perlindungan hukum terhadap isteri atas masalah harta - Undip

35 downloads 70 Views 284KB Size Report
seperti gugatan perceraian, hak asuh anak, nafkah isteri dan nafkah anak. ..... dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga ..... gugatan. Contoh gugatan yang tidak mensyaratkan adanya koneksitas misalnya ...
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI ATAS MASALAH HARTA YANG DIPERSENGKETAKAN DALAM GUGATAN HARTA BERSAMA DALAM PERKARA PERCERAIAN ( STUDI DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG )

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajad S2 Program Studi Magister Kenotariatan

Oleh: Evi Widyagung Prabandari B4B 007 076

PEMBIMBING: H. Mulyadi, SH, MS Yunanto, SH, MHum

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 © Evi Widyagung Prabandari 2009

Halaman Pengesahan PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI ATAS MASALAH HARTA YANG DIPERSENGKETAKAN DALAM GUGATAN HARTA BERSAMA DALAM PERKARA PERCERAIAN (STUDI DI PENGADILAN AGAMA SEMARANG)

Disusun Oleh: Evi Widyagung Prabandari B4B 007 076

Dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 13 Maret 2009

Pembimbing I,

Pembimbing II,

H. Mulyadi, SH, MS NIP. 130529429

Yunanto, SH, MHum NIP. 131689627 Mengetahui,

Ketua Program Magister Kenotariatan UNDIP

H. Kashadi, SH, MH NIP. 131124438

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama, Evi Widyagung Prabandari, SH, dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut: 1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam tesis ini tidak terdapat karya orang lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi / lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka. 2. Tidak

berkeberatan

untuk

dipublikasikan

oleh

Universitas

Diponegoro dengan sarana apapun, baik seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan akademik / ilmiah yang non komersial sifatnya.

Semarang, 30 Januari 2009 Yang Menyatakan,

Evi Widyagung Prabandari, SH B4B 007 076

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadlirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penelitian untuk tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Atas Harta Yang Dipersengketakan Dalam Gugatan Harta Bersama Dalam Perkara Perceraian”. Selama penelitian ini berlangsung penulis telah banyak memperoleh dukungan dan bimbingan serta kerjasama dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya disampaikan kepada: 1. Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, MS.Med., SP.And, selaku Rektor Universitas Diponegoro. 2. Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. 3. Bapak Kashadi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. 4. Bapak Dr. Budi Santoso, SH, MS, selaku Sekretaris I Bidang Akademik Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. 5. Bapak H. Mulyadi, SH, MS, Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, saran dan petunjuk. 6. Bapak Yunanto, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran dan petunjuk. 7. Bapak Suradi, SH, MHum, selaku Dosen Wali pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.

8. Bapak Moch. Dja’is, SH, CN, MHum, selaku Dosen Penguji atas saran dan masukannya. 9. Para dosen Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, atas ilmu yang diberikan. 10. Staf pengajaran Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. 11. Ketua Pengadilan Agama Semarang beserta staf, atas ijin penelitian dan bantuan untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam pembuatan tesis ini. 12. Bapak Drs. H. Mochamad Nor Hudlrien, SH, MH, Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang selaku nara sumber dalam penelitian. 13. Bapak Zainal Abidin, S.Ag., Panitera Muda Bidang Hukum Pengadilan Agama Semarang, atas kerjasama yang sangat baik dalam menyediakan data selama penelitian. 14. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta. 15. Ibu Srikantun Pujiastuti, SH, Kasi Tata Persidangan pada Subdit Tata Kelola Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Mahkamah Agung Republik Indonesia. 16. Yanda Drs. H. Achmad Hadi, Dinda Wimbi Dariagung Risnawati, S.Pt, dan Ristian Danuagung Restuadi, S.Pt, atas dukungan moril dan materiil. 17. Joseph Jean August Christoffels dan Nanda Jeff Jordan Christoffels, atas dukungan moril dan materiil.

18. Manajemen Tribu NV, atas dukungan moril dan materiil. 19. Rekan-rekan Magister Kenotariatan Undip Angkatan 2007, atas dukungan yang tiada henti.

Penulis menyadari dengan keterbatasan waktu, tenaga dan pikiran maka tidak menutup kemungkinan hasil dari penelitian ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran konstruktif dari pembaca selalu diharapkan sehingga akan dapat memperbaiki kekurangan yang ada.

Semarang, 30 Januari 2009 Penulis

ABSTRAKSI Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memberikan informasi secara umum mengenai perlindungan isteri atas harta bersama yang dipersengketakan. Perlindungan tersebut dapat berupa sita marital dan gugatan harta bersama. Gugatan harta bersama dapat dikomulasikan bersama gugatan lain seperti gugatan perceraian, hak asuh anak, nafkah isteri dan nafkah anak. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Empiris. Pendekatan yuridis karena penelitian bertitik tolak dengan menggunakan kaedah hukum dan peraturan yang terkait dengan harta bersama, gugatan dan perceraian. Empiris karena pendekatan bertujuan memperoleh data mengenai perlindungan hukum terhadap isteri atas sengketa harta bersama. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa komulasi gugat hanya merupakan wewenang Pengadilan Agama yang tidak terdapat pada peradilan lain. Tujuannya adalah peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Hakim dalam mengadili perkara melihat secara kasuistis, sehingga dapat memutus berdasarkan keadilan. Misal, apabila isteri mempunyai kontribusi besar dalam harta bersama sedangkan suami tidak bekerja dan berperangai buruk, maka pembagian harta bersama tidak masing-masing setengah, melainkan bagiannya dapat ditetapkan lain, misalnya isteri memperoleh tiga perempat dan suami seperempat bagian sehingga isteri tidak dirugikan dan hak-haknya atas harta bersama terlindungi. Kendala yang timbul berupa keterbatasan informasi hukum, gugurnya nafkah iddah dan mut’ah, waktu penyelesaian yang berlarut-larut, praktik beracara antar perkara mempunyai prosedur yang berbeda menurut undang-undang sehingga tidak jarang terjadi tumpang tindih, dan cara yang digunakan oleh hakim dalam mengadili perkara komulasi gugat yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang dapat berbenturan dengan visi peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

Kata-kata kunci: harta, perceraian, gugatan

ABSTRACT

The main aim of this research is to provide general information due to law protections toward wives in the dispute of community property. Exertion of law protections as mentioned contains community property confiscation and legal claim of community property, which can be cumulated into other legal claims such as procedure of divorce, child custody, mut’ah and iddah maintenance, and child support. This research employs Empirical - Juridical Approach Method. Empirical Approach explores law norms and regulations which related to community property, legal claim and divorce. Whilst Juridical Approach basically aimed to capture data concerning protection of law toward wives within community property disputes. Based on the research conducted, however known that Legal Claims Cumulation is authority of Religion Court and not available at any other courts. The aims of this cumulation are basically to fulfil judicature system which are quick, low cost and simple. The judge administering the law based on each case, thus justice and justification is upholding to the law. For example, the wife contributes larger than husband during marriage while the husband jobless and acts inappropriately, therefore court may decree an equitable distribution of community property, which resulting an unequal division of such as three fourth for wife and a quarter for husband. The obstacles are due to lack of informations; fail of mut’ah and iddah maintenance; such legal claims cumulation may prolonged; practically this cumulation encounter conflict of procedures, therefore it is important for law makers to act attentively; and methods usage on administering the law may creates incompatibility of judicature system which are quick, low cost and simple.

Keywords: property, divorce, legal-claims

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………..…………………………………………………… i HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………...ii PERNYATAAN ........…………………………..…………………………………...iii KATA PENGANTAR……….…………………………………………………........iv ABSTRAK (DALAM BAHASA INDONESIA) ……..………...……..…................v ABSTRACT (DALAM BAHASA INGGRIS) ……..………………………………vii DAFTAR ISI ...........…..…….…………………...……………………………….. viii BAB I : PENDAHULUAN……………..…..………………………...…………….1 1. Latar Belakang ……….………………………….………………...1 2. Perumusan Masalah…………….…………….…………………..8 3. Tujuan Penelitian…………………………………………………..8 4. Manfaat Penelitian …….…………….…..……………………….8 5. Kerangka Pemikiran ………………………………………………9 6. Metode Penelitian………………………….….………………….11 7. Sistematika Penulisan …………………………………………..16 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA…………………………..……………..……...17 A. Harta Bersama dan Perceraian …..………………….……………17 1. Harta Bersama …………………………………………………...17 2. Perceraian ………………………………...…..………………….25

B. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri ………....………………….28 1. Perjanjian Perkawinan …………………………………………..30 2. Sita Marital ………………………………………………………..31 3. Gugatan Harta Bersama ……………………………..…….......37

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………..……… 47 A. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Atas Masalah Harta Yang Dipersengketakan ….……………………………………….. 40 B. Kendala Pelaksanaan ………………………... …………………...68 1. Keterbatasan Informasi Hukum ………………………………68 2. Gugurnya Nafkah Iddah dan Mut’ah …………………………78 3. Waktu Penyelesaian Berlarut-larut ………………………….. 81 4. Pertentangan Dalam Praktik Beracara ………………………88 5. Metode yang Digunakan Hakim Atas Cara Mengadili ……..90

BAB IV : PENUTUP …………………………………………………………….106 A. Simpulan ……………………………………………………….......106 B. Saran ………………………………………………………………. 108

DAFTAR PUSTAKA ……………………………….………………….………..110 LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1. Kerjasama yang baik antara suami dan isteri dalam hal menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak sangat diperlukan dalam mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan. Hak adalah sesuatu yang seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi kewajibannya, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk mendapatkan hak. Suami isteri wajib saling setia dan mencintai, hormat-menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin2. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Demikian pula halnya dengan isteri, wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Hak dan kewajiban isteri suami dapat dipisahkan menjadi dua kelompok sebagai berikut: (1) Hak dan kewajiban yang berupa kebendaan, yaitu mahar dan nafkah.

1

“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, Pasal 1

2

Ibid., Pasal 33 dan Pasal 34

a. Suami wajib memberikan nafkah pada isterinya, yaitu bahwa suami memenuhi kebutuhan isteri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga pada umumnya. b. Suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hubungan suami isteri maka suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, hal ini tidak berarti suami boleh bertindak bebas tanpa memperdulikan hak-hak isteri. Apabila hal ini terjadi maka isteri berhak untuk mengabaikannaya. c. Isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik mungkin. (2) Hak dan kewajiban yang bukan kebendaan meliputi: a. Suami wajib memperlakukan isteri dengan baik, yaitu bahwa suami harus menghormati isteri, memperlakukannya dengan semestinya dan bergaul bersamanya secara baik. b. Suami wajib menjaga isteri dengan baik, yaitu bahwa suami wajib menjaga isteri termasuk menjaga harga diri isteri, menjunjung kemuliaan isteri dan menjauhkannya dari fitnah. c. Suami wajib memberikan nafkah batin kepada isteri. d. Suami wajib bersikap sabar dan selalu membina ahlak isteri, yaitu bahwa suami wajib untuk bersikap lemah lembut terhadap isterinya dan harus bersikap tegas ketika melihat isterinya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Sikap

tegas di sini dimaksudkan untuk mendidik dan membina akhlak isteri. e. Isteri wajib melayani suami dengan baik, yaitu bahwa seorang isteri wajib mentaati keinginan suaminya selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan syariat agama. f. Isteri wajib memelihara diri dan harta suami, yaitu isteri harus benar-benar menjaga diri agar tidak menjadi perhatian orang yang mengakibatkan fitnah. g. Seorang isteri juga wajib menjaga harta milik suami, dengan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak penting3. Selain hak dan kewajiban suami isteri, dalam suatu perkawinan juga terdapat kedudukan suami isteri yang secara garis besar adalah sama, baik kedudukannya sebagai manusia maupun dalam kedudukanya dalam fungsi keluarga4. Tujuan dari pasal tersebut adalah agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga diantara suami isteri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina dan membentuk keturunan. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa untuk dapat menciptakan sebuah keluarga yang harmonis diharapkan bagi suami isteri untuk menelaah lebih dalam dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari hari makna dari sebuah perkawinan, termasuk hak dan kewajiban suami

3 4

Junaedi, Dedi., “Bimbingan Perkawinan”, Akademik Presindo, Jakarta, 2000 Ibid., Pasal 31 ayat (1)

isteri. Dengan adanya ikatan perkawinan yang sah maka diharapkan terbentuk lembaga rumah tangga atau keluarga yang akan menjadi titik tolak tercapainya kebahagiaan, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua perkawinan berjalan dengan baik dan timbul masalah yang diantaranya adalah mengenai harta bersama. Sesuai hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta bersama dibagi dengan seimbang antara suami dan isteri. Hal ini apabila tidak dilakukan perjanjian perkawinan mengenai pisah harta oleh pasangan suami isteri yang dilakukan sebelum dan sesudah berlangsungnya akad nikah. Berkaitan dengan hal tersebut yaitu dimana kekuasaan suami atas harta bersama adalah sangat luas, maka hukum positif memberikan perlindungan hukum yang berupa peletakan sita jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan pihak suami melakukan kecurangan, seperti mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak ketiga dengan maksud ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang di dapat pihak yang melakukan kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang seharusnya. Sita jaminan terhadap harta bersama tersebut dikenal dengan istilah sita marital yang dapat diletakkan atas harta yang diperoleh baik masing-masing atau suami isteri secara bersama-sama selama ikatan perkawinan berlangsung disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Sehingga pada saat terjadi permasalahan sehubungan dengan harta bersama, pihak yang merasa dirugikan baik suami maupun isteri masih dapat

mempertahankan harta bersama tersebut dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab karena semua harta bisa dibekukan dengan cara meletakkan sita marital. Sita marital digunakan untuk memberi perlindungan hukum kepada kedua belah pihak atas keutuhan harta bersama agar tidak berpindah tangan kepada pihak ketiga. Sita marital ini diatur jelas pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (20). Sita marital bisa diajukan oleh isteri, bila suami memiliki kebiasaan lebih banyak menghabiskan kekayaan bersama untuk pemborosan yang membahayakan harta perkawinan. Pasangan yang tengah menghadapi proses perceraian, baik isteri maupun suami dapat mengajukan sita marital sampai diputuskan pembagian harta bersama yang adil untuk kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk menghindari keculasan salah satu pihak yang segera menjual beberapa harta atas namanya dan memindahtangankan kepada pihak ketiga, sehingga ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang didapat akan lebih banyak dari yang seharusnya diperoleh. Istilah sita marital (marital beslag) dalam hukum yang secara khusus berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama mampu memberikan perlindungan dalam kehidupan masyarakat khususnya bagi masyarakat yang menghadapi masalah persengketaan harta bersama dalam hal gugatan harta bersama dalam perkara perceraian. Sita marital ini merupakan alternatif bagi masyarakat pencari keadilan yang upaya hukumnya perlu ditempuh secara

khusus dengan harapan proses perceraian antara suami isteri dapat berjalan dengan baik tanpa merugikan kedua belah pihak. Di samping sita marital sebagai salah satu upaya perlindungan atas harta bersama yang disengketakan, terdapat cara lain yaitu dengan mengajukan gugatan harta bersama yang dikomulasikan dengan perkara gugatan perceraian atau menggunakan gugat balik (reconventie). Satusatunya ketentuan yang mengatur tentang komulasi gugat, penggabungan beberapa gugatan menjadi satu, adalah Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Peradilan Agama. Namun demikian, karena praktek peradilan sangat memerlukan, maka komulasi gugat ini sudah lama diterapkan dan sudah menjadi yurisprudensi tetap. Tujuan diterapkannya komulasi gugat adalah untuk menyederhanakan proses dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan5. Penyederhanaan proses ini tidak lain bertujuan untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan6. Namun demikian, apabila kemudian para pihak memanfaatkan upaya hukum banding atau kasasi bahkan peninjauan kembali yang menyangkut komulasi gugatan harta bersama dan perkara perceraian, maka akibat yang ditimbulkan adalah penyelesaian perkara perceraian menjadi lama mengikuti upaya hukum yang digunakan oleh pihak yang tidak puas 5

Soepomo, R., “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hal 29

6

Harahap, Yahya, M., “Hukum Acara Perdata”, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal 104

atas pembagian harta bersama tersebut. Dengan demikian masalah perceraian menjadi terbawa oleh pasal yang membolehkannya. Pada tahun 2007 terdapat kasus mengenai komulasi gugatan harta bersama dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Semarang dengan Nomor Perkara: 1031/Pdt.G/2007/PA.Sm. Perkara tersebut merupakan komulasi gugat yang terdiri dari gugatan harta bersama, gugatan perceraian, gugatan hak asuh anak, gugatan nafkah isteri dan gugatan nafkah anak. Hasilnya adalah gugatan harta bersama dikabulkan untuk sebagian, gugatan cerai dikabulkan, gugatan hak asuh anak dikabulkan, gugatan nafkah isteri tidak dikabulkan dan gugatan nafkah anak dikabulkan untuk sebagian. Kasus tersebut menjadi obyek dalam penelitian ini yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap isteri dalam kaitannya dengan komulasi gugat, terutama gugatan harta bersama dalam perkara perceraian. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik menyusun tesis dengan judul: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI ATAS MASALAH HARTA YANG DIPERSENGKETAKAN DALAM GUGATAN HARTA BERSAMA DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Semarang).

2. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang muncul adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap isteri atas masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama? (2) Apa sajakah kendala perlindungan hukum terhadap isteri atas masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama?

3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap isteri atas masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama. (2) Menganalisis perlindungan hukum terhadap isteri atas masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama.

4. MANFAAT PENELITIAN

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka manfaat dilakukannya penelitian ini diharapkan: (1) Dapat menjadi tambahan informasi (warning sign) bagi masyarakat terhadap kasus-kasus serupa. Disamping itu, diharapkan pula dapat menjadi penyeimbang antara ketentuan dalam hukum yang sedang berlaku di Indonesia dengan kebutuhan yang ada dalam masyarakat sehubungan dengan perlindungan hukum terhadap isteri atas masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama sehingga tidak terjadi kerancuan dalam pelaksanaan beracara. (2) Dapat menjadi sumbangan pemikiran terhadap pengembangan putusan hakim menjadi suatu ketentuan yang bersifat umum sehingga dapat dijadikan acuan bagi kasus serupa sehingga kendala yang kerap muncul dalam proses pelaksanaan perlindungan hukum terhadap isteri dalam masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dapat diantisipasi.

5. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa konsep pemikiran, yaitu:

(1) Terdapat indikasi bahwa banyak sengketa harta bersama dalam perceraian antara suami isteri, yang cara penyelesaiannya ditempuh baik melalui jalur hukum maupun secara musyawarah. (2) Terdapat indikasi bahwa banyak dari sengketa tersebut berakhir dengan situasi pihak isteri dirugikan karena tidak dapat membuktikan fakta harta bersama. (3) Terdapat indikasi bahwa walaupun isteri berkontribusi lebih dari suami dalam mendapatkan harta bersama, namun dalam sengketa tersebut tidak mendapatkan bagian. (4) Terdapat indikasi bahwa isteri cukup dapat menerima putusan cerai tanpa penyelesaian sengketa harta bersama secara hukum karena khawatir biaya tidak terjangkau serta waktu yang cukup lama. (5) Terdapat indikasi bahwa banyak isteri yang mengalami kesulitan secara ekonomi dalam menjalani kehidupan pasca perceraian bersama anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, dikarenakan selama perkawinan tidak mendapat penghasilan, hanya tergantung pada suami dan saat perceraian berlangsung tidak ditentukan nafkah anak dan isteri. Dengan konsep-konsep pemikiran diatas, hasil penelitian ini diperkirakan akan dapat menyimpulkan apakah bentuk-bentuk perlindungan hukum yang ada saat ini dapat diterapkan oleh pihak yang bersengketa tersebut sehingga tercapai keseimbangan dalam bermasyarakat.

Penyelesaian sengketa harta bersama dalam perceraian melalui upaya hukum dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan harta bersama dan gugatan perceraian sekaligus gugatan hak asuh anak dan gugatan nafkah anak. Penggabungan beberapa gugatan tersebut hanya dapat diajukan di Pengadilan Agama. Visi Pengadilan Agama yaitu peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana merupakan salah satu kemudahan dalam berperkara. Acuan tersebut diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna bagi penyelesaian sengketa harta bersama dalam perceraian.

6. METODE PENELITIAN Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsipprinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian7. Penelitian atau research adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.8 A. Metode Pendekatan

7

Soekanto, Soerjono, “Pengantar Penelitian Hukum”, UI Press, Jakarta, 1984, hal 16

8

Hadi, Sutrisno, “Metode Research Jilid I”, ANDI, Yogyakarta, 2000, hal 4

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Empiris. Pendekatan yuridis karena penelitian bertitik tolak dengan menggunakan kaedah hukum dan peraturan yang terkait dengan harta bersama, gugatan harta bersama dalam perkara perceraian. Empiris karena pendekatan bertujuan memperoleh data mengenai perlindungan terhadap isteri dalam sengketa harta bersama.

B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analitis yang menggambarkan ketentuan yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap isteri atas masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian. Hal ini bertujuan untuk membuat suatu gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu situasi.

C. Populasi dan Teknik Sampling 1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek / subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya9. Populasi penelitian ini adalah berkas-berkas perkara dan putusan 9

Sugiyono, “Metode Penelitian Administrasi”, Cetakan ke-14, Alfabeta, Bandung, 2006, hal 90

yang telah berkekuatan hukum tetap yang terdapat pada Pengadilan Agama Semarang.

2. Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu10. Hal tersebut dimaksudkan agar sesuai dan mempermudah tujuan penelitian yang telah ditetapkan yaitu berkas perkara mengenai gugatan harta bersama dalam perkara perceraian.

D. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Dalam hal ini pengumpulan data dilakukan dengan cara: a. Wawancara

(interview),

yaitu

cara

memperoleh

data

atau

keterangan melalui wawancara dengan pihak yang terkait dengan obyek penelitian. Wawancara merupakan alat pengumpul data yang dipergunakan dalam survai lapangan, yang dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan

berstruktur,

kemudian

beberapa

pertanyaan diperdalam untuk mendapatkan keterangan lebih 10

Ibid, hal 98

lanjut11. Dalam hal ini dilakukan wawancara langsung dengan hakim yang menangani kasus tersebut, dengan menggunakan wawancara bebas terpimpin, maksudnya bahwa wawancara ini disesuaikan atau berpedoman pada pertanyaan yang telah dipersiapkan tetapi masih dimungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat wawancara dilakukan. b. Dokumentasi atau penelusuran dokumen yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri dan mempelajari dokumen berupa berkas perkara

komulasi

gugatan

harta

bersama

dalam

perkara

perceraian yang terdapat di Pengadilan Agama Semarang. Dalam hal

ini

berkas

dimaksud

adalah

berkas

perkara

Nomor

1031/Pdt.G/2007/PA.Sm.

E. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Data primer yakni data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data dari suatu kasus atau studi kasus.

11

Soemitro, Ronny Hanitijo, “Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal 57

b. Data sekunder yakni data yang diperoleh dari data dokumentasi dan arsip serta penelitian pustaka. Adapun lokasi penelitian adalah Pengadilan Agama Semarang dan responden penelitian adalah: a. Hakim Ketua Majelis b. Panitera Muda Bidang Hukum Pengadilan Agama Semarang c. Pengacara F. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data belum memberikan arti bagi tujuan penelitian. Penelitian belum dapat ditarik kesimpulan bagi tujuan penelitiannya karena data-data tersebut masih merupakan bahan mentah, sehingga diperlukan usaha untuk mengolahnya. Proses yang dilakukan adalah dengan memeriksa, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan. Setelah data diolah dan dirasa cukup maka selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian-uraian kalimat yang sistematis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa metode deskriptif kualitatif yaitu suatu analisis yang digunakan untuk menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk mendapatkan kesimpulan. Sedangkan penulisan dilakukan dengan menggunakan metode deduktif, dimana berawal dari

pengetahuan yang bersifat umum untuk kemudian menilai kejadian yang sifatnya khusus12. Metode deduktif tersebut digunakan untuk menganalisis masalah yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap isteri terhadap masalah harta yang dipersengketakan, kemudian dihubungkan dengan gugatan harta bersama dalam perkara perceraian (komulasi gugat) di Pengadilan Agama Semarang. G. SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penulisan tesis ini perlu adanya sistematika penulisan sehingga dapat diketahui secara jelas kerangka garis besar dari isi tesis yang ditulis. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: BAB I

PENDAHULUAN berisi tentang pedoman dari penulisan tesis ini secara keseluruhan. Dalam bab ini diuraikan persoalan yang berhubungan dengan pembuatan tesis yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA berisi tentang tinjauan umum harta bersama, gugatan harta bersama dalam perkara perceraian dan perlindungan hukum terhadap isteri.

12

Wasito, Hermawan, “Pengantar Metodologi Penelitian”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 42

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN berisi tentang upaya perlindungan hukum terhadap isteri atas masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Semarang serta hambatanhambatan yang timbul dalam upaya perlindungan hukum tersebut. BAB V

PENUTUP berisi tentang simpulan dan saran, merupakan bab terakhir yang menyimpulkan isi tesis disertai saran-saran dari hasil penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. HARTA BERSAMA DAN PERCERAIAN 1. Harta Bersama Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, harta bersama dibagi dengan seimbang antara mantan suami dan mantan isteri. Hal ini tentunya apabila tidak ada perjanjian perkawinan mengenai pisah harta dilakukan oleh pasangan suami isteri yang dilakukan sebelum dan sesudah berlangsungnya akad nikah. Adapun harta bersama pada dasarnya terdiri dari13: a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung; b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan c. Harta yang diperoleh sebagai hadiah / pemberian atau warisan apabila ditentukan demikian. Sedangkan yang tidak termasuk dalam harta bersama antara lain14: a. Harta bawaan, yaitu harta yang sudah didapat suami / isteri sebelum menikah; b. Hadiah; dan 13

Asfinawati., Et. Al., “Bila anda harus cerai: Hak-hak Perempuan Seputar Perceraian”, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Cetakan Ke-1,Jakarta, Oktober, 2004, hal 22

14

Loc Cit.

c. Harta warisan. Pembentukan hukum keluarga secara umum dipengaruhi dan terdapatnya unsur antara 3 (tiga) sistem hukum, yaitu Hukum Islam, Hukum Barat dan Hukum Adat15. Dasar hukum tentang harta bersama dalam hukum Islam dapat ditelusuri melalui Undang-undang dan peraturan berikut: a.

Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) Masalah harta bersama dalam diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, yang secara garis besar menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Akan tetapi apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing16. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur

15

Arifin, Bustanul., “Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya”, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal 33

16

Op Cit, “UUP”, Pasal 37

dengan menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat atau hukum lain di luar hukum adat. Pasal-pasal tersebut di atas disusun berdasarkan pada nilai-nilai umum yang muncul dalam aturan adat tentang harta bersama, yaitu: 1) masing-masing pihak dalam perkawinan memiliki hak untuk mengambil keputusan terhadap harta yang mereka peroleh sebelum nikah, dan; 2) dengan ikatan perkawinan, isteri maupun suami secara intrinsik memiliki posisi yang setara terkait dengan kekayaan keluarga terlepas pihak mana yang sebenarnya mengusahakan aset tersebut. Mengenai harta bersama, dalam Pasal 37 UU No.1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan menentukan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya.

b. Kompilasi Hukum Islam (KHI)17 Pasal 85 menyebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masingmasing suami atau isteri. Pasal ini sudah menyebutkan adanya harta 17

 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 

bersama dalam perkawinan. Lebih lanjut ditegaskan dapam Pasal 95 yang tediri dari dua ayat sebagai berikut: (1) Suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya; (2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Dengan kata lain, KHI mendukung adanya persatuan harta perkawinan (harta bersama). Meskipun sudah bersatu, tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah harta milik masing-masing pasangan baik suami maupun isteri. Kompilasi Hukum Islam mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan, sementara harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya18. Adapun harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah 18

Ibid., Pasal 86 ayat (1)

penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, dengan demikian suami dan isteri mempunyai hak sepenuhya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya19. Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, dan sebaliknya isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak beruwujud, dimana harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga; sedangkan harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban20. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain, akan tetapi bahwa suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Sehubungan dengan hutang, pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing, tetapi pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Apabila harta bersama tidak

19

Ibid., Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2)

20

Ibid., Pasal 91

mencukupi, maka dibebankan kepada harta suami dan bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri21. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang tersebut, dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat22. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama23. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, sedangkan pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama24. Pasal 97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dari pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam 21

Ibid., Pasal 93

22

Ibid., Pasal 94

23

Ibid., Pasal 88

24

Ibid., Pasal 96

Indonesia pada dasarnya menerima ketentuan-ketentuan adat tentang harta bersama dalam perkawinan, bahkan menerima gagasan tentang kesetaraan suami dan isteri dalam masalah harta bersama tersebut. Dengan demikian, segala urusan yang berkenaan dengan harta bersama harus didasari ketiga sumber hukum positif tersebut. Berkaitan dengan harta bersama, hukum positif juga memberikan perlindungan hukum terhadap harta bersama tersebut. Perlindungan ini berupa peletakan sita jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan salah satu pihak suami istri akan melakukan kecurangan, seperti mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak ketiga dengan maksud ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang di dapat pihak yang melakukan kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang seharusnya. Sita jaminan dalam hal ini di kenal dengan istilah sita marital. Bagi umat Islam, ketentuan pembagian harta bersama diatur dalam KHI Pasal 97, sedangkan bagi penganut agama lainnya diatur dalam KUHPerdata Pasal 128 yang menyebutkan bahwa “setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan isteri atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tidak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperoleh”. Menurut KHI apabila terjadi perceraian, pembagian harta bersama dapat diajukan bersamaan dengan gugatan cerai, tidak harus menunggu putusan cerai terlebih dahulu.

Seperti telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa secara umum pembagian harta bersama dilakukan ketika perkawinan berakhir akibat perceraian atau kematian salah seorang pasangan, masing-masing suami isteri memiliki hak yang sama terhadap harta bersama yaitu separoh dari harta bersama. Pembagian seperti ini berlaku tanpa harus mempersoalkan siapakah yang berjerih payah untuk mendapatkan harta kekayaan tersebut selama perkawinan berlangsung. Ketentuan pembagian harta bersama separuh bagi suami dan separuh bagi isteri hanya sesuai dengan rasa keadilan dalam hal baik suami maupun isteri sama-sama melakukan peran yang dapat menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup keluarga. Dalam hal ini, pertimbangan bahwa suami atau isteri berhak atas separuh harta bersama adalah berdasarkan peran baik suami maupun isteri, sebagai partner yang saling melengkapi dalam upaya membina keutuhan dan kelestarian keluarga. Pengertian peran tidak didasarkan pada jenis kelamin dan pembakuan peran bahwa suami sebagai pencari nafkah sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga. Dalam hal suami tidak bekerja tetapi masih tetap memiliki peran besar dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga, maka suami tersebut masih layak untuk mendapatkan hak separoh harta bersama. Sebab meskipun pihak suami tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta, namun dengan memelihara anak-anak dan membantu pengurusan rumah tangga, pihak isteri telah menerima bantuan yang sangat berharga dan

sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-hari, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah harta yang diperoleh. Sebaliknya, ketika isteri bekerja sedangkan pihak suami tidak menjalankan peran yang semestinya sebagai partner isteri untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga, pembagian harta bersama separuh bagi isteri dan separuh bagi suami tersebut tidak sesuai dengan rasa keadilan. Dalam hal ini bagian isteri semestinya lebih banyak dari pihak suami. Bahkan ketika ternyata pihak suami selama dalam perkawinan justru boros, berjudi maupun mabuk, maka tidak sepantasnya suami tersebut mendapatkan hak dalam pembagian harta bersama25.

2. Perceraian Secara garis besar menurut Kompilasi Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, putusnya perkawinan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian biasanya disebabkan oleh talak atau berdasarkan gugatan cerai. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Secara umum talak diartikan sebagai peceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan

25

Op Cit., Asfinawati., Et. Al.

sendirinya atau perceraian karena meninggalnya suami atau isteri. Talak dalam arti khusus yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh suami. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan, setelah pengadilan mengadakan upaya untuk mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil26. Untuk melakukan perceraian harus didasari oleh alasan yang cukup bahwa kedua belah pihak tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami isteri. Adapun alasan-alasan dari terjadinya perceraian adalah sebagai berikut27: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun

atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

26

Op Cit., KHI, Pasal 115 dan UUP, Pasal 39 ayat (1)

27

Op Cit., UUP, Pasal 116

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik-talak. h. Peralihan

agama

atau

murtad

yang

menyebabkan

terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga (fazah). Menurut hukum Islam suami memiliki hak untuk menjatuhkan talak kepada isterinya sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam UU Perkawinan dan KHI. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu28: a. Baik isteri atau suami tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak

yang

lahir

dari

perkawinan

mereka,

semata-mata

berdasarkan kepentingan anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Suami bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; apabila suami dalam kenyataan tidak

dapat

memenuhi

kewajiban

tersebut,

Pengadilan

dapat

menentukan bahwa isteri ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

28

Op Cit., UUP, Pasal 41

Dengan demikian jelas bahwa walaupun telah terjadi perceraian suami tetap memiliki tanggungjawab terhadap bekas isterinya selama bekas isterinya belum memiliki suami lagi. B. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI Pada dasarnya perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu “Perlindungan” dan “Hukum”. Artinya Perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Secara umum perlindungan hukum diberikan kepada subyek hukum ketika subyek hukum yang bersangkutan bersinggungan dengan peristiwa hukum29. Peristiwa hukum dalam hal ini adalah masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian. Dimana sebenarnya perceraian bukan merupakan suatu penyelesaian yang terbaik karena setelah adanya putusan pengadilan, biasanya akan timbul beberapa permasalahan yang baru seperti hak asuh anak dan pembagian harta bersama. Pada dasarnya percampuran kekayaan bukan merupakan suatu masalah selama menjadi kesepakatan antara suami isteri. Sengketa harta bersama ini akan timbul apabila terjadi perselisihan antara suami isteri atau perceraian. Terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan, dimana masing-masing pihak mengklaim atas harta bersama menjadi harta bawaan atau harta perolehan, atau pihak isteri dirugikan dan

29

“Kapan Perlindungan Hukum Diberikan”, id.answers.yahoo.com

mengalami “ketidakadilan” dalam pembagian harta bersama berdasarkan putusan pengadilan. Ketidakadilan tersebut sangat terkait dengan perspektif suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, yang dibakukan dalam UUP Pasal 31 ayat (3) dan KHI Pasal 79 ayat (1). Kedua hukum ini sekaligus memposisikan isteri hanya sebatas pengelola rumah tangga (domestik), sehingga banyak isteri yang secara ekonomi sangat bergantung pada suami dan tidak memiliki penghasilan apa pun. Ketidakadilan lainnya yang sering terjadi adalah beban ganda, yaitu pada saat isteri bekerja diluar rumah sebagai pencari nafkah, bahkan pencari nafkah utama juga dibebani pekerjaan domestik, sedangkan suami menarik diri untuk membantu pekerjaan rumah tangga karena menganggapnya sebagai kewajiban mutlak isteri. Padahal seharusnya pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama yang bisa dibagi dan dipertukarkan30. Dalam situasi-situasi sebagaimana diuraikan diatas, merupakan hal yang tidak adil bagi isteri apabila aturan pembagian harta hanya sebatas separuh dari harta bersama, karena kontribusi isteri menjadi jauh lebih besar dari suami. Disamping itu yang lebih tidak adil adalah jika isteri mendapat harta lebih kecil dari suami atau bahkan tidak mendapatkan sama sekali

30

Fatimah., Et. Al, “Harta Gono-gini: Mencari Formula yang Adil Untuk Perempuan”, Rahima Jakarta, Cetakan I, Jakarta, 2006, hal 11

karena dianggap tidak memiliki kontribusi apa pun dalam mengumpulkan harta bersama31. Untuk itu, perlindungan hukum terhadap isteri, terutama korban perceraian, perselingkuhan, atau ditinggal dalam waktu lama tanpa pemberian nafkah adalah sangat diperlukan. Beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk perlindungan hukum ini yang antara lain dapat berupa Perjanjian Perkawinan (sebagai langkah preventif), Sita Marital (Marital Beslag) dan Gugatan Harta Bersama (dapat diajukan secara bersama-sama dengan gugatan lain yang berkaitan / Komulasi Gugat).

