REORIENTASI KEBIJAKAN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN ...

11 downloads 312 Views 316KB Size Report
human capital memandang investasi pendidikan, termasuk PTK relatif jauh lebih ... Kata kunci : Reorientasi, Pendidikan Teknologi Kejuruan, Desentralisasi ...
Aminuddin Bakry, Reorientasi Kebijakan dan Pengelolaan PTK di Era Desentralisasi

REORIENTASI KEBIJAKAN DAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN (PTK) DI ERA DESENTRALISASI Aminuddin Bakry Dosen Jurusan Pendidikan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNM e-mail: [email protected]

Abstrak Orientasi kebijakan dan pengelolaan PTK di era desentralisasi dapat dijelaskan melalui teori human capital dan teori Harrod Domar. Pendekatan teori human capital memandang investasi pendidikan, termasuk PTK relatif jauh lebih cepat dibandingkan investasi di sektor renumeratif sehingga pengangguran semakin meningkat. Teknologi yang dimiliki dan dihasilkan PTK menurut teori Harrod Domar dapat dijadikan perangkat kebijakan pertumbuhan daerah, akan tetapi daerah belum memanfaatkan instrumen ini, disamping itu teknologi yang dihasilkan PTK belum layak untuk dijadikan perangkat kebijakan oleh pemerintah. PTK belum melakukan reorientasi pengembangan program akademik dan penelitian berbasis kebutuhan dan potensi daerah seperti daerah yang surplus tenaga kerja berbeda dengan daerah yang surplus kapital. Kata kunci : Reorientasi, Pendidikan Teknologi Kejuruan, Desentralisasi

Kebijakan desentralisasi pendidikan yang telah dicanangkan pemerintah pada tahun 1999 mengandung arti politik, yaitu: pertama, dekonsentrasi yakni pendistribusian wewenang administrasi dalam struktur pemerintahan. Kedua, delegation to semi autonomous or parastatal organizations, yang berarti pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungís-fungsi tertentu yang sangat spesifik kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak berada di bawah kontrol pemerintah. Ketiga devolusi, artinya penyerahan fungís dan otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah otonom, dan keempat yaitu swastanisasi dalam pengertian penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta. Fiske (1998) dan McGin & Welsh (1999) mengamati di beberapa negara keterkaitan

desentralisasi pendidikan dengan politik. Menurutnya, implementasi desentralisasi pendidikan terkait dengan aspek politik, ia tidak dapat dipisahkan dari politik. Di Colombia misalnya, desentralisasi pendidikan adalah unsur penting dari strategi komprehensif guna menarik kembali Colombia dari tepi jurang kekacaubalauan. Sementara negara-negara pecahan Uni Soviet, desentralisasi pendidikan dimaksudkan untuk memberikan kredibilitas pemimpin negaranya yang di mata masyarakat tidak memiliki legitimasi. Selain itu, mereka juga kekurangan sumber daya keuangan sehingga tidak mampu mengendalikan sistem pendidikan dan solusi yang diambil adalah desentralisasi pendidikan sebagai jalan pintas untuk meraup keuntungan politis. Lebih jauh Fiske dan McGin & Welsh melihat dimensi politik dalam desentralisasi pendidikan terletak pada muatan sebagai

Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2011

berikut: pertama, pemersatu nilai-nilai bangsa yaitu sistem pendidikan membentuk dan mempengaruhi nilai, adat kebiasaan, bahasa dan prioritas bersama. Kedua, sumber kekuatan politik, yakni pendidikan mendapat proporsi tinggi dalam anggaran belanja negara dan mempekerjakan sejumlah besar orang sehingga pemimpin politik akan memperoleh sumber kekuatan dan dukungan politis. Ketiga, wahana untuk menggunakan kekuasaan, artinya sistem pendidikan yang andal dapat menentukan awal pembangunan ekonomi nasional dan unsur-unsur pendidikan nasional dapat dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik, seperti kurikulum dan buku teks dapat digunakan untuk menyebarkan ideologi sosial dan politik penguasa. Keempat, senjata politik, yaitu karena rancangan dan manajemen sistem pendidikan cenderung memberikan manfaat buat kelompokkelompok tertentu yang mempunyai kepentingan politik dan ekonomi sehingga kelompok lain berusaha untuk menentangnya. Oleh karena itulah Fiske dan McGin & Welsh mengusulkan arti dan manfaat politis desentralisasi pendidikan hendaknya dapat memperhitungkan kepentingan secara keseluruhan yaitu: pemimpin politik dan pembuat kebijakan, pegawai departemen, guru, universitas, orang tua, masyarakat termasuk kalangan usaha dan industri serta pelajar. Saran Fiske dan McGin & Welsh menjadi acuan makalah ini dalam memandang pendidikan teknologi dan kejuruan (PTK) di era desentralisasi dari sudut lain sehingga menambah pemahaman PTK menjadi lebih komprehensif dan holistik.

