RIAU BERDARAH! (Kisah Perjalanan Hidupku ... - yimg.com

58 downloads 9263 Views 1MB Size Report
Cerita pedih penuh kesengsaraan dan tanpa perikemanusian ini, menjadi .... Tentara Jepang memasuki seluruh pelosok, kota dan desa di Hindia. Belanda.
Riau Berdarah |

RIAU BERDARAH! (Kisah Perjalanan Hidupku)

Mengenang alm. ayah tercinta: Soedarsono Mohammad Taher Untuk yang tercinta dan kukasihi : anakku Virgo, Gemini dan Joshua Ariyanto, serta istriku Christine Margarette Taher. (Virgo dan Gemini bukan nama sebenarnya)

Kenangan dan penghormatan untuk mereka yang dilupakan: para korban rezim Ordebaru.

1

RIAU BERDARAH (Kisah Perjalanan Hidupku) Oleh: Yoseph Tugio Taher Editor: Soemargo dan H.D. Oey Tata Letak & Sampul: Vadimitra Penerbit: HASTA MITRA 2006 ISBN: 979-8659-39-2 Buku dapat diperoleh di: Toko Buku KALAM – Utan Kayu 68H Telp. 021 –856 75 02 - Jakarta C.V. DOEA LENTERA – Jl. Cikoko Barat II/ RT 007/03 – Kel. Cikoko Pancoran Telp. 021 – 790 29 43 - Jakarta Toko Buku ULTIMUS – Lengkong Besar 127 Telp. 022 – 423 70 60 – Bandung

Pengutipan untuk keperluan resensi dan keilmuan dapat dilakukan setelah memberitahukan terlebih dulu kepada pengarang/penerbit. Memperbanyak atau reproduksi buku ini dalam bentuk apapun untuk kepentingan komersial tidak dibenarkan Hak Cipta dilindungi Undang-undang All Rights Reserved

Riau Berdarah |

RIAU BERDARAH (Kisah Perjalanan Hidupku) Oleh: Yoseph Tugio Taher

HASTA MITRA 2006

3

Riau Berdarah |

5

Kata pendahuluan Anak-anakku yang tercinta, Matahari bersinar memberikan cahayanya ke seluruh alam semesta, kepada semua mahluk, besar dan kecil di manapun berada, kemudian ia turun detik demi detik hingga terang yang kita lihat dan nikmati menjadi pudar dan menggelap untuk akhirnya hilang di bawah permukaan cakrawala. Begitupun hidup manusia ini, anakku, mereka lahir, menjadi remaja, dewasa dan kuat untuk mengemban tugas hidup dengan segenap kemampuan, kekuatan dan dayanya, kemudian melemah, kemampuannya menurun, menjadi tua dan akhirnya sampailah saatnya dia mesti melepaskan hidup yang indah ini. Dia akan pergi dan hilang menuruti hukumnya ……. Segala yang pernah ia lakukan, tidak akan diingat lagi, segala kenangan mengenainya akan dilupakan. Tak seorangpun akan menceritakan ceritanya, tak seorang pun akan menceritakan pengalamannya, kegembiraannya , suka duka dan kesedihannya…semua akan hilang lenyap! Anak-anakku, Sebelum segala sesuatunya ini terjadi, sebelum matahari kehidupan ini turun jauh dibawah garis cakrawala, sebelum segala sesuatunya menjadi gelap dan hilang, berdasarkan apa saja yang masih bisa kuingat pada hari tuaku ini, kucoba menulisnya. Kutulis, mengenai diriku, hal-hal yang pernah kualami, kegembiraanku, kesedihanku , dan segala apa yang masih bisa kuingat, kucoba untuk menulisnya, sebanyak yang bisa kutulis , agar kalian, anak-anakku, dan siapa saja yang membaca tulisanku ini mengetahui sedikit banyaknya akan sejarah dan pengalaman dan perjalanan hidupku, dengan satu harapan dariku, petiklah apa yang baik dan buanglah apa yang tidak

baik dari tulisanku ini, karena inilah kisah perjalanan hidupku yang sebenarnya. Australia, 30 September 2004

Riau Berdarah |

7

Bagian-I KULI DAN ROMUSHA Seperti diceritakan oleh almarhum ayahku: Beberapa tahun sesudah Perang Dunia berakhir, tepatnya sekitar tahun 1930 dunia dilanda depresi yang sangat parah yang dikenal oleh orang awam sebagai zaman meleset. Sulit bagi orang biasa untuk dapat mempertahankan hidup, tanpa perjuangan yang sangat gigih. Seluruh penjuru dunia mengalami kelaparan, kekurangan makanan dimanamana. Eropa, Asia maupun Amerika berada dalam keadaan yang mengenaskan sekali. Tak terkecuali Hindia Belanda, nama Indonesia semasa menjadi jajahan Belanda, kepulauan yang subur di garis khatulistiwa. Kelaparan dan kematian dimana-mana. Negeri yang masih berada dalam jajahan Belanda ini, keadaannya tidak berbeda dengan negeri-negeri lain di pelosok penjuru dunia. Keadaan pulau Jawa yang penduduknya cukup banyak, sangat memprihatinkan. Di segenap pelosok, kelaparan dan kematian! Aku tak tahu, mengapa bumi ini seolah-olah terkutuk setelah perang dunia pertama ini. Dibawah kekuasaan dan peraturan Belanda, puluhan ribu penduduk, lelaki dan perempuan, dikirim dengan kapal besar dari Jawa, pulau yang sangat padat penduduknya di Indonesia yang masih berada dalam jajahan Belanda, untuk bekerja diperkebunan milik Belanda di Sumatera. Belanda bergantung kepada pekerja yang senantiasa dapat diperoleh dari Cina dan kemudian Jawa,yang di perkerjakan dengan paksa dalam sistem dan peraturan “kuli-kontrak”. Para administrator Belanda menggunakan sistem “cap-jempol” atau “finger-print”, dalam perjanjian kerja untuk mencegah para kuli melarikan diri. Pekarja yang meninggalkan pekerjaan akan dijatuhi hukuman penjara. Para kuli kontrak atau pekerja paksa ini pada hakekatnya tak ubahnya sebagai orang hukuman yang berada di luar penjara. (lihat film dokumen BBC: Riding the Tiger Part I)

Seorang pemuda tamatan klas 5 HIS (Hollands Inlandsche School atau yang sekarang disebut SD, Sekolah Dasar) bernama Soedarsono berasal dari Kendal, Semarang, Jawa Tengah, sejak kecil tinggal bersama pamannya, seorang buruh keretapi di Semarang. Karena pamannya, tempat ia menompangkan hidup, ditangkap Belanda dan tidak tahu ditahan atau dibuang kemana, maka dia terpaksa mendaftarkan diri dan menanda tangani perjanjian menjadi kulikontrak untuk dikirim ke Deli. Dalam masa yang sama seorang gadis kampung dari tiga orang bersaudara berusia belasan tahun berasal dari daerah Yogyakarta bernama Siyem yang ditinggal mati kedua orangtuanya, menjadi korban Lurah Kampung yang melahap semua harta peninggalan orangtua mereka yang berupa tanah dan rumah, menjadikannya kuli kontrak dan dikirim ke perkebunan tembakau di Deli. Adapun asal mula “koeli-kontrak” ini, dapat diceritakan, bahwa pada 7 Juli 1863, seorang pengusaha Belanda, Jacobus Neinhuijs, dari Firma Van den Arend Surabaya, salah seorang dari pengusaha perkebunan tembakau, dengan kapal Josephine, berangkat dan merapat di Sumatra Timur. Rombongan yang dibawa Said Abdullah Ibnu Umar Bilsagih ini diterima Sultan Deli dan diberi tanah 4000 bau untuk kebun tembakau dengan konsesi selama 20 tahun. ( 1 bau = 7000 meter persegi; lihat Kamus Inggris, Purwadarminta). Selain menggunakan pekerja yang dibawa dari Surabaya, untuk membuka perkebunan, sebagai pekerja yang disebut “koeli” juga digunakan bangsa Cina yang disebut laukeh dari pulau Penang di tanah Melayu. Pengunaan pekerja dari kalangan penduduk setempat yaitu Melayu dan Karo, dirasa kurang tepat, karena mereka suka melawan dan tidak patuh. Karena hasil panen yang cukup baik dan menguntungkan, disebabkan tembakau yang dihasilkan, sangat tinggi mutunya, daunnya yang halus dan mudah terbakar dan warnanya yang bisa berobah menurut saat panennya, maka tembakau Deli ini menguasai pasar Eropa dan menjadi terkenal keseluruh dunia. Hal ini membuat banyaknya pengusaha-pengusaha Belanda yang berlomba-lomba membuka perkebunan tembakau di Deli, Sumatra

Riau Berdarah |

9

Timur. Mereka menjadi “toean-kebon” pemilik onderneming (perkebunan) yang mencari dan memburu keuntungan ! Perkebunan makin meluas, di segenap pelosok tanah Deli, namun pekerja menjadi kurang. Untuk mengkordinir para pengusaha perkebunan dan merekrut tenaga kerja murah, pada tahun 1879, dibentuklah organisasi yang diberi nama “Deli Planters Vereeniging” yang membuat hubungan dengan biro-biro pencari tenaga kerja, untuk mendatangkan buruh-buruh murah. . Didorong oleh keinginan untuk mendapatkan untung banyak, para “toean-kebon” bertindak seperti orang gila, memaksa para kuli bekerja melewati batas waktu dan kemampuan. Penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang di luar perikemanusiaan sering terjadi. Bahkan, pekerja yang dianggap berbahaya, engkar dan melawan, di borgol kakinya, di ikat dengan besi bandul yang cukup besar dan berat, seperti memperlakukan binatang. Cerita pedih penuh kesengsaraan dan tanpa perikemanusian ini, menjadi bagian dari hidup bangsa, warga bumiputra, yang menjadi “koeli” pada masa itu. Dimata Belanda majikan, si pemilik perkebunan, “koeli”, si manusia pekerja, adalah seperti “binatang yang harus dijinakkan”. Mereka diperlakukan dengan penuh kekasaran, tanpa perikemanusiaan. Tahun 1880, karena Pemerintah Inggris dan Tiongkok membatasi pengiriman tenaga kerja dari daerah jajahannya, maka pencarian tenaga kerja dialihkan ke pulau Jawa, terutama daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan pada 1889, muncul istilah “Poenale-Sanctie” atau “Koeli-Ordonantie” atau “Contract-Koeli” atau “Koeli-Kontrak” yang diberlakukan untuk pekerja-pekerja dari luar Sumatra, seperti Keling (Tamil), Cina dan Jawa. Saat itulah pertumbuhan kuli kontrak mengalami ledakan. Dengan perantaraan para lurah, kepala desa dan pamong praja, dan agen-agen tenaga kerja, berduyun-duyun pemuda yang sebagian besar adalah para penganggur, meninggalkan kampung halaman, menuju ke “pulau harapan” atau “pulau emas” di Deli Sumatra. Mengubah dan menyulap hutan belantara Deli menjadi perkebunan, yang akan menghasilkan emas dan harapan. Namun, harapan di “pulau harapan” itu tidak menjadi kenyataan. “Emas” yang mereka harapkan, hanya untuk majikan. Majikan Belanda bertambah

kaya. Hidup para kuli menjadi suatu derita dan kepahitan. Di perkebunan Deli, mereka ditempatkan di bedeng-bedeng yang sangat tidak memadai, bekerja keras dan gaji yang kecil, hingga apa yang diperoleh hanya untuk sekedar makan dari hari kehari, disamping segala siksaan dan aniaya, dari para mandur dan centeng-centeng kebon, yang menganggap “koeli-kontrak” sebagai budak, sebagai slave yang boleh diperlakukan apa saja! Kendatipun, peraturan “Poenale-Sactie” atau “Koeli-Ordonantie” itu direvisi pada tahun 1918, namun peraturan penggantinya, tidak banyak berobah. Tetap berisi banyak sanksi bagi kuli-kontrak. Perlakuan terhadap mereka tidak berobah samasekali. Di Sumatra Utara, sebutan “kuli-kontak” adalah suatu sebutan untuk menunjukkan kaum yang hidup menderita dan sengsara di pulau Jawa, kemudian mengikatkan diri pada perjanjian kerja yang hanya membuat mereka lebih sengsara, lebih menderita di Sumatra.. Suatu sebutan yang menunjukkan betapa sengsaranya, parahnya, pedihnya dan perihnya kehidupan manusia! Namun, sepedih, seperih dan sesedih apapun cerita kehidupan mereka, tidak menjadikan bumiputra itu, “koeli-kontrak” itu, mati dan hilang lenyap. Mereka ternyata hidup dan bertahan dan terbaja, dalam perjuangan dan penderitaan yang keras dan hebat. Keturunan mereka yang lahir di tanah Deli, menjadi penduduk Sumatra Timur dengan menyandang gelar Jawa Deli atau Jadel. Sama dengan anak-anak Jawa lainnya, yang lahir di kampung di pulau Jawa, hanya berbeda dalam watak. Anak-anak Jadel lebih keras wataknya, karena umumnya,mereka dilahirkan dalam kesengsaraan, kesedihan, kekurangan dan penderitaan, bahkan pengorbanan, dengan menggunakan masa kanak-kanaknya untuk membantu kerja orangtua mereka, si kuli-kontrak! Hidup diperkebunan, di-onderneming, sebagai seorang kulikontrak, bukanlah suatu hal yang menyenangkan.. Kekerasan, perkelahian, perkosaan bahkan pembunuhan menjadi hal yang biasa sehari-hari. Umumnya, “toean-kebon” si majikan, tidak ambil pusing akan hal-hal itu. Bahkan simajikan sendiri juga mempunyai centengcenteng situkang pukul yang setiap saat mematuhi perintah “tuannya”

Riau Berdarah |

11

untuk menghajar, menganiaya dan melakukan segala kekerasan terhadap si “koeli-kontrak”! Dalam situasi begitu, Sudarsono yang kemudian diketahui oleh majikannya, pernah duduk di kalas 5 HIS dan bisa sedikit-sedikit mengucapkan kata-kata Belanda, oleh majikannya “sitoean-kebon”, diangkat menjadi mandur dalam perkebunan tembakau dimana dia berada . Dengan kedudukan dan jabatan mandur itu, ia disegani, bukan saja oleh para kuli, namun oleh para centeng-centeng perkebunan. Dia tidak pernah menyiksa atau menganiaya para kuli kontrak, karena ingat akan perkataan pamannya sebelum ditangkap Belanda, bahwa kuli itu adalah suatu kaum yang lapar dan terhina, mengapa mesti di siksa dan di aniaya ! Bagaimanapun kerja kerasnya seorang kuli, hanya cukup untuk makannya ! Kelemah lembutan dan rasa persaudaraan Sudarsono, yang berayahkan seorang pedagang Islam dari Hadramaut Arabia dan ibu dari Kendal itu, membuat dia disegani dan selamat tanpa ada musuh di perkebunan yang kehidupannya sangat keras dan kasar. Di perkebunan, setiap akhir bulan setelah para kuli menerima gaji, atau disaat hari-hari besar Belanda, “toean-kebon” si majikan biasanya mengadakan pasar malam atau keramaian untuk menghibur para kuli. Dan dalam keramaian yang sering dilangsungkan dengan tari-tarian dan hiburan itu, judi, arak, seks dan perkelahian menjadi merajalela. Bahkan pembunuhanpun adalah merupakan hal yang biasa.. Para bandar keramaian sengaja memberikan atraksi-atraksi menarik yang menguras uang para kuli-kontrak, sehingga mereka terpaksa berhutang kepada majikan dan memperpanjang masa kontrak untuk bekerja guna dapat membayar hutangnya…… Inilah sesungguhnya yang di inginkan dan dikehendaki oleh para “toean-kebon”, agar si-kuli memperpanjang kontraknya, untuk bisa lebih lama ditekan dan diperas ! (Istilah “koeli” diperkirakan berasal bahasa Inggris cooli yang mengadopsi kata kuli dari bahasa Tamil yang artinya orang upahan untuk pekerjaan kasar. Ada juga yang mengatakan bahwa “kuli”

sebetulnya berasal dari kata Tionghoa “ku li” (baca: “khu li”) yang artinya adalah “li” tenaga atau kekuatan, sedang “ku” berarti pahit, getir. Jadi “ku li” adalah tenaga yang dipakai untuk pekerjaan yang berat. Di samping itu, sebagian orang Jawa mengartikan “kuli” adalah kependekan dari “mikuli” yang berarti memikul segala yang berat. Jadi berarti pekerja kasar ! Bahan-bahan, selain dari cerita almarhum ayahkujuga dari tulisan Kompas 11 Junui 2001 yang berjudul Kuli Konrak, Mardi Lestari dan Asisten Gubernur, dan dari [ekonomi nasional] dulu Koeli sejarang Buruh oleh Rifky Pradana, 08 Mei 2006]. Untuk lebih mendapat gambaran sempurna tentang ‘kuli” di masa penjajahan Belanda, silahkan mengikuti tulisan kedua penulis di atas, pada website:(http://www.kompas.com/kompascetak/0106/ daerah/kuli28.htm) dan (http://www.mail-archive.com/ekonomi [email protected]/msg0569.html) Di daerah perkebunan tembakau Deli itu, suatu masa, diwaktu berlangsungnya pasar malam keramaian, Soedarsono bertemu dengan gadis Siyem yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah. Hasil pertemuan ini, mereka menikah pada akhir tahun 1930. Dalam upacara pernikahan yang sangat sederhana di perkebunan itu, menurut Ulama Islam Melayu yang menjadi Qadi, jurunikah, dan menurut adat, pasangan suami istri ini harus mendapatkan dan memakai nama gelar atau nama dewasa. Soedarsono tetap memakai dan menggunakan nama dan gelar ayah serta datuknya yaitu Mohammad Taher, sedang Siyem mendapat nama lain.Kehidupan keduanya sebagai buruh perkebunan, sangat sederhana, sesuai dengan kedudukan dan keadaan mereka.Setahun setelah mereka menikah, pada 31 Desember 1931 lahirlah anak mereka yang pertama, seorang perempuan. Setelah kelahiran anak yang pertama itu, dan setelah mereka berhasil mengumpul biaya selama beberapa tahun, dan “kontraknya” selesai, mereka pulang ke tanah Jawa untuk menjenguk sanak keluarga. Kepulangan mereka ini, nampak seolah-olah seperti cuti tahunan., karena beberapa bulan di tanah Jawa, mereka kembali ke Sumatera. Tetapi, mereka bukannya kembali ke Sumatera Utara di perkebunan tembakau Deli, melainkan ke Sumatera Tengah di

Riau Berdarah |

13

perkebunan karet, di suatu tempat yang bernama Kayutanam, di daerah Padangpanjang, Sumatera Tengah. Di perkebunan karet ini, Soedarsono karena kecakapannya serta tulisan tangannya yang cukup bagus, diangkat oleh majikan menjadi kerani pabrik, yang mengawasi dan mengkontrol para pekerja didalam pabrik pembuatan dan pengeringan getah di perkebunan karet itu. Kehidupan mereka hanya sedikit agak baik jika dibandingkan dengan waktu berada di Deli, Sumatera Utara. Setelah beberapa tahun disini, lahirlah anak mereka yang kedua, pada 17 Desember 1938, seorang laki-laki yang menjadi tumpuan kesayangan baik bagi kedua orangtuanya maupun bagi kakaknya. Itulah aku! Diriku! Dua tahun kemudian, pada tahun 1940, di tempat yang sama lahirlah adikku seorang perempuan. Masa kelahiran kami di perkebunan karet ini sungguh sangat tidak menguntungkan. Di saat kelahiran adikku, terjadi petengkaran hebat antara ayah dan majikannya yang menyebabkan ayah dan ibu diusir dari perkebunan dan dikembalikan ke pulau Jawa. Persoalannya adalah penolakan ibuku untuk melahirkan di klinik perusahaann perkebunan. Keengganan ibuku ini disebabkan ketakutan karena banyak kaum wanita pekerja perkebunan yang melahirkan di klinik pada masa itu meninggal disebabkan percobaan-percobaan medis oleh para mahasiswa kedokteran yang datang dari Universitas Leiden, negeri Belanda. Pertengkaran dengan majikan ini menyebabkan orang tuaku dikembalikan ke Jawa, namun terpaksa harus kembali lagi ke Sumatera untuk mendapatkan pekerjaan. Kali ini, mereka pergi ke suatu tempat yang bernama Sawah Lunto di Sumatera Tengah dan bekerja di pertambangan batubara. Di kota ini lahirlah adikku yang kedua, seorang anak lelaki. Saat kelahiran adikku ini adalah saat yang sangat berbahaya buat kami semua. Dunia dalam cengkeraman perang dunia ke-2. Jepang melakukan penyerbuan ke seluruh Asia Tenggara. Tentara Jepang memasuki seluruh pelosok, kota dan desa di Hindia Belanda. Tidak luput kota kecil yang bernama Sawahlunto, dimana kami berada.

Pada saat itu, semua lelaki yang tinggal di barak pertambangan batubara, tidak peduli apakah dia bujangan ataupun sudah berkeluarga, dipaksa menjadi “heiho”, semacam tentara pemuda angkatan Jepang, yaitu milisia yang harus bertempur untuk kepentingan Jepang di kepulauan New Caledonia atau di lautan Pasific. Janji yang diberikan oleh penguasa Jepang sungguh sangat manis, yaitu, selama suami pergi bertempur untuk kepentingan Jepang, pemerintah Jepang akan merawat serta memberi makanan dan pakaian untuk keluarga yang ditinggalkan. Semua keperluan keluarga akan dijamin oleh pemerintah Jepang. Suatu janji yang sangat indah sekali ! Akan tetapi, kejadian yang sesungguhnya adalah berlawanan samasekali ! Keluarga yang di tinggalkan tidak diberi apaapa untuk hidup, bahkan para istri pekerja tambang batubara, teristimewa yang masih muda, yang suaminya telah di kirim untuk menjadi heiho, setiap malam didatangi oleh prajurit-prajurit Jepang yang dengan buas dan kejam melampiaskan nafsu kebinatangannnya. Jika si wanita tidak mau melayani kehendak serdadu-serdadu Jepang itu, dia disiksa bahkan diusir dari barak di mana ia tinggal. Melihat situasi yang sedemikian jeleknya, sebelum ayah diambil menjadi Heiho,dan dikirim ke medan tempur secara diam-diam beliau merencanakan sesuatu yang sungguh sangat berbahaya, yaitu melarikan diri dari Sawah Lunto. Sangat berbahaya , karena semua tempat, kampung dan negeri sudah diduduki oleh Jepang. Andaikata ayah dan keluarga tertangkap oleh Jepang, maka tiada ampun lagi, kecuali mati. Namun, aku terlalu kecil waktu itu untuk bisa mengerti. Usiaku hanya 4 tahun, aku tidak tahu apa-apa. Semua tergantung ayah. Dialah segala-galanya. Dalam keluarga, dialah perencana, pengatur dan pelaksana…..yang kemudian menceritakan semua hal ini kepada kami, sehingga kami mengetahuinya………. Yang masih bisa kuingat, dalam usiaku yang sedemikian pada saat itu, suatu malam kami keluar diam-diam menuju ke tepi hutan dengan melintasi rel kereta api. Ketika kami melintas rel kereta api ini, ibuku yang menggendong adikku yang masih bayi terjatuh ke dalam lobang dan adikku menangis. Ibu cepat-cepat membungkam mulut adikku karena takut kalau tangisannya akan terdengar oleh tentara Jepang yang berjaga. Kami terus berjalan dalam kegelapan malam itu. Setelah

Riau Berdarah |

15

beberapa kilometer jauhnya dari barak yang kami tinggalkan, sampailah kami di sebuah tempat di tepi sebuah sungai. Karena keadaan gelap, aku tidak bisa melihat berapa lebar sungai itu. Di situ sudah menungu seorang lelaki dengan sebuah perahu yang lumayan besarnya. Ia menyuruh semua perempuan dan anak-anak masuk ke dalam perahu, sedang para lelaki akan berjalan mengikuti tepian ke hilir sungai. Ibu dan kakak serta adikku masuk ke dalam perahu, beserta beberapa wanita dan anak-anak lainnya. Aku menjadi tahu bahwa bukan hanya keluarga kami tapi juga beberapa keluarga lain ikut melarikan diri. Aku dan ayah beserta beberapa lelaki lainnya berjalan di belukar mengikuti tepian mengarah ke hilir sungai. Menjelang fajar, sampailah kami di sebuah tempat, dimana sungai yang kami telusuri tadi bertemu dengan sungai lain yang agak lebar dan berarus deras. Perahu yang membawa ibu serta kakak dan adikku telah menunggu disana. Begitu kami sampai, ibu serta kakak dan adikku turun dari perahu dan naik kedarat. Beberapa lelaki yang berjalan bersama kami kemudian naik ke perahu menggantikannya dan mereka meneruskan perjalanan menghilir sungai, mengikuti aliran sungai yang besar dan agak deras arusnya menuju ke hilir. Entah kemana mereka pergi, hanya mereka yang tahu. Rupanya, ayahku memilih tempat dimana kami berhenti ini untuk tempat tinggal kami. Saat matahari terbit, kulihat tempat ini tidak terlalu jelek. Kami berada ditepian sebuah sungai yang sangat jernih airnya, tidak begitu dalam dan tidak begitu lebar. Sedang di hilir, kira 3 atau 4 ratus meter ada sebuah sungai lain yang besar dan lebar, deras dan keruh airnya, yang belakangan kudengar bernama Batang Kuantan. Tempat kami ini, menurut ayah bernama Morosiu. Apakah ini nama sesungguhnya, ataukah hanya ayahku yang memberikan nama untuk tempat itu, aku tak tahu. Yang kutahu, kini kami berada di tepi sebuah anak sungai yang jernih airnya, di tepi hutan belantara, jauh dari tentara Jepang. Belakangan, kureka-reka, mengapa ayah menamai tempat itu Morosiu, apakah karena kami moro (bahasa Jawa) yang berarti datang atau mendatangi tempat itu. Aku tak tahu! Ayah dan ibu mulai membangun pondok dari bahan-bahan yang bisa di peroleh dari hutan

seperti kayu untuk tiang dan kasau , kulit kayu untuk dinding dan lantai, daun rumbia untuk atap dan rotan untuk pengikat. Di samping itu, ayah membuat kebun kecil di belakang pondok untuk menanami ubi kayu dan sayur-sayuran serta cabe. Kiranya, ayah mempunyai alatalat yang telah dipersiapkan sebelumnya, seperti cangkul, parang dsb. Entah berapa lama kami hidup terasing, terpencil dan terkucil dari manusia lainnya ini.. Kami hidup hanya dari buah-buahan hutan, cendawan dan tumbuh-tumbuhan yang bisa di peroleh dari hutan yang lebat di sekitar pondok kami. Sesekali, kami dapat makan daging dari binatang yang yang dapat dijerat oleh ayah. Apakah itu kancil, landak, ayam hutan atau burung. Kami merasa hidup bebas dan merdeka. Namun, kebebasan dan kemerdekaan ini kiranya tidaklah lama. Suatu hari, entah bagaimana, tentara Jepang menemukan ayah. Ayah dipanggil dan dipaksa kerja sebagai kuli untuk membuat jalan kereta api bersama ratusan orang lainnya yang dibawa Jepang dari pulau Jawa dan dipekerjakan sebagai pekerja paksa yang di sebut romusha. Jepang memaksa ayah dan para romusha itu untuk mengangkut dan meratakan tanah guna penempatan balok-balok kayu untuk bantalan rel kereta api. Pekerjaan ini sangat berat dirasakan oleh para romusha. Tentara Jepang yang menjadi pengawas bertindak sangat sewenang-wenang. Seringkali para romusha yang bekerja agak lambat, atau tidak kuat mengangkat keranjang rotan berisi batu-batu, di hantam dengan popor senapan. Kalau si romusha pingsan atau tak sadarkan diri, ditolaknya ke pinggir sungai dan jatuh menggelinding ke bawah ditelan arus sungai yang deras……hanyut dan mati. Benar-benar tidak berperikemanusiaan! Makanan yang diberikan oleh Jepang, tidak mencukupi untuk menambah tenaga buat bekerja pada esok harinya. Bahkan kadangkadang mereka tidak diberi makan samasekali. Keadaan tubuh para romusha sangat mengenaskan. Berbulan-bulan tak pernah mandi. Tubuh dan kulit mereka penuh dijalari oleh kutu yang bersarang pada kain goni yang mereka gunakan untuk penutup aurat. Mereka sangat menderita sekali, lapar, sakit dan banyak yang mati. Pekerjaan bertambah berat ketika pemerataan tanah tertumbuk pada bukit yang keras berbatu. Tentara Jepang yang menjadi

Riau Berdarah |

17

pengawas pembangunan jalan kereta api itu menggunakan dinamit untuk menghancurkan dan meratakan bukit batu itu. Dibuatnya beberapa lobang dibukit batu itu dan dimasukkkannya dinamit ke dalamnya dan dihubungkan dengan kabel beberapa meter ke tempat persembunyiannya. Dari tempat persembunyiannya ini, ujung kabel dibakar. Kabel terbakar menuju ke dinamit. Sampai di dinamit, kabel yang terbakar mati, habis dan tidak terjadi apa-apa. Melihat hal ini, perwira Jepang yang menyaksikannya marah sekali kepada prajurit yang memasang dinamit itu. Sambil berteriak “bagero” perwira itu menampar si prajurit. Perwira itu memerintahkan semua romusha bekerja kembali. Dalam kesempatan ini, sambil membungkuk serendah-rendahnya (begitu menurut peraturan dan adat Jepang!-lihat film dokumenter Riding the Tiger ), ayah mendekati sang perwira.Sambil berkata “haik mastak”(barangkali sama artinya dengan kata-kata hormat “tabek toean”kepada majikan Belanda)ayah mengatakan kepada sang perwira bahwa ia bisa mendinamit bukit itu.“Omaiii….bisakah…?” tanya sang perwira.“Haik mastak” jawab ayah. Ayah menyadari, bahwa andaikata ia gagal berarti akan gagal pula hidupnya. Jepang akan menembaknya mati dan menyepak tubuhnya ke sungai yang deras arusnya di bawah. Namun, ayah merasa pasti karena ia telah berpengalaman dengan dinamit ketika bekerja di pertambangan batubara di Sawah Lunto. Dengan penuh hati-hati ayah mempersiapkan segala sesuatunya. Membuat beberapa lubang yang cukup dalam di bukit batu itu, memasukkan dinamit ke dalamnya, menarik kabel yang menghubungkan dinamit ke tempat persembunyian, dan menutup lobang dinamit dengan batu-batu dan tanah yang keras. Dari tempat persembunyian, ayah yang disaksikan perwira Jepang tersebut, menyulut ujung kabel. Hati dan jantung ayah berdebar-debar …. jika gagal ini berarti mati! Api yang membakar ujung kabel itu terus lari…lari…..menujukedinamit…….laju….laju dan…“bummmmmm!” Ledakan yang sangat kuat dan dahsyat terdengar. Bongkahbongkah batu terhumban jatuh melayang ke sungai di bawahnya. Abu memenuhi udara di sekitar tempat itu. “Jotoneee…..Jotoneee…….!”

sang perwira Jepang berteriak sambil menepuk-nepuk bahu ayah.. “Banyakkkk….bagusss…!” sang perwira memberikan pujian Ayah hanya membungkuk hormat sambil berkata “haik mastak.” Sejak saat itu ayah diangkat sebagai mandur dalam pembuatan jalan kereta api itu. Ayah mendapat kepercayaan, dan pondok kecil kami menjadi semacam gudang dinamit untuk keperluan tentara Jepang. Sang perwira sangat baik kepada ayah. Ia memberi suatu surat (barangkali rekomendasi!) tulisan Jepang di atas kertas waterproof dan anti koyak, dengan sebuah cap/stempel merah ukuran 1 cm persegi. Sesekali, sang perwira datang memeriksa keadaan pondok kami dan melihat dimana ayah menempatkan dinamit milik Jepang. Di saat seperti itu, ayah membawanya ke sungai yang jernih airnya dan melihat ikan-ikan yang lumayan besarnya berenang di dalam air. Dengan seiizin sang perwira ayah melemparkan beberapa buah dinamit ke dalam sungai. Dinamit meledak dan beberapa ikan besar mengapung. Ayah memberikannya kepada sang perwira. Ia nampak sangat senang sekali dan membawa ikan-ikan itu ke tempatnya. Karena tempat kerja ayah sudah agak jauh dari pondok kami, ayah dan keluarga terpaksa pindah ke suatu kampung yang bernama Kotabaru Singingi, suatu tempat yang hanya bisa kami datangi dengan perahu yang agak besar, dengan melalui sungai yang keruh airnya itu. Tidak tepat di dalam kampung Kotabaru itu kami tinggal, namun agak keluar kampung sekira 10 km. Saat itu, tempat itu dinamai Kilometer 10. Kami mendiami rumah kampung yang agak baik, tidak lagi pondok berdinding dan berlantai kulit kayu dan beratapkan daun rumbia. Dan tidak jauh dari rumah kami adalah barak tempat tinggal para romusha Mereka umumnya berasal dari Jawa, yang jumlahnya cukup banyak. Keadaan para romusha itu sangat mengharukan dan mengenaskan sekali. Semuanya kurus kering tinggal kulit pembalut tulang. Harus bekerja dan kurang makan, bahkan terkadang harus menerima siksaan dari tentara Jepang. Banyak di antaranya yang tidak bisa melanjutkan hidupnya. Ayah yang dianggap sebagai mandur (kepala kerja) menduga bahwa kepindahannya kemari adalah sebagai tugas untuk mengawasi para romusha . Ayah sangat prihatin

Riau Berdarah |

19

akan keadaan mereka, tapi apa daya ayah. Ayah memberi saran kepada mereka untuk membantu dan berbuat baik kepada penduduk kampung guna mendapatkan makanan. Akan tetapi, karena kelaparan, para romusha bertindak melebihi batas. Mereka pergi ke hutan dan mencuri kerbau, ternak milik orang kampung. Saat itu, ternak kepunyaan penduduk kampung, bebas lepas di hutan. Hanya, induk atau kepala kumpulan ternak itu diberi cap siapa yang empunya. Dan para romusha, mencuri ternak ini untuk hidup. Ayah tahu hal ini, namun bisa berbuat apa ? Akan tetapi, penduduk kampung tidak bisa menerima hal semacam ini. Pada suatu malam, lepas sembahyang Magrib, kurang lebih sekitar 40 orang ninik mamak, datuk-datuk dan orang kampung, dengan bersenjatakan tombak, parang dan keris mendatangi dan mengelilingi rumah kami. Mereka berteriak-teriak meminta ayah keluar dari rumah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan para romusha yang mencuri dan merusak kampung mereka. Ayah keluar, berdiri di depan pintu dan berbicara dengan mereka. Sejalan dengan itu, ibu memukul kentongan yang terbuat dari kayu, yang sengaja digantung di pintu belakang rumah untuk isyarat keadaan dalam bahaya. Kentongan terus berbunyi…… dan dalam beberapa menit, ratusan para romusha yang tinggal kulit pembalut tulang seperti zombie sempoyongan mendatangi dan mengepung para orang kampung yang mengepung dan menantang ayah. Melihat situasi dengan jumlah yang tidak seimbang ini, para datuk dan ninik mamak mulai lunak. Dalam kesempatan begini, ayah mulai bicara. “ Para datuk dan ninik mamak, saya menghormati kedudukan para datuk dan ninik mamak serta penduduk kampung sekalian……..saya juga tidak setuju akan perbuatan para romusha……..akan tetapi mohon para datuk dan ninik mamak mempertimbangkan…….bukan kehendak mereka untuk menjadi romusha……… mereka diambil dari kampungnya jauh di pulau Jawa dan dibawa kemari dan dipaksa kerja oleh Jepang tanpa makanan yang cukup untuk hidupnya. Bagaimana……..bagaimana……..kalau keadaan seperti ini terjadi atas diri para datuk dan ninik mamak……….diambil dari kampung ini, dibawa jauh ketempat lain, dipaksa kerja oleh penguasa Jepang tanpa makan yang cukup…….. tidakkah para datuk dan ninik mamak

akan berbuat sama seperti apa yang diperbuat oleh para romusha ini? Para datuk dan ninik mamak yang arif dan bijaksana, mohonlah hal ini di pertimbangkan sebaik-baiknya…………….” ucap ayah. Ketika ayah mengucapkan kata-kata itu kepada para datuk dan ninik mamak, semua romusha yang mengelilinginya diam tanpa suara. Nampaknya, kata-kata ayah yang lemah lembut serta penuh pujian kepada ninik mamak itu, menyentuh hati mereka. Mereka menjadi lunak dan berjanji akan mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini.Mereka bubar dan kembali ke tempat masing-masing.. Begitupun para romusha. Setelah ayah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka atas kesediaan mereka untuk datang, merekapun kembali ke baraknya. Seminggu kemudian, utusan para ninik mamak mendatangi ayah dan menyam-paikan pernyataan perdamaian antara orang kampung dan para romusha. Kata-kata ayah benar-benar menyentuh hati mereka. Mereka menyadari, bahwa para romusha dan mereka adalah satu bangsa, sedang Jepang adalah bangsa luar yang datang membawa perang, malapetaka dan menghancurkan serta memporakporandakan tanah air Mereka menyadari betapa menderita dan sengsaranya para romusha yang hidup di bawah bayonet tentara penjajah Jepang. Dengan kesadaran para datuk dan ninik mamak, mereka mengadakan sekedar pesta perdamaian dan persahabatan dengan para romusha. Tidak terlalu besar dan mewah, mengingat situasi pada waktu itu. Mereka menyembelih kerbau, memasaknya, dan membagibagikan kepada para romusha. Para romusha, menerima pemberian itu dengan rasa terima kasih karena, setelah sekian lamanya senantiasa hidup kelaparan, malam itu dipuaskan dan dapat memakan makanan yang enak. Perdamaian dicanangkan antara penduduk kampung dan para romusha. Para ninik mamak, mengakui ayah sebagai pemimpin kampung dan mengangkat ayah sebagai datuk dengan gelar Datuk Marajo. Ayah dengan rela menerima pengangkatan ini. Keadaan kampung menjadi relatif aman, tidak terjadi kerusuhan antara penduduk kampung dan romusha. Sementara itu, para romusha sangat menghormati ayah, bahkan ada yang menganggap ayah sebagai ayahnya sendiri.

Riau Berdarah |

21

Beberapa bulan setelah itu, Jepang memindahkan ayah ke kampung Kotabaru Singingi. Di sini kami ditempatkan di sebuah rumah kampung yang bertiang tinggi. Di bawah lantai, di atas permukaan tanah, ditempatkan beberapa bahan logistik kepunyaan Jepang. Ayah ditugaskan untuk mengawasi bahan logistik Jepang ini. Segala kebutuhan makan untuk tentara Jepang disimpan di bawah rumah. Beras, gula,garam, ikan asin dan sebagainya. Rumah kami menjadi gudang saat itu. Kalau sebelumnya pondok kami menjadi gudang dinamit, sekarang menjadi gudang bahan makanan. Sebelum ayah meninggalkan kampung dimana ia diangkat menjadi datuk, ia mengadakan perundingan dengan para datuk dan ninik mamak di kampung itu, dan mengangkat anak dari datuk yang lama menjadi kemenakan ayah, dan menurunkan gelar dan jabatan Datuk kepadanya. Menjadi adat istiadat kampung bahwa gelar atau jabatan kepemimpinan kampung turun kepada kemenakan, dan bukan kepada anak. Kalau raja dinegeri lain, akan menurunkan gelar raja kepada anaknya maka disini gelar “datuk” akan turun kepada kemenakan. Jadi, ayah menurunkan gelar “datuk”nya kepada “kemenakannya”, yaitu anak dari Datuk yang lama. Ayah sangat dihormati, dipuji dan disukai dalam hal ini. Keadaan negeri makin bertambah jelek. Makanan makin susah didapat dan banyak orang yang mati karena kelaparan. Jepang makin merajalela dan membunuh orang seenaknya. Dimata tentara Jepang, bangsa Indonesia dianggapnya seperti tikus-tikus yang bisa dibunuh begitu saja. Dalam usiaku yang enam tahun pada waktu itu, aku pernah menyaksikan tentara Jepang mengeksekusi dua orang yang kedapatan mencuri makanan. Tentara Jepang itu menyuruh kedua itu orang itu berenang menyeberangi sungai Batang Kuantan. Kedua orang itu berlari dan menceburkan diri ke sungai dan berenang ke seberang, menyangka bahwa mereka dibebaskan. Namun, baru beberapa meter dari tepian, tentara Jepang itu menembaknya Mereka mati dan hanyut di telan sungai Batang Kuantan. Benar-benar tidak berperikemanusiaan! Di kampung Kotabaru Singingi yang tidak begitu besar itu, aku tidak takut untuk bermain-main diluar rumah. Banyak tentara Jepang

mengenalku dan memanggilku dengan panggilan Tokio. Belakangan kuketahui bahwa Tokio adalah sebutan ibukota negeri Jepang. Pantas mereka suka padaku, karena bunyi namaku kedengaran hampir seperti kata-kata Jepang , mereka kira aku ada hubungan dengan Jepang . Mereka mengajariku beberapa lagu Jepang dan tunduk serta hormat kepada matahari terbit yang melambangkan penghormatan kepada raja Jepang Tenno Heika yang mereka anggap sebagai anak Tuhan Matahari. Namun, ayahku mengajariku agama Islam yang menyembah hanya satu Tuhan yaitu Allah Yang Maha Esa. Pembuatan jalan kereta api dari Kotabaru Singingi ke Pekanbaru berjalan terus, namun keadaan makin bertambah buruk dan jelek. Para pekerja bukan saja hanya para romusha dari Jawa, namun juga para bule yaitu Belanda yang ditangkap dan ditawan oleh Tentara Jepang. Mereka dipaksa bekerja dalam pembangunan jalan kereta api bersama-sama dengan romusha, begitu juga orang-orang kampung yang dapat di tangkap dan ditawan Jepang. Suatu hari, di saat ibu sedang membersihkan halaman rumah, ibu bertemu pandang dengan seorang bule yang berada dalam suatu rombongan yang digiring oleh serdadu Jepang ke tempat pekerjaan. Bule itu terkejut memandang ibu dan ibupun demikian Bule itu mengangkat tangannya ke arah mulutnya dan memberi tanda seolaholah menyuap makanan. Ibu memahami akan isyarat itu. Kepada ayah, ibu menceritakan bahwa ia melihat tuan Somer, Belanda majikan perkebunan karet di Kayutanam Padang Panjang. Orang Belanda itulah yang telah mengusirnya dari perkebunan karena tidak mau melahirkan di klinik perkebunan. Dia sekarang menjadi tawanan Jepang dan menjadi pekerja paksa pembangunan jalan kereta api. Dia lapar, kata ibu. Ayah hanya memberi pesan supaya berhati-hati kalau mau menolong. Kemanusiaan ibu yang lugu menyebabkan ia tidak punya rasa dendam atau sakit hati. Ia tidak mempunyai pendidikan sekolah. Dia hanya tahu, orang itu pernah menjadi majikannya, di kenalnya, dan sekarang memerlukan pertolongan. Ibu mempersiapkan nasi kerak kering dan membungkusnya dengan secarik kain. Ibu senantiasa, mengeringkan kerak nasi didasar periuk dan menyimpannya dalam

Riau Berdarah |

23

sebuah bejana agar tidak dimakan tikus. “Untuk persediaan saat paceklik”, kata ibu. Ibu membawa bungkusan kerak nasi yang tidak begitu besar itu ke tempat para interneeran (tawanan) Belanda itu dipekerjakan. Ketika serdadu Jepang yang mengawasi tidak memperhatikan, ibu meletakkan bungkusan kecil itu di suatu tempat yang terlindung. Tuan Somer yang sejak semula memperhatikan kedatangan ibu yang melintasi tempat para Bule dipekerjakan, melihat hal itu. Keesokan harinya, ketika rombongan Belanda tawanan ini berjalan melintasi depan rumah, ibu melihat tuan Somer lagi. Dia juga melihat ibu dan secara sembunyi mengacungkan jempolnya. Ibu gembira karena itu berarti bekas majikannya itu menerima kerak nasi yang dikirimnya. Namun, ibu melakukan hal seperti itu hanya sekali saja, karena menyadari bahwa perbuatan menolong yang demikian itu sangat berbahaya dan besar sekali akibatnya. Kelaparan bukan saja melanda para romusha, namun juga melanda para penduduk kampung, dimana ayah pernah menjadi datuk mereka. Para prajurit Jepang mencuri tanam-tanaman dari ladang mereka, mencuri ternak mereka yang lepas di hutan, menembaknya dan berpesta pora dengan daging binatang-bintang ternak itu. Penduduk kampung tidak bisa menuntut, bahkan Jepang menangkapi mereka dan memaksanya bekerja. Keadaan menjadi bertambah sulit. Banyak penduduk kampung yang terpaksa lari masuk jauh ke dalam hutan untuk menghindari Jepang. Beberapa orang datuk , secara sembunyisembunyi menemui ayah dan menceritakan kesusahan mereka. Dengan secara rahasia, ayah membantu mereka dengan memberikan beras dan garam. Di kegelapan malam, mereka mengendap-endap datang ke rumah, menerima beras dari ayah dan lenyap di dalam hutan di belakang rumah. Sungguh suatu hal yang sangat berbahaya sekali, baik bagi mereka maupun bagi ayah. Namun sebelumnya telah ada kesepakatan bahwa jika mereka tertangkap oleh Jepang, mereka akan menanggung resiko dengan mengaku mencuri. Dan itu berarti mati, di tembak Jepang! Namun, untung tidak terjadi apa-apa.

INDONESIA MERDEKA Keadaan yang begitu parah, tiba-tiba berubah. Para datuk dan ninik mamak yang lari bersembunyi ke hutan, keluar dan datang menemui ayah dan para romusha. Mereka mengatakan bahwa mereka mendengar radio, Jepang menyerah kalah. Kotanya dibom atom oleh Amerika. Para penduduk sangat gembira, begitupun orang-orang kampung dan para romusha. Mereka menari bersama-sama. Mereka juga mendatangi prajurit-prajurit Jepang dan mengambil senjatasenjatanya. Sebagaian dari tentara Jepang menyerahkan senjatanya secara baik karena mereka tahu bahwa mereka kalah. Sebagian ada yang bunuh diri, karena rajanya menyerah. Dengan mengatakan “Tenno Heika tidak bagus…..” mereka menancapkan samurainya ke perutnya sendiri. Mereka melakukan bunuh diri, yang dalam bahasanya disebut “harakiri”. Kesempatan ini digunakan oleh para penduduk dan para romusha yang masih bertenaga untuk mengumpulkan dan melucutisenjata-senjata tentara Jepang. Ayah dipaksa untuk pindah ke rumah besar diatas sebuah bukit di Kotabaru Singingi. Rumah itu besar, sangat besar, seperti sebuah rumah sekolah atau rumahsakit yang sangat panjang. Aku masih ingat, rumah besar seperti bedeng yang berdinding papan dan beratap seng itu terletak di sebuah bukit, di sebelah kiri jalan raya menuju Taluk Kuantan. Dan di sebelah kanan jalan raya ini, adalah rel kereta api dan jembatan kayu yang panjangnya sekitar 10 meter, dimana kemudian merupakan tempat aku bermain dan memancing. Ayah mengatakan, bahwa rumah besar dan panjang itu sebelumnya didiami oleh tentara Jepang. Sedang sebelum Jepang masuk , rumah itu adalah kepunyaan Belanda. Ini terbukti karena ada kuburan Belanda agak jauh di belakang bangunan rumah panjang itu. Aku tidak tahu, mengapa ayah pindah ke rumah yang sangat besar dan panjang itu, karena keluarga kami tidaklah terlalu besar. Kami hanya berenam, yaitu ayah, ibu, kakak, aku, dan dua adikku. Namun, aku masih ingat, pada suatu pagi banyak orang berkumpul di depan rumah berbincang-bincang dengan ayah. Ibu dan kakak serta adikadikku semua ada di halaman depan rumah, begitupun aku. Kemudian, ayah memimpin beberapa orang kampung dan romusha

Riau Berdarah |

25

yang bersama-sama menaikkan bendera merah putih ke ujung sebuah tiang kayu yang ditancapkan di atas tanah. “ Kita merdeka….kita merdeka….Indonesia merdeka……Jepang kalah…….Jepang menyerah……Indonesia merdeka! Merdeka, merdeka, merdeka !” mereka bersorak-sorak dan menari-nari . Ya, dalam usiaku yang mendekati 7 tahun itu aku bisa menyaksikan pengibaran bendera merah putih untuk pertama kalinya pada Agustus 1945, di halaman rumah panjang kediaman kami. Menurut cerita ayah, Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, karenanya Jepang menyerah kepada Amerika dan Inggris pada 14 Agustus 1945. Kesempatan ini dipergunakan oleh bangsa Indonesia untuk melucuti tentara Jepang dan hanya tiga hari sesudah Jepang menyerah, pada tanggal 17 Agustus 1945, pemimpin Indonesia mempergunakan kesempatan ini untuk memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, yang mencakup seluruh daerah yang pernah menjadi jajahan Belanda! Dari Sabang sampai Merauke. Indonesia Merdeka! Para romusha yang masih bertenaga, begitupun orang-orang kampung, secara sukarela menjadi laskar tentara dan pejuang Indonesia. Mereka tergabung dan mendapat jabatan di dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) menurut kemampuan, kesanggupan dan pengetahuan masing-masing. Ada juga yang memilih jabatan dan tugas sebagai polisi dsb. Ayah sendiri tidak menjadi tentara, namun tetap pada tugas dan jabatan pembangunan dan pengawasan jalan kereta api dari Kotabaru Singingi ke Pekanbaru. Republik Indonesia yang baru lahir, segera menghadapi ancaman dengan kehadiran tentara Sekutu, yang menang dalam perang dunia ke-II yang terdiri dari Inggris, Australia dan New Zealand, untuk melucuti tentara Jepang yang kalah. Namun, kesempatan ini di pergunakan oleh tentara Belanda yang membonceng Sekutu, dengan tujuan lain yaitu mendapatkan kembali pengawasan terhadap jajahannya “Hindia Belanda”. Mereka tidak mau tahu akan kemerdekaan Indonesia yang telah di proklamirkan ke seluruh dunia. Di berbagai kota dan desa terjadi pertempuran antara pejuang kemerdekaan dengan fihak Sekutu dan Belanda.

Akhir Oktober 1945, Jenderal Inggris Hawthorn, terbang dari Jakarta ke Surabaya, menemui Jenderal Mallaby, serta Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan Hatta yang sudah berada di Surabaya, untuk melangsungkan perundingan gencatan senjata. Akan tetapi, 5 jam kemudian, jenderal Mallaby terbunuh. Inggris mengamuk dan melakukan pembalasan dengan penyerangan dan penembakan dari udara, darat dan laut. Ribuan penduduk kehilangan rumah tempat tinggal atau mati. Ingris menghujani Surabaya dengan tembakan membabi buta terhadap penduduk yang berada dijalan-jalan raya. Namun, dengan semangat “merdeka atau mati” para pejuang yang bersatu dengan rakyat, membalas serangan Inggris Dengan semboyan-semboyan patriotik dan pekikan “Allahu Akbar” pemimpin Pejuang seperti Bung Tomo menyuarakan dan mengumandangkan tekad perjuangan bangsa Indonesia. Pertempuran sengit berlangsung beberapa minggu lamanya. Ratusan tentara India, yang tergabung dalam kesatuan Inggris, lari menyeberang dan bergabung dan bertempur di fihak pejuang Indonesia. Pertempuran yang hebat dan penuh kepahlawanan ini kemudian diperingati oleh bangsa Indonesia sebagai “Hari Pahlawan 10 Nopember” Dengan alasan yang dicari-cari seperti membantu dan mewakili sekutu dan sebaginya, untuk mempertahankan penjajahannya atas bumi Indonesia, Belanda mengirim lebih bayak pasukan untuk menyerang kedudukan Indonesia. Antara 1945 sampai 1949 Belanda melancarkan 2 kali aksi militernya. Rakyat Indonesia yang tergabung dalam barisan pejuang kemerdekaan yang bersenjatakan bambu runcing dan tekad yang bulat, bersatu dengan laskar Indonesia yang baru dilantik, berjuang dengan gigih melawan tentara Belanda, disamping pemimpin politik dan negara yang berusaha berdiplomasi. Berkali-kali di adakan perundingan antara pemimpin Indonesia dan Belanda, seperti perundingan di desa Linggarjati dan di kapal Renville, namun semua perundingan itu hanya menguntungkan fihak Belanda. Tahun 1947 dan tahun 1948, Belanda menyerang Indonesia secara besar-besaran.

Riau Berdarah |

27

Dalam serangan Belanda tahun 1948, mereka menangkap dan mengasingkan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, Sukarno dan Hattta, dan beberapa pemimpin lainnya ke pulau Bangka. Namun perjuangan kemerdekaan berjalan terus. Pemimpin lain, Mr. Syafrudin Prawiranegara tampil sebagai pejabat sementara Presiden PDRI, Pemerintah Darurat Repulik Indonesia, dan kedudukan ibukota Republik, sementara di pindahkan dari Jakarta ke Bukittinggi dan Payakumbuh, di Sumatera Tengah, karena hampir semua kota-kota penting di Jawa telah di kuasai oleh militer Belanda. Dengan prakarsa Perdana Menteri India, Dr. Pandit Jawaharlal Nehru, 19 buah negara mengadakan pertemuan di New Delhi-Indiayang menghasilkan resolusi agar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menekan pihak Belanda untuk sepenuhnya menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia. Dan mengharuskan Belanda untuk juga membebaskan semua pemimpin Indonesia yang di asingkan dan di tawan Belanda. Di bawah pimpinan PBB, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Hague atau yang dikenal oleh orang Indonesia pada waktu itu sebagai Den Haag, Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Tanggal 27 Desember 1949, tercatat di dalam sejarah Indonesia sebagai hari Penyerahan Kedaulatan. Ini bukan hari dan tanggal Belanda “memberi” kemerdekaan kepada Indonesia, seperti banyak ditulis oleh penulis Barat, akan tetapi hari dan tanggal dimana Belanda “dipaksa menyerahkan kedaulatan” kepada Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 ! Selama 4 tahun, Belanda dengan berbagai cara mencoba untuk mendapatkan kembali jajahannya yang telah merdeka, namun tak berhasil, dan terpaksa menyerah. Seperti yang ditulis kemudian oleh A.Karim DP, Mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia: “ Akirnya dunia menjadi saksi, pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana De Dam Amsterdam , Ratu Belanda Juliana harus menyerahkan kedaulatannya atas Hindia Belanda kepada Indonesia di depan mata dunia, sambil meneteskan air mata” (HYPERLINK http://www.progind.net)

Kini Hindia Belanda tiada lagi di bumi Indonesia! Rakyat Indonesia merdeka penuh tanpa ada yang menggugat. Perjuangan yang heroik dari rakyat Indonesia yang tertindas di bawah penjajahan, 350 tahun di bawah Belanda, dan 3,5 tahun di bawah Jepang, yang kesemuanya menelan korban jiwa yang tidak sedikit, menghasilkan buah yaitu Kemerdekaan! Aku masih ingat, ketika aku masih menjadi pelajar Sekolah Menengah, aku mempelajari dari buku Sejarah Indonesia, bagaimana Belanda untuk kepentingan penjajahannya, memaksa rakyat Indonesia untuk membayar pajak kepada Belanda dengan cara menyerahkan sebagian dari waktu hidupnya . Dalam setahun bangsa Indonesia harus menyerahkan 20% kepada pemerintah Hindia Belanda, yaitu 66 hari untuk bekerja “rodi”, suatu bentuk kerja paksa ala kolonialis Belanda. Dalam kerja rodi ini, Belanda tidak memberi apa-apa. Semua makan dan minum ditanggung sendiri oleh si pekerja rodi, namun harus bekerja untuk Belanda. Dan mereka ini umumnya dipaksa bekerja untuk pembuatan jalan kereta api dari Anyer ke Banyuwangi di pulau Jawa—dari pantai Barat ke pantai Timur—sepanjang kuranglebih 1000 kilometer. Kerja paksa yang di laksanakan pada abad ke-18 ini telah menelan ratusan ribu nyawa bangsa Indonesia. Diperkirakan, setiap satu bantalan rel kereta api, satu nyawa bangsa Indonesia sebagai imbalannya. Kemudian, datang Jepang yang meyerang dan menjajah Indonesia dan memaksa bangsa Indonesia untuk bekerja bagi Jepang sebagai “romusha”. Bahkan dikirim keluar negeri untuk bekerja paksa demi kepentingan Jepang, seperti pembuatan jalan kereta- api di Burma, dikirim ke pulau-pulau di Pasific untuk berperang dsb. Ratusan ribu atau mungkin juga jutaan bangsa Indonesia mati akibat penjajahan kedua bangsa ini, Belanda dan Jepang! Kini, Indonesia merdeka sudah ! Indonesia berdiri sebagai satu bangsa: Bangsa Indonesia, satu bahasa: Bahasa Indonesia dan satu tanah air: Indonesia, memenuhi Sumpah Pemuda Indonesia yang di cetuskan pada 28 Oktober 1928 di Jakarta (dulu namanya Batavia) oleh para pemuda dari seluruh pelosok Indonesia.

Riau Berdarah |

29

Pada 28 September 1950, Indonesia resmi menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa yang ke-60. (bahan dari:HYPERLINK http://www.deplu.go.id/2003 dan film document Riding the Tiger). Kini, mari kita kembali kepada ceritaku! Aku masih ingat, di kala itu ketika kami masih berada di Kotabaru Singingi, dengan bantuan seorang dukun kampung, ibu melahirkan adikku, seorang perempuan yang diberi nama Siti Nurbaya. Aku tidak tahu pasti dari mana nama itu berasal, mungkin juga dari tulisan cerita lama yang berjudul Siti Nurbaya. Aku tidak tahu Pada saat kelahiran adikku ini, ayah yang saat itu bertugas sebagai masinis kereta api, menjalankan loco ke Pekanbaru untuk mendapatkan perbekalan. Aku diberi kesempatan untuk ikut bersama ayah dalam locomotif yang dijalankan oleh ayah. Kami kembali setelah dua minggu dalam perjalanan ke Pekanbaru. Akan tetapi, sesampainya di rumah, kami di sambut dengan tangisan dari ibu dan saudara-saudaraku. Aku juga menangis dengan sangat sedihnya, karena adikku Siti Nurbaya ternyata telah meninggal dunia. Kata ibu, dia hanya berusia 10 hari. Dia mendapat infeksi pada pusarnya, dan tiada dukun kampung yang bisa mengobatinya. Kami terlalu sedih dengan kehilangan ini dan berziarah ke pusara adik yang yang tidak berapa jauh dari rumah. Karena usiaku telah mencapai sekitar 7 tahun pada saat itu, ayah memasukkan aku ke sekolah desa, suatu sekolah yang di bangun oleh pemerintah dan penduduk untuk anak-anak mereka. Tidak banyak muridnya, dan baru mulai kelas pertama. Banyak penduduk kampung pada saat itu belum melihat arti pentingnya mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah, hingga banyak anak-anak yang hanya tinggal di rumah atau menolong orang tua mereka di ladang. Hanya beberapa bulan aku mengikuti pelajaran di Sekolah Desa itu. Ayah pindah dari Kotabaru Singingi ke Pekanbaru, kota yang agak besar. Rumah panjang yang banyak ruangan kamarnya yang hanya beberapa bulan kami diami itu, ayah serahkan kepada pejabat baru, yang aku tak tahu siapa namanya. Kami akhiri semua kenangan selama menempati rumah besar itu. Sungai kecil di depan rumah di bawah jembatan kereta api tempat aku bermain dan memancing ikan-

ikan kecil, kami tinggalkan. Juga selamat tinggal kepada adikku yang mendiami pusaranya! Dengan menumpang kereta api kami pindah menuju Pekanbaru. Akan tetapi, sayang, kami tidak langsung menuju Pekanbaru tetapi berhenti di suatu tempat yang aku tak ingat namanya apakah di Tanjung Pauh atau Sungai Paku, yaitu tempat yang tidak begitu jauh dari Pekanbaru. Entah berapa lama kami tinggal di tempat itu, kemudian kami pindah lagi. Kini benar-benar menuju Pekanbaru. Di kota Pekanbaru ini kami tinggal di sebuah rumah, di tepi jalan raya di dekat sebuah jembatan. Tidak tepat kalau kukatakan jembatan, karena sebenarnya di bawah jalan raya itu hanya ada lima atau enam buah pipa semen berdiameter 2 meter yang di hubungkan satu sama lain sebagai saluran air parit atau sungai kecil , sedang di atasnya adalah tanah yang dipadatkan dan diaspal dan merupakan jalan raya. Pada saat biasa, air di parit ini hanya berketinggian di bawah satu meter. Namun di musim hujan, airnya akan melimpah dan berkemungkinan menjadi banjir. Pada saat itu, daerah ini bernama Rintis dan jalan raya di depan rumah bernama Jalan Siak. Di sini aku kembali bersekolah. Sekolahku berjarak kurang lebih 2 kilometer dari rumah, namun terletak di ujung jalan di arah Barat rumah kami. Jadi untuk pergi ke sekolah, tidak terlalu berbelokbelok. Antara rumahku dan sekolah, harus melewati sebuah pasar yang cukup besar, yang disebut Pasar Tengah. Aku masih ingat sekolahku waktu itu bernama Sekolah Rakyat No.3 dan kepala sekolahnya adalah Pak Hassan. Lokasi sekolah pada saat itu adalah di dekat persimpangan antara Jalan Siak dan jalan Bangkinang, berhadapan dengan gedung yang pernah menjadi Gedung Kontroleur Belanda ditahun 1949, kemudian menjadi rumah Bupati Kampar, dan belakangan menjadi Gedung Stasiun TVRI Pekanbaru, dan kemudian entah apa lagi, aku tak tahu. Agresi Belanda Di Pekanbaru, ayah menjadi anggota TNI—Tentara Nasional Indonesia— dan tergabung dalam Batalyon I Resimen 4 Divisi Banteng, yang kantor dan asramanya berkedudukan di suatu area yang

Riau Berdarah |

31

kemudian dijadikan pasar dan bernama Pasar Pusat Pekanbaru. Ayah diangkat sebagai sersan mayor dan bertugas dalam urusan administrasi dan logistik. Menurut ayah, banyak bekas romusha yang pandai dan masih sehat menjadi anggota tentara Indonesia dan polisi, seperti Subrantas yang berpangkat Letnan yang juga satu batalyon dengan ayah, dan juga Sunoto yang menjadi Polisi, yang menganggap ayah sebagai ayah angkatnya. Pada 10 Nopember 1948, lahirlah adikku, seorang laki-laki yang diberi nama Supratman. Menurut ayah, nama ini diwahyukan dari nama Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Di saat kelahiran adikku ini, yaitu di bulan Nopember adalah musim hujan. Hujan di-mana-mana. Juga di hulu sungai Siak yang bernama Tapung kiri dan Tapung kanan, hujan lebat berhari-hari hingga menyebabkan banjir. Aliran sungai Siak yang tidak berapa jauh di Utara rumah kami, meluap dan membanjiri setiap tempat yang kerendahan. Begitupun di rumah kami, juga kebanjiran. Kami pindah ke suatu daerah yang lebih tinggi, terjauh daripada banjir betapapun besarnya. Tempat itu bernama Pintu Angin, di sebelah Timur Markas militer tempat ayah bekerja. Ayah membeli sebuah rumah dan tanah di daerah Pintu Angin itu. Di sebelah selatan rumah dan tanah yang di beli ayah ini ada sebuah jalan yang ketika itu tidak beraspal, namun sudah ada namanya yaitu Jalan Sumatera, sedang di sebelah Utara adalah Jalan Jawa. Tidak jauh dari tempat itu, agak ke Timur adalah perkebunan karet, tempat kami ber-main-main dan ketika selesai musim hujan sering mencari jamur-jamur merah yang bertumbuhan di antara pohon-pohon karet. Di tempat yang baru ini, kami mengalami suatu hal yang sangatsangat menyedihkan sekali. Entah tanggal dan bulan berapa, aku tak tahu, tapi yang jelas adalah dalam tahun 1949. Ketika itu 3 buah pesawat udara yang kudengar disebut Cocor Merah terbang melayanglayang di udara dan menembaki apa saja yang kelihatan. Rumahkah, orang dijalanankah, kebunkah, pokoknya apa saja ditembaki dari udara. Pesawat udara itu menembak seperti gila. Kami semua berlari dan masuk ke dalam lobang perlindungan yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh ayah dan teman-temannya. Lobang itu dibuat di bawah kebun ubi kayu dan tidak bisa nampak dari udara kalau itu

lobang perlindungan. Ayah mengatakan bahwa Belanda melakukan serangan kepada Indonesia karena tidak ingin kehilangan jajahannya. Belanda ingin terus menjajah Indonesia, menguras hasil bumi Indonesia. Ini yang kedua kalinya dilakukan oleh Belanda. Yang pertama kalinya adalah tahun 1947, yaitu 2 tahun setelah SukarnoHatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Tahun itu terjadi pertempuran dimana-mana di pulau Jawa, antara laskar Rakyat yang terdiri dari tentara Nasional Indonesia dan barisan rakyat pejuang kemerdekaan melawan Belanda. Serangan militer Belanda tahun 1947 itu ( yang mereka namakan “doorstoot naar Jokja”) sudah sampai di kota Magelang yang jaraknya hanya sekitar 40 km dari ibukota Republik yang sudah dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta di Jawa Tengah, tetapi serangan tersebut dapat dipukul mundur, sehingga kota Magelang tetap dibawah kekuasaan de facto Republik Indonesia. Sekarang, tahun 1948 Belanda mengulangi kembali serangannya terhadap Indonesia. Ini terkenal sebagai Agressi Belanda yang kedua. Kali ini bukan saja terjadi di Jawa, namun di seluruh daerah tanah air mendapat serangan tentara Belanda. Sukarno dan Hatta ditangkap Belanda dan diasingkan ke pulau Bangka sedang Pemerintahan Republik , sementara pindah ke Bukittinggi, seperti yang telah kuceritakan terdahulu. Kota kami Pekanbaru, juga mendapat serangan gencar dari Belanda. Menurut ayah, teman-temannya Tentara Nasional Indonesia dari Batalyon I, telah melarikan diri ke hutan bersama-sama rakyat pejuang kemerdekaan untuk melakukan perang gerilya melawan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Hassan Basri. Ayah tertinggal, karena pada saat itu, ayah tidak berada di Markas atau asrama militer, namun tinggal di kampung bersama keluarga. Belakangan kudengar, bahwa tentara pejuang RI yang bergerilya, dapat menghancurkan sebuah kapal terbang Belanda di pelabuhan udara Simpang Tiga. Suatu pagi, sungguh pagi yang sangat mencemaskan bagi kami sekeluarga. Saat itu, di pagi hari, beberapa orang Belanda beserta kaki tangannya orang Indonesia mengepung rumah kami dan menangkap

Riau Berdarah |

33

ayah. Ayah disiksa oleh Belanda di depan kami semua. Ayah mengaku bahwa ia adalah anggota TNI Batalyon I berpangkat Sersan Mayor dan bertugas di bagian administrasi dan logistik. Belanda itu mengecek kebenaran informasi tentang ayah ini dari secarik kertas yang dipegangnya. Dia meng-angguk-angguk namun tetap meyiksa ayah dan memerintahkan ayah untuk menggali lobang di depan rumah untuk kuburannya. Kami semua menangis. Ibu, kakak, aku dan adikadikku semua menangis meraung-raung, di samping ayah tetap menggali lobang bakal kuburannya. Barangkali, karena tangis dan raungan kami yang cukup kuat, seorang lelaki yang berperawakan kecil berkulit kehitaman dan berambut keriting datang, tepat di saat Belanda itu mengacungkan bedilnya ke arah ayah yang berdiri di depan lobang yang telah digalinya. “Nee, ……..! Hij is mijn Vader!” teriak orang itu dalam bahasa Belanda, sambil datang memeluk ayah. Orang itu berbicara dengan serdadu Belanda dan akhirnya serdadu itu memerintahkan ayah untuk menutup kembali lobang yang telah dibuatnya itu. Kami semua bertangis-tangisan. Kiranya orang itu adalah seorang yang kami kenal dengan nama Aniaman, seorang Ambon, yang kini menjadi informan tentara Belanda. Ketika kami berada di Kotabaru Singingi, ayah mengakuinya sebagai anak angkat ayah. Dia menikah dengan gadis kampung dimana segala keperluan dan perlengkapan pernikahannya ditanggung oleh ayah. Dia memelukku sambil berkata “ Yo, kamu sudah besar heh!”. Aku memeluknya sambil menangis. Ayah mengucapkan terima kasih kepadanya. Sesungguhnya, benarlah apa yang diajarkan oleh agama bahwa apa yang kamu tabur, itu juga yang kamu tuai. Ayah menabur kebaikan kepadanya, dan sekarang ayah menuai kebaikan darinya. Tentara Belanda itu memberi ayah secarik kertas dan mewajibkan ayah melapor kekantor Kontroleur Belanda di Pekanbaru. Belanda telah kembali menguasai Pekanbaru, dan ayah menjadi tawanan Belanda yang setiap harinya diharuskan melapor. Karena ayah tidak bekerja dan harus melapor setiap harinya, Belanda memberi jatah makanan untuk kami berupa kentang kering. Kentang itu dipotong-potong sebesar 1 cm persegi kemudian dikukus dan dikeringkan. Setelah kering besarnya akan menciut dan beratnya

akan berkurang. Untuk memakannya, harus direbus atau dikukus lagi. Namun, jatah yang kami terima tidaklah mencukupi. Untung kami mempunyai kebun ubi kayu yang cukup luas untuk makanan seharihari. Penyerahan Kedaulatan Ayah menjadi tawanan Belanda kurang lebih 3 bulan, kemudian dibebaskan. Dari ayah kudengar bahwa pembebasannya ini bukanlah karena kebaikan Belanda atau karena kepatuhan ayah yang setiap hari datang melapor. Akan tetapi karena Belanda dipaksa “menyerahkan kedaulatannya” kepada Republik Indonesia, yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, sebagai hasil dari perundingan antara Belanda dan Indonesia pada Konperensi Meja Bundar di Den Haag, tanggal 27 Desember 1949. Tamat sudah kekuasaan Belanda di Indonesia! Dari zaman VOC tahun 1602 sampai tahun 1949, hampir 350 tahun Indonesia dijajah Belanda, dijadikan bulan-bulanan, dijadikan budak dan kelinci percobaan, dikirim kemana-mana, ke negeri-negeri jajahan Belanda untuk kepentingan kolonialis Belanda. Sekarang Indonesia merdeka penuh sebagai satu bangsa dan negara yang berdaulat dengan pemimpinnya Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta. Setelah penyerahan kedaulatan, para anggota TNI yang bergerilya di sekitar Pekanbaru kembali memasuki kota dan berasrama di suatu tempat di luar kota di daerah Sukajadi. Ayah tidak lagi menjadi anggota TNI, namun bekerja pada perusahaan minyak yang bernama NPPM (Nederlandsch Pacific Petroleum Maatchappij), yang kemudian bertukar nama menjadi CPPM (Caltex Pacific Petroleum Maatchappij), kemudian menjadi CPOC (Caltex Pacific Oil Company), suatu cabang dari perusahaan yang bernama Socony ( Standard Oil Company Of New York ), dan terakhir sekali menjadi CPI ( Caltex Pacific Indonesia ). Ayah bekerja sebagai tukang cat yang berstatuskan buruh harian dengan badge perusahaan nomor 447. Kami tetap berdiam di rumah yang hampir menjadi kuburan ayah itu, untuk beberapa tahun lamanya. Disaat itu, kami mendapat tetangga yang sangat baik, yaitu keluarga bapak M.H. Tanisan, berasal

Riau Berdarah |

35

dai Payakumbuh, yang mempunyai 3 orang anak, 2 lelaki dan satu perempuan yang menjadi teman sepermainanku. Aku masih ingat nama-nama mereka. Yang sulung bernama Aljufri, yang kedua bernama Astamar sedang yang perempuan bernama Siti San Hayati. Waktu di sekolah menengah, aku dan Astamar pernah duduk sekelas. Aku tak tahu, dimana mereka kini berada. Mungkin mereka telah beranak cucu. Semoga segenap keluarga dan keturunan mereka senantiasa diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa. Aku tidak ingat, tahun berapa hal ini terjadi. Namun, kejadiannya adalah kami harus pindah dari tempat dimana kami tinggal, karena tanah yang dipunyai ayah seluas beribu-ribu meter persegi itu dikehendaki oleh Pemerintah untuk pembangunan kantor Balaikota, yang kemudian hari bertukar menjadi kantor Komando Resort Militer (Korem) 031 Wirabima. Sementara itu, aku telah tammat dari Sekolah Rakyat kelas 6 tanpa mendapat diploma, karena aku tidak lulus dalam ujian akhir. Ini terjadi tahun 1952, yang berarti umurku mencapai 14 tahun ketika aku tamat sekolah dasar. Mestinya aku harus tamat sekolah dasar pada usia 12 tahun sebagaimana anak-anak lainnya. Namun, karena situasi dan keadaan kami yang senantiasa berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan aku mulai masuk sekolah pada usia 7 tahun, maka aku baru tamat sekolah dasar pada usia 14 tahun. Ini berarti aku rugi 2 tahun! Sementara ayah menanti pembayaran harga tanah yang diambil pemerintah, kami pindah mendekati kota, yaitu di sekitar Jalan Riau, yang kemudian berobah menjadi Jalan Dr. Sam Ratulangi. Ayah membangun sebuah rumah berdinding papan di atas tanah yang situasinya agak rendah dari jalan raya, yang luasnya tidak lebih dari 600 meter persegi. Aku tidak tahu mengapa ayah membeli tanah ini, yang banjir setiap waktu hujan. Kiranya, dalam pembayaran harga tanah di Pintu Angin , timbul persoalan yang sangat menjengkelkan. Pemerintah mau membayar kepada ayah hanya 5% dari harga tanah itu per meternya, karena dikatakan bahwa ayah bukanlah pemilik asli dari tanah itu. Ayah menunjukkan secarik kertas bukti pembelian tanah yang ditanda tangani pejabat pemerintah yaitu Kepala Kampung yang disebut

Penghulu bernama Dul Rasyid, seorang keturunan Jawa. Namun, penghulu ini takut mengakui kertas yang ditanda tanganinya, karena orang yang mengaku pemilik asli tanah tersebut juga seorang penghulu kampung di Pekanbaru Utara yang bernama A.Rasyid, seorang kelahiran asli Riau. dan mempunyai Grant atas tanah itu dari Sultan Siak. Apa mau dikata, seorang rakyat biasa berhadapan dengan seorang feodal yang berkuasa! Orang ini, hanya mempunyai grant tanah dari Sultan, tanpa merawat dan memelihara, mendapat hak dan kuasa atas tanah tersebut turun temurun. Kupikir, sama halnya dengan orang kampung yang punya ternak kerbau. Sepasang kerbau dicap nama pemiliknya, dilepaskan di hutan bertahun-tahun hingga menjadi berpuluh-puluh atau mungkin ratusan, tanpa sipemilik merawat dan memeliharanya, kemudian mengakui semua kerbau itu sebagai miliknya.Begitu jugalah barangkali yang disebut “tuan tanah” . Begitu dapat Grant, tanah yang begitu luas dibiarkan saja, sampai orang lain datang menggarapnya dan menjadikan tanah tersebut sebagai sesuatu yang berharga. Setelah harga mencapai nilai tinggi, si tuan tanah mengaku bahwa tanah itu adalah miliknya berdasarkan Grant dari Sultan, Raja atau Malaikat………. bla…..bla…..bla ….bla…. Tidak heran kalau banyak rakyat kecil dan miskin menjadi tidak suka kepada para tuan tanah karena akal dan kelicikannya. Masa Sekolah Menengah Akan diriku, yang gagal dalam ujian akhir sekolah dasar, tidak bisa melanjutkan ke sekolah lanjutan negeri. Sementara itu, guru sekolah negeri yang bernama Martunus Saleh, mendirikan sekolah lanjutan swasta untuk menampung anak-anak yang gagal dalam ujian akhir sekolah dasar. Janjinya, siapa yang bisa lulus ujian naik ke klas 2, akan langsung diterima di klas 2 sekolah negeri, karena dia juga adalah wakil kepala sekolah negeri. Janji yang bagus! Aku masuk ke sekolah itu dan menjadi murid sekolah menengah swasta . Entah bagaimana, apakah otakku yang tumpul dan tidak cerdas, atau pelajaran yang sulit dicernakan, ataukah ada permainan di antara para guru pada saat itu, di antara 35 orang murid, hanya 3 orang yang dinyatakan bisa naik ke kelas 2 dan langsung pindah ke sekolah

Riau Berdarah |

37

negeri. Ketiga orang mereka, ternyata adalah keluarga para guru dan kepala jawatan pemerintah. 32 orang murid yang tidak naik klas bertebaran kemana-mana mencari sekolah lain. Aku jadi kacau, kemana aku harus pergi untuk melanjutkan pendidikanku? Aku benar-benar merasa tidak enak. Dari sekolah dasar aku tidak lulus. Di sekolah menengah tidak naik klas. Apa yang mesti kuperbuat? Dengan penuh keragu-raguan aku mendaftarkan diri untuk menjadi pelajar pada Sekolah Teknik yang berada dalam gedung yang sama dengan bekas sekolah menengahku, yang juga disebut Gudang Garam, di jalan Riau, dimana temanku Lani yang sama-sama dari Sekolah Dasar, juga belajar di situ. Sementara itu, Bapak Martunus Saleh mengambil inisiatif untuk meneruskan sekolah menengah swasta itu sampai kelas akhir yaitu klas III, dan menamakan sekolah yang dipimpinnya itu Sekolah Menengah Pertama Nasional, yang kemudian terkenal dengan nama singkatan SMP Nasional. Tidak ada lagi kesempatan untuk bisa lompat ke sekolah Negeri kecuali lulus pada ujian akhir klas III dan mendapat diploma yang bisa diterima ke Sekolah Menengah Atas Negeri. Apa boleh buat, aku mencabut pendaftaranku pada Sekolah Teknik, dan kembali mengulang di SMP Nasional dan duduk di klas I lagi.. Aku rugi dalam umur lagi! Sekarang umurku 15 tahun, dan duduk di klas I SMP! Karena keadaanku mengulang kembali di kelas I, maka aku menjadi murid yang terpandai di klas. Murid-murid lain , tidak tahu kalau aku mengulang di klas I. Di samping menjadi ketua dalam kelasku, aku juga menjadi Ketua Ikatan Pelajar SMP Nasional. Kami pindah ke gedung sekolah yang baru, kepunyaan Sekolah Menengah Pertama Negeri di daerah Pintu Angin, yang pada waktu itu dipimpin oleh Akmal Yunus, sebagai kepala sekolahnya. Pelajar negeri belajar dan menggunakan gedungnya pada pagi hari, dari jam 8.30 hingga 12.30 tengah hari. Kemudian, kami yang menompang belajar di gedungnya, menggunakannya dari jam 1.00 siang sampai jam 5.00 sore. Para guru dan kepala sekolah sayang padaku. Aku bahkan menjadi tangan kanan Kepala Sekolah. Setiap apa keperluan sekolah seperti kapur tulis, buku tulis dan lain-lain, kepala sekolah selalu menyuruhku untuk membelinya di toko buku di pasar. Aku senantiasa mendapat

hadiah dari Kepala Sekolah, setiap kali selesai melaksanakan perintahnya membeli buku tulis atau kapur tulis dan bahan-bahan lain untuk sekolah. Aku juga menjadi kenal dan dekat dengan keluarganya. Di sekolah, banyak teman-teman pelajar yang mendekatiku untuk menanyakan soal-soal pelajaran, terutama gadis-gadis. Tetapi, aku terlalu dungu menanggapi gadis-gadis yang mendekat ini. Sebagai seorang akil baliq aku sudah mempunyai perasaan ingin dekat dengan seorang gadis. Namun bagaimana? Aku tidak pernah belajar atau diberitahu bagaimana caranya untuk bisa dekat dengan seorang gadis. Suatu hari, seorang gadis sekelas, meminta aku datang kerumahnya agar aku bisa mengajarinya aljabar dan ilmu alam. Gadis itu sangat cantik, putih kuning berusia sekitar 13 atau 14 tahun, anak Kepala Jawatan Pekerjaan Umum Pekanbaru. Anak gadis Minangkabau ini berasal dari Lintau di Sumatera Barat. Ahh, gadis-gadis Lintau memang putih kuning dan umumnya cantik-cantik! Dengan mengendarai sepeda, aku datang ke rumahnya di Jalan Kenanga, yang jaraknya kurang lebih 5 km dari tempatku. Aku datang tepat pada waktunya, karena begitu aku sampai, dan bertemu dengan ayah-ibu dan adiknya, mereka sudah siap untuk pergi menonton ke panggung bioskop La Vita di Pasar Pusat. Dengan ramah dan keakbraban, sang ayah mengatakan kepadaku dalam bahasa Minangkabau supaya aku menjaga anaknya baik-baik. Aku menyanggupinya dengan menjawab dalam bahasa Minangkabau pula.Ya, aku anak Jawa. Ayah ibuku adalah Jawa asli. Namun karena aku dilahirkan di daerah yang berbahasa Minangkabau, maka aku juga bisa berbahasa Minangkabau. Kadang-kadang, aku lebih fasih berbicara Minangkabau daripada berbicara bahasa orangtuaku. Aku juga sesekali bisa menirukan beberapa logat kata-kata mengikut dialek Bukittingi, dialek Payakumbuh dan dialek Pariaman, walupun tidak banyak. Malam itu, sang gadis belajar Aljabar dan Ilmu Alam dariku. Dia belajar baik dan akupun menerangkannya secara baik agar ia mudah mengerti. Kami hanya berdua di rumah malam itu. Setelah belajar kuranglebih satu jam dan rasanya pelajaran di sekolah yang tertinggal sudah kujelaskan, kami duduk santai sambil bercerita.