1. Perjanjian Perkawinan Perjanjian ini dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan disahkan oleh pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) bagi penganut agama Islam dan oleh Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi pemeluk agama selain Islam, serta dapat dilakukan dihadapan notaris. Perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden) dinyatakan sah selama tidak bertentangan dan melanggar batas-batas hukum, kesusilaan, dan agama. Perjanjian ini bisa termasuk pemisahan kepemilikan harta masing-masing / pribadi, harta bawaan, harta perolehan, dan harta bersama maupun pemisahan harta pencarian masing-masing. Sekalipun terjadi pemisahan harta pencarian masing-masing, namun ini tidak menghilangkan kewajiban 31

Loc Cit., Fatimah., Et Al

suami memenuhi kebutuhan rumah tangga32. Perjanjian perkawinan menjadi penting dilakukan untuk menghindari kepemilikan harta oleh suami secara absolut, menghindari perselisihan harta di masa mendatang, dan mencegah ketidakadilan dalam pembagian harta bersama.

2. Sita Marital Sita marital pada dasarnya merupakan upaya untuk melindungi harta yang diperoleh selama perkawinan. Secara hukum, sita marital hanya dapat diberlakukan terhadap harta bersama suami isteri apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta bersama. Hal ini diatur dalam: 1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 197533: “Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri”. 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 198934: “Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri”. 3) Kompilasi Hukum Islam35: 32

Ibid, hal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan, Pasal 24 ayat (2) huruf c

33

34

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 78 huruf c

“Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri”. Suami maupun isteri berdasarkan Pasal 24 PP No. 9 Th. 1975 mempunyai hak yang sama untuk mengajukan sita marital. Sita marital diajukan oleh tergugat atau termohon dengan cara mengajukan gugatan rekonvensi (gugatan balik yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat asal dalam sengketa yang sedang berjalan di antara mereka). Permohonan sita marital dapat dibenarkan jika ada alasan bahwa tindakan suami / isteri telah secara nyata memboroskan harta bersama yang dapat menimbulkan kerugian bagi tergugat / termohon dan jika tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama yang dapat membahayakan keutuhan harta bersama. Tujuan sita marital bukan untuk menjamin tagihan pembayaran kepada penggugat (suami atau isteri) dan juga bukan untuk menuntut penyerahan hak milik (revindikasi), melainkan untuk membekukan harta bersama suami isteri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik

35

Op Cit., KHI., Pasal 136 ayat (2) huruf b

penggugat atau tergugat (suami / isteri) tidak diperbolehkan memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi36. Sita marital merupakan salah satu jenis dari sita jaminan, akan tetapi jenis sita ini adalah bertujuan untuk membekukan harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan melalui penyitaan agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Dalam konteks ini pembekuan harta bersama tersebut adalah harta bersama yang dikuasai langsung baik oleh penggugat / pemohon atau tergugat / termohon. Sehingga tujuan dari sita marital sendiri adalah untuk menjamin keutuhan, mengamankan serta memelihara keutuhan seluruh harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab yang diambil oleh tergugat / termohon sampai dengan putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap, baik yang berada di tangan Penggugat / Pemohon atau di tangan Tergugat / Termohon. Jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan atau dieksekusi apabila pengadilan mengabulkan tuntutan tersebut. Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita, namun hanya disimpan (conserveer) oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon / tergugat. Dengan adanya penyitaan maka tergugat 36

Harahap, Yahya, M., “Hukum Acara Perdata”, cetakan ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 369

kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan pidana. Di negara yang menganut tradisi common law, sita jaminan (security for costs) lebih sering diminta oleh tergugat. Artinya jaminan berupa uang atau aset lain yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak beralasan. Di Indonesia, instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara. Ada banyak jenis sita jaminan, namun secara umum dikenal dua jenis37: (1) Sita jaminan terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag) Kata conservatoir berasal dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslaag berarti menyimpan hak seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat. Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitur. (2) Sita jaminan terhadap harta benda milik penggugat sendiri. Berbeda dari conservatoir beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda penggugat / pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain (termohon / tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin 37

“Sita Jaminan”, hukumpedia.com

suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon. Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Sita revindicatoir (Pasal 226 HIR, Pasal 260 Rbg), revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya).

b. Sita marital (Pasal 823 sampai dengan Pasal 823 huruf j Rv). Disamping kedua jenis sita tersebut, masih juga dikenal beberapa jenis / varian sita jaminan lain, misalnya38: a. Sita conservatoir terhadap kreditur; b. Sita gadai atau pandbeslag; c. Sita

conservatoir

atas

barang-barang

debitur

yang

tidak

mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia; d. Sita conservatoir atas pesawat terbang dan sita jaminan pada kepailitan. Pengajuan permohonan sita revindicatoir, dapat langsung diajukan pemohon tanpa perlu ada dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan

38

Loc.Cit., Hukumpedia.com

selama proses persidangan. Sebaliknya pada sita jaminan conservatoir sesuai Pasal 227 HIR, elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut39. Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini, tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut. Untuk mengabulkan sita conservatoir, harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. Pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan sita adalah sebagai berikut: (1) untuk pemohon sita revindicatoir: a) pemilik benda bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain; b) pemegang hak reklame; (2) kreditur, bagi pemohon sita conservatoir; (3) isteri bagi pemohon sita marital. Obyek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sita revindicatoir maka yang dapat disita adalah benda bergerak yang 39

Loc.Cit., Hukumpedia.com

merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut. Sementara pada sita conservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah40: (1) barang bergerak milik debitur; (2) barang tetap milik debitur, dan; (3) barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga). Penyitaan juga hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Pengadilan dapat membatalkan sita jaminan apabila nilai barang yang disita melebihi nilai utang yang menjadi pokok perkara41.

3. Gugatan Harta Bersama

40 41

HIR, Pasal 226 ayat (2) Loc Cit.

Apabila

terjadi

perceraian

sedangkan

perkawinan

sudah

dilangsungkan tanpa perjanjian perkawinan yang menerangkan tentang pemisahan harta benda, maka isteri berhak mengajukan gugatan pembagian harta bersama. Gugatan ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian (komulasi gugatan) di Pengadilan Agama atau diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Pada dasarnya bentuk komulasi terdiri dari dua jenis yaitu komulasi subyektif dan komulasi obyektif, walaupun sebenarnya terdapat satu bentuk lagi yang disebut dengan “perbarengan” (concursus, samenloop, coincidence)42. Bentuk ketiga ini harus dibedakan dengan komulasi karena konkursus merupakan kebersamaan adanya beberapa tuntutan hak yang kesemuanya menuju satu akibat hukum yang sama. Dengan dipenuhinya atau dikabulkannya salah satu dari tuntutantuntutan itu, maka tuntutan lainnya sekaligus terkabul43. Misalnya, seorang kreditur menggugat pembayaran sejumlah uang kepada beberapa debitur yang terikat secara tanggung renteng kepada kreditur. Dengan dibayarnya sejumlah uang tersebut oleh salah satu debitur, maka gugatan kepada debitur lainnya hapus44. Adapun bentuk-bentuk komulasi baku dapat diuraikan sebagai berikut: a. Komulasi Subyektif.

42 43

44

Op Cit., Manan, Abdul, hal 27 Mertokusumo, Sudikno, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Liberty, Yogyakarta, 1979, hal 43 Loc. Cit., Mertokusumo, Sudikno

Komulasi subyektif merupakan penggabungan beberapa subyek hukum, bisa terjadi seorang penggugat mengajukan gugatan kepada beberapa orang tergugat atau sebaliknya beberapa orang penggugat mengajukan gugatan kepada seorang tergugat, dengan syarat antara subjek hukum yang digabungkan itu ada koneksitas45. Dalam Pasal 127 HIR dan Pasal 151 R.Bg, serta beberapa pasal dalam Rv. terdapat aturan yang membolehkan adanya komulasi subyektif, di mana penggugat dapat mengajukan gugatan terhadap beberapa tergugat. Atas gugatan komulasi subjektif ini tergugat dapat mengajukan keberatan agar diajukan

secara

sendiri-sendiri

atau

sebaliknya

justru

tergugat

menghendaki agar pihak lain diikutsertakan dalam gugatan yang bersangkutan karena adanya koneksitas. Keinginan tergugat untuk mengiktusertakan pihak lain ini dituangkan dalam eksepsi “masih adanya

pihak

lain

yang

harus

ditarik

sebagai

pihak

yang

berkepentingan”. Tangkisan semacam ini disebut “exceptio plurium litis consurtium”46. Keikutsertaan atau campur tangan pihak lain dalam suatu perkara dapat terjadi dalam bentuk lain yang disebut dengan interventie dan vrijwaring. Ada dua bentuk interventie yakni menyertai (voeging) dan menengahi (tussenkomst). Ketiga bentuk campur tangan voeging, tussenkomst dan vrijwaring tidak ditemukan pengaturannya dalam HIR 45 46

Loc Cit., Manan, Abdul Op Cit., Mertokusumo,Sudikno, hal 42

maupun R.Bg., tetapi ada dalam Rv. Meskipun dalam HIR dan R.Bg. tidak mengaturnya namun karena kebutuhan dalam praktek peradilan memerlukan, maka hakim wajib mengisi kekosongan hukum. Tidak berbeda dengan gugatan biasa dalam voeging, tussenkomst maupun vrijwaring disayaratkan harus ada kepentingan hukum bagi pihak ketiga terhadap pokok sengketa yang sedang berlangsung dan kepentingan pihak ketiga tersebut harus ada hubungannya dengan pokok sengketa yang sedang disengketakan antara penggugat dan tergugat47. Campur tangan pihak ketiga dalam bentuk menyertai (voeging) terjadi ketika pihak ketiga mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan bersikap menyertai (bergabung dengan) salah satu pihak untuk membela kepentingan hukum pihak yang disertai. Misalnya, A menggugat B untuk pembayaran sejumlah uang atas dasar utang piutang. Mengetahui adanya gugatan tersebut C merasa perlu mencampurinya karena fakta hukumnya bukan utang piutang yang terjadi, melainkan penyertaan modal usaha antara A, B dan C. Karena itu C melakukan interventie dengan menggabungkan diri dengan B selaku tergugat untuk membela kepentingannya. Adapun campur tangan dalam bentuk menengahi (tussenkomst) adalah campur tangan pihak ketiga terhadap gugatan yang sedang berlangsung dengan menempatkan diri di antara penggugat dan tergugat. Ikut 47

Ibid., hal.44-45

sertanya pihak ketiga ini untuk membela kepentingannya sendiri dengan mengajukan tuntutan kepada penggugat dan tergugat berkenaan dengan obyek yang disengketakan. Oleh karena itu dalam tussenkomst pihak ketiga berlawanan dengan penggugat dan tergugat sekaligus. Contohnya, dalam sengketa kewarisan di antara orang-orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama, anak angkat (pihak ketiga) mencampuri sengketa antara penggugat dan tergugat (selaku ahli waris). Karena menurut ketentuan hukum Islam anak angkat bukan sebagai ahli waris namun dapat diberikan wasiat wajibah, maka anak angkat tersebut merasa berkepentingan mencampuri sengketa itu berhadapan dengan penggugat dan tergugat untuk menuntut haknya. Campur tangan dalam bentuk vrijwaring ada dua macam, yaitu vrijwaring formil dan vrijwaring sederhana. Vrijwaring formil yaitu penjaminan seseorang kepada orang lain untuk menikmati suatu hak atau terhadap tuntutan yang bersifat kebendaan. Misalnya, seorang penjual wajib menjamin pembeli terhadap gangguan pihak ketiga. Penanggung boleh menggantikan kedudukan tertanggung dalam suatu perkara sepanjang dikendaki oleh para pihak asal, dan tertanggung dapat meminta dibebaskan dari sengketa apabila disetujui oleh penggugat48.

48

Ibid., hal.44-45

Vrijwaring

sederhana

adalah

penjaminan

atau

penanggungan oleh seorang atas tagihan hutang debitur kepada kreditur. Apabila diajukan gugatan oleh kreditur kepada debitur, maka penangung (borg) dapat ditarik sebagai pihak baik oleh penggugat maupun oleh tergugat. Misalnya, A (kreditur) menggugat B (debitur) atas pembayaran utangnya. C (pihak ketiga) sebagai penanggung dapat ditarik dalam perkara ini baik atas permintaan A (penggugat) atau atas permintaan B (tergugat). b. Komulasi Obyektif. Yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam suatu perkara sekaligus. Penggugat dalam mengajukan gugatan ke pengadilan tidak hanya mengajukan satu tuntutan saja tetapi disertai dengan tuntutan lain yang sebenarnya dapat diajukan secara tersendiri terpisah dari gugatan yang diajukan49. Telah dijelaskan adanya perbedaan pendapat mengenai syarat koneksitas antara gugatan satu dengan gugatan lain. Adanya perbedaan mengenai syarat koneksitas ini akan mempengaruhi putusan hakim. Bagi hakim yang mensyaratkan adanya koneksitas, sudah tentu akan menyatakan gugatan tidak dapat diterima jika gugatan yang digabungkan tidak ada hubungan erat. Sebaliknya bagi hakim yang tidak mensyaratkan adanya koneksitas ia akan mengadili seluruh gugatan. Contoh gugatan yang tidak mensyaratkan adanya koneksitas misalnya, A dan B menggugat C dan D tentang harta bersama. 49

Ibid., hal 42

Bersamaan itu pula diajukan gugat warisan oleh A dan B kepada C dan D. Dalam perkara ini tidak ada koneksitas antara perkara warisan dengan perkara harta bersama. Yang terpenting dalam perkara tersebut adalah para penggugat dan para tergugat orangnya sama dengan tidak disyaratkan adanya hubungan hukum antara gugatan-gugatan yang digabung. Terhadap kasus ini apabila diajukan kepada hakim yang mensyaratkan adanya koneksitas, maka gugatan utang piutang akan dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak ada hubungan erat antara warisan

dengan

utang

piutang.

Adapun

contoh

kasus

yang

mensyaratkan adanya koneksitas misalnya gugatan perkara perceraian dengan gugatan harta bersama, sebagaimana kasus dalam penelitian ini. Untuk mengajukan komulasi obyektif pada umumnya tidak disyaratkan tuntutan-tuntutan itu harus ada hubungan yang erat atau koneksitas satu sama lain, namun dalam praktek biasanya antara tuntutan-tuntutan yang digabung itu ada koneksitas atau hubungan batin (innerlijke

samenhaang)50.

Dengan

demikian

kasus

penelitian

merupakan bagian dalam komulasi obyektif, dimana gugatan yang diajukan telah dengan sendirinya memenuhi syarat koneksitas sehingga

50

Syahlani, Hensyah, “Pembuktian Dalam Beracara Perdata dan Teknis Penyusunan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama”, Yogyakarta, 2007, hal 73

tidak terdapat perbedaan persepsi hakim mengenai syarat terdapat koneksitas maupun tidak terhadap putusan. Mengenai

keharusan

atas

adanya

koneksitas

ini

diikuti

oleh

Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II dan beberapa putusan Mahkamah Agung antara lain: Putusan Nomor 1518 K/Pdt/1983, Putusan Nomor 1715 K/Pdt/1983 dan Putusan Nomor 2990 K/Pdt/19901351. Syarat adanya koneksitas juga pernah diputus oleh Raad van Justitie Jakarta tanggal 20 Juni 193952. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang syarat koneksitas, akan tetapi terhadap dua hal di bawah ini mereka sepakat mengecualikan kebolehan komulasi gugat53: a. Gugatan yang Digabungkan Tunduk kepada Acara yang Berbeda. Apabila gugatan-gugatan itu tunduk kepada hukum acara yang berbeda, maka gugatan tersebut tidak dapat digabungkan, misalnya dalam perkara pembatalan merk tidak bisa digabung dengan perkara perbuatan melawan hukum karena perkara pembatalan merk tunduk kepada hukum acara yang diatur dalam undang-undang merk yang tidak mengenal upaya banding, sementara perkara perbuatan melawan hukum tunduk kepada hukum acara biasa yang mengenal upaya

51

Loc Cit., Mahkamah Agung

52

Loc Cit., Soepomo, R

53

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 26 Januari 2009

banding. Dengan adanya ketertundukan pada hukum acara yang berbeda, maka antara keduanya tidak boleh dilakukan komulasi. b. Gugatan yang Digabungkan Tunduk kepada Kompetensi Absolut yang Berbeda. Gugatan-gugatan yang dikomulasikan harus merupakan kewenangan absolut satu badan peradilan sehingga tidak boleh digabungkan antara beberapa gugatan yang menjadi kewenangan absolut badan peradilan yang berbeda. Gugatan harta bersama bagi orang-orang yang beragama Islam yang menjadi kewenangan peradilan agama tidak dapat digabungkan dengan perkara perbuatan melawan hukum yang menjadi kewenangan peradilan umum. Harus menjadi perhatian bagi hakim adanya upaya penggugat yang beritikad buruk dengan memanfaatkan komulasi gugat terhadap perkara yang tunduk kepada kompetensi absolut yang berbeda. Misalnya, seseorang yang telah kalah berperkara di Pengadilan Agama baik putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau sedang dalam upaya hukum banding atau kasasi, ia mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di bawah titel gugatan perbuatan melawan hukum yang dikomulasikan dengan gugat harta bersama. Maksud diajukannya gugatan tersebut tidak lain untuk mengelak dari kekalahannya atau untuk mengulur-ulur waktu agar eksekusi tidak dapat segera dijalankan terutama jika gugatan itu disertai dengan penyitaan. Penggugat berharap hakim

Pengadilan Negeri akan menjatuhkan putusan yang memenangkan gugatannya, apabila ternyata juga kalah, setidaknya dapat menunda eksekusi dengan alasan perkaranya masih dalam proses pemeriksaan apalagi jika obyek sengketa diletakkan sita oleh Pengadilan Negeri sedang dalam perkara di peradilan agama tidak diletakkan sita. Terhadap kasus demikian ini, hakim menjadi harus cermat dalam menyikapinya dengan tetap berpegang teguh kepada aturan, tidak terpengaruh oleh upaya penyimpangan ini. Selain dua larangan di atas, terdapat satu larangan lagi yaitu tidak boleh mengajukan komulasi gugat dalam hal pemilik obyek sengketanya berbeda. Apabila ada beberapa tanah dengan pemilik yang berbeda-beda, mereka tidak dapat mengajukan gugatan bersama-sama terhadap seorang tergugat. Penggabungan gugatan demikian tidak diperbolehkan baik secara subyektif maupun secara obyektif54. Larangan ini memang sudah seharusnya demikian karena antara para penggugat tidak ada hubungan hukum sehingga dengan sendirinya merupakan perkara yang berdiri sendiri dan harus diajukan secara tersendiri. Oleh karena itu larangan tersebut sudah termasuk dalam syarat koneksitas komulasi subyektif. Apabila syarat koneksitas dalam komulasi subyektif tidak terpenuhi maka dengan sendirinya koneksitas dalam komulasi obyektifnya tidak terpenuhi.

