Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo - Ungaran

20 downloads 389 Views 686KB Size Report
Semarang, Skripsi, FKM Undip,. Semarang, 2000. 7. ..... Semarang : FKM Undip;. 2005 (skripsi). 8. ...... meronce, sedotan dipotong- potong kaya memasukan ...
ISSN 1978-0346

Volume 2, Nomor 1, Januari 2010

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo - Ungaran

JGK

Vol. 2

No. 1

Halaman 1 - 57

Ungaran Januari 2010

ISSN 1978-0346

ISSN : 1978-0346 Penanggung jawab

: Asaat Pitoyo. S.Kp.,M.Kes. (Ketua STIKES Ngudi Waluyo) Pimpinan Umum : Drs. Sugeng Maryanto, M.Kes. Wakil Pimpinan Umum : Puji Pranowowati, S.KM, M.Kes. REDAKSI Editor Pelaksana Ketua : Yuliaji Siswanto, S.KM, M.Kes.(Epid). Wakil Ketua : Rosalina, S.Kp., M.Kes. Anggota

Editor Ahli

SEKRETARIAT BENDAHARA

: Auly Tarmaly, SKM, M.Kes. Drs. Jatmiko Susilo, Apt, M.Kes. Puji Purwaningsih, S.Kep. Ns Heni Hirawati Pranoto, S.SiT Galeh Septiar Pontang, S.Gz. : Prof. dr. Siti Fatimah Muis,M.Sc.,Sp.GM dr. Ari Udiyono, M.Kes Ir. Suyatno, M.Kes dr. Kusmiyati D.K , M.Kes. : Sukarno, S.Kep., Ns. : Heni Purwaningsih, S.Kep., Ns.

JGK diterbitkan 2 kali dalam satu tahun. Harga langganan : Rp. 25.000,Alamat Redaksi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Jl. Gedongsongo-Mijen, Ungaran Tlp: 024-6925408, Fax: 024-6925408 E-mail : www.nwu.ac.id

ii

ISSN 1978-0346 Vol. 2, No. 1, Januari 2010

Daftar Isi

Mitha Purnasari Sugeng Maryanto Galeh S. Pontang

Hubungan antara Asupan Serat dengan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati

1-7

Puji Pranowowati Sugeng Maryanto

Induksi Partikel Terhirup Dengan Kapasitas Fungsi Paru Pada Pengasap Ikan di Kelurahan Bandarharjo Semarang

8 - 12

Yuliaji Siswanto Sri Wahyuni

Pengaruh Senam Hamil Terhadap Lamanya Persalinan Kala II Pada Ibu Hamil Primigravida di Kabupaten Semarang

13 - 18

Siti Ambarwati Auly Tarmali

Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSUD dr. Raden Soedjaji Purwodadi Kabupaten Grobogan Studi Postur Kerja Pemecah Batu Ditinjau Dari Segi Ergonomi di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang

19 - 23

Sri Wahyuni

Gambaran perilaku anak autis pada anak SD di SLB Negeri Semarang

36 - 49

Sumarti Widya Hary Cahyati

Hubungan Antara Konsumsi Makanan Kariogenik dan Kebiasaan Menggosok Gigi Dengan Kejadian Karies Gigi pada Anak Pra Sekolah Di Desa Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang

50 - 57

Qori Prasasti Bayu Wijasena

24 - 35

iii

Hubungan antara Asupan Serat dengan Kadar Glukosa Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati Mitha Purnasari *), Sugeng Maryanto**), Galeh S. Pontang**) *) Alumnus Program Studi Ilmu Gizi STIKES Ngudi Waluyo **) Staf Pengajar Program Studi Ilmu Gizi STIKES Ngudi Waluyo ABSTRACT Diabetes mellitus is one of degenerative disease that will increase the incidence in the future. Changes in food consumption pattern of low fiber, high energy and simple carbohidrates will affect the prevalence of type II diabetes mellitus. Consumption of high fiber on diabetic patients may help to control blood glucose levels. The purpose of this study to find out the correlation between fiber intake with blood glucose levels on type II diabetic patients at Tlogowungu health centers Pati regency. This study used a descriptive correlative design with the cross sectional research. Total samples of study were 35 people, collected by using total population. Fiber intake data was obtained by using 24 hours food recall form and fasting plasma glucose levels were measured by enzymatic method (glucose oxidase). Analysis of data used Kendall’s Tau correlation test. Statistical test results show a significant correlation between fiber intake with blood glucose levels on type II diabetic patients at Tlogowungu health centers Pati regency, shown with significant values p=0,000 < 0,005. Based on the results of the study, patients with diabetic are advised to always consume foods that contain high fiber. Keywords: Fiber Intake, Blood Glucose Levels. ABSTRAK Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang akan meningkat insidennya di masa mendatang. Perubahan pola konsumsi makanan yang rendah serat, tinggi energi dan karbohidrat sederhana akan mempengaruhi prevalensi DM tipe II. Konsumsi tinggi serat pada penderita diabetes dapat membantu mengendalikan kadar glukosa darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati. Desain penelitian ini adalah deskriptif kolerasi dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 35 orang, yang diambil dengan teknik total populasi. Data asupan serat diperoleh dengan metode formulir food recall 24 jam dan kadar glukosa darah puasa diukur dengan metode enzimatik (glukosa oksidase). Analisis data yang digunakan adalah uji kolerasi Kendall’s Tau. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara asupan serat dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati, yang ditunjukkan dengan nilai kemaknaan p=.0,000 < 0,05. Berdasarkan hasil penelitian bagi pasien diabetes mellitus disarankan untuk selalu mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi serat. Kata kunci

: Asupan serat, Kadar Glukosa Darah.

1

PENDAHULUAN Diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang dikarakteristikkan oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek pada sekresi, kegiatan insulin atau keduanya. Pada tubuh yang sehat, pankreas melepas hormon insulin yang bertugas mengangkut gula melalui darah ke otot-otot dan jaringan lain untuk memasok energi. Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme (metabolicsyndrome) distribusi gula oleh tubuh.5 Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang akan meningkat insidennya di masa mendatang. WHO memperkirakan jumlah pengidap DM diatas umur 20 tahun akan mencapai 300 juta orang pada tahun 2025, artinya ada peningkatan dua kali lipat dibandingkan jumlah pengidap DM pada tahun 2000 yang jumlahnya sebesar 150 juta orang.13 Penyakit diabetes mellitus (DM) menempati peringkat kedua di dunia setelah penyakit infeksi. Dari hasil penelitian nasional untuk penyakit degeneratif, diabetes mellitus terletak dalam urutan keempat setelah penyakit cardiovaskuler, celebrovaskuler, dan geriatrik.16 Sekitar 90-95% dari semua kasus DM yang terdiagnosa adalah diabetes tipe II. Tanpa memandang gender, ras dan usia, saat ini Indonesia memasuki epidemi DM tipe II.9 Studi yang dilakukan WHO (2005) menemukan jumlah pengidap DM tipe II di Indonesia mencapai peringkat keempat (8,6 juta) dan diprediksikan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030, adapun peringkat diatasnya adalah India (31,77 juta), Cina (20,8 juta) dan Amerika (17,7 juta).12 Diabetes jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf dll. Dengan penanganan yang baik, komplikasi kronik diabetes mellitus dapat dicegah atau setidaknya dihambat perkembangannya. Pengelolaan diabetes mellitus mencakup terapi farmakologi dan non farmakologi .15 Terapi farmakologi berupa obat antidiabetik. Sedangkan terapi non farmakologi diantaranya yaitu diet (pengaturan makan) dan olah raga.13 Terapi gizi merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penderita diabetes. Tujuan dari terapi gizi adalah memperbaiki kebiasaan gizi dan olah raga untuk

mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik. Prinsip pengaturan makan bagi penderita diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.17 Dalam pengaturan makan untuk penderita diabetes pemberian tinggi serat dapat membantu mengendalikan kadar glukosa darah, hal tersebut sama dengan hasil penelitian Sheehan et al. (1997). Serat atau polisakarida non-pati merupakan zat non-gizi yang berguna untuk diet (dietary fiber), salah satunya adalah untuk diet diabetes mellitus.14 The American Diabetic Association menyarankan agar mengkonsumsi 25-35 gram serat makanan per hari yang dapat diperoleh dari berbagai asupan bahan makanan.6 Serat pangan akan meningkatkan viskositas makanan. Meningkatnya viskositas akan menurunkan gula sehingga jumlah glukosa yang diserap oleh usus akan berkurang. Dengan demikian, kadar glukosa darah juga akan menurun.1 Dari laporan tiap Puskesmas yang masuk ke Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Pati penyakit DM menempati peringkat ke-4 (2008) dengan jumlah kunjungan sebanyak 1869 orang dan pada tahun 2009 penyakit DM menempati peringkat ke-3 dengan jumlah kunjungan sebanyak 1950 orang.3 Data terakhir dari Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati, didapat sampai bulan Januari 2010 jumlah pasiennya sebanyak 43 orang pasien DM Tipe II / NIDDM. Sedangkan data dengan melakukan wawancara dan recall 24 jam kepada 5 penderita diabetes mellitus, didapatkan konsumsi makanan yang mengandung serat seperti buah dan sayur dalam jumlah yang sedikit, yang dibuktikan dengan rata-rata asupan seratnya 16,5 gram. Dari uraian tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat konsumsi serta dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasi dengan menggunakan metode pendekatan yang digunakan adalah “cross sectional”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes mellitus tipe II yang periksa dan kontrol di Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati sampai bulan Januari 2010. Sedangkan sampel adalah

2

keseluruhan jumlah populasi (total populasi) penderita diabetes mellitus tipe II di Puskesmas Tlogowungu yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 35 orang. Dalam penelitian ini alat pengumpul data adalah lembar food recall 24 jam dilakukan selama 3 hari tidak berturut untuk mendapatkan data asupan karbohidrat dan serat. Sedangkan untuk mengukur kadar gula darah digunakan alat GlucoDr. Sebelum diambil darah, responden puasa terlebih dahulu selama 8-10 jam, pengambilan darah dilakukan oleh petugas Puskesmas. Data dianalisa dengan menggunakan teknik uji Kolerasi Kendall’s Tau (τ) karena distribusi datanya tidak normal. Analisa bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah digunakan Untuk mengetahui koefisien suatu hubungan dan seberapa besar tingkat suatu hubungan, dengan tingkat signifikansi 5%. Pengujian dilakukan dengan bantuan program SPSS (Statistik Package for Social Science) versi 12.0. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan pada penderita DM tipe II di wilayah Puskesmas Tlogowungu pada tanggal 12-24 April 2010. Hasil yang didapatkan kemudian disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Hasil penelitian ini didasarkan data yang telah diperoleh dari 35 responden. Karakteristik Responden Tabel 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden n % Kelompok Usia 40 tahun 27 77,1 Jumlah 35 100,0 Jenis kelamin Laki-laki 15 42,9 Perempuan 20 57,1 Jumlah 35 100,0 Tingkat Pendidikan Tidak sekolah 7 20,0 SD 12 34,3 SMP 4 11,4 SMA 7 20,0 Perguruan tinggi 5 14,3 Jumlah 35 100,0 Jenis Pekerjaan Tidak 15 42,9

bekerja/pensiunan Pegawai Negeri Sipil Wiraswasta Swasta Jumlah

8 8 4 35

22,9 22,9 11,4 100,0

Berdasarkan tabel 1, jumlah responden seluruhnya adalah 35 orang. Diketahui, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (57,1%), sebagian besar responden berusia lebih dari 40 tahun (77,1%). Pendidikan sebagian besar tamat SD (34,3%) dan 15 responden (42,9%) tidak bekerja. Status Gizi Responden Tabel 2. Distribusi Status Gizi Berdasarkan IMT Responden IMT n % Normal 12 34,3 Berat Badan 14 40,0 Lebih Obes I 7 20,0 Obes II 2 5,7 Jumlah 35 100,0 Berdasarkan tabel 5.2, sebanyak 14 responden (40,0%) termasuk dalam kategori status gizi berat badan lebih, sebanyak 12 responden (34,3%) dan obes I sebanyak (20,0%). Asupan Karbohidrat Responden Tabel 3. Distribusi Frekuensi Menurut Asupan Karbohidrat. Kategori konsumsi karbohidrat n % Cukup : 45-65% 15 42,9 Lebih : ≥ 65% 20 57,1 Jumlah 35 100,0 Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi. Persentase karbohidrat menyumbang setengah atau lebih energi di dalam diit. Berdasarkan tabel 5.3, sebagian besar (57,1%) subyek mempunyai konsumsi karbohidrat termasuk kategori lebih ≥ 65%. Anjuran konsumsi karbohidrat untuk pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 berkisar antara 4565%.

3

Asupan Serat Tabel 4. Distribusi Frekuensi Menurut Konsumsi Serat. Kategori asupan serat N % Kurang : < 25 gram

27

77,1

Cukup : 25-35 gram

8

22,9

Jumlah

35

100,0

upaya memperoleh informasi tingkat konsumsi serat di Indonesia, telah dilakukan analisis tingkat konsumsi serat dengan data survei Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) yang dikumpulkan Direktorat Gizi Masyarakat, Depkes, RI. Rata-rata tingkat konsumsi serat penduduk Indonesia secara umum yaitu sebesar 10.5 gram/orang/hari, baru mencapai sekitar separuh dari kecukupan serat yang dianjurkan.3 Kadar Glukosa Darah Puasa

Asupan serat berkisar antara 15,7 sampai 27,4 gram dengan rerata 21,566 ± 3,16. Berdasarkan tabel 5.4, sebagian besar (77,1%) responden mempunyai asupan serat termasuk kategori kurang. Pada penelitian ini diketahui asupan serat responden berkisar antara 15,7 gram sampai dengan 27,4 gram, dengan rata-rata asupan serat sebesar 21,57 gram. Sebanyak 77,1% responden mempunyai tingkat asupan serat < 25 gr/hari. Pada penderita diabetes dianjurkan untuk mengkonsumsi serat sebanyak 25-35 gr/hari, terutama serat larut air. Berdasarkan data recall diketahui asupan serat responden hanya sedikit. Asupan serat yang kurang pada sampel terkait dengan pola kebiasaan makan yang mengkonsumsi sayuran dalam jumlah sedikit dibandingkan konsumsi karbohidratnya dan jarang menkonsumsi buah, padahal kandungan serat banyak terdapat pada sayur dan buah, hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan akan manfaat serat bagi kesehatan. Dari data recall hanya 22,9% responden yang memiliki asupan serat sesuai dengan yang dianjurkan pada penderita diabetes yaitu 25-35 gr/hari. Berdasarkan laporan Food Facts Asia, 1999 diketahui bahwa asupan serat orang Amerika lebih rendah, umumnya 10-15 gr/hr, sedangkan asupan serat orang Asia seperti Singapura rata-rata 15 gr/hr dan Hongkong < 10gr/hr.7 Selama ini makanan Indonesia dipercaya banyak mengandung serat, tetapi dari hasil survey yang dilakukan di Jakarta, diketahui bahwa konsumsi serat hanya 19 gram sehari, jauh lebih rendah dari rekomendasi yang dianjurkan.18 Pada saat ini informasi tentang konsumsi serat di Indonesia masih sangat terbatas antara lain karena daftar komposisi bahan makanan Indonesia belum mencantumkan kandungan serat. Dalam

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Menurut Kadar Glukosa Darah Puasa. Kategori kadar glukosa N % darah puasa Baik : 80-100 mg/dl 3 8,6 Sedang : 110-125 mg/dl

5

14,3

Tinggi : ≥ 126 mg/dl

27

77,1

Jumlah

35

100,0

Kadar glukosa darah puasa responden berkisar antara 91 sampai 339 mg/dl dengan rerata 179,26 ± 68,35. Berdasarkan tabel 5.5, sebagian besar (77,1%) responden mempunyai kadar glukosa darah puasa masih termasuk kategori tinggi dibandingkan anjuran untuk pasien Diabetes Mellitus Tipe 2, yaitu 80-125 mg/dl. Pada penelitian ini kadar glukosa darah yang diukur adalah kadar glukosa darah puasa karena kadar glukosa darah puasa dapat memberikan gambaran tentang homeostasis glukosa keseluruhan. Kadar glukosa darah puasa adalah konsentrasi glukosa dalam darah yang dinyatakan dalam satuan mg/dl yang diukur setelah melakukan puasa selama 8-10 jam. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa responden menggunakan uji strip dengan metode enzimatik (glukosa oksidase).10 Berdasarkan hasil penelitian pengukuran rerata kadar glukosa darah puasa sampel adalah 179,26 mg/dl, kadar glukosa minimum 91 mg/dl dan maksimum 339 mg/dl. Hasil pengukuran kadar glukosa darah puasa sebanyak 77,1% termasuk dalam kategori tinggi. Tingginya kadar glukosa darah merupakan masalah yang serius karena dapat menyebabkan timbulnya penyulit pada berbagai organ tubuh, seperti pada pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah mata, (dapat terjadi kebutaan), pembuluh darah

4

jantung (penyakit jantung koroner), pembuluh darah ginjal (penyakit ginjal kronik), dan pembuluh darah kaki (luka sukar sembuh).17 Peningkatan kadar glukosa darah dapat dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu tinggi asupan energi, rendah asupan serat, obesitas, dan kebiasaan olah raga .17 Pemantauan kadar glukosa darah bagi penyandang DM merupakan hal yang penting dan sebagai bagian dari pengelolaan DM. Hasil pemantauan tersebut digunakan untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai pegangan penyesuaian diet, latihan jasmani/aktivitas fisik dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin serta terhindar dari berbagai penyulit.8 Penyandang DM dengan kadar glukosa darah tidak terkendali mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah menderita ulkus/gangren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal, dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina.17 Hubungan Antara Asupan Serat Dengan Kadar Glukosa Darah Berdasarkan uji normalitas data diketahui bahwa asupan serat normal sedangkan kadar glukosa darah puasa tidak normal sehingga uji statistik yang digunakan yaitu Kendall Taul (τ). Berikut ini disajikan tabel yang menampilkan hasil uji statistik hubungan asupan serat dengan kadar glukosa darah puasa. Tabel 6. Hasil Uji Statistik Hubungan Asupan Serat Dengan Kadar Glukosa Darah Puasa Variabel (mg/dl) Asupan serat (gr)

Kadar GDP Τ p -0,485 0,0001

Dari tabel 6, berdasarkan uji Kendall Tau telah didapat nilai τ sebesar -0,485 dengan p value = 0,0001. Oleh karena p value = 0,0001 kurang dari α (0,05), maka dapat diinterprestasikan ada hubungan yang bermakna antara asupan serat dengan kadar glukosa darah puasa. Kolerasi yang terjadi merupakan kolerasi negatif (karena nilai kolerasi bertanda negatif), ini berarti bahwa semakin rendah asupan serat maka semakin tinggi kadar glukosa darah puasa. Tingkat

hubungan tersebut menunjukkan tingkat hubungan yang sedang karena nilai kolerasinya terletak antara 0,40-0,599. Berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II di Wilayah kerja Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati. Hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah puasa ditunjukkan dengan τ = 0,485 dan tingkat signifikan p= 0,0001< 0,05 yang berarti ada hubungan yang bermakna antara asupan serat dengan kadar glukosa darah. Berdasarkan kriteria kolerasi dari Sugiyono (2007), nilai koefisien kolerasi nilai τ hitung terletak antara 0,40-0,599, maka hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe II di Wilayah kerja Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati memiliki hubungan atau kolerasi yang sedang. Hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah dalam penelitian ini merupakan hubungan yang negatif, yaitu semakin rendah asupan serat maka semakin tinggi kadar glukosa darah. Pada penelitian ini tidak membedakan jenis serat (serat larut air dan tidak larut air) yang terkandung di dalam makanan sehingga tidak diketahui seberapa besar kontribusi masing-masing jenis serat dengan kadar glukosa darah responden. Mekanisme serat terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM sangat dipengaruhi oleh penyerapan karbohidrat di dalam usus. Semakin rendah karbohidrat yang diserap maka semakin rendah kadar glukosa darah dalam hal ini serat dapat menurunkan efisiensi penyerapan karbohidrat yang menyebabkan turunnya respon insulin. Dengan menurunnya respon insulin, kerja pankreas makin ringan sehingga dapat memperbaiki fungsi pankreas dalam produksi insulin.1 Pengaruh serat dalam penurunan kadar glukosa darah terjadi karena di dalam lambung, baik serat larut maupun serat tidak larut mempunyai kemampuan untuk mengisi lambung, memperlambat pengosongan lambung dan merubah peristaltik lambung. Hal tersebut dapat menimbulkan rasa kenyang yang lebih lama dan keterlambatan penyampaian zat-zat gizi ke usus halus. Kemudian di usus halus, jenis serat terutama serat larut air dapat meningkatkan kekentalan isi usus yang mengakibatkan terjadinya penurunan

5

aktivitas enzim amilase dan memperlambat penyerapan glukosa. Hal tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan kecepatan difusi pada permukaan mukosa usus halus. Akibat dari kondisi tersebut maka akan terjadi penurunan kadar glukosa darah.2 Serat merupakan komponen yang tidak dapat dicerna dan diserap di dalam usus halus. Bagian yang tidak dapat dicerna tersebut, kemudian akan dibawa masuk ke dalam usus besar. Di dalam usus besar, serat akan menjadi substrat potensial untuk dapat difermentasikan oleh bakteri anaerob menjadi asam lemak rantai pendek jenis asetat, propionat dan butirat. Asam lemak rantai pendek jenis propionat dapat menghambat mobilisasi lemak dan mencegah proses glukoneogenesis di dalam hati. Kerja propionat tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan sekresi insulin dan pemakaian glukosa oleh sel hati. Dengan demikian kadar gula darah menjadi berkurang (Todesco dkk (1991).4 Studi yang dilakukan oleh Manisha Chandalia et al dari bagian ilmu penyakit dalam dan pusat gizi manusia, University of Texas Southwestern Medical Center, Dallas, Amerika Serikat membuktikan bahwa konsumsi makanan tinggi serat (50 gr), khususnya serat larut dapat memperbaiki kontrol terhadap gula dalam darah penderita DM tipe II. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa asupan serat larut yang tinggi dapat dicapai dengan mengkonsumsi makanan alami yang kaya serat. Dimana dengan diet tinggi serat dan sedikit efek sampingnya dapat diterima baik oleh para penderita. Oleh karena itu, untuk meningkatkan konsumsi seratnya, para penderita diabetes dianjurkan lebih memilih konsumsi makanan dari sumber alami kaya serat dibandingkan dengan suplemen tinggi serat.6

serat larut air seperti yang terdapat dalam sayuran,buah, serealia dan kacang-kacangan dalam jumlah cukup.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4.

