Sastra Anak-anak.pdf - File UPI

87 downloads 6269 Views 223KB Size Report
16 Apr 2007 ... Ketika ia kembali masuk sekolah, semua anak menjauhinya, .... cerita-cerita pendek anak yang bernilai sastra dalam sebuah seri yang khusus. Telah tiba ...... SMP. Sementara "Me Versus High Heels" ... Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan.
Tentang Sastra Anak-anak April 16, 2007 · 2 Comments Oleh: Mula Harahap Hidup ini, dari mulai lahir hingga mati, adalah sebuah proses belajar. Kita belajar untuk bisa merangkak, berbicara dan berlari. Kita belajar untuk bisa memakai celana, mengikat tali sepatu, menguasai aritmatika, fisika atau bahasa Inggeris. Kita belajar untuk bisa naik sepeda, mengoperasikan telepon genggam, komputer atau menerbangkan pesawat terbang F-16. Kita belajar untuk bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik, memahami arti kesetiaan, menghargai kejujuran atau memahami kehadiran dan kekuasaan Tuhan. Ada hal-hal tertentu yang proses belajarnya cukup dilakukan hanya dengan melihat contoh yang diperagakan guru, membaca “manual” yang tersedia atau mendengarkan uraian instruktur. Tapi ada pula hal-hal yang proses belajarnya hanya bisa dilakukan dengan menjalani sendiri kehidupan itu. Kemahiran mengendarai sepeda, menjalankan pesawat terbang, menguasai akuntansi; semua itu cukup dipelajari dengan membaca manual, melihat contoh yang diperagakan dan mendengar uraian guru. Tapi menghargai kejujuran, bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik, pemahaman akan kasih Tuhan, solidaritas terhadap penderitaan orang lain; semua itu tidak cukup dipelajari hanya dari membaca kitab suci dan mendengar wejangan ulama. Hal-hal tersebut–terutama yang berkaitan dengan rasa dan nilai– hanya bisa diperoleh dari menjalani kehidupan itu sendiri. Tapi situasi dan kondisi tentu tidak memungkinkan kita untuk selalu bisa masuk dan menjalani berbagai pengalaman hidup yang sarat nilai itu. Lagipula, untuk bisa masuk dan menjalani berbagai pengalaman hidup itu diperlukan biaya dan risiko yang tinggi. Untuk memahami penderitaan seorang wanita korban perkosaan, tidaklah mungkin kalau kita juga harus mengalami mengalami perkosaan itu. Untuk memahami kedalaman persahabatan di bawah ancaman perpisahan maut, yang dialami oleh dua prajurit muda di bawah bombardemen meriam; tentu tidaklah mungkin kalau kita juga harus ikut di sana. Tapi beruntunglah kita, karena peradaban telah menemukan sebuah wahana yang memungkinkan kita masuk, merasakan dan belajar dari kehidupan; tanpa harus menanggung berbagai risiko biaya dan bahaya. Wahana itulah yang kita sebut sastra. Di dalam bentuk cerita dan pilihan kata-kata yang kreatif, berbagai pengalaman hidup ini disublimasi sedemikian rupa oleh pengarang sehingga kita boleh mencicipinya. Kita membaca sastra seperti seekor anak burung yang menikmati makanan yang keluar dari tembolok induknya. Sastra adalah hasil cernaan dan sublimasi kehidupan. ***

Disamping sarana belajar, maka hal penting lainnya yang kita butuhkan di dalam kehidupan ini adalah teman. Ada hal-hal yang sukar untuk kita rumuskan dan ungkapkan, tapi kalau hal-hal tersebut hanya tersimpan di dalam hati, maka ia acapkali menjadi gangguan dan membuat kita gelisah. Tapi dengan kehadiran seorang teman di sisi kita–walau pun hanya sekedar saling memandang–kegelisahan acapkali bisa terbagi. Kesepian, kerinduan, cinta, kematian, atau ketakutan adalah beberapa dari hal tersebut di atas. Kadang-kadang untuk mengenali hal yang sedang bergejolak itu pun kita tak mampu. Tapi seringkali, setelah membaca sebuah karya sastra, kita merasa dibantu untuk merumuskan dan mengungkapkannya. (”Aha, inilah juga yang saya rasakan…”). Kita merasa dibebaskan. Sastra juga adalah reflektor dan sarana pembebasan. *** Sama halnya seperti orang dewasa, maka anak-anak juga memiliki keinginan untuk mempelajari berbagai kebijaksanaan hidup. Anak-anak memiliki ketakutan, kerinduan, kesepian atau kegelisahannya sendiri; yang seringkali tak mampu dirumuskan dan diungkapkannya. Tentu saja, dilihat dari kacamata orang dewasa, apa yang dirasakan dan dialami oleh anakanak terkesan sepele dan mengada-ada. Tapi, sesuai dengan takaran jiwa anak-anak itu, maka intensitas ketakutan, kerinduan atau kesepian yang dialaminya sama saja dengan yang dialami oleh orang dewasa. Anak-anak memiliki pergumulannya sendiri; yang tak kalah hebatnya dengan orang dewasa. Ketika saya masih kecil, misalnya, sepanjang malam saya selalu dihantui oleh pikiran bahwa ada seorang asing yang menyelinap di kolong tempat tidur. Karena itu, setiap kali bangun pagi, saya selalu mengambil ancang-ancang untuk melompat beberapa langkah dari sisi tempat tidur. Dengan demikian maka “orang asing” itu tak akan bisa menangkap kaki saya. Dan barulah setelah mencapai pintu, saya melongok ke kolong. (Tidak ada apa-apa di sana. Tapi upacara yang sama akan berlangsung setiap pagi). Ketika saya masih kecil, misalnya, tubuh saya kurus-kering dan saya bukanlah tipikal anak yang senang berkelahi. Tapi saya adalah anak paling tua dari beberapa bersaudara. Karena itu, setiap kali harus mengiringi adik-adik pulang dan pergi sekolah, saya selalu dipenuhi oleh kegelisahan. Saya takut, bagaimana saya harus membela mereka, kalau kami diganggu oleh anak-anak di pojok jalan sana yang selalu berteriak, “Hei, banci, banci….”. Ketika saya masih kecil, misalnya juga, saya selalu bingung kalau malam sebelum hari penerimaan rapor, ibu menyuruh saya berdoa agar Tuhan memberi nilai-nilai yang baik. Padahal saya tahu benar, sejak dua hari yang lalu, buku rapor tersebut telah diisi oleh ibu guru dan disimpan di dalam lemari kelas. (Bagaimana mungkin dan apa perlunya Tuhan

repot-repot menyelinap ke dalam lemari dan mengubah-ubah angka yang telah ada di sana?). Dalam aspek sosial anak pun seringkali mengalami kebingungan dan kegelisahan. Ketika saya masih kecil, misalnya, saya mempunyai teman sekelas yang bernama Johnny Tjong. Dan saya tidak pernah bisa mengerti, mengapa bila lepas dari pagar sekolah, Johnny–anak Cina itu– seolah-olah menjadi sah untuk diperlakukan apa saja oleh anak-anak lainnya. Bahkan orang dewasa yang melihatnya pun sering tidak mengambil tindakan apa pun. Ketika saya masih kecil, misalnya, saya juga pernah ikut berlari-lari di belakang serombongan pemuda yang sedang melakukan “sweeping” terhadap orang-orang yang diduga anggota PKI. Saya masih ingat wajah sepasang suami-isteri yang digelandang pemuda-pemuda itu keluar dari gubuknya dan dibawa ke balik kerimbunan pohon-pohon pisang di tepi sungai. Ketika kami anak-anak ingin mengetahui lebih jauh apa yang akan terjadi dengan suami-isteri itu, salah seorang dari pemuda itu mengacungkan goloknya sebagai isyarat agar kami pergi. Tentu saja saya berlari tunggang-langgang. Setibanya di rumah saya menceritakan apa yang baru saya lihat dan bertanya, “Apa salahnya orangorang itu?” Tapi saya tidak mendapat jawaban apa pun, kecuali tamparan yang keras di pipi dari ayah. Dalam kaitan yang sama dengan pengalaman di atas, maka ketika masih kecil, saya juga mempunyai seorang sahabat. Suatu hari sahabat saya tidak masuk sekolah untuk waktu yang cukup lama. Kemudian kami mendengar kabar bahwa ayahnya ditahan karena diduga terlibat dalam kegiatan PKI. Ketika ia kembali masuk sekolah, semua anak menjauhinya, seperti layaknya seorang penderita penyakit menular yang berbahaya. Dengan alasan yang tidak terlalu jelas, saya juga ikut-ikutan mengambil jarak dengan sahabat tersebut. Tapi hal itu saya lakukan dengan penuh pergumulan. Dan sampai sekarang–setelah saya dewasa–pengalaman tersebut selalu mengganggu hati saya. (Apalagi, di kemudian hari saya mendengar kabar bahwa sahabat saya tersebut telah meninggal dunia. Saya tak pernah meminta maaf kepadanya). Begitulah, banyak hal yang ingin diketahui anak. Banyak ketakutan, kebingungan, kegelisahan yang dirasakan anak, yang tak mampu dirumuskan serta diungkapkannya secara jelas. Karena itu anak juga membutuhkan teman untuk merefleksikan hidup dan sarana untuk pembebasan jiwa. Anak membutuhkan sastra. *** Pada tahun 70-an, di Amerika Serikat terbit sebuah buku cerita bergambar anak-anak yang berjudul “Where The Wild Things Are” karya Maurice Sendak. Buku itu bercerita tentang seorang anak yang di alam mimpinya bergabung dan bermain dengan monster-monster bertanduk dan berwajah jelek. Buku yang pernah mendapat penghargaan sebagai buku cerita bergambar anak-anak

