciri khas ini tidak akan hilang walaupun diterpa badai yang bersifat politis. Dan ciri khas itu mestinya melakat dalam isi kurikulum MA, ini yang oleh penulis diamati pergeserannya secara detel. 2. Kurikulum MA 1973: Dominasi Muatan Umum Karakteristik kurikulum MA tahun 1973 yaitu, dilihat dari isi kurikulum, mata pelajaran agama sudah tidak mendominasi lagi. Dengan demikian mata pelajaran umum lebih dominan atau lebih banyak, kecuali pada jurusan keagamaan. Hal ini menjadi indikator bahwa secara politis misi MA sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n mulai bergeser. Perlu diketahui bahwa kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1973 merupakan kurikulum madrasah pertama yang telah disusun secara nasional, hal ini punya makna penting tersendiri. Dengan demikian tujuan masing-masing MA dapat di seragamkan dengan kurikulum tersebut, karena sudah ada standar nasional, dimana sebelumnya kurikulum MA masih bersifat kedaerahan bahkan berbeda antara lembaga madrasah satu dan lainnya. Perlu diketahui pula bahwa berlakunya kurikulum madrasah secara nasional menjadi pemicu politis, terjadinya dominasi perebutan otoritas Dikbud dan Depag terhadap institusi madrasah. 3. Kurikulum MA 1975: Dominasi Muatan Umum Secara Politis Memperkuat Pengakuan Pemerintah Terhadap Eksistensi Lembaga Madrasah Karakteristik kurikulum MA tahun 1975/1976 yaitu, isi kurikulum ini berkiblat pada SKB yang muatan mata pelajarannya berkisar 30% mata pelajaran agama dan 70% mata pelajaran umum. Beban kurikulum MA 1975/1976, berat, sebab mata pelajaran umum sama dengan sekolah ditambah mata pelajaran agamanya yang 30%. Tetapi jika komitmen cara pelaksanaannya didukung SDM yang handal, biaya dan sarana prasarana yang memadai serta input yang unggul, sebenarnya Madrasah Aliyah menjadi SMA plus. Adapun mata pelajaran dibagi tiga klasifikasi yaitu,

program umum, akademis dan ketrampilan, dimana perbedaan yang sangat substansial adalah di program akademis. 4. Kurikulum MA 1984: Pemantapan Dominasi Muatan Umum SKB Tiga Menteri dalam Menggiring Madrasah Menjadi Bagian dari Sistem Pendidikan Nasioanl Karakteristik kurikulum MA tahun 1984 adalah sebagai berikut, pertama, isi kurikulum MA 1984 tidak berbeda jauh dengan isi kurikulum MA 1976, yaitu muatan agama berkisar 30% dan muatan umum 70%. Isi kurikulum yang tidak berbeda ini dikarenakan kurikulum MA 1984 merupakan penguatan/pemantapan SKB Tiga Menteri, yaitu dikeluarkannya SKB 2 Menteri. Hal ini nampak keseriusan pemerintah untuk menggiring madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, sehingga sistem dualistik di Indonesia akan segera dihapuskan. Kedua, ciri khas ke-Islaman sebagai karakteristik asli madrasah masih terasa, karena kisaran muatan agama 30% masih berjalan. B. Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 1. Kurikulum MA 1994: Sekolah Umum Berciri Khas Islam Dari penjelasan di atas dapat diketahui karakteristik kurikulum MA tahun 1994 yaitu bahwa kurikulum MA 1994 terkenal dengan sebutan kurikulum sekolah umum berciri khas Islam, karena muatan umumnya sama dengan kurikulum SMA, sementara ada tambahan jumlah jam pelajaran untuk rumpun mata pelajaran PAI, sebagai ciri khas ke-Islamannya. Walaupun beban belajar di MA lebih berat dibanding di SMA, tetapi hal ini harus ditempuh, karena kalau tidak kurikulum MA akan kehilangan ciri khasnya. Disamping itu, kurikulum MA 1994 menghendaki kurikulum yang integratif, artinya tidak ada dikotomi keilmuan, antara ilmu umum dan ilmu agama. C. Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 1. Kurikulum MA 2004: Mempertahankan Ciri Khas ke-Islaman sebagai Karakteristik Asli Madrasah Karakteristik kurikulum MA tahun 2004 adalah sebagai berikut; perlu diketahui bahwa kurikulum MA 2004 didasarkan pada UUSPN No. 20 Tahun 2003, dimana tidak ada perbedaan antara kurikulum MA dengan kurikulum SMA. Kedudukan MA sama dengan SMA. Yang diperlukan hanya kepedulian Depag, sebagai Departemen yang berwenang terhadap kurikulum MA, untuk mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Muatan agama yang asli pada kurikulum MA 2004, sama persis dengan kurikulum SMA, yaitu kira-kira 4,4%, tetapi karena karakteristik ke-Islaman tidak boleh hilang dari kurikulum MA sebagai ciri khasnya, maka penambahan jam pelajaran untuk rumpun mata pelajaran PAI juga tetap diadakan. Tanpa penambahan jumlah jam pelajaran untuk rumpun mata pelajaran PAI, MA akan melupakan sejarah pendiriannya. 2. Kurikulum MA 2006: Modifikasi Ciri Khas ke-Islaman dengan Penciptaan Suasana Keagamaan di Madrasah Karakteristik kurikulum MA tahun 2006 yaitu bahwa muatan agama pada kurikulum MA 2006 semakin menipis dibanding 2004, dengan demikian berimplikasi

pula pada tambahan jumlah jam untuk memelihara ciri khas ke-Islamannya. Termasuk berimbas pada jumlah jam keseluruhan untuk mata pelajaran rumpun PAI. Antisipasi hal ini MA harus berusaha memodifikasi jumlah jam pelajaran PAI yang minim dengan cara menciptakan suasana keagamaan di lingkungan MA. Dengan cara ini ciri khas ke-Islaman MA akan dapat dipelihara.

BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH TERHADAP PERGESERAN KURIKULUM MADRASAH ALIYAH A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pergeseran Kurikulum MA 1. Faktor Agama (ideologi)42 Menurut Kelly, dalam perspektif politik, ideologi adalah dominan dalam pendidikan. 43 Pendidikan tidak hanya sebuah materi yang diwariskan secara turun temurun dari generasi tua kepada generasi muda, dan evaluasi dari ilmu pengetahuan dan masyarakat saja tetapi pendidikan itu adalah sebuah materi (isi kurikulum) dari satu golongan masyarakat yang dominan dalam mempropagandakan ideologinya, kemudian mencapai kontrol politik dalam rangka pengembangan kekuasaannya, demikan lanjut Kelly. 44 Pernyataan Kelly diperkuat oleh Harris, bahwa pendidikan adalah sebuah kekuatan ideologi dan kepentingan yang maha dasyat.45 Bila kita kembali ke pembahasan bab sebelumnya, bahwa pendidikan dengan kurikulumnya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ibaratnya, pendidikan adalah wadahnya, sedangkan kurikulum adalah isinya, maka substansi dari pendidikan adalah kurikulumnya. Dengan demikian yang digarap oleh para ideolog adalah kurikulum pendidikan itu sendiri. Maka apa yang dikatakan Kelly dan Harris sebenarnya, bahwa kurikulum pendidikan tidak dapat lepas dari ideologi. 2. Faktor Sosial Sosial, merupakan faktor yang menyebabkan bergesernya kurikulum madrasah. Sosial di sini adalah keadaan/kondisi sosial yang ada di masyarakat, seperti dinyatakan Tilaar, bahwa kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) sebenarnya merupakan refleksi dari perubahan sosial, 46 yang terjadi di dalam masyarakat, dan 42

Menurut golongan positivistic yang dikategorikan ideologi adalah segala penilaian etis, norma, teori-teori metafisik dan keagamaan. Semua yang termasuk ideologi itu termasuk keyakinan yang tidak ilmiah karena tidak rasional dan hanya merupakan keyakinan subyektif. Bila ideologi dikaitkan dengan ilmu pengetahuan menurut Kuntowijoyo ideologi bersifat subyektif, normatif, dan tertutup sedangkan ilmu pengetahuan mempunyai watak obyektif, faktual dan terbuka. Lihat, Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 20. Istilah ideologi paling sering dihubungkan dengan dua pemikir besar, Karl Marx dan Karl Mannheim. Bagi Marx, ideologi-ideologi politikpun tak pelak lagi sebagaian besar merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau organisasi ekonomi masyarakat. Sementara konsep Manheim tentang sebuah ideologi total –sebagai lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi tertentu– pada intinya sama dengan Marx. Lihat, William F. O’neil, Educational Ideologies: Contemporary Expression of Educational Philosophies (Santa Mania, California, Amerika Serikat: Goodyear Publishing Company, Inc, 1981), 31. 43 A. V. Kelly, The Curriculum Theory and Practice (London: Sage Publication, 2004), 38. 44 Kelly, The Curriculum Theory and Practice, 38. 45 K. Harris, Education And Knowledge: The Structured Misrepresentation of Reality (London: Routledge, 1979), 140. 46 Menurut Carolyn Zerbe Enns dan Linda M. Forrest, bahwa tujuan perubahan sosial direfleksikan melalui usaha-usaha transformasi disiplin, yaitu (a) perubahan content orang-orang dengan tidak mendominasi status sehingga menjadi jarak untuk memusatkan kurikulum; (b)

oleh sebab itu sewajarnyalah apabila kurikulum tersembunyi itu menjadi titik tolak kurikulum sekolah. Kurikulum formal di sekolah hampir selalu mengalami kegagalan, oleh karena tidak memperhitungkan adanya kurikulum tersembunyi. Berbagai kurikulum sekolah sudah out-of-date sebelum para siswa meninggalkan ruangan sekolah.47 Pernyataan Tilaar didukung Ivan Illich, bahwa kurikulum tersembunyi itu penting, karena kurikulum semacam ini merespon masalah sosial yang ada di masyarakat. Agaknya Illich sedikit lebih kejam, karena sampai pada tingkat penghapusan pendidikan formal, yang menurutnya akan lebih bermanfaat.48 Menurut penulis, tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan tetap pemerintah dan masyarakat, cuma, pergeseran kurikulum yang terjadi, harus terus memperhatikan perkembangan sosial yang ada di masyarakat, sehingga kurikulum tersebut, termasuk kurikulum Madrasah Aliyah tetap relevan dengan kebutuhan sosial masyarakat. 3. Faktor Ekonomi Ekonomi juga tidak kalah pentingnya mempengaruhi pergeseran kurikulum madrasah. Karena dengan pertumbuhan perekonomian yang baik akan menjadi faktor pendukung pergeseran kurikulum madrasah ke arah dinamis, demikian pula sebaliknya pertumbuhan perekonomian yang buruk akan menjadi kendala pergeseran kurikulum madrasah ke arah dinamis, bisa-bisa statis atau bahkan mundur ke belakang. Senada dengan hal ini, Hasan Langgulung, memasukan ekonomi sebagai salah satu asas dalam pendidikan. Seperti pernyataannya, bahwa ekonomi dengan pendidikan –kurikulumnya– selalu bergandengan sejak dahulu kala. Ahli-ahli ekonomi sejak zaman itu, begitu juga pencipta-pencipta sains telah mengakui pentingnya peranan yang dimainkan oleh pendidikan dalam pertumbuhan pengetahuan manusia dan selanjutnya pentingnya yang belakangan ini untuk perkembangan ekonomi. 49 Kemudian, dalam bidang ekonomi yang sangat relevan dengan pendidikan, tegas Langgulung, adalah hal-hal yang berkaitan dengan invesment dan hasilnya. Artinya kalau modal ditahan sekian lama dan sekian banyak, berapa banyak nanti keuntungan yang diharapkan dari situ. Negara-negara industri memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar, jadi memerlukan lebih banyak investasi dalam pendidikan, sedangkan di negara-negara berkembang waktu belajar itu lebih sedikit, dan tentunya budget untuk pendidikan juga kurang. 50 Di sini nampak

transformasi pengajaran, pembelajaran, penelitian dan metode-metode tes; (c) kesenjangan kebijakan yang melarang para siswa; (d) kembali memikirkan hubungan antara para siswa dan guru. Lihat, Carolyn Zerbe Enns dan Linda M. Forrest, Toward Defining and Integrating Multicultural and Feminist Paedagogies, dalam Carolyn Zerbe Enns dan L. Sinacore (ed.), Teaching and Social Justice, Integrating Multicultural and Feminist Theories (Washington, DC: American Psychological Association, 2002), 15. 47 H. A. R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002), 371. 4848 Ivan Illich, Deschooling Society (New York: Harper & Row, 1972), 12. 49 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), 19. 50 Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, 19.

jelas, bahwa pendidikan berimplikasi hasil ekonomi, dan ekonomi mendukung kualitas pendidikan. Di negara maju kurikulumnya lebih kompleks dibanding dengan negara berkembang, berbanding lurus, demikian pula ekonomi di negara maju lebih kompleks dibanding negara berkembang. 4. Faktor Budaya Pendidikan beserta kurikulumnya adalah sebuah lingkungan, menurut Hasan Langgulung lingkungan inilah yang berusaha mewariskan nilai-nilai budaya yang dimilikinya kepada setiap anggotanya –para siswanya dalam pendidikan– dengan tujuan memelihara kepribadian dan identitas budaya tersebut sepanjang zaman. Sebab budaya dan peradaban, lanjut Langgulung, dapat mati seperti orang perseorangan. Orang disebut mati bila nyawanya putus. Budaya dan peradaban disebut mati bila nilai-nilai, norma-norma dan berbagai unsur lain yang dimilikinya berhenti berfungsi, artinya tidak diwariskan lagi dari generasi ke generasi dan tidak lagi diamalkan setiap hari oleh penganut-penganutnya. 51 Hal ini dikuatkan, oleh Tilaar, kebudayaan tanpa pendidikan akan punah.52 Dengan demikian pendidikan beserta kurikulumnya merupakan media pelestarian budaya dan peradaban. Ketika budaya dan peradaban berkembang, secara otomatis pendidikan beserta kurikulumnya akan mengikutinya, atau sebaliknya. B. Dominasi Faktor Politik Pembahasan ini akan membuktikan bahwa dalam pergeseran kurikulum MA, faktor politik lebih dominan daripada faktor lain yang telah disebut. Dalam undangundang pendidikan yang pertama yaitu UU No. 4 tahun 1950 belum secara spesifik memberikan ketentuan khusus dalam hal pengaturan terhadap lembaga pendidikan Islam. Meskipun demikian, undang-undang ini telah memberikan pengakuan terhadap kedudukan sekolah agama (madrasah), seperti tercantum dalam pasal 10 ayat 2 undang-undang tersebut, bahwa ”Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah mengakui kewajiban belajar”. Sebelum ditetapkannya undang-undang tersebut, Menteri Agama telah mengeluarkan ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap madrasah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam, yakni Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember tahun 1946 tentang bantuan dan subsidi terhadap madrasah. 53 Dalam peraturan tersebut dianjurkan agar madrasah memberikan setidak-tidaknya sepertiga dari jumlah jam pelajarannya untuk pelajaran umum meliputi bahasa Indonesia, berhitung, membaca dan menulis huruf latin pada madrasah rendah, ditambah dengan ilmu bumi, sejarah, kesehatan, tumbuh-tumbuhan di madrasah lanjutan.54 Bila melihat content, kurikulum madrasah bergeser, dan 51

Langgulung, Pendidikan Islam pada Abad ke 21 (Jakarta: Pustaka Al-H{usna Baru,

2003), 75. 52

Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 8. 53 Lihat, Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 179. 54 Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, 180.

pergeseran ini nampak jelas unsur politisnya, karena madrasah diakui oleh pemerintah sebagai memenuhi kewajiban belajar ketika mau mengajarkan pelajaran umum. Yang tadinya madrasah mengajarkan 100%, pelajaran agama (ulu>m al-di>n). C. Tarik Menarik Kepentingan Partai Politik dalam Pendidikan Ketika negeri ini baru merdeka, perdebatan mengenai Dasar Negara sebagai falsafah negara hangat dibicarakan. Ada dua golongan yang cukup berperan dalam perdebatan ini, yaitu golongan Islam dan nasionalis sekuler serta Kristen. Seperti diprediksi oleh para sarjana bahwa umat Islam menghendaki Islam sebagai Dasar Negara Indonesia, namun ditentang habis oleh golongan nasionalis sekuler serta Kristen, dengan alasan bahwa Indonesia terdiri dari macam-macam agama, ketika dasar negaranya Islam maka tidak terakomodir semua. Menurut Syafi’i Ma’arif, akhirnya di bawah panitia kecil yang dipimpin Soekarno didapat kesepakatan pada tanggal 22 Juni 1945, sebagai rumusan kompromi yang dikenal sebagai Piagam Jakarta yaitu: ”....Negara berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.....” Tetapi karena satu dan lain hal –terutama karena pertimbangan aspirasi kalangan Kristen di wilayah Timur– sehari setelah kemerdekaan, rumusan ini akhirnya dicabut dari draf Undang-Undang Dasar tersebut.55 Melihat realitas yang demikian, umat Islam sangat kecewa, karena suara mayoritas tidak dapat mewakili umat mayoritas. Lain dengan India, justeru, Hindu mayoritas yang menguasai pemerintahannya, sementara Muslim minoritas ketakutan. Untuk mengantisipasi ketakutan tersebut, mengambil tindakan melalui partai politiknya sendiri, Moslem League, untuk membentuk negara terpisah; ”Muslim India merasa bahwa mereka sudah menjadi orang Islam sebelum menjadi orang India”. 56 Setelah membandingkan dengan India, maka inilah satu babak kekalahan umat Islam Indonesia. Dengan kekalahan ini tentunya berimplikasi terhadap keadaan kurikulum madrasah –terutama kurikulum MA setelah tahun 1950 dan sebelum tahun 1973– dapat dibayangkan ketika negara ini berdasarkan Islam, tentulah kepentingan madrasah yang diprioritaskan. Karena secara tidak langsung golongan nasionalis sekuler yang secara politis menang dalam hal ini, maka secara politis pula merekalah yang lebih berkuasa, akhirnya sekolah diposisikan nomor satu, sedangkan madrasah beserta kurikulumnya nomor dua. Babak kedua kekalahan politis umat Islam, seperti dilaporkan BJ. Boland, yaitu tentang pembentukan Kementerian Agama dalam kabinet pertama pemerintahan RI, tanggal 19 Agustus 1945. Laporan Boland, bahwa Latuharhary, salah seorang wakil dari kalangan Kristen, keberatan dengan pembentukan Kementerian Agama 55

Syafi’i Ma’arif menguraikan proses dan dinamika politik yang berlangsung dalam perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dengan kelompok Islam tentang Dasar Negara. Ia menyebutkan proporsi kelompok Islam dalam BPUPKI yang berjumlah 68 orang hanya 20% saja. Begitu pula dengan kompromi Piagam Jakarta yang dicapai oleh panitia Sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan salah seorang anggotanya yaitu AA Maramis, seorang Kristen. Baca, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), 101-109. 56 E. Blunt (ed.), Social Service in India (India: H.M. Stationery Office, 1939), 109. Dikutip dari Wallbank, A Short History of India and Pakistan (New York: American Library, 1958), 169.

meskipun pada pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang saja telah ada lembaga khusus yang mengurusi keperluan keagamaan umat Muslim. 57 Dapat dibayangkan ketika tidak ada Kementerian Agama, bagaimana nasib madrasah beserta kurikulumnya, apakah dapat eksis atau kemudian hilang. D. Kebijakan Politis Pemerintah dalam Kurikulum Madrasah 1. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan yang merugikan Kurikulum Madrasah Menurut Malik Fadjar, tidak seluruh kebijakan lahir dengan gampang. Ia harus mempunyai kekuatan tawar menawar kultur, dan dalam kadar tertentu bisa bersifat politis. 58 Sekurang-kurangnya untuk melahirkan kebijakan (kurikulum) madrasah perlu diakomodasikan berbagai kepentingan masyarakat,59 khususnya umat Islam. Seperti yang dikemukakan oleh Husni Rahim, bahwa madrasah adalah milik masyarakat,60 yang merupakan salah satu karakteristiknya. Maka kebijakan tentang pergeseran kurikulum madrasah selayaknyalah harus mendapat support, aspirasi dan dukungan dari masyarakat. Jadi yang paling baik di sini aspirasi kebijakan berasal dari masyarakat ke penguasa (bottom up), walaupun ending produksi dan isi kebijakan tetap di penguasa. Masyarakat adalah obyek penerapan kebijakan tersebut. Ketika lahirnya kebijakan merupakan paket dari penguasa tanpa adanya peran serta aspirasi masyarakat, berarti kebijakan yang lahir masih seperti kebijakan pendidikan pada masa Belanda.61

2. Beberapa Kritik Tentang Kualitas Kurikulum Madrasah

57

Lihat, B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970 (Jakarta: Grafiti Pers,

1982), 40. 58

Politik dalam pendidikan berbeda dengan politik praktis, dalam arti partai politik. Walaupun substansi politik itu sendiri secara teoritik adalah sama, dalam arti berorientasi kemenangan dan kekuasaan, namun dalam pendidikan lebih bersifat halus dan mengedepankan nilai. Baca, D. Easton, A framework for Political Analysis (New York: Prentice-Hall, 1965), ketika mendefinisikan politik pendidikan. Lihat pula, J. D. Scribner dan R. M. Englert (Ed.), “The Politics of Education: An Introduction”, dalam J. D. Scribner, The Politics of Education: The Seventy-Sixth Yearbook of The National Society for The Study of Education (Chicago: University of Chicago Press, 1977). Lihat juga, Jane C. Owen, The Impact of Politics in Local Education (Toronto: Rawman dan Little Field Education, 2006), 4, 6. 59 A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999), 95. 60 Husni Rahim, Visi Madrasah, http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul, 2008. 27/02/2010. 61 Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Belanda sepenuhnya mengendalikan proses produksi, isi, dan penerapan kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan Belanda melayani kepentingan pendidikan Belanda yang “substantive” mengesampingkan kebutuhan pendidikan “substantive” dari rakyat Indonesia. Lihat, Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2/1989, 20.

Beberapa kritik terhadap madrasah, terutama kurikulumnya. Sebenarnya pada masa awal madrasah identik dengan pesantren,62 bedanya kalau madrasah tanpa asrama sedangkan pesantren menggunakan asrama, namun content (isi) kurikulumnya sama yaitu sama-sama 100% mengajarkan agama, karena sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n. Disebabkan hal ini, eksistensi madrasah menimbulkan efek sosial, seperti kata Steenbrink, “suatu hal yang tragis yang dewasa ini diderita oleh anak-anak didik kalangan Islam Indonesia, adalah belum dapat diperolehnya lapangan kehidupan di luar keagamaan setelah mereka ini berhasil menyelesaikan pendidikannya dari sekolah-sekolah agama seperti madrasah, pesantren maupun perguruan tingginya”.63 Walaupun, sepintas diamati bahwa pernyataan Steenbrink adalah doktrin Barat, tetapi ini adalah merupakan kritik bagi madrasah untuk mereformasi kurikulumnya. 3. SKB Tiga Menteri: Pro-Kontra Masuknya Pelajaran Umum ke dalam Madrasah Di muka telah dijelaskan, bahwa SKB tiga menteri adalah politis, karena porsi pelajaran agama menjadi berkurang di madrasah. Sebagai klarifikasi ulang, dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri (MAN), pasal 2 disebutkan, bahwa Madrasah Aliyah Negeri mempunyai tugas dalam bidang pendidikan dan pengajaran Agama Islam sekurang-kurangnya 30% sebagai mata pelajaran dasar, disamping pendidikan dan pengajaran umum64 berarti 70% adalah pelajaran umum. Namun oleh Menteri Agama pada saat itu, Mukti Ali, dijelaskan bahwa dalam prakteknya kedua mata pelajaran tersebut dapat saling mengisi, sehingga sama-sama 100%. Jika hal ini benar-benar direalisasikan, maka madrasah dapat menjadi sekolah unggul. Tetapi pada kenyataannya memang tidak dapat direalisasikan apa yang dikatakan Mukti Ali. Dengan demikian sisi politisnya adalah penekanan terhadap kurikulum madrasah dengan mengurangi pelajaran agama. 4. Madrasah Masuk Sistem Pendidikan Nasional: Leburnya Sistem Ganda Munculnya Undang-Undang Pendidikan No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, madrasah harus berbenah diri, karena dalam pasal 11 ayat (6): ”Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Pendidikan keagamaan yang dimaksud di sini tentunya madrasah. Secara spesifik dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990, pasal 3 ayat (3): “Pendidikan menengah keagamaan mengutamakan penyiapan siswa dalam penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama yang bersangkutan”. Pendidikan menengah keagamaan yang dimaksud di sini tentunya Madrasah Aliyah. Cuma yang dimaksud Madrasah Aliyah di sini, Madrasah Aliyah 62

Menurut Geertz’s, bahwa pesantren (Islamic Boarding Schools) adalah sebuah institusi yang dipengaruhi pengajaran Hindu Budha. Lihat, Hefner, (Ed.), Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 129. 63 Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, 15. 64 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 17 Tahun 1978 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Madrasah Aliyah Negeri (MAN), 2.

umum atau Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), karena dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990, pasal 4 ayat (1) disebutkan: “Bentuk satuan pendidikan menengah terdiri atas, Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Menengah Keagamaan,65 --dimungkinkan MA– Sekolah Menengah Kedinasan dan Sekolah Menengah Luar Biasa”. 66 Jika Madrasah Aliyah termasuk sekolah keagamaan, maka menurut penulis yang tepat adalah Madrasah Aliyah Keagamaan, bukan Madrasah Aliyah umum yang mempunyai jurusan ilmu-ilmu Fisika, ilmu Biologi, ilmu-ilmu Sosial dan Pengetahuan Budaya. Sebenarnya dilihat dari kebijakan-kebijakan tersebut di atas jelas bahwa ruang lingkup pembelajaran yang ada di madrasah dibatasi pada pengetahuan agama saja. Hal ini sangat politis, seolah-olah madrasah yang dalam bahasa Indonesianya sekolah tidak boleh berkembang layaknya sekolah-sekolah umum yang lain. 5. Madrasah adalah Sekolah Umum Berciri Khas Islam: Sebuah Realitas Yang Harus Diterima Lahirnya PP Nomor 29 Tahun 1990 tentang pendidikan menengah menjadi dasar bahwa Madrasah Aliyah adalah SMU/sekolah umum berciri khas Islam. Dalam PP Nomor 29 tersebut ditegaskan bahwa pada jenjang pendidikan menengah, terdapat bentuk-bentuk satuan pendidikan, yaitu sekolah keagamaan, sekolah menengah kedinasan dan sekolah menengah luar biasa.67 Sekolah menengah keagamaan di sini berarti Madrasah Aliyah. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0489/U/1992 Tahun 1992 tentang sekolah menengah umum, ditetapkan bahwa Madrasah Aliyah adalah Sekolah Umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dalam SK Mendikbud tersebut juga ditegaskan bahwa Madrasah Aliyah wajib memberikan bahan kajian sekurangkurangnya sama dengan Sekolah Menengah Umum (SMU). Dalam mata pelajaran umum, tetapi dalam mata pelajaran agama, madrasah tetap mendapat porsi lebih. Husni Rahim melaporkan, jika di SMU, alokasi waktu pelajaran agama perminggu hanya 2 jam, tetapi pada Madrasah Aliyah, 9 jam pelajaran68 --kurikulum 1994–. 65

