Program Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan ...

17 downloads 7048 Views 149KB Size Report
Agama sebagai sumber nilai spiritual, moral dan etik bagi kehidupan berbangsa ... antar sesama manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Oleh sebab ...
LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA STRATEGIS KEMENTERIAN AGAMA TAHUN 2010 – 2014

BAB I PENDAHULUAN

A. LANDASAN FILOSOFIS Agama memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Pengakuan akan kedudukan dan peran penting agama ini tercermin dari penetapan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama falsafah negara Pancasila, yang juga dipahami sebagai sila yang menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. Oleh sebab itu, pembangunan agama bukan hanya merupakan bagian integral pembangunan nasional, melainkan juga bagian yang seharusnya melandasi dan menjiwai keseluruhan arah dan tujuan pembangunan nasional, yang untuk periode 2005-2025 mengarah pada upaya untuk mewujudkan visi “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur.” Selain memiliki posisi yang sangat penting, agama juga menempati posisi yang unik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini tercermin dalam suatu rumusan terkenal tentang hubungan antara agama dan negara di Indonesia bahwa “Indonesia bukanlah negara teokratis, tetapi bukan pula negara sekular.” Rumusan ini berarti tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak didasarkan pada satu paham atau keyakinan agama tertentu, namun nilai-nilai keluhuran, keutamaan dan kebaikan yang terkandung dalam agamaagama diakui sebagai sumber dan landasan spiritual, moral dan etik bagi kehidupan bangsa dan negara. Merujuk pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ada enam landasan filosofis bagi pembangunan bidang agama, yaitu:

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

1

1. Agama sebagai sumber nilai spiritual, moral dan etik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Pembangunan bidang agama merupakan upaya untuk mendorong peningkatan kualitas pengetahuan dan penghayatan umat beragama terhadap nilai-nilai keluhuran, keutamaan, dan kebaikan yang terkandung dalam ajaran agama. Pengetahuan dan penghayatan itu diharapkan dapat mengejawantah dalam perilaku dan akhlak mulia warga negara sehingga dapat menghasilkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat dan berkeadaban. Sebagaimana telah umum diyakini, agama bukan sekadar mengajarkan tentang hubungan antara pemeluk agama dan Sang Pencipta, melainkan juga tentang hubungan antar sesama manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Oleh sebab itu, pembangunan bidang agama diarahkan bukan saja untuk meningkatkan kualitas kesalehan individual umat beragama, tetapi juga mendorong terwujudnya kesalehan sosial dan ekologis, serta moralitas publik dalam pengelolaan kehidupan bernegara. Sikap toleran dan penghormatan terhadap pandangan dan keyakinan orang lain, kepedulian terhadap sesama manusia, kerjasama dan tolong-menolong, adalah di antara wujud dari kesalehan sosial. Sementara itu, pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya alam yang disertai perlindungan dan pemeliharaan kelestariannya antara lain merupakan bentuk-bentuk nyata dari kesalehan ekologis. Adapun moralitas publik dalam kehidupan bernegara antara lain termanifestasi dalam penyelengaraan urusan pemerintahan dan negara yang sejalan dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta terbebas dari perilaku korup dan menyimpang. 2. Penghormatan dan perlindungan atas hak dan kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi warga negara Hak dan kebebasan beragama warga negara diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 UUD 1945 Ayat 2 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Jaminan itu ditegaskan pula pada bagian lain, yaitu Pasal 28 E UUD 1945 Ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

2

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali,” dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selain itu, konstitusi juga menegaskan bahwa hak beragama adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun; bahwa setiap warga berhak mendapat perlindungan dari setiap perlakuan diskriminatif; dan bahwa perlindungan dan penegakan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28 I UUD 1945 Ayat 1, 2, dan 4). Sesuai amanat konstitusi, negara dan pemerintah berkewajiban memberikan jaminan dan perlindungan atas hak setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memberikan fasilitasi dan pelayanan untuk pemenuhan hak dasar warga negara tersebut. Dengan demikian, aspek perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak beragama sebagai bagian dari hak asasi warga negara menjadi landasan pokok bagi pembangunan bidang agama. Sementara kebebasan untuk beragama atau berkeyakinan merupakan hak asasi warga negara, namun manifestasi dari kebebasan beragama atau berkeyakinan itu merupakan aspek yang dapat dibatasi atau diatur oleh negara. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang disepakati oleh masyarakat internasional bahwa manifestasi kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat dibatasi berdasarkan undang-undang guna melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan dan moralitas publik, serta untuk melindungi hakhak fundamental atau kebebasan pihak lain (International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 18 Ayat 4). Pembatasan atau pengaturan serupa dinyatakan dalam Pasal 28 J UUD 1945 Ayat 2 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

3

3. Kerukunan umat beragama dan tata kelola kehidupan beragama Sebagai bangsa multietnis, budaya, dan agama, kerukunan hidup umat beragama menjadi hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerukunan hidup umat beragama menjadi pilar penting bagi terwujudnya persatuan, kesatuan, dan ketahanan nasional, sekaligus menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan keamanan yang niscaya bagi terselenggaranya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Landasan bagi pengembangan kerukunan umat beragama yang selama ini dijadikan pijakan adalah prinsip trilogi kerukunan, yaitu kerukunan antarumat beragama, kerukunan intraumat beragama dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah. Tantangannya adalah bagaimana kerukunan tersebut dikembangkan lebih jauh sehingga tidak hanya di kalangan elite agama, tetapi juga menjangkau lapisan umat beragama yang lebih luas. Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi setiap warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi negara Republik Indonesia. Namun demikian, diperlukan pengaturan menyangkut aspek perwujudan dari hak dan kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan itu agar kebebasan seorang warga tidak melanggar hak asasi dan kebebasan warga lain dalam beragama dan berkeyakinan, serta untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan dan moralitas publik. Oleh sebab itu, tata kelola kehidupan umat beragama menjadi penting dikembangkan guna mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan damai yang dilandasi atas sikap toleran dan saling menghormati di kalangan umat beragama, tanpa mencampuri substansi dari agama dan keyakinan yang dipeluk oleh warga negara. 4. Pengembangan karakter dan jati diri bangsa Cita-cita nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dilandasi keinginan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju, unggul, mandiri, bermartabat, beradab dan sejahtera. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah perlu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang dapat membentuk manusia Indonesia yang memiliki penguasaan dan keterampilan yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja dan daya saing, serta memiliki karkater Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

4

dan jatidiri bangsa yang kuat, dengan bertumpu pada keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia. Di dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3 dan 4 dinyatakan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang,” dan “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Upaya pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di samping peningkatan penguasaan dan ketrampilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan etos kerja dan daya saing, dilaksanakan melalui pembangunan agama dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan raudhatul athfal (RA), madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, berakhlak mulia, bermartabat, dan beradab. 5. Penyediaan fasilitasi dan pelayanan bagi umat beragama berdasarkan prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik Salah satu mandat konstitusional yang diemban dalam pelaksanaan pembangunan bidang agama adalah penyediaan fasilitasi dan pelayanan sebagai upaya pemenuhan hak beragama warga negara. Fasilitasi dan pelayanan itu dapat berupa regulasi, kebijakan dan program pembangunan bidang agama. Untuk mencapai keberhasilan yang maksimal, fasilitasi dan pelayanan itu perlu diselenggarakan berdasarkan prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik, meliputi: orientasi pada tercapainya konsensus, adanya keikutsertaan publik dalam pengambilan setiap kebijakan (participatory), bertumpu pada asas rule of law, efektif dan efisien, dapat dipertanggungjawabkan kepada warganya (accountable), berlangsung secara transparan (transparent), tanggap terhadap aspirasi dan kebutuhan warga (responsive), serta berlangsung adil dan terbuka bagi seluruh warga (equitable and inclusive). Arti penting pengembangan partisipasi dan kemitraan umat beragama dalam pembangunan bidang agama didasari atas kenyataan bahwa sebagian besar penyelenggaraan fasilitasi dan pelayanan keagamaan lebih banyak dikelola oleh umat Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