terbaik itu, mendapat sambutan yang hangat dari anak-anak. Di dalam cerita dan gambargambar yang kreatif dari Maurice Sednak, anak-anak mendapatkan jawaban dan pembebasan atas ketakutannya. Kalau buku tersebut terbit di Indonesia, maka ia tentu adalah buku yang tepat bagi seorang anak yang mempunyai phobia bahwa ada orang asing yang selalu menyelinap di kolong tempat tidurnya. Pada tahun 40-an, di Amerika Serikat pernah pula terbit buku cerita bergambar yang berjudul “Ferdinand The Bull” karangan Munro Leaf. Buku ini bercerita tentang seekor anak banteng yang tidak senang berkelahi. Hobinya hanya merenung-renung di pinggir kali dan mencium harumnya bunga-bunga. Beberapa kali dalam setahun, secara teratur, peternakan itu selalu didatangi oleh para promotor adu banteng. Mereka selalu mengamatamati banteng-banteng muda untuk dilatih menjadi banteng aduan. Bila promotor-promotor ini datang ke peternakan, maka anak-anak banteng umumnya akan pasang aksi agar terpilih untuk dibawa ke kota dan dilatih menjadi banteng aduan. Tapi Ferdinand tak pernah memperdulikan hal itu. Ia asyik saja mencium bunga-bunga. Begitulah, secara tak sengaja Ferdinand mencium bunga yang berisi lebah dan lebah itu menyengat hidungnya. Ferdinand kesakitan dan melompat kian-kemari. Melihat aksi Ferdinand, maka para promotor berkesimpulan inilah banteng muda yang tepat untuk dilatih (Mereka tidak tahu bahwa Ferdinand bersikap demikian karena disengat lebah!). Begitulah, Ferdinand pun dibawa ke kota. Tentu saja ia tidak bahagia. Ketika hari adu banteng tiba penonton penuh sesak memenuhi stadion. Matador masuk ke gelanggang dengan diiringi oleh tepuk tangan penonton. Tapi Ferdinand tak merasa terangsang untuk berkelahi. Ia justeru sibuk menatap bunga-bunga yang terpasang di telinga para wanita suporter sang matador. Begitulah, ketika matador telah mengibaskan bendera merahnya, tiba-tiba ada sekutum bunga yang dilemparkan dari tribun dan jatuh di dekat kaki Ferdinand. Alih-alih berlari menabrak sang matador, Ferdinand berbalik dan duduk mencium bunga. Semua geger. Apa pun yang dilakukan oleh matador, Ferdinand tak tertarik menanggapinya. Akhirnya dengan kecewa para promotor adu banteng mengembalikannya ke peternakan. Ferdinand bahagia. Kini setiap hari ia boleh duduk-duduk menikmai keindahan. Kalau “Ferdinand The Bull” diterbitkan di Indonesia, maka ia tentu adalah sastra untuk anak lelaki yang kurus-kerempeng dan tak pandai berkelahi. Buku-buku yang baik untuk anak-anak yang mengalami kebingungan atas sejarah atau realitas sosial masyarakatnya juga banyak kita jumpai di negara-negara maju. *** Di negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropah, para pustakawan pendidik, psikolog dan ahli sastra telah menyadari benar tentang pentingnya sastra anak-anak. Cukup banyak buku yang telah ditulis mengenai sastra anak-anak. Buku yang berisikan ulasan para ahli tentang buku-buku anak-anak–subyek, sasaran umur dan sasaran pembacanya–tak

kurang pula banyaknya. *** Sastra anak-anak telah menjadi bidang kajian dan studi di fakultas-fakultas ilmu pendidikan, sastra, ilmu perpustakaan atau psikologi. Bahkan para ahli telah mengembangkan ilmu yang disebut sebagai “biblio-theraphy”, yaitu terapi terhadap gangguan kejiwaan anak-anak lewat buku-buku. Organisasi swadaya masyarakat yang mempromosikan sastra anak-anak juga tak kurang banyaknya. Ada yang mengkhususkan diri dalam pemberian penghargaan terhadap sastra anak-anak. Ada yang mengkhususkan diri menerbitkan daftar buku yang direkomendasikan sebagai buku yang patut dibaca anak-anak. Ada yang mengkhususkan diri dalam bengkel latihan kepenulisan. Di Indonesia , bila membicarakan buku dalam kaitan dengan perkembangan jiwa anak, kita masih memakai pengertian yang umum yaitu buku anak-anak. Padahal buku anak-anak mencakup buku fiksi dan non-fiksi. Dan buku fiksi sendiri masih terbagi dalam dua penggolongan, yaitu fiksi populer dan sastra. Pengertian sastra anak-anak belum dikenal luas. Bila dibandingkan dengan negara-negara Amerika Serikat, Eropa atau Jepang, perkembangan buku anak-anak kita memang relatif masih ketinggalan, baik dari segi kwalitas mau pun kwantitas. Tapi harus kita akui, di antara buku anak-anak yang telah diterbitkan selama 50 tahun ini, baik karya asli maupun terjemahan, pasti terdapat sastra anak-anak. Yang menjadi persoalan ialah, bahwa kita belum memiliki ahli yang mau meneliti dan menemukan sastra di antara ribuan judul buku anak-anak yang pernah diterbitkan itu. Dalam waktu 50 tahun terakhir ini juga cukup banyak cerita pendek untuk anak-anak yang telah diterbitkan di beberapa majalah anak-anak yang pernah kita miliki. Di antara ceritacerita pendek itu,pasti cukup banyak karya yang layak diangkat dan dipromosikan sebagai sastra anak-anak. Seperti H.B Jassin dahulu mengumpulkan cerita-cerita pendek dalam Seri “Gema Tanah Air”, maka kita juga menantikan munculnya kritikus yang mau mengumpulkan cerita-cerita pendek anak yang bernilai sastra dalam sebuah seri yang khusus. Telah tiba juga saatnya bagi semua fihak untuk mulai mengadakan penelitian dan membentuk bidang studi sastra anak-anak di fakultas sastra, ilmu pendidikan atau psikologi kita. Selama ini, untuk mengisi kekosongan karya asli, telah cukup banyak penerbit Indonesia yang menerbitkan karya terjemahan sastra anak-anak dari Amerika, Jepang atau negara-

negara Eropa. Tapi karena kurangnya promosi, karya sastra terjemahan yang baik ini tenggelam begitu saja dan penerbit tidak berani meneruskan upayanya menerbitkan lebih banyak lagi sastra anak-anak terjemahan. Sebagaimana halnya sastra untuk orang dewasa, maka sastra untuk anak-anak juga tidaklah selalu identik dengan kepopuleran. Tugas para ahli sastra anak-anaklah yang harus mempromosikan atau mempopulerkannya. Selama ini sastra anak-anak karya pengarang asli Indonesia lebih didominasi oleh tematema kemiskinan atau tema anak yang terpaksa harus bekerja meringankan beban finansil orangtua. Padahal kegelisahan dan ketakutan anak Indonesia bukanlah melulu disebabkan oleh faktor ekonomi. Kegelisahan dan ketakutan anak Indonesia sama saja seperti yang dimiliki oleh anak-anak dari berbagai bagian dunia lainnya. Buku-buku yang menjawab ketakutan anak akan hantu, setan, monster atau orang jahat, misalnya, masih bisa dihitung dengan jari. Demikian juga dengan buku-buku yang menjawab kebingungan anak akan realitas sosial seperti kebencian terhadap suatu ras, golongan, agama atau sukubangsa. Peristiwa pemberontakan G-30-S PKI dan reaksi terhadap peristiwa tersebut, misalnya, adalah suatu kenyataan dalam perjalanan sejarah bangsa kita. Ada jutaan anak dari orangtua yang dituduh sebagai anggota PKI atau terlibat dalam G-30-S, yang harus mengalami kebingungan dan ketakutan. Tapi tampaknya belum ada satu buku anak-anak pun (sastra anak-anak) yang bercerita mengenai hal tersebut. Sementara terhadap politik perbedaan warna kulit seperti di AS, atau kebencian terhadap orang asing di Jerman, banyak sekali sastra anak-anak yang telah ditulis. Sastra anak-anak di AS atau Jerman membantu anak-anak di negara tersebut untuk menilai apa yang telah dilakukan oleh masyarakat dan memahami kekeliruan sejarah bangsanya. Cerita-cerita fantasi yang bisa “menerbangkan” anak keluar dari perasaan terkungkung oleh aturan dan norma orang dewasa yang sering tak difahaminya, boleh dikatakan nyaris tak ada. Untuk mengisi kekosongan dan sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi pengarangpengarang asli Indonesia, tidak ada salahnya kalau terjemahan digalakkan. Tapi penerbitan terjemahan baru akan berguna kalau di tengah-tengah kita telah hadir sejumlah ahli dan kritikus sastra anak-anak. Para ahli dan kritikus inilah yang kita harapkan mau memilih dan merekomendasikan kepada para pendidik, pustakawan atau orangtua, sastra anak-anak yang layak untuk mereka beli dan hadiahkan kepada anak. Hal lain yang perlu dilakukan ialah mendorong hadirnya kelompok-kelompok atau lembaga swadaya masyarakat di bidang sastra anak-anak. Kelompok ini bisa merupakan kelompok yang bergerak dalam penulisan, promosi, pemberian hadiah atau penghargaan terhadap sastra terbaik atau pun sekedar kelompok diskusi buku. Pengembangan sastra anak-anak merupakan pekerjaan simultan dari penerbit, kritikus, akademisi dan masyarakat[].

http://mulaharahap.wordpress.com/

Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak-Anak Submitted by admin on Rab, 25/04/2007 - 3:05pm.