5.

6. 7.

8.

9.

10. KESIMPULAN DAN SARAN Sebagian besar responden mempunyai asupan serat yang kurang (77,1%) dan kadar glukosa darah puasanya tinggi yaitu ≥ 126 (Sebagian besar responden (77,1%). Ada hubungan antara asupan serat dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Tlogowungu Kabupaten Pati. Bagi pasien diabetes mellitus dianjurkan untuk selalu mengkonsumsi makanan yang mengandung serat terutama

11.

12.

13.

Astawan, M & Tutik, W. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Edisi 1. Solo: Tiga Serangkai. Budiyanto. 2002. Gizi dan Kesehatan. Malang: Bayu Media dan UMM Press. Dinkes Kab. Pati. 2009. Profil Kesehatan Kabupaten Pati. Immawati, F.R. 2008. Hubungan Konsumsi Karbohidrat, Total Energi, Serat, Beban Glikemik dan Latihan Jasmani dengan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Universitas Diponegoro. Unpublished. Lemone, P & Burke, K. 2004. Medical Surgical Nursing: Critical thinking in client care. 3rd Edition. New Jersey: Pearson Education. Lubis, Z. 2009. Hidup Sehat dengan Makanan Kaya Serat. Bogor: IPB Press. Olwin, N; Cornelis, A. 2005. Diet Sehat Dengan Serat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit. Jakarta. //http.www.Kalbefarma.com Pradana, S. Pemantauan Pengendalian Diabetes Mellitus. 2005. Dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid RSCM – FKUI. Rosalina. 2008. Hubungan Asupan Karbohidrat, Serat, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di RSUD dr. Agoesdjam Ketapang. Universitas Diponegoro. Unpublished. Sacher, R. A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: EGC. Smeltzer, S.C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Ed 8. Vol. 1. Jakarta: EGC. Soegondo, S. 2005. Prinsip Pengobatan Diabetes, Insulin dan Obat Hipoglikemik Oral. Dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid RSCM – FKUI. Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I; Simadibrata ,K. M; Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

6

14. Sulistijani, D.A. 2001. Sehat dengan Menu Berserat. Jakarta: Trubus Agriwidya. 15. Susanto, H. 2007. Faktor-faktor yang Berhubunngan dengan Kepatuhan Penderita Diabetes Mellitus dengan Pengelolaan Diet di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Sunan Kalijaga Demak. Stikes Ngudi Waluyo. Unpublished. 16. Tjokroprawiro, A. 2002. Petunjuk hidup sehat untuk para diabetes. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

17. Waspadji, S . 2005. Diabetes Melitus: Mekanisme Dasar dan Pengelolaannya yang Rasional. Dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid RSCM – FK UI. 18. Waspadji, S; Sukardji, K; Octarina, M. 2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

7

Induksi Partikel Terhirup Dalam Asap Terhadap Kapasitas Fungsi Paru Pada Pengrajin Pengasapan Ikan Di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang Puji Pranowowati*), Sugeng Maryanto**) *) Staf Pengajar Program Studi Kesehatan masyarakat STIKES Ngudi Waluyo **) Staf Pengajar Program Studi Ilmu Gizi STIKES Ngudi Waluyo ABSTRAK Industri dan produknya mempunyai dampak yang positif dan negatif kepada manusia. Di lingkungan pengasapan ikan, permasalahan asap masih menjadi permasalahan utama. Asap dapat mengandung bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan meliputi partikulat dan komponen gas dan partikulat yang terdapat dalam asap dapat menyebabkan penurunan fungsi paru. Berdasarkan wawancara dengan pengrajin didapatkan data 80% pengrajin pengasapan ikan mengeluh mengalami batuk, 50% mengeluh mengalami sesak nafas dan 30% mengeluh mengalami nyeri dada. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan induksi partikel terhirup dalam asap dengan kapasitas fungsi paru pada pengrajin pengasapan ikan di Kelurahan bandarharjo Kecamatan semarang Utara Kota Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional, jumlah sampel 45 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan simpel random sampling. Analisis data menggunakan uji korelasi pearson product moment. Hasil penelitian berdasarkan uji korelasi pearson product moment menemukan bahwa pajanan partikel dalam asap berhubungan dengan kapasitas fungsi paru p=0,002 dan menunjukkan hubungan yang sedang (r=0,444). Rekomendasi penelitian ini diharapkan pekerja memakai masker untuk menghindari asap, ruangan pengasapan ikan diberi ventilasi dan membuat exhaust ventilation untuk menangkap asap hasil samping dari pengasapan ikan. Kata kunci : partikel terhirup (dalam asap), kapasitas fungsi paru, pengasapan ikan Kepustakaan : 37(1987-2007)

PENDAHULUAN Industri dan produknya mempunyai dampak yang positif dan negatif kepada manusia. Di satu pihak akan memberikan keuntungan berupa memberikan lapangan pekerjaan, dan akhirnya meningkatkan ekonomi dan sosial masyarakat. Di pihak lain akan timbul dampak negatif karena pajanan zat-zat yang terjadi pada proses industrialisasi atau oleh karena produk hasil industri tersebut. Pajanan zat-zat tersebut mempengaruhi kesehatan lingkungan antara lain berupa pencemaran udara. 1 Pencemaran udara dapat berupa partikel atau gas hasil dari proses industri yang dapat menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh. Penyakit dan kelainan yang timbul akibat pajanan zat-zat tersebut bervariasi tergantung pada organ yang terkena dan tingkat pajanan yang terjadi. Gangguan pada organ tubuh dapat menimbulkan kelainan kulit, gangguan

intestinal, kelainan mata serta penyakitpenyakit saluran pernafasan dan penyakit paru. 2 Fungsi paru sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh usia, tinggi badan, jenis kelamin, suku, berat badan dan bentuk tubuh.3 Disamping itu juga dipengaruhi oleh keadaan bahan yang diinhalasi (gas, debu dan uap) serta lama pajanan. Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya gangguan saluran nafas atau penyakit paru akibat debu diantaranya faktor debu meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi. Faktor individual yang mempengaruhi meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi dan fisiologi saluran nafas dan faktor imunologis.4 Debu yang masuk ke saluran nafas akan menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan non spesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Inhalasi debu

8

dalam paru-paru menyebabkan kalainan dan kerusakan paru yang disebut pneumokoniosis. Inhalasi debu dalam paruparu akan menimbulkan reaksi fibrosis. Fibrosis yang luas akan mengakibatkan elastisitas, kapasitas total, kapasitas vital dan volume residu paru berkurang sehingga timbul penyakit paru restriktif.4 Penyakit paru kerja merupakan penyebab utama ketidakmampuan atau kecacatan, kehilangan hari kerja dan kematian pada para pekerja.2 Di lingkungan pengasapan ikan, permasalahan asap masih menjadi permasalahan utama. Asap berasal dari proses pengasapan ikan dengan cara membakar batok kelapa pada tungku sederhana. Asap dapat mengandung bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan meliputi partikulat dan komponen gas seperti karbonmonoksida, formaldehid, akrolein, benzene, nitrogen dioksida dan ozon. Partikulat yang terdapat dalam asap dapat menyebabkan penurunan fungsi paru.5 Kelainan fungsi paru dapat terdeteksi dengan pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri. Pemeriksaan ini merupakan penilaian yang obyektif untuk evaluasi gangguan respirasi. Pada umumnya uji faal paru dengan spirometri terdiri dari kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity), kapasitas ekspirasi paksa satu detik (FEV1) dan persentase FEV1 terhadap FVC.1 Berdasarkan survey awal terdapat 47 usaha pengasapan ikan yang terdiri dari 80 pengrajin. Pengrajin pengasapan ikan terpajan oleh asap yang bersumber dari tungku pengasapan yang dibuat secara sederhana dari drum bekas. Sedangkan jarak pengrajin dengan tungku pengasapan hanya sekitar 0,5 – 1 meter. Di samping itu beberapa ruang pengasapan ikan tidak mempunyai ventilasi kecuali pintu masuk. Hal ini memungkinkan pengrajin terpajan oleh asap hasil pengasapan ikan. Berdasarkan wawancara dengan pengrajin didapatkan data 80% pengrajin pengasapan ikan mengeluh mengalami batuk, 50% mengeluh mengalami sesak nafas dan 30% mengeluh mengalami nyeri dada. Menurut penelitian Sumanto (1999), 74 % pengrajin pengasapan ikan mengalami gangguan fungsi paru. 6 MATERI DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian analitik dan endekatan yang digunakan adalah cross sectional. Populasi penelitian

adalah pengrajin pengasapan ikan di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Teknik pengambilan sampel menggunakan simpel random sampling sebanyak 45 orang dengan kriteria inklusi lama bekerja ≥ 5 tahun dan kriteria eksklusinya adalah merokok, mempunyai riwayat pekerjaan yang diperkirakan dapat menimbulkan penyakit saluran nafas seperti : perkayuan, pertambangan serta sebelum bekerja sudah menderita penyakit saluran nafas, asma, penyakit jantung. Variabel bebas berupa partikel terhirup dalama sap yang diukur dengan Personal Dust Sampler merk SKC Model 224-PCXR-8, dan variable terikatnya adalah fungsi paru yang diukur dengan Spirometer merk AS 300. Analisis bivariat menggunakan uji statistik Pearson-Product Momment. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum daerah Penelitian Kelurahan Bandarharjo merupakan daerah dataran rendah/daerah pantai dengan ketinggian berkisar antara 0-0,75 meter di atas permukaan air laut. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Bandarharjo adalah nelayan, dan dikenal sebagai salah satu sentra industri pengasapan ikan tradisional. Tempat pengasapan ikan terletak di bantaran kali Semarang, tepatnya di sebelah timur sungai dan di sebelah selatan jalan arteri utara. Industri pengasapan ikan di Kelurahan Bandarharjo terdapat 47 usaha pengasapan ikan. Tiap usaha pengasapan ikan mengasapi ikan antara 50 kg-1 ton ikan setiap hari dengan jumlah tenaga kerja 2-20 orang tiap usaha pengasapan ikan. Jumlah tenaga kerja yang ada di lingkungan usaha pengasapan ikan Bandarharjo terdapat 180 orang pengrajin. Pengasap ikan memulai kegiatan pengasapan ikan sejak jam 07.00 sampai jam 17.00 WIB. Kegiatan pengasapan ikan yang dilakukan meliputi pemilahan ikan, pengirisan ikan, pengasapan ikan dan ikan siap dipasarkan. Pengasapan ikan dilakukan dengan tungku pengasapan yang dibuat secara tradisional dan sederhana dari drum bekas dengan bahan bakar batok arang kelapa. Pengrajin duduk dekat dengan tungku pengasapan yang berjarak sekitar 0,5- 1 meter. Keadaan ruangan pengasapan ada yang di dalam ruangan tertutup dan ada juga yang terletak di ruangan terbuka. Pengrajin pengasapan ikan yang berada di ruangan

9

tertutup maupun terbuka terpajan asap hasil pengasapan ikan. Konstruksi cerobong asap dibuat sangat sederhana yaitu dari susunan beberapa lembar seng. Ketinggian cerobong hanya sekitar 4-5 meter sehingga tampak asap tebal menyelimuti tempat pengasapan dan sekitarnya. Para pengarjin menghindari asap dengan cara menyesuaikan diri berlawanan arah angin supaya asap tidak langsung mengenai pengrajin. Cerobong asap hanya berfungsi mengarahkan asap. Karakteristik responden Penelitian ini melibatkan 45 pekerja pengrajin pengasapan ikan di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang. Hasil penelitian diperoleh data: Tabel 1 Karakteristik Responden Pengrajin Pengasapan Ikan di Keluarahan Bandarharjo Tahun 2008 No 1.

2.

3.

Karakteristik Pendidikan a. Tidak tamat SD b. Tamat SD c. Tamat SMP Umur a. ≤ 30 tahun b. > 30 tahun Masa Kerja a. Normal b. Gemuk

Jumlah

Persentase (%)

15 21 9

33,33 46,67 20,00

13 32

28,89 71,11

23 22

51,11 48,89

Partikel terhirup dalam asap Proses pengasapan ikan menghasilkan banyak asap yang berasal dari pembakaran batok kelapa pada tungku yang sederhana. Proses pengasapan ikan hampir sama dengan komposisi asap akibat kebakaran. Asap mengandung berbagai komponen yang dapat merugikan kesehatan baik dalam bentuk gas maupun partikel.7 Partikel debu yang dapat dihirup pada pernafasan manusia adalah ukuran 0,1 sampai 5-10 mikron. Partikel ini akan berada di atmosfer sebagai suspended particulate matter dan mempunyai pengaruh besar untuk menimbulkan kerusakan jaringan dan faal paru.8 Partikel terhirup dalam asap diukur dengan Personal Dust Sampler dengan diameter filter respirable berukuran 37 mm (3,7 cm) dan diameter pori-pori filter 0,8 µm (mili mikron) yang terbuat dari ester selulosa serta flow 2 l/menit.

Partikel terhirup dalam asap diukur dengan Personal Dust Sampler. Rata-rata jumlah pajanan partikel dalam asap yang terhirup responden 2,21 mg/m3, dengan SD 1,11 dan nilai minimal 0,45 mg/m3, nilai maksimal 4,50 mg/m3. Nilai ambang batas partikel terhirup menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No SE-01/MEN/1997 tentang NAB faktor kimia adalah 3 mg/m3. Terdapat 12 orang (26,7%) menghirup partikel dalam asap melebihi 3 mg/m3 (lebih dari nilai ambang batas). Hal ini disebabkan ruangan untuk pengasapan ikan tidak ada ventilasi kecuali pintu masuk dan banyak pengrajin yang masih terpajan asap terutama pada waktu arah angin menuju ke arah pengrajin. Solusi yang perlu dipikirkan adalah dibuat alat exhaust ventilation yang diharapkan dapat menghisap asap hasil pengasapan ikan. Tabel 2. Distribusi data pengarajin pengasap ikan menurut kadar partikel terhirup dalam asap di Kelurahan Bandarharjo Tahun 2008 Kategori partikel ≤ NAB > NAB Jumlah

Frekuensi 32 13 45

Persentase (%) 71,11 28,89 100,00

Fungsi paru Penyakit paru dapat dilihat secara subyektif dari tanda dan gejala penyakit pernafasan yaitu batuk, sputum yang berlebihan, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada.9 Hal ini juga dapat dilihat bahwa responden yang mengalami batuk ada 33 responden (73,3%). Batuk merupakan suatu refleks protektif yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan saluran nafas bagian bawah. Batuk merupakan gejala yang paling umum dari penyakit pernafasan. Inhalasi debu, asap dan benda-benda kecil merupakan penyebab paling sering dari batuk.10 Responden yang mengeluarkan dahak atau sputum ada 28 responden (62,2%). Sputum merupakan mukus yang berlebihan pada saluran pernafasan. Pembentukan mukus yang berlebihan disebabkan gangguan fisik, kimia atau infeksi pada 10

membran mukosa. Mukus yang berlebihan akan dibatukkan dalam bentuk sputum.10 Sesak nafas atau dispnea juga dilami oleh 35 responden (77,7%). Dispnea atau sesak nafas adalah perasaan sulit bernafas dan merupakan gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispena sering mengeluh nafasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Dispnea merupakan gejala yang paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan trakeobronkial, parenkim paru-paru dan rongga pleura.10 Responden yang mengeluh mengalami nyeri dada ada 30 responden (66,6%). Penyebab nyeri dada salah satunya akibat radang pleura (pleuritis). Penyebab utama nyeri pleuritik adalah infeksi paruparu atau infark.10 Gangguan fungsi paru bisa dilihat dari prediksi nilai Forced Vital Capacity (FVC) dan perbandingan antara Forced Expiratory Volume 1 (FEV1) dengan Forced Vital Capacity (FVC). Tabel 3. Distribusi data pengrajin pengasap ikan menurut gangguan fungsi paru di Kelurahan Bandarharjo Tahun 2008 Kategori Partikel Normal Obstruksi Restriksi Campuran (Combined) Jumlah

Frekuensi 8 19 2 16

Persentase (%) 17,78 42,22 4,44 35,56

45

100,0

Fungsi paru juga bisa dilihat dari penurunan nilai FEV1. FEV1 merupakan fraksi volume kapasitas vital yang dikeluarkan pada satu detik pertama melalui ekspirasi paksa (volume ekspirasi paksa 1 detik). Pada penderita asma ditemukan kapasitas vital yang normal tapi terjadi penurunan nilai FEV1.11 Hubungan kadar pajanan partikel dalam asap dengan fungsi paru Hasil analisis korelasi pearson product moment menunjukkan nilai p=0,001 yang artinya ada hubungan antara kadar pajanan partikel terhirup dalam asap dengan kapasitas fungsi paru. Nilai r=0,444 menunjukkan hubungan antara kadar pajanan partikel terhirup dalam asap dengan

kapasitas fungsi paru menunjukkan hubungan yang sedang. Inhalasi debu atau partikel dalam paru-paru akan menimbulkan reaksi fibrosis. Debu merusak makrofag yang memfagositosis debu tersebut dan mengakibatkan pembentukan nodula fibrotik. Fibrosis yang luas timbul akibat penyatuan nodula-nodula fibrotik. Fibrosis yang luas akan mengakibatkan elastisitas, kapasitas total, kapasitas vital dan volume residu paru berkurang sehingga timbul penyakit paru.9 Partikel yang terkandung dalam asap kebakaran mempunyai potensi merusak sistem mukosilier (silia pada mukosa yang berfungsi mengeluarkan benda asing) dan merangsang proses fibrosis jaringan paru dan dapat menimbulkan kerusakan paru seperti bronkhitis kronik, emphisema serta fibrosis paru akibat partikel polutan dan mengandung kristal partikel dalam jaringan paru yang dikenal dengan pneumokoniosis.12 KESIMPULAN 1. Rata-rata pajanan partikel dalam asap yang terhirup responden 2,19 mg/m3 2. Penurunan nilai FEV1 pada pengrajin pengasapan ikan menunjukkan penurunan rata-rata FEV1 adalah 737,8 ml 3. Ada hubungan antara induksi partikel terhirup dalam asap dengan kapasitas fungsi paru dengan nilai p=0,002 SARAN 1. Ruangan pengasapan ikan hendaknya diberi ventilasi sehingga asap bisa keluar dari ruangan 2. Hendaknya membuat exhaust ventilation yang berfungsi untuk menghisap asap hasil pengasapan ikan. 3. Pengrajin pengasapan ikan diharapkan memakai masker sehingga dapat mengurangi pajanan partikel dalam asap yang terhirup

11

DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunnegoro, H . Diagnosis dan penilaian cacat pada penyakit paru kerja. Dewan keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Jakarta, 2006 2. Yunus, F. Diagnosis Penyakit Paru Kerja.Cermin Dunia Kedokteran No 74 Tahun 1992.diakses dari http://www.kalbe.co.id 3. Hicks GH. Ventilation. In: Cardiopulmonary anatomy and physiology. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 2000 4. Yunus, F. Dampak debu industri pada paru pekerja dan pengendaliannya. Cermin Dunia Kedokteran No 115 Tahun 1997. diakses dari http://www.kalbe.co.id 5. Aditama, TY. Penilaian Polusi Udara. Jurnal Respirologi Indonesia Vol 19 No 1 Januari 1999 6. Sumanto, Hubungan lama kerja di ruang pengasapan dengan fungsi

paru pada pengrajin pengasapan ikan di Kel Bandarharjo Kota Semarang, Skripsi, FKM Undip, Semarang, 2000 7. Fardiaz, S. Epidemiologi Lingkungan. Gadjah mada university Press, Yogyakarta, 1989 8. Murti, B. Penerapan Metode Statistik Non-Parametrik dalam Ilmu-ilmu Kesehatan. Gramedia. Jakarta.1996 9. Yunus F. Faal Paru dan Olah Raga. Jurnal Respirologi Indonesia Volume 17 No 2 April 1997. 10. Price & Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4 Buku II, EGC, Jakarta, 1994 11. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, EGC, Jakarta, 2001 12. Awaloedin, M, Polusi Udara karena Kebakaran Hutan. Diakses dari http/www.haze-online.or.id

12

Pengaruh Senam Hamil Terhadap Lamanya Persalinan Kala II Pada Ibu Hamil Primigravida di Kabupaten Semarang Yuliaji Siswanto*), Sri Wahyuni*) *) Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo ABSTRAK