5

beragama sendiri. Selain itu, sumber daya manusia dan keuangan yang dimiliki pemerintah sendiri bukan tidak terbatas. Oleh sebab itu, partisipasi dan kemitraan masyarakat menjadi salah satu unsur penting bagi keberhasilan pembangunan bidang agama sekaligus menjadikan pembangunan bidang agama dapat berjalan lebih selaras dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan agama juga harus dilandasi prinisip perlakuan yang adil, setara dan terbuka bagi seluruh umat beragama, sejalan dengan pengakuan negara terhadap nilai keluhuran, keutamaan dan kebaikan agama-agama sebagai landasan spiritual, moral dan etik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lebih dari itu, pembangunan agama harus didasarkan atas prinsip akuntabilitas agar pembangunan agama dapat berdayaguna dan berhasil-guna.

B. KONDISI UMUM Berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, yang telah disempurnakan dengan PP Nomor 62 Tahun 2005 Pasal 63, Departemen Agama mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan. Di samping itu, Kementerian Agama juga melaksanakan sebagian program pembangunan nasional di bidang pendidikan, yaitu Raudhatul Athfal, Madrasah, dan Perguruan Tinggi Agama sesuai dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007. Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, Kementerian Agama perlu menyusun Rencana Strategis (Renstra), yang tahapan dan tata cara penyusunannya didasarkan atas hirarki sasaran nasional. Penyusunan program pembangunan kementerian Kabinet Indonesia Bersatu II 2009-2014 dilandasi atas platform dasar yang mencerminkan visi dan misi presiden dan wakil presiden. Visi dan misi tersebut selanjutnya dituangkan dan dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 20102014, yang di dalamnya mengandung hal-hal yang harus dijadikan sebagai prioritas nasional oleh seluruh dan setiap kementerian. Terdapat 11 prioritas nasional Kabinet Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

6

Indonesia Bersatu II 2009-2014, yaitu: reformasi birokrasi dan tata kelola; pendidikan; kesehatan; penanggulangan kemiskinan; ketahanan pangan; infrastruktur; iklim investasi dan iklim usaha; energi; lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pascakonflik; serta kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi. Selanjutnya RPJMN 2010-2014 dituangkan ke dalam Program 100 Hari dan Program Bidang Sektoral, yang dijabarkan ke dalam Rencana Strategis Kementerian. Bagian pokok Rencana Strategis Kementerian menjabarkan arah kebijakan dan strategi kementerian, yang selanjutnya akan dijabarkan dalam bentuk program, hasil jangka menengah yang hendak dicapai dan indikator pencapaiannya (outcomes); kegiatan strategis, keluaran (outputs) yang hendak dihasilkan dan indikator keluarannya (outputs); strategi implementasi dan pendanaan. Rencana Strategis Kementerian Agama 2010-2014 disusun berdasarkan kerangka logis dan alur berpikir, sebagaimana telah diuraikan tersebut. Setidaknya terdapat lima hal pokok yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama dalam penyelenggaraan pembangunan bidang agama, yaitu: (1) peningkatan kualitas kehidupan beragama; (2) peningkatan kerukunan umat beragama; (3) peningkatan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan; (4) peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dan; (5) penciptaan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dalam periode pembangunan agama 2004-2009, sejumlah perkembangan penting yang telah dicapai pada 5 (lima) bidang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bidang Kehidupan Beragama Program peningkatan kualitas kehidupan beragama tahun 2004-2009 diarahkan untuk mengatasi problem masih rendahnya pemahaman dan pengamalan keagamaan sebagian umat beragama; belum optimalnya pembinaan aliran keagamaan; kurangnya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan; rendahnya mutu pembinaan keluarga; belum optimalnya pelayanan administrasi keagamaan; dan

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

7

mengatasi fenomena meningkatnya radikalisasi dan liberalisasi pemahaman keagamaan. Upaya meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan dilakukan melalui berbagai langkah penting antara lain melalui penerbitan kitab suci dan digitalisasi naskah; bantuan kegiatan keagamaan; peningkatan kualitas bimbingan dan konsultasi keagamaan; penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan; penyelenggaraan berbagai lomba keagamaan, seperti MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), Pesparawi, Utsawa Dharma Gita, dan Festival Seni Baca Kitab Suci Tipitaka/Tripitaka; peningkatan pembinaan penyuluh dan juru penerang agama; bantuan kitab suci dan buku-buku keagamaan; penjelasan secara mendalam (tahqiq) buku-buku keagamaan; pentashihan Mushaf Al-Qur’an; pemanfaatan media massa cetak dan elektronik sebagai wahana pembinaan umat; pengembangan sistem informasi keagamaan; peningkatan pembinaan keluarga sejahtera, serta bantuan rehabilitasi dan pembangunan untuk 4.487 unit rumah ibadah (masjid, gereja, pura, dan vihara). Dalam rangka peningkatan layanan administrasi keagamaan, telah dibangun 357 gedung KUA baru dan rehabilitasi 713 gedung KUA, serta penyediaan dana operasional KUA. Demikian pula dalam upaya mengintensifkan peran penyuluh agama telah dilakukan program pemberian honor insentif bagi 90.510 penyuluh agama non-PNS bagi semua agama setiap tahun. Di samping itu, telah diselenggarakan pula berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu kebijakan dan tata kelola pelayanan administrasi keagamaan. Untuk meningkatkan kesejahteraan umat beragama telah dilakukan berbagai upaya optimalisasi pengelolaan dana sosial keagamaan. Di lingkungan umat Islam telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam penerimaan zakat yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional dari 300 miliar pada tahun 2006 menjadi 1 triliun pada tahun 2009. Di samping itu, pemerintah juga telah berupaya mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan wakaf untuk kepentingan produktif. Sebagian pencapaian dari upaya peningkatan kualitas kehidupan beragama tampak dari meningkatnya gairah keagamaan masyarakat; tumbuh suburnya majelis-

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

8

majelis zikir; berkembangnya pusat-pusat kajian keagamaan; maraknya upacara keagamaan; meningkatnya kualitas bimbingan dan konsultasi keagamaan; meningkatnya kualitas penyuluh agama; meningkatnya kemudahan akses terhadap kitab suci dan buku-buku keagamaan; meningkatnya sumber informasi keagamaan; meningkatnya fungsi rumah ibadat; tumbuhnya perpustakaan rumah ibadat; kemudahan akses pelayanan keagamaan; meningkatnya pembinaan keluarga sejahtera; meningkatnya partisipasi lembaga sosial keagamaan sebagai agen pembangunan nasional; serta meningkatnya pelaksanaan berbagai regulasi di bidang kehidupan keagamaan. 2. Bidang Kerukunan Umat Beragama Sebagai bangsa multietnik, multikultur, dan memiliki keragaman keyakinan keagamaan, kerukunan umat beragama menjadi hal sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia, kerukunan umat beragama menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas dan ketahanan nasional. Untuk meningkatkan kerukunan umat beragama dalam lima tahun terakhir telah dilakukan langkah-langkah antara lain: reharmonisasi kehidupan sosial keagamaan daerah pascakonflik; optimalisasi antisipasi disharmoni sosial daerah rawan konflik; penguatan peran dan pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal; peningkatan pemahaman agama berwawasan multikultural; pengembangan budaya damai; participatory action research (PAR) untuk pengembangan model kerukunan; pemberdayaan organisasi keagamaan; serta penguatan peran tokoh dan pemuka agama. Upaya meningkatkan kerukunan umat beragama juga dilakukan antara lain melalui penerbitan, sosialisasi, dan implementasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Sejak penerbitan Peraturan Bersama tersebut, telah berdiri sebanyak 33 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi dan 383 FKUB Kabupaten/Kota.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