Oleh: Korrie Layun Rampan Cerita anak-anak adalah cerita sederhana yang kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadi syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka. Kompleksitas cerita anak-anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi untuk orang dewasa. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. Secara sederhana sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur dan dari bacaan itu anak-anak (atau orang tua mereka) dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca. Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap, sebagaimana manusia sehari-hari. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca.

Penokohan harus (seharusnya) memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci. Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampak latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik. Alur merupakan pilar keempat. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain hingga cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang nanti terjadi. Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca. Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi

bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita. Diambil

dan

Judul

buku

Judul

:

artikel:

Penulis Penerbit

diedit

Pink

Menulis

Dasar-Dasar :

:

Teknik

seperlunya

Penulisan

Korrie Books,

Pusbuk,

dari: Cerita

Anak

Cerita

Anak

Layun dan

Taman

Melati,

Rampan Yogyakarta

2003

Halaman : 89 -- 94

Menumbuhkan Budaya Menulis pada Anak Submitted by team e-penulis on Rab, 25/04/2007 - 3:47pm.

Dirangkum oleh: Puji Arya Yanti Kegiatan menulis, pada dasarnya, merupakan kegiatan yang baik dilakukan oleh anak. Dengan menulis, kreativitas anak dapat ditingkatkan. Demikianlah salah satu alasan menulis yang dikemukakan Caryn MirianGoldberg dalam bukunya, "Daripada Bete Nulis Aja!". Dengan menulis, seorang anak ibarat membenamkan diri dalam proses kreatif. Karena ketika ia menulis, itu berarti anak menciptakan sesuatu, yang juga berarti melontarkan pertanyaan-pertanyaan, mengalami keraguan dan kebingungan, sampai akhirnya menemukan pemecahan. Dan ketika proses kreatif tersebut semakin dilatih, anak akan semakin mudah untuk mengalihkan keahliannya kepada bidang lain yang juga membutuhkan solusi kreatif, seperti sekolah maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Dari kegiatan menulis ini pula anak dapat memperoleh manfaat, di antaranya sebagai berikut.



Anak dapat menyatakan perasaannya tentang apa yang dialami dalam bentuk tulisan.



Anak dapat menyatukan pikiran ketika menuangkan ide dengan kata-kata.



Anak dapat menunjukkan kasih kepada sesama, misalnya dengan menulis surat ucapan terima kasih atau ulang tahun kepada orang tua, teman, atau bahkan guru.



Anak bisa meningkatkan daya ingat dengan cara membuat dan menulis informasi tentang sesuatu.

KIAT MENUMBUHKAN BUDAYA MENULIS PADA ANAK Mengingat

banyaknya

manfaat

kegiatan

menulis

bagi

anak,

budaya

menulis

tentu

perlu

ditumbuhkembangkan. Untuk itu, pertama-tama, tumbuhkan dulu kecintaan dan kebiasaan anak dalam hal membaca. Satu hal yang perlu diingat, menulis sangat berbeda dengan berbicara. Tentunya komunikasi melalui tulisan cenderung lebih sulit. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin bisikan dan teriakan, seperti ketika berbicara, diwujudkan dalam bentuk tulisan. Hanya saja, untuk mengungkapkannya dibutuhkan kecerdasan bahasa. Dan membaca menjadi solusinya. Dengan banyak membaca, rasa kebahasaan anak akan berkembang. Ketika anak baru memulai menulis, tidak perlu mengajarkan tata bahasa pada anak. Sebagian besar pengetahuan ketatabahasaan ini sifatnya berkembang sehingga bisa dikuasai anak sedikit demi sedikit. Secara alami, anak akan belajar berbicara dari bahasa yang mereka dengar. Anak juga akan belajar menulis dalam bahasa yang mereka baca, tentunya bila mereka banyak membaca karena buku adalah masukan untuk tulisan yang baik. Menuntut kesempurnaan tulisan anak adalah kerangka berpikir yang buruk untuk menjadikannya seorang penulis. Tidak hanya menyingkirkan kreativitas dan keceriaan, hal tersebut juga bisa menimbulkan kelumpuhan besar bagi penulis. Gunakan kata-kata pujian sebagai cara yang efektif untuk memotivasi anak dalam menulis. Untuk saran dan kritik atas tulisan anak, tunggu sampai anak betul-betul mulai menganggap diri mereka penulis karena saat itu mereka lebih berminat pada cara-cara menulis yang lebih baik. Namun, tetap usahakan memberi saran dan kritik dengan cara yang hati-hati. Satu hal yang juga perlu dihindari adalah membaca tulisan anak tanpa seizin mereka. Jangan pernah melakukan hal itu! Tunjukkan saja kalau Anda tertarik dengan tulisan mereka dan untuk membacanya bertanyalah terlebih dulu dan jangan memaksa atau mencuri-curi untuk membaca tulisan anak. Selain itu, jangan menyensor tulisan anak. Tulisan anak yang betul-betul tidak bisa diterima biasanya hanyalah musiman. Jangan khawatir ketika hal itu terjadi karena masa tersebut akan berakhir juga. Bersyukur dan bergembiralah saja karena anak memperlihatkan tulisannya yang seperti itu kepada Anda. Itu berarti mereka mempercayai Anda. Seperti halnya membaca, selera menulis anak bisa berbeda-beda. Oleh karena itu, doronglah mereka untuk menulis sesuatu yang mereka senangi. Tidak menjadi masalah apa jenis tulisan anak. Malahan, semakin banyak jenis tulisan yang dibuat, semakin terampil pula mereka jadinya. Berikut ini empat bentuk kegiatan menulis yang bisa dikerjakan guna menumbuhkan budaya menulis pada anak.

1.

Menulis Puisi

Menulis puisi merupakan cara yang mudah untuk memulai usaha menumbuhkan budaya menulis pada anak. Penulisan puisi bisa menggugah rasa kebahasaan lewat permainan dengan kata-kata dan struktur kalimat. Meskipun menulis puisi mungkin tidak disukai oleh semua anak, kita bisa menyediakan berbagai bentuk puisi untuk menunjukkan pada anak-anak bahwa membuat puisi itu mudah dan menyenangkan untuk mengekspresikan perasaan dan ide pikiran. 2.

Menulis Kalimat Deskripsi

Kegiatan menulis ini dilakukan dengan cara, anak menuliskan kalimat-kalimat deskripsi dari gambar-gambar yang mereka miliki. Misalnya, gambar kuda. Ajak anak menjelaskan seekor kuda lewat tulisan. Tulisan tersebut bisa dipasang di bawah gambar kuda yang dimiliki anak. Kegiatan menulis deskripsi ini dapat merangsang anak untuk mengungkapkan suatu bentuk/benda yang dipahami anak melalui tulisan. 3.

Menulis Doa

Menuliskan doa tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana cara anak berkomunikasi dengan Allah. Namun, hal ini dapat menolong anak untuk lebih mengerti permohonan doa yang disampaikan dan mengatur cara penyampaian idenya. Menulis doa sekaligus juga dapat menolong anak-anak untuk mengetahui bagaimana Allah menjawab doa-doa mereka. 4.

Menulis Jurnal atau Catatan Harian

Menulis buku harian atau jurnal bisa menjadi aktivitas menulis yang baik bagi anak. Kegiatan ini bisa menciptakan hubungan intim antara anak dan kegiatan tulis-menulis. Hal ini juga bisa membuat anak melihat betapa kuatnya tulisan dan banyaknya wawasan tentang pengalaman sehari-hari yang diperoleh anak dari tulisan. Pada akhirnya, untuk menumbuhkan budaya menulis pada anak, anak perlu dibiasakan dengan tulis menulis itu sendiri dan menjadikan kegiatan menulis sebagai suatu hal yang menyenangkan. Perlu kerja keras, kesabaran, dan bimbingan untuk meraihnya. Namun hasilnya, anak akan memetik keuntungan sepanjang hidupnya melalui kegiatan ini. Sumber

bacaan:

Choun, Robert J. dan Michael S. Lawson. 1993. "The Complete Handbook of Children`s Ministry". Nashville: Thomas Nelson Publishers. Haystead, Wes dan Sheryl Haystead. 1992. "Sunday School Smart Pages". Ventura: Gospel Light. Leonhardt, Mary. 2001. "99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis:. Bandung: Kaifa.

Mirriam-Goldberg, Caryn. 2003. "Daripada Bete Nulis Aja!". Bandung: Kaifa.

Biarlah Anak Mengekspresikan Dirinya dengan Menulis Submitted by team e-penulis on Kam, 26/04/2007 - 8:13am.