PTK DI ERA DESENTRALISASI Fiske (1998), McGin & Welsh (1999) dan UNESCO (2005) mengemukakan orientasi kebijakan PTK di era desentralisasi adalah pendidikan sebagai alat menghadapi masalah regional dan penanaman ideologi negara, mendayagunakan otonomi lokal, debirokratisasi pendidikan, peningkatan

kesejahteraan guru, pelimpahan masalah fiskal ke daerah, menumbuhkembangkan demokrasi dan alat pembangunan ekonomi. Orientasi kebijakan ini dijadikan isu politis oleh para politisi dan digunakan sebagai kebijakan publik yang populis dari pemerintah. Sementara bagi masyarakat dijadikan ekspektasi berlebihan untuk keberhasilan pendidikan anak-anaknya sehingga kelak dapat berkiprah di dunia kerja dan industri, dan bagi guru menjadi semangat untuk memacu kualitas pengajaran dan peningkatan kompetensi profesional. Dari sudut organisasi isu tersebut menjadi alat yang ampuh untuk optimalisasi sumberdaya keuangan dan efisiensi pendidikan serta mutu pendidikan. Benang merah orientasi kebijakan tersebut meletakkan PTK (pendidikan) bersinggungan dengan pertumbuhan ekonomi dan politik dengan titik singgung pada produktivitas tenaga kerja dengan asumsi bahwa semakin tinggi mutu PTK, semakin tinggi produkti-vitas tenaga kerja dan semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat yang pada akhirnya stabilitas politik terjamin (Kasnawi, 2006). Anggapan ini berasal dari suatu teori human capital, di mana teori ini mempertimbangkan bahwa cara paling efisien dalam melakukan pembangunan terletak pada peningkatan kemampuan masyarakatnya melalui pendidikan. Asumsinya bahwa pendidikan formal merupakan instrumen terpenting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi. Teori ini menganggap bahwa pertumbuhan dan pembangunan memiliki dua syarat yaitu adanya pemanfaatan teknologi yang efisien dan adanya sumberdaya manusia yang dihasilkan melalui proses pendidikan akan dapat memanfaatkan teknologi yang ada (Zamora, 2006 serta Erosa, Koreshkova dan Restuccia, 2007). Dengan demikian, teori ini menerangkan bahwa pendidikan (PTK) memiliki daya dukung refsentatif atas pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, karena pendidikan dapat meningkatkan

Aminuddin Bakry, Reorientasi Kebijakan dan Pengelolaan PTK di Era Desentralisasi

produktivitas kerja seseorang yang kemudian akan meningkatkan pendapatannya. Peningkatan pendapatan tersebut berpengaruh pula pada pendapatan daerah-nasional sehingga pendidikan menjadi syarat yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi. Kesimpulan yang dapat dikemukakan dari penjelasan di atas adalah teori ini berkeyakinan pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi tenagakerja potensial sehingga memacu tingkat produktivitas tenaga kerja, jika setiap individu produktif maka dia akan memiliki penghasilan yang lebih tinggi dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, teori human capital ini menganggap bahwa pendidikan formal (khususnya PTK) merupakan suatu investasi bagi individu maupun bagi masyarakat. Walaupun teori ini memiliki keterbatasan seperti yang dikemukakan Livingstone (1997), namun teori ini telah menimbulkan beberapa model pendidikan dan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan model rate of return análisis serta model pendidikan dan tenaga kerja. Model-model ini mengacu pada pemikiran bahwa sistem pendidikan memiliki arti penting dalam menjawab tuntutan lapangan kerja yang selalu menjadi isu politik dan ekonomi daerah dan nasional. Mangkuprawira (2004) menunjukkan dalam gambar 1 tentang tenaga kerja terampil dan kompoten yang dihasilkan oleh sistem pendidikan - khususnya PTK – akan memperoleh benefit lebih besar bila dibanding dengan pendidikan yang lebih rendah dengan anggapan bahwa lapangan kerja yang membutuhkan kompetensi dan ketrampilan tersebut juga tersedia. Benefit yang besar merupakan cermin daya beli masyarakat meningkat yang pada akhirnya berpengaruh pada sisi produksi sehingga pertumbuhan ekonomi daerah kondusif untuk meningkatkan kesejahteraan daerah. Berkaitan dengan uraian di atas, maka orientasi kebijakan PTK di era desentralisasi yang perlu mendapat penjelasan secara rinci