9

Selain itu, dalam upaya menangani kontroversi yang berkepanjangan menyangkut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah juga telah menerbitkan SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Sejalan dengan langkah tersebut, telah dilakukan pula berbagai kegiatan diklat dan orientasi kerukunan bagi para penyuluh agama, dai/juru penerang dan sejenisnya; dan program bantuan buku-buku keagamaan dalam rangka pencerahan wawasan keagamaan masyarakat. Dalam membangun kerukunan umat beragama di kalangan generasi muda lintas agama telah dilakukan sejumlah kegiatan peningkatan pemahaman dan wawasan serta pengamalan ajaran agama yang berwawasan multikultural berupa kegiatan kunjungan dan dialog pemuda lintas agama, dengan melibatkan 200 pemuda dari berbagai organisasi dan latar belakang agama setiap tahunnya. Dalam lima tahun terakhir telah dilakukan dua kali Kongres Tokoh Agama dan Pengurus FKUB se-Indonesia. Dalam kongres tersebut telah dihasilkan sejumlah keputusan penting, antara lain: negara harus menjadi zona netral dalam kehidupan umat beragama; negara tidak boleh terlibat dalam urusan internal agama-agama; negara harus menjamin kebebasan beragama dan tidak dapat diambil alih oleh negara; serta negara berperan sebagai fasilitator dalam kehidupan umat beragama. Di dunia internasional, Kementerian Agama juga berperan aktif dalam menjalin kerjasama kerukunan, seperti terlihat dalam penyelenggaraan The 2nd Asia-Europe Meeting (ASEM) Youth Interfaith Dialogue yang diselenggarakan pada tahun 2008 di Bandung, Jawa Barat. Para pemuda dari 40 negara anggota ASEM berpartisipasi dalam kegiatan ini, yang menghasilkan kesepakatan tentang perlunya membangun kerjasama internasional pemuda dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan kerjasama dalam membangun kerukunan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

10

Selain dialog di kalangan pemuda, telah diselenggarakan pula kegiatan dialog di kalangan

para

tokoh

agama

internasional

melalui

kegiatan

ASEM

Interfaith/Intercultural Retreat for Religious Leaders di Yogyakarta. Kegiatan ini dihadiri para tokoh agama dari negara-negara anggota ASEM. Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada para tokoh agama Asia dan Eropa untuk bertukar pandangan tentang berbagai isu guna mencari titik temu dan aksi nyata bagi peningkatan harmonisasi umat beragama di masa-masa yang akan datang. Kementerian Agama bersama Kementerian Luar Negeri terlibat aktif dalam kegiatan dialog lintas agama internasional, dengan mengirim utusan pada setiap event yang diselenggarakan dunia internasional. Hal ini terlihat dari kepesertaan aktif Kementerian Agama dalam pertemuan-pertemuan lintas agama tingkat tinggi seperti di Nanjing, Cina (2007), Amsterdam, Belanda (2008), dan berpartisipasi sebagai delegasi RI pada sidang HAM PBB di Jenewa, Swiss (2009). Sejalan dengan berbagai perubahan lingkungan strategis, Kementerian Agama mengimplementasikan arah kebijakan pembangunan kerukunan antara lain melalui perubahan paradigma dan pendekatan, yaitu dari paradigma formal-birokratis menjadi paradigma humanis-kultural; dari pendekatan yang cenderung top down ke arah yang bernuansa partisipatif. Perubahan paradigma dan pendekatan ini mengandaikan terjalinnya pola hubungan antara pemerintah dan umat beragama, dari yang semula cenderung bersikap sebagai penguasa ke arah yang setara sebagai mitra strategis dan pelayan umat. Berbagai usaha tersebut telah memberikan kontribusi penting bagi upaya rekonstruksi dan reharmonisasi kehidupan beragama pada masyarakat pascakonflik; pemantapan kehidupan sosial yang harmonis; pemberdayaan berbagai potensi kerukunan; penguatan sikap siaga dini terhadap ancaman disintegrasi sosial berlatarbelakang agama; pemberian ruang komunikasi dan musyawarah guna menangani berbagai perbedaan dan potensi konflik; memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal pendirian rumah ibadat dan penanganan Jemaat Ahmadiyah Indonesia; pengembangan budaya keagamaan bernuansa kerukunan; peningkatan kebijakan dan tata kelola di bidang kerukunan; serta peningkatan partisipasi tokoh

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

11

agama dalam upaya memelihara kerukunan umat beragama, terutama pengaruh radikalisasi dan liberalisasi agama.

3. Bidang Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Keagamaan Pembangunan bidang agama tidak dapat dilepaskan dari pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan agama, pendidikan keagamaan, dan pendidikan pada madrasah serta lembaga pendidikan umum (general education) lainnya yang berciri khas keagamaan. Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan salah satu program prioritas pembangunan bidang agama. Penetapan prioritas tersebut didasarkan pada kebutuhan berupa: a. Tersedianya layanan pendidikan agama yang bermutu bagi semua peserta didik pada semua jenis, jenjang, dan satuan pendidikan. b. Tersedianya lembaga pendidikan yang menghasilkan ahli agama yang menguasai dan mengamalkan ajaran agama secara komprehensif, mendalam, dan profesional. c. Tersedianya program pendidikan agama dan lembaga pendidikan keagamaan yang bermutu bagi masyarakat dalam rangka mencerdaskan dan meningkatkan kualitas kehidupan bangsa serta daya saing nasional. Dalam

menyelenggarakan

pendidikan

agama,

Kementerian

Agama

telah

menyediakan dan membina guru agama, menyempurnakan kurikulum pendidikan agama, serta meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan agama, termasuk sarana ibadah. Sementara itu, dalam menyelenggarakan pendidikan keagamaan, Kementerian Agama terus membenahi dan memberdayakan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti pondok pesantren dan satuan pendidikan keagamaan lainnya melalui peningkatan mutu pendidik, penguatan kajian keagamaan, pengembangan