Dalam PP No. 29 Tahun 1990 disebutkan bahwa penamaan masing-masing bentuk sekolah menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 3 ditetapkan oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 66 Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 114. Lihat juga, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Bab 1 Pasal 1, 1. 67 Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, 106. 68 Jumlah yang demikian itu, masih dirasakan “kurang” sehingga masih ada suara, kurikulum 1994 sebagai kurikulum yang “mendangkalkan agama”. Pertanyaan sekarang, apakah ciri khas agama pada madrasah hanya menjadi tanggungjawab guru bidang studi agama, sehingga bila jam belajar bidang studi agama berkurang berarti terjadi pendangkalan agama? Ciri khas Islam pada madrasah menjadi tanggung jawab semua orang yang berkait dengan madrasah. Mulai dari kepala madrasah (pimpinan), guru (baik bidang studi agama maupun bidang studi umum), tenaga kependidikan lainnya, BP3 dan para murid sendiri. Lihat, Husni Rahim, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Logos, 2005), 47. Bandingkan dengan hasil observasi penulis

Dalam kurikulum 2004 dan 2006, alokasi waktu mata pelajaran agama pada Madrasah Aliyah program studi Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa69 sama persis dengan SMU. E. Tafsir Pergeseran 1. Bergeser Sebagaian Komponen Kurikulum Komponen kurikulum terdiri dari tujuan, isi/materi (content), pendekatan (strategi pembelajaran), dan penilaian (evaluasi). Dari masing-masing periode kurikulum Madrasah Aliyah mengalami pergeseran. Pergeseran terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Yang dalam hal ini penulis memberi kesimpulan bahwa pergeseran kurikulum lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor politik. Diantara empat komponen kurikulum tersebut, jika hanya terjadi pergeseran pada salah satu komponen saja, misal komponen tujuan kurikulum, sedangkan yang lain tidak, berarti pergeseran tersebut hanya sebagaian komponen kurikulum. 2. Bergeser Seluruh Komponen Kurikulum Seperti telah diuraikan pada bab-bab terdahulu dalam disertasi ini, bahwa pergeseran mestilah berbeda dengan perubahan, karena pergeseran lebih cenderung pada arti peralihan dan subsatnsi yang terkandung masih tetap ada, sedangkan perubahan adalah perubahan dalam arti total (revolusi). Prediksi penulis, bahwa kurikulum Madrasah Aliyah mengalami pergeseran secara menyeluruh dari masingmasing komponen kurikulum, walaupun pergeseran antar komponen kurikulum pada periode satu ke periode berikutnya tidak secara menyeluruh, artinya secara kuantitas, ada yang sedikit dan agak banyak bergesernya, yang terlalu banyak (total) tidak ada. Pada prinsipnya pergeseran menyeluruh tersebut secara kualitas mengarah pada perbaikan, penyempurnaan dan modernisasi, ada pula yang dominan dipengaruhi faktor politik yaitu pergeseran isi kurikulum MA. Untuk membuktikan tafsir ini dapat dilihat indikator pergeseran di bawah ini. F. Indikator Pergeseran Dalam indikator pergeseran ini penulis akan menjelaskan bahwa pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Hal ini telah banyak dijelaskan sebelumnya, bahwa diantara empat komponen kurikulum yaitu tujuan, content (isi), metode dan evaluasi, yang pergeserannya dikatakan politis adalah pada content (isi) kurikulum Madrasah Aliyah, adapun komponen yang lainnya bergeser ke arah modern. 1. Tujuan Kurikulum Madrasah Aliyah Tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional, baik UU No. 4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954, yang mencitakan manusia terdidik Indonesia sebagai “manusia susila yang cakap dan demokratis serta

terhadap MAN Insan Cendekia, tanggal 20 Pebruari 2010, observasi MAN 1 dan 2 Serang, tanggal 25 November 2010. 69 E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), 81-85.

bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”,70 atau UU no. 2 tahun 1989 yang mencitakan wujud manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”,71 dan yang terakhir UU No. 20 Tahun 2003 yang mencitakan “manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.72 a. Tujuan Kurikulum MA Sebelum Muncul Secara Nasional Ketika Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1946 diberlakukan yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 tahun 1952, salah satu pesannya adalah madrasah supaya mengajarkan pelajaran umum dengan tujuan karena pelajaran umum sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari, kekurangan pengetahuan umum menyebabkan orang mudah diombang-ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran yang kurang luas.73 Berarti sebelum munculnya peraturan ini memang madrasah hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama (ulu>m al-di>n), padahal ilmu umum berguna untuk menguasai dunia. b. Tujuan Kurikulum MA Tahun 1973 Kurikulum madrasah tahun 1973 ini merupakan hasil dari pertemuan di Cibogo, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 10-20 Agustus 1970, pada saat ini kurikulum madrasah disusun dari semua tingkatan secara nasional. Kurikulum madrasah secara nasional ini disusun dalam usaha supaya madrasah diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional. Dengan demikian, berarti tujuan kurikulum Madrasah Aliyah saat ini, secara umum tidak beda dengan tujuan kurikulum SMA tahun sebelumnya yaitu kurikulum tahun 1968, tujuannya adalah membentuk manusia Pancasila sejati, walaupun secara spesifik tujuan ini pastinya berbeda dengan kurikulum Madrasah Aliyah. c. Tujuan Kurikulum MA Tahun 1976 Kurikulum MA Tahun 1976, adalah disusun berdasarkan kurikulum SKB Tiga Menteri tahun 1975. Tujuan Institusional Umum (TIU) pada kurikulum Madrasah Aliyah 1976,74 sesuai Keputusan Menteri Agama no. 75 tahun 1976 pasal 3 adalah sebagai berikut: (1) menjadi seorang Muslim yang bertaqwa, berakhlak mulia, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, (2) menjadi warga negara yang baik 70

Lihat, Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,

1999), 130. 71

Lihat, Undang-Undang Nomor 2Tahun 1989, pasal 4. Lihat, UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. 73 Husni Rahim, “Visi Madrasah”, dalam http://www. blogger.com/feeds/35417963/posts/ defaul, 2008. 27/02/2010. 74 Konsep kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efesien, yang mempengaruhinya adalah konsep di bidang manajemen, yaitu Management by Objective, http://viendutzz.com/2009/11/perbedaan-kurikulum-1975-1984-1994-204.com. 10/08/2010. 72

dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air, (3) menjadi manusia yang berkepribadian bulat dan utuh, percaya pada diri sendiri, sehat rohani dan jasmani, (4) memiliki pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan yang lebih luas serta sikap yang diperlukan untuk melanjutkan pelajaran ke perguruan tinggi atau untuk dapat bekerja dalam masyarakat sambil mengembangkan diri untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, (5) memiliki pengetahuan agama dan umum yang lebih luas dan mendalam serta pengalaman, ketrampilan dan kemampuan, yang diperlukan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, (6) mampu melaksanakan tugas hidup dalam masyarakat dan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa guna mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.75 Tujuan ini cukup ideal, untuk membentuk manusia yang mempunyai kepribadian utama secara komprehensip. d. Tujuan Kurikulum MA Tahun 1984 Dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia No. 101 tahun 1984 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, 76 disebutkan pada pasal 2, pendidikan Madrasah Aliyah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pada pasal 3 diuraikan lebih rinci, bahwa tujuan pendidikan Madrasah Aliyah adalah untuk menunjang tercapainya Tujuan Pendidikan Nasional, dan dijabarkan ke dalam tujuan umum sebagai berikut: (a) mendidik para siswa untuk menjadi manusia yang bertakwa, berakhlak mulia, sebagai Muslim yang menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, (b) mendidik para siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warga negara Indonesia yang berpedoman kepada Pancasila dan UUD 1945, (c) memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke IAIN dan ke perguruan tinggi lainnya, (d) memberi bekal kemampuan yang diper1ukan bagi siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke tingkat akademi) 75

Lihat, KMA No. 75 Tahun 1976, pasal 3. Lihat pula, Keputusan Menteri Agama (KMA) RI No. 75 tahun 1976 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 3-6. Sejak diberlakukannya kurikulum 1975, yang waktu itu dikenal dengan sebutan pembakuan kurikulum, para guru diwajibkan menggunakan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) dalam melaksanakan tugasnya dari mulai perencanaan pengajaran, pelaksanaan proses belajar-mengajar sampai evaluasi pengajaran. Kewajiban itu merupakan implikasi dari penggunaan prinsip objective oriented sebagai salah satu asas pengembangan kurikulum. Penerapan prinsip berorientasi pada tujuan ini nampak pada kurikulum 1975 dengan dicantumkannya berbagai jenis tujuan yang tersusun secara hirarkhis, dari mulai Tujuan Pendidikan Nasional, Tujuan Institusional, Tujuan Kurikuler sampai ke Tujuan Instruksional Umum. Atas dasar tujuan-tujuan itu, guru diwajibkan mengembangkan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) untuk diusahakan pencapaiannya pada proses belajar-mengajar yang diselenggarakannya. Lihat, http://www.infodiknas.com/manfaat-tujuan-pembelajaran-khusus-dalam-proses-belajar-mengajar. 26/05/2010. 76 Kurikulum 1984 mengusung process skill approach, yang senada dengan tuntutan GBHN 1983 bahwa pendidikan harus mampu mencetak tenaga terdidik yang kreatif, bermutu, dan efisien bekerja. Kurikulum 1984 tidak mengubah semua hal dalam, kurikulum 1975, meski mengutamakan proses tapi faktor tujuan tetap dianggap penting. Oleh karena itu kurikulum 1984 disebut kurikulum 1975 yang disempurnakan. Posisi Siswa dalam kurikulum 1984 diposisikan sebagai subyek belajar. Dari hal-hal yang bersifat mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan, menjadi bagian penting proses belajar mengajar, inilah yang disebut konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). http://viendutzz.com/2009/11/perbedaan-kurikulum-1975-1984-1994-204.com. 10/08/2010.

politeknik, program diploma dan pendidikan tinggi lainnya yang setingkat, (e) memberi bekal kemampuan bagi siswa yang akan terjun ke dunia kerja setelah menyelesaikan pendidikannya.77 Hal ini sejalan dengan tuntutan GBHN 1983, bahwa pendidikan harus mampu mencetak tenaga terdidik yang kreatif, bermutu, dan efisien bekerja. 78 Pada saat kurikulum Madrasah Aliyah 1984, Menteri Agamanya adalah Munawir Sjadzali. 79 Ketika Munawir menjadi Menteri Agama, ada tarik menarik antara tokoh Islam dan nasionalis, dimana tokoh Islam menghendaki negara Islam, sementara tokoh nasionalis tetap mengendaki Indonesia berdasarkan Pancasila. Ketegangan yang demikian dicairkan oleh Munawir, dengan menulis buku tentang politik Islam yang dicetak sebanyak 5000 eksemplar, habis terjual dalam tempo singkat, selama 4 bulan. Subtansi pemikiran Munawir, “tidak ada ketetapan doktrinal yang mengharuskan kaum Muslimin untuk mendirikan negara Islam”.80 Dengan demikian, kehadiran Munawir menjadi Menteri Agama, adalah mencairkan ketegangan ideologis. e. Tujuan Kurikulum MA tahun 1994 Lahirnya Undang-Undang Pendidikan No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjadi pemicu lahirnya kurikulum 1994, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, memiliki ketrampilan dan pengetahuan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.81 Tujuan kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994, tentunya merujuk kepada UU tersebut. f. Tujuan Kurikulum MA Tahun 2004 Kurikulum ini disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).82 Penyelenggaraan pendidikan Madrasah Aliyah (MA) setingkat dengan pendidikan 77

Keputusan Menteri Agama (KMA) RI No. 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah

Aliyah, 3. 78

http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html, 19 Mei 2008. 25/07/2010. 79 Keputusan Menteri Agama (KMA) RI No. 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 7. 80 Baca, Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo, dan Arief Subhan, “Munawir Sjadzali, MA, Pencairan Ketegangan Ideologis”, dalam, Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, 371-372. 81 http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html, 19 Mei 2008. 25/07/2010. Lihat juga, UU No. 2 Tahun 1989. 82 Kebanyakan tafsir kompetensi, hampir mirip (seragam), Jones, mendefinisikan kompetensi, sebagai suatu pengetahuan dan ketrampilan khusus (specific) dan cara penerapan pengetahuan serta ketrampilan tersebut mengikuti sebuah baku kinerja (standard performance) yang ditetapkan”. Sedang Taylor-Powell, memberikan arti kompetensi, sejumlah pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan untuk melakukan tugas atau rencana tertentu. Lihat, Taylor-Powell, Competence in Extension Education Evaluation, What is it? What Does Capacity Building Entail? Hear it From the Board. Januari, 2002. Sedangkkan Risher mengatakan, kompetensi adalah kemampuan yang menyumbangkan tercapainya keberhasilan kinerja. Lihat, H. Risher, Paying for Employee Competence. School Administrator, 2000.

umum, bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan demokratis; menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi; memiliki etos budaya kerja; dan dapat memasuki dunia kerja atau dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dengan kata lain tujuan pendidikan Madrasah Aliyah (MA) adalah memproduk lulusan yang bisa masuk ke perguruan tinggi umum dan agama serta dapat diterima bekerja sesuai dengan kebutuhan pasar. g. Tujuan Kurikulum MA Tahun 2006. Kurikulum 2006 yang juga disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).83 Dalam kurikulum ini, tidak ada perbedaan antara kurikulum sekolah dengan kurikulum madrasah, baik dari segi tujuan, content (isi), strategi (metode) pembelajaran, maupun evaluasinya. 84 Oleh karena itu tujuannya pun sama, yaitu “tujuan pendidikan menengah (SMA/MA) adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut”.85 2. Isi Kurikulum Madrasah Aliyah a. Isi Kurikulum MA Sebelum Muncul Kurikulum Madrasah Secara Nasional Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1946 (tentang pemberian bantuan madrasah), dalam peraturan ini diberi tambahan tentang pemberian pengajaran mata pelajaran umum, jumlah jam pelajaran umum minimal sepertiga dari jumlah jam secara keseluruhan. Adapun mata pelajarannya meliputi, Bahasa Indonesia, Berhitung dan Membaca serta Menulis untuk madrasah tingkat rendah, sedangkan untuk madrasah lanjutan diberi tambahan, Ilmu Bumi, Sejarah, Kesehatan, Tumbuhtumbuhan dan Alam. Sebenarnya hal ini merupakan usaha KH. Wahid Hasyim ketika menjadi Menteri Agama (1949-1952). Dengan alasan supaya tidak terjadi dualisme yang tajam antara madrasah dan sekolah.86 Diam-diam ide Hasyim ini adalah politis, dimana negara ini mempunyai sistem pendidikan yang dualistik, dengan posisi madrasah yang marjinal, seolah-olah Hasyim mau berusaha menyamakan kedudukan antara madrasah dengan sekolah.

83

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yang telah disusun oleh BNSP (Badan Standar Nasional Pendidikan), lihat, PP No.19 Th.2005, Pasal 17. 84 Baca, Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), 335. 85 Henny Riandari, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA dan MA: Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Ria Setyo Mardani (Ed.), (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007), 3. Baca juga, Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, 335. 86 Dapartemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 16.

Melihat perbandingan prosentase pelajaran agama dan umum pada masa kurikulum sekitar tahun 1958, dimana belum ada kurikulum madrasah yang bersifat nasional, maka dapat dilihat pelajaran agama lebih dominan. Isi rencana Pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor, mata pelajaran agama 56,4%, isi rencana pelajaran sekolah guru P.U.I 6 tahun, agama 52,4%. Dan untuk isi rencana pelajaran Mu’allimin Yogyakarta imbang antara pelajaran agama dan umum yaitu 50%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prosentase mata pelajaran agama dan umum masing-masing madrasah sebelum tahun 1973 adalah beragam, dalam arti belum seragam. Dan lebih cenderung dominasi ke mata pelajaran agama karena sebagai lembaga tafaqquh fi> al-di>n. b. Isi kurikulum MA Tahun 1973 Kurikulum madrasah 1973, merupakan kurikulum madrasah yang baru secara nasional, yang merupakan hasil pertemuan pada tanggal 10-20 Agustus 1970 di Cibogo, Bogor.87 Ketika diberlakukannya kurikulum MA tahun 1973, dibuka jurusan yaitu, 1) jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), 2) jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), 3) jurusan Bahasa, 4) jurusan Agama (Syari’ah), dan 5) jurusan Qodlo (Peradilan Agama).88 Mata pelajaran diklasifikasikan menjadi empat, yaitu dasar, pokok, khusus dan ekstrakurikuler. Mata pelajaran MA saat ini sudah cukup mewarnai pengetahuan umum bila dilihat dari alokasi waktu yang tersedia, yaitu jumlah alokasi waktu pelajaran agama perminggu 12-14 jam pelajaran, sementara pelajaran umum 31-34 jam pelajaran. Sedangkan jumlah jam pelajaran perminggu secara keseluruhan adalah 48 jam pelajaran. 89 Bila diprosentase, maka jumlah jam pelajaran agama perminggu: 14:48x100%= 29,2%. Sedangkan jumlah jam pelajaran untuk mata pelajaran umum perminggu bila diprosentase: 34:48x100%= 70,8%. Dengan demikian isi kurikulum MA 1973 sudah mulai didominasi mata pelajaran umum. c. Isi Kurikulum MA Tahun 1976 Munculnya kurikulum SKB Tiga Menteri Tahun 1975 adalah mendasari lahirnya kurikulum MA Tahun 1976. Kurikulum ini, memuat 30% mata pelajaran agama90 dan 70 % mata pelajaran umum. Adapun alokasi waktu perminggu 44 jam pelajaran, 91 mata pelajaran yang termasuk rumpun PAI (agama) untuk jurusan IPA dan IPS berjumlah 12-13 jam pelajaran perminggu, dengan demikian alokasi mata pelajaran umum berjumlah 3187

Dapartemen Agama RI, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, 24. Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia, Solusi dan Jawaban Pelbagai Problem MA Umum, MA Program Khusus, MA Ketrampilan, MA Model dan MA Diniyah. Lihat juga, Abd Rahman Saleh, Penyelenggaraan Madrasah, Petunjuk Pelaksanaan Administrasi dan Teknis Pendidikan (Jakarta: Dharma Bhakti, 1984), 23-24. 89 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 145. 90 Keputusan Menteri Agama No. 75 tahun 1976 tentang kurikulum Madrasah Aliyah, 2. 91 Keputusan Menteri Agama No. 75 tahun 1976 Pasal 7 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 8. 88

32 jam pelajaran perminggu. Bila diprosentase, untuk mata pelajaran rumpun PAI: 13:44x100%= 29,55%, untuk mata pelajaran umum: 31:44x100%= 70,45%. Untuk jurusan bahasa jumlah alokasi waktu rumpun mata pelajaran PAI: 13-16 dan mata pelajaran umum 28-31. Jika dibuat prosentase, mata pelajaran rumpun PAI: 16:44x100%= 36,4%, mata pelajaran umum: 28:44%= 63,6%, mata pelajaran rumpun PAI prosentasenya bertambah karena di kelas 3, mata pelajaran Bahasa Arab alokasi waktunya tinggi sampai 7 jam pelajaran perminggu. Kemudian jurusan Syari’ah/Agama, jumlah jam pelajarannya perminggu, untuk mata pelajaran rumpun PAI 13-25, untuk mata pelajaran umum 19-31. Bila diprosentasekan, maka pelajaran rumpun PAI: 25:44x100%= 56,8%, sedangkan mata pelajaran umumnya 19:44x100%= 43,2%. Dengan demikian untuk jurusan IPA, IPS dan Bahasa mata pelajarannya didominasi pengetahuan umum dan untuk jurusan Syari’ah/Agama, mata pelajarannya didominasi pelajaran agama. d. Isi Kurikulum MA Tahun 1984 Dalam pasal 8 Keputusan Menteri Agama Nomor 101 tahun 1984, tentang kurikulum Madrasah Aliyah disebutkan bahwa isi kurikulum Madrasah Aliyah adalah sebagi berikut: dikelompokan menjadi dua yaitu, kelompok Pendidikan Agama terdiri atas; al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fikih, Sejarah Peradaban Islam, dan Bahasa Arab. Kelompok Pendidikan Agama ini merupakan program identitas Madrasah Aliyah. Program ini adalah sebagai dasar utama dalam pengembangan suasana keagamaan di sekolah, yang merupakan ciri kekhususan kelembagaannya. 92 Adapun perhitungan jumlah alokasi waktu perminggu adalah 240 kredit dibagi 6 semester = 40 jam pelajaran perminggu. Jumlah jam pelajaran rumpun mata pelajaran PAI 12 jam pelajaran permingu, dan mata pelajaran umum 28 jam pelajaran. Jumlah jam pelajaran seperti ini untuk program ilmu-ilmu Fisika, ilmuilmu Biologi, ilmu-ilmu Sosial, dan ilmu-ilmu Pengetahuan Budaya. Bila diprosentasekan adalah sebagai berikut, untuk mata pelajaran rumpun PAI: 12:40x100%= 30%, dan mata pelajaran umum: 28:40x100%= 70%. Adapun untuk program ilmu-ilmu Agama jumlah jam pelajarannya perminggu 23, dan mata pelajaran umum 17. Sehingga jika diprosentasekan, pelajaran rumpun PAI: 23:40x100%= 57,5% dan mata pelajaran umum: 17:40x100%= 42,5%. e. Isi Kurikulum MA Tahun 1994 Alokasi waktu jam pelajaran perminggu, untuk ketiga program, yaitu program Bahasa, program IPA dan program IPS adalah sebagai berikut: mata pelajaran rumpun PAI berjumlah 7 jam pelajaran perminggu. Ada catatan bahwa untuk kelas 3, Bahasa Arab 2 jam pelajaran dilaksanakan dalam kegiatan ekstrakurikuler. Adapun mata pelajaran umum berjumlah 38 jam pelajaran perminggu. Sedangkan jumlah jam keseluruhan perminggu adalah 45 jam pelajaran. Dengan demikian jika diprosentasekan menjadi, mata pelajaran rumpun PAI: 7:45x100%= 15,6% dan mata pelajaran umum: 38:45x100%= 84,4%. f. Isi Kurikulum MA Tahun 2004 92

Keputusan Menteri Agama No. 101 tahun 1984 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 10

Alokasi waktu jumlah jam pelajaran perminggu adalah 45 jam pelajaran. Untuk program studi Ilmu Alam dan Ilmu Sosial, jumlah jam pelajaran perminggu rumpun mata pelajaran PAI adalah 9 jam pelajaran, yang aslinya hanya 2 jam pelajaran perminggu. Dengan demikian maka tambahannya adalah 7 jam pelajaran perminggu dalam rangka mempertahankan ciri khas ke-Islamannya. Adapun sisanya adalah mata pelajaran umum yaitu 36 jam pelajaran. Bila diprosentasekan, untuk rumpun mata pelajaran PAI: 9:45x100%= 20%, sedangkan mata pelajaran umum: 36:45x100%= 80%. Prosentase mata pelajaran PAI ketika tidak ditambah jam pelajaran dalam rangka mempertahankan ciri khas ke-Islamannya adalah: 2:45x100%=4,4%. Dengan demikian untuk mempertahankan ciri khas ke-Islamannya adalah 20%-4,4%= 15,6%. Melihat realitas yang demikian, betapa kuatnya kurikulum MA mempertahankan ciri khas ke-Islamannya sebagai karakteristik yang melekat pada madrasah. Untuk program studi Bahasa hanya berbeda sedikit, karena ada tambahan mata pelajaran Bahasa Arab satu jam pelajaran perminggunya. Dengan demikian maka jumlah jam pelajaran perminggu untuk rumpun mata pelajaran PAI adalah 10 jam pelajaran dan mata pelajaran umum 35 jam pelajaran. Bila diprosentasekan, mata pelajaran rumpun PAI: 10:45x100%= 22,2%, dan mata pelajaran umum: 35:45x100%= 77,8%. Tambahan jam untuk mempertahankan ciri khas ke-Islamannya adalah 22,2%-4,4%= 17,8%. Hal ini pasti berbeda dengan program studi Ilmu Agama Islam yang jumlah pelajaran agamanya adalah 26 jam pelajaran perminggu dan sisanya adalah mata pelajaran umum yaitu 19 jam pelajaran perminggu. Bila diprosentasekan, mata pelajaran agamanya adalah: 26:45x100%=57,8%, dan mata pelajaran umumnya 19:45x100%= 42,2%. Mata pelajaran agamanya mendominasi adalah wajar karena program studi Ilmu Agama Islam. g. Isi kurikulum MA Tahun 2006 Adapun perhitungan prosentase alokasi waktu antara mata pelajaran rumpun PAI (agama) dan umum adalah sebagai berikut: untuk program studi IPA, IPS dan Bahasa jumlah mata pelajaran agamanya perminggu adalah 6 jam, yang aslinya hanya 2 jam pelajaran, karena ada keterangan dalam kurikulum itu, 4 jam PAI dan 2 jam Bahasa Arab jika untuk Madrasah Aliyah, jika untuk SMA 2 jam PAI dan bahasa Arab ditiadakan. Dengan demikian jelas bahwa sebenarnya hanya 2 jam pelajaran PAI perminggu di MA, menurut kurikulum 2006, selebihnya mata pelajaran umum. Adapun jumlah jam mata pelajaran umum adalah 39 perminggu dan jumlah alokasi keseluruhan dalam seminggu adalah 45 jam peajaran. Bila diprosentasekan maka, mata pelajaran PAI: 6:45x100%= 13,3%, dan mata pelajaran umum: 39:45x100%=86,7%, dimana ketika melihat prosentase mata pelajaran rumpun PAI aslinya adalah: 2:45x100%= 4,4%. Dengan demikian kurikulum MA mempertahankan ciri khas ke-Islamannya adalah 13,3%-4,5%= 8,8%. Dari sini terlihat bahwa perjuangan mempertahankan kurikulum MA agar tetap mempunyai cirri khas ke-Islamanya terus dilakukan, walaupun kurikulum MA sudah disamakan dengan kurikulum SMA.