dalam uraian-uraian selanjutnya adalah:  PTK belum dijadikan solusi dalam mengatasi pengangguran di daerah.  Teknologi yang dimiliki oleh PTK belum dijadikan instrumen kebijakan pemerintah daerah untuk memacu pertumbuhan dan pembangunan daerah.  PTK belum merespons kebutuhan dan potensi daerah sebagai masukan untuk orientasi program akademik dan penelitian yang berguna bagi pertumbuhan daerah.

Gambar 1. Teori Human Capital

TEORI HUMAN CAPITAL DAN ISYARAT PASAR KERJA Data BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka sebagai isyarat pasar kerja pada tahun 1996 berkisar 4,89% meningkat menjadi 10,45% pada tahun 2005 seperti yang terlihat dalam tabel 1 dan tabel 2. Ini berarti bahwa jumlah pencari kerja dan mereka yang tidak bekerja cukup besar. Kesenjangan ini disebut kelebihan penawaran seperti terlihat dalam gambar 2. Tayangan gambar ini memperlihatkan keseimbangan di pasar tenaga kerja (SL) tercapai pada saat jumlah tenaga kerja yang ditawarkan oleh individu yang terdidik sama besarnya dengan yang diminta (DL) oleh perusahaan yaitu pada tingkat upah ekuilibrium(Wo). Sebaliknya tingkat upah yang rendah (W1) maka jumlah tenaga kerja terdidik yang diminta oleh para produsen

Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2011

melebihi kuantitas penawaran yang ada sehingga terjadi persaingan diantara perusahaan dalam memperoleh tenaga kerja terdidik. Kejadian inilah yang disebut kelebihan permintaan tenaga. Lain pula dengan tingkat upah tertinggi W2, jumlah tenaga kerja terdidik yang diminta (DL) jauh lebih rendah dari jumlah penawaran tenaga kerja (SL) sehingga mengakibatkan kelebihan penawaran tenaga kerja dan menyebabkan persaingan yang ketat diantara tenaga kerja terdidik dalam mendapatkan pekerjaan (Simanjuntak, 1985; Vanhala, 2007; Jha & Golder, 2008). Pandangan ekonomi di atas menganggap pengangguran tenaga kerja terdidik atau kekurangan tenaga kerja terdidik di pasar kerja diakibatkan oleh keinginan tenaga kerja tersebut untuk mendapatkan tingkat upah yang lebih tinggi. Kasus ini terjadi di Amerika Latin dimana pekerja memenuhi lapangan kerja jika upah tinggi sehingga tingkat pengangguran tetap tinggi (Manning, 2004). Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka dalam Persen Pertumbuhan Pengangguran Tahun Ekonomi Terbuka 1996 7,82 4,86 1999 2,11 6,36 2000 0,94 6,07 2001 3,16 8,10 2002 1,97 9,06 2003 2,10 9,85 2004 2,10 10,32 2005 2,10 10,45 Sumber: Angka Sakernas BPS 1996-2005 Berbeda dengan pandangan ekonomi, pandangan teori human capital mengungkapkan bahwa pengangguran yang meningkat merupakan indikator adanya kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja. Kesenjangan ini dapat di lihat sebagai gejala persediaan (suply phenomena), namun kesenjangan tersebut dapat juga merupakan gejala permintaan (demand phenomena). Artinya,

gap sebagai gejala persediaan jika ketidak sesuaian tersebut diungkapkan sebagai gejala kekurang mampuan sistem pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang mudah dilatih dan dapat membelajarkan diri agar menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan pasar. Sedangkan gap sebagai gejala permintaan diakibatkan oleh ketidak mampuan lapangan kerja dalam memfungsikan sistem pendidikan dan pelatihan kerja industri secara optimal (Suryadi dan Salim, 1995).