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

12

pendidikan, peningkatan kecakapan hidup dan kewirausahaan serta perbaikan sarana dan prasarana bagi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan. Dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan pendidikan nasional, Kementerian Agama juga melaksanakan berbagai program antara lain melalui perluasan dan pemerataan akses pendidikan; peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; serta penguatan tatakelola, akuntabilitas dan pencitraan publik terhadap madrasah dan lembaga pendidikan lain di bawah binaan Kementerian Agama. Dalam

upaya

perluasan

akses

pendidikan,

Kementerian

Agama

telah

mengupayakan penyelenggaraan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 Tahun, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Progam ini telah memberikan kontribusi sekurang-kurangnya 22% bagi keberhasilan Program Wajar Dikdas 9 Tahun secara nasional. Perluasan akses tersebut antara lain melalui pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada 6.286.295 peserta didik jenjang tingkat dasar di madrasah dan pondok pesantren salafiyah pada tahun 2008/2009, dan pemberian beasiswa kepada sedikitnya 1.229.587 orang anak selama lima tahun terakhir; serta penyediaan layanan pendidikan Kelompok Belajar Paket A dan B bagi sebanyak 131.424 peserta didik pada tahun 2008/2009. Di samping itu, sampai dengan tahun 2009, juga telah dibangun sebanyak 506 madrasah satu atap, penegerian 119 Madrasah Ibtidaiyah (MI) swasta dan 185 Madrasah Tsanawiyah (MTs) swasta. Sementara itu, dalam rangka menyediakan layanan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan serta peningkatan mutu proses pendidikan, dalam lima tahun terakhir telah dibangun dan direhabilitasi sedikitnya 32.008 ruang kelas MI dan MTs, termasuk di di derah pascabencana alam. Di samping itu, juga telah diberikan bantuan peningkatan mutu melalui kontrak prestasi, bantuan peningkatan mutu, bantuan perpustakaan, dan bantuan laboratorium bagi 5.997 MI dan MTs. Untuk peningkatan akses dan kualitas Madrasah Aliyah (MA) telah direhabilitasi 4.226 ruang kelas; pembangunan 900 ruang kelas baru; pemberian beasiswa kepada 538.407 siswa miskin; pemberian 7.169 paket bantuan kepada MA untuk peningkatan mutu melalui kontrak prestasi, penyediaan perpustakaan dan

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

13

laboratorium; pemberian beasiswa prestasi kepada 720 peserta didik per tahun di Madrasah Aliyah (Bertaraf Internasional) Insan Cendekia, di Banten dan Gorontalo; serta penegerian 112 MA (yang semula berstatus swasta). Peningkatan mutu pendidikan madrasah juga dilakukan melalui peningkatan kualifikasi

akademik,

kompetensi

dan

kesejahteraan

guru

serta

tenaga

kependidikan. Peningkatan kualifikasi dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti pemberian bantuan kepada 45.145 guru yang sedang menempuh studi jenjang S1, program pendidikan tinggi terjangkau dengan sistem dual modes bagi 12.000 guru, beasiswa program S1 bagi 5.782 guru, beasiswa program pendidikan kompetensi (gelar) ganda bagi 315 guru mis-match, dan beasiswa pendidikan jenjang S2 bagi 3.200 guru dan pengawas madrasah. Peningkatan kompetensi guru dilaksanakan melalui program sertifikasi guru bagi 127.361 guru RA/Madrasah (termasuk 600 di antaranya melalui jalur pendidikan profesi; dan dari jumlah itu, 49.398 di antaranya telah

memperoleh

sertifikat

pendidik),

pendidikan

dan

pelatihan

serta

pemberdayaan, dan pemberian sedikitnya 2.500 paket bantuan tiap tahun, masingmasing kepada Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), serta Musyawarah Kelompok Kerja Kepala Madrasah (MK3M/KKM). Peningkatan kesejahteraan guru dilakukan antara lain melalui pemberian subsidi tunjangan fungsional kepada 490.264 guru Non-PNS; tunjangan kependidikan bagi seluruh guru PNS; subsidi dan tunjangan profesi kepada 47.622 guru yang telah lulus sertifikasi dan memenuhi persyaratan lainnya; serta pemberian subsidi tunjangan khusus kepada sedikitnya 3.173 guru Non-PNS yang ditugaskan di daerah khusus pada tiap tahunnya. Sedangkan bagi dosen, telah dilaksanakan program pemberian beasiswa S2 dan S3 kepada 2.958 dosen, dan bantuan penyelesaian studi S2 dan S3 kepada 2.357 dosen. Untuk mahasiswa PTAI juga diberikan bantuan beasiswa kepada 24.330 mahasiswa berkategori miskin, dan 420 mahasiswa berkategori berprestasi, termasuk dalam hal ini bantuan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan sebanyak 31 paket. Paparan di atas merupakan sebagian dari program, kegiatan, dan langkah nyata yang dilakukan Kementerian Agama, yang telah memberi kontribusi bagi perluasan dan pemerataan akses masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu; peningkatan Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

14

mutu, relevansi dan daya saing; serta peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan pendidikan kepada publik dalam rangka mencapai visi, misi dan tujuan nasional di bidang pendidikan.

4. Bidang Penyelenggaraan Ibadah Haji Dalam lima tahun terakhir Kementerian Agama telah menyusun berbagai langkah pembenahan sistem manajemen penyelenggaraan ibadah haji. Sesuai amanat UU Nomor 13 Tahun 2008, penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional yang harus dilaksanakan sesuai dengan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba. Disamping itu, penyelenggaraan haji juga berkaitan dengan citra dan martabat bangsa. Sejumlah langkah yang ditempuh dalam lima tahun terakhir antara lain: Pertama, pendaftaran dengan prinsip first come first served. Sistem ini telah dapat memberikan kepastian keberangkatan pada calon jemaah dan terpenuhinya rasa keadilan. Sebab, semakin tinggi minat masyarakat dan adanya ketentuan sistem kuota haji, semakin memperpanjang daftar tunggu (waiting list). Untuk terlaksananya prinsip first come first served, salah satu kegiatannya ialah pengembangan Sistem Komputerisasi Haji (SISKOHAT) yang dilaksanakan sejak tahun 1425H/2004M. Di samping itu, sistem ini juga dapat melindungi jemaah dengan menghilangkan praktek percaloan jual beli kuota oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Kedua, merubah struktur komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Dengan sistem ini, jemaah haji hanya membayar komponen biaya langsung, sedangkan komponen biaya tidak langsung dibebankan pada APBN dan hasil atau manfaat dari dana setoran awal jemaah haji. Laporan BPIH disusun tepat waktu dan neraca keuangannya disampaikan kepada masyarakat luas melalui media massa nasional. Ketiga, meningkatkan bimbingan jemaah haji melalui penambahan frekuensi bimbingan dari yang semula tiga kali di tingkat Kabupaten/Kota menjadi empat

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

15

belas kali. Di KUA Kecamatan sebanyak sepuluh kali, empat kali di tingkat Kabupaten/Kota. Dua kali untuk daerah yang masih memerlukan tambahan bimbingan. Keempat, peningkatan layanan embarkasi dengan menambah dua embarkasi baru yaitu: embarkasi Palembang dan Padang, serta satu embarkasi transit di Gorontalo. Peningkatan layanan embarkasi juga dilakukan dalam bentuk peningkatan kualitas pelayanan katering, akomodasi, dokumen perjalanan, dan dukungan operasional PPIH embarkasi. Kelima, melakukan pembenahan kelembagaan dalam rangka terlaksananya keseimbangan antara beban tugas dan organisasi melalui pembentukan struktur organisasi tersendiri, yaitu Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang semula Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji pada tahun 2006. Disamping itu, dilakukan pula pembinaan kelembagaan di Arab Saudi dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Satuan Kerja Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yaitu Kantor Misi Haji Indonesia di Arab Saudi pada tahun 2009. Keenam, mengembangkan sistem manajemen mutu penyelenggaraan haji sebagai upaya rintisan untuk memperoleh sertifikasi ISO 9001: 2008 yang diharapkan dapat diperoleh pada tahun 2010. Di samping itu, dilakukan pula rintisan optimalisasi pengelolaan dana haji yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi jemaah haji dan bangsa Indonesia. Ketujuh, beberapa peningkatan pelayanan dan pembenahan di Arab Saudi antara lain: (1) mengubah sistem pemondokan di Arab Saudi dari sistem subsidi silang menjadi sistem proporsional. Dengan perubahan ini dapat mendekatkan prinsip keadilan karena jemaah haji membayar pemondokan sesuai dengan yang dihuni; (2) menghapus biaya pelayanan umum (khadamat) kepada Muassasah/Maktab yang tidak jelas pemanfaatannya; (3) semenjak tahun 2005 telah disediakan katering selama jemaah haji berada di Madinah. Kedelapan, penyatuan tiga asosiasi penyelenggara ibadah haji khusus, yaitu Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji (AMPUH), Asosiasi Muslim Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