Untuk program studi Keagamaan, tentunya berbeda dengan tiga program studi lainnya. Jumlah jam pelajaran perminggu untuk rumpun mata pelajaran PAI 14 jam pelajaran sisanya mata pelajaran umum 30 jam pelajaran perminggu dari jumlah alokasi waktu keseluruhan perminggu 44 jam pelajaran. Bila diprosentase, mata pelajaran rumpun PAI: 14:44x100%= 31,8%, dan mata pelajaran umumnya: 30:44x100%= 68,2%. Melihat data yang seperti ini adalah sebuah politisasi yang cukup besar, kenapa program studi keagamaan tetapi mata pelajarannya didominasi oleh mata pelajaran umum, seharusnya pastilah mata pelajaran agamanya. 3. Pendekatan Kurikulum Madrasah Aliyah Ada tiga istilah yang mirip dalam pembelajaran maupun pengajaran, tetapi sebenarnya pengertiannya berbeda, yaitu pendekatan, metode dan strategi. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).93 a. Pendekatan Kurikulum MA Sebelum Muncul Kurikulum Secara Nasional Pendekatan pelajaran secara khusus dalam kurikulum Madrasah Aliyah masa ini belum teridentifikasi secara sistematis, hanya dapat melihat kurikulum sekolah menengah atas sebagai bahan perbandingan. Seperti pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh kurikulum SMA tahun 1968, diantaranya sebagai berikut; dengan cara membangkitkan minat siswa secara maksimal –dalam bahasa sekarang membangkitkan motivasi siswa baik intrinsik maupun ekstrinsik– guru mengajar harus menghubungkan dengan mata pelajaran yang lain –corelated curriculum– diusahakan setiap pelajaran disajikan dengan cara experience centered, sehingga melalui pengalaman pembangkitan minat siswa dapat mempraktekan apa yang diketahui, menggunakan metode problem solving.94 Pembangkitan minat belajar siswa sangat perlu ketika itu, dimana pelajar masih sedikit dibanding sekarang. Mereka masih malas untuk sekolah. Dengan pendekatan pembangkitan motivasi, diharapkan para siswa muncul motivasi intrinsik, dimana motivasi ini merupakan faktor pendorong yang cukup kuat pada diri anak siswa. b. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 1973 Pendekatan, UNESCO melalui International Commision on Education for The Twenty First Century yang antara lain bertujuan untuk mengubah dunia “from technologically divided world where high technology is privilege of the few to 93

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12/pengertian-pendekatan-strategi-tekniktaktik-dan-model-pembelajaran. 06/07/2010. 94 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Rencana Pendidikan dan Pelajaran SMA (Jakarta: Direktorat Pendidikan Umum, Kejuruan dan Kursus-kursus, 1969), 8.

technologically united world” mengusulkan empat pilar belajar yaitu “learning to know, learing to do, learning to be, and learning to live together”. Menerapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target untuk Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”. 95 Ilustrasi di atas belum muncul di Indonesia pada tahun 1973, apalagi pada pendekatan kurikulum Madrasah Aliyah. Pendekatan kurikulum MA tahun 1973, masih berpusat pada guru (teacher center), guru yang aktif menerangkan. Orientasinya juga pada tujuan (goal oriented), proses tidak begitu diperhatikan pada saat ini. Pendekatan yang digunakan masih banyak mengadopsi pendekatan yang ada di pesantren, sebagai cikal bakal lembaga pendidikan Islam. c. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 1976 Kurikulum 1975 yang dipakai landasan untuk kurikulum madrasah 1976 menggunakan pendekatan-pendekatan diantaranya sebagai berikut: pertama, berorientasi pada tujuan, kedua, menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif, ketiga, menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu, keempat, menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa. 96 d. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 1984 Sistem yang berlaku pada kurikulum Madrasah Aliyah 1984 adalah semester.97 Proses belajar mengajar dilaksanakan dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seseorang belajar, selain kepada apa yang ia pelajari. Ketrampilan untuk mampu mengelola perolehannya biasa disebut pendekatan ketrampilan proses.98

95 96

Sudijarto, Jurnal Pendidikan, 8. http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html.

28/07/2010. 97

Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 2. 98 Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 29.

e. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 1994 Di awal berlakunya kurikulum 1994 ini, terjadi perubahan waktu dari semester (kurikulum 1984) ke catur wulan (kurikulum 1994).99 Namun di penghujung berlakunya kurikulum ini berlaku sebaliknya, yaitu perubahan sistem catur wulan ke semester sesui keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 084/U/2002 tentang perubahan sistem catur wulan menjadi semester yang terjadi pada tahun ajaran 2002/2003.100 f. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 2004 Kurikulum MA Tahun 2004 lebih populer dengan sebutan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Lahir sebagai respon dari tuntutan reformasi, diantaranya UU No. 2 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, UU No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, dan Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang arah kebijakan pendidikan nasional. KBK tidak lagi mempersoalkan proses belajar, proses pembelajaran dipandang merupakan wilayah otoritas guru, yang terpenting pada tingkatan tertentu peserta didik mencapai kompetensi yang diharapkan. Kompetensi dimaknai sebagai perpaduan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, dan bertindak. Seseorang telah memiliki kompetensi dalam bidang tersebut yang tercermin dalam pola perilaku sehari-hari. 101 KBK cukup efektif, untuk menjadikan para siswa terampil skill-nya, cerdas kognisinya, peka afeksinya. g. Pendekatan Kurikulum MA Tahun 2006 Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat kelas umum dan kelas akselerasi (pendidikan berbasis keunggulan).102 Bila diamati kedua kelas tersebut menggunakan pendekatan mastery learning (belajar tuntas), pendekatan ini menentukan standar ketuntasan minimal. Ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu kompetensi dasar berkisar 0–100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%. Satuan pendidikan harus menentukan kriteria ketuntasan minimal dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam

99

http://rbaryan.wordpress.com/2007/05/16, “Bagaimana Perjalanan Kurikulum Nasional”.

07/05/2010. 100

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 084/U/2002 tentang Perubahan sistem catur wulan menjadi sistem semester, 2. 101 http://cahayailmu-cahayailmu-blogspot.com/2008/05/perbandingan-kurikulum.html. 25/07/2010. 102 Accelerated Learning adalah suatu program pembelajaran dengan sistem percepatan yang dilakukan dengan cara pemanfaatan waktu. Jika program pembelajaran biasa menyelesaikan materi dalam tiga tahun program akselerasi hanya memakan waktu 2 tahun untuk menyelesaikan materi yang sama, sehingga setiap semester hanya disediakan waktu 4 bulan. Program pembelajaran ini memang disediakan bagi siswa yang memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata sehingga terhindar dari rasa bosan yang diakibatkan lambatnya materi yang disampaikan. Dalam proses belajar mengajar. Lihat, Departemen Agama, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah Aliyah, 230.

penyelenggaraan pembelajaran. Satuan pendidikan diharapkan meningkatkan ketuntasan belajar secara terus menerus untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal. 4. Evaluasi Kurikulum Madrasah Aliyah Ada beberapa faktor yang menyebabkan definisi evaluasi menjadi berbeda, seperti dikemukakan Worthen dan Sanders, perbedaan konsep evaluasi pendidikan, makna evaluasi menurut asalnya, perbedaan filsafat dan ideologi, latar belakang metodologi, perbedaan tafsir evaluasi, respon yang berbeda dalam memandang kebutuhan pendidikan, dan pertimbangan praktis.103 Worthen dan Sander dengan tegas mengatakan berdasarkan, argumen kedua orang ini, maka definisi evaluasi menjadi tidak seragam. a. Evaluasi Kurikulum MA Sebelum Muncul Kurikulum Madrasah Secara Nasional Seperti telah diketahui, bahwa sebelum tahun 1973 kurikulum madrasah belum muncul secara nasional, dengan demikian cara evaluasinyapun belum seragam. Tetapi bila berkiblat dengan kurikulum nasional, minimal dapat mengetahui gambaran evaluasinya. Dalam kurikulum menengah atas tahun 1968 disebutkan bahwa penilaian diadakan secara praktek, karena ini lebih obyektif. Selanjutnya penilaian dengan pemecahan masalah, untuk melatih daya pikir. 104 Jenis evaluasi pada masa ini masih sederhana yaitu praktek, dimana bentuk ini merupakan warisan lembaga pendidikan Islam pada masanya. Kebanyakan pesantren tradisional melaksanakan evaluasi dengan cara praktek untuk materi seperti t}aharah, shalat dan lain-lain. Juga hafalan, setelah para santri mengkhatamkan kitab tertentu. Adapun problem solving, sebenarnya belum populer saat itu, karena melihat kultur pada masanya masih relatif homogen. b. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 1973 Bentuk dan jenis evaluasi Madrasah Aliyah pada kurikulum 1973, sudah lebih maju dibanding dengan kurikulum sebelumnya. Karena madrasah sudah mempunyai kurikulum secara nasional. Jenis penilaian, seperti tulis dan lisan. Teknik penilaian, tes dan non tes serta kuantitatif dan kualitatif. Sudah ada pada masa ini. Namun pengaruh penilain pesantren masih kental, seperti praktek, menghafal dan bah}sul masa>il (pemecahan masalah/problem solving), juga sudah mulai digalakan untuk tingkat MA. c. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 1976 Kurikulum 1975, yang menjadi dasar kurikulum MA tahun 1976, didasari konsep SAS (Struktural, Analysis, Sintesis). Anak menjadi pintar karena paham dan mampu menganalisis sesuatu yang dihubungkan dengan mata pelajaran di sekolah. Kurikulum 1975 juga dimaksudkan untuk menyerap perkembangan ilmu era 1970-

103

B. R. Worthen dan J. R Sanders, Educational Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines (New York dan London: Longman, 1987), 41-59. 104 Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Rencana Pendidikan dan Pengajaran SMA, 8.

an. 105 Evaluasi pembelajaran pada kurikulum 1975 yang menjadi dasar kurikulum MA 1976, terlihat lebih sistematis, karena evaluasi pembelajaran tidak hanya dilaksanakan pada akhir semester saja, melainkan evaluasi dilaksanakan setiap selesai satu pokok bahasan atau sub pokok bahasan, yang dikemas dalam bentuk Satuan Pelajaran (SP). Dalam kurikulum ini, evaluasi diadakan terus menerus dan diselenggarakan secara menyeluruh dalam arti seluruh aspek tingkah laku siswa dinilai, 106 dilaksanakan secara obyektif. Hal ini sebenarnya merupakan prinsip penilain. Karena kurikulum MA tahun 1975 berorientasi pada tujuan, maka penilaian menjadi sangat penting. d. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 1984 Kegiatan penilaian pada kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1984 ini terutama diarahkan pada upaya untuk menentukan seberapa jauh tujuan-tujuan maupun proses belajar mengajar yang diinginkan telah terwujud. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan peningkatan proses maupun hasil belajar serta pengelolaan program.107 Kurikulum 1984 ini menekankan pada proses pembelajaran, bukan pada tujuan. Jenis penilaian yang dipakai sama dengan kurikulum MA 1975 yaitu penilain formatif, sumatif (semester), penempatan dan diagnostik. Para siswa lebih banyak diberi tugas untuk membuat LKS (Lembar Kerja Siswa), dan pada kurikulum ini pula dikenalkan Sistem Kredit Semester (SKS). Cara pemberian nilai dengan kuantitatif dan kualitatif serta teknik penilain, yaitu teknik tes dan non tes, adalah sama dengan kurikulum MA 1976. Hanya saja yang Nampak berbeda bentuk soal uraian lebih ditekankan, karena orientasinya adalah proses –soal penalaran lebih diutamakan. Nampak ada dua perbedaan kurikulum MA 1976 dengan kurikulum MA 1984, yaitu orientasi dan bentuk soal penalaran, sementara pada kurikulum MA 1976 lebih pada bentuk soal obyektif dan orientasinya adalah kepada tujuan. Perbedaan ini menjadi indikator pergeseran dari kurikulum MA 1976 ke kurikulum MA 1984, walaupun bergesernya hanya sebagaian. e. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 1994 Guru hendaknya memilih strategi yang dapat mengaktifkan siswa, baik mental, fisik maupun sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarahkan kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan. Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berfikir siswa, sehingga diharapkan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang 105

Herlanti, Kurikulum Pendidikan Indonesia dari Zaman ke Zaman (2008) yherlanti.wordpress.com, 2008/15/05. 17/07/2010. 106 Lihat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975 Buku 1: Bidang Studi Ketentuan-ketentuan Pokok (Jakarta: Depdikbud RI, 1975), 2. 107 Keputusan Menteri Agama (KMA) Republik Indonesia Nomor 101 tahun 1984 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 29. Lihat juga, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA), Landasan, Program, dan Pengembangan (Jakarta: Depdikbud RI, 1984), 12.

menekankan ketrampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah. Pengulanganpengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk memantapkan pemahaman siswa. 108 f. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 2004: Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK Instrumen penilain pada KBK Madrasah Aliyah meliputi jenis tagihan, bentuk instrumen, dan contoh instrumen. Jenis tagihan dapat digunakan antara lain; a) kuis, bentuknya berupa isian dan menanyakan hal-hal yang prinsip. Biasanya dilakukan sebelum pelajaran dimulai kurang lebih 5–10 menit. Kuis dilakukan untuk mengetahui penguasaan pelajaran oleh peserta didik. Tingkat berpikir yang terlibat adalah pengetahuan dan pemahaman, b) pertanyaan lisan, materi yang ditanyakan berupa pemahaman terhadap konsep, prinsip, atau teori. Tingkat berpikir yang terlibat adalah pengetahuan dan pemahaman, c) ulangan harian, dilakukan secara periodik di akhir pembelajaran satu atau dua kompetensi dasar. Tingkat berpikir yang terlibat sebaiknya mencakup pemahaman , aplikasi dan analisis, d) ulangan blok, adalah ujian yang dilakukan dengan cara menggabungkan beberapa kompetensi dasar dalam satu waktu. Tingkat berpikir yang terlibat mulai pemahaman sampai dengan evaluasi, e) tugas individual, dapat diberikan pada waktu-waktu tertentu dalam bentuk pembuatan kliping, makalah dan yang sejenisnya. Tingkat berpikir yang terlibat sebaiknya aplikasi, analisis, sampai sintesis, dan evaluasi, f) tugas kelompok, digunakan untuk menilai kompetensi kerja kelompok. Bentuk instrumen yang digunakan salah satunya adalah uraian bebas dengan tingkat berpikir tinggi yaitu aplikasi dan evaluasi, g) Responsi atau ujian praktek, bentuk ini dipakai untuk mata pelajaran yang ada kegiatan praktikumnya. Ujian respons dapat dilakukan di awal dan di akhir praktek. Ujian yang dilaksanakan sebelum praktek bertujuan untuk mengetahui kesiapan peserta didik melakukan praktek di laboratorium atau tempat lain, sedangkan ujian yang dilakukan setelah praktek, tujuannya untuk mengetahui kompetensi dasar praktek yang telah dicapai peserta didik dan yang belum, h) laporan kerja praktek, bentuk ini dipakai untuk mata pelajaran yang ada praktikumnya. Peserta didik bisa diminta untuk mengamati suatu gejala dan melaporkannya. 109 g. Evaluasi Kurikulum MA Tahun 2006: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP Untuk mengetahui hasil belajar peserta didik pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, dilakukan penilaian yang menyeluruh dan berkelanjutan. Bentuk penilaian di Madrasah Aliyah adalah tes dan non tes yang dapat berupa tes tertulis (pilihan ganda dan uraian), tes praktik, tes lisan, portofolio,

108

http://rbaryan.wordpress.com/2007/05/16, “Bagaimana Perjalanan Kurikulum Nasional”. 07/05/2010. 109 Departemen Agama RI, Kurikulum 2004, Pedoman Khusus Fikih Madrasah Aliyah (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2004), 13-14. Dalam semua buku – untuk semua mata pelajaran– kurikulum 2004 untuk Madrasah Aliyah, instrumen penilaian pada KBK disebut demikian.

penugasan proyek dan atau produk.110 Bentuk tes yang demikian telah memenuhi kriteria penilaian komprehensip, karena dapat mengakses semua kompetensi siswa secara maksimal. Hal ini sama dengan kurikulum MA tahun 2004. Uraian di atas menyimpulkan bahwa isi kurikulum MA bergeser karena dipengaruhi faktor politis, yang tadinya pelajaran agama mendominasi sehingga pelajaran agama akhirnya menipis.

110

Aliyah, 237.

Departemen Agama RI, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah

BAB V KURIKULUM MADRASAH ALIYAH MASA DEPAN

B. Tuntutan Pembaharuan Pendidikan Madrasah Aliyah: Upaya Mempertahankan Sisi Politis Beberapa tuntutan pembaharuan pendidikan Madrasaha Aliyah (MA) diantaranya; tuntutan pembaharuan manajemen pengelolaan MA, tuntutan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) guru, tuntutan perbaikan sarana prasarana dan tuntutan pembaharuan kurikulum MA. Masih ada tuntutan pembaharuan yang lain, tetapi penulis batasi hanya yang telah disebut. Bebarapa tuntutan ini harus direalisasikan oleh MA jika akan mempertahankan nilai politisnya. C. Tuntutan Integrasi: Menepis Dikotomi Ilmu Menyusun Keilmuan yang Ideal dalam Rangka Mewujudkan Kekuatan Politis Bergesernya kurikulum Madrasah Aliyah tidak terlepas dari tuntutan integrasi ilmu. Karena di awal perkembangan madrasah di Indonesia –seperti telah disebut Munir– perbedaan antara kurikulum madrasah dengan sekolah cukup terasa. Para pembaharu pemikiran Islam Indonesia pun tidak tinggal diam menyikapi masalah ini. Kemudian muncul istilah Islamisasi ilmu pengetahuan. Berbicara Islamisasi ilmu pengetahuan, yang merupakan akar permasalahan yang terjadi pada pergeseran kurikulum MA, memunculkan tiga paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma111 sekuler,112 paradigma Islamisasi dan paradigma integrasi. Hal ini dalam rangka mewujudkan konsep keilmuan yang ideal dalam kurikulum MA. Karena dengan kurikulum yang ideal, lembaga madrasah akan mempunyai kekuatan secara politis. Dan dengan paradigma yang integratif ini madrasah adalah lembaga pendidikan yang akan mengeliminasi dikotomi ilmu pengetahuan. D. Tuntutan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 111

Kata paradigma mempunyai arti model, pola atau contoh, lihat, John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 143. Immanuel Kant menyebut paradigma sebagai skema konseptual, Marx menyebutnya dengan ideologi dan Wittgestein dengan cagar bahasa, lihat, Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika (Jakarta: Teraju, 2004), 11. Oleh karenanya paradigma dapat dimaknai sebagai sekumpulan asumsiasumsi, konsep-konsep yang secara logis dianut bersama dan dapat mengarahkan cara berpikir, mengkaji dan meneliti. Lihat, Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset (Jakarta: UIN Press, 2006), 33. 112 Secara harfiyah, kata sekuler berasal dari bahasa latin, saeculum yang berarti masa, waktu atau generasi, lihat, Havey Cox, The Secular City (New York: The MacMillan Company, 1966), 2. Berbeda dengan Niyazi Berkes yang mengartikan kata saeculum dengan dunia masa kini, lihat Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey (Montreal: McGill University Press, 1964), 5. Kata saeculum sebenarnya salah satu dari dua kata latin yang berarti dunia. Karena masih ada kata lain yaitu mundus, yang menunjukan ruang, sementara saeculum menunjukan waktu. Saeculum sendiri lawan dari kata eternum yang berarti abadi, yang digunakan untuk alam yang kekal abadi, lihat, Naquib al-Attas, Islam and Secularism, terj. Karsijo Joyosumarno (Bandung: Pustaka, 1998), 18.

Arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dibendung, sampai-sampai Hodgson mengatakan, bahwa zaman sekarang lebih tepat disebut dengan ”zaman teknik” (technical age), karena pada kemunculan zaman itu, ada peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme itu.113 Hal ini diperkuat Tilaar, menurutnya bahwa era abad 21 merupakan era ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa support ilmu pengetahuan dan teknologi suatu masyarakat akan tertinggal dari perubahan. Oleh sebab itu, negaranegara baik negara maju maupun negara berkembang memberikan perhatian yang tinggi terhadap pendidikan, khususnya pendidikan sains dan pengembangan teknologi.114 Mau tidak mau jelas berimplikasi terhadap umat Islam, yang menuntut dunia madrasah khususnya kurikulum MA harus menyesuikan dengan perkembangan zaman tersebut. E. Tantangan Modernitas Semakin lama manusia menginginkan otonomi yang lebih besar dalam hidupnya, dalam hal ini adalah kemerdekaan, berpikir rasional, dimana kesemuanya ini dapat menghantarkan perubahan, baik dalam kehidupan beragama, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Apa yang baru saja disebut, sebenarnya merupakan prinsipprinsip modernitas, dimana menurut Tariq Ramadan, dalam The West and the Challenges of Modernity, prinsip-prinsip modernitas meliputi, rasionalitas, perubahan dan kemerdekaan.115 Jika kurikulum MA, ingin menyesuaikan dengan zaman yang sedang berkembang, maka harus memenuhi tuntutan modernitas116 ini, yakni kurikulum tersebut harus rasional, dimana pelajaran Mafikibb yang disebut Husni Rahim jangan menjadi momok madrasah, karena itu adalah rumpun mata-mata pelajaran yang bersifat rasional. Kurikulum MA harus berani berubah dan bergeser ke arah yang lebih baik. Serta kurikulum MA harus independen, artinya tidak ditunggangi kepentingan politik.

113

Suadi Putro, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas (Jakarta: Paramadina,

1998), 43. 114

Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), 51. 115 Tariq Ramadan, The West and the Challenges of Modernity (Menjadi Modern Bersama Islam: Islam Barat dan Tantangan Modernitas), edisi Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003), 1. 116 Menurut Arnold Toynbee, bahwa modernitas telah mulai menjelang akhir abad ke-15 M, ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi Kristen abad pertengahan. Lihat, Arnold Toynbee, A Study of History, diringkas oleh D.D. Somervelle (Oxford: Oxford University Press, 1957), 148.

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian beberapa bab terdahulu dapat disimpulkan, bahwa pergeseran kurikulum (Madrasah Aliyah) lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Hal ini tidak berarti bahwa faktor-faktor lain seperti, faktor agama (ideologi), sosial, ekonomi, dan budaya, tidak ikut berperan dalam mempengaruhi pergeseran kurikulum (Madrasah Aliyah). Namun di antara faktor-faktor tersebut ada yang lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum (Madrasah Aliyah) yaitu faktor politik. Biasanya ending dari terjadinya pergeseran kurikulum (Madrasah Aliyah) ditentukan oleh kebijakan pendidikan, dan kebijakan tersebut muncul untuk menindaklanjuti undang-undang, sedangkan undang-undang itu biasanya syarat dengan kepentingan politis. Kesimpulan ini dikuatkan oleh bebarapa bukti argumen, sebagai berikut: 1. Kebijakan pendidikan di Indonesia jelas bersifat politis terhadap pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah (MA), sehingga tujuan, isi, pendekatan (metode) dan penilaian kurikulum MA mengalami pergeseran dari masing-masing periode. Pergeseran metode dan penilaian dalam kurikulum MA tidak menjadi persoalan krusial, karena pergeseran ini mengarah pada modernisasi, dalam arti bergeser ke arah yang lebih baik. Tetapi ketika pergeseran tersebut pada tujuan dan isi kurikulum menjadi problem yang serius, karena ketika kedua komponen kurikulum MA ini berubah pastilah harus sesuai dengan dasar ke-Islaman madrasah yang menjadi fundamen pokok. Adapun pergeseran isi kurikulum MA yang secara otomatis menggeser tujuannya adalah lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Indikatornya, ketika tujuan kurikulum MA adalah untuk mencetak calon ulama, tetapi tujuan tersebut tidak tercapai karena terganjal dengan content kurikulum MA yang senantiasa meminimalisir pelajaran agama Islam, hal ini dijalankan oleh madrasah (MA) karena tuntutan undang-undang. Walaupun keadaannya terjepit oleh undang-undang yang bersifat politis, kurikulum MA tetap mempertahankan ciri yang melekat padanya dimana merupakan karakteristiknya. Adapun ciri yang melekat tersebut adalah senantiasa mempertahankan ciri khas ke-Islamannya, yang secara substansi terkandung dalam tujuan dan isi kurikulum MA. 2. Kebijakan pendidikan yang bersifat politis menggiring sistem ganda (dualistik) dalam pendidikan menjadi satu sistem pendidikan nasional (Undang-Undang Pendidikan pertama No. 4 tahun 1950 dan ke dua No. 2 tahun 1989). Hal ini terbukti dengan bergesernya kurikulum MA yang semula memprioritaskan ulu>m al-di>n kemudian lambat laun mengadopsi pelajaran umum yang pada akhirnya kurikulum MA sama dengan kurikulum SMA pada umumnya. Implikasi dari realitas yang demikian menyebabkan Diknas mempunyai otoritas yang lebih dominan. Dengan demikian outcome MA terus diklaim lebih rendah kualitasnya

dari pada output SMA. Namun perlu menjadi catatan, bahwa setelah munculnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 30, pendidikan agama dengan tujuan menciptakan ahli agama (ulama) dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat. Dengan demikian Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) dengan kurikulum dominan mata pelajaran agama Islam di bawah otoritas Kementerian Agama dapat direalisasikan, maka secara substansi tujuan dan content awal kurikulum MA tidak hilang, hal ini hendaknya menjadi perhatian bagi Kementerian Agama, agar meningkatkan kualitas pendidikan yang di bawah kewenangannya. Selanjutnya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan cukup efektif mempengaruhi pergeseran kurikulum MA. Dimana berdasarkan data yang penulis kumpulkan terjadi pergeseran kurikulum MA yang secara spesifik dapat diketahui pergeserannya dari komponen-komponen kurikulum MA. Semua komponen kurikulum MA sejak tahun 1950–2006 (UU pendidikan pertama sampai ketiga) baik tujuan, isi, metode maupun penilaian terjadi pergeseran. 3. Alur pergeseran kurikulum MA cukup jelas, bahwa sebelum muncul kurikulum 1975 kurikulum MA beragam dengan tetap mempertahankan ciri khas keIslamannya. Namun setelah muncul kurikulum 1975 (kurikulum SKB tiga menteri), kurikulum MA menjadi seragam, dimana mengajarkan kurang lebih 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum, persyaratan ini mutlak, ketika madrasah ingin diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional (UU pendidikan No. 4 Tahun 1950 dan UUSPN No. 2 Tahun 1989). Dan perlu menjadi catatan penting bahwa kurikulum MA menjadi beragam kembali setelah munculnya UUSPN No. 20 Tahun 2003, yaitu pendidikan agama dengan menciptakan ahli agama (ulama) dapat diselenggarankan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat, dengan demikian MAK dapat payung hukum, hal ini dapat disimpulkan bahwa keragaman kurikulum madrasah setelah munculnya UUSPN Tahun 2003 secara politis dinaungi undang-undang. B. Saran Ada beberapa hal yang perlu direkomendasikan atau disarankan dalam penelitian ini: 1. Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka kebenaran yang dihasilkan dari penelitian ini bersifat relatif, dan memiliki berbagai keterbatasan. Maka diharapkan penelitian-penelitian selanjutnya khususnya tentang kurikulum Madrasah Aliyah dapat menyempurnakan kebenaran penelitian ini. 2. Sepanjang pengetahuan penulis penelitian tentang pergeseran kurikulum madrasah belum begitu banyak. Terlebih ketika tema sentralnya Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), MA dengan berbagai macam ragamnya dan STAIN, IAIN maupun UIN. Maka perlu diperbanyak penelitian tentang tema-tema tersebut, agar kebenarannya lebih akurat dan dapat diketahui kemajuan serta kemunduran kurikulum madrasah. 3. Bila merujuk pada komponen-komponen kurikulum, masih banyak bidang kajian tentang pergeseran kurikulum, seperti tujuan, isi, metode dan evaluasi kurikulum.