Latar Belakang : Sampai sekarang angka kematian maternal dan perinatal di Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab tingginya kematian maternal dan perinatal di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya adalah akibat persalinan lama. Ada tiga faktor utama penyebab persalinan lama yaitu faktor tenaga (power), jalan lahir (passage) dan janin (passanger). Sampai saat ini yang dapat dimanipulasi atau dikendalikan adalah masalah tenaga, yaitu kontraksi uterus dan kekuatan ibu mengejan saat persalinan. Tenaga dari ibu ini dapat ditingkatkan dengan senam hamil. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan lamanya persalian kala 2 pada ibu hamil primigravida yang melakukan senam hamil dan tidak melakukan senam hamil di Kabupaten Semarang. Metode : Penelitian ini merupakan studi quasi eksperimental dengan sampel ibu hamil yang melakukan antenatal care di bidan praktik swasta di Kabupaten Semarang. Sampel sebanyak 80 orang yang memenuhi kriteria inklusi, 40 sampel melakukan latihan senam hamil sampai saat melahirkan dan 40 sampel lainnya tanpa latihan senam hamil (kontrol). Hasil yang didapat dibandingkan dan diuji statistik menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil : Rerata lama persalinan kala 2 kelompok ibu yang senam hamil lebih rendah dibandingkan kelompok ibu yang tidak melakukan senam hamil, yaitu 37,05 ± 15,91 berbanding 50,77 ± 23,77 menit. Lama persalinan kala 2 kelompok ibu yang senam hamil lebih singkat dibandingkan kelompok ibu yang tidak melakukan senam hamil (p=0,007). Kesimpulan : Lama persalinan kala 2 kelompok ibu yang senam hamil lebih singkat secara statistik dibandingkan kelompok ibu yang tidak melakukan senam hamil (p=0,007), jadi dapat disimpulkan bahwa senam hamil berpengaruh terhadap lamanya persalinan kala 2. Kata kunci : senam hamil, lama persalinan kala 2, hamil normal

PENDAHULUAN Kehamilan dan persalinan menimbulkan resiko kesehatan yang besar, termasuk bagi perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya. Sekitar 40% dari ibu hamil mengalami masalah kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan, dan 15% dari ibu hamil menderita komplikasi jangka panjang atau yang mengancam jiwa(1). Seperempat dari wanita pada usia reproduksi di negara berkembang mengalami kesulitan yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, dan masa nifas(2). Menurut data dari World Health Organizations (WHO) pada tahun 2003, Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki angka kematian ibu (AKI) tertinggi

di Asia Tenggara yaitu 470 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung kematian ibu adalah komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang tidak tertangani dengan baik. Kematian ibu ini terutama diakibatkan karena pendarahan, infeksi, eklampsia (gangguan akibat tekanan darah tinggi saat kehamilan), komplikasi aborsi, persalinan lama(3). Dari penelitian Senewe (2003), sekitar 23% responden yang mengalami komplikasi pada waktu persalinan dimana komplikasi terbesar adalah persalinan lama yaitu sebesar 15,4%(4). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

13

tahun 2002/2003 diperkirakan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Jawa Tengah tahun 2004 berdasarkan hasil Survey Kesehatan Daerah sebesar 155,22 per 100.000 kelahiran hidup. Kejadian kematian ibu maternal paling banyak adalah waktu bersalin sebesar 49,5 %, kemudian disusul waktu hamil sebesar 26,0 % dan pada waktu nifas 24,5 %. Sedangkan AKB Provinsi Jawa Tengah tahun 2004 sebesar 14,23 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, AKB Kabupaten Semarang 7,77 per 1.000 kelahiran hidup, dan ditemukan ada 9 kasus kematian ibu dari 9.910 kelahiran hidup(5). Angka kematian maternal dan perinatal merupakan indikator keberhasilan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kebidanan dan perinatal. Sampai sekarang angka kematian maternal dan perinatal di Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab tingginya kematian maternal dan perinatal di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya adalah akibat persalinan lama(6). Persalinan lama merupakan penyebab kematian perinatal dua setengah kali lebih besar bila dibandingkan dengan persalinan normal(7). Kematian perinatal diperkirakan karena bersangkut paut dengan keadaan/kondisi ibu yang melahirkan dan tindakan pertolongan pada saat persalinan dan keadaan/kondisi kesehatan bayi. Salah satu faktor yang mempengaruhi kematian perinatal adalah persalinan lama. Salah satu sebab tingginya kematian maternal dan perinatal di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya adalah distosia yang menyebabkan timbulnya persalinan lama dan persalinan kasep. Penelitian di negara maju menunjukkan hubungan yang kuat antara lama persalinan dengan kematian perinatal(8). Dalam rangka menekan serendah mungkin angka kematian maternal dan angka kematian perinatal, sesuai dengan tujuan pembangunan jangka panjang, beberapa publikasi mengatakan bahwa senam hamil dapat memperpendek kala 2 persalinan. Selain itu, senam hamil dapat menurunkan insidensi persalinan tindakan sebesar 4 kali bila dibandingkan dengan wanita hamil yang tidak melakukan senam, dapat menurunkan terjadinya stimulasi pada

persalinan kala 1 sebesar empat setengah kali(7). Ada tiga faktor utama penyebab persalinan lama yaitu faktor tenaga (power), jalan lahir (passage) dan janin (passanger). Sampai saat ini yang dapat dimanipulasi atau dikendalikan adalah masalah tenaga. Tenaga yang dimaksud disini adalah kontraksi uterus dan kekuatan ibu mengejan saat persalinan. Tenaga dari ibu ini dapat ditingkatkan dengan senam hamil. Senam hamil merupakan suatu program latihan bagi ibu hamil sehat untuk mempersiapkan kondisi fisik ibu dengan menjaga kondisi otot-otot dan persendian yang berperan dalam proses persalinan, serta mempersiapkan kondisi psikis ibu terutama menumbuhkan kepercayaan diri dalam menghadapi persalinan(6). Pada sebuah serial penelitian atas 876 pasien hamil di Pennsylvania dan New York yang melakukan olah raga ringan, persalinan lebih mudah di kalangan yang melakukan secara teratur dibandingkan yang hanya latihan sedikit atau yang tidak melakukan latihan sama sekali. Beberapa literatur mengatakan bahwa wanita hamil yang melakukan senan hamil akan mengalami resiko persalinan tindakan yang lebih kecil dari yang tidak senam. Wanita hamil yang secara teratur melakukan lari atau aerobik selama kehamilan sedikit yang memperoleh tindakan medis (seperti penggunaan oksitosin, persalinan dengan forsep, dan section caesarea) dan lebih dari 85 % persalinannya pervaginam tanpa komplikasi serta lama persalinannya lebih singkat(6). Masalah senam hamil sendiri mulai mendapatkan perhatian masyarakat dan banyak diselenggarakan oleh rumah sakit sehingga kesehatan jasmani dan rohani dapat ditingkatkan serta dapat menghilangkan rasa takut dalam menghadapi persalinan. Rasa takut dan kurang percaya diri menghadapi persalinan sering menderita kesakitan saat kekuatannya diperlukan untuk mendorong janin lahir, terutama bagi wanita yang untuk pertama kalinya bersalin. Dengan senam hamil serta latihan untuk mengkoordinasikan semua kekuatan saat persalinan diharapkan berjalan secara normal, tidak terlalu takut, akan mengurangi rasa sakit dan mempunyai kepercayaan diri yang tetap mantap(9).

14

Sebagian besar dari komplikasikomplikasi persalinan yang menyebabkan kematian ibu tersebut sebenarnya dapat ditangani melalui penerapan teknologi kesehatan yang ada. Dengan kata lain sebagian besar dari kematian ibu dapat dicegah(3). Penelitian yang dilakukan oleh Mulyata (2000) di Solo, terhadap 68 ibu hamil ternyata senam hamil terbukti memberikan kontribusi yang besar untuk melancarkan proses persalinan(10). Ibu hamil di wilayah Kabupaten Semarang belum banyak yang mengikuti senam hamil. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat/ibu hamil akan manfaat senam hamil dan belum adanya penyelenggaraan senam hamil oleh pelayanan kesehatan, baik puskesmas, rumah bersalin ataupun bidan praktik swasta. Berdasarkan kenyataan yang ada di daerah penelitian bahwa ketidaktahuan masyarakat/ibu hamil akan manfaat dari senam hamil dan belum adanya pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan program senam hamil, sehingga ibu hamil cenderung tidak mengikuti senam hamil, maka perlu diadakan penelitian tentang pengaruh senam hamil terhadap lama persalinan kala 2 pada ibu hamil primigravida di wilayah Kabupaten Semarang.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan di wilayah Kabupaten Semarang dengan jenis penelitian kuasi-eksperimental. Populasi dan sampel pada penelitian ini terdiri dari kelompok eksperimental (senam hamil) dan kelompok kontrol (tidak senam hamil). 1. Populasi Rujukan. Populasi rujukan pada penelitian ini adalah ibu hamil di wilayah Kabupaten Semarang. 2. Populasi Studi. Populasi studi adalah ibu hamil yang melakukan antenatal care di pelayanan kesehatan (bidan praktik swasta) yang ada di wilayah Kabupaten Semarang. 3. Besar Sampel. Pada penelitian ini ingin dihasilkan derajat kepercayaan 95% dengan power uji 80% sehingga dengan rumus : (11)

(Z.2PQ + ZP1Q1 + P2Q2)² n= (P1 – P2)² bila P1 (perkiraan proporsi insiden efek pada kelompok kasus)= 50%, dan nilai risiko yang dianggap bermakna adalah 4 maka diperoleh jumlah sampel sebesar 39 dan dibulatkan menjadi 40. Sampel/subjek pada penelitian ini adalah ibu hamil dengan umur kehamilan 28 minggu (masuk trimester ketiga). Subjek terdiri dari kelompok perlakuan (melakukan senam hamil) dan kelompok kontrol (tidak melakukan senam hamil) yang harus memenuhi kriteria penelitian (inklusi dan eksklusi), sebagai berikut : a.

b.

Kriteria Inklusi : 1) Ibu hamil primigravida dengan umur kehamilan 28 minggu 2) Berumur 20 – 35 tahun. 3) Tinggi badan  145 cm. Kriteria Eksklusi : 1) Ibu hamil dengan kelainan jalan lahir, kelainan letak janin, dan letak plasenta di bawah berdasarkan hasil USG. 2) Ibu hamil dengan anemia dan eklamsi. 3) Bayi yang dilahirkan pre-term. 4) Tafsiran berat badan bayi  4000 gram berdasarkan hasil USG terakhir. 5) Ibu hamil yang mengalami depresi

Senam hamil akan dilakukan kurang lebih sebanyak 9-10 kali dengan waktu pelaksanaan seminggu sekali dan durasi waktu  1 jam setiap senam (ada selingan waktu untuk istirahat). Sedangkan untuk data lamanya persalinan akan diambil berdasarkan catatan medis. Variabel independen dalam penelitian ini adalah senam hamil dan kondisi biologis ibu lainnya yaitu : status gizi ibu dan besar janin, sedangkan variabel dependen adalah lamanya persalinan kala 2. Data hasil penelitian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk melihat adanya pengaruh dilakukan analisis dengan menggunakan uji independent t-test

15

apabila didapatkan distribusi data normal dan uji Mann-Whitney apabila didapatkan distribusi data tidak normal(12,13). Analisis statistik tersebut dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 11.00 for Windows. Nilai signifikansi pada penelitian ini adalah apabila variabel yang dianalisis memiliki nilai p 70 tahun sebanyak 22,6% dari 1.053 penderita stroke. Berdasarkan data tersebut didapatkan

19

proporsi penderita stroke semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Jenis kelamin mempunyai risiko untuk terjadinya stroke dimana menurut penelitian Perthami (2001), didapatkan bahwa stroke orang laki-laki 2,7 kali lebih tinggi daripada orang perempuan. Data yang diperoleh dari RSD Dr.Raden Soejati Purwodadi Kabupaten Grobogan didapatkan penderita penyakit stroke pada tahun 2004 sejumlah 154 kasus, tahun 2005 sejumlah 162 kasus dan pada tahun 2006 sejumlah 167 kasus. Berdasar pengkajian pendahuluan di RSD Dr.Raden Soejati Purwodadi pada awal tahun2006 menggunakan wawancara diperoleh gambaran sebagai berikut bahwa umumnya masyarakat Grobogan cenderung pergi ke kota sebagai pekerja sebanyak 11.111 orang atau pergi ke luar negeri sebanyak 2.149 orang, hal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat kabupaten Grobogan yang pada gilirannya dengan peningkatan sosial ekonomi ini akan dapat memicu perubahan gaya hidup masyarakat seperti kebiasaan merokok, mengkonsumsi lebih banyak lemak, kolesterol dan alcohol Perubahan-perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh masalah umur dan jenis kelamin. METODE Dilihat dari cara mengamati maka penelitian ini merupakan analitik observasional dengan menggunkan rancangan kasus kontrol. Subyek penelitian diperoleh dari semua penderita stroke yang berobat (berkunjung) di RSD Dr.Raden Soejati. Kasus dalam penelitian ini adalah pasien yang menderita stroke di RSD Raden Soejati Purwodadi, sedangkan untuk kontrol adalah pasien yang tidak menderita stroke di RSD Raden Soejati Purwodadi. Jumlah sample minimal yang diambil sebesar 132, sample diambil dengan perbandingan (kasus:\kontrol) 1:1. Data seknuder dikumpulkan dari rekam medik, sedangkan data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara kepada penderita atau keluarganya

Analisa data digunakan dengan menggunakan program SPSS for windows versi 10,0. Untuk melihat adanya hubungan antara dua variable dilakukan analisis dengan menggunakan uji chi square .

HASIL PENELITIAN Analisa Univariat Variabel dependen dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, aktifitas fisik dan obesitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi umur responden > 55 tahun (62,1%) lebih tinggi dengan umur responden < 55 tahun (37,9%). Untuk jenis kelamin menunjukkan bahwa jenis kelamin responden laki-laki (59,8%) lebih banyak dari pada responden jenis kelamin perempuan (40,2%). Untuk ressponden yang merokok (56,1%) lebih banyak daripada yang tidak merokok (43,9%). Untuk responden yang tidak mengkonsumsi alkohol (75,8%) lebih banyak daripada yang mengkonsumsi alkohol (24,2%). Untuk responden yang tidak berolah raga ( 92,4%) lebih banyak daripada yang berolah raga (7,6%) dan untuk responden yang tidak obesitas (61,4%) lebih banyak dari pada yang obesitas (38,6%). Sedangkan sebagai variable dependen dalam penelitian ini adalah kejadian stroke yaitu penderita penyakit stroke dan penderita yang tidak stroke. Analisa Bivariat Hubungan antara faktor risiko dengan kejadian stroke Hasil analisis statistik bivariat hubungan antara variable bebas dengan kejadian stroke dapat dilihat pada table berikut ini :

20

Tabel 1 Ringkasan Hasil Analisis Bivariat No 1. Umur  ≥ 55 tahun  < 55 tahun 2. Jenis Kelamin  Laki-laki  perempuan 3. Kebiasaan Merokok  Merokok  Tidak Merokok 4. Konsumsi Alkohol  Konsumsi Alkohol  Tidak Konsumsi Alkohol 5. Aktivitas Fisik  Tidak Berolahraga  Berolahraga 6. Obesitas  Obesitas  Tidak Obesitas

X² 6,310

Nilai p 0,020

OR 2,510

95% CI 1,215-5,185

Keterangan Ada hubungan

0,788

0,478

1,372

0,682-2,758

Tidak ada hubungan

9,965

0,003

3,121

1,524-6,393

Ada hubungan

5,940

0,025

2,800

1,202-6,521

Ada hubungan

6,925

0,021

10,263

1,261-83,507

Ada hubungan

5,400

0,032

2,328

1,134-4,778

Ada hubungan

Berdasarkan uji statistik chi square pada tingkat kepercayaan 95% seperti pada table diatas, dapat dilihat bahwa: terdapat hubungan bermakna antara umur (p=0,020;95%CI;1,215-5,185), kebiasaan merokok (p=0,003;95%CI;1,524-6,393), konsumsi alkohol (p=0,025;95%CI;1,2026,521), Aktifitas fisik (p=0,021,95%CI;1,261-83,507) dan obesitas (p=0,032;95%CI;1,134-4,778). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik antara variable umur dengan kejadian stroke. PEMBAHASAN Faktor Umur Penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara umur responden dengan kejadian stroke dengan p=0,020. Umur merupakan factor risiko yang terpenting untuk terjadinya serangan stroke, semakin bertambah tua usia seseorang maka semakin tinggi untuk menderita stroke.Menurut sudut pandang secara fisiologisbahwa pada usia tua cenderung terjadi penurunan fungsi kerja organ-organ tubuh sehingga akan rentan terhadap penyakit degenerative

Faktor Jenis Kelamin Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara variable umur dengan kejadian stroke dengan p=0,478. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya jumlah perempuan yang bekerja menjadi TKI sehingga menyebabkan beban hidupnya bertambah dan mengakibatkan stress, Stres dapat memicu hormone adrenalin dan katekolanin. yang tinggi yang dapat mempercepat kekejangan arteri koroner sehingga suplai darah ke jantung terganggu maka akan menyebabkan stroke. Selain itu juga perempuan juga mempunyai faktor risiko tersendiri dibandingkan laki-laki yaitu penggunaan kontrasepsi oral, kehamilan, melahirkan dam menoupouse.

Faktor Kebiasaan Merokok. Penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara variable kebiasaaan merokok dengan kejadian stroke dengan p=0,003. Risiko kejadian stroke pada orang yang merokok sebesar 3,121 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak merokok, karena rokok mengandung 3 komponen (nikotin, kotinin dan karbon monoksida) yang toksik terhadap pembuluh darah

21

Faktor Konsumsi Alkohol Penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara konsumsi alkohol dengan kejadian stroke dengan p=0,025. Alkohol dianggap memberikan pengaruh yang berbahaya bagi peredaran darah otak disamping bagi otak itu sendiri. Bahan ini telah terbukti meningkatkan tekanan darah, mengganggu metabolisme hidrat arang dan lemak dalam tubuh dan juga mengganggu pembekuan darah. Faktor Aktifitas Fisik Penelitian ini menunjukkan ada hubungan bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian stroke dengan p=0,021. Aktifitas fisik yang moderat dan tinggi dapat menurunkan insiden stroke selain itu juga dapat mengurangi risiko penyakit degenerative lainnya, karena dengan olah raga rutin, maka deposit lemak yang berlebihan akan habis sedikit demi sedikit sehingga mencapai jumlah yang normal selain itu olah raga juga dapat mengurangi berat badan, mengendalikan kadar kolesterol dan menurunkan tekanan darah yang merupakan faktor risiko penyakit stroke. Faktor Obesitas. Penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian stroke dengan p=0,032. Obesitas merupakan faktor independen atau faktor lain yang tergantung faktor risiko lain dalam menyebabkan stroke seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus, hipetensi. Obesitas juga dapat menyebabkan tertimbunnya kolesterol dalam dinding pembuluh darah sehingga dapat menyebabkan aterosklerosis yang menjadi pemicu stroke.

KESIMPULAN 1. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke adalah umur (OR= 2,510; CI 95%=1,215-5,185), kebiasaan merokok (OR=3,121;CI 95%=1,524-6,393), konsumsi alkohol (OR=0,025; 95%CI=1,2026,521), aktifitas fisik (OR=0,021;95%CI=1,261-83,507) dan obesitas (OR=0,032;95%CI=1,134-4,778).

2.

Faktor risiko yang tidak berhubungan dengan kejadian stroke adalah faktor umur ( OR=1,372;95%CI=0,682-2,758)

SARAN 1. Peningkatan prenyuluhan kesehatan tentang faktor risiko 2. Masyarakat agar tidak mengkonsumsi alkoho, tidak merokok dan melaksanakan olah raga secara rutin/teratur 3. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut tentang faktor risiko terutama kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan pentingnya aktifitas fisik. DAFTAR PUSTAKA 1. Anugerah, PS, (1998). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC 2. Bierman, EL, Aterosklerosis dan Bentuk Aterosklerosis Lainnya. Dalam Ahmad H.Asdie (Edisi Bahasa Indonesia). Harison PrinsipPrinsip Penyakit Dlam. Jakarta:EGC 3. Busta, MN, (2000), Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta:Rinera Cipta. 4. Dahla,P.,& Lamsusdin, R. (1998), Diagnosis Jenis Patologis Stroke untuk Kepentingan Penanganan Stroke yang Rasional, Yogyakarta:BKM UGM 5. Depkes RI . (2000). Panduan Pengembangan Sistem Surveilans Penyakit Tidak Menular. Jakarta:Departemen Kesehatan. 6. Depkes RI. Pedoman Pengembangan Sistem Surveilans Perilaku Risiko Terpadu. Jakarta:Departemen Kesehatan 7. Djaluadji,D., (2002). Kumpulan Makalah Simposium Kewaspadaan dan Pencegahan Stroke. SNF Ilmu Penyakit Syaraf RSU Naraya Kirana Lumajang. 8. Findley, TW, (1999). Stroke Prevalence, Incidenci and Out Comes In Veteran with Diabetes. From:www.wri.med.gov/text only htm 1-12k 9. Hastono,SP, (1999). Modul: Analisa Data. Jakarta:FKM-UI

22

10. Hedera,P., Traunner, P., & Budjavoda,J., (1997). Short Term Prognosis of Strokr Due to Occlusion Internal Carotic Arteri; Based on Transcranial Puppler Ulthrasonografi Stroke. 11. Iman,S., (2002). Kolesterol & Lemak Jahat, Kolesterol & Lemak baik dan Proses Terjadinya Serangan Jantung & Stroke. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 12. Janis,J., (w002). Hypertension and Hypercolesterol as the Stroke Risk Factor. Dalam kumpulan makalah dan abstrak pertemuan nasional neuorogeriatri pertama. Perdossi 57 April: Jakarta. 13. Sensusi, S., (2001). Kolesterol Tinggi. Jakarta:Elex Media Komputindo. 14. Siregar, A. (2004). Penyakit Jantung dan Stroke Serta Pencegahannya. From: http:// www.medikaholistik.com/2003/200 4/4/28/medika.Html. x module=document detail & xid=91 &x cat=treatment 15. Supariasa,ID., Bakri,B., & Fajar,I., (2000). Penilaian Status Gizi. Jakarta:EGC. 16. Sustrani,L., Alam,S., & Hadibroto,L., (2003). Stroke. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 17. Thomas,DJ. (1997). Faktor Risiko Pada Serangan Stroke. Jakarta:Arcan 18. Toole,JF, (1998). Cerebrovascular Disoreders. New York: Raven Press 19. Wirawan,RB, (2000). Patofisiologi Stroke. Simposium Penanganan Stroke secara Komprehensif Menyongsong Milenium Baru. Semarang 20. Wortsma, JR, Halban, PA,& Hide,R., (1997). Alcohol Consumtion and The Risk of Stroke. The New England of Medicine.54, Suppl 3.A143 21. Yatim,F., (2000). Waspadai Jantung Koroner, Stroke dan Meninggal Mendadak; Atasi Dengan Pola Hidup Sehat. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

23

Studi Postur Kerja Pemecah Batu Ditinjau Dari Segi Ergonomi Di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang Qori Prasasti*) *) Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo

ABSTRAK Pemecah batu merupakan sektor informal yang menggunakan alat kerja dan cara kerja tradisional dalam proses kerja. Resiko untuk terjadi gangguan sistem otot dan kecelakaan kerja berkaitan erat dengan alat kerja, postur kerja yang berlangsung saat proses kerja dilakukan. Faktor perilaku pekerja juga melatarbelakangi adanya gangguan sistem otot. Penelitian studi postur kerja dilakukan di proyek batu galian di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan postur kerja pemecah batu ditinjau dari segi ergonomi. Jenis penelitian ini adalah kualitatif Grounded Teory, pengambilan data dilakukan dengan metode triangulasi pada 6 partisipan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa postur kerja pemecah batu di Desa Leyangan mengakibatkan gangguan sistem otot pada semua partisipan. Partisipan menganggap keluhan gangguan sistem otot sebagai hal yang biasa terjadi setelah bekerja. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian bahwa perilaku dan budaya partisipan melatarbelakangi adanya postur kerja yang tidak baik dari segi ergonomi, sehingga pekerja disarankan untuk memperhatikan cara kerja, postur kerja, waktu istirahat, agar terhindar dari gangguan sistem otot. Kata Kunci : Postur kerja pemecah batu, perilaku, ergonomi.