Riau Berdarah |

39

Dia duduk memandang dan mendengarkan ceritaku dengan mata yang sayu. Namun, kakinya yang di bawah meja bermain-main mengusap-usap betisku Aku masih memakai pantalon pendek kala itu. Berulang kali gesekan kaki itu dilakukannya. Aku jadi salah tingkah, tak tahu apa yang mesti kuperbuat. Kulihat matanya makin sayu dan hampir terpejam. Aku hanya tersenyum, dan kurasa di sinilah kebodohanku, karena sambil tersenyum aku berkata lembut “mau belajar atau mau main-main”. Rupanya kata-kataku yang walau lemah lembut ini membikin ia tersentak dari lamunan dan impinannya. Dia menghentikan gesekan kakinya ke betisku. Dan seperti tidak terjadi apa-apa aku bercerita terus sampai orangtuanya kembali dari menonton bioskop, dan aku permisi pulang. Sepanjang perjalanan pulang dengan sepeda di malam hari itu, bisikan setan mengejek-ejekku. “Mengapa kamu sia-siakan kesempatan yang begitu baik itu…..! Kamu memang bodoh….!” Setan mentertawaiku. Aku menyesali diriku dan membayangkan kesempatan yang begitu indah, berlalu begitu saja. Betapa bodohnya diriku. Aku membayangkan dan menginginkan datangnya kesempatan kedua, namun kesempatan kedua ini tidak pernah datang. Beberapa hari kemudian,kudengar gadis itu berpacaran dengan seorang pemuda pelajar SMA (Sekolah Menengah Atas), anak dari seorang Bupati yang menempati gedung bekas kantor Kontroleur Belanda ditahun 1949,di mana ayahku sering datang melapor waktu diinterneer Belanda itu. Ya, apa mau dikata, aku yang hampir berusia 17 tahun pada waktu itu, sungguh dungu, tidak mengetahui gelagat dan isyarat keinginan seorang gadis atau perempuan. Aku menjadi kecewa, frustasi dan merasa rendah diri. Kemana harus kularikan kekecewaan ku ini…….. Satu-satunya jalan yang bisa kutempuh dan lakukan adalah membaca. Membaca apa saja. Aku menjadi anggota perpustakaan yang menyewakan bermacam-macam buku bacaan. Segala macam buku kubaca. Aku benar-benar menjadi kutu buku. Aku masih ingat akan beberapa buku yang pernah kubaca masa itu, seperti Decameron karangan Giovanni Boccacio, Don Quixote de La Mancha karangan Cervantes yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan ceritacerita detektif Indonesia seperti Naga Mas serta cerita-cerita dewasa

karangan Sukanyata dan Lee Chai Gwa Chai. Aku benar-benar menjadi kutu buku! Tahun 1956 adalah tahun terakhir bagiku belajar di Sekolah Menengah Pertama. Aku mengikuti ujian akhir yang dilakukan secara umum. Ratusan pelajar klas III dari bermacam-macam Sekolah Menengah Pertama mengikuti ujian untuk mendapatkan ijazah atau diploma negara. Aku bukan saja lulus dalam ujian, namun juga mendapatkan nilai baik yang tercantum dalam diplomaku. Ayah merasa puas dengan apa yang kucapai.

Pada masa sebelum ujian akhir, aku yang aktif dalam organisasi pelajar di sekolah, juga terlibat dalam organisasi pemuda di luar sekolah. Aku tidak tahu bagaimana mulanya, namun aku kemudian menjadi anggota organisasi pemuda yang bernama Pemuda Rakyat. Aku tidak tahu menahu tentang organisasi ini. Cuma yang kutahu, organisasi ini mempunyai hubungan baik dengan organisasi ayahku yang bekerja di Caltex yaitu Perbum, Persatuan Buruh Minyak, dimana ayahku menjadi Keuangan Cabang organisasi itu di Sungai Rumbai. Di saat selesai ujian akhir, organisasi Pemuda Rakyat dimana saat itu aku telah menjadi salah seorang anggota pimpinannya, memilihku bersama seorang pemuda lain yaitu Bulkiaruddin untuk menjadi utusan ke Kongresnya yang ke-V di Jakarta. Kendatipun aku telah 18 tahun di waktu itu, ayah sangat berat melepasku ke Jakarta, karena sejak kecil aku tidak pernah berpisah dari ayah. Namun, ayah mengizinkan juga karena ayah mengenal Bulkiaruddin yang selain menjadi anggota pimpinan Pemuda Rakyat juga menjadi fungsionaris cabang Perbum. Aku dan Bulkiaruddin berangkat ke Padang Sumatera Barat, ke pelabuhan Teluk Bayur untuk mendapatkan kapal yang akan membawa kami ke Tanjung Priok di Jakarta. Dengan menumpang kapal –yang kalau aku tak salah bernama Van Der Lijn— kami berangkat dari Teluk Bayur menuju Tanjung Priok. Tiga hari lamanya berada dalam kapal, di atas geladak yang hanya beralaskan tikar dan sebuah bantal. Kami sampai di Tanjung Priok dan dijemput

Riau Berdarah |

41

oleh Panitia Kongres, dan dibawa ke tempat akomodasi kami yaitu di sebuah rumah kepunyaan Pak Buang, anggota buruh kereta api di Tanah Abang Jakarta. Tempat ini dekat dengan sebuah sungai yang bernama Kali Malang dan tidak jauh di belakang sebuah central listrik kecil atau lebih dikenal dengan nama transformator. Kongres Pemuda Rakyat di bulan Juli 1956 itu sangat meriah sekali. Banyak pemuda pemudi dari segala pelosok tanah air menghadiri Kongres. Aku yang berasal dari Pekanbaru, dan belum pernah berada di tempat berkumpulnya pemuda yang ribuan jumlahnya itu merasa kikuk, merasa kecil, dan takjub dengan Kongres yang begitu besar itu. Aku sungguh tak tahu apa-apa, istilah pepatah seperti “rusa masuk kampung”, terbingung-bingung tak tahu apa yang harus diperbuat. Segala-galanya dilakukan oleh Bulkiarudin. Dan dia menjelaskan segala sesuatu kepadaku. Cuma yang masih bisa kuingat sampai kini adalah kata-kata dalam resolusi yang dihasilkan oleh Kongres ke-V Pemuda Rakyat tahun 1956 itu bahwa: “ Pemuda Rakyat adalah pembantu yang setia, terpercaya dan terbaik dari Partai Komunis Indonesia” dan memilih Sukatno sebagai Ketua Umum Pemuda Rakyat. Aku tidak memahami apa arti kata-kata resolusi itu. Apakah Pemuda Rakyat adalah Partai Komunis? Ah, tidak! Dia cuma pembantu setia. Sama dengan pembantu rumah tangga. Walaupun dia setia, terpercaya dan terbaik, ah, dia cuma pembantu. Dia bukan tuan rumah. Begitu pendapatku! Ah, peduli amat dengan kata-kata resolusi itu. Bukan urusanku, namun kata-kata itu melekat di otakku seperti aku menghafal hukum Archimedes. Memang aku rajin menghafal! Karena kesibukan Panitia Kongres dan sulitnya mendapatkan transport, aku dan Bulkiaruddin terlambat kembali ke Pekanbaru. Sementara itu ayah mendaftarkan diriku ke sekolah lanjutan atas yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri yang baru diba-ngun setahun yang lalu, pada tahun 1955.Aku menjadi murid angkatan ke-2 sekolah itu dan mendapat nomor daftar induk 113. ( Kalau sekolah ini masih mempunyai arsip daftar para pelajar, bisa dilihat namaku dibawah nomor itu ) Ketika aku sampai kembali ke Pekanbaru dan melapor kepada Kepala Administrasi SMA Negeri yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Salasa Siregar, aku terlambat lebih dari sebulan. Kelambatanku ini sangat mempengaruhi pelajaranku, karena sulitnya

untuk mengulangi pelajaran yang selama sebulan aku absen. Sulit karena ayah memilih untukku jurusan B yaitu jurusan ilmu pasti dan ilmu alam. Dan keadaan ini dipersulit lagi dengan keterlibatanku dengan organisasi Pemuda yang aku ikuti. Banyak waktu dimana aku absen dari sekolah dikarenakan organisasi. Terlalu susah bagiku dalam membagi waktu antara untuk kepentingan sekolah dan untuk ke- pentingan organisasi. Aku tertinggal dibandingkan dengan temantemanku seklas. Namun pada tahun ajaran 1957 aku naik keklas II SMA. Saat itu, naluriku sebagai seorang remaja yang sibuk dengan sekolah dan organisasi, merasakan suatu desakan yang mendambakan seorang teman yang dekat. Aku membayangkan dan menginginkan seorang teman— katakanlah seorang gadis—yang bisa menjadi teman dekatku, yang bisa menjadi tempat mencurahkan isi hatiku dan menceritakan suka dukaku. Ah, betapa indahnya kalau aku punya pacar! Secara kebetulan, seorang gadis adik kelasku yang berperawakan kecil hitam manis, anak Minangkabau berasal dari Tiku Pariaman Sumatera Barat, tinggal bersama orang tuanya beberapa ratus meter di belakang rumahku. Setiap pagi pergi ke sekolah dan tengah hari pulang dari sekolah, dia senantiasa melewati jalan gang di sebelah rumahku. Dengan cara kampungan dan kuno, aku menjalin hubungan dengannya. Semua ini kami lakukan dengan mengirim surat cinta yang diselipkan dalam buku pelajaran untuk satu sama lain. Namun hal ini tidak berlangsung lama. Cinta yang diungkapkan hanya dalam surat—seperti cerita kisah lama Siti Nurbaya—tanpa bisa berdekatan satu sama lain, berbicara dan bersenda satu sama lain, tanpa bisa bergandengan tangan satu sama lain apalagi peluk dan cium seperti yang terjadi dalam dunia modern sekarang ini. Apa nama dan arti cinta yang begitu? Aku tidak marah dan menyesal, kalau dia kemudian memutar haluan, pergi dariku dan mendambakan dirinya kepada seorang teman sekelasku, satu grup belajar denganku, seorang pemuda yang juga berasal dari Tiku Pariaman Sumatera Barat. . Aku tahu hal ini, namun

Riau Berdarah |

43

apa yang mesti kuperbuat ? Aku tahu kekuranganku, aku tahu situasi dan kondisiku. Aku anak Jawa dan tergabung dalam organisasi yang dianggap kiri, sedang dia adalah anak Minangkabau yang orangtuanya sangat kuat dalam Islam dan kedaerahan, dan anti organisasi kiri. Aku fahami semua ini Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menerima apa adanya, tetap berlaku baik dengan mereka dan kepada ibu sigadis yang menjadi pegawai administrasi di sekolahku, dan kepada kekasih barunya, temanku satu grup belajar , betapapun remuknya hatiku. Saat itu aku hanya menganggap bahwa itu adalah takdir dan nasibku! Aku mencari pelarian untuk hatiku yang kecewa ini. Aku tidak begitu menghiraukan organisasi pemudaku, namun lebih banyak waktu kugunakan untuk membaca buku-buku cerita yang saat itu sangat membanjiri pasaran, dan juga menjadi pembantu penulis berita dari suatu surat kabar mingguan daerah Riau yang bernama Kumandang, yang pemilik dan pemimpin redaksinya adalah B.M.Tahar dengan wakil pemimpin redaksinya Abu Hasyim K serta para reporternya A.Rahman, Gustian Arifin, Rusli Achmad dan aku sendiri serta beberapa orang lainnya yang aku tidak tahu nama dan tempatnya. Aku menyibukkan diri dalam mencari dan menulis berita. Initial namaku sering tercantum dalam setiap berita yang kutulis pada surat kabar mingguan itu. Kesibukanku ini, membuatku bukan saja mengurangi pikiran untuk gadis atau perempuan, namun juga menyebabkan aku kekurangan waktu untuk mempelajari pelajaran sekolah, yang menyebabkan aku makin hari makin tertinggal dari teman-teman sekelas. Karena keaktifanku dalam pers ini, kendatipun aku belum banyak pengalaman dan kemahiran, apalagi belum begitu faham akan abc-nya politik, aku diangkat sebagai salah seorang anggota seksi Penerangan dari organisasi putra daerah Riau yaitu, BKPPMMR—Badan Kongres Pemuda Pelajar Mahasiswa Masyarakat Riau—, dalam Kongresnya yang berlangsung di Pekanbaru pada tahun 1957, dan mengangkat Tengku Kamaruzzaman sebagai Ketua Umumnya. Aku juga masih ingat akan beberapa putra Riau yang menjabat sebagai pimpinan

organisasi itu seperti Nizami Jamil dan Tengku Mas Dulhak atau dengan nama timang-timangannya: Temas. Aku masih ingat akan hal itu.

Pemberontakan PRRI Tahun 1958! Tahun ini adalah suatu tahun yang sangat kritis buat daerah kami. Pada tanggal 15 Pebruari 1958, Letnan Kolonel Ahmad Hussein, Kolonel Dahlan Jambek, Komandan militer Divisi Banteng di Sumatera Tengah serta Kolonel Maludin Simbolon, komandan Divisi Gajah di Sumatera Utara Medan, memproklamirkan “kemerdekaan” Sumatera dengan mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI. Di bagian lain, Kolonel Ventje Sumual di Sulawesi mendirikan pemerintahan semesta atau PERMESTA. Baik PRRI maupun PERMESTA menolak kepemimpinan Bung Karno dan tidak mengakui Pemerintah Republik Indonesia dan mengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegera sebagai Presiden PRRI.(Sumber: http://www.kodam-ii-sriwijaya.mil.id/info/57) Ini adalah suatu pemberontakan! Tindakan Letnan Kolonel Achmad Husein dan Kolonel Dahlan Jambek untuk menantang Pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin Sukarno, kononnya didukung oleh ninik mamak kaum ulama di Sumatera Barat. Apalagi, seperti yang kudengar, ketika pada saat Divisi Banteng di bawah Letkol. Ahmad Hussein mengadakan reuninya dan mendirikan “Dewan Banteng” pada 20 Desember 1957, seorang sesepuh Minangkabau yang juga pernah menjadi pemimpin Indonesia hadir dan memberi ceramah dalam upacara itu. Aku tidak tahu apa dan bagaimana ceramah beliau itu, namun dari beberapa orang temanku dari suku Minangkabau mengatakan bahwa sesepuh ini memberi nasehat kepada seluruh ninik mamak Minangkabau agar: “pandai pandai mambao diri, bapijak ditanah nan sabingkah, manari dilapiak nan sahalai” Kalau kata-kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih: “pandai pandai membawa diri, berpijak di tanah yang sebungkal, menari di tikar yang sehelai” Ini berarti, apapun yang akan diperbuat harus hati-hati dan bijaksana. Apakah kata-kata ini hanya sekedar

Riau Berdarah |

45

nasehat atau perintah dari sesepuh? Aku tak tahu! Di Minangkabau aku hanyalah pendatang dan dianggap asing! “Proklamasi” PRRI pada tanggal 15 Pebruari 1958 itu diikuti oleh aksi para aparat militer menangkap dan menahan para pimpinan organisasi-organisasi yang dianggap kiri. Organisasi buruh, tani, pemuda dan pelajar, terutama sekali para pimpinan dan kader komunis. Ditawan Pemberontak Pada malam hari tanggal 18 Pebruari 1958, hanya 3 hari setelah PRRI “berdiri”- rumah kami di jalan Riau No. 61, dikepung dan digeledah oleh polisi militer. Brosur organisasi Pemuda Rakyat kepunyaanku, catatan keuangan Perbum kepunyaan ayah dan guntingan berita surat kabar tulisanku semua disita, bahkan juga mesin tulisku, semua diangkut dan dimasukkan ke dalam mobil militer. Kemudian mereka memerintahkan aku dan ayah untuk masuk ke dalam mobilnya. Ibu, kakak serta adik-adikku menangis melihat penangkapan kami ini dan membuat para tetangga terbangun dan melihat apa yang terjadi. Kami dibawa ke suatu gedung di jalan Bangkinang, suatu tempat yang biasa digunakan untuk sport seperti yudo, karate dan sebagainya. Di situ telah ada beberapa orang pemimpin organisasi buruh dan pemuda seperti Bapak Zainuddin, M.Zen, Makmur dari Perbum, Yacob, Ardan, Syahrudin dan Amirudin, Bachtiar juga Julidar, Nurjanah dan Chaelan dari Pemuda Rakyat dan seorang dari GPII ( Gerakan Pemuda Islam Indonesia) yang bernama Kambasli. Juga ada seorang Tionghoa yang bernama Law Chu Piaw yang bekerja sebagai tukang foto, dan Sumadi, seorang pemuda yang aku tak jelas apa organisasinya. Aku tidak ingat berapa jumlah orang yang ditahan termasuk aku dan ayahku ini. Yang kutahu pasti umumnya adalah orang-orang dari organisasi kiri yang dianggap sebagai lawan atas pemberontakan daerah yang mereka lakukan terhadap pemerintahan pusat pimpinan Bung Karno. Namun aku merasa heran juga, mengapa seorang anggota GPII, organisasi pemuda Islam, anak dari partai

Masyumi yang menjadi “penggerak pemberontakan PRRI” ini juga mereka tangkap. Tiga hari kami menghuni gedung olah raga di samping kantor militer Kodim itu. Pada suatu malam, kami dibangunkan dan digiring ke suatu truk yang telah menunggu. Keadaan truk itu sangat kotor dan berbau kotoran hewan. Barangkali bekas digunakan untuk transport hewan ternak, kerbau atau sapi. Dalam truk itu kami duduk ber-desakdesakan. Kaum perempuan ditempatkan di lain kendaraan. Aku menangis! Pikiranku hanya kepada ibu, kakak dan saudara-saudaraku yang tidak diberitahu yang kami bakal dipindahkan, kemana, yang kami sendiripun tidak tahu. Diantara kami akulah yang termuda dan terkecil. Umurku sekitar 19 tahun kala itu, dan aku belum bisa berpikir jauh dalam soal-soal politik. Aku hanya mendengar apa yang dibicarakan atau dibisikkan oleh orang-orang yang lebih tua dariku. Setelah berada dalam truk semalaman, pada pagi hari kami memasuki kota Padang. Truk berhenti di depan sebuah tempat yang sekelilingnya berdinding tembok tebal setinggi kira 5 atau 6 meter, seperti sebuah benteng pada zaman dahulu. Di atas dinding tembok itu ada kawat berduri ber-gulung-gulung. Kami diperintahkan turun dan masuk ke dalam bangunan itu. Ketika kami diperiksa satu persatu di pintu masuk, kuketahui bahwa tempat ini adalah Rumah Tahanan Militer di Simpang Haru Padang Sumatera Barat. Rombongan kami dijadikan dua grup dan ditempatkan di ruangan yang agak besar, beberapa orang dalam setiap ruangan. Ruang kamar penjara ini terbagi dua, bagian depan dan bagian dalam yang masing-masing mempunyai pintu jerajak besi yang cukup besar. Bagian depan adalah untuk mendapatkan sinar matahari di pagi hari, dibagian atas terbuka untuk lewatnya udara segar dan di depan pintu jerajak besi dengan kunci yang cukup besar. Kalau aku tak salah, di bagian depan ini juga ada satu bak air ledeng untuk mandi para tahanan. Di bagian dalam, adalah untuk ruangan tidur yang juga berpintu jerajak besi dengan kunci gembok yang besar. Tempat tidur di ruang dalam ini hanya terbuat dari semen yang lebih tinggi dari lantai sekira setengah meter. Di sudut lantai di ruang tidur ini, ada sebuah lobang yang berdiameter sedikit kecil dari kepala manusia. Di bawah lobang ini adalah saluran

Riau Berdarah |

47

got di bawah penjara yang kemudian bersatu dengan saluran pembuangan di bawah kota Padang, yang menuju ke lautan Hindia. Sekeping papan kecil menutup lobang ini. Inilah kakus dalam kamar tahanan atau penjara itu. Ketika kami sampai di penjara Simpang Haru ini, kamar-kamar penjara ini telah penuh dengan para tahanan yang dapat kami lihat ketika kami digiring kekamar kami. Semua mereka adalah para pemimpin organisasi yang berhaluan kiri, dari seluruh Sumatera Barat dan Riau .Yang bisa kuingat pada waktu itu adalah nama seorang pemimpin komunis Sumatera Barat yaitu Jamhur Hamzah, karena jauh sebelumnya ia pernah datang ke Pekanbaru. Aku tidak pernah berjumpa atau mengenalnya, hanya mendengar namanya dari temanteman dalam organisasi Pemuda Rakyat. Di samping itu, ada juga pimpinan organisasi dari Pekanbaru yang beberapa namanya masih bisa kuingat seperti Janizar, M.Noer Rauf, Zarkawi Latief, Anwar Yusuf dan temanku Bulkiarudin. Mereka, yang berdiri di depan pintu jerajak besi melihat sayu kepada kami, tidak melambaikan tangan ataupun bersuara karena mungkin hal itu akan membahayakan kami. Namun, kami memahami akan pandangan sayu mereka! Beberapa hari kami berada di penjara ini, para tahanan yang agak lama mendiami penjara ini—kudengar jumlahnya kuranglebih 250 orang—dipindahkan ketempat lain, hingga memungkinkan beberapa kamar tahanan menjadi kosong untuk tempat para tahanan baru. Para tahanan wanita di tempatkan dalam sel-sel yang kemudian kudengar menjadi bulan-bulanan dan pelampiasan nafsu anggota Staff Keamanan (dikenal sebagai Staff “K”) Dewan Banteng/PRRI. Tentang kawan-kawan yang lebih dahulu berada di RTM ini, kemana mereka dipindahkan, kami tak tahu. Namun seminggu setelah itu kami juga dipindahkan ke suatu tempat yang bernama Solok, bersama-sama dengan sebagian dari sisa para tahanan yang telah agak lama di tahan yang sebagian besar telah dipindahkan. Disini kami di tempatkan di suatu rumah penjara yang berada di tengah kota, dan nampaknya baru saja selesai dibangun. Penjara ini terdiri dari beberapa ruang besar dan tak terkecuali lebih dari selusin kamar-kamar sel untuk satu orang. Kami di tempatkan dalam satu ruangan besar. Aku masih ingat, di ruangan yang agak besar ini setiap malam kami melakukan

sembahyang ber-jemaah dan sembahyang tarwih di bawah pimpinan Bapak Zainuddin, yang bertindak sebagai imamnya. Semua kami beragama Islam. Malam bulan Ramadhan di penjara itu, ayahku membaca Al Quran dengan suaranya yang nyaring, indah dan jelas. Semua orang menyukai suara ayah. Dalam kesempatan berkumpul bersama ini, kami gunakan untuk memperdalam pengajian kami akan Islam. Aku, Yacob. Ardan, Syahrudin, Amirudin yang anggota Pemuda Rakyat dan Kambasli yang anggota GPII, bersama-sama aktif mempelajari Al Quran dari orang-orang tua seperti Bapak Zainuddin dan ayahku. Disamping itu, beliau-beliau juga berhasil meminta wakil dari penjaga penjara yang bukan militer untuk memberi khotbah di malam bulan puasa itu kepada para anak muda. Hal ini sangat menguntungkan sekali, karena di samping mendapat khotbah dalam soal agama, para orang tua kami juga mendapatkan informasi yang secara berbisik di sampaikan kepada kami. Dibisikkan, bahwa Pemerintah Pusat telah mengirimkan angkatan bersenjatanya untuk menumpas PRRI. di kota Pekanbaru, dan Riau daratan telah dapat dikuasai oleh Pemerintah Pusat. Angkatan besenjata RI yang lebih terkenal dengan sebutan Tentara Pusat terus maju menuju Sumatera Barat melalui jalan darat dari Pekanbaru. Disamping itu armada kapal perang RI telah berlabuh di luar Teluk Bayur, pelabuhan laut Kota Padang. Pertempuran terjadi antara pemberontak dan Tentara Pusat di Teluk Bayur dan kota Padang. Namun, tentara pemberontak yang walaupun mempunyai senjata yang serba modern, tak sanggup mengatasi Tentara Pusat. Mereka lari kepedalaman. Jadi, mungkin inilah sebabnya, kami dipindahkan dari penjara Padang ke penjara Solok yang jaraknya ratusan kilometer. Di saat Tentara Pusat maju menuju Solok, dari penjara Solok kami dipindahkan lebih jauh kepedalaman, di suatu tempat yang bernama Muaralabuh. Di sini, kami ditempatkan di rumah penjara umum yang keadaannya sangat gelap dan kotor.Kami di jejalkan di dalam ruangan yangtiada mempunyai jendela atau jalan pertukaran udara samasekali. Satu-satunya jalan udara adalah lobang di bawah pintu sepanjang lebar pintu dan tinggi kira-kira 10 sentimeter dari lantai, sehingga udara didalam kamar itu begitu pengap dan menyesakkan.

Riau Berdarah |

49

Di dalam ada sebuah tong dari kayu untuk tempat kencing dan kotoran para tahanan. Tidak ada air untuk membersihkan diri. Di sini kami mengalami aniaya yang sungguh tidak tertanggungkan. Banyak di antara kami yang mengalami siksaan dari Kopral Syamsuddin yang menjadi pengawas para tahanan. Tanpa persoalan, terkadang dia memanggil seseorang hanya untuk dipukuli dan di tampar sejadijadinya. Dia mempunyai seorang pembantu yang dipanggil Ginting, seorang narapidana 20 tahun karena pembunuhan. Dia diberi kuasa dengan menjandang sebuah bedil mengawal kami dengan kejamnya waktu menggiring kami ke sebuah parit berbatu yang tidak jauh dari rumah penjara untuk mandi. Kami hanya bisa mencuci muka dan cebok di air yang dalamnya tidak lebih dari 30 sentimeter itu. Sebelum selesai, kami diperintahkan dan diharuskan kembali ke tempat tahanan. Banyak di antara kami yang dihantam dengan popor senapan dalam perjalanan kembali ke kamar tahanan yang gelap tanpa ventilasi seperti kuburan itu. Esok harinya, kami dipanggil keluar kamar satu persatu dan di gunduli. Rambut di kepala kami dicukur habis samasekali dengan hanya menggunakan pisau silet sebagai alatnya. Banyak yang kepalanya mengucurkan darah karena tergores dan luka disebab kan oleh pisau silet yang tidak tajam dan cara kasar yang mereka lakukan. Mereka mengatakan bahwa hal ini mereka lakukan karena, kalau kami melarikan diri akan mudah dikenal karena gundul. Beberapa hari sesudah itu, seorang Mayor militer memeriksa kami. Kami dibariskan di halaman dalam penjara itu, dan si Mayor berjalan meneliti kami yang berdiri tegak berbaris, satu persatu. Mayor ini bernama Rida, kependekan dari Ridwan Daud. Aku sempat melihat wajahnya. Orangnya tidak begitu besar atau tinggi, namun bibir atas di bawah hidungnya sumbing, sehingga ia berkata-kata agak sengau. Orang mengatakan bahwa dia adalah anak Daud Beureuh, pemimpin pemberontak di Aceh. Aku tidak tahu pasti. Setelah pemeriksaanya terhadap para tahanan, esoknya kami dipindahkan kesuatu tempat yang agak jauh ke dalam hutan. Disini kami di tempatkan di suatu gedung tua berlantai dan berdinding semen setinggi kira-kira satu meter kemudian jendela kaca yang banyak

sudah pecah dibagian atasnya. Atapnya dari seng yang sudah karatan dan sebagian sudah berlobang-lobang. Lantainya sangat kotor dan dipenuhi dengan sampah dan humus yang mesti kami bersihkan untuk bisa kami tempati. Orang mengatakan bahwa gedung ini adalah bekas rumah sakit di zaman penjajahan Belanda dan bernama Timbulun. Setelah membersihkan tempat yang sangat kotor ini, kami membentangkan tikar kecil kami masing-masing untuk alas tidur dilantai. Gedung ini sunguh sangat tua dan menyeramkan sekali. Disekitar gedung, tidak ada tempat yang tidak di tumbuhi semak belukar. Hutan belukar yang menyeramkan semata-mata, yang mengelilingi tempat itu. Dapat dibayangkan, sejak sebelum perang dunia ke-II gedung ini dibangun dan ditinggalkan penjajah Belanda! Menurut orang tua-tua, di luar gedung, di depan, kiri dan kanan gedung, di semak-semak belukar, para militer pemberontak memasang senapan mesinnya mengarah ke gedung, kearah kami, siap untuk sewaktu-waktu memuntahkan pelurunya. Di samping itu, dari bisik-bisik kami juga mendengar bahwa kota Solok telah jatuh ke tangan Tentara Pusat dan mereka kini bergerak menuju Muaralabuh. Itu sebabnya barangkali kami dipindahkan dan dilarikan jauh ke dalam hutan di sini..Hanya sehari kami berada di sini, kemudian komandan militer mengumumkan bahwa kami akan dibebaskan di Sungaipenuh dengan upacara dari “pemerintah” PRRI. Untuk ke Sungaipenuh harus berjalan kaki karena tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor. Karenanya harus yang mudamuda dan kuat yang bisa berjalan agak jauh. Sedang yang tua-tua untuk sementara tetap tinggal di sini menunggu perwira PRRI yang akan membebaskannya. Kami tidak punya pikiran lain kecuali percaya bahwa mereka sungguh akan membebaskan kami. Aku tidak pernah memikirkan dan menduga akan motif-motif lain mengenai ini. Namun aku merasa sedih karena aku harus berpisah dengan ayahku. Beliau sudah tua ! Waktu berpisah, aku memeluk ayah dengan sedu dan tetesan air mata. Sambil menahan kesedihannya, ayah berbisik “ Jaga dirimu baik-baik Yo! Jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan celaka. Kalau panjang umur kita pasti bertemu lagi……..!” Aku makin tersedu di pelukan ayah!

Riau Berdarah |

51

Long March……. Esoknya, kami diperintahkan berjalan di jalan setapak di dalam hutan. Suatu jalan setapak yang hanya dipergunakan oleh orang kampung atau peladang yang mencari hasil hutan. Setelah melintasi sebuah sungai yang berbatu-batu dan tidak begitu dalam yang bernama Air Putih, kami memasuki hutan belantara dipinggang gunung Kerinci menuju kota Sungaipenuh. Sekitar 250 orang tahanan yang hanya dikawal oleh beberapa orang tentara pemberontak, menembus hutan lebat yang tidak pernah dilalui manusia sejak zaman perang dunia ke-II itu, menambah kepercayaan kami bahwa kami benar-benar akan dibebaskan setibanya di Sungaipenuh.. Apalagi, sebelum berangkat dari Timbulun, mereka mengembalikan barangbarang kami yang ditahan oleh penguasa sejak kami memasuki RTM Padang. Mereka mengembalikan jam tanganku yang automatik merk Titus. Karena hal-hal ini, kami tidak mempunyai pikiran-pikiran lain. Semua orang berjalan mematuhi perintah tanpa berbuat sesuatu hal yang mencurigakan dan menyalahi. Perjalanan yang menempuh onak dan duri itu sangatlah sulit sekali. Apalagi, saat itu hujan, walaupun tidak begitu lebat namun turun berkepanjangan tiada hentinya membuat badan menggigil kedinginan, serta lintah, pacet dan nyamuk yang merajalela. Aku ingat, malam itu aku hanya duduk mencangkung di bawah sebuah pohon besar dalam hujan gerimis yang tak henti-hentinya, di sebelahku adalah Kambasli. Dalam kegelapan malam yang dingin itu, aku masih sempat melihat suatu pemandangan yang sangat tak senonoh dari perajurit pemberontak yang mengawal kami, terhadap dua orang gadis penjual jamu gendong yang ditangkap di Solok dan ditahan karena dituduh sebagai mata-mata Pusat, berdiri di bawah pohon tidak jauh dari tempatku. Mestikah hal ini kuceritakan? Ahhh…. ya …. mereka memperkosa kedua wanita itu!. Kudengar suara kedua perempuan itu berganti-ganti, memekik dan memohon berkali-kali dengan tangisnya “jangan pak…..jangan….. ampun… jangan……..pak……!. Saya masih perawan pak……Saya masih di bawah umur, pak……Ampun pak…..Tolong pak….jangan pak…...!”

Namun siprajurit makin bersemangat melaksanakan kebinatangannya! Beberapa saat kemudian kudengar rintihan dan tangisan kedua wanita muda itu tersedu-sedu ketika serdadu pemberontak meninggalkan mereka……..! Dalam keadaan kedinginan, Kambasli yang berada di sebelahku, kudengar bersuara jengkel dan memaki: “ Binatang……!” Pagi hari, dengan bersusah payah aku mencoba berdiri, setelah semalam-malaman hanya mencangkung. Kaki-ku serasa kaku dan pandanganku berkunang-kunang kemudian aku jatuh dengan muka menghadap ketanah becek. Kambasli menolongku berdiri. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan menjelang sore hari, kami ke luar hutan dan sampai di suatu tempat yang bernama Kayu Aro. Dalam perjalanan ini, aku dan Kambasli tidak banyak berkata-kata, karena lapar dan kedinginan. Kamilah yang merupakan rombongan pertama sampai di Kayu Aro ini, yang kiranya adalah suatu daerah perkebunan. Kami sampai ke suatu pondok, di sebuah perkebunan lobak. Karena kelaparan, berjalan sehari semalam di dalam hutan belantara, tanpa makan, kami mengambil beberapa buah lobak kepunyaan peladang (maafkan kami!) yang tidak berada di situ, dan melalapnya. Sambil menanti kawan yang lain sampai, kami beristirahat di pondok di ladang itu, namun di sini, aku mengalami sesuatu hal yang belum pernah kualami. Aku jatuh sakit. Badanku panas dingin dan menggigil. Kawan-kawan yang faham, mengatakan bahwa aku mendapat demam Malaria Tertiana. Satu tingkat di bawah Malaria Tropika. Yah, pasti ini di sebabkan banyaknya nyamuk yang berpesta di atas tubuh kami dalam perjalanan di hutan. Setelah beristirahat beberapa waktu dan kawan-kawan lainnyapun sampai, dan diduga rombongan telah lengkap, kami melanjutkan perjalanan ke ibukota Kabupaten Kerinci yaitu Sungaipenuh. Di sini, dengan alasan untuk mengecek dan menghitung jumlah para tahanan, di bawah pengawasan tentara yang bersenjata lengkap, kami diperintahkan untuk masuk ke rumah penjara Sungaipenuh. Melihat gelagat mereka yang begini, temanku Kambasli, anak Pariaman yang

Riau Berdarah |

53

pendiam itu bercarut-carut dalam bahasa Minangkabaunya. Hilang sudah harapan kami dan dugaan-dugaan bahwa kami akan dibebaskan. Semua menyesali diri. “Kenapa kita tidak bertindak untuk bebas, melarikan diri semasa di hutan. Pengawal hanya beberapa orang sedang para tahanan hampir 250 orang. Mudah dikalahkan dan direbut senjatanya…” Kambasliberbisik kepadaku. “Ahh…. talambek… ! Cakak habih, silek takana” jawabku lirih dalam bahasa Minang. Keadaan kami memang benar seperti pepatah Minang yang kuucapkan itu. Memang “……terlambat! Selesai berkelahi, baru teringat akan kepandaian berpencak-silat”. Semula, semuanya bermimpi dan terbuai dengan kampanye pemberontak bahwa kami akan di bebaskan sesampainya di Sungaipenuh. Tidak satu orangpun yang tahu politik, menganalisa akan apa maksud sebenarnya di balik kepindahan yang mendadak dan jauh berjalan kaki di hutan belantara itu. Apa benar untuk di bebaskan? Kalau memang mau di bebaskan, mengapa tidak ketika di Timbulun, mengapa tidak di Muaralabuh? Ah, pikiran yang beginipun, juga terlambat! Kenapa pikiran ini tidak timbul ketika berada di dalam hutan yang penuh onak dan duri, lintah dan pacet serta nyamuk? Nasi sudah jadi bubur. Apa mau di kata, sekarang mereka masukkan lagi kami ke penjara! Semua bercarut-carut dan memaki dalam bahasanya masing-masing! Penjara Sungaipenuh di Kabupaten Kerinci ini adalah sebuah penjara yang sudah tua. Bangunannya terbuat dari papan, dengan barak-barak yang cukup besar yang bisa di tempati oleh 30 atau 40 orang setiap baraknya. Tiada kamar-kamar sel untuk perseorangan di penjara ini. Aku dan Kambasli menghuni barak nomor delapan, tidur bersebelahan, beserta 36 orang lainnya. Barak ini cukup besar, dengan lantai papan sejajar dengan dinding di kiri-kanan dan gang sebuah di tengah ruangan. Di kedua ujung barak ini ada pintu jerajak besi yang di kunci dengan gembok yang cukup besar. Namun, hanya satu gembok yang sering di buka yaitu di depan, dimana kami keluar dan masuk. Sedang di ujung lain—di belakang barak—gemboknya tidak pernah dibuka dan nampak agak berkarat. Di sini, aku dan Kambasli ditugaskan menjadi tukang masak, bekerja di dapur untuk memasak nasi buat semua tahanan. Jadi aku

dan Kambasli,setiap pagi buta di keluarkan dari barak untuk bekerja di dapur,dan dimasukkan kembali ke barak pada sore hari setelah semua tugas dapur selesai. Disamping memasak dan membagi nasi, aku juga mendapat kepercayaan Kepala Penjara untuk berjalan keluar penjara berjarak sekitar 300 meter, membawa nasi dan sayur untuk di bagikan kepada tahanan yang berjumlah sekitar 30 orang di suatu bangunan rumah tahanan yang lain. Begitulah tugas dan kerjaku dari hari kehari. Antara aku dan Kambasli sudah tidak ada perbedaan karena organisasi disebabkan persamaan derita yang kami alami. Apalagi, ayah Kambasli yaitu pak Hamdah, yang menjadi pimpinan PKI di Sungai Pakning, juga ditangkap dan ditahan PRRI, dan sekarang bersamasama kami menghuni kamar 8 di penjara ini. Kadang-kadang aku berpikir, pencomotan dan penahanan Kambasli oleh PRRI ini barangkali, ya barangkali, karena ayahnya adalah pimpinan PKI. Aku tak tahu, kita lihat saja bagaimana nanti! Para Tahanan Dibunuh Sementara itu, berita yang secara rahasia disampaikan kepadaku oleh “seseorang”, kudengar bahwa sekitar 250 orang tahanan yang dipindahkan dari Penjara Simpang Haru Padang, telah ditembak dan dibunuh, dibrondong dengan senapan mesin oleh tentara pemberontak di daerah Simun Atar di Batusangkar. Mereka sebelumnya ditempatkan di sebuah bangunan darurat, seperti sebuah sekolah atau surau panjang, yang berdindingkan bambu anyaman (dalam bahasa Minangkabau disebut tadir, dalam bahasa Jawa: gedek) dan beratapkan rumbia. Di belakang bangunan itu, sebuah lobang besar yang baru dibuat , seperti untuk kolam ikan, dan pagar kawat berduri yang berlapis-lapis di sebelah luarnya.Suatu hari, di tengah malam, di saat hujan lebat, para tentara pemberontak yang mengawal di depan, melepaskan tembakan dari beberapa buah senapan mesin yang telah di tempatkan sedemikian rupa, ke arah bangunan berdinding tadir yang berpenghuni para tahanan. Bunyi pekik dan raung serta suara tembakan bercampur baur dengan suara curahan hujan lebat. Semuanya, kurang lebih 250 orang tahanan mati mengenaskan ditembus peluru! Esoknya, mayat-mayat yang bergelimpangan

Riau Berdarah |

55

bersimbah darah yang mulai membeku ditolak dengan bulldozer ke lobang yang seperti kolam ikan itu dan ditimbun. Begitulah akhir riwayat hidup dan perjuangan mereka!. Sambil berbaring bersebelahan dan berpindah-pindah, dengan berbisik kuceritakan hal-hal ini kepada Kambasli dan beberapa teman yang kukenal baik di dalam kamar, yang dalam pandanganku bisa dipercaya, seperti Sidi Barabanso yang menjadi pimpinan partai di Pekanbaru, Pak Hamdah, ayah Kambasli, Aiz Jamin yang kudengar adalah pimpinan komite partai di Kabupaten Kerinci. Kepada para tua-tua ini aku juga membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang harus kami tempuh untuk keselamatan semua. Aku tidak berani membisikkannya hal-hal ini kepada yang lain-lain karena takut kalau “bisikan” ini bocor dan diketahui fihak lawan. Kami benar-benar sangat sedih dan terharu mendengar berita pembunuhan kejam yang dilakukan pemberontak ini. Dan aku mulai berpikir, apa bedanya kawan-kawan yang telah menjadi korban itu dengan kami? Bila giliran kami sampai? Kami semua diliputi kemurungan yang sangat mendalam. Pikiranku kembali kepada keadaan kami ketika berada di Timbulun. Para militer memasang senapang mesin di depan, kiri dan kanan gedung dimana kami di tempatkan, barangkali juga untuk maksud seperti ini, untuk maksud seperti yang telah mereka lakukan di Simun, Atar dan Situjuh dan mungkin juga di tempat-tempat lain di Sumatera Barat. Kalau sudah terjepit, pemberontak membunuh semua tahanannya! Namun, disamping segala kesedihan dan kemurungan ini , ada sesuatu yang menyebabkan aku pribadi menjadi gembira dalam hati dan menimbulkan semangat serta harapan baru. Seorang pegawai penjara, yang ditugaskan mengikuti kami sejak dari Solok dan sekarang berada dan menjadi pegawai penjara di Sungaipenuh, dan menjaga tahanan sejumlah kurang lebih 30 orang di bangunan lain, dimana aku mengantar dan membagi nasi untuk mereka, “seseorang” yang menyampaikan padaku “kabar berbisik” mengenai kawan-kawan yang di brondong pemberontak, suatu hari, dengan gembira memberi cerita baru kepadaku dan berkata dalam bahasa Minang. “Yo, Ayah dan Pak Pontong sudah lepas!” Pak Pontong adalah sebutan untuk Pak Zainuddin, yang tangan kanannya pontong sebatas

bahu karena mesin gergaji kayu di Caltex. Dia adalah pengawas kerja di Carpenter Shop Caltex di Rumbai. “ Darimana mamak tahu……….. ?” aku bertanya heran. “ Saya mendengar Radio Jakarta! Katanya, ayah dan Pak Pontong lari dari Timbulun di malam hari hujan lebat. Sampai ke Muaralabuh, Tentara Pusat kiranya sudah berada di sana. Ayah dan Pak Pontong di terima baik dan di bawa ke Solok terus ke Padang, Dari Padang naik kapal terbang ke Pekanbaru. Sekarang beliau-beliau itu sudah berkerja kembali di Caltex “ dia menjelaskan padaku dengan wajah yang berseri. “Yang betullah………Mak!” aku bertanya dengan sedikit ragu. “Kau tidak percaya padaku……..?” dia menjawab sambil mengeluarkan maki dan carut Minangnya. Aku sangat gembira dan berterima kasih atas “kabar baik” yang di sampaikannya itu. Kemudian sekali kudengar, bahwa berdasarkan informasi tentang situasi para tawanan, yang diberikan oleh pak Zainuddin serta ayahku kepada kesatuan Tentara Pusat yang berada di Muara Labuh, Batalyon 440 Diponegoro, yang memburu PRRI kemanapun mereka lari, malam itu juga, di saat hari hujan lebat, melangsungkan “operasi kilat” ke Timbulun, dan dapat membebaskan dan menyelamatkan sejumlah 67 orang tahanan yang tua-tua yang tidak dibawa lari oleh PRRI menempuh hutan belantara di lereng gunung.Kerinci menuju Sungaipenuh, seperti kami. Di antara mereka yang dapat dibebaskan itu adalah Bapak Ilyas, seorang anggota Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia, pejuang-pembela dan Pengisi Kemerdekaan R.I. di Sumatra-Barat, dari Kabupaten Pesisir Selatan-Kerinci. Dalam kesempatan yang memungkinkan, kubisikkan berita mengenai ayahku dan pak Pontong ini kepada para tua-tua didalam kamar. Juga aku bertukar pikiran mengenai beberapa soal dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Semangatku yang selama ini pudar, layu, pasrah dan menyerah kepada takdir, disebabkan berpisah dengan ayah, kini kembali menyala. Kini aku mesti memikirkan tentang diri dan keadaanku. Ayah sudah selamat kembali kepada keluarga. Tinggal aku yang

Riau Berdarah |

57

masih berada dalam tahanan, yang tidak mereka ketahui, dimana. Bilakah aku akan bebas? Ataukah aku akan mengalami nasib seperti kawan-kawan yang mati di berondong senapan mesin? Ah, aku tak mau mati! Aku masih muda dan belum tahu akan dunia ini!Aku harus mencari jalan untuk bebas! Bagaimana? Melarikan diri? Ah, apakah ini mungkin? Ataukah ini hanya pikiran dan angan-angan sambil menanti peluru pemberontak mengoyak merobek tubuh? Semua angan-angan dan jalan pikiranku ini kubisikkan kepada Kambasli, sambil berbaring menanti mata terlelap karena tubuh yang letih setelah seharian bekerja di dapur. Suatu malam, sambil berbaring-baring , aku berbisik lagi bertukar pikiran dengan Kambasli. “Kam, …bagaimana pendapatmu, apakah kau kira kita akan dibebaskan?” “Ah, mana mungkin! Kalau ya, sudah lama mereka bebaskan!” “Apakah mungkin kita akan mereka bunuh juga seperti kawan-kawan di Batusangkar?” Sebenarnya, aku yakin bahwa pemberontak pasti akan melakukan pembunuhan terhadap kami juga, namun aku tak mau memaksakan “keyakinanku” ini kepada Kambasli. Aku ingin supaya ia mempunyai pendapatnya sendiri ! Syukur kalau pikirannya bisa sejalan denganku! “Ya, itu mungkin saja. Tapi apa yang bisa kita buat?” “Bagaimana kalau kita lari……!” “Ahh……gila…..tak mungkin…… itu cari mati namanya……kerja yang berbahaya! Kalau tertangkap kita akan mati anjing………!” “Tapi……kalau kita disini mereka bunuh seperti kawan-kawan di Batusangkar, mati apa namanya itu?” Aku ganti berucap. “Kan ada pepatah mengatakan ada usaha ada hasil……..Kalau tak berusaha, hasil apa yang akan didapat…….? Tunggu mati? Menunggu mereka “meletakkan senapan mesin diatas dan memberondong dan, membunuh kita?” aku mencoba membuka dan mengarahkan pikirannya, mudah-mudahan bisa sependapat denganku. Kukakatakan, “meletakkan senapan mesin diatas”….. Baiklah kujelaskan arti dan makna kalimatku ini. Sesungguhnya, letak penjara Sungaipenuh ini adalah di tempat kerendahan. Di bagian belakang area penjara, adalah tanah yang ketinggian, yang permukaannya sejajar dengan atap rumah penjara. Di atas, di tanah ketinggian di

belakang penjara itu ada sebuah parit berair selebar kurang lebih satu meter, yang airnya mengalir deras.Dengan melalui satu tabung bambu yang cukup besar, sebagian air parit itu dialirkan dan jatuh di belakang penjara seperti air terjun, seolah-olah seperti air dari langit. Air inilah yang digunakan untuk mandi, menggosok gigi dan membersihkan diri oleh para tahanan. Bahkan kadang-kadang, waktu mandi, mulut dibukakan kepancuran dan meminum air yang biasanya jernih itu. Tidak ada air bersih atau air ledeng. Suatu hari, di kala seorang kawan sedang mandi di bawah pancuran buluh itu, tiba-tiba suatu “anugerah dari langit” turun. Kepala kawan itu kejatuhan sebungkah besar kotoran manusia, melalui tabung buluh yang airnya digunakan untuk mandi itu. Kiranya, diatas, di hulu parit kecil itu, juga digunakan orang untuk duduk membuang hajatnya! Begitulah penjara Sungaipenuh itu! Kawan tersebut berteriak-teriak mencaci maki sejadi-jadinya hingga teman-teman di penjara semua mengetahuinya dan ada yang tertawa terbahak-bahak. Sejak saat itu, tidak seorangpun mau meminum air itu langsung dari pancuran buluh itu………. Malam itu, aku dan Kambasli tertidur tanpa mendapat keputusan dari pembicaraan kami. Seperti telah ku sebutkan diatas, tempat dimana kami ditahan adalah rumah penjara umum. Para penjaganya adalah para pegawai yang umumnya sudah tua dan hanya menanti waktu untuk pensiun. Seorang temanku yang bernama Bahtiar yang juga berasal dari Pekanbaru, mendapat kepercayaan dari Kepala dan para Pegawai Penjara untuk menjemput segala kebutuhan penjara seperti sayur, garam dan ikan asin dan lain lain si sebuah toko yang ditentukan di pasar kota Sungaipenuh. Di samping itu, ia juga mendapat kepercayaan untuk membuka dan mengunci kembali barakbarak yang pada gilirannya para tahanan harus keluar mendapatkan sinar matahari, air minum dan jatah makan. Seolah-olah seperti pembantu pegawai penjara. Barangkali, pegawai penjara yang tua-tua itu berpikir “buat apa susah-susah berjalan keliling penjara untuk membuka dan menutup barak kalau ada orang yang bisa disuruh…..!” Maklumlah, mereka itu sudah tua! Kamarku atau lebih tepat barakku yang bernomor 8 ini dihuni oleh 38 orang tahanan. Sebagaimana telah kuceritakan di atas, di kedua

Riau Berdarah |

59

ujung barak ini terdapat pintu jerajak besi yang di gembok. Pintu belakang ini tidak pernah dibuka, mungkin semenjak barak ini dibangun, sehingga menjadi berkarat. Namun, beberapa minggu yang lalu, Bahtiar, tanpa diketahui siapapun berhasil membuka gembok ini dengan kunci yang dipercayakan padanya. Jadi, gembok ini sekarang tidak terkunci. Sewaktu-waktu ditarik dengan agak kuat, gembok akan terbuka. Disamping itu, Bahtiar juga secara sembunyi dan hati-hati, memberiku sebuah tang pemotong kawat yang baru, yang dibelinya di pasar Sungaipenuh. Benda ini kusembunyikan di bawah lantai papan tempat tidur kami. Tak seorangpun yang mengetahui akan hal ini kecuali aku dan Bahtiar. Menjebol Penjara Masih segar dalam ingatanku. Hari itu adalah 22 Juli 1958. Sejak pagi hari, hujan lebat tak henti-hentinya mencurahi bumi membuat semua orang menjadi malas untuk bangkit. Sore hari, sehabis kerja dan membersihkan dapur serta mempersiapkan bahan-bahan untuk di masak esok hari, aku dan Kambasli, kembali ke barak kami. Sekitar pukul enam sore, sebagian orang sudah pada berbaring di bawah kain lusuh yang menjadi selimut, karena keadaan udara yang dingin, sedang sebagian ada yang bermain ceki, yaitu permainan yang berasal dari Cina, dengan menggunakan kartu bergambar dan bertulisan huruf-huruf Cina dan berukuran 2 x 5 centimeter. Di saat begitu, sambil berselimutkan kain sarung aku bergulir, lebih mendekat kearah Kambasli dan berbisik, menyambung diskusi yang lalu, yang belum mendapat hasil dan keputusan apa-apa. “Kam, bagaimana kau pikir, kalau kita melarikan diri………..kau setuju atau tidak?” Aku berbisik yang membuatnya sedikit terkejut. Dia nampak raguragu untuk memberikan jawaban. Aku menunggu. Biarpun agak lambat, namun akhirnya dia membuka suara: “Sangat berbahaya, Yo……kita bisa tertangkap dan mereka bunuh Kita tak tahu jalan di daerah ini! Ini bukan daerah kita!” “Ya, kalau kita tunggu tunggu juga bagaimana kalau mereka bunuh kita? Seperti kawan-kawan di Batusangkar? Kita mati tak melawan!

Kalau kita lari masuk hutan, kalaupun mati dimakan harimau, kurasa itu lebih baik dari pada mati tak melawan!” “Ya, tapi kita tidak bisa lakukan hanya berdua saja Bagaimana kawan yang lainnya?” “Pokoknya, kau setuju atau tidak …?” aku serasa tak sabar untuk mendapatkan jawaban darinya.Lama kutunggu reaksinya! Akhirnya, biarpun lambat, dia mengangguk setuju. “Sebenarnya, Kam…” aku menjelaskan “aku telah bicara dengan yang tua-tua di kamar ini beberapa waktu yang lalu. Dengan Pak Darwis, Sidi Barabanso, dan ayahmu sendiri, pak Hamdah. Pada dasarnya mereka setuju, namun karena sudah tua dan tidak bertenaga, mereka tidak akan ikut, jadi terserah kepada yang muda-muda. Tetapi, aku tak mau menceritakan padamu. Aku takut kalau engkau hanya akan terpaksa setuju karena yang tua-tua setuju. Aku menginginkan persetujuan dari hatimu, karena ini akan menjadi tanggung jawab kita sendiri………!” dengan senyum dan tertawa kecil aku menjelaskan pada Kambasli. Memang, sebenarnyalah! Aku telah berbicara mengenai hal ini dengan orangtua-tua. Mereka percaya padaku, apalagi sejak lama mereka sama berkecimpung bersama ayahku dan Pak Zainuddin Pontong dalam organisasi sehaluan. Bahkan berita mengenai ayahku dan pak Pontong yang lari dari Timbulun, juga telah kusampaikan pada mereka. Mereka sangat gembira. “Bila…….?” Kambasli tiba-tiba bertanya. “ Malam ini juga…….!” “ Bagaimana caranya ……?” “Itu pintu jerajak besi di ujung belakang, gemboknya sudah tak terkunci. Bahtiar yang membukanya. Dan dia juga memberi sebuah tang baru kepadaku untuk memotong pagar kawat berduri ……..” Dia tercengang dengan persiapan-persiapan yang kuceritakan itu. “Ahhhhh……kamu……..! Bagaimana untuk mengajak yang lain agar ikut……? ” “Ya, kita cari akal bagaimana caranya……………!” aku memberi jawaban. Ya, memang benar, kalau kita hanya mengajak begitu saja tanpa alasan yang kuat, mungkin mereka menolaknya. Dan barangkali juga tidak sampai kepada mereka berita tentang pembunuhan 250 orang

Riau Berdarah |

61

teman-teman di Batusangkar, sehingga mereka akan berpikir bahwa tidak ada alasan untuk harus melarikan diri. Akhirnya, aku mendapat akal. “Akal” ini agak ganjil, namun harus kulakukan untuk mempengaruhi penghuni barak. Rencana “mengakali” tahanan lain ini, kubiskkan kepada Kambasli. Dia tersenyum gembira sambil mengeluarkan ucapan dalam bahasa Minangnya “ elok …… elok……..elok tu…..!” ( bagus….bagus……bagus itu! ) Namun, sebelum aku menjalankan “akal” ini, dengan cara bergulir sambil tiduran, kusampaikan rencana untuk melarikan diri malam ini juga kepada para tua-tua, Sidi Barabanso, Pak Hamdah, Pak Darwis, juga bung Aziz Jamin, yang adalah pimpinan Partai di Kabupaten Kerinci. “Kalau dapat, jangan sampai kita mati tak melawan disini. Kalau mesti mati, biarlah kita mati di hutan dimakan harimau daripada mati anjing di tangan pemberontak!” aku membisikkan kepada para tua-tua di kamar itu. Kuceritakan tentang persiapan yang telah kuperbuat, tentang gembok pintu, tang dan sebagainya. “Jadi, kalau yang lain sudah tahu rencana ini, maka hal ini harus kita laksanakan malam ini juga, kalau tidak ingin rahasia bocor dan kita benar-benar akan mati anjing! Aku benarbenar heran dan tak tahu, kenapa aku bisa berkata begitu kepada para tua-tua! Ternyata, mereka gembira dan setuju dengan rencanaku, dan akan membantu memberi dorongan kepada yang lain. Sekitar pukul delapan malam, keadan penjara sudah sepi, hanya bunyi curahan air hujan yang terdengar. Aku dan Kambasli dengan dibantu seorang pemuda daerah Kerinci yang bernama Hassan Liki, mulai melaksanakan “akal”yang kurencanakan. Kami mencoba bermain jailangkung, suatu permaianan tahyul yang pernah kulakukan di sekolah. Permainan jailangkung ini adalah, memanggil roh orang yang telah meninggal dan menanyakan tentang sesuatu yang ingin kita ketahui, seperti pacar sesorang, pertanyaan tentang apa yang akan diberi oleh guru saat ujian kelas dsb. Aku mempunyai pengalaman di sekolah, bahwa jailangkung –atau arwah orang mati ini—sebenarnya tidak tahu apa-apa. Dia hanya mengikuti kemauan dan jalan pikiran kita. Dan, cara inilah yang akan kugunakan untuk mempengaruhi kawan-kawan yang lain! Kambasli mengetahui hal ini.

Aku mempersiapkan permainan ini dengan alat dan bahan yang sederhana yaitu dua buah alat pemukul lalat di ikat satu sama lain seperti salib, dan dipertemuan salib ini di ikatkan sebuah pinsil yang juga kuperoleh dari Bahtiar. Salib ini diberi berpakaian, yaitu sebuah kaos oblong. Dari seseorang teman, seorang transmigran yang merokok dengan kelembak dan menyan, kudapat sedikit kemenyan darinya. Hasan Liki memegang salib berbaju, dan aku membakar kemenyan serta berbisik komat-kamit memanggil sang arwah agar sudi datang ke “pesta kecil” kami ini. “Barek…..barek…….” kata Hasan Liki tiba-tiba dalam bahasa Minangkabau, setelah merasakan salib berbaju kaos itu agak sedikit berat dari biasanya. Aku gembira dalam hati, dan sambil sedikit tersenyum aku menanyakan, arwah siapa yang sudi datang ini. Diatas secarik kertas yang kami sodorkan, jailangkung itu membungkuk dan menulis namanya, yaitu nama seorang Jenderal yang telah meninggal puluhan tahun yang lalu.. Hahhhh, semua kami yang mengelilingi jailangkung itu terkejut! Tidak begitu bagus tulisannya, namun kami bisa melihat dan membaca nama Jenderal itu., yang adalah Jenderal yang memimpin perlawanan rakyat dan tentara Indonesia melawan Belanda ditahun 1945 Kami menanyakan kepadanya, bila kami akan dibebaskan. Sang jailangsung menulis:“tidak akan dibebaskan”. Kami semua terkejut. termasuk beberapa kawan-kawan yang diam-diam ikut menyaksikan permainan itu. Dengan berbisik aku bertanya lagi: “lantas akan diapakan ?” Jailangkung menjawab dengan tulisan: “dibunuh”. Dengan gemetar, kami bertanya lagi “kapan?” Kertas kubalikkan. Dan pada halaman yang bersih, dia menulis: “tanggal 23!” Kami semua menjadi gemetar karena sesungguhnya malam ini adalah 22 Juli dan besok adalah 23 Juli. Ini berarti menurut Jailangkung kami akan dibunuh besok! Aku tidak memberi komentar apa-apa. Kuakhiri permainan itu dengan mengucapkan terima kasih kepada jailangkung dan menyuruhnya kembali ke tempat asalnya. Sebenarnya, aku sendiri sudah tahu bahwa jawaban jailangkung itu pasti begitu. Dia sebenarnya ngarang menurut kemauan naluri kita. Aku berpengalaman disekolah tentang Jailangkung!

Riau Berdarah |

63

Kami tetap sadar, bahwa lambat atau cepat, pasti kami akan dibunuh oleh PRRI sebagaimana kawan-kawan lain. Namun, aku gembira yang jailankung “menetapkan” tanggal 23—besok—sebagai waktu pembunuhan terhadap kami. Dan hal ini kurasa sangat baik sekali untuk menarik opini kawan-kawan sekamar dan menutup kemungkinan untuk “rahasia” ini menjadi bocor. Karenanya, harus bertindak malam ini juga! Aku mendatangi teman-teman yang telah kembali ketikarnya masing-masing dan menanyakan bagaimana pendapat mereka mengenai hal ini. Aku mengatakan, apakah kita harus menunggu sampai tentara pemberontak datang membunuhi kita ? Temantemanku kebingungan dan bertanya , apa yang mesti kita perbuat ? Aku menjawab pasti : “kita harus melarikan diri, malam ini juga, kalau tidak mau terlambat, atau bocornya rahasia ini ! Yang mau, ayo ikut. Yang tak mau, atau tak sanggup, boleh tinggal “ Bisikanku ini disokong oleh Pak Darwis, Pak Hamdah, Sidi Barabanso dan juga Aziz Jamin. Akhirnya, kuketahui, lebih separo isi kamar setuju untuk ikut. Aku benar-benar tak tahu, mengapa aku punya semangat dan keberanian untuk bicara sedemikian itu. Mereka tahu, bahwa di barak itu hanya aku dan Kambasli yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas, jadi mungkin mereka mendengarkan kata-kata kami. Dengan berbisik aku mengatakan kepada mereka, bahwa “lebih baik mati menjadi santapan harimau di hutan, dari pada mati tak melawan di tangan pemberontak”. Malam itu, dua puluh lima orang kawan menyetujui untuk ikut melarikan diri. Aku mengatakan kepada Kambasli, bahwa sedikit atau banyak kawan yang mau ikut, kita harus keluar malam ini juga. Karena kalau ditunggu sampai pagi, rahasia bisa bocor, dan kita berdua, kau dan aku, yang akan mati anjing terlebih dahulu! Kambasli mengangguk, menyatakan persetujuan akan ucapanku ini. Kukatakan pada teman-teman, jangan bicara apa-apa, persiapkan diri dan apa yang penting saja untuk dibawa, kalau bisa cukup dengan hanya pakaian yang melekat di badan.

Aku menyadari, bahwa rencana ini adalah rencana yang maha berbahaya. Risikonya hanya satu yaitu mati. Mati di hutan atau mati di tangan pemberontak. Mana yang mesti dipilih ? Masih terngiang di telingaku kata-kata semangat yang kukatakan kepada teman-teman: “lebih baik mati dimakan harimau di hutan daripada mati tak melawan di tangan pemberontak”.Kata-kata yang penuh semangat ini mendengungdengung di telingaku. Darimana aku mendapat semangat dan keberanian begini? Aku tak tahu! Hanya Tuhan yang Maha Mengetahui! Pukul satu tengah malam, hujan lebat tak jua kunjung berhenti. Kurasa setiap orang di barak lain sudah tidur nyenyak bahkan mungkin mendengkur dalam tidurnya. Begitupun juga barangkali, 3 orang pengawal, yaitu pegawai penjara yang sudah tua, yang beberapa bulan lagi akan pensiun! Sambil berbaring berpura-pura tidur, teman-teman dengan hati penuh debar sudah bersiap. Kuminta kawan Aziz Jamin dan Kiram yang berasal dari kota Sungaipenuh yang tahu jalan agar memimpin kami. Kuserahkan tang pemotong kawat yang masih baru kepadanya. Kira-kira pukul satu tengah malam, perlahan-lahan kami bangun dan membuka pintu besi bagian ujung barak. Pintu agak berdenyit waktu dibuka disebabkan karat, namun karena hujan yang lebat bunyi derit gembok dan pintu besi yang berkarat itu tidak terdengar. Kira-kira tiga meter dari pintu ini, di sebelah luar, adalah pagar kawat berduri yang mengelilingi area penjara . Aziz Jamin memotong kawat berduri itu dengan tang pemotong yang baru dan tajam. Kawat dipotong dan dibengkokkan keluar selebar mungkin agar badan atau pakaian jangan tersangkut waktu kami menerobos keluar. Satu persatu kami keluar, mengikuti Aziz Jamin dan Kiram, berjalan dengan cepat menuju keatas bukit di belakang penjara dimana air paritnya mengalir bertambah deras karena hujan yang tiada hentinya. Kami terus menuju puncak bukit yang bersambung dengan hutan belantara yang tidak begitu jauh. Kami terus berjalan sambil berlari, berlari….. belari……lari….mengejar waktu menuju hutan. Akhirnya, setelah berlari beberapa jam dan melalui jalan setapak, menjelang pagi, sampailah kami di tengah hutan belantara, rimba Kerinci. Sekeliling

Riau Berdarah |

65

kami hanya pohon-pohon kayu yang cukup besar. Kami coba untuk menghitung anggota rombongan……. 22 orang! Hah, janjinya 25 orang yang sepakat dan akan ikut melarikan diri. Kemana yang 3 orang lagi? Kami coba mengingat-ingat nama kawan-kawan itu. Kami menjadi risau dan khawatir, apa yang terjadi atas mereka.. Aku tahu, 13 orang yang tua dan tak mampu, seperti Pak Darwis, Pak Hamdah dan Sidi Barabanso yang asmatik dan lain-lain akan tinggal di barak, tidak ikut serta. Mereka menyatakannya padaku dan mendoakan agar kami selamat. Apakah mereka yang 3 orang tidak jadi ikut? Bagaimana dan apa yang terjadi? Kami tak tahu! Di Hutan Belantara Sumatera Pagi itu, kami mencari apa saja yang dapat kami makan di dalam hutan itu. Daun-daunan, umbut atau buah kayu yang tidak beracun serta keladi hutan. Karena Aziz Jamin dan Kiram adalah putra daerah Kerinci yang pasti mengetahui selukbeluk daerah Kerinci, maka kuanjurkan agar mereka terus menjadi pimpinan rombongan ini. Mereka telah membawa kami selamat keluar penjara! “Aku biarlah cuma jadi anggota!”, kataku sambil tersenyum lebar. Mereka tertawa, dan Kiram mengusap-usap kepalaku! Aku tahu, bahwa Aziz Jamin adalah pimpinan komite partai di daerah Kerinci ini, jadi seyogyanyalah ia mendapat kehormatan untuk memimpin rombongan pelarian di daerahnya ini. Sambil berjalan di hutan yang lebat di antara pohon-pohon kayu yang besar dan tinggi itu, mata kami tak henti-hentinya memperhatikan kalau-kalau ada kemungkinan sesuatu bahaya. Apakah itu, ular, harimau, beruang dan binatang buas lainnya, ataukah manusia. Kami mesti berhati-hati-hati. Di antara kesemuanya ini, manusialah yang paling berbahaya. Karena andai seorang manusia mengetahui dimana kami berada ia akan bisa memanggil pasukan yang akan memusnahkan kami. Begitu berbahayanya jika ada manusia, atau peladang yang melihat kami. Kami tidak dapat berjalan jauh di hutan yang gelap itu. Lagipula, kami tak tahu, kemana kami harus mengarah, karena dari bawah pohon-pohon besar itu susah untuk bisa melihat arah matahari terbit

atau terbenam. Malam itu adalah malam pertama pelarian kami. Kami tidur di tanah dengan membentuk lingkaran. Esoknya, di saat pagi masih berembun, teman yang yang berjaga di atas pohon melihat sesosok tubuh manusia berkelebat dan mendekati tempat persembunyaian kami. Dia menyandang sebuah keranjang rotan yang panjang di belakang bahunya, sedang tangan kananya memegang sebatang tongkat, atau mungkin juga tombak. Keranjang yang disandangnya itu adalah keranjang yang khas bagi para peladang atau orang asli di pedalaman. Dia berjalan mengendap-endap sambil melihat keliling, kekiri dan kekanan, dan nampaknya sangat mencurigakan. Kami telah bersiap sedia. Setiap kami berdiri bersembunyi di balik pohon. Demi keselamatan kami, kami harus menangkap orang ini. Kiranya, mata orang itu cukup jeli. Dia dapat melihat gerak dan bayangan kami yang bersiap sedia di balik pohon, dalam udara pagi yang dingin dan berembunitu!.Dengan suara lantang sambil mengepalkan tangannya ke udara, ia berteriak ”bebasss!”. Hah, ……………? ! Kami terheran-heran mendengar suaranya ini. Sejurus kemudian Aziz Jamin dan Kiram keluar dari persembunyian, mendatangi dan memeluk orang ini! Kiranya orang ini adalah anggotanya di daerah Kerinci dan bernama Johor. Kami semua keluar dari persembunyian dan bersalaman dengan kawan ini. Ia menurunkan keranjang yang disandang di punggungnya dengan tali yang melilit di keningnya, serta mengeluarkan nasi bungkus yang dibawanya dan membagikannya kepada kami satu persatu. Kami memakan nasi bungkus yang dibawanya itu dengan lahap dan terima kasih karena kami memang lapar. Dua puluh empat jam tanpa makan, kecuali umbut dan daun-daun hutan. Selesai makan dan minum air sejuk dari dalam bejana labu kering yang dibawanya, kami mengucapkan terima kasih. Seorang teman menanyakan—aku tak ingat siapa—mengapa Johor ini membawa nasi bungkus persis dengan jumlah kami ditambah dengan untuk dirinya. Dia bercerita dalam bahasa Minangkabau logat Kerinci, bahwa pihak tentara pemberontak sangat marah karena jebolnya penjara dan larinya 25 orang tahanan. Mereka menduga, ini adalah perbuatan Tentara Pusat, karena kawat berduri yang dipotong, dibengkokkan keluar. Ini berarti,

Riau Berdarah |

67

menurut dugaan mereka, sipemotong adalah dari luar penjara. Mereka menduga sekurang-kurangnya satu kompi Tentara Pusat mengambil tahanan ini. “Pemikiran yang singkat dan bodoh” kataku menyela.dan menyalip pembicaraan bung Johor. “Kalau memang ada satu kompi Tentara Pusat di sini, mereka bisa membebaskan semua tahanan dan merebut kota Sungaipenuh dari tangan pemberontak!” Kemudian bung Johor melanjutkan ceritanya, bahwa dimalam itu, karena gelap dan hujan, tiga orang tahanan merasa kehilangan jejak, tidak dapat melihat kemana kawan yang lain mengarah, karenanya mereka mengikuti jalan raya yang kemudian dapat ditangkap oleh tentara pemberontak yang melakukan patroli dengan kendaraan jeep. Mereka disiksa dan dipaksa menggali lobang untuk kuburannya. Sementara mereka menggali kubur, di dalam lobang, mereka direjam dan dihantam dengan batu-batu yang cukup besar dan berat, sehingga kaki dan tangan mereka patah dan kepalanya menjadi merah penuh darah.Kemudian, lobang itu ditimbun begitu saja. Entah mereka sudah mati, atau belum ketika lobang ditimbun, tidak seorangpun yang tahu. Johor mengatakan bahwa seseorang mendengar tentara pemberontak bercerita bahwa 3 pelarian yang berasal dari Solok, Sawalunto dan Kayu Aro dapat ditangkap dan diamankan.. Aku menjadi ingat, akan ketiga mereka itu. setelah Johor menyebut nama ketiga tempat atau kota ini. Mereka memang telah menyatakan padaku, untuk ikut melarikan diri. Mereka itu adalah Syair dari Solok, Abdul Menak dari Sawah Lunto dan pak Selamet dari Kayu Aro. Aku tak dapat menahan sedu dan tangisku mendengar itu semua. Bahkan kini, saat aku aku menulis cerita ini, mataku masih berkaca-kaca mengingat dan mengenang wajah mereka, terutama pak Selamet, yang senantiasa baik dan dekat denganku selama dalam tahanan di Sungaipenuh. Kami semua dengan dipimpin oleh Aziz Jamin mengheningkan cipta untuk pengorbanan mereka yang mengenaskan itu. Aku benar-benar menangis, menitikkan air mata dan tenggorokan yang sakit. Ini adalah konsekwensi perjuangan untuk mencapai kebebasan! Sebelum berpisah, Aziz Jamin meminta Johor untuk menyediakan alat-alat yang kiranya kami perlukan dan bisa dipergunakan untuk perjalanan di dalam hutan. Johor adalah orang kampung, peladang

yang sering keluar masuk hutan, jadi ia tahu pasti apa yang diperlukan di dalam hutan. Malam harinya, kami tidur, masih di sekitar tempat itu. Di sebatang kayu yang cukup besar kami duduk di tanah dan bersandar mengelilingi kayu itu. Enam atau tujuh orang duduk bersandar membelakangi pohon kayu. Ini untuk menjaga kalau-kalau ada binatang buas yang mendekat, jadi bisa segera nampak. Esok harinya, Johor datang lagi mencari kami. Kami tidak berada persis di tempat kemarin, namun di tempat lain yang sedikit agak jauh. Hal ini kami lakukan untuk menjaga kemungkinan. Siapa tahu, sekembalinya dari menemui kami kemarin ia ditangkap pemberontak dan dipaksa menunjukkan dimana kami berada, maka hal ini akan sangat berbahaya. Lebih baik berhati-hati daripada menyesal seumur hidup. ( atau tidak bisa menyesal lagi karena tidak hidup ?! ). Kiranya Johor dengan mudah dapat menemukan dimana kami.Hutan ini adalah daerahnya, ia tahu segala sudut dan pelosoknya. Kami jelaskan padanya mengapa kami tidak ditempat kemarin. Dia tertawa sambil berkata “Memang mesti begitu seharusnya!” Dari keranjangnya yang nampak berat, dikeluarkannya nasi bungkus untuk kami. Kami menerima nasi bungkus itu dengan gembira dan melahapnya dengan rasa terima kasih. Disamping itu Johor juga mengeluarkan beberapa buah parang panjang, pisau, dan juga bahan-bahan seperti garam, dan sebuah tukik api serta sebotol kecil bensin dan batu api. Ini diperlukan di dalam hutan, kata Johor. Aku mendapat sebuah parang panjang yang sangat tajam. Johor mengatakan bahwa parang itu terbuat dari besi baja per mobil. Kalau pandai mengasahnya, akan sangat tajam. Sedang temanku Kambasli mendapat tombak yang sebelumnya dipergunakan oleh Johor sendiri. Setelah berbincang-bincang beberapa lama, dan menanyakan padanya arah mana yang harus ditempuh untuk ke selatan, karena matahari tak dapat dilihat dari bawah pohon-pohon yang besar, maka kamipun berpisah. Masing-masing kami berpelukan dengan Johor menyatakan rasa terima kasih kami dan selamat berpisah. Dengan air muka yang sedih, ia meninggalkan tempat itu, kembali kekota. Sedang kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menembus hutan belantara Sumatera di daerah Kerinci itu, menurut arah yang

Riau Berdarah |

69

ditunjukkan Johor. Malam hari, jika kami tidak dapat duduk bersandar membelakangi pohon, kami tidur berkumpul membuat lingkaran guna menghindari binatang-binatang buas yang kemungkinan berkeliaran. Namun umumnya kami susah untuk tidur karena banyaknya nyamuk, yang mendengung-dengung, seolah-olah ingin menelan telinga, sebelum mengisap darah dari tubuh kami. Di pagi hari, dengan berpedomankan matahari yang kami sudah bisa lihat dari celah-celah pohon kayu, kami meneruskan perjalanan menuju ke selatan. Tujuan kami adalah Sumatera Selatan, yang barangkali sudah dibebaskan oleh Tentara Pusat. Aku tak tahu pasti apakah Sumatera Selatan juga turut memberontak seperti Sumatera Tengah, karena kudengar bahwa disitu juga berdiri “dewan garuda”, seperti Sumatera Tengah yang punya “dewan banteng” penggerak PRRI. Suatu waktu, kami sampai di suatu tempat, suatu puncak dimana berada suatu batu empat persegi setinggi kurang lebih satu meter yang terbuat dari semen. Kuingat, teman-teman mengatakan bahwa ini adalah puncak gunung “Kerongsong”. Di atas batu semen tersebut tertulis: “+ 1602”. Ini berarti bukit atau gunung Kerongsong ini berketinggian 1602 meter dari permukaan laut. Sampai sekarang aku masih ingat akan angka ketinggian itu, karena waktu aku melihatnya, aku menjadi ingat akan pelajaran sejarah di sekolah. Angka 1602 ini adalah angka tahun berdirinya VOC, organisasi perusahaan kolonialis Belanda yang menguras hasil-hasil bumi Indonesia dan dibawa ke Eropah, dan permulaan zaman penjajahan Belanda terhadap Indonesia yang mereka sebut Hindia Belanda! Di atas batu empat persegi itu aku berdiri, melihat serta menjelaskan kepada teman-teman kearah mana kita harus pergi. Aku berpedomankan matahari dan peta pulau Sumatera dan daerah Sumatera Tengah yang terpateri di benakku. “Sekarang, kira-kira pukul sepuluh pagi”, kataku pada teman-teman. “Aku menghadap kematahari terbit, ini berarti menghadap ke Danau Kerinci atau Selat Malaka, terus ke Pilipina dan lebih jauh lagi ke Jepang. Sedang tangan kiriku mengarah ke utara, yang berarti ke Padang, Solok atau Timbulun. Dan tangan kananku kalau kurentangkan akan menunjuk selatan, yaitu Jambi, Sumatera Selatan atau Muko-Muko. Nah, kita

pergi kakanan, ke Sumatera Selatan”, kataku. Tiada bantahan dari teman-teman. Satu persatu, mereka berdiri diatas batu yang menunjukkan ketinggian 1602 meter dari permukaan laut itu dan melihat lautan Hindia dan Danau Kerinci atau Selat Melaka.yang membiru nun jauh disana. Berpedomankan matahari, kami melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Dengan terseok-seok serta terjingkat-jingkat, karena kaki yang mulai luka, sakit dan membengkak, kami berjalan menuruni bukit itu. Beberapa puluh meter berjalan menuruni bukit, kami melihat jejak tapak harimau. Cukup besar tapak itu. Kami berjalan berdekatan satu sama lain, dan siap dengan senjata kami parang dan tombak. Ku katakan kepada teman-teman bahwa dugaanku, harimau ini pasti menuruni bukit untuk mencari air. Kalau teman-teman setuju, kita harus mengikuti jejak ini sampai mendapatkan mata air, kemudian kita ikuti mata air itu kehilir, sampai menjadi sungai, karena setiap sungai tentu pergi kelaut. Dan kita bisa berjalan menepi pantai menuju Sumatera Selatan. Teman-teman tidak menampakkan bantahannya. Kami ikuti jejak harimau itu. Benarlah dugaanku ! Kami sampai dan menjumpai suatu mata air yang jernih sekali, menyembur dari dalam tanah. Kami mengikuti aliran mata air itu hingga menjadi sungai kecil yang sangat jernih airnya.laksana kaca. Kami berjalan di siang hari mengikuti aliran sungai itu dan mencari tempat berlindung dan istirahat di malam hari. Sambil berjalan di air sungai yang dangkal itu, kami mencari dan memilih batu-batu yang sangat indah untuk dibuat batu cincin. Kami kumpulkan satu persatu. Ada yang dinamakan batu kecubung, batu lumut, batu akik, batu jangek, pirus, batu air karena jernih macam kaca, dan lain-lain. Kami kumpulkan dan simpan batu-batu itu satu persatu. Setelah 4 hari lamanya kami mengikuti aliran sungai itu, sampailah kami di suatu tempat yang aliran sungainya agak lebar. Beberapa teman melihat bahwa tidak jauh dari tepian sungai itu ada rumah penduduk. Aziz Jamin pergi menyelidiki tempat itu sedang kami mencari tempat sembunyi. Tidak begitu lama kemudian, ia kembali tergopoh-gopoh mendapatkan kami, sambil terengah-engah dan bersuara “ Lari…..lari…..lebih jauh ke dalam hutan! Rumah itu adalah