Oleh: Kristina Dwi Lestari Ada orang tua yang menganggap bahwa tingkat kecerdasan anak diukur dari IQ-nya saja. Anak yang mempunyai tingkat intelektual yang tinggi adalah anak yang mampu mengerjakan soal matematika atau pelajaran eksakta daripada pelajaran lainnya. Hal ini jelas sebuah pandangan yang harus sedikit diubah dalam masyarakat kita, khususnya para orang tua. Tingkat kecerdasan anak sekarang ini tidak hanya diukur dari IQ saja, namun juga tingkat spiritualitas (SQ) dan emosionalnya (EQ). Kita juga harus menyadari bahwa seorang anak mempunyai tingkat kecerdasan dan bakat, serta minat yang berbeda-beda. Berbicara masalah bakat, ada anak yang berbakat dalam hal seni, menulis, olahraga, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, peranan orang tua dalam memupuk bakat anak sejak usia dini agar berkembang secara optimal adalah sangat penting. Pada artikel di atas kita mendapat pemahaman betapa menumbuhkan budaya menulis kepada anak merupakan hal yang perlu kita lakukan kepada anak-anak kita. Beberapa penulis cilik yang bermunculan akhir-akhir ini membuktikan bahwa budaya menulis mulai diminati oleh anak. Sebut saja Izzati, seorang novelis termuda asal Bandung yang berhasil dinobatkan sebagai novelis termuda oleh MURI. Gadis kelas VI SD ini telah menghasilkan beberapa karya, di antaranya novel berjudul "Powerful Girls", "Kado untuk Ummi", dan lain-lain. Ada juga A. Ataka A.R., salah satu penulis cilik yang telah membuat dua novel. Ia menuturkan bahwa menulis dilakukannya saat merasa frustasi atau bosan. Dalam keadaan inilah dia menyalurkan idenya dengan membiarkan jarinya menari di atas kertas. Jangan pernah takut salah atau takut cerita kita jelek. Dan jangan menanti mood datang, tapi kitalah yang harus menciptakan mood itu, kata Ataka dalam pernyataannya seperti dikutip dari majalah Matabaca. BUDAYA MEMBACA SEBAGAI MODAL PENTING DALAM MENULIS Apa betul kegiatan membaca dapat membantu seseorang untuk kreatif? Jordan E. Ayan menjelaskan bahwa membaca dapat memicu kreativitas. Buku mengajak kita membayangkan dunia beserta isinya, lengkap dengan segala kejadian, lokasi, dan karakter. Bayangan yang terkumpul dalam tiap buku yang melekat dalam pikiran, membangun sebuah bentang ide dan perasaan yang menjadi dasar dari ide kreatif (Hernowo 2003: 37). Padahal salah satu faktor yang mendorong agar anak mempunyai minat menulis ialah kebiasaan membacanya.

Sudahkah minat baca anak kita tinggi? Ini merupakan pertanyaan yang sedikit ironis karena pada kenyatannya, minat baca anak-anak Indonesia sangatlah rendah. Banyak fakta menunjukkan bahwa anakanak kita lebih suka bermain video game daripada duduk berlama-lama untuk membaca sebuah buku. Murti Bunanta menganjurkan, sedari kecil, anak-anak perlu didekatkan pada bacaan. Penelitian Prof. Benyamin Bloom mengungkapkan, saat berusia empat tahun, anak berada dalam periode suka meniru perbuatan orang tuanya tanpa terkecuali. Jadi dapat diharapkan, jika orang tua suka membaca, anak juga akan melakukan hal yang sama. Sebagai contoh, jika sejak kecil anak sudah dibiasakan dengan bacaan (sastra), mereka akan didekatkan dengan kehidupan manusia (Bunanta 2004: 85). Dengan membaca karya sastra seperti cerpen, puisi, dll., mereka akan belajar banyak hal dan memuliakan perasaan (Kartono 2001: 116). Boleh dikatakan, membaca dan menulis bak dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dengan membaca, wawasan anak akan semakin berkembang. Negara yang terencana dan tersistematis membangun negara dan bangsanya melalui gerakan pendidikan massal dengan sikap ilmiah, rasional, kritis, dan rajin membaca apa saja dan di mana saja, tegas Suryopratomo, pemimpin redaksi/penanggung jawab harian "Kompas" dalam pernyataannya yang dikutip dalam Matabaca edisi Juli 2004. MENULIS ADALAH SENI Kita mungkin masih ingat ketika sewaktu kecil kita suka sekali menulis suatu kejadian dalam sebuah diari. Dengan mudahnya kita meluapkan segala perasaan itu ke dalam sebuah untaian kata-kata dan akhirnya sebuah cerita. Kita tidak menyadari bahwa kegiatan itu merupakan bagian dari proses kreatif yang sedang kita ciptakan sebagai salah satu bentuk seni. Jika bakat tersebut sudah terlihat pada anak Anda, jangan siasiakan. Berikan ruang buat mereka untuk mengembangkan bakat tersebut. Menulis merupakan sebuah seni. Karena dalam menuangkan ide seorang penulis ke dalam sebuah tulisan itu bebas, sesuai dengan kreativitas dan daya seni seseorang. Kata "seni" mengandung arti keahlian membuat karya yang bermutu atau kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi dan luar biasa. Menulis, sesuai dengan pendapat Tony Tedjo, berarti menuangkan isi hati si penulis ke dalam bentuk tulisan sehingga maksud hati penulis bisa diketahui banyak orang melalui tulisan yang disajikan. Setiap anak mempunyai potensi untuk menulis. Biarkan imajinasinya mereka tumpahkan dalam cerita yang mereka ciptakan. A. Ataka A.R. mengatakan bahwa dia seperti mempunyai dunia sendiri manakala dia sedang menulis sebuah cerita. Novel pertama yang dia ciptakan dengan judul "Misteri Pedang Skinhead# 1" yang diterbitkan oleh Penerbit Alenia, dia selesaikan dalam waktu satu tahun. Kita dapat membayangkan betapa luar biasa imajinasi yang ada di otak mereka. "Yang dibutuhkan dari seorang penulis adalah 10% bakat, sisanya 90% adalah kemauan dan latihan," begitulah pengakuan dari Gary Provost sebagaimana dikutip Tony Tedjo.

BEKERJA SAMA DENGAN PENERBIT Benar jika nanti akan banyak karya dari anak untuk anak. Anak tidak lagi membaca karya yang orang dewasa ciptakan bagi mereka. Bisa jadi mereka dapat menciptakan karya bagi anak yang lain. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa karya-karya mereka akan memberikan motivasi bagi teman-teman sebayanya yang mempunyai minat yang sama, namun malu untuk mengekspresikan dirinya dengan menulis. Sebuah stimulus yang bagus jika banyak penerbit yang mau menerbitkan karya dari penulis anak-anak. Bukan tidak mungkin nanti banyak penerbit yang akan kerepotan dengan banyaknya naskah yang ditulis oleh anak-anak masuk ke meja penerbit. Ali Muakhir, manajer penerbitan DAR!Mizan, mengatakan bahwa anak-anak harus didengar dan diapresiasi keinginannya sambil sedikit diarahkan, bukan diberi masukan, karena akan meningkatkan adrenalin mereka untuk menghasilkan karya yang optimal. Dan satu lagi, jangan ada pemaksaan terhadap mereka. Dia menambahkan bahwa penerbitannya tidak akan mengedit karya mereka seperti penulis dewasa. Penerbit ingin menjaga keorisinalan karya mereka. Oleh karenanya, penerbitnya hanya akan mengedit 5% dari naskah yang ada. Itupun harus didiskusikan terlebih dahulu dengan penulis maupun dengan orang tuanya. Potensi-potensi kecil itu menurut Ali Muakhir harus senantiasa dipupuk, baik secara individu, yaitu dengan melibatkan orang tua untuk memberi motivasi dan fasilitas untuk terus berkarya, atau secara bersama-sama dengan mengadakan temu penulis atau memberikan info- info yang diperlukan mereka. Mel Levine, salah seorang pakar pendidikan anak, menekankan bahwa sangatlah penting untuk menumbuhkan dan meningkatkan kelebihan pada anak. Lebih lagi pada minat yang terfokus, perlu juga dipupuk. Pikiran manusia itu berkembang dengan minat yang mendalam pada bidang yang menarik baginya. Minat pada suatu bidang bisa membuat kita mahir dalam hal tersebut (Levine 2004: 363-365). Oleh sebab itu, orang tua dan guru perlu membantu menemukan hal yang diminati anak dengan sepenuh hati. Kalau ada beberapa penerbit yang menaruh perhatian pada perkembangan para penulis cilik yang notabene adalah calon penulis di masa mendatang, maka kita patut menyambut gembira hal tersebut. Selamat mendukung anak Anda dalam proses kreatif yang sedang mereka ciptakan. Daftar Bunanta, Murti. 2004. "Buku, Mendongeng dan Minat Membaca". Jakarta: Penerbit Tangga. Hernowo. 2003. "Quantum Reading". Bandung: Mizan Learning Centre. Kartono, ST. 2001. "Menabur Benih Keteladanan". Yogyakarta: KEPEL Press. Levine, Mel. 2004. "Menemukan Bakat Istimewa Anak". Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

bacaan:

Muakhir, Ali. 2006. Kecil-Kecil Punya Karya, dalam "Matabaca" Vol.4/No.7/Maret 2006. Hlm. 11. Parera, Frans.M. 2004. Buku Sebagai Kultur Product, dalam "Matabaca" Vol.2/No.11/Juli 2004. Hlm. 10 -- 11. Tedjo, Tony. "Menulis Seni Mengungkapkan Hati", dalam http://www.sabda.org/pelitaku/node/225.

Guru Mengajar, Murid Menulis Submitted by team e-penulis on Jum, 24/03/2006 - 3:33pm.