16

Penyelenggaraan

Perjalanan

Umrah

dan

Haji

(AMPPUH),

dan

Serikat

Penyelenggara Umrah dan Haji (SEPUH) menjadi Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) pada tahun 2006. Dengan penyatuan ini dapat meningkatkan pelayanan dan nilai tawar Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) terhadap unit-unit pelayanan di Arab Saudi. Kesembilan, peningkatan kualitas petugas haji melalui rekrutmen berbasis kompetensi dan psikotes, serta pelatihan secara intensif untuk memperoleh petugas yang profesional dan dedikatif. Kesepuluh, penghapusan fasilitas menunaikan ibadah haji bagi pejabat, tokoh masyarakat, pimpinan organisasi kemasyarakatan, dan unsur lainnya, yang pada dasarnya biaya penyelenggaraan haji hanya diperuntukkan bagi jemaah haji. Kesebelas,

penyempurnaan

peraturan

perundang-undangan

tentang

penyelenggaraan ibadah haji, antara lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang. Beberapa dampak positif dari langkah-langkah pembenahan tersebut di atas antara lain pembinaan yang makin meningkat, pelayanan yang semakin baik, adanya perlindungan dan rasa adil bagi jemaah, serta peningkatan manajemen penyelenggaraan haji khususnya di bidang organisasi, tatalaksana, SDM dan pengelolaan BPIH yang lebih transparan dan akuntabel.

5. Bidang Tata Kelola Kepemerintahan Sebagai upaya mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik dan berwibawa, Kementerian Agama memfokuskan pada penataan organisasi pusat dan daerah, peningkatan kualitas SDM aparatur, peningkatan pengelolaan keuangan dan Barang Milik Negara (BMN), peningkatan pengawasan dan akuntabilitas kinerja, serta optimalisasi perencanaan program dan pengelolaan anggaran.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

17

Di bidang penataan organisasi telah disempurnakan struktur organisasi antara lain melalui pengembangan satuan organisasi Kementerian Agama di tingkat pusat dengan penajaman fungsi, yaitu pembentukan Ditjen Bimbingan Masyarakat Hindu, Ditjen Bimbingan Masyarakat Buddha, Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, serta Ditjen Pendidikan Islam. Dalam upaya memenuhi tuntutan pengembangan organisasi di daerah pemekaran, telah dibentuk 3 Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi baru, 85 Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota baru dan 815 Kantor Urusan Agama Kecamatan baru. Pada Perguruan Tinggi Agama (PTA) telah dinegerikan dan ditingkatkan statusnya dengan memperhatikan hasil analisis organisasi dan beban kerja, berupa tiga UIN, empat IAIN, satu IHDN, empat STAIN, satu STAKN, dan satu STABN, sedangkan pada madrasah telah dinegerikan di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 416 meliputi MIN, MTsN, dan MAN. Dalam upaya peningkatan kualitas aparatur sumber daya manusia Kementerian Agama, telah dilakukan berbagai pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi pegawai Kementerian Agama seluruh Indonesia. Adapun jumlah pegawai yang mengikuti berbagai diklat tenaga administrasi sepanjang 2004-2009 adalah: sebanyak 2.520 orang pegawai mengikuti Diklat Struktural, 28.872 orang pegawai mengikuti Diklat Teknis, 1.280 orang pegawai mengikuti Diklat Fungsional, dan 44.055 orang pegawai mengikuti Diklat Prajabatan Golongan II dan III. Sedangkan untuk Diklat Tenaga Teknis Keagamaan sepanjang tahun 2004-2009, untuk rumpun diklat pendidikan dan akademik sebanyak 62.474 orang; rumpun urusan agama, zakat dan wakaf 11.445 orang; rumpun penyuluh agama dan penyelenggara haji 6.101 orang; sedangkan rumpun penunjang 3.587 orang. Di bidang pengelolaan keuangan, Kementerian Agama telah membenahi berbagai sistem pengelolaan dan pelaporan keuangan sesuai arah dan kebijakan reformasi bidang keuangan negara. Pembenahan tersebut antara lain melalui penertiban rekening, penyusunan dan penerapan program sistem informasi manajemen akuntansi dan BMN, serta pelatihan pengelola keuangan. Di samping itu, telah dibentuk Tim Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan Kementerian Agama yang bertugas mensinergikan usaha-usaha perbaikan Laporan Keuangan Kementerian Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

18

Agama, mulai dari pendampingan, penyusunan laporan keuangan, penyusunan berbagai

panduan

teknis,

review

perencanaan

dan

penganggaran,

serta

pelaksanaannya. Dengan kegiatan tersebut, faktor-faktor penyebab disclaimer terhadap Laporan Keuangan Kementerian Agama, baik pada tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, maupun pelaporannya dapat segera diatasi. Di bidang pengelolaan BMN telah dilakukan inventarisasi, revaluasi, dan recovery aset Kementerian Agama secara nasional. Sampai tahun 2009, sudah kembali sejumlah aset Kementerian Agama, antara lain berupa tanah dan wisma yang semula dikuasai pihak lain. Saat ini, tengah diupayakan refungsionalisasi aset sebanyak 128 unit rumah/gedung dan tanah seluas 228.571 M2, yang terletak di wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat. Di samping itu, telah diperbaiki sarana perkantoran di tingkat pusat dan daerah, serta pembangunan kembali gedung Kementerian Agama Jl. M.H. Thamrin No. 6 Jakarta Pusat, yang direncanakan mulai berfungsi pada tahun 2010. Di bidang pengawasan dan akuntabilitas kinerja, dalam lima tahun terakhir, Kementerian Agama telah melakukan pengawasan terhadap 9.126 obyek pemeriksaan, pemberian sanksi, hukuman disiplin dan teguran kepada 870 pegawai, penanganan 82 aduan yang dipandang benar dari 129 pengaduan masyarakat. Di samping itu, telah dikembangkan pengawasan melalui pendekatan agama, pengembangan budaya kerja, pelaksanaan pakta integritas, dan penerapan rencana aksi nasional pemberantasan korupsi. Untuk bidang optimalisasi perencanaan program dan anggaran, Kementerian Agama mengalami kenaikan anggaran yang cukup signifikan selama lima tahun terakhir, dari Rp.6.815.723.166.000,- (enam triliun delapan ratus lima belas miliar tujuh ratus dua puluh tiga juta seratus enam puluh enam ribu rupiah) pada tahun 2005, menjadi Rp.26.656.600.559.000,- (dua puluh enam triliun enam ratus lima puluh enam miliar enam ratus juta lima ratus lima puluh sembilan ribu rupiah) pada tahun 2009. Sejalan dengan penambahan anggaran tersebut, telah dilakukan upaya restrukturisasi dan penajaman program dan sasaran secara lebih tepat dan terukur, termasuk pengawasan khusus fungsi pendidikan yang memperoleh alokasi terbesar anggaran Kementerian Agama. Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