Riau Berdarah |

71

rumah Mayor PRRI. Tempat ini bernama Sako!” katanya sambil lari dan memaki dalam bahasa Minangkabau! Kami tidak tunggu lama-lama. Seperti rombongan babi hutan yang terkejut, kamipun berlari masuk lebih jauh ke dalam hutan mengikuti Aziz Jamin. Di tempat yang dirasa agak baik, jauh dari sungai, kami berhenti untuk istirahat dan bermalam tanpa berani membuat api unggun. Belakangan, kudengar cerita bahwa rumah itu adalah

rumah Mayor Nawawi, pemberontak PRRI yang lari dari Sumatera Selatan karena dikejar oleh Kesatuan Tentara yang loyal kepada Pemerintah Pusat, NKRI. Esoknya, kami melanjutkan perjalanan. Tidak lagi mengikuti sungai yang nyatanya berbahaya. Aziz Jamin yang tahu akan daerah ini, mengatakan akan mengunjungi seseorang untuk mendapatkan bantuan. Dengan mengendap-endap, dia pergi meninggalkan kami.. Sekitar sore hari, dia kembali dengan seorangtua yang bernama Johor bergelar Datuk Juara Halus. Dialah yang akan menjadi penunjuk jalan. Menurut Aziz Jamin, orangtua ini adalah anggota komunis angkatan 1926 yang kuat ilmu batinnya. Menjelang senja, kami keluar dari persembunyian. Setelah berjalan beberapa kilometer barangkali, kami sampai di tepi hutan. Dengan melalui tanah persawahan yang pada saat itu kering tanpa tanaman, kami menuju dan melewati sebuah kampung. “Dalam berjalan, jangan ada yang bersuara” perintah Datuk Juara Halus. Kami mengikuti perintahnya itu, berjalan tanpa membuka suara. Tepat menjelang magrib, kami memasuki kampung yang aku tak tahu namanya. Kami berjalan seperti berbaris dengan Datuk Juara Halus di depan sebagai komandan. Perjalanan ini kurasa sangat aneh sekali. Di depan beberapa rumah, kulihat beberapa anak-anak bermain-main disenja magrib itu. Namun melihat barisan kami, mereka hanya terpaku saja. Begitupun beberapa ekor anjing yang sebelumnya berkeliaran, juga diam terpaku tanpa menggonggong atau menyalak. Aku jadi takjub akan ilmu batin yang di punyai orangtua ini. Pantas ia bergelar Datuk Juara Halus! Beberapa saat berjalan, sampailah kami di suatu belukar di sebuah anak sungai. Waktu itu saat Magrib sudah lewat, dan langit sudah

mulai gelap. Aziz Jamin dan Kiram serta Datuk Juara Halus, meminta kami menunggu di belukar di samping anak sungai itu, sementara mereka pergi kekampung untuk mendapat informasi dan bantuan. Kami menunggu di tepi anak sungai itu dalam kegelapan, basah kedinginan karena hujan gerimis, dan kelaparan! Nyamuk bersimaharajalela diatas tubuh kami. Sungguh, suatu tempat yang sangat tidak baik. Kucoba meminum air anak sungai itu, namun terpaksa harus kuludahkan karena rasanya air itu berpasir. Mungkin juga air itu keruh karena banjir. Kami tidak bisa melihat karena gelap. Setelah kurang lebih satu jam menunggu, mereka yang belum juga kembali. Kami mulai gelisah dan curiga, apa yang terjadi. Kami berpikir, kalau pemberontak dapat menangkap mereka dan memaksanya menunjukkan tempat kami berada, maka ini sangat berbahaya sekali, karena, menurut Hasan Liki, pemuda Kerinci yang ikut bermain Jailangkung, tempat ini tidak jauh dari kota Tapan, di mana kemungkinan besar, banyak tentara pemberontak di sana. Tanpa menunggu, kami ambil keputusan dan persetujuan. Kami tinggalkan tempat itu, dan terus berjalan menghilir mengikuti anak sungai itu. Dalam malam yang gelap dan hujan gerimis, kami berjalan terus…..terus sampai kesuatu tempat dimana sungai yang tepiannya kami hiliri itu menjadi selebar kira-kira 30 atau 40 meter. Kami lihat di kedua tepian sungai itu ada jalan raya. Di kiri dan di kanan dimana sekarang kami berada. “Kearah mana kita mesti pergi…..?” Aku bertanya kepada teman-teman. Namun, jawaban teman-teman tidak sama. Ada yang mengatakan harus kekanan, dan adapula yang mengatakan harus kekiri, yang berarti harus menyeberangi sungai itu. Hasan Liki yang anak daerah, juga tidak tahu!. Aku coba memberikan pendapatku. “Kita datang dari hulu sungai” kataku. “Sekarang, dari hulu sampai di sini kita berada di sebelah kanan sungai. Setiap sungai di bagian ini, mengalir kelautan Hindia, berarti menuju ke Barat. Ini berarti juga bahwa kita sekarang berada di bagian Utara sungai ini. Kalau kita ikuti jalur jalan yang di sebelah kanan ini, maka kita akan kembali ke Tapan, ke Utara! Untuk ke arah Selatan, kita harus menyeberani sungai dan mengikuti jalan di seberang sana. Bagaimana pikiran kawan-kawan ?” aku menjelaskan dan minta keputusan mereka. Senyap! Tidak ada bantahan. Rupanya,

Riau Berdarah |

73

mereka setuju dengan pikiran yang kusampaikan dengan begitu jelas kepada mereka. Kami masuk ke dalam sungai dan menyeberanginya, menuju ketepian di sebelah Selatan. Kendatipun malam dan air sungai begitu dingin, namun untung juga kedalaman sungai hanyalah sebatas pinggang, sehingga tidak terlalu susah buat menyeberanginya. Kami tidak perlu berenang. Lebih beruntung lagi, karena tidak ada buaya, yang mungkin bisa menyantap kami. Begitu keluar dari sungai, kami menemukan jalan yang tidak beraspal menuju ke selatan. Dengan penuh hati-hati kami ikuti jalan itu. Beberapa ratus meter berjalan, kami lihat sebuah truk tentara diparkir ditepi jalan. Kami berlari menyembunyikan diri, sementara seorang kawan, kami kirim untuk menyelidikinya. Kiranya truk militer itu adalah truk rusak yang ditinggalkan begitu saja. Tidak ada bannya samasekali. Kami kembali mengikuti jalan yang tak beraspal itu dan melewati 3 buah kampung yang keadaannya sangat sunyi sekali. Mungkin karena di malam yang larut dan dingin itu, penghuni kampung lebih suka tidur di bawah selimut daripada di luar rumah. Ketiga kampung yang kami lalui itu, kemudian kudengar bernama Lunang, Sindang dan Silaut. Aku tidak tahu pasti urutan yang benar dari nama-nama kampung itu, karena aku tidak mempunyai petanya. Namun, itulah ketiga kampung yang kami lalui, yang terletak di selatan kota Tapan di Pesisir Selatan Kerinci, yang merupakan satu-satunya jalan darat menuju ke selatan, ke Sumatera Selatan. Karena kelelahan yang sangat, sebagian dari kami kadang-kadang tertidur sambil berjalan. Hal ini sungguh berbahaya. Melihat keadaan begini, kami sepakat untuk pergi bersembunyi ke dalam belukar di sebelah kiri jalan untuk beristirahat. Kami tertidur dengan pulas dalam belukar itu, dan terbangun ketika matahari menyengat tubuh. Untung tidak ada yang menjumpai kami. Kami kembali ke jalan yang berbatu kerikil itu dan meneruskan perjalanan menuju ke selatan. Tidak ada rumah, tidak ada kampung dan tidak ada manusia , kecuali kami. Semua sepi laksana mati. Yang ada hanya jalan berbatu kerikil tajam yang tidak terawat. Beberapa jam berjalan, sampailah kami ke suatu tempat dimana di situ hanya ada sebuah rumah dengan seorang penghuninya. Rumah

itu, katanya, adalah merupakan sebuah kedai kampung, tempat perhentian orang-orang yang berjalan atau penjelajah dari Selatan ke Utara dan sebaliknya. Aku tidak tahu pasti, apakah bisa tempat itu dikatakan kedai, karena tidak satupun yang nampak dijual di situ. Sedang teh atau kopi ataupun nasi, hanya akan dipersiapkan jika ada permintaan. Si penjaga kedai yang cuma seorang lelaki separo baya menanyakan kalau-kalau kami menginginkan sesuatu, teh, kopi atau nasi beserta sayur. Kawan-kawan berpandangan satu sama lain dan mengangguk perlahan. “Ya, kalau ‘mamak’ tak keberatan, tanaklah nasi buat kami. Kami sudah lama tak makan nasi” kataku lembut. Kupanggil dia ‘mamak’, yang berarti paman, sebagai panggilan penghormatan bagi orang-orang tua Minangkabau. Dia bergegas memasak nasi dan membuat sayur daun ubi kayu. Beberapa orang diantara kami, membantunya termasuk aku dan Kambasli. Sedang sebagian karena lelahnya, meneruska tidurnya.. Sambil bekerja membantu mempersiapkan makanan , aku mendapat cerita dari si pekedai bahwa beberapa minggu yang lalu, ada serombongan militer yang menuju ke Tapan dari Muko-Muko. Mereka nampaknya tergesagesa. Mereka memakan apa yang waktu itu tersedia disini. Untung tidak banyak yang saya punyai, jadi walaupun mereka tidak membayar, saya tidak begitu dirugikan. “Kenapa mereka menuju Tapan?” tanyaku. “Karena mereka dikejar oleh Tentara Pusat dari Selatan” jawab sipekedai. “Sekarang Tentara Pusat menetap di seberang sungai, enam kilometer dari sini” lanjutnya. Sambil berbincang-bincang ke hulu dan ke hilir, nasi yang ditanakpun selesailah. Begitupula dengan sayur daun ubi kayu bersantan yang dicampur dengan ikan salai, yaitu ikan yang di asap diatas paran dapur kayu api. Bau harum sayur daun ubi dengan ikan salai ini, menusuk hidung dan perut, membuat yang tidur karena lelah dan lapar, menjadi terbangun. Masing-masing kami, makan dengan lahap, nasi dengan sayur santan pucuk ubi bercampur ikan salai itu. Karena tiada cukupnya piring, sebagian kawan menggunakan daun pisang yang dipincuk sebagai piringnya. “Lamak bana!” kata kawankawan Minangkabau. Memang sungguh, terasa sangat nikmat sekali nasi beserta sayur pucuk ubi bersantan serta ikan salai itu! Bayangkan,

Riau Berdarah |

75

15 hari dalam hutan belantara Sumatera, tanpa makan apapun kecuali umbut kayu dan tumbuh-tumbuhan hutan seperti empulur pisang hutan, keladi hutan atau sesekali bila beruntung, bertemu dengan batang enau, kami tebang dan makan empulurnya yaitu isi di dalam batangnya. Keadaan kesehatan kami sungguh sangat menyedihkan. Badan kurus tidak bertenaga, tapak kaki bengkak dan bernanah karena berjalan di hutan tanpa sepatu…. Sungguh, rasanya, kami berada dalam penderitaan yang tak terkatakan. Kami nikmati nasi dan sayur pucuk ubi dari penjaga kedai itu dengan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sesungguhnyalah, kami bersyukur karena kami masih hidup dan masih dapat merasakan betapa enaknya nasi dengan gulai santan pucuk ubi bercampur ikan salai itu…….. Selesai makan, setelah kami beristirahat sebentar membiarkan nasi turun keperut, setelah setiap kami merasa kenyang, aku melirik dan berbisik kepada teman-teman, menanyakan, bagaimana cara membayar makanan yang telah kami makan itu. Masing-masing menggelengkan kepala. Mereka tidak punya apapun yang bisa digunakan untuk membayar! “Mamak…….!” Aku berkata kepada si pekedai. “ Kok nasi jo gulai, kironyo lah kami makan. Kok teh jo kopi lah kami minum. Indak elok rasonyo, kok kami pai baitu sajo. Kok bulieh ambo batanyo, bara kironyo utang kami ka mamak……..!” (Kugunakan dialek Minangkabau sebisaku, dalam berdialog dengan si pekedai, yang kalau di Indonesia-kan kurang lebih akan berbunyi begini “Paman……..!” Aku berkata kepada si pekedai. “ Jika nasi dengan gulai, kiranya sudah kami makan. Jika teh dan kopi sudah kami minum. Tidak baik rasanya, kalau kami pergi begitu saja. Jika boleh saya bertanya, berapakah kiranya hutang kami kepada paman………!”) “Ambo tau, apak-apak dalam sansaro” si pekedai menjawab. “Tapi, kok apak-pak lai bapunyo, agiahlah ambo pitih untuak mambali bareh nan lah di tanak sabanyak duo ratuih rupiah. Ambo tahu nan ambo mesti manolong apak nan sansaro, tapi baa-lah, ambo juo urang misikin indak punyo apo-apo” (“Saya mengetahui, bapak-bapak adalah dalam sengsara” si pekedai menjawab “Namun, jika bapak-

bapak mempunyainya, berilah saya uang untuk membeli beras yang sudah dimasak sebanyak dua ratus rupiah. Saya tahu bahwa saya harus menolong bapak yang sengsara, tetapi bagaimanalah, saya juga orang miskin tidak punya apa-apa” Kata-katanya yang penuh ketulusan ini sangat menyentuh hati kami. Aku merasa bersyukur, karena beberapa minggu sebelum saat pelarian kami, aku menjual jam tanganku merk Titus Automatik, yang ditahan penguasa dan dikembalikan kepadaku ketika kami berada di Timbulun saat dijanjikan akan “dibebaskan” di Sungaipenuh. Jam tangan ini kujual kepada seorang petugas penjara di Sungaipenuh dengan harga 610 rupiah. Dengan uang yang kusimpan sangat hatihati itu, dapatlah aku membayar hutang makan kami kepada s i pekedai. Semua bergembira, sipekedai dan juga teman-temanku. Aku sendiri juga gembira, karena dapat berbuat sesuatu untuk teman-teman senasib. Bertemu Tentara Pusat Karena hari masih siang, sekitar pukul 12 tengah hari, guna menjaga segala kemungkinan, maka kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dengan tubuh yang merasa sakit, tapak kaki yang bengkak dan bernanah serta perut yang kekenyangan dan rasa ingin tidur, dengan terseok-seok kami terpaksa melanjutkan perjalanan di atas jalan berbatu kerikil tajam itu. Sungguh di luar dugaan kami, jalan berkerikil yang cuma 6 kilometer itu, kami tempuh selama setengah hari! Ini berarti satu jam kami hanya bisa maju satu kilometer! Begitu parahnya keadaan kami! Menjelang senja, kami sampai dan berhenti di tepian sebuah sungai. Di sungai itu ada sebuah rakit yang dihubungkan dengan kabel ke kedua tepian Di seberang sungai, yaitu di selatan, berdiri seorang militer lengkap dengan senjata yang siap ditembakkan. Tentara itu berteriak kearah kami “ada senjata? Taruhkan di atas rakit!” Tanpa menunggu kami mengumpulkan segala parang dan tombak dan meletakkannya di atas rakit yang kemudian ditarik ke seberang, kearahnya. Setelah mengumpulkan senjata-senjata tajam itu, ia

Riau Berdarah |

77

menarik kembali rakit ke arah kami, dan kami naik ke rakit menuju ke seberang. Dua atau tiga kali ini dilakukan, semua kami berhasil ke seberang. Tempat ini bernama Lubukpinang, yang merupakan daerah terdepan dari Tentara Pusat yang diwakili oleh Mobile Brigade 5159. Sesaat setelah kami sampai di tempat itu, sebuah jeep militer datang berhenti. Seorang perwira turun dari jeep dan bertanya: “Berapa orang semuanya? Dua puluh dua?” “Lho kok bapak tahu?” seorang di antara kami bertanya, tanpa menyebut tentang Aziz Jamin dan Kiram yang kami tinggalkan. “Ah, kami kan Tentara Pusat” katanya sambil tersenyum lebar dan memerintahkan bawahannya untuk merawat kami. Kami dibawa dan berjalan kebarak militer yang tidak berapa jauh dari tepian sungai itu. Di sana kami disuruh beristirahat. Seorang militer memanggil dua orang di antara kami dan dibawanya keluar barak. Kami tak tahu untuk apa mereka dibawa, karena hari telah menjelang senja. Suara-suara burung hiruk pikuk di sekitar daerah itu untuk mencari dahan bertengger tempat bermalam. Di dalam barak, kami yang tinggal merasa cemas dan kuatir akan kedua orang teman yang dibawa keluar oleh militer itu. Apa yang akan diperbuat? Tiba-tiba terdengar oleh kami bunyi tembakan senjata api. Kami merasa takut dan kuatir serta berpandangan satu sama lain. “Ah, habislah riwayat teman kita!” salah seorang di antara kami berbisik lirih. Kemudian, terdengar lagi bunyi tembakan . “Ah, tamatlah sudah mereka!” Dengan keadaan yang mencemaskan ini, kami tak tahu apa yang mesti diperbuat. Takut, cemas….ragu ….takut….ah,…..tak tahulah! Tiba-tiba, beberapa menit setelah bunyi tembakan itu, kedua kawan yang kami sangka “sudah tamat” itu kembali menyandang dua ekor burung enggang yang cukup besar yang ditembak oleh similiter. Kami merasa lega dan bersyukur, serta tertawa satu sama lain. “Kalian masaklah burung ini, dan juga masak nasi untuk kalian makan. Kalian tentu lapar!” ucap sang prajurit Mobrig itu sambil membawa beberapa orang teman kedapur dan menunjukkan peralatan dapur dan memberi beras serta bumbu untuk memasak burung enggang.. Tiada yang dapat kami katakan selain ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Malam itu, setelah selesai makan nasi berlaukkan gulai burung enggang, dengan mobil militer kami dibawa kesuatu tempat yang

belakangan kudengar bernama Muko-Muko. Kami ditempatkan d suatu rumah bertiang tinggi yang kosong yang ditinggalkan oleh pemiliknya, seorang pemberontak yang melarikan diri kearah Sungaipenuh di saat Tentara Pusat datang . Di situ, untuk pertama kalinya sejak keluar dari penjara, kami tidur di bawah atap. Para tentara tidak mengawal kami di rumah itu. Kami seolah-olah bebas sudah, tanpa ada pengawalan. Esoknya seorang anggota Mobrig datang ketempat kami membawa beras dan lain perbekalan beserta seorang juru kesehatan militer yang memeriksa dan memberi kami suntikan antibiotik, karena tapak kaki yang penuh luka dan bengkak bernanah. Setelah kurang lebih dua hari kami berada disitu, Aziz Jamin dan Kiram datang dan ditempatkan bersama kami. Temanku Amirudin, yang tak dapat menahan emosi-nya, marah kepada kedua teman itu, dan menuduhnya “penghianat”, membiarkan kami menunggu di belukar waktu malam hujan gerimis. Mereka berdua meminta maaf dan Aziz Jamin menjelaskan, bahwa sesungguhnya ketika mereka baru sampai ke tempat temannya, tentara pemberontak mengetahu inya, dan mereka melarikan diri berputar-putar menghindari tempat di mana kami berada. Ya, suatu hal yang menguntungkan, karena kami juga meninggalkan tempat persembunyian disebabkan kecurigaan, kedinginan dan banyaknya nyamuk. Andaikata kami tetap menunggu di sana dan tentara pemberontak menemukan kami, apa jadinya? Mereka pasti akan berpesta pora atas tubuh-tubuh kami! Sementara itu, karena di situ kami merasa bebas, dan dibolehkan untuk berjalan-jalan disekitar kota kecil itu, Aziz Jamin, menghubungi pimpinan PKI Bengkulu Utara yang saat itu di jabat oleh seorang putra daerah Bengkulu yaitu Sdr. Kabul Amin. Aziz Jamin menceritakan keadaan kami dan memberikan daftar nama, asal daerah serta jabatan dalam organisasi kami yang 22 orang , semasa belum ditangkap dan ditahan oleh PRRI di Sumatera Tengah. Setelah kurang lebih seminggu kami berada di Muko-Muko ini, dimana keadaan tapak kaki kami sudah boleh dikatakan membaik, dengan sebuah truk militer kami dipindahkan ke sebuah kota di selatan mengarah ke Timur sedikit kepedalaman, yang kudengar bernama Lahat. Mendengar nama kota ini, beberapa orang diantara kami jadi bergidik , “hah…..Lahat…? Lahat ini tempat yang

Riau Berdarah |

79

mengerikan…..!” katanya. Sesungguhnya, dalam ajaran Islam di Indonesia, yang dikatakan bahwa lahat atau liang lahat, adalah suatu lobang arah tempat kepala mayat seorang Islam diletakkan di dalam kuburan.. Jadi tak heran jika ada yang berperasaan ngeri dengan perkataan “lahat” ini. Kurang lebih sehari lamanya kami di dalam truk militer ini dengan badan yang tergoncang-gancang karena keadaan jalan yang buruk dan banyaknya sungai-sungai dangkal tanpa jembatan yang mesti di seberangi oleh truk militer ini. Kami sampai ke kota Lahat ketika hari menjelang senja. Di sini, kami dibawa ke komplek asrama militer Batalyon “B” Sriwijaya, yang komandan batalyonnya Mayor Yahya Bahar. Karena batalyon ini adalah juga Tentara Pusat, maka rawatan yang akan diberikan kepada kami—menurut dugaan kami— tidak akan jauh berbeda dengan rawatan yang diberikan oleh Mobrig Kompi 5159 di Muko-Muko. Namun, kiranya dugaan kami ini meleset. Kami diterima dan di tempatkan di suatu barak dalam asrama militer Batalyon “B” ini dan dikunci! Makan dan minum kami diberi, namun kami tidak diperkenankan untuk keluar dari kamar. Untuk ke toilet, kami harus berteriak memanggil penjaga. Tempat ini nampaknya menjadi “rumah tahanan” buat kami. Keadaannya hampir sama dengan rumah penjara di Muaralabuh Hanya saja di sini ada.jendela untuk ventilasi. Namun, kami seolaholah berada dalam kuburan. “Pantas tempat ini bernama Lahat!” seorang kawan memaki dan menggerutu. Beberapa hari kami berada dalam “tahanan” ini, dan dengan sebuah truk militer kami dibawa ke Palembang, ibukota propinsi Sumatera Selatan. Di sini, kami ditempatkan di suatu tempat yang seperti asrama yang nampaknya masih baru, di daerah yang bernama Sungai Buah. Kami mendapat cerita, bahwa tempat ini dibangun oleh Pemerintah untuk menahan para pemberontak PRRI yang menyerah ataupun tertangkap. Namun, ketika kami tiba disini, tak seorangpun yang berada disitu. Mungkin mereka yang pernah ditahan disini sudah dibebaskan. Keadaan tempat ini sungguh sangat berbeda, dengan segala tempat atau rumah tahanan yang pernah kami tempati. Tempat ini terdiri dari

beberapa leretan barak yang berdinding papan yang di cat putih, dan beratapkan seng. Setiap barak, terdiri dari 10 atau 12 kamar. Dan setiap kamar ada 2 dipan dengan kasur untuk tidur. Nampak seperti motel atau rumah tumpangan. “Beginilah pemerintah Indonesia merawat para tahanan politiknya” pikirku dalam hati. Kami merasa nyaman dengan keadaan rawatan yang baik ini. Makan dan minum juga teratur dengan baik. Bahkan kami bisa mendapatkan segelas susu setiap paginya. Sesekali, kami bisa juga membaca surat kabar bekas dari kantor asrama yang diberikan oleh penjaga kepada kami. Kami nikmati segala kebaikan pemerintah ini dengan rasa terima kasih. Entah berapa lama setelah kami berada disini, datanglah gossip yang sangat meresahkan kami. Semakin lama gossip itu semakin santer, bahwa kami akan dipindahkan ke penjara yang lebih aman, di bawah tanah kota Palembang. Aku tidak tahu pasti, apakah memang benar ada penjara di bawah tanah di kota Palembang, ataukah hanya sebutan untuk seseorang yang telah dihabisi nyawanya? Mati dan di kubur dibawah tanah? Aku tak tahu! Kami merasa sangat takut dan kuatir. Kalau memang ini terjadi, apa daya kami? Sementara itu, kami mendapat informasi bahwa penahanan kami disini adalah dalam status “pemberontak PRRI yang melarikan diri “ dari Sumatera Tengah. Oh Tuhan! Mengapa jadi begini? Kiranya, status “Tawanan pemberontak PRRI yang melarikan diri” diubah mereka menjadi “pemberontak PRRI yang melarikan diri”. Ini berarti bertolak belakang dan berputar 180 derajat! Kami merasa yakin bahwa “status” kami ini diubah ketika kami berada di asrama Batalyon “B” Sriwijaya di Lahat. Apakah perubahan ini dilakukan oleh Komandan Batalyon “B” Sriwijaya itu? Karena ketika kami berada di Muko-Muko, tepatnya di tepi sungai si Lubuk Pinang, sang perwira Mobrig mengetahui jumlah kami yang melarikan diri dari penjara PRRI. Kenapa sekarang, sesampainya di Palembang menjadi terbalik? Aku tak tahu! Berita yang kami dengar kemudian, Batalyon “B” Sriwijaya ini dikirim dan bertempur di Sungaipenuh Kerinci. Kami tidak tahu, apakah Batalyon ini berada difihak Pusat ataukah difihak PRRI ketika

Riau Berdarah |

81

bertempur di Sungaipenuh ini. Apakah mereka dikirim dari Lahat ke Sungaipenuh, dan setibanya di situ bergabung dengan pemberontak, aku tidak mengetahui dan bukan menjadi urusanku . Namun, satu hal yang kami merasa syukur, bahwa kami tidak mereka bawa serta, kembali ke Sungaipenuh, ke daerah Kerinci. Kami bersyukur dan berterima kasih kepada Yang Maha Esa! Tetapi, status kami yang mereka ubah menjadi “pemberontak PRRI yang melarikan diri”, ini berarti menempatkan kami sebagai musuh Pemerintah Pusat. Bagaimana harus memperbaikinya? Bagaimana harus meluruskan kembali hal ini, menjelaskan hal yang sebenarnya , bahwa kami adalah pembela Pemerintah Pusat? Satu-satunya jalan yang bisa kami lakukan, ialah mengirim surat ke kampung halaman, ke daerah masing-masing, menceritakan keadaan sesungguhnya dan meminta agar organisasi ataupun Partai. membuat petisi untuk pembebasan kami. Aku mengirim surat pada ayahku menceritakan hal ini, dan meminta ia membicarakannya dengan organisasi atau partai.. Namun, disamping itu, kami sesungguhnya terhitung masih beruntung, karena ketika kami berada di Muko-Muko, di Bengkulu Utara, kami dapat berhubungan dengan pimpinan Komite Partai— saudara Kabul Amin— dan memberikan nama serta jabatan kami dalam organisasi sebelum ditangkap PRRI. Keterangan mengenai keadaan kami ini, dikirimkannya ke Jakarta, dan dibicarakan di dalam DPR Pusat oleh seorang anggota DPR yang bernama Yusuf Ajitorop. Beliau kemudian terbang ke Palembang dan membicarakan persoalan kami ini dengan Kepala Daerah dan Penguasa Militer Sumatera Selatan. Kami sendiri tidak berjumpa dengan Yusuf Ajitorop, namun hanya mendapat beritanya. Sejak kedatangan anggota DPR-RI itu, keadaan pengawasan terhadap kami mulai sedikit berubah. Sesekali, kami diberi kebebasan, dibawa berkeliling kota dengan mobil militer pengawal. Kami lihat betapa lebarnya sungai Musi, yang ketika itu jembatannya sedang dalam pembangunan. Kami lihat juga betapa ramainya jalan 16 Ilir di kota Palembang itu. Sementara itu, beberapa orang termasuk diriku, menerima surat dari famili. Aku menerima surat dari ayahku sebagai balasan dari surat

yang kukirim sebulan yang lalu, yang menceritakan perihal “keadaan kami”. Soal pemutar balikan “status” dan kemungkinan akan menerima keadaan yang tidak mengenakkan, andai tidak ada bantuan dan perobahan. Dalam surat yang kukirimkan kepada ayah itu, kuminta agar organisasi membicarakannya , dan mengirim petisi kepada Pemerintah Sumatera Selatan agar kami dikembalikan ke tempat asal kami masing-masing di Sumatera Tengah.. Di dalam surat yang kuterima dari ayah, beliau menceritakan bahwa apa yang kutulis ditertawakan dan menjadi perdebatan yang sangat sengit di dalam organisasi bahkan Partai di Pekanbaru. Pimpinan Partai, dengan jengkel mengatakan bahwa Amiruddin— temanku—juga mengirim surat kepada ayahnya dan menceritakan bahwa keadaannya sungguh sangat baik, tidur di atas kasur dengan kelambu serta makan dan minum susu setiap pagi! Ayah menjadi sangat jengkel dengan Pimpinan Partai yang ketika itu dijabat kembali oleh Sidi Barabanso. Beliau ini adalah temanku sekamar di penjara Sungai Penuh, yang tidak ikut melarikan diri karena berpenyakit asthma. Kiranya Tentara Pusat telah membebaskannya beserta semua tawanan, di saat pemberontak telah bersiap untuk membunuh mereka semua. Tentara pusat menyerbu Sungaipenuh dari darat dan udara dan membebaskan semua tawanan. Syukur tidak terjadi hal seperti di Simun, Atar atau Situjuh di Batusangkar. Para tawanan, dari Sungaipenuh, dikembalikan ke daerahnya masing-masing oleh Tentara Pusat. Dan yang berada di Sumatera Barat, mereka bergiat membantu Tentara Pusat, dengan bergabung dalam organisasi yang disebut Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR). Umumnya, anggota OPR ini adalah dari golongan kiri, yang anti PRRI. Tiga atau mungkin empat bulan kami berada di asrama tahanan Sungai Buah Palembang itu, suatu hari, seorang perwira militer datang dan mengatakan agar kami mempersiapkan diri, karena besok akan dikirim ke Padang, Sumatera Barat. “Benarkah ini, pak ?” tanya seorang teman. “Ya ,benar” jawab si perwira itu dengan singkat lalu meninggalkan kami. Kami menjadi sibuk. Apa yang mesti kami persiapkan? Kami tak punya apa-apa!

Riau Berdarah |

83

Bahkan banyak di antara kami yang tak punya sepatu atau sandal. Ah, peduli amat! Yang pokok, kami masih punya nyawa dan semangat. Semangat untuk mempertahankan hidup pemberian Tuhan! Dikembalikan kedaerah asal Esoknya, sebuah truk militer menjemput dan membawa kami kelapangan terbang Talang Betutu. Kami berdiri dalam truk yang terbuka, dan dapat melihat kesibukan dan keindahan kota Palembang dipagi hari itu. Truk dengan dua orang militer yang mengawal itu, langsung menuju kelapangan dan berhenti di samping sebuah pesawat udara, yang kalau aku tak salah berjenis Dakota, berbaling-baling atau bermotor dua. Perwira militer yang kemarin memerintahkan kami supaya bersiap , telah berada di dekat pesawat terbang itu. Dan setelah ia menanda tangani sesuatu dari sebuah map, memberikannya kepada kedua Bintara Militer yang mengawal kami, dengan manis dan sopan Bintara itu mempersilahkan kami turun dari truk dan masuk kepesawat, di mana di tangga pesawat sudah menunggu seorang pramugari yang…… ah, kalau boleh kukatakan…… amboi….sangat cantik sekali….! Dengan senyum manisnya, sipramugari, mempersilahkankan kami memasuki pesawat dan duduk di kursi serta memasang sabuk pengaman. Kupikir, dia tentu merasa heran dengan para penompang pesawat kali ini, karena banyak di antara kami yang tidak bersepatu, bahkan seorang di antaranya yang berasal dari Transmigran Jawa yang ditangkap PRRI, hanya mengenakan terompah kayu, seperti terompah Cina atau Jepang. Atau, mungkin juga Pramugari maupun Pilot pesawat terbang ini telah diberitahu sebelumnya oleh fihak Militer tentang siapa kami! Sesudah kedua militer yang mengawal dan membawa dokumen mengenai kami memasuki pesawat, maka pesawatpun mulai bergerak dan meluncur laju meninggalkan lapangan terbang Talang Betutu. Kami merasa lega di dalam pesawat yang melayang di udara ini. Setelah diperbolehkan untuk melepas sabuk pengaman, aku berkata kepada Kambasli yang duduk disebelahku “Kam, kita Ke Padang…!”

“Bagaimana bapak tahu……?” tiba-tiba saja pramugari cantik yang kebetulan lewat di dekat kami, dengan senyum manisnya bertanya. “Ohh,…..” dengan sedikit terkejut dan kemudian tersenyum malu, aku menjawab, “……. disebelah kanan pesawat ini, lihat itu, matahari terbit. Itu berarti sebelah Timur. Jadi, pesawat ini menuju keutara. Dari Palembang keutara, berarti ke Padang atau ke Medan, bukan ke Jakarta…..Bukankah begitu…..?” jawabku tersenyum. Dia juga tersenyum dan menampakkan deretan giginya yang bagus dan putih sambil berkata “ ahh….bapak pintar…..!”, sambil berjalan menuju ke ruang Pilot. Selama penerbangan, kami mencoba melihat ke bawah melalui jendela kecil di badan pesawat, ke arah tempat-tempat yang kami lalui dalam pelarian kami. Namun pesawat ini terbang terlalu tinggi dan kami hanya bisa melihat hijaunya hutan belantara Sumatera dan birunya lautan Hindia. Sekitar tengah hari, pesawat mendarat di lapangan terbang Tabing, Padang. Di situ, telah menunggu sebuah truk dan dua orang perwira militer. Setelah tentara yang mengawal kami dari Palembang menyerahkan kami semua kepada perwira dari Padang dan mengecek kami serta menandatangani sesuatu—mungkin surat perintah serah terima—kami dipersilahkan naik ke dalam truk dan dibawa ke Padang, ke suatu rumah yang sangat besar seperti pesanggrahan atau villa yang terletak di jalan Samudra Padang, yang hanya beberapa meter dari tepi pantai Lautan Hindia. Pemandangan dari beranda villa kelaut lepas sungguh sangat indah sekali. (Beberapa tahun kemudian kudengar bahwa gedung pesanggrahan atau villa ini beserta jalan Samudra di tepi pantai Barat kota Padang ini, lenyap di telan erosi lautan Hindia ) Di sini, kami diperlakukan sungguh sangat manusiawi sekali. Makanan, pengobatan dll, diberikan dengan baik. Bahkan sang perwira yang mengawas kami mengatakan bahwa kami boleh berjalan dan bermain-main ditepi pantai, atau berjalan-jalan kemana saja asal jangan sesat kembali kemari. Karena katanya, mereka sedang mengatur untuk pengembalian kami kedaerah masing-masing.

Riau Berdarah |

85

Sore hari, beberapa orang di antara kami, termasuk aku dan Kambasli, berjalan-jalan dipasir dan batu-batu granit yang bertaburan di sepanjang pantai. Melihat batu-baru granit yang besar dan hitam itu, aku teringat akan cerita Minangkabau, tentang seorang anak yang durhaka, yang setelah dewasa dan menjadi kapten armada dagang, di samping istri yang cantik dan kaya raya, tidak mau mengakui ibu kandungnya, yang tua, kotor, jelek dan miskin. Si ibu kecewa atas pendurhakaan anaknya itu. Si ibu berdoa , memohon dan meyerahkannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa! Dalam sekejap, udara yang nyaman segar, langit yang terang benderang, tiba-tiba berobah menjadi hujan lebat dengan guruh, kilat dan petir sabung-menyabung , mengahantam armada dagang itu. Dalam kilatan petir yang maha dahsyat, masih sempat terdengar sayup-sayup suatu suara memanggil “Ibuuuuuuuuuuu…….” Namun terlambat! Tuhan menghukum, Malin Kundang, si anak durhaka , beserta istri, awak kapal dan semua armada kapal dagang itu menjadi batu! “ Kau masih ingat cerita tentang si Malin Kundang, …..Kam? Aku bertanya pada Kambasli untuk menghentikan pikiranku yang mengelana. “Malin Kundang anak durhaka itu?” Aku menggumam dan mengangguk mengiyakan. “Semua anak Minang tahu cerita anak durhaka itu, karena diceritakan turun temurun”. Kambasli memberi penjelasan sambil kami berjalan kembali menuju ke pesanggrahan Sementara itu, selama kami berada di pesanggrahan di Jalan Samudra itu, kami kedatangan beberapa tamu dari Kota Padang, dari sebuah organisasi yang bernama “Panitia Pembela Korban Dewan Banteng/PRRI” yang berkantor di Jalan Hatta No. 43 Padang. Diantara mereka yang masih bisa kuingat adalah Zarkawi Latif, Syamsiar, Ida Nur dan seorang ibu dan dua orang gadis manis pelajar Sekolah Menengah yang aku tak ingat lagi namanya. Mereka gembira berkunjung, dan berjumpa dengan kami dan membawa bahan-bahan yang kiranya kami perlukan. Zarkawi Latif, yang begitu melihatku, lantas sambil tertawa memaki dan bercarut dalam bahasa Minang,

memeluk dan mendekapku erat-erat. Kami berpelukan dengan gembira dan penuh haru. Zarkawi Latif adalah pimpinan Perbum dari Pekanbaru, yang ditahan terlebih dahulu daripadaku, di bawa ke Padang dan kemudian bersama-sama kami dibawa ke Solok, Muara Labuh, Timbulun dan Sungaipenuh. Waktu kami melarikan diri dari penjara, ia berada di barak lain dekat dengan kantor penjara. Dengan ketawa lebar ia berkata dalam bahasa Minangkabau: “ Kamu memang bajingan, kenapa mau melarikan diri tidak bilang terlebih dahulu……!” “ Hai,…..! Bagaimana mau bilang….. abang berada di barak lain sedang kami di barak lain…… dan rencana itupun adalah rencana spontan, dibicarakan, diputuskan dan harus dilakukan malam itu juga!” kataku sambil tertawa. Semua ikut tertawa mendengar penjelasanku. Menurut cerita Zarkawi Latif—yang kupanggil abang, karena dia lebih tua dariku— pada pagi hari setelah diketahui ada tawanan yang melarikan diri, banyak tentara pemberontak datang ke penjara dan kami semua dibariskan di halaman dalam penjara. Dijemur dalam panas matahari dan diperiksa satu persatu, kemudian dimasukkan ke dalam barak dan di kunci rangkap. Sehari semalam kami tak diberi makan, karena tukang masaknya melarikan diri. Zarkawi menceritakan ini sambil tertawa dan masih terus menyumpah serapah dalam bahasa Minang. Aku dan yang lain-lain hanya terenyum saja. Seminggu lamanya kami berada di gedung pesanggrahan di Jalan Samudra ini, kemudian datanglah perintah untuk kami bersiap-siap karena kami akan dikembalikan ke daerah asal kami, Pekanbaru.. Dengan rasa sedih dan penuh haru, kami menyampaikan salam perpisahan dengan teman-teman sependeritaan dan seperjuangan, sehidup semati selama beberapa bulan. Di saat-saat begini, betapapun kami menahan, kami tak dapat membendung keterharuan dan tetesnya air mata. Setiap kami berpelukan satu sama lain, dan mengucapkan selamat berpisah. Entah kapan kami bisa saling berjumpa lagi. Aziz Jamin dan Kiram dan teman-teman yang berasal dari Sungaipenuh Kerinci dikembalikan ke daerahnya yang telah dibebaskan Tentara Pusat. Begitupun teman-teman yang berasal dari daerah lain seperti Solok, Sawahlunto, Batusangkar dan Pariaman dikembalikan ke

Riau Berdarah |

87

tempat asalnya masing-masing karena daerahnya telah bebas dari cengkeraman pemberontak PRRI.. Adapun tiga orang di antara kami, yaitu Kambasli, Amiruddin dan aku sendiri, yang berasal dari Pekanbaru, dengan mobil militer, dibawa ke Bukittinggi, satu kota di sebelah timur kota Padang dan lebih dekat ke Pekanbaru. Sekitar tengah hari kami sampai di Bukittingi dan fihak militer menyerahkan kami ke kantor Panitia Pembela Korban Dewan Banteng/PRRI setempat dengan pesan sewaktu-waktu akan dijemput untuk diantar pulang ke Pekanbaru. Pihak Panitia memberikan tempat dan makan untuk kami. Waktu yang terluang pada sore hari itu kami gunakan untuk berjalan-jalan di sekitar daerah di mana kami ditempatkan. Amiruddin yang anak Minangkabau dan memang berasal dari daerah ini, tahu akan tempat dan daerah di sekitar ini. Kami menuju ke suatu tempat—atau kantor—dimana Amiruddin ingin menjumpai seorang sanaknya, yang berkemungkinan masih berada di situ. Kami menuju kantor Gerwani cabang Bukittinggi. Di situ kami berjumpa dan berkenalan dengan seorang wanita separo baya, satu-satunya wanita yang pada saat itu ada di situ, karena hari telah menjelang senja, jadi mungkin yang lainnya sudah pulang. Wanita ini dipanggil oleh Amiruddin sebagai “etek” yang artinya tante atau makcik. Amiruddin berbincang-bincang dengan etek—yang kudengar bernama Sainuna— sementara aku dan Kambasli duduk mendengar perbincangan mereka. Kiranya, etek ini masih termasuk kerabat dekat dengan Amirudin. Tidak lama kami berada di sini kemudian kembali ke tempat penginapan kami. Kami tidak berkeliling kota atau pergi ke pasar mengingat situasi yang belum memungkinkan. Paginya, di saat subuh, di saat masih enak-enaknya tidur di bawah selimut, bergelung memeluk lutut karena udara Bukittinggi yang senantiasa dingin, sesuai dengan namanya yaitu bukit yang tinggi dari permukaan laut, kami dibangunkan dan diperintahkan bersiap untuk berangkat ke Pekanbaru. Tidak terlalu banyak waktu yang kami perlukan untuk bersiap. Kami hanya bisa mandi “ala Jepang” menurut istilah Minangkabau, yaitu hanya membasahi kedua biji mata.dan mencuci muka. Udara benar-benar dingin sekali. Sejurus setelah kami selesai sarapan pagi, kopi panas serta ketan dan pisang goreng, sebuah

jeep militer datang, mengambil dan membawa kami ke stasiun bus di kota Bukittinggi. Di stasiun bus itu telah banyak kendaraan dari berbagai jenis. Ada bus, truk umum dan berpuluh kendaraan militer serta mobil militer yang disebut panser. Rupanya semua kendaraan yang puluhan jumlahnya ini yang mereka namakan konvoi, akan berjalan beriring-iringan menuju kota Pekanbaru. Aku ditempatkan di sebuah truk militer yang penuh dengan bahanbahan logistik. Begitupun Kambasli dan Amiruddin, juga ditempatkan di dalam truk yang berlainan. Masing-masing kami duduk di depan, di sebelah sopir. Aku duduk di sebelah sopir, seorang sersan yang kebetulan berasal dari kampung ibuku Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya kami bercerita. Cerita tentang kampungnya dan cerita tentang penangkapan dan penahanan kami. Darinya, aku mendengar bahwa perjalanan darat saat ini harus dilakukan dengan konvoi karena pemberontak itu benarbenar licik. Bulan lalu, tanpa diduga. Sisa-sisa gerombolan menyerang sebuah bus umum. Setelah membunuh beberapa penumpangnya dan merampok semua barang-barang para penumpang, mereka melarikan diri ke hutan. Namun Tentara Pusat dapat memburu dan menyelesaikan semua pemberontak itu. Perjalanan konvoi dengan beberapa panser di depan ini sungguh sangat lambat. . Jarak sekitar 30 km dari Bukittinggi ke Payakumbuh, ditempuh oleh konvoi ini selama beberapa jam. Setibanya di Payakumbuh, kota terakhir menjelang perbatasan antara Sumatera Barat dan Riau, posisi konvoi diubah. Beberapa panser dengan tentara di depan, kemudian 3 atau 4 truk militer, di belakang itu satu truk militer tertutup ,berisi satu regu personil militer di dalamnya, kemudian bus dan truk umum diikuti dengan truk militer lagi yang berisi tentara bersenjata lengkap. Pokoknya, mereka atur susunan iring-iringan itu untuk menjaga jika ada sesuatu, mudah segera di atasi. Keluar dari kota Payakumbuh, iring-iringan konvoi berjalan agak lambat. Di luar kota, yang kalau tak salah bernama Sarilamak, di jembatan kayu,di sebuah pengkolan jalan, kulihat dua mayat

Riau Berdarah |

89

digantung di kayu jembatan. Kedua tangannya diikat di tangan-tangan jembatan. Kedua mayat itu telah mulai membengkak.“Mayat siapa itu?” tanyaku kepada sersan pegemudi truk. “Dia anggota gerombolan” katanya,”kemarin dia dan grupnya mencoba masuk kampung ini dengan melepaskan tembakan. Mendengar bunyi tembakan ini Tentara Pusat segera datang dan terjadi kontak senjata dengan gerombolan. Dua diantara mereka tertembak mati dan beberapa orang melarikan diri kearah hutan. Ini mayat kedua pemberontak yang tertembak itu. Mereka ditaruh di situ hanya untuk menunjukkan kepada umum. Setelah konvoi ini lewat, penduduk kampung akan menguburkan mereka” sang sersan bercerita. Aku benar-benar tidak ingat berapa lama perjalanan konvoi ini ke Pekanbaru, karena saat itu disamping lambatnya iring-iringan disebabkan banyaknya kendaraan, juga setiap kendaraan harus di seberangkan oleh rakit atau ferry di tempat penyeberangan di sungai Kampar di desa yang bernama Rantau Berangin dan Danau Bengkuang, karena pada saat itu, belum lagi ada jembatan di kedua kampung itu. Menggunakan rakit atau ferry ke seberang ini memakan waktu yang cukup lama Namun, kami selamat memasuki kota yang lama kutinggalkan, Pekanbaru. Masih kuingat, saat kami memasuki kota , waktu itu menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. karena di depan Gereja Katholik saat itu dipenuhi dengan hiasan-hiasan dan lampu-lampu Natal. Kami sampai ke Pekanbaru dalam keadaan baik, dan segar. Sang sopir, menurunkanku tepat di depan rumahku di Jalan Riau. Dia tidak mau turun, atau singgah ke rumahku, walaupun aku memohon agar ia mau singgah. Ia mengatakan bahwa ia harus segera melapor kekesatuannya. Aku disambut dengan peluk dan dekapan serta raung dan tangis dari ibu, kakak dan saudara-saudaraku. Aku juga turut menangis dalam pertemuan ini. Sedang ayah yang begitu tabah dan kuat juga turut meneteskan air mata waktu memelukku. Betapa tidak, anak yang dianggap mati kini kembali dalam keadaan segar bugar. Semua tetangga, karena mendengar suara ratap dan tangis, berdatangan, menyangka ada kematian atau sesuatu malapetaka. Setelah mereka melihat aku kembali kerumah, mereka menjadi gembira,

mengucapkan selamat dan menyalamiku. Sungguh suatu kegembiraan yang tak dapat dilukiskan. Kami bersyukur kepada Tuhan sang Pencipta atas pemeliharaan dan perlindunganNya. Esok harinya, ibu memanggil sanak keluarga dan para tetangga untuk minum kopi dan sedikit upacara syukuran. Para tetamu, tak habis-habisnya bertanya segala sesuatu tentang perjalananku. Aku bercerita kepada mereka, tentang suka dan duka selama dalam tahanan. Dalam suatu kesempatan, ayah menceritakan padaku, bahwa timbul perdebatan yang sengit antara ayah dan Sidi Barabanso— pimpinan CS Kampar —mengenai surat yang kukirimkan kepada ayah. Setelah Sidi Barabanso membaca suratku yang ditunjukkan ayah kepadanya, ia menunjukkan surat dari Amiruddin kepada ayahnya, yang menceritakan keadaannya sangat baik dan enak selama di Palembang, tidur di atas kasur berkelambu dan makan serta minum susu setiap pagi. Ayah merasa jengkel dan menanyakan kepadaku bagaimana yang sesungguhnya. Aku menjelaskan kepada ayah, bahwa semuanya benar. Amiruddin, menceritakan kepada ayahnya yang sudah tua, bahwa kami tidur di kasur dan berkelambu, minum susu setiap pagi, dapat membaca surat kabar dan sebagainya, bahkan sesekali bisa ikut perwira pengawas ke kota untuk melihat-lihat keramaian kota. Itu benar. Memang keadaan kami benar seperti apa yang ditulisnya. Tapi, kapan dia menulis surat kepada ayahnya itu? Beberapa minggu setelah aku menulis surat pada ayah!. Amiruddin, menulis surat pada ayahnya yang telah tua yang tidak pernah tahu dan ikut politik serta tidak tergabung dalam organisasi manapun. Tindakan Amiruddin ini benar. Sedang aku, aku menulis surat kepada ayahku yang adalah anggota pimpinan Perbum, tahu politik, bisa menimbang situasi yang bertendensi politik dsb. Karenanya, aku menulis, meceritakan keadaan yang sesungguhnya , disebalik kasur dan minum susu itu, bahwa oleh “penguasa” status kami diubah dari “tawanan PRRI yang melarikan diri” menjadi “PRRI yang melarikan diri”. Situasi pemutar balikan ini membuat kami berada dalam keadaan yang sangat berbahaya, bahkan telah diisukan bahwa kami akan dipindahkan ke penjara di bawah tanah kota Palembang. Itu sebabnya, aku menulis

Riau Berdarah |

91

supaya ayah membicarakan hal ini dan supaya partai dan organisasi apapun namanya menulis petisi atau permohonan kepada Kepala Daerah atau Pangdam Sumatera Selatan agar kami di kirim kembali ketempat asal daerah masing-masing. Bukan aku saja yang menulis surat seperti itu. Kawan-kawan dari daerah Solok, Padang, Sawah Lunto dan lain-lain juga menulis surat yang serupa dengan permintaan yang serupa kepada organisasi-organisasi di daerahnya. Jadi, kalau Amiruddin mengirim surat kepada ayahnya seperti bunyi suratku, kemana ayahnya mesti menyampaikannya karena ia bukanlah anggota sesuatu organisasi. Namun, ayah jangan kuatir. Kalau Sidi Barabanso menolak penjelasan ayah karena surat Amiruddin, biarkanlah! Yusuf Ajitorop yang anggota DPR-RI dari PKI di Jakarta, datang ke Palembang menemui Kepala Daerah Sumatera Selatan.dan menjelaskan serta meluruskan laporan tentang kami yang diputar balikkan itu. Dan hasilnya, sekarang kita bisa berkumpul kembali. Kuharap ayah bisa memahaminya. Seminggu kemudian, kami para anggota pimpinan cabang Pemuda Rakyat, yang kembali dari tawanan PRRI, melangsungkan pertemuan pimpinan buat pertama kalinya, setelah kosong beberapa lama. Hadir dalam pertemuan itu teman-teman Yacob, Ardan, Syahruddin Enek, Bahtiar yang dibebaskan oleh tentara pusat di Sungaipenuh dan aku serta Kambasli yang diundang, yang tidak kuanggap GPII lagi, serta para undangan dan peninjau lainnya seperti ayahku dan Sidi Barabanso. Amiruddin yang juga adalah anggota pimpinan Cabang Pemuda Rakyat, tidak hadir dan telah menyatakan keluar dari keanggotaan organisasi sesampainya di Pekanbaru. Dalam pertemuan itu, masing-masing kami menceritakan pengalaman dan didengar oleh teman-teman dengan penuh antusias. Waktu giliranku bercerita, aku menceritakan soal jailangkung yang membuat semua hadirin pada tertawa. Juga Sidi Barabanso yang sekamar denganku di penjara Sungai Penuh membenarkan ceritaku itu, karena dia memang mengetahuinya. Aku menyinggung juga soal keadaan di Palembang, tentang “tidur di kasur dan minum susu” serta tentang suratku kepada ayahku, tanpa menyinggung atau mengkritik seseorangpun. Kukatakan dalam sambutanku antara lain, “kalau ada

orang yang cuma terpaku dengan keadaan kami yang ’tidur di kasur dan minum susu setiap pagi’ dan tidak mau mendiskusikan atau membicarakan suratku yang menceritakan bahaya sebenarnya yang kami hadapi, ya tak apa, karena barangkali di antara semua tahanan, hanya akulah yang terkecil dan termuda. Jadi mungkin mereka kurang begitu antusias dan menganggapku sebagai masih kanak-kanak. Namun, jangan kuatir” kataku sambil tertawa, “pimpinan di Jakarta yang lebih berpengetahuan, berpengalaman yang menjadi anggota DPR-RI yaitu Yusuf Ajitorop, mengetahui hal ini dan datang ke Palembang menjernihkan persoalan!” Kulihat Sidi Barabanso hanya tertunduk dan mengangguk-angguk, karena dia mengetahui bahwa Yusuf Ajitorop adalah wakil PKI dalam DPR-RI.. Pada kesempatan dalam pertemuan ini, aku, juga menyatakan keluar dari kepemimpinan Pemuda Rakyat, dan akan menumpukan perhatian kepada pelajaran sekolah yang jauh tertinggal. Dan, kalau ada kemungkinan, aku dan Kambasli hanya akan aktif dalam organisasi pelajar di sekolah. Setelah pertemuan selesai, kulihat Sidi Barabanso menemui ayah dan berjabatan tangan dengan ayah. Aku tak tahu apa yang mereka ceritakan, namun kulihat ayah tersenyum puas. Kupikir, barangkali Sidi Barabanso minta maaf pada ayah…….. Menurut cerita yang kuperdapat, daerah Sumatera dan Sulawesi yang memberontak terhadap pemerintahan Pusat, dan menamakan dirinya PRRI/Permesta ini adalah karena dorongan dan bantuan dari Amerika/CIA. Selama dalam tahanan, sering kudengar para penjaga memperkatakan senjata-senjata baru, seperti bazooka, senjata anti tank, yang mereka katakan sebagai “tabuang buluah”, atau tabung bambu, karena sama besarnya lobang depan dan belakang. Dikatakan, bahwa persenjataan modern ini diperoleh dari Amerika karena Amerika sebenarnya membenci Sukarno yang menjalin hubungan lebih erat dengan China dan Rusia, daripada ke Amerika. Karenanya, Amerika melakukan berbagai-bagai cara untuk menjatuhkan Sukarno, dengan menggunakan orang-orang Islam untuk berontak (DI/TII), mencoba membunuh Soekarno (peristiwa Cikini), mengedarkan film porno tentang Sukarno dengan menggunakan seseorang yang memakai topeng wajah Soekarno beradegan mesra dengan wanita

Riau Berdarah |

93

kulit putih di luarnegeri, yang dijadikan senjata untuk black-mail atau pemerasan, ( mengenai hal ini, seingatku, aku pernah mendapat cerita bahwa Soekarno hanya tertawa dan menanggapi black mail Amerika ini dengan lelucon sambil tertawa lebar dengan mengatakan “biar rakyat mengetahui ‘kehebatan’ presidennya diluar negeri!” Sehingga, black mail Amerika ini tidak ada hasil dan tidak berharga sama sekali!). Juga, fihak asing menanamkan rasa kebencian antara suku dengan menyebar luaskan isu bahwa Indonesia diperintah dan dijajah oleh Imperialis Jawa, sampai ke jalan kekerasan yaitu melatih dan mempersenjatai beribu ribu tentara Indonesia di Sumatera dan Sulawesi dibawah perwira-perwira hasil didikan Amerika, untuk melakukan pemberontakan terhadap RI. Amerika menjatuhkan berton-ton senjata modern dan amunisi di hutan-hutan Sumatera dan Sulawesi guna memperlengkapi persenjataan para pemberontak. “Bantuan” senjata dari Amerika ini dikordinir oleh seorang yang tak asing lagi di Indonesia, seorang tokoh PSI yaitu Professor Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Di Pekanbaru sendiri, senjata-senjata dari Amerika diselundupkan melalui kapal-kapal dari Selat Melaka. Ketika rakyat mencium hal ini, para pejabat menyita dan berteriak-teriak bahwa ada golongan yang mencoba menyelundupkan senjata dari luar negeri dan telah ditangkap aparat militer. Rakyat dikelabui mentah-mentah, karena sesungguhnya senjata-senjata itu adalah untuk mereka! Tidak ubahnya seperti maling yang berteriak maling! Armada dan kapal selam Amerika kerkeliaran disepanjang lautan pantai Barat Sumatera dan Laut Jawa, berpatroli dan mempersiapkan bahan-bahan serta alat-alat komunikasi untuk pemberontak. Bahkan, diceritakan bahwa pada suatu pagi Minggu di bulan April 1958, sebuah pesawat terbang mengebom sebuah kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan pulau Ceram, Ambon. Semua awak kapal mati terbunuh, kemudian pesawat terbang ini mengebom gereja dan memusnahkan gedung ibadat dan membunuh semua jemaah yang ada di dalam gereja. Pada 15 Mei 1958, sebuah pesawat CIA/Amerika mengebom pasar Ambon, membunuh sejumlah besar penduduk sipil yang dalam perayaan keagamaan, Paskah.

Tiga hari kemudian, selama pemboman yang lain berjalan di atas kota Ambon, satu pesawat terbang dengan seorang pilot Amerika/CIA, Allen Lawrence Pope, ditembak jatuh dan sang pilot dapat ditawan. Allen Pope yang berusia 30 tahun dan berpengalaman di Vietnam, Korea dan dimana-mana, mengalami hari naasnya. Dia ditangkap dan meringkuk dipenjara Indonesia selama empat tahun, sebelum Sukarno menganjurkan Robert Kennedy, saudara dari presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy untuk meminta secara resmi pembebasan sang pilot CIA itu, karena Pope adalah seorang pilot Angkatan Udara Amerika Serikat dan CIA. Namun, fihak Amerika dengan berbagai dalih mengelak dan tidak mengaku bahwa mereka terlibat dan memberi bantuan kepada pemberontak di Indonesia. Bahkan Amerika (di bawah presiden sebelumnya yaitu D.D. Eisenhower) yang merasa dirinya jagoan dalam perang dunia ke-II, menuduh Indonesia berbohong, memberikan laporan dan tuduhan palsu bahwa Amerika terlibat, memberikan bantuan dan dukungan kepada kaum pemberontak di Indonesia. Namun, Indonesia tidak mau tinggal diam. Sang Pilot Allen Lawrence Pope dan dokumen CIA-nya dipersembahkan dan diperlihatkan kepada dunia dalam suatu wawancara-pers. Bukti keterlibatan Amerika/CIA dalam membantu pemberontakan di Indonesia dibeberkan kepada dunia. Dengan ditampilkannya Pope serta dokumen CIA-nya ini, Amerika tidak berkutik dan merasa bahwa “terang tidak ada harganya lagi buat lilin”, dan mulai menarik bantuannya kepada pemberontak. Apalagi karena mental pemberontak yang sangat lemah, kendatipun mempunyai persenjataan yang serba modern, maka pada akhir Juni 1958, tentara Indonesia yang loyal pada Sukarno, secara total menghancurkan kekuatan pemberontak PRRI/Permesta! (bahan, selain pengalaman sendiri, juga dikutip dari: http://inagate.freeservers.com/www.indonesiapusaka.com/sukarno years 1945-1967 dan keterangan Jenderal A.H.Nasution dalam film dokumen ABC- Australia : Riding the Tiger serta bahan lain dari internet).

Riau Berdarah |

95

Bagian II: Kembali ke bangku sekolah Aku, yang sejak 18 Pebruari sampai akhir tahun 1958 mendekam dalam tahanan pemberontak PRRI, dan dipindah-pindahkan dari Pekanbaru, Padang, Solok, Muaralabuh, Timbulun, Kayu Aro dan Sungaipenuh, dan berhasil melarikan diri dan akhirnya sampai ke Muko-Muko, Lahat dan Palembang, kini bebas sudah! Bebas, setelah ABRI yang dikenal dengan sebutan Tentara Pusat menghancurkan kekuatan pemberontak PRRI. Sebagai pemuda yang ber-usia 20 tahun yang masa belajarnya kucar kacir karena PRRI, maka setelah bebas, kini menjadi tugas dan kewajibanku untuk menumpukan kembali perhatianku pada sekolah dan pelajaranku yang begitu tertinggal.Namun,aku bertanya pada diriku “apakah hal ini mungkin?” Waktu ditangkap, pada Pebruari 1958, aku duduk di kelas II SMA.Pada bulan Agustus, tahun yang sama, yaitu dimulainya tahun ajaran baru, teman-temanku sekelas naik ke kelas III, yaitu kelas terakhir untuk ke Universitas dan, adik kelasku duduk di kelas II. Jika sekarang aku kembali belajar di sekolah, tidak mungkin bisa duduk di

kelas III, karena belum mengikuti ujian kenaikan. Jadi aku mesti kembali duduk di kelas II, yang sekarang telah berjalan selama hampir setengah tahun. Aku dalam kebimbangan! Mana yang harus kupilih, berhenti sekolah dan mencari kerja atau mengulang kembali di kelas II? Kalau berhenti sekolah, berarti aku hanya mempunyai diploma SMP, atau tingkat 9 di negara lain. Sedang untuk mendapatkan pekerjaan, atau meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi atau universitas, diperlukan diploma SMA.atau sama dengan tingkat 12 di negara lain. Mana yang mesti kupilih? Pikiranku menjadi kacau dan buntu! Namun, setelah mendapat pertimbangan dari ayah, aku terpaksa harus kembali ke sekolah, kendatipun mesti mengulang duduk di kelas II. “Apa boleh buat, resiko perjuangan!” aku berkata dalam hati. Semua guru dan teman-teman gembira menyambutku kembali ke bangku sekolah, yang seolah-olah seperti kembali dari kubur. Aku tahu, bahwa ada di antara para guru, beberapa bulan yang lalu “mendukung pemberontak”, sekarang malah mereka yang paling ramah padaku. Aku tak acuh akan hal ini karena aku benar-benar tahu, kalau mereka para guru tidak tunduk pada pemberontak pada waktu itu, maka keadaan mereka akan sama seperti diriku! Dituduh kiri dan ditangkap PRRI! Jadi, untuk selamat, mereka harus menari mengikut gendang! Begitulah adat dan percaturan dunia! Pada permulaan tahun 1959 itu—di tengah-tengah tahun ajaran sekolah—aku kembali duduk di kelas II SMA. Kucoba untuk belajar sekuatnya guna mengejar ketertinggalanku. Kuminta bimbingan dari beberapa orang guru yang simpati kepadaku. Aku menjadi rajin belajar. Dalam kelas maupun dalam grup belajar Namun kerajinanku belajar ini tidak berlangsung lama. Aku terlibat lagi dengan organisasi . Kali ini, adalah organisasi IPPI— Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia—dimana Kambasli menjadi Ketua Umum sedang aku menjadi Sekretarisnya.. Ketika itu, kami benarbenar merasa terpanggil untuk meluruskan opini pelajar yang telah di dibelokkan oleh pemberontak. ”Kita mesti kembali kepada Ikrar Pelajar tanggal 27 September 1945, bahwa kita bernegara satu yaitu Negara Republik Indonesia” kataku pada suatu hari kepada Kambasli.. Apalagi, pada saat itu kami mendapat mandat dan tugas dari Pengurus

Riau Berdarah |

97

Besar IPPI di Jakarta, setelah kunjungan sdr. Nawir Said, seorang anggota PB-IPPI ke Pekanbaru, untuk membangun kembali organisasi IPPI di daerah, yang porak poranda akibat pemberontakan. PRRI. Sementara itu, di samping segala kesibukanku dalam belajar dan berorganisasi ini, suatu hari, ketika aku sedang berada di kantor Sobsi di Jalan Sulawesi, kantor yang senantiasa kami gunakan untuk pertemuan-pertemuan organisasi sehaluan, aku diperkenalkan dengan seorang gadis yang baru datang dari Jakarta, seorang anggota Pemuda Rakyat. Gadis ini berasal dari Padangpanjang Sumatera Barat, bersekolah dan tinggal bersama kakek dan neneknya di Jakarta. Kini ia pindah kemari, ingin bersekolah di Pekanbaru karena sanak keluarganya juga berada di Pekanbaru, yang kebetulan kukenal karena juga merupakan anggota dari organisasi yang sehaluan..Kawan-kawan dalam organisasi mengatakan bahwa keluarga gadis ini meminta padaku—karena pada waktu itu aku adalah pimpinan organisasi pelajar— supaya aku mendapatkan sekolah untuknya. Kurasa, bagiku hal ini bukanlah sesuatu hal yang sulit, karena menurut katanya, dia mempunyai surat pindah dari Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Jakarta. Jadi berdasarkan surat itu, dan karena umumnya para guru di Pekanbaru kukenal, aku merasa yakin bahwa dia akan mudah diterima menjadi pelajar SMEA Negeri Pekanbaru. Karenanya aku menyanggupi permintaan keluarga gadis ini dan menerima Surat Pindah Sekolah-nya untuk kumajukan kepada Kepala Sekolah yang dikehendakinya. Masih kuingat, waktu kami mula berkenalan, sambil berjabat tangan, aku menyebutkan namaku, diapun memperkenalkan namanya “Ema”. Dalam pikiranku, penampilan gadis ini cukup cantik. Kulitnya putih kuning dengan keadaan tubuh yang medium—tidak kurus dan tidak gemuk—dengan ketinggian yang sedang. Melihat kulitnya yang putih kuning dengan raut muka dan ukuran badannya, aku teringat, dan menyamakan dirinya dengan gadis belasan tahun berasal dari Lintau yang belajar di rumahnya bersamaku, yang menggesekkan kakinya kebetisku beberapa tahun yang lalu ketika aku masih menjadi pelajar SMP…! Ahhh, …….. mengapa aku sampai membandingkannya begitu jauh.

“Bagimana…… anak Jawa bisa bicara Minang dengan lancar…..” tiba-tiba saja dia bersuara hingga membuatku sadar dari lamunanku dan sambil tersipu-sipu malu, melepaskan tangannya yang masih kugenggam… ! Kulihat dia hanya tersenyum……! “Orang bilang saya adalah Puja Kesuma!” kataku sambil tertawa kecil. “Apa….itu Puja Kesuma?” dia heran dan bertanya. “Puja Kesuma ……artinya……Putra Jawa Kelahiran Sumatra……” jawabku sambil tertawa. Dia juga tersenyum dan bertanya. “Oh…… di Sumatra dimana ?” “Saya lahir di Kayutanam, Padangpanjang….!” kataku. “Betulkah ?” dia bertanya penuh keheranan. Aku hanya mengangguk mengiyakan “Saya juga lahir di Kayutanam!” dia menambahkan. Gantian aku yang menjadi heran dan bertanya. “Benar……?” “Ya, benar….. sesudah saya lahir, kami pindah dan menetap di Koto Lawas, di lereng gunung Singgalang……” “Tahun berapa?” “Tahun 1938, tanggal 6 September…..” “Ahhh,saya juga lahir tahun 1938, tanggal 17 Desember……”jawabku dengan agak keheranan karena adanya beberapa persamaan ini. “September ke Desember…hanya beda beberapa bulan!” kataku. Lagi dia tersenyum! Ah, semua persamaan ini seperti kebetulan saja! Teman-temanku dalam organisasi Pemuda Rakyat yang masih bujangan berbisik satu sama lain, menyatakan keinginan untuk mempersunting Ema, gadis cantik berkulit langsat ini. Aku tak terlalu pusing akan hal ini, bahkan mendorong mereka agar mereka berusaha dan berhasil. “Jangan kuatir! Aku anak Jawa, mana mungkin anak Minang mau kepadaku!” kataku pada mereka sambil tertawa lebar. Aku masih ingat akan “kekasih surat cintaku”, gadis Tiku Pariaman, sebelum aku ditahan PRRI. Salah satu sebab dia menjauh, juga karena aku dari suku Jawa, dan berbeda adat istiadat. Jadi, aku tak yakin kalau ada anak Minang yang mau padaku! Karenanya, aku tak begitu acuh akan hal ini. “Kalau tak mau terbakar, jangan mendekati api!” begitu kata orangtua-tua yang kuingat.

Riau Berdarah |

99

Si gadis Ema, tinggal bersama mak tua dan ayah tuanya. Maktuanya adalah anak tertua dari kakek dan neneknya yang di Jakarta. Mereka ini, beserta sanak keluarganya, kuketahui karena perkenalan dalam organisasi. Maktuanya – yang bernama Janaisah, adalah pimpinan Gerwani yang juga menjadi anggota DPR-Daerah Riau, sedang ayah tuanya adalah anggota Perbum dan bekerja pada Caltex di Rumbai, satu departemen dengan ayahku yang juga bekerja pada Caltex. Suatu hari, sebelum aku mengetahui siapa sebenarnya ibu kandung Ema, orang tua (paman) gadis ini mengundangku ke rumahnya. Aku tak tahu, apakah ini keinginan si gadis, Ema, ataukah undangan ini memang keinginan orangtuanya . “Ah, apa bedanya?” pikirku. Dan, aku memenuhi undangan mereka. Di rumah mereka di daerah Sumahilang, kami berbincang dan berbual-bual serta menceritakan pengalamanku selama dalam tahanan PRRI. Dalam perbincangan ini kuketahui bahwa Ema adalah anak tunggal dari Ibu Sainuna yang pernah kami jumpai di kantor Gerwani Bukittinggi ketika kami dalam perjalanan pulang ke Pekanbaru setelah bebas dari tawanan PRRI. Ibu Sainuna adalah adik dari Ibu Janaisah. “Ah, mana mungkin, Ibu Sainuna hitam manis, sedang Ema putih kuning!” kataku dalam bahasa Minangkabau, sambil tersenyum. Kulihat mereka juga tersenyum. Maktuanya, ibu Janaisah, menjelaskan, “Ayah Ema berkulit putih kuning. Una—(maksudnya Sainuna)— setelah melahirkan Ema, bercerai dari suaminya, karena mengetahui bahwa suaminya adalah seorang yang mempunyai banyak istri, poligamis!” Aku hanya tercengang mendengar penjelasan ini, namun berpikir:“ Kalau begitu, benar apa yang ditulis oleh Bung Karno dalam bukunya yang berjudul Sarinah, bahwa bagi orang Minangkabau, tidak menjadi soal siapa ayahnya, namun yang penting adalah siapa ibunya!” Karena poligamis, seorang lelaki beristri banyak,maka anakanak yang lahir, akan mudah dikenal dengan “siapa ibunya” dan bukan “siapa ayahnya”. Hal ini diperkuat juga dengan sistem matriarchaat yang dianut oleh penduduk Minangkabau, yang sistemnya, menurut buku Bung Karno itu, sama dengan sistem penduduk Amazon di Amerika Latin, yang juga kudengar sama

dengan sistem penduduk Aborigin di Australia . Dan aku sendiri berpikir, bahwa sistem matriarkhat, yaitu garis keturunan menurut ibu ini, mungkin juga diperoleh karena umumnya lelaki di situ mempunyai banyak istri , sehingga keturunannya lebih dikenal mengikut ibu dari pada mengikut ayah! Barangkali! Di samping itu, aku juga mendapat cerita, bahwa kakek Ema. yang di Jakarta—ayah dari Ibu Janaisah dan Sainuna—adalah seorang perintis Kemerdekaan RI yang mendapat anugerah bintang Kehormatan dari Presiden Indonesia Bung Karno Dia yang bernama M.Sati atau lebih dikenal dengan panggilan Mangkudun Sati, bersama-sama dengan menantunya—suami ibu Janaisah— Datuk Bandaro Kuning ditangkap Pemerintah Belanda pada tahun 1926 dan di buang ke Digul Tanah Merah di Papua. Mereka berdua adalah pendiri dan pimpinan Partai Komunis Indonesia di daerah Silungkang Sumatera Barat pada tahun 1926 dan melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Mereka ditangkap, dan dibuang ke Digul bersama-sama para komunis lainnya dari pelosok Indonesia yang waktu itu masih bernama ‘Hindia Belanda”, seperti Ali Archam dan lain-lain yang aku tak tahu namanya. Dalam tawanan Belanda di Digul, mereka mendapat perlakukan yang sangat kejam dan tidak manusiawi sekali. Mangkudun Sati mempunyai 33 buah lobang di punggungnya hasil dari bacokan dan siksaan para serdadu Belanda yang kebanyakan berkulit sawo matang yang menjadi pengawas para tawanan. Satu lobang yang terbesar, dapat menempatkan kepalan tangan di dalamnya. Sedang Datuk Bandaro, menjadi break-down. Rusak sarafnya dan menjadi gagap akibat siksaan dalam tawanan ini. 25 tahun mereka ditawan di dalam kamp di hutan belantara Digul Tanah Merah itu, dan hanya dapat bebas setelah mereka dan beberapa orang temannya dapat melarikan diri saat bala tentara Jepang memasuki Hindia Belanda, menempuh lebatnya hutan belantara menuju Australia dan kembali ke Indonesia pada tahun1951. Mereka berkumpul kembali dengan keluarganya., menikmati hari tuanya setelah 25 tahun hidup di dalam neraka. Sekarang, ayah tua Ema, Datuk Bandaro, bekerja pada Caltex di Pekanbaru sebagai tukang kayu, sedang kakeknya yang di dipanggil andung berada di Utan Kayu Jakarta dan bekerja pada toko buku Yayasan Pembaruan di Jakarta.

Riau Berdarah | 101

Aku terpaku mendengar semua cerita itu. Aku tidak menduga samasekali bahwa mereka adalah keluarga dan keturunan dari orangorang yang menjadi tokoh pada waktu itu yaitu Perintis Kemerdekaan R.I.! Aku permisi pulang setelah malam agak larut. Mereka melepasku dengan permintaan agar aku sering-sering datang berkunjung karena Ema belum punya banyak teman di Pekanbaru. Pengalaman Pertama Beberapa bulan berlalu, keadaanku biasa-biasa saja. Aku tetap sibuk dengan pelajaran sekolah yang makin lama makin sulit kucernakan, disamping organisasi pelajar yang harus kukelola. Namun, kadang-kadang seminggu atau dua minggu sekali, kusempatkan untuk datang mengunjungi Ema dan orangtuanya. Setiap kedatanganku senantiasa disambut manis oleh mereka. Kadangkadang Ema menanyakan padaku pelajaran sekolah yang kurang jelas baginya. Karena seringnya berjumpa ini, dan manisnya sambutan mereka, makin lama, antara aku dan Ema makin akrab. Timbul suatu perasaan di dalam hatiku ingin selalu berjumpa dan dekat dengannya. Apakah ini yang disebut dalam bahasa Jawa “witing tresno jalaran soko kulino?” Apakah dia juga menaruh perasaan seperti apa yang kurasakan? Aku tak tahu! Aku masih buta dan belum pernah belajar mengenai hati dan perasaan perempuan . Ini “mata pelajaran” baru bagiku! Suatu hari—setelah beberapa bulan lamanya kami berteman — kuberanikan diriku meminta izin kepada orangtuanya agar kami diperbolehkan pergi menonton ke gedung bioskop La Vita di Pasar Pusat yang jaraknya tidak sampai 2 kilometer dari rumahnya. Aku berdebar menantikan jawaban, sebab aku tahu, bagi anak gadis Minangkabau tidak mudah untuk bisa di bawa menonton atau pergi kesana kemari oleh seorang pemuda.atau lelaki yang bukan suaminya. Adat Minangkabau kurasa cukup keras guna menjaga dan menghindarkan kemungkinan “arang tercoreng dikening”!. Waktu itu, tidak ada TV, video atau DVD seperti sekarang ini. Namun, kiranya, debaran jantungku dalam penantian ini terjawab. Kami diperbolehkan

pergi menonton ke gedung bioskop, dengan syarat selesai menonton harus langsung pulang dan jangan pergi kemana-mana. Kami berjalan bersebelahan dengan bercerita sepanjang perjalanan menuju ke gedung bioskop. Kuhindari berpegang tangan atau bergandengan untuk mencegah gossip yang akan memburukkan nama orangtua. Dalam gedung bioskop, kami memilih tempat duduk paling belakang di tepi kiri, agar tidak memungkinkan orang-orang yang mengenal kami—yang barangkali ada dan duduk di depan— melihat kami dan kelak menebarkan gosip. Sambil mengunyah permen karet, kami bercerita dengan berbisik agar tidak mengganggu penonton di depan dan di kananku. “Ema, apakah sejak kecil kau berada dan bersekolah di Jakarta?” aku bertanya. “Tidak, hanya setahun di Jakarta …..!” “Hanya setahun….?” “Ya! Sebelumnya bersekolah di Padang…..!” “Mengapa pindah ke Jakarta ?” Dia mendekatkan wajahnya ketelingaku dan berbisik. “Di Padang, kegiatan Ema hampir diketahui oleh PRRI. Jadi untuk menghindar jangan sampai ditangkap, andung memanggil , dan Ema pindah sekolah ke Jakarta” dia berbisik begitu dekat dengan wajahku. Harum napasnya bersatu dengan napasku dan membuatku berdebar-debar. Dia memanggil dirinya dengan namanya sendiri, Ema, sedang sebutan andung adalah panggilan untuk kakeknya yang di Jakarta. “Di Padang…….pernah punya pacar?” aku bertanya mengalihkan topik cerita. Dia memijit kuat lenganku, dan berbisik: “Semasa di sekolah, Ema punya pacar, namanya Khalis……..” “Ah, tentu dia sedih kau tinggal ke Jakarta ………..!” “Barangkali…….!” “Di sekolah, di Jakarta, nggak punya pacar……. ?” Kali ini, dia bukannya memijit lenganku tapi menggigit lembut bahu kiriku, sebagai respon atas pertanyaanku itu. “Dalam organisasi di Salemba Jakarta, Ema punya kawan dekat namanya Suprapto…..” dia menjawab lirih.

Riau Berdarah | 103

“Ohhhhhh………..!” aku menggumam, sambil berkata dalam hati “hebat juga, di sana punya pacar, di sini punya pacar……..!” Kira-kira lewat pukul sembilan malam, pertunjukanpun selesailah, dan penonton masing-masing menuju pintu keluar. Kami keluar dan langsung berjalan pulang dengan santai. Tidak banyak orang yang berjalan di sepanjang jalan raya Jenderal Sudirman menuju ke rumahnya pada malam itu. Kenderaan juga sangat jarang dan hampir tak ada. Sepanjang tepi jalan Sudirman menuju Sumahilang, kami berjalan berdampingan dan hanya bercakap-cakap tanpa berani berpegangan atau bergandengan tangan. Takut kalau ada yang melihat! Disaat perbualan terhenti, pikiranku kembali melayang kepada gadis putih kuning anak Lintau dan gadis hitam manis anak Tiku Pariaman yang pernah menjadi kekasih surat cintaku….. Semuanya menari-nari didalam benakku sehingga kami sampai dan membelok ke lorong jalan menuju ke rumahnya, yang sekelilingnya sudah gelap dan sunyi . Nampaknya, semua orang sudah tidur, karena tiada terdengar suara apapun dari rumah dan sekelilingnya, kecuali bunyi jangkrik yang bernyanyi. Dalam berjalan di lorong yang gelap menuju rumahnya itu entah apa yang mendorongku, entah siapa yang mengajariku, tiba-tiba saja, dalam kegelapan dan kesunyian malam itu kupeluk tubuhnya dan kucium bibirnya ……..! Ohhh………, kiranya dia menerima dan memberikan balasan penuh gairah!

Harum napasnya bersatu dengan napask! Entah berapa puluh detik atau menit kami berciuman itu dan berhenti karena masih merasa kuatir kalau-kalau ada jang melihat kami di kegelapan malam itu! Sebelum dia masuk kerumah dengan menolak pintu belakang rumah yang kiranya sengaja tidak di kunci, sekali lagi kami bercium!Agak lebih lama! Ohhh….Inilah pertama kali aku mencium bibir seorang gadis setelah usiaku hampir 21 tahun! Aku sungguh tidak tahu darimana kuperoleh “keberanian ” itu! Apakah ini suatu rahmat ataukah hanya kebetulan, ataukah perjalanan

naluri yang mesti begitu? Ataukah karena didorong oleh rasa kegagalan demi kegagalan? Aku tak tahu! Sejak peristiwa itu, hati dan perasaanku tidak ingin lekang darinya. Setiap saat, bayangan dirinya senantiasa bermain di mata dan hatiku. Kiranya, ibarat pepatah, aku tidak bertepuk sebelah tangan. Ternyata, bagaimana perasaanku terhadapnya, begitu juga perasaanya terhadapku! Kami sama-sama jatuh hati satu sama lain! Sementara itu, di sekolah, aku mendekati ujian untuk kenaikan kelas. Hatiku berdebar dan penuh keraguan, apakah aku bisa naik ke kelas III? Kalau aku tidak berhasil dalam ujian dan tidak bisa naik ke kelas III, apa yang mesti kuperbuat? Berhenti sekolah ataukah mengulang lagi di kelas II? Ahh, aku benar-benar tak tahu! Kepalaku serasa sakit memikirkan hal ini. Dalam kebimbanganku itu, seorang tamu dari Yogyakarta yang tergabung dalam organisasi ketoprak Mataram, cabang dari organisasi Bakoksi ( Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia) dalam tugasnya berkeliling daerah Riau, tinggal di rumah kami. Ketoprak adalah permainan seni Jawa sejenis sandiwara yang membawakan cerita-cerita kerajaan Hindu purba dan juga cerita modern. Ia ditempatkan di rumah kami atas permintaan Pimpinan Lekra , karena ayah dan ibuku berasal dari Jawa, terutama ibuku berasal dari daerah Yogyakarta, lagi pula situasi rumah kami kebetulan memungkinkan. Suatu saat, kepadanya, secara bergurau kutanyakan, andaikata aku pindah ke Yogya, apakah bisa mendapatkan pondokan dan sekolah? “Kamu bisa tinggal di rumah saya. Di Yogyakarta banyak sekali sekolah-an” katanya sambil menuliskan alamat rumahnya dan memberikannya kepadaku. “Aku tahu mas, bahwa di Yogyakarta memang banyak sekolah, namun bisakah aku mendapatkannya dan duduk kembali di kelas II. Tidak peduli sekolah negeri atau swasta!” kataku padanya. Pada saat itu, ayah telah bekerja pada Caltex selama 10 tahun, dan statusnya sudah menjadi pegawai associate-staff dengan badge biru no. 10609 dan mempunyai hak cuti panjang untuk pulang ke kampung asal di Yogyakarta, dimana Caltex memberikan penerbangan dan transportasi lainnya secara gratis kepada ayah dan keluarga. Aku berpikir keras untuk menentukan jalan mana yang harus kupilih. Aku

Riau Berdarah | 105

tahu bahwa pelajaranku sangat jauh ketinggalan dan aku merasa pasti tidak akan berhasil naik ke kelas III. Kepopuleranku dalam organisasi berlawanan dengan kebolehanku dalam pelajaran sekolah. Akhirnya, setelah kupertimbangkan, dan berunding dengan ayah, aku mengambil keputusan, harus pindah dan mencari sekolah ke Yogyakarta. Kubicarakan hal ini kepada Kepala Sekolah yang ketika itu dijabat oleh Bapak M.Farid Kasmy. Secara jujur, kuutarakan ketidakmampuanku, kekuatiranku, dan ketakutanku andaikata aku tidak bisa naik ke kelas III. Kukatakan, bahwa aku benar-benar terpaksa mengambil jalan ini. Beliau menyadari akan situasi dan keadaanku. Kepada Ema, kujelaskan keputusanku ini. Dia nampak sangat berat sekali menerima keadaan ini. Sesungguhnya, akupun merasa sangat berat meninggalkan nya. Keadaan kami tak ubahnya seperti bunga yang baru kuncup, tiba-tiba dipatahkan. Rasa kasih yang baru tumbuh, direnggutkan. Kulihat matanya berkaca-kaca, ketika aku membicarakan hal ini padanya. Namun apa yang mesti kulakukan? Aku harus memikirkan pendidikanku. Untuk hari depanku, untuk besok, bukan untuk sekarang! Masih segar dalam ingatanku, waktu itu di bulan July 1959. Bus Caltex akan menjemput kami di depan rumah, tepat pada jam 10 pagi, untuk di bawa ke lapangan terbang Simpang Tiga yang selanjutnya dengan pesawat terbang Caltex akan diterbangkan ke Jakarta. Dengan waktu yang masih ada, kukayuh sepedaku menuju rumah Ema. Dia tidak pergi ke sekolah karena rencananya akan melepasku dari rumahku. Maktuanya tidak berada di rumah, karena pergi ke Rumbai untuk mengambil jatah natura dari Commissary Caltex buat suaminya. Jadi hanya dia seorang yang berada di rumah. Ketika aku datang pada pagi hari itu, ternyata dia baru saja selesai mandi dan berpakaian. Melihat kedatanganku yang langsung memasuki rumahnya, ke kamarnya, dia menghambur memeluk dan menciumku. Aku terjatuh keatas tempat tidurnya. Dengan bertubi-tubi dia menciumiku, Kami berciuman seperti gila, seolah-olah tiada hari esok lagi! Sesungguhnya, kurasa memang tiada esok lagi bagi kami, karena hari ini adalah hari perpisahan, hari terakhir buat kami. Aku tak tahu, apakah kelak aku akan bisa bertemu lagi dengan gadis yang cantik,

kekasihku ini, ataukah tidak! Berciuman dan berciuman, itulah yang kami lakukan. Tidak ada pikiran lain yang timbul untuk berbuat lebih daripada berciuman dan berciuman! Tak terasa, hari mendekati pukul 9 pagi. Hampir satu jam lamanya kami berpeluk, bercium dan bercium! Kini saatnya aku harus kembali, untuk bersama-sama ayah, ibu dan saudara-saudaraku, menantikan jemputan bus yang akan pergi kelapangan terbang. Ema yang datang bersamaku, akan melepas keberangkatan kami dari rumahku. Bibirku terasa pedih karena luka luka kecil gigitan cinta saat bercium! Pindah ke pulau Jawa Tepat pukul 10 pagi, bus yang akan membawa kami datang. Dengan penuh kesedihan kami berpisah. Ema memeluk ibu dan saudara-saudaraku. Mereka semua sudah kenal baik satu sama lain. Ketika aku memeluk dan menciumnya sebagai ucapan selamat tinggal, dan membisikkan bahwa aku mencintainya, dia meneteskan air mata. Hatiku juga menangis dan menjerit : “Tinggallah kasih, tinggallah sayang……Aku mencintaimu!” Tenggorokanku terasa sakit menahan emosi. Bus yang kami tumpangi bergerak maju…… Kutinggalkan Pekanbaru, kutinggalkan segala kenangan, kutinggalkan teman-teman masa kecilku, teman-teman sependeritaan, seperjuangan …………kutinggalkan gadis cinta pertamaku, kekasihku Ema! Pesawat Caltex terbang tinggi memisahkan kami………… Sesampainya di Jakarta, bus Caltex telah menunggu dan membawa kami ke stasiun kereta api Gambir. Dengan kereta api, kendaraan darat yang paling disukai umum ini, kami menuju ke timur, ke Yogyakarta, mengunjungi saudara tua ibu, yang telah lama berpisah dengan ibu, yang berkediaman di Wonopeti, Karangsewu, Brosot, di sebelah Barat Daya kotaYogyakarta. Daerah itu sangat indah, berada di pantai Selatan pulau Jawa. Deburan ombak Lautan Hindia (pada waktu itu belum disebut Samudra Indonesia) yang terkenal dengan sebutan Nyai Roro Kidul, terdengar sampai ke rumah di kampung pakde, saudara tua ibuku.