Hal ini perlu penelitian khusus secara mendalam tentang komponen-komponen tersebut, yang selanjutnya menjadi pedoman pengembangan madrasah. 4. Perlu dibuka jurusan kurikulum di STAIN, IAIN maupun UIN, sehingga memunculkan sarjana-sarjana yang ahli dalam bidang kurikulum pendidikan Islam. Karena, para ahli kurikulum pendidikan Islam di Indonesia penulis pikir belum terlalu banyak, tidak seperti di Barat. 5. Karena kajian kurikulum erat juga dengan politik pendidikan, maka perlu juga dibuka jurusan baru di STAIN, IAIN dan UIN, yaitu jurusan Politik Pendidikan Islam. Politik Pendidikan Islam jangan hanya menjadi wacana saja dalam dunia madrasah, tetapi riil kita mempunyai ahlinya. 6. Perlu menjadi perhatian bagi Kementerian Agama pada khususnya yang mempunyai kewenangan dalam pendidikan madrasah, bahwa munculnya UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 membuka peluang bagi kementerian tersebut untuk secara konsentrasi mengurusi MA Umum, MA Ketrampilan, MA Keagamaan dan MA Diniyah. Karena MA Keagamaan telah diatur oleh pasal khusus, sehingga membuka kelonggaran dan otoritas khusus, untuk mengelola MA Keagamaan secara profesional, sehingga para calon ulama ahli agama (ulu>m al-di>n) dapat di ciptakan dari sini.

DAFTAR PUSTAKA Abu-Duhou, Ibtisam, School-Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah), Jakarta: Logos, 2002. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Ahmad, H.M., Pengembangan Kurikulum, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Ahid, Nur, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia, Kediri: STAIN Kediri Press, 2009. Ahmed, Samina, Extreme Madrasahs, Harvard International Review Winter: Academic Research Library, 2009. Akhwan, Muzhoffar, Pengembangan Madrasah sebagai Pendidikan untuk Semua, dalam ElTarbawi (Jurnal Pendidikan), No. 1 Vol. 1 2008. Alberty, Harold B., dan Elsie J. Alberty, Reorganizing The High-School Curriculum, New York: The Macmillan Company, cet. Ke 3, 1962. Almond dan G.B. Powell, System, Process, and Policy, Comparative Politics, Boston dan Toronto: Litle, Brown dan Company, 1978. Aly, Hery Noer dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska Agung Insani, 2003. Anfara, Vincent A.dan Sandra L. Stocki (ed.), Midle School Curriculum, Instruction and Assesment, Us: Information Age Publishing Inc., 2002. Angus, L., Scooling For Social Order: Democracy, Equality and Social Mobility in Education, Victoria: Deakin University Press, 1986. Al-‘Anizy, Yu>suf, Mana>hij al-Bahthu al-Tarbawi bain al-Nad}ariyah wa al-Tat}biqiyah, Beirut: Maktabah al-Falah li al-Nashri wa al-Tauzi‘i, 2005. Anwar, M. S., Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Musli>m Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995. Anwar, “Politik Islam di Tengah Isu Suksesi” (Peristiwa Utama), Ummat, 1995. Apple, Michael W., Educating The "Right" Way Market, Standards, God, and Equality, New York dan London: Routledge Taylor dan Francis Group, cet. Ke-2, 2006. --------, Ideology and Curriculum, New York and London: Routledge Falmer, 2004. Ardi, Munawaratul, Surau: Lembaga Pendidikan Islam Tradisional pada Masa Kontemporer di Padang Pariaman (Disertasi Doktor), Jakarta: t.p., 2008. Arifin, M, Kapita Selekta Pendidikan, Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008. Asanuma, Shigeru, “Japanese Educational Reform for the 21st Century: The Impact of The New Course of Study Toward the Postmodern Era in Japan”, dalam William F. Pinar (ed.), International Handbook of Curriculum Research, London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2003. Assegaf, Rachman, Politik Pendidikan Nasional; Pergeseran Kebijakan Pendidikan Islam dari Proklamasi Ke Reformasi, Yogyakarta: Kurnia kalam, 2005. Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999. Asyraf, Syed Ali, New Horison in Muslim Education, Cambridge: Hodder dan Staughton The Islamic Academy, 1985. Asy’arie, Musa, Keluar dari Krisis Multidimensi, Yogyakarta: LESFI, 2001.

Al-Attas, Naquib, Islam and Secularism, terj. Karsijo Joyosumarno, Bandung: Pustaka, 1998. Azra, Azyumardi, Dina Afrianty, and Robert W. Hefner, “Pesantren and Madrasa: Musli>m Schools and National Ideals in Indonesia”, dalam Robert W. Hefner and Muhammad Kasim Zaman (ed.), Schooling Islam, The Culture and Politics of Modern Muslim Education, United State of America: Princeton University Press, 2007. Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (Ed.), Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Jakarta: INIS, 1998. Azra, Azyumardi, Paradigma Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Buku Kompas, 2002. --------, Surau, Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos, 2003. --------, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: logos, 1999. --------, “Sosialisasi Politik dan Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan Madrasah, Vol. I, Nomor, 02/1/1997. --------, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan, Jakarta: Rajawali Pers, 1999. al-Babat}in, ‘Abd Al-‘Aziz ‘Abd al-Wahab, Al-Tadri>s Min Ajli Tanmiyah al-Tafki>r, Riyad: Maktabah al-Tarbiyah al-‘Arabi Li> Daul al-Kha>lij, 1416 H / 1995 M. Badawi, M.A. Zaki, “Traditional Islamic Education – Its Aims and Purposes in Present Day”, dalam Syed Muhammad al-Naquib al-Atas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979. Baldock, Peter, The Pleace of Narrative in The Early Years Curriculum, How The Tale Unfolds, London dan New York: Routledge, 2006. Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Barrow, Robin, Giving Teaching Back to Teacher: A Critical Introduction to Curriculum Theory, Totowa, NJ: Barnes and Noble. Beauchamp, G. A., Curriculum Theory: Meaning, Development, and Use. Theory Into Practice, tk: tp, 1982. Berkes, Niyazi, The Development of Secularism in Turkey, Montreal: McGill University Press, 1964. Bevis, EM. Olivia, A New Direction for Curriculum Development For Professional Nursing: A Paradigm Shif From Training to Education, Athens, Georgia: The Chicago University Press, 1990. Billings, G. Ladson, Reading Between the Lines and Beyond the Pages: A Culturally Relevant Approach to Literacy Teaching. Theory Into Practice, tk: tp, 1992. Blunt, E., (ed.), Social Service in India, India: H.M. Stationery Office, 1939. Boechari, Sidi Ibrahim, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, Jakarta: Gunung Tiga, 1981. Boland, B. J., Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, Jakarta: Grafiti Pers, 1982. Boyle, Helen N., Qur’anic Schools, Agents of Preservation and Change, New York and London: Rountledge Falmer, 2004. Botkin, J., M. Elmandjra, dan M. Malitza, No Limits to Learning: Bridging The Human Gap, A Report to the Club of Rome, New York: Pergamon Press, 1978.

Bower, C., The Promise of Theory: Education of Politics of Cultural Change, New York: Longman, 1984. Bradjanegara, Sedjarah Pendidikan Indonesia, Jogjakarta: Badan Konggres Pendidikan Indonesia, 1965. Bridges, T., Multiculturalism as a Postmodernist Project, Inquiry Critical Thinking Across the Disciplines, tk.: tp., 1991. Brooks, Jacqueline Grennon dan Martin G. Brooks, In Search of Understanding The Case For Constructivist Classrooms, Alexandria, Virginia: Association For Supervision and Curriculum Development, 1993. Brown, M. E., & Ganguly, S. (eds), Government Policies and Ethnic Relations in Asia and The Pasific, Harvard University: The Center of Science and International Affair, John F. Kennedy School of Goverment, 1997. Brumbaugh, Robert S., dan Nathaniel M. Lawrence, Philosopher on Education, Six Essays on the foundations of Western Thought, Boston: Houghton Mifflin Company, 1963. Buzan, Barry dan Gerald Segal, Anticipating the Future, t.k.: t.p., 1998. Carroll, J., A Model of School Learning, Teacher College Record, 1963. Carpenter, W. S., Introduction to John Locke, Two Treatises of Civil Government, London: J.M. Dent dan Son Ltd., 1962. Carvallo, Bosco, dan Dasrizal (ed.), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1984. Clandinin, J. D. dan F. M. Connelly, “Teachers as Curriculum Maker”, dalam Handbook of Research on Curriculum, (Ed) P. Jackson, New York, Macmillan: Publishing Co., 1992. Coleman, James S., (ed.), Education and Political Development, Princeton: Princeton University Press, 1965. Cooper, Bruce S., Lance D Fusarelli, E. Fance Randall, Better Policies, Better Schools Theories and Application, USA: Pearson, 2004. Connelly, F. M. dan F. Elbaz, “Conceptual Bases for Curriculum Thought: A Teacher’s Perspective”, dalam Considered Action for Curriculum Thought, Alexandria: Fashay, A. W., Yearbook of the Association for Supervision and Curriculum Development, 1980. Cox, Havey, The Secular City, New York: The MacMillan Company, 1966. Cuban, Larry, dalam Philip W. Jakcson (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, New York: Macmillan Publishing Company, 1999. Daud, Afrianto, “Madrasah dan Tantangan Dunia Global”, dalam Singgalang, 17 September 2004. Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Daniel dan Laurel N Tanner, Curriculum Development: Theory into Practice, New York: Macmillan Publishing Co, 1980. Danim, Sudarwan, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Darder, A., Culture and Power in the Classroom, New York: Bergin and Garvey, 1991. Dawam, Ainurrafiq, Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003.

Departemen Agama RI,, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2004. --------, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001. --------, Himpunan Peraturan Perundangan Produk Departemen Agama RI tahun 1967, Jakarta: Biro Hukum dan Humas Depag RI, 1983. --------, Problematika Madrasah, Jakarta: Direktorat Jenderal Dapartemen Agama RI, 2001. --------, Satuan Pendidikan Madrasah Aliyah Keagamaan, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan dan Kelembagaan Agama Islam, 2001. --------, Madrasah Aliyah Keagamaan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001. --------, Madrasah Aliyah Program Ketrampilan, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2001. --------, Developmen of Madrasah Aliyah Project, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002. --------, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003. --------, Sejarah Madrasah, Jakarta: Proyek Peningkatan Madrasah Aliyah, 2000. --------, Sejarah Madrasah, Pertumbuhan, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam melalui Proyek Peningkatan Madrasah Aliyah Tahun Anggaran 1999/2000, 1999. --------, Menelusuri Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001. --------,“Rekapitulasi Kurikulum” 1973 untuk MIN 7 Th, MTs AIN 3 Th, dan MAAIN, Direktur Bimas Islam Departemen Agama RI, Al-Manak, 1974, Jakarta: 1974. --------, Kurikulum Madrasah Aliyah 1975, Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP), Jakarta: Dirjen Binbaga Islam Depag RI, 1976. --------, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1976. --------, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Madrasah Aliyah, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1988/1989. --------, Himpunan Peraturan Perundang--undangan Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992. --------, Panduan Kurikulum Madrasah Aliyah 1994, Jakarta: Depag RI, 1994. --------, Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1994, Landasan, Program dan Pengembangan, Jakarta: Depag RI, 1993. --------, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah), Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999/2000. --------, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan Madrasah Model, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002. --------, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2004. --------, Landasan dan Standar Nasional Kurikulum Pendidikan Keagamaan: Satuan Pendidikan Madrasah Aliyah Keagamaan, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2001. --------, Standar Isi Madrasah Aliyah, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006.

--------, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004 untuk RA, MI, MTs dan MA, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2004. --------, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Madrasah Aliyah, Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, 2007. --------, Peraturan Menteri Agama No. 2 tahun 2008 Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam di Madrasah, Jakarta, Depag RI, 2008. --------, Peranan Departemen Agama dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa, Jakarta: Dep. Agama RI, 1965. --------, Kurikulum 2004, Pedoman Khusus Fiqh Madrasah Aliyah, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelambagaan Agama Islam, 2004. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMTA), Garis-garis Besar Program Pengajaran, Jakarta: Balitbang Depdikbud, 1988. --------, Kamus Bahasa Indonesia II, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep. P & K, 1983 --------, Kurikulum Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMTA), Garis-garis Besar Program Pengajaran, Jakarta: Balitbang Depdikbud, 1988. --------, Rencana Pendidikan dan Pengajaran SMA, Jakarta: Direktorat Pendidikan Umum, Kejuruan dan Kursus-kursus, 1969. --------, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975 Buku 1: Bidang Studi Ketentuanketentuan Pokok, Jakarta: Depdikbud RI, 1975. --------, Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975, Pedoman Pelaksanaan Kurikulum, Buku: III B, Pedoman Penilaian, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1979. --------, Kurikulum 1984 Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA), Landasan, Program, dan Pengembangan, Jakarta: Depdikbud RI, 1984. --------, Kurikulum 1994 Pendidikan Menengah, Pedoman Umum Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar Sekolah Menengah Umum (SMU), Jakarta: PUSKUR dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan kebudayaan, 1994. DeZure, Deborah, “Innovations in The Undergraduate Curriculum” dalam James W Guthrie (ed.), Encyclopedia of Education, New York: Thomson, 2003. Djamaludin, Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999. Djamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in The Islamic Reform Movement in Minangkabau in The Early Twentieth Century, (DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20) edisi Indonesia, Jakarta: INIS, 2002. Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Dhoofier, Zamakhsyari, K.H. Hasyim Asy’ari, Penggalang Islam Tradisional, Prisma I, Januari 1984. Durkheim, E., “The Nature of Education”, dalam B. A. U. Levinson, K. M. Borman, M. Eisenhart, M. Foster, A. E. Fox, dan M. Sutton (Eds.), Schooling the Symbolic Animal: Social and Cultural Dimensions of Education, Lanham, MD: Rowman dan Littlefield, 2000. Drost, Sj. J., Dari KBK Sampai MBS, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, cet. Ke-3, 2006.

Easton, D, A Framework for Political Analysis, New York: Prentice-Hall, 1965. Echls, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1996. Education, Ministry of, Educational Policy in the Kingdom of Saudi Arabia, Saudi Arabia, 1980. Eisner, Elliot W., The Educational Imagination on The Design and Evaluation of School Programs, USA: Merrill Prentice hall, cet. Ke-3, 2002. Ellena, William J. (Ed.), Curriculum Handbook For School Ececutives, Arlington, Virginia: AASA, 1973. Ellis, C., Fundamental of Human Learning, Memory, and Cognition, University of New Mexico: Wim. C. Brown Company Publishers, 1978. Enns, Carolyn Zerbe dan L. Sinacore (ed.), Teaching and Social Justice, Integrating Multicultural and Feminist Theories, Washington, DC: American Psychological Association, 2002. Erickson, R., dan J. Schultz, (1982). The counselor as Gatekeeper: Social Interaction Interviews, New York: Academic Press, 1982. Fahmi, Asma Hasan, Maba>di al-Tarbiyah al-Isla>miyah (Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam) edisi Indonesia, (Pent. Ibrahim Husein), Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Fadjar, A. Malik, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1999. --------, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fadjar Dunia, 1999. Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Feinberg, Walter, dan Jonas F. Soltis, School and Society, New York and London: Teachers College Press, 2004. Feillard, Andre, NU Vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LkiS, 1999. Fischer, Joseph, The Social Sciences and the Comparative Study of Educational Systems, Scranton, Pennsylvania: International Textbook Company, t.t. Flinders, David J., dan Stephan J. Thornton, The Curriculum Studies Reader, New York dan London: Routledge Falmer, 2004. Fisher, C. A., South-East Asia: A Social Economic and Political Geography, London: Methuen & Co. Ltd., 1967. Frank, James M. Mahan, Observations on Innovation in Elementary School, Interchange 3, nos. 2-3, 1972. Freire, Paulo, Cultur Action For Freedom, Massachusetts: Harvard Educational Review and Center For Studi of Development and Social Change, 1970. Gallaher, Jr. Art: Directed Change in Formal Organizations: The School System, Change Processes in the Public Schools, Eugene, Ore: The Center For The Advanted Study of Educational Administration, 1995. Gorton, Richard A., Gail Thierbach Schnaider, School-Based Leadership Challenges and Opportunities, USA: WM. C. Brown Publisher, 1976. Gestwicki, Carol, Home, School, and Community Ralations, Canada,: Thomson, cet. Ke-7, 2007. Girouk, H. A., A.N. Penna dan W.F. Pinar, Curriculum and Instruction Alternatives in Education, California: McCutchan Publishing Corporation, 1981. Giroux, H. A., Ideology, Culture, and The Process of Schooling, Philadelphia: Tempel University and Falmer Press, 1981.

Al-Hadi, Al-Ustadh ‘Abd, Ta‘li>m wa Ta‘li>m al-Lughah al-‘Arabiyah wa Thaqafatuha>, Dirasah Naz}ariyah wa Maida>niyah fi> Tas}khis}i al-‘Uqubati –Iqtarahin Maqa>ribati wa Mana>hiji Didaktikiyyah– Bina Tas}nif Thalasa al-Ib‘adi fi al-Ihda>fi al-Saniyah, T.K: ‘Arabian al-Hilal, 1994. Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. --------, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. --------, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Rosda, 2009. Harms, Thelma, Change – Agent in Curriculum, Young Children 29, No. 5 July 1974. Harris, K., Education And Knowledge: The Structured Misrepresentation of Reality, London: Routledge, 1979. Hasan, S. Hamid, Evaluasi Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet ke-2, 2002. --------, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999. Hefner, Robert W. (Ed.), Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, Honolulu, HI: University of Hawa’i Press, 2009. Hefner, R. Islam, State and Civil Society: ICMI and The Struggle for the Indonesian Midlle Class, Indonesia, 56, t.k: t.p., 1993. Herlanti, Y., Kurikulum Pendidikan Indonesia dari Zaman ke Zaman. (2008) yherlanti.wordpress.com. 17/07/2010. Hitti, Pihlip K., History of The Arabs, London: Macmillan,1974. Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia Masa Klasik, Edisi Indonesia oleh Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 1999. Howard, Judith, Curriculum Development, Elon University: Center for the Advancement of Teaching and Learning, t.t. Hornby, Oxford Advenced Learner’ Dictionary, Oxford University Press, 1989. Illich, Ivan, Deschooling Society, New York: Harper & Row, 1972. Irawan, Prasetya, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti, Jakarta: STIA-LAN, 2000. Iskandar, Tengku, Kamus Dewan, Malaysia: Art Kuala Lumpur, 1970. Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam jilid II, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993. Ismail SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Jalaludin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Kalam Mulia, 1990. Jakcson, Philip W. (ed.), Hand Book of Research on Curriculum, New York: Macmillan Publishing Company, 1999. Jumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan di Indonesia Khsusus Madrasah, Bandung: CV. Ilmu, 1976. Al-Jundudi, Sa‘id, Al-Duru>r al-Nad}id ‘Ala> Kitab al-Tauhi>d, Saudi Arabia: t.p, 1978. James, Beane A. (Ed.), Toward A Coherent Curriculum, Alexandria, Virginina: ACCD. Jasin, Anwar, “Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisa Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan”, Disertasi IKIP Jakarta, 1983.

Jeynes, William, Religion, Education, and Academic Success, USA: Information Age Publishing, 2003. Karier, Clarence J., Elite Views on American Education, Education and Social Structure in the Twentieth Century, Walter Laquer and George L. Mosse, (eds), New York: Harper Torchbooks, 1967. Karyadi, Benny, ”Kurikulum Sekolah Umum” dalam Konvensi Nasional Pendidikan II, Kurikulum Untuk Abad Ke-21, Jakarta: Grasindo, 1994. Kaviani, Khodadad Khodi, “Influences on Social Studies Teachers’ Issue-Selection for Classroom Discussion: Social Positioning and Media”, dalam Social Studies Research and Practice, Volume 1, Number 2, Summer, 2006. Kertanegara, Mulyadi, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, Jakarta: UIN Press, 2003. Kindsvatter, Richard, William Wilen, Margaret Ishler, Dinamics of Effective Teaching, USA: Longman Publisher, 1996. Kelly, A.V., The Curriculum Theori and Practice, London: Sage Publications, 2004. Klein, M.F., Curriculum Reform in The Elementary School, New York & London: Teacher College Pres, 1989. Krishnamurt, J., Education and Significance of Life, San Fransisco: Harper and Row, 1953. Kuhn, S. Thomas The Structure of Scientific Revolution, California: The University of Chicago Press, 1970. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika, Jakarta: Teraju, 2004. Kusmana (ed.), Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Menuju Universitas Riset, Jakarta: UIN Press, 2006. Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003. --------, Pendidikan Islam pada Abad ke 21, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003. Lauren dan Klopfer, Toward The Thinking Curriculum: Curren Cognitive Research, ASCD Publication, 1989. Lauridsen, B. S. M. S. Dawn A. What Are Teachers’ Perception of The Curriculum Development, New York: The Ohio State University press, 2003. Lekkerkerker, C., Land en Volk van Sumatra, Leiden: N.V. Boekhandel en Drukkerij, 1916. Lewis, Bernard, The Political Language of Islam, Chicago, London: Chochago University Press, 1988. Levinson, B. A. U., “Whither the Symbolic Animal? Society, Culture, and Education at The Millennium”, dalam B. A. U. Levinson, K. M. Borman, M. Eisenhart, M. Foster, A. E. Fox, dan M. Sutton (Eds.), Schooling the Symbolic Animal: Social and Cultural Dimensions of Education, Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2000. Light, Greg, dan Roy Cox, Learning and Teaching in Higher Education, London: Paul Chapman Publishing, 2001. Longstreet dan Shane, Curriculum For a New Millenium, Boston, London: Allyn dan Bacon, 1993. Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985. MacIntyre, Alastair, Against the Self Images of the Age, New York: Shocken Books, 1971. Madaus G., dan T. Kellaghan, “Curriculum Evaluation and Assessment”, dalam P. Jackson (Ed.), Handbook of Research on Curriculum, New York: Macmillan, 1992. Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1999.

Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999. Makmun, Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan. (Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003). Maeroff, G. I., The Empowerment of Teachers, (New York: Teachers College Press, 1988. Maran, Rafael Raga, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Mastoon, Herma Rosenfeld, Curricululm Reform in The Art Humanities in Pennsylvania: An Evaluation, tk: Temple University Press, 1989. Mas’ud, Abdurrahman, Menggagas Pendidikan Nondikotomik: Humasnisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002. McNeil, L, Contradictions of Control, New York: Routledge dan Kegan Paul, 1989. McNeil, John D., Curriculum A Comprehensive Introduction, Boston, Toronto: Little, Brown and Company, tt. Meier, Kenneth J., “School Boards and the Politics of Education Policy”, dalam Christina Wolbrecht And Rodney E. Hero (Ed.), The Politics of Demokratic Inclusion, Philadelphia: Temple University Press, 2005. Merry, Michael S., Culture, Identity, and Islamic Schooling: A Philosophical Approach, Macmillan: Palgrave, 2007 Milner, Andrew, “Change or charity”, Alliance, Vol. 8 No. 3, September 2003, 21-24. Mirenda, Rosalie M, A Conceptual - Theoretical Strategy For Curriculum Development in Baccalaureate Nursing Programs, tk: Widener University Press. Montgomery, Patricia C., “Toward Freedom in Education: A Survey of Independent Alternative School”, Unpublished Doctor’s Dissertation Wayne State University, Detroit, Michigan, 1980. Montesquieu, The Spirit of Laws, dalam D.W. Carrithers (ed.), Compedium of the first English Edition, Barkeley dan Los Angeles: University of California Press, 1977. Morin, Edgar, Power I’Erope, Paris: Gallimard, 1990. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers, 2005. --------, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redefinisi Isla>misasi Pengetahuan, Bandung: Nuansa, 2003. --------, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Sekolah dan Madrasah, Jakarta: Rajawali Pers, 2008. --------, “Madrasah Menatap Peradaban Global”, makalah disajikan pada seminar di Madrasah Aliyah Negeri Sidoarjo, Sabtu 8 Maret 2003. Muhaimin et. al., Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah, Bandung: Rosdakarya, 2002. Muhaimin, Sutiah dan Sugeng Listyo Prabowo, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah , Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Mulyasa, E., Implementasi Kurikulum 2004, Panduan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006. --------, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Suatu Panduan Praktis, Bandung: Rosda, cet. Ke 3, 2007. --------, Kurikulum Yang Disempurnakan Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, Bandung: Rosda, 2006. --------, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung: Rosda, 2003.

--------, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung: Rosda, 2005. More, Alex, Schooling, Society and Curriculum, London dan New York: Routledge, 2006. Mudzhar, M. Atho, “Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, dalam Edukasi (Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan), Volume 4, Nomor 1, JanuariMaret, 2006. Mulkhan, Abdul Munir, “Dilema Madrasah di Antara Dua Dunia”, dalam Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, Ciputat: Logos, 2003. Al-Munawar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-nilai al-Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2005. Muslich, Masnur, Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan, Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Jakarta: Bumi Aksara, 2007. Muslimin, JM., “Tradisi Ilmiah dalam Masyarakat Islam: Sejarah, Institusi dan Tantangan Perubahan”, dalam, Kusmana dan JM. Muslimin (ed.) Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PIC UIN Jakarta, 2008. --------, “Tradisi Ilmiah Dalam Masyarakat Islam: Sejarah Institusi dan Tantangan Perubahan”, dalam Kusmana dan JM. Muslimin (ed.), Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Isla>m di Indonesia, Jakarta: IIESP, 2008. Naim, Quo Vadis Pendidikan Madrasah, Jakarta: Republika, 31 Oktober 1996. Naim, Ngainun, dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008. Nasional RI, Departemen Pendidikan, Pelayanan Profesional Kurikulum 2004, Pedoman Penilaian Kelas, Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas, 2004. Nasution, S., Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. --------, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Nata, Abudin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: UIN Press, 2006. --------, (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001. Niles, William A., Pennsylvania Superintendents Perception of Their Role In Curriculum Development and The Improvement of Instruction, Temple: University Board, 1986. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta: LP3ES, 1996. Neil, John D., Mc., Curriculum A Comprehensive Introduction, Boston Toronto: Little, Brown and Company, t.t Nurdin, Syafruddin, dan Basyiruddin Usman, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Ciputat Pers, 2002. --------, Model Pembelajaran Yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Quantum Teaching, 2005. Al-Nur, Farnis ‘Abd, al-Tarbiyah wa al-Mana>hij, Al-Qa>hirah: Da>r Nah}d}ah Misri Lit}a>bi’i wa al-Nashri, tt. Oliver, Albert I., Curriculum Improvement: A Guide to Problem, Priciples and Procedures, New York: Dodd, Mead dan Co., 1965.

