SKRIPSI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA ...

12 downloads 545 Views 1MB Size Report
30 Nov 2009 ... ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera ... kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3 orang.
GAMBARAN COPING STRES PADA WILAYATUL HISBAH YANG DITEMPATKAN DI DESA

SKRIPSI

Di ajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RENA KINNARA ARLOTAS 051301141

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GANJIL, 2009/2010 Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

SKRIPSI GAMBARAN COPING STRES PADA WILAYATUL HISBAH YANG DITEMPATKAN DI DESA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

RENA KINNARA ARLOTAS 051301141 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 21 Desember 2009

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) NIP. 140 080 762

Tim Penguji 1. Juliana I. Saragih, M.Psi, psikolog Penguji/Pembimbing NIP. 1980 07 22 2005 02 2001 2. Arliza J. L. M.Si, psikolog NIP. 1978 03 25 2003 12 2002

Penguji II

3. Ridhoi Meilona, M.Si NIP.

Penguji III

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan di Desa

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2009

RENA KINNARA ARLOTAS NIM 051301141

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Coping Stres Pada Wilayatul HisbahYang Ditempatkan di Desa Rena Kinnara A dan Juliana I. Saragih ABSTRAK Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Untuk mengawasi pelaksanaan syariat Islam di masyarakat, maka dibentuklah Wilayatul Hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah) yang merupakan lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam. WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat Kabupaten/Kota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong (kampung) dan lingkungan – lingkungan lainnya. Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa mengalami berbagai kendala yang menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang mereka rasakan akibat kendala yang terjadi menyebabkan timbulnya stres. Stres yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan sehingga WH termotivasi untuk melakukan coping. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran coping stres pada WH yang ditempatkan di desa. Untuk menjawab permasalahan ini, digunakan teori sumber stres dari Cary Cooper yaitu sumber stres dari pekerjaan dan teori fungsi coping stres dari Lazarus dan Folkman yang terdiri dari emosional focus coping dan problem focus coping. Pengambilan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi pekerjaan yang menjadi sumber stres pada masingmasing responden berbeda satu sama lain. Begitu juga dengan coping stres yang digunakan berbeda pada masing-masing responden. Namun secara umum responden menggunakan emosional focus coping dan problem focus coping secara bersamaan. Selain itu responden juga menggunakan emosional focus coping saja atau problem focus coping saja.

Kata kunci: stres, coping stres, Wilayatul Hisbah

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Coping Stress in Wilayatul Hisbah Who Are Placed in Rural Area Rena Kinnara Arlotas and Juliana I. Saragih

ABSTRACT The Nanggroe Aceh Darussalam has put the Islam law into effect for seven years. Tu supervise the implementation of Islam Law in public, the province goverment has established Wilayatul Hisbah (the regional supervisor often is called ”Syariah Police”) which is the institution that has duties to control, to cultivate, and do advocacy for implementation of rules in legislation of Islam Law. The WH has organization structure which consists of WH Province level, WH regency and Town Level, WH subdictrion level, even enable, it is established in gampong (village) ang others districts. Different from WH who are placed in town, WH who are placed in rural area faced various obstacles which demand them to work harder perform their duties. The burden of work that they feel as result of obstacles cause of stress. The stress which is felt by the individual is accompanied by emotion stress and physical strain cause of incomfortable in WH, so they are motivated to do coping. This research has purpose to understand how condition of coping stress in WH who are placed in rural area. To answer this problem, that are used is the Cory Cooper’s source of stress theory, that is the stress which has source from work and function theory of coping stress from Lazarus and Folkman that include of Emotional Focus Coping and Problem Focus Coping. The sampling of data in this research use qualitative methode with three respondent. The result of research show that the dimension of work that to be source of stress in every respondents is different each other. And coping stress that is different in each respondents. Nevertheless, generally respondents used emotional focus coping and problem focus coping similarly. Beside that, the respondent use emosional focus coping only or problem focus coping only. Key word: stress, coping stress, Wilayatul Hisbah.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat Rahmat, Iradat dan Rahim-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah yang Ditempatkan di Desa”. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan sahabatnya. Semoga semangat dan kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan bagi kita semua. Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Papa dan Mama, Kakak dan Adinda tercinta yang selalu memberi perhatian, semangat, harapan, dan do’a. Semoga kedamaian, cinta dan kasih sayang yang kita rasakan di dunia ini dapat berlanjut hingga ke syurga kelak, Amin ya Rabb. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Chairul Yoel, SP.A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. 2. Juliana I. Saragih, M.Psi, psikolog selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar dan ikhlas ditengah kesibukannya masih bersedia meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan ilmu, saran, arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Arliza J. Lubis. M.Si, psikolog dan Ridhoi Meilona, M.Si selaku dosen penguji yang telah bersedia menjadi penguji tugas ini, terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan terhadap upaya perbaikan skripsi ini.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

4. Para responden yang telah meluangkan waktu dan bersedia berbagi cerita dan pengalaman. 5. Saudara seperjuangan: Dian, Faqih, Via, Retno, Afni, F4/TOP 1 (Widi, Rossy, Listi) yang selalu mendukung dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Fauzan yang selalu menjadi korban kesibukan penulis saat menyelesaikan skripsi ini, dan seluruh rekan-rekan The Way yang senantiasa istiqamah di jalan dakwah. Semoga jarak bukan menjadi kendala untuk senantiasa menjalin ukhuwah ini. Serta seluruh pihak yang turut memberikan dukungan moril dan materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin

Medan, Desember 2009 Penulis

Rena Kinnara Arlotas

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR ISI

COVER HALAMAN DEPAN

i

LEMBAR PENGESAHAN

ii

LEMBAR PERNYATAAN

iii

ABSTRAK

iv

ABSTRACT

v

KATA PENGANTAR

vi

DAFTAR ISI

vii

DAFTAR TABEL

viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah

1

B. Perumusan Masalah

11

C. Tujuan Penelitian

11

D. Manfaat Penelitian

11

E. Sistematika Penulisan

13

BAB II LANDASAN TEORI A. Stres

14

1. Pengertian Stres

14

2. Respon Terhadap Stres

15

3. Sumber-sumber Stres

17

4. Penilaian Terhadap Stres

21

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stres Appraisal

23

B. Coping

24

1. Pengertian Coping

25

2. Fungsi Coping

25

3. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

29

4. Coping Out Come

31

C. Wilayatul Hisbah

32

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

1. Pengertian Wilayatul Hisbah

32

2. Tugas Wilayatul Hisbah

34

3. Wewenang Wilayatul Hisbah

37

4. Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang

39

Ditempatkan di Desa D. Paradigma Penelitian

44

BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Kualitatif

45

B. Responden Penelitian

45

1. Karaktersitik Responden

45

2. Jumlah Responden

46

C. Prosedur Pengambilan Data

46

D. Lokasi Penelitian

49

E. Alat Bantu pengambilan Data

49

F. Kredibilitas Penelitian

50

G. Prosedur Penelitian

51

1. Tahap persiapan penelitian

51

2. Tahap pelaksanaan penelitian

52

3. Tahap pencatatan data

54

4. Teknik dan prosedur pengolahan data

54

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

57

A. Analisa Data 1. Responden I

58 58

a. Hasil Observasi

58

b. Ringkasan Hasil Wawancara

61

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan

62

coping stres 2. Responden II

80

a. Hasil Observasi

80

b. Ringkasan Hasil Wawancara

84

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan

62

coping stres 3. Responden III

104

a. Hasil Observasi

104

b. Ringkasan Hasil Wawancara

106

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan

109

coping stres B. Interpretasi 1. Responden I

130 130

a. Sumber stres

130

b. Coping stres

134

2. Responden II

137

a. Sumber stres

137

b. Coping stres

140

3. Responden III

142

a. Sumber stres

142

b. Coping stres

144

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

157

A. Kesimpulan

157

B. Diskusi

160

C. Saran 1. Saran praktis 2. Saran penelitian selanjutnya DAFTAR PUSTAKA

162 162 163 164

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal pelaksanaan wawancara

53

Tabel 2 Gambarag umum responden penelitian

57

Tabel 3 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden I

76

Tabel 4 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden II

100

Tabel 5 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden III

126

Tabel 6 Rangkuman analisa antar responden

148

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Lampiran Verbatim

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Sejak saat itu kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah itu kental dengan nuansa Islam. Tidak hanya sebatas nuansa, tapi telah merasuk dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Dengan UndangUndang nomor 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh dan UndangUndang Otonomi Daerah Nomor 18 tahun 2001, Aceh resmi memberlakukan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, selain tentunya, hukum positif yang berlaku nasional (Indosiar.com, 2006). Peraturan syariat Islam memang tidak bisa langsung diterapkan secara keseluruhan. Peraturan Daerah atau Qonun misalnya, sampai kini baru empat yang disahkan, yaitu Qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, Qonun 12 soal judi atau maisir, Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, serta Qonun 14 tentang khalwat, larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim. Namun hal ini jauh dari cukup untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Empat Qonun itupun dipercepat pemberlakuannya, karena dianggap mendasar dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat (Indosiar.com, 2006). Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Dua tahun setelah Qonun Syariat Islam diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, lembaga hukum baru sebagai penopang pemberlakuan Qonun Syariat Islam pun satu per satu dibentuk. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang berperan memberikan masukan dalam menentukan kebijakan daerah terkait syariat Islam melalui fatwa hukum, adalah lembaga yang pertama kali dibentuk. Selanjutnya dibentuk Dinas Syariat Islam yang berperan menyiapkan Qonun dan melakukan penyuluhan serta pengawasan. (Indosiar.com, 2006). Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Dinas Syariat Islam membentuk Wilayatul Hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah). Wilayatul Hisbah (WH) adalah badan yang ditugaskan untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan hukum Islam di dalam masyarakat Aceh khususnya, berkenaan dengan realisasi Qanun-Qanun tentang larangan khamar (minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) (Widyanto, 2007). WH juga disebut sebagai lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar (Himpunan Peraturan Daerah, 2004). Imam Mawardi (dalam Marhaendy, 2008) menyatakan bahwa WH bertugas melaksanakan amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. Amar ma’ruf berarti

menyerukan

kepada

kebajikan,

yaitu

mengajak,

menghimbau,

memerintahkan, menyuruh atau menuntut dilakukannya segala perbuatan yang baik menurut syariat Islam dan mendekatkan pelakunya kepada Allah SWT. Nahi Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