Riau Berdarah | 107

Aku tidak ingat, berapa lama kami berada di kampung ibuku ini, bertemu dan bergaul dengan saudara tua ibu serta kedua anak lelakinya yang agak lebih tua dariku dan teman-temannya sekampung, menikmati keindahan alam, pantai lautan Hindia, dan gunung Merapi yang menjulang tinggi, yang nampak dari kejauhan. Kemudian, suatu hari, dengan mengendarai delman, kereta kuda, melewati sebuah jembatan kayu yang panjang, diatas sungai yang hampir tiada berair yang disebut Kali Progo, kemudian di lanjutkan dengan taxi melalui wilayah Sleman, kami kembali ke kota Yogyakarta. Setelah mendapat tempat penginapan, kami mencari Mas Sumadi di rumahnya di daerah Pathook, anggota organisasi ketoprak Mataram yang pernah datang ke Pekanbaru dan menginap di rumah kami. Kami menemukan rumahnya dan berjumpa dengannya . Ia dan keluarganya menyambut kami dengan ramah sekali. Ayah berunding dengan mereka untuk kemungkinan aku bisa menompang di rumahnya dan mencari sekolah di Yogyakarta.Mereka menyatakan kegembiraannya dan bersedia menerimaku. Keluarga mereka hanya terdiri dari 3 orang. Mas Sumadi, istrinya serta seorang anak gadisnya berusia sekitar 16 atau 17 tahun. Sepakat sudah, bahwa aku akan tinggal bersama mereka.. Esoknya, dengan kereta api pagi, ayah, ibu dan saudarasaudaraku berangkat ke Jakarta untuk selanjutnya terbang kembali ke Pekanbaru. Kulepas mereka dengan sedu dan tangisku. Kali ini aku berpisah dengan darah dagingku sendiri. Semua orang yang sangat kucintai, berpisah dan akan jauh dariku.Ayah, ibu, sanak saudara, Ema dan semua teman-teman yang bertahun-tahun kukenal…….semua ku tinggalkan. Di sini, aku mesti memperbarui hidupku, mencari teman dan kawan baru! Aku merasa asing di kampung ibuku ini! Ayah dan ibu memberi nasehat dan petuah kepadaku agar baik-baik menjaga diri, harus pandai menyesuaikan diri. ”Ingat”, kata ayah, “jarak antara Pekanbaru dan Yogyakarta bukannya dekat …….!” Sepeninggal ayah, ibu dan saudara-saudaraku, aku memulai kehidupan baru di tanah Jawa ini. Masih ada waktu seminggu,

menjelang tahun ajaran baru buat mencari sekolah. “Masih ada waktu untuk mencari dan mendapatkan sekolah” pikirku. Dan, seperti yang dianjurkan oleh mas Sumadi, aku mendatangi kantor comite partai, memperkenalkan diri dan juga meminta bantuan,yang barangkali dapat diberikan, agar aku mendapatkan sekolah. Kudatangi kantor Comite Daerah PKI di Jalan K.H.Ahmad Dahlan no.7 Yogyakarta. Para staf di kantor itu menyambutku dengan baik sekali, apalagi setelah mereka mengetahui bahwa aku datang dari Pekanbaru Sumatera. Aku gembira atas sambutan mereka yang ramah dan antusias ini. Mereka menyatakan, bahwa setiap saat dan waktu aku dipersilahkan untuk datang dan berada di kantor ini, sementara mereka akan mencoba berusaha mencarikan sekolah buatku. Aku menulis surat untuk ayah dan ibu serta saudara-saudaraku di Sumatra, dan juga kepada Ema. Dalam suratku kepada Ema, kulukiskan segala kasih dan kerinduanku kepadanya. Aku merasa kehilangan dirinya! Berhalaman-halaman kutulis surat untuknya, menyatakan kasih, cinta dan rinduku padanya. Dalam balasannya, di samping menyatakan juga kasih dan rindu seperti yang kurasakan, dia bergurau dengan mengatakan suratku begitu panjang seperti “suratkabar”. . Aku hanya tersenyum membaca surat dan gurauannya ini. Hari demi hari, minggu demi minggu kujalani kota Yogyakarta, sekolah demi sekolah kudatangi untuk mendapatkan tempat belajar bagiku. Dari sekolah yang berstatus negeri sampai ke sekolah swasta. Namun, tidak berhasil. Aku tidak tahu mengapa begitu sulit untuk mendapatkan sekolah? Apakah karena aku mencari sekolah di kelas pertengahan—yaitu kelas II—ataukah karena keadaan nilai raportku yang memang tidak begitu bagus ? Apakah karena aku sendiri yang mencari sekolah, bukan orangtua atau waliku, sehingga setiap pejabat sekolah yang kudatangi tidak mengacuhkan dan memandang rendah ? Ataukah juga karena telah mulainya tahun ajaran baru? Aku benarbenar tak mengerti! Dan pertolongan dari staf comite yang kantornya setiap hari kudatangi, juga belum kuperoleh. Timbul tanda tanya dalam hatiku, “apakah mereka lupa…..?”

Riau Berdarah | 109

Tiga bulan aku berada di Yogyakarta dan aku tidak berhasil mendapatkan satu sekolahpun. Sampai kukatakan kepada setiap pejabat atau kepala sekolah yang kudatangi, “kalau Bapak mau menempatkan saya di kelas I, saya akan terima. Yang pokok saya bersekolah dan belajar!” Namun, mereka mengatakan tidak ada tempat dsb. dsb. Aku menjadi frustasi dan jengkel pada diriku atas kegagalanku ini! Ketidak berhasilanku mendapatkan sekolah, kuceritakan kepada Ema dalam suratku kepadanya. Dalam balasan, ia menganjurkan agar aku kembali ke Pekanbaru, mengulang lagi di kelas II. “Hahhh,….. apakah hal ini mungkin ?” aku merasa heran akan balasannya ini! Semua pertanyaan yang tiada terjawab, timbul dalam pikiranku! “Kalau aku kembali, dan duduk di klas II lagi, kemana muka akan kuletakkan? Apakah ini tidak akan berarti menunjukkan kepada umum bahwa aku benar-benar gagal? Bagaimana pandangan mereka yang tahu bahwa aku adalah pimpinan organisasi pemuda pelajar? Pemuda Rakyat dan IPPI? Hahhhh……! Apakah.tidak lebih baik kalau aku mencari kerja di Yogyakarta? Tapi, akan jadi apa? Aku cuma punya ijazah SMP. Sedang bagi yang punya ijazah SMA atau Perguruan Tinggi di Jawa ini banyak yang menganggur! Hahhhhh……..!” Pikiranku benar-benar kacau dan buntu! Sementara itu, dalam suratnya, ayahku, yang mengetahui benar persoalanku, mengatakan bahwa Ema kasak kusuk di SMA Pekanbaru, membicarakan persoalanku dengan seorang bekas guruku yaitu S.A..Sutarno, yang juga ketua PGRI. Riau . Bekas guruku ini berunding dengan Kepala Sekolah M.Farid Kasmy mengenai persoalan diriku yang terkatung-katung di pulau Jawa, tidak mendapatkan sekolah! Kembali ke Riau Beberapa hari kemudian, aku menerima telegram dari Pekanbaru. Isinya singkat saja: “segera kembali koma kepala sekolah bersedia menerima koma tertanda sutarno”. Ah, aku yakin sekali, ini adalah kerja dan usaha Ema. Aku menyadari, betapa inginnya dia agar aku

kembali ke Pekanbaru dan senantiasa dekat dengannya. Dengan datangnya telegram itu, bagiku tidak ada jalan lain selain kembali ke Pekanbaru dan duduk kembali di kelas II. Aku harus melupakan soal malu dan segala pikiran yang manari-nari di dalam kepalaku, dan sebagainya. Aku juga sampai kepada suatu pemikiran , bahwa dalam berjuang, kadang-kadang kita harus mundur selangkah untuk maju dua langkah. Ya, seperti tentara di medan tempur! Mundur untuk maju. Kalah untuk menang! Dan bagiku, yang penting adalah aku harus mendapat ijazah SMA untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang baik guna hari depanku. Kepada para staf comite di Yogyakarta, kukatakan bahwa aku harus kembali ke Sumatera. Mereka merasa heran, terkejut dan bertanya mengapa aku harus kembali. “Telah 3 bulan saya di sini, saya tak bisa mendapatkan sekolah, jadi rasanya kurang baik untuk saya berlama-lama di sini tanpa sekolah!” kataku sambil memperlihatkan telegram yang kuterima. Mereka sedih dan menyatakan penyesalannya atas kegagalan ini. Tidak susah bagiku untuk mengurus perjalananku kembali ke Pekanbaru. Pengurusan tiket kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta, urusan di kantor Caltex di Kebon Sirih, Jakarta untuk penerbangan ke Pekanbaru, semua kulakukan sendiri, tanpa meminta bantuan siapapun. Aku tiba kembali di Pekanbaru dan disambut gembira oleh ayah, ibu, saudara-saudaraku serta tak ketinggalan Ema kekasihku. Kucium dia sambil mengucapkan terima kasih atas segala usahanya memanggilku kembali ke Pekanbaru. Aku merasa “berhutang budi” padanya! Para guru dan Kepala Sekolah juga menyambutku dengan baik. Bahkan Kepala Sekolah menganjurkan supaya aku belajar lebih keras lagi agar bisa lulus pada ujian akhir. “Saya menyadari keadaanmu, Yo! Tidak ada murid lain yang keadaannya seperti keadaanmu. Karenanya, rajinlah belajar!” kata Bapak M. Farid Kasmy, Kepala Sekolah yang putra Riau itu memberiku nasehat Aku berterima kasih akan segala bantuan dan pengertiannya ini. Kini aku kembali duduk di kelas II SMA bagian Ilmu Pasti Alam. Saat itu Ema sudah duduk dikelas II SMEA. Dan bekas “kekasih surat

Riau Berdarah | 111

cintaku” yang anak Tiku Pariaman yang pernah menjadi adik kelasku, kini telah tamat SMA dan pindah ke Jakarta melanjutkan karir dan pelajarannya ke sekolah tinggi yang kemudian mempunyai profesi yang terkenal. Juga kekasihnya yang juga bekas teman belajarku satu grup, yang mengambil alih “si gadis hitam manis” itu dariku, juga pindah ke Jakarta bersamanya. Begitupun teman-temanku sekelas sebelumnya, semuanya telah lulus dan melanjutkan pelajarannya yang lebih tinggi ke kota besar di Jawa maupun Sumatera. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi sarjana, dokter, professor dan rektor, bahkan menjadi perwira tinggi militer yang kudengar memimpin pembangunam lapangan terbang Pasir Pengaraian di daerah Riau. Semua mereka memberikan pengabdiannya untuk membangun daerah dan tanah air. Masih jelas dalam ingatanku akan wajah-wajah mereka, seperti, Mansyur Arsyad, Muhktar Ahmad, Tabrani Rab, Indon , Elly Kasim, Ahmadsyah. Ahhh…terlalu banyak kalau mesti kusebut nama mereka satu persatu. Hanya suatu waktu jika mereka kebetulan dapat membaca tulisanku ini, mungkin ingat kembali akan daku, seseorang yang mereka lupakan ini, atau mungkin juga mereka akan merasa malu karena suatu masa dulu mereka pernah menjadi temanku satu sekolah ataupun satu kelas! Namun, kendatipun mereka barangkali tidak menyukai, kusampaikan salamku buat mereka semua! Juga, teman-temanku sekelas dan sesama sekolah, yang tak berhasil mencapai “kedudukan tinggi” juga kusampaikan salamku buat mereka! Tentang diriku, kendatipun waktu itu masih harus berada dalam “tahanan sekolah di kelas II SMA” , namun terus terang aku berterima kasih atas jasa Ema dan berjanji di dalam hatiku untuk tidak akan menyia-nyiakan dirinya. Kini, aku kembali menekuni buku-buku pelajaranku. Aku mencoba menyibukkan diri dan menumpukan perhatianku kepada pelajaran-pelajaran sekolah. Namun, terus terang, sekali lagi aku gagal, tidak berhasil menumpukan semua perhatianku hanya pada pelajaran! Kini, dalam waktu yang sama, ada 3 masalah yang mesti ku hadapi serentak. Sekolah, Organisasi dan Ema! Ketigatiganya harus kuhadapi dan memerlukan waktu. Ketiga-tiganya penting! Aku harus belajar keras untuk sekolahku, ini pasti! Dan aku

juga tidak bisa mengabaikan organisasi IPPI begitu saja. Ini juga pasti! Apalagi aku mendapat perpanjangan mandat dari Pengurus Besar IPPI di Jakarta, dan pesan dari Ketua Umum sdr. Teddy Kardiman dan Secretaris Umum Sdr. Budiman Sudharsono, agar aku terus mengelola IPPI daerah Riau bersama-sama Kambasli dan Ema. Ini merupakan tugasku, tugas kami! Kepengurusan IPPI Daerah kami perbarui, dengan Kambasli sebagai Ketua Umum dan aku sebagai wakilnya. Sedang Ema adalah Sekretaris Umum dengan seorang Wakil Sekretaris yaitu Syafri Hasibuan. Dan, sudah tentu, aku juga harus punya waktu untuk kekasihku Ema! Apalagi, hubunganku dengan Ema, telah mendapat lampu hijau. Orangtuanya, keluarganya tidak menolak atau melarang ketika kupasangkan cincin belah rotan sebagai tanda ikatan, di jari manis Ema, kendatipun tanpa upacara. Semua teman-teman dari organisasi sehaluan tersenyum dan gembira melihat kemajuan ini. Kegiatanku di luar sekolah bertambah. Bukan sebatas organisasi pelajar saja, namun aku juga sesekali menulis berita yang kuperoleh untuk suratkabar seperti Harian Penerangan yang kemudian bertukar nama menjadi Suara Persatuan yang dipimpin oleh Bapak A.Umar Said dan diterbitkan di Padang, Juga, untuk Jalanbaru yang diterbitkan di Medan, bahkan kadang-kadang untuk Harian Rakyat di Jakarta. Di samping itu, aku juga banyak membaca. Segala buku dan novel pengarang-pengarang Indonesia kubaca. Dari cerita-cerita silat, ceritacerita sejarah sampai kepada tulisan Bung Karno Dibawah Bendera Revolusi, Sarinah dan sebagainya. Aku menjadi penggemar Sukarno. Setiap pidatonya senantiasa kudengar dan kuikuti. Aku benar-benar keranjingan dengan suaranya. Sampai-sampai aku bisa bergaya mengikuti dan mendeklamasikan segala ucapan dalam pidatonya. Sementara itu, kegiatan dalam pacaran juga bertambah. Pihak orangtua Ema meminta agar aku sering datang untuk bisa membantu Ema belajar di rumah. Karena, dalam waktu tidak begitu lama lagi dia akan mengikuti ujian Pelengkap di sekolahnya. Permintaan orangtuanya ini kupenuhi. Hampir setiap malam aku datang dan belajar bersama dari jam 7 sampai 9 malam . Siang harinya, kadangkadang selesai sekolah, dia singgah ke rumahku bertemu ibu dan

Riau Berdarah | 113

saudara-saudaraku. Mereka semua menyukai Ema yang nampaknya pandai mengambil hati, ibu dan saudara-saudaraku. Beberapa waktu kemudian, di saat liburan panjang sekolah, ibunya yang tinggal di Jakarta bersama kakek dan neneknya, memanggilnya ke Jakarta. Rencananya, bersama-sama ibunya akan kembali ke Pekanbaru setelah selesainya liburan sekolah. Dia meninggalkan pelabuhan Sungai Siak dengan sebuah kapal laut yang bernama Riau I, menghilir sungai kemudian menyusur pantai timur Riau dan Sumatera Selatan menuju ke Tanjung Priok. Di saat kekosongan ini, di saat kepergian Ema ke Jakarta, sekolahku —SMA Negeri—yang didirikan pada tahun 1955, untuk pertama kalinya melangsungkan ulang tahun dengan mengadakan perayaan “pasar malam” di halaman sekolah yang cukup luas. Perayaan itu ternyata sukses, sangat meriah dan banyak pengunjungnya. Mulanya, sebelum dimulainya kegiatan Ulang Tahun tersebut, Panitia Perayaan Ulang Tahun itu diketuai oleh Direktur Sekolah M.Farid Kasmy dengan secretarisnya Salasa Siregar, Kepala Administrasi Sekolah. Namun, karena tugas Administrasi Sekolah yang cukup banyak dan tidak bisa dibagi, maka Kepala Sekolah menyerahkan tugas dan jabatan secretaris panitia perayaan ulang tahun SMA itu kepadaku. Aku yang hanyalah seorang murid sekolah, merasa mendapat kepercayaan dan kehormatan yang begitu besar dengan diserahi jabatan seperti itu. Dan aku bersyukur, bahwa tugas yang dipikulkan keatas pundakku itu dapat kulaksanakan dengan baik. Semua guru-guruku seperti Ali Sati Siregar, Bonggas Pasaribu, S.A. Soetarno, A.Latief, Ibu Miriam Safei, Santoso, Harsono dan tak terkecuali Kepala Sekolah M.Farid Kasmy, dan lain-lain merasa senang dan puas dengan tugas yang kulaksanakan selama peringatan Ulang Tahun Pertama SMA Negeri Pekanbaru yang baru diselenggarakan pertama-kalinya pada tahun 1960 itu . Ema kembali dari Jakarta bersama ibu kandungnya Sainuna. Aku menyambut mereka dengan gembira. Waktu dia memperkenalkan aku dengan ibunya, sempat aku bergurau dalam bahasa Minangkabau. “Waktu kita berjumpa di Bukittinggi tahun 1958 dulu, sungguh saya tidak menyangka dan tidak tahu kalau etek punya anak gadis yang

cantik! Seharusnya saya panggil ibu dan bukan etek. Tetapi saya memanggil etek sejak pertemuan di Bukittinggi dulu” “Sekarang sudah tahu ? “ dia menjawab dengan pertanyaan sambil tersenyum. “Ahh, ….lebih dari tahu….!” jawabku sambil tersenyum tersipu-sipu. Ia melihatku, membelalakkan matanya dan tersenyum . Ibu Sainuna, yang kupanggil etek dalam bahasa Minangkabau yang berarti tante atau makcik, kurasa adalah seorang ibu yang mudah mengerti. Kulihat, dengan cara dan tata tertibku bergaul dengan anaknya dan semua kerabatnya, nampaknya ia merestui pergaulanku dengan anaknya, Ema. Namun, kemudian, kulihat dan kupelajari bahwa di dalam keluarganya , Etek Sainuna seolah-olah merasa rendah dan tidak dihargai. Mungkin, hal ini disebabkan karena setelah kelahiran Ema, anak tunggalnya, dia hidup menjanda dan tidak mau kawin lagi. Juga, mungkin karena pendidikan sekolahnya lebih tinggi dari kakaknya, ibu Janaisah, menyebabkan kecemburuan di dalam keluarga. Lagi pula, karena kepandaian kakaknya berbicara menyebabkan sayang orangtua terhadap kedua anaknya berbeda. Apalagi, sejak dilahirkan, Ema memanggil ibunya hanya dengan panggilan “Una”, yaitu kependekan untuk namanya Sainuna. Ini disebabkan karena ayah, ibu dan kakak serta suami kakaknya— pokoknya semuanya di antara sanak keluarga mereka—memanggilnya Una, sehingga Ema sejak kecil meniru panggilan itu. Dan etek Sainuna sendiri tidak bisa membantah dan menolak perlakuan ini ! Ini juga disebabkan barangkali karena hidup keluarga, beberapa generasi berada di sebuah “rumah gadang” Minangkabau ! Jadi, terlalu banyak sebab dan kemungkinan yang membuat Etek Sainuna nampak seperti tidak bahagia! Suatu saat, ketika kami duduk bersama, bercerita, dengan Ema dan ibunya, aku mengatakan bahwa aku tidak setuju dengan cara anak memanggil ibunya hanya dengan panggilan namanya saja.” Nampak, seolah-olah tidak menghormati dan tidak menghargai seorang ibu yang mengandung dan melahirkannya.” kataku. Rupanya, kata-kataku ini ditanggapi baik oleh ibunya . Ini dapat kuketahui, walaupun dia hanya berdiam diri tanpa memberi komentar, namun sekilas kulihat

Riau Berdarah | 115

dia tersenyum. Dan sejak itu, dia makin menampakkan sayang dan hormat terhadapku. Kini, aku dan Ema adalah sama-sama pelajar kelas terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ujian akhir akan berlangsung dalam waktu yang tidak lama lagi. Kami harus belajar rajin guna mengikuti ujian penghabisan, agar lulus dan bisa mendapatkan diploma untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi atau untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Dia mengikuti ujian akhir Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), sedang aku mengikuti ujian akhir Sekolah Menengah Atas Bagian Ilmu Pasti Alam (SMA bagian B).

Kongres Pemuda Pelajar Sementara menanti pengumuman hasil ujian akhir, ada suatu kegiatan besar yang harus kami ikuti. Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia—IPPI— melangsungkan Kongresnya di Jakarta pada Juli 1961. Dua orang pelajar Pekanbaru yaitu M.Saleh dan Ibnu Awam, dipilih untuk menjadi utusan mewakili Riau dalam Kongres IPPI itu. Namun karena tiada cukupnya dana,dan untuk membantu meringankan Panitia Kongres di Jakarta, Ema dan aku terpaksa ikut bergabung menjadi utusan. Alasannya, di samping kami bisa mengongkosi perjalanan kami, juga dengan ikutnya Ema, semua utusan bisa tinggal di rumah kakek dan nenek Ema di Utan Kayu Jakarta. Apalagi aku dan Ema masih berstatus mandataris Pengurus Besar IPPI untuk Daerah Riau. Jadi, kami berempat ke Jakarta mewakili IPPI Riau. Sedang Kambasli tidak ikut pergi ke Kongres, untuk menjaga jangan sampai ada kekosongan pimpinan dalam IPPI Daerah Riau. Kongres yang dilangsungkan di Gedung Pemuda Jakarta ini sungguh sangat meriah. Banyak wakil-wakil pemuda pelajar dari seluruh tanah air yang hadir. Setiap wakil-wakil daerah memberikan sambutan dan pengalaman pelajar dalam Kongres ini. Sebagai ketua delegasi Riau, aku memberikan sambutanku, membeberkankisah di mana sebagai pimpinan pelajar tidak mau tunduk apalagi mendukung

pemberontak separatis. “Saya dan sdr. Kambasli yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum IPPI Daerah Riau , ditangkap dan ditahan oleh PRRI, dibawa lari oleh pemberontak kemanapun mereka pergi, dan di tahan di berbagai tempat dan kota dan desa di Sumatera Barat, karena pemberontak diburu oleh Tentara yang loyal terhadap Pemerintah Pusat.Sebahagian dari kami para tahanan—Kambasli dan saya, beserta beberapa belas orang tahanan lainnya—berhasil melarikan diri kedaerah yang telah dibebaskan dari pemberontak. Kami diterima baik oleh TNI yang loyal kepada Pemerintah Pusat, di bawah pimpinan Presiden Sukarno” aku menjelaskan pada para pengikut Kongres. Juga, kuceritakan tentang rapat umum yang di langsungkan pada 27 September 1960 di gedung bioskop La Vita yang dihadiri oleh tidak kurang dari 3000 orang pelajar sekolah menengah di Pekanbaru beserta para guru yang mengiringi mereka, untuk memperingati dan mengulangi “Ikrar Pelajar Indonesia”, yang telah dicetuskan pada 27 September 1945, bahwa: Pelajar Indonesia mengakui Satu Negara, yaitu Republik Indonesia dan Satu Bangsa, yaitu Bangsa Indonesia! Sambutanku ini mendapat tepukan tangan yang gemuruh dari para peserta Kongres.. Sebaliknya, Ema, mendapat tugas yang lain. Di samping kasakkusuk di dalam grup diskusi, dia juga terpilih bersama-sama dengan beberapa orang pimpinan dan anggota Panitia Kongres untuk menghadap Bung Karno, Presiden Republik Indonesia di Istana Merdeka, memohonkan sambutan dan amanat beliau. Ketika menghadap dan berbicara langsung dengan Bung Karno, para utusan diberitahu, karena sudah ada jadwal acara lain yang tidak bisa diubah, beliau tidak bisa hadir dalam Kongres IPPI. Beliau hanya memberi restu dan doa selamat untuk berhasilnya Kongres IPPI itu. Selesai sidang Kongres pada hari itu, kami kembali kerumah kakek Ema di Utan Kayu, dimana kami berempat menginap. Di depan kakek dan neneknya, aku memuji Ema yang telah dapat bertemu dan berjabat tangan dengan Presiden Republik Indonesia, Bung Karno. “Tidak banyak rakyat Indonesia yang bisa mendapat kesempatan seperti itu.” kataku. Kakeknya, yang bergelar Perintis Kemerdekaan RI itu, juga turut gembira. “Ya, andung dan cucu sama-sama telah

Riau Berdarah | 117

mendapat kesempatan untuk berjabat tangan dengan Presiden Indonesia!” aku menambahkan. Semua tertawa gembira. Tamat Sekolah dan Bekerja Kongres Pemuda Pelajar tahun 1961 itu, selesailah sudah. Kami kembali ke Pekanbaru, dengan menumpang kapal menuju Teluk Bayur Padang, untuk selanjutnya dengan bus umum dari Padang ke Pekanbaru. Sesampainya di Pekanbaru, aku mengetahui bahwa aku dan Ema ternyata lulus ujian akhir Sekolah. Kami sangat gembira sekali! Ayah dan ibuku juga turut gembira dengan lulusnya kami ini. Namun, ibarat permainan, aku hanya menang tipis. Nilaiku, hanya pas-pasan saja untuk bisa lulus. Bahasa Inggris, Jerman dan Indonesia-ku mendapat nilai tinggi. Sedang untuk ilmu pasti, alam dan kimia, aku mendapat angka jelek, namun hal ini bisa tertutup dengan nilai tinggi yang kuperoleh buat pelajaran pokok lainnya. Ya, walaupun nilainya kurang memuaskan, yang penting aku lulus dan mendapat diploma. Aku cukup gembira dengan hasil yang sederhana itu, karena bayangkan saja, tahun 1956 aku masuk SMA, yang seharusnya hanya di jalani selama 3 tahun, namun, karena PRRI , aku baru bisa tamat dan lulus pada tahun 1961. Ini berarti 5 tahun penuh. Coba, bayangkan andai kata aku tidak lulus, akan bagaimana jadinya……. ……!

Keadaan ayahku sebagai pegawai Caltex, mengalami perobahan. Kalau pada waktu liburan panjang ke Yogyakarta tahun 1959 ayah adalah pegawai associate-staff grade 3, kini tingkatannya adalah grade 5-A. Satu tingkat lagi ke grade 6, yang merupakan tingkatan awal untuk pegawai senior staff. Dan kalau hal ini bisa tercapai, maka akan banyak membantu dan bisa merobah pendapatan dan hidup ayah. Dan kemungkinan aku bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi atau universitas. Namun, sayang, sebelum kedudukan dan tingkatan

pegawai tinggi ini tercapai, ayah harus memenuhi peraturan pegawai Caltex, yaitu pensiun karena ayah mencapai usia 55 tahun, kendatipun keadaan fisik ayah masih cukup kuat dan baik . Yah, apa mau dikata, peraturan! CLA, Collective Labour Agrement antara Buruh dan Majikan ! Keadaan ini— dengan pensiunnya ayah—membuatku berpikir untuk mencari kerja, daripada melanjutkan sekolah. Apalagi, usiaku pada saat itu sudah mencapai 23 tahun Namun, kendatipun ayah harus menjalani pensiun, ayah masih tetap bekerja di tempat yang sama. Supertintendent Construction and Maintenance Department Caltex Rumbai, dimana ayah bekerja, yang pada saat itu dijabat oleh Mr.Walter La Voie seorang Amerika keturunan Italia, menawarkan agar ayah tetap bekerja pada posisinya sebagai Kepala Paint Shop Caltex, dengan cara menanda tangani kontrak kerja untuk dirinya. Ayah menerima tawaran ini, dan tetap bekerja di tempat yang sama, dengan jabatan, kekuasaan dan tanggung-jawab yang sama, namun kehilangan segala bentuk tunjangan dan fasilitas kepegawaian , karena ayah bukan lagi pegawai Caltex. Di samping itu, sang superintendent ini juga menganjurkan agar ayah mendirikan perusahaan kontraktor utk menerima pekerjaan dari Caltex. Sarannya ini juga diterima ayah.Terdaftar dan berdirilah sebuah perusahaan Kontraktor yang menggunakan nama ayah. Ayah sebagai Manager dan aku tercatat sebagai Wakil Manager, serta seorang kawan, A.Wahab sebagai Pembantu pimpinan perusahaan Kontraktor. Mr. Walter La Voie memberikan kontrak kerja kepada ayah untuk mengecat kembali rumah-rumah Caltex yang diperuntukkan buat pegawainya, dari tingkatan rendah sampai tingkat tinggi bahkan rumah manager, yang ratusan jumlahnya, yang tersebar di area Caltex yang sangat luas. Hal ini menguntungkan kedua belah pihak, Caltex sebagai pemberi kontrak jasa dan ayah sebagai pelaksana atau kontraktor. Ayah menjadi bertambah sibuk daripada sebelumnya, karena menjabat dua jabatan sekaligus. Sebagai Kepala Paint Shop Caltex dan sebagai Kepala perusahaan kontraktornya sendiri. Aku mengambil keputusan untuk membantu ayah, bekerja bersamanya. Setiap pagi, aku ikut ayah ke Rumbai dan bekerja di sana. Aku membantu dalam pencampuran warna-warna cat untuk digunakan

Riau Berdarah | 119

mencat rumah-rumah Caltex . Kucatat berapa ukuran untuk setiap warna yang diperlukan. Aku mulai mengerti akan nama-nama jenis cat, warnanya, ukuran-ukuran pencampurannya dan larutan-larutan tambahan yang digunakan untuk anti cendawan, semuanya dalam bahasa Inggris. Bahkan, aku juga hafal akan nomor-nomor kode cat yang digunakan untuk perusahaan Caltex itu. Aku bekerja tanpa memikirkan lelah dalam membantu ayah. Semua teman dan bawahan ayah merasa senang bekerja denganku, dan aku merasa berterima kasih kepada mereka yang mau mengajari dan menunjukiku soal-soal yang menyangkut pekerjaan. Disamping itu, karena aku bekerja dari pagi sampai sore, maka tidak ada lagi kemungkinan buat Ema datang mengunjungiku pada siang hari seperti waktu masih menjadi “anak sekolah”. Sedangkan aku hanya sesekali dapat datang mengunjunginya pada malam hari ke rumahnya. Namun kunjungan ini tidaklah lama karena paginya aku harus pergi bekerja, kecuali di malam Minggu. Tidak lagi seperti ketika kami masih menjadi anak sekolah, dimana kami belajar bersama kadang-kadang sampai agak larut malam. Dalam hati, aku masih mempunyai harapan dan keinginan, kendatipun aku bekerja membantu ayah, jika ada kesempatan dan kemungkinan, aku ingin melanjutkan pelajaranku, agar aku bisa mempunyai pendidikan tinggi. Pada saat itu—tahun 1961— terbuka peluang bagi pemudapemuda Indonesia tamatan SMA dan yang sederajat, untuk belajar, sebagai mahasiswa pada Universitas Persahabatan “Patrice Lumumba” di Moskow. Aku dan Ema tertarik akan tawaran itu. Kami persiapkan segala surat-surat lamaran, salinan ijazah dan surat keterangan dokter yang diperlukan. Dan Ema, yang memang berkeinginan ke Jakarta untuk menemui kakek dan neneknya, bersama ibunya berangkat dan membawa surat permohonan kami supaya dapat diberikan kepada Kantor Kedutaan Besar Uni Sovjet di Jakarta. Tinggallah aku yang menyibukkan diri dengan pekerjaan bersama ayah di Rumbai. Dengan pendidikanku yang tamat SMA dan giat bekerja dalam membantu ayah, kiranya mendapat perhatian dari boss ayahku. Aku disuruh membuat surat permohonan untuk menjadi pegawai Caltex.

Kuturuti apa yang disarankannya ini. Beberapa hari kemudian Kepala Kantor Department C & M, (Construction & Maintenance), memanggilku dan memberiku test dalam bahasa Inggris. Tidak begitu sulit bagiku, karena test itu hanya menterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Sorenya, Kepala Kantor yang bernama Gayus Marpaung, menyatakan bahwa aku lulus test, dan memberiku secarik kertas rekomendasi agar esok pagi menghadap kantor Personnel di Main Office Caltex Rumbai. Esok paginya, ayah menurunkan aku tepat di depan Main Office Caltex dari mobil perusahaan yang membawaku serta para pekerja lainnya ke lokasi pekerjaan masing-masing. Selanjutnya,aku menuju Kantor Kepegawaian. Di kantor ini aku memberikan segala keterangan dan identitas diriku. Aku diterima sebagai pegawai Caltex dengan status pegawai bulanan, Grade 1 dengan badge hijau No.: 11581, dengan jabatan sebagai kerani golongan B klas A. Setelah itu, aku kembali ke kantor dimana aku menjalani testing, dan di sini aku di tempatkan di sebuah kantor khusus untuk Maintenance, di sebelah kantor Mr. La Voie, Kepala Departmen C & M. Aku ditempatkan di dekat pintu masuk kantor, dengan sebuah meja dan kursi serta telepon.agar setiap pekerja yang memerlukanku, dapat dengan mudah menghubungiku. Supervisorku adalah seorang dari suku Batak bernama Hakim Siregar dengan dua orang bawahannya yaitu Timarui yang juga dari suku Batak dan Juliar, seorang gadis Minangkabau. Termasuk diriku, di kantor yang kecil ini ada 3 orang kerani dan seorang Supervisor. Kantor Maintenance ini membawahi segala bagian pekerjaan, seperti paint shop, carpententer shop, mason, pipe fitter, golf course maintenance, upholstery and canvas shop, dll. Itu sebabnya barangkali aku ditempatkan di dekat pintu masuk. Mungkin untuk memudahkan aku keluar dan masuk dalam melaksanakan tugas, karena tugas yang kujalankan adalah menyampaikan segala perintah kerja kepada semua bagian, mengatur pemberangkatan mereka kelokasi pekerjaan dengan kenderaan dan pengemudi yang juga diserahkan dibawah pengawasanku. Jadi memudahkan untuk para pekerja dan para sopir keluar dan masuk, menghubungiku ataupun sebaliknya. Aku menerima G.O. dari Main Office dan depatemen-departemen lainnya,

Riau Berdarah | 121

yang kemudian kuterjemahkan dan kusalin ke dalam bahasa Indonesia, sebagai “perintah kerja”bagi setiap bagian dan pekerja dilingkungan departemen C&M. Aku benar-benar sibuk dari pagi hingga sore. Mereka mengatakan “tenaga baru”, mesti kerja keras! Aku masih ingat, hari aku diterima menjadi pegawai Caltex itu adalah 24 April 1962!

Sementara itu, Ema yang pergi ke Jakarta, kembali ke Pekanbaru sebelum aku di terima menjadi pegawai Caltex. Dalam pembicaraan saat aku mengunjunginya, dia mengatakan bahwa aku tidak bisa diterima pada Universitas Patrice Lumumba di Moskow karena nilainilai dalam ijazahku tidak memuaskan. Dia diterima, karena nilai diplomanya agak baik. Namum dia tidak mau pergi tanpa diriku. “Hah, mengapa kau tidak pergi belajar ke sana?. Kau di terima, mengapa kesempatan yang baik ini di buang begitu saja…” kataku seperti heran. “Andung tidak mau kalau Ema berangkat sendiri, sedang mas tidak ikut“ jawabnya. Dia menggunakan kata panggilan “mas” untuk diriku, karena semua adik-adikku memanggilku “mas”! “Ah……mengapa….begitu? ” aku bertanya. “Kau bisa tinggalkan aku, cari pemuda sesama mahasiswa Indonesia di Moskow, atau cari orang Russia untuk gantiku... kan kau juga punya teman Nova anak Ibu Salawati Daud yang juga dikirim ke Universitas itu……..mengapa tidak pergi bersamanya……mengapa kembali ke Pekanbaru?” sambil tertawa dan bergurau aku berkata menggodanya. “Kau cucu perintis kemerdekaan, cucu pendiri partai komunis!…. Kau ada hak belajar di negeri Komunis, mengapa melepaskan kesempatan yang begitu baik…” Dia tidak menjawab, hanya memandangku dengan mata yang dibelalakkan . Dan tiba-tiba saja pangkal lenganku digigitnya! Gigitan mesra!? Sebenarnya, aku sendiripun tak tahu bagaimana akan jadinya jika ia pergi meninggalkanku! Barangkali, hatiku akan selalu berlagu sedih, seperti nyanyian lagu Indonesia populer pada saat itu “hatiku

hancur mengenang dikau, berkeping-keping jadinya, ingin kurasakan lebih lama lagi, hidup bersama denganmu…….!” Ya, barangkali! Barangkali akan begitu! Suatu malam Minggu aku datang mengunjunginya. Aku yang oleh keluarganya sudah dianggap sebagai kekasih Ema, mereka sambut dengan baik. Aku dan Ema serta kedua orangtuanya berbincangbincang ke hulu dan ke hilir, bercerita berbagai soal yang menarik. Pada satu kesempatan, aku menyatakan pada mereka bahwa aku diterima menjadi pegawai Caltex . “Saya diterima menjadi pegawai Caltex….!” kataku Ema tidak percaya. Dianggapnya itu hanya gurauan belaka “Bohong…..!” katanya sambil mencibirkan bibirnya. . Aku tersenyum dan mengeluarkan badge Caltex dari kantongku dan memperlihatkan pada mereka. Ema merebutnya dari tanganku, dan melihat nomor dan gambar wajahku pada badge itu. Dengan spontan dia menubruk serta mencium pipiku. Orangtuanya hanya tersenyum sambil melihat badge itu. “Bagaimana bisa, mas….?” Ema bertanya. Kuceritakan prosesnya, dari permulaan, panggilan, testing dan sampai akhirnya aku bisa mengantongi badge Caltex ini. Hanya selang beberapa menit kemudian, seluruh keluarga mereka, tantenya, Zainiar, Ibu Suwarni beserta suaminya Muhktar. dan anakanak mereka, yang tinggal bersebelahan rumah, mengetahuinya. Mereka semua gembira dan mengucapkan selamat. Betapa tidak? Karena pada saat itu, menjadi pegawai Caltex, adalah sesuatu yang sangat diidam-idamkan oleh setiap orang, sebab di samping gaji yang cukup baik, juga segala fasilitas dan penerimaan bahan natura yang memuaskan. Dan semua itu bukan karena kebaikan majikan namun karena tuntutan perbaikan nasib buruh yang bertahun- tahun dilakukan oleh organisasi buruh terutama Perbum yang mewakili 75% dari jumlah seluruh buruh Caltex. Pokoknya, beruntunglah mereka yang bisa menjadi pegawai Caltex pada saat itu. Kini kehidupanku mulai membaik. Aku bekerja 6 hari seminggu termasuk hari Sabtu yang hanya sampai pukul 12 tengah hari. Gaji

Riau Berdarah | 123

yang kuterima dari Caltex cukup lumayan. Karena aku belum lagi menikah maka uang gaji yang kuterima, yang masih dalam amplop itu, kuserahkan bulat-bulat kepada ibuku. Ibu gembira karena merasa dihormati dan dicintai oleh anak lelakinya Dari uang gajiku itu, ibu membelikan apa saja yang kuperlukan, serta memberikan sebagian padaku untuk bisa kugunakan membeli sesuatu buat Ema, kekasihku. Di samping itu, perusahaan kontraktor ayah juga makin maju dan meningkat. Kini ayah mempunyai banyak pekerja. Pekerjaan kontrak ayah bukan saja terbatas mengecat rumah dan gedung-gedung Caltex, namun juga melaksanakan pembangunan, menyediakan tenaga-tenaga kontrak jurusan mekanik, bahkan menyediakan jasa penjaga malam (watchmen) untuk daerah Caltex yang keseluruhannya berjumlah hampir dua ratus orang. Aku membantu ayah dalam bidang administrasi, seperti mempersiapkan laporan dan penghitungan gaji untuk para pekerja serta pajak upah yang harus dipotong dari gaji mereka. Sebagaimana ayah, aku juga turut menjadi sibuk. Melangsungkan Perkawinan Dengan keadaanku yang telah menjadi pegawai Caltex, serta keadaan perusahaan ayah yang makin meningkat maju, beberapa orang “ninik-mamak” Minangkabau datang mengunjungi ayah dengan maksud melamar diriku untuk “kemenakan” mereka. Inilah adat Minangkabau. Pihak perempuan yang diwakili oleh “mamak”nya— yaitu adik atau saudara dari ibunya—mendatangi pihak lelaki untuk melamar buat gadis “kemenakan”nya. Berlawanan dengan adat Jawa, dimana orangtua—ayah dan ibu (atau wakilnya)—dari fihak lelaki yang datang melamar pihak perempuan!. Ya, seperti kata pepatah, “lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” yang kurang lebih berarti, “lain daerah, lain adat istiadat dan peraturannya”. Aku tahu ada beberapa orang ninik mamak yang datang kepada ayah. Mereka berasal dari Lintau, dari Maninjau, Batusangkar dan juga Riau, yang anak-anak gadisnya kukenal dan juga cantik-cantik serta lebih muda dariku maupun Ema. Bahkan ada yang baru saja tamat SMP, berarti umurnya baru sekitar 15 atau 16 tahun ! Ayahku

menerima kedatangan mereka semua dengan baik, ramah dan hormat dengan rasa terima kasih, namun ayah menyatakan bahwa aku telah bertunangan dengan Ema anak Koto Lawas Padang Panjang semenjak di sekolah. Mereka kecewa namun tidak merasa berkecil hati karena keterus-terangan ayah menjelaskannya. Ayah bukannya menolak lamaran mereka, hanya menyatakan bahwa aku sudah terlanjur bertunangan! Beberapa minggu setelah kunjungan para “ninik mamak” itu kepada orangtuaku, Muhktar Bagindo Marajo, suami dari Ibu Suwarni tantenya Ema, mewakili keluarga, datang berkunjung dan berbincang dengan ayahku, mengenai hubunganku dengan Ema. Pihak keluarganya meminta agar hubungan ini di perkuat dengan perkawinan, apalagi mengingat baik usiaku maupun Ema sama-sama mendekati 24 tahun, dan akupun telah mempunyai pekerjaan. Kami berunding bersama.. Ayahku, pakcik Muhktar dan aku sendiri. Menurut tradisi— semestinya aku tidak di-ikut sertakan dalam perundingan perkawinan seperti ini. Hanya harus menerima hasil perundingan orang tua, seperti jamannya “Siti Nurbaya”! Namun karena kami bertiga adalah anggota pimpinan organisasi yang sehaluan, maka kami duduk bersama dan berunding. Sebelum memberi persetujuan, aku mempertimbangkan dan memikirkan sedalam-dalamnya akan keputusan yang bakal kuberikan. Cintaku pada Ema, hubungan orang tua dan organisasi, jasanya yang memanggilku kembali dari Yogyakarta, hingga kemudian aku bisa lulus ujian sekolah dan mendapat diploma serta pekerjaan yang baik pada Caltex. Aku tidak melupakan semua ini! Aku bukan orang yang tak tahu berterima kasih, seperti kata peribahasa “kacang yang lupa akan kulitnya disaat hari panas!” Aku senantiasa menghargai akan jasa orang lain betapapun kecilnya! Semua itu kuutarakan di depan ayah dan pakcik Muhtar, mamak dari kekasihku Ema. “Kendatipun selama pacaran ada hal-hal yang tak kusukai, kebohongan dan perselingkuhan, permainan di balik layar yang dilakukan Ema, namun aku berharap, semoga kelak ia akan menjadi istri yang baik. Ini harapanku !” aku menyuarakan kata hatiku ini pada pakcik Muhtar, yang mengangguk-angguk mendengarkannya. Dengan pengertian yang kurasa cukup baik dan dengan persetujuan

Riau Berdarah | 125

ayah, perundingan berjalan lancar, dan persetujuan perkawinan antara aku dan Ema di capai sudah. Ayah akan menanggung semua pembiayaan perhelatan perkawinan. Namun, berita yang kami peroleh kemudian, kakek yang di Jakarta memesankan, tidak boleh ada pesta perkawinan, mengingat keadaan yang sangat jelek ketika itu, dimana ribuan orang tidak bisa mendapat cukup makan bahkan tidak makan samasekali. Mengapa kita mesti berpesta? Pendapat yang keterlaluan, kukira! Namun, kami tak berani untuk membantah kata orang tua itu! Tanggal 8 Desember 1962, adalah hari yang tak bisa kulupakan. Malam itu, di hari yang pada saat itu, seingatku, dikenal sebagai hari perayaan Wanita Internasional, secara resmi aku duduk berdampingan di salon berhias di samping Ema di rumahnya, sebagai pengantin. Di depan kami, di atas permadani yang dibentangkan memenuhi ruang kamar tamu dan kamar makan, duduk bersila kaum lelaki para tamu undangan sekitar 40 atau 50 orang yang terdiri dari pimpinan organisasi massa seperti Sobsi, Perbum, Pemuda Rakjat, BTI bahkan dari pimpinan PKI, dan beberapa temanku bekas tawanan PRRI. Sedang beberapa orang anggota Gerwani sibuk di dapur menyiapkan hidangan untuk para tamu dalam perhelatan perkawinan yang sederhana itu. Sebelum perjamuan dimulai, Haji Mohammad Yusuf, Imam Islam dari Kantor Pemerintah Kotapraja Pekanbaru yang menjadi Qadi (Juru Nikah) Pemerintah dalam perkawinan antar Islam, melangsungkan upacara Akad Nikah, mengambil sumpah kami secara Islam (Akad) dan mengesahkan kami—aku dan Ema—sebagai suami dan istri. Para hadirin, para tamu dan undangan yang umumnya adalah teman-teman seperjuangan dan sependeritaan di masa lalu, semua gembira dan bertepuk tangan. Kami resmi menjadi suami istri dengan disaksikan lebih dari 50 orang undangan, para lelaki yang duduk bersila, ditambah dengan belasan para ibu-ibu yang mengintip dari jendela dan yang dalam kesibukannya menyaksikan dari dapur! Kini, aku, yang beberapa hari lagi akan berusia 24 tahun, sah sudah menjadi suami dari seorang wanita—Ema—yang juga berusia 24 tahun. Aku tak tahu bagaimana menceritakan perasaanku pada saat itu! Sesuatu yang baru dalam hidupku!

Aku tidak mungkin mengambil cuti atas perkawinanku ini, karena aku bekerja baru beberapa bulan, belum lagi cukup setahun. Dan untuk absen rasanyapun tidak mungkin. Karenanya, kuhabiskan masa “bulan maduku” sepulang kerja di rumah maktua istriku yang pimpinan Gerwani dan anggota DPRD Riau itu. Dan hampir setiap sore aku bersama Ema, istriku, berkunjung ke rumah kedua orang tuaku di Jalan Riau, dan tidak merasa takut lagi untuk setiap kali pergi menonton bioskop di La Vita dengan bergandengan tangan. Sementara itu, Surat Bukti Nikah kami yang ditanda tangani dan kuterima dari Haji Mohammad Yusuf, Qadi Kotapraja Pekanbaru, kuserahkan ke kantor Personnel Caltex.di Rumbai. “Hah, begitu cepat…..” kata pegawai Personnel yang kukenal itu sambil tersenyum. “Lebih cepat…..lebih baik …..daripada diambil orang…….bukan?” aku menjawab sambil tertawa. Sejak itu statusku di Caltex bukan S (single) lagi, namun berobah menjadi M (married). Kiranya, perkawinan kami ini adalah tepat masanya. Kukatakan tepat karena sebulan setelah perkawinan kami, nampak tanda-tanda bahwa istriku hamil. Di samping itu, tentang diriku sendiri baik juga kuceritakan. Untuk lebih dapat membantu ayahku dalam perusahaan, terutama dalam bidang accountant dan administrasi, aku mendaftarkan diri mengikuti extention-course pada Universitas Riau di Pekanbaru. Aku menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi pada Universitas yang pada saat itu di pimpin oleh Drs. Bosman Saleh. Aku mengikuti kuliah dari jam 5 sore hingga 9 malam. Ini berarti, sehabis kerja aku harus langsung ke kampus UNRI untuk mengikuti kuliah. Kiranya, kawanku Kambasli, juga mengikuti kuliah pada IKIP, yaitu Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Dia mengambil jurusan Bahasa Inggris. Dan dengan kesempatan ini, kami berdua, membangun dan mendirikan cabang organisasi Mahasiswa yang bernama CGMI yaitu Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia. Nampaknya, kemana aku pergi, organisasi selalu mengikutiku, mengejarku, membuntutiku. Aku tidak kecewa atau sedih, karena aku merasa itulah hidupku!

Riau Berdarah | 127

Anak pertama, Valentina Jamilla Kembali kepada cerita tentang keluarganku. Tanggal 11 September 1963, setelah lebih dari 10 bulan perkawinan kami, istriku melahirkan! Anakku yang pertama lahir ke dunia ini, seorang bayi perempuan yang manis dan mungil dan kunamailah dia Valentina Jamilla. Kupilih nama ini, mengikuti keadaan dunia pada saat itu. Valentina adalah nama depan atau nama pertama dari astronaut wanita Uni Sovjet yaitu Valentina Tereskova. Sedang Jamilla adalah nama pejuang wanita Aljazair, yaitu Jamilla Bouhored. Gabungan kedua nama srikandi wanita ini menjadi Valentina Jamilla, nama anakku. Indah bukan ? Dengan kelahiran anakku ini, kakek dan nenek istriku datang dari Jakarta. Mereka sangat gembira dengan kehadiran Valentina, yang merupakan satu-satunya cicit mereka. Apalagi, anakku adalah perempuan, yang menurut mereka berarti akan meneruskan adat leluhurnya—Minangkabau—dan suku ibunya, suku Koto. Ini karena sistim adat Minangkabau yang Matriarchaat, garis keturunan menurut ibu, mengikut perempuan. Semua keluarganya bergembira. Sanak saudara, ninik mamak, keluarga dan kerabat mereka semua gembira. Ayah dan ibuku juga sangat gembira karena Valentina merupakan cucu pertama mereka. . Dalam pada itu, anak bayiku yang baru berusia beberapa bulan ini jatuh sakit. Ubun-ubunya yang masih kelihatan denyutannya, membengkak. Kami semua menjadi kuatir akan hal ini . Apakah ini disebabkan karena panas dan temperatur tubuhnya yang tinggi? Ataukah karena nyamuk? Daripada membawa anakku ke rumah sakit Caltex di Rumbai yang peralatannya serba cukup dan modern, kakek dari istriku mengambil keputusan untuk membawanya ke Jakarta. Aku tidak suka, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Aku dianggap masih terlalu muda dan tidak berpengetahuan mengenai anak dan keluarga.

Bulan Desember 1963, mereka berangkat ke Jakarta. Kakek, nenek, ibu Sainuna, istri serta anakku Valentina. Semuanya pergi. Tinggallah aku sendiri di rumah ibu Janaisah dan suaminya. Rumah yang tadinya begitu ramai, kini menjadi sunyi senyap. Tiada terdengar lagi suara tangisan bayi. Sunyi! Mengenai diriku, setelah selesai dari tugas pekerjaan pada Caltex setiap jam 3.30 sore langsung ke kampus Universitas Riau untuk mengikuti kursus lanjutan sampai pukul 9 malam. Kembali ke rumah semuanya sudah tidur. Aku terlalu letih. Tiada lain yang dapat ku lakukan selain mandi dan tidur, untuk paginya kembali pergi ke tempat pekerjaan dengan lebih dahulu menyinggahi ayahku di Jalan Riau. Aku tidak perlu mendapat bekal makan siang dari maktua istriku, karena aku bisa pergi kekantin perusahaan di Rumbai atau ke Terminal Baru. Makan diwarung Injiak Sanang dengan makanan kesukaanku “dendeng batokok” yaitu dendeng atau daging yang digoreng kering dan dipukul hingga mudah dimakan. Karena kesunyian tinggal sendirian, jemu dan ketidak-serasian tinggal di situ, aku pindah kembali kerumah orang tuaku di Jalan Riau. Aku kembali hidup bersama orangtua dan saudara-saudaraku. Dengan demikian aku bisa lebih banyak menggunakan waktu membantu ayah, yang perusahaannya makin meningkat. Aku mengerjakan pembukuan, menghitung dan mempersiapkan daftar pembayaran gaji untuk para pekerja, serta perhitungan pajak dan sebagainya. Pendek kata, semua pekerjaan administrasi perusahaan kontraktor ayah, akulah yang menanganinya. Ayah makin terkenal di antara para teman-teman sekerja di daerah Caltex , terutama di Rumbai. Setiap pegawai Caltex, apakah dia, sopir atau supervisor yang mengendarai mobil perusahaan Caltex, dan melihat ayah berjalan kaki di area perusahaan, senantiasa berhenti dan memberi tumpangan pada ayah. Ayah mendapat simpati dan respek yang tinggi dari mereka. Kurasa, barangkali hal ini juga disebabkan karena sifat ayah yang senantiasa bersahabat dengan siapapun, dan tidak pernah ”menjahit kantong” terutama untuk teman-temannya. Sementara itu, aku yang merasa terlalu lelah dengan pekerjaan rangkap, bekerja pada Caltex dan membantu kontraktor ayahku, serta kesunyian karena jauh dari anak dan istri, maka aku berhenti dari

Riau Berdarah | 129

kuliah di Universitas Riau. Karenanya dengan begitu aku terpaksa juga berhenti sebagai anggota pimpinan CGMI . Kurasa aku sudah cukup berkecimpung dalam organisasi. Dimulai sejak aku menjadi Ketua Pelajar di SMP, menjadi anggota pimpinan Pemuda Rakyat, IPPI dan kemudian CGMI, di samping sebagai anggota Partai sejak aku kembali dari tawanan PRRI tahun 1959 ditambah dengan pengalaman menjadi tawanan pemberontrak separatis PRRI di Sumatra yang nyaris merenggut nyawaku. Kurasa, kini saatnya aku untuk “pensiun” dari semua itu. Namun, apakah hal ini mungkin? Bisakah aku “melompat keluar” begitu saja seenaknya, seperti seorang melompat keluar dan pergi dari taksi yang ditompanginya? Aku sendiri tidak sepenuhnya merasa yakin! Sementara itu, istriku dari Jakarta mengirim surat dan menceritakan bahwa anakku mendapat rawatan di rumah sakit Katolik St. Carolus. Keadaannya kini sangat membaik. Aku gembira atas berita itu. Dan kutunggu bila istri dan anakku akan kembali pulang. Pada pertengahan Agustus 1964, dia beserta anakku dan ibu Sainuna—nenek dari anakku—kembali ke Pekanbaru. Kusambut kehadiran mereka kembali dengan penuh kegembiraan . Aku kembali tinggal di rumah maktuanya bersama-sama anak dan istriku. Suatu saat, ketika aku duduk bersama istri dan ibu mertuaku, Sainuna, sambil mengendong Valentina, aku berkata kepada istriku, mengeluar kan segala perasaan yang menganjal dalam hatiku. “Ema….. ! aku berucap. “Kita hanya tinggal beberapa minggu disini, kemudian pindah kerumah orang tuaku. Beberapa saat disitu, kita pindah mencari rumah sewa. Ibumu, ibu mertuaku, akan ikut bersama kita! Dia menjadi tanggung jawab kita! ” “Mengapa………begitu?” dia bertanya heran. “Karena, sebagai seorang istri, kau harus mendengar dan ikut apa kata suami!” “Tapi menurut adat, tidak ada anak perempuan Minang yang keluar dari rumah orang tuanya…….” dia memberikan jawaban. “Kita bukan kawin menurut adat!Kita kawin menurut agama Islam!” kataku agak keras. “Ah, …… Ema tak mau pindah!”

“Kalau tak mau, ya apa boleh buat! Menurut hukum Islam, kau telah meninggalkanku lebih dari 8 bulan! Alasan mengobat Valentina di Jakarta, padahal disini ada Rumah Sakit Caltex yang serba modern. Aku adalah pegawai Caltex! Ya, terserah engkau sendiri. Kalau memang istri, mesti ikut suami. Kalau tak mau, ya …. aku bisa pergi sendiri…….Kau boleh tinggal disini!” Aku berkata agak jengkel kepadanya, karena selama ini merasa hanya dikibuli olehnya dan keluarganya, dianggap tidak tahu apa-apa! Etek Sainuna, ibu mertuaku hanya duduk diam, dan menerima Velentina yang tertidur dalam gendonganku, dan kuserahkan padanya. Mungkin mereka berdua—ibu dan anak—membicarakan persoalan ini ketika aku pergi kerja. Bagaimana aku, kembali ke rumah orang tuaku ketika anakku dibawa berobat ke Jakarta. Betapa aku merasa kecewa karena dikatakan masih muda dan tidak tahu apa-apa, betapa derita batin yang kualami selama hampir setahun, seusia anakku Valentina, betapa kemungkinan aku bisa keluar rumah kapan saja, karena tidak ada persesuaian. Mungkin semua itu menjadi pembicaraan antara mereka , antara ibu dan anak, karena sebagaimana yang kukatakan, dua minggu kemudian, di akhir Agustus 64, kami pindah ke rumah orangtuaku tanpa ada bantahan. Waktu itu Valentina hampir berusia satu tahun. Semenjak istri dan anakku tinggal di rumah orangtuaku, sanak keluarga dan teman-teman orangtuaku banyak yang datang berkunjung, melihat cucu pertama orangtuaku.Valentina tumbuh menjadi anak serta cucu kesayangan. Kami tidak lupa dan meninggalkan begitu saja keluarga istriku di Sumahilang, ibu dan maktuanya.. Hampir setiap sore kami datang mengunjungi mereka.Aku mengajariValentina yangmulai belajar berkata sepatah dua, untuk memanggil nenek kepada ibu dan maktua istriku, karena aku tak ingin seperti terjadi pada ibunya—istriku— yang hanya memanggil nama kepada ibu kandungnya. Dan untuk tidak meragukan si bayi Valentina yang mulai belajar berkata-kata, aku juga memanggil dengan panggilan “nenek” pada ibu mertuaku, sedang istriku, kupanggil “mama” . Kupikir si bayi akan mudah mengikuti contoh yang kita berikan .Begitu kurasa untuk mengajar seorang bayi yang mulai belajar berkata-kata.

Riau Berdarah | 131

Sementara itu, tanggal 11 September 1964 adalah hari ulang tahun pertama anakku, Valentina. Orangtuaku mengadakan pesta ulang tahun yang dalam istilah Jawa di sebut “bancakan”,dengan memanggil semua kanak-kanak dari keluarga tetangga, yang sebagian juga datang bersama orang tua mereka, untuk menikmati makanan ringan dan berdoa bersama merayakan ulangtahun Valentina yang pertama. Ada kira-kira 30 atau 40 anak-anak di tambah beberapa orangtua mereka yang hadir. Setelah seorang imam Islam yang dipanggil ayah membacakan doa selamat, maka ayah mengumumkan—dengan persetujuanku sebelumnya—bahwa nama anakku, cucunya, Valentina Jamilla, diganti menjadi nama yang berbau Indonesia atau Jawa. (Untuk menjaga identitasnya, baiklah kesebut saja namanya Virgo, sesuai dengan horoskop kelahirannya). Semua kanak-kanak dan orangtua mereka bertepuk tangan, di samping ada kanak-kanak yang menangis karena ramainya tepukan. Aku masih ingat, beberapa hari sebelum hari ulang tahun anakku pada 11 September, adalah hari ulangtahun ibunya—istriku—yaitu 6 September. Kami tidak mengadakan pesta untuk merayakan hari ulang tahunnya, hanya saja, aku dan istriku pergi makan malam ke Restoran Cina di Pasar Pusat. Waktu itu, walaupun kami berdua adalah penganut Islam, tetapi tidak terlalu fanatik dan menganggap tabu untuk makan di restoran Cina. Sekembalinya dari makan malam, kami langsung pulang ke rumah orangtuaku. Dimalam itu, di hari ulang tahunnya, aku memberikan suatu hadiah yang sangat berkesan baginya—bukan barang yang bisa dibeli di toko—namun, suatu permainan cinta dan hubungan suami istri yang tak terkatakan indahnya. Belakangan hal ini menjadi suatu kenangan, suatu ingatan yang tak dapat kami lupakan, karena setelah itu istriku ternyata hamil! Aku sangat gembira dan memperlakukannya sangat hati-hati. Secara iseng kucorat-coret kertas diatas meja dan memperhitungkan kemungkinan bayi akan lahir. Dengan sedikit pengetahuan dari buku yang pernah kubaca dan memperhitungkannya, kukatakan bahwa sang bayi akan lahir pada 29 Mei 1965. Sambil tertawa mengejek dia berkata: “Ah, macam dukun saja……..!” Disamping itu, aku juga bergurau dengan kawanku Arkono, yang istrinya juga hamil, siapa di

antara istri kami yang bakal melahirkan bayi pada 23 Mei, yaitu hari ulang tahun PKI………. Berdiri diatas kaki sendiri Seperti yang kujanjikan, beberapa bulan di rumah orangtuaku, awal 1965, kami pindah dan menyewa sebuah rumah kembar yang tidak berapa jauh dari rumah orang tuaku. Hanya kira-kira 8 atau 9 ratus meter saja. Karena kami telah mempunyai tempat sendiri walaupun hanya menyewa, maka ibu mertuaku— Sainuna— kupanggil untuk tinggal bersama kami. Sementara itu, karena kesibukan pekerjaanku di samping membantu ayah, dimana kadang-kadang aku melakukan pemeriksaan mendadak atas pekerja-pekerja ayah yang menjadi penjaga keamanan Caltex pada malam hari di Rumbai, maka sebagaimana kukatakan sebelumnya, aku melepaskan diri dari tugas-tugas organisasi dan menumpukan segenap perhatianku pada pekerjaan demi hari depan anak-anakku. Namun, terus terang kukatakan, aku yang telah begitu dikenal oleh teman-teman dari berbagai organisasi massa, tidak bisa pergi dan meninggalkan organisasi begitu saja Waluapun aku tidak lagi menjadi “pimpinan”, namun di tempat pekerjaan, aku mencatatkan diri sebagai anggota Persatuan Buruh Minyak (Perbum) Cabang Rumbai. Di masa luangku, saat duduk bersama istri dan anakku, di rumah, aku membaca buku-buku politik, terutama tulisan Bung Karno, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, Sarinah dan risalah-risalah dari pidatopidato Bung Karno dan sebagainya. Aku senantiasa terpaku di depan radio setiap kali mendengar pidato Bung Karno. Aku merasa serasi dengan suara reporter kawakan RRI, Darmo Sugondo yang mengikuti Bung Karno kemana pergi. Aku menjadi keranjingan dan fanatik terhadap Bung Karno. Aku yang cuma rakyat kecil yang tidak berpendidikan tinggi, merasa dan melihat bahwa tidak ada orang yang bisa menandingi Bung Karno. Bung Karno tidak ada duanya! Seperti pernah di ucapkan oleh Pramudya Ananta Toer ketika beliau masih

Riau Berdarah | 133

hidup: “Tidak ada yang bisa menandingi Bung Karno sampai sekarang! Bung Karno tidak ada duanya!” Memang sesungguhnyalah! Bung Karno adalah seorang orator yang hebat, yang bisa membakar semangat, pendengar dan pengikutnya, rakyatnya, bangsanya! Dia adalah pemimpin yang berani melawan ketidak-adilan dan kesalahan, berani berbuat yang orang lain atau pemimpin lain tidak mungkin bisa dan berani, dengan menantang dan menyatakan keluar dari organisasi dunia PBB, Persatuan Bangsa Bangsa! Ucapan-ucapannya membuat rakyat Indonesia bangun jiwanya, bangun semangatnya, menimbulkan kepercayaan pada diri sendiri. “Hai bangsa Indonesia, jadilah bangsa pahlawan! Jangan jadi bangsa tempe!”, “Kita harus berani bervivere pericoloso, berani menyerempet-nyerempet bahaya!” dan kata-kata yang menantang ketika konfrontasi Indonesia dengan proyek nekolim Malaysia “Ini dadaku, mana dadamu……” Kurasa, memang tidak akan pernah ada pemimpin Indonesia yang berani, seberani Sukarno, yang hebat sehebat Sukarno! Namun, kendatipun demikian,. satu ucapannya, kata-katanya yang sangat berkesan dan mengguris dan tersimpan jauh di dalam hatiku, membuat hatiku penuh haru sampai menitikkan air mata, adalah ketika beliau memberikan sambutan pada hari ulang tahun ke-45 PKI yang dihadiri oleh ratusan ribu pengunjung dari berbagai pelosok, di Stadium Senayan Jakarta. Dengan lantang Bung Karno berucap: “ Yo sanak, yo kadang yen mati aku sing kelangan!” yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “Ya sanak, ya saudara, jika mati aku yang kehilangan!” Ucapannya ini menyebabkan, ratusan ribu rakyat yang hadir, serentak berdiri dan applaus panjang serta meneriakkan pekikan “Bung Karno…… Bung Karno…… Bung Karno………!” Dengan rasa penuh haru, dengan mata yang basah berair, kudengar semua ini melalui siaran langsung Radio Republik Indonesia dengan reporter kawakan Darmo Sugondo. Mungkin, jutaan bangsa Indonesia se Nusantara juga mendengarkannya, seperti diriku. Hatiku penuh keharuan, bagaimana seorang yang bukan Komunis bisa dan berani berkata demikian! Aku tahu, bahwa Sukarno bukanlah komunis. Tapi dia juga tidak anti komunis. Tidak ada malaekat, atau dewa-dewa di kayangan yang bisa membuktikan bahwa dia Komunis. Sukarno

adalah seorang Marhaen tulen, yang mempunyai cita-cita menyatukan seluruh kekuatan politik di Indonesia dalam satu wadah kesatuan di bawah nama Nasakom, yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis, untuk hidup sejahtera berdampingan dengan damai, guna mencapai suatu masyarakat Indonesia yang hidup dalam “gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja, murah sandang murah pangan. Keadilan Sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia….. ” Sekali lagi, memang benar, “Sukarno memang satu tokoh yang tiada duanya!” (seperti yang diucapkan oleh almarhum Pramudya Ananta Toer-lihat film dokumen : Shadow Play). Disamping berani dan hebat Bung Karno juga kasih terhadap bangsanya. Terhadap bawahannya, terhadap rakyatnya! Dia mudah mengampuni, memaafkan bawahannya yang bersalah. Banyak bukti untuk itu, seperti memaafkan Jenderal Abdul Haris Nasution yang menantang dan mencoba meng-coup Bung Karno dengan cara mengepung serta mengacungkan meriam ke Istana Merdeka dalam situasi yang terkenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952, merehabiliter Kolonel Suharto yang dipecat dari Pangdam VII Diponegoro karena terlibat kasus korupsi dan perdagangan gelap dalam kalangan Militer. Memaafkan tokoh-tokoh pemberontak separatis, yang insyaf dan kembali kepangkuan Republik! Sukarno memang penuh perikemanusiaan, berjiwa Pancasila sejati, hukum dasar yang diciptakannya sebagai “the way of life” bangsa Indonesia! Sebagai dasar Negara! Seminggu setelah selesai perayaan Ulang Tahun ke 45 PKI —pada 29 Mai 1965—istriku berada dalam keadaan sakit untuk melahirkan. Dalam kebingungan, kupanggil bidan Caltex yang dalam giliran dinas pada waktu itu, yaitu Ibu Norma yang adalah juga menjadi istri bekas guruku di SMA yaitu Bapak Harsono. Aku mengenalnya. Juga adiknya perempuan yang bernama Asmidar, pernah sekelas denganku di SMA. Begitupun ayahnya, Pak Bustamam, yang bekerja pada agen minyak BPM, kukenal ketika aku berkunjung ke rumahnya menemui anaknya. Ibu Norma, bidan muda yang cantik istri guruku itu datang ketempatku dan membantu kelahiran anakku. Tanpa mengalami

Riau Berdarah | 135

kesulitan, istriku melahirkan seorang bayi perempuan, normal, cantik dan mungil. Kulitnya seperti kulit ibunya, putih kuning, berbeda dengan kulit kakaknya, Virgo, yang hitam manis seperti kulitku. Kami semuanya gembira. Keluarga kedua belah fihak bergembira karena kini mempunyai dua orang cucu. Dengan kehadiran bayiku yang kedua ini, aku berusaha melupakan segala persoalan masa lalu istriku. Aku ingin agar hubunganku, sebagai suami dan ayah dari kedua anakku akan berlangsung panjang dan lama, sampai menjadi kakek dan nenek, langgeng dan lestari. Untuk pencerminan harapanku itu, kunamailah anakku kedua ini dengan sebuah nama Jawa, yang juga untuk menjaga identitasnya kusebut saja Gemini, sesuai dengan horoskop kelahirannya, seperti kakaknya Virgo. Sementara itu, kawanku Arkono, sangat bergembira karena istrinya melahirkan tepat pada 23 Mei 1965! Dengan pekerjaanku di Caltex dan dengan bantuan ekonomi dari orangtuaku yang kontraktor, rasanya kehidupan kami tidak akan berkekurangan. Aku dapat membelikan sesuatu yang diperlukan baik untuk istri dan anak-anakku maupun untuk ibu mertuaku. Kegembiraan mulai merangkul kehidupan kami. Namun, kiranya matahari tidaklah selamanya bersinar terang………Kabut hitam, mendung, menyelimuti bumi persada tercinta…………… Gerakan 30 September 1 Oktober 1965, Jumat pagi hari, sebelum berangkat ke tempat kerja, kudengar dari RRI bahwa Letkol. Untung seorang Komandan Resimen Cakrabirawa yang menjadi Barisan Pengawal Presiden, dalam suatu gerakan yang mereka namakan “Gerakan 30 September”, telah berhasil mengamankan Dewan Jenderal yang akan melaksanakan kudeta terhadap Presiden Sukarno pada tanggal 5 Oktober, di saat hari Ulang Tahun ABRI. Selanjutnya dikatakan, bahwa telah dibentuk Dewan Revolusi yang beranggotakan 45 orang untuk mendampingi dan membantu Bung Karno dalam pemerintahan. “Apa yang terjadi?

Ada apa?” aku tertanya-tanya dalam hati. Tak seorangpun yang tahu!. Aku pergi ketempat kerja dengan segala bentuk pertanyaan di kepala yang tidak seorangpun bisa memberikan penjelasan, apa yang sebenarnya terjadi. Sekembalinya dari kerja aku kembali menekuni berita radio. Diceritakan bahwa RRI telah dapat direbut kembali dari tangan G30S. Beberapa hari kemudian para jenderal yang diculik oleh G30S, telah ditemukan mayatnya dalam keadaan menyedihkan di sebuah sumur di daerah yang bernama Lubang Buaya. Bung Karno dapat di selamatkan oleh pasukan ABRI. Sementara itu, Gerakan 30 September yang katanya mencoba melakukan kudeta, dituduh didalangi oleh PKI. “Kudeta” ini di beri nama “G30S/PKI”. “Wah, ini sungguh gawat” kataku dalam hati. “Benarkah ini? Apakah benar PKI melakukan kudeta? Mengapa tidak seorangpun pimpinan PKI pernah berkata atau membisikkan akan hal ini?” semua pertanyaan itu bermain di kepalaku. Aku benar-benar tak mengerti! Sementara itu, keadaan dan situasi makin mencekam. Semua mata diarahkan kepada anggota PKI dan ormas-ormas simpatisannya. Di tempat kerja banyak yang mengejek anggota-anggota Perbum dan mencoba memancing pertentangan dan kekeruhan. Namun, para anggota-anggota Perbum tak tahu apa-apa. Mereka terbingungbingung seperti rusa masuk kampung! Mereka tidak berbuat apa-apa ! Sementara itu, sebagian massa yang tergabung dalam golongan Islam, terbakar dengan berita yang disiarkan suratkabar Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata bahwa Pemuda Rakyat dan Gerwani berpesta pora menyiksa dan memotong kemaluan dan mencungkil mata para jenderal ketika di Lubang Buaya. Ah, benarkah ini semua? Hatiku tetap bertanya! Tiada lain suratkabar yang terbit yang bisa dibaca selain kedua surat kabar yang diatas itu! Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata! Karena keadaan yang nampak makin panas dan mencekam, istriku yang baru beberapa bulan melahirkan anakku yang kedua, minta untuk pindah kembali ke rumah maktuanya di Sumahilang. Permintaannya ini kusetujui dan kami pindah kembali ke Sumahilang.