Penulis : Gede H. Cahyana Guru mengajar, bukanlah berita. Guru menulis, itu baru berita! Guru rajin mengajar dan terus mengajar tidaklah aneh. Guru yang membaca dan terus membaca, apalagi berganti dari satu buku ke buku lainnya, ini yang agak aneh. Sebab, banyak guru hanya membaca satu-dua buku. Itu pun buku-buku yang menjadi bahan ajarnya. Jarang ia membaca buku selain buku yang menjadi bahan ajarnya. Betulkah guru malas membaca? Jika dijawab betul dan menganggap semuanya malas membaca pastilah keliru. Tak bisa semuanya disamakan seperti itu. Ada guru yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku, tak hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran, sesekali membeli majalah. Buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku second yang dibelinya di pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang sekali. Guru pesuka buku, terlebih lagi kutu buku, atau pelahap buku, jumlahnya sedikit. Berapa pastinya sulit diketahui karena subjektif. Kelompok pesuka buku ini secara ekonomi mau menyisihkan uang gajinya untuk memuaskan dahaga akalnya. Gajinya tak berbeda dengan guru-guru lainnya yang malas membaca. Bedanya, dia rela memotong gajinya untuk makanan ruhaninya. Selain itu, dia juga berupaya mendapatkan uang halal dari sumber-sumber lain, tak hanya mengandalkan gajinya. Bisa lewat warung kelontong, membuat wartel, atau berkirim artikel ke media massa. Guru yang demikian pantaslah menjadi motor masyarakat-baca, minimal di hadapan murid-muridnya. Guru menulis? Jika membaca saja malas, mungkinkah seorang guru mampu menulis? Mampukah menghasilkan tulisan, minimal artikel yang terkait dengan bidang ilmunya? Yang lebih tinggi lagi, menghasilkan buku yang bisa menambah wawasan-baca publiknya, khususnya murid-muridnya. Mari diam-diam dideteksi apakah guru kita mampu menulis artikel di koran, majalah, tabloid kelas rendah, kelas sedang sampai kelas atas. Setiap sekolah bisa memantau apakah ada gurunya yang menulis artikel di media massa. Adakah yang sudah

menulis buku umum atau buku pelajaran di vak yang ditekuninya bertahun-tahun? Berapa orang yang demikian? Guru yang menulis itu perlu dihargai lewat hadiah, apapun ujudnya, yang penting bernilai tinggi secara intelektual dan finansial. Pemerintah, baik pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) maupun pemerintah pusat hendaklah menganugerahkan nilai tinggi untuk setiap artikel yang ditulisnya. Apalagi kalau ditulis di koran beroplah banyak dan berkualitas tinggi. Masyarakat sudah tahu mana saja koran yang sangat selektif dalam menerbitkan artikel. Menghargai karya ilmiah atau ilmiah populer dengan nilai tinggi berarti meninggikan posisi menulis di atas membaca yang lantas diharapkan mampu membiasakan guru bersaing antarguru lewat menulis. Juga mampu mengangkat namanya di antara koleganya sekaligus mengantarkan nama sekolahnya ke seluruh penjuru daerah. Begitu pun yang layak menjadi kepala sekolah, apalagi memegang jabatan di Dinas Pendidikan, haruslah yang prestatif dalam dunia tulis-menulis. Pertimbangkanlah kuantitasnya dan bagaimana kualitas karya tulisnya. Lebih bagus lagi kalau mampu menghasilkan buku yang diakui Ditjen Dikdasmen, mengusung Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bukan sekadar menulis LKS yang jika ditilik hanya berkutat dan berputarputar dari itu ke itu saja. Murid menjadi malas menjelajahi dunia ilmu, tak bereksplorasi dan terus bergelut dengan hafalan di LKS. Nilai raportnya identik dengan LKS. Bahkan murid hanya menghafal jawabnya saja, tanpa perlu membaca soalnya. Hafal di luar kepala! Ini betul-betul terjadi, bukan isapan jempol. Inilah salah satu fenomena remaja kita akibat dunia sekolah yang tak bergairah, tak kompetitif dalam keilmuan. Muridnya penulis Lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Begitu pun, lain guru lain muridnya. Ketika guru malas membaca, tak mampu menulis, muridnya justru ada yang rajin menulis. Tidakkah ini luar biasa? Sering saya lihat murid-murid menulis di koran dan majalah. Tulisannya profesional, enak dibaca, mengalir lancar. Isinya tak kalah hebat, begitu mendalam, sampai masuk ke wilayah transenden sehingga menjadi cermin diri bagi pembacanya, menyulut semangat hidupnya. Bertanya-tanyalah saya, bagaimana gurunya, menuliskah mereka? Saya juga kagum menyaksikan anak-anak SD yang mampu menulis novel. Bukan satu novel yang ditulisnya, melainkan sudah nyaris sama dengan jumlah jari tangannya. Sebaliknya gurunya tak menulis satu pun artikel pendek di koran, apatah lagi buku ratusan halaman. Tidakkah ini menggembirakan? Atau menyedihkan jika dilihat dari sudut pandang gurunya? Bayangkan, seorang guru yang ingin naik pangkat dan harus menulis karya ilmiah tapi karya tulisnya itu dibuat oleh orang lain. Bayarannya bervariasi, bergantung pada negosiasi. Juga terjadi, seorang guru (juga dosen) membayar sejumlah uang agar karya tulisnya dimuat di

jurnal (jurnal-jurnalan). Yang juga nakal, ada guru (juga dosen) yang membayarkan sejumlah uang agar tulisannya dimuat di media massa. Kembali ke soal murid menulis. Perlu terus “dipanas-panasi†agar murid mau terus menulis. Apabila sekarang sudah mampu menulis bagus, sekian tahun kemudian, jika mereka menjadi guru niscaya pengalamannya akan dibagikan kepada murid-muridnya. Merekalah yang lebih cocok menjadi pengganti guru-guru yang tak jua mampu menulis. Itu sebabnya, dalam rekrutmen guru selayaknya kemampuan menulis menjadi materi ujian utama. Prestasi adalah tolokukurnya. Ini penting agar guru jangan hanya tenggelam dalam rutinitas: datang, absen, mengajar, istirahat, mengajar lagi, lalu ngobrol dan pulang. Yang begini tak bakal mampu mentradisikan budaya baca-tulis di sekolah, apalagi di masyarakat. Lebih parah lagi adalah oknum guru dan kepala sekolah, termasuk pejabat di Dinas Pendidikan yang hanya melihat uang. Buku adalah uang. Buku adalah tender projek sehingga kasak-kusuk dengan penerbit pun sudah mendarah daging. Kalau mengajar adalah tugas mulia, maka menulis pasti jauh lebih mulia. Menulis adalah menyebarkan ilmu. Lewat tulisan, guru mengajar orang yang membaca tulisannya dan “abadi†sepanjang masa selama tulisan itu tak dimusnahkan. Ia pun tak hanya mengajar murid di kelasnya, tapi juga semua pembacanya. Tulisan, baik artikel maupun buku, adalah warisan guru yang paling berharga. Berlombalah dalam menulis, wahai guru... agar kecakapan dan keilmuan yang dimiliki dapat digugu dan ditiru para murid sehingga mereka ikut-ikutan rajin membaca dan mencoba menulis. Sekali lagi, menulis dan menulislah! * Bahan Sumber

dari: :

milis

PasarBuku

([email protected])

Penulis : Gede H. Cahyana

Menumbuhkan Budaya Menulis pada Anak Submitted by team e-penulis on Rab, 25/04/2007 - 3:47pm.

Dirangkum oleh: Puji Arya Yanti Kegiatan menulis, pada dasarnya, merupakan kegiatan yang baik dilakukan oleh anak. Dengan menulis, kreativitas anak dapat ditingkatkan. Demikianlah salah satu alasan menulis yang dikemukakan Caryn MirianGoldberg dalam bukunya, "Daripada Bete Nulis Aja!". Dengan menulis, seorang anak ibarat membenamkan diri dalam proses kreatif. Karena ketika ia menulis, itu berarti anak menciptakan sesuatu, yang juga berarti melontarkan pertanyaan-pertanyaan, mengalami keraguan dan kebingungan, sampai akhirnya menemukan pemecahan. Dan ketika proses kreatif tersebut

semakin dilatih, anak akan semakin mudah untuk mengalihkan keahliannya kepada bidang lain yang juga membutuhkan solusi kreatif, seperti sekolah maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Dari kegiatan menulis ini pula anak dapat memperoleh manfaat, di antaranya sebagai berikut.



Anak dapat menyatakan perasaannya tentang apa yang dialami dalam bentuk tulisan.



Anak dapat menyatukan pikiran ketika menuangkan ide dengan kata-kata.



Anak dapat menunjukkan kasih kepada sesama, misalnya dengan menulis surat ucapan terima kasih atau ulang tahun kepada orang tua, teman, atau bahkan guru.



Anak bisa meningkatkan daya ingat dengan cara membuat dan menulis informasi tentang sesuatu.

KIAT MENUMBUHKAN BUDAYA MENULIS PADA ANAK Mengingat

banyaknya

manfaat

kegiatan

menulis

bagi

anak,

budaya

menulis

tentu

perlu

ditumbuhkembangkan. Untuk itu, pertama-tama, tumbuhkan dulu kecintaan dan kebiasaan anak dalam hal membaca. Satu hal yang perlu diingat, menulis sangat berbeda dengan berbicara. Tentunya komunikasi melalui tulisan cenderung lebih sulit. Meskipun demikian, bukan tidak mungkin bisikan dan teriakan, seperti ketika berbicara, diwujudkan dalam bentuk tulisan. Hanya saja, untuk mengungkapkannya dibutuhkan kecerdasan bahasa. Dan membaca menjadi solusinya. Dengan banyak membaca, rasa kebahasaan anak akan berkembang. Ketika anak baru memulai menulis, tidak perlu mengajarkan tata bahasa pada anak. Sebagian besar pengetahuan ketatabahasaan ini sifatnya berkembang sehingga bisa dikuasai anak sedikit demi sedikit. Secara alami, anak akan belajar berbicara dari bahasa yang mereka dengar. Anak juga akan belajar menulis dalam bahasa yang mereka baca, tentunya bila mereka banyak membaca karena buku adalah masukan untuk tulisan yang baik. Menuntut kesempurnaan tulisan anak adalah kerangka berpikir yang buruk untuk menjadikannya seorang penulis. Tidak hanya menyingkirkan kreativitas dan keceriaan, hal tersebut juga bisa menimbulkan kelumpuhan besar bagi penulis. Gunakan kata-kata pujian sebagai cara yang efektif untuk memotivasi anak dalam menulis. Untuk saran dan kritik atas tulisan anak, tunggu sampai anak betul-betul mulai menganggap diri mereka penulis karena saat itu mereka lebih berminat pada cara-cara menulis yang lebih baik. Namun, tetap usahakan memberi saran dan kritik dengan cara yang hati-hati. Satu hal yang juga perlu dihindari adalah membaca tulisan anak tanpa seizin mereka. Jangan pernah melakukan hal itu! Tunjukkan saja kalau Anda tertarik dengan tulisan mereka dan untuk membacanya bertanyalah terlebih dulu dan jangan memaksa atau mencuri-curi untuk membaca tulisan anak. Selain itu, jangan menyensor tulisan anak. Tulisan anak yang betul-betul tidak bisa diterima biasanya hanyalah

musiman. Jangan khawatir ketika hal itu terjadi karena masa tersebut akan berakhir juga. Bersyukur dan bergembiralah saja karena anak memperlihatkan tulisannya yang seperti itu kepada Anda. Itu berarti mereka mempercayai Anda. Seperti halnya membaca, selera menulis anak bisa berbeda-beda. Oleh karena itu, doronglah mereka untuk menulis sesuatu yang mereka senangi. Tidak menjadi masalah apa jenis tulisan anak. Malahan, semakin banyak jenis tulisan yang dibuat, semakin terampil pula mereka jadinya. Berikut ini empat bentuk kegiatan menulis yang bisa dikerjakan guna menumbuhkan budaya menulis pada anak. 5.