munkar berarti mencegah, melarang, menjauhkan, menentang, mengancam, melawan, menegur atau menyudahi terjadinya segala perbuatan yang buruk menurut syariat Islam dan menjauhkan pelakunya dari Allah SWT (Kebun Hikmah Online, dalam Marhaendy 2008). Dengan demikian posisi WH sangat menentukan efektivitas jalannya penerapan Syariat Islam. Sebab, WH merupakan institusi yang terjun secara langsung memantau terjadinya pelanggaranpelanggaran Syariat Islam tersebut di wilayah NAD (Marhanedy, 2008). Tugas WH dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar diantaranya adalah menindak perempuan Islam yang tidak menggunakan busana muslim, menangkap pasangan beda kelamin yang berdua-duaan (khalwat), dan meringkus pemabuk (khamar) serta penjudi (maisir). Dalam melaksanakan tugas ini, WH dibantu oleh Paperda (Tim Penertiban Peraturan Daerah), karena WH belum memiliki wewenang sebagaimana Paperda yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (Afrida, 2006). Berdasarkan Qanun Nomor 11 Pasal 14 ayat (3), apabila saat menjalankan tugasnya WH mendapatkan beberapa bukti bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran, maka WH diberi wewenang untuk menegur/menasehati orang yang melakukan pelanggaran tersebut. Apabila teguran dan nasihat yang dilakukan WH membuat seseorang tidak lagi mengulangi perbuatannya, maka penyelesaian dipadai pada tahap teguran dan nasihat, tetapi apabila tidak didengarkan maka WH menyerahkan kasusnya pada penyidik dan selanjutnya diserahkan kepada jaksa untuk dilimpahkan ke Mahkaman Syari’ah (Abubakar, 2008).

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat Kabupaten/Kota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan – lingkungan lainnya (Qanun NAD Nomor 11 BAB VI, Pasal 14 ayat (2) (Abubakar, 2008). Terdapat beberapa perbedaan kebijakan mengenai WH yang ditempatkan di kota dengan WH yang ditempatkan di desa. WH yang ditempatkan di kota berjumlah lebih dari 3 orang per kabupaten, sementara WH yang ditempatkan di desa berjumlah 2 sampai 4 orang per kecamatan. WH yang ditempatkan di kota juga dibekali dengan kendaraan dinas, sementara WH yang ditempatkan di desa menggunakan kendaraan pribadi. (Wawancara personal, 10 Juli 2008) Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa seringkali terbentur dengan masalah adat kebiasaan masyarakat. Masyarakat desa pada umumnya cenderung memahami ajaran dan tuntunan Islam dalam kerangka budaya dan adat Aceh, dalam arti kata pelaksanaan Islam dilakukan dalam kerangka adat “lokal” (Chaidar, 2008). Hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang sesuai dengan syariat islam, walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya adat kebiasaan perempuan desa yang akan pergi ke kebun tidak menggunakan jilbab sebagai penutup kepalanya, tetapi menggunakan ”kelubung”, sejenis kain penutup rambut. Jika menghadapi hal ini, WH yang ditempatkan di desa seringkali bingung harus berbuat apa, menindak atau membiarkan saja. Jika ditindak, WH takut dituduh tidak menghormati adat kebiasaan masyarakat, tetapi jika tidak ditegur, WH merasa perempuan tersebut telah melakukan pelanggaran Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

karena tidak menggunakan jilbab saat keluar rumah. Ketidakmampuan WH yang ditempatkan di desa untuk menindak kasus ini seringkali membuat mereka merasa tidak mampu menjalankan apa-apa dari tugasnya. Sementara WH yang ditempatkan

di

kota

tidak

menghadapi

kasus

ini

karena

adat

menggunakan ”kelubung” tidak berlaku di kota. (Wawancara personal, 10 Juli 2008). Hal ini seperti diungkapkan oleh Nofi (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa. ”cuman mungkin yang namanya kepala ya kalau kita larang pun kan, ada yang dari kebun, kayak mana gitu ya, gak bisa kita tekan kali pun, kalau orangorang kampung pun kayak gini lah cuman model jilbabnya, nutup rambut cuma, pakek kelubung aja” (R2.W2.b.25-31.h.5) Contoh lain adalah saat akan menegur pasangan beda kelamin yang melakukan ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan). WH yang ditempatkan di desa merasa sulit untuk menegur muda-mudi yang melakukan ikhtilath, karena ikhtilath biasa terjadi dalam pesta-pesta perkawinan yang diadakan oleh masyarakat, dimana telah menjadi adat kebiasaan untuk menyediakan acara khusus untuk pemuda dan pemudi dalam sebuah pesta yang menyebabkan terjadinya ikhtilath. Sementara di kota adat perkumpulan pemudapemudi ini tidak berlaku lagi. Hal ini seperti disampaikan oleh Dina (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa. ”kalau pesta pernikahan di kota ni kan agak lebih modern, gak ada lagi perkumpulan pemuda pemudinya, kalau di desa tu kan 2 hari sebelum hari H itu muda mudinya udah mulai berkumpul” (R1.W2.b.34-38.h.15)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