O’neil, William F., Educational Ideologies: Contemporary Expression of Educational Philosophies, Santa Mania, California, Amerika Serikat: Goodyear Publishing Company, Inc, 1981. Owen, Jane C, The Impact of politics in Local Education, Toronto: Rawman dan Little Field Education, 2006. Oxford, Encyclopedia of Education, Oxford, England: Pergamon, 1994. Penerangan RI, Departemen, 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid VII, Jakarta: Dep. Penerangan RI, 1965. Phenix, P., Realms of Meaning: A Phylosophy of the Curriculum for general education, New York: McGraw-Hil, 1964. Pinar, William F., International Hand Book of Curriculum Research, London: Lowrence Erlbdum Associates Inc., 2003. Pinar, William F., et. al., Understanding Curriculum, An Introduction to the Study of Historical and Contemporary Curriculum Discourses, New York: Peter Lang, 2004. Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976. Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 2000. Posner, George J., Alan N. Rudnitsky, Course Design, A Guide to Curriculum Development for Teachers, USA: Pearson, 2006. Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian: Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti, Jakarta: STIA-LAN, 2000. Prasetyo, Hendro, Ali Munhanif, dkk., Islam dan Civil Society, Pandangan Muslim Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002. Print, Murray, Curriculum Development and Design, Sidney: Allen & Unwin, 1987. Putro, Suadi, Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998. Pye, Lucian W., Aspect of Political Development, Boston: Litle Brown, 1965. Quraishi, Mansoor A., Same Aspects of Muslim Education, Lahore: Universal Books, 1983. Al-Rawafi, Haya Binti Sa‘id bin ‘Abdilla>h, Ta‘li>m al-Kibari wa al-Ta‘li>m al-Mustamar, alMafhu>mu, al-Khas}ais}u, al-Tat}bi>qatu, Riyad: Maktab al-Tarbiyah al-‘Arabi li-Dauli al-Kha>liji, 1422 H / 2002. Rahmat, Anton Habib, Istismar al-Qit}a’ al-Khas} fi> al-Maja>li al-Tarbawi al-Khali>j al‘Arabiyah Ru‘un Mustaqbaliyatun, Riyad: Maktabah al-Tarbiyah al-‘Arabi Li> Daul al-Khal>ij, 1423 H / 2002 M. Rahim, Husni, Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2005. --------, ”Anatomi Madrasah di Indonesia”, dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Vol 2, No. 2, 2004. --------, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001. --------, “Visi Madrasah”, http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul, 2008. 27/02/2010. --------, “Pengakuan Kembali Madrasah sebagai Sekolah Agama Berwawasan Umum”, dalam http://www.blogger.com/feeds/35417963/posts/defaul, 2008. 27/02/2010. Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago, London: The University of Chicago Press, 1984.

Ramadan, Tariq, The West and the Challenges of Modernity, (Menjadi Modern Bersama Islam: Islam Barat dan Tantangan Modernitas) edisi Indonesia, Jakarta: Teraju, 2003. Ramli, Rizal, et. al., Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Pengembangan Manajemen (PPM) FE UII, 1997. Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005. Recontruction, The International Bank For, and Development, Expanding opportunities and Building Competencies for Young Peaple A New Agenda for Scondary Education, Washington DC: The World Bank, 2005. Riandari, Henny, Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA dan MA: Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Ria Setyo Mardani (Ed.), Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007. Risher, H., Paying for Employee Competence. School Administrator, 2000. Roald, Anne Sofie, Tarbiya: Education and Politics in Islamic Movements in Jordan and Malaysia, Lund: Graphic Systems, 1994. Rochon, Thomas R., Culture Moves, Ideas, Activism, and Changing Values, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1998. Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Sabda, Syaifuddin, Model Kurikulum Terpadu Iptek dan Imtaq, Ciputat: Quantum Teaching, 2006. Salabi, Ahmad, History of Muslim Education, Beirut: Da>r al-Kashshaf, 1954. --------, Ta>rikh al-Tarbiyah al-Isla>miyah, Mesir: al-Kasyf li al-Nasyr wa al-Thilaba’ah wa alTauji, 1954. Salamah, Mansour A. M. Bin, An Investigation of the Relationship Between Saudi Teachers’ Curriculum Perspectives and Their Preference of Curriculum Development Models, Morgantown, West Virginia: Virginia University Press, 2001. Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Santoso, A., Islam and Politics in Indonesia During the 1990s, Asian Journal of Political Science, tk: tp., 1995. --------, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Sardar, Ziauddin, (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, t.k.: t.p., 2000. --------, Jihad Intelektual, Merumuskan Paramiter-paramiter Sains Islam, AE Priyono (Pentj.), Surabaya: Risalah Gusti, 1969. Saridjo, Marwan, Dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1983. Saylor, J. Galen dan William M. Alexander, Curriculum Planning For Modern School, New York: Holt Renehart and Wilson, 1966. Schubert, William H., Curriculum, Perspective, Paradigm and Possibility, USA: Prentice Hall, 1987. Scribner, S.,dan M. Cole, Cognitive Consequences of Formal and Informal Education, tk: tp, 1973.

Scribner, J. D, The Politics of Education: The Seventy-Sixth Yearbook of The National Society for The Study of Education, Chicago: University of Chicago Press, 1977. Siahaan, BistokAadrianus, Pengembangan Kurikulum Suatu Analisis Isi Kurikulum Bahasa Indonesia dari sudut fungsi Bahasa, Disertasi IKIP Jakarta, 1982. Sidi, Indra Jati, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001. Simanjuntak, IP., Perkembangan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1972. Sirozi, Muh}ammad, Politik Kebijakan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU No. 2 / 1989, Leaden-Jakarta: INIS, 2004. Sjadzali, Munawir, Islam and Governmental System: Teaching, History and Reflection, Jakarta: INIS, 1991. Skillbeck, Malcolm, School Based Curriculum Development and Teacher Education, Mimeograph: OECD, 1976. Smith, Susan Pennnock, Barriers Encountered In The Instruction of Students Who Have Sustained Brain Injuries: An Instructional Curriculum To Assist in Eliminating Barriers, Detroit, Michigan: Graduate School of Wayne State University, 2005. Smith, B, W. Stanley, dan J. Shores, Fundamentals of Curriculum Development, New York: Harcourt, Brace, and World, 1957. Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002. Sukmadinata, Nana Syaodah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet ke-4, 2001. Sukamto, Aspek-aspek Filosofis Kurikulum Sejarah SMA dari Zaman Orde Lama Sampai dengan Orde Baru, Tesis IKIP Jakarta, 1991. Suseno, Frans Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Stanton, Charles Michael, Higher Learning in Islam, The Classical Period, A.D. 700-1300, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. Afandi dan Hasan Asari, Jakarta: Logos, 1994. Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah, Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Isla>m dalam Kurun Modern, terj. Karel A. Steenbrink dan Abdurrahman, Jakarta: LP3ES, 1994. Stenhouse, L, An Introduction to Curriculum Research and Development, London: Heinemann, 1975. Shaleh, Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Visi, Misi dan Aksi, Jakarta: Rajawali Pers, 2006. --------, Penyelenggaraan Madrasah, Petunjuk Pelaksanaan Administrasi dan Teknis Pendidikan, Jakarta: Dharma Bhakti, 1984. Shanker, “Reform and the Teaching Profession”, dalam Crisis in Teaching Perspectives on Current Reforms, (Eds) L. Weis, Altbach: P. G., 1989. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Bermasyarakat, Bandung: Mizan, 1993. Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 1998. Sommers, Peranakan Chinese Minority, Indonesia, Ithaca, New York: Interim Reports Series, 1964. Sudijarto, Jurnal Pendidikan Penabur - No.03 / Th.III / Desember 2004. Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985.

Suparlan, Parsudi, (Pny.), Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. Supriyoko, Ki, “Problema Besar Madrasah”, dalam http://www.republika.co.id, 2008. 07/03/2010. Surakhmad, Winarno, Pengantar Ilmiah Dasar, Metode dan Teknik, Bandung: Tarsito, 1982. Susilo, Muhammad Joko, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Rajawali, 1988. Sutejo, Muwardi, dkk, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Dirjen Binbaga Islam dan Universitas Terbuka, 1992. Suwendi dkk, ”Restrukturisasi MAK: Studi Kebijakan Penyelenggaraan Program Tafaqquh Fi al-din Era UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003”, dalam Edukasi (Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan), Volume 4, Nomor 4, OktoberDesember 2006. Spring, Joel, The American School, 1642-2004, New York: Mc Graw Hill, 1986. Syadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1984. Syukur, Fatah, “Madrasah dan Pemberdayaan”, dalam Citra Edukasi Blog spot.com, 2008. Tafsir, Ahad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rordakarya, 1992. Taba, Hilda, Curriculum Development: Theory and Practice, New York: Harcourt, Brace and World, 1962. Tanner, Laurel N Observation: Curriculum History As Usable Knowledge, Curriculum Inquiri, tk: tp, 1982. Team Dedaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Dedaktik Metodik Kurikulum PBM, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993. Thelen, H., Education and The Human Quest, New York: Harper and Row, 1960. Tibawi, A. L., Islamic Education, Its Tradition and Modernization into the Arab National Systems, London: Luzac and Company LTD, 1979. Tilaar, H.A.R., Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2002. --------, Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Raja Grasindo Persada, 2004. --------, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002. --------, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. Tholkhah, Imam, dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Thut I. N., dan Don Adams, Educational Patterns in Contemporary Societies, New York: McGraw-Hill Book Company, 1984. Toynbee,Arnold, A Study of History, diringkas oleh D.D. Somervelle, Oxford: Oxford University Press, 1957. Turmudi, Endang, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS, 2004. Tyler, R., Basic Principles of Curriculum and Instruction, Chicago, IL: University of Chicago Press, 1949. Udelhofen, Susan, Keys to Curriculum Mapping, Strategies and Tools to Maka It Work, California: Corwin Press, 2005. Umum, Direktorat Pendidikan, Kejuruan dan Kursus-kursus, Rencana Pendidikan dan Pelajaran SMA, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969.

Undang-undang Sistem Pendidikan No. 2 Tahun 1989. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Wahid, Abdurrahman, “RUU Pendidikan Memerlukan Penalaran yang Lebih Bermakna dan Dinamis”, dalam Suara Pembaharuan, Jakarta: Suara Pembaharuan, 24 Agustus 1988. --------, Islam, Politics and Democracy in Indonesia in the 1950s and 1990s. Paper presented to Conference on Democracy in Indonesia, Clayton: Monash University, 17-20 Desember 1992. --------, Pergumulan Islam dan Pembangunan, Jakarta: Leppenas, 1984. Walker, Decker F., dan Jonas F. Soltis, Curriculum and Aims, New York: Teacher College Press, 1997. Wallbank, A Short History of India and Pakistan, New York: American Library, 1958. Wandira, A., Work-Oriented Curricula for Rural Areas: an Overvew of Educational Problems and Issues, G. Supplit, U. Bude (eds), Work-Oriented Educational for Africa: Conference Report, Bonn: DSE. Wibowo, Alexander Jatmiko, dan Fandy Tjiptono, Pendidikan Berbasis Kompetensi (Ed.), Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2002. Wiles, John, dan Josep Bondi, Curriculum Development, A Guide to Practice, Columbus, Ohio: Pearson, cet. Ke 7, 2007. Williams, P., dan L. Chrisman (eds) Colonial Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader, London: Harvester Wheatsheaf, 1994. White, P, Teacher Empowerment Under “Ideal” School-Site Autonomy, Educational Evaluation and Policy Analysis, v 14, 1992. Wood, Robert C, “The Future of Modernizazion”, dalam Myron Weiner (ed.), Modernization, the Dinamics of Growth, Washington D. C.: Voice of America Forum Lecturers, 1968. Worthen, B. R., dan J. R Sanders, Educational Evaluation: Alternative Approaches and Practical Guidelines, New York dan London: Longman, 1987. Yacob, Fakhri, ”Respon Lokal Terhadap Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003” (Hasil Penelitian). Yaqin, M Ainul, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007. Yunus, Mah}mud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidrakarya Agung, 1996. --------, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir alQur’an, 1973. Zuhdi, Muhammad, “Political and Social Influences on Religious School: A Historical Perspective on Indoesian Islamic School Curricula (Disertasi), Montreal-Canada: McGill University, 2006. Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. Identitas Nama lengkap Tempat/tanggal lahir Jenis kelamin Agama Alamat Asal

: : : : :

Alamat Sekarang

:

Alamat e-mail Alamat Kantor

: :

Telp.

:

B. Keluarga Orang Tua : 1. Bapak 2. Ibu Mertua : 1. Bapak 2. Ibu Isteri Anak

Muhajir Kebumen, 28 Desember 1970 Laki-laki Islam Gandusari, R.T. 02 R.W. 04 Kuwarasan, Kebumen Jawa Tengah. Perumahan Taman Banjar Agung Indah Blok D-6 No. 02 Serang, Banten. [email protected] Fakultas Tarbiyah IAIN “SMH” Banten Jl. Jend. Sudirman No. 30 Serang 42118. Hp. 08121907168 Rumah 0254-284154

: Achmad Suyuthi : Siti Aminah (almarhumah) : : : :

Basrudin Ratimah Tri Yuni Hartati, A.Md. 1. Faiz Arfan Bahar (11 Pebruari 2003) 2. Faza Farzanggi Muhajir (29 September 2008)

C. Riwayat Pendidikan I. Pendidikan Formal 1. SD Negeri Gandusari, Kebumen, lulus tahun 1984. 2. MTs Negeri Purwosari, Rowokele, Kebumen, lulus tahun 1987. 3. PGA Negeri Kebumen, lulus tahun 1990. 4. S1 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fak. Tarbiyah Jur. PAI, lulus tahun 1995. 5. S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Pendidikan Islam, lulus tahun 2003. 6. S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Pendidikan Islam, angkatan tahun 2006. II. Pendidikan Non Formal 1. Madrasah Diniyah Pondok Gebangsari, Kebumen, 3 tahun, dari tahun 1978 –1981. 2. Madrasah Diniyah Kuwarasan Kebumen, 5 tahun, dari tahun 1982-1987.

3. Pondok Pesantren “Al-Huda” Jetis Kutosari, Kebumen, 3 tahun, dari tahun 1987-1990. 4. Pondok Pesantren Mahasiswa (Wahid Hasyim) Gaten Condong Catur, Yogyakarta, 2 tahun, dari tahun 1991-1993. D. Kegiatan Ilmiah dan Penelitian 1. Diskusi bulanan di KAPGAN Kebumen, 5 tahun, dari tahun 1990 –1995. 2. Diskusi bulanan Pendidikan Islam di KD-PAI-6 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3 tahun, dari tahun 1991-1993. 4. Peserta seminar “Tantangan Pendidikan Islam pada Era Global” di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, tahun 1993. 5. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, selama 10 hari, tahun 1994, di Wisma Sejahtera Kaliurang Yogyakarta. 6. Peserta seminar “Prospek Pendidikan Islam di Era Global” di IKIP Yogyakarta, utusan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1993. 7. Diskusi mingguan Program Studi Pendidikan Islam di KDPI-Pasca UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2 tahun, dari tahun 2000 – 2002. 8. Peserta seminar “The Reconstruction of Syari’a in The Islamic State”, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2003. 9. Peserta bedah buku “Pemikiran Syari’ah Hasan al-Bana”, di Islamic Centre Bekasi, tahun 2003. 10. Penelitian untuk para peneliti tingkat lanjut, Dosen IAIN “SMH” Banten, di Anyer, tahun 2007. 11. Pembicara seminar pendidikan “Metamorfosis Mutu Pendidikan Banten: Kurikulum, Mutu Guru dan Budaya Lokal banten”, tahun 2009. 12. Pembicara Seminar pendidikan “Menguak Rahasia Pendidikan ala Rasulullah”, 2010. E. Tulisan Ilmiah I. Tulisan Yang di Publikasikan 1. “Perjumpaan Sufisme dan Agama-agama Lain”, dipulikasikan oleh Majalah Bulanan Departemen Agama Jawa Barat “Media Pembinaan”, No. 08/XXVIII November 2001. 2. “Pendidikan Sebagai Media Transformasi Budaya (Renungan Bagi Para Pendidik dan Penyelenggara Pendidikan Dalam Menyambut Tahun Pelajaran Baru 2002/2003)”, “Media Pembinaan”. 3. “Madrasah di Makkah dan Madinah”, Jurnal Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan, “Al-Qalam”, Vol. 20/No. 98, 99/Juli-Desember 2003, Serang: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IAIN “SMH” Banten, 2003. 4. Madrasah-madrasah di Makkah dan Madinah dalam Sejarah Pendidikan Islam, pada Periode Klasik dan Pertengahan, Prof. Dr. H. Abudin Nata, MA. (Ed.), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. 5. Ibnu Khaldun (1332-1402 M): Prinsip dan Metode Pengajaran, dalam Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Prof. Dr. Suwito, MA. dan Fauzan, MA. (Ed.), Bandung: Angkasa, 2003.

7. Kurikulum Madrasah Orde Reformasi – 2007: Analisis Pengembangan dan Pembaharuan ke Arah Modern, Jurnal Ke-Islaman, Kemasyarakatan dan Kebudayaan, “Tazkia”, Vol. IX No. 02, 2008. II. Dalam Bentuk Skripsi, Tesis dan Disertasi 1. “Pendidikan Anak Menurut Al-Qur’an (Studi Tentang Materi dan Metode)”, Skripsi S1, 1995. 2. “Pendidikan Jasmani Dalam Perspektif Islam”, Tesis S2, 2003. 3. “Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional”, Disertasi 2010. F. Riwayat Pekerjaan 1. Direktur TPA “Al-Huda”, Klitren Lor Yogyakarta, tahun 1992 – 1993. 2. Guru Privat Keluarga dari Yayasan Tunas Melati Yogyakarta, tahun 1992 – 1995. 3. Guru al-Qur’an pada Program Pemberantasan Baca Tulis al-Qur’an se SD Klitren Lor Yogyakarta, tahun 1993 – 1994. 4. Distributor PT. Amindoway Jaya, tahun 1993. 5. Marketing Supervisor PT. Cahaya Matahari Timur Yogyakarta, tahun 1994. 6. Kepala Cabang PT. Cahaya Matahari Timur di Kebumen, tahun 1994 (6 bulan). 7. Anggota ASBI (Asosiasi Sarang Burung Walet Indonesia), tahun 1994 –1995. 8. Cyper Operator di Subur Tiasa Playwood Sdn. Bhd., Sibu East Malaysia, tahun 1996. 9. Boyler Operator di Azaz Mahir Sdn. Bhd., Bintulu East Malaysia, tahun 1997. 10. TU MI Asy-Syuhada Jakarta, tahun 1998 (3 bulan). 11. Guru MI Asy-Syuhada Jakarta, tahun 1998-1999. 12. Dosen STAI Al-Ghuraba’ Jakarta, tahun 1998-1999. 13. Guru (PNS) MTs Negeri Rengasdengklok, Karawang, tahun 1999 –2003. 14. Dosen STAI Darul Qalam Tangerang dan Bekasi, tahun 1999 – 2007. 15. Dosen PGSD dan PGTK Darul Qalam Cut Mutia Bekasi, Islamic Centre Bekasi dan Tanjung Barat Jakarta, tahun 1999 – 2007. 16. Dosen STIMIK Kharisma Karawang, tahun 2000 – 2003. 17. Dosen Tetap (PNS) pada Fakultas Tarbiyah dan Adab IAIN “SMH” Banten Serang, tahun 2003 – sekarang. 18. Ketua Badan Pelaksana Harian PGTK/RA-PGSD/MI STAIKHA “Nur El-Qolam” untuk kampus Serang, Cilegon dan Jayanti, tahun 2005 – 2008. 19. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) TIARA Jakarta mulai Januari 2008-2009. 20. Badan Pembina Yayasan “Nur El-Qolam” Banten, tahun 2005-2009. 21. Ketua Yayasan “Nur El-Qolam” Banten, 2009-sekarang.

320

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Tabel 1 Rencana Pelajaran Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta No. Mata Pelajaran A

B

Agama 1. Tauhid 2. Al-Qur’an a. Hafalan b. Membaca c. Tajwid d. Terjemah e. Tafsir 3. Hadis/Must}alah 4. Fikih/Ushul 5. Tarikh Umum 6. Bahasa Arab a. Mut}ala’ah b. Imlak c. Nahwu/Sharaf d. Khat 7. Bahasa Indonesia 8. Bahasa Inggris 9. Ilmu Pasti a. Aljabar b. Ilmu Ukur 10. Berhitung/Ilmu Hitung 11. Hitung Dagang 12. Pengetahuan Dagang 13. Ilmu Alam 14. Ilmu Hayat/Higien 15. Ilmu Bumi a. Pengetahuan Peta b. Alam/Pasti c. Ekonomi 16. Sejarah Indonesia/Umum

Kls 1

Kls 2

Kls 3

Kls 4

Kls 5

Jlm

1 (6) 2 2 2 2/2/1

2 (5) 2 3 2/2/1

1 (3) 3 2/2/1

2 (3) 3 2/1 2/1 1

2 (3) 1 2 2/1 2/1 1

8 (20) 4 2 1 8 5 10/2 10/2 5

(9) 3 2 2 2 4 4 (3) 2 1 2/(2) 2 1

(6) 3 2 1 4 3 (4) 2 2 1/2 2 (2) 2 2

(6) 3 2 1 4 3 (5) 2 3 1/1 1 2 2 (1) 1 2

(4) 2 2 3 4 (2) 2 -/1 1 1 3 2 (2) 1 1 2

(5) 3 2 3 3 (1) 1 -/1 (3) 1/1 1 2

(30) 14 2 10 4 18 17 (15) 9 6 4/2 2 2 6 6 (10) 6 2/2 1 9

321

17. Tata Negara 18. Menulis Latin 19. Menggambar 20. Seni Suara 21. Pendidikan Jasmani 22. Ilmu Guru a. Ilmu Mendidik b. Ilmu Jiwa 23. Ekonomi/Ethnologi 24. Filsafat/Pengetahuan Agama 25. Ke Muhammadiyahan 26. Kepanduan Jumlah

1 1 1 2 (-) 42

1 1 1 2 (-) 43

1 1 2 (-) 1 42

1 1 2 (3) 2 1 1 44

1 1 1 2 (6) 4 2 1/1 1 1 2 47

2 2 4 5 10 (9) 6 3 1/1 1 3 2 218

Tabel 2 Rencana Pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur No. Mata Pelajaran 1

2

3

Bahasa Arab a. Imlak b. Mengarang/Pidato c. Membaca d. Hafalan e. Khat f. Nahwu/Sharaf g. Balaghah h. Adab Lughah Ilmu-ilmu Agama a. Al-Qur’an b. Tajwid c. Tafsir d. Hadis e. Must}alah Hadis f. Ushul Fikih g. Aqaid/Agama h. Mantiq i. Tarikh Islam Ilmu-ilmu Umum

Kls 1 12 1 6 3 1 1 10 2 1 2 1 2 2 17

Kls 2 12 1 4 3 1 1 2 10 2 1 2 1 2 2 17

Kls 3 12 1 4 3 1 1 2 9 2 1 2 2 2 18

Kls 4 13 1 3 3 1 1 2 7 2 1 2 1 1 19

Kls 5 11 2 2 1 2 2 2 8 2 1 2 2 1 20

Kls 6 11 3 2 1 2 2 2 11 2 2 2 2 2 1 18

322

1. Berhitung 2. Al-Jabar 3. Ilmu Ukur 4. Ilmu Alam 5. Ilmu Hayat 6. Sejarah Indonesia/Umum 7. Ilmu Bumi 8. Ilmu Pendidikan/Ilmu Jiwa 9. Praktek Mengajar 10. Tata Negara 11. Gerak Badan 12. Menggambar/Seni Suara 13. Bahasa Indonesia 14. Bahasa Inggris Jumlah

2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 1 Di luar jam pelajaran Di luar jam pelajaran 2 2 1 2 2 3 39 39 39

2 2 2 3 2 2 2

2 2 2 1 2 3 2 2

1 1 1 3 2 3 4 -

1 3 39

1 3 39

1 3 40

Tabel 3 Rencana Pelajaran Sekolah Guru P.U.I 6 Tahun Jawa Barat No. Mata Pelajaran A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 B 14 15 16 17

Pokok Al-Qur’an/Tafsir Hadis/Must}alah Tauhid/Mantiq Bahasa Arab Fikih/Ushul Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Bahasa Daerah Ilmu Guru/Jiwa Ilmu Bumi/Alam Sejarah Indonesia/Umum Tata Negara Ekonomi Penting Tarikh Islam/Kebudayaan Faraidl Akhlak Ilmu Hayat

Kls 1

Kls 2

Kls 3

Kls 4

Kls 5

Kls 6

3 1 1 7 2 4 2 1 2 2 -

3 1 1 7 2 4 2 1 2 2 -

3 1 1 7 2 4 2 1 2 2 -

3 2 1 8 2 4 3 1 4 2 2 -

3 2 2 7 2 4 3 1 1 2 2 1 1

3 2 2 7 2 4 3 1 4 2 2 1 1

1 1 2

1 1 2

1 1 1 2

1 1 1 2

1 1 1 1

1 1 1 1

323

18 19 20 21 C 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Aljabar Ilmu Ukur Ilmu Alam Ilmu Kimia Pelengkap Al-Adyan ’Arudl Miqat Ilmu Berhitung Gerak Badan Menggambar/Menulis Seni Suara Kerajinan Tangan/Pertanian Etnologi/Sosiologi Kepanduan Jumlah

2 2 1 -

2 2 1 -

2 2 1 -

2 1 1

1 1 1

1 1 1

1 2 1 1 1 2 42

1 2 1 1 1 2 42

2 1 1 1 2 42

2 1 2 44

1 1 1 1 2 44

1 1 1 1 1 2 44

Tabel 4 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)1 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

AkaDemis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu pengetahuan Sosial Fisika (mayor)

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 3

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 3 3

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 3 3

2 2 3 2 2 6 3 3 4 4

2 2 3 2 2 6 3 3 4 4

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1976), 9.

12 12 18 12 12 8 8 36 18 22 22 6 6 17

324

15 16 17

Ketrampilan

18 19

Kimia (mayor) Biologi (mayor) Bumi Antariksa (minor) Bahasa Asing (minor) Menggambar (minor) Pilihan Terikat Pilihan Bebas Jumlah

-

3 2 2

3 2 2

3 2 2

4 4 2

4 4 2

17 14 10

44

3 44

3 44

3 44

3 44

3 44

9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat.

Tabel 5 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)2 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

Akademis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

2

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Fisika (mayor) Kimia (mayor) Biologi (mayor) Geografi Antropologi (minor)

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 3 2 2 2

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 3 3 2 2

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 3 3 3 2 2

2 2 3 2 2 6 3 3 4 4 4 4 2

2 2 3 2 2 6 3 3 4 4 4 4 2

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 10-11.