Menulis

Puisi

Menulis puisi merupakan cara yang mudah untuk memulai usaha menumbuhkan budaya menulis pada anak. Penulisan puisi bisa menggugah rasa kebahasaan lewat permainan dengan kata-kata dan struktur kalimat. Meskipun menulis puisi mungkin tidak disukai oleh semua anak, kita bisa menyediakan berbagai bentuk puisi untuk menunjukkan pada anak-anak bahwa membuat puisi itu mudah dan menyenangkan untuk mengekspresikan perasaan dan ide pikiran. 6.

Menulis

Kalimat

Deskripsi

Kegiatan menulis ini dilakukan dengan cara, anak menuliskan kalimat-kalimat deskripsi dari gambar-gambar yang mereka miliki. Misalnya, gambar kuda. Ajak anak menjelaskan seekor kuda lewat tulisan. Tulisan tersebut bisa dipasang di bawah gambar kuda yang dimiliki anak. Kegiatan menulis deskripsi ini dapat merangsang anak untuk mengungkapkan suatu bentuk/benda yang dipahami anak melalui tulisan. 7.

Menulis

Doa

Menuliskan doa tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana cara anak berkomunikasi dengan Allah. Namun, hal ini dapat menolong anak untuk lebih mengerti permohonan doa yang disampaikan dan mengatur cara penyampaian idenya. Menulis doa sekaligus juga dapat menolong anak-anak untuk mengetahui bagaimana Allah menjawab doa-doa mereka. 8.

Menulis

Jurnal

atau

Catatan

Harian

Menulis buku harian atau jurnal bisa menjadi aktivitas menulis yang baik bagi anak. Kegiatan ini bisa menciptakan hubungan intim antara anak dan kegiatan tulis-menulis. Hal ini juga bisa membuat anak melihat betapa kuatnya tulisan dan banyaknya wawasan tentang pengalaman sehari-hari yang diperoleh anak dari tulisan. Pada akhirnya, untuk menumbuhkan budaya menulis pada anak, anak perlu dibiasakan dengan tulis menulis itu sendiri dan menjadikan kegiatan menulis sebagai suatu hal yang menyenangkan. Perlu kerja keras, kesabaran, dan bimbingan untuk meraihnya. Namun hasilnya, anak akan memetik keuntungan sepanjang hidupnya melalui kegiatan ini.

Sumber

bacaan:

Choun, Robert J. dan Michael S. Lawson. 1993. "The Complete Handbook of Children`s Ministry". Nashville: Thomas Nelson Publishers. Haystead, Wes dan Sheryl Haystead. 1992. "Sunday School Smart Pages". Ventura: Gospel Light. Leonhardt, Mary. 2001. "99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis:. Bandung: Kaifa. Mirriam-Goldberg, Caryn. 2003. "Daripada Bete Nulis Aja!". Bandung: Kaifa.

Teenlit Sebagai Cermin Budaya Remaja Perkotaan Masa Kini Submitted by team e-penulis on Sen, 19/11/2007 - 1:07pm.

Disusun oleh: R.S. Kurnia Kalau ditanya apa genre novel yang tengah populer pada masa kini, mungkin jawabnya adalah "teenlit", alias "teen literature". Karya fiksi ini mendapat sambutan yang luar biasa dari penggemarnya. Buktinya, karyakarya fiksi berlabel "teenlit" ini sampai dicetak berkali-kali. Sebut saja "Dealova" karya Dyan Nuranindya yang langsung ludes 10 ribu eksemplar hanya dalam tempo sebulan. Malahan, "Dealova" juga telah diangkat ke layar lebar. Genre yang mulai merebak sekitar tahun 2000-an ini memang boleh dikatakan fenomenal. Pangsa pasarnya berkisar di lingkungan remaja putri, dapat dikatakan bersaing dengan genre yang "sedikit" lebih dewasa, "chicklit", atau "chick literature". Perkembangannya pun boleh dikata hampir beriringan. Bila "chicklit" lebih mengarah pada sosok wanita muda protagonis yang mandiri, lajang, bergaya hidup kosmopolit, dengan pelbagai problematika percintaan (Anggoro 2003), "teenlit" cenderung mengarah pada kaum remaja putri, kehidupan sekolahan, pesta "sweet seventeen", dan juga percintaan (Sulistyorini 2005). BERAKAR DARI BARAT SUKSES DI LOKAL Meski demikian, akar dari kedua genre ini sesungguhnya sama: sama-sama buatan Barat. "Buku Harian Bridget Jones" (terjemahan "Bridget Jones` Diary"; juga telah dilayarlebarkan) merupakan buku pertama dari genre tulisan populer ini yang muncul di Indonesia pada 2003. Namun, ketika "teenlit" dan "chicklit" terjemahan sepertinya mulai mendominasi, para penulis lokal pun turut menggeliat. Karya-karya mereka yang sampai dicetak hingga jutaan kopi menunjukkan bahwa "teenlit" dan "chicklit" lokal pun bisa menggeser dominasi "teenlit" dan "chicklit" Barat. Sebut saja "Cintapuccino" yang dalam sebulan sudah harus dicetak tiga kali dan terjual 11.000 eksemplar sejak diluncurkan; "Dealova"

sejumlah 10.000 eksemplar, juga sebulan setelah dirilis; "Fairish" yang sampai 2005 sudah terjual 29.000 eksemplar. Fakta tersebut menggambarkan potensi yang dimiliki para penulis lokal kita tidaklah kalah dengan para penulis luar. Setidaknya, mereka berhasil meraih pasar dalam negeri. BERMULA DARI BUKU HARIAN Sebagai salah satu genre tulisan, "teenlit" dan "chicklit" mungkin bisa dibilang tidak terlalu rumit. Alur cerita yang mudah ditelusuri; gaya bahasa yang sangat mengena; fenomena yang diangkat terkesan sangat dekat; semua itu memungkinkan penerimaan bagi genre yang boleh disebut relatif baru dalam khazanah sastra Indonesia. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi kalangan remaja sebagai kalangan yang paling menggemari "teenlit" dan "chicklit". Isi cerita yang demikian bisa dimaklumi karena kebanyakan penulis genre ini ialah anak-anak remaja. "Dealova", misalnya, ditulis ketika penulisnya masih duduk di bangku SMP. Sementara "Me Versus High Heels" ditulis oleh siswi SMU. Sebagian karya ini malah diangkat dari buku harian dengan modifikasi di sana-sini demi menghasilkan rangkaian cerita yang menarik. Tidak dapat dimungkiri, fenomena ini memberi dampak positif, setidaknya dalam dua hal. Pertama, keberhasilan para penulis muda ini bisa mendorong siapa saja untuk mulai mengikuti jejak mereka. Tidak heran bila kemudian ada lebih banyak lagi penulis untuk genre baru ini. Kedua, fakta bahwa beberapa novel berangkat dari sebuah buku harian bisa menegaskan kembali bahwa menulis tidak serumit yang dibayangkan kebanyakan orang. Semua bisa diawali dari diri sendiri. CERMINAN BUDAYA PARA REMAJA Pada sebuah "teenlit", remajalah yang menjadi sentralnya. Kehidupan mereka berada di seputar sekolahan, pergaulan dengan teman-teman sebaya mereka, hobi dan minat anak remaja. Dunia remaja juga dimeriahkan dengan percintaan, umumnya dengan teman-teman sebaya mereka; mulai dari menaksir seseorang dan jatuh cinta, patah hati, sampai pada kenakalan remaja. Semua itu tercermin dalam sejumlah "teenlit". Dengan demikian, secara tidak langsung, sebuah "teenlit" bisa dianggap sebagai cermin budaya para remaja. Lihat saja, misalnya "Looking for Alibrandi" yang menggambarkan kehidupan anak remaja. Novel yang ditulis dengan gaya penulisan buku harian ini isinya tidak jauh dari kehidupan sekolah, jatuh cinta (baca: naksir),