”memang kalau dilihat dari apa memang kurang syar’i, cuma itulah kebiasaan mereka, nah kalau yang punya rumah tidak melakukan hal seperti itu mereka secara tidak langsung seperti dikucilkan, kalau di kota kan gak lagi” (R1.W2.b.49-54.h.15) Selain itu, kurangnya dukungan dari pihak pemerintah juga sangat dirasakan oleh WH yang ditempatkan di desa. Kurangnya dukungan ini dirasakan oleh WH karena pemerintah tidak memberikan peralatan yang memadai untuk pelaksanaan tugas WH, seperti mobil untuk patroli dan dana operasional lapangan. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan WH untuk melakukan patroli. Begitu juga dengan dana operasional yang tidak diberikan oleh pemerintah. Jika membutuhkan dana untuk tugas-tugas, WH justru diinstruksikan untuk mengambil dana dari jumlah gaji yang diberikan pemerintah. Hal ini tentu saja akan mengurangi jumlah gaji yang mereka terima, padahal mereka merasa gaji yang mereka terima terlalu kecil jika dibandingkan dengan kerja yang mereka lakukan. (Wawancara Personal, 10 Juli 2008) Hal lain yang menjadi kendala/hambatan dalam menjalankan tugas di lapangan bagi petugas WH adalah masih terbatasnya kewenangan yang di miliki WH dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran Qanun syariat Islam. WH hanya memiliki wewenang untuk menegur atau menasehati. Hal ini membuat wewenang WH sangat lemah dalam menindaklanjuti pelanggar. Jika menemukan pelanggar dan ingin ditindaklanjuti, WH harus menghubungi pihak kepolisian terlebih dahulu, jika pihak kepolisian terlambat hadir, maka pelanggar dengan mudah dapat melarikan diri. (Abubakar, 2007)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Selain itu, WH yang ditempatkan di desa juga mengalami kendala dalam pelaksanaan tugasnya karena WH terkadang mengalami konflik dengan rekan sekantornya dan dengan atasannya. Ketiadaan jenjang kenaikan karir bagi WH juga dinilai sebagai kendala dalam pekerjaannya. Hambatan dan kendala yang dihadapi WH yang ditempatkan di desa ini menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang terlalu berat, konflik, frustasi, jam kerja yang rutin, gaji yang tidak sesuai dengan pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan stres (Ubaidillah, 2007). Kondisi pekerjaan yang terlalu kompleks, overload, terdapatnya kebingungan peran, dan kurangnya dukungan sosial, harapan akan kenaikan karir yang tidak didapatkan, struktur organisasi yang terlihat kaku dan keras juga dapat menyebabkan timbulnya stres (Looker & Gregson, 2005). Stres dapat didefenisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson, 2005). Menurut Cox, Lazarus, Folkman, dkk (dalam Sarafino, 2006) stres adalah kondisi yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan, dimana individu mempersepsikan adanya ketidaksesuaian/kesenjangan antara tuntutan fisik/psikis dari suatu situasi dengan sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, kognitif, emosi, dan tingkah laku. Respon fisiologis dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. Respon kognitif dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. Respon emosi dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. Dan respon tingkah laku dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan. Sarafino (2006) menyatakan bahwa sumber-sumber stres dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan (Sarafino, 2006). Sumber-sumber stres disebut dengan stresor. Stresor adalah bentuk yang spresifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres (Passer & Smith, 2007). Stres dapat muncul dari pekerjaan individu. Menurut Cary Cooper (dalam Greenberg, 2004) di dalam pekerjaan terdapat 6 hal yang dapat menjadi sumber stress, yaitu kondisi pekerjaan, kebingungan peran, interpersonal stres, perkembangan dan struktur organisasi, serta hubungan pekerjaan dan rumah. Kondisi pekerjaan berupa beban tugas yang berat dialami oleh WH yang ditempatkan di desa. Hal ini seperti diungkapkan oleh WH yang ditempatkan di desa. “sebanyak tu kerja di Aceh Tengah ni yang paling berat tu lah WH, mental WH ni lho! Mental di kenak nya kan?” (R2.W2.b.169-173.h.7) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“kalau kita lihat-lihat memang pekerjaan WH tu berat, cuma di sisi lain banyak pahala” (R1.W2.b.331-332.h.21) Kondisi pekerjaan lain berupa ancaman terhadap keselamatan fisik juga dialami oleh WH yang ditempatkan di desa. Sosialisasi peran WH yang masih sangat kurang dalam masyarakat, menyebabkan WH seringkali mendapat perlawanan dari masyarakat ketika menegur pelanggar (Abubakar, 2007). Perlawanan yang diberikan masyarakat ini menyebabkan WH merasa terancam keselamatan fisiknya. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dina (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa. “kalau terjadi sesuatu, misalnya kan kita berdakwah ke pemuda, apalagi pemuda-pemuda dia lagi senang-senangnya trus kita teriak “hey sini sini…” memanglah secara ahsan (baik), nantikan orang tu tapi mudah-mudahan enggak pernah nanti orang tu kan kompak, kalau mereka mengeroyok kita apa segala macam kan nah itu kan menyangkut keselamatan kan” (R1.W2.b.218-227.h.19) Stres yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam situasi seperti ini, maka individu termotivasi untuk melakukan suatu tindakan yang bisa meredakan stres. Hal ini disebut coping. Coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun

perilaku,

untuk

menguasai,

mentoleransi,

mengurangi,

atau

minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain, coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Mu’tadin, 2002). Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2006) coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah masalah sebagai penyebab stres (problem focus coping) atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut (Emotion-focused coping). Problem focus coping digunakan dengan mengurangi tuntutan dari situasi atau menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya. Emotion-focused coping digunakan untuk penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional. Taylor (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa terkadang individu dapat menggunakan kedua fungsi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua fungsi coping pasti digunakan oleh individu. Carels, et.al (dalam Passer & Smith, 2007) menyatakan bahwa kegagalan dari fungsi coping yang digunakan dapat saja terjadi, jika individu tidak menggunakan coping skill yang cukup untuk menghadapi situasi yang berbahaya, sehingga hasilnya individu akan mengalami kepercayaan diri yang rendah dan percaya bahwa mereka tidak akan dapat menghadapi permasalahan. Selanjutnya individu akan merasa terganggu dan menyalahkan diri sendiri mengenai permasalahan yang

dihadapinya

dan

berfikir

memang

tidak

akan

pernah

mampu

menghadapinya. Keputusasaan ini menyebabkan resiko yang berbahaya bagi individu yang menyebabkan individu lepas kendali dan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kegagalan total. Fungsi coping yang dilakukan masing-masing individu berbeda, ada individu yang tampaknya mampu menangani stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu yang lain (Looker, & Gregson, 2005). Begitu juga dengan Wilayatul Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Hisbah, tentunya cara Wilayatul Hisbah menghadapi kendala yang dialaminya berbeda pada masing-masing personel. Melihat fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran coping stress pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