19

C. POTENSI DAN PERMASALAHAN Mempertimbangkan berbagai kondisi objektif dan hasil capaian program pembangunan bidang agama periode 2004-2009, maka diperlukan identifikasi yang cermat terhadap potensi dan permasalahan sebagai salah satu masukan penting bagi perumusan kebijakan dan penetapan strategi pembangunan bidang agama lima tahun mendatang, yakni periode 2010-2014. Potensi dan permasalahan akan ditelaah berdasarkan lima bidang yang menjadi fokus pembangunan bidang agama. Telaah tersebut mempertimbangkan sejumlah faktor penting yang ditengarai akan mempengaruhi pembangunan bidang agama. 1. Kehidupan Beragama Dalam bidang kehidupan beragama, setidaknya terdapat empat aspek yang menjadi fokus pembangunan agama, yaitu peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan, peningkatan kualitas pelayanan keagamaan, optimalisasi pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan, dan pemberdayaan lembaga sosial keagamaan. a. Peningkatan Kualitas Pemahaman dan Pengamalan Keagamaan Upaya peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan menjadi salah satu fokus penting pembangunan. Agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, maka meningkatnya kualitas pemahaman keagamaan masyarakat diharapkan dapat terwujud dalam perilaku sosial umat beragama. Lebih dari itu, meningkatnya kualitas pemahaman keagamaan juga diharapkan dapat melahirkan wawasan keagamaan yang seimbang, moderat dan inklusif serta sikap toleran di kalangan umat beragama, yang pada gilirannya dapat menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, rukun dan damai.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

20

Sejumlah potensi yang dapat mendukung keberhasilan peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan masyarakat, antara lain: Pertama, tingkat ketaatan beragama masyarakat, khususnya diukur dari ketaatan dalam menjalankan berbagai ritual dan aktivitas keagamaan, terlihat sangat tinggi. Hasil survei yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama pada tahun 2007 terhadap masyarakat Muslim di 13 provinsi memperlihatkan bahwa tingkat ketaatan masyarakat Muslim dalam menjalankan berbagai aktivitas ibadah termasuk dalam kategori sangat tinggi. Sekitar 92% responden mengatakan bahwa mereka selalu/hampir selalu menunaikan salat lima waktu, 63,5% mengaku selalu/hampir selalu melaksanakan salat secara berjamaah, 97,3% mengaku selalu/hampir selalu menjalankan puasa di bulan Ramadhan, dan 77% mengaku selalu/hampir selalu mengeluarkan zakat/infak. Meskipun survei ini hanya dilakukan terhadap komunitas Muslim, namun tidak terlalu keliru bila diasumsikan bahwa pada dasarnya seluruh pemeluk agama memiliki tingkat ketaatan yang hampir serupa dalam hal ketaatan menjalankan ibadat dan aktivitas keagamaan lainnya. Kedua, tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan. Partisipasi itu tewujud dalam bentuk berbagai kegiatan bimbingan, pengajaran dan penyuluhan keagamaan yang selama ini dilakukan secara mandiri, swadaya dan swadana oleh masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini dipandang sebagai potensi yang dapat memberi kontribusi penting bagi keberhasilan upaya peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan. Namun, sejauhmana potensi ini dimanfaatkan sehingga dapat menyumbang bagi keberhasilan pembangunan bidang agama akan sangat tergantung pada pendekatan dan kebijakan yang diambil, serta pengakuan dan penghargaan atas pentingnya peran masyarakat, yang harus diikuti dengan dukungan kebijakan, program, dan pendanaan yang memadai bagi upaya bimbingan, pengajaran dan penyuluhan keagamaan. Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan pemahaman dan pengamalan agama, antara lain:

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

21

Pertama, terlihat adanya kesenjangan yang masih cukup lebar antara kesalehan individual dan kesalehan sosial masyarakat. Selain itu, maraknya berbagai kegiatan kegaamaan juga dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kegairahan kegaamaan masyarakat. Namun, di sisi lain, tingkat perilaku sosial yang menyimpang masih tetap cenderung tinggi, antara lain ditandai dengan masih tetap tingginya angka kriminalitas, maraknya kasus-kasus perbuatan asusila serta jumlah kasus korupsi yang terus meningkat. Kedua, terjadinya berbagai konflik yang disertai kekerasan atas nama agama. Hal ini mencerminkan berkembangnya pemahaman keagamaan yang sempit, eksklusif, dan tidak toleran di kalangan masyarakat, yang dapat mengganggu keharmonisan kehidupan beragama dan pada gilirannya dapat memberi kontribusi negatif bagi keberhasilan pembangunan nasional. Meningkatnya kualitas pemahaman dan pengamalan keagamaan masyarakat diharapkan dapat tercermin dalam sikap dan perilaku sosial yang sejalan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam ajaran agama dan berkembangnya wawasan keagamaan yang moderat dan inklusif. b. Peningkatan Kualitas Pelayanan Keagamaan Pelayanan keagamaan merupakan bagian dari pelaksanaan kewajiban konstitusional pemerintah

dalam memberikan dukungan dan fasilitasi bagi

terpenuhinya hak beragama masyarakat. Pelayanan tersebut harus bersifat inklusif dan terukur yang dilandasi atas prinsip non-diskriminasi. Sejumlah potensi yang dapat mendukung peningkatan kualitas pelayanan keagamaan, antara lain: Pertama, telah tersedia beberapa kerangka regulasi pelayanan keagamaan, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut menjadi landasan pemerintah dalam menjalankan pelayanan keagamaan.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

22

Kedua,

tersedianya

struktur

organisasi

Kementerian

Agama

yang

memungkinkan penyediaan pelayanan sampai tingkat kecamatan, seperti pelayanan administrasi keagamaan bagi umat Islam pada Kantor Urusan Agama (KUA), meliputi pelayanan pernikahan, nasehat perkawinan, bimbingan haji, pengelolaan zakat dan wakaf, pembinaan keluarga sakinah serta pelayanan pembinaan umat secara umum. Ketiga, tingginya tingkat partisipasi masyarakat, terutama tokoh agama, juru penerang/dakwah, dan lembaga keagamaan dalam penyediaan pelayanan bagi umatnya masing-masing. Hal ini tentu menjadi potensi penting bagi keberhasilan pelayanan keagamaan mengingat terbatasnya kemampuan dan kapasitas di bidang penyediaan pelayanan keagamaan, terutama menyangkut urusan pernikahan, pengelolaan dana sosial keagamaan, serta bimbingan dan penyuluhan agama. Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan kualitas pelayanan keagamaan, antara lain: Pertama, jumlah tenaga penyedia pelayanan keagamaan yang ada sudah cukup besar, tetapi dilihat dari distribusi dan rasio kecukupan tenaga yang tersedia dibanding tenaga yang dibutuhkan masih jauh dari memadai. Kedua, berkembangnya persepsi di kalangan masyarakat tentang masih rendahnya dukungan pemerintah kepada aparatur penyedia pelayanan, seperti para tenaga pembimbing dan penyuluh keagamaan, baik PNS maupun honorer. Sementara itu, mereka mengemban tugas pelayanan yang tidak ringan. Ketiga, masih munculnya keluhan masyarakat menyangkut kualitas pelayanan administrasi keagamaan, seperti besaran biaya nikah, prosedur pengurusan administrasi, serta masih adanya pungli. Keempat, kompetensi dan profesionalisme aparat penyedia layanan secara umum masih rendah.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