Tabel 2. Pengangguran Terbuka Menurut Tingkat Pendidikan 2005 Tingkat Pendidik an

Struktur Angkatan Kerja Juta

%

SD ke bawah

59.05

58.60

SMP

17.49

SMU SMK Diploma/ Akademi Universitas Jumlah

Struktur Pekerja Juta

Struktur Pengangguran Terbuka

%

Juta

%

55.84

60.9

3.22

35.27

17.36

15.34

16.7 4

2.15

23.55

12.21

12.12

10.07

10.9

2.14

23.44

7.12

7.07

6.02

6.57

0,85

9.16

2.21

2.19

1.96

2.14

0.25

2.74

2.69

2.67

2.42

2.64

0.26

2.85

100.77

100.0

91.65

100.

9.13

100.00

Sumber: BPS 2005

Gambar 2. Penyerapan Tenaga Kerja dan Kaitannya Tingkat Upah Lebih jauh, teori human capital melihat kedua gejala ketidak sesuaian antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja

Aminuddin Bakry, Reorientasi Kebijakan dan Pengelolaan PTK di Era Desentralisasi

akibat adanya pergeseran struktur angkatan kerja menurut klasifikasi pendidikan berjalan lebih cepat bila dibandingkan pergeseran struktur kesempatan kerja menurut klasifikasi yang sama. Disatu pihak, gejala ini terjadi sebagai akibat dari keberhasilan program perluasan kesempatan belajar pada semua jenis dan jenjang pendidikan, di pihak lain mungkin juga terjadi akibat lambannya perluasan dan pengembangan sektor-sektor lapangan kerja remuneratif. Dengan demikian pada saat lapangan kerja yang tersedia masih di dominasi oleh kegiatankegiatan ekonomi subsisten, pada saat itu pula program perluasan pendidikan sudah mulai menghasilkan sejumlah besar tenaga kerja terdidik pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Tafsir yang dapat dikembangkan atas kesenjangan struktur tenaga kerja terdidik adalah gejala investasi pendidikan terlalu cepat relatif terhadap laju investasi lapangan kerja sektor moderen atau tafsir lain investasi sektor-sektor renumeratif yang terlalu lamban relatif terhadap perluasan pendidikan. Manning (2004) mengakui besarnya investasi dalam bidang pendidikan di Asia Timur menyebabkan produktivitas tenaga kerja sehingga kemiskinan mulai berkurang. Sebaliknya kasus di Indonesia selepas krisis dan setelah reformasi, sektor moderen tumbuh kurang pesat sehingga kesempatan sektor informal dan tradisional meningkat lebih cepat sehingga angkatan kerja yang berpendidikan lebih tingggi memiliki kelenturan yang relatif rendah untuk berkiprah di sektor informal dan tradisional.