12 12 18 12 12 8 8 36 18 22 22 6 6 12 16 14 10

325

Ketrampilan

18 19

Bumi Antariksa (minor) Bahasa Asing (minor) Menggambar Pilihan Terikat Pilihan Bebas Jumlah

-

2

2

2

2

2

10

44

3 44

3 44

3 44

3 44

3 44

9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat. Tabel 6 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Bahasa3 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

Akademis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

3

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu pengetahuan Sosial Bahasa Asing (mayor) Sejarah (mayor) Geografi Antropologi (mayor) Bahasa Daerah Menggambar (minor) IPS (minor) Ekonomi – Koperasi (minor)

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 3 2 2 2 2 2 5 5 5 3 2 2 2

2 2 3 2 2 2 2 2 5 5 5 3 2 2 2

2 2 3 2 2 2 2 5 5 5 3 2 2 2

2 2 3 2 2 7 7 7 2 5 2

2 2 3 2 2 7 7 7 2 3 2

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 9-10.

12 12 18 12 12 8 8 10 32 33 33 6 6 13 8 6 6 10

326

Ketrampilan

18 19

Pilihan Terikat Pilihan Bebas Jumlah

44

3 44

3 44

3 44

3 44

3 44

9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat. Tabel 7 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Syari’ah / Agama4 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

Akademis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 4

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Filsafat Islam Perbandingan Agama Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Sejarah Tata Buku – Hitung Dagang Geografi - Antropologi Tafsir – Ilmu Tafsir (mayor) Hadis – Ilmu hadis (mayor) Fiqh – Ushul Fiqh – mantiq (mayor) Tarikh – Tasyri’ (mayor) Menggambar (minor)

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 2 2 2 3 3 4 3 3 4 3 4

2 2 2 2 2 3 3 4 3 3 4 3 4

2 2 2 2 2 3 3 4 3 3 4 3 4

2 2 2 3 2 3 3 4 3 2 2 3 3 3

2 2 2 3 2 3 3 4 3 2 2 3 4 4

12 2 3 12 12 8 8 6 4 21 18 24 19 6 6 9 4 4 18 16 18

-

2 -

2 -

2 -

2 -

2 -

10 -

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 11.

327

Ketrampilan

24 25

-Ekonomi Koperasi (minor) -Bahasa Asing (minor) Pilihan Terikat Pilihan Bebas Jumlah

-

2

2

2

2

2

10

44

3 44

3 44

3 44

3 44

3 44

9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat. Tabel 8 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Qodlo / Peradilan Agama5 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

Akademis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

5

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Filsafat Islam Perbandingan Agama Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Administrasi - Manajemen Pengantar Ilmu hukum Human Relation (mayor) Hukum Pidana (mayor) Hukum Perdata (mayor) Hukum Acara Hukum Adat

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 2 2 2 2 3 4 3 3 3 2 3 -

2 2 2 2 2 2 3 4 3 3 2 2 2

2 2 2 2 2 2 3 4 3 2 3 2 2

2 2 2 3 2 3 6 3 2 2 3 2

2 2 2 3 2 3 4 3 2 5 2

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 11-12.

12 2 3 12 12 8 8 6 4 12 18 26 19 6 6 8 3 4 7 9 8 8

328

22 23

Ketrampilan

Fiqh - Ushul Fiqh - Mantiq Tafsir – Ilmu Tafsir Hadis - Ilmu hadis Tarikh Tasyri’ Menggambar -Ekonomi Koperasi (minor) -Bahasa Asing (minor) Praktek Peradilan Agama Pilihan Terikat Pilihan Bebas JUMLAH

-

2 2 2 2

2 2 2 2 2

2 2 2 2 2

2 2 2 2

2 2 2 2

10 10 10 4 10

44

3 44

3 44

3 44

4 3 44

4 3 44

8 9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat. Tabel 9 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Diniyah6 No 1

Materi Pelajaran Tafsir Al-Qur’an

2

Ilmu tafsir

3

Hadis

4

Musthalah

5

Tauhid

6

Fiqh

6

Nama Kitab 1. Tafsir Jalalain 2. Tafsir al-Maraghi 3. Tafsir Munir 1. al-Tibyan fi Ulumil Qur’an 2. Mabahis fi Ulumil Qur’an 3. Manahil al-Irfan 1. Mukhtar al-Ahadis 2. Bulugh al-Maram 3. Jawahir al-Bukhari 4. al-Jami’ al-Shaghir 1. Mihnah al-Muhith 2. Al-Baiquniyah 1. Tuhfah al-Murid 2. Al-Husun al-Hamidiyah 3. Al-Aqidah al-Islamiyah 4. Kifayah al-’Awam 1. Kifayatul Ahyar 2. Fathul Mu’in

Depag RI, Pondok Pesantren dan Madrasah: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: Dirjen Bagais, 2003), 34.

329

7

Ushul Fiqh

8

Nahwu dan Saraf

9

Akhlaq

10 11

Tarikh Balaghah

3. Mahalli 1. Al-Waraqat 2. Al-Sulam 3. Al-bayan 4. Al-Luma’ 1. Alfiyah Ibnu Malik 2. Qawaid al-Lughah al-Arabiyah 3. Syarh Ibnu Aqil 4. Al-Syabrawi 1. Minhajul Abidin 2. Irsyad al-Ibad 1. Ismam al-Wafaq 1. Jauhar Maknun 2. Juman

330

Tabel 10 Susunan Program Kurikulum 1994 Madrasah Aliyah kelas I dan II7 No. 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10.

11.

Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan Pendidikan Agma Islam: a. Qur’an Hadits b. Fiqh c. Aqidah - Akhlak Bahasa Indonesia dan Sastera Indonesia Sejarah Nasional dan Umum Bahasa Arab Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Matematika Ilmu Pengetahuan Alam: a. Fisika b. Biologi c. Kimia Ilmu Pengetahuan Sosial: a. Ekonomi b. Sosiologi c. Geografi Pendidikan Seni Jumlah

7

Kelas I 2

Kelas II 2

2 2 1 5 2 2 4 (2) 6

2 2 1 5 2 2 4 (2) 6

5 4 3

5 4 3

3 2 2 45

3 2 2 45

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994, Landasan, Program dan Pengembangan (Jakarta: Depag RI, 1993). Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999/2000), 393.

331

Tabel 11 Susunan Program Kurikulum 1994 Madrasah Aliayah kelas III Program Bahasa8 No.

Mata Pelajaran

Jumlah Jam Pelajaran

Umum: 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: a. Qur’an Hadits b. Fiqh c. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

Khusus: 8. 9. 10. 11.

Bahasa dan Sastra Indonesia Bahasa Inggris Bahasa Asing lain Sejarah Budaya Jumlah

8 6 9 5 45

Keterangan: *) Dilaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. Penentuan mata pelajaran bahasa asing lain ditentukan oleh madrasah berdasarkan keadaan dan kebutuhan madrasah yang bersangkutan. Siswa memilih mata pelajaran bahasa asing yang diselenggarakan oleh madrasah.

8

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 394.

332

Tabel 12 Susunan Program Kurikulum 1994 Madrasah Aliyah kelas III Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)9 No.

Mata Pelajaran

Jumlah Jam Pelajaran

Umum: 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: d. Qur’an Hadits e. Fiqh f. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

Khusus: 8. 9. 10. 11.

Fisika Biologi Kimia Matematika Jumlah

7 7 6 8 45

Keterangan: *) Dilaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah.

9

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 395.

333

Tabel 13 Susunan Program Kurikulum 1994 Madrasah Aliyah kelas III Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)10 No.

Mata Pelajaran

Jumlah Jam Pelajaran

Umum: 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: g. Qur’an Hadits h. Fiqh i. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

Khusus: 8. 9. 10. 11.

Ekonomi Sosiologi Tata Negara Antropologi Jumlah

10 6 6 6 45

Keterangan: *) Dilaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dan disesuikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. 1. Satu jam pelajaran berlangsung 45 menit. 2. Jumlah jam pelajaran/minggu sebanyak 45 jam pelajaran. 3. Jumlah jam pelajaran satu minggu sebagaimana tercantum dalam susunan program kurikulum Madrasah Aliyah di atas adalah jam pelajaran minimum yang diselenggarakan secara klasikal.

10

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 396.

334

Tabel 14 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Model11 Kelas I dan II NO

1 2

3 4 5 6 7 8 9

10

11

MATA PELAJARAN

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama islam: a. Qur’an hadis b. Fiqh c. Aqidah Akhlak Bahasa dan Sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Sejarah Umum Bahasa Arab Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*) Matematika Ilmu Pengetahuan Alam: a. Fisika b. Biologi c. Kimia Ilmu Pengetahuan Sosial: a. Ekonomi b. Sosiologi c. Geografi Pendidikan Seni JUMLAH

JUMLAH JAM PELAJARAN Kelas Kelas II 1 2 2 2 2 1 5 2 2 4 (2) 6

2 2 1 5 2 2 4 (2) 6

5 4 3

5 4 3

3 2 2 45

3 2 2 45

Keterangan: *) Dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah.

11

Depag RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan madrasah Model (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002), 4-5.

335

Tabel 15 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Model12 Kelas III Program Bahasa NO

1 2

1 2 3 4 5

1 2 3 4

MATA PELAJARAN

JUMLAH JAM PELAJARAN

UMUM Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: a. Qur’an Hadis b. Fiqh c. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa dan sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Sejarah Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

KHUSUS Bahasa dan sastra Indonesia Bahasa Inggris Bahasa Asing lain**) Sejarah Budaya JUMLAH

8 6 9 5 45

2

Keterangan: *) Dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. Tabel 16 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Model Kelas III Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)13 MATA PELAJARAN JUMLAH JAM PELAJARAN

NO

1 2

UMUM Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam:

2

12

Depag RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan madrasah Model, 5.

13

Depag RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan madrasah Model, 5.

336

1 2 3 4 5

1 2 3 4

a. Qur’an Hadis b. Fiqh c. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa dan sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Sejarah Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

KHUSUS Fisika Biologi Kimia Matematika JUMLAH

7 7 6 8 45

Keterangan: *) Dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. Tabel 17 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Model Kelas III Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)14 NO

MATA PELAJARAN

JUMLAH JAM PELAJARAN

1 2 3 4 5

UMUM Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: a. Qur’an Hadis b. Fiqh c. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa dan sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Sejarah Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

1

KHUSUS Ekonomi

10

1 2

14

2

Depag RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan Madrasah Model, 5.

337

2 3 4

Sosiologi Tata Negara Antropologi JUMLAH

6 6 6 45

Keterangan: *) Dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. Tabel 18 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Bersama (kelas X)15 Mata Pelajaran 1

2 3

4 5 6 7

8

9 10

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Ahlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa a. Bahasa dan Sastera Indonesia b. Bahasa Arab c. Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Ilmu Pengetahuan Sosial a. Sejarah b. Geografi c. Ekonomi d. Spsiologi Ilmu Pengetahuan Alam a. Fisika b. Kimia c. Biologi Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan / Bahasa Asing 15

Alokasi Waktu Kelas X 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 3 4 4 *) *)

4 3 4 4 *) *)

2 2 2

3 2 2 2

3 3 3 3 *)

3 3 3 3 *)

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 25.

338

11

Muatan Lokal

*) 42

JUMLAH

*) 42

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu. Tabel 19 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Studi Ilmu Alam16

Mata Pelajaran 1

2 3

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Akhlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa a. Bahasa dan Sastera Indonesia b. Bahasa Arab c. Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Geografi Fisika Kimia Biologi Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan/Bahasa Asing Muatan Lokal JUMLAH

Smt 1

Alokasi Waktu Kelas XI-XII Smt Smt 2 1

2 2 2 2

2 2 2 2

2 2 2 2

2 2 2 2

4 3 4 6 *) *) 2 5 5 5 3 *) *) 45

4 3 4 6 *) *) 2 5 5 5 3 *) *) 45

4 3 4 6 *) *) 2 5 5 5 3 *) *) 45

4 3 4 6 *) *) 2 5 5 5 3 *) *) 45

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu.

16

Smt 2

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 26.

339

Tabel 20 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Studi Ilmu Sosial17

Mata Pelajaran 1

2 3

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Akhlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa a. Bahasa dan Sastera Indonesia b. Bahasa Arab c. Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Sejarah Geografi Ekonomi Sosiologi Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan/Bahasa Asing Muatan Lokal JUMLAH

Smt 1

Alokasi Waktu Kelas XI-XII Smt Smt 2 1

2 2 2 3

2 2 2 3

2 2 2 2

2 2 2 2

4 3 4 4 *) *) 3 4 6 5 3 *) *) 45

4 3 4 4 *) *) 3 4 6 5 3 *) *) 45

4 3 4 4 *) *) 3 4 6 5 3 *) *) 42

4 3 4 4 *) *) 3 4 6 5 3 *) *) 42

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu.

17

Smt 2

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 27.

340

Tabel 21 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Studi Bahasa18

Mata Pelajaran 1

2 3 4 5 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Akhlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Sejarah Antropologi Sastera Indonesia Bahasa Asing lain Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan/Bahasa Asing Muatan Lokal JUMLAH

Smt 1 2 2 2 2 5 4 6 4 *) *) 3 2 3 6 2 *) *) 44

Alokasi Waktu Kelas XI-XII Smt Smt 2 1 2 2 2 2 5 4 6 4 *) *) 3 2 3 6 2 *) *) 44

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu.

18

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 30.

2 2 2 2 4 4 5 4 *) *) 3 2 3 5 2 *) *) 41

Smt 2 2 2 2 2 4 4 5 4 *) *) 3 2 3 5 2 *) *) 41

341

Tabel 22 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Studi Ilmu Agama Islam19

Mata Pelajaran 1

2 3

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Akhlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa a. Bahasa dan Sastera Indonesia b. Bahasa Arab c. Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Tafsir dan Ilmu Tafsir Ilmu Hadis Ushul Fiqh Tasawuf Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan/Bahasa Asing Muatan Lokal JUMLAH

Smt 1

Alokasi Waktu Kelas XI-XII Smt Smt 2 1

2 2 2 2 3

2 2 2 2 3

2 2 2 2 2

2 2 2 2 2

3 5 4 4 *) *) 4 3 4 2 2 *) *) 45

3 5 4 4 *) *) 4 3 4 2 2 *) *) 45

3 4 4 4 *) *) 4 3 4 2 2 *) *) 42

3 4 4 4 *) *) 4 3 4 2 2 *) *) 42

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu.

19

Smt 2

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 28.

342

Tabel 23 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan Bidang Pengembangan 1. Pendidikan Karakter 2. Pendidikan Akademis

3. Pendidikan Ketrampilan

4. Unggulan Sekolah

Mata Pelajaran 1. Pendidikan Akhlak 2. Kewarganegaraan 3. Bahasa dan Sastra Indonesia 1. Qur’an Hadis 2. Ilmu tafsir 3. Ilmu hadis 4. Fiqh 5. Ushul Fiqh 6. Tauhid – Tasawuf 7. Sejarah Peradaban Islam 8. Bahasa Arab 9. Matematika 10. Science 11. Ilmu Sosial 12. Bahasa Inggris 1. Olahraga 2. Kesenian 3. Komputer 4. Akuntansi 5. Vokasional 1. Kajian Islam 2. Pengantar Penelitian 3. Bahasa Asing lain (**)

I 2 2 2 4 2 2 3 2 2 2 4 3 3 3 4 40 (2) (2) (2) (2) (*) (2) (2) (2)

Kelas I 2 2 2 4 2 2 3 2 2 2 4 3 3 3 4 40 (2) (2) (2) (2) (*) (2) (2) (2)

I 2 2 2 4 2 2 3 2 2 2 4 3 3 3 4 40 (2) (2) (2) (2) (*) (2) (2) (2)

Keterangan: (*) Program Paket (pilihan) (...) Kegiatan Terpogram (**) Bahasa Asing (pilihan): Bahasa Perancis, Bahasa Cina, Bahasa Urdu, Bahasa Persi.

343

Tabel 24 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas X20 Komponen A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Arab 5. Bahasa Inggris 6. Matematika 7. Fisika 8. Biologi 9. Kimia 10. Sejarah 11. Geografi 12. Ekonomi 13. Sosiologi 14. Seni Budaya 15. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 16. Teknologi Informasi dan Komunikasi 17. Ketrampilan/Bahasa Asing B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

Alokasi Waktu Smt I Smt II 4 2 4 2 4 4 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2*) 42

4 2 4 2 4 4 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2*) 42

Keterangan: 1. Pendidikan Agama Islam terdiri atas: Al-Qur’an hadis, Aqidah Akhlak dan Fiqh. 2. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan potensi dan ciri khas daerah, termasukk keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan terhadap mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. Pengembangan diri bukan 20

Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006), 6.

344

merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan

kesempatan

pada

peserta

didik

untuk

mengembangkan

dan

mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh kanselor, guru tau tenaga kependidikan yang dpat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. *) 2 jam pembelajaran. Tabel 25 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas XI dan XII Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)21 Alokasi Waktu Kelas XI Komponen

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Arab 5. Bahasa Inggris 6. Matematika 7. Fisika 8. Kimia 9. Biologi 10. Sejarah 11. Geografi 12. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 13. Teknologi Informasi dan Komunikasi 14. Ketrampilan / Bahasa Asing B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

21

Kelas XII

Smt 1

Smt 2

Smt 1

Smt 2

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, 7.

345

Keterangan: 1. Pendidikan agama islam terdiri atas: Al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqh dan SKI. 2. *) Ekuivalen 2 jam pembelajaran. Tabel 26 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas XI dan XII Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)22 Alokasi Waktu Kelas XI Komponen

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Arab 5. Bahasa Inggris 6. Matematika 7. Fisika 8. Kimia 9. Biologi 10. Sejarah 11. Geografi 12. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 13. Teknologi Informasi dan Komunikasi 14. Ketrampilan / Bahasa Asing B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

Kelas XII

Smt 1

Smt 2

Smt 1

Smt 2

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

Keterangan: 1. Pendidikan agama Islam terdiri atas: Al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqh dan SKI.

22

Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, 8.

346

2. *) Ekuivalen 2 jam pembelajaran. Tabel 27 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas XI dan XII Program Bahasa23 Alokasi Waktu Komponen

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa arab 5. Bahasa Inggris 6. Matematika 7. Sastra Indonesia 8. Bahasa Asing 9. Antropologi 10. Sejarah 11. Seni Budaya 12. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 13. Teknologi Informasi dan Komunikasi 14. Keterampilan B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

Kelas XI

Kelas XII

Smt 1

Smt 2

Smt 1

Smt 2

2*) 2 5 2**) 5 3 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2***) 39

2*) 2 5 2**) 5 3 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2***) 39

2*) 2 5 2**) 5 3 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2***) 39

2*) 2 5 2**) 5 3 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2***) 39

*) Bila untuk kurikulum Madrasah Aliyah maka alokasi waktunya 4 jam pelajaran per minggu. **) Untuk kurikulum SMA, bahasa Arab ditiadakan. ***) Ekuivalen 2 jam pembelajaran.

23

E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis, 60.

347

Tabel 28 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas XI dan XII Program Keagamaan24 Alokasi Waktu Kelas XI

Komponen

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Tafsir dan Ilmu Tafsir 7. Ilmu Hadis 8. Ushul Fiqh 9. Tasawuf / Ilmu Kalam 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan kesehatan 12. Teknologi Informasi dan Komunikasi 13. Keterampilan B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

Kelas XII

Smt 1

Smt 2

Smt 1

Smt 2

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2*) 38

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2*) 38

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2*) 38

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2*) 38

2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran ditentukan. Tabel 29 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Kejuruan25 Program Keahlian ditetapkan oleh Madrasah No 1

Program Normatif 24 25

Pendidikan dan Latihan 1. Pendidikan Agama Islam (Al-Qur’an Hadis,

Alokasi Waktu 216

E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis, 61.

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikuulum 2004 untuk RA, MI, MTs dan MA (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2004), 31 – 32.

348

II

III

Adaptif

Produktif

Aqidah Akhlak, Fiqh dan SKI) 2. Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah 3. Olahraga dan Kesehatan 4. Bahasa Indonesia 1. Bahasa Inggris 2. Bahasa Arab 3. Matematika 4. Ketrampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi 5. Kewirausahaan 6. ...............**) 1. ...............***) 2. ............... ***) 3. ............... ***) Jumlah

144 144 216 Sesuai Program Keahlian

Sesuai Program Keahlian

Tabel 30 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Kejuruan Program Ketrampilan26 No 1

Ketrampilan Otomotif A

2

Elektronika A

26

Materi 1. Teknik Pengajaran Logam 2. Gambar Teknik 3. Dasar-dasar Motor 4. Unit Motor 5. Sistem Bahan Bakar 6. Sistem Kelistrikan 7. Chasis 8. Tune Up 9. Pengelolaan Usaha 10. Magang Jumlah 1. Listrik Dasar 2. Elektronika Dasar 3. Pembuatan Pesawat Elektro 4. Rangkaian Elektro 5. Teknik Elektronika 6. Teknik Audio

Profil MAN Jember 1 2006 – 2007, 64.

Jumlah Jam 91 35 12 258 144 164 254 86 86 36 1080 30 84 36 98 108 84

349

3

Tata Busana A

4

Pertanian

5

Komputer

6

Bahasa Inggris

7. Teknik Radio 8. Teknik Televisi 9. Pengelolaan Usaha 10. Magang Jumlah 1. Alat Menjahit 2. Teknologi Menjahit 3. Pengetahuan Bahan Tekstil 4. Pembuatan Pola 5. Teknik Menghias Kain 6. Desain Busana 7. Busana Anak 8. Busana Wanita 9. Busana Pria 10. Pengelolaan Usaha 11. Magang Jumlah 1. Dasar-dasar Pasca Usaha Tani 2. Iklim, Prinsip Penanaman, Pemeliharaan dan Pengelolaan 3. Bercocok Tanam Sayur, Buah dan Mangga 4. Tanaman Pekarangan 5. Budidaya Tanaman 6. Dasar-dasar Perikanan Darat 7. Dasar-dasar Pertanian Campuran 8. Bercocok Tanam Padi dan Palawija 9. Teknik Beternak Ikan 10. Budidaya Tanaman Perkebunan 11. Dasar-dasar Peternakan 12. Teknik Beternak 13. Dasar – dasar Mekanisme Pertanian 14. Teknik Pengoperasian dan Merawat Alat-alat Mekanisme Pertanian 15. Magang Jumlah Microsoft Word Microsoft Excel Jumlah 1. Tingkat Dasar 2. Tingkat Menengah 3. Tingkat Lanjut

124 318 162 36 1080 30 84 36 98 108 84 124 318 162 36 160 1080 30 120 40 80 40 50 200 40 60 60 40 60 100 40 36 1080 46 46 92

350

7

Bahasa Arab

Tingkat Dasar

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi Arab-Latin ini mengacu pada pedoman transliterasi yang dipakai oleh Universitas McGill. b

=

‫ب‬

z

=

‫ز‬

f

=

‫ف‬

t

=

‫ت‬

s

=

‫س‬

q

=

‫ق‬

th

=

‫ث‬

sh

=

‫ش‬

k

=

‫ك‬

j

=

‫ج‬

s{

=

‫ص‬

l

=

‫ل‬

h{

=

‫ح‬

d{

=

‫ض‬

m

=

‫م‬

kh

=

‫خ‬

t{

=

‫ط‬

n

=

‫ن‬

d

=

‫د‬

z{

=

‫ظ‬

h

=

‫ه‬

dh

=

‫ذ‬



=

‫ع‬

w

=

‫و‬

r

=

‫ر‬

gh

=

‫غ‬

y

=

‫ي‬

Vokal pendek

:

a=´ ; i=ِ ; u= ُ

Vokal panjang :

a< = ‫ ; ا‬i> = ‫; ي‬

Diftong

ay = ‫; ا ي‬

:

iv

ū=‫و‬

aw = ‫ا و‬

Kata Pengantar

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Mengawali karya ilmiah ini saya ingin memanjatkan puji syukur kehadlirat Allah SWT, karena atas rid}a dan ‘ina>yah-Nya jualah disertasi yang berjudul: “Pergeseran Kurikulum Madrasah dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini sengaja dibuat untuk diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam (Pendidikan Islam) di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang ikut berperan dalam proses penyelesaian studi di Sekolah Pascasarjana ini. Mereka itu antara lain sebagai berikut: Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, atas asuhan dan kepemimpinannya, baik selama saya menjalani masa-masa perkuliahan maupun andilnya dalam keberhasilan studi saya. Dirjen Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, yang telah mengizinkan saya untuk menempuh pendidikan S3 pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. H. M. A. Tihami, MA., MM., Rektor IAIN “SMH” Banten, yang telah memberi restu dan mengizinkan saya untuk menempuh studi S3, dimana IAIN “SMH” Banten merupakan institusi tempat mengabdikan keilmuan saya di dalamnya. Institusi ini jualah yang memberikan sebagian support dana dan motivasi kepada saya sehingga dapat menyelesaikan studi S3 ini. Prof. Dr. Suwito, MA dan Prof. Dr. Husni Rahim, MA, dalam kedudukannya dan peran pentingnya sebagai promotor saya, yang telah dengan kesabaran dan ketelitiannya menunjukkan serta mengarahkan penulisan disertasi saya ini, sehingga berhasil dan selesai ditulis. Semua guru besar, para dosen dan semua staf Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyampaikan ilmu dengan tulus ikhlas kepada saya. Juga semua staf di bagian akademik yang telah memberikan pelayanan administrasinya dengan baik. Perpustakaan Kementerian Agama, perpustakaan Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan UNJ, dan Pusat Kurikulum (Puskur) Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah andil besar dalam menyediakan rujukan-rujukan khususnya tentang kurikulum, sehingga saya dapat menyelesaiakan tulisan disertasi ini. Para ulama, cendekiawan dan ilmuwan yang tulisannya dijadikan rujukan oleh saya dalam penulisan disertasi ini. Untuk para sahabat yang ada di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam saat-saat kuliah yang penuh kenangan, dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu namanya

i

dalam lembar pengantar ini, saya hanya dapat berdo’a semoga amal shaleh mereka di terima sebagai amal akherat yang kekal abadi. Amin. Disertasi ini secara khusus saya dedikasikan kepada Abi, Umi, isteri (Tri Yuni Hartati), dan anak-anak saya yang shaleh (Faiz Arfan Bahar dan Faza Farzanggi Muhajir), yang dengan segala ketulusan serta kelonggaran kalbunya memberi motivasi, do’a dan rasa cinta kasih sejati kepada saya. Inilah salah satu sumber energi saya yang tak pernah habis dan kering serta selalu menunjukkan untuk melakukan yang terbaik. Semoga Allah senantiasa memberikan hida>yah dan ma‘u>nah-Nya, perjuangan sungguh-sungguh mereka, meskipun harus hidup tertatih-tatih di tengah kesulitan dan penderitaan yang besar di dunia ini. Amin. Jakarta, Desember 2010 Penulis Muhajir

ii

ABSTRAK Kesimpulan besar disertasi ini menunjukkan bahwa pergeseran kurikulum lebih dominan dipengaruhi faktor politik. Walaupun tidak menafikan faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam mempengaruhi pergeseran kurikulum seperti faktor agama (ideologi), sosial, ekonomi dan budaya. Namun ending diputuskannya pergeseran kurikulum lebih dominan dipengaruhi oleh suatu kebijakan pemerintah yang merupakan penjabaran dari undang-undang dan tidak jauh ditetapkannya undang-undang karena syarat muatan politis. Temuan ini didasarkan oleh dua pendapat yang berbeda dalam membicarakan faktor yang mempengaruhi pergeseran kurikulum, yaitu pertama, bahwa pergeseran kurikulum dipengaruhi oleh faktor ideologi (agama), sosial, politik, ekonomi, budaya dan teknologi bahkan faktor intern pendidikan itu sendiri. Pendapat ini dikemukakan Larry Cuban dalam Hand Book of Research on Curriculum, yang di edit oleh Philip W. Jakson. Sebagaimana Cuban, Audrey Osler dalam Schooling Society and Curriculum, yang diedit oleh Alex More, juga memperkuat pendapat ini. Dalam edisi Indonesia, Anwar Jasin ketika menulis disertasinya, Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisis Perkembangan Tentang Perubahan Konseptual Kurikulum SD Sejak Proklamasi Kemerdekaan, dengan Menggunakan Bahan-bahan yang Relevan, juga identik dengan Cuban dan Audrey. Kedua, menyatakan bahwa perencanaan, perubahan dan pergeseran kurikulum dipengaruhi faktor politik, bahkan struktur politik masuk dalam situasi pendidikan. Pendapat ini dinyatakan oleh John I. Goodlad, dalam The Curriculum Studies Reader, yang diedit oleh David J. Flinders dan Stephen J. Thornton. Pernyataan Goodlad dipertegas oleh A.V. Kelly dalam The Curriculum Theory and Practice. Temuan dalam disertasi ini adalah bahwa pergeseran kurikulum lebih dipengaruhi faktor politik. Dengan demikian disertasi ini hendak memperkuat pendapat Goodlad dan Kelly, dengan satu revisi bahwa faktor politik bukan satusatunya faktor yang dapat mempengaruhi pergeseran kurikulum, karena masih ada faktor lain, yaitu ideologi (agama), sosial, ekonomi dan budaya. Disertasi ini hendak mempertegas bahwa faktor politik lebih dominan mempengaruhi pergeseran kurikulum. Temuan di dalam disertasi ini didasarkan pada sumber-sumber primer, yaitu dokumen kurikulum Madrasah Aliyah dari tahun 1950-2006, yang di dalamnya terdiri dari kurikulum Madrasah Aliyah sebelum muncul secara nasional, kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1973, 1975/1976, 1984, 1994, 2004 dan 2006. Sumbersumber ini merupakan sumber primer yang relevan dengan madrasah Aliyah. Disamping kurikulum Madrasah Aliyah juga, tiga Undang-Undang Pendidikan yaitu Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954, UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UUSPN No. 20 Tahun 2003. Adapun sumber-sumber pendukung yang mengarahkan disertasi ini adalah tulisan John I. Goodlad dalam The Curriculum Studies Reader, yang diedit oleh David J. Flinders dan Stephen J. iii