Riau Berdarah | 137

Nopember 1965. Keadaan benar-benar makin gawat. Radio dan suratkabar, Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata menyiarkan beritaberita gencar yang menyatakan keterlibatan PKI dalam pemberontakan G30S. PKI terang-terangan di tuduh berada dibelakang kudeta G30S yang membunuh para Jenderal ABRI. Harian Angkatan Bersenjata yang dipimpin oleh Kolonel Haji Sugandi, memberi nama julukan G30S sebagai Gestapu agar “kekejamannya” itu disetarakan dengan kekejaman GESTAPO Nazi Jerman dalam Perang Dunia ke-II. Massa menjadi terbakar. Demonstrasi, terutama dari golongan agama,terjadi dimana-mana. Tak ketinggalan di Pekanbaru. Kantor-kantor organisasi massa kiri dan Komunis dirusak. Para demonstran menangkap pelacur muda di daerah Teleju, menelanjanginya dan mengarak mereka keliling kota dalam keadaan bugil dan menggantungkan di leher mereka sekeping kertas karton bertuliskan “gerwani”. Aku tak mengerti, bagaimana bisa “golongan agama” membiarkan para demonstran, menikmati tontonan wanita bugil yang diarak itu! Bisik-bisik kudengar bahwa di Jawa, Bali, Sumatra Utara dan Aceh banyak pimpinan PKI di bunuh oleh pihak militer dan.massa yang didukung militer. Nyoto di tembak militer didepan Istana Merdeka seusai sidang kabinet , karena di dalam sidang, Nyoto memutar kaset bukti tentang rencana Dewan Jenderal akan melakukan kup! Bung Karno berpidato bahwa dia dikirimi sebuah besek (keranjang dari bambu) yang isinya adalah kepala seorang pemuda yang di bunuh. Aku berpikir, “apakah itu kepala D.N. Aidit, Ketua PKI?” Bung Karno tidak menyebutkannya. Namun, pikirku, “kalau kepala itu bukan kepala orang yang terkenal, seperti Aidit, mengapa mesti dikirimkan kepada Bung Karno?” Beliau, memerintahkan membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili Gestok. Ah, aku jadi bingung!.Ada G30S, ada Gestok. Bagaimana ini? Lagipula, semua itu di Jakarta, bukan di Pekanbaru. Mana aku tahu! Menjadi Tahanan Militer

Akhirnya, 17 Nopember 1965 malam hari, rumah maktua Istriku di Sumahilang, digedor. Beberapa orang anggota Polisi Militer mengepung rumah, dan seorang di antaranya menanyakan Ibu Janaisah. Dia yang tidur di kamar kedua, terbangun dan mendapatkan sang militer. Setelah mereka yakin bahwa itu benar ibu Janaisah, mereka menyuruhnya bersiap untuk di bawa kekantor CPM guna pemeriksaan. Mereka membawa Ibu Janaisah, dan kami tinggal di rumah dengan rasa takut dan kuatir. Kami tidak dapat tidur, namun aku harus pergi kerja pada pagi hari itu. Di tempat kerja, aku bekerja seperti biasa, namun dengan hati dan pikiran yang kacau. Kurasakan, situasi hari itu penuh keganjilan. Aku tidak diperkenankan lagi mengendarai mobil perusahaan untuk makan siang di Terminal Baru seperti yang biasanya kulakukan. Selepas makan siang di kantin yang terdekat dan kembali bekerja, seorang supervisorku, yang menangani Seksi Construction dan duduk semeja di depanku, yang adalah anggota Persatuan Pegawai Caltex—PPC— memberiku secarik kertas yang bertuliskan nama-nama beberapa orang anggota Perbum di departmentku, menyuruhku menjemput mereka dan membawanya ke sebuah sekolah dasar di Rumbai, serta menyerahkannya kepada CPM yang berjaga di sana, karena fihak militer katanya menghendaki mereka untuk pemeriksaan. Pada saat itu, aku sebagai kerani lapangan, tahu persis di mana mereka bekerja. Tukang pipa, tukang cat, tukang kayu, tukang batu, semuanya kuketahui di mana lokasi kerjanya. Kulaksanakan perintah supervisorku ini, dan kukatakan pada mereka, teman-temanku yang semuanya kukenal adalah anggota Perbum, bahwa ini adalah perintah dari atasan. Setelah kawan-kawan, maka aku juga akan diambil ! Aku memberi penjelasan kepada mereka, karena aku merasa yakin, kalau mereka di ambil, tidak ayal lagi pasti aku juga bakal diambil. Tidak mengalami kesulitan apa-apa terhadap kawan-kawan tersebut, karena sesungguhnya, mereka tidak tahu apa-apa! Menjelang sore hari, seusai kerja, setelah para pekerja yang ada dalam daftar terkumpul semuanya di sekolah dasar tersebut, sang supervisor membawaku dan mendropku di bangunan sekolah dimana aku mendrop temantemanku. Melihat aku juga di drop di situ, teman-temanku hanya tersenyum. Tidak ada kecurigaan apa-apa. Semua berpikir dan

Riau Berdarah | 139

berpendapat “ah, barangkali cuma sehari dua…..!” Namun, betapapun, hati dan pikiranku cukup sedih dan kacau, bertanya-tanya, mengingat pengalamanku dimasa PRRI. Hari itu 18 Nopember 1965. Senja hari, dengan truk militer kami di pindahkan ke Pekanbaru dan di tempatkan di Rumah Tahanan Militer (RTM). Resmilah kami menjadi tahanan pihak militer. Di situ telah ada beberapa puluh orang, lelaki dan wanita . Sore hari itu kami semua di bariskan di halaman dalam TPU dan dihitung dengan memanggil nama satu persatu dan dibagi dalam sepuluh kelompok yang beranggotakan antara 50 sampai 60 orang perkelompoknya, sehingga aku bisa memperkirakan jumlah seluruh tahanan itu berkisar sekitar 5 ratusan lebih. Aku ditunjuk sebagai komandan kelompok 3. Masih kuingat, Komandan Kamp Tahanan waktu itu adalah Letnan CPM Wagiran, yang oleh temantemannya di juluki dengan nama Bendot karena perawakannya yang agak buncit. Atau juga mungkin karena sifatnya yang macam “bendot” yaitu sebutan dalam bahasa Jawa untuk “kambing jantan”. Sebagai seorang “komandan kelompok tahanan” yang di tunjuk, kuketahui bahwa jumlah orang yang di jadikan tahanan tidak kurang dari 500 orang. Banyak diantara mereka yang kukenal. Mereka semua terdiri dari anggota-anggota dan pimpinan dari organisasi Perbum, BTI, Pemuda Rakyat, IPPI, CGMI, SBPP, SBKB, Lekra, Sobsi dan juga PKI. Bahkan kurang lebih 25 orang adalah wanita, anggota Gerwani, termasuk maktua istriku, Ibu Janaisah dan beberapa orang lainnya yang juga kukenal, yang di tempatkan dalam satu kamar khusus untuk wanita.. RTM ini, dulunya dibuat sebagai tempat penahanan pemberontak PRRI pada tahun 1958. . Sekarang RTM ini digunakan untuk menahan kami. Bangunan gedung tempat kami ditahan ini dikelilingi oleh tembok beton setebal kira-kira 30 cm, tinggi sekitar 5 meter dan panjang dan lebarnya sekitar 50 meter. Tidak ubahnya seperti RTM di Simpang Haru Padang, yang pernah kuhuni pada tahun 1958. Tembok beton bagian depan (timur) terputus ditengah selebar kurang lebih 30 meter. Bagian terbuka ini ditutup dengan pagar kawat berduri dengan sebuah pintu masuk. Jadi, jika seseorang berjalan di jalan Pepaya, di depan Kamp Tahanan ini maka ia akan dapat melihat beratus-ratus

orang yang ditahan di dalamnya, yang berjalan hilir mudik, seperti di stasiun atau di pasar. Di dalam bangunan ini terdapat kamar-kamar yang merupakan barak-barak besar yang dijejali sekitar 50 bahkan 60 orang setiap baraknya atau kamarnya, padahal ukuran setiap kamar itu kuperkirakan tidak lebih daripada 5X5 atau 5,5X5,5 meter persegi saja. Bagaimana caranya? Sore hari itu, para tukang kayu masih sibuk mempersiapkan balaibalai papan untuk tempat tidur para tahanan. Dikamar No.9, No.10 dan No.11 balai-balai papan dikiri dan kanan pintu masuk setinggi kira-kira satu meter dari lantai semen. Diujung lorong antara balaibalai ini juaga dibuatkan balai-balai papan. Sedang dikolongnya, di atas lantai semen, dipasang lantai papan, juga untuk tempay tidur. Sehingga tempat tidur di dalam kamar tahanan No.9-11 itu seperti double-deck, atas dan kolong, berbentuk U yang lobang hurufnya adalah pintu berjerajak besi! Di kamar-kamar No.6,7 dan 8 sudah ada tempat tidur asli dari semen setinggi 1 meter yang tidak berkolong, berbentuk huruf L yang kakinya berhadapan dengan pintu. Di atas tempat tidur semen ini dipasang alas papan. Di atas lantai juga dibuat tempat tidur double deck dari papan seperti pada kamar No.9-11, sehingga kamar menjadi sepertiga double deck. Sedangkan dikamar No.3 juga dibuatkan tempat tidur double deck dari papan seperti pada kamar No. 9-11, hanya lorongnya yang berbentuk huruf L karena pintu masuknya berada diujung kanan. Demikian juga dengan kamar No.2, dibuatkan tempat tidur double deck dari papan, hanya bentuknya lain. Semua kamar-kamar yang kuceritakan diatas, dihuni oleh para tahanan politik seperti diriku, kecuali kamar No 4 dan No.5 di dalam bangunan kembar yang pintu besinya selalu dikunci, Di dalamnya ditempatkan tahanan lain . yaitu tahanan kriminal dan tahanan yang dituduh sebagai mata-mata Malaysia. Di halaman dalam, dekat dengan pintu gerbang, ada sebuah sumur beton yang berair sangat jernih, berdiameter hampir 3 meter, dengan lantai semen keliling lingkaran sumur itu. Di tepi luar lantai semen keliling sumur itu dipasang dinding papan setinggi bahu oleh tukang yang membuat balai-balai papan, tetapi karena lantai sumur lebih tinggi dari halaman, ukuran ini menjadi setinggi pinggang. Di atas

Riau Berdarah | 141

dinding sumur juga dipasang papan pembatas. Separoh sumur bagian kiri untuk kaum hawa dan separuh lainnya untuk kaum adam. Jadi jika tahanan mandi, dari batas pinggang kebawah tidak akan kelihatan dari luar. Tidak ada ruang-ruang untuk mandi perorangan. Pada waktu mandi berbelas orang mengelilingi sumur, menimba air dan menyirami tubuhnya. Kadang-kadang mereka menggunakan secarik kain basahan untuk menutupi auratnya, namun yang tak mempunyai kain basahan terpaksa mandi dengan keadaan bertelanjang dan semua yang ikut mandi bisa melihatnya. Namun umumnya mereka tidak ambil perhatian. Keadaan yang membuat mereka terpaksa begitu ! Di belakang kamar No. 9 dan No. 10, terdapat sebuah kakus dari beton yang terdiri dari lima lobang wc. Kakus beton itu tidak berdinding atau bertutup, jadi, jika sekaligus 5 orang sedang membuang hajat, maka mereka akan bisa melihat satu sama lain. Saluran wc ini menembus tembok beton belakang (barat) menuju keluar, kesebuah septic tank dari beton yang juga tidak tertutup, seperti sebuah kolam yang isinya adalah kotoran manusia. Dapat dibayangkan, akan segala penyakit yang timbul disebabkan polusi dan lalat! Sore itu juga, para keluarga tahanan berdatangan dengan raung dan tangis. Mereka membawa bantal selimut dan tikar serta pakaian, dan mengulurkannya melalui celah-celah pagar kawat berduri. Aneh seperti ada yang memberitahu bahwa TPU memerlukan bantal dan sejenisnya ! Istriku juga datang membawa kedua anakku yang belum tahu apa-apa. Ia mengantarkan perlengkapan, bukan saja untukku, namun juga untuk Ibu Janaisah, dan pakcik dari istriku, Muhktar Bagindo Marajo. Berminggu-minggu kami berada dalam tahanan itu, namun tiada kabar berita mengenai status kami. Ketakutan, kecemasan, ketidakpastian dan ke tidaktahuan, mencengkam perasaan setiap kami yang ditahan!? Mengapa kami ditahan? Kesalahan apa yang telah kami perbuat atau lakukan? Mengenai kejadian di Jakarta, apa hubungannya dengan kami? Mengapa Pemerintah tidak memeriksa siapa yang salah dan siapa yang benar, dan menghukum yang bersalah di Jakarta. Mengapa menyapu rantau, menangkapi kaum pekerja yang

tak mengerti apa-apa dan menahannya tanpa ada ketentuan? Semua pertanyaan ini membebani otak dan kepala para tahanan yang merasa tiada bersalah. Namun tiada mendapat jawaban! Di samping itu, kudengar, bahwa pada akhir Januarai 1966 perusahaan minyak Caltex.“dibersihkan” dari para pekerja yang menjadi anggota Perbum, yang merupakan 75% dari seluruh pekerja Caltex. Pekerja harian langsung dipecat dan di gantikan sementara oleh buruh-buruh kontraktor, sedangkan terhadap pegawai bulanan dan staf diberlakukan sanksi-sanksi.Di samping itu ada yang dijadikan tahanan kota atau rumah.Semua ini dengan tuduhan “terlibat, langsung maupun tidak langsung” dengan G30S/PKI ! Bagi yang ditahan pihak militer, seperti diriku dan lain-lainnya, dikirimi surat pernyataan “di pecat dengan tidak hormat” dari perusahaan Caltex, yang ditanda tangani oleh Wakil Caltex, Abing Suriaatmaja! Tahun 1966 ! Kami masih berada dalam tahanan. Sebagian dari penghuni tahanan yang di anggap tokoh dan katanya akan diadili, diambil dari TPU. 9 orang diantara mereka dipindahkan ke tempat yang kemudian sekali kami ketahui adalah penjara Bangkinang Kabupaten Kampar. Nama-nama meraka akan saya sebutkan dibagian belakang tulisan ini. Kaum wanita yang sebelumnya ditahan di TPU juga, dipindahkan ke sebuah rumah yang dijadikan rumah tahanan di Jalan Padang Terubuk, di luar kota Pekanbaru. Tahanan wanita yang kuingat ini, di antaranya adalah Ibu Janaisah, maktua dari istriku, Ibu Syamsiar pimpinan Gerwani Riau, yang kukenal semenjak dia menjabat sebagai anggota pimpinan Panitia Korban Dewan Banteng/PRRI tahun 1958 di Padang, yang kemudian menjadi istri Sdr. Abdullah Alihamy, putra daerah Riau dari Pelalawan, yang menjabat Secretaris CDB-PKI Riau, Ida Nur. B.A, anak dari mamak istriku yang, baru melahirkan bayinya tepat pada tanggal 30 September yang lalu, karena pernikahannya dengan seorang anggota pimpinan PKI, A.Wahab yang dari TPU dipindahkan ke penjara Bangkinang. Ibu Sutinah dari Bangkinang, Ibu Abunandar dan Ibu Tambunan yang dari Rumbai, Julidar, Nurjanah, Ani Tejawati (Anak ibu Abunandar) dan beberapa orang lagi yang aku tak ingat namanya.

Riau Berdarah | 143

Sebagaimana kukatakan diatas, para tahanan yang berada di TPU ini, banyak yang telah kukenal sebelumnya.Beberapa staff employees dari Caltex, seperti Pak Zainuddin yang sudah lama kukenal semenjak dalam tahanan PRRI tahun 1958, Emri Ginting, seorang Electrical Engineer, yang istrinya pernah satu sekolah denganku di SMA, Kamaluddin Sjamsuddin, seorang staff dari Accounting yang sedang mengikuti pendidikan di Amerika,dan dipanggil pulang lalu dijebloskan ke dalam tahanan, Henk Kussoy seorang putra Sulawesi yang menjabat sebagai Kepala Reproduction & Graphic yang oleh perusahaan pernah di kirim belajar ke Sydney, yang adik dari istrinya Juwita, pernah satu sekolah denganku, Syamsir Yunus seorang staff dari Accounting.I.Ktut Kondera, seorang Staff Employee yang berasal dari Bali, Sumargo seorang Instruktur bidang oil Production Technology, yang pendiam dan suka menyepi dengan belajar dan bermain gitar, Viktor Silalahi seorang Accounting Staff. Juga Yusuf B.A. anggota BPH Daerah Riau, Rusli Danur B.A. yang menjadi Ketua PGRI Riau, Muhktar MD dari Rengat, Arkono, anggota pimpinan PKI Kotapraja Pekanbaru, S.A. Sutarno, bekas ketua PGRI dan juga bekas guruku di SMA Pekanbaru, yang dipindahkan oleh Kementerian PDK ke SMA Tanjung Pinang, di tangkap oleh Militer dan di kirim ke TPU Pekanbaru, juga teman-temanku seperti Lani, Ahmad, Ismail, Zubir Ahmad, Kemat , Samin dan Sugiar Effendy serta tidak ketinggalan teman-teman lamaku semasa dalam tahanan PRRI tahun 1958 seperti Ardan A.N., Yacob Kamidin, Syahruddin E, Kambasli, Bahtiar dll. Di samping itu, aku juga berjumpa dengan dua orang bersaudara, yaitu Misbach dan Misdar, yang masing-masing menjadi pimpinan Perbum di Duri dan di Dumai. (Di kemudian hari, adik mereka yang bernama Miskun yang bekerja pada sebuah Bank di Pekanbaru, juga ditahan.Di dalam tahanan ini ia tidak pernah berjumpa dengan kedua abangnya karena mereka telah diambil petugas dari TPU) Juga Adnan Abdullah, Ketua PNI Daerah Riau dan Sudiman dari Petani/PNI, Muhktar Samad Ketua Partindo dan HB Humra yang juga Partindo, serta Sit Wa Fong dan Sui Lay dari Baperki Daerah Riau. Ah, terlalu banyak nama jika aku mesti menuliskan satu persatu. Lebih baik para pembaca meneliti dan memeriksa daftar orang-orang yang ditangkap dan ditahan di RTM

Pekanbaru, yang dilampirkan di akhir tulisan ini. Nama-nama tersebut pada tahun 2000 masih dapat di ingat oleh para bekas tahanan, dan oleh saudara Sumargo ingatan kawan-kawan tadi dijadikan catatan berupa daftar yang kulampirkan diakhir tulisan ini! Sungguh, dengan dijubelkannya—500 sampai 600 orang—maka rumah tahanan ini tak ubahnya sebagai sebuah “Kamp-Konsentrasi”, yang keadaannya sangat tidak memadai.! Dan, papan nama di halaman luar tembok yang tadinya bertuliskan RTM digantikan dengan papan nama TPU (Tempat Penahanan Umum). Resminya kami ini seolah-olah bukan tahanan militer lagi, tetapi nyatanya yang berkuasa atas seluk beluk tahanan ini tetap militer yang dilaksanakan oleh CPM (Corps Polisi Militer) yang kemudian berganti nama menjadi POM ABRI. Entah singkatan apa POM itu! Sekarang ku teruskan menceritakan perkembangan penahanan kami. Pada suatu ketika pagar kawat berduri yang membatasi tahanan dari keluarganya yang bezoek, tiba-tiba ditutup dengan lapisan papan, sehingga pandangan dari luar ke dalam maupun sebaliknya menjadi terhalang. Tadinya, para tahanan bisa bergerombol di dalam pagar dan keluarga mereka bisa bergerombol di luar pagar, untuk saling berpandangan , bahkan ada yang menjulurkan tangannya lewat celah kawat berduri untuk bisa meraba dan menyentuh tangan atau badan suami atau keluarganya. Hal ini sekarang tidak mungkin terjadi! Dengan keadaan jumlah tahanan yang begitu banyak di area dalam tembok yang kira-kira berukuran 50 X 50 meter itu, masing-masing menjadi jemu dan mencoba mencari-cari kegiatan untuk menghibur diri. Ada yang bermain dan belajar bermain gitar, ada yang bermain catur, bridge, remi atau ceki, mahyong dan lain-lain, ada yang cuma berbaring menghitung hari dan jam menanti panggilan jatah nasi yang pada waktu itu dimasak oleh para tahanan kriminil dan orang-orang yang ditahan dengan tuduhan mata-mata Malaysia yang juga ditempatkan dalam RTM itu. Ada juga kawan yang berkebun kecil menanam bayam, sawi China ( chai siem ), bawang, tomat, cabe dll., atau bekerja agak keras dengan menggosok batu diatas lantai sumur, atau pada tembok beton untuk dijadikan batu cincin. Hampir setiap

Riau Berdarah | 145

harinya terdengar suara “krok…..krok…..krok….” bunyi batu yang diasah diatas semen lantai sumur, sehingga menyebabkan lantai sumur banyak yang berlobang. Keadaan benar-benar sangat menjemukan……. Sementara itu, mengenai berita, keadaan dan situasi negara, dapat kami dengar melalui sebuah radio yang sengaja dipasang petugas di depan TPU. Orang-orang setiap malam berkumpul mendengarkan pidato-pidato radio, terutama pidato Bung Karno. Kami juga mendapat kabar yang beredar secara berbisik , bahwa Sukarno di todong oleh beberapa Jenderal dan di paksa menyerahkan “kekuasaan”nya kepada Jenderal Suharto. Sebelumnya, Istana Merdeka dimana sedang diselenggarakan rapat Menteri yang di pimpin Bung Karno, di kepung oleh Pasukan Tak Dikenal, yang kemudian diketahui dan diakui sebagai Pasukan RPKAD dibawah Kolonel Kemal Idris yang bertindak atas perintah Jenderal Suharto! Dengan Surat Perintah Presiden untuk memulihkan keadaan keamanan pada tanggal 11 Maret itu, yang dikemudian disebut “Surat Perintah 11 Maret” yang kemudian dipopulerkan dengan nama “Super Semar”, hasil todongan ini, Suharto membubarkan PKI pada 12 Maret 1966, dan menjadikan PKI serta semua ormasnya sebagai terlarang. Dengan prakarsa, tulang punggung dan bantuan ABRI, sebagian kaum agama mulai memburu dan membantai orang-orang PKI, yang belum tertangkap dan orang-orang yang di PKI-kan, membakar dan menghancurkan rumah dan gedung-gedung mereka. Bukan itu saja, bahkan Bung Karno yang memberi kuasa kepada Suharto untuk memulihkan keamanan, mereka tuduh sebagai melindungi PKI, dan mencapnya sebagai “Gestapu Agung”. “Senjata” yang dirampas, ternyata makan tuan! Para pemuda, pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi yang dilindungi ABRI, seperti Kappi dan Kami yang dipimpin oleh tokoh-tokoh muda seperti Abdul Gafur, Arief Budiman, melakukan pengganyangan terhadap rakyat yang di tuduh ada indikasi terlibat G30S. Mereka mendirikan batalyon-batalyon yang di latih dan di persenjatai oleh ABRI seperti Batalyon Abdul Rahman Hakim (ARH) , Batalyon Arif Budiman, dll.

Kami semua di dalam kamp tahanan menjadi takut dan kuatir dengan keadaan ini.Apa yang akan terjadi dengan kami ? Kami benarbenar berada dalam kebingungan. Teman-teman di dalam kamp secara sinis mengatakan bahwa negara Indonesia telah dikuasai oleh NATO, yaitu NAsution dan suharTO. Juga didesuskan, bahwa Jenderal Abdul Harris Nasution sesudah luput dari penculikan G30S, berpidato bahwa seorang jenderal yang terbunuh, bernilai “sejuta rakyat sipil”! “Ahhhh…….” aku berpikir, “tidakkah ini sebagai suatu ‘komando terselubung’ untuk membakar emosi guna melakukan pembalasan, pembantaian massal terhadap rakyat Indonesia seperti yang di lakukan oleh ABRI dan sebagian massa kaum agama dan golongan yang menjadi alatnya ?” Kami semua diliputi kekuatiran yang sangat. Apa yang akan terjadi dengan kami? Hendak di apakan kami ? Mengenai Bung Karno, yang di paksa oleh para Jenderal anteknya Suharto untuk menanda-tangani Surat Perintah kepada Suharto, menurut informasi terbaru yang kuketahui kemudian, yang di tulis pada 12 April 2003 oleh A. Karim DP, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, di katakan bahwa “Jenderal Suharto, memerintahkan kepada Bung Karno supaya meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus 1967. Bung Karno beserta anakanaknya pergi dari Istana dengan pakaian kaos oblong dan celana piyama dengan kaki beralaskan sandal, menompang mobil Volkswagen Kodok, satu-satunya mobil milik pribadinya yang di hadiahkan oleh Piola kepadanya, pergi ke Wisma Yaso, di mana kemudian menjadi tempat tahanannya sampai wafat. Semua kekayaannya, ditinggalkan di Istana, tidak sepotongpun yang dibawa pergi kecuali Bendera Pusaka Merah Putih yang dibungkusnya dengan kertas koran. Anak-anaknyapun tidak boleh membawa apa-apa, kecuali pakaian sendiri, buku-buku sekolah dan perhiasannya sendiri. Selebihnya di tinggalkan semua di Istana ……………” (http://www.progind.net. Kolektif Info/Dokumen ) “Selama di tahan di Wisma Yaso, Bung Karno di perlakukan sangat tidak manusiawi sekali! Bung Hatta menceritakan bagaimana permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekedar mengizinkan mendatangkan seorang dukun pijat, ahli pijat langganan Bung Karno

Riau Berdarah | 147

dan juga langganan Bung Hatta, ditolak oleh Suharto! Bung Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan dukun ahli itu, penderitaannya bisa sedikit berkurang. Penolakan Suharto itulah yang kemudian mendorong Bung Hatta menulis surat pada 15 Juli 1970 kepada Suharto yang mengecam betapa tidak manusiawinya sikap Suharto itu! Bung Hatta minta kepada Suharto lewat Jaksa Durmawel SH, agar di lakukan pengadilan untuk memastikan apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab, jika Bung Karno meninggal dalam statusnya sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat yang percaya bahwa Bung Karno tidak bersalah, akan menuduh pemerintah Suharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta”.(Baca:DeliarNoer, Mohammad Hatta Biografi Politik- http://www.progind.net) [ Note: Kalau Soeharto, tanpa moral bisa berbuat begitu kepada orang yang memberinya pangkat dan kedudukan tinggi, kepada Bapak Bangsa , pemimpin yang membawa Indonesia Merdeka, Bung Karno, apa lagi terhadap jutaan rakyat biasa yang tak tahu apa-apa, dibunuh dengan tudahan komunis atau mereka yang “di-komunis-kan”! Dan juga, kalau kita kaji lebih dalam akan ucapan BungHatta, maka jelaslah bahwa “Suharto adalah pembunuh Bung Karno!“] Dengan MPRS yang dibentuk dan diubah menjadi MPR-“S” (uharto), dia—Soeharto— “diangkat” sebagai pejabat Presiden ! Kukatakan bahwa MPR“S” sebagai MPR-nya Soeharto, karena sesungguhnya, anggotanya bukanlah sejati wakil rakyat, namun wakil dan kakitangan Soeharto yaitu Militer dan Golkar! Siapa rakyat yang berani bersuara di bawah ancaman bedil tentaranya Suharto? Perhatikan kalimat ini : “Sesudah Soeharto berhasil di dudukkan di singgasana kekuasaan, ia segera di topang bukan saja oleh ABRI, tetapi secara politik oleh GOLKAR yang tidak lain dari partai politiknya Soeharto” (A.Karim DP:http://www.progind.net) Dan semua golongan agama pada saat itu, baik Islam maupun yang mengaku Kristen semua pada membebek, “nggeh ndoro” kepada kemauan Suharto. Bahkan sebagian massa agama ikut aktif membunuhi orang-orang tak berdosa. Mereka lupa dan tidak mau tahu akan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, yang melarang manusia membunuh manusia lainnya. Mereka tidak peduli akan hukum Tuhan! (Syukur, bahwa pimpinan NU sudah mengakui hal ini dan meminta

maaf kepada para korban rezim orba dan sanak keluarganya, namun bagaimana yang lain? Dan golongan yang mengaku Kristen, yang tangannya ikut berdarah? Namanya saja Kristen, tapi tidak ikut ajaran Kristus! Apakah Kristus Yesus mengajarkan dan menyuruh umatnya membunuh manusia lain? Yesus melarang pengikutnya menggunakan pedang atau senjata. “Siapa yang menggunakan pedang, akan musnah dengan pedang!” kata Yesus! Lebih-lebih lagi pihak Militer dan Golkar, bukankah mereka, golongan yang paling getol membunuhi Rakyat yang tak melawan?! Yang bertindak hanya menurut nafsu dendam dan kebencian? Sesungguhnyalah, tangan-tangan mereka berlumur darah! ) Dalam keadaan kami yang tidak menentu ini, pada awal July 1967 kami di bawa ke suatu gedung pertemuan dan diberi indoktrinasi, dijejali “pengetahuan” tentang Etika dan Ahklak, tentang Panca Sila, UUD 1945 dan UU dari segi pandangan agama. Juga tentang MPRS dan MPR serta Operasi Militer tentang penangkapan DN Aidit. Hatiku penuh kejengkelan menerima indotrinasi mengenai hal-hal tsb, yang cuma dijejalkan kepada kami menurut selera mereka. Siapa yang baik etika dan ahlaknya? Kami yang ditahan tanpa salah tanpa proses ataukah mereka yang membunuhi orang tak berdosa, baik lelaki, perempuan maupun anak-anak? Menelanjangi perempuan-perempuan lacur yang dicap GERWANI dan mengarak mereka sepanjang kota untuk menjadi santapan dan pandangan mata?!Mengapa kaum ulama diam saja dengan keadaan yang tak bermoral dan tak beretika itu? Sic! Lebih baik pengajaran yang kuterima dari guru-guruku semasa di SMA, daripada apa yang mereka jejalkan itu! Setelah selesai indoktrinasi yang makan waktu beberapa hari itu, masing-masing kami diuji,lisan dan tulisan, sampai dimana “pengetahuan” kami tentang hal-hal yang sudah di indoktrinasikan. Aku masih ingat, salah satu pertanyaan adalah: “apa itu Gestapu?” Dengan jengkel, aku menulis dalam kertas jawabanku: “Gestapu adalah kata ciptaan Kolonel Haji Sugandi Pemimpin Redaksi Harian Angkatan Bersenjata di Jakarta, untuk nama yang diputarbalikkan bagi gerakan militer G30S”. Aku tahu, mereka tidak mengajarkan jawabanku yang serupa itu, namun aku yakin mereka juga tidak tahu

Riau Berdarah | 149

darimana kata itu berasal ! Mungkin mereka menduga aku akan memberi jawaban bahwa gestapu itu adalah “G30S/PKI”. Bahhhhhhh………!!! Jauh panggang dari api! Seorang temanku, Sumargo yang menyatakan beragama Islam— dia memang Islam abangan— di letakkan dalam posisi yang sulit untuk memberi jawaban. Dalam “ujian” lisan, dia di tanya di depan semua yang hadir “Saudara mengaku beragama Islam! Nah, sebagai seorang Islam sejati, mana yang saudara pilih, hukum menurut Islam atau Pancasila…… ?” Namun, bung Sumargo bukanlah orang yang tidak berpengetahuan yang bisa saja mereka kibuli. Kita tahu, sejak semula merekalah yang ingin menukar Pancasila dengan hukum Islam………. Mereka anggap para tahanan seperti anak-anak yang tidak tahu apa-apa! Beberapa waktu sebelum indoktrinasi para tahanan dipekerjakan pada pembangunan mesjid Agung An Nur Pekanbaru.. Di sini para tahanan disuruh menimbuni ruang-ruang atau petak-petak yang mesti diisi dengan tanah dan batu-batu pecah sebelum diberi besi slab yang kemudian di semen atau dicor menjadi lantai mesjid. Kawan-kawan bekerja cukup keras dan bersemangat, badan berpeluh dan berkeringat mengangkat keranjang-keranjang rotan berisi tanah dan batu-batu pecah untuk penimbun. Namun si militer penjaga yang kami lihat beremblimkan kesatuan Siliwangi, dengan menyandang bedil berlaras panjang, senantiasa menyumpah serapah dengan mengeluarkan katakata “anjing-anjing Sukarno”, bila ada kawan yang bekerja sedikit lambat. Bung Sumargo dan Hauw Yien Tjen, yang keduanya adalah bekas pegawai staff Caltex, secara berpasangan mengangkat sebuah pengangkut tanah,yang satu berjalan di depan yang lainnya di belakang.. Namun, karena usia bung Hauw yang tidak muda lagi, dan napas yang terengah-engah karena letih dan muka serta badan penuh keringat, mereka mencari tempat di suatu sudut untuk sebentar beristirahat. Baru saja mereka duduk, tiba-tiba saja Gubernur/Komandan Korem031 Wirabima Brigjen. Kaharudin Nasution, berjalan di samping mereka. Melihat keadaan ini, kedua teman, bung Margo dan bung Hauw buru-buru mencoba segera berdiri.

Namun, melihat baju yang basah dan keringat yang membasahi muka serta kening bung Hauw yang sudah tua itu, dengan penuh perikemanusiaan sang Jenderal berkata lirih : “Jangan terlalu dipaksa……!” sambil berlalu dari tempat itu. Setelah Gubernur Riau tsb. meninggalkan tempat itu, si prajurit Siliwangi berceloteh : “ Saya hormat bukan karena dia Gubernur, tapi karena dia Jenderal!” Teman-teman cuma diam, tidak acuh akan ucapan prajurit itu! Namun dalam hati berkata: “peduli amat dengan omongan bacotmu!” Nah, dengan demikian menjadi bukti nyata tak bisa di bantah bahwa kaum komunis juga memberikan tenaga dan cucuran keringatnya tanpa dibayar dalam pembangunan Mesjid An Nur, mesjid Agung kebanggaan ummat Islam Pekanbaru, dengan Gubernur Riau, Brigjen Kaharudin Nasution, yang menjadi saksinya! Tuhan yang Maha Esa, sudah tentu juga mengetahui dan menyaksikan! Ini adalah sejarah! Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, menggelapkan ataupun melupakan sejarah! Setelah indoktrinasi itu, para tahanan mendapat sedikit kelonggran. Mereka yang tinggal di dalam kota, diperbolehkan pulang mengunjungi keluarga pada siang hari, dan kembali ke kamp tahanan pada sore hari. Dan para keluarga yang berasal dari luar kota, mencari rumah atau tempat yang bisa disewa di sekitar kamp tahanan, agar bisa bertemu dan dekat dengan suami mereka. “Kelonggaran” yang kami dapat ini di ikuti oleh “kebaikan” penguasa, yaitu mengurangi kepadatan kamp tahanan, dengan melepaskan beberapa ratus tahanan dari dalam kamp dan menjadikannya tahanan rumah atau tahanan kota. (Kemudian ternyata bahwa penglepasan ini memang ada Hubungannya dengan penambahan tahanan baru yang banyak jumlahnya) Tahanan wanita sudah dipindahkan sejak awal ke sebuah rumah yang dijadikan rumah tahanan di Padang Terubuk, di luar kota Pekanbaru. Dengan penglepasan secara massal ini, maka yang masih tetap menghuni TPU/RTM, tinggal sekitar 40 an orang, termasuk bung Sumargo dan penulis sendiri.

Riau Berdarah | 151

Akan tetapi, keadaan “longgar” sesudah indoktrinasi dan penglepasan beberapa ratus tahanan itu tidak berjalan lama. Perobahan yang mendadak terjadi. Para tahanan tidak lagi diperbolehkan keluar “pagar kawat berduri” di pintu depan Kamp Tahanan. Bahkan para militer yang mengawal para tahanan, tidak lagi seramah sebelumnya. Keadaan menjadi serius dan mencengkam…… Operasi Militer di Riau Angkatan Bersenjata di Riau melancarkan operasi besar-besaran dan dapat menangkap pimpinan PKI Riau yang dalam persembunyian. Mereka adalah Abdullah Alihamy, Mohammad Amin Zein yang anggota MPRS dan Sri Suharjo, yang semuanya adalah pimpinan CDB-PKI Riau.Bukan itu saja, bahkan ABRI juga membersihkan dan menangkap para simpatisan PKI di dalam tubuh militer. Beberapa anggota CPM yang kukenal ditangkap, sebagian dibawa dan ditahan di penjara militer Simpang Haru Padang, seperti Letnan Darminto dan Sersan M.Sidik yang kukenal, yang ketika itu menjabat sebagai ajudan Kolonel Soemedi, Komandan Korem 031 Wirabima Pekanbaru. (Aku tak tahu, dan tak mendengar berita tentang sang Kolonel ini) . Sebagian anggota militer yang ditangkap, ditahan bersama kami di TPU Pekanbaru, diantaranya Letnan CPM Mu’ono yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Komandan Kamp TPU (sesudah Letnan Wagiran Bendot.). Juga anggota CPM lainnya, seperti Sriyono, Suwondo, Sujono B, Wahid, Suprapto dan Sersan Mulyono dari Yon. 444 Diponegoro Jawa Tengah yang Kesatuannya baru dipindahkan ke Bangkinang, disamping beberapa orang militer lokal, seperti Supinggir, Ngadiyo, Mursidi, Mangir, Dikam, Suparji, dan juga beberapa teman dari Batalyon 132, dan dari Yon Arhanud.(Artileri Pertahanan Udara ) Pekanbaru. Mereka semua di tahan didalam Kamp bersama kami. Keadaan benar-benar mencengkam dan tak dapat diramalkan. Berita yang kami peroleh di dalam tahanan mengatakan bahwa diberbagai daerah di Indonesia sebagian kaum agama bersama-sama dengan ABRI melaksanakan pembunuhan massal terhadap orangorang PKI dan simpatisan beserta seluruh keluarganya. Pokoknya,

siapa saja yang “dianggap ada indikasi” terlibat dalam G30S/PKI, langsung maupun tidak langsung, mereka “amankan”, di bunuh. “Rakyat” yang direstui dan didorong oleh ABRI menjadi merajalela, bertindak semaunya tanpa hukum dan peraturan bahkan tanpa mengingat moral dan azazi manusia. Sedikit pertentangan pribadi sebelumnya, bisa menjadi dasar untuk menuduh “terlibat G30S” dan harus dibunuh. Ratusan ribu jumlahnya rakyat yang tak berdosa, yang tak tahu apa-apa, dibunuh secara kejam, tanpa bisa memprotes, tanpa bisa membela diri atau tanpa bisa melawan. Lehernya dipotong, kepalanya di tarokkan di ujung bambu runcing atau tongkat kayu dan ditancapkan di sepanjang jalan untuk pameran, sedang tubuhnya dibuang kesungai. Bahkan kami dengar juga, ada perempuan yang di tuduh Gerwani, di bunuh dan di tusuk dengan bambu runcing dari kemaluannya sampai tembus keperutnya dan dipajangkan di simpang jalan. Kami dengar juga, pembunuhan yang mereka lakukan terhadap Gubernur Bali Suteja dan kaum familinya. Indonesia benar-benar berobah menjadi negeri yang penuh kebiadaban dalam abad modern ini. “Rakyat” telah berobah menjadi serigala yang sangat buas, kejam dan haus darah dan tak bermoral. “Homo homini lopus!”. Mereka membunuhi orang-orang yang tak melawan! Sungai-sungai yang biasanya dialiri air yang jernih seperti kaca, menjadi kotor dan busuk karena mayat-mayat yang tidak berkepala. Penduduk menjadi takut memakan ikan sungai karena banyaknya mayat yang membusuk yang menjadi makanan ikan sungai. Pembunuhan kejam berlangsung dimana-mana di pelosok Indonesia. Siapa saja yang dianggap kiri, mereka bunuh. Mereka benar-benar telah berobah menjadi binatang buas! Dan semua ini dilakukan oleh “rakyat” yang mendapat dukungan penuh dari Militernya Suharto dan di bayar ole imperialis! (Boleh mencek kebenaran cerita ini dari tulisan: Misteri CIA di Seputar G30S No. 13, laporan Kedubes Amerika di Jakarta ke Washington, tulisan Rita Uli Hutapea: http://jkt.detik.com/gudang data/mistericia) Pembunuhan Massal

Riau Berdarah | 153

Kemudian , setelah aku bisa melompat keluar dari negeri Rezim Militer Orde Baru, kubaca lewat internet dan kulihat dalam film dokumentasi berbagai-bagai cara pembunuhan tanpa moral dan perikemanusiaan yang dilakukan oleh kaum yang haus darah di bawah rezim Suharto, dalam melenyapkan lawan-lawan politiknya, orangorang yang dituduh ada indikasi dengan PKI atau mereka yang diPKI-kan, golongan-golongan nasionalis, agama dan militer pendukung Sukarno. * Para korban, diikat tangan dan kakinya pada rel kereta api di tengah malam dan dibiarkan sampai kereta api yang dengan kecepatan tinggi datang dan melindas menghancur luluhkan tubuh-tubuh yang tidak berdaya itu.Dan tersebutlah, yang melakukan kekejaman tak ber perikemanusiaan ini justru bangsawan Kraton Surakarta Jawa yang katanya “terpaksa melakukan” demi keselamatan dirinya sendiri. (http://www.timrelawan.org) * Kaki dan badan si korban diikat kuat ke sebuah pohon,dan kepala/ leher diikat dengan kawat baja dan ditarik dengan mobil/truk, hingga kepala tercabut dari badan. (Film documenter ABC Australia: Riding the Tiger Part III) * Korban disembelih, ditusuk dengan pisau panjang (pedang) di tengah demonstrasi ramai atau ditembak dan ditolak ke dalam lobang yang si korban harus buat dan persiapkan sebelumnya, karena diperintah dan dipaksa, atau si korban dikubur hidup-hidup. Bahkan, di Pasuruan, kabarnya, yang melakukan pemenggalan/pembunuhan adalah seorang wanita! (Lihat film dokumentasi Shadow Plays dan Riding the Tiger ) * ”Para korban dibunuh dengan sadis dan diklelerkan saja di pinggir jalan, di bawah pohon, dan dilempar kesungai seperti bangkai anjing” (Ucapan Presiden Soekarno tgl. 18/12/1965, didepan Sidang HMI di Bogor: http://www.tokohindonesia.com) * American Free Press mengatakan: “di Aceh, sebagai contohnya, penduduk sipil dipotong dan kepalanya ditancapkan di sepotong kayu dan dipajangkan di sepanjang jalan. Tubuhnya berkali-kali di tusuk dengan pisau atau pedang, kemudian dilemparkan kesungai agar tidak “mengkontaminasi bumi Aceh” (http://www.americanfreepress.net)

(Kadang-kadang aku berpikir, apakah kejadian Tsunami tahun 2004 yang melanda Aceh adalah sebagai hukuman Tuhan atas kekejaman di luar perikemanusiaan “rakyat” Aceh terhadap kaum kiri pada tahun 65? Menjadikan bumi Aceh mandi darah dari orang-orang tak berdosa? Tak tahulah aku! Hanya Tuhan yang maha tahu! Juga aku pernah berpikir, apakah tindakan kaum teroris, terutama di Sulawesi yang memenggal kepala anak sekolah, dapat dilihat sebagai penerusan contoh dan warisan dari segala tindakan dan perbuatan brutal yang dilakukan oleh rezim orde baru terhadap kaum komunis di Indonesia? Sekali lagi, hanya Tuhan yang maha mengetahui!) Demikianlah antara lain cara dan kekejaman dan kebiadaban yang di lakukan oleh segelintir “Rakyat” di bawah lindungan, support dan bantuan serta dorongan (atau mungkin juga ancaman?) dari rezim militer Orde Baru Soeharto. Rezim fasis militer Orde Baru dan segala kakitangnya ini melakukan “witch-hunt” berupa operasi militer besar-besaran terhadap anggota-anggota PKI dan para simpatisannya. Membunuh dan melenyapkan mereka dengan cara-cara yang diluar batas perikemanusiaan. Jutaan anak bangsa menjadi korban kebiadaban rezim militer Orba dan kakitangannya yaitu golongan agama yang terpengaruh dan terutama Golkar yang lahir, hidup subur dan berkembang sebagai anteknya Soeharto, Jenderal yang tak berperikemanusiaan, pembunuh Rakyat! Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, yang lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Mayjen. Dr. Soemarno, dengan anggotaanggota Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi ( ex. Brigade.XVII/TP) dan seorang lagi tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto sekitar 500.000 orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Panglima RPKAD, kepada Permadi SH, jumlah yang dibunuh mencapai sekitar 3.000.000 ( baca: tiga juta!) orang. “Itu yang ia suruh bunuh dan ia bunuh sendiri” kata sumber itu.

Riau Berdarah | 155

(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html) [ Pendapatku: Kurasa, itu hanya perkiraan kasar. Berapa puluh juta yang sebenarnya menjadi korban? Berapa ratus ribu yang dijadikan seperti ayam-ayam dalam kandang, diambil dari dalam kamp tahanan dan dibunuh tanpa batu nisan dan sebagainya? Berapa ribu, puluh ribu atau ratus ribu yang di bunuh TANPA “sepengetahuan ” Alm. Letjen. Sarwo Edie Wibowo? Tidak ada yang tahu pasti! Indonesia terdiri dari ribuan pulau, darat dan laut! Setiap tempat, setiap jengkal bumi persada, bisa menjadi “killing-field” tanpa bisa diketahui pihak lain, di darat atau di laut! Apalagi, para sanak keluarga si korban, takut dan tidak mungkin berani untuk “melaporkan” karena mereka takut akan menerima akibatnya yaitu dicap sebagai “ada indikasi” atau terlibat secara tidak langsung! Jadi kalau Soeharto tampil dan bangga sebagai “The Smiling General”, tidak mengherankan, karena sesungguhnya dia bangga dan tersenyum—”smiling”— dengan dirinya yang menjadi “bapak pembunuh bangsa” “The Smiling General” yang sebenarnya tidak lebih dari “The Smiling Killer”! Melenyapkan berjuta-juta orang hanya dengan tuduhan komunis, demi melincinkan jalan ke singgasana kekuasaannya! Kalau Hitler bisa naik dan berkuasa dengan segala kekerasannya. “dengan darah dan besi” melalui Gestapo-nya, apa bedanya dengan Soeharto ? Dia naik dan berkuasa, dengan segala pembunuhan dan penggunaan bedil dimana-mana, di samping segala senyum palsunya, dengan kelicikan dan kebusukan, melenyapkan lawan-lawan politiknya dengan menggunakan “gestaponya” yaitu rezim militer Orde Baru dan Golkar! Ia patut merasa “bangga” dan menjadi “the smiling general”, karena kalau Amerika menghancurkan komunis Vietnam dengan perang yang berkepanjangan, bertahuntahun dan memakan biaya yang cukup besar, maka Soeharto menghancurkan komunis Indonesia hanya dengan senyum busuknya, kelicikan, tipu dan kebohongannya dengan bantuan para begundalnya tanpa ada perlawanan!!! Apa sih susahnya militer yang bersenjata lengkap, membunuh, menghancurkan rakyat yang tak bersenjata dan tak melawan? Zaman penjajahan Belanda dulu, orang yang berperilaku seperti Soeharto ini dijuluki sebagai “pintar busuk!” dan orang Jawa menyebutnya “tengik!”]

Penyiksaan dan Pelenyapan Tapol Sementara itu , para tapol, diambil dan diperiksa satu persatu di kantor Teperda—Team Pemeriksaan Daerah—Riau. Setiap yang dikembalikan ke dalam Kamp Tahanan sehabis pemeriksaan, jarang yang dapat berjalan baik. Semua tubuh mereka babak belur dan bengkak. Bahkan ada yang di stroom dengan baterai mobil. Sangat menyedihkan sekali adalah peristiwa dimana si tahanan yang di ikat batang kemaluannya, dan digantung sehingga si tahanan menjerit meraung-raung karena kemaluannya serasa putus. Ini sungguh terjadi atas diri saudara Misbach, pimpinan Perbum dari daerah Caltex Duri. Ketika saudara Misbach dikembalikan ke dalam tahanan, teman-teman dari Baperki mencoba memberikan bantuan dengan segala obat ramuan China dan pengurutan, namun sayang, tidak bisa berhasil ! Tidak tertolong lagi! Kemaluannya tidak bisa ereksi lagi buat selamalamanya ! Juga pemeriksaan atas bung Sumargo pegawai staff Caltex anggota Perbum oleh Kapten Harjono, Komandan Detasemen CPM Pekanbaru. Si Kapten memeriksa cukup keras, namun tidak mau memperlihatkan kekejamannya, karena mungkin ingat bahwa dia adalah Kapten dan Komandan Tertinggi CPM di Pekanbaru. Namun, setelah itu, si Kapten menyerahkan bung Sumargo kepada seorang anggota sipil CPM, yang tidak diketahui namanya, namun mempunyai ciri-ciri yang masih diingat bung Sumargo, yaitu muka yang berkumis, dan berjalan agak pincang. Si anggota sipil CPM ini menyiksa bung Margo habis-habisan, mencambuki punggungnya dengan rotan yang cukup besar, sehingga sekujur punggungnya luka dan penuh jalur-jalur berdarah. Dengan keadaan yang sangat susah berjalan, bung Margo dikembalikan ke kamp tahanan dan di masukkan ke dalam sel tertutup. (Barangkali agar teman-teman lain tidak bisa melihat bekas dan jalur-jalur siksaan di tubuh Bung Margo!) Kawan-kawan yang melihat ini, mengatakan pada bung Margo bahwa sipil CPM yang memeriksanya itu adalah kakitangan dan anteknya Kapten Harjono, Komandan CPM Pekanbaru. Dia adalah bekas

Riau Berdarah | 157

anggota OPR tahun 1958 di Padang melawan PRRI. Karena dipercaya dan menjadi tangan kanan Kapten Harjono, dia merasa dirinya besar dan bebas berbuat semaunya. Bahkan anggota-anggota CPM juga banyak yang keder padanya. Dan orang ini juga diketahui, kemudian merampas istri seorang teman tahanan lainnya……… Razia dan pemeriksaan kamar-kamar sering dilakukan oleh pihak militer. Di dalam tahanan, tidak dibenarkan adanya botol, gelas atau kaca, kendatipun barang-barang tersebut sangat berguna bagi kawankawan untuk mengasah dan mengkilatkan batu cincin yang dibuat dengan bersusah payah di lantai sumur. Kemudian, gula dan kopi dilarang masuk. Keluarga yang ingin mengirim gula, harus melapor kemarkas CPM, dan menjadikan gula dan kopi sebagai cairan seperti molases atau madu dan cairan kental kopi. Dan tidak boleh ditempatkan dibotol kaca ! Benar-benar peraturan gila ! Hal ini membuat kawan-kawan menjadi kekurangan energi. Bahkan, jatah makanan juga dikurangi, dimana juru masak pada saat itu adalah para tahanan kriminal dan orang-orang yang dituduh sebagai mata-mata Malaysia ! Segala bentuk kekejaman dan penganiayaan dilakukan oleh para penguasa militer terhadap para tahanan. Dengan kekejaman dan penganiayaan yang seperti itu, aku jadi berpendapat, bahwa Teperda bukan lagi berarti Team Pemeriksaan Daerah, akan tetapi telah berobah menjadi TEam PEnyiksaan-Rakyat DAerah. Atau lebih jauh lagi, TEam PEmbunuh Rakyat Daerah ! Daerah Riau saat itu berada di bawah pimpinan Brigjen. Kaharudin Nasution sebagai Gubernur Riau dan merangkap sebagai Komandan Resort Militer 031 Wirabima/Pepelrada Riau.. Aku tidak ingat akan tanggal dan bulannya namun aku masih ingat benar akan apa yang terjadi . Kudengar ketika itu, Brigjen. Kaharudin Nasution berangkat ke Jakarta untuk menghadiri rapat para Gubernur seluruh Indonesia. Untuk pejabat Gubernur, Pejabat Komandan Resort Militer 031 Wirabima merangkap pejabat Pepelrada Riau,ditunjuknyalah Kolonel Subrantas (barangkali karena hanya dia yang berpangkat tinggi di bawah Brigjen. Kaharudin Nasution), yang ketika itu adalah Bupati Kabupaten Kampar di Bangkinang. Saat atau masa beliau menjadi

pejabat dari segala kedudukan yang tinggi ini, adalah masa yang sangat mencemaskan, menakutkan dan menteror mental kami. Ketika itu, setiap malam, ada saja tahanan yang diambil dan dibawa ke Teperda dengan alasan untuk “diperiksa”. Istilahnya: di-interogasi! Namun, mereka yang “diambil” dari tahanan untuk “diperiksa” itu tidak pernah kembali ke Kamp Tahanan lagi. Hilang begitu saja. Kami di dalam tahanan menjadi takut dan cemas. Masing-masing kami hanya pasrah dan menunggu saat untuk “diambil” dan “diperiksa”. Dari berita yang kami peroleh, mereka yang diambil itu bukan diperiksa namun dibunuh oleh Kesatuan Militer Angkatan Darat , anteknya Orde Baru di daerah Marpoyan di luar kota Pekanbaru. Apa yang bisa kami perbuat? Terutama bagiku, apa yang bisa kuperbuat? Dimasa PRRI –tahun 1958—aku bisa mempengaruhi dan menggerakkan beberapa orang kawan untuk melarikan diri, karena aku tahu ada daerah yang tidak berada di bawah PRRI. Namun, sekarang? Apa yang bisa di perbuat? Saudara Misbach, yang menangani semua informasi yang diperoleh, membisikkan kepadaku bahwa di dalam “daftar pengambilan” yang diperolehnya secara rahasia dan merupakan “top secret”, aku berada dalam urutan nomor 160 untuk “di ambil” dan “di periksa”. Disampaikannya hal ini kepadaku, karena ia mendapat cerita dan tahu pasti mengenai diriku, sejarah dan kegiatanku dalam organisasi, dan kisahku waktu zaman PRRI. Agar supaya aku mempersiapkan mental, tabah dalam menghadapi hal yang tak mungkin terelakkan ini! Kami tahu bahwa setiap yang di ambil berarti mati! Namun, apa daya kami? Kami tidak ubahnya seperti ayam di dalam kandang, menunggu untuk diambil dan disembelih! Coba bayangkan, bagaimana perasaan anda jika anda mengetahui bahwa dalam waktu yang tak lama lagi anda akan dibunuh tanpa bisa berbuat sesuatu apapun jua? Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan ialah menyerahkan semuanya kepada Sang Pencipta, Tuhan, yang menurut apa yang diajarkan adalah Maha Pengasih dan Penyayang! Dari tanah kita jadi, dan ketanah kita kembali………. Perjuangan hebat terjadi dalam jiwaku…….segala pikiran dan ingatanku tertuju kepada istriku yang cantik, kedua orang anakku yang

Riau Berdarah | 159

manis dan mungil, ayah-ibu serta saudara-saudaraku, ohhh….. aku sangat mencintai dan merindukan mereka semua, apakah aku akan berpisah dengan mereka buat selama-lamanya……….? Ohh, …… Tuhan! Tolonglah! Tabahkanlah hatiku! Setiap mereka—para tahanan—yang mendapat informasi dan tahu “nomor” giliran mereka untuk diambil, berdoa menurut kepercayaan dan agamanya masing-masing, dan juga menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di samping itu mereka yang menjadi anggota dan kader partai, dengan haru dan air mata, juga bernyanyi lirih atau bersajak di dalam hati: : Kau beri segala padaku, kasih dan cinta, bintang dan surya, Kau cabut segala dariku, cemar dan noda, papa, derita Partaiku, partaiku, segenap hatiku bagimu, partaiku, partaiku, kuwarisi api juangmu. PKI, PKI, segenap hatiku bagimu, PKI, PKI, kuserahkan jiwa ragaku! Kami semua menanti dan menanti, bila tiba giliran kami? Bila mereka akan datang mengambil kami, seperti mengambil ayam di dalam kandang dan menyembelih, membunuh kami? Beginilah konsekwensi perjuangan, di negara yang tidak punya hukum dan hak azazi manusia! Masih segar dalam ingatanku, ketika pakcik dari istriku— Muhktar Bagindo Marajo—diambil pada malam itu. Dia memelukku sambil berbisik dalam bahasa Minangkabau: “ Aku tahu kemana aku akan pergi. Jaga adik-adikmu, Yo !”. Sambil menitikkan air mata, aku mengangguk, kendatipun aku sendiri tak tahu apa yang akan terjadi atas diriku. Adik-adik yang dimaksud adalah anak-anaknya yang berarti adik-adik dari istriku, berarti juga adik-adikku yang dalam susunan keluarga menjadi tante dan paman atau mamak bagi anakanakku Virgo dan Gemini. Dan dia, pakcik Muhktar Bagindo Marajo, di bawa pergi oleh penguasa dan hilang tak tentu rimbanya!

Aku tak tahu apa yang terjadi, namun kemudian kudengar, tibatiba saja Brigjen. Kaharudin Nasution kembali dari Jakarta dan mengambil kembali semua jabatan yang sementara ditugaskan kepada Kolonel Subrantas.(Aku tak tahu pasti apakah Kolonel Subrantas ini adalah orang yang sama yang pernah menjadi Letnan Subrantas pada Batalyon I Resimen IV Divisi Banteng di Pekanbaru di bawah komando Kolonel. Hassan Basri pada tahun 1949, yang juga satu batalyon dengan ayahku yang saat itu berpangkat sersan-mayor. Apakah juga dia adalah orang yang pernah menjadi romusha di jaman penjajahan Jepang, ataukah ada Subrantas yang lain? Aku tak tahu! Biarlah sejarah yang menyelidikinya). Dengan pergantian kembali penguasa ini, maka berhenti pulalah pengambilan dan pelenyapan tahanan G30S di malam hari. Namun, pengambilan yang telah berjalan tidak begitu lama itu, dalam ingatanku telah menelan korban 49 orang, hilang lenyap tanpa kabar beritanya. Sanak saudaranya mencari kesana kemari kalau-kalau bisa menemukan dimana mereka, namun sia-sia.Mereka lenyap, seperti batu jatuh ke lubuk. Tak seorangpun bisa menemukannya! Aku masih ingat, kawan terakhir yang diambil, dibawa dan dihilangkan adalah Kamaluddin Sjamsuddin, pegawai senior Caltex yang dipanggil pulang dari sekolahnya di Amerika Serikat dan dijebloskan ke dalam tahanan serta Ardan A.N. pimpinan Pemuda Rakyat.Riau yang juga kawanku semasa ditahan PRRI. Mereka berdua adalah regu terakhir yang diambil dan dilenyapkan, karena sesudah “kepergian” mereka, “kekuasaan” Kepala Daerah dan Militer, dicabut dari pejabat sementara, dan kembali kepada yang berhak, yaitu Brigjen Kaharudin Nasution. Beberapa tahun kemudian, kudengar, Panglima Polisi Republik Indonesia Jenderal Polisi Awaluddin, berkunjung ke Pekanbaru dan coba menanyakan tentang Kamaluddin Sjamsuddin, yang menurut berita selentingan yang kudengar adalah suami kemenakan beliau. Namun, kiranya, sekembalinya Panglima tersebut ke Jakarta, kudengar Soeharto mencopotnya dari jabatan Panglima Polisi Republik Indonesia. Riau Berdarah!

Riau Berdarah | 161

Kini, dalam usia tuaku ini kucoba memeras segala ingatan dan kenangan untuk mengumpulkan kembali nama-nama ke 49 temanteman yang dilenyapkan itu, namun maafkanlah daku, karena aku hanya sanggup dan berhasil mengingat kembali sekitar 21 nama, yang menjadi korban kekejaman pihak berkuasa Orde Baru di bawah Soeharto. Mereka yang diambil dan dilenyapkan dari TPU/RTM (Kamp Tahanan) Pekanbaru Riau tersebut adalah : 1. Zainuddin- Caltex, Ketua Sobsi Riau (ex. Tahanan PRRI/1958 ) 2. Muslihun- Ketua Cabang Perbum Caltex Rumbai 3. A.Aziz Siregar-fungsionaris Cabang Perbum Rumbai 4. Misdar-pimpinan Perbum pada Caltex Dumai 5. Misbach-pimpinan Perbum pada Caltex Duri 6. Rusli Danur B.A.-Ketua PGRI Pekanbaru Riau 7. Subekti. Pimpinan Lekra daerah Riau 8. M.Yusuf B.A.-anggota Badan Pemerintah Harian Kota Pekanbaru 9. Kambasli-Ketua CGMI Pekanbaru Riau (ex, tahanan PRRI/1958) 10. Hamdah-pimpinan PKI Sungai Pakning Riau (ex. Tahanan PRRI/1958) 11 Zubir Achmad – Ketua IPPI Pekanbaru 12. Muhktar Bagindo Marajo-pimpinan BTI Pekanbaru 13. A. Kusumitro-anggota pimpinan PKI Pekanbaru 14..Nurdin.O.-anggota Pemuda Rakyat Pekanbaru 15..Sujitno Hadi-anggota pimpinan PKI Kota Pekanbaru, 16. Sutan Malano, pimpinan SBPP Pekanbaru 17. Sudibyo, BTI Riau, Pekanbaru. 18. Sugimin,SSKDN, Kantor Balaikota Pekanbaru 19. Malanton Simanjuntak, SBKB Pekanbaru 20.Kamaluddin Sjamsuddin,anggota pimpinan Perbum Caltex Rumbai 21. Ardan A.N -Ketua Pemuda Rakyat Riau, Pekanbaru. (ex. Tahanan PRRI/1958). Itulah 21 nama kawan-kawan yang masih bisa kuingat. Aku tidak mempunyai suatu catatan apapun mengenai nama ini. Apalagi, hampir setiap saat, barak kami dirazzia mendadak oleh penguasa, sehingga

sulit untuk menyembunyikan sesuatu. Lagipula, karena yakin bahwa kami semua akan dibunuh satu persatu, untuk apa catatan? Semua ini tercatat didalam kepalaku. Barangkali teman-teman lain yang juga pernah di tahan bersamaku, di TPU Pekanbaru Riau, yang bisa selamat, dapat mengingat lebih banyak nama-nama daripada yang dapat kuingat, dan dapat memberikan data-datanya. Semua nama yang kutulis diatas adalah sebenarnya, karena aku pernah dekat dan bergaul dengan mereka. Wajah mereka senantiasa dalam ingatanku. Bahkan, aku juga mengenal sebagian dari keluarga mereka, istri dan anak-anak mereka. Kepada keluarga dan ahli warisnya, yang mungkin masih ada sampai sekarang, kusampaikan salam yang sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi tingginya atas pengorbanan suami atau ayah atau kakek mereka ini. Awal Maret 2006, saudara Sumargo, bekas pegawai staff Caltex, yang di tahan dan dilepas bersamaku, yang sekarang menjalani hari tuanya di Jakarta, dapat menghubungiku dan memberikan daftar tambahan nama-nama sebagian dari teman-teman yang diambil dan dilenyapkan yang masih di ingat olehnya dan oleh beberapa teman lainnya, dimana daftar tsb. kini menjadi arsip LPR-KROB. Inilah nama-nama mereka yang diambil dan dihilangkan itu:

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Abunandar, Perbum Caltex Rumbai Darajat Lubis, Sobsi Riau Nasution, BTI Sei Rangau Nyonya Nasution, Sei Rangau Jasni, anggota pimpinan CGMI M. Lubis, Sobsi Pekanbaru Hamlet Nasution, Pemuda Rakyat Pekanbaru Tampubolon, Sungai Rangau, PKI Syahrudin Jalal, Caltex, Perbum Rumbai Aliusir, BTI Riau Ngadimin, Caltex, Perbum Duri Darwis, SBPU Pekanbaru (ex. Tahanan PRRI/1958)

Riau Berdarah | 163

13. Abas Mandor , Pekanbaru. 14. Syarif, Caltex Duri, Perbum. 15. M.Saleh, pelajar, IPPI Itulah 15 nama yang masih di ingat oleh saudara Sumargo dan teman-teman lain.. Jadi keseluruhannya, yang kami ingat adalah berjumlah 21+15, jadi berjumlah 36 orang. Masih ada lagi beberapa nama yang kami tidak ingat, karena jumlah yang diambil dari TPU/RTM yang kuingat pasti adalah 49 orang Informasi yang kuperoleh kemudian dari kawanku sesama tahanan, masa rezim Orde Baru melakukan kebiadaban dan kebrutalannya, mengambil dan membunuh para tapol dari RTM/TPU Pekanbaru, dan tambahan dari 36 nama-nama yang telah tertulis diatas, adalah

1. Sidi Barabanso ( Pimpinan BTI Riau/eks. Tawanan PRRI 1958) 2. Bachtiar (Pimpinan SBKB Riau/eks. Tawanan PRRI 1958) 3. Lukman ( Karyawan Bea dan Cukai) 4. Ngadibi (anggota Pimpinan Pemuda Rakyat Riau) Dengan demikian, jumlah keseluruhan yang diambil dan dilenyapkan oleh reziem Orde Baru dari RTM/TPU Pekanbaru adalah 21+15 ditambah 4 orang seperti yang tertulis diatas, menjadi 40 orang. Jumlah ini, ditambah dengan 9 orang yang diambil, namun ternyata kemudian dikembalikan ke RTM/TPU karena mereka rupanya diasingkan dan ditahan di penjara Bangkinang dengan rencana untuk diadili, jumlahnya menjadi menjadi 49 orang. Jadi, ingatanku bahwa 49 orang yang kuingat pasti, diambil dari RTM/TPU adalah benar, tidak meleset! Sedang kawan yang pertama-tama dihilangkan adalah Suyitno Hadi (CS –PKI Kota Pekanbaru) dan saudara iparnya M.Jusuf BA (anggota Badan Pemerintah Harian Riau) pada 15 Pebruari 1966, yang kemudian disusul dengan pengambilan-pengambilan selanjutnya. Pengambilan terakhir dari RTM/TPU Pekanbaru adalah pada hari Sabtu tanggal 7 September 1968 atas saudara Djasni (Pimpinan CGMI

Riau), saudara A. Kusumitro (Perbum dan Pemuda Rakyat Riau), saudara Misbach (Perbum Duri) dan saudara Bachtiar (SBKB Pekanbaru) kemudian, pada hari Senin tanggal 16 September 1968 sebagaimana kukatakan pada halaman depan, saudara Kamaludin Sjamsudin (Perbum) dan Ardan A.N. merupakan orang yang terakhir yang diambil RTM/TPU dan dibunuh! Tambahan: Tiga orang pimpinan Komunis Riau yang ditangkap dalam operasi Militer Riau adalah : 1. Abdullah Alihamy, Ketua CDB- PKI Riau 2. Mohammad Amin Zein, anggota MPRS-RI, Pimpinan BTI/CDB PKI Riau, dan 3. Sri Suharjo, CDB-PKI Riau Mengenai ketiga pimpinan CDB-PKI Riau ini, informasi yang dapat diperoleh dan dikumpulkan adalah sbb.: * Abdullah Alihamy, diajukan ke pengadilan rezim Orba di Pekanbaru dan dijatuhi hukuman mati. Dia dipindahkan ke Padang dan dieksekusi oleh regu tembak di Padang.

* Mohammad Amin Zein, diadili oleh Pengadilan Orba di Pekanbaru, dijatuhi hukuman seumur hidup. Pada tahun 1999 dibebaskan, namun karena ancaman dan intimidasi reziem Orde Baru dan antek-anteknya, maka keluarga dan masyarakat kampungnya, takut untuk menerimanya kembali. Dia, yang adalah bekas Anggota MPRS-RI tersebut. terlunta-lunta di masa tuanya dan meninggal di kota Medan. * Sri Suharjo, ditahan sementara di Teperda/TPU/RTM Pekanbaru. Setelah dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Orba di Pekanbaru, dia dipindahkan ke Padang dan menjalani hukumannya di RTM Padang. Atas tuntutan Lembaga Amnesti Internasional, dia

Riau Berdarah | 165

dibebaskan oleh Presiden B.J. Habibie, dalam keadaan sangat tua, dan masih sempat bertemu dengan keluarganya beberapa saat sebelum ia meninggal dunia .

Di samping Abdullah Alihamy, Mohammad Amin Zein, dan Sri Suharjo, masih ada yang diseret ke ”pengadilan” Orde Baru yang bertempat di Pengadilan Negeri Pekanbaru, yaitu : 1. Sdr D, Anggota Pimpinan Pemuda Rakyat Daerah Riau, yang ditangkap pada 17 Mei 1968 bersama Saudara S dan Saudara K. Dia ”diadili” oleh Pengadilan Orde Baru dan dijatuhi hukuman penjara selama 17 tahun. Dibebaskan pada 17 Agustus 1982. 2.Sdr.Kemat, Anggota Pimpinan Pemuda Rakyat Kota Pekanbaru, dihukum 15 tahun penjara. Dibebaskan pada Agustus 1980, dan meninggal dunia pada tahun 2001. 3. Sdr. A, Anggota Pimpinan Pemuda Rakyat Kota Pekanbaru, dihukum 12 tahun penjara, dan dibebaskan pada tahun 1978.

Juga di Bagan Siapi-api, reziem Orde baru bertindak sewenang-wenang. Menyeret para pemuda ke pengadilannya untuk dijatuhi hukuman yang direka-reka yang sebenarnya telah mereka rancang dan persiapkan dari semula. Teman-teman yang dijatuhi hukuman oleh “pengadilan” Orde Baru itu adalah: 1. Umar Kasim, Pimpinan Pemuda Rakyat Bagan Siapi-api dihukum 12 tahun penjara, dan meninggal di penjara Padang, sebelum habis masa hukumannya! 2. NPD, Pemuda Rakyat Bagan Siapi-api, dihukum 12 tahun 3. Dahur, Pemuda Rakyat dan Anggota Partai, dihukum 13 tahun, meninggal di penjara Padang, karena kurang makan

4. Z, siswa SMA Kelas II, dihukum 10 tahun penjara, hanya karena berjumpa dan berbicara dengan saudara Johar, pimpinan Pemuda Rakyat. Kalau kita perhatikan, bagi Rezim Ordebaru, mengadili, menahan ataupun membunuh langsung para lawan politik mereka , tujuannya cuma satu yaitu menumpas, melenyapkan! Dalam garis politiknya, tidak ada hukum dan perikemanusiaan, seperti ucapan Suharto di depan rapat Militer tanggal 5 Oktober 1965 : “……kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI., menumpas perlawanan mereka dimana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka………” (Wiyanto Rachman SH, Belgia 23/9/2000: Soeharto: “Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989 halaman 136— http://arus.kerjabudaya.org.) Ambisi pribadi yang sejalan dengan tujuan Imperialis dan anti revolusi ini menguasai jiwa Suharto, tanpa mengingat hukum, keadilan dan hak azazi manusia! Yang ada hanya satu dalam hati dan pikirannya yaitu MENUMPAS! Jadi, baginya, lawan politiknya yang ditangkap, dibunuh langsung, atau diadili untuk dijatuhi hukuman mati, atau ditahan berlarut-larut hingga mati, dilepas dari tahanan dan mati karena mewarisi segala penyakit selama ditahan bertahun-tahun, tujuannya hanyalah satu, yaitu: menumpas, membunuh! Sebagai contoh, mengapa Dipa Nusantara Aidit begitu ditangkap, langsung dibunuh oleh Jasir Hadibroto atas perintah Suharto tanpa hukum dan keadilan? Supaya Aidit yang Ketua PKI/Menko Kabinet RI itu, tidak sempat bicara, tidak sempat membeberkan tentang komplotan dan gerakan penghianatan Suharto! “Ketika Kol. Jasir melapor kepada Jenderal Suharto pada jam 3.00 sore tanggal 24 Nopember 1965, tentang selesainya “tugas” melenyapkan Aidit , Suharto hanya tersenyum……………………!” (Paul H.Salim:The Gestapu “coup”:(http://www.isnet.org/~djoko/G30S/Salim01.html) Nah, siapa sebenarnya yang menggunakan dan mentrapkan katakata ungkapan : “Menghalalkan segala cara untuk mencapai

Riau Berdarah | 167

tujuan… ?!” seperti yang di tuduhkan oleh kaum agama?. Golongan kiri, ataukah Suharto sendiri? Kupikir, sebutan “The Smiling General” buat Suharto itu, barangkali diangkat dari kejadian “dia tersenyum”, “the General is Smiling” karena bisa menggunakan tangan Yasir Hadibroto untuk membunuh Dipa Nusantara Aidit! Setelah ucapan penuh ambisi sang jenderal pada Rapat Militer tanggal 5 Oktober 1965 itu, terjadilah pemburuan dan pembunuhanpembunuhan kejam terhadap kaum yang dituduh komunis dimanamana diseluruh Indonesia oleh “sebahagian kaum” yang tergabung dalam partai dan organisasi-oraganisasi yang yang berdasarkan agama, seperti Pemuda NU, Pemuda Katolik (yang kemudian membuatku kecewa dengan agama Katolik), Pemuda Protestan/ Pancasila, tidak ketinggalan segala macam komando aksi yang didukung dan didorong, di persenjatai dan dibiayai oleh Orba dan Rezim Militernya Suharto. “Rakyat” yang bisa dikili seperti jangkrik bertindak sewenang-wenang……Homo homini lopus ……! Menurut seorang teman wartawan yang juga ditahan di TPU/RTM Pekanbaru, informasi yang diperolehnya mengatakan bahwa tempattempat pembantaian dan pembunuhan para Tahanan Politik Pekanbaru adalah di: 1. Padang Marpoyan, di luar kota Pekanbaru 2. Di sebelah samping Lanud Simpang Tiga Pekanbaru 3. Pasir Putih/Tangkerang (di bawah tonggak bendera kantor Walinegeri yang sekarang) 4. Hutan, di seberang jalan, Pekanbaru-Minas, KM 14. Sebenarnya, mengenai daftar nama-nama para tahanan di RTM/TPU Pekanbaru yang akan dilenyapkan oleh penguasa ini, seperti yang kukatakan sebelumnya, secara rahasia berada di tangan saudara Misbach., sehingga dia dapat memperingatkan atau memberi info kepada kawan yang akan tiba gilirannya, termasuk diriku. Akan tetapi setelah saudara Misbach sendiri diambil, daftar ini tidak bisa diketemukan lagi. Itulah sebabnya kami harus memeras ingatan, mengumpulkan kembali nama kawan-kawan yang di hilangkan itu.

Dan dari nama-nama tahanan yang diambil dan di bunuh itu, sebagian besar kukenal baik dan masih kuingat akan raut wajahnya! Di samping itu. pengambilan dan pembunuhan para tahanan politik yang dilakukan oleh reziem Orde Baru, di beberapa tempat di daerah Riau, dapat diceritakan sbb.:

*Dari Bengkalis: Saudara Murad yang adalah Anggota DPRD Bengkalis dan menjabat sebagai anggota CS-PKI Bengkalis, dibawa dengan kapal dalam rombongan sekitar 50 orang. Hilang lenyap dan sampai hari ini tiada kabar beritanya! *Dari Bagan Siapi-api: Saudara Syofyan (PKI), Sdr. Syahrudin (PKI), Sdr. Anis (PKI), Sdr. Syamsul Bahri (PKI) beserta istrinya, Ny. Syamsul Bahri (Gerwani), dalam satu rombongan sekitar 40 orang dibawa dengan kapal motor ke Pekanbaru, namun yang samnpai di TPU Pekanbaru hanya saudara Judo Pramono. (nomor 55 dalam daftar lampiran). *Dari Selat Panjang: Saudara Dahlan (PKI) beserta menantunya yaitu Bakar Ibrahim (Pemuda Rakyat), dibawa dengan kapal menuju Bengkalis dalam rombongan 30 orang, namun sampai kini tiada kabar beritanya. *Dari Rengat: Saudara Agus Alihamy (PKI), adik dari saudara Abdullah Alihamy, Ketua CDB-PKI Riau, Saudara Raja Abas (PKI), Saudari Rubinem (Gerwani Rengat), dibawa dengan truk dalam satu rombongan sekitar 50 orang. Hilang lenyap, tiada diketahui keberadaannya sampai sekarang! * Dari Tembilahan: Saudara Assaat dan Marsono (PKI), beserta 30 orang rombongan dibawa dalam satu truk dan hilang, tiada kabar setelah itu!

Riau Berdarah | 169

* Dari Tanjung Pinang, tidak diketahui berapa jumlah yang pasti yang dilenyapkan atau dibenamkan dilautan, namun diantaranya adalah Saudara Sudomo (PKI) dan saudara Tajul Arifin (PKI). Sedang seorang dari Tanjung Pinang yaitu S.A. Soetarno, guru SMA Negeri (PGRI) yang dimutasikan dari Pekanbaru, yang juga adalah bekas guru penulis , dikembalikan ke Pekanbaru dan menghuni RTM/TPU Pekanbaru bersamasama penulis. * Dari Pasir Pengaraian: 1. Saudara Aladdin Nasution, 2. Kattudin Nasution (CS-PKI), 3. Ilyas, 4. Siddik, 5. Nurdin, 6.Pakso, 7. Amirhamsyah, 8. Aliamron, 9. Amirhasyim, 10. Bacok, 11. Buyung Saridin, 12. Zakaria, 13. Abd. Hasan, 14. Marhanda, 15. Karia, 16. Laham, 17. Kasim, 18. Tengku Pangeran, 19. Tengku Saleh, 20. Dohim, 21. Daib, 22. Ibrahim, 23. Muis, 24. Alikamis, 25. Djalib, 26. Rahman, 27. Metmet, 28. Yahya (mantan imam mesjid), 29. Sotar, 30. Agus, 31. Sulung, 32. Usman, 33. Malim, 34. Masir, 35. Sinaga, 36. Mhd. Pi’i, 37. Datuk Patih, 38.Marantai, 39. Mhd. Nur, 40. Aminudin, 41. Amat, 42. Mhd. Nasution, 43. Yunus, 44. Kapas, 45. Agus Salim, 46. Mhd. Talib, 47. Kasud, 48. Dullah, 49. Abd. Aziz, 50. Mhd. Zen, 51. Tamela Rahman, 52. Harun Nasution. [Semua yang diatas, 52 nama adalah orang-orang yang menjadi korban pembunuhan tahun 1965/1966 di Kecamatan Rambak dan Sekitarnya (Pasir Pengaraian) Daftar nama-nama ini dikumpulkan dan dibuat pada tanggal 4 April 2007] Setelah diperhitungkan, seluruh korban pembunuhan biadab yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru Soeharto dan antek-anteknya di daerah Riau, diperkirakan jumlahnya lebih dari 350 orang. Berkenaan dengan ini, karena peraturan-peraturan diskriminasi yang tidak berkemanusiaan dari Orde Baru yang sampai sampai hari ini masih tetap diberlakukan oleh Pemerintah dan intimidasi dari para pejabat Indonesia, serta trauma yang dialami para keluarga masa itu,

hingga kini masih merasa takut untuk melaporkan atau membicarakan tentang keluarga mereka yang menjadi korban kebiadaban Orde Baru. Namun, sebagai salah seorang korban kebiadaban dan kebrutalan Orde Baru, aku menghimbau kepada para kawan, teman dan saudara serta sanak keluarga yang menjadi korban Rezim Orde Baru tersebut, supaya melaporkan kehilangan sanak keluarganya itu kepada Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPRKROB) untuk menjadi catetan dan data serta bukti akan kejahatan kemanusiaan, kebiadaban dan kebrutalan yang dilakukan oleh Rezim Orde Baru/Suharto di daerah Riau! Dengan kejadian itu, dengan pengambilan dari tahanan dan pembunuhan yang dilakukan aparat tanpa melalui hukum, tanpa perikemanusiaan, rakyat Riau yang terkenal baik, ramah dan sopan, dinodai! Nama baiknya menjadi tercoreng dan tidak bersih lagi! Bumi Riau yang terkenal indah dan aman, menjadi rusak dan berdarah, penuh noda, dengan dibunuhnya orang-orang yang tidak berdosa ,tidak bersalah, dan tidak melawan. Ditahan, tanpa hukum dan pengadilan, hanya karena perbedaan politik , dan dibunuh begitu saja! Jelas sekali, Orde Baru telah membuat bumi Riau berdarah!!! Darah mereka yang menyirami bumi Riau mengadu kepada sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa! Riau Berdarah! Sementara itu, ayahku yang kutinggal sendiri menjalankan perusahaan kontraktornya sejak aku dimasukkan kedalam tahanan pada 18 Nopember 65, bekerja dengan penuh rintangan dan hambatan. Banyak yang mengetahui, bahwa sebelum menjadi kontraktor, ayah adalah seorang pegawai Caltex dan pimpinan Perbum Rumbai. Sekarang, dalam situasi begini, semua mata diarahkan kepadanya. Kontraknya dipreteli, satu persatu dicabut Kontrak kerja terakhir yang diterimanya adalah penebasan hutan di Libo, daerah yang akan digunakan Caltex untuk memasang pengeboran minyak. Ayah telah mendapatkan 50 orang pekerja dengan seorang pengawas yang dipercayai untuk melaksanakan pekerjaan itu. Caltex memberi pinjaman kepada ayah segala bahan yang diperlukan.. Bahan-bahan logistik untuk sebulan, tenda dan generator serta alat alat kerja

Riau Berdarah | 171

lainnya. Oleh ayah, semua itu dikuasakan kepada seorang pengawas kerja yang di percaya yang akan memimpin para pekerja. Mereka dikirim kehutan Libo. Seminggu kemudian, ketika wakil Caltex meninjau tempat kerja di Libo bersama ayah dengan menggunakan helikopter, mereka tidak menemukan seseorangpun di situ. Tempat itu kosong, tiada pekerja, tiada tenda, tiada generator. Helikopter terbang berkeliling mencari dimana mereka berada, namun tidak ditemukan. Ayah menjadi sangat sedih. Dia kecewa di pecundangi oleh orang yang dipercayainya. Ayah mesti membayar kembali kepada Caltex akan segala apa yang dipinjamkan, yang jumlahnya tidak sedikit. Bagi ayah, yang keuangannya sangat susah pada waktu itu, tidak ada jalan lain kecuali menggadaikan tanah beserta rumah yang sedang di tempati, dengan bunga pinjaman yang cukup tinggi yang terpaksa disetujui dan diterima ayah guna pembayar hutang. Belum lagi ayah bisa membayarnya, pinjaman telah menjadi dua kali lipat dari jumlah uang yang di pinjam. Dan juga, timbul sesuatu hal yang sangat menyedihkan, yang merobah nasib dan jalan hidup ayah! Ayah ditangkap oleh Militer Orba dan ditahan bersamaku! Karenanya, ayah yang tidak mungkin bekerja lagi, dan tidak dapat membayar pinjaman, menebus gadaian, terpaksa menyerahkan haknya atas tanah dan rumah kepada sipemberi pinjaman, Hutagalung, seorang perwira Polisi di Pekanbaru. Ayah dan ibu tidak punya apa-apa lagi. Mereka tidak bisa lagi membantu keuangan untuk istri dan anak-anakku yang tinggal bersama ibunya Sainuna dan paktuanya Dt. Bandaro, yang selama ini adalah dalam rawatan ayahku... Kadang-kadang aku berpikir, apakah penangkapan ayahku ini bermaksud agar supaya ayahku tidak lagi bisa merawat dan membantu anak istriku, karena seorang “informan” telah berhasil masuk ke dalam rumah tangga istriku?! Harimau masuk rumah Sering terjadi terhadap hampir semua keluarga para tapol—tahanan politik—yang masih muda dan cantik,senantiasa digoda, diintimidasi,

dirayu bahkan dipaksa oleh oknum penguasa, untuk memenuhi kehendak mereka., sehingga si wanita dengan berbagai cara meninggalkan suami yang menderita . Waktu itu, seorang informan CPM yang berasal dari Bukittinggi, yang semasa zaman PRRI menjadi anggota OPR—Organisasi Pertahanan Rakyat— (anggota OPR umumnya berasal dari anggota Pemuda Rakyat yang membantu ABRI menghancurkan PRRI ), dengan berdalih menjaga istriku, yang katanya sekampung, berhasil tinggal di rumah, bersama Ibu Sainuna, istri dan anak-anakku serta Dt. Bandaro yang sudah tua dan pikun. Dengan meninggalnya Ibu Sainuna karena penyakit kanker buah dada, maka si informan ini menjadi leluasa dan berkuasa di rumah, seolaholah dialah kepala keluarga. Apalagi Dt. Bandaro yang sudah tua, tuli, pikun serta kerusakan sistem sarafnya, tidak bisa berbuat apa-apa. Pekerjaan sebagai informan militer pada saat itu, adalah satu pekerjaan yang sangat dibenci dan ditakuti orang. Karena informan itu umumnya, bukan saja mencari dan memberikan informasi kepada atasannya, namun juga mengintimidasi korbannya untuk kepentingan diri sendiri. Dengan mencap seseorang sebagai “ada indikasi terlibat dengan G30S/PKI, baik langsung maupun tidak langsung” maka si informan bisa mendapatkan “imbalan” atau “amplop tutup mulut” dari korbannya, agar tidak ditangkap dan dikirim ke TPU. Mereka pada umumnya, sangat rajin menggunakan istilah Minangkabau “sabarekbarek baban, labo jan tinggakan!”Yang artinya,“bagaimanapun beratnya beban, untung jangan ditinggalkan!” Begitulah moralmereka! Sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ema, istriku. kepadaku ketika suatu saat mengunjungiku di kamp tahanan, hal ini terjadi juga terhadap Ibu Suwarni—istri Muhktar Bagindo Marajo— tante dari istriku sendiri yang diperas (black mail) oleh si informan. Dia diharuskannya membayar satu rupiahan emas, untuk menghindar dari dimasukkan ke TPU. Beberapa tahun kemudian, hal ini di perkuat sendiri oleh ibu Suwarni, yang menceritakan langsung kepadaku ketika dia mengunjungiku.di tempat kerjaku.”Ema menyimpan hariamau dirumahnya” kata Ibu Suwarni penuh kejengkelan. Tahun 1969…….telah empat tahun kami berada dalam tahanan. Tidak ada tanda-tanda bahwa kami akan dibebaskan. Kami semua di

Riau Berdarah | 173

dalam TPU itu di kategorikan sebagai tahanan G30S/PKI golongan B, karena katanya “tidak bisa di bawa ke pengadilan, namun dianggap berbahaya untuk dibebaskan” Tidak beda seperti kawan-kawan yang dibuang ke pulau Buru. (Mengenai Pulau Buru ini, kami juga mendengar bahwa banyak juga mengenai kawan-kawan di pulau Jawa yang dibuang ke sana! Mengapa mesti dibuang ke pulau Buru, didekat Irian, jauh dari sanak keluarganya? Bung Misbach menjelaskan, bahwa “Soeharto, pada zaman Belanda adalah Sersan KNIL, tentara penjajah Belanda. Jadi segala pikiran dan tindakannya mengikuti cara kolonialis Belanda. Pemerintah Belanda membuang orang-orang Komunis tahun 1926 ke Digul, Tanah Merah Papua. Dan Soeharto menirukannya, dengan membuang orang yang dituduh dan dianggap komunis, ke pulau Buru yang terpencil dan masih merupakan hutan di daerah Maluku, yang tidak jauh daripada Digul, Tanah Merah Papua. Jadi, bagaimana tuannya—Belanda— begitu jugalah anak buahnya, Sersan KNIL Soeharto!” Beberapa hari setelah bung Misbach menceritakan hal itu kepadaku, dia “diambil” dan hilang lenyap……….. Pada saat mempersiapkan naskah ini, saya yang sekarang menetap di Australia diberitahu oleh seorang kawan di Jakarta, bahwa ada dua orang kawan dari TPU/RTM Pekanbaru waktu itu , ternyata juga “terpilih” menjadi “wakil Riau” untuk dikirim ke Pulau Buru, yaitu Darul Kutni, Pegawai Kesehatan Caltex Minas, dan Azwar Amin dari Dinas Perindustrian Pekanbaru. Karena tidak mungkin semua dikirim ke Pulau Buru, ratusan ribu tapol yang ditahan dan di kategorikan ke dalam “golongan B”, di tempatkan di penjara atau di rumah-rumah tahanan di seluruh pelosok Indonesia. Di Pekanbaru, dari beberapa ratus orang yang ditahan, banyak yang jatuh satu persatu, dalam keadaan yang sangat meyedihkan sekali.Tubuhnya kurus kering, hanya kulit pembalut tulang dengan mata yang besar menonjol keluar sangat menyedihkan. Penyakit kekurangan makan yang disebut hongeroedem, dan disentri, tubercolosis, lever, menyebabkan mereka tidak bisa bertahan dan hidup lama. Banyak sudah yang meninggal dan di kubur dikuburan Pasar Pagi yang tidak jauh dari Kamp Tahanan itu.