Gambar 3. Dualisme Ekonomi

Dualisme ekonomi (Lecq, 1995; Temple & Wobmann, 2004 serta Vanhale, 2007) yang terjadi di seluruh daerah di Indonesia dapat dijadikan alasan mengapa angkatan kerja dari berbagai tingkat pendidikan termasuk PTK menjadi kendala penerapan teori human capital. Gambar 3 di bawah ini menjelaskan secara teoretis teori human capital kurang berfungsi di daerah seperti rekaman Manning (2004) terhadap kasus di Asia Timur akibat kendala dualisme ekonomi. Secara sederhana dualisme ekonomi digambarkan dalam sektor moderen dan sektor tradisional. Sektor moderen ditandai dengan kofisien teknis yang tetap, karena itu tenaga kerja dan modal hanya bisa dikombinasikan dalam proporsi yang tetap. Sebaliknya pada sektor tradisional, kofisienkofisien teknis tidak kaku karena itu memungkinkan adanya teknik-teknik yang mengizinkan kombinasi antara tenaga kerja dan modal dipergunakan guna mewujudkan sumbangan terbaik. Isoquan yang mewakili kedua sektor terlihat dalam gambar 2. Bila keluaran O1 dihasilkan sektor moderen hanya OL1 unit tenaga kerja yang dipakai sementara yang bersedia bekerja OL2 maka yang akan menganggur sebesar OL2OL1. Sebaliknya sektor tradisional menggunakan teknik produksi sesuai dengan faktor pendukung yang tersedia. Misalnya bila OL2 yang unit tenaga kerja tersedia, maka tidak perlu menghasilkan produksi sebanyak keluaran O2 seperti sektor moderen karena tidak mungkin memakai teknik yang lebih padat modal. Uraian di atas memberi gambaran bahwa PTK yang menghasilkan tenaga kerja terampil dan terdidik tidak dapat diserap di pasar kerja di berbagai daerah diakibatkan oleh adanya kendala dualisme ekonomi. Rendahnya penyerapan tenaga kerja terampil dan terdidik di sektor moderen disebabkan kecenderungan sektor ini menggunakan faktor produksi yang padat modal. Pilihan ini diambil karena menganggap produktivitas modal lebih tinggi dari produktivitas tenaga kerja. Pandangan ini tentu bertentangan dengan pandangan teori

Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2011

human capital yang menganggap produktivitas tenaga kerja lebih unggul dari produktivitas modal.

PTK DAN MODEL HARROD DOMAR Teori ini menganggap bahwa PTK dapat memberi sumbangsih pada daerah melalui produk teknologi yang dihasilkannya. Hal dapat dielaborasi melalui persamaan laju pertumbuhan output sama dengan marginal propensity to save dibagi ICOR atau dalam persamaan matematik Y= s/v (Jhingan, 1988 dan Djojohadikusumo, 1994). Uraian sebelumnya memperlihatkan bahwa kapital menjadi faktor produksi yang penting dalam menentukan laju pertumbuhan ekonomi maka diperlukan tabungan dalam negeri (masyarakat dan pemerintah) dan tabungan luar negeri (utang) untuk mencapai target pertumbuhan. Sedangkan ICOR dianggap konstan sehingga teknologi bukan dianggap faktor kunci bagi pembangunan daerah. Mengasumsikan ICOR konstan maka perangkat kebijaksanaan yang dimanfaatkan untuk mencapai laju pertumbuhan output yang diinginkan adalah pembilang dari pemecahan persamaan variabel s. Alun (1987) melihat dalam praktek, pemerintah pusat dan daerah mencoba mempengaruhi besar variabel s dengan berbagai kebijakan, misalnya dengan menggalakkan tabungan masyarakat melalui suku bunga deposito yang menarik, pemutihan dan pembebasan tabungan tersebut dari pajak. Disamping itu pemerintah mengusahakan peningkatan tabungan pemerintah dengan mengupayakan peningkatan penerimaan dan mengendalikan volume anggaran belanja. Kemudian pemerintah juga mengusahakan pinjaman luar negeri yang dapat pula dianggap sebagai komplemen tabungan dalam negeri dan karenanya bisa disebut sebagai tabungan luar negeri. Apabila ICOR dianggap tidak konstan dan pada kenyataannya memang ICOR tidak konstan maka pemerintah memiliki tambahan instrumen kebijakan yaitu faktorfaktor yang secara langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi besar ICOR seperti IPTEK dan organisasi produksi. Berapa besar pengaruh IPTEK terhadap ICOR dapat diduga melalui fungsi dari bidang dan tingkat penguasaan, penyebaran dan penerapan di masyarakat atau ICOR = f (KT, ST, TT). Dalam konteks inilah seharusnya pemerintah melakukan koordinasi dan mengintegrasikan IPTEK yang telah dikembangkan berbagai instansi termasuk PTK dalam kebijakan makro perekonomian daerah. Namun sayangnya, pengembangan IPTEK hanya di lihat sebagai tugas masingmasing instansi termasuk PTK yang tidak berkaitan antara instansi yang satu dengan instansi lainnya sehingga tidak ada perhatian pemerintah ke arah upaya melibatkan secara langsung melalui kebijakan makro pembangunan daerah. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap arti penting teknologi sebagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah karena adanya anggapan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemajuan yang dicapai Korea Selatan, Taiwán, Hongkong, Singapura dan RRC adalah outward looking policies. Pandangan ini menyatakan bahwa ekspor menjadi lokomotif penarik kemajuan pembangunan dengan latar belakang asumsi bahwa peningkatan ekspor dapat meningkatkan cadangan devisa dan karenanya memungkinkan diimpornya berbagai kebutuhan yang bersifat esensial bagi pertumbuhan daerah. Orientasi ke perdagangan internasional memungkinkan beroperasinya unit produksi pada skala yang besar, ekonomis, dan diperolehnya berbagai keuntungan lain. Pandangan di atas mengabaikan kemungkinan bahwa ekspor menjadi mungkin berkembang karena adanya kemajuan ekonomi akibat keunggulan komparatif di bidang teknologi. Padahal, orientasi ekspor yang tidak disertai oleh keunggulan komparatif di bidang teknologi merupakan orientasi yang sia-sia. Keunggulan komparatif dari segi upah buruh yang murah bukan lagi faktor menentukan terutama setelah dimungkinkannya