PENDAHULUAN Pemecah batu merupakan sektor informal yang menggunakan alat kerja dan cara kerja tradisional dalam proses kerja. Menurut M. Mikheev ICOHIS (1997) menyatakan gambaran umum industri sektor informal mempinyai ciri-ciri sebagai berikut : mempunyai resiko bahaya pekerjaan lebih tinggi, keterbatasan sumber daya untuk meningkatkan kondisi lingkungan kerja dan pengadaan pelayanan kesehatan yang adekuat, kurangnya kesadaran terhadapa faktor-faktor resiko kedehatan kerja, kondisi pekerjaan yang tidak ergonomis, kerja fisik yang berat, jam kerja yang panjang, struktur kerja beraneka ragam, kurang nya pengawasan manajeman pencegahan bahaya pekerjaan dan anggota keluarga seringkali terpajan. International Labour Organization (ILO) menginformasikan tentang masalah kesehatan kerja yang mencakup angka

kesakitan dan kematian akibat kerja dan akibat hubungan kerja pada sektor informal antara lain : nelayan tradisional di NTB mengalami nyeri persendian sebesar 57,5%, Pekerja pandai besi mengalami pengurangn tajam pendengaran 30-54%, pada industri kecil 60-80 % gangguan akibat faktor ergonomi seperti sakit pinggang, kaku leher dan keluhan pada alat gerak atas dan bawah (Depkes, 2002). Gangguan akibat faktor ergonomi seperti sakit pinggang, kaku leher dan keluhan pada alat gerak atas dan bawah didapatkan data 80 % terjadi pada tenaga kerja usia antara 30-50 tahun, hal ini dikarenakan proses kerja sektor informal menggunakan tenaga manual manusia dengan postur kerja yang tidak memenuhi standar ergonomi (Kurniawan, 1995). Berdasarkan survei awal, semua proses kerja pemecah batu di Leyangan dilaksanakan dengan menggunakan alat

24

tradisional, dengan postur kerja yang bervariasi dan perilaku kerja yang tidak aman. Perilaku pekerja secara cermat perlu diamati untuk mengetahui cara kerja dan postur kerja pada masing-masing pekerja. Penggalian alasan yang menjadi latar belakang dari perilaku pekerja dengan postur kerja yang tidak aman akan berpengaruh pada penerapan ergonomi dalam proses kerja. Pekerjaan yang dilakukan secara manual dengan postur kerja yang tidak sesuai standar ergonomi dapat menyebabkan Gangguan sistem gerak tubuh (musculo skeletal disorder) dalam bentuk nyeri walaupun intensitasnya ringan (Kurniawan, 1995). Proses kerja tradisional/ manual di Leyangan meliputi : postur mengangkat batu, membungkuk membelah batu, dan duduk memecah batu kerikil. Postur kerja tersebut berpotensi terjadinya gangguan sistem gerak tubuh, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Studi Postur Kerja Pemecah Batu Ditinjau Dari Segi Ergonomi Di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang “.

METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan dengan pendekatan cross sectional, metode yang digunakan adalah Grounded Teory. Metode grounded teory atau teori dasar adalah strategi riset yang secara teoritis mendasari riset yang sedang dilakukan dengan memberi teori dasar pada data yang dikumpulkan (Dempsey, 2002). Pengambilan data penelitian ini menggunakan metode triangulasi dengan wawancara terstruktur, observasi lapangan sebagai pembanding dalam penerapan ergonomi ditempat kerja dan lermbar observasi survei Brief’™ (Kusnanto, 2000). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja yang ada di wilayah penelitian pemecah batu di Leyangan. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 6 pekerja dari 12 pekerja, pemilihan sampel menggunakan metode theoritical sampling non probabilistik. Metode theoritical sampling adalah pemilihan sampel yang sesuai dengan sasaran pengembangan teori. Pengembangan teori yang dimaksud adalah postur kerja pemecah batu berdasar standar ergonomi (Kusnanto, 2000). Penelitian ini dilaksanakan di proyek pemecah batu Desa Leyangan Kecamatan

Ungaran, Kabupaten Semarang. Peneliti menggunakan observasi terstruktur dan interaksi komunikasi antara peneliti dengan partisipan dalam wawancara mendalam (indepth interview). Item dalam kuesioner terdiri dari : pengetahuan responden tentang postur kerja, ergonomi dan gangguan sistem otot (musculo skeletal disorder). Alat lain yang menunjang pengumpulan data antara lain : buku catatan , alat tulis, alat perekam dan lembar observasi survei Brief’™. Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, observasi, pencatatan lapangan dan lembar survei Brief’™. Langkah selanjutnya adalah menyusun semua hasil dalam bentuk satuan, kemudian satuan tersebut dikategorikan sambil melakukan koding. Tahap terakhir dar analisis data ini adalah keabsahan data. Penafsiran dalam mengolah hasil penelitian sementara dengan melihat teori substansif adalah langkah terakhir dalam analisa data.

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Hasil Penelitian Proyek pemecah batu yang menjadi obyek penelitian terletak di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang. Kondisi lingkungan kerja adalah lapang terbuka yang berada diperbukitan. Proses kerja dilapang terbuka menyebabkan pekerja banyak terpapar faktor fisik lingkungan antara lain : panas matahari, debu, getaran dan kebisingan. Proses kerja pemecah batu dilaksanakan dengan cara tradisional/manual, monoton, peralatan kerja tradisional lebih mengutamakan kekuatan fisik pekerja. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja termasuk kategori berat bila dilihat dari tuntutan kerja, beban fisik dan pemenuhan kalori kerja. Data penunjang dari proses kerja pemecah batu dapat dilihat pada tabel sebagai berikut

25

Tabel 1. Bagian dan Proses Kerja Pemecah Batu di Leyangan Bagian Kerja Pemecah Batu

Proses Kerja 1. Peledakan bukit batu 2. Pembelahan bongkahan batu besar 3. Pengangkutan batu ketepian area kerja 4. Batu dipecah kecil-kecil (kerikil)

Potensi Bahaya 1. Tertimpa batu 2. Terjepit batu 3. Terkena alat kerja 4. Gangguan system otot

Lama Kerja

Pengukuran 1. Penilaian postur kerja yang repetitive 2. Monotonisasi Kerja 3. Beban kerja

1-8 Jam

Tabel 2. Proses kerja pemecah batu di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang 2009 No

Bagian Kerja

1 2 3 4 5

Pembelah batu besar Pemecah kerikil Sopir Bongkar muat Mandor

Jumlah Pekerja 4 2 3 2 1

Paparan Fisik Panas Matahari Kebisingan Getaran Debu

Jam Kerja 11 Jam kerja per hari, dengan waktu istirahat pukul siang 12.0001.00 Istirahat sore pukul 14.00-15.00

Tabel 3. Karakteristik Partisipan No

Karakteristik

1 2 3 4

Usia Jenis Kelamin Pendidikan Bagian Kerja

5

Lama Kerja

R1

R2

35 Pria SMP Pembelah batu besar 3 Tahun

47 Pria SD Pemecah batu besar 6 Tahun

Kode Partisipan R3 R4 45 43 Perempuan Pria SD SD Pemecah Pembelah batu kerikil batu besar 6 Tahun 11 Tahun

R5 40 Pria SMP Pemecah batu besar 11 Tahun

Tabel 4. Hasil Pengukuran Frekuensi Postur Kerja Repetitif dan Monoton Standar Egonomi Pada Pemecah Batu di Leyangan Frekuensi < 10 10-20

45º dari Badan 1

3

3

1

Bertahap Sering

0 2

0 1

0 1

Keterangan

Gerakan monoton Gerak bertahap, berhenti untuk istirahat Perputaran leher jarang dilakukan

Tabel 6. Hasil Pengukuran Berat Beban Kerja Dengan Postur Menjinjing, Mengangkat, Menarik, Mendorong Pada Pekerja Pemecah Batu di Leyangan Waktu(Jam) 1-3 4-12 12

< 3 Kg 2 7 7

Berat Beban (Kg) 3-7 Kg 7-15 Kg 1 19 5 36 7 36

15-25 Kg 1 2 2

Tabel 7. Hasil Observasi Postur Kerja Postur Kerja Berdiri, Membungkuk Berulang kali

Frekuensi/Waktu Selama 2 Jam, gerakan terus dilakukan, istirahat curian 3 menit

Keterangan Postur kerja pembelah batu besar Posisi membungkuk 80º diatas batu. Penekanan terjadi pada leher, bahu, siku, punggung, lutut

Duduk

Lama duduk 4,5jam, dengan istirahat duduk tanpa memecah batu 12 menit

Pekerja menggunakan alas duduk kayu. Penekanan terjadi pada telapak tangan, siku, bahu, panggul, pinggang dan sacrum. Postur kerja ini dilakukan oleh pemecah batu kecil

27

Tabel 8. Hasil Observasi Postur Kerja Postur Kerja Mengangkat beban

Frekuensi/Waktu Mengangkat batu dengan beban lebih dari 8Kg dilakukan 5 kali selamaa 12 jam

Keterangan Cara mengangkat batu terdapat 3 postur : 1. Mengangkat belahan batu diatas bahu kiri 2. Mengangkat dengan membungkuk untuk memindahkan batu jarak dekat 3. Menggendong kepingan batu dalam keranjang batu

Berdiri, Membungkuk Berulang kali

Selama 2 Jam, gerakan terus dilakukan, istirahat curian 3 menit

Postur kerja pembelah batu besar Posisi membungkuk 80º diatas batu. Penekanan terjadi pada leher, bahu, siku, punggung, lutut

Duduk

Lama duduk 4,5jam, dengan istirahat duduk tanpa memecah batu 12 menit

Pekerja menggunakan alas duduk kayu. Penekanan terjadi pada telapak tangan, siku, bahu, panggul, pinggang dan sacrum. Postur kerja ini dilakukan oleh pemecah batu kecil

Tabel 9. Lama Kerja dan Bagian Kerja Partisipan No 1

2

Kata Kunci R1 : Hampir 3 tahun R2 : Enam tahun R3 : Enam tahun R4 : Sebelas tahun R5 : Sebelas tahun R6 : Sebelas tahun R1 : Yang namanya kerja itu ya serabutan mbak, mana yang longgar itu yang dikerjakan R2 : Memecah batu R3 : Memecah batu untuk kerja sambilan R4 : Memecah batu gitu saja mbak R5 : Memecah batu R6 : Memecah batu

Kategori Lama kerja

Bagian kerja

28

Tabel 10. Riwayat Sakit Partisipan No 3

Kata Kunci R1 : Dulu saya pernah mengalami kecelakaan sepeda motor. Ini ada bekasnya di dada. Kecelakaan karena pekerjaan pernah tertimpa batu padas dibagian bahu dan tertimpa batu belahan pada bagian lutut kanan sampai mata kaki. Sampai sekarang masih terasa linu. R2 : Tidak …tidak pernah sakit. Paling-paling masuk angin, kecapaian. R3 : Pernah terkena pecahan batu, terkena batu itu suatu hal yang biasa R4 : Saya pernah tertimpa batu dibagian sini (sambil menunjuk mata kaki) R5 : Tidak….tidak pernah sakit. Paling-paling masuk angin, kecapaian. Yang diminta itukan sehat teruskan mbak ? R6 : Tidak…tidak sakit. Tangan saya seperti ini, penyakit apaya mbak ? 11 tahun he mbak, tangan saya sampai keras terus mati rasa.

Kategori Riwayat sakit

Tabel 11. Postur kerja yang baik menurut Partisipan No 4

Kata Kunci R1 : Posisi tangan kanan menggenggam tangkai didepan tangan kanan, posisi ayunan alat kearah kiri badan. Posisi alat (palu besi/bodem) sebagian saja dikenakan batu R2 : Cara membelah batu yang baik ya diletakkan terlebih dahulu. Caranya membelah/posisi membelah ya seperti waktu kerja di depo. R3 : Ya seperti waktu kerja di depo mbak, saya duduk dibawah. Kalau ada dingklik (tempat duduk kecil dari kayu) ya..dipakai, kalau tidak ada ya duduk dibawah. R4 : Seperti ini caranya : (memperagakan membelah batu dengan bodem dengan arah ayunan dari samping kanan badan) R5 : Caranya membelah batu yang baik ya diledakkan lebih dulu, baru dibelah pakai bodem. Kemarin mbak sudah lihat kan waktu di depo. R6 : Begini lho mbak .. itu sudah ada “srati” atau syaratnya sendirisendiri.

Kategori Postur kerja yang baik menurut partisipan

29

Tabel 12. Postur kerja yang tidak baik menurut partisipan No 5

Kata Kunci R1 : Posisi … yang salah itu pada posisi alat dengan batu tegak lurus, karena batu akan terlempar ke badan, getaran bodem terasa sampai bahu dan dada sehingga dadanya bias rusak/sakit R2 : Posisi yang tidak baik ya saat memecah batu yang belum diledakkan langsung dipecah dapat merusak tangan karena batu sangat keras R3 : Kerja itu ya seenaknya sendiri. Setiap orangkan beda-beda, kalau kerja seperti ini enak ya dilakukan, kalu tidak enak ya nggak. R4 : Itu kalau pekerja baru mbak yang belum terbiasaya bias salah dan kesleo R5 : Tidak bisa, setiap orang punya srati sendiri, yang tahu hanya dirinya sendiri R6 : Posisi yang tidak baik yaitu batu dibelah sebelum diledakkan

Kategori Postur kerja yang tidak baik menurut partisipan

Tabel 13. Gangguan System Otot Akibat Postur Kerja No 6

Kata Kunci R1 : Tangan sampai sini (sambil menunjuk dari pergelangan tangan sampai tengkuk) terus pinggang setelah bekerja capek semua, tapi itu sudah biasa, paling istirahat 2 jam sudah sembuh R2 : Tidak ..tidak pernah sakit, saya mau diapakan? Paling pegal karena kecapaian. Capek itu hal yang biasa jadi tidak usah dirasakan. Kadang-kadang sampai kram, nanti kalau sudah istirahat sembuh, besuk sudah bekerja lagi R3 : Setelah memecah batu jari-jari sampai bahu, tulang belakang terasa pegal, capek. Kalau istirahat ya dirumah, di depo ya kerja terus, capek berhenti R4 : Wah … tidak karuan capeknya. Pegal, capek, kadang-kadang malah tidak dirasakan. Malam istirahat, minum jamu, pagi sudah bisa kerja lagi R5 : Tangan sini, pundak, panggul capeknya merata seluruh badan. Tangan saya yang tebal ini suatu penyakit apa bukan ? walaupun disayat tangan saya tidak keluar darahnya R6 :Bagian bahu, tangan rasanya capek semua

Kategori Gangguan system otot akibat postur kerja

30

Tabel 14. Alat Kerja Yang Baik Menurut Partisipan No 7

Kata Kunci R1 : Alat kerja yang baik seperti ini mbak, yang bahanya dari besi baja asli, terus tangkainya dari rotan/menjalin yang besar. Bodem ini beratnya 9 Kg. Panjang 1 Meter. R2 : Ya seperti ini buat saya sudah bagus. Beratnya kira-kira 9 Kg. Panjang 1 m R3 : Ya ..seperti ini sudah bagus!...Beratnya 9 Kg, panjang 1 m R4 : Yang baik itu alat yang bahannya dari besi baja asli, tidak cacat, terus kalau dipakai 1 minggu harus diasah di pandai besi, biar tajam. Berat nya 9 Kg, panjang 1 m R5 : Bagi saya seperti ini sudah baik. Besinya dari baja asli terus tangkainya dari rotan/menjalin yang besar. Rata-rata berat besi 9 Kg, panjang 1 m R6 :Dari besi baja asli, beratnya mantap, tidak cepat rusak. Beratnya 9 Kg, Panjang 1 m

Kategori Alat kerja yang baik menurut partisipan

Tabel 15. Alat Kerja Yang Tidak Baik Menurut Partisipan No 8

Kata Kunci R1 : Yang tidak baik bahannya bukan dari besi baja asli, karena besinya tidak padat R2 : Bagaimana ya mbak …yang bahannya bukan dari besi baja

Kategori Alat kerja yang tidak baik menurut partisipan

R3 : Tidak tahu …lho yang rusak pasti tidak baik, katrena tidak bias dipakai R4 : Itu kalau alatnya tidak tajam sehingga tidak bias dipakai R5 : Yang besinya bukan dari besi baja asli R6 :Yang bahannya dari besi-besi biasa 9

R1 : Ya … tidak bisa to mbak, kayu itu sifatnya keras, tidak lentur, terkena tangan rusak dan benturan besi dengan batu getarannya sampai kedada. Getarannya dapat merusak dada. Kalau rotan/menjalin kan lentur dan elastic R2 : Wah… gimana ya mbak, tidak bisa ya mbak, bukan pasangannya itu jadi tidak pas, tangannya bisa rusak karena tidak lentur R3 : Tidak pantas mbak, itu sudah pasangannya R4 : Tidak bisa mbak, telapak tangan sakit, kayu itu sifatnya keras jadi tidak bisa dibuat kerja R5 : Gimana ya mbak, tidak bisa ! tangkai kayu itu keras terkenna telapak tangan sakit/merusak tangan karena tidak lentur R6 :Tidak bisa mbak. Tangkai yang seperti itu keras dan sakit ditangan, tetapi jika diberi ya saya terima saja

Tangkai alat kerja

31

PEMBAHASAN Postur kerja Observasi yang dilakukan peneliti terhadap 6 partisipan menghasilkan beberapa postur kerja atara lain : postur berdiri kemudian membungkuk dilakukan berulang kali, postur duduk dan postur mengangkat beban. Postur kerja pemecah batu di Leyangan termasuk kategori tidak baik dari segi ergnomi. Postur kerja berdiri dilakukan oleh R1, R2, R4, R5 dan R6, tetapi partisipan R6 tidak menjelaskan secara rinci postur kerja yang dilakukan karena setiap orang memiliki “srati” syarat/ cara kerja sendiri-sendiri. Rata-rata R1, R2, R4, R5 posisi tangan kanan menggenggam tangkai bodem, posisi ayunan alat kearah kiri badan. Posisi alat (palu besi/bodem) sebagian saja dikenakan batu. Berdasar hasil observasi, proses pembelahan batu besar dilasklukan dengan berdiri membungkuk diatas batu seraya mengayunkan bodem. Postur kerja berdiri dengan penekanan pada kedua kaki secara monoton dengan beban berat dapat menimbulkan beberapa keluhan antara lain : kelelahan seluruh otot persendian, gangguan pada otot tulang belakang, nyeri tengkuk dan bahu. Keluhan nyeri otot karena postur berdiri/membungkuk diakui oleh R1, R2, R4, R5 dan R6 yang mengatakan capek, pegal, nyeri pada tengkuk, bahu dan punggung. Postur kerja duduk dilakukan oleh partisipan R3 yang mengatakan “Ya seperti waktu kerja di depo mbak, saya duduk dibawah. Kalau ada dingklik (tempat duduk kecil dari kayu) ya..dipakai, kalau tidak ada ya duduk dibawah.). Memecah batu kecil/ kerikil secara monoton dan repetitive menyebabkan sakit dan penebalan, kekakuan pada jari. Postur kerja duduk apabila dipertahankan dalam waktu yang lama dapat meningkatkan beban kerja, kontraksi otot statis sehingga menyebabkan kelelahan sendi yang memerlukan pemulihan dalam waktu yang lebih lama dari waktu kerja. R3 mengeluhkan “Setelah memecah batu jarijari sampai bahu, tulang belakang terasa pegal, capek. Kalau istirahat ya dirumah, di depo ya kerja terus, capek berhenti” Masalah kesehatan akibat postur monoton seperti berdiri , duduk, mengangkat beban, mendorong, menarik seharusnya diselingi dengan jenis pekerjaan yang memerlukan variasi gerak fleksibel sehinnga terhindar dari gangguan system otot. Variasi

gerak kerja akan memperlancar peredaran darah dan dapat mereduksi kelelahan otot. Jenis alat kerja, pakaian kerja, jenis material kerja, lingkungan kerja dan riwayat penyakit memiliki kontribusi terhadap postur kerja. (Tarwaka 2004). Variasi gerak dalam proses kerja dilakukan oleh R1 yang mengatakan bahwa “Yang namanya kerja itu ya serabutan mbak, mana yang longgar itu yang dikerjakan” Alat Kerja Desain alat kerja : tangkai bodem, palu, berat dan alas duduk (dingklik) kurang memenuhi standar ergonomi. Tangkai bodem berbentuk panjang 1 m tanpa lekuk dengan berat 9 Kg, panjang tangkai palu 0,5 m tanpa lekuk dengan berat 2 Kg. Desain tangkai bodem dan palu menyebabkan postur pergelangan tangan cepat lelah. Berat bodem menyebabkan pemuluran pada tangan, lengan dan bahu sehingga menyebabkan pegal, capek, kram hingga tengkuk. Tangkai palu yang lurus menyebabkan pegal, capek pada pergelangan tangan. Ketersediaan alas duduk berupa dingklik sangat membantu pemecah batu kecil, namun partisipan terkadang kehilangan alas duduk sehingga pekerjaan memecah batu dilakukan dengan berjongkok. Postur jongkok yang terlalu lama menyebabkan sakit pinggang. Proses kerja Proses kerja di proyek pemecah batu di leyangan dimulai dari peledakan bukit batu, pembelahan bongkahan batu besar, pengangkutan batu ketepian area kerja, batu dipecah kecil-kecil (kerikil). Semua proses kerja dilakukan secara manual/tenaga manusia.