54

Op Cit., Harahap, Yahya, M., hal 108

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa apabila suami setuju bercerai namun tidak setuju pembagian harta bersama, maka ini dapat menghambat proses perceraian sehingga gugatan harta bersama dapat diajukan setelah putusan cerai selesai. Untuk menekan biaya peradilan diperlukan adanya kesepakatan antara suami isteri mengenai pembagian harta bersama sehingga gugatan dapat diajukan bersamaan. Pada peristiwa isteri berhadapan dengan suami yang mengatasnamakan harta bersama yang dibeli selama perkawinan berlangsung, maka isteri dapat membuat fotocopy atau salinan setiap dokumen yang berkaitan dengan harta bersama. Apabila isteri belum memiliki dokumen tersebut, maka hal yang dapat dilakukan adalah menguasai secara fisik harta benda tersebut, dengan maksud agar suami yang mengajukan gugatan harta bersama sehingga beban pembuktian ada di pihak suami55.

55

Ibid, hal. 11.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI ATAS MASALAH HARTA YANG DIPERSENGKETAKAN Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, semua tata cara perceraian yang berlaku di lingkungan peradilan agama mengacu kepada ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sehingga hukum acara tentang perceraian yang diberlakukan di lingkungan peradilan agama sama dengan yang diberlakukan di lingkungan peradilan umum. Namun setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 terdapat beberapa ketentuan khusus yang tidak ditemukan dalam peraturan pemerintah, salah satunya adalah ketentuan yang mengatur tentang kebolehan menggabungkan gugatan perceraian dengan beberapa gugatan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1). Kedua pasal ini membolehkan seorang suami atau isteri yang mengajukan

gugatan

perceraian

ke

Pengadilan

Agama

sekaligus

mengajukan gugatan penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama. Berbeda dengan yang berlaku di Pengadilan Negeri, dimana pihak yang mengajukan gugatan perceraian tidak dibolehkan menggabungkan dengan gugatan harta bersama, melainkan setelah ada putusan perceraian yang mempuyai kekuatan hukum tetap gugatan hata bersama dapat

diajukan. Penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan

atau

beberapa

gugatan digabungkan menjadi satu disebut

Komulasi Gugat56. Pada dasarnya setiap gugatan yang digabungkan merupakan gugatan yang berdiri sendiri. Penggabungan gugat hanya diperkenankan dalam batas-batas tertentu, yaitu apabila penggugat atau para penggugat dan tergugat atau para tergugat adalah pihak yang sama57. Sebagaimana terdapat pada kasus di Pengadilan Agama Semarang dengan nomor perkara 1031/Pdt.G/2007/PA.Sm, dimana selaku penggugat adalah isteri dengan komulasi gugatan harta bersama dan gugatan perkara perceraian beserta akibatnya. Didalam gugatannya penggugat mengajukan beberapa tuntutan yang termasuk didalamnya adalah pemutusan perkawinan (perceraian), hak asuh anak atas anak yang belum dewasa (mummayiz), pembagian harta bersama, dan nafkah anak. Sedangkan selaku tergugat adalah suami, dimana kedua belah pihak dalam beracara didampingi oleh masing-masing kuasa hukumnya. Persidangan yang dilangsungkan mempunyai urut-urutan sebagaimana proses peradilan lain, yang terdiri dari sidang perdamaian, sidang jawaban, sidang replik, sidang duplik, pembuktian dari penggugat, pembuktian dari tergugat, sidang kesimpulan dan sidang

56

Mahkamah Agung, “Pedoman Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan”, Buku II, Jakarta, 2002, hal 118

57

Sutantio, Retnowulan., Et. Al., “Hukum Acara Perdata”, Bandung, Mandar Maju, 1989, hal 49

putusan58. Adapun sidang kasus penelitian berlangsung dengan urut-urutan sebagai berikut59: 1. Sidang Perdamaian; Apabila hakim tidak melaksanakan upaya perdamaian pada sesi ini, maka persidangan adalah batal demi hukum60. Pada kasus penelitian, upaya perdamaian hakim tidak tercapai karena penggugat menolak dengan alasan bahwa perkawinan tidak dapat dilanjutkan karena tergugat melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tergugat tidak memberi nafkah selama 4 (empat) bulan, tergugat berhubungan dengan wanita lain (berselingkuh), pertengkaran dan perselisihan secara terus-menerus (syiqaq). Sehingga sidang dilanjutkan dengan pembacaan tuntutan dari pihak penggugat, yang berisi tentang perceraian, hak asuh anak, nafkah anak, nafkah isteri dan pembagian harta bersama. 2. Sidang Jawaban; Tergugat menyangkal semua yang disampaikan pihak tergugat. 3. Sidang Replik; 4. Sidang Duplik; 5. Sidang Pembuktian dari Penggugat;

58 59

60

“Proses Persidangan Perceraian”, perempuan.com, 17 November 2008 Berkas Perkara Nomor 1031/Pdt.G/2007/PA.Sm Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009.

a. Penggugat mengajukan beberapa saksi yang dapat mendukung keterangannya dan dari beberapa saksi tersebut, kelak pada saat pembacaan putusan terdapat satu saksi yang kesaksiannya tidak dipertimbangkan karena dianggap tidak mengetahui obyek gugatan. b. Bukti-bukti formil yang diajukan adalah berupa dokumen fotocopy yang tidak semuanya dapat diperlihatkan dokumen aslinya, sehingga kelak pada putusan tidak dapat diterima dan ditolak karena tidak dapat menunjukkan bukti asli. 6. Sidang Pembuktian dari Tergugat; a. Tergugat mengajukan 2 (satu) saksi, yang kelak dalam putusan disimpulkan majelis hakim sebagai asas unus testis nullus testis (satu orang saksi dianggap tidak ada saksi) karena kedua saksi tersebut memberikan keterangan mengenai dua peristiwa yang berbeda, sehingga dalaam satu peristiwa hanya dikuatkan oleh satu orang saksi saja. b. Bukti-bukti formil dari penggugat disangkal, sehingga penggugat harus membuktikan kebenaran faktanya yang ternyata penggugat tidak dapat membuktikan seluruhnya. 7. Sidang Kesimpulan; Majelis hakim menyimpulkan antara lain bahwa kondisi perkawinan dengan pertengkaran yang terus-menerus (syiqaq) sehingga

perkawinan tidak dapat dilanjutkan sudah cukup menjadi alasan bagi tergugat untuk menjatuhkan talak pada penggugat. Anak yang lahir dari perkawinan tersebut masih berusia 5,5 tahun (belum dewasa / mummayiz) sehingga diberikan pada ibunya yaitu penggugat, nafkah anak sebagaimana diajukan oleh penggugat disesuaikan dengan pendapatan tergugat, pembagian harta bersama tidak sepenuhnya terbukti kebenarannya karena dokumen yang asli tidak dapat diperlihatkan. 8. Sidang Putusan. Pada intinya majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat mengenai harta bersama untuk sebagian, menjatuhkan talak satu ba’in sughra (tidak dimungkinkan untuk rujuk kembali) dari tergugat pada penggugat, menetapkan penggugat sebagai pemegang hak asuh anak, menghukum tergugat untuk membayar nafkah anak sampai anak berusia 21 tahun. Jumlah yang ditetapkan oleh majelis hakim adalah lebih kecil dari tuntutan penggugat, hal ini dipertimbangkan pada kemampuan tergugat. Sehubungan dengan ketentuan komulasi gugat, pada dasarnya hukum acara perdata yang berlaku secara umum, baik yang ada dalam HIR (Herziene Indonesisch Reglement), R.Bg. (Reglement Buitengewesten) maupun Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsverordering), tidak mengatur tentang komulasi gugat, satu-satunya yang mengatur komulasi gugat adalah

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Namun demikian, karena praktek peradilan sangat memerlukan, maka komulasi gugat ini sudah lama diterapkan dan sudah menjadi yurisprudensi tetap. Tujuan diterapkannya komulasi gugat adalah untuk menyederhanakan proses dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan61. Penyederhanaan proses ini tidak lain bertujuan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana62. Disamping itu bahwa dengan penggabungan gugatan ini, maka asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dapat terlaksana63. Melalui penggabungan gugatan ini, maka beberapa gugatan dapat diperiksa, diputus dan diselesaikan secara sekaligus sehingga prosesnya menjadi sederhana, biayanya menjadi lebih efisien, tidak banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan dan dapat menghindari putusan yang saling bertentangan. Lain halnya jika masingmasing perkara diajukan secara terpisah, maka prosesnya menjadi lama sehingga memerlukan biaya, waktu, dan tenaga yang lebih banyak dan yang lebih dikhawatirkan dapat terjadi putusan yang bertentangan karena hakim yang mengadili tidak sama. Putusan demikian tidak akan terjadi apabila diputus oleh satu majelis hakim melalui komulasi gugat. Telah dikemukakan di muka bahwa satu-satunya ketentuan yang mengatur tentang kebolehan menggabungkan beberapa gugatan perkara perdata hanya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang 61

Soepomo, R., “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hal 29 Harahap, Yahya, M., “Hukum Acara Perdata”, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal 104 Manan, Abdul, “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama”, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta, 2000, hal 27

62 63

Peradilan Agama. Dalam Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 memperbolehkan komulasi gugat dalam perkara perceraian yang tidak diperbolehkan di peradilan umum. Pasal 66 ayat (5) menyebutkan: “Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan”. Kalimat

yang

menyatakan

“...dapat

diajukan

bersama-sama

dengan

permohonan cerai talak...” memberikan pengertian secara tegas tentang kebolehan bagi suami yang mengajukan permohonan cerai talak sekaligus mengajukan permohonan tentang penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama. Adapun Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan: “Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan

gugatan

perceraian

ataupun

sesudah

putusan

perceraian

memperoleh kekuatan hukum tetap”. Bunyi pasal ini juga secara tegas membolehkan adanya komulasi gugat bagi isteri yang mengajukan gugat cerai dengan beberapa gugatan meliputi penguasaan anak, nafkah anak, nafkah

isteri,

dan

harta

bersama.

Beberapa

gugatan

yang

dapat

dikomulasikan berdasarkan dua pasal di atas sama persis, hanya bedanya jika dalam Pasal 66 ayat (5) diberikan kepada suami, sedangkan dalam Pasal 86 ayat (1) diberikan kepada isteri. Pada ketentuan dalam Pasal 66 ayat (5) terdapat kejanggalan yaitu tentang dibolehkannya suami mengajukan

komulasi gugat antara permohonan cerai talak dengan nafkah anak dan nafkah isteri. Kejanggalan ini disebabkan oleh karena nafkah anak dan nafkah isteri merupakan kewajiban yang harus ditanggungnya sehingga tidak logis jika suami meminta agar dirinya dihukum untuk membayar kedua kewajibannya itu. Logika diajukannya suatu gugatan adalah adanya suatu sebab yang ditimbulkan oleh pihak lain yang mengakibatkan haknya tidak bisa dinikmati dan / atau kepentingannya dilanggar. Akibat dari tindakantindakan tersebut, maka perlu ditempuh cara gugat sehingga kelak dengan putusan pengadilan inilah orang yang melanggar hak tersebut dapat dipaksa agar menyerahkan hak atau kepentingan yang telah dilanggarnya. Artinya, pengajuan gugatan itu selalu ditujukan kepada pihak lain bukan kepada dirinya sendiri. Lain halnya dengan yang diatur dalam

Pasal 86 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang membolehkan isteri mengajukan komulasi

gugat

atas

beberapa

tuntutan.

Gugatan-gugatan

yang

dikomulasikan itu memang merupakan hak penggugat sehingga wajar jika isteri mengajukan gugatan kepada suami. Demikian pula terhadap nafkah isteri dan harta bersama yang sejak semula oleh hukum isteri diberikan hak atasnya. Kasus yang terjadi di dalam ikatan perkawinan antara lain suami tidak memberi nafkah mencukupi, suami melarang isteri bekerja padahal tidak memberi nafkah yang cukup, membatasi isteri untuk bekerja di luar rumah karena suami cemburu, tidak memberi nafkah sama sekali, membebani isteri

dengan utang suami, suami jarang memberi nafkah, berselingkuh, dan kemudian menceraikan isteri tanpa memberi nafkah pasca perceraian. Kasus pasca perceraian bisa berwujud suami tidak menjalankan keputusan pengadilan, menjalankan keputusan pengadilan tetapi jumlah nafkah yang diberikan kepada bekas isteri tidak sesuai dengan keputusan pengadilan dan cenderung lebih kecil, dan tidak diputuskan oleh pengadilan untuk memberi nafkah kepada bekas isteri dan isteri menerima keputusan itu karena ketidaktahuannya. Kondisi yang demikian itu memerlukan perhatian yang lebih serius dari berbagai pihak yang berwenang sehingga isteri tetap memperoleh haknya dengan wajar dan terhindar dari tekanan lahir batin dari suami. Meskipun pada masa sekarang semakin banyak kaum isteri yang dapat mengungkapkan ketidakadilan yang mereka alami dan melakukan upaya mempertahankan hak mereka. Dalam perkara perceraian karena tidak menghendaki proses perceraiannya berkepanjangan, maka seringkali pihak isteri tidak mempersoalkan pembagian harta bersama. Sehingga kemudian timbul persoalan yang berhubungan dengan pembagian harta bersama. Peraturan yang ada ternyata memiliki banyak kelemahan membuat isteri sering kali kesulitan menuntut nafkah yang menjadi haknya dari bekas suami meskipun pengadilan sudah memutuskan suami wajib menafkahi bekas isteri dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Disamping itu, pada praktiknya banyak aturan yang ada tidak efektif, membutuhkan biaya besar untuk mengurus agar aturan dilaksanakan, dan untuk isteri dari ekonomi bawah tidak dapat menuntut terlalu banyak karena pendapatan suami yang tidak banyak. Upaya paksa secara hukum cenderung menjadi tidak bermanfaat karena pendapatan suami atau harta yang akan disita petugas untuk diberikan kepada bekas isteri tidak cukup layak dibandingkan dengan biaya hukum yang dilakukan. Sehingga diperlukan adanya peraturan yang lebih adil dalam hal nafkah karena peraturan perundang-undangan yang ada mendukung ketergantungan isteri secara ekonomi kepada suami seperti yang diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada umumnya pasangan yang akan menikah tidak pernah memikirkan persoalan mengenai harta bawaan masing-masing pihak serta harta bersama dan harta milik yang didapat setelah perkawinan karena pada awal perkawinan tidak ada pasangan yang berpikir untuk bercerai64. Padahal, ketergantungan ekonomi tersebut merupakan salah satu sebab utama terjadinya ketidakadilan terhadap pihak isteri65. Hal tersebut merupakan keterbatasan yang dapat dihindari apabila isteri mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai perkawinan dan segala akibat yang ditimbulkannya.

64

“Buat Perjanjian Dulu Sebelum mengucapkan “Saya Terima””, Kompas, 27 Juni 2005

65

“Menggugat Peraturan Hukum tentang Pengaturan Nafkah”, Kompas, 14 Februari 2005

Oleh karena itu, apabila isteri hendak berperkara maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah hal-hal sebagai berikut66: a. Mendapatkan nasehat hukum: Nasehat hukum dapat diperoleh dari pihak yang berkompeten (pengacara, konsultan hukum atau pihak yang sudah berpengalaman). Hal ini untuk mengetahui konsekuensi hukum atas permasalahan yang dihadapi karena konsekuensi hukum tersebut adalah mengikat dan bersifat memaksa. b. Mendapatkan informasi tentang proses hukum, antara lain: (1) Hal-hal yang harus dipersiapkan, apabila mewakili diri sendiri dalam sidang; (2) Apabila menggunakan jasa pengacara (kuasa hukum) di pengadilan, seberapa besar hal tersebut akan berpengaruh pada putusan hakim; (3) Biaya yang harus dikeluarkan, apabila menggunakan jasa pengacara (kuasa hukum); (4) Garis besar proses hukum yang akan dihadapi di pengadilan; (5) Lama waktu yang dibutuhkan untuk proses hukum atas kasus yang dihadapi. c. Mempersiapkan surat-surat penting untuk diajukan dalam gugatan harta bersama, antara lain: surat nikah asli dan fotokopinya yang telah 66

“Persiapan Menghadapi Sidang Kasus Perceraian”, lbh-apik.or.id

dibubuhi materai, fotokopi akta kelahiran anak yang dilegalisasi, fotokopi KTP, fotokopi Kartu Keluarga, dan sebagainya yang harus juga dipersiapkan aslinya agar sewaktu dikehendaki sudah tersedia untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam berperkara. Untuk kasus perceraian yang disertai dengan masalah pembagian harta bersama, juga perlu dipersiapkan surat-surat yang terkait dengan dengan harta benda perkawinan seperti akta jual-beli, sertifikat, kuitansi, surat bukti kepemilikan dan sebagainya. Hal ini untuk memudahkan pemahaman persoalan hukum yang sedang di hadapi. Setelah itu, dapat diputuskan apakah akan menggunakan bantuan pengacara atau kuasa hukum sebagai wakil di pengadilan, atau mewakili diri sendiri, tanpa didampingi pengacara. d. Lembaga Bantuan Hukum: Nasehat hukum dapat diperoleh dari konsultan hukum atau pengacara, dengan kebebasan memilih untuk didampingi / tidak oleh mereka dalam sidang pengadilan nanti. Apabila tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar pengacara, terdapat alternatif untuk menggunakan lembaga yang dapat diminta bantuan dengan tanpa membebani biaya yang berlebihan. Lembaga yang sifatnya nonkomersial, misalnya Lembaga Bantuan Hukum, biasanya akan mempertimbangkan kondisi, baik kondisi ekonomi maupun psikologis. e. Yang harus dipersiapkan sebelum ke pengadilan:

(1)

Bila tanpa didampingi Pengacara: 1. Mempersiapkan surat gugatan; 2. Mempersiapkankan uang administrasi yang jumlahnya sebagaimana ditetapkan Pengadilan yang nantinya harus di bayarkan ke bagian pendaftaran gugatan di pengadilan kemudian bukti pembayarannya adalah berupa SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar) setelah membayar; 3. Mempersiapkan

materi

yang

hendak

disampaikan

di

pengadilan tentang kasus yang dihadapi; dan 4. Mempersiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi (2)

Bila didampingi Pengacara67: 1. Menandatangani Surat Kuasa yang dibuat oleh pengacara. Surat Kuasa adalah surat yang menyatakan bahwa sebagai pemberi kuasa memberikan kuasa kepada pengacara (sebagai

penerima

kuasa)

untuk

mewakili

dalam

pengurusan kasus, mulai dari pembuatan surat-surat seperti surat dakwaan, beracara di muka sidang pengadilan, menghadap institusi atau orang yang berwenang dalam rangka pengurusan kasus, pengadilan dan sebagainya. 2. Mempersiapkan Surat Gugatan. 67

Sutrisno, Pengacara di Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

meminta

salinan

putusan

Apabila Surat Kuasa sudah ditandatangani, maka selanjutnya pengacara (kuasa hukum) yang akan mengurus pembuatan Surat Gugatan dan surat-surat lainnya yang dibutuhkan selama proses hukum berjalan. 3. Mempersiapkan

uang

administrasi

yang

jumlahnya

ditetapkan Pengadilan, yang harus dibayarkan ke bagian pendaftaran gugatan di pengadilan. Kemudian sebagai bukti telah melakukan pembayaran akan diterima SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar). 4. Mempersiapkan uang untuk pembayaran pengacara apabila pengacara yang diminta bantuannya adalah pengacara yang dibayar. f. Hal-hal yang juga harus diperhatikan adalah: (1) Persiapan mental. (2) Menghadiri

persidangan

tidak

terlambat

karena

dapat

mempengaruhi jalannya sidang. g. Di ruang sidang pengadilan68: (1) Yang mungkin ditanyakan hakim antara lain: 1. Dalam sidang pertama, hakim biasanya akan melakukan upaya perdamaian. Pada sidang ini hakim akan bertanya

68

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

apakah kedua pihak yang bersengketa akan mengadakan perdamaian / tidak. 2. Dalam proses pemeriksaan, hakim dapat menanyakan masalah-masalah yang terkait dengan gugatan, apakah ada keberatan dari para pihak / tidak. 3. Sebelum putusan dijatuhkan hakim, hakim dapat bertanya apakah ada hal-hal lain yang ingin disampaikan para pihak. (2) Yang berhak hadir di persidangan: 1. Hakim, yaitu yang memimpin jalannya sidang, memeriksa, dan memutuskan perkara. 2. Panitera,

yaitu

yang

bertugas

mencatat

jalannya

persidangan. 3. Isteri, yaitu sebagai pihak yang mengajukan gugatan, disebut Penggugat / Kuasa hukumnya. 4. Suami, yaitu sebagai pihak yang digugat, disebut Tergugat / Kuasa hukumnya. (3) Hak isteri sebagai Penggugat antara lain69: 1. Didampingi pengacara sebagai kuasa hukum di pengadilan; 2. Bertanya

dan

menjawab

mengenai

perkembangan

kasusnya baik kepada kuasa hukumnya, maupun kepada hakim; 69

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009.