Aminuddin Bakry, Reorientasi Kebijakan dan Pengelolaan PTK di Era Desentralisasi

otomatisasi dan robotisasi dalam produksi. Sedangkan keunggulan komparatif dari segi tersedianya bahan baku juga bukan pula faktor yang sangat menentukan karena mengingat unsur bahan baku yang makin mengecil dalam biaya produksi. Jika pengembangan teknologi dianggap sebagai perangkat kebijakan pembangunan daerah maka sulit dibayangkan apabila pengembangan teknologi ini diserahkan kepada pihak luar negeri. Sebab hal tersebut sama saja artinya dengan menggantungkan keberhasilan pembangunan kepada pihak luar negeri. Oleh karena itu perlu diambil langkah proaktif pengembangan teknologi yang dibutuhkan masing-masing daerah. Untuk itu perlu diciptakan iklim yang kondusif bagi masyarakat untuk bisa secara aktif ikut mengembangkan teknologi. Dalam konteks inilah pemerintah daerah dapat mendorong PTK berpartisipasi aktif dalam pengembangan teknologi yang serasi dengan kebutuhan daerah. Langkah konkrit yang perlu diambil PTK dalam pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan daerah adalah pekerjaan penelitian dan pengembangan yang dilakukan secara teratur dan berencana. Pekerjaan ini bukanlah barang mewah yang pantas dikerjakan oleh negara-negara industri maju, melainkan pekerjaan wajib bagi PTK. Walaupun pekerjaan ini membutuhkan biaya, akan tetapi bukan satusatunya kunci penting, melainkan faktor manusia sebagai pelaku dari pekerjaan penelitian dan pengembangan adalah kunci utamanya. Untuk itulah seluruh sivitas akademika PTK dituntut untuk profesional dalam bidangnya, memiliki spirit, tekun dan ulet, tidak cepat putus asa, berwatak terbuka dalam menerima kebenaran dan berorientasi ke masa depan. Kemampuan sivitas akademika PTK seperti yang dikemukakan di atas, belumlah cukup memberikan kepercayaan terhadap PTK dalam mengembangkan teknologi untuk daerah seperti merumuskan pengembangan dan diseminasi teknologi bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas daerah, tertutupnya kesenjangan teknologi

antara sektor moderen dan tradisional, peningkatan pemerataan dan laju pertumbuhan pembangunan daerah. Untuk itulah pemerintah mengambil peran mengatur bentuk kerjasama yang dibutuhkan PTK dengan BMUN dan BUMD yang umumnya mempunyai akses informasi ke pemerintah dan ke luar negeri. Selain itu, BUMN dan BUMD memiliki kemampuan diseminasi teknologi melalui berbagai program seperti alih teknologi dalam konsep bapak-anak angkat, serta memberikan program latihan, magang dan klinik konsultasi sebagai perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