23

Kelima, masih rendahnya penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO) di berbagai bidang pelayanan.

c. Optimalisasi pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan Peingkatan pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan merupakan salah satu langkah strategis dalam usaha meningkatkan kesejahteraan umat dan mengurangi angka kemiskinan. Sumber-dumber ekonomi keagamaan tersebut sampai saat ini belum terkelola dengan baik. Untuk itu, pemerintah memandang perlu memberikan dukungan dan fasilitasi agar pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan itu dapat berjalan optimal sehingga dapat menghasilkan manfaat yang lebih besar. Sejumlah potensi yang ditengarai dapat mendukung upaya peningkatan pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan, antara lain: Pertama, tingginya animo masyarakat dalam menjalankan ibadah sosial keagamaan dalam berbagai jenis dan bentuknya. Kedua, tersedianya kerangka regulasi

sebagai landasan yuridis bagi

optimalisasi pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan seperti UU Nonor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pendaftaran Administrasi Wakaf Uang. Ketiga,

berkembangnya lembaga-lembaga pengelola dana dan aset sosial

keagamaan. Melalui UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pemerintah telah membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai lembaga pengelola zakat. Eksistensi BAZ diharapkan dapat membangun kemitraan yang kokoh dengan LAZ, bahkan diharapkan menjadi lembaga pengelola zakat yang profesional dan kompeten, sehingga menjadi model bagi lembaga pengelola zakat lainnya. Demikian juga melalui UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

24

Wakaf, pemerintah telah membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan nasional. Keberadaan BWI ini diharapkan mampu membina pengelola wakaf (Nazhir) secara nasional sehingga menjadi pusat pengembangan ekonomi umat berbasis wakaf, dan menjadi lembaga yang mendorong tumbuhnya profesionalisme pengelolaan, pemberdayaan, dan pengembangan wakaf produktif. Keempat, tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan. Pemerintah dalam hal ini dapat berperan sebagai

mitra

strategis peningkatan mutu pengelolaan melalui pengembangan berbagai program pembinaan dan asistensi pelayanan. Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan pemanfaatan dana dan aset sosial keagamaan, antara lain: Pertama, masih terdapat persepsi keliru bahwa fungsi dana dan aset sosial keagamaan itu hanya diperuntukan bagi peningkatan kesejahteraan penganut agama bersangkutan. Sumber-sumber ekonomi keagamaan itu belum dapat dimanfaatkan bagi masyarakat secara lintas agama. Kedua, masih berkembang sikap “curiga” terhadap usaha-usaha pemerintah dalam meningkatkan mutu pengelolaan sumber-sumber ekonomi keagamaan. Jika pemerintah merancang kebijakan dan progam untuk mengoptimalkan pengelolaan dana dan aset sosial keagamaan cenderung dianggap sebagai turut campur soal ibadat. Kedua, dana dan aset sosial keagamaan umumnya masih dikelola secara tradisional. Diperlukan perhatian dan dukungan yang sungguh-sungguh semua pihak, terutama pemerintah. d. Pemberdayaan lembaga sosial keagamaan Lembaga sosial keagamaan merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan pembangunan bidang agama. Eksistensi lembaga tersebut sampai saat ini belum sepenuhnya

mampu

menunjukkan

performa

seperti

yang

diharapkan

masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu mengusahakan pemberdayaan Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

25

lembaga-lembaga sosial keagamaan yang sangat potensial itu sebagai mitra strategis pemerintah dalam mendorong terwujudnya pelayanan keagamaan yang prima dan terbentuknya masyarakat madani. Sejumlah potensi yang dapat mendukung upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan, yaitu: Pertama, sudah terjalin kerjasama antara pemerintah dengan lembaga-lembaga sosial keagamaan. Hal ini dapat menjadi modal awal untuk lebih jauh membangun rasa saling percaya (mutual trust) dan hubungan kemitraan yang sejajar dalam mensukseskan pembangunan bidang agama. Kedua, sebagian lembaga sosial keagamaan telah menunjukkan kinerja, profesionalisme dan integritas yang tinggi. Lembaga tersebut dapat dijadikan model bagi upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan yang lebih luas. Sejumlah

permasalahan

yang

ditengarai

dapat

menghambat

upaya

pemberdayaan lembaga sosial keagamaan, antara lain: Pertama, belum tersedianya atau belum termutakhirkannya database lembaga sosial keagamaan yang mengandung informasi yang cukup terperinci mengenai profil dari lembaga sosial keagamaan berikut rekam jejak kiprah mereka dalam fokus bidang yang menjadi garapan mereka. Hal ini perlu menjadi perhatian serius untuk mengetahui peta permasalahan umum dalam mengoptimalkan peran lembaga tersebut. Kedua, secara umum lembaga sosial keagamaan bervariasi dari segi kemandirian, fokus bidang garapan, pola dan ritme kerja serta sumber daya yang dimiliki. Hal ini belum lagi ditambah dengan heterogenitas kecenderungan dan orientasi ideologis masing-masing lembaga sosial keagamaan. Jika tidak disikapi secara tepat, berbagai variasi itu dapat menimbulkan kesulitan bagi upaya pemberdayaan lembaga sosial keagamaan.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

26

2. Kerukunan Umat Beragama Kerukunan umat beragama merupakan salah faktor penting pembangunan. Oleh sebab itu, salah satu fokus pembangunan bidang agama adalah mewujudkan dan meningkatkan kerukunan umat beragama sebagai pilar kerukunan nasional. Sejumlah potensi yang dapat mendukung upaya peningkatan kualitas kerukunan umat beragama, antara lain: Pertama, tersedianya kerangka regulasi yang menyediakan pedoman pelaksanaan tugas bagi kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan pendirian rumah ibadah, seperti tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. Kedua, sebagai implementasi Peraturan Bersama tersebut, saat ini telah terbentuk 33 FKUB Provinsi dan 383 FKUB Kabupaten/Kota. Optimalisasi peran FKUB secara efektif dan tepat dapat menjadi modal penting bagi upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. Ketiga, pemanfaatan dan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal bagi pengelolaan perbedaan dan konflik di sejumlah daerah. Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan kerukunan umat beragama, antara lain: Pertama, adanya persepsi yang sebagian masyarakat bahwa berbagai program peningkatan kerukunan yang dikembangkan cenderung bersifat elitis, dalam arti baru menyentuh lapisan elite agama, baik tokoh agama maupun majelis agama, tetapi belum menjangkau masyarakat yang lebih luas. Kedua, upaya penciptaan dan pemeliharaan kerukunan selama ini lebih menekankan pada pendekatan struktural-formal daripada pendekatan kultural yang lebih mengapresiasi peranan dan partisipasi masyarakat serta mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

27

Ketiga, masih terdapat juru penerang/dakwah yang menyampaikan materi penyiaran agama dengan mengabaikan realitas sosial yang plural (majemuk). Keempat, kendati upaya penciptaan dan pemeliharaan kerukunan umat beragama sangat penting bagi terwujudnya kerukunan, ketahanan dan kesatuan nasional, namun sumber daya untuk mendukung program bagi upaya tersebut relatif masih rendah dan terbatas. 3. Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan merupakan pilar penting pembangunan pendidikan nasional dalam rangka menghasilkan SDM yang berkualitas dan berakhlak mulia. Penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama masih perlu dikembangkan secara lebih konsisten dan berkesinambungan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi. Sejumlah potensi yang dapat mendorong upaya peningkatan kualitas Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, antara lain: Pertama, terbitnya PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, penerapan standar pelayanan dan evaluasi pendidikan agama, serta peningkatan pembinaan terhadap lembaga pendidikan keagamaan yang berkembang di masyarakat. Potensi ini perlu didukung dan ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan turunan sebagai pedoman pelaksanaan. Kedua, peningkatan mutu, akses, dan daya saing Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan merupakan salah satu program prioritas pemerintah yang memperoleh dukungan masyarakat luas.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