3. Mendapat salinan surat keputusan pengadilan (dapat melalui kuasa hukumnya); 4. Mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa dibedakan berdasarkan suku, agama, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik atau status sosialnya;

(4) Lama proses berlangsung: 1. Pengadilan Tingkat Pertama Sidang dilakukan kurang lebih 6 (enam) kali dengan jangka waktu yang dibutuhkan maksimal 6 (enam) bulan di tingkat pengadilan pertama. 2. Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi (di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) Waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian suatu perkara hingga tingkat banding dan kasasi tidak sama. Namun secara umum dari awal proses pengadilan tingkat pertama hingga kasasi di Mahkamah Agung bisa memakan waktu 3 sampai 5 tahun. Adapun bukti otentik bahwa seseorang telah bercerai adalah dengan diterbitkannya akta cerai.

Upaya peletakan sita marital yang diajukan bersamaan dengan gugatan harta bersama dalam perkara perceraian adalah melalui prosedur sebagai berikut70: 1) Permohonan Permohonan sita marital diajukan kepada Ketua Pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pihak yang memegang barang obyek sita. Hari pertama persidangan akan sangat menentukan sah atau tidaknya permohonan sita marital, sehingga dapat disimpulkan bahwa permohonan sita diajukan sebelum hari pertama sidang. Apabila pada hari pertama gugatan diterima maka penyitaan akan dilanjutkan, sebaliknya apabila gugatan ditolak maka sita akan diangkat. Pada prakteknya permohonan sita marital pada umumnya diajukan bersamasama dengan pengajuan gugatan ke pengadilan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan permohonan sita diajukan pada sebelum atau pada pertengahan proses pemeriksaan perkara. Pada kenyataannya Pasal 227 ayat (1) HIR juga memberikan kemungkinan bahwa sita marital dapat dimohonkan sesudah adanya putusan tapi putusan tersebut belum dapat dijalankan. Contoh permohonan ini adalah dalam hal telah dijatuhkan putusan verstek, dimana terhadap putusan verstek tersebut tergugat masih mengajukan perlawanan, atau dalam hal telah

70

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 26 Januari 2009

dijatuhkan putusan contradictoir sedangkan yang bersangkutan mengajukan permohonan banding. 2) Pemeriksaan Pada sita revindicatoir sifatnya pemeriksaannya sangat sumir, termohon sita tidak perlu didengar karena pada dasarnya pemohon adalah pemilik sah atas barang yang dimohonkan sita tersebut. Sebagai konsekuensinya maka pihak termohon tidak perlu didengar dalam proses ini. Sementara pada sita conservatoir, pemeriksaan lebih rumit karena melibatkan upaya pembuktian unsur adanya sangka yang beralasan bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. SEMA Nomor 5 Tahun 1975 mengatur bahwa dalam setiap penetapan sita conservatoir disebut alasan-alasan yang menyebabkan sita coservatoir tersebut dikabulkan71, yang berarti bahwa sebelum dikeluarkan penetapan yang mengabulkan sita conservatoir tersebut, maka harus diadakan penelitian terlebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang dikemukakan pemohon. Dengan adanya sifat sumir yang ada pada pemeriksaan permohonan sita jaminan, maka penetapan sita jaminan merupakan kewenangan diskresional hakim. Tidak mudah untuk memberikan karakter yang bersifat baku terhadap indikator dikabulkannya sita jaminan dan oleh karena itu penetapannya akan 71

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 05 Tahun 1975, leip.or.id

sangat tergantung kepada kasus per kasus. Adapun upaya hukum yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut: a. Perlawanan Pihak Tersita HIR sama sekali tidak mengatur upaya hukum khusus bagi pihak tersita untuk melawan instrumen sita jaminan (termasuk sita marital didalamnya). Pada dasarnya sita jaminan tidak ditujukan untuk melakukan eksekusi / penjualan terhadap obyek sita dan sekedar melarang tersita untuk melakukan perbuatan hukum terhadap barang tersebut. Namun, sita jaminan tersebut tetap dapat menimbulkan kerugian terhadap tersita. Sebaliknya Rv justru memuat ketentuan yang secara khusus mengatur perlawanan terhadap sita jaminan, Pasal 724 dan Pasal 725 Rv memberikan kesempatan bagi tersita untuk mengajukan bantahan baik dengan sidang singkat dihadapan ketua (pengadilan) maupun dihadapan sidang. Perlawanan ini diajukan dalam suatu pemeriksaan atas sah dan berharga atau tidaknya sita jaminan, yang harus diadakan 8 hari setelah sita ditetapkan. Pihak tersita dapat mengajukan: (1) Gugat rekonvensi terhadap pemohon sita, gugat ini berisi permohonan kepada majelis hakim untuk menjatuhkan putusan sela untuk mengangkat atau merubah sita jaminan tersebut;

(2) Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mengangkat atau merubah sita tersebut. b. Perlawanan Pihak Ketiga Pada dasarnya baik HIR, Rbg maupun Rv tidak mengatur prosedur perlawanan terhadap sita jaminan, baik terhadap sita konservatoir, maupun sita revindicatoir. Konsep dasar dari perlawanan pihak ketiga adalah perlawanan yang didasarkan kepada hak milik. Oleh karenanya pelawan harus dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita, apabila terbukti barang tersebut adalah miliknya, maka pelawan tersebut akan dinyakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat, sebaliknya, apabila tidak terbukti maka pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak jujur dan sita akan dipertahankan. Dari konsep ini, maka pelawan terhadap sita conservatoir tidak akan dapat memenuhi kriteria perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (6) HIR, karena jelas bahwa perlawanan tersebut bukan atas dasar hak milik. Namun pada prakteknya, yurisprudensi perlawanan pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini belum disyahkan terhadap sita jaminan yang bersifat conservatoir dapat diterima. Berdasarkan Pasal 207 ayat

(1) HIR, perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang telah memutuskan dilakukannya penyitaan. Pemeriksaan terhadap perlawanan dilakukan melalui acara biasa, dimana kedua belah pihak didengar dan dipanggil secara patut. c. Ganti Rugi HIR maupun Rbg sama sekali tidak mengatur mekanisme tuntutan ganti kerugian terhadap sita jaminan yang kemudian diangkat karena pengadilan menolak pokok perkara. HIR maupun Rbg juga tidak mensyaratkan pemohon sita jaminan untuk menyerahkan jaminan sebagai syarat dikabulkannya sita jaminan, sehingga praktis tidak terdapat suatu jaminan yang siap dieksekusi kepada tersita atas kemungkinan kerugian yang mungkin terjadi akibat sita tersebut. Sementara HIR dan Rbg tidak mengatur mekanisme ganti rugi, Rv justru memberikan kesempatan ganti rugi bagi tersita apabila sita jaminan tersebut kemudian diangkat. Pasal 732 Rv mengatur bahwa kreditur / pemohon sita dapat dihukum untuk membayar biaya-biaya, kerugian-kerugian dan bunga jika terdapat alasan untuk itu. MA pernah memutus bahwa kewajiban ganti rugi oleh kreditur / pemohon didasarkan pada konsep perbuatan melawan hukum dan menegaskan:

(1) Sita jaminan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) jika sita tersebut meliputi benda yang secara tegas dikecualikan dari sita, misalnya Pasal 197 ayat (8) HIR72. (2) PMH tidak otomatis terjadi jika pengadilan kemudian mengangkat sita tersebut73. Kedudukan suami isteri pada konsep sita marital adalah seimbang dan berlaku bagi suami isteri. Secara hukum hal ini diatur dengan tegas seperti yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya. Salah satu ketentuan umum yang berlaku untuk semua jenis penyitaan adalah adanya hak untuk meminta pengangkatan sita. Ketentuan ini juga berlaku pada sita marital. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 823 huruf h Rv dan dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu suami atau isteri dapat mengajukan permintaan pengangkatan sita marital, permintaan pengangkatan dapat diajukan terhadap semua atau sebagian harta yang disita74. Namun permintaan dan pengabulan atas pengangkatan disertai syarat yang harus dipenuhi, yaitu pemohon memberi jaminan yang cukup dan jaminan yang cukup itu disetujui pihak lain. 72

Putusan Mahkamah Agung No. 206 K/Sip/1955, 19 Januari 1957

73

Putusan Mahkamah Agung No. 124 K/Sip/1975, 15 Mei1975. Op Cit., Harahap., Yahya, M., hal 378

74

B. KENDALA PELAKSANAAN 1. Keterbatasan Informasi Hukum Dalam kasus penelitian, penggugat (isteri) tidak dapat menunjukkan dokumen asli (hanya salinan yang berupa fotocopy) dalam pembuktian gugatan harta bersama sehingga menjadi kehilangan kesempatan untuk memperoleh bagian harta bersama yang berakibat kerugian pada pihak isteri. Bahkan kurangnya informasi mengenai perolehan harta bersama mengakibatkan penggugat (isteri) mencantumkan harta bawaan suami (yang ternyata suami telah melakukan pertukaran dengan pihak ketiga selama perkawinan berlangsung tanpa sepengetahuan isteri) ke dalam gugatan juga menjadi indikasi bahwa kurangnya komunikasi perkawinan dimana isteri tidak mengetahui atas nama siapa saja harta yang ada dapat berakibat kerugian. Pada prinsipnya pembuat undang-undang bermaksud untuk memelihara dan menjaga kepentingan isteri dengan adanya Pasal 86 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Peradilan Agama, yang membuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan harta bersama yang dikomulasikan dengan perkara gugatan perceraian atau menggunakan gugat balik (reconventie). Dengan demikian para pihak dapat memanfaatkan upaya hukum banding atau kasasi bahkan peninjauan kembali sehubungan dengan harta bersama disamping sita marital, karena apabila isteri yang mengajukan

gugat cerai atau suami memohon cerai talak, maka biasanya penguasaan harta bersama yang lebih dominan adalah suami. Hal ini berarti bahwa dalam perceraian, pihak isteri yang dirugikan sehingga diantisipasi dengan dibukanya komulasi (penggabungan) gugatan harta bersama dengan gugatan perceraian atau gugat balik tersebut. Selanjutnya yang perlu diketahui adalah dalam hal surat gugatan, yang sebelum didaftarkan ke kepaniteraan pengadilan sudah ditandatangani oleh penggugat, harus dibuat dalam rangkap sekurang-kurangnya 4 (empat), terdiri 1 (satu) asli dan 3 salinan75. Kemudian didaftar sebagai perkara di kepaniteraan pengadilan dengan diberi nomor register perkara, setelah penggugat membayar sejumlah uang muka (forskot) biaya perkara yang besarnya ditetapkan oleh Ketua Pengadilan (Pasal 121 ayat (4) HIR). Pada dasarnya gugatan dibuat oleh Penggugat dalam bentuk tertulis, akan tetapi apabila Penggugat adalah seorang yang buta huruf (tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis huruf latin) maka gugatan dapat diajukan secara lisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 120 HIR yang berbunyi: “Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh diajukan secara lisan kepada ketua pengadilan; ketua itu akan mencatat tuntutan itu atau menyuruh mencatatnya” 76. Cara yang ditempuh adalah penggugat langsung menghadap Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, kemudian penggugat menceritakan 75

Azhar, Cholidul., Sekilas tentang Gugatan / Permohonan Cerai ke Pengadilan Agama (Magetan), 2008, pamagetan.net 76 “Het Herziene Indonesisch Reglement”, legalitas.org

duduk persoalan perkaranya dengan jelas dan menyampaikan hal-hal yang diminta / digugat untuk diputuskan oleh pengadilan. Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk tersebut akan mendengarkan dengan seksama semua penjelasan penggugat dan mencatatnya dalam bentuk Catatan Gugatan Lisan yang dirumuskan dengan sistematika tertentu dan kemudian Catatan Gugatan tersebut ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan / Hakim yang ditunjuk. Catatan Gugatan yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk tersebut berfungsi sebagai pengganti gugatan tertulis bagi Penggugat yang buta huruf77. Surat gugatan harus dibuat dengan jelas tentang status dan hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat dan memuat peristiwa-peristiwa tentang hal-hal yang terjadi dan menyebabkan penguasaan hak oleh Tergugat, serta fakta-fakta hukum yang menguraikan tentang adanya hak bagi Penggugat atau hubungan hukum yang menjadi dasar diajukannya gugatan. Apabila surat gugatan dibuat dengan uraian yang melantur dan tidak berhubungan dengan hal-hal yang digugat, maka gugatan tersebut bisa menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur libel), yang akibatnya hakim akan menjatuhkan putusan bahwa gugatan ”tidak dapat diterima” (niet onvankelijk

77

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

verklaard). Oleh karenanya agar surat gugat tidak ”kabur”, secara umum surat gugatan menggunakan sistematika sebagai berikut78: (1) Identitas: yaitu bagian yang memuat nama, umur, agama, pekerjaan, dan alamat penggugat dan tergugat sejelas-jelasnya; (2) Posita atau Fundamentum Petendi: yaitu bagian surat gugat yang memuat uraian tentang status penggugat dan hubungannya dengan tergugat, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi yang menjadi sebab atau melatarbelakangi adanya hal-hal yang akan digugat, serta tentang hukum yang menjadi dasar adanya hak bagi penggugat dan / atau menjadi dasar dibuatnya gugatan. (3) Petitum: yaitu bagian gugatan yang memuat secara konkrit hal-hal yang digugat / dituntut oleh penggugat. Kalimat-kalimat dalam petitum disusun sedemikian rupa dengan maksud agar pengadilan menjatuhkan putusan seperti itu. Semua hal yang ditampilkan dalam petitum harus mempunyai kaitan atau dasar uraian yang jelas dalam posita. Suatu petitum yang tidak ada uraian positanya, maka gugatan bisa menjadi ”kabur / tidak jelas” (obscuur libel)79. Dalam kasus penelitian, pada

78 79

Loc.Cit., Azhar, Cholidul. Op Cit., Azhar, Cholidul.

gugatan harta bersama pihak penggugat (isteri) tidak dapat menjelaskan secara rinci mengenai obyek gugatan yang berupa batas tanah, sehingga dianggap kabur / tidak jelas. Pada dasarnya cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami kepada isteri, sedangkan cerai gugat adalah cerai yang dijatuhkan oleh isteri kepada suami. Pernyataan talak seorang suami kepada isterinya harus dilegalisasi di depan pengadilan. Setelah pernyataan talak tersebut dilegalisasi di hadapan pengadilan kemudian pengadilan memberikan Legal Formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talak dari suami. Pemberian legal formal ini mengacu pada alasan-alasan cerai pada UndangUndang Perkawinan. Pada proses pemberian legal formal ini, hakim memberikan jangka waktu kepada suami untuk memikirkan kembali pernyataan suami untuk menjatuhkan talak. Pada dasarnya pernyataan talak tidak boleh diucapkan pada saat suasana hati diliputi emosi. Oleh karena itu sejak dikeluarkannya Surat Edaran dari Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 Pengadilan Agama diharuskan memberikan sarana mediasi dan mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut bagi pasangan suami isteri yang akan bercerai80.

80

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

Dengan pemberlakuan lembaga mediasi ini banyak permohonan talak yang ditolak oleh Pengadilan Agama. Alasan-alasan yang membuat Pengadilan Agama menolak permohonan talak, antara lain81: a. Permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan undangundang; b. Positanya obscuur (tidak jelas); c. Antara posita dan petitumnya saling bertentangan. Adanya lembaga mediasi dan difungsikannya secara optimal lembaga tersebut membawa banyak dampak positif karena lembaga mediasi ini selalu berpulang pada syar’i. Dengan demikian setiap perkara yang mengarah pada syiqaq, sedapat mungkin menggunakan lembaga mediasi. Lembaga mediasi ini dimaksudkan agar permohonan cerai suami isteri dapat berakhir dengan berdamainya kedua belah pihak dengan kata lain suami-isteri tersebut tidak jadi meneruskan permohonan cerai tersebut82. Apabila suami mengajukan permohonan talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal isteri. Sedangkan apabila isteri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan domisili isteri. Dalam hal ini, kaum isteri memang mendapatkan kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Mengenai tempat pengajuan gugatan perceraian mengacu pada Pasal 118 HIR. 81

Op Cit., Azhar, Cholidul.