Penyiksaan Para tahanan yang berkeadaan demikian itu, masih tetap juga diinterogasi, di periksa bahkan disiksa sewaktu di-interogasi . Setiap tahanan yang di kembalikan ke Kamp Tahanan, tubuhnya babak belur dan tak dapat berjalan. Terseok-seok mereka memasuki kamp tahanan, menuju sel yang ditunjuk untuknya……Aku dipanggil dan dibawa kekantor Teperda untuk diperiksa. Seorang Letnan CPM bernama Musiran yang datang dari Padang, memeriksaku. Dalam pemeriksaan yang penuh dengan penganiayaan terhadap diriku, dia memaksaku untuk memberi informasi tentang kegiatan Ibu Janaisah, ibu mertuaku, yang anggota DPRD Riau dan pimpinan Gerwani, di dalam organisasi dan terutama di dalam Partai Komunis. Aku merasa heran karena pertanyaan ini bukan mengenai diriku, tapi mengenai Ibu Mertuaku! Aku memberi jawaban “tidak tahu”, karena memang aku tidak tahu! Namun, semakin aku menjawab “tidak tahu”, semakin Letnan CPM itu menyiksaku dan memukulku dengan pipa besi yang mungkin telah dipersiapkannya, yang berukuran kurang lebih panjang sehasta dan berdiameter kira-kira satu inci. Seluruh tulang dan persendianku serasa retak dan sakit dihantam dengan pipa besi itu.. Sakit dan ngilu! Dari matakaki, naik kelutut, pergelangan tangan, siku, bahu, bahkan tulang keringku! Semua bagian itu menjadi sasaran pipa besi yang dipegangnya! Kemudian ia melengketkan kedua ujung kabel yang dihubungkan dengan baterai mobil ketubuhku. Aku menjerit kesakitan, dan mengucap: “kalau bapak mau bunuh saya, bunuhlah! Saya tidak tahu tentang Ibu Janaisah, kecuali bahwa saya dengar dia adalah Gerwani dan anggota DPR Daerah.Riau. Kalau tentang diri saya, bapak sudah tahu semuanya!” Ia menjadi cukup marah dan jengkel dan mendaratkan kepalannya yang besar dan keras ke kepala dan pangkal telingaku yang membuatku nanar dan sempoyongan… Barangkali karena dia pikir , tidak merasa pelu lagi “memeriksaku”, maka aku di kembalikan kekamp tahanan..Di dalam Kamp, lebih dari seminggu aku tak dapat menggerakkan tubuhku.karena semuanya sakit dan bengkak. Beberapa kawan yang cukup tua, dengan kasih mengurut dan memijati badanku.

Riau Berdarah | 175

Pada tahun itu, Komandan Kamp Tahanan yang dijabat oleh Sersan CPM Kadiman Supardi, membangun sebuah barak baru, diatas sebidang tanah yang biasanya kami gunakan untuk berkebun kecil, di sebelah selatan dari kamar nomor 11. Barak baru ini berdinding empat persegi panjang dan mempunyai pintu disisi utara. Melalui pintu ini kita melihat sebuah lorong panjang yang mentok di dinding selatan dan deretan kamar-kamar sel, di kirikananya. Sel-sel ini diperuntukkan bagi para tahanan yang “diasingkan” dari tahanan lainnya. Aku tak ingat berapa ukuran panjang dan lebar bangunan barak ini. Yang kuingat, ada 16 kamar sel di sisi lorong sebelah kiri dan 16 lagi di sisi lorong sebelah kanan. Masing-masing kamar sel ini berdindingkan papan dan mempunyai sebuah pintu papan yang diberi lobang persegi yang ukurannya hanya pas untuk menjulurkan lengan manusia. Sedangkan ukuran setiap sel ini tidak besar, hanya pas untuk satu dipan papan yang dilekatkan ke lantai untuk tidur satu orang. Di atas dipan inilah segala aktifitas penghuni kamar sel dilakukan, mulai dari tidur, duduk, berdiri, olahraga bagi yang masih kuat,sembahyang, makan dan kencing. Untuk kencing setiap tahanan diberi sebuah kaleng cat 1 gallon,, yang harus mereka bersihkan sendiri setiap pagi pada saat mereka diberi kesempatan keluar sel untuk mandi, berak dan berjemur diri. Ventilasi bangunan barak ini minim sekali. Apabila pintu utama yang terbuat dari papan tebal di tutup, maka ke-32 ruangan sel ini menjadi gelap. Lampu listrik hanya beberapa buah yang terletak di loteng di atas lorong.. Karena keadaan sel yang gelap seperti kuburan itu, kami menamainya “sel maut”. Penguasa memang bermaksud mengisolir setiap tahanan yang dijebloskan ke sel maut ini, setidaknya untuk sementara sampai ia dilepaskan dari sana, dari tahanan lainnya , penghuni TPU. Mereka dikawal seorang petugas bersenjata pada saat diberi kesempatan mandi pagi. Pada saat mereka berjemur sesudah mandi, tak satupun tahanan lain di TPU itu berani mendekat. Sampai-sampai jatah nasi dan sayur yang sudah minim itupun tidak boleh diambil sendiri dari dapur seperti halnya oleh tahanan-tahanan lainnya, tetapi diantarkan sampai ke sel masing-masing. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindarkan kemungkinan, adanya pembicaraan atau penyampaian informasi kepada tahanan lainnya. Penghuni pertama- sel maut ini adalah 9 orang teman yang dikembalikan dari LP Bangkinang, yang tadinya saya pikir mereka ini sudah ikut dihilangkan pada saat mereka dipanggil dan diambil dari TPU beberapa waktu yang lalu. Sekarang mereka dikembalikan dalam keadaan yang jauh lebih buruk dan mengenaskan daripada teman-teman yang masih ditahan di TPU ini. Rupanya, mereka itu tadinya diasingkan ke penjara di Bangkinang Kabupaten Kampar, dengan maksud akan diajukan ke “pengadilan”. Itulah sebabnya barangkali mereka “selamat” dari “pengambilan dan penghilangan” para tahanan, kendatipun mereka sudah berada “di daerahnya” Letkol Subrantas di Kabupaten Kampar. Dan dengan alasan “tidak cukup materi” (atau biaya?) untuk membawa mereka ke depan “pengadilan” maka mereka dikembalikan ke TPU/RTM Pekanbaru. Mereka itu adalah: 1.A.Wahab, 2.Kamaludin Mudir, 3.Arkono, 4.Gultom, 5. Yusuf Sirad, 6.Bachtiar Bogut,7.Ramli Muluk, 8. Abdul Manan dan 9. Anwar Datuk. Seminggu setelah kedatangan mereka dari penjara Bangkinang itu, seorang di antaranya, Anwar Datuk yang kebetulan sekampung dengan istriku, meninggal dunia. Sebelum meninggal, keadaannya memang sungguh sangat mengenaskan dan mengerikan sekali. Persis seperti tawanan Nazi Jerman atau sebagai romusha Jepang ketika perang dunia ke-II. Hanya kulit pembalut tulang dengan mata yang menonjol besar. Berdiripun ia tak sanggup, apalagi berjalan. Pada acara mandi pagi, ia selalu dipapah oleh dua orang kawannya dari sel maut, kemudian didudukkan dilantai sumur dan diguyur badannya dengan air. Ia meninggal karena kurang makan dan disentri yang tak tertolong. Teman-temanku menggerutu, bagaimana bisa Orde Baru yang katanya pembela Pancasila, pelaksana Pancasila secara murni dan konsekwen, bisa begitu tidak berperikemanusiaan samasekali? Namun, apa yang bisa kami perbuat, karena memang begitulah kenyataannya Orba itu. Pantas kalau kawan-kawan menjulukinya : ORde BAndit atau ORde BAjingan!

Riau Berdarah | 177

Jenazah Anwar Datuk , kami kuburkan di kuburan umum Pasar Pagi yang tidak jauh letaknya di selatan Kamp Tahanan.. Setiap ada tahanan yang meninggal, kawan tahanan yang memang Imam dalam agama Islam sebelum ditahan, Sulung Yatim dari Bengkalis, bertindak sebagai Imam, dan dengan beberapa orang teman lainnya, menyembahyangi jenazah, dan beberapa orang lagi di antara kami diperbolehkan keluar menggali kubur dan menguburkan jenazah korban Orba itu, dengan pengawalan dari beberapa orang militer penjaga kamp tahanan. Sebagaimana yang kuceritakan diatas, 49 orang yang diambil dan di hilangkan dari TPU/RTM, dalam perhitunganku terdahulu itu termasuk mereka yang 9 orang diatas ini. Sebelum mereka dikembalikan ke TPU, kami tidak pernah mendengar dan tidak mengetahui bahwa mereka disekap di penjara Bangkinang. Itu sebabnya aku menyebutkan dengan pasti jumlah yang diambil dari TPU/RTM adalah 49 orang. Karena, yang diambil pertama-tama adalah 9—mereka ini— dan tidak kembali. Jadi, kalau jumlah 49 itu di kurangi dengan 9 orang kawan ini, maka tinggal 40 orang kawan yang hilang tak tahu rimbanya. Dari 40 orang itu, 21 orang bisa kuingat namanya, dan 15 orang lagi bisa di ingat oleh Bung Sumargo. Hanya nama-nama yang bisa kami ingat ini yang kucantumkan pada daftar diatas. Namun yang 4 orang lagi, sampai sekarang kami belum bisa mengingatnya. Ini diluar nama bung Mohamad Amin Zein yang langsung dibunuh begitu ditangkap! Jadi semua, darah 37 orang manusia tak berdosa, di tambah beberapa nama yang belum kami ingat, telah membasahi bumi Riau. Hal ini benar-benar menjadikan bumi Riau berdarah! Sementara itu, diakhir tahun 1969 itu, terjadi suatu hal yang membuat hatiku benar-benar hancur berantakan. Ayahku ditangkap dan dimasukkan ke dalam Kamp Tahanan dimana aku berada. Sebelumnya, adikku yang waktu itu baru saja menjabat sebagai sersan-dua militer, setelah selesai pendidikan militernya, di tangkap dan dikirim kerumah tahanan militer di Simpang Haru Padang. Aku heran, mengapa adikku ini ditangkap, sedang dia bukanlah anggota organisasi apapun . Bahkan di sekolah, dia tidak ada minat dengan

organisasi pelajar, seperti aku. Belakangan, kudengar, adikku ini berpacaran dengan seorang gadis Minangkabau. Dia membantu pacarnya ini untuk mendapatkan tempat tinggal di Pekanbaru. Namun, dia tidak mengetahui bahwa pacarnya ini yang bernama Yurnalis, adalah seorang yang dicari oleh penguasa militer di Sumatera Barat. Gadis ini beserta adikku ditangkap dan dibawa ke Padang. Adikku dituduh “terlibat” karena“melindungi G30S/PKI”! Ya, kami sekeluarga benar-benar menjadi korban Orde Baru, ditangkap dan ditahan tanpa proses! Aku menjadi jengkel dan marah dalam hati. Siapa yang bisa menunjukkan atau mengatakan apa kesalahan kami? Kesalahan ayahku, kesalahanku? Siapa? Apakah salah menjadi anggota PKI, suatu partai besar dan legal di masa Pemerintahan Soekarno itu? Kami bukan menjadi PKI di jaman Suharto! Di mana hukum dan keadilan? Di mana kemanusiaan? Dengan keadaan kami yang semua dalam tahanan, dan tidak mempunyai rumah tempat tinggal, ibu dan seorang adikku lelaki yang masih kecil, tinggal dirumah seorang famili. Sedang seorang adikku perempuan, yang menikah dengan seorang militer bertahun-tahun tidak ada kontak relasi dengan ibu kami, menjauh, karena situasi Indonesia yang terlalu jelek. Mereka senantiasa di incar dan diawasi, kalau-kalau ada hubungan dengan kami! Bahkan, selama 20 tahun, sejak 1965, suaminya yang berpangkat Kapten, tetap saja kapten tanpa kenaikan,sampai pensiun dan meninggal! Tidak ada kesalahan apaapa, kecuali istrinya adalah adikku, dan aku adalah seorang Tapol! Dan memang susungguhnya, dalam situasi negara yang macam ini, kawan yang dulunya dekat kini menjauh, disebabkan takut akan tuduhan “ada indikasi” atau “terlibat secara tidak langsung” atau menjadi “antek-antek” G30S/PKI. Daripada mendapat tuduhan yang membahayakan diri seperti itu, lebih baik menjauhkan diri dan menganggap tidak kenal akan kawan atau teman yang dituduh “terlibat”. Sifat gotong royong, ramah tamah, berbudi luhur bangsa Indonesia hilang sudah. Kini mereka bersemboyankan “siapa lu, siapa gua!” tidak peduli akan orang lain, jaga nasib sendiri!. Ordebaru telah merusak kebudayaan dan moral bangsa Indonesia yang luhur. Tata cara hidup sebangsa, hilang. Tiada lagi ramahtamah, saling mengasihi, semangat gotong royong antara sesama. Semua rusak! Pengkhianat-

Riau Berdarah | 179

pengkhianat yang bekerja sebagai informan, berkeliaran di manamana mencari mangsa. Kalau tidak untuk Pemerintah dan Penguasa, maka untuk kepentingan dirinya sendiri, untuk mengisi kantongnya. Seperti kata pepatah, “mencari kesempatan dalam kesempitan!” Dikhianati Kiranya, derita yang kami alami ini masih berkepanjangan. Tidak selesai sampai disini. Pada bulan Oktober 1970, aku dipanggil dan dibawa kekantor Teperda Riau oleh Komandan Kamp Sersan CPM Kadiman Supardi. Dia mengatakan bahwa aku diizinkan untuk berbicara dengan istriku yang telah menunggu di kantor Teperda itu. Aku masuk kedalam ruangan kantor, dimana istri dan anakku Gemini—yang saat itu berusia 5 tahun—telah menunggu. Aku tidak mengetahui apa maksud panggilan untuk berbicara di kantor Teperda ini. Apakah ini ada pertalian dan hubungan dengan tidak pernahnya istriku mengunjungiku di tahanan, sejak beberapa tahun yang lalu, sejak si informan tinggal dan berada di rumahnya? Aku tidak tahu pasti! Pertemuan dan pembicaraan, antara aku dan istriku dimulai tanpa salam keramahan dan kemanisan, tanpa peluk dan cium dari seorang istri yang terpisah lama dan jauh dari suami! Dalam pembicaraan singkat itu dia “menyatakan bercerai” dariku karena katanya dia “ingin mencari pekerjaan untuk menjamin anak-anak.”. “Orang tidak mau memberi pekerjaan selagi masih menjadi istri seorang tahanan Gestapu” katanya.lagi. “Apalagi”, ia melanjutkan “perkawinan kita tidak sah, karena tidak terdaftar dikantor Pemerintah Kotapraja!” Dia tidak minta cerai dariku, suaminya , tapi menyatakan cerai! Aku terdiam, pandanganku berkunang-kunang, darahku bergemuruh, geram, marah dan sakit hati akan segala apa yang diucapkannya dan kudengar ini. Kurasa, suara dan ucapannya ini bukanlah seperti suara dan ucapan seorang istri kepada suaminya, tapi, seolah-olah seperti suara seorang anggota Teperda kepada seorang tahanan! Tiada senyum manis dan kelemah lembutan seorang istri dalam ucapannya! Badanku

menggigil, teristimewa ketika dia mengatakan ”perkawinan kita tidak sah, karena tidak terdaftar dikantor Pemerintah Kotapraja” Oh, Tuhan………... kata-kata ini benar-benar menghunjam dalam ke jantungku! Kalau perkawinan yang dilangsungkan oleh Qadi Islam Pemerintah Kotapraja Pekanbaru, ini, dikatakan sebagai tidak sah, bagaimana dengan kedua anakku yang lahir setelah pernikahan itu? Tidakkah juga akan dianggap tidak sah? Dengan arti kata lain: dianggap sebagai anak haram? Mengapa fihak Caltex, dimana aku bekerja sebelumnya, menerima dan menganggap sah surat nikah yang ditanda tangani oleh Haji Mohammad Yusuf, Qadi Islam Kotapraja Pekanbaru Riau itu? Mengapa? Tidakkah ini membuktikan bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh Qadi Haji Mohamad Yusuf, Qadi Islam Kotapraja itu, terdaftar pada Kotapraja Pekanbaru Riau! Andai semua pasangan Islam yang dinikahkan oleh Haji Mohammad Yusuf itu dianggap tidak sah, karena dianggap tidak didaftarkan di kantor Kotapraja, berapa ribu orang Islam yang hidup sebagai suami istri yang dianggap tidak sah ! Karenanya segala pekerjaan Qadi Haji Mohammad Yusuf itu bisa dianggap illegal! Hatiku benar-benar hancur. Aku tidak bisa berbicara sepatahpun jua. Pikiranku jauh menerawang dan mengelana………. Dan aku tidak memberikan komentar apa-apa, takut kalau hanya menjadikan pertengkaran dan perdebatan di kantor Teperda itu! Kuminta komandan mengantarkanku kembali ke Kamp Tahanan. Kutinggalkan dirinya tanpa mengucapkan sepatah katapun jua. Kucoba mencium anakku Gemini, namun ia menolak dan menangis, karena dia tidak pernah diajar bahwa akulah ayahnya. Aku dikembalikan ke Kamp Tahanan dengan kehancuran yang tak dapat di bayangkan. Seminggu kemudian, kudengar si informan menikah dengan istriku Ema! Aku tak tahu, apakah hukum Islam memperbolehkan seorang perempuan yang belum diceraikan suaminya, menikah dengan lelaki lain? Dan aku juga tak tahu, apakah ini termasuk bentuk “perlindungan” ataukah “pemerasan”? Kudengar juga, bahwa si informan akan “menjamin” ibu Janaisah, yang pimpinan daerah Gerwani dan anggota DPRD agar dapat menjadi “tahanan rumah”. Apakah ia memang sangat besar dan berkuasa untuk bisa berbuat begitu? Ataukah hanya bully untuk mendapatkan Ema?

Riau Berdarah | 181

Dalam Kamp tahanan, setiap malamnya aku tak berhenti berpikir, terlalu banyak contoh dan bukti, bahwa istri para tahanan menjadi bulan-bulanan, menjadi pelampiasan nafsu para anggota penguasa, bahkan ada yang lari meninggalkan suami untuk keselamatannya. Aku tahu itu semua, namun, mengatakan bahwa perkawinan kami tidak sah, hal ini benar-benar menghancurkan hatiku dan tidak bisa kuterima sampai hari ini, sampai masa tuaku, sampai aku bakal meninggalkan dunia ini! Anak-anakku adalah sah menurut agama Islam yang kuanut pada saat itu. Mereka bukan anak haram! Mereka lahir dari orangtua—sepasang suami istri—yang menikah sah menurut agama Islam! Kalau dikatakan bahwa persyaratan administrasi pernikahan kurang lengkap, untuk sensus dsb., mungkin bisa diterima, namun bukannya tidak sah! Karena ibu bapaknya juga menikah hanya secara Islam, maktua dan paktuanya juga menikah secara Islam, nenek dan kakeknya juga menikah secara Islam, tanpa mendaftar di kantor Kotapraja, apakah pernikahan mereka itu semua tidak sah? Beberapa minggu berlalu, keadaanku sudah mulai membaik, kendatipun belum seratus persen. Ayahku juga sangat sedih dengan peristiwa yang menimpaku ini senantiasa menghibur dan menasehatiku. ”Sudahlah Yo, jangan terlalu dipikirkan,…. kalau panjang umur dan bisa bebas….cari perempuan lain yang lebih baik….. Ingatlah, mereka semua itu, ingin menghancurkan mental dan spiritmu. Kalau engkau jatuh sakit dan mati, mereka akan tertawa lebar………..! Ingat akan anak-anakmu. Suatu saat kelak, mereka pasti akan mengetahui dan mencarimu……..! Ingatlah, kehancuran kita, bukan saja disebabkan oleh musuh dari luar, tapi juga dari dalam kita sendiri!” Aku berterima kasih dan merenungkan dalam-dalam akan segala nasehat ayahku ini. Aku menyadari, bahwa ini adalah juga suatu cara kaki-tangan Orde Baru untuk menghancurkan mental dan spirit bahkan jika mungkin membunuh para tahanan, dengan cara menteror dari dalam. Di samping itu, beberapa kawan dalam tahanan, juga menghibur dan memberiku nasehat-nasehat. Henk Kussoy, Oei Kim Ho, juga Sutan Rajo Bungsu, yang masih ada ikatan keluarga dengan istriku, yang menceritakan bagaimana tentang Ema sewaktu belum menjadi istriku, bagaimana waktu berada di Sumatera Barat, mengapa

pindah ke Jakarta dan kemudian ke Pekanbaru. Juga tentang bekas OPR yang menjadi informan militer . Mengapa bisa seorang bekas anggota OPR tahun 1958—yang umumnya adalah anggota Pemuda Rakyat—diterima menjadi Informan CPM guna membersihkan elemen-elemen kiri .Pasti ada sesuatu di belakang itu semua. Sambil tersenyum menggoda, dalam bahasa Minangnya temanku ini mengatakan: “Kau tidak membuka mata lebar-lebar sebelum kawin! Siapa dan bagaimana cewekmu itu!” Aku sudah bisa tersenyum sedikit. Dan sambil tersenyum sinis, kumaki dia dalam bahasanya dan mengatakan “Mengapa kamu tidak mengatakan padaku sebelum aku kawin. Engkau kan sekampung dengannya dan juga satu organisasi denganku? Sesudah aku jatuh tergelincir, baru engkau mengatakan bahwa jalan licin! Kamu memang benar-benar busuk!” kataku sambil tertawa. Dia juga tertawa! Tahun-tahun berlalu. Tiada yang menjengukku di dalam tahanan selain ibu dan kakakku yang juga menjenguk ayah. Untung saja Ibu, kendatipun sudah tidak punya rumah, masih bisa mempertahankan hidup ini karena masih menerima uang pensiun ayah dari Caltex. Berlainan denganku, yang beberapa minggu setelah menjadi tahanan, aku dipecat dengan tidak hormat oleh Caltex. Semua hilang terampas dariku, pekerjaanku, istriku, anak-anakku. Semua yang kupuyai, dirampas penguasa dan kakitangan Orba! Bahkan anak-anakku, tidak mau mengakui aku sebagai ayahnya, karena pikirannya sejak kecil di racuni, dijejali anggapan bahwa ayahnya adalah gestapu/pki yang adalah identik dengan suatu binatang yang sangat buas dan kejam, tidak berperikemanusiaan, dan menganggap para tapol sebagai “suatu penyakit menular yang sangat berbahaya” karenanya tidak boleh didekati, walaupun ayah kandung sendiri! Dan perbuatan merampas istri seorang tahanan dianggap sebagai suatu perbuatan melindungi, berjasa, berbudi, yang harus dikenang sampai mati!. Sic!

Menjadi Romusha Ordebaru

Riau Berdarah | 183

Sementara itu, di sekitar tahun 1971, secara umum, para tapol mulai di rodi-kan dan di romusha-kan, diharuskan berkerja untuk kepentingan penguasa. Tidak peduli apapun tingkat pendidikan dan pengetahuannya, kami semua dipaksa dan diharuskan membersihakan parit yang berair sebatas dada, yang di tumbuhi oleh rumput dan tetumbuhan air yang menghambat jalannya aliran air, di sebelah kanan jalan raya dari Tengkerang ke Simpang Tiga. Semua tahanan, dengan pengawalan militer yang bersenjata, diharuskan berendam sehari-harian mencabuti rumput dan membersihkan parit. Kami menjadi tontonan gratis para pengendara mobil, penompang bus dan kenderaan yang melintasi jalan raya, yang bernama “Jalan Bangkinang” itu. Mereka dengan sayu melihat dan mengarahkan pandangan kearah kami, para “romusha-nya Soeharto” yang berendam, bekerja dalam air parit yang kotor dan dingin. Hal ini dilakukan karena konon kabarnya, Suharto dijadwalkan akan melewati jalan tersebut menuju ke timur, ke Dumai untuk meresmikan pabrik penyulingan minyak! Kemudian, setelah selesai pembersihan parit itu, beberapa kawan tahanan di paksa bekerja di kebun-kebun milik perorangan militer penguasa, di samping teman-teman yang dipaksa kerja secara permanen, di asrama CPM, sebagai pembantu rumah tangga, bahkan sebagai sopir dan mekanik, seperti sdr. Ali Akbar, M.Nur Achmad, Fauzi, Kaelani, dll. Dan akan diriku, beserta beberapa teman, Oei Kim Ho, Sujan, Musjimin, diharuskan oleh Kapten CPM Udiyono, untuk merusak tanah milik ayahku,yang berada di Meranti Pandak Rumbai, dengan menggalinya, melobang-lobanginya guna membuat batu bata untuk kepentingan sang Kapten. Kami tidak bisa berbuat apa-apa, membantah ataupun menolak. Namun hal ini terhenti setelah sang Kapten mendapat sorotan dari perwira militer lainnya. Aku juga, dengan beberapa orang teman pernah di pekerjakan di Asrama CPM di Rintis, mengosongkan dan membersihkan septic-tank yang penuh agar dapat digunakan lagi. Dengan hanya beralatkan ember, cangkul dan sekop, kami menimba dan mengosongkan isi septic tank itu dan memindahkan isinya kesuatu lobang lain yang sebelumnya telah kami gali dan persiapkan. Dapat dibayangkan, betapa busuk, kotor dan tak berperikemanusiaan kerja yang harus dilakukan tanpa peralatan-

peralatan kesehatan itu. Semua dilakukan hanya dengan tangan telanjang dan tanpa tutup hidung! Dalam zaman modern ini, pekerjaan seperti itu, dilakukan dengan mobil tangki yang menyedot semua isi septic tank tanpa menebarkan bau dan menggangu sekeliling. Namun, saat itu kami harus melakukan dengan tangan telanjang! Belakangan kudengar, kawanku Sumargo dengan beberapa teman lain, juga dipaksa berkerja untuk mengosongkan septic-tank seperti yang kulakukan! Hanya saja,septik tank yang harus dikerjakan Bung Margo, isinya sudah keras, hingga tidak begitu berbau! Aku juga pernah dipekerjakan oleh penguasa untuk membuat pasir di daerah Pasir Putih Tengkerang Pekanbaru Selatan. Caranya, ialah berendam sehari-harian didalam air yang dialirkan, dan mengaduk tanah merah yang bercampur pasir, memisahkan pasir dari tanah. Tanah merah yang diaduk dalam air akan membuat air yang mengalir menjadi sangat keruh dan kotor dan mengalir kehilir sedang pasir yang dikehendaki akan tinggal mengendap dan mesti di sekop dinaikkan ke darat. Dapat dibayangkan, betapa dinginnya tulang-tulang tubuh berendam di dalam air sehari-harian! Tidak heran kalau kini, dimasa tuaku ini, aku menderita rheumatic dan artheritis! Kebebasan yang dibeli Sementara itu, diawal tahun 1972, keadaan para tahanan agak sedikit longgar. Para tahanan yang dianggap masih bertenaga, diperkenankan untuk keluar tembok kamp mencari pekerjaan guna memenuhi kebutuhannya. Pagi hari mereka di izinkan keluar,dan harus masuk kembali ke dalam Kamp pada petang hari. Hal ini, disamping baik bagi para tahanan juga menguntungkan pihak penguasa, karena para tahanan yang mendapat izin kerja luar, tidak akan lagi mendapat jatah makan dalam tahanan, yang sesungguhnya sangat sedikit sekali. Disamping itu, untuk mendapatkan “surat izin kerja luar”, setiap tahanan diwajibkan membayar 50 rupiah kepada Komandan Kamp seminggunya. Jadi “kebebasan” ini harus dibeli. Kurasa, peraturan dan

Riau Berdarah | 185

kebijaksanaan yang begini barangkali hanya bersifat lokal. Dan mungkin hanya untuk kota Pekanbaru. Aku tak tahu akan daerah lainnya. Kurasa, mereka—penguasa—berbuat begini karena barangkali merasa kewalahan menahan dan memberi makan para tahanan, dan tidak ada kesempatan lagi untuk “melenyapkannya” atau membunuhnya secara diam-diam. Tetapi, pada saat menuliskan naskah ini, bung Margo membantahnya dan menjelaskan bahwa pelonggaran terhadap para tahanan itu tidak lain disebabkan oleh pengaruh internasional berkat perjuangan gigih Ibu Carmel Budiarjo yang mendirikan organisasi “TAPOL” di Inggris. Mengenai makan para tahanan , baiklah kuceriterakan!. Sejak beberapa tahun sebelumnya, kami— aku, Oei Kim Ho, Sujan dan Nio Tje Kwie—dibawah pimpinan dan pengawasan Henk Kussoy, yang semuanya adalah tapol, dipekerjakan di dapur Kamp Tahanan, menggantikan para tahanan kriminil dan mata-mata Malaysia yang telah dibebaskan, untuk memasak makanan bagi tapol yang saat itu berjumlah sekitar 260 0rang. Kami memasak nasi dalam suatu dandang yang besar, dengan api dari kayu bakar yang diperoleh dari hutan rimba diluar kota. Disamping bertugas sebagai pembagi nasi, aku dipercaya oleh Komandan Kamp untuk mencatet dalam buku yang diberi dan diparafnya, berapa kilogram setiap harinya beras yang dimasak, dengan ketentuan 250 gram untuk seorang tahanan perharinya. Dua ratus lima puluh gram . Ya, 250 gram perhari! Padahal, untuk makan normal seorang manusia, diperlukan tidak kurang dari 600 gram beras seharinya, disamping buah-buahan dan makanan-makanan ringan lainnya. Jadi, dengan 250 gram perhari tanpa makanan lain, untuk waktu yang bertahun-tahun dapat di bayangkan apa akibatnya bagi seorang manusia yang ditahan! Praktek yang begini, sebenarnya tidak lain adalah pembunuhan secara perlahan-lahan. Bahkan, pernah kami mendapat beras sapuan atau “sweeping rice”, dimana segala pasir, kerikil-kerikil kecil dan kaca halus berada di dalamnya. Kami tidak bisa menolak, karena menolak berarti tidak makan. Namun, kepada semua kawan setahanan, kami jelaskan hal ini, dan meminta supaya mereka mencuci nasi jatah mereka dengan air

dan mengaduknya di dalam mangkuk nasi mereka, sehingga segala bentuk pasir dan kerikil halus serta kaca itu mengendap, dan mengambil nasi yang mengapung di bagian atas mangkuk mereka untuk dimakan. Jelas sekali hal ini menyebabkan jumlah nasi yang bisa dimakan menjadi sangat jauh berkurang. Pernah juga, saat Komandan Kamp yang lain, seingatku kalau tak salah Komandan Kamp waktu itu adalah Sersan CPM Alirudin, kami menerima beras yang sengaja diperuntukkan buat ternak ayam. Segala bentuk koral dan kerikil di dalam nasi. Kami terpaksa berbuat serupa, untuk bisa memakan nasi tanpa membahayakan usus. Sekali peristiwa, pasar Bukittinggi di Sumatera Barat terbakar. Sebuah toko beras juga terbakar. Penguasa membeli beras terbakar itu dengan harga murah sekali, atau mungkin juga mendapatnya secara gratis, dan menjatahkannya kepada kami. Dan kami harus memakannya! Dengan keadaan begitu, sungguh tidak heran kalau banyak kawan-kawan yang mendapat sakit pendarahan dan infeksi pada usus dan mengakibatkan disentri! Tentang sayurannya? Coba bayangkan hal ini : sayuran yang tidak sampai 10 kilogram, direbus dalam suatu kancah atau kuali yang besar dengan hanya dibubuhi garam dan banyak air tanpa bumbu lain, untuk para tahanan yang jumlahnya tidak kurang dari 260 orang! Dan setiap tahanan hanya menerima sayur sebesar 2 jari dengan kuah yang dibuat agak asin sebagai kuahnya…… Sayuran ini sebelumnya, dijemput kepasar dengan berkenderaan sepeda oleh saudara I Ketut Kondera, ex. Pegawai Staf Caltex yang ditahan karena menjadi anggota Perbum, yang ditugaskan oleh Komandan Kamp Sebelum bung Ktut Kondera mendapat tugas ini, beberapa tahun yang lalu, akulah yang ditugaskan untuk pengambilan sayur itu. Namun setelah “si-informan ” masuk dan tinggal dirumah istriku, dan istriku tidak pernah lagi menyambangiku, mengunjungiku di dalam tahanan, Komandan Kamp menunjuk I.Ktut Kondera menggantikan diriku untuk tugas ini. Mungkin barangkali supaya aku tidak bisa melihat dan mengetahui akan perbuatan “si-informan” terhadap istri dan keluargaku diluar! Padahal, kendatipun aku tidak keluar tembok tahanan, aku masih bisa mengetahui, akan segala apa yang mereka lakukan, melalui para anggota CPM yang mengawal Kamp tahanan, dan para temanku sesama tahanan yang dipekerjakan oleh penguasa di

Riau Berdarah | 187

luar kamp, yang sesekali berjumpa denganku! Akan keadaan makan kawan-kawan tahanan ini, kadang-kadang kami masih bisa berbuat jasa kepada mereka. Setiap selesai memasak nasi di dandang yang besar, setelah agak dingin, dandang ini kami cuci untuk digunakan pada esok harinya. Biasanya, masih ada sedikit nasi yang melengket di bagian dalam dinding dandang ini. Waktu mencuci, kami kumpulkan nasi ini dan kami berikan kepada teman-teman yang benar-benar memerlukannya. Kadang-kadang juga, dari teman yang diperintah bekerja membuat tahu—sebagai suatu proyek dari komandan kamp, (tahu dijual, uangnya harus distor kepada komandan) — , yaitu sdr. Siswoyo berasal dari Tanah Putih kami menerima ampas tahu yaitu kulit dari kacang kedelai yang direbus untuk dijadikan tahu atau taufu. Dan kulit ini atau lebih terkenal dengan namanya “ampas” yang biasanya diperuntukkan sebagai makanan babi ternak, dengan rasa sedih kami bagikan kepada tahanan yang memerlukan untuk mengisi dan mengganjal perutnya agar tidak keroncongan! Bahkan kadang-kadang, para penduduk disekitar kamp tahanan yang dapat membunuh ular python atau musang yang masuk ke kandang ayam mereka, menyerahkannya kepada kami dan kami berikan kepada teman-teman yang sangat memerlukan makanan untuk penambah gizi. Disamping itu juga beberapa orang militer yang mengawal teman-teman kehutan untuk mendapatkan kayu bakar, untuk keperluan dapur kami, kadang-kadang berhasil menembak beberapa ekor kera ataupun siamang ataupun landak. Dan binatangbinatang ini dibagi-bagikan kepada teman-teman di dalam kamp yang terpaksa, memasak dan memakannya Ya, terpaksa, karena bertahuntahun lamanya mereka tidak pernah merasakan makan daging. Sepanjang waktu, sampai bertahun-tahun, senantiasa dalam kelaparan Namun, satu hal yang sangat berkesan di dalam hatiku, begitu menderitanya para tahanan, begitu sengsaranya mereka, begitu kelaparan dan kurusnya mereka,namun tak seorangpun bertengkar apalagi berkelahi, terlebih lagi dalam soal makanan. Kalaupun ada pertengkaran kecil, itu hanyalah karena sedikit salah faham. Dan mudah didinginkan. Bahkan, kendatipun mereka yakin “esok akan mati”, ada diantara mereka yang menggunakan hari-hari mereka dengan memperdalam belajar agama, Islam, Katolik, Protestan bahkan

bahasa Inggris! Sudah tentu hal ini tidak dilakukan secara resmi, karena penguasa pasti tidak mengizinka! Bahkan temanku Sumargo, asyik menyepi dengan belajar gitarnya. Aku benar-benar salut akan moral mereka yang tinggi ini! Jadi, kalau kita pikirkan mengenai keadaan makanan di dalam Kamp Tahanan, memberi izin para tahanan untuk keluar mencari pekerjaan, sebenarnya adalah sangat menguntungkan penguasa, karena mereka tidak perlu memikirkan jatah makan para tahanan lagi. Bagi tapol yang diberi izin bekerja di luar, hal ini bukanlah suatu hal yang mudah. Karena peraturan dan opini yang diciptakan dan dibentuk oleh penguasa, umumnya masyarakat takut memberi pekerjaan kepada para tapol. Mereka takut kepada peraturan-peraturan penguasa, yang menyatakan tapol sebagai oknum yang sangat buas dan kejam, sebagai “bahaya latent”, sebagai “suatu penyakit menular yang sangat berbahaya dan harus dijauhi”. Bagi para tapol yang tidak mungkin bekerja di luar karena sakit atau tua dan sebagainya , diberi kesempatan berkebun di sekeliling tembok luar kamp atau membuat perabotan dan permainan kanakkanak dari bahan kayu. Namun, sama seperti yang lain juga harus membayar “upeti” kepada Komandan Kamp, sebesar 50 rupiah perminggunya. Dengan cara begini, kurasa sesungguhnya penguasa mengexploitasi para tapol, memeras dan menghisap para tahanan. Mereka menjadi tapol “berdikari”. Atau, apakah mesti kutulis “tacamari” mengikut mode pemakaian bahasa sekarang ini, daripada kata berdikari? Tacamari, kuartikan Tahanan cari makan sendiri! Disamping itu, banyak juga para anggota militer yang mengambil dan mempekerjakan para tapol secara gratis untuk kepentingan pribadi, dengan hanya memberi makan dan rokok sebagai upahnya! Bekerja pada Gereja Katolik Aku bersama beberapa orang teman, di antaranya bekas guruku di SMA, bekas Ketua PGRI Riau yang memanggilku pulang dari Yogyakarta tahun 1959, yang sekarang menjadi kawanku dalam tahanan, yaitu S.A..Sutarno, mendapat pekerjaan pada gereja Katolik Pekanbaru. Di bawah pimpinan Pastor Casali Otello yang berasal dari

Riau Berdarah | 189

Italia, kami mengecat bagian depan, dibawah lampu salib gereja Katolik yang terletak di Jalan Bangkinang . Setiap minggunya, kami mendapat pembayaran sekitar 500 rupiah dari Pastor, yang kemudian harus kami serahkan 10% kepada Komandan Kamp untuk “pembayaran” surat izin kerja luar. Dalam keadaan “bebas yang dibeli” ini, aku dapat mengunjungi ibuku untuk sekedar sarapan pagi, menerima bekal untuk makan siang dan kembali kerumah untuk makan sore sebelum masuk kembali “ke kandang” ke dalam Kamp. Gaji yang kuterima, kuserahkan pada ibu setelah kupotong untuk “upeti” kepada Komandan Kamp. Ayahku, juga demikian.Ayah bekerja membuat permainan kanakkanak, mobil-mobilan dari kayu dalam bangunan darurat di depan Kamp Tahanan. Begitu juga teman-teman lain, seperti bung Tugiman, Subari, Sutiyono, Mukhtar MD, Yusuf Sirad dll., mereka membuat perabotan rumahtangga dari bahan kayu. Jadi praktis, pintu gerbang Kamp Tahanan tidak di kunci lagi. Gemboknya telah dibuka dengan 50 rupiah perorang perminggunya. Dapur umum, yang bagunannya terletak di bagian depan dalam dinding tembok penjara, bekas barak nomor 1, juga tidak berfungsi, selain sebagai kamar tidur buat kami— bekas pekerja dapur—pada malam hari sekembalinya dari kerja luar. Asap dapur tidak mengepul lagi! Mengenai asap dapur ini ada sebuat cerita yang harus kusampaikan. Suatu ketika yang aku lupa bulan dan tahunnya, Kamp Tahanan didatangi oleh dua orang petugas Palang Merah Internasional.Yang seorang berkebangsaan Swiss dan seorang lagi Italia. Sebelum kedatangan mereka, sibuklah kami membersihkan halaman dalam termasuk parit-parit dan WC, dan membuat sebuah lapangan Volley-ball di tengah halaman, sebagaimana yang diperintahkan oleh Komandan Kamp Seseorang yang tulisan tangannya bagus disuruh menuliskan dengan kapur tulis diatas papan tulis hitam jadwal dan menu makanan sehari-hari para tahanan. Terbaca disitu bahwa makanan jatah, dibagikan dua kali sehari, siang jam 12 dan sore jam 6. Tentang menunya, tertulis, ada kacang hijau, sup daging danlain-lain yang sepertinya dijiplak dari menu makan di Barak-barak Militer. Pada saat

itu, banyak sekali tahanan yang keadaannya kurus karena kurang makan. Pada suatu pagi sekitar jam 9, tibalah tamu-tamu Internasional itu, yang diiringi oleh Komandan Kamp Tahanan dan beberapa perwira militer lainnya.Sesampainya dihalaman dalam Kamp, mereka segera berpencar, masing-masing dengan kesibukannya sendiri ingin mendapatkan gambaran yang sebenarnya mengenai keadaan dan tempat tahanan. Tak seorangpun yang menggubris kawan-kawan yang asyik bermain volley-ball (atas perintah Dan Kamp!). Para tamu itupun tak mau mengikuti panduan Komandan Kamp yang menyertainya. Sepertinya mereka itu mencari sesuatu. Seorang yang berkebangsaan Swiss menanyakan sesuatu kepada sdr. Henk Kussoy dalam bahasa Inggris. Dengan didampingi oleh penulis sendiri, sdr. Henk Kussoy membawa orang Swiss itu kekamar No. 8. Di dalam kamar ini, ia menyalami sdr. Sumargo yang kurus ceking karena kurang gizi, dan memperkenalkan diri sebagai eorang dokter berkebangsaan Swiss dan bekerja mewakili Palang Merah Internasional, dalam bahasa Inggris. Kendatipun dalam keadaan normal sdr. Sumargo itu biasa berbicara dalam bahasa Inggris dengan teman-temannya sekerja bangsa Amerika dan teman-teman lain tatkala masih menjadi pegawai Caltex, namun pada saat itu ia hanya membungkam ketika ditanya.Waktu ditanya “How are your family ?”, ia bahkan nampak beku dengan genangan air mata yag menunjukkan kesedihan yang mendalam. Sang dokterpun segera memahami situasi ini, dengan stetoscope yang tergantung dilehernya, memeriksa paruparu sdr. Sumargo. Ia kemudian berkata “I hope you’ll recovered soon. Things will be improved!”. Sebelum meninggalkan kamar nomor 8 itu, ia masih berbicara dengan kami, sdr. Henk Kussoy dan saya sendiri, sambil menunjuk kekasur dan kelambu yang masih baru, dengan tertawa . Rupanya dia faham juga kalau hal itu untuk mengibuli mereka! Saya dan sdr. Kussoy hanya tersenyum, karena, memang sesungguhnya , beberapa hari sebelumnya kepada para tahanan dibagikan kasur dan kelambu, setelah bertahun-tahun tidur di lantai papan atau semen hanya beralaskan tikar lusuh. Sebelum mereka pulang ke hotelnya, mereka menyaksikan pembagian jatah nasi para tahanan yang kulakukan, karena memang

Riau Berdarah | 191

itulah tugasku. Sesuai dengan perintah Komandan Kamp, maka nasi untuk jatah siang dan sore, diberikan sekali gus pada siang itu, beserta sayur dan lauk pauknya. Jadi piring para tahanan, penuh membubung dengan nasi dan sayur! Setelah selesai menyaksikan pembagian nasi untuk para tahanan itu, para tamu Internasional itupun kembali ke hotelnya. Demikian pula, para perwira beserta Komandan Kamp, tak lama kemudian meninggalkan Kamp Tahanan. Namun, sungguh diluar dugaan, dokter Swiss itu tiba-tiba muncul kembali pada jam 3 sore, ketika Komandan Kamp dan perwiraperwira lain sudah pulang, hanya tinggal beberapa orang anggota Militer digardu penjagaan. Dokter Swiss itu masuk kedalam Kamp dan sambil berkata “kitchen” dia menunjuk kedapur. Nampaknya seperti sudah diduganya, dia tidak melihat kesibukan apapun didapur, sebagai persiapan makan sore. Dapur tidak berasap! Sekali lagi ia membaca jadwal dan menu makanan di papan tulis, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya ia memahami benar, kalau mereka, wakil Palang Merah Internasional, hanya dikibuli oleh Penguasa Militer! Dari mulai kasur, kelambu, lapangan volley-ball, sampai kepada jatah makan para tahanan yang dilihatnya, semua ngibul! Semuanya berlawanan dengan keadaan tubuh para tahanan yang kurus kering! Sambil berbincang dengan sdr. Henk Kussoy, dia menuliskan sesuatu dibuku catatannya. Menjelang sore, iapun pulang dengan diantar oleh beberapa orang tahanan sampai ke pintu gerbang Kamp Tahanan. Meyimpan Harimau Suatu hari—aku lupa tanggal dan bulannya—ibu Suwarni, istri dari pakcik Muhktar Bagindo Marajo, yang di ambil oleh Teperda dan hilang tak tentu rimbanya, datang mengunjungiku di tempat kerjaku di Pastoran Katolik. Dia memelukku sambil menangis. Aku juga meneteskan air mata. Aku tak tahu, mengapa diriku terlalu sensitif. Aku mudah sekali meneteskan air mata untuk sesuatu hal yang mengharukan. Apalagi, Ibu Suwarni bukanlah orang asing bagiku !

Dia adalah tante dari Ema istriku, atau apakah mesti kesebut “bekas” istriku ? Secara hukum aku tidak pernah menceraikannya ! Ibu Suwarni adalah juga teman dalam organisasi massa. Dia adalah anggota Pimpinan Gerwani. Setelah kami sama-sama tenang dari rasa haru karena bertahun-tahun tidak berjumpa, dia menceritakan bahwa andung (kakek) Mangkudun Sati sekarang tinggal bersama Ema di Sumahilang. “Mengapa kau tak datang menjumpainya ?” ia bertanya padaku. “Menjumpainya ?”aku agak sedikit terkejut, “Ahh, saya terlalu sibuk, etek, harus bekerja. Tidak bekerja berarti tidak makan,dan harus membayar kepada Dan Kamp untuk dapat keluar bekerja” aku memberikan penjelasan kepada Ibu Suwarni. “Lagi pula, kalau saya datang, bagaimana pandangan orang yang melihat, karena umumnya orang tahu siapa andung dan siapa Ema dan siapa saya. Orang akan menuduh dan mencap seolah-olah pertemuan komunis! Jadi, biarlah segala derita ini saya telan sendiri! Ibu Suwarni begitu terharu melihat air mukaku, dan mengalihkan pembicaraan kepada acara lain, menceritakan bagaimana dia di ”peras” oleh sang informan sebelum kawin dengan Ema. Dia diharuskan membayar satu rupiahan emas, atau dikirim ke TPU. “Ya, Ema pernah menceritakannya pada saya” kataku. “Ema benar-benar menyimpan harimau di rumahnya!” ia melanjutkan. “Saya tahu, etek…… Namun asal saja Ema mau jujur bahwa segala apa yang di lakukannya itu adalah karena terpaksa, intimidasi dan ancaman untuk di-TPU-kan, saya bisa menerimanya. Saya akan rela dan menganggap itu sebagai suatu pengorbanan dalam hidup. Namun, kenyataannya tidak! Dia malahan bersekutu dengan orang yang berusaha menghancurkan rohani dan jasmani saya, dengan mengatakan perkawinan tidak sah dan sebagainya……..Bagimana pikiran anak saya nanti, jika dikatakan bahwa perkawinan kami tidak sah ? Apakah selama ini kami hanya berzina, hingga punya anak dua ? Sesungguhnya Ema akan senang dan bahagia kalau saya mati…!” Ibu Suwarni menyadari sekali betapa derita batin yang kualami, karena dia tahu keadaanku sejak mulai pacaran dengan Ema…....! “Sebenarnya, kalau saja dia pergi secara diam-diam, dan kawin dengan si informan

Riau Berdarah | 193

itu, saya juga tidak akan menuntutnya. Saya tahu, hampir dua tahun Ema tidak mengunjungi saya dalam tahanan, sejak si informan tinggal di rumah. Saya punya telinga untuk mendengar apa yang terjadi di luar antara dia dan si informan……..Pekanbaru ini bukan Jakarta !” kataku menambahkan. Ibu Suwarni hanya diam membisu, namun kulihat matanya berkaca-kaca! “Memang, semenjak etek Sainuna meninggal karena kanker payudara tahun 1969 yang lalu, Ema merasa bebas untuk berbuat apa saja! Tidak ada orang yang melarang dan mengkontrolnya lagi !” aku menjelaskan pada ibu Suwarni. Sebelum ibu Suwarni pergi meninggalkanku, kami masih sempat bercerita tentang hal-hal selama dalam tahanan, sakit dan derita kehancuran yang kualami karena pengkhianatan Ema dan gossip para tetangga sekeliling Kamp Tahanan yang mengetahui derita diriku, tentang pesan ayah etek-panggilanku untuk suami ibu Suwarni yaitu

Mukhtar Bagindo Marajo—pada malam ia diambil Teperda dan tak kembali—agar aku “menjaga adik-adik”yang maksudnya adalah anaknya bersama Ibu Suwarni. Namun, karena keadaan berubah, aku tidak mungkin bisa menjaga anak-anakmereka. Dengan sedih dan haru, Ibu Suwarni meninggalkan tempat kerjaku. Kami berpisah dengan tetesan air mata. Sejak itu, aku tidak pernah berjumpa lagi dengannya.Mengenai kakek Mangkudun Sati, kudengar bahwa ia meninggal dunia, beberapa minggu setelah Ibu Suwarni mengunjungiku. Pekerjaanku di Pastoran Katolik kiranya dianggap memuaskan para pastor,dan para biarawan Santa Maria.Aku teus bekerja di sana sebagai tukang reparasi untuk setiap bentuk kerusakan dalam bangunan gereja, bangunan sekolah, dan bangunan biara serta bangunan rumahsakit Santa Maria.Bahkan sesekali, aku di tugaskan menjadi sopir ambulance rumahsakit untuk menjemput dan mengantarkan pasien, jika sopir resminya berhalangan atau sedang libur.Terkadang aku juga menjadi sopir bagi biarawati yang bertugas ke gereja Katolik di daerah minyak Caltex di Rumbai. Di sini, mereka yang sebelumnya pernah mengenalku di tempat pekerjaanku di Caltex Rumbai, melihatku. Namun,

karena aku tahu bahwa mereka phobi dan takut menegurku, maka akupun hanya diam saja. Pura-pura tidak tahu! Penderitaan bathin yang harus kuatasi Sementara itu, penderitaan bathin yang kualami sudah sangat mendalam,disebabkan karena merasa dikecewakan dalam banyak hal, bukan karena aku seorang tapol melainkan sebagai manusia yang merasa memiliki harkat. Kekecewaan pertama adalah penyataan istriku yang menyatakan bahwa perkawinan kami tidak sah, sehingga “perceraian” tidak perlu dimahkamahkan atau mungkin tidak perlu dilakukan seolah-olah perkawinan kami tidak pernah ada. Sebagai orang beragama Isam, yang dinikahakan secara Islam oleh seorang Qadi, aku merasa sangat kecewa dengan pernyataan tersebut. Seolah-olah hukum Islam yang ditrapkan oleh Qadi Pemerintah Kotapraja Pekanbaru, Haji Mohammad Yusuf untuk perkawinan kami, dianggap tidak sah. Aku tidak tahu, apakah dengan tidak adanya “surat cerai” secara Islam dariku dan dia kawin dengan orang lain, secara agama, bisa dianggap poliandri, bersuamikan dua? Ah, siapa peduli? Kedua, kekecewaanku atas pernyataan seorang ulama Islam Riau di Pekanbaru, yang mengeluarkan “fatwa” dengan mengatakan bahwa “darah orang komunis adalah halal hukumnya” Sebagai orang Islam aku juga kecewa tentang hal ini. Orang-orang komunis tadi dianggapnya sudah bukan orang Islam. Dalam pandangan ulama itu, kaum komunis adalah seperti binatang yang boleh di sembelih seenaknya, di bunuh begitu saja. Politik telah merobah pandangannya mengenai agama Islam, sehingga mudah mengeluarkan fatwa yang berlawanan dengan hukum dan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Penyayang yang tercantum sebagai salah satu hukum dari 10 Firman Tuhan yaitu “Jangan membunuh”.

Riau Berdarah | 195

Bukankah sebagai ulama beliau itu mempunyai pengaruh dikalangan orang-orang yang beragama Islam. Aku ingin bertanya, apakah Tuhan membolehkan orang lain membunuh orang lain karena perbedaan politik? Yang kutahu, manusia adalah ciptaan Tuhan. Sama harga dan nilainya dimata Tuhan. Yang berhak menghukum berbuat sesuatu terhadap ciptaan, adalah penciptanya “Balas dendam adalah hakku” kata Tuhan, menurut pengajaran Kristen Ketiga, segala agitasi dan kampanye dan segala peraturan Pemerintah Orde Baru serta segala Partai dan Organisasi antekanteknya yang menyebar luaskan opini, seolah-olah orang komunis dan para tapol adalah orang-orang yang dianggap sebagai penyakit menular yang berbahaya—bahaya latent—dan tidak boleh di dekati, bahkan menganggap para tapol sebagai warga negara klas kambing, membuat aku berpikir bahwa hidupku ini tidak ada harga samasekali. Sungguh, pada saat itu, lebih dihargai seekor kambing daripada seorang tapol. Keempat, pikiran anak-anakku yang telah diracuni sedemikian rupa, diintimidasi, ditakut-takuti dengan segala hukum dan peraturan Orba, sejak hidup bersama dengan ayah tiri yang kaki tangan Orde Baru dan ibu yang ibarat pepatah, “lupa kacang akan kulitnya” hingga mereka—anak-anakku— tidak mau bertemu denganku, apalagi, mengakuiku sebagai ayahnya. Bahkan, ketika aku bekerja sebagai tukang kayu di Gereja dan Sekolah Santa Maria, dimana anakku juga belajar di sekolah itu, namun, karena pencucian otak, “brain-wash”, mereka selalu menjauh dan menghindar dariku….. Ditambah pula dengan peraturan diskriminatif pemerintah fasis Orde Baru Suharto, yang tidak memperbolehkan anak-anak tapol menjadi pegawai pemerintah bahkan juga tidak di bolehkan kawin dengan orang-orang

pemerintah,ini semua menjadikan mereka hidup dalam ketakutan.dan menjauhi leluhur dan sanak keluarganya. Mereka ditempatkan dalam situasi seperti “makan buah simalakama”, dimakan mati ibu, tak dimakan mati ayah! Kalau penderitaan bathin yang sedang kualami ini tidak segera kuatasi dan kubiarkan berlarut-larut, bisa-bisa aku ikut

mati dalam penderitaan seperti beberapa orang kawan-kawan yng telah mendahului. Dan aku tidak mau mati di dalam penderitaan bathin semacam ini. Aku harus bangkit! Aku merasa masih waras dan memiliki semangat untuk hidup! Radio Lutut? Beberapa tahun sudah “izin kerja luar”dengan pembayaran ini berjalan. Keluar Kamp Tahanan dipagi hari, seperti penonton keluar dari gedung bioskop, setelah gembok dibuka oleh pengawal, dan kembali masuk ke dalam Kamp Tahanan disore hari, seperti ayam satu persatu pulang ke kandang. Sementara itu, “radio lutut” di dalam Kamp menyuarakan berita yang mengatakan bahwa kami akan dibebaskan. Kukatakan “radio lutut” atau radio dengkul, karena berita atau bisik-bisik itu tercipta seolah-olah seperti seorang yang duduk memeluk lututnya (dengkulnya) dan berangan-angan untuk dibebaskan. Sudah berapa tahun “radio lutut” ini “mendendangkan” berita yang serupa, tentang pembebasan, namun apa kenyataannya? Banyak tapol yang mati kelaparan, namun “berita” itu tidak menjadi kenyataan. Namun, sebagai seorang tahanan politik, dalam kesempatan “kerja luar” yang kami peroleh ini, kami coba untuk mencari kabar : Mengapa kami di tahan tanpa proses sampai bergitu lama? Apakah benar bahwa G30S itu karya PKI? Mengapa sampai jutaan bisa dibunuh tanpa melawan? Kalau PKI dikatakan pemberontak, mengapa tidak seorangpun yang punya senjata? Tidak seperti PRRI yang memberontak dan mempunyai senjata-senjata baru dan modern! Semua ini menjadi tanda tanya dalam hati kami. Dimana kami bisa mendapatkan jawaban untuk hal-hal ini? Kami coba untuk mencari jawaban, istilahnya “nguping”, namun, kami mesti berjalan dengan penuh hati-hati karena pada waku itu ada peribahasa yang mengatakan ”dinding bertelinga” yang bisa menyadap segala pembicaraan. Ini di sebabkan karena banyaknya “informan” yang

Riau Berdarah | 197

berkeliaran mencari mangsa. Namun, aku berharap, suatu masa kelak, cepat atau lambat, aku bisa mendapatkan penjelasan akan semua persoalan ini dan menulisnya untuk anak-anak dan cucuku dan kaum kerabatku serta generasi penerus, agar mereka mengerti akan apa yang sebenarnya terjadi…Terutama, kenapa orang sipil yang seperti aku mesti menjadi korban rezim militer orde baru…ditahan, disiksa dan dianiaya tanpa keadilan! Bertahun-tahun sudah lamanya aku berada di dalam tahanan penguasa Orde Baru. Semua yang kupuyai, hilang lenyap. Pekerjaanku hilang, istriku di rampas, anak-anakku di racuni pikirannya, rumah orangtuaku lepas, sanak keluarga yang dulunya dekat, menjadi jauh dan seolah-olah tidak pernah kenal, di sebabkan segudang peraturan-peraturan diskriminatif Orde Baru, terutama yang diciptakan oleh Amir Mahmud, menteri Dalam Negeri Orba/Golkar, dimana anak-anak tapol dilarang menjadi pegawai pemerintah ataupun kawin dengan oknum pemerintah. Negara Indonesia dibawah Orba dipenuhi dengan dendam dan diskrimansi yang busuk! Bilakah semua ini akan berakhir? Dari berita situasi dunia yang kudengar dari bisik-bisik, pihak Amnesti International mendesak Pemerintah Suharto agar membebaskan para tahanan politik yang ratusan ribu jumlahnya, yang masih mendekam di kamp-kamp tahanan diseluruh pelosok Indonesia, termasuk tahanan yang di asingkan di Pulau Buru. Amnesti International mendesak IGGI untuk tidak memberi pinjaman kepada Pemerintah Soeharto sebelum para tapol di bebaskan. Berita yang cukup baik buat para tahanan politik ! (IGGI adalah Inter Governmental Group on Indonesia, suatu badan dari 14 negeri pendonor dan 5 organisasi Internasional). Tahun 1977, dua belas tahun lamanya kami dalam tahanan. Nampaknya, matahari mulai menampakkan sedikit berkas cahayanya dari balik kabut yang begitu tebal. Para prajurit dan komandan militer sudah agak ramah kepada kami bahkan berani mengatakan bahwa dalam waktu tidak lama lagi kami akan di bebaskan. Namun, banyak diantara kami yang sudah apatis, masa-bodoh, dan menganggap bahwa berita ini hanyalah “angin surga” yang berhembus hanya untuk menghibur para tahanan yang sudah sangat lesu dengan hidupnya.

Berita ini juga, kemudian mengandung suatu kecurigaan yang besar, terutama bagiku sendiri, karena kami semua di pindahkan kesuatu bangunan di luar kota, dibagian Timur Kota Pekanbaru. Bangunan ini adalah suatu bangunan yang besar milik P.T. Karkam yang disita oleh Orde Baru, karena perusahaan ini dituduh ada indikasi terlibat dengan G30S. Beratus jumlah kami, para tahanan, yang di tempatkan disini. Papan nama gedung ini di robah dari gedung PT KARKAM menjadi PUSLATJA, yang diartikan sebagai Pusat Latihan Kerja. Suatu kamuflage, suatu penipuan! Kami tidak pernah di latih kerja. Kami di paksa kerja! Dari semula kami di tahan untuk mati! Dan kini kami kerja untuk menghidupi diri kami, dan harus membayar. Di samping itu, ada sementara pikiran dan kecurigaan,seperti yang kusebut diatas, bahwa kemungkinan kami akan “dihabisi”, karena tempat ini sungguh jauh dari tetangga, dan juga jauh di luar kota dan dekat dengan suatu sungai yang bernama Sungai Sail. Pikiran ini, mengingatkan aku kembali akan ratusan orang tahanan yang dimesin-gun, diberondong, ditembak mati oleh pemberontak PRRI di Situjuh, Simun dan Atar di Batusangkar pada tahun 1958! Apakah hal itu akan terulang lagi disini? Kiranya, segala bisik-bisik, segala radio lutut, segala angin surga itu, nampak akan menjadi kenyataan. Komandan Puslatja atau komandan kamp tahanan yang saat itu dijabat oleh Sersan CPM A.Hamid, memerintahkan agar setiap kami mempersiapkan pakaian yang baik untuk “upacara pembebasan” Bahkan, telah di tunjuk juga beberapa orang tahanan untuk diambil sumpahnya mewakili agamaagama yang ada. Sersan Dikam, yang militer akan mewakili para tahanan yang beragama Islam, Oei Kim Ho mewakili para tahanan yang beragama Protestan, sedang aku ditunjuk untuk mewakili para tahanan yang beragama Katolik. Hatiku berdebar dan bertanya! Aku mewakili para tahanan yang beragama Katolik? Mengapa mesti aku? Mengapa tidak Bapak S.A.Sutarno bekas guruku, yang sejak kecil adalah pengikut Katolik? Mengapa tidak Sersan F.X. Soepinggir yang menjadi Bapak baptisanku? Mengapa tidak anggota Katolik lainnya , yang jumlahnya tidak kurang dari 30 orang? Mengapa mesti aku?

Riau Berdarah | 199

“Bebas” dari Tahanan Orba 20 Desember 1977…..! Kami semua di bawa ke suatu gedung pertemuan umum di dalam kota Pekanbaru. Dalam gedung itu, setiap kami diharuskan duduk di kursi yang telah disediakan. Katanya, ini adalah upacara pembebasan kami. “Pembebasan” para tahanan G30S/PKI yang telah ditahan oleh Pemerintah Orde Baru selama lebih dari 12 tahun! Dalam upacara yang berlangsung ini, kami bertiga—Dikam, Oei Kim Ho, dan aku—diperintahkan untuk ke pentas guna menyatakan sumpah pembebasan mewakili agama masing-masing. Kami menirukan, bacaan sumpah yang di ucapkan oleh Komandan Upacara. Di antara sumpah yang masih bisa kuingat antara lain adalah: tetap setia kepada Pemerintah RI, tidak akan menuntut apa-apa, tidak akan melakukan perjalanan keluar negeri, kemana saja pergi keseluruh Indonesia harus memberitahukan pejabat setempat. “Bajingan !” aku menggerutu seusai upacara tersebut. “Bebas apa ini? “Bebas” tapi buntut masih diikat? Mengapa mesti memberitahukan pejabat setempat kemana pergi? Bebas apa namanya?” aku masih tetap menggerutu. Kawan yang mendengar omelanku cuma meletakkan jari dibibirnaya:”Sssssttttt …..!” Namun, bagaimanapun kondisinya, kami gembira karena tidak lagi tinggal di TPU—Tempat Penahanan Umum—atau Kamp Tahanan yang mereka permanis namanya menjadi Pusat Latihan Kerja yang di singkat menjadi Puslatja. Dan juga benar-benar “bebas”, dari membayar “upeti: kepada Komandan Kamp kalau mau mencari kerja! Apalagi saat itu, kedua anakku Virgo dan Gemini datang menjumpaiku di luar gedung seusai upacara, setelah bertahun-tahun tidak pernah jumpa. Aku gembira merangkul mereka, darah dagingku, dan berterima kasih kepada ibu mereka yang masih punya sedikit rasa “peri kemanusiaan!” dengan mengizinkan anak-anakku menjumpaiku. Namun, saat itu, aku tidak melihat Ibu Janaisah yang ditahan di tempat tahanan wanita di Padang Terubuk. Selesai upacara pengambilan sumpah, setiap tapol di beri secarik kertas stensilan yang katanya surat pembebasan. Surat yang hanya di stensil dengan huruf-huruf yang tidak jelas seperti kekurangan tinta itu berbunyi:”Pengembalian kemasyarakat para tahanan G30S/PKI

Golongan ‘B’, yang di tanda tangani oleh Pelaksana Khusus Pangkopkamtib Sumbar-Riau, Brigadir Jenderal TNI Soetejo dan Ka Set Laksusda Sumbar Riau. Letkol. Usman Sijabat. Disebutkan juga dalam surat itu: “Mereka yang hendak DI ROBAH STATUS PENAHANANNYA* diharuskan mengucapkan serta menanda tangani Surat Pernyataan Sumpah/Janji seperti di maksud Instruksi Pangkopkamtib…….. Selanjutnya tertulis: Pelaksanaan PENGAWASAN SELANJUTNYA* terhadap para tahanan tersebut, menggunakan Juklak Pangkopkamtib………….” Juga, Komandan CPM Pekanbaru Riau yang menjadi atasan dari Komandan Kamp Tahanan, memberikan kepada setiap tapol, selembar “Surat Ijin Jalan” yang berbunyi antara lain: “diberikan ijin kepada: nama umur….. alamat….. nomor register……. /Puslatja Ex. Karkam……. .untuk kembali ke daerahnya masing-masing karena yang bersangkuatan telah DIUBAH STATUS PENAHANANNYA”.* Surat tersebut ditandatangani oleh Komandan CPM/Puslatja Kapten Siswoyo, Nrp. 197717. (catatan: tanda * penulisan dengan huruf besar adalah oleh penulis).

Nah, begitulah bentuk yang dikatakan “surat bebas” itu. Tidak perlu seseorang mempunyai pengetahuan politik yang tinggi dalam mengartikan isi surat tesebut. Perhatikan:“….dirobah status penahanannya………pelaksanaan pengawasan selanjutnya……” Jadi, tidak ada disinggung soal pembebasan dari segala apa yang di tuduhkan……bahkan masih tetap diawasi……..yang ada hanya “surat ijin jalan” untuk keluar dari tembok tahanan ke rumah masing-

Riau Berdarah | 201

masing………jadi, apa artinya mendekam 12 tahun dalam tahanan. Untuk apa? Untuk siapa? Bagaimana dengan segala apa yang dituduhkan “terlibat” dan segala macam tetek bengek hingga harus mendekam 12 tahun lebih dalam tahanan? Dimana hukum dan keadilan? Segala-galanya telah hilang, pekerjaan, rumah, dan keluarga serta harga diri? Bahkan, sebagian, nyawanya juga telah hilang! Siapa yang harus bertanggung jawab akan ini semua? Sic! Negara macam apa Indonesia di bawah diktator Soeharto dengan rezim militer Orba dan Golkarnya ini? Bung Sumargo, kawanku, memang benar mengatakan bahwa ini bukanlah “pembebasan”, tetapi penglepasan! Karena sesungguhnya, bukan “dibebaskan”, hanya “dilepaskan” dari kurungan, namun masih diawasi kemana pergi! Macam ayam yang ditambatkan disebuah tonggak dihalaman rumah!

Setelah “kebebasan” ini yang untuk seterusnya akan kutulis “penglepasan”, aku masih tetap bekerja pada Pastoran Katolik Santa Maria. Para pastor dan biarawati semua gembira dan menampakkan “sayang” kepadaku. Aku tidak tahu, apakah “sayang” ini benar-benar keluar dari ajaran Kristus,ataukah karena politik. Aku bekerja pada Pastoran Katolik sebagai kuli, sebagai buruh kasar, karena sesungguhnya aku cuma seorang buruh, pekerja kasar. Bukan lagi seorang “kerani perusahaan asing Caltex ”, bukan lagi seorang pegawai bulanan yang berkeduduk an dan bergaji lumayan! Melihat keadaan sekeliling yang “kurang bersahabat” di sebabkan status “ex-tapol” yang kusandang kemana pergi, stempel G30S yang dicapkan dikeningku, dan segala peraturan yang membatasi gerak dan langkah hidupku, aku mulai berpikir, dan menimbang, bagaimana akan kelanjutan hidupku?…….. Apa yang harus kulakukan?………. * Pertama: Dalam hidupku , aku telah dua kali berada dalam bahaya besar: Pada tahun 1958, saat usiaku baru 20 tahun, ditahan oleh pemberontak separatis PRRI, yang nyaris menghilangkan nyawaku. Tahun 1965 sampai kini, ditahan oleh rezim Orba , yang juga hampir

menghilangkan nyawaku. Kupikir, andai sekali lagi terjadi sesuatu atas diriku, aku pasti mati. “Mereka” pasti akan membunuhku! * Kedua: Situasi “kebebasanku” yang tidak bebas ini, membuat aku ragu-ragu akan niat baik Pemerintah. Sewaktu-waktu mereka bisa menangkap dan menjebloskanku kembali kedalam tahanan dengan alasan yang di cari-cari, yang mungkin akan lebih parah keadaannya, karena masih banyak para informan yang berkeliaran dan hidup senang diatas kesusahan orang lain. * Ketiga: Keadaan bekas istriku yang makin memperlihatkan ke-congkakannya. Istilah Minangnya hidungnya “mengarah kelangit” memperlihatkan “keberhasilannya”, semenjak hidup bersama si informan. Mengganggap dirinya tidak setara dengan orang yang pernah menjadi tapol, karena dia tidak sempat mencicipi rasa di tahan. * Keempat: Anak-anakku yang semakin jauh dariku, karena pikirannya yang telah di racuni dimomoki, ditakut-takuti dengan segala macam peraturan Orba yang diskriminatif dan tidak berperikemanusiaan. * Kelima: Pandangan yang menganggap ex-tapol sebagai warganegara klas dua, kelas kambing, kasta terendah, berbahaya, karena segala pembatasan dan peraturan dari Pemerintah Militer Ordebaru/Golkar yang diskriminatif, yang beberapa diantaranya kemudian kuketahui, seperti : 1. Keharusan pencantuman huruf ET ( Eks Tapol) pada kartu penduduk sehingga menghambat si pemegang kartu untuk mendapatkan pekerjaan; (kartu pendudukku, harus diperbarui setiap 3 bulan! ) 2. Melakukan pembatasan pekerjaan untuk eks tapol; Di larang menjadi guru/dosen, Dalang Wayang, Lembaga Bantuan Hukum, Wartawan, Pendeta atau Pastor dsb. 3. Mencegah eks tapol memasuki kegiatan kemasyarakatan; Di larang menjadi Pengurus, Badan Pemeriksa , Manager dan Bagian Keuangan Koperasi. (Keputusan Dirjen Koperasi No. 622/Kop/III/1983, tanggal10/3/83.) 4. Larangan untuk menjadi Manager Koperasi ( Instruksi Dirjen Bina Lembaga Koperasi (BLK), Depkop No. 821/BLK/V/1986

Riau Berdarah | 203

5. Untuk bepergian dalam negeri (meninggalkan kelurahan/desa) lebih dari 7 hari eks tapol mesti mendapat izin khusus dari penguasa, dsb. 6. Radiogram Mendagri Orba kepada setiap Pemda di Indonesia agar melakukan pelacakan para ex.Tapol G30S/PKI yang tidak ada di tempat untuk di temukan kembali, serta puluhan peraturan diskriminatif yang masih berlaku sampai sekarang. (Lihat : Instruksi Menteri Dalam negeri No.32/1981 – Catatan Manai Sophian: Bab VIII, http://www.munindo.brd.de dan Surat DR Alexander Tjaniago LLM kepada MD Kartaprawira : [email protected]) Insruksi Mendagri Orba itu dikeluarkan tahun1981, namun prakteknya, jauh sebelum itu, hal itu telah di laksanakan. Aku teringat akan kata-kata istriku tahun 1970 di Teperda, sewaktu dia menyatakan bercerai dariku. “Orang tidak mau memberi pekerjaan selagi masih menjadi istri Gestapu!” Oh, betapa menusuk dan pedihnya kata-kata itu dihatiku!!! Hampir setiap departemen atau kementerian dalam pemerintahan fasis militer Orba, mempunyai peraturan-peraturan yang di luar batas kemanusiaan ini. Perbuatan Orba, dengan memberlakukan hukum/peraturan yang tidak manusiawi ini, sama halnya sebagai usaha lanjutan untuk membunuh para eks tapol yang “terpaksa” harus mereka lepaskan, “terpaksa” harus mereka keluarkan dari Kamp Tahanan, dengan perkataan manis “dikembalikan kemasyarakat” . Guna melanjutkan praktek pembunuhan massal, pelenyapan dan pembunuhan para tapol dari tahanan seperti yang telah mereka lakukan selama itu, mereka jalankan segala peraturan yang berlawanan dengan Pancasila, terutama Ketuhanan dan Perikemanusiaan yang adil dan beradab. Berlawanan dengan UUD1945, yang Mukadimahnya berbunyi “bahwa seusungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa…….” Begitu juga dengan Bhinneka Tinggal Ika, berbeda tapi satu! Tidakkah Orba terangterangan melanggar dan menjadi penghianat atas kesemuanya itu? Perampas kemerdekaan dan pembunuh bangsa! “Tidak kurang dari 30 UU, PP dan instruksi Menteri yang mendiskriminasikan warga negara Indonesia sampai sekarang ini. Dalam UU, PP dan instruksi menteri itu masih terdapat kalimat: “Bekas anggota PKI, ormas PKI

dan mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung” tidak boleh menjadi ini dan itu, menjabat ini dan itu, atau kalau sudah terlanjur menjabat harus dinon aktifkan dari jabatannya, atau kalau mau menikahkan anak gadisnya dengan anggota Polri/TNI mesti ada surat yang menyatakan orang tuanya tidak terlibat G30S langsung atau tidak langsung, atau tidak bisa mendapat KTP seumur hidup walaupun sudah mencapai umur lebih dari 60 tahun. Mereka yang dulu di pecat dari pekerjaannya tanpa surat pemberitahuan resmi, tidak bisa mengurus pensiunnya walaupun sudah mencapai umur pensiun. Tanah, rumah, kenderaan mereka, perusahaannya dirampas bahkan ada pula yang istrinya juga dirampas ( S.Utomo, LPR-KROB, “Menguak Tabir Merajut Masa Depan/Pekan Seni Budaya 40 Tahun Tragedi 65”) Kendatipun, banyak hal-hal yang kuungkapkan diatas, ada yang belum kuketahui di saat aku dilepas dari tahanan, namun situasi dan keadaan yang kualami begitu lepas dari tahanan rezim Orba pada akhir 1977 itu, membuatku berpikir dan berpikir………bagaimana selanjutnya? Apa yang harus dan mesti kulakukan………?

Bagian-III Menjadi Pekerja Gelap di Malaysia Suatu hari, ketika aku sedang asyik bekerja, menggosok plywood yang akan digunakan untuk pembuatan kursi murid sekolah, Pastor yang diiringi seorang pemuda yang bertubuh kecil dan agak kehitaman, datang menghampiriku. “Pak Yosef, ini ada kawan yang barangkali bisa membantu di sini….!” Kata Pastor kepadaku dan kemudian pergi. Aku berjabat

Riau Berdarah | 205

tangan dengan pemuda itu yang mengenalkan diri dengan menyebutkan namanya Roy. “Baru datang ke Pastoran ini…?: aku bertanya. “Ya, saya dari Rengat……!” dia menjawab, sambil bertanya “apa yang mesti saya kerjakan di sini?” “Ya, seperti saya, menggosok plywood seperti yang saya lakukan ini….!” kataku sambil memberinya sehelai kertas pasir. Kami bekerja sambil bercerita memperkenalkan diri masing-masing di dalam bengkel kayu di ruang bawah gereja itu. Dalam ceritanya, dia mengatakan bahwa dia berasal dari Sleman Yogyakarta, dan dalam perjalanan keliling, terdampar di Rengat dan dikirim ke mari. Dia diberi tempat di kamar sopir di sebelah Garage di gedung Pastoran. Sedang makan dan minumnya adalah dari dapur Biara Suster. Dia menyatakan bahwa dia adalah pengikut Katolik sejak lahir. Nama baptisannya cukup panjang. Kalau nama baptisannya itu ditambah dengan namanya dan nama ayahnya, barangkali ada sejengkal panjangnya. Namun, dia lebih suka dipanggil Roy. Beberapa hari dia bekerja bersamaku, sedikit demi sedikit aku mulai mendapat cerita yang sebenarnya mengenai dirinya. Kiranya, dia adalah seorang pekerja gelap di Malaysia, yang dikirim kembali ke Indonesia dan terdampar di Rengat. Karena dia adalah seorang Katolik, Pastor di Rengat mengirimkannya ke Pastoran di Pekanbaru. “Yo, bagaimana, baikkah kerja disini……..?” suatu hari Roy bertanya padaku. “Bagaimana mesti kukatakan….baik atau tidak baik…. Aku mesti terima pekerjaan ini”aku memberi jawaban. “Mengapa tidak cari kerja di tempat lain?” “Di tempat lain di mana …..? Sekarang ini susah mencari kerja Roy!” “ Mengapa tidak mencoba ke Malaysia…….?” “Hah….ke Malaysia? Tidak mudah untuk kesana……!” “Ah, gampang…….. ada orang yang bisa membawa untuk bekerja di sana! Hasilnya, jauh lebih baik dari di sini…….!” Ia mulai mengiklankan Malaysia kepadaku “Kalau mau, kita bisa pergi bersama……! Bagaimana……?”

“Ah, kupikir dululah, Roy…….aku punya orangtua dan sanak saudara di sini!” aku menjawab ajakannya ini. Sekembalinya dari pekerjaan, di rumah, kupikirkan dalam-dalam ajakan Roy ini. Kutimbang segala apa yang terjadi atas diriku. Keadaan masyarakat yang tidak bersahabat. Kaum agama yang terangterang memusuhi bekas tapol. Bekas istriku yang makin congkak dan. Anak-anakku yang semakin jauh dariku. Niat Pemerintah yang tidak suci, yang masih mengikat semua tapol dengan berbagai peraturan dan larangan. Masyarakat yang telah mengetahui akan sejarah hidupku sejak jaman PRRI. Semua itu menjadi pikiran, sehingga malam itu aku susah sekali tidur. Resah dan gelisah. Mana yang mesti kupilih ? Tetap tinggal di sini, di Pekanbaru, atau di Indonesia dengan segala macam “cap” yang diberikan oleh Pemerintah di keningku, atau menjadi orang asing di seberang lautan? Aku tahu, kalau aku pergi ke Malaysia, harus kulakukan secara gelap. Tidak mungkin aku bisa mendapatkan paspor untuk keluar negeri karena “sumpah” ketika aku dilepas dari tahanan. Sedangkan ke mana pindah dalam lingkungan Indonesia ini, masih harus melapor. Aku benar-benar gelisah…..! Namun akhirnya, aku mendapat suatu keputusan. Aku tidak mungkin tetap di Pekanbaru dengan semua keadaan yang membelenggu hidupku ini. Ya, aku mesti pergi, menjauhi semua yang menyakitkan hati, yang menghancur leburkan dan memporak porandakan hidupku! Kurasa, kehadiran Roy juga merupakan satu bantuan bagiku untuk bisa keluar dari negeriku, sebagaimana yang kuidam-idamkan dari semula!. Ya, aku mesti keluar dari negeri ini! Namun, aku tak mau menunjukkan keinginanku ini kepada Roy, agar dia jangan menjadi besar kepala dan angkuh! Pada suatu kesempatan yang baik, kubicarakan rencanaku ini kepada ayahku. Kujelaskan semua alasan, mengapa aku mesti mengambil jalan ini. Ayahku mengetahui benar, betapa parahnya kehancuran hatiku. Namun, kendatipun ayah , ibu dan saudarasaudaraku sangat menyayangiku dan sangat berat untuk berpisah, akhirnya ayah mengizinkan aku pergi…….