Lingkungan kerja Lingkungan kerja di proyek pemecah batu di Leyangan berupa perbukitan batu yang diledakkan untuk meruntuhkan batu besar. Membelah batu besar hingga memecah batu menjadi ukuran kecil dilakukan dengan manual. Postur kerja dalam proses pemecahan batu dilakukan sesuai dengan ukuran batu dan pengalaman pekerja pada masing-masing bagian kerja dan lama kerja. Area kerja terbuka dan panas matahari menjadi beban tambahan bagi pekerja.

32

Beberapa penelitian tentang studi postur kerja yang tidak baik mengungkapkan bahwa potur kerja dipengaruhi oleh perilaku dari pekerja, lingkungan kerja, proses kerja, alat kerja dan budaya masyarakat setempat. Determinan perilaku merupakan factor internal partisipan. Determinan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposissi, faktor pendorong, faktor pendukung. (Notoatmojo 2003). Determinan perilaku dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku partisipan adalah kurangnya pengetahuan dari partisipan tentang postur kerja dan alat kerja yang baik sesuai standar ergonomic. Partisipan menganggap bahwa postur kerja dan alat kerja yang digunakan sudah baik, sehingga tidak perlu perubahan lagi. Penerapan ergonomic pada proses kerja manual dalam suatu organisasi kerja tidak dapat diterapkan sempurna tanpa pemberian informasi yang adekuat, pengetahuan yang mendukung dan pelatihan kerja. (Luttman 2003) 2. Faktor pendorong yang mempengaruhi perilaku partisipan adalah anggapan bahwa gangguan system otot adalah hal biasa terjadi dan bukan masalah serius. Alasan mereka adalah kerja memecah batu sudah biasa merasakan capek dan pegal. Semua partisipan mengeluhkan : rasa capek, pegal, lelah, nyeri dan kram. Bagian tubuh yang mengalami gangguan system otot antara lain : pergelangan tangan, siku, bahu, tengkuk, panggul, persendian kaki. Waktu istirahat bagi partisipan dirasakan tidak cukup untuk istirahat sehingga partisipan melakukan istirahat curian. Partisipan menganggap bahwa gangguan system otot bukan masalah yang serius, mereka nmenganggap hal yang biasa sebagai pemecah batu. Kurangnya perhatian terhadap gangguan system otot dan kecelakaan kerja akan mempengaruhi kualitas kerja dan penurunan fungsi organ. (Tarwaka 2004). Penurunan fungsi organ terlihat jelas pada partisipan 5.

3.

Faktor pendukung yang mempengaruhi perilaku partisipan adalah kemampuan setiap partisipan berbeda-beda sesuai dengan pembagian kerja (pembelaah batu, pemecah batu besar, pemecah batu kecil) dan tuntutan pekerjaan, hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kemampuan pekerja, tuntutan tugas dan karakteristik organisasi mempengaruhi suatu proses kerja (Nurmianto 2000) Pengalaman partisipan dengan postur kerja yang dilakukan juga dipengaruhi oleh kepercayaan, seperti yang diungkapkan oleh partisipan R5 : Tidak bisa, setiap orang punya srati sendiri, yang tahu hanya dirinya sendiri (setiap orang mempunyai cara-cara kerja sendiri-sendiri sesuai keyakinannya).

Perbandingan hasil wawancara, observasi dan tinjauan teori mengenai postur kerja ditinjau dari segi ergonomi menyebutkan bahwa : suatu postur kerja yang tidak baik dilatar belakangi oleh faktor eksternal (Alat kerja, proses kerja, lingkungan kerja,adat budaya ) dan faktor internal (Predisposisi, pendorong, pendukung)

KESIMPULAN Postur kerja yang dilakukan oleh R2, R3, R4, R5, R6 dilakukan secara repetitif dan monoton sementara R1 melakukan pekerjaan serabutan dengan variasi postur kerja. Postur kerja partisipan dilatar belakangi oleh faktor eksternal (Alat kerja, proses kerja, lingkungan kerja,adat budaya ) Alat kerja, proses kerja, lingkungan kerja merupakan bagian dari ergonomi dan faktor internal (Predisposisi, pendorong, pendukung) Potur kerja partisipan ditinjau dari segi ergonomi dipengaruhi desain alat kerja, berat dan jenis alat kerja 1.

Alat Kerja yang digunakan (palu, bodem, dingklik) memiliki desain yang kurang ergonomis. Desain tangkai dan berat alat menyebabkan gangguan system otot pada jari,

33

2.

3.

pergelangan tangan, tangan dan bahu. Proses kerja di proyek pemecah batu di leyangan dimulai dari peledakan bukit batu, pembelahan bongkahan batu besar, pengangkutan batu ketepian area kerja, batu dipecah kecil-kecil (kerikil). Semua proses kerja dilakukan secara manual/tenaga manusia. Lingkungan kerja di proyek pemecah batu di Leyangan berupa perbukitan batu. Area kerja terbuka dan panas matahari menjadi beban tambahan bagi pekerja.

Faktor internal yang melatarbelakangi postur kerja antaralain : faktor predisposisi, faktor pendorong, faktor pendukung. 1. Faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku partisipan adalah Partisipan menganggap bahwa postur kerja dan alat kerja yang digunakan sudah baik, sehingga tidak perlu perubahan lagi. 2. Faktor pendorong yang mempengaruhi perilaku partisipan adalah partisipan menganggap bahwa gangguan system otot bukan masalah yang serius, mereka nmenganggap hal yang biasa sebagai pemecah batu. Penurunan fungsi organ terlihat jelas pada partisipan 5. 3. Faktor pendukung yang mempengaruhi perilaku partisipan adalah kemampuan setiap partisipan berbeda-beda sesuai dengan pembagian kerja (pembelaah batu, pemecah batu besar, pemecah batu kecil) dan tuntutan pekerjaan. Pengalaman partisipan dengan postur kerja yang dilakukan juga dipengaruhi oleh kepercayaan, seperti yang diungkapkan oleh partisipan R5 : Tidak bisa, setiap orang punya srati sendiri, yang tahu hanya dirinya sendiri (setiap orang mempunyai cara-cara kerja sendirisendiri sesuai keyakinannya).

SARAN 1. Bagi Pekerja a. Disarankan pekerja untuk bekerja secara bergantian dibagian kerja yang lain secara berselingan, untuk menghindari postur kerja yang monoton b. Disarankan pekerja melakukan istirahat curian untuk relaksasi otot c. Bagi pemecah batu kecil/kerikil, disarankan menggunakan alas duduk kursi kecil/dingklik atau alas batu untuk menghindari penekanan lutut yang menekuk. d. Disarankan untuk minum yang teratur agar tidak terjadi dehidrasi karena panas matahari 2. Bagi Pengelola Proyek Batu a. Disarankan untuk membuat jadwal rolling kerja pada pekerja b. Disarankan untuk memberikan istirahat pendek ditengah kerja c. Penyediaan alas duduk/dingklik/ kursi juga berfungsi sebagai tempat istirahat pekerja, sekaligus mengurangi postur kerja tidak baik. d. Penyediaan air minum yang mencukupi untuk mengantisipasi dehidrasi pekerja

DAFTAR PUSTAKA 1. 2.

3.

4.

5.

Arikunto, S.(2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Dempsey. (2002). Riset Keperawatan. Jakarta : Penerbit EGC Depkes RI. (2002). Kebijakan Teknis Program Kesehatan Kerja. Jakarta Koentjaraningrat. (2003). Pengantar Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta Kurniawan, D. (1995). Manajemen Nyeri Otot Pada Pekerja Wanita Garmen. Dalam Bunga Rampai

34

Hiperkes. Vol XIII. Jakarta : Depnaker 6. Kusnanto, H. (2000). Metode Kualitatif Dalam Riset Kesehatan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada 7. Lutmann, A. (2003). Preventing Musculoskeletal Disorder In The Work Place. India : WHO 8. Nurmianto, E. (1998). Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : Guna Widya 9. Notoatmojo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta 10. Tarwaka, S. (2004). Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja Dan Produktifitas. Surakarta : UNIBA Press

35

Gambaran Perilaku Anak Autis Pada Anak SD Di SLB Begeri Semarang Sri Wahyuni*) *) Staf Pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo

ABSTRAK Sekitar sepuluh tahun terakhir ini autisme menjadi topik yang banyak memperoleh perhatian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Data jumlah anak autistik di Indonesia belum ada yang pasti, tetapi berbagai sumber melaporkan peningkatan yang tinggi pada jumlah anak autis dalam beberapa tahun terakhir (Gianjar, 2008). Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasif (inco) (Mardiyatmi, 2000 dalam Nasution, 2007). Perkembangan yang terganggu pada anak yang mengalami autisme dalam perilaku adalah aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas (Veskarisyanti, 2008). Musik merupakan satu instrumen yang dapat memaksimalkan kemampuan seseorang, musik juga merupakan reinforcer dan feedback autis (Veskarisyanti, 2008). Terapi musik, pada seorang anak autis yang kesulitan melakukan gerak atau geraknya tidak teratur diharapkan dapat bergerak secara terarah, sehingga anak dapat belajar dengan baik (Prasetyono, 2008). SLB Negeri Semarang, merupakan satu-satunya sekolah luar biasa yang berstandar internasional ( ISO 9001 : 2000). Fasilitas ruang terapi yang ada meliputi terapi fisio, akupressur, speech terapi, dan terapi musik. Sedangkan yang merupakan program unggulan dari SLB-N Semarang ini adalah terapi musik. Dengan melihat fenomena yang ada peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Perilaku Anak Autis di SLB Negeri Semarang”. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu menggunakan pendekatan induktif untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan peneliti dalam mengidentifikasi pengertian relevansi fenomena tertentu terhadap individu (Moleong, 2004). Pendekatan yang digunakan adalah studi Fenomenologi karena peneliti ingin mendapatkan data dengan cara memahami pengalaman hidup manusia sebagai individu yang mengalami keadaan yang sebenarnya (Moleong, 2004). Populasi penelitian ini adalah seluruh orang tua dan guru siswa SLB Negeri Semarang yang berjumlah 46 siswa. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah “purposive sampling”. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 3 orang tua yang memiliki anak autis dan 1 guru. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara in depth interview yang berhubungan dengan fenomenologi peran orang tua dan guru pada anak dengan gangguan autisme. Hasil penelitian didapatkan bahwa Autisme merupakan gangguan atau keterlambatan berupa gangguan perilaku, keterlambatan komunikasi, kurangnya interaksi sosial, gangguan emosi, dan sensitif. Bentuk perilaku yang muncul pada anak dengan gangguan autisme berupa : susah untuk berbicara, suka merusak dengan menggigit atau melukai tangannya sendiri, hiperaktif, tidak tahan duduk berlama-lama dan tidak bisa konsentrasi. Pemberian terapi untuk anak autisme dapat dilakukan dengan bebagai cara antara lain terapi bermain, terapi perilaku, dan terapi musik. Dalam pemberian, proses pemberian harus dilakukan secara terus menerus dan konsisten agar proses penyembuhan anak dengan gangguan autisme dapat berjalan baik. Kata Kunci : autisme, terapi musik, SLB

36

PENDAHULUAN Sekitar sepuluh tahun terakhir ini autisme menjadi topik yang banyak memperoleh perhatian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penyebabnya adalah makin meningkatnya jumlah anak-anak yang didiagnosa autistik. Saat ini diperkirakan satu dari 150 anak yang lahir di Amerika Serikat menunjukkan ciri-ciri autistik. Data jumlah anak autistik di Indonesia belum ada yang pasti, tetapi berbagai sumber melaporkan peningkatan yang tinggi pada jumlah anak autis dalam beberapa tahun terakhir (Gianjar, 2008). Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasif (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan gangguan komunikasi sosial (Mardiyatmi, 2000 dalam Nasution, 2007). Ada ketakutan orang tua terutama khususnya kaum ibu menyangkut anaknya, yaitu autis. Jika anaknya terkena autis, ibu akan sangat gugup karena anaknya tak fokus, cenderung pendiam dan sulit beradaptasi. Padahal, rata-rata anak autis punya kecerdasan yang luar biasa (Maulana, 2007). Reaksi pertama orang tua yang paling mungkin adalah kekecewaan dan kesedihan yang paling mendalam, yang kemudian disusul dengan rasa malu. Perasaan malu ini pula yang membuat orang tua memilih untuk sendiri dan menutup-menutupi buah hatinya dari lingkungan sekitar daripada mencari informasi yang benar mengenai buah hatinya. Meski msudah banyak sekolah-sekolah khusus atau pusat konsultasi mengenai anak dengan kelainan mental, tak banyak orang tua yang meresponnya secara positif. Alasanya karena tak ingin “aib” yang dibawa sang buah hati tersebar keluar rumah (Veskarisyanti, 2008). Perkembangan yang terganggu pada anak yang mengalami autisme dalam perilaku adalah aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas (Veskarisyanti, 2008). Perilaku bermasalah sekaligus merupakan penanda / karakter yang acapkali dimunculkan oleh anak autis adalah stimulasi diri dan stereotip. Kalau perilaku ini muncul, tentu saja akan menghambat proses belajar yang sedang berlangsung. Untuk mengatasi dan mencegah agar perilaku tersebut tidak muncul, maka yang perlu dilakukan oleh guru adalah memberikan reinforcement, tidak memberikan kesempatan / waktu pada

anak untuk asyik dengan dirinya sendiri, memberikan kegiatan yang menarik dan positif, serta menciptakan suasana yang kondusif bagi anak agar tidak ada kesempatan bagi anak untuk menyakiti diri (Widihastuti, 2006). Cara orang tua untuk membimbing dan memperbaiki perilaku pada anak yang tidak menyenangkan (negatif) serta mengukuhkan dan meningkatkan perilaku yang menyenangkan (positif) bisa dilaksanakan dengan metode modifikasi perilaku. Modifikasi perilaku adalah penerapan prinsip-prinsip teori belajar yang telah teruji secara eksperimental untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak adaptif dilemahkan dan dihilangkan sedangkan perilaku adaptif ditimbulkan serta dikukuhkan (Wolpe, 1973). Keuntungan atas peran aktif para orang tua anak autis yang mempermudah ruang bagi terapis atau psikiatri untuk mengetahui simptom autisme yang disandang seorang anak dengan detail. Lainnya, orangtua akan dapat memilih terapi yang tepat dan akurat untuk memperbaiki symptom si anak (Wijayakusuma, 2004). Beberapa terapi yang ditawarkan oleh para ahli antara lain : terapi biomedik, terapi okupasi, terapi integrasi sensoris, terapi bermain, terapi perilaku, terapi fisik, terapi wicara, terapi musik, terapi perkembangan, terapi visual, terapi medikamentosa, dan terapi melalui makanan (Veskarisyanti, 2008). Otak manusia adalah otak yang musikal dan irama memiliki kekuatan secara langsung mempengaruhi kognisi. Keterikatan terhadap emosi adalah kunci belajar yang efektif dan hal tersebut dapat diperoleh melalui musik. Seringkali orang dengan kebutuhan khusus belajar lebih baik melalui musik karena bagian dari otak musik adalah bagian tertua dari struktur otak yang paling sedikit mengalami kerusakan akibat cacat lahir atau kecelakaan. Menurut Dowlling (1984), mengungkapkan bahwa sebuah aktivitas musik merupakan latihan menyeluruh otak. Disamping meningkatkan kapasitas kinerja otak dengan memperkuat hubungan antar neuron musik juga berpengaruh terhadap kinerja otak yang juga merupakan bagian dari pengaruh musik terhadap kognisi dan perilaku (Djohan, 2005).

37

Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa 80-90% penderita autis merespon musik secara positif sebagai motivator. Ketrampilan merespon musik lebih bertahan lama dibandingkan dengan ketrampilan lainnya. Penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa musik merupakan alat yang berharga untuk menstimulasi belahan otak kanan. Menurut Radocy dan Boyle (1997), menjelaskan bahwa semua jaringan saraf termasuk sensori, motor, dan koneksi antar saraf dan sebagian saraf otak adalah saling berhubungan serta merupakan bagian dari hubungan jaringan komputer raksasa. Masukan-masukan musikal seperti halnya semua sensori masukan juga menstimulasi struktur saraf. Sensori informasi saat ini dapat dibandingkan dengan rekaman pengalaman yang tersimpan dan dengan demikian dapat membimbing perilaku musikal organisme (Djohan, 2005). Musik merupakan satu instrumen yang dapat memaksimalkan kemampuan seseorang, musik juga merupakan reinforcer dan feedback autis musik ini penting untuk meningkatkan akan kesadaran dirinya, memusatkan perhatian, mengurangi perilaku yang negatif yang tidak diharapkan, membuka komunikasi, menciptakan hubungan sosial yang berpengaruh positif pada perkembangan dan pertumbuhan positif (Veskarisyanti, 2008). Tujuan terapi musik adalah untuk mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan psikomotorik dan fisiomotoric secara optimum. Dengan kata lain, melalui terapi musik, seorang anak autis yang kesulitan melakukan gerak atau geraknya tidak teratur diharapkan dapat bergerak secara terarah, sehingga anak dapat belajar dengan baik (Prasetyono, 2008). Musik dan rilik lagu diperkenalkan secara bersamaan kepada mereka. Musik pengiring dapat menciptakan Susana yang membuat meraka merasa nyaman. Kata-kata atau lirik lagu diharapkan mampu merangsang kognitif mereka, sehingga meraka memberikan respon psitif setiap lagu yang dinyanyikan. Kegiatan itu akan berlanjut pada kegiatan rangsangan motorik mereka dengan memaknai kata-kata melalui gerakan – gerakan terentu sesuai dengan lagu yang sedang dinyanyikan. Petters mengatakan bahwa jika kita mengatakan bahwa penyandang autisme memilki gaya kognisi yang berbeda, pada dasarnya berarti bahwa, otak mereka memproses informasi dengan cara berbeda. Mereka mendengar,

mellihat dan merasa, tetapi otak mereka melakukan informasi ini dengan cara yang berbeda (Alhamdi, 2008). SLB Negeri Semarang, merupakan satu-satunya sekolah luar biasa yang berstandar internasional ( ISO 9001 : 2000). Fasilitas ruang terapi yang ada meliputi terapi fisio, akupressur, speech terapi, dan terapi musik. Sedangkan yang merupakan program unggulan dari SLB-N Semarang ini adalah terapi musik. Terapi musik berfungsi untuk menggali potensi yang tersembunyi. Selain itu musik dapat memberikan stimulasi kepada anak autis untuk mengontrol gerakan – gerakan yang tidak diharapkan. Musik dapat membuat perasaan yang enjoy . sehingga dari perilaku yang liar, dengan musik akan berubah serta tingkat kepatuhannya meningkat. Misalnya, di sekolah ini terdapat anak yang sering melukai temannya tanpa sebab. Saat diberikan kelas terapi musik, anak tersebut dapat menikmati musik dengan santai. SLB Negeri Semarang memiliki 238 siswa yang terdiri dari anak tunarunguwicara, tunagrahita, dan autis dari TKLB sampai bengkel kerja. Sedangkan anak autis sendiri berjumlah 46 siswa, yang terdiri dari 7 siswa TKLB, 38 siswa SDLB, dan 1 siswa SMALB tetapi sudah tidak aktif. Dengan melihat fenomena yang ada peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Perilaku Anak Autis di SLB Negeri Semarang”.

METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu menggunakan pendekatan induktif untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan peneliti dalam mengidentifikasi pengertian relevansi fenomena tertentu terhadap individu (Moleong, 2004). Pendekatan yang digunakan dalam peneliti ini adalah studi Fenomenologi karena peneliti ingin mendapatkan data dengan cara memahami pengalaman hidup manusia sebagai individu yang mengalami keadaan yang sebenarnya (Moleong, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua dan guru siswa SLB Negeri Semarang yang berjumlah 46 siswa, yang terdiri dari 7 siswa TKLB, 38 siswa SDLB, dan 1 siswa. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 3 orang tua yang

38

memiliki anak autis dan 1 guru. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah “purposive sampling” yaitu memilih sampel secara sengaja yang diambil dengan pertimbangan subjektif penelitian dimana persyaratan telah dibuat sebagai ke memilih sampel secara sengaja yang diambil dengan pertimbangan subjektif penelitian dimana persyaratan telah dibuat sebagai kriteria yang harus dipenuhi sebagai sampel. Pada purposive sampling, sampel diambil berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang diketehui sbelumnya (Arikunto, 2002). a. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi menggunakan sejumlah kecil individu (Dempsey, 2002). b. Pada penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi jumlah partisipan maksimal 6 (enam) orang (Bungin, 2003). c. Efisien dan keterbatasan sumber daya. Penelitian ini dilakukan di SLB Negeri Semarang pada bulan 20-22 Januari 2009. Dalam penelitian ini peneliti sendiri akan berperan sebagai pewawancara (interviewer) dalam proses pengumpulan data untuk menentukan relevansi fenomena tertentu yang sangat menentukan keberhasilan, dan untuk menunjangnya digunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan penelitian, buku catatan, dan alat tulis untuk mencatat wawancara, serta alat perekam atau tape recorder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara in depth interview yang berhubungan dengan fenomenologi peran orang tua dan guru pada anak dengan gangguan autisme (Kusnanto, 2004). Tahap-tahap dalam wawancara : (Moleong, 2004) 1. Tahap persiapan Pada penelitian ini sebelum melakukan proses wawancara peneliti melakukan inteaksi untuk beberapa waktu terlebih dahulu dengan orang tua anak autis sampai terjalin rasa saling terpercaya sehingga peneliti lebih mudah dalam melakukan wawancara, dimana wawancara dilakukan satu kali yang berlangsung kurang lebih 20 menit disesuaikan dengan kesediaan responden dalam wawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti sudah menentukan siapa orang yang telah mendatangkani inform consent. Menentukan alat perekam yang akan digunakan dan menyiapkan pokok-pokok pertanyaan.

2.

Tahap wawancara Pada saat wawancara hendaknya peneliti berpakain sepantanya dan menepati janji terutuama datang tepat waktu sesuai denngan tepat waktu kontrak yang telah disepakati. Setelah itu menjelaskan maksud dan tujuan, penjelasan sesingkat mungkin dan beritahukan kembali kerahasian responden, berikan jaminan ini bahwa hal itu tidak mungkin akan terbongkar dan dipegang secara teguh. Dalam proses wawancara, peneliti bertindak sebagai orang yang netral, artinya tidak memihak pada suatu konflik pendapat. Peristiwa dan semacam itu.pertanyaan yang diajukan perlu dikembangkan untuk mendapatkan data yang mendalam. Pertanyaan yang diajukan harus menjelaskan kata-kata yang jelas dan mudah dimengerti oleh responden. Tape recorder dipasang setelah memperoleh persetujuan dari responden dan juga perlu membuat catatan lapanagan. 3. Tahap penutup Setelah melakukan wawancara, peneliti mengecek kembali data yang sudah diambil, untuk memastikan sekiranya pada saat wawancara, tape recorder yang dipakai rusak maka peneliti dapat langsung melakukan wawncara ulang atau melakukan pencatatan ulang. Kemudian peneliti mengakhiri wawancara dengan mengucapkan terima kasih.

HASIL PENELITIAN Data yang sudah terkumpul ditulis dengan lengkap sesuai hasil dan catatan penelitian. Data kemudian dicermati dan disajikan dalam bentuk kategori-kategori dan kategori-kategori tersebut dibuat mengelompokkan kata-kata kunci yang mendukung yang telah ditentukan. Adapun kategori yang dimaksud terdapat dalam tabel 1 dan 2.

39

Tabel 1. kategori data peran orang tua pada anak dengan gangguan autisme No 1.

Kategori Pengertian autisme

2.

Mencari informasi

o o o o o o

Kata kunci Komunikasinya agak rusak Sosialisasinya kurang Suka menggigit jarinya Kontak mata kurang Hiperaktif Gangguan perilaku

o o

Tanya teman, keluarga, dokter dan akternatif. Dokter anak, bidan dan non medis Baca majalah, dokter dan seminar.

o

3.

Memberikan terapi dirumah

o o o o o o o o

Mengenal bentuk huruf Kemampuan mengurus diri Melatih gerakan-gerakan Bermain sambil tatap mata Mengajak dia jalan-jalan Duduk sambil kontak mata Kamandirian Konsentrasi dan bicara

4.

Kerjasama dalam memberikan terapi

o o

Ada Ya, ada

5.

Memberi dukungan antar pasangan

o o

Ya Ya lah mas

6.

Menginformasikan keterbatasan anak o pada orang lain o o o o

Ya , ada lah mas Ya, ada Ya, saya sendiri Ya, pernah Sudah

Tabel 2. katagori data peran guru pada anak dengan gangguan autisme No 1.

Kategori Perilaku autis

o o o o o

Kata kunci Gangguan perilaku Keterlambatan dan komunikasi Kurangnya intraksi sosial Gangguan emosi Sensitif

2.

Pemberian terapi

o o o

Terapi bermain Terapi perilaku Terapi musik

40

1.



Peran orang tua pada anak dengan gangguan autisme a. Peran mengerti anak autisme Pesan yang disampaikan oleh masing-masing responden sangat variasi antar lain : komunikasi agak rusak, sosialisasinya kurang, suka merusak dan menggigit jarinya, kontak mata kurang, hieraktif dan gangguan perilaku. Berikut penuturan mereka :  Ya, komunikasi anak saya agak rusak Mas, maunya sendiri gitu (Ibu A).  Kadang-kadang mau, senangnya sendiri Mas, tapi dia juga kadang takut, kalau apaapa gak mau diperintah dan rasa ingin tahunya besar (Ibu A).  Dulu itu gini, awalnya saya pikir anak saya normal seperti anak yang lainnya tapi kok lama-lama matanya terus melihat keatas (Ibu A).  Saya ajak keluar malah bikin susah saya , nek didalam rumah juga bikin susah saya. Apa-apa dirumah semua dirusak Mas, tv didorong, tape ditarik, kalau diluar suka lari, bikin susah orang tua pokoknya (Ibu B).  Gak pernah, takutnya gini kalau dia duduk melihat sesuatu langsung lari tiba-tiba Mas, dulu sering terbentur. Kadang gini Mas, dulu dia suka merusak dirinya, nganu tangannya digigit nek sampai berdarah Mas (Ibu B).  Gangguan perilaku (Ibu C).  Dia hiperaktif Mas (Ibu C). b.

Peran mencari informasi untuk penyembuhan anak autisme Pesan yang disampaikan oleh masing-masing responden sangat bervariasai antara lain : bertanya sama teman, sanak saudara, dokter, bidan, non medis dan baca majalah.







c.

Ke dokter Mas. Dulu ke dokter praktek terus kemudian saya ke RS Karyadi ketemu dokter disana (Ibu A). Autis mungkin masuk, dulu kakinya gak bisa jalan terus saya bawa ke RS Karyadi dibilang kakinya yang sebelah kurang cairan, lalu saya bawa ke pengobatan alternatif dan banyak perubahan Mas (Ibu B). Dokter anak, nek pertama saya konsultasi ke bidan karna saya pikir disana anak saya bisa ditangani jadi lebih hemat waktu, biaya dan tenaga. Eh, malah disuruh diperiksakan ke dokter (Ibu B). Otomatis ya nyari! Cuma dulu disemarang agak susah nyari dokter khususnya kayak gitu. Terus dikaryadi saya ketemu sama ibu yang juga punya anak autis, dari situ saya tau ada sekolah khusus untuk anak saya (Ibu C).

Peran memberikan terapi dirumah pada anak autisme Pesan yang disampaikan oleh masing-masing responden antara lain : mengenal bentuk dan huruf, kemampuan mengurus diri, melatih gerakan-gerakan, bermain sambil natap mata, duduk sambil kontak mata, meronce, kemandirian, konsentrasi dan bicara. Berikut penuturan mereka :  Kalau saya nonton tv saya tulis noton tv dengan kertas, buah jeruk saya tusis buah jeruk, nanti dia tahu bentuk tahu hurufnya juga. Kalau misalnya ada binatang saya kasih tau itu binatang kucing, burung, cecak, dan sering ajak dijalanjalan Mas (Ibu A).  Kalau pakai sepatu tak ajarin, mandi, buka baju sendiri. Sekarang lama-lama dia hafal (Ibu A).

Berikut penuturan mereka :  Ya, tanya sama teman, orang tua, saudara, alternative, segala bidang pokoknya Mas (Ibu A).

41



 









d.

Gerakan-gerakan ya saya latih sendiri nek minum dia gerakin gelas, saya latih gerakannya gitu, pernah saya mukul meja dia denger Mas ( Ibu B). Terus walaupun banyak bermain saya ajak menatap mata, nek dulu gak (Ibu B). Kadang-kadang kalau sore tak ajak jalan-jalan ke depan rumah, ya, keliling sekitar rumah (Ibu C). Ya itu dulu pertama kali duduk sambil natap mata, kalau itu sudah, baru masuk perjalanan. Kalau itu gak bisa ya belum, sulit dikasih pelajaran. Awal terapi seperti itu (Ibu C). Nek dulu saya buakan ruang kecil, nanti dia duduk diajarin meronce, sedotan dipotongpotong kaya memasukan mute panjang, otomatis dia tidak merasa duduk lama Mas. Ya udah gitu aja (Ibu C). Bisa, Efek sendiri (BAB), nyopot baju sendiri, dulu kalau nyopot baju sendiri gak mau dia di kamar mandi tapi sekarang dia sudah bisa (Ibu C). Ya, konsentrasi, semuanya, bicara (Ibu C).

Peran kerjasama dalam memberikan terapi pada anak autisme Peran yang disampaikan oleh masing-masing responden antara lain : ada, ya ada, dan ya. Berikut penuturan mereka :  Ada, dari keluarga banyak Mas (Ibu A).  Ya, ada Mas (Ibu B).  Ya (Ibu C).

e.

Peran memberikan dukungan antar pasangan dalam memberikan terapi pada anak autisme Pesan yang disampikan ole responden antara lain : ya iyalah Mas, ada, ya ada. Berikut penuturan mereka :  Iya lah Mas! Kita harus saling perhatian dan mendukung. Satu medorong, satu mencari

 

f.

mafkah. Kan semua perlu biaya (Ibu A). Ya, ada lah Mas. Kita saling mendukung kok Mas(Ibu B). Ya ada! Kalau ga ya piye? (Ibu C).

Peran menginformasikan gangguan autis pada orang lain Peran yang disampikan oleh masing-masing responden antara lain: ya saya sendiri, ya pernah dan sudah. Berikut pemuturan mereka :  Ya, saya sendiri (Ibu A).  Ya, pernah saya mengutarakan sama mereka. Merekan kan juga bisa lihat sendiri Mas (Ibu B).  Sudah ik! Disini semua tau, ya saya kasih tau (Ibu C).

2.

Peran guru pada anak dengan gangguan autis a. Pengertian autisme Pesan yang disampaikan oleh reaponden pantara lain : gangguan perilaku, keterlambatan komunikasi, kurangnya intraksi sosial, gangguan emosi dan sensitif. Berikut penuturan responden :  Pada prinsipnya autisme itu merupakan gangguan atau ketelambatan berupa gangguan perilaku, keterlambtan dalam berkomunikasi, intraksi sosial yang kurang, gangguan emosi dan sensitif. Hal ini bisa terlihat pada anak yang sukanya diam di kelas, ada yang agresif, sering merasa takut dan cemas, kesulitan dalam bicara, berlebihan dalam berbicara, kemudian anak susah untuk duduk dan diam, sulit untuk berkonsentrasi.  Yang menonjol dari anak X adalah gangguan komunikasi. Anak ini kesulitan dalam berbicara, kadang anak ini suka menyendiri. Kalau anak Y yang menonjol adalah

42

kadang dia agresif dan yang cukup berbahaya anak ini punya kebiasaan merusak dirinya sendiri. Dan anak Z yang menonjol adalah kesulitan dalam konsentrasi dan sering merasa takut dan cemas.

b.

Peran memberikan terapi pad anak autisme Pesan yang sampaikan oleh responden antara lain : terapi bermai, terapi perilaku, terapi masik. Berikut penuturan responden :  Di sekolah ada beberapa jenis perapi yang diberikan anatara lain : terapi bermain, terapi perilaku dan terpi musik. Bentuk terapi ini ada bermacam-macam dan bervariasi supaya anak tidak bosan.  Misalnya untuk terapi bermain ada banyak permainan yang coba kita lakukan antara lain : lomba menamai benda, lomba menyayi dan masih banyak yang lain. Perminan juga kadang dilakukan secara berkelompok sehingga merangsang mereka untuk berintraksi dengan temannya.  Terapi perilaku biasanya kita lakukan untuk meningkatkan pemahaman anak dan kepatuhan anak terhadap peraturan. Misalnya ketika seorang anak kita suruh untuk menulis dan dia mampu mengikuti perintah kita biasanya memberi dia pujian atau bertepuk tangan dan mengatakan bagus dan pintar.  Terapi musik kita lakukan untuk membantu memprbaikai konsentrasi anak, mengurangi perilaku yang negatif dan membuka komunikasi. Pada terapi ini kita perkenalkan dengan berbagai alat musik pada anak dan nantinya diharapkan dia akan memilih alat musik

mana yang dia sukai. Selain itu, setiap kelas ada jadwal khusus untuk terapi musik dimana anak-anak diperkenalkan dengan beberapa jenis musik seperti instrumen.

PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mengetahui gambaran perilaku anak dengan Autisme. 1.

Peran orang tua mengerti Autisme a. Orang tua mengerti Autisme Dari hasil wawancara dengan responden didapatkan peran orang tua mengerti Autisme dari Ibu A yang mengartikan Autisme sebagai “gangguan perilaku”. Autisme merupakan gangguan perilaku, menurut Dyah messwati (2005)Autisme merupakan kumpulan gejala gangguan perilaku yang bervariasi pada anak. Gangguan perilaku dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, kesulitan dalam mengembangkan bahasa, dan pengulangan tingakah laku. Gangguan yang dialami dapat berubah sejalan dengan waktu. Anak Autisme selain mengalami gangguan perilaku, juga mengalami gangguan emosi, seperti yang dikatakan Mc Candicss dalam Dyah messwati (2005), ASD (Autisme Spectrum Disorder) bukan hanya gangguan perilaku saja tetapi merupakan sindrom yang kompleksi berdasarkan gangguan fisiologi dan biokimia, serta memiliki ketidakseimbangan emosi dan sensor-sensor intelektual, sehingga diasosiasikan dengan mutis. Orang tua disini sudah mengerti tentang Autisme tetapi mereka belum dapat memperkaya pengetahuan mengenai terapi yang tepat untuk penyembuahan anak mereka dikarenakan keterbatasan waktu untuk mencari dan mereka

43

juga sudah merasa puas melakukan terapi dirumah seperti apa yang sudah mereka ketahui. Mereka juga belum dapat mengkomunikasikan keadaan anak mereka pada dokter dan hanya dapat mengkomunikasikan sebagian saja, sehingga dokter yang menangani belum dapat memastikan diagnostik apakah anak mereka autistik atau tidak. Menurut Pradipto (2005) dalam persoalan ini orang tua dituntut untuk mengerti hal-hal seputar Autisme dan mampu mengorganisirkan kegiatan penyembuhan anak terapi untuk anaknya. Para ahli tidak dapat bekerja tanpa peran serta orang tua, dan terapi tidak efektif bila orang tua tidak dapat bekerjasama, karena umumnya para ahli tersebut bekerja berdasarkan data yang diperoleh dari orang tua yang paling memahami dan berada paling dekat dan hidup bersama dengan anak yang mengalami Autis. Berdasarkan hal ini, cukup bijaksana apabila orang tua mulai menggali ilmu pengetahuan pengetahuan tentang Autism sehingga mereka mampu mengkomunikasikan pada dokter dengan baik tentang keterbatasan anak dan bila mencari informasi tentang terapi yang tepat untuk penyembuahan anak Autisme, atau sebaliknya bila memiliki pengetahuan dan pengalaman agar mencoba untuk berbagai keadaan orang tua yang senasib.

b.

Peran orang tua mencari informasi tentang penyembuhan anak autisme. Peran orang tua mencari informasi tentang penyembuahan anak autism yang dikemukakan oleh Ibu C “otomatis ya nyari !! Cuma dulu memang susah nyarinya dan akhirnya aku ke Karyadi. Kebetulan saya disana juga bertemu dengan beberapa orang tua yang punya anak autis juga dari situ ada niat untuk bawa anak saya ke Sekolah SLB”.

Mencari informasi tentang penyembuhan anak autism, bisa lewat membaca lewat masalah autisme, membaca buku-buku autisme, dan ikut seminar-seminar. Menurut pendapat Zamralita dan Tiatri (2005) untuk mencapai harapan yang diinginkan maka orang tua melakukan berbagai upaya dan bekerja keras yang didasari oleh keyakinan bahwan yang dilakukan akan memeperoleh hasil yang diinginkan.upaya yang dilakukan dalam membimbing anak autistic agar dapat mengembnagkan diri secara optimal antara lain mencari informasi melalui seminar, buku-buku, internet, serta memberikan terapi untuk mengembangkan kemampuan kognitif, interaksi sosial, motorik,dan komunikasi. Berdasarkan hal ini peran orang tua mencari informasi merupakan salah satu upaya yang akan membantu orang tua mencari jalan keluar penyembuhan anak autisme, disamping ini juga akan menambah pengetahaun orang tua tentang bagaimana cara menangani anak autisme.

c.

Peran orang tua memberikan terapi pada anak autisme Peran orang tua memberikan terapi dirumah yang dikemukakan oleh Ibu yang C : 1) “kadang-kadang kalau sore tak ajak jalan-jalan keliling” 2) “ya itu dulu pertama kali duduk sambil natap mata, kalau itu sudah baru masuk perjalanan, kalau belum bisa itu ya balum, sulit dikasih pelajaran, awal terapi seperti itu”. 3) “nek dulu saya ajak duduk sambil diajarin meronce, sedotan dipotong-potong kaya memasukan mute panjang, otomatis dia gak terasa duduk lama Mas, ya udah gitu aja”.

44

4) “Eak sendiri (BAB), ngelepas baju sendiri, dulu kalau ngelepas baju gak mau dikamar mandi tapi dia sekarang udah bisa”. 5) “ya konsentrasi, semuanya, bicara”.

Terapi yang dilakukan dirumah bisa berupa terapi bermain, sosialisasi, kemandirian, dan komunikasi. Menurut pendapat Danuatmaja (2003) home programme merupakan program terapi yang dilakukan oleh orang tua atau anggota lainnya dirumah, baik sendiri maupun bersamasama. Paling sederhana anak autis adalah bersosialisasi, seperti mengajak bermain, bercanda, menggambar, atau berkomunikasi apa saja. Ini merupakan terapi dalam sosialisasi agar anak dapat berkomunikasi. Selain itu, kemampuan motorik anak juga bias dilatih lewat home programme misalnya lewat aktivitas fisik seperti bermain dengan gerakan memegang tangan anak, lali ditarik ke atas. Pemberian terapi dirumah akan banyak membantu proses penyembuhan anak autisme, menurut Anonim (2005) terapi yang dilakukan dirumah merupakan salah satu intervensi dini yang banyak diterapkan di indonesia adalah modifikasi perilaku atau lebih dikenal sebagai metode Applied Behavioral Analysis (ABA). Melalui terapi ini, anakl dilatih melakukan berbagai macam ketrampilan yang berguna bagi hidup masyarakat. Misalnya berkomunikasi, berinteraksi, berbicara, dan lain-lain. Namun terapi yang pertama-tama perlu diterapkan adalah latihan kepatuhan. Hal ini sangat penting dilakukan agar mereka dapat mengubah perilaku seenaknya sendiri (misal memasakan kehendak) menjadi perilaku yang lazim dan diterima masyarakat. Bila latihan ini tidak dijalankan dengan konsisten, maka perilaku

itu sulit dirubahdan anak kalau sudah dewasa nanti akan seperti tidak tahu sopan santun. Orang tua sebenarnya sudah melaksanakan prinsip-prinsip modifikasi perilaku secara sadar. Menurut pendapat Safaria (2005) anak belajar melalui banyak cara antara lain melalui peniruan, observasi dan penguatab baik itu positif maupaun negatif. Misalnya ketika orang tua melilhat anaknya mampu menyapu kamarnya sendiri, kemudian anak dipuji atas perilakunya, maka hal ini sudah merupakan penerapan dari modifikasi perilaku. Orang tua menggunakan program modifikasi perilaku untuk mendorong dan mengingatkan perilaku positif pada anak. Perilaku positif itu seperti mampu membersihkan kamarnya sendiri, mampu mandi sendiri, mampu buang air ke kamar mandi, dan banyak lagi perilaku positif yang dikuatkan melalui modifikasi perilaku. Peran orang tua sebagai meneger dalam memberikan terapi saat ini jarang dilakukan karena mereka sudah menganggap anak mereka sudah bias keluar dari keterbatasan. Menrut Danuatmaja (2003) orang tua sebagai meneger supaya nanti bias memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, terapis, dan pengobatan anak selanjutnya. Berdasarkan hal ini pemberian terapi pada anak autisme dirumah sangat banyak membantu orang tua dalam menyembuhkan anak autism dari keterbatasan, dan disamping itu juga peran orang tua sebagai meneger supaya dapat dilakukan dirumah karena nantinya akan bias membantu orang tua dalam memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan terapi pada anak.

45

d.