82

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

Setelah cerai, maka bagi isteri berlaku masa tunggu (masa iddah), yaitu selama tiga bulan sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa iddah-nya adalah sampai melahirkan. Masa iddah tersebut berlaku ketika putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak, maka masa iddah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh Pengadilan Agama83. Apabila masa iddah telah lewat dan mantan suami isteri ingin kembali rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk. Kecuali suami telah menjatuhkan talak tiga kepada isteri, maka suami tidak dapat lagi rujuk dengan isteri kecuali isterinya telah menikah lagi dengan pria lain kemudian pria tersebut menceraikan isteri barulah suami terdahulunya dapat menikahi kembali isteri. Arti rujuk secara umum adalah kembali84. Dalam istilah agama, talak atau cerai berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Adanya talak (perceraian) dalam Islam hanyalah satu alternatif dalam memecahkan suatu bahaya akibat tetapnya suatu ikatan perkawinan namun tidak didasari norma-norma agama atau tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, karena itu talak atau perceraian harus didasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh syari’at85. 83

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

84

Thahir, Helmy., “Perceraian Menurut Undang-undang Perkawinan”, pemantauperadilan.com

85

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

Didalam hukum Islam, talak terdiri dari beberapa macam. Baik ditinjau dari segi bilangan dan kebolehan, maupun ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya sebagai berikut86: a) Ditinjau dari segi bilangan dan kebolehan kembali kepada mantan isteri; Yaitu talak terbagi dua yaitu talak raj’i dan talak bain. 1. Talak Raj’i adalah talak satu dan dua, dimana mantan suami dimungkinkan kembali kepada mantan isterinya dengan tanpa akad (baru), yaitu manakala mantan isteri itu masih dalam masa iddah dari talak satu atau dua tersebut; 2. Talak Bain, terdiri dari dua macam, yaitu: (1) Sughra adalah talak yang tidak memberikan hak rujuk kembali kepada mantan suami terhadap mantan isterinya (baik talak satu maupun dua) karena masa iddah telah habis.

Dalam

kondisi

ini,

mantan

suami

masih

diperbolehkan mengawini mantan isterinya itu dengan akad dan mahar baru. (2) Qubra adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk rujuk dan kawin kembali kepada isterinya meskipun dengan akad dan mahar baru, kecuali apabila mantan isterinya itu pernah menikah dengan laki-laki lain dan setelah lepas darinya yang telah habis masa iddahnya. 86

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 26 Januari 2009

b) Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya. Dari sisi ini, talak terbagi tiga macam, yaitu: 1. Talak Suni / Talak Jawaz yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunah yang meliputi dua syarat, yaitu isteri yang ditalak sudah pernah digauli (disetubuhi); isteri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yakni ia dalam keadaan suci dari haid dan belum digauli ketika talak dijatuhkan. 2. Talak Bid’i / Talak Haram yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntutan sunah / tidak memenuhi kriteria yang terdapat dalam talak suni. Talak ini diharamkan karena merugikan pihak isteri sebab iddahnya lebih lama dari iddah talak suni. Macam talak yang masuk dalam kategori talak ini adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri disaat sedang haid dan begitupun ketika nifas (40 hari setelah melahirkan); talak yang dijatuhkan kepada isteri disaat ia dalam keadaan suci, tetapi pernah digauli (disetubuhi) dalam rentan waktu suci tersebut. 3. Talak bukan Suni dan Talak bukan Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan terhadap salah satu hal berikut: isteri yang ditalak itu belum pernah digauli (disetubuhi); isteri yang ditalak itu belum pernah haid / telah lepas dari masa haid (menopause); dan / atau isteri yang ditalak dalam keadaan hamil.

Pada kasus penelitian majelis hakim dalam putusannya menjatuhkan talak 1 (satu) Ba’in Sughra dari tergugat kepada penggugat, hal ini berarti talak yang tidak memberikan hak rujuk kembali kepada mantan suami terhadap mantan isterinya (baik talak satu maupun dua) karena masa iddah telah habis. Untuk kondisi ini, mantan suami masih diperbolehkan mengawini mantan isterinya itu dengan akad dan mahar baru. Pada umumnya terdapat 3 hal yang biasa dituntut / diminta dalam gugatan perceraian, yakni87: a) Statusnya untuk bercerai; b) Hak mendapatkan pemeliharaan anak; dan c) Hak mendapatkan pembagian harta bersama.

2. Gugurnya Nafkah Iddah dan Mut’ah Dalam kasus penelitian, gugatan cerai yang diajukan oleh isteri yang dalam tuntutannya antara lain menghendaki pemenuhan nafkah mutah dan nafkah iddah menjadi gugur, karena nafkah-nafkah tersebut dapat diperoleh hanya apabila yang mengajukan cerai talak adalah suami. Hal demikian merupakan kendala bagi isteri yang berupaya mencari keadilan setelah kondisi perkawinan sebagai pihak yang teraniaya, tetapi masih tidak mendapatkan hak atas nafkah pasca perceraian tersebut. 87

Sutrisno, Pengacara di Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

Pada dasarnya apabila yang mengajukan gugatan cerai adalah isteri maka hak mendapatkan nafkah mut’ah dan iddah menjadi gugur. Yang dimaksud dengan nafkah mut’ah adalah nafkah yang diberikan (mantan) suami sebagai hadiah terakhir untuk isteri, dapat berupa uang maupun benda / perhiasan; sedangkan nafkah iddah adalah nafkah berupa uang yang diberikan (mantan) suami kepada isteri setelah bercerai, yakni selama 3 bulan berturut-turut setelah cerai. Nafkah mut’ah dan iddah ini didapat seorang (mantan) isteri dari (mantan) suaminya apabila yang menggugat cerai adalah suami. Gugatan perceraian dilakukan dengan melalui prosedur pengajuan gugatan perceraian dan tata cara pengajuan gugatan sebagai berikut88: 1. Prosedur Pengajuan Gugatan Perceraian: Pihak-pihak yang berhak mengajukan gugatan cerai adalah: a. Bagi yang beragama Islam, maka hanya istri atau kuasanya yang berhak mengajukan gugatan cerai sedangkan suami mengajukan permohonan talak. b. Khusus untuk pegawai negeri sipil (PNS) wajib

memperoleh izin

terlebih dahulu dari atasannya. Mekanisme izin cerai bagi PNS adalah sebagai berikut: (1) Permintaan izin diajukan secara tertulis: (a) Kepada pejabat secara hierarki 88

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang.

(b) Mencantumkan alasan bercerai yang lengkap (2) Atasan akan memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat secara hierarki paling lambat 3 bulan. (3) Pejabat akan meminta keterangan tambahan dari isteri / suami dari PNS tersebut ataupun pihak lain apabila alasan dan syarat yang dikemukakan kurang meyakinkan. (4) Sebelum

mengambil

keputusan,

pejabat

akan

merukunkan

kembali dengan cara memanggil secara langsung suami maupun isteri untuk diberi nasehat. (5) Izin dapat diberikan apabila permohonan didasarkan pada alasan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. (6) Izin tidak dapat diberikan apabila: (a) Alasan bercerai karena isteri mendapat cacat badan atau penyakit

dengan

akibat

tidak

dapat

menjalankan

kewajibannya sebagai isteri. (b) Alasan bertentangan dengan ajaran / peraturan agama yang dianut PNS yang bersangkutan. (c) Alasan yang tidak terdapat dalam peraturan perundangundangan. (d) Alasan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan. (e) Alasan yang bertentangan dengan akal sehat.

2. Tata Cara Pengajuan Gugatan: a. Wilayah Pengajuan Gugatan: (1) gugatan diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal penggugat (isteri) kecuali penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. (2) bila penggugat (isteri) bertempat tinggal di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di daerah tempat tinggal tergugat. (3) bila penggugat (isteri) dan suami tinggal di luar negeri, gugatan diajukan

kepada

pengadilan

di

daerah

tempat

perkawinan

dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. b. Gugatan tersebut didaftarkan ke panitera perdata. c. Pada saat mendaftarkan gugatan diharuskan membayar biaya perkara. Jumlahnya berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) untuk biaya

administrasi.

Sedangkan

biaya-biaya

lain

(pemanggilan,

pemberitahuan putusan, dan sebagainya) ditentukan dengan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri atau Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama. d. Menyerahkan 5 rangkap gugatan cerai. Apabila tidak mampu

membayar biaya gugatan, maka dapat

dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mengajukan permohonan berperkara tanpa biaya (prodeo).

b. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri pada saat mendaftarkan gugatan dengan dilampirkan surat keterangan tidak mampu dari Kelurahan (diketahui oleh Rukun Tetangga / Rukun Warga).

3. Waktu Penyelesaian Berlarut-larut Diperbolehkannya komulasi gugatan adalah menguntungkan di satu sisi, tetapi di sisi lain apabila ternyata apabila pihak yang tidak puas dengan putusan yang dijatuhkan majelis hakim dapat mengakibatkan berlarutlarutnya penyelesaian perceraian. Hal tersebut dikarenakan penggunaan upaya hukum banding, kasasi ataupun peninjauan kembali dalam perkara gugatan perceraian (dengan atau tanpa komulasi dengan harta bersama), sehingga dengan demikian putusan cerai yang berkekuatan hukum tetap menjadi lebih lama. Keadaan demikian dapat disalahgunakan oleh pihak yang beritikad buruk, misalnya menunda perceraian demi menghalangi kepentingan pihak lain, seperti dugaan pihak lain akan menikah lagi dan sebagainya, meskipun pengadilan tidak bisa ikut campur dan upaya hukum tetap dapat digunakan89. Walaupun pada kenyataannya, tujuan diberlakukan komulasi gugat agar tercapai manfaat penyederhanaan proses sehingga pemeriksaan perkara menjadi singkat, cepat dan hemat lebih cenderung

89

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

dirasakan apabila gugatan-gugatan yang dikomulasikan itu berkenaan dengan kebendaan. Namun jika komulasi gugat itu berkenaan masalah perceraian dengan harta bersama, seringkali justeru penyelesaian perkara perceraiannya lama dan cenderung menimbulkan dampak sosial negatif yang sangat serius90. Di antara dampak sosial yang terjadi akibat lamanya penyelesaian perkara antara lain, terjadinya nikah di bawah tangan. Dampak ini terjadi karena para pihak tidak dapat segera melangsungkan perkawinan secara sah karena harus menunggu putusan gugatan harta bersama yang dibarengkan dengan gugatan perceraiannya. Terjadinya perkawinan di bawah tangan sebelum adanya putusan cerai ini mengakibatkan terjadinya poligami liar yang memunculkan problem sosial baru, atau lebih buruk adalah apabila perkawinan di bawah tangan ini dilakukan oleh isteri dengan laki-laki lain yang berarti telah terjadi poliandri sebab secara hukum masih terikat oleh perkawian dengan suaminya yang lama. Pernikahan demikian merupakan pelanggaran hukum yang serius terutama hukum Islam. Suami isteri yang rumah tangganya tidak layak lagi dipertahankan dan keduanya sudah menghendaki perceraian, terpaksa belum segera bisa mengakhiri ikatan perkawinannya. Hal ini terjadi karena sengketa harta bersama yang dikomulasikan dengan gugat cerai masih dalam pemeriksaan tingkat kasasi bahkan tidak menutup kemungkinan sampai tingkat peninjauan kembali. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya perkara yang harus 90

Op Cit., Syahlani, Hensyah, hal. 17-19

diselesaikan oleh Mahkamah Agung, sehingga seringkali penyelesaian perkara kasasi memakan waktu cukup lama. Guna

mengatasi

penyelesaian

perkara

yang

berlarut-larut

ini

Mahkamah Agung khususnya lingkungan peradilan agama telah menetapkan kebijakan

untuk

memberikan

prioritas

penyelesaian

perkara

yang

menyangkut perceraian, namun demikian, para pihak berperkara masih merasakan lamanya penyelesaian perkara karena proses perkaranya sudah dimulai sejak tingkat pertama. Jika dihitung secara kasar dengan proses pemeriksaan yang (relatif) cepat, misalnya di tingkat pertama diperkirakan selama dua bulan, kemudian proses dan pemeriksaan di tingkat banding selama empat bulan dan proses serta pemeriksaan di tingkat kasasi selama satu tahun, maka waktu yang dilalui sudah selama satu setengah tahun. Waktu satu setengah tahun ini bagi para pihak yang perceraiannya tidak disebabkan oleh gangguan pihak ketiga, mungkin dirasakan tidak terlalu lama, tetapi bagi para pihak yang perceraiannya disebabkan adanya gangguan pihak ketiga, waktu demikian akan dirasakan lama. Kasus demikian akan lebih meningkat apabila penyelesaian perkaranya memakan waktu lebih lama. Selain memberikan prioritas terhadap penyelesaian perkara yang berkenaan dengan perceraian, Mahkamah Agung pada Rapat Kerja Nasional di Makasar Tahun 2007 melalui komisi yang membidangi peradilan agama telah merumuskan beberapa kesepakatan untuk mencari solusi atas berlarut-

larutnya penyelesaian perkara perceraian yang dikomulasikan dengan harta bersama. Pada huruf A angka 2 menyatakan: “Untuk menghindari berlarut-larutnya proses penyelesaian perkara perceraian, agar perkara perceraian tidak selalu dikomulasikan dengan harta bersama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka pada harta bersama tersebut dapat diletakkan sita”91. Kebijakan yang dirumuskan tersebut menunjukkan adanya perhatian yang serius untuk mempercepat proses perkara perceraian, namun tidak jelas kepada siapa anjuran itu ditujukan, apakah kepada aparat pengadilan atau kepada para pihak yang berperkara serta belum jelas bagaimana implementasinya. Jika kepada para pihak berperkara kiranya kebijakan itu kurang efektif karena keberhasilannya sangat bergantung kepada kehendak para pencari keadilan. Tetapi jika anjuran itu ditujukan kepada aparat peradilan, kepada siapa ditujukan, apakah kepada hakim yang mengadili perkara atau kepada pejabat / petugas kepaniteraan yang menerima gugatan. Jika kepada hakim, bagaimana mengimplementasikannya karena menurut pendapat Mahkamah Agung dalam jawabannya atas permasalahan yang disampaikan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, hakim tidak dibolehkan mengadili secara terpisah selama penggugat menghendaki adanya komulasi

91

Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indonesia, Makassar, 2007, hal 3-4

gugat92. Jika anjuran itu ditujukan kepada pejabat / petugas kepaniteraan bagaimana cara yang harus dilakukan agar tidak melanggar ketentuan yang diharuskan karena tugas pejabat kepaniteraan hanyalah menerima gugatan dan tidak boleh mencampuri terlalu jauh kepada pencari keadilan kecuali sekedar memberikan penjelasan seperlunya. Terhadap rumusan dan jawaban Mahkamah Agung tersebut timbul persepsi sebagai berikut93: a) Anjuran Agar Tidak Dilakukan Komulasi Gugat. Pada umumnya, terutama di kota-kota kecil para pencari keadilan yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama masih awam hukum acara sehingga mereka datang ke pengadilan belum menyiapkan surat gugat dan seringkali meminta bantuan kepada pengadilan untuk menyusun gugatan. Pada dasarnya aparat pengadilan tidak dibenarkan mencampuri terlalu jauh mengenai apa yang akan digugat kecuali sekedar memberikan penjelasan seperlunya. Adapun materi gugatannya diserahkan sepenuhnya kepada calon penggugat, baik mengenai positanya maupun petitumnya. Namun demikian, bukan berarti aparat peradilan dilarang memberikan petunjuk terhadap hal-hal yang sifatnya penjelasan, misalnya mengenai fakta kejadian dan objek gugatan yang harus disampaikan secara jelas, apa saja yang hendak 92

Mahkamah Agung, Permasalahan Dari Daerah dan Jawaban Bidang Agama, Jakarta, 2007, hal 25

93

Abidin, Zaenal., Panitera Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

digugat, kapan mereka akan bersidang, apa saja yang harus dilakukan ketika memasukkan gugatan dan lain-lain yang sifatnya bukan menyuruh atau melarang mengajukan gugatan. Berkaitan dengan

pemberian

penjelasan

ini,

apakah

rumusan

yang

menganjurkan agar perkara perceraian tidak selalu dikomulasikan termasuk dalam kategori telah mencampuri pihak berperkara terlalu jauh yang tidak dibenarkan atau masih termasuk dalam batas-batas yang dibenarkan. Sikap aparat peradilan dalam melaksanakan anjuran ini dapat menimbulkan kesan yang berbeda tergantung bagaimana aparat peradilan memberikan penjelasan. Jika aparat peradilan keliru atau tidak bijaksana dalam memberikan penjelasan bisa jadi para pihak memperoleh kesan pengadilan seolah-olah bahkan telah melarang mengajukan komulasi gugat. Tetapi jika aparat peradilan itu bijaksana dalam pemberian penjelasan, maka kesan seperti itu bisa dihindarkan. Oleh karena itu untuk melaksanakan rumusan tersebut diperlukan kemampuan dan keterampilan yang memadai dalam memberikan penjelasan, dan penjelasan yang diberikan itu sekedar memberikan gambaran tentang sisi positif dan negatif komulasi gugat. Mengenai apakah penggugat akan mengajukan gugatannya secara berdiri sendiri atau akan dikomulasikan, semua itu tetap tergantung kepada para pihak. Meskipun aparat peradilan telah berupaya memberikan penjelasan

mengenai sisi negatif komulasi gugat, akan tetapi karena penentuan akhir tetap ada pada para pencari keadilan, maka tidak boleh berharap terlalu banyak akan efektifitas kebijakan itu. Lain halnya apabila anjuran itu ditujukan kepada hakim yang mempunyai otoritas mengambil keputusan, maka melalui kewenangan yang dimilikinya hakim dapat langsung menentukan sikapnya untuk memutus perkara secara tidak komulatif. Cara inilah yang dapat digunakan

untuk

mencari

solusi

terhadap

berlarut-larutnya

penyelesaian perkara perceraian yang dikomulasikan dengan gugatan harta bersama. b) Larangan Untuk Memutus Secara Terpisah. Mahkamah Agung melalui jawaban atas permasalahan yang diajukan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menyatakan apabila dalam perkara perceraian penggugat menginginkan adanya komulasi, maka hakim tidak boleh memutusnya secara terpisah. Pendapat ini tidak disertai penjelasan sehingga tidak diketahui alasan dan sandaran hukumnya. Pendapat Mahkamah Agung ini kemungkinan didasarkan kepada adanya kewajiban bagi hakim untuk

mengadili

setiap

gugatan

yang

diajukan

kepadanya

sebagaimana diatur dalam Pasal 178 ayat (2) HIR / Pasal 189 ayat (2) R.Bg., atau didasarkan kepada Pasal 16 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan “Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau tidak jelas, melainkan wajib untuk memeriksa setiap gugatan yang diajukan kepadanya harus diadili”. Jika demikian, maka ketentuan di atas merupakan ketentuan yang bersifat imperatif yang harus dijalankan oleh setiap hakim, namun apabila ketentuan tersebut merupakan ketentuan umum dalam mengadili setiap perkara bukan ketentuan yang mengatur tentang cara mengadili komulasi gugat. Oleh karena itu yang menjadi persoalan adalah apakah ada ketentuan yang mengharuskan komulasi gugat diputus secara sekaligus, atau apakah ada ketentuan yang melarang komulasi gugat diputus secara terpisah dan jika diputus secara terpisah apakah bertentangan dengan undang-undang94.