B. PERUMUSAN MASALAH Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut, yaitu bagaimana gambaran mekanisme coping stress pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa, yang mencakup: 1. Apa yang menjadi sumber stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa? 2. Bagaimana gambaran coping stres yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa?

C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui hal-hal yang menjadi sumber stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

2. Mengetahui gambaran coping stres yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu mengenai mekanisme coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian mengenai psikologi klinis, sehingga hasil penelitian nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis a. Pada Wilayatul Hisbah, khususnya yang ditempatkan di desa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada Wilayatul Hisbah, khususnya mengenai mekanisme coping stress. b. Pada masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tugas, kewajiban, serta kendala-kendala yang dihadapi Wilayatul Hisbah sehingga masyarakat dapat memberikan perlakuan yang lebih baik agar WH dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal. c. Pada pemerintah. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam meninjau ulang kebijakannya mengenai hak dan kewajiban Wilayatul Hisbah dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. d. Penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai mekanisme coping stres pada Wilayatul Hisbah.

E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN Berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah

penelitian,

tujuan

penelitian,

manfaat

penelitian

dan

sistematika penulisan. BAB II : LANDASAN TEORI Berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. BAB III : METODE PENELITIAN Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, responden penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data. BAB IV : HASIL ANALISIS DATA

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Berisi deskripsi data, interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai stress dan coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

BAB II LANDASAN TEORI

A. STRES 1. Pengertian Stres Menurut Vincent Cornelli (dalam Musbikin, 2005) stres merupakan suatu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu dalam lingkungan tersebut. Secara spesifik Richard Lazarus menganggap stres sebagai sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi. Hans Selye (dalam Greenberg, 2004) menyatakan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap tuntutan atasnya.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Stres dapat didefenisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson, 2005). Menurut Cox, Lazarus, Folkman, dkk (dalam Sarafino, 2006) stres adalah kondisi yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan, dimana individu mempersepsikan adanya ketidaksesuaian/ kesenjangan antara tuntutan fisik/psikis dari suatu situasi dengan sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial individu. Lavallo (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa kondisi stres memiliki 2 komponen, yaitu fisik dan psikologis. Komponen ini dapat dijelaskan dalam 3 cara, yaitu: a. Stres dilihat sebagai stimulus yang disebut sebagai stresor, pendekatan ini berfokus pada lingkungan. Stimulus lingkungan menyebabkan individu merasa tertekan atau terbangkitkan, dalam hal ini stres adalah sesuatu yang berada di luar individu (Rice, 1987). b. Pendekatan kedua melihat stres sebagai respon, yang berfokus pada reaksi individu terhadap stresor. Respon yang diberikan dapat berupa respon psikologis atau fisiologis. Rice (1987) menyatakan bahwa dalam hal ini stres merupakan kondisi mental internal dari tension atau arousal. c. Pendekatan ketiga melihat stres sebagai proses yang meliputi stresor dan respon, memiliki dimensi hubungan antara individu dan lingkungan. Proses ini meliputi interaksi yang kontinu dan penyesuaian yang saling mempengaruhi antara individu dan lingkungan. Berdasarkan pandangan ini, stres tidak hanya sebagai stimulus atau respon, tetapi sebagai proses dimana individu memiliki Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

peran yang aktiv yang dapat mempengaruhi akibat dari stresor melalui strategi perilaku, kognitif dan emosional. Jadi stress adalah suatu kondisi fisiologi dan psikologis yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan yang penuh ancaman ataupun tantangan dan terdapat kesenjangan antara tuntutan tersebut dengan sumber daya yang dimiliki individu untuk menyelesaikannya.

2. Respon Terhadap Stress Taylor

(dalam Wangsadjaja,

1991)

menyatakan

bahwa stres dapat

menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu: 1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. Hans Selye (dalam Davison, 2006) memperkenalkan sindrom adaptasi menyeluruh (General Adaptation Syndrome-GAS), suatu gambaran respon fisiologis untuk bertahan dan mengatasi stres fisik. Terdapat 3 fase dalam model ini, yaitu: a. Pada fase pertama, yakni reaksi alarm (alarm reaction), sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat, terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar adrenalin membesar, dan thimus menjadi lemah.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

b. Pada fase kedua, yaitu resistensi (resistance), individu beradaptasi dengan stres melalui berbagai mekanisme coping yang dimiliki. c. Jika stresor menetap atau individu tidak mampu merespons secara efektif, terjadi fase ketiga, yaitu suatu tahap kelelahan (exhaustion) yang amat sangat, dan individu mati atau menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. 2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. 3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. 4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan respon stres (Passer & Smith, 2007) adalah : 1. biological, yaitu mekanisme tubuh, respon fisiologis dari sistem autonomic dan endokrin dalam merespon stresor. 2. fisiologis, merupakan penilaian kognitif terhadap tuntutan lingkungan, sumber daya yang dimiliki individu, konsekuensi yang akan dihasilkan, faktor kepribadian, seperti keyakinan dan kesabaran individu mempengaruhi respon terhadap stres, dan strategi coping.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

3. lingkungan. Jumlah, intensitas, dan durasi dari kejadian yang menimbulkan stres, dapat diprediksi/tidak, dapat dikontrol/tidak, tingkat keparahan dari situasi, ketersediaan dukungan sosial, faktor budaya juga mempengaruhi cara individu berespon terhadap sumber stres.