28

Ketiga, besarnya dukungan kebijakan di bidang anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan. Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan kualitas Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, antara lain: Pertama, masih terdapat kesenjangan antara lembaga Pendidikan Raudhatul Athfal, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dengan lembaga pendidikan lainnya, terutama dalam hal penyediaan daya dukung pendanaan dan penyediaan tenaga pendidik yang profesional. Kedua, mayoritas lembaga pendidikan di bawah binaan Kementerian Agama berstatus swasta dengan daya dukung yang sangat terbatas. Ketiga, masih terdapat perbedaan persepsi dan perlakuan Pemerintah Daerah dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan binaan Kementerian Agama, sehingga akses masyarakat terhadap lembaga pendidikan tersebut belum merata. 4. Penyelenggaraan Ibadah Haji Penyelenggaraan ibadah haji merupakan salah satu program prioritas pembangunan bidang agama dan sering kali diposisikan sebagai salah satu indikator kunci kinerja Kementerian Agama. Penyelenggaraan ibadah haji dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, namun demikian disadari bahwa peningkatan tersebut belum signifikan, sehingga masih perlu dilakukan berbagai upaya peningkatan lebih lanjut. Sejumlah

potensi

yang

dapat

mendukung

upaya

peningkatan

mutu

penyelenggaraan ibadah haji, antara lain: Pertama, tersedianya peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai penyempurnaan dari UU Nomor 17 Tahun 1999 yang menjadi acuan bagi upaya peningkatan kualitas pembinaan, pelayanan, dan perlindungan bagi jemaah haji.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

29

Kedua, dana setoran awal BPIH dapat dimanfaatkan untuk mendukung penyelenggaraan haji, sehingga lebih bermanfaat bagi jemaah haji dan kesejahteraan umat. Untuk itu diperlukan undang-undang yang mengatur pengelolaan dana haji yang memberikan peluang investasi dan jaminan keuangan. Ketiga, tingginya peran masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji yang direpresentasikan melalui berkembangnya Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Dengan peran tersebut diharapkan terjadi peningkatan pelayanan bagi calon jamaah haji. Di samping itu juga terdapat peran serta Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas perjalanan ibadah umrah. Keempat, jaringan teknologi informasi yang berkembang pesat menjadi potensi penting

dalam

meningkatkan

kualitas

pelayanan

penyelenggaraan

haji.

Perkembangan teknologi informasi dapat dimanfaatkan sebagai media efektif dan efisien dalam peningkatan kualitas berbagai bidang pelayanan. Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat menghambat upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan haji, antara lain: Pertama, belum tersedianya peraturan perundang-undangan yang merupakan turunan dan petunjuk teknis pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, misalnya mengani ketentuan yang mengatur tata cara pengangkatan dan pemberhentian Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), sistem pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU), dan pengelolaan dana haji. Kedua, masih lemahnya kontrol dan penarapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO), khususnya berkaitan dengan pelayanan pendaftaran, akomodasi, transportasi, katering, bimbingan, kesehatan, keamanan, dan perlindungan jamaah. Ketiga, pola rekruitmen dan pelatihan petugas haji belum sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pelayanan.

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

30

Keempat, pelayanan penyelenggaraan haji belum sepenuhnya memperhatikan profil jamaah yang beragam dari segi latar belakang usia, pendidikan, etnis, bahasa dan budaya. Kelima, kebijakan penyelenggaraan ibadah haji pemerintah Arab Saudi melalui Ta’limatul Hajj seringkali tidak konsisten. Kondisi ini

menjadi kendala bagi

pemerintah karena terbentur oleh keputusan dan kebijakan sepihak pemerintah Arab Saudi. Keenam, perbedaan kondisi geografis, sosial budaya, adat istiadat, dan bahasa merupakan kendala tersendiri bagi petugas haji. 5. Tata Kelola Kepemerintahan Di bidang penguatan tata kelola kepemerintahan yang bersih Kementerian Agama memfokuskan pada upaya penataan organisasi pusat dan daerah; peningkatan kualitas SDM aparatur; peningkatan pengelolaan keuangan dan Barang Milik Negara (BMN); peningkatan pengawasan dan akuntabilitas kinerja; serta optimalisasi perencanaan program, pengelolaan anggaran, monitoring dan evaluasi kegiatan. Sejumlah potensi yang dapat mendukung upaya peningkatan tata kelola kepemerintahan yang baik, antara lain: Pertama,

komitmen

aparatur

Kementerian

Agama

untuk

mewujudkan

pemerintahan yang bersih dan berwibawa berlandaskan nilai moral, etik, dan agama sebagai spirit dalam pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan. Kedua,

meningkatnya

kesadaran

masyarakat

akan

penyelenggaraan

kepemerintahan yang efektif, efisien dan akuntabel. Partisipasi masyarakat dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan menjadi daya dukung yang kuat bagi pemerintah dalam mewujudkan good governance. Ketiga, satuan kerja organisasi Kementerian Agama yang tersebar sampai tingkat kecamatan. Luasnya jangkauan satuan kerja tersebut menjadi kekuatan besar dan terpadu dalam penerapan kebijakan organisasi. Hal ini berpotensi menjadi saluran

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

31

informasi pembangunan keagamaan yang dapat diandalkan, sekaligus sebagai penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Sejumlah permasalahan yang ditengarai dapat mengambat upaya penguatan tata kelola pemerintahan, antara lain: Pertama, banyaknya satuan kerja (Satker) di lingkungan Kementerian Agama dapat menimbulkan kendala koordinasi, pengawasan dan pembenahan sistem pelayanan kepada masyarakat. Kesulitan tersebut bukan saja berdampak pada pelaksanaan tugas dan fungsi internal Kementerian Agama, melainkan pula dalam mengembangkan jaringan kelembagaan dengan lembaga-lembaga pemerintah terkait lainnya. Kedua, kualitas sumber daya aparatur yang masih terbatas baik jumlah maupun kualitasnya. Kondisi ini sangat mempengaruhi kinerja pembangunan bidang agama, terutama pada aspek pelayanan administrsai keagamaan. Ketiga, masih rendahnya mutu pelaporan keuangan yang berdampak pada opini laporan Kementerian Agama yang masih disclaimer. Keempat, masih terbatasnya

kapasitas manajerial pengelolaan Barang Milik

Negara (BMN). Sejumlah aset milik Kementerian Agama seperti tanah dan wisma masih dikuasi pihak lain. Sementara itu, aset-aset yang ada belum dilakukan pendatan dan penaksiran ulang. Kelima, dalam hal pengawasan dan akuntabilitas kinerja, masih terdapat beberapa temuan hasil pemeriksaan BPK, BPKP dan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama yang belum selesai ditindaklanjuti. Keenam, belum tersedianya sistem manajemen informasi yang dapat mendukung tugas-tugas organisasi. Sistem yang dijalankan belum sepenuhnya mengacu pada usaha pelayanan informasi secara terpadu, menyeluruh, sistemik dan berwawasan ke depan. Ketujuh, masih terdapat pelayanan dan mekanisme kerja yang belum memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Prosedur Operasional (SPO).

Karo Perencanaan

Karo Hukum

Sekjen

32