4. Pertentangan Dalam Praktik Beracara Pelaksanaan komulasi gugat juga menimbulkan permasalahan dalam praktek acaranya (hukum acara) antara lain:

94

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

a. Gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup95, sedangkan perkara kebendaan (harta bersama) dengan sidang terbuka96; b. Pembuktian saksi dalam gugatan perceraian yang didominasi alasan syiqaq (perceraian yang disebabkan oleh pertikaian para pihak yang sulit didamaikan) memerlukan kesaksian keluarga atau orang-orang dekat dengan kedua pihak97, sementara kesaksian yang demikian untuk pembuktian harta bersama bertentangan dengan Pasal 145 HIR/ Pasal 172 RBg; c. Proses perkara diputus dengan verstek (Tergugat tidak pernah hadir, dan telah dipanggil dengan cara sah dan patut), maka pemberitahuan bukan kepada pribadi / in person tetapi melalui Lurah / Kepala Desa, maka akibatnya yaitu penghitungan kesempatan untuk mengajukan verzet (perlawanan) atau masa berkekuatan hukum tetap (BHT) berbeda antara perkara perceraian dengan perkara harta bersama, perceraian dianggap terjadi terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 81 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006) yaitu 14 (empat belas) hari sejak diberitahukannya isi putusan kepada pihak yang tidak hadir (Pasal 188 ayat (1) HIR / Pasal 199 ayat (1) 95

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 68 ayat (2) / Pasal 80 ayat (2)

96 97

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19 ayat (1) Ibid., Pasal 76 ayat (1)

RBg)

sementara

mengajukan

verzet

hukum

kebendaan

(perlawanan)

(harta

masih

bersama)

terbuka

ketika

untuk akan

melakukan eksekusi yaitu sampai hari ke-8 (kedelapan) setelah aanmaning / peneguran (Pasal 129 ayat (2) HIR / 153 ayat (2) RBg) 98. Hal-hal demikian merupakan kendala karena meskipun komulasi gugatan harta bersama dengan perkara perceraian adalah berhubungan erat (asas

koneksitas

terpenuhi),

tetapi

dalam

praktik

beracara

tetap

menggunakan dua prosedur yang berbeda. Disamping itu, perbedaan jangka waktu yang tidak sama untuk pengajuan verzet sangat mempengaruhi lamanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga bertentangan dengan visi Pengadilan Agama.

5. Metode yang Digunakan Hakim Atas Cara Mengadili Seperti telah dikemukakan, tidak ada undang-undang yang mengatur tentang komulasi gugat kecuali Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Diterapkannya komulasi gugat sebelum lahirnya undang-undang tersebut dikarenakan adanya kebutuhan dalam praktek peradilan, bukan didasarkan kepada aturan yang ada. Melihat kenyataan demikian, maka undang-undang tersebut mengakomodirnya melalui pasal tersendiri seperti yang tertuang dalam Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1). Oleh karena itu dapat

98

Marjohan Syam, “Penyebab lamanya perkara perceraian (Kendala Peraturan Perundang-undangan)”, Hakim Tinggi pada Pengadilan Agama Pekanbaru, 03 Mei 2008

dikatakan bahwa hukum acara di lingkungan peradilan agama lebih maju dibanding hukum acara perdata yang ada. Pengaturan komulasi gugat tersebut merupakan cara pengajuan komulasi gugat yakni diperbolehkannya mengajukan gugat perceraian dengan gugatan lain, bukan cara mengadili. Adapun mengenai cara mengadilinya, apakah harus diputus secara bersamaan atau boleh secara terpisah undang-undang tersebut tidak mengaturnya. Dengan tidak adanya ketentuan yang mengatur, maka berdasarkan kaidah hukum yang menyatakan “jika tidak ada perintah dan tidak ada larangan berarti boleh”, kiranya tidak ada halangan apabila hakim boleh memilih mana yang lebih baik antara mengadili secara bersamaan dengan mengadili secara terpisah. Kebolehan ini bukan berarti bahwa hakim boleh menolak atau tidak mengadili perkara yang diajukan. Hakim tetap harus mengadilinya hanya tentang caranya tidak harus secara serentak. Menyikapi tidak adanya hukum yang mengatur ini, maka sudah menjadi kewajiban bagi hakim untuk menemukan hukumnya. Ada tiga metode penemuan hukum yang dapat dijadikan sandaran dalam menyelesaikan komulasi gugat secara terpisah yaitu99: a) Mengembalikan kepada prinsip bara’ah ashliyah yakni kebolehan untuk memilih mana yang akan digunakan. Apakah memutus secara bersamaan atau memutus secara terpisah.

99

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 26 Januari 2009

b) Penggunaan metode penemuan hukum “analogi” (qiyas) yaitu dianalogikan kepada penyelesaian perkara rekonvensi. c) Penggunaan metode penemuan hukum “mashlahah mursalah” karena adanya kemaslahatan yang nyata. Metode penemuan hukum bara’ah ashliyah merupakan metode penemuan hukum yang dipelopori oleh mazhab Zahiry. Menurut pendapatnya apabila dalam suatu permasalahan tidak ditemukan ketentuan hukum yang mengatur, maka dikembalikan kepada prinsip dasar bahwa segala sesuatu itu asalnya dibolehkan sampai ada aturan yang menentukan lain. Metode ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah “al-ashlu fil asy-yai al ibahah“. Berdasarkan prinsip ini, maka hakim boleh memilih antara menyelesaian komulasi gugat secara sekaligus, atau secara terpisah. Metode penemuan hukum kedua adalah melalui metode “analogi” (qiyas) yang dipelopori oleh Jumhur Ahli Ushul. Apabila terhadap suatu permasalahan tidak ada dasar hukumnya, maka terlebih dahulu dicari ketentuan hukum lain yang mirip dengan permasalahan yang dihadapi. Jika antara keduanya mempunyai kesamaan (illat) maka terhadap permasalahan yang tidak ada aturan hukumnya itu dianalogikan kepada permasalahan yang ada aturannya. Terhadap komulasi gugat ini kiranya dapat dilakukan analogi kepada penyelesaian gugat rekonvensi sebagaimana diatur dalam Pasal 132 b ayat (3) / HIR atau Pasal 185 ayat (3) R.Bg. Dua pasal ini membolehkan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan secara terpisah antara gugat konvensi dan gugat

rekonensi apabila ia berpendapat bahwa perkara yang satu dapat diselesaiakan lebih dahulu, namun tetap diadili oleh hakim yang sama. Pada hakekatnya gugatan rekonvensi merupakan komulasi dua tuntutan yaitu tuntutan penggugat dan tuntutan tergugat100, sehingga dapat dikatakan bahwa rekonvensi pada dasarnya merupakan komulasi gugat dalam bentuk lain. Dengan adanya kesamaan ‘illat yakni sama-sama merupakan bentuk penggabungan

gugatan,

maka

penyelesaian

komulasi

gugat

dapat

dianalogikan kepada penyelesaian perkara konvensi dan rekonvensi. Jika dalam konvensi dan rekonvensi, undang-undang membolehkan hakim memutus lebih dahulu gugat pokok (konvensi) dan membelakangkan gugat balik (rekonvensi), maka dalam komulasi gugat hakim pun boleh memutus lebih dahulu gugatan pokok dan membelakangkan gugatan ikutan atau gugatan yang digabungkan. Metode penemuan hukum ketiga adalah dengan menggunakan metode penemuan hukum mashlahah mursalah yang dipelopori oleh Imam Malik. Apabila suatu permasalahan tidak ditemukan pengaturannya,

maka

mempertimbangkan

permasalahan

kemaslahatan

tersebut

umat.

Telah

diselesaikan dikemukakan

dengan bahwa

penyelesaian komulasi gugat secara terpisah secara nyata memberikan kemaslahatan bagi para pihak karena mereka dapat segera melangsungkan pernikahan tanpa harus menunggu putusan harta bersama, bahkan mereka 100

Op Cit., Mertokusumo, Sudikno, hal 83

dapat terhindar dari perilaku sosial yang menyimpang yang melanggar ketentuan agama dan norma susila. Adanya kemaslahatan yang nyata dalam penyelesaian gugat komulasi secara terpisah ini dapat dijadikan alasan untuk menggunakan metode penemuan hukum mashlahah mursalah sekaligus dapat mewujudkan tujuan hukum Islam yakni mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemadlaratan. Meskipun diakui penyelesaian komulasi gugat ada manfaatnya, namun jika manfaat yang diperoleh tidak sebanding dengan kemudlaratan yang ditimbulkan, maka yang diutamakan adalah menolak kemudlaratan. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqhiyah yang menyatakan101: “apabila berkumpul antara kemaslahatan dan kemafsadatan, maka yang diutamakan adalah menolak kemafsadatan”. Dengan memperhatikan adanya dampak sosial negatif yang telah melanggar norma agama dan norma susila serta timbulnya problem sosial yang cukup serius

akibat

dari

berlarut-larutnya

penyelesaian

perkara,

kiranya

penyelesaian komulasi gugat dengan cara dipisah merupakan alternatif yang dimungkinkan. Namun demikian, berdasarkan tiga metode penemuan hukum itu hakim tetap dapat menyesuaikan dengan situasi yang dihadapi secara lebih tepat, baik itu mazhab Zahiry dengan mengembalikan kepada bara’ah ashliyah, pendapat Jumhur Ahli Ushul dengan menggunakan qiyas maupun Imam Malik melalui mashlahah mursalah. Terlepas dari metode penemuan

101

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

hukum mana yang akan digunakan, penyelesaian komulasi gugat perkara perceraian

dengan

cara

dipisah

semata-mata

berorientasi

kepada

terwujudnya tujuan hukum Islam yakni mendatangkan kamslahatan dan menolak kemadlaratan. Cara ini seolah-olah menyelisihi yusrisprudensi yang sudah tetap, dan bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal tersebut timbul sebagai berikut: a) Bertentangan Dengan Yurisprudensi Tetap. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum di samping sumber hukum lainnya seperti undang-undang, persetujuan, perjanjian antar

negara,

kebiasaan,

adat

istiadat

dan

doktrin.

Dalam

kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum, maka yurisprudensi tidak mengikat bagi hakim lain untuk mengikutinya, namun demikian, terhadap perkara yang tidak diatur dalam undang-undang atau undang-undang telah mengaturnya tetapi dipandang tidak jelas atau mengandung multi tafsir, maka dengan alasan praktis para hakim seringkali mengikuti putusan hakim terdahulu khususnya terhadap putusan hakim yang lebih tinggi102. Putusan hakim yang diikuti oleh hakim lain inilah yang disebut yurisprudensi. Semakin banyak hakim yang mengikuti putusan hakim terdahulu, maka putusan tersebut 102

Sanusi, Achmad, “Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia”, Tarsito, Bandung, 1991, hal.67-85

seringkali disebut dengan yurisprudensi tetap. Ketidakterikatan hakim terhadap yurisprudensi merupakan hak yang dimiliki oleh hakim. Setiap hakim memiliki kedudukan “souvereign103” yang dijamin oleh undang-undang. Hakim bebas untuk mengikuti atau tidak mengikuti yurisprudensi, apalagi jika menurutnya yurisprudensi itu telah tidak sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat. b) Bertentangan dengan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa tujuan komulasi gugat adalah untuk menyederhanakan proses berperkara sehingga terwujud asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Diadakannya asas ini tidak lain adalah untuk memberikan kemudahan dan pelayanan yang baik kepada masyarakat pencari keadilan. Upaya mewujudkan asas

ini

merupakan

kewajiban

pengadilan

(termasuk

hakim)

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang menyatakan bahwa pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha keras untuk mengatasi segala kendala demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Berdasarkan

asas

ini

pula

Mahkamah

Agung

telah

menetapkan visinya104: 103 104

Sovereignty, wikipedia.org Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia, Visi dan Misi, badilum.info

“Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien, serta mendapatkan kepercayaan publik, professional dan memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik”.

Bertitik tolak dari latar belakang diadakannya asas peradilan serta memperhatikan visi Mahkamah Agung, maka lembaga peradilan harus berupaya dengan sungguh-sungguh memberikan kemudahan dan pelayanan yang baik bagi pencari keadilan, atau dengan kata lain berusaha mewujudkan kemaslahatan bagi para pencari keadilan. Jika masyarakat penyelesaian

merasa

tidak

perkaranya

terlayani berarti

dengan

lembaga

baik

atas

peradilan

itu

proses tidak

menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya karena pengadilan tidak hanya institusi hukum, melainkan juga institusi sosial. Pengadilan tidak bisa dilihat sebagai institusi yang berdiri sendiri dan bekerja secara otonom, tetapi senantiasa berada dalam proses pertukaran (interaksi) dengan lingkungannya105. Berkenaan dengan komulasi gugat dalam perkara perceraian, maka yang perlu dicermati adalah cara mana yang lebih memberikan kemaslahatan bagi para pihak, apakah dengan diputus secara bersamaan atau diputus secara terpisah. Jika diputus secara bersamaan lebih memberikan kemaslahatan, maka cara itu yang harus 105

Raharjo, Satjipto., “Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional”, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal 204

ditempuh, sebaliknya jika diputus secara terpisah lebih memberikan kemaslahatan,

maka

cara

terakhir

yang

harus

ditempuh.

Memperhatikan banyaknya dampak sosial negatif yang terjadi akibat lamanya penyelesaian perkara cerai yang diputus bersamaan dengan gugatan lain, kiranya penyelesaian komulasi gugat demikian itu justru tidak sejalan dengan filosofi diadakannya asas peradilan sederhana, cepat

dan

biaya

ringan.

Sebaliknya

dengan

lebih

cepatnya

penyelesaian perkara secara terpisah, maka cara itulah yang lebih sejalan dengan prinsip peradilan. Oleh karena itu menjadi penting bagi hakim dalam menerapkan asas peradilan senantiasa harus mengingat filosofi diadakannya asas tersebut yakni untuk mendatangkan kemaslahatan bagi para pencari keadilan. c) Patokan Penyelesaian Komulasi Gugat Dalam Perkara Perceraian. Untuk

menghindarkan

terjadinya

disparitas

cara

penyelesaian

komulasi gugat oleh para hakim serta menghindarkan timbulnya penilaian negatif akan keperpihakan hakim, perlu dibuat patokan yang jelas. Dalam menentukan patokan ini pertimbangan yang paling tepat adalah dengan memperhatikan kondisi rumah tangga para pihak serta sikap mereka dalam mempertahankan keutuhan rumah tangganya, apakah kedua belah pihak telah tidak ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya atau masih adanya keinginan membina keutuhan rumah tangganya.

Pada saat perkara perceraian diajukan ke pengadilan, pada umumnya kondisi rumah tangga sudah mengalami keretakan yang serius dan kedua belah pihak sudah tidak ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya sehingga berharap segera terjadi perceraian. Dengan disegerakannya penyelesaian gugatan cerai ini, maka masing-masing pihak dapat segera membina rumah tangga baru dengan pasangan lain. Namun adakalanya keretakan rumah tangga belum sampai taraf yang serius sehingga masih dapat didamaikan, bahkan ada yang semula sudah menghendaki perceraian dan telah diputus oleh Pengadilan Agama ternyata ketika perkaranya masih adalam upaya hukum (banding / kasasi) rukun kembali, hanya saja kedua kasus terakhir ini prosentase sangat kecil. Memperhatikan kasus demikian, maka dalam menentukan apakah komulasi gugat itu lebih baik diputus secara bersamaan atau diputus secara terpisah, hakim dapat memperhatikan kondisi rumah tangga serta sikap yang ditempuh para pihak dalam mempertahankan keutuhan rumah tangga. Apabila dari salah satu pihak tidak menghendaki perceraian dan keretakan rumah tangga belum terlalu parah, maka cara yang lebih baik adalah diputus secara bersamaan. Melalui cara ini diharapkan, apabila pihak yang keberatan bercerai melakukan upaya hukum, maka waktu penantian putusan ini dapat digunakan untuk introspeksi sehingga masingmasing menyadari akan kesalahannya dan pada akhirnya rukun kembali. Tetapi jika kedua belah pihak sudah tidak menghendaki untuk membina keutuhan rumah tangganya dan memandang perceraian sebagai alternatif

yang terbaik, maka cara yang lebih baik diputus secara terpisah dengan mendahulukan gugatan cerainya agar segera ada kepastian. Apabila kedua pihak sudah tidak ingin mempertahankan rumah tangga, sementara secara lahiriah konflik rumah tangga belum terlalu parah, maka hakim perlu mempertimbangkan untuk memutus secara bersamaan atau secara terpisah, sebab jika diputus secara terpisah dengan masih sederhananya konflik rumah tangga tidak menutup kemungkinan bisa rukun kembali. Sebaliknya, jika diputus secara bersamaan berarti tidak sejalan dengan patokan di atas. Kondisi lain yaitu jika rumah tangga mereka secara lahiriah sudah sedemikian parah tetapi salah satu pihak tidak menghendaki perceraian. Jika diputus secara bersamaan, dapat dimungkinkan menjadi semakin menimbulkan kemadlaratan karena berlarut-larutnya penyelesaian perkara, sedang jika diputus secara terpisah di samping tidak sejalan dengan patokan di atas dapat menimbulkan penilaian negatif bagi pihak yang keberatan

cerai.