3. Sumber-sumber Stres Sumber-sumber stres dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan (Sarafino, 2006). Sumber-sumber stres disebut dengan stresor. Stresor adalah bentuk yang spresifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres (Passer & Smith, 2007). Stress dapat muncul dari pekerjaan individu. Menurut Cary Cooper (dalam Greenberg, 2004) di dalam pekerjaan terdapat 6 hal yang dapat menjadi sumber stress, yaitu: 1. Job Conditions. Kondisi pekerjaan yang dapat menimbulkan stress seperti: a. job complexity, merupakan kesulitan yang tidak bisa dipisahkan dari pekerjaan yang harus dilaksanakan. Biasanya berhubungan dengan hal-hal seperti jumlah dan kesempurnaan informasi yang diperlukan agar individu dapat berfungsi di pekerjaannya, perluasan atau penambahan metoda untuk melakukan/menyelenggarakan pekerjaan, atau pengenalan tentang Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

perencanaan mengenai segala kemungkinan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. b. work overload, dapat dibedakan menjadi overload qualitative dan overload quantitative. Overload qualitative terjadi jika terlalu kompleks dan terlalu banyak yang harus dilakukan. Sedangkan overload quantitative terjadi jika tuntutan fisik dari pekerjaan melebihi kapasitas individu. c. assembly line hysteria, meliputi rasa muak, kelelahan otot, sakit kepala yang parah, dan penglihatan yang kabur. Walaupun terdapat symptom fisik, namun tidak terdapat basis fisik dari simpton tersebut. Simptom muncul sebagai bagian dari respon psikologis terhadap pekerjaan yang terlihat membosankan, terlalu sedikit interaksi sosial, dan rendahnya tingkat kepuasan terhadap pekerjaan. d. decision making, responsibility, and stres. Jika keputusan atasan semakin menuntut tanggungjawab dari individu, maka pekerjaan tersebut semakin meningkatkan kemungkinan timbulnya stress. e. physical danger, merupakan sumber yang sangat potensial untuk menimbulkan stress, ketika individu berhadapan dengan bahaya fisik saat menjalankan kewajiban pekerjaanya. f. shift work. Shift work menuntut individu untuk merubah jadwal mereka dari perencanaan awal. Hal ini dapat menimbulkan gangguan pada waktu tidur normal individu, neurophysiological rhythm, metabolisme, dan mental efficiency. 2. role ambiguity Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Terjadi ketika individu tidak mengetahi apa yang diharapkan darinya dan apa yang dianggap benar dari pekerjaannya. Efek dari role ambiguity ini adalah dapat menimbulkan penurunan performace dan kepuasan kerja, kecemasan, dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. 3. interpersonal stres adanya dukungan sosial dari pekerja lain, pihak manajemen, keluarga dan teman dapat mengurangi ketegangan dalam pekerjaan. 4. career development individu

memiliki

beberapa

harapan

terhadap

pekerjaannya,

seperti

mengharapkan kenaikan yang cepat atau setidaknya kemajuan yang terus menerus, mengharapkan beberapa kebebasan dalam pekerjaan, mengharapkan pendapatan yang meningkat, keinginan untuk belajar berbagai hal baru dan melakukan pekerjaan baru, dan keinginan untuk menemukan solusi dari permasalahan tertentu. Ketika harapan tersebut tidak didapatkan, individu sering kehilangan motivasi berprestasi dan self esteem yang penting untuk mendapatkan kepuasan kerja. Ketika kenaikan jabatan tidak didapatkan atau ketika pekerjaan yang dilihat menjamin keamanan justru terancam dengan pemberhentian, maka karyawan cenderung mengalami stress. 5. organizational structure and development cara pengaturan pekerjaan juga dapat mengakibatkan timbulnya stress. Tidak setuju dengan struktur pekerjaan yang kaku, percekcokan dengan rekan kerja, sedikitnya kesempatan untuk membuat keputusan dan sedikitnya dukungan terhadap inisiatif individu dapat menimbulkan stress. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

6. home-work connection. Kondisi rumah dan tempat kerja saling mempengaruhi. Jika di rumah terdapat tekanan, maka hal ini dapat mempengaruhi performa individu di pekerjaan. Banyak individu yang menempatkan rumah sebagai tempat perlindungan, tetapi jika tempat perlindungan ini terganggu, apakah itu karena gangguan di pekerjaan atau konflik di rumah, maka efek dari stress di pekerjaan semakin dirasakan.