Peran orang tua bekerja sama dalam memberikan terapi pada anak autisme Peran orang tua bekerja dalam memberikan terapi pada anak autisme yang dikemukakan oleh ibu C. “Yang baik piye ? (kadang nek ngajarin kok gak masuk-masuk kenapa ya pak?). dulu kita pernah mengundang guru kesini, nek sekarang sudah jarang karena sudah sekolah dan nanti juga bejalan dengan sendirinya, sekarang paling banyak tak suruh-suruh biar tahu”. Kerjasama dalam memberikan terapi sangat dibutuhkan dalam memberikan terapi sangat dibutuhkan dalam mem proses penyembuhan anak autisme .Menurut duatmaja (2003) orang tua asi tergantungsangat berperan dalam memberikan terapi di rumah karaena mereka adalah pembinbing dan penolong paling baik dan berdedikasi. Hanya orang tua yang dapat melanyani dunia anaknya. Dalam pembeberian terapi orang tua harus mengatahui caramengarahkan anak agar dapat mengembangkan situasi untuk menolong anak keluar dari keterbatasan. Orang tua yang sibuk bekerja akan kurang memberikan terapi pada anakya. Menurut Siswanto (2005) seorang anak berkonsentrasi tergantung dari tingkat masalah masing-masing anak. Untuk keberhasilan progam dibutuhkan dukungan lingkungan. Tanpa adanya dukungan dari keluarga, akan sia-sia belaka, karena kebanyakan orang tua yang sibuk bekerja sehingga tidak melakukan terapi dengan baik. Sehingga kerjasama dalam memberika terapi sangat dibutuhkan sekali dalam mempercepat proses penyembuhan anak autisme. Terapi di rumah biasa dilakukan secara bersamasama oleh banyak anggota keluarga yang penting adanya satu saja yang berperan dalam memberikan terapi maka proses peyembuhan anak autisme akan semakin lama.

e.

Peran orang tua memberikan support antar pasangan dalam memberikan terapi pada anak autisme. Peran orang tua memberikan support antar pasangan dalam memberikan terapiyang dikemukakanoleh ibu A “Iyalah mas! Kita harus saling mendukung, satu memberi dorongan satu mencari nafkah,kan semua perlu biaya”. Saling meberi dukungan dengan pasangan dalam memberikan terapi pada anak autisme akan kesuksesan penyembuhan. Menurut safiria (2005) bagaimanapun salah satu factor yang menentukan bagaimana kita sebagai orang tua mamapu berhasil dan sukseh menghadapi tantangan memiliki anak dengan gangguan autisme ini adalah hubugan harmonis antar kita dengan pasangan, antar ayah dan ibu,antara suami dan istri. Dengan adanya hubungan suami dan istri yang harmonis, maka keduanya akan lebih mampu saling bekerja sama dalam mendidik dan membimbing yang di pukul keduanya akan tambah berat, ditambah lagi tidak adanya kerja sama yang baik antara suami dan istri, sehingga mungkin saja anak akan menjadi korban karena kasih sayang dan perhatian.

f.

Peran orang tua menginformasikan keterbatasan anak pada orang lain. Perang orang tua menginformasikan keterbatasan anak pada orang lain yang dikemukakan C “ sudah kok! Disini semua sudah tahu. Ya saya ngasi tahu. (gini bu, kalau nanti dia masuk trus ngerusakin barangbarang kasih tahu saya ya bu)”. Menginformasikan keterbatasan anak merupakan hal yang sulit bagi orang tua akan tetapi semua ini sangat dibutuhkan dalam mensosiallisasikan anak autisme agar orang lain mengetahuinya. Menurut safiria (2005) kadang-kadang perlu juga untuk mendidik orang-orang disekeliling kita dengan

46

memberikan informasi dan biasa pengetahuan yang akurat tenteng gangguan autisme. Kita sebagai orang tua harus biasa menjelaskan secara langsung jika mempunyai waktu, namun ketika kita tidak mempunyai waktu yang cukup, biasa saja kita memberikan sebuah buku atau brosur tentang autisme. Dengan memberikan informasi yang akurat tentng autisme, maka orang-orang disekitar kita akan lebih memahami autisme secara baik. Akibnatnya mereka akan lebih bisa berempati. Selain itu, pemberian informasi ini akan mencegah mereka untuk mengeluarkan komentar-komentar yang baik dan negatif tentang autisme. 2.

Peran guru terhadap anak dengan gangguan autisme a. Pandangan guru tentang autisme Dari hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa autisme merupakan gangguan atau keterlambatan berupa gangguan perilaku, keterlambatan dalam berkomunikasi, intraksi sosial yang kurang, gangguan emosi dan sensitif. Hal ini bisa terlibat pada anak yang sukanya diam di kelas, ada yang agresif, sering merasa takut dan cemas, kesulitan dalam bicara, berlebihan dalm berbicar, kemudian anak susah untuk duduk dan diam, sulit untuk berkonsentrasi. Menurut yatim (2007), autisme bukan satu gejala penyakit tetapi berupa tetapi berupa sindrom (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk golongan penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak autisme terjadi kelainan emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasif). Autisme adalah suatu keadaan dimana seorang anak berbuat

semuanya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Autisme ditandai oleh ciri-ciri utama, antara lain : tidak peduli dengan lingkungan sosialnya, tidak bisa bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya, perkembangan bicara dan berbahasa tidak normal (penyakit kelainan mental pada anak = autistic-children), reaksi /pengamatan terhadap lingkungan terbatas atau berulang-ulang dan tidak padan. Menurut Prasetyono (2008), autisme merupakan suatu kumpulan sindrom yang mengganggu saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak, diagnosisnya diketahui dari gejala-gejala yang dan ditunjukan dengan adanya penyimpangan perkembangan. Anak autis memiliki gambaran unik dan karakter yang berbeda dari anak lainya. b.

Peran guru dalam memberikan terapi terhadap anak dengan gangguan autisme Dari hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa ada beberapa jenis terapi yang berikan antara lain : terapi bermain, terapi perilaku dan terapi musik. Bentuk terapi musik. Bentuk terapi ini ada macam-macam dan bervariasi suplaya anak tidak bosan. Misalnya untuk terapi bermain ada banyak permainan yang coba kita lakukan antara laini : lomba menamai benda, lomba menyanyi dan banyak masih jenis permainan lain. Permainan juga kadang dilakukan secara berkelompok sehingga merangsang mereka untu berintraksi dengan temannya. Terapi perilaku biasanya kita lakukan untuk meningkatkan pemahaman anak dan kepatuhan anak terhadap peraturan. Misalanya ketika seorang anak kita suruh untuk menulis dan dia mampu mengikuti perintah kita biasanya memberi dia pujian atau bertepuk tangan dan mengatakan bagus atau pintar. Terapi musik kita lakukan untuk membantu memperbaiki konsentrasi. Pada terapi ini kita

47

perkenalkan dengan berbagai alat musik pada anak dan nantinya diharapkan dia akann memilih alat musik mana yang dia sukai. Selasin itu, setiap kelas ada jadwal khusus untuk terapi musik dimana anakanak diperkenalkan dengan beberapa jenis musik seperti instrumen.

DAFTAR PUSTAKA 1. Alhamdi, Sulfi.2008. Pelajaran bernyani : mengembangkan kreativitas berbahasa pada insan autis. Retrieved October 15, 2008 from [email protected]. 2. Astuti, Idayu. 2006. Mengenal autisme dan terapinya. Retrieved October 24, 2008 from [email protected]. 3. Djohan. 2005. Psikologi musik. Yogyakarta : Buku Baik.

KESIMPULAN 4. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Autisme merupakan gangguan atau keterlambatan berupa gangguan perilaku, keterlambatan komunikasi, kurangnya interaksi sosial, gangguan emosi, dan sensitif.

2. Bentuk perilaku yang muncul pada anak dengan gangguan autisme berupa : susah untuk berbicara, suka merusak dengan menggigit atau melukai tangannya sendiri, hiperaktif, tidak tahan duduk berlama-lama dan tidak bisa konsentrasi. 3. Pemberian terapi untuk anak autisme dapat dilakukan dengan bebagai cara antara lain terapi bermain, terapi perilaku, dan terapi musik. 4. Dalam pemberian, proses pemberian harus dilakukan secara terus menerus dan konsisten agar proses pnyembuhan anak dengan gangguan autisme dapat berjalan baik.

5.

6.

7. 8.

9. 10.

11.

12. SARAN Berdasarkan hasil penelitian diatas, ada beberapa saran yang bisa penulis sampaikan yaitu sebagai berikut : 1. Untuk pemberian terapi hendaknya diberikan secara terus menerus agar anak nanti terbiasa dan lama kelamaan bisa hafal mengenai apa yang didapatkannya dalam terapi. 2. Ibu atau keluarga hendaknya memberikan terapi yang bervariasi agar anak tidak cepat bosan.

13. 14.

15.

Ginanjar, Adrina. 2008. Panduan praktis mendidik anak autis : menjadi orang tua istimewa.jakarta : Dian Rakyat. Maulana, Mirza. 2007. Anak autis : mendidik anak autis dan ganggaun mental lain menuju anak cerdas dan sehat. Jogjakarta : katahati. Nasution, Mutia. 2007. Pusat terapi anak kebutuhan khusus – tootie kidz center. Retrieved October 15, 2008, from www.ditplb.or.id. Ngastiyah. 2005. Perawatan anak sakit. Jakarta : EGC Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Prasetyono, DS. 2008. Serba-serbi anak autis. Jogjakarta : Diva Press. Pus ponogoro, Hardiono. 2003. Kelainan susunan saraf pusat dan gangguan autistik. Rertrieved November 2008,from www. Kompas.com. Pusponogoro, Hardiono. 2007. Apakah anak kita autis?. Bandung : Trikarsa Multi Media. Safaria, Triantoro. 2005. Autisme :pemahaman baru untuk hidup bermakna bagi orang tua.yogyakarta : Graha Ilmu. Sheppard, Triantoro. 2007. Music makes your child smarter. Jakarta : Gramedian pusat utama. Suryani. 2008. kesehatan : terapi musik perkusi bagi penderita autis. Retrieved October 15, 2008, from http://www.suryani-intitute. Com/modules.php?. Taufik, M. 2007. Prinsip-prinsip promosi keshatan dalam bidang keperawatan : untuk perawat dan maha siswa keperawatan. jakarta : Infomedik.

48

16. Veskarisyanti, Galih A. 2008. 12 terapi autis paling efektif & hemat :untuk autisme, hiperaktif, dan retardasi mental. Yogyakarta : Pustaka anggrek. 17. Wisihastuti, Setiati. 2006. Pola pendidikan anak autis. Yogyakarta : FNAC Press. 18. Wijayakusuma, Hembing. 2004. Psikoterapi anak autisme : teknik bermain kreatif non verbal & verbal : terapi khusus untuk autisme. Jakarta : Pustaka Populer Obor. 19. Yatim, Faisal. 2007. Autisme : suatu gangguan jiwa pada anakanak. Jakarta :Pustaka Populer Obor.

49

Hubungan Antara Konsumsi Makanan Kariogenik Dan Kebiasaan Menggosok Gigi Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Anak Pra Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang Sumarti*) Widya Hary Cahyati**) *) Alumnus Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat FIK UNNES **) Staf Pengajar pada Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat FIK UNNES ABSTRAK Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dan kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya penyakit karies gigi pada anak pra sekolah di Desa Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan metode survei dan pendekatan crosssectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa TK di Desa Sekaran sejumlah 165 anak. Sampel yang diambil sejumlah 50 anak dengan menggunakan teknik proportionate stratified random sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Data primer diperoleh melalui obseervasi, wawancara serta pemeriksaan gigi. Data sekunder diperoleh dengan cara melihat data angka kesakitan penyakit karies gigi yang telah direkap pleh Puskesmas. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan statistik uji chi-square dengan derajat kemaknaan () = 0,05. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden berada dalam kategori konsumsi makanan kariogenik berisiko 88%, dan kategori tidak berisiko 12%. Variabel kebiasaan menggosok gigi sebagian besar responden berada dalam kategori kebiasaan menggosok gigi berisiko 90%, dan kategori tidak berisiko 10%. Berdasarkan uji statistik didapatkan hasil p value untuk hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan kejadian penyakit karies gigi sebesar 0,023, dan p value untuk hubungan antara kebiasaan menggosok gigi dengan penyakit karies gigi sebesar 0,035. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan ada hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dan kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya penyakit karies gigi pada anak pra sekolah. Berdasarkan hasil penelitian saran yang diajukan adalah sebaiknya membersihkan gigi minimal 2 kali sehari dengan waktu mneyikat gigi terakhir adalah sebelum tidur. Kata kunci : Makanan Kariogenik, Kebiasaan Menggosok Gigi, Karies Gigi

50

PENDAHULUAN Kesehatan gizi sangat erat kaitannya dengan apa yang kita konsumsi. Seringkali para orang tua terutama ibu, rajin mengingatkan anak-anaknya untuk menjauhi makanan serba manis terutama permen. Hal tersebut dilakukan agar anak-anak terhindar dari penyakir gigi atau karies gigi. Menurut A.H.B Schuurs, karies gigi atau gigi keropos adalah sebagai penyakit kronik dari jaringan keras gigi yang disebabkan demineralisasi emailoleh bakteri yang ada pada plak, pada tahap akhir karies ini menyebabkab 1) kerusakan gigi dan gigi berlubang . Karies gigi merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut yang paling sering dijumpai di masyarakat. Karies gigi merupakan penyakit jaringan keras gigi yang erat hubungannya dengan konsumsi makanan ataupun minuman yang kariogenik. Sekarang ini banyak dijumpai makanan kariogenik yang dijual dipasaran dan sudah samapai pelosok desa. Makanan ini sangat digemari anak, sehingga perlu lebih diperhatikan pengaruh substrat karbohidrat kariogenik dengan kejadian karis gigi. Mengingat pentingnya fungsi gigi maka sejak dini kesehatan gigi anak-anak perlu diperhatikan dalam rangka tindakan pencegahan karies gigi. Walaupun kegiatan menggosok gigi yang sudah umum namun masih ada kekeliruan baik dalam pengertiannya maupun dalam 2) pelaksanaannya (John Besford, 1996: 14). Gigi merupakan salah satu organ pengunyah, yang terdiri dari gigi-gigi pada rahang atas dan rahang bawah, lidah, serta 3) saluran-saluran penghasil air ludah (Rasinta Tarigan, 1992) bagian-bagian ini meliputi : Email, yaitu lapisan terluar gigi yang meliputi seluruh corona, dalam bahasa inggris disebut crow artinya mahkota; Dentin yaitu bagian yang terletak dibawah email, merupakan bagian terbesar dari seluruh gigi. ; Jaringan pulpa, jaringan benak gigi/sum-sum gigi, yaitu jaringan lunak yang terdapat didalam kamar pulpa/ ruang dan seluruh saluran akar, jaringan ini terdiri jaringan limfe, pembulluh darah arteri/vena, dan urat syaraf; Sementum, yaitu bagian yang meliputi seluruh lapisan luar gigi, kecuali pada bagian lubang pucuk/ujung akar gigi disebutforamen apikalis. Sama seperti email dan dentin, sementum terdiri atas air 32%, bahan organik 12%, dan bahan 4) anorganik 56% (Ircham Mc, 2005: 26)

Gigi sulung bila tumbuh lengkap berjumlah 20 buah, masing- masing 10 gigi dirahang atas dan 10 gigi dirahang bawah, yang terdiri dari 4 gigi seri, 2 gigi taring, dan 4 gigi geraham. Gigi gerahan pada gigi sulung hanya satu macam, sedangkan pada gigi tetap terdapat dua macam sehingga dibedakan menjadi gigi geraham besar dan gigi geraham kecil. Jumlah gigi seluruhnya 5) 32 buah (Ismu Suwelo, 1992) Saat gigi sulung tanggal, biasanya bersamaan pada gigi geraham besar, gigi geraham besar pertama mulai tumbuh pada umur 6-7 tahun. Gigi geraham ini bukan pengganti, artinya gigi ini langsung muncul pada deretan dibelakang gigi sulung, baik pada rahang atas maupun rahang bawah, jadi gigi ini (dan juga gigi geraham lainnya) tumbuh tidak menggantikan gigi sulung, sedangkan gigi lainnya, geraham kecil, taring dan seri akan tumbuh menggantikan 5) gigi pendahulunya (gigi sulung) (Ismu Suwelo, 1992) Pertumbuhan gigi pada anak ditandai dengan pemunculan gigi pada permukaan gusi dan diikuti dengan perubahan posisi gigi dari dalam tulang pendukung gigi untuk menempati posisi fungsionalnya dalam rongga mulut. Pada umumnya gigi sulung pertama kali akan muncul pada usia 6 bulan sesudah lahir dan seluruh gigi sulung selesai muncul pada usia2,5 tahun, yang ditandai dengan geraham sulung kedua telah 3) mencapai kontak dengan gigi antagonisnya (Rasinta Tarigan, 1992) Meskipun terlihat sepele dan kurang diperhatikan, dari fungsi ternyata gigi sulung memegang peranan penting dalam menjaga kenormalan fungsi bicara anak. Anak-anak dengan gigi sulung kurang bertumbuh sehat, berlubang dan tanggal sebelum waktunya, perkembangan fungsi bicaranya bisa terganggu. Dalam jangka panjang bisa berakibat menurunkan kepercayaan diri sang anak. Sebaliknya jika gigi sulung berkembang dan tanggal sesuai jadwal, gigi jadwal, gigi geligi perment pun bisa tumbuh dengan baik. Dengan kata lain, gigi sulung bermanfaat untuk mempertahankan ruangan 2) bagi geligi pemanent (John Besford, 1996) Secara umum penyakit yang menyerang gigi dimulai dengan adanya plak gigi. Plak timbul dari sisa makanan yang mengendap pada lapisan gigi yang kemudian berinteraksi dengan bakteri yang banyak terdapat dalam mulut, seperti strepcococus mutans. Plak akan melarutkan lapisan email

51

pada gigi yang lama kelamaan lapisan tersebut menipis. Terjadinya plak sangat singkat, yaitu hanya 10-15 menit setelah makan. Plak yang menumpuk kemudian membentuk karies gigi yang akhirnya 2) merusak email hingga melubangi gigi (John Besford, 1996) Karies gigi adalah suatu proses kronis, regresif yang dimulai dengan larutnya mineral email, sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat (medium makanan bagi bakteri) yang dilanjutkan dengan timbulnya desstruksi komponen-komponen organik yang akhirnya 1) terjadi kavitasi (pembentukan lubang) (A.H.B Schuurs, 1993). Akumulasi plak pada permukaan gigi utuh dalam dua sampai tiga minggu menyebabkan terjadinya bersak putih. Waktu terjadinya bercak putihmenjadi kavitasi tergantung pada umur, pada anakanak satu setengah tahun, dengan kisaran 6 bulan keatas dan kebawah, pada umur lima belas tahun, 2 tahun dan 21-24 tahun, hampir 3 tahun. Tentu saja terdapat perbedaan individual. Sekarang ini karena banyak pemakaian flourida, kavitasi akan 1) berjalan lebih lambat dari pada dahulu (A.H.B Schuurs, 1993) Pada anak-anak, kemunduran berjalan lebih cepat dibanding orang tua, hal ini disebabkan : 1) Email gigi yang baru erupsi lebih mudah diserang selama belum selesai maturasi setelah erupsi (meneruskan mineralisasi dan pengambilan flourida) yang berlangsung terutama satu tahun setelah erupsi 2) Remineralisasi yang tidak memadai pada anak-anak, bukan karena perbedaan fisiologis, tetapi sebagai akibat pola makannya (sering makan makanan kecil) 3) Lebar tubuli pada anak-anak mungkin menyokong terjadinya sklerotisasi yang tidak memadai 4) Diet yang buruk Perbandingan dengan orang dewasa, pada anak-anak terdapat jumlah ludah dari kapasitas buffer yang lebih kecil, diperkuat oleh aktivitas proteolitik yang lebih besar 1) didalam mulut (A.H.B Schuurs, 1993) Faktor-faktor yang mempengaruhi karies gigi adalah : (1) Adanya mikroorganisme streptococus mutans atau

kuman yang mengeluarkan tixin/racun yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa. (Ismu Suwelo, 1992), (2) Terdapatnya sisa-sisa makanan yang terselip pada gigi dan gusi terutama makanan yang lengket seperti permen, cokalat, biskuit, dll, (3) Permukaan gigi dan bentuk gigi, (4) kebersihan mulut, (5) frekuensi makan makanan yang menyebabkan karies (makanan kariogenik), (6) usia, (7) letak geografis, (8) pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap pemeliharaan kesehatan gigi. (Ismu Suwelo, 1992) Gigi yang mudah sekali terserang karies gigi adalah gigi sulung (gigi anak) karena struktur giginya lebih tipis dan lebih kecil dibandingkan dengan gigi dewasa (gigi tetap). Oleh karena itu dalam mencegah kerusakan gigi harus dilakukan sedini mungkin. Penjalaran karies mula-mula terjadi pada email yang merupakan jaringan terkeras dari gigi. Bila jaringan kariesnya tidak segera dibersihkan dan ditambal, karies akan terus menjalar kedalam pulpa (ruangan pembuluh syaraf dan pembuluh darah dalam gigi) yang bisa menimbulkan rasa sakit dan 5) akhirnya gigi tersebut bisa mati (Ismu Suwelo, 1992: 29) Berdasarkan data yang diperoleh dari puskesmas sekaran menunjukkan angka kejadian karies gigi anak-anak terus meningkat dari tahun ketahun. Pada tahun 2005 jumlah penderita karies sebanyak 173, sedangkan pada tahun 2006 jumlah penderita karies gigi mengalami peningkatan sebesar 49,18% yaitu sebanyak 263 anak. Taman kanak-kanak yang diteliti dalam penelitian ini yaitu TK Rhoudlotul Huda, Tk sekar Mekar, TK Al Iman berada dalam wilayah kerja puskesmas keluraha sekaran. Masing-masing sekolah mempunyai siswa yang berusia rata-rata 4-6 tahun. Sebagian besar dari mereka sangat gemar mengkonsumsi makanan jajanan terutama makanan manis misalnya permen, karena selain rasanya manis, harganya yang lebih relatif murah, mudah didapat,permen juga dijual dengan berbagai bentuk dan warna yang disukai anak-anak. Distribusi makanan manis seperti permen di 3 kawasan TK di desa sekaran cukup baik, karena dimasingmasing TK memiliki kantin maupun penjaja makanan yang menyediakan makanan manis maupun jajanan lainnya. Akibatnya 85% atau sejumlah 140 siswa di 3 TK tersebut mengalami karies gigi.