Thornton (2004) dan bukunya A.V. Kelly dalam The Curriculum Theory and Practice (2004). Dua orang ini yang teorinya akan diperkuat oleh disertasi ini. Untuk membaca sumber-sumber yang ada, semua kurikulum Madrasah Aliyah dari tahun 1950-2006 yang didokumentasikan diletakkan secara kronologis sesuai periodesasi. Karakteristik Madrasah Aliyah, dan kebijakan pendidikan pemerintah yang mempengaruhi pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah, include faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran kurikulum Madrasah Aliyah. Termasuk faktor yang dominan mempengaruhi kurikulum Madrasah Aliyah. Kesemuanya itu diletakkan dalam konteks historis (sejarah), dengan menggunakan pendekatan sejarah, kemudian dianalisis menggunakan metode komparasi (perbandingan) dan content analysis.

iv

Abstract The great conclusion of this dissertation is that the curriculum shift is dominantly influenced by political factor even though other factors such as religion, ideology, social, economy, and culture also play an important role on it. However, the decision of the curriculum shift is dominantly influenced by the government policy as the spelling out of the constitution. To decide of the law and regulation is often due to the political interest. This finding is based on two different views on the factors that influence the curriculum shift. Firstly, the curriculum shift is influenced by ideological (religious), social, political, economical, cultural, and technological factors; indeed, the internal factor of the education itself influences the curriculum shift as well. This view is stated by Larry Cuban in his work’s Hand Book of Research on Curriculum which is edited by Philip W. Jakson. Audrey Osler in his work’s Schooling Society and Curriculum edited by Alex More also supports this opinion. Similar to Cuban and Osler’s opinions, Anwar Jasin in his dissertation’s Pembaharuan Kurikulum SD di Indonesia Suatu Analisis Perkembangan tentang Perubahan Konseptual Kurikulum SD sejak Proklamasi Kemerdekaan, dengan Menggunakan Bahan-Bahan yang Relevan, also has the same opinion. Secondly, it is stated that the planning, the change, and the shift of curriculum are influenced by political factor; indeed, the structure of politics enter into the educational situation. This opinion is stated by John l. Goodlad in his work’s The Curriculum Studies Reader edited by David J. Flinders and Stephen J. Thornton. Goodlad’s statement is asserted by A.V. Kelly in his work’s The Curriculum Theory and Practice. The finding of this dissertation is that the curriculum shift is more influenced by political factor. Therefore, this dissertation will strengthen both Goodlad and Kelly’s views with one revision that political factor is not the only one that influences the curriculum shift. There are other factors that influence the curriculum shift: ideological (religious), social, economical, and cultural factors. This dissertation shows that political factor becomes more dominant in influencing the curriculum shift. The finding of this dissertation is based on the primary sources, i.e. the documents of curriculum of Madrasah Aliyah (Islamic Senior High School) from 1950-2006. These documents consist of the curriculum of Madrasah Aliyah before it nationally appears, the 1973, 1975/1976, 1984, 1994, 2004 and 2006 curriculums. These are the primary sources which are relevant to Madrasah Aliyah. Besides the curriculum of Madrasah Aliyah as stated above, the three laws of education, i.e. the laws of education of 1950 No. 4 Jo UU of 1954 No. 12, the laws of National Educational System (UUSPN) of 1989 No.2 and UUSPN of 2003 No.20, become other primary sources for this dissertation. Moreover, the works of John l. Goodlad’s The Curriculum Studies Reader edited by David J. Flinders and Stephen J. Thornton (2004) and A.V. Kelly’s The Curriculum Theory and Practice (2004) become the v

secondary sources of this dissertation. The theories of both of the two writers will be strengthened by this dissertation. To read the available sources, all of the curriculum of Madrasah Aliyah from 1950-2006 documented is put chronologically based on its periods. The characteristics of Madrasah Aliyah and the government policy on education become the factors influencing the curriculum shift of Madrasah Aliyah. Both of them dominantly influence the curriculum of Madrasah Aliyah. All of them is explained in the historical context by using historical approach and be analyzed by using comparative method and content analysis.

vi

‫اﻟﻤﻠﺨﺺ‬ ‫ﺗﺪل ھﺬه اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ أن اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﺴﯿﺎﺳﻲ ھﻮ اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻷﻛﺜﺮ ﺗﺄﺛﯿﺮا ﻓﻲ ﺗﻐﯿﯿﺮاﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﺪراﺳﻲ‪ .‬وھﺬا‬ ‫ﺑﺪون اﻟﻨﻔﻲ إﻟﻰ اﻟﻌﻮاﻣﻞ اﻷﺧﺮى اﻟﺘﻰ أﺛﺮت ﻓﻰ ذﻟﻚ اﻟﺘﻐﯿﯿﺮ ﻣﺜﻞ اﻟﻌﻮاﻣﻞ اﻟﺪﯾﻨﯿﺔ أو اﻟﻌﻘﺎﺋﺪﯾﺔ و‬ ‫اﻹﺟﺘﻤﺎﻋﯿﺔ واﻹﻗﺘﺼﺎدﯾﺔ واﻟﺜﻘﺎﻓﯿﺔ‪ .‬وﻟﻜﻦ ﻓﻰ اﻟﻨﺘﯿﺠﺔ اﻻ ﺧﯿﺮة ذﻟﻚ اﻟﺘﻐﯿﯿﺮ وﻗﻊ ﺗﺤﺖ ﺗﺄﺛﯿﺮ ﺳﯿﺎﺳﺔ‬ ‫ﻣﻌﯿﻨﺔ ﻣﻦ اﻟﺤﻜﻮﻣﺔ اﻟﻤﺘﻤﺜﻠﺔ ﻓﻰ ﺗﻔﺴﯿﺮ ﻗﺎﻧﻮن ﻣﻌﯿﻦ اﻟﺬي وﺿﻊ ﺑﺪوره ﺑﻤﻼﺑﺴﺎت ﺳﯿﺎﺳﯿﺔ ﻛﺜﯿﺮة‪.‬‬ ‫ھﺬه اﻟﺨﻼﺻﺔ ﻣﺴﺘﻨﺪة اﻟﻰ رأﯾﯿﻦ اﺧﺘﻠﻔﺎ ﻓﻲ ﺗﻌﯿﯿﻦ ﻣﺎ ھﻮ اﻟﻌﻮاﻣﻞ اﻟﻤﺆﺛﺮة ﻓﻰ ﺗﻐﯿﯿﺮ اﻟﻤﻨﮭﺞ‬ ‫اﻟﺪراﺳﻲ‪ .‬ذھﺐ اﻟﺮأي اﻷول أن اﻟﺘﻐﯿﯿﺮ ﺣﺼﻞ ﺑﺘﺄﺛﯿﺮ اﻟﻌﻮاﻣﻞ اﻟﻜﺜﯿﺮة ﻣﻦ اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻹﯾﺪﯾﻮﻟﻮﺟﻲ أو‬ ‫اﻟﺪﯾﻨﻲ واﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻲ واﻟﺴﯿﺎﺳﻲ واﻹﻗﺘﺼﺎدي واﻟﺜﻘﺎﻓﻲ واﻟﺘﯿﻜﻨﻮﻟﻮﺟﻲ ﺣﺘﻰ اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﺘﺮﺑﻮي ﻓﻲ‬ ‫ﻧﻔﺴﮫ‪ .‬ھﺬا اﻟﺮأي ﻋﺮﺿﮫ ‪ Larry Cuban‬ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﮫ ‪Hand Book of Research on‬‬ ‫‪ Curriculum‬اﻟﺬي ﺣﻘﻘﮫ ‪ .Philip W. Jakson‬و ﻗﺪ أﻛﺪ ‪ Audrey Osler‬ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﮫ‬ ‫‪ Schooling Society and Curriculum‬اﻟﺬي ﺣﻘﻘﮫ ‪ Alex More‬ھﺬا اﻟﺮأي‪ .‬و ﻗﺪ وﺻﻞ‬ ‫‪ Anwar Jasin‬ﻓﻲ رﺳﺎﻟﺘﮫ ‪Pembaruan Kurikulum SD di Indonesia Suatu‬‬ ‫‪Analisis Perkembangan Tentang Perubahan Konseptual Kurikulum SD‬‬ ‫‪Sejak Proklamasi Kemerdekaan Dengan Menggunakan Bahan-Bahan‬‬ ‫‪ Yang Relevan‬اﻟﻰ اﻟﻨﺘﯿﺠﺔ اﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ اﻟﻰ رأي ‪ Cuban‬و ‪.Audrey‬‬ ‫وذھﺐ اﻟﺮأي اﻟﺜﺎﻧﻲ أن اﻟﺘﺨﻄﯿﻂ واﻟﺘﻐﯿﯿﺮ واﻟﺘﺤﻮﯾﻞ ﻓﻰ اﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﺪراﺳﻲ ﺣﺼﻞ ﺗﺤﺖ ﺗﺄﺛﯿﺮ‬ ‫اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﺴﯿﺎﺳﻲ ﻓﻘﻂ ﺑﻞ دﺧﻞ اﻟﻜﯿﺎن اﻟﺴﯿﺎﺳﻰ إﻟﻰ اﻷوﺿﺎع اﻟﺘﺮﺑﻮﯾﺔ‪ .‬ھﺬا اﻟﺮأي ﻋﺮﺿﮫ ‪John‬‬ ‫‪ I. Goodlad‬ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﮫ ‪ The Curriculum Studies Reader‬اﻟﺬي ﺣﻘﻘﮫ ‪David J.‬‬ ‫‪ Flinders‬و ‪ .Stephen J. Thornton‬وأﻛﺪه ‪ A.V. Kelly‬ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﮫ ‪The Curriculum‬‬ ‫‪.Theory And Practice‬‬ ‫وﺟﺪت ھﺬه اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ أن اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﺴﯿﺎﺳﻲ ھﻮ اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻷﻛﺜﺮ ﺗﺄﺛﯿﺮا ﻓﻲ ﺗﻐﯿﯿﺮاﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﺪراﺳﻲ ‪.‬‬ ‫ﻓﺄﻛﺪت ھﺬه اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ رأي ‪ Goodlad‬و ‪ Kelly‬وﻟﻜﻦ ﺑﻤﻼﺣﻈﺔ واﺣﺪة وھﻲ أن اﻟﺴﯿﺎﺳﺔ ﻟﯿﺴﺖ‬ ‫ھﻲ اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﻮﺣﯿﺪ ﻷن ھﻨﺎك ﻋﻮاﻣﻞ ﻣﺆﺛﺮة أﺧﺮى وھﻲ اﻹﯾﺪﯾﻮﻟﻮﺟﻲ أو اﻟﺪﯾﻨﻲ واﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻲ‬ ‫واﻹﻗﺘﺼﺎدي واﻟﺜﻘﺎﻓﻲ‪ .‬ﻓﮭﺬه اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ أﻛﺪت أن اﻟﻌﺎﻣﻞ اﻟﺴﯿﺎﺳﻲ أﻛﺜﺮ ﺗﺄﺛﯿﺮا ﻣﻦ اﻟﻌﻮاﻣﻞ اﻷﺧﺮى‬ ‫ﻓﻰ ﺗﻐﯿﯿﺮ اﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﺪراﺳﻲ‪.‬‬ ‫اﻟﻨﺘﺎﺋﺞ اﻟﻤﻮﺟﻮدة ﻓﻰ ھﺬه اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻣﺒﻨﯿﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺼﺎدر اﻷﺳﺎﺳﯿﺔ وھﻲ اﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﺪراﺳﻲ ﻟﻠﻤﺪرﺳﺔ‬ ‫اﻟﺜﺎﻧﻮﯾﺔ )‪ (Madrasah Aliyah‬ﻣﻦ ‪ ١٩٥٠‬اﻟﻰ ‪ ٢٠٠٦‬اﻟﺘﻲ ﺗﺸﺘﻤﻞ اﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﺪراﺳﻲ ﻟﻠﻤﺪرﺳﺔ‬ ‫اﻟﺜﺎﻧﻮﯾﺔ ﻗﺒﻞ اﻟﺘﻘﻨﯿﻦ اﻟﻘﻮﻣﻲ‪ ،‬واﻟﻤﻨﺎھﺞ ﻟﻠﺴﻨﺔ ‪ ١٩٧٣‬و ‪ ١٩٧٦/١٩٧٥‬و ‪ ١٩٨٤‬و ‪ ١٩٩٤‬و‬ ‫‪ ٢٠٠٤‬و ‪ .٢٠٠٦‬ھﺬه اﻟﻤﺼﺎدر ھﻲ اﻟﻤﺼﺎدر اﻷﺳﺎﺳﯿﺔ وذات اﻟﺼﻠﺔ اﻟﻮﺛﯿﻘﺔ ﺑﺎﻟﻤﻮﺿﻮع‪.‬‬ ‫وﺑﺠﺎﻧﺐ اﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﺪراﺳﻲ ﻟﻠﻤﺪارس اﻟﺜﺎﻧﻮﯾﺔ ھﻨﺎك ﻣﺼﺎدر أﺧﺮى اﺳﺎﺳﯿﺔ وھﻲ اﻟﻘﺎﻧﻮن اﻟﺘﺮﺑﻮي‬ ‫رﻗﻢ ‪ ٤‬ﺳﻨﺔ ‪ Jo ١٩٥٠‬اﻟﻘﺎﻧﻮن اﻟﺘﺮﺑﻮي رﻗﻢ ‪ ١٢‬ﺳﻨﺔ ‪ ١٩٥٤‬و اﻟﻘﺎﻧﻮن ﻋﻦ اﻟﻨﻈﺎم اﻟﺘﺮﺑﻮي‬ ‫اﻟﻘﻮﻣﻲ رﻗﻢ ‪ ٢‬ﺳﻨﺔ ‪ ١٩٨٩‬واﻟﻘﺎﻧﻮن ﻋﻦ اﻟﻨﻈﺎم اﻟﺘﺮﺑﻮي اﻟﻘﻮﻣﻲ رﻗﻢ ‪ ٢٠‬ﺳﻨﺔ ‪ .٢٠٠٣‬وأﻣﺎ‬ ‫اﻟﻤﺼﺎدر اﻟﺜﺎﻧﻮﯾﺔ اﻟﻤﺴﺎﻋﺪة ھﻲ ﻣﺎ ﻛﺘﺒﮫ ‪ John I. Goodlad‬ﻓﻰ ﻛﺘﺎﺑﮫ ‪The Curriculum‬‬ ‫‪ Studies Reader‬اﻟﺬي ﺣﻘﻘﮫ ‪ David J. Flinders‬و ‪ Stephen J. Thornton‬وﻣﺎ ﻛﺘﺒﮫ‬

‫‪vii‬‬

‫‪ Kelly‬ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﮫ ‪ .The Curriculum Theory And Practice‬ﻓﺎﻟﻨﻈﺮﯾﺔ اﻟﻤﻌﺮوﺿﺔ ﻓﻰ ھﺬﯾﻦ‬ ‫اﻟﻜﺘﺎﺑﯿﻦ ھﻲ اﻟﺘﻲ أﻛﺪﺗﮭﺎ ھﺬه اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‪.‬‬ ‫ھﺬه اﻟﻤﺼﺎدر ﻗﺮﺋﺖ ﺑﻮﺿﻊ وﺗﺮﺗﯿﺐ اﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﺪراﺳﻲ ﻟﻠﻤﺪرﺳﺔ اﻟﺜﺎﻧﻮﯾﺔ وﻓﻖ ﻣﺮاﺣﻠﮫ اﻟﺘﺎرﺧﯿﺔ‪.‬‬ ‫أﻣﺎ ﻃﺒﯿﻌﺔ اﻟﻤﺪرﺳﺔ اﻟﺜﺎﻧﻮﯾﺔ وﺳﯿﺎﺳﺔ اﻟﺤﻜﻮﻣﺔ ﻓﻲ ﻣﺠﺎل اﻟﺘﺮﺑﯿﺔ اﻟﺘﻲ ﺗﺆﺛﺮ ﻓﻲ ﺗﻐﯿﯿﺮ ﺗﻠﻚ اﻟﻤﻨﺎھﺞ‬ ‫واﻟﻌﻮاﻣﻞ اﻷﺧﺮي اﻟﻤﺸﺘﺮﻛﺔ ﻓﻰ ھﺬا اﻟﺘﺄﺛﯿﺮﻓﻜﻠﮭﺎ وﺿﻌﺖ ﻓﻰ اﻟﻈﺮف اﻟﺘﺎرﯾﺨﻲ ﺑﺎﻟﻄﺮﯾﻘﺔ‬ ‫اﻟﺘﺎرﺧﯿﺔ ﺛﻢ ﺗﺤﻠﻞ ﺑﺎﻟﻤﻨﮭﺞ اﻟﻤﻘﺎرن و ﻣﻨﮭﺞ اﻟﺘﺤﻠﯿﻞ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺤﺘﻮي‪.‬‬

‫‪viii‬‬

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i KATA PENGANTAR ........................................................................................... ABSTRAK............................................................................................................. iv DAFTAR ISI ......................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1 B. Permasalahan ..................................................................................................... 10 C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian .................................................................... 13 D. Kajian Pustaka ................................................................................................... 14 E. Metodologi Penelitian ........................................................................................ 25 F. Sistimatika Pembahasan ..................................................................................... 29 BAB II PERGESERAN KURIKULUM DALAM PERDEBATAN...............… A. Pergeseran Kurikulum Adalah Sebuah Keniscayaan ........................................... 31 B. Pergeseran, Inovasi, Pengembangan dan Perubahan Kurikulum .......................... 36 C. Dua Pendapat yang Berbeda ............................................................................... 47 BAB III KARAKTERISTIK KURIKULUM MADRASAH ALIYAH............ 62 A. Masa Undang-Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 Jo UU No. 12 Tahun 1954 ........................................................................................................ 70 B. Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989 ............... 104 C. Masa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 ............. 113 BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH TERHADAP PERGESERAN KURIKULUM MADRASAH ALIYAH.......................................................................... 141 A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Kurikulum ................................. 141 B. Dominasi Faktor Politik ..................................................................................... 163 C. Tarik Menarik Kepentingan Partai Politik dalam Pendidikan .............................. 170 D. Kebijakan Politis Pemerintah dalam Kurikulum Madrasah.................................. 180 E. Tafsir Pergeseran ............................................................................................... 210 F. Indikator Pergeseran........................................................................................... 210 BAB V KURIKULUM MADRASAH ALIYAH MASA DEPAN ........................ 272 A. Tuntutan Pembaharuan Pendidikan Madrasah Aliyah: Upaya Mempertahankan Sisi Politis ................................................................... 272 B. Tuntutan Integritas: Menepis Dikotomi Ilmu Menyusun Keilmuan yang Ideal dalam Rangka Mewujudkan Kekuatan politis ................................................................................................................. 280 C. Tuntutan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ................................. 288 D. Tantangan Modernitas ........................................................................................ 293 BAB VI PENUTUP ............................................................................................... 315 A. Kesimpulan ...................................................................................................... 315 B. Saran ...................................................................................................... 317 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 319 LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 346 DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. 372

ix

x

320

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Tabel 1 Rencana Pelajaran Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta No. Mata Pelajaran A

B

Agama 1. Tauhid 2. Al-Qur’an a. Hafalan b. Membaca c. Tajwid d. Terjemah e. Tafsir 3. Hadis/Must}alah 4. Fikih/Ushul 5. Tarikh Umum 6. Bahasa Arab a. Mut}ala’ah b. Imlak c. Nahwu/Sharaf d. Khat 7. Bahasa Indonesia 8. Bahasa Inggris 9. Ilmu Pasti a. Aljabar b. Ilmu Ukur 10. Berhitung/Ilmu Hitung 11. Hitung Dagang 12. Pengetahuan Dagang 13. Ilmu Alam 14. Ilmu Hayat/Higien 15. Ilmu Bumi a. Pengetahuan Peta b. Alam/Pasti c. Ekonomi 16. Sejarah Indonesia/Umum

Kls 1

Kls 2

Kls 3

Kls 4

Kls 5

Jlm

1 (6) 2 2 2 2/2/1

2 (5) 2 3 2/2/1

1 (3) 3 2/2/1

2 (3) 3 2/1 2/1 1

2 (3) 1 2 2/1 2/1 1

8 (20) 4 2 1 8 5 10/2 10/2 5

(9) 3 2 2 2 4 4 (3) 2 1 2/(2) 2 1

(6) 3 2 1 4 3 (4) 2 2 1/2 2 (2) 2 2

(6) 3 2 1 4 3 (5) 2 3 1/1 1 2 2 (1) 1 2

(4) 2 2 3 4 (2) 2 -/1 1 1 3 2 (2) 1 1 2

(5) 3 2 3 3 (1) 1 -/1 (3) 1/1 1 2

(30) 14 2 10 4 18 17 (15) 9 6 4/2 2 2 6 6 (10) 6 2/2 1 9

321

17. Tata Negara 18. Menulis Latin 19. Menggambar 20. Seni Suara 21. Pendidikan Jasmani 22. Ilmu Guru a. Ilmu Mendidik b. Ilmu Jiwa 23. Ekonomi/Ethnologi 24. Filsafat/Pengetahuan Agama 25. Ke Muhammadiyahan 26. Kepanduan Jumlah

1 1 1 2 (-) 42

1 1 1 2 (-) 43

1 1 2 (-) 1 42

1 1 2 (3) 2 1 1 44

1 1 1 2 (6) 4 2 1/1 1 1 2 47

2 2 4 5 10 (9) 6 3 1/1 1 3 2 218

Tabel 2 Rencana Pelajaran Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur No. Mata Pelajaran 1

2

3

Bahasa Arab a. Imlak b. Mengarang/Pidato c. Membaca d. Hafalan e. Khat f. Nahwu/Sharaf g. Balaghah h. Adab Lughah Ilmu-ilmu Agama a. Al-Qur’an b. Tajwid c. Tafsir d. Hadis e. Must}alah Hadis f. Ushul Fikih g. Aqaid/Agama h. Mantiq i. Tarikh Islam Ilmu-ilmu Umum

Kls 1 12 1 6 3 1 1 10 2 1 2 1 2 2 17

Kls 2 12 1 4 3 1 1 2 10 2 1 2 1 2 2 17

Kls 3 12 1 4 3 1 1 2 9 2 1 2 2 2 18

Kls 4 13 1 3 3 1 1 2 7 2 1 2 1 1 19

Kls 5 11 2 2 1 2 2 2 8 2 1 2 2 1 20

Kls 6 11 3 2 1 2 2 2 11 2 2 2 2 2 1 18

322

1. Berhitung 2. Al-Jabar 3. Ilmu Ukur 4. Ilmu Alam 5. Ilmu Hayat 6. Sejarah Indonesia/Umum 7. Ilmu Bumi 8. Ilmu Pendidikan/Ilmu Jiwa 9. Praktek Mengajar 10. Tata Negara 11. Gerak Badan 12. Menggambar/Seni Suara 13. Bahasa Indonesia 14. Bahasa Inggris Jumlah

2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 1 Di luar jam pelajaran Di luar jam pelajaran 2 2 1 2 2 3 39 39 39

2 2 2 3 2 2 2

2 2 2 1 2 3 2 2

1 1 1 3 2 3 4 -

1 3 39

1 3 39

1 3 40

Tabel 3 Rencana Pelajaran Sekolah Guru P.U.I 6 Tahun Jawa Barat No. Mata Pelajaran A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 B 14 15 16 17

Pokok Al-Qur’an/Tafsir Hadis/Must}alah Tauhid/Mantiq Bahasa Arab Fikih/Ushul Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Bahasa Daerah Ilmu Guru/Jiwa Ilmu Bumi/Alam Sejarah Indonesia/Umum Tata Negara Ekonomi Penting Tarikh Islam/Kebudayaan Faraidl Akhlak Ilmu Hayat

Kls 1

Kls 2

Kls 3

Kls 4

Kls 5

Kls 6

3 1 1 7 2 4 2 1 2 2 -

3 1 1 7 2 4 2 1 2 2 -

3 1 1 7 2 4 2 1 2 2 -

3 2 1 8 2 4 3 1 4 2 2 -

3 2 2 7 2 4 3 1 1 2 2 1 1

3 2 2 7 2 4 3 1 4 2 2 1 1

1 1 2

1 1 2

1 1 1 2

1 1 1 2

1 1 1 1

1 1 1 1

323

18 19 20 21 C 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Aljabar Ilmu Ukur Ilmu Alam Ilmu Kimia Pelengkap Al-Adyan ’Arudl Miqat Ilmu Berhitung Gerak Badan Menggambar/Menulis Seni Suara Kerajinan Tangan/Pertanian Etnologi/Sosiologi Kepanduan Jumlah

2 2 1 -

2 2 1 -

2 2 1 -

2 1 1

1 1 1

1 1 1

1 2 1 1 1 2 42

1 2 1 1 1 2 42

2 1 1 1 2 42

2 1 2 44

1 1 1 1 2 44

1 1 1 1 1 2 44

Tabel 4 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)1 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

AkaDemis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu pengetahuan Sosial Fisika (mayor)

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 3

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 3 3

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 3 3

2 2 3 2 2 6 3 3 4 4

2 2 3 2 2 6 3 3 4 4

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1976), 9.