dan pesta ulang tahun. Sementara itu, gambaran kehidupan remaja yang natural, dengan kekonyolan, kejahilan, dan keanehan lainnya bisa juga dilihat pada "Fairish". Lalu aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa Indonesia dialek Jakarta turut hadir dalam novel genre ini. "Loe-gue" yang dihadirkan tidak sekadar membuat "teenlit" begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat "teenlit". Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya (Santoso 2005). Sebagai cermin budaya remaja, "teenlit" juga turut menghadirkan efek positif. Kita mengakui kalau masamasa remaja tidak sekadar masa-masa ceria belaka, tetapi juga masa-masa kritis pencarian jati diri. Santoso melihat bahwa sejumlah "teenlit" dan "chicklit" turut memberikan alternatif pencarian identitas diri, mulai yang normatif, sampai yang memberontak. Para pembaca bisa menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan pilihan identitas diri. GUGATAN TERHADAP "TEENLIT" Meski fenomenal, pro-kontra terhadap genre ini tetap saja mencuat. Sebagian kalangan beranggapan bahwa karya satu ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat. "Teenlit" (demikian pula dengan "chicklit") juga dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia. Gugatan demikian pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya dengan novel "Bunga" karya Korrie Layun Rampan, "teenlit" jelas tidak seimbang. Korrie tidak sekadar menyajikan dengan bahasa yang "taat kaidah", tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan berbobot. Hal ini menyebabkan "teenlit" tidak akan bertahan lama. Selain itu, "teenlit" juga dianggap sebagai genre yang merusakkan bahasa. Meskipun ragam lisan menjadikan "teenlit" sangat dekat dengan pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak disajikan dengan daya didik yang tinggi. Malah keberadaan bahasa Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik. Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang dipandang tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali. Selain itu, dari segi politik bahasa nasional, novel "teenlit" dianggap tidak memedulikan bahasa Indonesia. Dari segi isi, "teenlit" juga dituduh sebagai genre yang menganggap bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan. Maka yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat. Sehingga rok pendek dan baju ketat

turut menjadi tren masa kini. Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional, 7 September 2005 tentang "teenlit". Gugatan ini bisa dianggap cukup berlebihan. Karena kalau kita mencermati, gaya hidup remaja sejak sebelum genre ini merebak, tidaklah berbeda jauh. Aspek bahasa mungkin tidak seheboh saat ini, namun sudah tercermin sejak lama. Demikian pula dalam hal pergaulan. Apalagi pengaruh budaya Barat sudah meresap di negeri ini sejak lama. Dengan kata lain, transisi budaya itu tidak terjadi ketika "teenlit" atau "chicklit" hadir. "TEENLIT" MASA DEPAN Meski dinilai miring oleh sejumlah kalangan, kehadiran "teenlit" itu sendiri memang bukannya tanpa nilai positif. Selain membakar semangat para penulis muda untuk berani berekspresi, "teenlit" terbukti mampu meramaikan dunia perbukuan di Indonesia. Terlebih lagi, dengan membanjirnya jenis bacaan yang sangat mudah dicerna ini, minat baca remaja turut meningkat. "Teenlit" juga cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja (meski masih terbatas pada remaja perkotaan) ke permukaan, sekaligus menawarkan alternatif jati diri, sebagaimana dikemukakan Santoso di atas. Selain itu, tidak dapat dimungkiri pula bahwa "teenlit" cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja ke permukaan. Memang fenomena yang diangkat masih berupa kehidupan remaja perkotaan. Hanya saja, sebuah tulisan yang cenderung bersifat menghibur umumnya tidak akan bertahan lama. Apalagi bila tidak memiliki nilai yang dalam. Tidak heran apabila genre "teenlit" suatu waktu akan tergerus oleh waktu dan tergantikan dengan genre tulisan yang lain. Oleh karena itu, "teenlit" masih harus bertransformasi untuk mempertahankan keberadaannya. Mungkin sudah saatnya untuk menghadirkan aspek-aspek lain, misalnya substansi pergeseran budaya masyarakat agraris ke urban. Daftar Bacaan: Anggoro, Donny. 2003. "Chicklit" Buku Laris Penulis Manis, dalam "Matabaca", Vol. 2 No. 1 September 2003. Kusmarwanti. 2005. "Teenlit" dan Budaya Menulis di Kalangan Remaja, "Menuju Budaya Menulis: Sebuah Bunga Rampai", Ed. Pangesti Wieadarti. Yogyakarta: Tiara Wacana. Santoso, Satmoko Budi. 2005. "Chicklit" dan "Teenlit": Relativitas Paradigma Kualitatif, dalam "Matabaca", Volume 3 No. 8 April 2005.

Sulistyorini, Endah. 2005. Berbagi Cerita dari Membaca "Teenlit", dalam "Matabaca", Volume 3 No. 8 April 2005. Tasai, S. Amran. 2006. Teenlit, Masalah Baru Pernovelan Indonesia, dalam Republika Online, Minggu, 12 Maret 2006, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=239147&kat_id=364.

Kode Etik dan Tanggung Jawab Penulis untuk Hasil Tulisan yang Baik Submitted by admin on Rab, 16/07/2008 - 10:45am.

Penulis atau pengarang yang ingin berekspresi melalui tulisannya, tentu tidak begitu saja menulis dengan sekehendak hatinya. Ia memunyai gagasan atau pemikiran yang ingin disampaikan kepada orang lain. Tentu ia juga harus lebih dahulu berpikir apakah orang lain dapat begitu saja memahami apa yang disampaikannya dalam tulisan itu? Sebab apabila cara penyampaiannya salah atau keliru, pembaca tidak akan memahaminya. Bisa jadi salah tafsir. Mungkin saja akan ada pembaca yang protes, bahkan membantah pendapatnya. Kritik, bantahan, bahkan kecaman pembaca sudah menjadi risiko seorang penulis. Namun sebaiknya, segala sesuatunya telah direnungkan dan diantisipasi sebelum menulis. Kritik yang positif dan memuji akan menyenangkan. Sebaliknya, kritik yang negatif dan bersifat membantah memang dapat membuat penulis putus asa. Semua ini dapat dihindari dengan persiapan sebelumnya. Penulis harus memiliki tanggung jawab terhadap tulisannya. Jika ia bermaksud menyampaikan pendapat, gagasan, pemikiran, dan perasaan, tentunya karena ia yakin bahwa semuanya itu akan bermanfaat bagi orang lain. Tulisan tentang masalahmasalah kesehatan dalam jurnal kedokteran, misalnya, pasti memiliki dasar-dasar yang kuat untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Begitu juga tulisan bertema sosial, agama, teknologi modern, ekonomi, dan sebagainya. Si penulis harus menguasai materi yang disajikannya. Dalam menulis, seorang penulis setidaknya harus menyadari tiga hal yang merupakan kode etiknya, yaitu: 1.

unsur informasi,

2.

unsur edukasi/pendidikan, dan

3.

unsur hiburan. Ketiganya terpadu dalam suatu karya tulis yang akan memberi manfaat yang menyenangkan pembaca. Dengan membaca suatu tulisan, apakah itu fiksi, seperti cerita pendek, puisi atau novel, maupun nonfiksi, misalnya tentang sejarah, ilmu kesehatan, flora dan fauna, pembaca memeroleh informasi sekaligus juga dapat mempelajari sesuatu. Tulisan yang enak dibaca, dengan susunan kalimat dan frase yang jelas dan lancar, apalagi bila ada selingan humor segar, dengan gaya tulisan yang menarik, tidak gersang, pasti disukai oleh siapa saja.

Jadi, dengan membaca sebuah buku atau artikel, seorang pembaca dapat memahami informasi yang disampaikan. Bacaan itu akan lebih menarik perhatiannya apabila berisi hal-hal yang ingin diketahui dan dipelajarinya. Selain itu, hal-hal yang disampaikan benar-benar memberinya manfaat. Misalnya, seseorang ingin membaca buku tentang bagaimana menanam pepaya. Ia dapat belajar menanam pepaya dan membuktikan sendiri bahwa teknik dan seni menanam pepaya yang dibacanya itu dapat dipraktikkan dan berhasil. Memang tidak semua buku dapat dipraktikkan seperti itu. Ini hanya gambaran tentang kode etik bagi penulis berkaitan dengan tanggung jawabnya. Penulis yang tidak menyimak rambu-rambu tulisan menjadi kurang hati-hati dan menulis semaunya sendiri, yang penting asal laku. Misalnya, buku-buku porno. Buku-buku tersebut memang laris di pasaran walaupun berselera rendah. Tetapi, pornografi tidak memiliki unsur mendidik, kalaupun mengandung informasi, sifatnya vulgar, tidak bermutu. Tulisan seperti ini dapat merusak moral, terutama di kalangan generasi muda. Di mana tanggung jawab penulis yang katanya ingin berekspresi untuk menyampaikan gagasan kepada orang lain? Tulisan-tulisan demikian tentu saja melanggar kode etik dan dapat dikategorikan sebagai buku-buku terlarang dalam sebuah negara yang telah memiliki undang-undang tentang pornografi. Kesadaran akan tanggung jawabnya itulah yang harus ada dalam jiwa setiap penulis. Keberaniannya untuk menyampaikan pendapat dan kebebasannya untuk berekspresi di arena tulis-menulis akan dihargai oleh masyarakat pembaca apabila ia memang memiliki kemampuan untuk memertanggungjawabkan manfaat maupun kebenarannya. Apalagi jika buku itu mampu menggerakkan hati nurani pembacanya dan kemudian menciptakan opini di kalangan masyarakat. Inilah keberhasilan seorang penulis atau pengarang. Bahkan, buku-buku seperti ini dapat mengubah pandangan dunia. Beberapa novel termasyhur telah mengubah opini dunia. Misalnya, buku berjudul "Uncle Tom`s Cabin" karya Harriet Beecher Stowe yang bercerita tentang kejamnya bisnis perbudakan orang-orang kulit hitam yang tidak manusiawi. Bukan hanya Amerika yang terguncang. Seluruh dunia terperangah membaca buku yang dengan berani membuka borok-borok bisnis yang mendatangkan keuntungan besar ini. Satu lagi contoh tentang keberanian pengarang mengungkap fakta buruk yang disembunyikan, yaitu ketika pengarang Perancis, Emile Zola, membela Alfred Dreyfus, seorang anggota militer Perancis yang dijebloskan ke penjara karena fitnah. Penyimakannya atas kasus yang menghebohkan ini membuktikan bahwa Dreyfus tidak bersalah. Karena itu, ia bertekad untuk membuka skandal yang melibatkan orang-orang penting dalam dinas militer Perancis pada awal abad ke-19 itu. Ia menulis surat terbuka kepada Presiden melalui surat kabar L`Aurore di bawah judul "J`Accuse". Novelis besar ini berani menanggung risiko masuk penjara demi kebenaran yang diyakini. Hal ini tidak sia-sia karena Alfred Dreyfus kemudian dibebaskan. Bayangkan betapa hebatnya dia. Sendirian, hanya bersenjatakan pena dan tinta, Emile Zola berhasil mengungkap skandal korupsi di balik peristiwa yang menggegerkan itu.