PROSPEK DAN PENGELOLAAN PTK DI ERA DESENTRALISASI PTK terbagi kedalam dua jenjang pendidikan yaitu dalam bentuk sekolah menengah kejuruan (SMK) dan pendidikan tinggi dalam bentuk program diploma yang diselenggarakan oleh politeknik dan sekolah tinggi, institut serta universitas. Direktorat Pembinaan SMK yang berada di bawah Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah bertanggung jawab dalam pembinaan SMK, sedangkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi bertanggung jawab dalam pembinaan program diploma. Kebijakan Direktorat Pembinaan SMK difokuskan untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja. Disamping itu diharapkan pada tahun 2015 jumlah siswa SMK mencapai 70% dari jumlah populasi siswa sekolah menengah, sedangkan 30% sisanya adalah siswa SMA. Sementara bagi PTK di tingkat perguruan tinggi diharapkan dapat meningkatkan jumlah tenaga ahli madya. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan hanya mengizinkan pembukaan program diploma pada FT universitas eks IKIP. Dengan demikian PTK bertujuan menyiapkan peserta didik untuk bekerja (Calhoun dan Finch, 1982). Kebutuhan daerah tidak hanya pada ketersediaan tenaga kerja terampil dan

Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2011

profesional untuk dunia usaha dan industri tetapi juga teknologi yang menjadi perangkat kebijakan pemerintah. Oleh karena itu PTK hendaknya dapat memenuhi harapan daerah terhadapnya. Kalau selama ini PTK hanya berkonsentrasi pada aktivitas proses belajar mengajar untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan dan kurang fokus pada kualitas hasil penelitian bidang teknologi. Hal ini bisa dimengerti karena misi lembaga pendidikan khususnya SMK adalah menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar untuk menghasilkan peserta didik yang terampil dan profesional. Sedangkan PTK di tingkat pendidikan tinggi dituntut menyelenggarakan tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Tidak dapat disangkali bahwa intensitas penelitian di perguruan tinggi belum seperti yang diharapkan, artinya intensitas pendidikan dan pengajaran lebih tinggi dari penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Berkaitan dengan alur berpikir di atas maka prospek dan pengelolaan PTK akan semakin baik apabila eksistensinya bermanfaat bagi daerah. Artinya, daerah memperoleh manfaat dengan adanya PTK sehingga penyelenggaraan PTK hendaknya memperhatikan kebutuhan dan potensi daerah. Seperti diketahui ada keragaman potensi daerah, ada yang surplus sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, dan daerah lainnya surplus kapital dan sumberdaya alam. Surplus faktor produksi daerah menjadi keuntungan komparatif yang harus diperhitungkan PTK untuk memberikan manfaat bagi daerah. Logika yang dapat dipergunakan dalam menyelenggarakan PTK adalah mengacu pada keunggulan komparatif daerah. Teori keuntungan komparatif didasarkan pada prinsip opportunity cost, yaitu terkonsentrasinya suatu faktor produksi di daerah dimana faktor produksi tersebut berlimpah. Premis dalam kondisi statis untuk mendalami faktor-faktor produksi yang ada di daerah kurang tepat karena faktor-faktor ini berubah-ubah konfigurasinya. Oleh karena itu pendekatan

keuntungan komparatif dalam konteks dinamis dapat dimanfaatkan PTK dalam meningkatkan akselerasi pembangunan daerah (Azis, 1994 dan Riyadh & Bratakusumah, 2003). Tabel 3 menunjukkan hipotetis arah hubungan antara berbagai variabel. Untuk daerah yang surplus tenaga kerja, variabel rasio capital dengan tenaga kerja (C/L) dan variabel proksi (R) seperti sumberdaya alam dan teknologi akan bertanda negatif, serta sebaliknya daerah yang surplus kapital maka variabel-variabel tersebut akan pertanda positif. Implikasi dari pandangan hipótesis seperti yang diperlihatkan dalam tabel 3 di atas, dapat dijadikan acuan dalam pengembangan PTK di masing-masing daerah. Untuk itu antara satu daerah dengan daerah lainnya tidak harus sama program yang dikembangkan oleh PTK. Bagi daerah yang surplus tenaga kerja, PTK mempunyai misi selain mendidik tenaga kerja terampil dan profesional, juga dapat menghasilkan teknologi padat karya atau teknologi yang ramah dengan surplus tenaga kerja. Sebaliknya, daerah yang surplus kapital maka PTK tetap melaksanakan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang mendidik tenaga terampil dan profesional dan juga menghasilkan teknologi padat modal yang dibutuhkan daerah tersebut. Oleh karena itu diperlukan reorientasi PTK dalam mengembangkan program akademik dan penelitian berbasis kebutuhan dan potensi daerah. Tabel 3. Hipótesis Hubungan Berbagai Variabel Daerah Surplus Tenaga kerja Surplus Kapital