12 12 18 12 12 8 8 36 18 22 22 6 6 17

324

15 16 17

Ketrampilan

18 19

Kimia (mayor) Biologi (mayor) Bumi Antariksa (minor) Bahasa Asing (minor) Menggambar (minor) Pilihan Terikat Pilihan Bebas Jumlah

-

3 2 2

3 2 2

3 2 2

4 4 2

4 4 2

17 14 10

44

3 44

3 44

3 44

3 44

3 44

9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat.

Tabel 5 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)2 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

Akademis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

2

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Fisika (mayor) Kimia (mayor) Biologi (mayor) Geografi Antropologi (minor)

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 3 2 2 2

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 3 3 2 2

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 3 3 3 2 2

2 2 3 2 2 6 3 3 4 4 4 4 2

2 2 3 2 2 6 3 3 4 4 4 4 2

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 10-11.

12 12 18 12 12 8 8 36 18 22 22 6 6 12 16 14 10

325

Ketrampilan

18 19

Bumi Antariksa (minor) Bahasa Asing (minor) Menggambar Pilihan Terikat Pilihan Bebas Jumlah

-

2

2

2

2

2

10

44

3 44

3 44

3 44

3 44

3 44

9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat. Tabel 6 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Bahasa3 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

Akademis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

3

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu pengetahuan Sosial Bahasa Asing (mayor) Sejarah (mayor) Geografi Antropologi (mayor) Bahasa Daerah Menggambar (minor) IPS (minor) Ekonomi – Koperasi (minor)

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 3 2 2 2 2 2 5 5 5 3 2 2 2

2 2 3 2 2 2 2 2 5 5 5 3 2 2 2

2 2 3 2 2 2 2 5 5 5 3 2 2 2

2 2 3 2 2 7 7 7 2 5 2

2 2 3 2 2 7 7 7 2 3 2

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 9-10.

12 12 18 12 12 8 8 10 32 33 33 6 6 13 8 6 6 10

326

Ketrampilan

18 19

Pilihan Terikat Pilihan Bebas Jumlah

44

3 44

3 44

3 44

3 44

3 44

9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat. Tabel 7 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Syari’ah / Agama4 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

Akademis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 4

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Filsafat Islam Perbandingan Agama Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Sejarah Tata Buku – Hitung Dagang Geografi - Antropologi Tafsir – Ilmu Tafsir (mayor) Hadis – Ilmu hadis (mayor) Fiqh – Ushul Fiqh – mantiq (mayor) Tarikh – Tasyri’ (mayor) Menggambar (minor)

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 2 2 2 3 3 4 3 3 4 3 4

2 2 2 2 2 3 3 4 3 3 4 3 4

2 2 2 2 2 3 3 4 3 3 4 3 4

2 2 2 3 2 3 3 4 3 2 2 3 3 3

2 2 2 3 2 3 3 4 3 2 2 3 4 4

12 2 3 12 12 8 8 6 4 21 18 24 19 6 6 9 4 4 18 16 18

-

2 -

2 -

2 -

2 -

2 -

10 -

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 11.

327

Ketrampilan

24 25

-Ekonomi Koperasi (minor) -Bahasa Asing (minor) Pilihan Terikat Pilihan Bebas Jumlah

-

2

2

2

2

2

10

44

3 44

3 44

3 44

3 44

3 44

9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat. Tabel 8 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 1975 Jurusan Qodlo / Peradilan Agama5 KLS, SMT DAN JUMLAH JAM PELAJARAN PERMINGGU PRO GRAM Umum

Akademis

N O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

5

BIDANG STUDI

Akhlak – Ilmu Tauhid Al-Qur’an Hadis Syari’ah Pendidikan Moral Pancasila Pendidikan Olahraga Kesehatan Pendidikan Kesenian Sejarah Kebudayaan Islam Filsafat Islam Perbandingan Agama Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Administrasi - Manajemen Pengantar Ilmu hukum Human Relation (mayor) Hukum Pidana (mayor) Hukum Perdata (mayor) Hukum Acara Hukum Adat

I

II

J M L

III

1

2

3

4

5

6

2 2 3 2 2 2 2 6 3 4 4 6 6 -

2 2 2 2 2 2 3 4 3 3 3 2 3 -

2 2 2 2 2 2 3 4 3 3 2 2 2

2 2 2 2 2 2 3 4 3 2 3 2 2

2 2 2 3 2 3 6 3 2 2 3 2

2 2 2 3 2 3 4 3 2 5 2

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Kurikulum, Administrasi, Supervisi, Bimbingan Penyuluhan dan Penilaian, 11-12.

12 2 3 12 12 8 8 6 4 12 18 26 19 6 6 8 3 4 7 9 8 8

328

22 23

Ketrampilan

Fiqh - Ushul Fiqh - Mantiq Tafsir – Ilmu Tafsir Hadis - Ilmu hadis Tarikh Tasyri’ Menggambar -Ekonomi Koperasi (minor) -Bahasa Asing (minor) Praktek Peradilan Agama Pilihan Terikat Pilihan Bebas JUMLAH

-

2 2 2 2

2 2 2 2 2

2 2 2 2 2

2 2 2 2

2 2 2 2

10 10 10 4 10

44

3 44

3 44

3 44

4 3 44

4 3 44

8 9 6 264

Keterangan: 1. Untuk semester I kelas 1 semua jurusan adalah orientasi studi 2. Ketrampilan keagamaan menggunakan alokasi waktu pada ketrampilan bebas dan terikat. Tabel 9 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Diniyah6 No 1

Materi Pelajaran Tafsir Al-Qur’an

2

Ilmu tafsir

3

Hadis

4

Musthalah

5

Tauhid

6

Fiqh

6

Nama Kitab 1. Tafsir Jalalain 2. Tafsir al-Maraghi 3. Tafsir Munir 1. al-Tibyan fi Ulumil Qur’an 2. Mabahis fi Ulumil Qur’an 3. Manahil al-Irfan 1. Mukhtar al-Ahadis 2. Bulugh al-Maram 3. Jawahir al-Bukhari 4. al-Jami’ al-Shaghir 1. Mihnah al-Muhith 2. Al-Baiquniyah 1. Tuhfah al-Murid 2. Al-Husun al-Hamidiyah 3. Al-Aqidah al-Islamiyah 4. Kifayah al-’Awam 1. Kifayatul Ahyar 2. Fathul Mu’in

Depag RI, Pondok Pesantren dan Madrasah: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: Dirjen Bagais, 2003), 34.

329

7

Ushul Fiqh

8

Nahwu dan Saraf

9

Akhlaq

10 11

Tarikh Balaghah

3. Mahalli 1. Al-Waraqat 2. Al-Sulam 3. Al-bayan 4. Al-Luma’ 1. Alfiyah Ibnu Malik 2. Qawaid al-Lughah al-Arabiyah 3. Syarh Ibnu Aqil 4. Al-Syabrawi 1. Minhajul Abidin 2. Irsyad al-Ibad 1. Ismam al-Wafaq 1. Jauhar Maknun 2. Juman

330

Tabel 10 Susunan Program Kurikulum 1994 Madrasah Aliyah kelas I dan II7 No. 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10.

11.

Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan Pendidikan Agma Islam: a. Qur’an Hadits b. Fiqh c. Aqidah - Akhlak Bahasa Indonesia dan Sastera Indonesia Sejarah Nasional dan Umum Bahasa Arab Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Matematika Ilmu Pengetahuan Alam: a. Fisika b. Biologi c. Kimia Ilmu Pengetahuan Sosial: a. Ekonomi b. Sosiologi c. Geografi Pendidikan Seni Jumlah

7

Kelas I 2

Kelas II 2

2 2 1 5 2 2 4 (2) 6

2 2 1 5 2 2 4 (2) 6

5 4 3

5 4 3

3 2 2 45

3 2 2 45

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994, Landasan, Program dan Pengembangan (Jakarta: Depag RI, 1993). Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999/2000), 393.

331

Tabel 11 Susunan Program Kurikulum 1994 Madrasah Aliayah kelas III Program Bahasa8 No.

Mata Pelajaran

Jumlah Jam Pelajaran

Umum: 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: a. Qur’an Hadits b. Fiqh c. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

Khusus: 8. 9. 10. 11.

Bahasa dan Sastra Indonesia Bahasa Inggris Bahasa Asing lain Sejarah Budaya Jumlah

8 6 9 5 45

Keterangan: *) Dilaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. Penentuan mata pelajaran bahasa asing lain ditentukan oleh madrasah berdasarkan keadaan dan kebutuhan madrasah yang bersangkutan. Siswa memilih mata pelajaran bahasa asing yang diselenggarakan oleh madrasah.

8

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 394.

332

Tabel 12 Susunan Program Kurikulum 1994 Madrasah Aliyah kelas III Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)9 No.

Mata Pelajaran

Jumlah Jam Pelajaran

Umum: 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: d. Qur’an Hadits e. Fiqh f. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

Khusus: 8. 9. 10. 11.

Fisika Biologi Kimia Matematika Jumlah

7 7 6 8 45

Keterangan: *) Dilaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah.

9

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 395.

333

Tabel 13 Susunan Program Kurikulum 1994 Madrasah Aliyah kelas III Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)10 No.

Mata Pelajaran

Jumlah Jam Pelajaran

Umum: 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: g. Qur’an Hadits h. Fiqh i. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

Khusus: 8. 9. 10. 11.

Ekonomi Sosiologi Tata Negara Antropologi Jumlah

10 6 6 6 45

Keterangan: *) Dilaksanakan kegiatan ekstrakurikuler dan disesuikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. 1. Satu jam pelajaran berlangsung 45 menit. 2. Jumlah jam pelajaran/minggu sebanyak 45 jam pelajaran. 3. Jumlah jam pelajaran satu minggu sebagaimana tercantum dalam susunan program kurikulum Madrasah Aliyah di atas adalah jam pelajaran minimum yang diselenggarakan secara klasikal.

10

Depag RI, Kurikulum Madrasah Aliyah tahun 1994. Lihat juga, Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pendidikan Nasional (Keputusan Menteri Agama RI Nomor 370 tahun 1993 Tentang Kurikulum Madrasah Aliyah, 396.

334

Tabel 14 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Model11 Kelas I dan II NO

1 2

3 4 5 6 7 8 9

10

11

MATA PELAJARAN

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama islam: a. Qur’an hadis b. Fiqh c. Aqidah Akhlak Bahasa dan Sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Sejarah Umum Bahasa Arab Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*) Matematika Ilmu Pengetahuan Alam: a. Fisika b. Biologi c. Kimia Ilmu Pengetahuan Sosial: a. Ekonomi b. Sosiologi c. Geografi Pendidikan Seni JUMLAH

JUMLAH JAM PELAJARAN Kelas Kelas II 1 2 2 2 2 1 5 2 2 4 (2) 6

2 2 1 5 2 2 4 (2) 6

5 4 3

5 4 3

3 2 2 45

3 2 2 45

Keterangan: *) Dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah.

11

Depag RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan madrasah Model (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2002), 4-5.

335

Tabel 15 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Model12 Kelas III Program Bahasa NO

1 2

1 2 3 4 5

1 2 3 4

MATA PELAJARAN

JUMLAH JAM PELAJARAN

UMUM Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: a. Qur’an Hadis b. Fiqh c. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa dan sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Sejarah Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

KHUSUS Bahasa dan sastra Indonesia Bahasa Inggris Bahasa Asing lain**) Sejarah Budaya JUMLAH

8 6 9 5 45

2

Keterangan: *) Dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. Tabel 16 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Model Kelas III Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)13 MATA PELAJARAN JUMLAH JAM PELAJARAN

NO

1 2

UMUM Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam:

2

12

Depag RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan madrasah Model, 5.

13

Depag RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan madrasah Model, 5.

336

1 2 3 4 5

1 2 3 4

a. Qur’an Hadis b. Fiqh c. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa dan sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Sejarah Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

KHUSUS Fisika Biologi Kimia Matematika JUMLAH

7 7 6 8 45

Keterangan: *) Dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. Tabel 17 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Model Kelas III Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)14 NO

MATA PELAJARAN

JUMLAH JAM PELAJARAN

1 2 3 4 5

UMUM Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Pendidikan Agama Islam: a. Qur’an Hadis b. Fiqh c. Sejarah Kebudayaan Islam Bahasa dan sastra Indonesia Sejarah Nasional dan Sejarah Umum Bahasa Arab*) Bahasa Inggris Pendidikan Jasmani dan Kesehatan*)

2 2 1 3 2 (2) 5 (2)

1

KHUSUS Ekonomi

10

1 2

14

2

Depag RI, Pedoman Umum Pengembangan dan Pengelolaan Madrasah Model, 5.

337

2 3 4

Sosiologi Tata Negara Antropologi JUMLAH

6 6 6 45

Keterangan: *) Dilaksanakan dalam kegiatan ekstra kurikuler dan disesuaikan dengan kesempatan yang tersedia di lingkungan madrasah. Tabel 18 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Bersama (kelas X)15 Mata Pelajaran 1

2 3

4 5 6 7

8

9 10

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Ahlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa a. Bahasa dan Sastera Indonesia b. Bahasa Arab c. Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Ilmu Pengetahuan Sosial a. Sejarah b. Geografi c. Ekonomi d. Spsiologi Ilmu Pengetahuan Alam a. Fisika b. Kimia c. Biologi Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan / Bahasa Asing 15

Alokasi Waktu Kelas X 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 3 4 4 *) *)

4 3 4 4 *) *)

2 2 2

3 2 2 2

3 3 3 3 *)

3 3 3 3 *)

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 25.

338

11

Muatan Lokal

*) 42

JUMLAH

*) 42

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu. Tabel 19 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Studi Ilmu Alam16

Mata Pelajaran 1

2 3

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Akhlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa a. Bahasa dan Sastera Indonesia b. Bahasa Arab c. Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Geografi Fisika Kimia Biologi Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan/Bahasa Asing Muatan Lokal JUMLAH

Smt 1

Alokasi Waktu Kelas XI-XII Smt Smt 2 1

2 2 2 2

2 2 2 2

2 2 2 2

2 2 2 2

4 3 4 6 *) *) 2 5 5 5 3 *) *) 45

4 3 4 6 *) *) 2 5 5 5 3 *) *) 45

4 3 4 6 *) *) 2 5 5 5 3 *) *) 45

4 3 4 6 *) *) 2 5 5 5 3 *) *) 45

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu.

16

Smt 2

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 26.

339

Tabel 20 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Studi Ilmu Sosial17

Mata Pelajaran 1

2 3

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Akhlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa a. Bahasa dan Sastera Indonesia b. Bahasa Arab c. Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Sejarah Geografi Ekonomi Sosiologi Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan/Bahasa Asing Muatan Lokal JUMLAH

Smt 1

Alokasi Waktu Kelas XI-XII Smt Smt 2 1

2 2 2 3

2 2 2 3

2 2 2 2

2 2 2 2

4 3 4 4 *) *) 3 4 6 5 3 *) *) 45

4 3 4 4 *) *) 3 4 6 5 3 *) *) 45

4 3 4 4 *) *) 3 4 6 5 3 *) *) 42

4 3 4 4 *) *) 3 4 6 5 3 *) *) 42

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu.

17

Smt 2

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 27.

340

Tabel 21 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Studi Bahasa18

Mata Pelajaran 1

2 3 4 5 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Akhlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Bahasa Arab Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Sejarah Antropologi Sastera Indonesia Bahasa Asing lain Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan/Bahasa Asing Muatan Lokal JUMLAH

Smt 1 2 2 2 2 5 4 6 4 *) *) 3 2 3 6 2 *) *) 44

Alokasi Waktu Kelas XI-XII Smt Smt 2 1 2 2 2 2 5 4 6 4 *) *) 3 2 3 6 2 *) *) 44

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu.

18

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 30.

2 2 2 2 4 4 5 4 *) *) 3 2 3 5 2 *) *) 41

Smt 2 2 2 2 2 4 4 5 4 *) *) 3 2 3 5 2 *) *) 41

341

Tabel 22 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2004 Program Studi Ilmu Agama Islam19

Mata Pelajaran 1

2 3

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pendidikan Agama Islam a. Al-Qur’an Hadis b. Aqidah Akhlak c. Fiqh d. Sejarah Kebudayaan Islam Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa a. Bahasa dan Sastera Indonesia b. Bahasa Arab c. Bahasa Inggris Matematika Kesenian Pendidikan Jasmani Tafsir dan Ilmu Tafsir Ilmu Hadis Ushul Fiqh Tasawuf Teknologi Informasi dan Komunikasi Ketrampilan/Bahasa Asing Muatan Lokal JUMLAH

Smt 1

Alokasi Waktu Kelas XI-XII Smt Smt 2 1

2 2 2 2 3

2 2 2 2 3

2 2 2 2 2

2 2 2 2 2

3 5 4 4 *) *) 4 3 4 2 2 *) *) 45

3 5 4 4 *) *) 4 3 4 2 2 *) *) 45

3 4 4 4 *) *) 4 3 4 2 2 *) *) 42

3 4 4 4 *) *) 4 3 4 2 2 *) *) 42

*) Diatur sendiri oleh madrasah, alokasi waktu maksimal 2 jam perminggu.

19

Smt 2

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2004, 28.

342

Tabel 23 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Keagamaan Bidang Pengembangan 1. Pendidikan Karakter 2. Pendidikan Akademis

3. Pendidikan Ketrampilan

4. Unggulan Sekolah

Mata Pelajaran 1. Pendidikan Akhlak 2. Kewarganegaraan 3. Bahasa dan Sastra Indonesia 1. Qur’an Hadis 2. Ilmu tafsir 3. Ilmu hadis 4. Fiqh 5. Ushul Fiqh 6. Tauhid – Tasawuf 7. Sejarah Peradaban Islam 8. Bahasa Arab 9. Matematika 10. Science 11. Ilmu Sosial 12. Bahasa Inggris 1. Olahraga 2. Kesenian 3. Komputer 4. Akuntansi 5. Vokasional 1. Kajian Islam 2. Pengantar Penelitian 3. Bahasa Asing lain (**)

I 2 2 2 4 2 2 3 2 2 2 4 3 3 3 4 40 (2) (2) (2) (2) (*) (2) (2) (2)

Kelas I 2 2 2 4 2 2 3 2 2 2 4 3 3 3 4 40 (2) (2) (2) (2) (*) (2) (2) (2)

I 2 2 2 4 2 2 3 2 2 2 4 3 3 3 4 40 (2) (2) (2) (2) (*) (2) (2) (2)

Keterangan: (*) Program Paket (pilihan) (...) Kegiatan Terpogram (**) Bahasa Asing (pilihan): Bahasa Perancis, Bahasa Cina, Bahasa Urdu, Bahasa Persi.

343

Tabel 24 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas X20 Komponen A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Arab 5. Bahasa Inggris 6. Matematika 7. Fisika 8. Biologi 9. Kimia 10. Sejarah 11. Geografi 12. Ekonomi 13. Sosiologi 14. Seni Budaya 15. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 16. Teknologi Informasi dan Komunikasi 17. Ketrampilan/Bahasa Asing B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

Alokasi Waktu Smt I Smt II 4 2 4 2 4 4 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2*) 42

4 2 4 2 4 4 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2*) 42

Keterangan: 1. Pendidikan Agama Islam terdiri atas: Al-Qur’an hadis, Aqidah Akhlak dan Fiqh. 2. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan potensi dan ciri khas daerah, termasukk keunggulan daerah yang materinya tidak dapat dikelompokkan terhadap mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. Pengembangan diri bukan 20

Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006), 6.

344

merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan

kesempatan

pada

peserta

didik

untuk

mengembangkan

dan

mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh kanselor, guru tau tenaga kependidikan yang dpat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. *) 2 jam pembelajaran. Tabel 25 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas XI dan XII Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)21 Alokasi Waktu Kelas XI Komponen

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Arab 5. Bahasa Inggris 6. Matematika 7. Fisika 8. Kimia 9. Biologi 10. Sejarah 11. Geografi 12. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 13. Teknologi Informasi dan Komunikasi 14. Ketrampilan / Bahasa Asing B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

21

Kelas XII

Smt 1

Smt 2

Smt 1

Smt 2

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, 7.

345

Keterangan: 1. Pendidikan agama islam terdiri atas: Al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqh dan SKI. 2. *) Ekuivalen 2 jam pembelajaran. Tabel 26 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas XI dan XII Program Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)22 Alokasi Waktu Kelas XI Komponen

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Arab 5. Bahasa Inggris 6. Matematika 7. Fisika 8. Kimia 9. Biologi 10. Sejarah 11. Geografi 12. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 13. Teknologi Informasi dan Komunikasi 14. Ketrampilan / Bahasa Asing B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

Kelas XII

Smt 1

Smt 2

Smt 1

Smt 2

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

4 2 4 2 4 4 4 4 4 1 2 2 2 2 2 2*) 43

Keterangan: 1. Pendidikan agama Islam terdiri atas: Al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqh dan SKI.

22

Departemen Agama RI, Standar Isi Madrasah Aliyah, 8.

346

2. *) Ekuivalen 2 jam pembelajaran. Tabel 27 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas XI dan XII Program Bahasa23 Alokasi Waktu Komponen

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa arab 5. Bahasa Inggris 6. Matematika 7. Sastra Indonesia 8. Bahasa Asing 9. Antropologi 10. Sejarah 11. Seni Budaya 12. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 13. Teknologi Informasi dan Komunikasi 14. Keterampilan B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

Kelas XI

Kelas XII

Smt 1

Smt 2

Smt 1

Smt 2

2*) 2 5 2**) 5 3 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2***) 39

2*) 2 5 2**) 5 3 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2***) 39

2*) 2 5 2**) 5 3 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2***) 39

2*) 2 5 2**) 5 3 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2***) 39

*) Bila untuk kurikulum Madrasah Aliyah maka alokasi waktunya 4 jam pelajaran per minggu. **) Untuk kurikulum SMA, bahasa Arab ditiadakan. ***) Ekuivalen 2 jam pembelajaran.

23

E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis, 60.

347

Tabel 28 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Tahun 2006 Kelas XI dan XII Program Keagamaan24 Alokasi Waktu Kelas XI

Komponen

A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama Islam 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Matematika 6. Tafsir dan Ilmu Tafsir 7. Ilmu Hadis 8. Ushul Fiqh 9. Tasawuf / Ilmu Kalam 10. Seni Budaya 11. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan kesehatan 12. Teknologi Informasi dan Komunikasi 13. Keterampilan B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah

Kelas XII

Smt 1

Smt 2

Smt 1

Smt 2

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2*) 38

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2*) 38

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2*) 38

2 2 4 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2*) 38

2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran ditentukan. Tabel 29 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Kejuruan25 Program Keahlian ditetapkan oleh Madrasah No 1

Program Normatif 24 25

Pendidikan dan Latihan 1. Pendidikan Agama Islam (Al-Qur’an Hadis,

Alokasi Waktu 216

E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Suatu Panduan Praktis, 61.

Departemen Agama RI, Kerangka Dasar dan Struktur Kurikuulum 2004 untuk RA, MI, MTs dan MA (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 2004), 31 – 32.

348

II

III

Adaptif

Produktif

Aqidah Akhlak, Fiqh dan SKI) 2. Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah 3. Olahraga dan Kesehatan 4. Bahasa Indonesia 1. Bahasa Inggris 2. Bahasa Arab 3. Matematika 4. Ketrampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi 5. Kewirausahaan 6. ...............**) 1. ...............***) 2. ............... ***) 3. ............... ***) Jumlah

144 144 216 Sesuai Program Keahlian

Sesuai Program Keahlian

Tabel 30 Struktur Kurikulum Madrasah Aliyah Kejuruan Program Ketrampilan26 No 1

Ketrampilan Otomotif A

2

Elektronika A

26

Materi 1. Teknik Pengajaran Logam 2. Gambar Teknik 3. Dasar-dasar Motor 4. Unit Motor 5. Sistem Bahan Bakar 6. Sistem Kelistrikan 7. Chasis 8. Tune Up 9. Pengelolaan Usaha 10. Magang Jumlah 1. Listrik Dasar 2. Elektronika Dasar 3. Pembuatan Pesawat Elektro 4. Rangkaian Elektro 5. Teknik Elektronika 6. Teknik Audio

Profil MAN Jember 1 2006 – 2007, 64.

Jumlah Jam 91 35 12 258 144 164 254 86 86 36 1080 30 84 36 98 108 84

349

3

Tata Busana A

4

Pertanian

5

Komputer

6

Bahasa Inggris

7. Teknik Radio 8. Teknik Televisi 9. Pengelolaan Usaha 10. Magang Jumlah 1. Alat Menjahit 2. Teknologi Menjahit 3. Pengetahuan Bahan Tekstil 4. Pembuatan Pola 5. Teknik Menghias Kain 6. Desain Busana 7. Busana Anak 8. Busana Wanita 9. Busana Pria 10. Pengelolaan Usaha 11. Magang Jumlah 1. Dasar-dasar Pasca Usaha Tani 2. Iklim, Prinsip Penanaman, Pemeliharaan dan Pengelolaan 3. Bercocok Tanam Sayur, Buah dan Mangga 4. Tanaman Pekarangan 5. Budidaya Tanaman 6. Dasar-dasar Perikanan Darat 7. Dasar-dasar Pertanian Campuran 8. Bercocok Tanam Padi dan Palawija 9. Teknik Beternak Ikan 10. Budidaya Tanaman Perkebunan 11. Dasar-dasar Peternakan 12. Teknik Beternak 13. Dasar – dasar Mekanisme Pertanian 14. Teknik Pengoperasian dan Merawat Alat-alat Mekanisme Pertanian 15. Magang Jumlah Microsoft Word Microsoft Excel Jumlah 1. Tingkat Dasar 2. Tingkat Menengah 3. Tingkat Lanjut

124 318 162 36 1080 30 84 36 98 108 84 124 318 162 36 160 1080 30 120 40 80 40 50 200 40 60 60 40 60 100 40 36 1080 46 46 92

350

7

Bahasa Arab

Tingkat Dasar