Riau Berdarah | 207

Hanya kepada ayah seorang kukatakan ke mana aku hendak pergi. Kepada Ibu dan saudara-saudaraku kukatakan bahwa aku hendak pergi ke pulau Jawa. Suatu hari, di tempat kerja, Roy bertanya bagaimana keputusanku. “Kau memang ingin untuk aku pergi bersamamu……?” aku bertanya padanya, tanpa menunjukkan keinginanku. “Ya, dua orang lebih baik daripada seorang “ ia memberi jawaban. Aku diam beberapa saat, seolah-olah berpikir. “Bagaimana………?” ia bertanya seperti tidak sabar. “Oke-lah Roy, aku bersedia, kalau engkau memang menginginkannya!” aku memberi jawaban sambil menarik napas! “Tapi jangan sampai siapapun mengetahui recana kita ini ……..” katanya. Aku hanya tersenyum mengangguk. Sejak saat itu, kami persiapkan rencana perjalanan gelap ini. Kepada Pastor Casali , kepala Paroki, aku mengatakan bahwa aku akan pergi ke Jawa bersama Roy untuk mencari pekerjaan. Dia termenung mendengar kata-kataku, dan dengan rasa berat hati dia bertanya, “Apakah di sini kurang baik…..?” Aku tahu, bahwa kehadiranku di situ sangat membantu, karena aku bisa mengerjakan apa saja yang diperintahkannya, bahkan menjadi sopir ambulance atau sopir bagi para biarawati, di kala Pak Tasmin, sopir Pastoran, sedang dalam cuti atau absen. Namun, setelah kujelaskan derita batin yang kualami, soal anak-anak dan bekas istri, dia ternyata memahaminya. Pada hari terakhir aku bekerja di Pastoran itu, dibekalinya diriku dengan surat keterangan dari Pastoran, agar aku bisa mendapatkan bantuan dari Pastoran Katolik di mana aku nanti menetap. Di samping itu, Pastor memberiku uang sebesar 45 ribu rupiah, untuk ongkos perjalanan. Suatu jumlah yang cukup besar pada tahun 1978 itu! Seminggu sebelum keberangkatanku, aku meminta anak-anakku berfoto denganku untuk kenang-kenangan. Pada saat itu, Virgo dan Gemini berusia sekitar 15 dan 13 tahun. Mulanya mereka enggan untuk kuajak berfoto, tapi akhirnya bersedia setelah kukatakan pada mereka bahwa aku akan pergi mencari kerja ke pulau Jawa.

18 Juli 1978, aku dan Roy meninggalkan Pekanbaru menuju Tanjung Pinang, dengan menumpang slow-boat melalui Sungai Siak. Perjalanan dengan slow-boat yang dikenal dengan nama kapal pongpong, mengikut bunyi mesin Diesel yang digunakannya ini, sangat lambat sekali. Tiga hari perjalanan menghilir sungai Siak, baru kami bisa sampai di pulau Bintan, di kota Tanjung Pinang. Di sini kami tinggal di suatu rumah tumpangan, di tempat yang aku tidak ingat lagi, entah di Batu berapa. Karena tempat-tempat di Tanjung Pinang diketahui mengikut sebutan Batu. Setelah beberapa hari kami tinggal di sini, kami mendapatkan “agen” yang dapat mengurus keberangkatan kami dan skipper atau sebutan di sana dipanggil tekong yang akan membawa kami masuk ke semenanjung Malaysia. Suatu malam, dalam keadaan udara yang baik dan laut yang tenang di bulan Juli itu, sebuah perahu yang berisi 9 nyawa termasuk aku dan Roy , meluncur di antara hutan-hutan bakau di sepanjang gugusan ke pulauan Riau. Si skipper mendayung perahu di bawah cabang-cabang pohon bakau yang menjulai ke air. menuju tempat yang jauh dari pepohonan, untuk mengembangkan layar perahu. Setelah layar dapat dikembangkan, perahu dengan laju meluncur di malam hari itu. Kirakira menjelang subuh, kami sampai dan mendarat di sebuah pulau kecil yang hanya dihuni oleh satu keluarga nelayan. Hari itu, kami makan di rumah nelayan penghuni pulau yang rupanya kenal baik dengan skipper , yang kiranya sama-sama berasal dari pulau kecil Bawean yang terletak di laut Jawa di sebelah utara Jawa Tengah. Selesai makan kami beristirahat menanti malam. Dalam perkenalan sesama penumpang biduk ini, kuketahui, bahwa selain aku dan Roy, selebihnya adalah berasal dari pulau Bawean yang terletak di laut Jawa di utara Jawa Tengah, dan disebut suku Boyan. Malam itu, biduk kami meluncur lagi dengan tenang. Setelah beberapa saat berlayar, kira-kira pada waktu tengah malam, di sebelah kanan kami, terlihat kelap-kelip cahaya lampu yang banyak sekali. Sang skipper mengatakan bahwa itu adalah lampu-lampu di Lapangan

Riau Berdarah | 209

Terbang Changi di Singapore. Kami berhenti sebentar di sebuah pulau karang kecil yang disebut pulau Ular, untuk makan nasi, bekal yang dibawa oleh skipper, yang diperolehnya dari penghuni pulau yang baru kami tinggalkan. Mengenai pulau Ular ini, aku tak tahu, apakah masih masuk wilayah Indonesia ataukah kepunyaan Singapore. Disebut pulau Ular, karena menurut skipper, “penduduk” pulau kecil ini hanyalah ular! Dan pulau ini tidaklah begitu besar, tidak cukup untuk tempat mendirikan sebuah rumah. Jadi hanya pulau kosong. Setelah selesai makan dan kami berada dalam perahu lagi, kulihat sang skipper menadahkan tangan sambil menengadah ke langit dan bersuara dalam bahasa Arab. “Barangkali dia berdoa minta perlindungan semoga selamat dalam perjalanan” aku berbisik pada Roy. Perahu layar meluncur laju mengarah ke barat-laut, dihembus angin malam. Menjelang subuh, perahu kami yang layarnya sudah diturunkan memasuki suatu aliran sungai yang ketika itu sedang pasang naik. Sang skipper mendayung perahu mengarah hulu sungai dan masuk ke sungai kecil, hingga ke suatu tempat yang hanya paspasan untuk badan perahu. Kami turun, setelah skipper menambatkan perahu ke sebatang pohon bakau. Skipper menyuruh kami menunggu, tidak boleh beranjak dari tempat, sementara dia mencari kenderaan untuk kami. Dia pergi setelah meninggalkan sebuah bungkusan ubi rebus untuk sarapan pagi. Sehari-harian kami menunggu dan menunggu. Menjelang senja, nyamuk mulai berdatangan mengerubuti tubuh-tubuh kami. Waktu siang, ada juga nyamuk namun tidak sebanyak waktu senja. Di saat hari mulai gelap, terlalu banyak nyamuk yang datang dan susah mengusirnya. Sekali tepuk, mungkin 5 atau 10 nyamuk yang mati. Namun, sebanyak yang mati sebanyak itu pula yang datang menggantikannya, karena daerah itu memang daerah nyamuk, tanah berlumpur dan pohon bakau! Sekitar pukul 8 atau 9 malam, sang skipper datang dan memberi kami masing-masing beberapa potong roti. Sambil memakan roti , karena sesungguhnya kami lapar sekali seperti berpuasa di bulan Ramadhan, si skipper membawa kami keluar persembunyian. Waktu itu, hujan gerimis mulai turun. Pantaslah kalau nyamuk begitu banyaknya. Kami sampai di tepi sebuah jalan mati, yang sangat sepi,

di mana telah menunggu dua buah taxi. Dengan kedua taxi itu, kami dibawa ke arah sebuah kota yang bernama Segamat, di negeri bagian Johor di semenanjung Malaysia. Untung, malam itu hujan lebat sepanjang perjalanan kami, hingga tidak memungkinkan polisi melakukan road-block, sehingga perjalanan kami menjadi lancar dan aman. Kami tidak berhenti di kota yang dinamakan Segamat itu, namun terus masuk ke pedalaman, ke suatu tempat yang disebut “Keratong 9” yaitu suatu perkebunan kelapa sawit yang cukup luas di daerah negeri Johor, bagian Selatan Semanjung Malaysia. Menjelang pagi, kami sampai ke tempat yang dituju. Pagi itu, kami diserahkan kepada seorang Cina yang menjadi wakil perusahaan “Lian Seng Sdn. Bhd.” yaitu kontraktor yang mengelola dan merawat perkebunan milik “Felda” (Federal Land Development Authority ) di Keratong 9. Banyak perkebunan kelapa sawit bernama Keratong. Bahkan kudengar ada juga perkebunan kelapa sawit di Malaysia ini yang bernama Perkebunan “Suharto”. Aku tak tahu, apakah perkebunan ini milik Suharto, ataukah hanya nama? Dan tempat di mana kami sekarang berada ini adalah Keratong yang nomor 9. Kami diterima bekerja sebagai kuli perkebunan dengan syarat, bahwa gaji setiap orang akan dipotong hingga mencapai 200 ringgit, untuk membayar skipper sebagai ongkos transport dan biaya makan dalam perjalanan. “Hah, kita dijual Roy!” aku berbisik kepada si Roy yang berada di sebelahku. “Memang mesti begitu, karena kita tidak bisa membayar kontan si skipper”, Roy menjawab lirih. Kami di tempatkan di suatu barak atau bedeng panjang yang berkamar-kamar, yang terbuat dari kayu hutan, kulit kayu dan daun rumbia sebagai atapnya. Disitu telah ada beberapa puluh orang pekerja, laki-laki maupun perempuan, yang juga illegal seperti kami. Bahkan ada juga yang bersama keluarganya, anak dan istri, yang juga datang secara gelap dari Belakang Padang, suatu tempat di kepulauan Riau, dan bekerja di perkebunan ini. Kami memperkenalkan diri satu sama lain. Tugas dan pekerjaan kami di situ adalah membersihkan dan membuang rerumputan di sekeliling pohon kelapa sawit agar tidak menghalang pertumbuhan pohon ataupun menjalar melilit pohon.

Riau Berdarah | 211

Tugas itu harus dilakukan sebelum matahari terbit, pukul 5 pagi, sampai dengan pukul 1 tengah hari, karena setelah pukul 1 tengah hari udara akan menjadi terlalu panas untuk bekerja di daerah itu. Ini berarti kami harus bangun pada pagi buta, dan sebelum pukul 5 pagi harus sudah berada di tempat kerja. Dan, untuk kerja yang kami lakukan itu, kami akan dibayar 7 ringgit setiap harinya. Kami dapat berhutang, istilahnya “ngebon” makanan yang kami perlukan, yang ada di kantin di ujung bedeng. Dan gaji yang kami terima akan di potong untuk pembayar makanan yang telah kami terima, dan sebagian lagi untuk angsuran pembayaran kembali ongkos perjalanan kami. Setelah beberapa bulan bekerja, lunaslah “hutang” kami yang 200 ringgit itu. Kupikir, keadaan kami ini hampir tak berbeda dengan keadaan “koeli-kontrak” di jaman Hindia Belanda dulu. Kami dijual dan tinggal di bedeng kayu yang tidak memadai, dan harus mulai bekerja di pagi buta! Kini kurasakan sendiri, sebagai suatu contoh, bagaimana menderitanya kehidupan para kuli kontrak jaman dulu, di bawah bangsa yang menjajah negerinya. Setelah beberapa lama bekerja di sini dan fihak perusahaan mengetahui kalau aku bisa mengendarai mobil dan mengerti menulis dan membaca, aku diangkat sebagai kepala kerja merangkap sopir yang setiap harinya membawa, menjaga dan mengawasi kuranglebih 30 orang pekerja. Untuk segala kerja dan tanggung jawabku ini, aku diberi gaji 10 ringgit sehari, ini berarti 3 ringgit lebih dari gaji seorang kuli . Jumlah ini cukup besar dan lumayan, jika digunakan di Indonesia, namun, di Malaysia jumlah ini tidak begitu berarti. Setelah beberapa waktu menjadi “mandur” atau kepala kerja ini, kurasakan bahwa pekerjaanku ini sangat berbahaya sekali. Mengapa? Setiap hari, aku mesti mengangkut 30 orang bangsaku ketempat kerja dengan truk Marmon tahun 1948 yang hanya punya gear satu dan dua tanpa rem! Sedang jalan di perkebunan ini kadang-kadang menanjak sampai 30 derajat dan jurang yang dalam di kiri dan kanan jalan. Andaikata, truk yang jalannya tidak ubahnya seperti jalan siput atau penyu itu, ketika mendaki tanjakan, tiba-tiba berhenti dan mundur, karena tidak ada rem, dan jatuh ke jurang, tidakkah itu akan membunuh bangsaku?

Permit Masuk dan ID Card Sementara itu, karena mengetahui bahwa umumnya pekerja perkebunan, yang menurut istilah Melayu adalah “pendatang dan pekerja haram” dari Indonesia, maka banyak para pedagang keliling, yang datang dengan mobilnya ke daerah-daerah perkebunan. menjual bahan-bahan seperti celana, kemeja, singlet bahkan makanan-makanan kaleng. Setelah 3 atau 4 kali mereka datang menjual dagangannya, mereka mulai membujuk para pekerja dengan menawarkan “jasa” untuk mendapatkan “permit masuk ke Malaysia”. Permit yang dikatakannya ini sesungguhnya sangat penting sekali, karena dikeluarkan oleh Immigrasi Malaysia. Setiap pekerja yang memegang permit ini akan terbebas dari razia atau tangkapan pihak kepolisian Malaysia. Dan untuk mendapatkan permit ini, harus membayar sebesar M$ 200 kepada seseorang yang dapat “menghubungi” pihak Immigrasi Malaysia yang mengeluarkan permit masuk itu. Diriku adalah salah seorang di antaranya yang dapat digoda, dan terbujuk dengan kata-kata manis pedagang keliling ini. Kuserahkan 200 ringgit kepadanya untuk mengurus permit buat diriku, karena aku merasa bahwa “permit” itu benar-benar sangat penting bagiku. Setelah kuserahkan 200 ringgit kepada pedagang keliling itu, aku menunggu. Dari minggu keminggu kutunggu, namun si pedagang itu tidak menampakkan diri lagi . Ah, hilanglah uangku 200 ringgit! Gaji sebulan! Beberapa bulan setelah itu, temanku Roy dengan seorang kawannya pergi ke Melaka buat menemui seseorang yang bernama Dollah Aceh, yang katanya dapat mengurus surat permit masuk. Roy kembali dari Melaka, dan mengatakan padaku bahwa permit untukku sedang dalam pengurusan. Kutunggu dan kutunggu, namun permit yang katanya dalam pengurusan itu tidak juga datang, sedang Roy sendiri sudah mendapatkan “permit masuk”. Timbul kecurigaanku, apakah uang yang kuberikan padanya untuk mengurus permitku, digunakan buat dirinya? Aku tahu, bahwa Roy bukanlah pekerja yang rajin, sering absen, dan tidak bisa menyimpan uang. Namun,

Riau Berdarah | 213

kudiamkan saja hal ini. Aku tak mau terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan di rimba belantara Malaysia ini. Karena kejengkelanku kepada perusahaan perkebunan yang tidak memikirkan keselamatan pekerja bangsa Indonesia, dengan mengabaikan keadaan truk yang sangat membahayakan itu, aku berhenti bekerja dan meninggalkan Keratong 9 menuju Kuala Lumpur ibukota Malaysia. Di sini, aku bekerja sebagai kuli pada kontraktor pembangunan di Subang Jaya, suatu kota yang sedang pesat dibangun oleh kerajaan Malaysia. Kulihat, beratus-ratus rumah yang dibangun di sini, semua menggunakan tenaga-tenaga kerja dari Indonesia , yang umumnya adalah illegal. Setelah beberapa lama aku bekerja di sini, aku didatangi oleh seseorang yang memperkenalkan diri dan, katanya, dapat mengurus “surat izin masuk” buatku, agar aku bisa aman pergi kemana saja di Semenanjung Malaysia ini. Aku hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas tawarannya ini. Kukatakan, bahwa aku telah dua kali membayar seseorang, namun orang itu tidak kembali. Aku menjadi jera dan kecewa. Dia menyadari akan kekecewaanku. Beberapa hari setelah itu, suatu sore, sehabis kerja ia datang lagi ke tempatku.Ia mengatakan ingin membawaku dengan mobilnya untuk keliling melihat-lihat kota atau bandar menurut bahasa Melayu. Tanpa curiga, kuterima ajakannya ini. Kami mengelilingi bandar Subang Jaya yang dalam pembangunan pesat. Benar-benar ratusan atau mungkin ribuan rumah yang dibangun di kota ini. Aku berpikir, “seharusnya pemerintah Malaysia berterima kasih dengan kehadiran pekerja-pekerja dari Indonesia yang ikut membangun negeri Malaysia ini”. Setelah mengelilingi daerah perumahan Subang Jaya, kami menuju ke jalan raya dan selanjutnya ke selatan menuju Pelabuhan Klang yang tidak begitu jauh dari Subang Jaya. Di daerah Pelabuhan Klang itu, kami berhenti di sebuah rumah. Dia mengajakku masuk ke rumah itu. Aku tetap tidak merasa curiga. Begitu masuk, kami disambut oleh seorang wanita dengan 2 orang anak kecil. Dia memperkenalkanku dengan wanita itu yang kiranya adalah istri dan kedua anaknya, serta mempersilahkan aku masuk

kerumahnya. Aku jadi salah tingkah, tidak menduga akan hal ini samasekali “Jemput duduk, chik” kata wanita itu dalam bahasa Melayu, setelah kami bersalaman. “Terima kasih…..!” aku menjawab dengan penuh hormat sambil mengangggukkan kepalaku. “Saya mau menolong”, kata suami perempuan itu, setelah kami duduk dan minum kopi yang dibuat oleh istrinya. “Karena Yusof datang dari tempat di mana kami juga berasal” dia melanjutkan kata-katanya. “Ayah saya datang kemari beberapa puluh tahun yang lepas dari Kampar. Tidak jauh dari Pekanbaru ya, tak ? Dan saya beranak di sini. Saya tunjukkan rumah dan famili saya, agar jika saya berbohong, Yusof boleh datang ke mari mencahari saya” dia berkata dalam logat campuran, Melayu dan Indonesia. Aku jadi malu sendiri dengan semua penjelasannya itu. (untuk menjaga identitasnya, baiklah tidak usah kusebutkan nama teman ini ). Dalam perjalanan pulang ke tempat kerjaku di Subang Jaya, kuserahkan padanya 200 ringgit, beserta foto dan secarik kertas bertulis nama dan tanggal lahirku. “Kalau memerlukan ongkos lebih, tolong beritahukan saya” kataku padanya, ketika ia menurunkan aku di depan barakku. “Ah, inipun dah cukup…..”ia menjawab sambil tersenyum. Di sini—di Malaysia—aku menggunakan nama Yusof, yang kuambil dari nama baptisanku Yosef. Bagiku tidak menjadi soal, apakah Yusuf, Yosef atau Yusof. Namun, di Malaysia, nama ini bisa menunjukkan siapa kita. Kalau kugunakan Yusuf, orang akan mudah mengenal sebagai nama seorang Islam dari Indonesia, Yusof sebagai Islam Melayu, panggilan mengikut lidah Melayu . Sedang Yosef atau Yoseph ataupun Joseph adalah nama untuk orang Kristen. Dan aku tidak ingin membahayakan diriku hanya disebabkan oleh nama. Seminggu kemudian dia datang ke tempat kerjaku di sore hari di saat aku baru saja selesai bekerja, mandi dan berpakaian. Disodorkannya sebuah “kartu merah” ketanganku. Kartu merah itu adalah “permit masok” dari Kantor Imigrasi Malaysia. Dengan tangan

Riau Berdarah | 215

yang agak menggeletar, kulihat kartu permit masuk yang mencantumkan nama serta fotoku yang dicap-pres atau seal Imigrasi Malaysia yang terbuat dari metal yang ditekankan di atas foto. “Ini asli” bisikku. “Ya, sekarang awak tak perlu takut lagi. Awak boleh pergi kemana saja di tanah semanjung ini” katanya tersenyum. Kusalami dia sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih. Aku sungguh tidak menduga, kalau akhirnya aku bisa berhasil mendapatkan permit masuk ini. Kendatipun aku telah kehilangan 600 ringgit, “Permit ini jah lebih berharga dari enam ratus ringgit!” kataku dalam hati.

Esok hari, sebagaimana yang dianjurkannya, aku tidak bekerja tetapi pergi ke kantor Pejabat Pendaftaran Kerajaan Malaysia di Petaling Jaya. Di sini, dengan berdebar-debar aku mendatangi counter dan “mendaftarkan” surat “permit masok”ku itu. Setelah mencatet dan memasukkan data-data keterangan mengenai diriku, gadis manis di belakamg counter itu berkata “Awak boleh datang kembali selepas 3 bulan untok menerima I.C. awak yang bernomor 83319xx” sambil mengembalikan kartu permit masuk kepadaku setelah dicap dan dibubuhi nomor Identity Card (I.C.) yang akan kuperoleh 3 bulan lagi. Ahhh, ……….lapang rasa dadaku……aku gembira, bersyukur dan berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas segala pertolongannya ini! Sementara itu, aku mengirim surat kepada ayah dan Pastor di Pekanbaru. Semasa aku berada di Keratong 9, pernah kukirim surat kepada ayahku, sekedar menceriterakan keadaaku yang selamat, namun meminta supaya ayah jangan membalas suratku karena kukatakan berkemungkinan aku pindah ke tempat lain. Sekarang, setelah aku bekerja sebagai kuli kontraktor bangunan, terutama sekali telah memiliki “permit masok” Malaysia, kukirim surat pada ayah dan Pastor Casali. Ayah sangat gembira mendengar ceritaku. Kepada Pastor, dalam suratku, aku meminta maaf yang sebesarbesarnya, karena aku bukannya pergi ke Jawa melainkan ke Malaysia. Kukatakan padanya, bahwa “kalau aku menyatakan yang sebenarnya,

pastor pasti tidak mengizinkan, karena tahu akan peraturan Orba yang membelenggu diriku.” “Jadi, maafkanlah saya karena berbohong ini”, tulisku kepada Pastor. Dalam balasannya, dia memang merasa kecewa, namun memaafkan diriku dan mendoakan agar selamat di tanah Melayu. Aku gembira sekali. Sekarang, apa yang harus kulakukan ? Ada pepatah Inggris yang kupelajari di sekolah dulu, yaitu “Don’t wait until tomorrow what you can do today !”(Jangan tunggu sampai besok, apa yang dapat kau kerjakan hari ini!) Kata-kata ini menjadi peganganku. Pikiran di dalam otakku yang tidak begitu pandai ini berputar mencari jalan yang bakal kutempuh……….. Suatu hari, dengan membawa kartu “permit masok” yang telah dicap oleh pejabat pendaftaran dan dibubuhi nomor untuk kartu identity-ku, dengan sebuah taxi aku mendatangi Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, yang kalau aku tak salah, berada di jalan Petaling. Dengan alasan serta keterangan dan identity yang sedikit kusamarkan, kepada Pejabat Kantor Kedutaan aku menyatakan diri keluar dari kewarganegaraan Indonesia, karena aku akan kawin dan hidup menjadi warga negara Malaysia. Tanpa mendapat kesulitan, aku mendapat selembar surat keterangan bernomor 294/BWN/IM/1079 yang menyatakan bahwa aku BUKAN warganegara Republik Indonesia. Surat tersebut di tanda tangani oleh Bintaryo Atase Immigrasi, atas nama Duta Besar, pada tanggal 10/10/1979. Aku tak tahu bagaimana gejolak perasaan dan hatiku saat itu. Sedih dan gembira berbaur menjadi satu. Gembira, karena aku merasa diriku bebas dari belenggu Rezim Orde Baru, suatu Rezim yang didirikan di atas tumpukan jutaan mayat rakyat Indonesia. Sebaliknya, aku juga merasa sedih, karena tiada lagi Negara yang memilikiku! Aku bukan lagi warganegara Indonesia tercinta. Aku ibarat sabut kelapa di tengah laut, terapung-apung, tiada yang memilikinya! Aku masih ingat akan lagu yang sering kami nyanyikan di sekolah dahulu. Lagu wajib yang berjudul Indonesia Pusaka, yang aku tak salah adalah ciptaan Ismael Marzuki :

Riau Berdarah | 217

Indonesia….tanah air beta…. Pusaka abadi nan jaya……… Indonesia sejak dulu kala…… Tetap dipuja-puja bangsa….. Di sana tempat lahir hamba Dibesar dibuaikan bunda, Tempat berlindung di hari tua, Sampai akhir menutup mata! Aku tahu dan menyadari, Indonesia adalah tempat lahirku, tempat aku dibesarkan ibuku. Namun apakah Indonesia juga tempat aku berlindung di hari tua sampai akhir menutup mata? Dua belas tahun aku ditahan tanpa proses, disiksa, dianiaya. Semua yang kumiliki dirampas. Pekerjaanku, istriku, anak-anakku, semuanya! Dari seorang yang punya harga diri sebagai manusia, dijatuhkan menjadi seorang yang dianggap penyakit menular yang harus dihindari dan di jauhi! Aku tahu, bahwa ini bukanlah kesalahan “ibu pertiwi” tapi adalah perbuatan Rezim Militer yang berkuasa yang memerintahkan dan melakukan pembunuhan massal atas jutaan bangsa Indonesia. Tiga juta rakyat yang dibunuh dengan kejam. Kalau setiap orang yang dibunuh itu punya istri, punya anak, punya saudara, punya mertua, punya ayah, ibu serta sanak keluarga lainnya………berapa puluh juta rakyat yang menderita di bawah kekuasaan Suharto dan Rezimnya itu? Hatiku menjerit, menangis mengingat ini semua…namun aku tetap mencintai tanah tumpah darahku……dan berharap satu masa akan dapat kembali pulang sebagai bangsa Indonesia yang punya harga diri, sebagai korban peristiwa 65 yang telah direhabilitasi, sebagai manusia Indonesia yang ada harga. dan ………….kemudian, mati di Indonesia…! Aku sekarang menjadi seorang yang tanpa warganegara. Orang mengatakan sebagai “state-less”. Tiada tempat bergantung. Now, what next? Bagaimana selanjutnya?

Sebenarnya, ketika aku masih bekerja di Subang Jaya, sebelum aku menyatakan keluar dari kewarganegaraan Indonesia, aku mempunyai pikiran, jika aku mesti kembali ke Indonesia satu saat nanti, aku ingin agar bisa menjadi biarawan pada seminari Katolik di Indonesia. Hal ini kusampaikan kepada Pastor Casali yang mengizinkan, memberi petunjuk serta bantuan moral kepadaku. Aku memajukan permohonan kepada 4 buah seminari Katolik dipulau Jawa sebagaimana dianjurkan oleh Pastor. Kukirim surat permohonanku kepada: 1.Kongregasi Bruder Santo Aloysius, Jalan Purwakarta 1 Jakarta; 2.Kongregasi Bruder Bunda Hati Kudus, Jalan Kepanjen 14, Surabaya; 3.Kongregasi Bruder St. Perawan Maria tak bernoda, Jalan Imam Bonjol 172 Semarang, dan 4.Kongregasi Bruder Karitas, Jalan Mayjen. Soetoyo 9, Purwirejo Kedu. Dalam permohonanku, kuceritakan semua kejadian mengenai diriku. Lima belas tahun aku merasa hidup bersih , jauh dari rokok dan tidak pernah menyentuh minuman keras. Kuutarakan keinginanku untuk bisa berkecimpung dan Aku membaktikan sisa hidupku dalam agama. Namun, aku mendapat balasan surat dari ke-4 kongregasi tersebut yang mengatakan bahwa mareka tidak bisa menerima diriku. Aku menjadi sangat kecewa, jengkel dan penasaran. Tidak satupun, diantara 4 kongregasi itu yang mengacuhkan permohonanku. Hatiku menjerit penuh kekecewaan. Dengan perasaan yang hancur, aku mulai tak acuh dengan Katolik. Aku yakin benar, bahwa keputusan dan jawaban mareka adalah berdasarkan politik, bukan berdasarkan iman seseorang sebagaimana ajaran Yesus. Yang Maha Kuasa bisa melihat isi hati dan pikiran manusia. Sedang Pastor atau kongregasi

Riau Berdarah | 219

hanyalah manusia biasa, dengan kelebihan pengetahuan agama dari manusia awam, dan umumnya dipengaruhi oleh politik dunia. “Ahhh, peduli amat …..apa yang mau jadi, jadilah! Que sera, sera , kata orang Barat. Bukan salahku!” kataku dalam hati. Belakangan kuketahui, bahwa penolakan atas permohonanku itu adalah disebabkan oleh Undang-Undang Orba, yaitu Peraturan Menteri Dalam negeri Amir Machmud No. 32/1981 tentang bekas Tapol, dimana dikatakan antara lain bahwa bekas Tapol G30S tidak dibenarkan untuk menjadi pastor, pendeta dsb. Peraturan yang sangat diskriminatif dan tidak manusiawi! Bekerja di Singapore Dengan surat yang menyatakan bahwa aku bukan Warganegara Indonesia, dan Identity Card ( I.C.) berwarna merah yang menyatakan bahwa aku adalah penduduk tetap (permanent-resident) Malaysia, yang dikeluarkan oleh Pejabat Pendaftaran Kerajaan Malaysia tepat pada waktu yang dijanjikannya, aku mendatangi Pejabat Imigresen Malaysia. Dari fihak Imigrasi Malaysia, aku menerima sebuah dokumen yang setara dengan paspor yang bernama Surat Akuan atau Certificate of Identification (C.I.), sebagai pengganti surat keterangan bukan Warganegara Indonesia, yang sebelum kuserahkan, kubuat copy-nya Untuk simpananku. Surat Akuan ini membolehkan aku pergi ke Negara mana saja asal mendapat visa terlebih dahulu dari negara yang akan kukunjungi. Dokumen ini harus diperbarui setiap tahun, karena si pemegang adalah penduduk tetap, dan bukan warganegara Malaysia. Aku cukup merasa puas dengan hal ini. Akhir tahun 1979, setelah mendapat visa untuk “paspor”ku, dengan kereta api aku pergi ke Singapore. Begitupun temanku Roy. Di sini, di kota besar bertaraf internasional ini, kami mendapat pekerjaan pada suatu perusahaan pembangunan yang bernama Singapore Piling and Civil Engineering Pty Ltd. Aku bekerja sebagai tukang besi atau

bar bender, memotong, membengkok dan memasang tulang-tulang besi, slabs dan sebagainya untuk bangunan, sebelum dicor dengan semen atau concrete. . Selama bekerja di Singapore, banyak proyek yang kami telah laksanakan. Di antaranya membangun jembatan atau fly-over kembar di atas jalan raya menuju Changi Airport, fly-over di Clementi, di Toa Payoh, bangunan listrik di Senoko Sembawang, serta rumah-rumah bertingkat kepunyaan Housing Departmen Board of Singapore, dan gedung bertingkat di Martin Road dan Paya Lebar Road, dll. Tahun 1980, ketika aku ke Kuala Lumpur untuk memperbaharui pasporku di Pejabat Imigresen Malaysia, aku tergelincir. Disebabkan segala kekecewaanku, disebabkan segala kegagalanku dan kesiasiaanku yang kurasakan di dalam hidup ini, dan pergaulan sesama teman kerja, akhirnya aku jatuh. Pertahanan imanku jebol dan rusak. Aku mulai merokok dan lebih jauh lagi, aku mulai mendekati wanitawanita yang bisa dibayar untuk meredakan hasrat biologisku. Hidupku, terasa rusak dan hampa! Apa yang dapat kulakukan? Walaupun aku punya I/C (Identity Card), yaitu kartu merah tanda penduduk Malaysia, punya paspor atau Surat Akuan, namun setiap orang mengetahui bahwa kami adalah pendatang illegal dari Indonesia atau dalam bahasa Melayu disebut “pendatang haram”. Pernah, seorang temanku yang telah tinggal di Malaysia dan mempunyai “kad-merah” yaitu “kartu tanda penduduk” yang diperolehnya hampir 15 tahun yang lalu memajukan permohonan untuk menjadi warganegara Malaysia, agar bisa menjadi pemegang “kad-biru (kartu biru) seperti Melayu lainnya. Namun, permohonannya ini tidak diterima! Kad-biru, adalah kartu tanda penduduk untuk warganegara Malaysia, terutama suku Melayu! Kulihat seperti ada diskriminasi dalam hal ini. Namun, itu hak mereka, hak kerajaan Malaysia! Timbul firasatku bahwa dengan “diskriminasi” ini, suatu saat—lambat atau cepat— pasti timbul sesuatu yang tidak diingini oleh para “pendatang dan pekerja haram” atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “Tenaga Kerja Indonesia Bermasaalah” ini! Lagipula, Kerajaan Malaysia ini sangat cerdik! Dalam memberikan kartu penduduk warna merah kepada “pendatang haram” Indonesia, kartu tersebut diberi nomor mulai angka 8, untuk

Riau Berdarah | 221

bilangan juta. Jadi, dengan nomor kartuku 833xxxx, ini bermakna bahwa aku adalah pendatang haram nomor 33xxxx! Cerdik bukan? Tak ubahnya seperti pemerintah Indonesia yang memberikan kartu penduduk kepada bekas tapol. Ada kode tersembunyi yang menyatakan “ ex. tapol”! Benar-benar pintar tapi busuk! Sementara itu, ketika aku bekerja dalam pembuatan fly over di atas jalan yang menuju ke Changi Airport aku berkenalan dengan seorang wanita keturunan Jawa Melayu, yang menjadi penjaga kedai di tempat kerja kami itu. Suaminya bekerja pada kantor Nasional Service di Singapore. Dalam perkenalan dengan suaminya, kuketahui bahwa ia bernama Shamsuddin penduduk Batang Kali Selangor, Malaysia dan berasal dari Bangkinang di Sumatera. Ketika Singapore memisahkan diri dari Malaysia dan memproklamirkan kemerdekaannya, Shamsuddin beserta keluarganya adalah penduduk Melayu yang tinggal dan bekerja di Singapore. Jadi, praktis mereka menjadi warganegara Singapore, atau Singaporean. Karena keakraban di antara kami, maka atas permintaannya, aku tinggal di rumahnya, sebuah rumah kampung yang terletak di Jalan Wing Loong Changi, yang berjarak tidak sampai 2 kilometer dari Penjara Changi yang terkenal itu. Dia mempunyai 6 orang anak, yang terdiri dari 3 lelaki dan 3 perempuan. Seorang di antaranya, yang tertua, telah menikah dan menjadi warganegara Malaysia mengikut suaminya di Benut, di negeri bagian Johor. Persahabatan kami berjalan lancar dan baik hingga bertahun-tahun. Tahun 1982, aku menerima surat dari kampungku—Pekanbaru— dari adikku yang menceritakan bahwa ibu kami telah meninggal dunia. Membaca surat itu, aku tak dapat membendung air mata kesedihanku . Aku menangis!. Hatiku benar-benar hancur. Seorang yang sangat mencintaiku di dunia ini telah meninggalkan kami…. meninggalkan diriku! Berkunjung ke Pekanbaru

Ketika memperbaharui pasporku di Kuala Lumpur, di samping memohon visa untuk perjalanan pulang-pergi ke Singapore karena aku bekerja di Singapore, aku juga memohon visa kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia agar dapat ke Indonesia. Permohonanku ini kiranya dikabulkan. Aku mendapat visa untuk masuk ke Indonesia, ke Pekanbaru. Berdebar hatiku, penuh keraguan setelah mendapat visa untuk masuk Indonesia ini. Kalau aku berkunjung ke Pekanbaru, bagaimana? Apa yang akan terjadi? Kalau aku kesana, maka ini akan merupakan perjalanan “terang dan gelap” bagiku. Kukatakan “terang” karena aku mempunyai dokumen perjalanan atau paspor yang sah dan Visa masuk. “Gelap” karena nama dan identitasku dalam paspor itu adalah palsu, setidak-tidaknya tidak yang sebenarnya, karena aku menggunakan nama dan cara orang Melayu. Kurasa, apa yang bakal kulakukan ini adalah suatu pekerjaan yang sangat penuh dengan bahaya Bagimana kalau pihak pejabat di Pekanbaru tahu bahwa aku adalah eks. Tapol? Diriku penuh dengan debar dan was-was serta kekuatiran! “Ah, Vivere Pericoloso! kata hatiku. Mesti dicoba! Semoga Tuhan melindungiku.” Dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia dari Singapore, aku terbang ke Pekanbaru, yang jaraknya hanya sekitar 40 menit penerbangan. Pesawat dengan selamat mendarat di lapangan terbang Simpang Tiga. Dengan berdebar-debar kuserahkan pasporku kepada pejabat Imigrasi yang bertugas di pintu masuk lapangan terbang Simpang Tiga itu untuk pemeriksaan. Jantungku rasanya berdenyut sangat kuat sekali, ketika pejabat Immigrasi itu membolak-balik pasporku, melihat cap Visa negeri Malaysia, Singapore dan Indonesia, kemudian memberi stempel izin masuk ke Indonesia. Ohhhh….. aku bernapas lega…. ! Dadaku menjadi lapang! Dan tanpa kesulitan, aku berhasil sampai ke rumah orang tuaku di kota Pekanbaru. Semua sanak saudaraku dan famili menyambut dengan tangis dengan kehadiranku yang tiba-tiba ini, tanpa pemberitahuan sebelumnya, apalagi setelah kepergian ibu kami. Namun kukatakan pada mereka supaya jagan terlalu ribut, karena manatahu, pihak yang tidak senang dan mengetahui kehadiranku, mungkin akan melapor pada yang berwajib. Dan hal ini akan sangat membahayakan diriku. Mereka semua, sanak saudaraku,

Riau Berdarah | 223

memakluminya, mendengar dan mengikut apa yang kukatakan. Sore itu juga kami mengunjungi pusara di mana ibu di kebumikan . Aku benar-benar tak dapat membendung airmataku dengan kehilangan ini. Seorang ibu, yang paling kucintai dan mencintaiku, telah meninggalkan kami semua. Semoga Tuhan menerima segala amal perbuatannya. Amin. Aku ingat, bahwa aku tidak begitu lama di Pekanbaru. Ayah mengatakan bahwa Komandan Militer setempat pernah menanyakan tentang diriku, karena absen waktu pengecekan. Ayah cuma memberikan jawaban bahwa aku pergi ke Jawa mencari pekerjaan. Benar seperti apa yang kukatakan, bahwa kami “dibebaskan” namun buntut masih diikat. Masih “dichek” di mana berada! Selama aku berada di Pekanbaru ini, bersama ayah dan saudarasaudaraku, aku mengumpulkan segala dokumen dan surat keterangan tentang diriku. Mana yang rasanya akan berbahaya jika ada pemeriksaan pada duane atau militer di Simpang Tiga, kuminta ayah mengirimkannya kepadaku di Singapore. Ini termasuk surat “pembebasanku” dari kamp tahanan . Sedang dokumen yang rasanya tidak begitu berbahaya, kumasukkan kedalam koporku. Ketika aku mula meninggalkan Pekanbaru menuju Malaysia secara gelap pada tahun 1978, aku tidak membawa sepotong dokumenpun! Itu demi menjaga “keselamatan”ku jika tertangkap dsb! Dan kini aku memerlukan semua dokumen itu! Pada hari yang sudah kuatur, aku berangkat kembali ke Singapore. Pemeriksaan di pelabuhan tidak begitu ketat, karena akupun tidak punya banyak barang selain satu kopor kecil yang kujinjing. Namun, ketika petugas memeriksa kopor kecil dan pasporku, hatiku cukup berdebar-debar. Darahku terasa mengalir sangat kencang sekali. Aku menjadi tenang dan merasa aman, ketika sudah berada di dalam pesawat, dan pesawat Garuda yang kutumpangi telah tinggal landas meninggalkan lapangan terbang Simpang Tiga menuju kearah Singapore. Hatiku merasa terbebas……… Aku tahu, perjalananku pulang ke Pekanbaru ini adalah perjalanan yang sangat berbahaya sekali. Karena, jika fihak militer mengetahui, siapa aku, akan tamatlah riwayatku. Dan kalau aku tertangkap, maka kawan-kawan akan menuduh diriku bodoh! Namun, untunglah

namaku dalam paspor mengikut model nama Melayu Malaysia, dengan embel-embel “bin” yang berarti “anak lelaki dari…..”. Bukan namaku yang asli seperti yang tertulis di atas “surat perobahan status tahanan” yang kuterima. Syukur, kiranya Tuhan masih melindungiku! Sekembalinya aku ke Singapore, tiga orang majikanku, Ah Kiong, Ah Seng dan Ah Tai, yang sebelumnya hanya merupakan pengawas atau supervisor dari Singapore Piling and Civil Engineering Pty. Ltd., untuk segala pekerjaan reinforcement, mendirikan suatu perusahaan sub-kontraktor yang bernama Hup Sam. Ketiga orang “boss”ku ini adalah warganegara Malaysia yang tinggal di Johor Bahru, di bagian selatan semenanjung Malaysia. Sedang untuk memenuhi peraturan dan hukum Singapore, diangkatlah seorang warganegara Singapore, Mr. Tan sebagai Manager dari Sub-Kontraktor Hup Sam ini. Mendapat Kepercayaan Berdirinya perusahan Hup Sam pada tahun 1983 ini, membawa sedikit keberuntungan buatku. Ketiga “boss”ku yang adalah bangsa Cina ini, hanya dapat berbahasa Cina (aku tak tahu, dialek Mandarin ataukah Canton) dan bahasa Melayu. Tidak sepatah kata Inggrispun yang mereka ketahui. Pagi hari mereka dari Johor Bahru masuk ke Singapore, memeriksa segala sesuatu, mengawasi pelaksanaan pekerjaan pembangunan dan pemasangan reinforcement, kemudian kembali ke Malaysia pada sore harinya, setelah memberi pesan dan perintah kepada pekerja yang diangkat sebagai leading-man, akan apa yang harus dilakukan untuk esok pagi sebelum mereka datang. Kami para pekerja, umumnya tinggal di quarters atau bedeng (menurut lidah Melayu disebut: kotai) yang dibangun oleh majikan di area tempat kerja.Tempat tinggal yang seperti hostel ini dilengkapi dengan listrik, air, toilet dan kamar mandi yang semuanya gratis untuk para pekerja. Karena mereka tahu bahwa aku sedikit banyaknya mengerti bahasa Inggris dan pekerjaan administrasi, aku ditugaskan mengawasi dan membawahi suatu grup pekerja yang berjumlah sekitar 20 orang di sebuah project dan juga diberi kuasa untuk menanda tangani kartu harian para pekerja guna memperhitungkan gaji mereka. Dalam

Riau Berdarah | 225

bahasa mereka jabatan ini disebut taochu, atau leading hand dalam bahasa Inggrisnya. Di samping itu, untuk pekerja baru, mereka diharuskan menyerahkan paspornya kepadaku guna permohonan “permit kerja” kekantor Pemerintah Singapore. Dengan Paspor pekerja yang diserahkan kepadaku itu aku mengisi formulir permohonan permit kerja dalam bahasa Inggris, setelah di tanda tangani oleh manager, memberi cap perusahaan kontraktor yang senantiasa kusimpan dalam kantongku, kemudian membawa dan menyerahkan permohonan itu ke kantor Urusan Permit Kerja Singapore di Anson Road. Biasanya, seminggu setelah masuknya permohonan, perusahaan ( Hup Sam ) akan menerima balasan, dan si pemegang paspor akan mendapat “permit” untuk bekerja di Singapore. Dalam aku menangani pekerjaan pengurusan permohonan “permit kerja” ini, kulihat kerapian administrasi pemerintah Singapore. Setiap orang yang bekerja di Singapore, harus mempunyai permit kerja. Tak peduli darimana asalnya. Tak terkecuali penduduk atau warganegara Singapore sendiri. Dan nomor dari permit kerja ini akan mudah di kenal, karena menggunakan nomor Identity Card. Contohnya adalah diriku. I.C. Malaysiaku adalah 83319xx. Di Singapore, permit kerjaku adalah 3-83319xx. Angka 3 di depan adalah kode dari kantor permit kerja untuk jenis “block-work-permit” yang berlaku dan harus diperbarui setiap 6 bulan sekali. (Ini karena pasporku harus diperbarui setahun sekali, dan aku bukan warganegara manapun, hingga tak berhak mendapat permit kerja individual yang berlaku untuk 2 tahun) . Sedang untuk work permit perseorangan atau individual (warganegara Malaysia yang paspornya diperbarui 5 tahun sekali ) , menggunakan nomor code lain yaitu angka 2 sebelum nomor kartu penduduknya. Jadi, dengan cara ini, tidak akan bisa lari dari pajak, dan menutup kemungkinan akan adanya pekerja gelap. Benarbenar terorganisir! (Aku tak tahu untuk tingkat tinggi atau elite, yang disebut konglomerat!) Kendatipun aku mempunyai tugas atau jabatan yang demikian, aku tetap bersikap biasa. Aku tahu, bahwa jabatan ini tidaklah permanen. Kalau boss-ku merasa tidak puas, mereka dengan mudah mencari orang lain menggantikanku. Cukup banyak orang Cina yang pandai!

Andai aku tidak pergi ke kantor Work Permit, aku tetap bekerja keras bersama-sama teman-teman sekerja yang umumnya berasal dari Trengganu, Kelantan di Malaysia, dan dari Indonesia, bahkan pekerja dari Thailand yang “dikontrak” oleh induk perusahaan yaitu Singapore Piling and Civil Engineering Pty. Ltd. Dalam usiaku yang 45 tahun di saat itu, dengan perawakan badan yang kecil, bersama seorang teman lain aku masih dapat memikul sebatang besi untuk tiang jembatan yang beratnya tidak kurang dari 100 kilogram, panjang 12 meter dan diameter 32 milimeter. Walaupun aku berusaha untuk bekerja lebih baik dan lebih dekat dengan teman-teman sekerja, ada saja yang merasa tidak senang dan cemburu dengan sedikit “keberhasilanku”. Satu-satunya orang yang berusaha menjegalku adalah temanku sendiri yang sama-sama dari Pekanbaru, yaitu Roy. Dia ingin menjatuhkanku dengan mempengaruhi pekerja lain dan menyebar luaskan cerita bahwa aku adalah “Gestapu-PKI”. Bahkan, teman yang dapat dipengaruhinya itu—seorang anak muda berasal dari Bangkinang— mencorat-coret dinding belakang bedeng , menulis namaku dengan dibubuhi tulisan “Gestapu-PKI”. Perbuatannya ini kurasa sungguh sangat membahayakan keselamatan diriku. Karenanya, dengan seizin “boss”ku, kubatalkan permit kerjanya, sehingga waktu dia kembali ke Johor Bahru untuk week-end karena dia tinggal dengan seorang Melayu di Johor Bahru, pada pagi hari Senin-nya tidak dapat masuk ke Singapore lagi, karena pejabat Imigrasi di perbatasan melihat di komputer bahwa permitnya untuk masuk dan bekerja di Singapore sudah dibatalkan. “Apa boleh buat, itu kemauanmu, bukan salahku, maafkan aku!” kataku dalam hati. Roy merasa tidak puas. Dia bahkan mencoba mempengaruhi Cik Shamsuddin dan istrinya dengan mengarang cerita keburukanku. Namun, mereka tak mengacuhkannya. Belakangan kuketahui bahwa Roy adalah bekas anggota KAPPI/KAMI di Indonesia! Kunjungan kedua ke Pekanbaru Tahun 1984……

Riau Berdarah | 227

Melihat bahwa aku berhasil pulang-pergi ke Pekanbaru pada tahun 1982, cik Shansuddin yang masih mempunyai kakak di Bangkinang, yang berjarak 60 km dari Pekanbaru, meminta agar aku dapat membawanya untuk mengunjungi kakaknya yang masih berada di Bangkinang itu. Aku menjadi ragu, apakah permintaannya ini akan kupenuhi ataukah kutolak? Dia tidak tahu mengenai keadaanku sebenarnya. Aku tidak pernah menceritakan bahwa aku adalah Tapol, dan juga tidak pernah menceritakan bagaimana hukum dan peraturan di Indonesia. Aku yakin, kalau kutolak begitu saja permintaannya ini, atau kalau kuceritakan siapa aku sebenarnya, mungkin hal ini dapat merusak hubungan kami. Aku seperti berpijak di atas bara! Kupikir dan kutimbang buruk baiknya. Namun, kemudian, yah, secara terpaksa, aku menyanggupi permintaanya itu. Kupikir juga, keuntungannya, bahwa aku bisa bertemu lagi dengan ayah dan saudara-saudaraku. Aku berdoa, memohon supaya Tuhan melindungiku! Aku tak ingat akan hari dan bulannya di tahun 1984 itu, namun dengan pesawat Garuda Indonesia dari Singapore kami terbang selamat sampai ke lapangan terbang Simpang Tiga. Cik Shamsuddin berserta istrinya dan aku. Aku bersyukur karena ketika pemeriksaan paspor, semua berjalan dengan mulus dan baik. Dengan sebuah taxi, kami langsung ke rumah di mana ayah dan saudara-saudaraku semua tinggal. Mereka semua terkejut, namun gembira menyambut kedatangan kami. Dengan penuh haru dan tetesan air mata kupeluk ayahku. Dia sangat gembira dan terharu dalam pelukanku. Kuperkenalkan Cik Shamsuddin dan istrinya kepada ayah dan semua sanak keluargaku. Kami tinggal di tempat ayah, di rumah yang dibangun oleh adikku semenjak kepulanganku tahun 1982 yang lalu. Selama berada di Pekanbaru, kami mengunjungi kakak Cik Shamsuddin di Bangkinang. Pertemuan yang sangat mengharukan bagi mereka, setelah berpuluh tahun berpisah. Aku juga membawa Cik Shamsuddin dan istrinya meninjau keadaan kota Pekanbaru, bahkan kami juga sempat ke Padang dengan bus, di mana anakku Virgo dan kemenakanku juga turut bersama kami . Menjelang saat untuk kembali pulang ke Singapore, cik Shamsuddin dan istrinya memaksaku untuk

mengunjungi bekas istriku, sekaligus melihat anak-anakku. Aku menolak, namun dengan berbagai cara dan dalih mereka mendesak. “Tak elok, kalau anak-anakmu mengetahui, engkau datang tapi tak menjumpainya“ kata cik Shamsuddin padaku, Aku tahu, ini adalah kesalahanku. Aku tidak menceritakan kepada mereka, siapa aku, dan siapa istriku dan bagaimana “perceraian” kami. Semuanya tertutup bagi mereka, sehingga mereka menyangka bahwa perceraianku adalah perceraian biasa. Karena tidak mungkin bagiku menceritakan keadaan yang sesungguhnya pada saat itu, kuikuti saja kemauan mereka. Dengan senyum yang kupaksakan, kami mengunjungi rumah bekas istriku, rumah maktua istriku, Janaisah, yang telah dirobah menjadi sebuah “rumah mewah”. Dengan kecongkakan dan kebanggaannya, dia dan keluarganya menyambut kedatangan kami. Ema, bekas istriku, maktuanya Janaisah yang bekas tapol dan bekas pimpinan Gerwani/ DPRD Riau, tantenya Zainiar yang bekas guru, anakku Gemini serta adik tirinya, Budi yang masih kecil. Anakku Virgo tidak berada di rumah saat itu. Dan untung sekali si-informan yang menjadi suami Ema, juga tidak berada di rumah. Katanya, pergi ke Bukittinggi. “Mungkin mengunjungi istri pertamanya” kataku dalam hati. “Maklumlah, peraturan Islam membolehkan seorang lelaki beristri 4 kalau mampu dalam segala hal!” Kami tidak lama disitu, tidak banyak yang harus diceritakan, apalagi anakku Gemini yang pada saat itu berusia 19 tahun benar-benar tidak mau mendekat kepadaku, seolah-olah aku ini bukan ayah kandungnya! Aku mencintainya. Dia darah dagingku! Kini aku melihat hasil negatif dari brain-wash anak kandungku ini . Hatiku menangis, hancur dan remuk! Aku juga mendapat cerita bahwa Ema dan suaminya mendapat kedudukan yang tinggi, yang mereka sangat banggakan yaitu menjadi Kepala Rumah Tangga Gubernur Riau, yaitu Kolonel Subrantas yang pernah menjadi “pemegang sementara” kekuasaan Pemerintah Sipil dan Militer, di saat Brigjen. Kaharudin Nasution yang Gubernur Riau ke Jakarta menghadiri Rapat Gubernur seluruh Indonesia, di saat aku masih berada dalam tahanan, di mana teman-temanku setahanan, diambil malam hari dan hilang tak tentu rimbanya!

Riau Berdarah | 229

Aku sungguh tak habis pikir, betapa Ema yang pakciknya ikut dihilangkan, yang semua keluarga bahkan dirinya sendiri berfaham kiri sebelumnya, bisa melupakan hal ini semua? Manusia kaliber apa sebenarnya orang yang satu masa pernah menjadi istriku ini? Aku benar-benar tak tahu!Apakah dia hanya mengikut pepatah Minang, yang berbunyi: “Bia lah badan ba luluak, asa tanduak manganai!” (Biarlah badan berlumpur asal tanduk mengena!). Apakah begitu prinsip hidupnya? Ataukah, ibarat pohon cemara, kemana angin berembus kesitu pohon mesti condong? Apakah memang begitu? Aku tak tahu! Setelah kurang lebih seminggu di Pekanbaru, tibalah saatnya untuk kami kem-bali ke Singapore. Hatiku yang hancur berkepingkeping kubawa kembali kerantau orang. Derai air mata perpisahan melepas kami. Ayahku telah sangat tua, kakak dan adikadikku…….mungkinkah aku bisa berjumpa lagi dengan mereka? Sakit tenggorokanku menahan tangis yang hendak keluar. Kesedihan dan keharuan meliputi suasana. Anakku Virgo, kedua kemenakanku , adikku dan beberapa orang sanak saudara serta kawanku Lani yang pernah ditahan Orba bersamaku, mengantar kami ke lapangan terbang Simpang Tiga. Derai airmata perpisahan, melepas kepergian kami. Hatiku sedih, hancur dan remuk . Pesawat Garuda meninggalkan landasan lapangan terbang Simpang Tiga, meninggalkan semua kenangan, meninggalkan semua yang kucintai. Apakah aku akan bisa bertemu lagi kelak dengan mereka, sanak keluargaku? Tuhan, tolonglah, tabahkanlah hatiku. Apakah ini akan merupakan perpisahan terakhir antara aku dengan anakku Virgo dan Gemini? Dengan ayah dan saudara-saudariku? Dengan kawankawanku? Hanya Tuhan yang maha mengetahui! Kami sampai di lapangan terbang Changi di Singapore, setelah beberapa puluh menit pesawat Garuda yang membawa kami, meninggalkan Lapangan Simpang Tiga, Pekanbaru. Cik Shamsuddin dan istrinya sangat gembira dengan perjalanan ini, dan menyatakan terima kasihnya kepadaku. Sebaliknya, pada kesempatan yang baik, kuceritakan keadaan yang sebenarnya tentang diriku, tentang istriku dan perceraianku. Mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil

berkata “Mengapa kau tak menceritakan sebelumnya!” Aku hanya terseyum! Sudah berlalu! Tahun 1985. Saat itu aku bekerja dalam pembangunan fly-over di Toa Payoh. Aku masih memimpin grup pekerja reinforcement di samping juga masih melakukan tugas-tugas permohonan permit kerja untuk para pekerja baru. Kiranya bossku masih mempercayaiku dan menugaskanku untuk itu.Disebabkan, tempat kerjaku ini jauh dari route perjalanan pulang pergi Cik Shamsuddin, maka aku tidak lagi tinggal di rumahnya.Sewaktu aku tinggal di rumahnya, dan bekerja di Jalan Paya Lebar Geylang, biasanya aku selalu diboncengnya dengan sepeda motornya yang 750 CC, pagi dan sore Sekarang, dia telah mendapat rumah flat dari Pemerintah (Housing Development Board) di daerah Tampines, karena rumah kampungnya di Jalan Wing Loong Changi telah dibongkar oleh Pemerintah untuk pembangunan. Dan aku bekerja jauh dari route perjalanannya serta tinggal di barak yang dibangun oleh perusahaan untuk para pekerja bangunan di worksite di Toa Payoh. Karenanya, aku jarang bertemu dengan Cik Shamsuddin. Berita Duka Suatu hari, ketika aku baru saja selesai kerja dan menanda-tangani kartu kerja teman-temanku, kulihat dari jauh Cik Shamsuddin dengan sepeda motornya yang besar, datang dan berhenti di halaman bedeng tempatku. Aku segera menghampiri dan berjabat tangan dengannya. “Disini rupanya engkau bekerja……..” katanya sambil memparkir dan memutar kunci, menghentikan mesin sepeda motornya. “Ya, bang ……disini. Kami membangun jembatan ini “ kataku. “Patutlah….. saya keliling Singapore mencari di mana engkau bekerja. Tidak berjumpa. Karenanya saya pergi ke office Singapore Piling, dan mereka mengatakan bahwa engkau di sini….!” “Ya, bang,…..maafkan saya karena lama tak berkunjung ke rumah. Bagaimana kakak dan anak-anak, bang ?” aku bertanya dalam bahasa Minang. Walaupun dia Singaporean, Melayu, namun denganku dia selalu berbahasa Minangkabau.

Riau Berdarah | 231

“Oh, mereka baik semua!” ia memberi jawaban. Kubawa dia masuk ke kamarku dan kupersilahkan duduk di kursi yang ada di kamarku. Ya, aku mempunyai satu meja dan satu kursi dan sebuah mesin tulis untuk kerja administrasi yang kulaksanakan. Semua itu kepunyaan “boss”ku. Aku ingin memesan kopi atau teh di kantin India Yang ada di situ, namun dia menolaknya. Setelah kami duduk beberapa saat menenangkan suasana, ia mulai membuka suara.. “Saya menerima telegram untuk engkau. Karena tak dapat menemukan engkau, maka saya beranikan diri untuk membuka telegram itu, walaupun itu bukanlah hak saya” dia menjelaskan. Hatiku mulai berdebar, ada apa ? Apa yang terjadi ? Dengan sedih dan suara tertahan sambil menyerahkan telegram itu ke tanganku ia berkata: “Ayah telah berpulang………!” Aku terhenyak dan tubuhku menggeletar, mataku berkunangkunang dan kemudian menangis tersedu. Aku tidak dapat berkata selain mengucap “Ohh, Tuhan!” sambil memegang telegram . Tenggorokanku merasa sakit menahan sedu tangisku. Hilang sudah semua yang sangat kucintai. Ibuku,……….. kini ayahku….. Cik Shamsuddin berdiri dari kursi yang didudukinya dan memelukku, meletakkan kepalaku ke dadanya. Dia membiarkan diriku menangis tersedu di dadanya. “Sabarlah ……Sof……serahkanlah semua kepada Tuhan …..!” ia berkata lirih! Bermain dalam ingatanku, masa-masa indahku bersama ayah…….menonton bioskop, kerestoran Cina untuk makan bubur ayam kesukaannya, di tempat pekerjaan, dalam tahanan, bermain bersama Virgo anakku di hari ulang tahunnya yang pertama…..semua itu menari-nari dalam ingatanku…..”O, ayah…..” desisku dengan air mata berlinang. Sementara itu, atas prakarsa Cik Shamsuddin sekeluarga, pada akhir minggu, di tempatnya yang baru di Tampines, mereka mengadakan “malam tahlil” yaitu upacara Islam untuk mendoakan arwah ayahku. Sekitar 30 orang kaum kerabat dan teman Cik Shamsuddin serta Ulama Islam di Tampines, menghadiri malam doa

itu. Aku sungguh terharu akan prakarsa Cik Shamsuddin dan keluarganya ini. Kami semua berdoa semoga arwah ayahku diterima Tuhan Yang Maha Esa. Amin. Aku juga ikut berdoa di dalam hati, memohon langsung kepada Tuhan! Karena tiada lagi ayah dan ibu, sementara aku hidup di rantau orang, jauh dari sanak saudara, Cik Shamsuddin sekeluarga menganggapku sebagai bagian dari keluarganya. Kendatipun aku tidak tinggal lagi di rumahnya, namun, atas permintaanya, setiap akhir pekan aku “pulang” ke rumahnya. Semua anak-anak dan menantunya sangat baik padaku dan memanggilku pakcik. Persahabatan yang baik antara aku dan keluarganya ini, kiranya menimbulkan hasrat bagi Cik Shamsuddin untuk tetap bisa mengakui aku sebagai bagian dari keluarganya. Diam-diam dia menjodohkan diriku dengan seorang sanak keluarganya yang berada di Batang Kali Selangor Malaysia. Seorang gadis berwajah cantik berkulit putih kuning berusia sekitar tiga puluhan. Cukup muda dengan usiaku yang hampir 48 tahun pada waktu itu. Aku seolah-olah seperti kerbau dicucuk hidung, ketika pada awal 1986, Cik Shamsuddin dan istrinya membawaku ke Batang Kali Selangor, di mana aku oleh seorang ulama Islam dipertunangkan dengan si gadis. Aku tidak memberi suara apapun, mulutku seolaholah terkunci, bungkam seribu bahasa. Sampai kembali ke Singapore, aku tetap tidak bisa berkomentar. Aku tahu, gadis itu cantik, putih kuning, masih muda dan cukup berpendidikan, namun……ahhh, apa yang telah kuperbuat ini? Apa yang telah kulakukan? Kepalaku menjadi panas memikirkan keadaan ini. Aku dipertunangkan……..dan akan kawin di Malaysia? Ahhhh……Mengapa sampai begini? Apakah ini mungkin? Mengapa aku tidak bersuara pada saat itu? Semua pertanyaan ini bermain di kepalaku! Kemudian sedikit demi sedikit aku mulai sadar dan memikirkan serta mempertimbangan segala apa yang telah terjadi. Pikiranku mulai jalan dengan berbagai pertimbangan. 1.Kalau aku kawin di Malaysia, punya istri kemudian punya anak…

Riau Berdarah | 233

dan satu saat Kerajaan Malaysia mengusir atau mengembalikan semua “pendatang dan pekerja haram” ke Indonesia, bagaimana dengan anak istriku? 2, Situasi pekerjaan sekarang jauh menurun. Majikanku tidak banyak lagi mendapat kontrak kerja. Dan semua perusahaan besar meng”import” pekerja dari Thailand, Korea dan Taiwan. Bahkan juga pekerja dari Jepang dikontrak untuk bekerja di Singapore. Banyak perusahaan besar tidak begitu acuh lagi dengan pekerja dari Malaysia maupun Indonesia. Apakah ini merupakan politik pemerintah Singapore, aku tak tahu. Namun, kalau aku tak bekerja lagi, dengan apa kelak akan kuberi makan anak istriku? 3. Aku adalah seorang Islam yang menjadi Kristen. Kalau mereka tahu akan hal ini pasti sangat membahayakan diriku. Apakah aku harus “kembali” ke Islam hanya karena ingin kawin dengan wanita? 4. Teman-teman sekerja yang iri atas sedikit keberhasilanku, telah menyebarluaskan berita bahwa aku adalah ex. Tapol G30S/PKI. Hal ini sangat membahayakan diri dan kehidupanku di tanah Melayu. Bagaimana andaikata ada pejabat pemerintah Indonesia yang mengetahui dan menangkapku serta mengirimkanku kembali ke Indonesia? Apakah tidak mungkin aku akan “dilenyapkan” begitu saja di Selat Melaka? 5. Diatas semua itu, yang pokok adalah, aku bukan warganegara Malaysia! Bagaimanapun diusahakan tidak mungkin bisa diterima menjadi warganegara Malaysia karena kedatanganku yang illegal dan bukan kelahiran Malaysia. Kendatipun aku BUKAN lagi warganegara Indonesia, namun jika diperlukan untuk kembali ke Indonesia, dan menjadi penduduknya lagi, bukanlah merupakan hal yang sulit, karena bagaimana keluar, begitupun masuknya. Keluar secara gelap dengan mudah, juga bisa masuk kembali dengan mudah secara gelap. Namun, hal ke-“absen”anku beberapa lama dari Indonesia, dan tidak “melapor” begitu lama, mungkin menjadi tandatanya bagi Penguasa Militer.

Berhari-hari hal ini membebani kepala dan hatiku. Jalan mana yang harus kutempuh? Harus ada keputusan! Hal ini solah-olah seperti tergantung di awang-awang! Akhirnya, kuberanikan diriku. Aku mengambil keputusan! Kubatalkan pertunanganku! Kujelaskan kepada Cik Shamsuddin alasan-alasannya, tanpa menyinggung soal agama dan ex. Tapol. Kendatipun sangat berat bagi mereka sekeluarga, namun mereka menyadari kenyataan bahwa aku bukan warganegara Malaysia. Satu saat, Kerajaan Malaysia dengan mudah akan mengusir kami semua, setelah proyek pembangunan mereka selesai, seperti kata pepatah Melayu: “habis manis sepah dibuang” Apakah hal ini tidak mungkin terjadi ? Sesunggunya, mungkin saja! “Nah, kalau saya diusir pulang ke Indonesia, bagaimana dengan istri dan mungkin juga anak-anak saya?” aku memajukan pertanyaan ini kepada Cik Shamsuddin. Dia hanya diam termenung mendengarkan ucapan dan pertanyaanku ini. ( Ini pemikiran dan pendapatku pada tahun 1986. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 2004, ketika aku mulai menulis naskah ini, ternyata pemikiranku ini benar. Ratusan ribu pekerja gelap di Malaysia, dipaksa pulang. Dideportasi, dikembalikan ke Indonesia!) Sementara itu, saudaraku di Pekanbaru berhasil menjual tanah peninggalan orang tua kami seluas 2 hectar atau 5 jalur (acre), yang sebagiannya berlobang-lobang karena pembuatan batu bata sewaktu aku berada dalam tahanan. Tanah tersebut dibagi 5 antara kami bersaudara. Masing-masing mendapat 1 jalur. Begitu tanah terjual, bagianku yang 1 jalur seharga $15 ribu dollar Singapore, dikirimkannya kepadaku. Aku juga menerima surat dari saudaraku yang menceritakan beberapa soal saat meninggalnya ayah. Tentang pembayaran akhir dan ongkos pengebumian ayah, yang diterima dari Caltex, karena ayah adalah pensiunan Caltex selama 25 tahun , semenjak tahun 1960. Namun, yang lebih penting bagiku adalah pesan ayah sebelum meninggal, yang disampaikan kepada adikku, agar aku “jangan kembali ke Indonesia”, karena pihak militer tetap menanyakan kepada ayah, di mana aku berada”

Riau Berdarah | 235

Nah, kini aku mempunyai uang! Apa yang mesti kuperbuat? Teman-teman sekerja yang mengetahuinya menganjurkan agar aku membeli tanah di Malaysia dan membangun rumah untuk hari tuaku, atau membeli mobil untuk taxi. Namun aku hanya tersenyum dengan segala saran mereka. Pikiran dan pendapatku tetap sama seperti soal pertunangan dan kawin di Malaysia. Bagaimana kalau aku diusir oleh Kerajaan Malaysia dan semuanya –tanah atau rumah atau mobil— dirampas Kerajaan karena aku adalah “pendatang dan pekerja haram”? Lebih jauh lagi, kalau mereka tahu siapa aku sebenarnya dan dilaporkan kepada pejabat Indonesia, dikirim kembali ke Indonesia dan “dihilangkan” begitu saja, apa dayaku? Di dalam otakku hanya ada satu jalan untuk mengatasi segala ancaman petaka yang “kemungkinan” bisa terjadi atas diriku ini, yang disebabkan pengucilan oleh masyarakat bangsaku, karena cap di kening yang kusandang ke sana ke mari. Aku harus pergi ke suatu tempat atau negeri yang kiranya dapat menjadi pelindungku! Negeri di mana aku bisa hidup dengan aman dan tenteram. Negeri yang memberlakukan hukum kemanusiaan, human right, penghargaan atas sesama manusia! Kurasa, negeri yang mungkin dapat untuk menjadi “tempat berlindung di hari tua” bagiku, bukanlah Malaysia, bukan Singapore, bukan Thailand,tapi adalah Australia! Namun,bagaimana untuk bisa ke sana? Bukan hal yang mudah untuk masuk ke Australia! Ke Australia Kiranya, benar kata pepatah bahwa di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Dan Tuhan akan membukakan jalan, kalau kita meminta dan memohon kepadaNya, kehadiratNya. “Ketuklah pintu dan pintu akan dibukakan untukmu. Mintalah, dan engkau akan diberi” begitu kata alkitab yang kubaca. Sedangkan peribahasa Indonesia mengatakan “ada usaha, ada hasil!” Secara kebetulan,pada suatu hari, kami—aku dan seorang temanku sekerja yang juga berasal dari Sumatera Barat—berjumpa dengan seorang warganegara Australia di kedai nasi Minang di Arab Street Singapore. Warganegara Australia ini adalah putra Minangkabau Sumatera Barat yang belajar di Australia dan kemudian menjadi

warga negaranya. Perjumpaan ini sungguh sangat menggembirakan. Bertiga kami berbicara ke hilir dan ke hulu dengan menggunakan bahasa Minangkabau. Kami utarakan maksud kami untuk ke Australia, namun kami memerlukan seseorang sebagai alamat yang akan di tuju. Terjadilah perjanjian bahwa ia akan membantu dan menunggu kami di lapangan terbang Sydney. Diberikannya kartu nama, alamat serta nomor teleponnya agar mudah kami menghubunginya. Dalam perjalanan pulang ke barak kami, temanku mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk biaya, namun ia ingin ke Australia. “Akan kupinjami berapa yang diperlukan” kataku sambil tersenyum, karena bagiku sesungguhnya lebih baik aku “berteman” dalam perjalanan daripada sendirian. Selanjutnya, hal yang perlu kami persiapkan adalah memperbaharui Paspor dan mendapatkan Visa untuk ke Australia. Kami memajukan permohonan ke kantor Kedutaan, yang lebih dikenal sebagai Australian High Commission. Tuhan sesungguhnya menolong kami! Dari Australian High Commission di Singapore kami mendapat Visa untuk masuk dan tinggal di Australia selama satu bulan sebagai turis. “Apapun namanya, yang pokok bisa masuk Australia” kataku kepada temanku itu. Aku gembira. Terbayang di mataku akan “keselamatan” yang akan kuperoleh di bumi Kangguru. Semua telah kupersiapkan, segala dokumen-dokumenku dan sekedar pakaian sehari-hari. Begitu juga dengan temanku. Cik Shamsuddin dengan istri dan semua anak-anaknya mengantarkan kami ke lapangan terbang Changi. Sebelum berpisah, aku menyampaikan segenap rasa terima kasihku kepada keluarga Cik Shamsuddin, yang selama 6 tahun telah menganggapku sebagai keluarganya sendiri. Dengan mengucapkan “Selamat Tinggal”, kupeluk mereka satu persatu. Istri cik Shamsuddin yang kuanggap dan kupanggil “kakak”, tersedu ketika ia memeluk dan bersalaman denganku. Akupun tak dapat membendung keterharuanku dalam perpisahan ini. Sekitar jam 9 malam, pesawat Qantas yang kami tumpangi meninggalkan landasan Lapangan Terbang Internasional Changi menuju Australia. “Tuhan, selamatkanlah aku!” aku berdoa dalam

Riau Berdarah | 237

hati. Selamat tinggal Singapore, selamat tinggal Malaysia, selamat tinggal Indonesia…….Selamat tinggal teman-teman sesama pekerja gelap di Malaysia, Roy, Elidur, Edy dan Syurman Iman……Kini aku menuju tempat baru yang tak kuketahui akan bagaimana jadinya……… Esok harinya, 18 Juli 1986 sekitar jam 6 pagi waktu setempat, pesawat yang kami tumpangi mendarat di pelabuhan udara Sydney. Setelah melalui pemerik-saan yang teliti, barang-barang dan paspor kami, kami diperbolehkan keluar Airport, masuk dan menginjak bumi Sydney, Australia. Aku masih ingat ketika itu, seorang pejabat Immigrasi menanyakan, mengapa aku mempunyai kertas-kertas dokumen yang sangat banyak. Dengan senyum kujawab bahwa aku baru saja diceraikan oleh istriku dan keluar dari rumahnya. Inilah barang yang sangat penting dan berharga bagiku, yang harus kubawa kemana aku pergi. Dia tersenyum mendengar jawabanku. Untung saja keadaan pemeriksaan waktu itu tidak begitu ketat. Jadi kami dapat masuk Australia tanpa mengalami kesulitan. Di luar airport, telah menunggu teman yang warga Australia. Kami berjumpa dan bersalaman penuh kegembiraan dalam keadaan tubuh yang menggigil kedinginan karena saat itu adalah masa Winter, musim dingin! Huhhhh……. Dia langsung membawa kami dengan mobil Mazda 626-nya ke rumah sewanya di Cronulla, suatu kota di selatan Sydney. Teman kami ini adalah pegawai pada Kantor Pemerintah Australia, dan masih bujangan. Pada saat luangnya atau malam hari, ia menjadi sopir taxi. Lumayan juga pendapatannya. Untuk satu dan lain hal, baiklah aku tidak menyebutkan nama teman ini, dan juga temanku sekerja di Singapore yang bersamaku ke Australia. Di sini, dan juga di kota besar Sydney dan sekitarnya, ternyata banyak orang-orang yang sama warna kulitnya dengan kami. Bahkan yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat juga cukup banyak. Menurut teman kami itu, bukan saja “urang awak”, Minangkabau, namun juga “sibule” dari Eropah berjubel datang ke Australia dan tinggal melewati batas waktu izin tinggal, terutama sekali orang-

rang Inggris sendiri! Aku mulai menelusuri iklan di surat kabar lokal tentang lowongan pekerjaan. Kudapatkan sebuah perusahaan foundry yang memerlukan seorang tenaga kerja. Aku melamar dan ternyata diterima. Perusahan ini tidaklah besar, dan dapat dikatakan sebagai perusahaan keluarga. Manager adalah pemilik perusahaan, kepala kerja adalah anaknya laki-laki dan kerani kantornya adalah anaknya perempuan. Jumlah pekerja semuanya cuma 7 orang, termasuk aku. Perusahaan foundry ini terletak di suatu kota kecil yang terletak dijalur jalan kereta api listrik menuju ke Sydney, dan bernama Kirawee. Jadi, untuk pergi dan pulang kerja harus menggunakan kereta api listrik ini yang berganti setiap 15 menit. Tidak perlu merasa kuatir akan transport. Di sini, aku merasa heran, karena untuk mendapatkan pekerjaan, tidak diperlukan paspor atau surat keterangan apapun. Juga untuk pajak, di mana setiap minggunya gaji dipotong dan dikirim oleh kantor perusahaan ke kantor pajak. Tidak memerlukan paspor atau identity card. Semua yang membayar pajak, dianggap “penduduk” oleh Kantor Pajak. Sungguh berbeda jauh dengan Singapore yang begitu ketat. Aku bekerja di sini dari jam 7 pagi hingga 3.30 sore dengan waktu istirahat makan siang selama ½ jam. Temanku yang sama denganku dari Singapore, mendapat pekerjaan di Caringbah, suatu kota tidak jauh dari tempat tinggal kami, di sebuah perusahaan pembuatan besi untuk tulang bangunan. Kontak dengan Saksi Yehuwa Sementara itu, ketika aku berada di rumah sendirian, dua orang wanita mengetuk pintu depan rumah. Bermula, aku ragu-ragu untuk membuka pintu karena aku baru di Australia dan illegal. Akan tetapi karena yang mengetuk pintu, kulihat dari kaca jendela, adalah wanita, bukan polisi atau seseorang yang berpakaian dinas jabatan, maka kubukakan pintu untuk mereka. Mereka mengenalkan namanya masing-masing. Seorang bernama Jeanet Ferrante, dan yang seorang lagi aku tak ingat namanya. Mereka mengaku sebagai Pengabar Injil, Saksi Yehuwa. Mereka datang mengabar, mengunjungi setiap orang

Riau Berdarah | 239

dari rumah ke rumah guna memberitakan ajaran Yesus Kristus. Aku tidak fasih berbahasa Inggris, jadi susah untuk menanggapi pembicaraan mereka. Namun ketika mereka menanyakan kebangsaanku, dan kujawab “Indonesia”, mereka memahaminya. Dan setelah meninggalkan sebuah majalah berbahasa Inggris untukku, mereka pergi. Aku ingat, saat itu adalah bulan Oktober tahun 1986, sekitar 3 bulan sejak kedatanganku ke Australia. Beberapa hari kemudian, Jeanet Ferrante yang mengaku berasal dari Perancis yang suaminya Carlo Ferrante berasal dari Italia, datang lagi bersama seorang wanita agak baya—kalau tak boleh kukatakan agak tua—yang bernama Manjo. Dia sedikit-sedikit dapat berbahasa Indonesia, karena rupanya dia adalah seorang wanita Belanda yang pernah tinggal di Indonesia. Mereka berdua mengundangku untuk datang ke perhimpunan grup Indonesia Saksi Yehuwa. Aku menolak, karena aku belum tahu seluk beluk Australia, juga mengingat keadaanku yang illegal, lagipula aku tak punya kenderaan. Mereka mengatakan bahwa mereka akan menjemputku kemari. Akhirnya, aku menganggukkan kepala menerima undangan mereka. Minggu pagi, Manjo beserta anaknya Richard yang dipanggil Ricky dan istrinya Roslyn, disertai juga oleh ketiga anak-anak gadisnya, datang dengan mobil Van menjemputku. Aku diperkenalkan dengan mereka semua. Isi mobil itu menjadi pas-pas-an 7 orang termasuk diriku. Mereka membawaku ke sebuah gedung yang mereka namakan Balai Pertemuan Kerajaan atau Kingdom Hall. Di situ diadakan pertemuan yang membicarakan soal agama Kristen dalam bahasa Indonesia. Pimpinanannya adalah Bert Maltby dan Len Davies yang keduanya adalah warga Australia yang masing-masing pernah berdinas 35 tahun di Indonesia sebagai misionaris. Mereka fasih berbahasa Indonesia. Banyak teman-teman bangsa Indonesia dari kota-kota di sekitar Sydney juga datang ke pertemuan itu. Kiranya, kedua temanku serumah, merasa tidak senang dengan terjalinnya kontak antara aku dengan Saksi Yehuwa ini. Mereka mencari dalih agar aku keluar dan mencari tempat lain. Mereka mengancam diriku, kalau tidak aku, mereka yang akan keluar dan pindah. Pada waktu itu, aku sungguh tak tahu pasti apa jang menjadi

dasar dan alasan mereka tidak menyukaiku. Apakah karena aku mengadakan kontak dengan Saksi Yehuwa, ataukah berkemungkinan temanku menceritakan bahwa aku adalah bekas tahanan G30S yang diketahuinya dari Roy, karena dia juga adalah sahabat dan dekat dengan Roy. Atau mungkin pula karena mereka sama-sama satu suku (Minangkabau) sedang aku adalah dari suku Jawa? Bagiku sendiri, suku bangsa tidak menjadi soal, namun bagaimana dengan mereka? Belakangan kuketahui bahwa benarlah ketiga dasar dugaanku itu. Memang sesungguhnya seperti apa yang pernah kualami jauh sebelumnya, bahwa andai 3 orang bersahabat, maka yang dua orang akan bermain di belakang untuk mengucilkan yang seorang lagi. Ada saja persoalan yang dijadikan dasar. Aku cukup banyak pengalaman tentang ini. Aku keluar rumah seperti yang mereka kehendaki. Biarlah mereka dua orang membayar sewa rumah yang 3 kamar itu! Peduli amat . Pokoknya, aku telah berada di Australia. Aku mesti bisa berdiri diatas kaki sendiri! Aku mendapat dan menyewa flat satu kamar, tidak jauh dari stasiun kereta api tempat aku pergi kerja. Aku mulai hidup sendiri! Peduli amat dengan mereka! Bukan salahku! Lagipula, dengan statusku yang bekas Tapol Orba, kurasa memang sangat berbahaya bersahabat dengan mereka, yang menelan bulatbulat ajaran dan kampanye Rezim Militer Orde Baru! Mereka menjadi phobi, ketakutan dan tak mau melihat dan mencari kebenaran! Mereka hanya membebek mengikuti suara Orba. Sementara itu, karena keadaanku yang cuma sendirian, dan merasa asing, kesepian serta tiada berteman, Manjo dan anaknya Ricky berserta keluarganya, menjadi bebas untuk mengundang dan membawaku untuk datang mengikuti pertemuan keagamaan di Jalan Cedar di Cronulla pada setiap hari Minggu. Kemudian selepas upacara keagamaan, bersama-sama teman mereka menghabiskan waktu sore di rumah Ricky dan Roslyn di Caringbah. Karena tidak mau tinggal dalam keseoreangan dan kesunyian, aku senantiasa memenuhi undangan mereka itu. Persahabatan kami ini berjalan kian lama kian baik, sehingga aku tak segan-segan lagi membaca dan mempelajari Al Kitab dari Ricky, yang di samping sebagai anggota pengetua

Riau Berdarah | 241

kongregasi, juga pemilik dan pemimpin sebuah perusahaan alat-alat rumah sakit. Keluarga mereka menjadi sangat baik denganku, terutama kedua anak gadisnya—Anne dan Leah— yang pada saat itu masing-masing berumur di bawah 10 tahun. Kuanggap mereka seperti anakku Virgo dan Gemini . Sedang anak sulung mereka Kylie, sudah menjadi gadis remaja yang sangat cantik. Sejak aku bergaul dengan pengikut Yehuwa ini, aku berhenti merokok dan berhenti melakukan hal-hal yang merupakan larangan menurut alkitab dan ajaran Kristen. Hidupku kini tidak sama seperti hidup beberapa tahun yang lalu, semasa aku berada di Singapore. Dan persahabatanku dengan Ricky dan istrinya Roslyn serta keluarganya kian hari kian bertambah baik. Mereka sering membawaku serta kemana mereka pergi. Kekebun binatang, ke Katumba, Blue Mountain bahkan ke Restoran. Lama kelamaan, mereka seolah-olah seperti keluargaku sendiri, sedang ibunya, Manjo kuanggap sebagai ibuku sendiri. Aku seperti mendapat keluarga di Australia karena kehadiran mereka dalam hidupku. Aku tidak lagi merasa kesepian, dan tidak peduli akan kedua teman sebangsa yang mengusirku! Setelah beberapa lama aku bergaul dengan keluarga Ricky, aku mengetahui bahwa ayah Ricky, yang bernama George hidup di sebuah kota di bagian Utara Queenslands. Dia hidup dan tinggal seorang diri di rumah miliknya. Dia sudah sangat tua, lahir pada tahun 1893. Pernah ditawan Jepang dalam perang dunia ke-2 dan dibawa ke penjara Changi di Singapore dan kemudian dibawa oleh Jepang ke Hiroshima sebagai tawanan perang. Dia selamat dan dapat kembali ke Indonesia. Suatu saat, aku berjumpa dengan George di rumah Ricky di Caringbah, ketika Ricky dan Roslyn merayakan hari ulang tahun perkawinan mereka. George datang dari Innisfail di Queensland untuk ikut dalam perayaan peringatan keluarga ini. Hanya mereka sekeluarga yang merayakan hari ulang tahun itu, dengan hanya mengadakan makan malam di rumah. Satu-satunya orang luar yang diundang hanyalah aku dan seorang wanita teman dekat Roslyn yaitu