C/L

R

negatif

negatif

positif

positif

DAFTAR PUSTAKA Ancok, D. 2008. Konsep Modal Manusia. Avaliablehttp://ancok.staff.ugm.ac.id/ h-18/Konsep-modal-manusia.html.

Aminuddin Bakry, Reorientasi Kebijakan dan Pengelolaan PTK di Era Desentralisasi

Alun, T. 1987. Pengembangan Teknologi sebagai Salah Satu Perangkat Kebijaksanaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Prisma No. 4. Azis, I.J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Chan, S.M dan Sam, T.T. 2007. Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Calhoun, C.C & Finch, A.V. 1982. Vocational Education: Concepts and Operations. Belmount Ca: Wadsworth Publishing Company. Djojohadikusumo, S. 1994. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Erosa, A, Koreshkova, T & Restuccian, D. 2007. How Important is Human Capital? Quantitative Theory Assessment of World Income Inequality. Avaliable http://espace.lis.curtin.edu.au/archive /0000304/01/8167_WEPAU_DP. Fiske, E.B. 1998. Desentralisasi Pengajaran: Politik dan Konsensus. Jakarta: Graznido. Jhingan, J. 1988. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali Press. Jha, P & Golder, S. 2008. Labor Market Regulation and Economic Performance. ILO. Kasnawi, M.T. 2006. Produktivitas Tenaga Kerja per Sub Sektor di Sulawesi Selatan. Makalah Seminar. Makassar: UNHAS. Kessler, A.S & Lulfesmann, C. 2002. The Theory of Human Capital Revisted: On the Interaction of General and Specific Investments. JEL-Classification:C78. Livingsstone, D.W. 1997. The Limits of Human Capital Theory: Expanding Knowledge, Informal Learning and Underemployment. Avaliable http://www.irpp.org/po/archive/jul9 7/livings.pdf. Lecq, F. 1995. Dualism in Economic Thinking: Two Views Compared. FENN

Conference Paper. Netherland: The Institute of Social Studies, The Hague. Mangkuprawira, S. 2004. Human Capital Theory and Benefit-Cost Analysis in Education. Makalah Seminar. Bogor : IPB Manning, C. 2004. Kebijakan Upah Minimum: Apakah Indonesia Mulai Menempuh Rute Amerika Latin?. Makalah Lokakarya. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. McGin, W and Welsh, T. 1999. Decentralization of Education: Why, When, What and How? Paris: Unesco & Scientific and Cultural Organization. Riyadi dan Bratakusumah, D.S. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia. Simanjuntak, P.J. 1985. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Sudarno dan Rietveld, P. 1987. Adopsi Teknologi pada Industri Kecil. Jakarta: Prisma No.4. Sutrisno, J. 2008. Kebutuhan Guru SMK. Makalah Seminar Internasional Optimasi Pendidikan Kejuruan. Madang: FT UNP. Suryadi, A dan Salim, A. 1995. Kesenjangan Struktur Persediaan dan Permintaan Tenaga Kerja Terdidik. Jakarta: Prisma No. 8. Temple, J & Wobmann, L. 2004. Dualisme and Cross-Country Growth Regressions. Discussion Paper. Britol: Departement of Economics University of Britol. UNESCO. 2005. Decentralization in Education: National Policies and Practices. Paris: Unesco & Scientific and Cultural Organization. Vanhale, 2007. Essay on Labor Market Frictions, Technological Change and MacroEconomic Fluctuations. Research Reports. Helsinki: Kansantaloustieteen Laitoksen Tutkimuksia No.108.

Jurnal MEDTEK, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2011

Zamara, B. 2006. A New Discussion of The Human Capital Theory in the Methodology Of Scientific Research Program. Paper. Athen: The International Symposium on Economic Theory, Policy and Aplication.