52

METODE Penelitian ini merupakan survei analitik, penelitian survei analitik adalah penelitian yang mencoba menggali mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Dengan menggunakan pendekatan cros sectional yaitu pendekatan dimana variabel yang masuk faktor risiko dan variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik proportionate stratified random sampling yaitu teknik atau cara pemilihan subyek secara acak yang dilakukan bila populasi mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen dan bestrata secara proporsional. Pada cara ini sampel dipilih secara acak untuk setiap strata, kemudian hasilnya dapat digabungkan menjadi satu sampel yang terbebas dari variasi untuk setiap strata. Populasi adalah keseluruhan objek peneliti/objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa di 3 atk desa sekaran yang termasuk dalam range umur 4-6 tahun, yaitu TK Roudhotul Huda sebanyak 68 siswa, TK Sekar Mekar sebanyak 31 siswa, TK Al Iman sebanyak 53 siswa. Jadi jumlah keseluruhan populasi adalah 152 siswa. Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa yang terdaftar sebagai murid TK desa sekaran. Untuk mendapatkan besar sampel minimal dengan menggunakan ukuran sampel potong lintang (cross sectional). Dengan menggunakan rumus tersebut, maka didapat hasil besar sampel minimal 50 . karena populasi dalam penelitian ini berstrata, maka sampel yang diambil juga berstrata menurut jumlah siswa pada masing-masing TK. Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk pengumpulan data.instrumen dalam penelitian ini adalah : rekam medik siswa (merupakan hasil pemeriksaan gigi yang dilakukan oleh dokter dari puskesmas sekaran), kuesioner / panduan pertanyaan (untuk mendapatkan data mengenai kebiasaan menggosok dan mengkonsumsi makanan kariogenik. Pengisian kuesioner dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan yang ada dalam kuesioner kepada siswa yang didampingi oleh orang tua siswa). Teknik pengambilan data primer dilakukan dengan cara observasi dan

wawancara. Observasi merupakan suatu prosedur yang berencana, yang antara lain meliputi melihat dan mencatat jumlah dan taraf aktivitas tertentu yang ada 6) hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soekidjo Notoatmodjo, 2002: 102). Metode observasi ini digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai tempat penelitian, perilaku anak-anak TK dalam mengkonsumsi makanan jajanan manis, dan dcistribusi makanan kariogenik di sekolah. Sedangkan wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengupulkan data, dimana peneliti mendaplatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seseorang sasaran penelitian (responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka (face to face) wawancara digunakan untuk memperoleh data tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit karies gigi yaitu konsumsi kariogenik dan kebiasaan menggosok gigi. Teknik pengambilan data sekunder dilakukan dengan metode dokumentasi. Metode dokumentasi adalah metode mengumpulkan data denngan menggunakan berbagai sumber tulisan yang berkenaan dengan metode dokumentasi dari catatn taman kanak-kanak (TK) roudhotul Huda, TK sekar mekar, TK Al Iman, dan puskesmas desa sekaran. Data sekunder tersebut meliputi data tentang kejadian karies gigi, jumlah siswa, dan data mengenai tempat penelitian.

HASIL Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (konsumsi makanan kariogenik dan kebiasaan menggosok gigi) dengan variabel terikat (kejadian karies gigi). Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi-square. Apabila dengan uji chi-square tidak memenuhi sarat maka alternatif uji yang digunakan adalah uji fisher-exact. Taraf signifikan yang digunakan adalah 95% dengan kemaknaan 5%. Kriteria hubungan berdasarkan p value (probabilitas) yang dihasilkan dengan nilai kemaknaan yang dipilih, dengan kriteria sebagai berikut : (1) jika p value > 0,05 maka Ho di terima (tidak ada hubungan), (2) jika p value ≤ 0,05 maka Ho ditolak (ada hubungan).

53

Hubungan Antara Konsumsi Makanan Kariogenik dengan Timbulnya Penyakit Karies Gigi Sulung Tabel 1. Hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan timbulnya karies gigi Konsumsi Makanan Kariogenik Berisiko Tidak Berisiko Total

Status Penyakit Karies Tidak Karies f % f % 43 97,7 1 2,3

Total f 44

% 100

4

66,7

2

33,3

6

100

47

94,0

3

6,0

50

100

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa proporsi sampel yang berstatus penyakit karies gigi pada tingkat konsumsi makanan kariogenik yang berisiko (97,7%) lebih banyak daripada proporsi sampel yang berstatus penyakit karies gigi pada tingkat konsumsi makanan kariogenik dalam kategori tidak berisiko (66,7%) dan sebaliknya proporsi sampel yang tidak berstatus penyakit karies gigi pada tingkat konsumsi makanan kariogenik yang berisiko (2,3%) lebih rendah daripada proporsi

sampel yang tidak berstatus penyakit karies gigi pada tingkat konsumsi makanan kariogenik dalam kategori tidak berisiko (33,3%). Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Fisher Exact diperoleh nilai p = 0,035 < α (0,05) sehingga Ha yang menyatakan bahwa ada hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan timbulnya penyakit karies gigi sulung diterima.

Hubungan Antara Kebiasaan Menggosok Gigi dengan Timbulnya Penyakit Karies Gigi Sulung.

Tabel 2. Hubungan kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya karies gigi Kebiasaan Menggosok Gigi Berisiko Tidak Berisiko Total

Status Penyakit Karies Tidak Karies f % f % 44 97,8 1 2,2

Total f 45

% 100

3

60,0

2

40,0

5

100

47

94,0

3

6,0

50

100

. Berdasarkan tabel diatas juga dapat dilihat bahwa proporsi sampel yang berstatus penyakit karies gigi pada kategori kebiasaan menggosok gigi berisiko (97,8%) lebih banyak daripada proporsi sampel yang berstatus penyakit karies gigi pada kategori kebiasaan menggosok gigi tidak berisiko (60,02%) dan sebaliknya proporsi sampel yang berstatus tidak berpenyakit pada kategori kebiasaan menggosok gigi berisiko (2,2%) lebih rendah daripada proporsi sampel yang berstatus tidak karie gigi pada

kategori kebiasaan menggosok gigi tidak berisiko (40,0%) Berdasarkan hasil analisis menggunakan fisher exact diperoleh nilai p= 0,023 < α (0,05) sehingga Ha yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya penyakit karies gigi diterima.

54

PEMBAHASAN Makanan kariogenik merupakan makanan yang sangat berfpengaruh terhadap kesehatan gigi dan mulut. Pengaruh ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu : 1) isi dari makanan yang menghasilkan energi, misalnya karbohidrat,lemak, protein, dll. 2) fungsi mekanis dari makanan yang dimakan, makanan yang bersifat membersihkan gigi, cenderung merupakan gosok gigi, seperti apel, jambu air, dsb, sebaliknya makanan lunak dan melekat pada gigi sangat merusak gigi seperti perment, coklat, biskuit, cake, dll. Setiap kali gula mencapai plak pada gigi, asam akan di produksi. Keasaman diukur dengan satuan pH. Keadaan netral adalah pH 7, keadaan asam bila ph lebih rendah dari 7. titik kritis untuk kerusakan gigi adalah ph 5,7 dan ini dicapai dan terlampaui sekitar 2 menit setelah gula masuk kedalam plak. Jika gula dalam makanan dan minuman telah ditelan, diperlukan sedikitnya 13 menit untuk menaikkan ph keatas titik kritis, sehingga kerusakan gigi dapat berhenti. Konsumsi makanan dan minuman manis yang berulang kali, seperti pada pecandu kembang gula, minum banyak teh, atau minuman ringan yang mengandung gula, dapat membuat ph tetap dibawah 5,7 sehingga kerusakan gigi terus berlanjut. Semua proses tadi memerlukan plak, dan tidak dapat terjadi setelah plak dihilangkan, tetapi plak dapat terbentuk kembali dalam beberapa jam setelah pembersihan. Jumlah makanan manis yang dikonsumsi dalam suatu saat mempengaruhi jumlah plak yang dihasilkan serta kesehatan umum. Frekuensi gula yang dimakan mempengaruhi lama berlangsungnya proses kerusakan gigi. Dalam masyarakat yang tidak mengkonsumsi gula, tidak terdapat kerusakan gigi. Pada negara-negara dimana angka konsumsi gula meningkat, angka kerusakan gigi juga meningkat, begitu pula sebaliknya. Terdapat bukti bahwa keinginan terhadap sesuatu yang manis mulai terbentuk sejak bayi yaitu melalui penambahan gula pada makanan, susu, dan minuman bayi lainnya. Kesenangan akan makanan manis tidak hanya menyebabkan kerusakan gigi, rasa sakit, dan perlu kujungan ke dokter gigi serta kehilangan gig, tetapi juga menyebabkan kegemukan, penyakit

pembuluh darah arteri dan gagal jantung, kencing manis dan penyakit lainnya. Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya sebagian besar responden gemar mengkonsumsi makanan ataupun minuman manis dan responden mengkonsumsi makanan manis diluar jam makan utama (waktu senggang) . hal tersebut sesuai pendapat John Besford (1996:37) bahwa kesenangan anak-anak akan sesuatu yang manis mulai dibentuk sejak saat dini dalam 2) kehidupan anak . Kesehatan mulut tidak dapat lepas dari etiologi dengan plak sebagai faktor bersama terjadinya karies. Penting disadari bahwa plak pada dasarnya terbentuk terus menerus. Kebersihan mulut dapat dipelihara dengan menyikat gigi dan melakukan pembersihan gigi dengan benang pembersih gigi. Pentingnya upaya ini adalah untuk menghilangkan plak yang menempel pada gigi. Penelitian menunjukkan bahwa jika semua plak dibersihkan dengan cermat tiap 48 jam, penyakit gusi pada kebanyakan orang dapat dikendalikan. Tetapi untuk kerusakan gigi harus lebih sering lagi. Banyak para ahli berpendapar bahwa menyikat gigi 2 kali sehari sudah cukup. Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya sebagian besar responden tidak membersihkan gigi sesuai dengan anjuran yaitu 2 kali sehari. Frekuensi menggosok gigi yang dianjurkan adalah 2 kali sehari yaitu pagi setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur. Idealnya adalah menggosok gigi setelah makan, namun yang paling penting adalah malam hari sebelum tidur, tujuannya adlah untuk memperoleh kesehatan gigi dan mulut serta nafas menjadi segar. Karies merupakan suatu proses kronis yang dimulai dengan larutnya mineral email sebagai akibat terganggunya keseimbangan antara email dan sekelilingnya yang disebabkan oleh pembentukan asam mikrobial dari substrat (medium makanan bagi bakteri), timbul destruksi komponen-komponen organik dan akhirnya menjadi kavitasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sampel menderita penyakit karies gigi, hal ini disebabkan karena tingginya konsumsi makanan kariogenik, tetapi tidak diimbangi dengan kebiasaan membersihkan gigi dengan baik.

55

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Heru Pratikno (1995) dan Bafira Ratnasari (2000) didapatkan prevalensi karies gigi yang 7,8) masing-masing sebesar 84 % dan 87 % . Berdasarkan perhitungan chi-square didapat p= 0,035 (p < 0,05 ) atau ada hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan timbulnya penyakit karies gigi sulung. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang sebelumnya (Heru Pratikno) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pola makan dan kebiasaan menggosok gigi dengan prevalensi karies gigi pada anak. Menurut B Hauwink (2000: 187) , makanan yang lengket serta melekat pada permukaan gigi dan terselip diantara celahcelah gigi merupakan makanan yang paling merugikan untuk kesehatan gigi. Termasuk dalam golongan makanan kariogenik adalah makanan yang dapat memicu timbulnya kerusakan gigi yaitu makanan yang kaya 9) akan gula . Frekuensi makan dan minum manis tidak hanya menimbulkan erosi, tetapi juga kerusakan gigi atau karies. Konsumsi makan makanan manis pada waktu senggang jam makan akan lebih berbahaya daripada saat waktu makan utama. Terdapat dua alasan yaitu kontak gula dengan plak menjadi diperpanjang dengan makanan manis yang menghasilkan ph lebih rendah dan karenanya asam dapat dengan cepat menyerang gigi. Kedua yaitu adanya gula konsentrasi tinggi yang normal terkandung dalam makanan manis akan membuat plak semakin terbentuk. Risiko pembentukan plak dan pembentukan asam ditentukan oleh frekuensi konsumsi gula, bukan oleh banyaknya gula yang dimakan. 55 Berdasarkan perhitungan chi-square didapatkan p=0,023 (p < 0,05) atau ada hubungan antara kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya karies gigi sulung. Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian yang 7) sebelumnya (Heru Pratikno) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pola makam dan kebiasaan menggosok gigi dengan prevalensi karies gigi pada anak. Secara umum penyakit yang menyerang gigi dimulai dengan adnya plak di gigi. Plak timbul dari sisa makanan yang mengendap pada lapisan gigi yang kemudian berinteraksi dengan bakteri yang banyak terdapat dalam mulut, seperti streptococcus

mutans. Plak akan melarutkanlapisan email pada gigi sehingga lama-kelamaan lapisan tersebut akan menipis. Karena itulah menyikat gigi setelah makan merupakan hal yang paling utama untuk menghindari menimbunnya plak gigi. Menurut Rasinta Tarigan (1993), frekuensi menggosok gigi yang dianjurkan adalah 3 kali sehari, yaitu pagi setelah sarapan dan malam hari sebelum tidur. Idealnya adalah menggosok gigi setelah makan namun yang paling penting adalah malam hari sebelum tidur, tujuannya adalah untuk memperlah kesehatan gigi dan mulut 3) serta nafas menjadi segar .

KESIMPULAN 1. ada hubungan antara konsumsi makanan kariogenik dengan timbulnya penyakit karies gigi pada anak pra sekolah di Desa Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang 2. ada hubungan antara kebiasaan menggosok gigi dengan timbulnya penyakit karies gigi pada anak pra sekolah di Desa Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang

SARAN 1. bagi siswa taman kanak-kanak sebagai upaya membersihkan gigi dari plak dan sisa makanan yang tertinggal disela-sela gigi, sebaiknya menyikat gigi minimal 2 kali dalam sehari waktu menyikat gigi terakhir adalah sebelum tidur. 2. bagi instansi terkait (TK puskesmas Desa Sekaran, dan Dinas Kesehatan Kota Semarang) dilakukannya upaya sosialisasi pada masyarakat, terkait dengan faktor-faktor penyebab penyakit karies gigi.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2.

A.H.B Schuurs, 1993. Patologi Gigi Geligi . Yogyakarta: UGM. Press AM Kidd, Edvina & S Joyston, 1995. Dasar-dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: DEPKESRI

56

3.

4.

5.

Bafira Ratnasari, 2000 Pengetahuan dan Praktek Ibu Hubungannya Dengan Frekuensi Konsumsi Makanan Kariogenik dan Status Karies Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Kelurahan Tegal sari Kecamatan Candisari. Skripsi S-1. Universitas Diponegoro Huwink, B, 2000. ilmu kedokteran gigi pencegahan .terjemahan Sutatmi Suryo. Yogyakarta: UGM Press Heru Pratikno,1995. Hubungan Antara Pola Makan Dan Kebiasaan Menggosok Gigi Dengan Prevalensi Karies Gigi Pada Anak Sekolah Dasar Kelas V Dan Vi Di Wilayah Kerja

6.

7.

8. 9.

Puskesmas 1 Kecamatan Purwodadi Kecamatan Gerobogan. Skrpsi S-1 .Universitas Diponegoro. Ircham Machfoedz dan Asmar Yetti Zein, 2005. Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut Anak-anak dan Ibu Hamil. Yogyakarta: Tramaya. Ismu Suharsono Suwelo, 1992. Karies Gigi Pada Anak dengan Berbagai Faktor Etiologi. Jakarta: EGC Rasinta Tarigan, 1992. Karies Gigi. Jakarta: Hipokrates Ratih Ariningrum, 2000. Beberapa Cara Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut. Jakarta: hipokrates.

57

PEDOMAN BAGI PENULIS Informasi umum Jurnal Gizi dan Kesehatan menerima makalah ilmiah dari para staf STIKES, AKBID DAN AKPER, para alumnus NGUDI WALUYO, maupun profesi lain yang berhubungan dengan kesehatan. Makalah dapat berupa karangan asli (penelitian), laporan kasus, ikhtisar kepustakaan, dan tulisan lain yang ada hubungannya dengan bidang kesehatan. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum pembentukan Istilah atau dalam bahasa Inggris. Format naskah Tulisan diketik pada kertas kuarto, batas atas-bawah dan samping masingmasing 2,5 cm, spasi dobel, font Times New Roman, ukuran 12 dan tidak bolak balik. Naskah untuk penelitian (karangan asli) harus meliputi : 1) Judul tulisan, dibuat singkat bersifat informatif dan mampu menerangkan isi tulisan; nama para penulis lengkap berikut gelar beserta alamat kantor/instansi /tempat kerja lain, diletakkan di bawah judul. 2) Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah, maksud & tujuan serta manfaat penelitian. 3) Bahan/subyek dan cara kerja. 4) Hasil penelitian. 5) Pembahasan, kesimpulan dan saran. 6) Pernyataan terima kasih (kalau ada). 7) Daftar rujukan. 8) Lampiran-lampiran. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto, harus dibuat dengan jelas dan rapi disertai keterangan yang jelas dan informatif. Diberi nomor menurut urutan dalam naskah. Gambar/bagan harus berwarna, jumlahnya dibatasi tidak lebih dari 3 lembar, keterangan ditempatkan di bawah gambar/bagan: Keterangan tabel ditempatkan di atas tabel. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto semuanya dilampirkan terpisah dari naskah. Rujukan dalam teks dibuat berdasarkan model Vancouver yaitu dengan angka sesuai dengan urutan tampil. Angka ditulis di atas (superscript) tanpa kurung setelah tanda baca. Bila angka berurutan bisa disingkat. Misalnya 2,3,4,6,7 ditulis menjadi 2-7. Daftar rujukan, disusun menurut cara Vancouver, menurut urutan penampilan dalam naskah, ditulis dengan urutan sebagai berikut : Nama dan huruf pertama nama keluarga penulis, judul tulisan kemudian untuk majalah diikuti dengan : Nama majalah (dengan singkatan yang umum dipakai), tahun, volume dan halaman. Sedangkan untuk buku diikuti Nama kota, penerbit, tahun dan halaman (bila perlu). Contoh: Maryanto, S, Siswanto, Y. and Susilo, J. The effect of fiber on lipid fraction rats with high cholesterol dietary. Jurnal Kesehatan dan Gizi 2007;1;1: 1-10 Ardhani, M.H, Sulisno, M., dan Rosalina. Teknik mengontrol halusinasi dalam manajemen ESQ. Edisi 2, Ungaran, 2001. Priyanto, Muhajirin, A. Program Studi Ilmu Keperawatan. Stikes Ngudi Waluyo [on line] : URL. http://www.nwu.ac.id/personal,kuliah,edu/.plan.l l. 2006. Nama penulis yang dikutip dalam naskah harus tercantum dalam daftar rujukan. Dalam mengutip nama penulis dalam naskah harus dibubuhi tahun publikasi. Untuk sumber pustaka dari internet ditulis : nama penulis, judul, organisasi penerbit, [On Line] : URL nomor Home Page, tahun.

Abstrak Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris terdiri sekurangkurangnya 100 kata sebanyak-banyaknya 350 kata, diketik pada lembaran kertas terpisah dengan spasi ganda. Abstrak penelitian berupa "structured abstract" berisi : 1. Pendahuluan /Introduction : Berisi latar belakang, masalah, tujuan, dan kegunaan penulisan. 2. Subyek/Material dan Metode/Subject/Material and Method. Berisi: Subjek : nyatakan cara-cara seleksi, kriteria yang diterapkan, dan jumlah peserta pada awal dan akhir penelitian. Rancangan : tulisan rancangan penelitian yang tepat, pengacakan, secara buta, baku emas untuk diagnostik, dan waktu penelitian (restrospektif atau prospektif). Tempat: menunjukkan tempat penelitian (rumah sakit, klinik, komunitas) juga termasuk tingkat pelayanan klinik (primer, atau sekunder, praktek pribadi atau intitusi). Intervensi : uraikan keistimewaan intevensi, termasuk metode & lamanya. Ukuran luaran utama : harus dinyatakan sebelum merencanakan pengambilan data. 3. Hasil (Result) : Jika memungkinkan pada hasil disertakan interval kepercayaan (yang tersering adalah 95 %) dan derajat kemaknaan. Untuk penelitian komparatif, interval kepercayaan harus berhubungan dengan perbedaan antara kelompok. 4. Kesimpulan (Conclusions) : nyatakan kesimpulan yang didukung oleh data penelitian (hindari generalisasi yang berlebihan atau hasil penelitian tambahan). Perhatian yang sama diberikan pada hasil yang positif maupun yang negatif sesuai dengan kaidah ilmiah. 5. Di bawah abstrak bahasa Inggris ditulis kata kunci (Keywords) maksimal 4 kata dalam bahasa Inggris. Sinopsis Sinopsis diketik dalam bahasa Indonesia atau Inggris terdiri atas 1 atau 2 kalimat, tidak lebih dari 25 kata dari kesimpulan naskah, digunakan dalam penulisan daftar isi, dan diketik pada lembar terpisah dengan spasi ganda. Running title Berikan judul singkat naskah pada sisi kanan atas pada tiap lembar naskah. Pengiriman Berkas dikirim rangkap dua (hard copy) disertai CD (soft copy) dengan mempergunakan program Microsoft Word, dialamatkan kepada Redaksi Jurnal Gizi dan Kesehatan, STIKES NGUDI WALUYO, JI. Gedongsongo – Mijen, Ungaran, Kabupaten Semarang . Ketentuan lain Redaksi berhak memperbaiki susunan naskah atau bahasanya tanpa mengubah isinya. Naskah yang telah dimuat di majalah lain tidak diperkenankan diterbitkan dalam majalah ini