Betty! Aku benar-benar merasa mendapat kehormatan yang besar sekali pada saat itu,benar-benar dianggap sebagai manusia yang berharga! (O, ya satu hal yang sangat perlu kusampaikan adalah: untuk menjaga identitas keluarga mereka, maka aku tidak menuliskan nama keluarga atau surname mereka. Semoga hal ini dapat dimaklumi) Beberapa bulan kemudian, ketika aku mendapat cuti Natal pada akhir tahun 1987 dari pekerjaanku, aku terbang ke Innisfail di Queensland mengunjungi George, ayah Ricky. Aku mendapat cerita bahwa dia bercerai dari Manjo, ibu Ricky, karena begitu kembali dari tawanan perang dunia ke-2, dia kawin dengan wanita lain. Namun, istrinya yang terakhir meninggal dunia di Innisfail, dengan meninggalkan seorang anak perempuan yang juga tinggal di Innisfail namun tidak serumah dengan George, ayahnya. Penerbangan dari Sydney ke Cairns—kota besar di utara Queensland—memakan waktu 3 jam. Pesawat yang kutumpangi selamat mendarat di lapangan terbang di mana telah menunggu di luar airport. George beserta seorang teman-nya, Dolf Mark yang juga seorang Belanda. Mereka menyambutku dengan gembira, dan dengan mobilnya, kami meninggalkan Cairns airport. Sempat kami berkeliling sejenak dengan mobil menyaksikan besar dan indahnya kota Cairns, kemudian ke luar kota menuju ke selatan ke Innisfail. Sepanjang perjalanan, kulihat menghijau ladang-ladang tebu, yang semula,dari pesawat udara, kukira adalah ladang padi. Aku lupa bahwa bule tidak makan nasi, untuk apa mereka menanam padi. Di samping itu kulihat juga ladang-ladang pisang dan papaya yang sangat luas. Kiranya, daerah utara ini adalah daerah perkebunan ketiga jenis tanaman itu. Kurang lebih satu jam perjalanan, sampailah kami ke kota Innisfail, suatu kota di selatan Cairns, yang tidak begitu besar, berpenduduk kira-kira di bawah 20 ribu orang, yang kebanyakan adalah para pekebun tebu,pisang dan papaya di samping para pedagang dan nelayan. Kami sampai ke rumah George yang terletak di Rowney Street. Kiranya, memang dia tinggal sendirian. Karena dia sudah sangat tua—usianya 94 tahun ketika itu—maka teman-

Riau Berdarah | 243

temannya sesama Saksi Yehuwa, berganti-ganti memberikan bantuan layanan untuknya. Tidak lama aku berada di rumah George dan di daerah Utara Queensland ini, namun aku dapat merasakan perbedaan cuaca dibandingkan dengan Sydney yang terlalu dingin buatku. Apalagi, di saat musim dingin di mana hujan dan angin kencang dengan udara bersuhu di bawah nol, dan aku harus pergi kerja di pagi subuh. Ah, kurasa Sydney bukanlah tempatku. Aku melihat, bahwa di utara Queensland ini, keadaan cuacanya tidak terlalu jauh bedanya dibandingkan dengan cuaca Bukittinggi di Indonesia, karena masih berada di daerah tropis. Hutan yang menghijau, sungai-sungai yang sebagian dialiri dengan air yang sangat jernih, ah…, aku jadi berpikir melihat keadaan cuaca yang begini. Nampaknya, musim di sini hampir sama dengan musim di Indonesia, yaitu musim panas dan hujan. Kendatipun ada musim dingin, namun tidak seperti di selatan, yang sampai mencapai beberapa derajat di bawah nol. Kurang lebih seminggu aku berada di utara Queensland ini kemudian kembali ke Sydney. Masih dalam masa liburan akhir tahun 1987. Kuhabiskan masa liburku di Sydney, kadang-kadang bersama keluarga Ricky, dan kadang-kadang aku hanya duduk di pantai berbatu di Cronulla sambil memancing dan membaca buku. Sementara itu, di dalam keluarga Ricky, timbul suatu hal yang kurasa sangat aneh, atau kalau tak boleh dikatakan lucu. Mereka menerima surat dari George di Innisfail, yang menyatakan bahwa ia ingin kawin kembali dalam masa tuanya ini. “Umur 95 tahun ingin kawin lagi? Apa yang bisa diperbuatnya?” aku berpikir dalam hati. Kalau dipikir sepintas lalu, memang sangat menggelikan! Namun, sebaliknya, jika dipikir lebih dalam, dia adalah seorang pensiunan bekas tawanan perang, dan mendapat santunan 3000 dollar Australia setiap bulannya dari Negeri Belanda. Dengan uang pensiun itu, ia hidup sendiri di rumahnya dalam kesepian. Apakah salah kalau ia mengatakan ingin kawin agar bisa mempunyai teman yang bisa merawatnya di rumahnya yang besar itu? Berhari-hari hal ini menjadi pembicaraan keluarga Ricky. Namun, tiada keputusan yang bisa diambil. Setuju ataukah tidak? Pendapat mereka, hal ini adalah

sesuatu yang menggelikan dan tidak masuk akal! Tetapi bagaimana mengatasinya? Apa jalan keluarnya? George meminta supaya Majo, bekas istrinya, ibu Ricky, mau kembali kepadanya.Namun karena George pernah menyia-nyiakannya, Manyo menolak. Aku, yang melihat bahwa situasi ini tidak bisa sampai ketitik penentuan, merasa terpanggil untuk ikut melibatkan diri. Kukatakan, bahwa “pap”atau “opa”— panggilan untuk George, ayah Ricky— ingin kawin, menurut pendapatku, keinginannya ini bukanlah karena desakan biologis, namun karena kesepian dalam rumah yang besar, hanya seorang diri. Istrinya sudah meninggal, dan anaknya perempuan tinggal di rumah lain, bukannya merawat ayahnya. Jadi, George hidup dalam kesunyian dan kesepian setiap saat, kecuali teman-teman sesama Saksi Yehuwa, yang datang membantu dan menjemputnya untuk ke Balai Pertemuan. “Dalam hal ini”, kataku, pada suatu hari kepada keluarga Ricky, “karena segala kebaikan budi Ricky sekeluarga terhadapku selama hampir 2 tahun, menganggapku sebagai keluarga sendiri, dan keadaanku yang tidak punya istri dan tidak punya anak disini, maka aku bersedia untuk pergi ke Innisfail untuk menjadi teman buat opa”. Ricky tidak setuju dengan apa yang kusarankan ini. Dikatakannya bahwa hal itu akan berarti suatu “pengorbanan yang sangat besar” , karena artinya aku harus mengorbankan, melepaskan pekerjaanku dan pindah ke Innisfail. ”Lantas, bagaimana? Jalan apa yang akan ditempuh?”aku bertanya. Lama sekali persoalan ini dalam kebuntuan. Memang tiada jalan lain. Setuju dengan saranku, atau membiarkan George yang berusia 95 tahun kawin lagi. Sebenarnya, bagiku sendiri tidak menjadi soal, dia mau kawin atau tidak, bukan urusanku, aku tidak ada kepentingan apapun. Namun, karena ini merupakan beban pemikiran buat Ricky—anaknya—yang adalah temanku, sahabatku dan sekaligus “guru”ku, aku merasa terpangggil untuk membantunya. Setelah melalui segala “pertimbangan” akhirnya keluarga Ricky menyetujui saranku, untuk menjadi teman George di Innisfail. Ternyata, George juga menyetujui “keputusan” yang kami ambil ini. Pindah ke North Queensland

Riau Berdarah | 245

Akhir Mei 1988, setelah mengikuti sidang Grup Indonesia dari Saksi Yehuwa di Sydney untuk penghabisan kali, aku terbang meninggalkan Sydney menuju ke Cairns dengan dilepas oleh keluarga Ricky berserta ibunya—Manjo—dan beberapa orang teman lainnya dari lapangan udara. Aku sampai di Cairns dengan selamat. George dan temannya Dolf Mark telah menunggu di luar airport.Mereka gembira menyambut kedatanganku. Setelah sekedar berkeliling melihat kota Cairns, selanjutnya kami menuju Innisfail.Hari itu adalah 30 Mei 1988. Sejak saat itu, aku tinggal di rumah George di Innisfail, merawat , menjaga dan menjadi temannya. . Kulakukan semua ini, demi Ricky sebagai membalas segala kebaikan dan budinya selama aku berada di Sydney. Aku mulai mengenal keadaan Innisfail yang sekitarnya penuh dengan perkebunan tebu, pisang dan pepaya. Aku juga menggabungkan diri dalam kongregasi Saksi Yehuwa di Innisfail. Semua anggota Kongregasi sangat baik terhadapku, mengetahui dan sangat menghargai pengorbanan yang kuberikan. Untuk bisa pergi ke mana-mana tanpa minta tolong orang lain, lagi pula aku masih mempunyai sedikit uang dari Singapore, maka aku membeli sebuah mobil bekas, Ford Cortina berusia 10 tahun dengan harga tiga ribu dollar.Dengan mobil ini aku bisa membawa George ke pertemuan, ke rumahsakit bahkan mengunjungi teman-temannya. Dia merasa senang, dan aku sendiri merasa puas, karena dapat “membayar hutang” kepada Ricky. Beberapa bulan lamanya aku di rumah George, merawat, menjaga dan membawanya ke mana saja, seolah-olah diriku adalah benar-benar pembantunya. Masuk kedalam Lukah Sementara itu, pemerintah Australia dengan Perdana Menterinya Bob Hawke, dalam menyambut Hari Australia pada Februari 1989, memberikan siaran dan saran ke seluruh negeri agar para penduduknya mendaftar menjadi warganegara. Aku tertarik akan siaran Perdana Menteri ini. “Siapapun yang mendaftar untuk menjadi warganegara Australia, pemerintah akan

menerimanya” Aku terbuai dengan indahnya ajakan pemerintah itu. Aku seolah-olah terpukau dengan ajakan ini, lupa bahwa aku adalah illegal. Waktu itu, sungguh tidak terpikirkan samasekali olehku bahwa aku tidak terdaftar sebagai penduduk, walaupun a pernah membayar pajak dan kantor pajak menganggap siapa saja yang membayar pajak adalah dianggap penduduk. Aku menduga bahwa “ajakan pemerintah” itu seolah-olah seperti suatu amnesti untuk orang-orang yang tinggal di Australia. Keadaanku sama seperti tiga tahun yang lalu, ketika aku dibawa ke Batangkali di Selangor Malaysia dan dipertunangkan dengan seorang gadis! Aku tidak ingat apa-apa! Menjelang Hari Australia 1989 dengan di temani oleh seorang pengetua Kongregasi Saksi Yehuwa di Innisfail, saudara Stephen Moody , kami mendatangi kantor wakil pemerintah di Innisfail, yaitu anggota Parlemen Bill Eaton, memajukan permohonan untuk menjadi warganegara Australia. Oleh secretarisnya, aku diperintahkan untuk mendaftar di kantor Immigrasi di Cairns. Sebagaimana yang dianjurkannya, bersama Stephen Moody, aku datang ke kantor Immigrasi di Cairns memajukan permohonan untuk menjadi warga negara Australia. Di sini, mulailah timbul segala persoalan diriku! Aku jatuh ke tempat yang orang Australia mengatakan “deep-shit”. Tidak bisa bergerak lagi. Pihak Immigrasi menyatakan bahwa aku adalah illegal immigrant. Tinggal melewati batas waktu yang diberikan!. Over stayed in Australia! Sdr. Stephen Moody baru tahu bahwa aku adalah illegal, ketika Immigrasi mempersiapkan “yellow-paper” untuk mendeportasi diriku. Aku menjadi sadar dari “tidurku” bahwa aku adalah memang illegal immigrant, tinggal di Australia melewati batas waktu visa bahkan bekerja secara illegal. Aku benar-benar tak bisa mengelak. Apa yang mesti kuperbuat? Aku tak mau dideportasi. Kumajukan permohonan kepada Pemerintah Australia berdasarkan “kemanusiaan” agar aku bisa tetap tinggal di Australia. Namun,.pihak Immigrasi yang menangani persoalanku dan membuat serta menanda tangani “yellow-paper”yaitu Mr. Fred Van Wijk, tetap dengan keputusannya untuk mendeportasikan diriku. Timbul sedikit tanya jawab mengenai deportasi ini.

Riau Berdarah | 247

“Kemana saya mau di kembalikan?” aku bertanya dengan bahasa Inggrisku yang patah-patah. “Ke Malaysia, darimana kamu datang“ kata officer Imigrasi itu.. “Malaysia tidak akan menerima saya, karena “paspor”saya sudah 4 tahun expired dan saya bukan warganegara Malaysia. Pemerintah Malaysia tidak mau bertanggung jawab. Ini tercantum dalam halaman terakhir paspor saya itu”, aku memberi jawaban. Sambil melihat dan membaca keterangan di halaman belakang paspor itu, ia berkata “Kalau begitu, ke Indonesia, di mana kamu lahir…..!” “Saya bukan warganegara Indonesia….” kataku sambil memperlihatkan surat yang ditanda tangani oleh Bintaryo Atase immigrasi Kedubes Indonesia di Kuala Lumpur Malaysia“Saya stateless, tidak punya negara” aku menambahkan. Dia terdiam dengan jawabanku itu. Kurasa dia juga kewalahan dengan situasiku ini. Kemana aku akan dideportasi? Namun, dia tetap berpegang dengan peraturan untuk mendeportasikan diriku. Aku merasa beruntung, karena sementara menanti penyelesaian prosesku ini, aku tidak ditahan di penjara, atau di rumah tahanan Imigrasi, karena aku mempunyai alamat dan tugas kemanusiaan tanpa bayaran, tanpa honorarium, yaitu merawat George, seorang warga Australia, bekas tawanan Perang Dunia ke-II. Aku menunggu hasil proses “surat-kuning deportasi “ itu. Kendatipun, hatiku penuh kekuatiran menghadapi hal ini, namun aku tetap yakin dan percaya bahwa hal ini pasti merupakan campur tangan Yang Maha Kuasa dalam mengatur hidupku. Karena, aku tahu, aku sadar bahwa aku illegal, namun mengapa aku seolah-olah terhipnotis dan datang menyerahkan leherku kepada Imigrasi? Aku yakin sepenuhnya, Tuhan pasti akan menolongku! Sementara itu, George sangat marah kepadaku, karena aku tidak memberi tahukannya tentang “usaha”ku untuk mendapatkan kewarganegaraan Australia. Barangkali ia menghendaki agar aku tetap illegal, jadi ia tetap bisa “berkuasa” atas diriku, yang dianggap hanya sebagai pembantu rumah tangganya, tanpa gaji. Hanya mendapat makan dan tempat tinggal sebagai bayarannya!

Karena situasiku tidak bekerja, tidak mendapat gaji, hanya sebagai perawat sukarela bagi seorang bekas “POW” ( Prisoner of War , Tawanan Perang ) yang telah berusia 96 tahun, maka menurut hukum Australia, aku berhak mendapatkan bantuan hukum, “legal-aid”, secara gratis. Aku mendapat seorang pengacara ahli hukum dari “Johnson & Johnson Company” di Cairns, yang akan menangani persoalan Imigrasi bagiku. Di samping itu, mengenai persoalanku, guna menolak “surat kuning”, surat deportasi itu, dan untuk menjadikan bahan pertimbangan tentang diriku, aku menulis kepada Department Immigrasi, menceritakan perihal hidupku sekaligus memohon agar aku dapat diperbolehkan untuk tinggal menetap di Australia berdasarkan kemanusiaan. Sdr Stephen Moody, yang kemudian mengetahui keadaanku yang sebenarnya, masih mau membantuku dengan mengoreksi penulisan permohonanku dalam bahasa Inggris. Pengacaraku, Mr. Andrew Goodman juga memajukan permohonan kepada pihak Imigrasi berdasarkan hukum kemanusiaan (humanitarian) agar aku dibenarkan tinggal di Australia. Alasan kuatnya, walaupun aku illegal, namun aku bukannya ditangkap atau diciduk Imigrasi, namun secara sukarela “melapor diri”, memohon kepada Imigrasi. Dengan hati gelisah, aku menunggu hasil usaha pengacaraku ini. Sementara itu “surat kuning” deportasi yang terpaksa kutanda tangani pada tanggal 2/2/89, ditangguhkan pelaksanaannya, menanti hasil rumusan Department Imigrasi atas permohonan pengacaraku. Juga, Migrant Resource Sub-Centre Cairns, di bawah sub-coordinatornya Wendy Lilja, memberikan bantuan, dengan memajukan permohonan buatku untuk mendapatkan status permanent residen atas dasar “Compassionate and Humanitarian Ground”, dan juga memberikan bantuan dalam penterjemahan ke dalam bahasa Inggris semua dokumen-dokumen yang kupunyai. Di samping itu juga, para pengetua Kongregasi Saksi Yehuwa di Innisfail dan Cronulla Sydney, memberikan surat rekomendasi tentang diriku. Begitupun saudara Rick di Sydney dan saudara Edy Robinson di Cairns dan juga George sendiri menulis surat pernyataan tentang diriku.

Riau Berdarah | 249

Sebagai persiapan pertahanan, “sedia payung sebelum hujan” maka sebelum permohonan yang di dasarkan atas “Commpassionate and Humanitarian Ground” yang diduga mungkin ditolak oleh Imigrasi Australia, Mr. Andrew Goodman, pengacaraku, pada 19 Mei 1989, juga mengajukan permohonan untuk mendapatkan status refugee untukku kepada UNHCR .(United Nation High Commission for Refugee) di Canberra. Dugaan pengacaraku ini ternyata benar. Permohonan yang di dasarkan kepada “Commpassionate and Humanitarian Ground” ternyata ditolak oleh Imigrasi. Semua surat rekomendasi mengenai diriku tidak digubris oleh Department Immigrasi. Surat rekomendasi dari Kongregasi Saksi Yehuwa dan teman-teman tidak diacuhkan samasekali oleh fihak Immigrasi. Namun, acara kini beralih!. Mata Imigrasi terbuka dan mempelajari permohonan agar aku bisa mendapatkan status refugee. Semua dokumen yang kupunyai, kukirim copynya kepada Imigrasi. Bukti perhatian mereka yang pertama adalah memanggilku ke Brisbane untuk interview dengan DORS (Department Of Refugee Status), yang diwakili oleh Mr. Jeffrey Davidson di kantor Imigrasi Brisbane pada 15 November 1989. Dari Innisfail aku naik bus sehari semalam ke Brisbane, untuk menghadiri interview ini pada waktunya. Sementara itu, hubunganku dengan George, orangtua yang kurawat siang dan malam, menjadi kurang baik. Sifat yang mementingkan dirisendirinya, selfish-nya, menonjol . Pertentangan demi pertentangan timbul yang menyebabkan aku mengambil keputusan, ke luar dan pindah, meninggalkannya. Kucari tempat tinggal untukku, di sebuah boarding-house (rumah tumpangan) di kota. Aku mendapat sebuah kamar dan tinggal di sana beberapa lama. Sementara itu, aku melapor kepada Imigrasi bahwa aku tidak lagi merawat George, dan memohon izin untuk bekerja buat menyokong hidupku. Hatiku berdebar, apakah aku akan diberi izin ataukah akan ditahan ditahanan Imigrasi? Kiranya aku mendapat permit dari Immigrasi! Dan, dengan permit itu, aku melamar kerja pada perusahaan Northern Iron and Brass Foundry (NIBF) di Innisfail. Begitu aku melamar, langsung diterima menjadi pekerja tetap. Aku tak peduli akan tingkat dan kedudukan yang

kuperoleh dalam perusahaan itu. Yang penting aku bekerja dan dapat gaji untuk menjamin hidupku. Situasiku, keadaan illegal, yang membuatku begitu, lagipula kemampuanku dalam berbahasa Inggris juga menjadi faktor, hingga aku tidak bisa memilih jenis pekerjaan. Praktis, 40 hari setelah kutinggalkan George, aku mendapat pekerjaan pada 16 Maret 1990. Sementara itu, dia menjadi kasak kusuk karena tiada orang yang bersedia untuk merawatnya 24 jam sehari seperti yang telah kulakukan. Para anggota Kongregasi, yang kebanyakan telah berkeluarga, hanya bisa membantu sekedarnya. Karena aku telah mendapat pekerjaan yang tetap—walaupun cuma sebagai seorang buruh—maka aku pindah ke rumah yang agak lebih baik, yaitu sebuah flat satu kamar, yang lengkap dengan perabotannya. Aku mulai berdiri di atas kaki sendiri, sambil menunggu berita dari Imigrasi. (Aku tidak tahu, mengapa keadaanku ini seolah-olah seperti bersesuaian sekali. Dua tahun Ricky “merawatku”, dari 1986 sampai 1988, dan 2 tahun pula aku “merawat” ayahnya, George, dari 1988 sampai 1990. Mengapa keadaan”waktu” ini bisa bersesuaian begitu? Aku tak tahu! Hanya Tuhan yang maha tahu!) Interview Sementara itu, pihak Department Of Refugee Status (DORS) di Brisbane, merasa tidak puas dengan hasil interview denganku. Mereka menyatakan kurang kuat dasar dan bahan-bahan yang kuberi untuk bisa mendapatkan status refugee. Aku menjadi kewalahan, mengapa? Apakah karena aku mendapat seorang penterjemah, interpreter, dari Kantor Imigrasi di Brisbane, seorang Belanda yang tidak begitu paham berbahasa Indonesia sehingga penjelasan atau terjemahannya mungkin kurang dimengerti oleh fihak DORS? Ataukah aku yang kurang lengkap memberikan data-data dan penjelasan? Aku tak begitu mengetahui! Lantas, bagaimana, apa yang akan terjadi? Untunglah, pihak Immigrasi menjanjikan akan mengirim seseorang ke Cairns untuk mengadakan interview yang kedua denganku. Dalam menunggu penyelesaian prosesku, aku mendapat TEP (Temporary

Riau Berdarah | 251

Entry Permit ) dari Immigrasi Central Office di Canberra, untuk tinggal sementara dan bekerja di Australia. Tanggal 1 Mei 1990, seorang pegawai tinggi Immigrasi dari Canberra datang ke Cairns untuk melangsungkan interview denganku. Hatiku berdebar, jalan darahku kurasa lebih kencang dari biasanya pada saat itu. Mr. Gregory Mills, officer dari Central Office Department of Immigration di Canberra di dampingi oleh officer Immigration Cairns, melakukan interview terhadapku yang di dampingi oleh pengacaraku Mr. Andrew Goodman dan penterjemahku Saudara Eddy Robinson, temanku di Cairns, seorang putra Surabaya yang telah menjadi warganegara Australia puluhan tahun yang lalu. Interview kali ini berjalan sangat lancar sekali. Sangat santai. Aku tidak merasa kikuk atau cemas sedikitpun, kendatipun sebelumnya aku berdebar-debar. Aku sepenuhnya yakin bahwa Tuhan pasti menolongku. Mr. Gregory Mills tertawa ketika mengatakan bahwa bahasa Inggrisku cukup baik dan bisa dimengerti, tanpa melalui interpreter. “Jadi, untuk apa saya kemari ?” tanya saudara Eddy Robinson sambil tertawa. “Untuk menemaniku” jawabku dengan tersenyum.. Terasa kebebasan dan keakraban dalam berbicara di saat interview kali ini. Pada akhir interview, pada saat aku diperkenankan untuk mengeluarkan “unek-unek atau isi hatiku”, aku mengatakan kepada Mr. Greg Mills, bahwa aku benar-benar mengharap agar bisa tinggal di Australia, karena jika dikirim kembali ke tempat asalku, sungguh , akan sangat membahayakan diriku. Dengan tersenyum Mr. Greg Mills berkata “Mudah-mudahan !”dalam bahasa Indonesia yang cukup baik. Aku mendadak terkejut dan bertanya “Excuse me ?” Dia tertawa dan menjelaskan dalam bahasa Inggris, bahwa dia pernah bekerja di Kedutaan Australia di Jakarta selama 3 tahun dan mengajar bahasa Inggris kepada orang-orang Indonesia. “So, you know what I have told you?”tanyaku dalam bahasa Inggris. Dia hanya tersenyum sambil berkata dalam bahasa Inggris, “saya juga tahu akan tempattempat yang kamu sebutkan” sambil kemudian menyalamiku. Aku menjadi tenang dan agak gembira dengan interview kali ini, karena orang yang menginterviewku adalah orang yang benar-benar mengetahui keadaan dan situasi Indonesia. Dia bahkan mengetahui nama tempat-tempat yang kusebutkan, seperti Pekanbaru dan Tanjung

Pinang. Aku hanya menunggu bagaimana hasilnya kelak. Aku masih ingat akan kata-katanya sebelum kami berpisah, bahwa dia tidak pernah menjumpai seorang bangsa Indonesia, yang mempunyai suratsurat dokumen, begitu lengkap seperti diriku. “Engkau tentu telah mempersiapkan semuanya itu!” dia berkata padaku sambil tersenyum. Memang, sesungguhnyalah kata-katanya itu. Aku mempunyai semua dokumen yang bisa dijadikan bukti diriku, seperti dokumen dari Pekanbaru, dari Caltex dan Pepelrada Riau, dari perusahaan di Singapore, permit masuk Malaysia dsb. Jadi aku merasa bahwa dokumen tentang diriku ini akan bisa menjadi bukti dan memperkuat permohonanku! Cukup lama rasanya aku menunggu bagaimana hasil kesimpulan dari interviewku. Apakah diterima atau ditolak? Kalau ditolak, bagaimana? Apa yang mesti kuperbuat? Kemana aku akan dideportasikan? Ke Malaysia atau ke Indonesia?

Diakui sah sebagai Refugee Akhirnya, pada bulan April 1991, setelah hampir setahun aku menunggu, aku menerima surat dari Departemen Imigrasi di Canberra tertanggal 3/4/1991, yang menceritakan hasil pengujian oleh Committee Departement Imigarsi atas permohonanku sebagai refugee. Dalam surat itu dikemukakan pertimbangan-pertimbangan Departemen dan kesimpulannya. DILGEA , DFAT, A.G dan P.M. & C Department , semua berpendapat dan menyetujui bahwa aku adalah genuine-refugee. Hanya, Department Refugee (DORS) sendiri yang tetap tidak puas dengan interview pertamaku di Brisbane. Namun, di akhir surat dari Departemen Imigrasi itu tertulis: “The committee were unanimous in recomending infavour of the grant of refugee status” Ohh, betapa hatiku merasa lapang dan gembira membaca surat dari Departemen Imigrasi tersebut. Lebih gembira lagi, duapuluh hari sesudah itu, aku menerima surat yang bertanggal 23/4/1991 ditanda tangani oleh Mr. T.L.Griffiths of DILGEA Canberra, yang menyatakan bahwa permohonanku untuk menjadi refugee “has been

Riau Berdarah | 253

granted” Ohh, aku benar-benar bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan, atas semua ini. Dengan uluran tanganNya lah semua hal ini terjadi. Dengan kehendakNya lah semua ini berlaku. Kini aku mendapat status refugee di benua Australia ini! Tak seorangpun yang bisa menggugat lagi. Apa yang kupikirkan beberapa tahun yang lalu di Singapore,bahwa hanya Australia tempat yang bisa menyelamatkanku, ternyata benar. Jadi pilihan dan perjalananku ini tidaklah sia-sia! Semua teman-teman mengucapkan selamat atas apa yang kuperoleh ini. Ricky dan keluarganya di Sydney, Manjo ibunya, semua saudara-saudara seiman di kongregasi Cronulla, dan kongregasi Indonesia di Sydney, semua saudara seiman di kongregasi di Innisfail, Cairns dan teman-teman sesama kerja yang mengetahui nya. Bahkan bukan itu saja. Atas prakarsa Stephen dan istrinya Sherry Moody yang banyak menolongku dalam hal ini, mereka mengadakan pesta keluarga seiman untuk mengucapkan terima kasih kepada Allah Yehuwa atas segala bantuannya yang memungkinkan hal ini tercapai. Tanggal 6 May 1991 dilangsungkan pesta keluarga di balai pertemuan South Johnstone yang dihadiri oleh sekitar 80 orang saudara-saudari seiman beserta keluarganya. Cukup besar pesta ini. Aku menjadi malu karenanya. Namun, semua ini adalah usaha mereka. Setiap mereka menyumbang, membawa makanan dan minuman untuk pesta yang berjalan sangat gembira dan lancar ini. Kini aku menjandang status refugee di Australia untuk waktu selama 4 tahun. Sekali lagi aku merasa dihargai sebagai manusia! Aku mencoba hidup sebagaimana warga Australia lainnya. Kini aku tidak kuatir lagi jika sewaktu-waktu akan ada razzia oleh pihak Imigrasi. Aku menjadi dikenal dan sebaliknya, aku juga kenal beberapa pegawai di kantor Immigrasi Cairns. Di samping itu, kerjaku di NIBF berlangsung dan berjalan dengan baik. Tersangkut Masa berjalan terus………. Di suatu saat di bulan Juni 1992, aku diundang ke suatu acara pesta halaman rumah yang disebut BBQ (barbeque), di tempat seorang

saudara seiman, di Flying Fish Point. Di situ, aku diperkenalkan dengan sorang janda yang datang dengan ke tiga anak-anaknya yang masih kecil dari Mareeba, suatu kota di utara, daerah Tableland, Queensland yang hampir 200 KM jaraknya dari Innisfail. Dalam percakapanku dengan janda yang bernama Christine ini, aku tergugah. Sejak beberapa tahun ia ditinggalkan suaminya, seorang Hongaria yang lari bersama istri kawannya sendiri. Christine yang punya 7 orang anak darinya, merasa dipecundangi, dikhianati, oleh perbuatan dan kelakuan suaminya ini.. Kini, Christine yang ketika itu berusia sekitar 44 tahun, memerlukan suami, sedang aku adalah duda yang berusia sekitar 54 tahun, yang sejak tahun 1970, katakanlah sejak menjadi tapol tahun 1965, jadi kurang lebih 27 tahun hidup tanpa istri! Hatiku berdebar penuh kebimbangan. Apakah salah kalau aku menerima “kesempatan” yang terbuka ini? Dengan usiaku yang demikian, aku merasa memerlukan seseorang yang dapat merawatku di hari tua. Aku hidup jauh dari sanak keluarga, semua kaum kerabatku berada di seberang lautan. Bahkan anak-anakku tidak pernah mengabariku. Apa yang mesti kulakukan? Kini ada kesempatan yang terbuka, apakah aku akan mengabaikan begitu saja kesempatan ini ? Keadaanku sekarang tidaklah sama seperti ketika aku di Malaysia. Kini aku dalam status refugee. Setelah selesai masa refugee yang 4 tahun ini, aku akan menjadi penduduk tetap dan setelah dua tahun sesudah itu, aku akan menjadi warganegara Australia. Lagipula, aku sudah mempunyai pekerjaan tetap yang bisa menjamin hidupku. Sungguh sangat berbeda dengan keadaanku ketika berada di Malaysia, ketika dipertunangkan dengan seorang gadis! Aku tidak memerlukan terlalu banyak waktu untuk menimbang dan memikirkannya. Pikiranku adalah tidak melepaskan kesempatan yang ada, karena kesempatan biasanya tidak datang dua kali! Aku tahu bahwa ia suka padaku. Namun tidak mungkin suatu aksi datang terlebih dahulu dari perempuan, harus dari lelaki. Mengenai anaknya yang 7 orang, tidak semuanya akan menjadi tanggung jawabku.Yang empat orang, Chere, Michelle, Robert dan Mark. sudah akil baliq, sudah lepas dari tanggung jawab orangtua. Mereka mendapat santunan dari Pemerintah, tunjangan yang bernama Job-allowance. Mereka sudah berdiri sendiri. Bahkan seorang

Riau Berdarah | 255

diantaranya, Michelle telah bersuami. Sedang yang 3 orang yang masih kecil, Clinton, Melina, Joelene, masih berada di Sekolah Dasar. Ketiga anak-anak yang masih kecil inilah kelak yang akan menjadi tanggung jawabku, andai aku menikahi ibunya. Suatu saat, dalam bulan berikutnya setelah perkenalan kami, kubawa dia piknik ke suatu pulau bersama ketiga anaknya yang masih kecil, Clinton, Melina dan Joelene. Piknik di pulau ini terasa sangat indah sekali. Dalam suatu kesempatan, bibirku meluncur mengucapkan kata-kata “maukah kau kawin denganku ?”Dengan gembira dia menjawab “ya!” Kucium bibirnya di depan anakanaknya! Aku tak tahu, apa yang mendorongku untuk berkata begitu cepat, tanpa banyak selidik dan pertimbangan. Kami juga merencanakan waktu perkawinan, yaitu di akhir tahun, tepatnya tanggal 26 Desember 1992. Kupilih tanggal ini karena ini perpaduan hari tanggal kelahiran kami. Aku lahir tanggal 17, dia lahir pada tanggal 9 dan sama-sama dibulan Desember, hanya berlainan tahunnya. Namun, ini bukanlah dasar yang utama. Yang juga menjadi pertimbangan bagiku, 26 Desember adalah hari libur di Australia, yaitu hari Boxing Day, satu hari libur sesudah Christmas pada 25 Desember. Jadi, kupilihlah tanggal 26 Desember sebagai hari pernikahan kami, karena merupakan hari libur panjang. Dia gembira sekali. Begitu juga semua teman-temannya. Persiapan untuk perkawinan pada 26 Desember 1992 pun dimulailah. Para saudara dan saudari dari kedua kongregasi Saksi Yehuwa, kongregasi kota Mareeba di mana dia berada dan kongregasi kota Innisfail di mana aku berada mulai sibuk dengan persiapan. Setiap mereka telah merencanakan apa yang akan dibawa dan disumbangkan untuk perkawinan kami ini. Mereka menganggap hal ini sebagai persatuan dua kongregasi.Mareeba dan Innisfail. Sungguh aku merasa gembira dan berhutang budi kepada semua saudara saudari seiman ini. Mereka berkerja tak tahu lelah, mempersiapkan perhelatan perkawinan kami. Namun, sebelum semua hal itu terjadi, aku yang berstatus “refugee” harus mendapat informasi atau izin dari fihak Imigrasi sebelum melangsungkan perkawinan ini. Karena aku tidak ingin andai perkawinan ini akan dianggap illegal karena statusku yang masih refugee. Lagipula, aku juga tidak ingin andaikata aku bisa

menjadi warga-negara Australia kelak, ada orang yang akan menuduh hal itu kuperoleh karena aku mengawini wanita Australia. Aku merasa bahwa saat ini aku benar-benar mendapat suatu kesempatan testing tentang diriku. Kalau fihak Immigrasi tidak mengizinkan aku kawin karena aku belum menjadi penduduk atau warga negara Australia, maka itu berarti bahwa situasiku belum pasti.Namun, kalau Imigrasi mengizinkannya, maka berarti statusku di Australia sudah kuat. Dengan dua alternatif ini kami —aku, Christine dan seorang temannya yaitu Dorothy —suatu hari mendatangi kantor Imigrasi di Cairns. Kepada fihak Immigrasi yang di wakili oleh Ms Helen pada waktu itu, kuperlihatkan surat asli “jaminan sebagai refugee” atas diriku yang ditanda tangani oleh delegasi Menteri Imigrasi di Canberra, dan menanyakan kepada Ms Helen, dengan statusku yang masih refugee ini, apakah aku diperbolehkan menikah dan kemanakah aku mesti minta izin. Setelah membaca “piagam” tentang statusku, Ms Helen dengan tersenyum mengatakan “sudah tentu kamu boleh kawin dengan siapa saja di Australia ini, Yoseph! Tidak perlu minta izin kepada kami. Minta izin kepada ayahmu!”.“Ayah saya sudah lama meninggal”, jawabku. “Kalau begitu kamu benar-benar bebas, tidak perlu meminta izin siapapun!” katanya sambil tertawa. Aku berterima kasih akan penjelasannya ini dan memperkenalkan bakal istriku dan juga temannya kepada Ms Helen, kemudian kami meninggalkan kantor Imigrasi Cairns. Satu persatu persoalan selesai. Aku merasa gembira dengan jawaban Immigrasi ini. Di masa depan, kalau aku mendapat kewarganegaraan Australia, dan ada orang yang menuduhkan bahwa aku mendapatkannya karena aku mengawini wanita Australia, maka orang yang menuduhkan itu sama bodoh dan bebalnya seperti keledai! Ya, mungkin saja ada orang yang akan menuduh begitu, siapa tahu. Di samping itu juga, beberapa minggu sebelumnya, aku telah memeriksakan diri dan darahku kepada dokter dan pathology. Hasil pemeriksaan, ternyata darahku bersih dan baik, dan tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan dan mendapatkan keturunan. Jadi, aku telah mempersiapkan semua syarat yang diperlukan, dan tidak ada halangan buatku untuk melangsungkan perkawinan .

Riau Berdarah | 257

Pernikahan Hari Sabtu tanggal 26 Desember 1992. Dengan dihadiri oleh lebih dari seratus orang tamu, pada sore hari dilangsungkanlah upacara akad nikah antara aku dan Christine, dengan mengambil tempat di Kingdom Hall Jehovah’s Witnesses di Mareeba. Seorang pengetua Kongregasi yang menjadi Marriage Celebrant yang di akui Pemerintah, saudara Phil Herring dari Cairns menikahkan kami. Dengan disaksikan oleh para hadirin dan keluarga, kami—aku dan Christine— sah dan resmi sebagai suami istri. Christine, sangat gembira dengan pernikahan kami ini. Dan aku? Aku sendiri tak tahu. Pikiranku serasa mengambang! Selama hidupku, aku merasakan beristri hanya 3 tahun dengan Ema, yang dipenuhi dengan segala macam halangan dan rintangan dan diakhiri dengan penghianatan. Kemudian menduda hampir 27 tahun lamanya, dan kini beristri! Malam harinya, dengan mengambil tempat di gedung pertemuan Pemerintah Daerah Mareeba, dilangsungkanlah malam resepsi perayaan pernikahan kami. Aku sungguh terharu akan pelaksanaan malam resepsi ini. Menurut catatan para saudari yang mengatur hidangan, kurang lebih tiga ratus orang tetamu yang menghadiri resepsi ini. Para saudara dan saudari beserta keluarga mereka dari 2 Kongregasi , yaitu Kongregasi Mareeba dan dari Kongregasi Innisfail, yang jaraknya hampir 200 km di selatan, hadir dalam resepsi ini. Ketika dalam suatu kesempatan aku diminta untuk memberi sambutan, aku maju, namun aku merasa kikuk dan sedikit gemetar. Aku masih ingat, akan sambutanku yang dengan senyum kumulai dengan kata-kata: “What must I say?” Hadirin tertawa, dan kemudian, kusambung perkataanku: “The Bible says………” Aku terdiam sejenak, dan para hadirin juga terdiam, menanti apa yang akan kuucapkan. Kemudian kulanjutkan…..”the Bible says……..no good for the men to live alone…..”. Kataku sambil tersenyum dan semua hadirin jadi tertawa.

Dalam sambutanku itu, kujelaskan sedikit banyaknya, siapa aku dan bagaimana statusku di Australia. Sambil tersenyum gembira, kuceritakan bahwa kini aku berstatus refugee, tidak lagi illegal. Kusinggung hal ini karena umumnya mereka mengetahui cerita diriku, semenjak aku datang menghadap Immigrasi tahun 1989. Keluarga dari Kongregasi di Innisfail sudah mengetahuinya dalam pesta keluarga yang pernah dilangsungkan, namun keluarga Kongregasi Mareeba, banyak yang belum tahu. Kemudian, juga, kuucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah memungkinkan pesta perkawinan ini berlangsung dengan meriah. Kusebut semua nama yang terlibat dalam pelaksanaan pesta itu. Kusampaikan terima kasihku yang sebesarbesarnya kepada mereka semua. Tengah malam, aku dan istriku meninggalkan pesta dan menuju ke Palm Cove, suatu tempat indah untuk para wisata di utara kota Cairns. Karena aku bekerja di Innisfail, istriku dan ketiga anak tiriku kubawa pindah dari Mareeba ke Innisfail Kami menempati sebuah rumah sewa yang cukup baik di South Johnstone namun setelah 6 bulan kami tinggal di rumah yang kami sewa itu, kami terpaksa pindah dan mencari tempat lain karena si empunya rumah menteror kami dengan memasang iklan di surat kabar bahwa rumah itu mau dijual. Dan sebelum rumah itu terjual, kami mencari rumah lain untuk di tempati keluarga. Kami mendapat sebuah rumah yang cukup besar dan baik di Warabullen Road, daerah antara South Johnstone dan Silkwood, di selatan kota Innisfail. Agak jauh sedikit dari tempat kerjaku dan sekolah ketiga anak-anakku. Namun, tak apalah, asal keluargaku punya tempat tinggal, karena ini adalah tanggung jawabku. Anak Lelaki. Tidak lama kami menempati rumah yang agak jauh dari kota dan tempat kerjaku ini. Setelah satu termen—yaitu 6 bulan—kami tidak memperpanjang kontrak sewa rumah tersebut. Kami mendapat rumah lain, yang agak dekat dengan tempat kerjaku dan sekolah anakanakku, yaitu di Koppen Road Mena Creek, juga tidak jauh dari tempat turis yang terkenal yaitu Paronella Park. Sementara itu, istriku

Riau Berdarah | 259

telah menampakkan hasil dari perkawinan kami. Dia hamil. Kami mesti hati-hati dengan kehamilan istriku ini, karena dia tidak lagi muda. Kehamilan seorang perempuan pada usia sekitar 45 tahun, sungguh merupakan suatu keistimewaan dan sangat berbahaya. Dokterku mengatakan bahwa sangat sulit bagi wanita seumur itu untuk bisa hamil. Namun, Tuhan menolongku, karena kenyataannya istriku dapat hamil dalam usia tuanya, kendatipun sebelumnya harus mengalami dua kali keguguran, sejak perkawinan kami. 16 September 1994. Masa yang kami tunggu dan sangat mendebarkan tiba. Istriku melahirkan seorang bayi lelaki yang sehat dan normal, dengan berat hampir 4 kilogram. Kami namailah dia Joshua dengan nama kedua sebuah nama dari negeri leluhurku, Indonesia, yaitu Ariyanto. Aku berterima kasih kepada Tuhan dan juga kepada istriku yang dapat memberiku seorang anak lelaki dimasa tuaku ini. Sesuatu yang tidak bisa kuperoleh dengan istri pertamaku di masa muda. Anak lelaki! Kelahiran bayiku Joshua, menambah dan menyuburkan kasihku kepada istriku, ibunya. Anak-anak tiriku, semuanya gembira dengan kelahiran Joshua ini. Aku gembira dan menyintai anak lelakiku yang merupakan “penguat ikatan kasih”ku terhadap ibunya, istriku Christine. Ini bukan berarti aku tidak mencintai kedua anakku yang berada di seberang lautan. Aku mencintai mereka sepenuhnya, kendatipun cintaku itu telah terampas oleh seseorang yang juga “merampas” istriku, ibu mereka. Aku tetap mengharap, suatu masa kelak mereka, kedua anakku—Virgo dan Gemini—akan menyadari betapa kasih dan cintaku yang terhalang dan terampas dari mereka. Semoga mereka tetap menyadari, bahwa aku adalah ayah kandung mereka, yang sah, dan anak-anak mereka adalah cucuku. Darahku mengalir di tubuh mereka! Aku hanya bisa mengharap akan kesadaran mereka! Aku mencintai dan merindukan mereka! Desember 1994. Aku mendapat cuti akhir tahun atau Natal dari perusahaan selama 40 hari. Kesempatan ini kupergunakan untuk membawa keluargaku berwisata. Dengan mengendarai mobil 4-WD Jackaroo, yang menggandeng sebuah trailer, yang memuat segala perlengkapan, kami menuju ke selatan, ke daerah Victoria, dan New South Wales. Kami mengunjungi Robert, anak ketiga dari istriku

Christine, yang pada waktu itu bekerja di Swan Hill, serta kaum kerabat yang berada di Wanggarata dan Wagunyah. Dari kota Swan Hill , tidak jauh ke selatan, di Mount Barker South Australia, tinggallah teman lamaku Ricky, beserta abangnya Eddy dengan keluarga mereka dan juga Manjo, ibu mereka. Setelah aku pindah ke Innisfail beberapa tahun yang lalu, keluarga Ricky dari Sydney, pindah ke Brisbane, dan kemudian pindah ke Mt. Barker, dekat dengan abangnya Eddy. Kugunakan kesempatan yang ada ini untuk mengunjungi mereka. Mereka sangat gembira menyambut kedatanganku yang telah berkeluarga ini . Keluarga mereka, Rick dan Eddy, semua mengenalku dengan baik, sejak beberapa tahun yang lalu. Anak Ricky dan Roslyn yaitu Kylie telah menikah dan ikut suaminya ke England, dan juga adiknya Anne ikut menyertainya. Jadi hanya Leah yang tinggal bersama kedua orangtua dan neneknya, Manjo. Setelah beberapa hari kami berada di sana, kami tingalkan Australia Selatan, kembali pulang menuju ke utara, ke Innisfail di Queensland, sambil berhenti menjenguk kaum kerabat istriku yang tinggal di sebuah kota kecil di perbatasan antara NSW dan Queensland. Sesampai dirumah, kulihat odometer di mobilku, menyatakan bahwa kami telah melakukan perjalanan lebih dari 10 ribu kilometer. Aku tidak merasa heran karena kami, telah menyinggahi beberapa kota dan tempat sanak famili istriku dan juga temanku, serta menjelajahi daerah-daerah Queensland, New South Wales, Victoria dan South Australia. Jadi, dari utara ke selatan Australia , telah kami jalani. Yang belum adalah bagian Ujung Utara (Top-End) dan Barat, West Australia, serta pulau besar di selatan yaitu Tasmania. Mungkin lain kali kami dapat melawatnya. Hidup berkeluarga dengan pasangan yang tidak sebangsa, latar belakang, kebudayaan, pikiran, bahasa dan adat istiadat serta kebiasaan yang berbeda, apalagi ditambah dengan anak tiri, bukanlah hal yang mudah. Begitupun kehidupanku. Selalu saja ada pasang surutnya. Kadang-kadang, terombang-ambing seperti biduk kecil di tengah lautan. Namun, aku tidaklah bermaksud menceritakan semua

Riau Berdarah | 261

hal ini, kendatipun hal ini termasuk dalam kisah perjalanan hidupku, namun tidak ada sangkut pautnya dan hubungan dengan topik cerita yang kumaksud. Karenanya, kisah mengenai keluargaku ini, kuakhiri saja sampai disini, dan melanjutkan kisah kepada topik yang dipilih. Dalam perjalanan hidupku berkeluarga ini, aku mencoba berpegang kepada ucapan seorang bintang film Amerika yang mengatakan: “No one has a truly perfect life, so you learn to be happy with what you have got”

Menjadi Warganegara Australia Sebagaimana kuceritakan di atas, aku diterima dan menyandang status refugee di Australia semenjak 23 April 1991. Setelah selesai masa 4 tahun yang ditentukan, pada akhir 1995, aku diperbolehkan memajukan permohonan untuk menjadi penduduk tetap Australia. Kesempatan ini tidak kubiarkan berlalu begitu saja. Aku tidak menunggu , segera kumajukan surat permohonan untuk menjadi penduduk Australia. Surat permohonanku ini diperkuat dan ditanda tangani oleh dokterku, yang menjadi “general practioner”ku sejak sebelum 1990, sebelum aku menjadi pekerja pada perusahaan Northern Iron and Brass Foundry. Dia adalah dokter J.R.Hill, yang juga merupakan dokter buat perusahaan di mana aku bekerja, NIBF. Tidak lama aku menunggu. Semua syarat kupenuhi. Pemeriksaan kesehatan oleh dokter yang ditunjuk Imigrasi, pembayaran ongkos administrasi dan sebagainya, semua kuikuti dengan baik. Pada 2 Pebruari 1996, aku diterima menjadi penduduk tetap Australia! Ah, betapa gembiranya hatiku!. Satu persatu persoalan terselesaikan. Kini, sebagai penduduk tetap, aku harus menunggu 2 tahun , sampai saat diperbolehkan memajukan permohonan untuk menjadi warganegara. Aku telah menanti selama 4 tahun sebagai refugee, dan kini harus menanti lagi 2 tahun . Ini tidak termasuk masa permulaan “perjuangan” untuk mendapatkan “refugee-status” selama 2 tahun, dan masa illegal selama kurang lebih 3 tahun. Masa 2 tahun sebagai penduduk tetap ini, kurasa tidaklah terlalu lama. Apalagi aku telah beristri dan mempunyai anak, dan sibuk dengan pekerjaan dan

berbagai persoalan rumahtangga, hingga waktu berlalu tanpa terasa. Akhir tahun 1997, masa yang 2 tahun itupun terpenuhilah! Tidak lebih tidak kurang, 2 tahun tepat, tanpa menunggu, pada 9 Pebruari 1998, aku memajukan permohonan untuk menjadi warganegara Australia. Permohonanku ini ditanggapi positif oleh fihak Immigrasi Australia, yang saat itu Menteri Imigrasinya adalah Nick Bolkus dari Partai Labour di bawah Perdana Menteri Paul Keating . Akan tetapi aku merasa berdebar, karena setelah aku memajukan permohonan dan belum mengetahui hasilnya, Pemerintah Australia bertukar pimpinan. Bukan lagi Paul Keating dari Labour, melainkan John Howard dari Koalisi Liberal dan National Party yang menang dalam pemilihan umum. Aku menduga bahwa dengan pertukaran pimpinan negara ini, permohonanku pasti akan tergendala atau terkatung-katung. Namun, kenyataannya tidak! Tanggal 24 Pebruari 1998, hanya dua minggu setelah aku memajukan permohonan, aku menerima surat yang ditanda tangani oleh Menteri Imigrasi yang baru, Phillip Ruddock, dari partai Liberal, di mana tertulis:“ I am please to tell you that your application for the Grant of Australian citizenship, has been approved…” Hah, betapa gembiranya hati ini. Segala derita dan usaha membuahkan hasil! Syukur dan terima kasih kepada Tuhan! Dengan penuh kegembiraan, kucium istri dan anak-anakku! Hanya beberapa hari setelah itu, pada 9 Maret 1998, aku resmi diterima menjadi warganegara Australia, dengan Certificate of Australian Citizenship ditanda tangani oleh Menteri Imigrasi dan Multikultural Affair Australia, Philip Ruddock dan juga pemerintah setempat— Council of the Johnstone Shire, Innisfail, Mayor CR B.D Moyle. Kini, dalam usiaku yang masuk 60 tahun—pada 1998 itu—, setelah mengalami segala macam “perjuangan” berbahaya yang berliku-liku, ber-“vivere pericoloso”, sejak masa kecilku, masa remaja yang dijadikan tahanan pemberontak, masa dewasa yang ditangkap dan ditahan Orba/Golkar sebagai tahanan politik, perantauan yang illegal, ke Malaysia, Thailand, Singapore dan Australia. Menjadi illegal immigrant di bumi Australia, kemudian menjadi refugee,

Riau Berdarah | 263

permanent resident, yang memakan masa bertahun-tahun, kini resmi menjadi warganegara Australia, sesuatu yang tidak pernah kubayangkan atau terlintas dalam pikiranku semasa mudaku! Betapa gejolak hati dan perasaan diriku pada saat itu. Penuh kegembiraan, namun sekaligus juga kesedihan!Ya, sedih dan gembira bertarung dalam jiwaku. Gembira, karena aku bisa mengatakan selamat tinggal kepada Orde Baru Jenderal Suharto, “bapak dan pendiri serta pencipta Orde yang haus akan darah bangsanya sendiri”, seperti yang dengan bangga diucapkannya, sebagai “kegiatan yang utama, yaitu menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka”. (Silakan baca buku : Suharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. 1989 halaman 136!)Memang benar, dengan kezalimannya rezim Militer Suharto beserta Orba/Golkar dan antekanteknya menghancurkan, menumpas, dan membunuh anggotaanggota PKI dan mereka yang di-PKI-kan. Namun, ucapan Suharto tentang “perlawanan mereka di mana-mana, di ibukota, di daerahdaerah, dan di pegunungan” kurasa hanya ada dalam “pikiran”, bayangan, angan-angan dan karangan Suharto. Karena sesungguhnya, 3 juta rakyat Indonesia yang dibunuh, adalah tidak melawan! “Mereka tidak punya senjata” kata Professor Anderson. Dalam keadaan tidak punya apa-apa, mereka dibunuh, seperti yang dikatakan Presiden Soekarno, “mereka dibunuh dengan sadis dan diklelerkan saja di pingir jalan,di bawah pohon, dan dilempar ke sungai seperti bangkai anjing” (Ucapan Presiden Soekarno tgl 18 Desember 65 didepan HMI di Bogor- http://www.tokohindonesia.com) . Bahkan mereka diambil dari rumah masing-masing, dari tempat kerjanya, dari “kandang” (Kamp Tahanan)-nya, dan dibunuh, tanpa bisa membela diri! Dipanggil pulang dari Amerika di saat sedang belajar, dijebloskan ke dalam tahanan dan dilenyapkan, dibunuh, seperti yang terjadi atas diri saudara Kamaluddin Sjamsudin, pegawai tinggi Caltex di Pekanbaru, serta yang lain-lainnya. Inikah yang dikatakan Soeharto sebagai “perlawanan mereka”? Beginilah praktek Rezim Orba/Golkar yang tidak akan dan tidak bisa dilupakan! Sejarah akan tetap mengenang dan mencatatnya!

Dan, tidak lama—hanya dua bulan—setelah aku resmi menjadi warganegara Australia, kudengar “Raja Orba” ini “The Smiling General yang bangga karena berdiri di atas tumpukan mayat rakyat Indonesia”, lengser dari singgasananya, dijatuhkan dari kursi ke “raja” annya oleh bangsa Indonesia, oleh kaum muda Indonesia yang patriotik. (Kurasa kaum Muda Indonesia ini patut menganggap dan menamakan dirinya sebagai Angkatan 98, yang berhasil menurunkan seorang diktator dari singgasananya, bertolak belakang dengan Angkatan 66 yang menjadikan “the Killer General” sebagai Presiden dan Diktator!) Bagiku yang hidup di rantau ini. di samping segala kegembiraan yang kuperoleh, hatiku juga trenyuh dan menangis! Aku ingat akan teman-teman semasa muda, teman-teman semasa sekolah, temanteman sependeritaan dalam tahanan, teman-teman yang diambil dari tahanan dan dibunuh Orba tanpa diketahui di mana kuburnya, sanak saudara dan handai taulan yang terpaksa kutinggalkan demi menyelamatkan hidup ini, satu-satunya pemberian Tuhan yang paling berharga. Tanah tumpah darah, Indonesia pertiwi tercinta yang terpaksa kutinggalkan. Bangsaku yang kucintai. Teringat daku akan semuanya itu! Hatiku menangis, mengenang akan lagu wajib sekolah yang masih terngiang-ngiang di telingaku : Indonesia tanah air beta, Pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala. Tetap dipuja-puja bangsa. Di sana tempat lahir beta, Dibuai, dibesarkan bunda, Tempat berlindung di hari tua. Sampai akhir menutup mata! Apakah lagu itu masih punya makna dan arti bagiku? Aku jauh dari tempat lahir, aku jauh dari tempat dibesarkan, dan aku tak mungkin mendapat perlindungan di hari tua sampai akhir menutup

Riau Berdarah | 265

mata di tempat aku lahir dan dibesarkan. Yang ada padaku kini hanyalah kenangan yang terpateri dalam jiwaku, dipenuhi dengan segala macam derita dan kekecewaan……………

Negeri yang pernah kuanggap asing, Australia, kini, dengan kasih kupanggil dan kusebut sebagai “rumahku” tempat aku menjalani sisa sisa hidup ini .“Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata……..!”

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya kusampailam kepada yang terhormat: 1. Sdr. Sumargo 2 Bp A.Umar Said 3. Sdri.Ibarruri Sudharsoo 4. Bp. H.D.Oey dan semua teman yang telah banyak memberikan bantuan, moril maupun materil, hingga memungkinkan buku kecil ini diterbitkan. Juga, terima kasih disampaikan kepada teman-teman yang ditahan oleh Rezim Orde Baru, dari 1965 sampai 1977 di TPU/RTM Pekanbaru., yang memberikan bantuan kepada Sdr. Sumargo dan Sdr. Kaelani , antaranya Sdr. Djasirudin, Muchtar Samad, Djon Ajoi, A Liong, Nurasjid, Damari, Bachtiar.B, Mansur Gani, Bgd. Abd. Rahman, Hamdan Bahtiar, Ida dan suaminya Ibnu Awam, Kemat, Wagiran, Samin, Suparji, Tambunan, Bongkot, Munar Soli , dan lainlain, yang pada tahun 2000 mengingat kembali nama kawan-kawan yang menjadi korban Orba, sehingga Sdr. Sumargo dapat menyusun “Daftar Korban Tragedi 1965” Riau, yang dapat anda lihat dan baca pada lampiran buku ini . TERIMA KASIH

Dari Lampiran Buku "Riau Berdarah" (halaman 261 s/d 273) dengan tambahan, sehingga Jumlah Seluruh Tahanan menjadi 379. 1. Dihilangkan Dari Tahanan Tanpa Diadili jumlah 100 No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan / Dipidana Bagan Siapi-api jumlah 4 318 Ans Sofyan Bagan Siapi-api CSS PKI Bagan Siapi-api 320 Ny Syamsul Bahri Bagan Siapi-api Gerwani 317 Syahrudin Bagan Siapiapi CSS PKI Bagan Siapi-api 319 Syamsul Bahri Bagan Siapi-api CSS PKI Bagan Siapi-api Bengkalis jumlah 2 315 Murad Bengkalis CS PKI Bengkalis 316 Syofyan Bagan Siapiapi CS PKI Bengkalis Pasir Pangaraian jumlah 52 328 Abdul Aziz Pasir Pangaraian 329 Abdul Hasan Pasir Pangaraian 330 Agus Pasir Pangaraian 331 Agus Salim Pasir Pangaraian 332 Aliamron Pasir Pangaraian 333 Alikamis Pasir Pangaraian 334 Alladin Nasution Pasir Pangaraian 335 Amat Pasir Pangaraian 336 Aminudin Pasir Pangaraian 337 Amir Hamsyah Pasir Pangaraian 338 Amir Hasyim Pasir Pangaraian 339 Bacok Pasir Pangaraian 340 Buyung Saridin Pasir Pangaraian 341 Daib Pasir Pangaraian 342 Datuk Patih Pasir Pangaraian 343 Djalib Pasir Pangaraian 344 Dohim Pasir Pangaraian

Riau Berdarah | 267 No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan / Dipidana

345 Dullah Pasir Pangaraian 346 Harun Nasution Pasir Pangaraian 347 Ibrahim Pasir Pangaraian 348 Ilyas Pasir Pangaraian 349 Kapas Pasir Pangaraian 350 Karia Pasir Pangaraian 351 Kasim Pasir Pangaraian 352 Kasud Pasir Pangaraian / 353 Kattudin Nasution Pasir Pangaraian CS PKI Pasir Pangaraian 354 Laham Pasir Pangaraian 355 Malim Pasir Pangaraian 356 Marantai Pasir Pangaraian 357 Marhanda Pasir Pangaraian 358 Masir Pasir Pangaraian 359 Metmet Pasir Pangaraian 361 Muhamad Nasution Pasir Pangaraian 362 Muhamad Nur Pasir Pangaraian 360 Muhamad Pi'I Pasir Pangaraian 363 Muhamad Talib Pasir Pangaraian 364 Muhamad Zen Pasir Pangaraian 365 Muis Pasir Pangaraian 366 Nurdin Pasir Pangaraian 367 Pakso Pasir Pangaraian 368 Rahman Pasir Pangaraian 369 Siddik Pasir Pangaraian 370 Sinaga Pasir Pangaraian 371 Sotar Pasir Pangaraian 372 Sulung Pasir Pangaraian 373 Tamela Rachman Pasir Pangaraian Pemuda Rakyat 374 Tengku Pangeran Pasir Pangaraian 375 Tengku Saleh Pasir Pangaraian 376 Usman Pasir Pangaraian 377 Yahya Pasir Pangaraian Imam Mesjid Pasir Pangaraian 378 Yunus Pasir Pangaraian 379 Zakaria Pasir Pangaraian RTM Pekanbaru jumlah 40 304 A. Kusumitro Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 158 A. Sujitno Hadi Pekanbaru CS PKI Pekanbaru 308 Abas Mandor Pekanbaru 128 Abunandar Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 266 Ali Usir Bangkinang CSS PKI Bangkinang 92 Ardan A.Nopel Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 182 Azis Siregar Pekanbaru Perbum Pekanbaru 300 Bachtiar Pekanbaru SBKB Pekanbaru

No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan / Dipidana

183 Daradjat Lubis Pekanbaru SOBSI Pekanbaru 307 Darwis Pekanbaru Kotapraja Pekanbaru 255 Djasni Pekanbaru CGMI Pekanbaru 293 Hamdah Sei Pakning CSS PKI Sei Pakning 69 Hamlet Nasution Pasir Pangaraian Pemuda Rakyat Pasir Pangaraian 139 Kamaluddin Sjamsuddin Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 286 Kambasli Pekanbaru CGMI Pekanbaru 313 Lukman Pekanbaru Bea Cukai Pekanbaru 163 M. Jusuf, BA Pekanbaru PKI Pekanbaru 184 M. Lubis Pekanbaru SOBSI Pekanbaru 310 M. Saleh Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 168 Malanton Simanjuntak Pekanbaru Agen Transportasi Pekanbaru 116 Misbach Duri PT Caltex Pacific Indonesia Duri 113 Misdar Dumai PT Caltex Pacific Indonesia Dumai 283 Muchtar Bagindo Maradjo Pekanbaru BTI Pekanbaru 301 Muslihun Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 263 Nasution Pasir Pangaraian BTI Sei Rangau 314 Ngadibi Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 306 Ngadimin Duri PT Caltex Pacific Indonesia Duri 285 Nurdin O Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 264 Ny Nasution Pasir Pangaraian Gerwani Pasir Pangaraian 155 Rusli Danur, BA Pekanbaru PGRI Non-VS Pekanbaru 294 Sidi Barabanso Pekanbaru BTI Pekanbaru 246 Sjahruddin Djalal Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 248 Sjarif Duri PT Caltex Pacific Indonesia Duri 284 Subekti Pasir Pangaraian LEKRA Pasir Pangaraian 305 Sudibjo Deli Serdang BTI Deli Serdang 279 Sugimin Pekanbaru Kotapraja Pekanbaru 186 Sutan Malano Pekanbaru SOBSI Pekanbaru 189 Tampubolon Sei Rangau PKI Sei Rangau 28 Zainuddin Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 78 Zubir Achmad Bangkinang IPPI Selat Panjang jumlah 2 322 Bakar Ibrahim Selat Panjang Pemuda Rakyat Selat Panjang 321 Dahlan Selat Panjang CSS PKI Selat Panjang

2. Meninggal Dalam Tahanan Tanpa Diadili jumlah 8 RTM Pekanbaru jumlah 8 252 Anwar Datuk Padang Panjang CS PKI Padang Panjang 67 Diun Sei Rangau BTI Sei Rangau 65 Kartopawiro Sidinginan BTI Sidinginan 10 Muljono Bangkinang TNI AD Bangkinang 137 Nurdin Kanan Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai

Riau Berdarah | 269 No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan / Dipidana

117 Radjab Siregar Minas SOBSI Minas 125 Sudirman Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 80 Taufik A.Nopel Pekanbaru IPPI Pekanbaru

3. Diadili dan Dihukum jumlah 10 LP Padang jumlah 6 157 Abdullah Alihamy Pekanbaru CDB PKI Pekanbaru Hukuman Mati 325 Dahur Bagan Siapi-api Pemuda Rakyat Bagan Siapi-api Penjara 13 tahun - meninggal dalam penjara 292 Mohamad Amin Zen Pekanbaru BTI Pekanbaru Penjara Seumur Hidup 324 Nain PD Bagan Siapi-api Pemuda Rakyat Bagan Siapi-api Penjara 12 tahun 159 Sri Suhardjo Pekanbaru CDB PKI Pekanbaru Penjara Seumur Hidup 323 Umar Kasim Bagan Siapi-api Pemuda Rakyat Bagan Siapi-api meninggal dalam penjara

Penjara 13 tahun -

LP Pekanbaru jumlah 3 296 A, Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru Penjara 12 tahun 91 D, Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru Penjara 17 tahun 104 Kemat Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru Penjara 15 tahun LP Tanjung Pinang jumlah 1 326 Zamzami Bagan Siapi-api Pelajar Bagan Siapi-api Penjara 10 tahun

4. Dibebaskan Dari Tahanan Tanpa Diadili jumlah 261 LP Padang jumlah 2 312 Soeradi Mojokerto Dinas PU Mojokerto 303 Sudarto Pekanbaru TNI AD Pekanbaru Padang Terubuk Pekanbaru jumlah 9 282 Djanaisah Pekanbaru Gerwani Pekanbaru 71 Ida Hariman Pekanbaru Gerwani Pekanbaru 109 Ida Nur, BA Pekanbaru Gerwani Pekanbaru 299 Julidar Pekanbaru Gerwani Pekanbaru 70 Nuraida Pekanbaru Gerwani Pekanbaru 72 Ny Abunandar Rumbai Gerwani Rumbai 76 Ny Siswojo Sidinginan Gerwani Sidinginan 75 Ny Tambunan Rumbai Gerwani Rumbai 77 Sjamsiar Alihamy Pekanbaru Gerwani Pekanbaru Pulau Buru ( dari RTM Pekanbaru) jumlah 2 232 Azwar Amin Pekanbaru Dinas Perindustrian Pekanbaru 142 Darul Kutni Minas PT Caltex Pacific Indonesia Minas

No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan / Dipidana RTM Padang jumlah 7 48 Asbir Pekanbaru PKI Pekanbaru 275 Darminto Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 194 Hamdan Bachtiar Bukittinggi TNI AD Bukittinggi 290 M. Sidik Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 203 Ngatimin Duri TNI AD Duri 297 Sudjono Sakai Pasir Pangaraian CSS PKI Pasir Pangaraian 291 Suwarno Pekanbaru TNI AD Padang RTM Pekanbaru jumlah 240 60 A Liong Pekanbaru Baperki Pekanbaru 231 A Seng Rengat Bengkel Mesin TNI AD Rengat 129 A. Hamid Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 122 A. Latif Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 14 A. Rachman Bangkinang TNI AD Bangkinang 47 A.S. Dikam Pekanbaru Korem TNI AD Pekanbaru 177 Abdul Manan Pekanbaru Dinas PU Daerah Pekanbaru 185 Abdul Wahab A Pekanbaru CS PKI Pekanbaru 222 Abu Sani Pekanbaru Tukang Jahit Pekanbaru 1 Abubakar Pekanbaru Kantor Gubernur Pekanbaru 277 Adenan Abdullah Pekanbaru Dinas Penerangan Daerah Pekanbaru 114 Adenan Hus Duri PT Caltex Pacific Indonesia Duri 218 Adjo Busoi Minas PKI Hutan Minas 219 Agus Minas Pemuda Rakyat Hutan Minas 270 Agus Thalib Pekanbaru 121 Agus Tunir Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 173 Ali Akbar Pekanbaru Kotapraja Pekanbaru 79 Ali Anas (Acu) Bangkinang IPPI Pekanbaru 123 Alinas Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 254 Aliuddin Bangkinang TNI AD Pekanbaru 272 Alwi Pekanbaru 134 Amat Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 169 Amat Adjo Pekanbaru Tukang Gerobak Pekanbaru 278 Amir Payakumbuh SBKB Pekanbaru 216 Anas Abas Sidinginan Pemuda Rakyat Pekanbaru 73 Ani Tedjawati Rumbai IPPI Pekanbaru 160 Arkono Pekanbaru CS PKI Pekanbaru 245 Asroi Pekanbaru 156 Atjin Duri CSS PKI Duri 126 Azwar Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 309 Bachtiar Bogut Pekanbaru CDB PKI Pekanbaru 227 Bagindo Arlis Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 268 Bakar Batu Basurek BTI 7 Bandung Bangkinang TNI AD Bangkinang 276 Bgd Abdul Rahman Padang Pariaman CDB PKI Padang 295 bin Suid Batusangkar

Riau Berdarah | 271 No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan / Dipidana

140 Bongkot Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 199 Bujung Ateh Bangkinang TNI AD Pekanbaru 51 Bujung Djali Bangkinang TNI AD Bangkinang 8 Bujung Otok Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 50 Bujung Taring Bangkinang TNI AD Pekanbaru 237 Burhanuddin Pekanbaru Pemuda Rakyat 178 Burhanuddin Pekanbaru Dinas PU Kota Pekanbaru 127 Chaidir Manan Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 280 Chaidir St Radjo Bungsu Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 196 Chalidar Pekanbaru Pengusaha Pekanbaru 201 D. Wagiran Sei Rangau SBAP Sei Rangau 247 Dahlan Talib Bangkinang Dinas Perindustrian Bangkinang 102 Damari Pekanbaru CDB PKI Pekanbaru 214 Darsin Pekanbaru TNI AU Sipil Pekanbaru 213 Darsono Pekanbaru TNI AU Sipil Pekanbaru 52 Darusmawan Bangkinang TNI AD Bangkinang 244 Djabaruddin TNI AD Pekanbaru 29 Djahuddin Pekanbaru 170 Djamaan Pekanbaru SBKB Pekanbaru 288 Djamaan Rauf Pekanbaru Agen Transportasi Pekanbaru 40 Djamaluddin Nasution Bangkinang TNI AD Bangkinang 171 Djamaris Pekanbaru SBKB Pekanbaru 172 Djanawir Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 251 Djaran Pekanbaru Pemuda Rakyat Minas 141 Djasiruddin Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 167 Djon Ajoy Pekanbaru PKI Pekanbaru 101 Djoni Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 242 Djono Prabowo Pekanbaru TNI AD Bangkinang 20 Eddy Ibrahim Siregar Minas PT Caltex Pacific Indonesia Minas 273 Effendy 143 Emry Ginting Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 179 Fachruddin Pekanbaru Dinas PU Kota Pekanbaru 287 Fauzi Minas PT Caltex Pacific Indonesia Minas 220 Geneng Minas Pemuda Rakyat Hutan Minas 95 Giman Sidinginan Pemuda Rakyat Sidinginan 57 Go Kim Tie Pekanbaru Baperki Pekanbaru 93 Gultom Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 94 Gultom Pekanbaru Kotapraja Pekanbaru 96 Gunung Sidinginan Pemuda Rakyat Sidinginan 21 H. Achmad Dahlan Dumai PT Caltex Pacific Indonesia Dumai 6 H.B. Umra Pekanbaru Partindo Pekanbaru 18 Hamdan Bagan Siapi-api Pedagang Bengkalis 210 Hamid Pekanbaru TNI AU Sipil Pekanbaru 175 Hamid Pekanbaru Kotapraja Pekanbaru 298 Hardjo Pekanbaru Perbum Rumbai 211 Hartono Pekanbaru TNI AU Sipil Pekanbaru

No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan / Dipidana

36 Hasan Bangkinang TNI AD Bangkinang 166 Hasan Djafar Kuala Enok Pedagang Kuala Enok 97 Hasibuan Sidinginan Pemuda Rakyat Sidinginan 135 Hauw Yien Tjen Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 42 Hendrito Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 136 Henk Kusoy Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 68 Ida Nasution Pekanbaru Pemuda Rakyat 74 Iljas Hamid Pekanbaru GMNI Pekanbaru 256 Imam Sardjuni Pekanbaru Pensiun Sipil AD Pekanbaru 100 Ismail Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 55 Judo Pramono Bagan Siapi-api Baperki Bagan Siapi-api 81 Jusri Husin Pekanbaru IPPI Pekanbaru 89 Jusuf Sirad Pekanbaru Pemuda Rakyat Pekanbaru 224 Kabaruddin Pekanbaru Pengusaha Pekanbaru 241 Kadir Pekanbaru TNI AD 180 Kaelani Pekanbaru Dinas PU Daerah Pekanbaru 269 Kain Batu Basurek 86 Kamaluddin Mudir Nasution Pekanbaru LEKRA Pekanbaru 130 Kamaruddin Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 54 Kardi Siswojo Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 9 Karmosugito Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 31 Kasimo Pekanbaru Kotapraja Bukittinggi 259 Katrimo Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 144 Ketut Kondera Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 56 Kim Soei Bagan Siapi-api Baperki Bagan Siapiapi 2 Kualo Siregar Sidinginan 98 Latip Sidinginan Pemuda Rakyat Sidinginan 58 Lok Han Sie Pekanbaru Baperki Pekanbaru 83 M. Nur Achmad Pekanbaru IPPI Pekanbaru 145 M. Zen Nasution Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 146 Main Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 112 Majung Dumai Tukang Kayu Dumai 22 Makmur Bengkalis PT Caltex Pacific Indonesia Duri 250 Maksum Taluk Kuantan 53 Mangir Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 165 Mansur Gani Pekanbaru Dinas Penerangan Daerah Pekanbaru 115 Marasati Harahap Duri PT Caltex Pacific Indonesia Duri 88 Mardanus Pekanbaru Partindo Pekanbaru 327 Mardjohan Pasir Pangaraian 34 Mardjono Pekanbaru TNI AU Sipil Pekanbaru 258 Marpaung 239 Marsono Pekanbaru TNI AD Bangkinang 228 Matala Pekanbaru Tukang Becak Barang Pekanbaru 30 Miskun Pekanbaru Bank Indonesia Pekanbaru 87 Mochtar Samad Pekanbaru Partindo Pekanbaru 225 Mohammad Tab Pekanbaru

Riau Berdarah | 273 No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan/ Dipidana

257 Muari Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 193 Muchtar MD Rengat CS PKI Rengat 205 Muchtaruddin Sei Rangau PGRI Non-VS Sei Rangau 204 Munar Soli Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 105 Munawir Rumbai Pemuda Rakyat Rumbai 43 Muono Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 11 Mursidi Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 229 Musdjimin Rumbai BTI Rumbai 44 Nadi Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 249 Natim Dumai BTI Dumai 262 Nazaruddin 192 Neo Tje Kwie Rengat TNI AD Sipil Rengat 289 Ngadijo Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 32 Ngatidjo Pekanbaru TNI AU Sipil Pekanbaru 212 Nurachmad Bangkinang TNI AD Bangkinang 207 Nuraiman Bengkalis 23 Nurasjid Duri PT Caltex Pacific Indonesia Minas 230 Nurmin Bangkinang BTI Bangkinang 147 Oei Kim Hoo Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 240 Pardjio Pekanbaru TNI AD Bangkinang 154 Parlindungan Siagian Pekanbaru PGRI Pekanbaru 238 Rabiun Payakumbuh TNI AD Bangkinang 4 Rachman Sukri Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 84 Radjab Sjarif Pekanbaru IPPI 148 Radjinan Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 149 Ramli bin Iljas Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 190 Ramli Muluk Pekanbaru PKI Pekanbaru 110 Ramli TR Tembilahan Pemuda Rakyat 195 Ratim Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 107 Rifai Gafar Pekanbaru Kotapraja Pekanbaru 191 Rusli Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 133 Rusli Enim Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 187 S.M. Taher Pekanbaru SOBSI Rumbai 226 Sabirin Minas PKI Minas 12 Sabirin Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 253 Saeri TNI AD Pekanbaru 63 Saidi Batu Basurek BTI Batu Basurek 108 Saiful Achti Rumbai Pemuda Rakyat 124 Salatun Rambe Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 45 Samidjan Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 99 Samin Pekanbaru Pemuda Rakyat 138 Samsir Junus Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 13 Sardjimin Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 206 Sardjono (A) TNI AD 33 Sarkamsi Pekanbaru TNI AU Sipil Pekanbaru 49 Sarwono Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 3 Simanungkalit Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai

No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan/ Dipidana 66 Siswojo Sidinginan PKI Sidinginan 59 Sit Wa Fong Pekanbaru Baperki Pekanbaru 150 Sjachjar Doenoen, BA Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 281 Sjachruddin Enek Pekanbaru Kotapraja Pekanbaru 90 Sjamsir Duri PT Caltex Pacific Indonesia Duri 24 Sjamsuar St Radjo Ameh Dumai PT Caltex Pacific Indonesia Dumai 215 Sjarifuddin Sei Rangau 82 Sjarifuddin Rambe Pekanbaru IPPI 176 Sjarifuddin Siregar Pekanbaru Harian 'Kompas' Pekanbaru 35 Slamet Pekanbaru TNI AD Sipil Pekanbaru 38 Slamet Prio Rumbai TNI AD Rumbai 61 Soei Lay Rengat Baperki Rengat 131 Soli bin Tjarman Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Minas 41 Srijono Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 161 Subari Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 25 Subari bin Kadar Dumai BTI Dumai 188 Sudarmin Pekanbaru SBKB Pekanbaru 302 Sudarno Bangkinang TNI AD Bangkinang 164 Sudiman Pekanbaru Dinas Penerangan Daerah Pekanbaru 106 Sudjan Rumbai Pemuda Rakyat Rumbai 202 Sudjono (B) Pekanbaru TNI AD 85 Sugiar Effendy Pekanbaru CGMI Pekanbaru 236 Suhadi 274 Suhardjo Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 267 Suhud Batu Basurek 271 Sukirman Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 198 Sukur Pekanbaru PKI Pekanbaru 217 Sulaeman Tambusay Pekanbaru 19 Sulung Djambang Duri PKI Duri 209 Sulung Yatim Bengkalis Pedagang Bengkalis 111 Sumadi Duri PT Caltex Pacific Indonesia Duri 151 Sumargo Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 162 Sumisto Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 17 Supangat Pekanbaru TNI AD 15 Supardji Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 39 Supinggir Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 26 Suprapto Dumai BTI Dumai 46 Suprapto Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 37 Suripto Bangkinang TNI AD Bangkinang 174 Sutan Kinun Pekanbaru Kotapraja Pekanbaru 234 Sutan Pamenan Pekanbaru Agen Transportasi Pekanbaru 233 Sutan Pamenan Pekanbaru Tukang Kayu Rumbai 153 Sutarno S.A. Tanjung Pinang PGRI Non-VS Tanjung Pinang 197 Sutijono Pekanbaru TNI AD Sipil Pekanbaru 243 Sutrisno Pekanbaru TNI AD Pantai Marpoyan 208 Suwardi Bengkalis 16 Suwarno Pekanbaru TNI AD Pekanbaru

Riau Berdarah | 275 No- Nama- Asal dari Organisasi –Alamat- Kerja- Keterangan: Pekerjaan/ Dipidana 260 Suwondo Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 152 Tambunan Rumbai PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 119 Tazaruddin Minas PT Caltex Pacific Indonesia Minas 181 Tengku Achjar Pekanbaru Dinas PU Kota Pekanbaru 103 Tiauw Song Rengat Pemuda Rakyat 62 Tjay Hien Pekanbaru Baperki Pekanbaru 27 Tugiman Dumai Buruh Pelabuhan 132 Tugio Taher Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 221 Udin Tjodak Minas PKI Hutan Minas 265 Umar Dumai PT Caltex Pacific Indonesia Dumai 120 Victor H. Silalahi Minas PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 261 Wachid Pekanbaru TNI AD Pekanbaru 235 Wasman Muhadi Pekanbaru PT Caltex Pacific Indonesia Rumbai 64 Wiharna Pekanbaru BTI Pekanbaru 200 Wongsoatmodjo Bangkinang TNI AD Pekanbaru 118 Zaenuddin Minas PT Caltex Pacific Indonesia Minas 5 Zaini Pekanbaru 223 Zubai Sawahlunto jumlah 1 311 Hasan Basri Guru SDN Kotobaru Sawahlunto

Catatan: 1. Nama-nama diatas disusun berdasarkan ingatan dari beberapa orang bekas tahanan yang masih hidup ketika buku ini ditulis. Masih ada tahanan tahanan lain yang nama-namanya tidak bisa diingat, sehingga jumlah sesungguhnya, yang menghuni TPU/RTM Pekanbaru dipastikan lebih dari 379 orang, disamping ratusan bahkan ribuan yang menjadi tahanan rumah, tahanan kota atau dipecat dari pekerjaannya karena dituduh “ada indikasi”.

2 Dari nama-nama yang dihilangkan dari tahanan, pada 7 September 1968 malam Djasni (255) dan A. Kusumitro (304) dibawa pergi dari RTM ke Teperda Pekanbaru dengan tangan dirantai. Kemudian pada 16 September 1968 malam Ardan A. Nopel (92) dan Kamaluddin Sjamsuddin (139) mengalami hal yang sama. Inilah kejadian penghilangan tahanan yang terakhir di Pekanbaru yang dapat dilihat dan disaksikan oleh ratusan mata para tahanan di RTM Pekanbaru, yang sebagian sekarang

ini, ketika buku kecil ini dicetak, masih hidup. Pengambilan dan Penghilangan para tahanan lainnya terjadi antara tahun 1966 hingga 1968. (Y.T.Taher).