Cuplikan kisah tentang keberanian Harriet Beecher Stowe dan Emile Zola hanyalah dua di antara beribu-ribu pengarang pemberani yang tersebar di pelbagai negara di seluruh dunia. Di mana-mana, di sepanjang zaman muncul dan akan terus muncul orang-orang yang setia kepada hati nuraninya dan menyampaikan pengalaman, gagasan, dan apa saja yang mereka rasakan melalui tulisan. Demi kebenaran dan keadilan, para pengarang bersedia menghadapi risiko apa pun. Mereka adalah para pahlawan yang tidak berharap hadiah apa-apa kecuali berekspresi kepada pembacanya untuk tujuan yang mulia. Tentu berbeda sekali dengan mereka yang hanya ingin memanfaatkan profesi menulis untuk tujuan yang menyangkut kepentingan diri sendiri. Diambil dan disunting seperlunya dari: Judul buku : Teknik Menulis Cerita Anak Judul bab : Menulis Judul asli artikel : Kode Etik/Tanggung Jawab Penulis : Titik WS Penerbit : Pink Books, PUSBUK, dan Taman Melati, Yogyakarta 2003 Halaman : 8 -- 14

Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak-Anak Submitted by admin on Rab, 25/04/2007 - 3:05pm.

Oleh: Korrie Layun Rampan Cerita anak-anak adalah cerita sederhana yang kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadi syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka. Kompleksitas cerita anak-anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi untuk orang dewasa. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. Secara sederhana sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur dan dari bacaan itu anak-anak (atau orang tua mereka) dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan

apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca. Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap, sebagaimana manusia sehari-hari. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca. Penokohan harus (seharusnya) memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci. Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampak latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik. Alur merupakan pilar keempat. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain hingga cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara

"foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang nanti terjadi. Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca. Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita. Diambil

dan

Judul

buku

Judul

:

artikel:

Penulis Penerbit

diedit

Pink

Menulis

Dasar-Dasar :

:

Teknik

seperlunya

Penulisan

Korrie Books,

Pusbuk,

dari: Cerita

Anak

Cerita

Anak

Layun dan

Taman

Melati,

Rampan Yogyakarta

2003

Halaman : 89 -- 94

Berkreativitas dengan Menulis Cerita Anak Submitted by team e-penulis on Rab, 25/04/2007 - 3:17pm.

Disusun oleh: Kristina Dwi Lestari Perkembangan psikologi anak memunyai ciri-ciri yang khas dan berbeda dengan perkembangan balita bahkan remaja. Perbedaan tersebut menurut Fawzia Aswin Hadits dalam tulisannya yang berjudul "Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar", perkembangan itu meliputi perkembangan fisik, kognitif, bahasa, bahkan perkembangan sosial emosionalnya. Dalam seminarnya yang bertema "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak", Dra. Tuti Gunawan menegaskan bahwa kecerdasan anak bisa ditemukan

dalam bentuk kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial (ruang), kecerdasan kinetis jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan interpribadi, dan kecerdasan lingustik seperti membaca, menulis, dan lain sebagainya. Seorang penulis, baik karya fiksi atau nonfiksi, pada umumnya harus bertanggung jawab akan tulisannya. Pendapat, gagasan, pemikiran, dan perasaannya harus bermanfaat bagi orang lain. Cerita anak adalah cerita yang sederhana, akan tetapi kompleks. Kesederhanaan itu terlihat dalam wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga akan lebih enak dibaca dan komunikatif. Selain untuk membantu daya imajinasi anak, cerita anak juga akan membantu daya kreativitas mereka. Penulis cerita anak harus mengalihkan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak. Keberadaan jiwa dan sifat anakanak yang tersirat dalam sebuah cerita nantinya menjadikan cerita anak tersebut digemari. Berikut hal-hal penting yang perlu diketahui untuk membantu Anda saat akan menulis cerita anak. POSISI PENULIS CERITA ANAK Kedudukan penulis, dalam hal ini penulis cerita anak, sangatlah sentral. Hal ini disebabkan karena penulislah yang menulis, menerbitkan, menjual, memilih, membeli, dan menyampaikan kepada anak. Anak-anak hanya disuguhi dan yang bertanggung jawab adalah penulis. Jika Anda mempunyai ketertarikan untuk menjadi penulis cerita anak, ternyata bakat saja tidaklah cukup. Kegiatan menulis harus diawali dari kesiapan diri kita untuk menulis. Berikut hal penting menurut Titik W.S. (2003: 26) yang harus dimiliki saat Anda menulis cerita anak, di antaranya adalah sebagai berikut.



Bakat



Kemauan atau niat



Wawasan luas



Kaya imajinasi



Disiplin



Kreatif



Persepsi



Tangguh, tidak mudah putus asa



Menguasai teknik menulis



Memahami bahasa, yang berkaitan dengan kemampuan bahasa dalam penguasaan idiom dan kosa kata

STRUKTUR BACAAN ANAK

Aspek struktur yang menentukan sebuah bangun cerita anak sesuai pemaparan Riris K.T. Sarumpaet (2003: 111-121), di antaranya adalah sebagai berikut. Alur Dalam cerita fiksi kita tahu bahwa bangun yang menentukan atau mendasarinya adalah alur. Alurlah yang menentukan sebuah cerita menarik atau tidak. Dan hal penting dari alur ini adalah konflik. Karena konfliklah yang menggerakkan sebuah cerita. Konflik pula yang bisa menyebabkan seseorang menangis, tertawa, marah, senang, jengkel ketika membaca sebuah cerita. Alur cerita anak biasanya dirancang secara kronologis, yang menaungi periode tertentu dan menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam periode tertentu. Alur lain yang digunakan adalah sorot balik. Alur sorot balik digunakan penulis untuk menginformasikan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Biasanya alur sorot balik ini dijumpai pada bacaan anak yang lebih tua dan biasanya akan membingungkan anak-anak di bawah usia sembilan tahun. Tokoh Tokoh adalah "pemain" dari sebuah cerita. Tokoh yang digambarkan secara baik dapat menjadi teman, tokoh identifikasi, atau bahkan menjadi orang tua sementara bagi pembaca. Peristiwa tak akan menarik bagi anak, jika tokoh yang digambarkan dalam cerita tidak mereka gandrungi. Hal penting dalam memahami tokoh adalah penokohan yang berkaitan dengan cara penulis dalam membantu pembaca untuk mengenal tokoh tersebut. Hal ini terlihat dari penggambaran secara fisik tokoh serta kepribadiannya. Aspek lain adalah perkembangan tokoh. Perkembangan tokoh menunjuk pada perubahan baik atau buruk yang dijalani tokoh dalam cerita-cerita. Latar Waktu yang menunjukkan kapan sebuah cerita terjadi dan tempat di mana cerita itu terjadi menunjukkan latar sebuah cerita. Misalnya dalam cerita kesejarahan, penciptaan waktu yang otentik ini sangatlah penting untuk memahami sebuah cerita. Tema Tema sebuah cerita adalah makna yang tersembunyi. Tema mencakup moral atau pesan/amanat cerita. Tema bagi cerita anak haruslah yang perlu dan baik bagi mereka. Ia harus mampu menerjemahkan kebenaran. Hal penting yang perlu kita perhatikan juga, bahwa tema jangan mengalahkan alur dan tokohtokoh cerita. Tentu saja buku yang ditulis dengan baik akan menyampaikan pesan moral, tetapi juga harus bercerita tentang sesuatu, dari mana pesan itu mengalir. Dengan cara itu, tema disampaikan kepada anak secara tersamar.

Jadi, jika nilai moral hendak disampaikan pada anak, tema harus terjahit dalam bahan cerita yang kuat. Dengan demikian, anak dapat membangun pengertian baik atau buruk tanpa merasa diindoktrinasi. Gaya Bagaimana penulis mengisahkan dalam tulisan itulah yang disebut dengan gaya. Aspek yang digunakan untuk menelaah gaya dalam sebuah cerita fiksi adalah pilihan kata. Apakah panjang atau pendek, biasa atau tidak, membosankan atau menggairahkan. Kata-kata yang digunakan haruslah tepat dengan cerita itu. Karena kita tahu bahwa pilihan kata akan menimbulkan efek tertentu. Hal lain adalah masalah kalimat. Kalimat dalam cerita anak-anak haruslah lugas, tidak bertele-tele, dan tidak harus menggunakan kalimat tunggal. Kita bisa menggunakan kalimat kompleks asalkan logis dan langsung mengarah kepada apa yang ingin disampaikan. Beberapa prinsip dalam menulis cerita anak yang diuraikan di atas kiranya semakin membantu Anda dalam mengembangkan kreativitas yang dimiliki untuk menulis sebuah cerita anak. Sebuah cerita yang syarat pesan moral bagi anak tanpa harus menggurui mereka, dan mampu mengintregasikan elemen di atas dalam jalinan cerita yang menyenangkan. Selamat berkreativitas lewat cerita anak. Sumber Bacaan Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak". Hadits, Fawzia Aswin. 2003. Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati. S., Titik W. 2003. Menulis, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2003. Struktur Bacaan Anak, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.