Dengan

didahulukannya

putusan

cerai

ini

dapat

mengundang persangkaan tidak baik dari tergugat bahwa hakim telah berpihak kepada penggugat. Terhadap permasalahan pertama, di mana kedua belah pihak sudah menghendaki perceraian namun secara lahiriah tangga mereka belum parah, dapat dikemukakan tanggapan, bahwa ukuran parah dan tidaknya rumah tangga seseorang berbeda satu sama lain. Meskipun secara lahiriah rumah tangga mereka tampak belum begitu parah tetapi bisa jadi konflik batin sudah sangat parah. Sebagaimana terjadi pada

kasus penelitian, kejadian-kejadian yang oleh penggugat dipandang sebagi peristiwa yang sangat menyakitkan sehingga timbul konflik rumah tangga yang sangat serius, oleh tergugat kejadian itu dipandang sebagai hal yang biasa. Orang yang biasa hidup dalam kehidupan keras sangat berbeda dengan orang yang hidup dengan suasana kelembutan. Kondisi rumah tangga seseorang tidak terlepas dari pengaruh kepribadian dan sosio-kultural masyarakat seperti taraf pendidikan, kedewasaan cara berpikir, kesabaran, cara hidup, aqidah, dan lain sebagainya. Dengan telah tidak adanya keinginan kedua belah pihak untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga memberikan indikasi antara keduanya telah terjadinya konflik batin yang serius sehingga akan lebih baik jika gugatan cerainya diputus lebih dahulu. Kalaupun di kemudian hari menyesali perceraian yang terjadi, mereka masih dapat melakukan rujuk dalam masa iddahnya, atau nikah baru jika masa rujuknya telah berakhir. Adapun terhadap kasus di mana salah satu pihaknya tidak menghendaki perceraian padahal kondisi rumah tangganya sudah tampak parah, dapat diberikan tanggapan, bahwa jika perkara ini diputus secara terpisah dengan mendahulukan gugatan cerainya, maka di samping dapat mengundang penilaian negatif akan keberpihakan hakim kepada penggugat,

juga

dapat

mengakibatkan

semakin

berlarut-larutnya

penyelesaian perkara. Tergugat yang merasa keberatan atas putusan cerai besar kemungkinan akan melakukan upaya hukum banding dan tidak menutup kemungkinan sampai kasasi bahkan sampai peninjauan kembali.

Jika hal ini terjadi, maka penyelesaiannya akan semakin berlarut-larut karena pemeriksaan gugatan lain yang dikomulasikan harus menunggu putusan cerai berkekuatan hukum tetap. Cara penyelesaian demikian ini akan membawa kemadlaratan bagi kedua belah pihak dan semakin membuka peluang terjadinya perilaku menyimpang. Selain itu juga semakin tidak sejalan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Dengan memperhatikan berbagai aspek hukum dan aspek sosial di atas, maka dipandang tepat patokan dalam memutus secara terpisah adalah “telah tidak adanya keinginan kedua belah pihak untuk mempertahankan rumah tangganya atau adanya keinginan kedua belah pihak untuk bercerai”. Dengan patokan ini hakim akan mudah menentukan cara mana yang akan digunakan. Jika keduanya sudah tidak ada keinginan untuk mempertahakan rumah tangganya, maka hakim memutus secara terpisah, sedang jika salah satu pihak masih berkeinginan untuk mempertahankan rumah tangganya, maka cara yang ditempuh melalui putusan sekaligus. Putusan dengan cara dipisah ini terdiri dari dua model yaitu106: a) Mengabulkan gugat cerainya sedangkan gugatan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima, atau b) mengabulkan gugat cerainya sedang gugatan lainnya ditunda atau digantung (aanhanging).

106

Hudlrien, Nor, M., Hakim Pengadilan Agama Semarang, Wawancara tanggal 20 Januari 2009

Apabila cara terakhir yang ditempuh, maka terhadap gugatan lainnya akan disidangkan kembali setelah putusan cerainya memperoleh kekuatan hukum tetap. Masing-masing dari dua model ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, namun yang paling praktis adalah model pertama yaitu dengan mengabulkan gugatan cerai sedang gugatan lain dinyatakan tidak dapat diterima (niet on fankelijke verklaard) atau yang lazim disingkat NO. Dengan dijatuhkannya putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima kemungkinan yang akan muncul adalah kekhawatiran penggugat akan dipindahtangankannya obyek sengketa, terutama jika dalam perkara itu terdapat perintah pengangkatan sita. Tergugat yang sejak semula sudah memperlihatkan indikasi akan memindahtangankannya objek sengketa akan lebih leluasa bertindak demikian. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara penggugat mengajukan permohonan penyitaan berdasarkan Pasal 95 ayat (1) KHI setelah dijatuhkannya putusan cerai. Jika dalam perkara tersebut pernah dilakukan penyitaan dan hakim telah memerintahkan pengangkatan, maka penggugat untuk kedua kalinya mengajukan permohonan sita. Atas permohonan tersebut Ketua pengadilan membuat penetapan perintah melakukan penyitaan, selanjutnya panitera atau juru sita akan meletakkan sita yang kedua kalinya. Tindakan penyitaan untuk kedua kalinya ini, meskipun benar menurut hukum acara tetapi tidak efisien bahkan bisa menimbulkan masalah dalam penyelenggaraan administrasi, baik oleh pengadilan maupun oleh kantor

pertanahan / Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ketidakefisiensian tersebut karena kerja panitera atau juru sita yang harus melakukan penyitaan terhadap obyek yang sama, tujuan yang sama dan subyek hukum yang sama. Selain itu dapat mengakibatkan kerancuan dan tumpang tindihnya kinerja baik pengadilan maupun BPN. Sangat mungkin terjadi panitera atau juru sita yang belum sempat melaksanakan perintah pengangkatan sita, telah diperintahkan lagi untuk melakukan penyitaan terhadap obyek yang sama. Kinerja yang demikian akan mengganggu penyelenggaraan administrasi. Guna menghindari permasalahan tersebut, perlu dicarikan jalan keluarnya agar kinerja pengadilan maupun BPN tidak tumpang tindih, efektif dan efisien. Solusi yang dapat dilakukan adalah Ketua pengadilan cukup membuat penetapan yang menyatakan bahwa objek sengketa tetap dalam keadaan tersita. Yang dijadikan dasar hukum mengeluarkan penetapan adalah Pasal 95 ayat (1) KHI dengan alasan demi penyederhanaan proses sehingga terwujud asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Petimbangan hukumnya mengacu kepada masih dalam keadaan tersitanya obyek sengketa sementara subyek hukum, jenis sengketa, obyek sengketa, dan tujuan penyitaan masih sama dengan perkara terdahulu yang menimbulkan penyitaan. Melalui cara ini kerancuan dan tumpang tindihnya kinerja pengadilan dan BPN dapat diatasi. Apabila di kemudian hari ternyata obyek sengketa itu akan dijual untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya mereka dapat memohon izin kepada pengadilan sebagaimana dimungkinkan

oleh Pasal 95 ayat (2) KHI, atau jika obyek sita itu diperlukan untuk keperluan lain,

maka

atas

kesepakatan

kedua

belah

pihak

dapat

memohon

pengangkatan sita baik sebagian maupun seluruhnya. Cara penyitaan demikian hanya dapat dilakukan apabila permohonan sita yang kedua kalinya diajukan

sesegera

mungkin

sebelum

dilakukan

pengangkatan

sita,

sedangkan jika sudah dilakukan pengangkatan sita, maka cara yang ditempuh adalah seperti penyitaan biasa. Oleh karena itu tidak ada salahnya jika aparat pengadilan memberikan penjelasan berkenaan dengan penyitaan ini.

BAB IV PENUTUP

A. SIMPULAN Berdasarkan uraian diatas mengenai perlindungan hukum isteri terhadap masalah harta yang dipersengketakan dalam gugatan harta bersama dalam perkara perceraian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Penyelesaian sengketa pembagian harta bersama bagi orang Islam merupakan kewenangan dari Pengadilan Agama. Upaya perlindungan hukum atas masalah harta bersama dapat ditempuh dengan cara meletakkan sita marital dan gugatan harta bersama. Tujuannya adalah agar mencegah terjadinya penyalahgunaan harta bersama oleh pihak suami, sehingga tidak merugikan keluarga. Cara pengajuan gugatan harta

bersama

dapat

dilakukan

bersamaan

dengan

gugatan

perceraian, hak asuh anak, nafkah anak dan nafkah isteri (komulasi gugatan) atau diajukan secara terpisah setelah gugatan perceraian diputus. Suami maupun isteri dapat mengajukan komulasi gugatan. Isteri dapat mengajukan gugatan lebih banyak dari suami yaitu dalam hal nafkah isteri (iddah dan mut’ah), sedangkan apabila suami mengajukan gugatan nafkah isteri maka menjadi janggal karena nafkah isteri adalah kewajiban suami. Isteri wajib diberi nafkah iddah

dan nafkah mutah apabila yang mengajukan cerai talak adalah suami, sedangkan apabila yang mengajukan gugatan cerai adalah isteri, maka kedua nafkah tersebut tidak dapat diberikan. Mengenai pembuktian atas sengketa harta bersama harus dilakukan dalam persidangan, agar dapat diketahui bahwa harta tersebut bukan harta asal atau harta bawaan. Pada hal demikian, hakim memutuskan perkara secara kasuistis, artinya dilihat dari kondisi per-kasus sehingga tercapai keadilan yang tidak berpihak. 2. Kendala yang kerap timbul dalam upaya perlindungan hukum yang ditempuh melalui gugatan harta bersama dalam perkara perceraian adalah keterbatasan pengetahuan hukum isteri, sehingga dalam berperkara dapat mempengaruhi putusan yang tidak sesuai harapan. Disamping itu, diperbolehkannya komulasi harta bersama dengan gugatan perceraian juga menimbulkan banyak permasalahan dalam praktek acaranya (hukum acara) yang saling bertentangan dan memakan waktu yang lama. Selanjutnya mengenai ketentuan dalam hal isteri menggugat cerai suami sehingga tidak mendapat nafkah mutah dan nafkah iddah, dan masih pula dibebani biaya perkara. Hal tersebut merupakan suatu kendala bagi isteri yang bermaksud mencari keadilan tetapi tidak mempunyai dana yang cukup.

B. SARAN Berdasarkan uraian diatas, maka berikut adalah saran penelitian: 1. Hendaknya harta bersama difungsikan sebagai manfaat dalam kelangsungan

perkawinan

dimana

kedua

belah

pihak

wajib

mempertanggungjawabkan dan menjaganya. Namun apabila harus terjadi perceraian dan terdapat sengketa mengenai pembagian harta bersama,

sebaiknya

diselesaikan

secara

damai

untuk

penyelesaiannya. Hakim dalam memutus perkara hendaknya tetap menggunakan hati nurani dan peka terhadap perkembangan, serta menggunakan kebebasan dengan sebaik-baiknya dalam memutus perkara agar putusannya mencerminkan rasa keadilan. Disamping itu juga

harus

bijaksana

serta

mampu

untuk

memutuskan

dan

menafsirkan suatu perkara yang belum ada ketentuan hukum yang mengaturnya. 2. Hendaknya isteri membekali diri dengan bekal pengetahuan hukum yang memadai dalam penyelesaian sengketa harta bersama secara hukum,

sehingga

menjadi

jelas

proses

upaya

hukum

yang

ditempuhnya, dengan menggunakan kemudahan yang disediakan oleh pembuat undang-undang, baik berupa peletakan sita marital maupun gugatan harta bersama. Hal tersebut untuk mengantisipasi terjadinya kerugian yang tidak perlu.

Hendaknya pembuat undang-undang dapat lebih memperhatikan kesesuaian prosedur yang ditetapkan antara undang-undang yang saling berkaitan, sehingga tidak tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Selanjutnya dalam hal isteri menggugat cerai suami, maka tidak mendapat nafkah mutah dan nafkah iddah, dan masih pula dibebani biaya perkara. Semestinya juga patut menjadi pertimbangan dimana isteri yang selama perkawinan telah mendapat tekanan fisik dan mental dari suami, maka sepatutnya nafkah pasca perceraian dapat diperoleh agar setidaknya dapat meringankan beban isteri. Pada ketentuan yang membolehkan suami mengajukan komulasi gugat antara permohonan cerai talak dengan nafkah anak dan nafkah isteri, terdapat kejanggalan yang disebabkan oleh karena nafkah anak dan nafkah isteri merupakan kewajiban yang harus ditanggungnya sehingga tidak logis apabila suami meminta agar dirinya dihukum untuk membayar kedua kewajibannya itu. Patut dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang mengenai ketentuan yang sudah ada agar penerapannya dalam praktik tidak menjadi saling berbenturan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdullah, Abdil Fathi., 2005, Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah, Terj.Solahudin Abdul Rahman, Gema Insani, Jakarta. Andasasmita, Komar., 1982, Notaris III – Hukum Harta Perkawinan dan Waris menurut Undang-Undang Hukum Perdata (Teori dan Praktek), Sumur bandung, Bandung. Anshori, Abdul Gofur., 2007, Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan), UII Press, Yogyakarta. Arikunto, Suharsimi., 1977, Prosedur Penelitian Pendekatan suatu Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Arifin, Bustanul., 1996, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia; Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta. Asfinawati., Ratnaningsih, Erna., Thioren, Ines., 2004, Bila anda harus cerai: Hak-hak Perempuan Seputar Perceraian, Cetakan Ke-1, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta. As-Shiddiqie, T.M. Hasby., 1974, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta. __________________, 1971, Pedoman Rumah Tangga, Pustaka Maju, Medan. Basyir, Ahmad Azhar., Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta. Budiono, Abdul Rachmad., 2003, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, Bayu Media Publishing, Bandung. Budiono, Herlien., 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Cetakan ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Dewi, Gemala., 2007, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kerjasama Kencana Prenada Media Group dan Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta. Fatimah., Muthmainnah, Yulianti., 2006, Harta Gono-gini: Mencari Formula yang Adil Untuk Perempuan, Cetakan I, Rahima Jakarta, Jakarta. Hadikusuma, Hilman., Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung. Hadi, Sutrisno., 2000, Metode Research Jilid I, ANDI, Yogyakarta. Hamid, Zahri., 1978, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Binacipta, Yogyakarta. Harahap, Yahya, M., 2005, Hukum Acara Perdata, cetakan ke-2, sinar grafika, Jakarta. ________________, 2001, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. ________________, 1995, Ruang Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta.

Lingkup

Permasalahan

Hoerudin, Ahrun., 1999, Bahasan tentang Pengertian Pengajar Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama setelah Berlakunya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, Citra Aditya Bakti, Jakarta. Junaedi, Dedi., 2000, Bimbingan Perkawinan, Akademik Presindo, Jakarta. Koentjoroningrat., 1991, Metode-Metode Penelitian Kualitatif Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Leter, M.B.gd., 1985, Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, Angkasa Raya, Padang. Mahkamah Agung., 2002, Pedoman Administrasi Pengadilan, Buku II, Jakarta.

Pelaksanaan

Tugas

Manan, Abdul., 2000, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan Al-Hikmah, Jakarta. Manan, Abdul., 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Meliala, Djaja S., 2006, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia, Bandung. Marpaung, L., 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno., 1979, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. ____________________, Pengantar, Liberty, Yogyakarta. ___________________, Hukum, Citra Aditya, Jakarta.

2004,

1992,

Penemuan

Bab-bab

Hukum

Tentang

Sebuah

Penemuan

Muhammad, Abdul Kadir., 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Nasution, Khoirudin., 2002, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Perkawinan Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, INIS, Jakarta. Nico., 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta. Nuruddin, Amir., Tarigan, Azhari Akmal., 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Prawirohamidjojo, Soetojo dan Martalena Pohan., 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Airlangga University Press, Surabaya. Raharjo, Satjipto., 1996, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta. Ramulyo, Moh Idris., 2006, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Sinar Grafika, Jakarta.

Sanusi, Achmad., 1991, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Tarsito, Bandung. Susanto, Happy., 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Visimedia Pustaka, Jakarta. Soekanto, Soerjono., 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo., 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soepomo, R., 2005, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta. Susilo R., 1985, RIB / HIR Dengan Penjelasannya, Pliteia, Bogor. Subekti., 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cetakan XXXII, Jakarta. _______, 1990, Ringkasan tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Intermasa, Jakarta. Sugiyono., 2006, Metode Penelitian Administrasi, CV. Alfabeta, Cetakan ke-14, Bandung. Sutantio, Retnowulan., Kartawianata, Iskandar Oerip., 1989, Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, Bandung. Syah, Isma’il Muhammad., 1965, Pentjaharian Bersama Suami Isteri: Adat Gono-Gini Ditinjau dari Sudut Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Syahlani, Hensyah., 2007, Pembuktian Dalam Beracara Perdata dan Teknis Penyusunan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, Yogyakarta. Utrecht / Saleh Djindang., 1983, Pengantar dalam hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru bekerjasama denan Sinar Harapan, Jakarta. Wasito, Hermawan., 1992, Pengantar Metodologi Penelitian, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Majalah:

Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Republik Indonesia di Makassar, 2007. Mahkamah Agung, Permasalahan Dari Daerah dan Jawaban Bidang Agama, Jakarta, 2007. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum Edisi 2007 yang dikeluarkan oleh Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia. Syam, Marjohan., Penyebab lamanya perkara perceraian (Kendala Peraturan Perundang-undangan), Hakim Tinggi pada Pengadilan Agama Pekanbaru, 03 Mei 2008.

Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Pengadilan:

Berkas Perkara Nomor 1031/Pdt.G/2008/PA.Sm. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kitab Undang-Undang Yogyakarta, 2006.

Hukum

Perdata,

Pustaka

Yustisia,

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan. Putusan Mahkamah Agung No 206 K/Sip/1955, 19 Januari 1957.

Putusan Mahkamah Agung No. 124 K/Sip/1975, 15 Mei1975. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Internet:

Azhar, Cholidul., 2008, Sekilas tentang Gugatan / Permohonan Cerai ke Pengadilan Agama (Magetan), pa-magetan.net. NMP., 2005, Buat Perjanjian Dulu Sebelum mengucapkan “Saya Terima”, Kompas.com. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia, Visi dan Misi, badilum.info. Het Herziene Indonesisch Reglement, legalitas.org. 2006, Kapan id.answers.yahoo.com.

Perlindungan

Hukum

Diberikan,

NMP., 2005, Menggugat Peraturan Hukum tentang Pengaturan Nafkah, Kompas.com. Persiapan Menghadapi Sidang Kasus Perceraian, lbh-apik.or.id. 2008, Proses Persidangan Perceraian, perempuan.com,. Reglemen Op De RechtsVordering, legalitas.org. Sita Jaminan, hukumpedia.com. Sovereignty, wikipedia.org.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 05 Tahun 1975, leip.or.id. Thohir, Helmy., 2003, Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan, pemantauperadilan.com.