4. Penilaian Terhadap Stress Lazarus dan Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa secara umum stres memiliki proses penilaian yang disebut cognitive appraisal. Cognitive appraisal adalah proses mental dimana individu menilai 2 aspek, apakah tuntutan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologisnya? Dan apakah individu memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi tuntutan tersebut? Kedua aspek ini membedakan 2 tipe penilaian, yaitu : a. penilaian individu mengenai pengaruh situasi terhadap well being individu, yang disebut primary appraisal. Primary appraisal dapat menghasilkan 3 keputusan, apakah situasi yang dihadapi individu tersebut irrelevant, good ataupun stresfull. Kondisi/situasi yang dinilai negatif oleh individu dapat dipandang sebagai :

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

1) Bahaya (harm), terhadap kerusakan yang sudah diakibatkan oleh suatu peristiwa. 2) Ancaman (threat), terhadap kerusakan yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang akibat suatu peristiwa. 3) Tantangan (challenge), terhadap potensi untuk mengatasi situasi yang tidak menyenangkan akibat suatu peristiwa dan mengambil keuntungan secara maksimal dari peristiwa tersebut. Lazarus (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu: 1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang dimiliki individu, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan personalnya. 2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence. 3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen individu. b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

dan challenge dalam peristiwa yang terjadi, mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian. Lazarus (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu: 1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu. 2. Coping-potential:

penilaian

mengenai

bagaimana

individu

dapat

mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya. 3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik atau buruk.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres appraisals Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa penilaian terhadap peristiwa yang dapat menimbulkan stres tergantung dari 2 faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan individu dan faktor yang berhubungan dengan situasi. 1. Faktor individu terdiri atas intelektual, motivasi, dan karakteristik keperibadian. Individu yang memilikin self esteem yang tinggi cenderung untuk meyakini bahwa individu tersebut memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi stres. Individu yang merasa sulit untuk mencapai

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

suatu tujuan , maka individu tersebut akan semakin merasakannya sebagai stres. 2. Faktor situasi. Kejadian atau peristiwa yang sangat menekan dan terjadi tiba-tiba cenderung untuk dilihat dapat menimbulkan stres. Karakteristik situasi yang dapat menimbulkan stres adalah : a. Life transitions, meninggalkan suatu kondisi hidup menuju kondisi yang lain. Seperti memasuki sekolah yang baru, pindah ke komunitas yang baru, menjadi orang tua, ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan. b. Difficult timing. Peristiwa yang terjadi terlalu cepat atau terlalu lambat, tidak sesuai dengan kebiasaannya dan tidak sesuai dengan harapan. c. Ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi. Seperti informasi yang tidak jelas mengenai fungsi atau kerja dari seorang karyawan dan ketidakjelasan status kesehatan pasien. d. Low desirability, ada beberapa kejadian yang terjadi diluar dugaan kita, seperti kebakaran rumah. e. Low controllability, yaitu kejadian yang terjadi tanpa dipengaruhi oleh perilaku atau kognitif individu, seperti ketidakmampuan individu untuk beraktifitas selama sakit, dan ketidakmampuan individu untuk berhenti memikirkan kejadian yang menimbulkan trauma.

B. COPING 1. Pengertian Coping Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Lazarus & Folkman (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun coping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Mu’tadin, 2002). Coping adalah proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki saat berada dalam situasi yang stressfull (Sarafino, 2006). Jadi coping adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk menguasai situasi yang menekan yang melebihi sumber daya yang dimilikinya.

2. Fungsi Coping Individu memiliki sejumlah cara dalam coping terhadap stres. Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2006) coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

masalah sebagai penyebab stres atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut. a. problem focus coping digunakan dengan mengurangi tuntutan dari situasi atau menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya. Contoh : a) Membuat individu yang bersangkutan menerima tanggungjawab untuk menyelesaikan atau mengontrol masalah yang menimbulkan stres. Dengan merubah situasi dari masalah yang bersangkutan, diharapkan efek stresnya juga akan menghilang. b) Menyiapkan semacam rencana untuk menyelesaikan masalah penyebab stres, dan mengambil tindakan untuk melaksanakan rencana tersebut b. emotion-focused coping digunakan untuk mengontrol situasi yang dinilai sebagai stres. Coping yang berfokus pada emosi (problem-focused coping) adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif. Dalam emotion focus coping ini individu menghadapi stres dengan fokus kepada bagaimana menata dirinya secara emosional sehingga siap menghadapi stres itu sendiri. Beberapa contoh penerapan teknik emotion-focused coping antara lain : a) Menerima simpati dan pengertian dari individu (teman, saudara atau support group lainnya) b) Mencoba untuk melihat sesuatu dari sisi lain (yang lebih positif) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Individu dapat mengatur respon emosinya melalui pendekatan kognitif dan pendekatan perilaku. Pendekatan kognitif meliputi bagaimana cara individu berfikir mengenai situasi yang dinilai sebagai stres. Dalam pendekatan kognitif, individu mendefinisikan kembali situasinya dan melihatnya dengan sudut pandang yang positif. Pendekatan perilaku meliputi penggunaan alkohol dan obat-obatan, mencari dukungan sosial dan melakukan aktivitas yang dapat mengganggun ingatan individu padamasalah. Individu cenderung menggunakan emotion-focus coping ketika individu yakin akan dapat melakukan sesuatu hal untuk merubah kondisi yang dinilai sebagai stres. Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006)) menyatakan bahwa individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol. Taylor (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu. Suatu studi dilakukan oleh Folkman et al. (dalam Wangsadjaya) mengenai kemungkinan variasi dari problem-focused coping dan emotion focused coping. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya delapan strategi coping yang muncul, yaitu : 1. problem-focused coping Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

a. confrontative coping; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko. b. seeking social support; yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain. c. planful problem solving; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis. 2. Emotion focused coping a. Self-control; usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan. b. Distancing; usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon. c. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan halhal yang bersifat religius. d. Accepting responsibility; usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri

dalam

permasalahan

yang

dihadapinya,

dan

mencoba

menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

e. Escape/avoidance; usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

Sarafino (2006) menyatakan bahwa penelitian menemukan bahwa individu menggunakan metode coping dalam 4 cara yang berbeda, yaitu: 1. individu cenderung konsisten dalam menghadapi tipe stresor, dimana jika mengalami kondisi stres yang sama, individu cenderung menggunakan strategi coping yang sama. 2. individu biasanya menggunakan kombinasi dari problem dan emotion coping strategy, 3. metode coping yang digunakan individu berbeda antara kondisi stres yang berlangsung singkat dengan kondisi stres yang berlangsung dalam waktu yang lama. 4. walaupun metode yang digunakan individu berkembang dari transaksi selama kehidupannya, individu yang kembar cenderung menggunakan metode coping yang sama.

3. Faktor yang Mempengaruhi Coping Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi (Mu’tadin, 2002). Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

1. Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar 2. Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe problem-solving focused coping 3. Keterampilan Memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. 4. Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat 5. Dukungan sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya 6. Materi Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

4. Coping Outcome Lazarus dan Folkman; Cohen dan Lazarus (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, agar coping dilakukan dengan efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu : 1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya 2. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif. 3. Mempertahankan gambaran diri yang positif. 4. Mempertahankan keseimbangan emosional. 5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain. Menurut Taylor (dalam Wangsadjaja), efektivitas coping tergantung dari keberhasilan pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi semua coping task untuk dinyatakan berhasil melakukan coping dengan baik. Setelah coping dapat memenuhi sebagian atau semua fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping outcome yang dialami tiap individu. Coping outcome

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

adalah kriteria hasil coping untuk menentukan keberhasilan coping. Coping outcome, yaitu : 1. ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat mengurangi indikator dan arousal stres seperti menurunnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. 2. apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia mengalami stres, dan seberapa cepat ia dapat kembali. Coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat membawa individu kembali pada keadaan seperti sebelum individu mengalami stres. 3. efektivitas dalam mengurangi psychological distres. Coping dinyatakan berhasil jika coping tersebut dapat mengurangi rasa cemas dan depresi pada individu.

C. WILAYATUL HISBAH 1. Pengertian Wilayatul Hisbah Wilayatul Hisbah (WH) adalah departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah negara Islam. Istilah wilayah, menurut Ibnu Taimiyyah dalam alSiyasah al-Syar’iyyah, bermakna "wewenang" dan "kekuasaan" yang dimiliki oleh institusi pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Sementara kata hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan (Furqani, 2007).

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Wilayatul berarti daerah atau areal kekuasaan, sedangkan Hisbah bermakna menghitung/ mengira berasal dari bahasa Arab sedangkan secara singkat Imam Al-Mawardy mendefenisikan bahwa wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf jika orang melalaikan, dan nahi mungkar/ mencegah jika ada orang yang mengerjakannya. Secara umum Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan digaji oleh pemerintah, kepadanya diberi wewenang mengawasi berjalannya syari’at Islam serta bertindak tegas terhadap orang yang berbuat kemungkaran dan wajib memberikan bantuan kepada yang memerlukan (Furqani, 2007). Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Wilayatul Hisbah dikoordinir oleh Dinas Syariat Islam, diangkat oleh Gubernur ditingkat provinsi, Bupati/Walikota ditingkat Kabupaten/Kota. Ditingkat kemukiman yang bertugas di gampong-gampong tetap diangkat oleh Bupati/Walikota, pengangkatan Wiliyatul Hisbah di berbagai tingkat terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) (Furqani, 2007). Dalam Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam No. 9 Tahun 2003 tentang hubungan tata kerja majelis permusyawaratan ulama dengan Eksekutif, Legislatif, dan instansi pengambilan keputusan lainnya, pada Ketentuan Umum disebutkan bahwa Wilayatul Hisbah adalah satuan tugas yang membantu polisi dalam penegakan syariat Islam, dalam Qanun NAD No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam pada ketentuan Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

umum disebutkan bahwa Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam (Jamhuri, 2005). Dalam Qanun NAD No. 12 Tahun 2003 tentang minuman khamr dan sejenisnya dan Qanun No.13 Tahun 2003 Maisir (perjudian) masing-masing dalam Ketentuan Umum disebutkan Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina, melakukan advokasi dan mengawasii pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar. Sedang pada Qanun No.14 Tahun 2003 tentang khalwat (mesum) ditambah dari apa yang telah didefinisikan pada Qanun No.12 dan 13 dengan dan dapat berfungsi sebagai penyidik (Jamhuri, 2005). Dalam Keputusan Gubernur Prov. NAD No.01 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah pada Ketentuan Umum disebutkan bahwa Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundangundangan dalam bidang syariat islam dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar (Jamhuri, 2005).

2. Tugas Wilayatul Hisbah Furqoni (2007), menyatakan bahwa Wilayatul Hisbah (WH) mempunyai tugas melaksanakan amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. Wilayatul Hisbah mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, oleh karena itu Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi Wilayatul Hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Tugas Wilayatul HIsbah adalah mengawasi terlaksana atau Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

tidaknya semua hal yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ di dalam masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai Shalat Jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain (Furqani, 2007). WH memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar makruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, WH yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor (Furqani, 2007). Dalam Qanun No.11 Tahun 2002 pada pasal 14 disebutkan bahwa tugas Wilayatul Hisbah adalah mengawasi, menegur/menasehati pelanggar syariat sampai pelanggar tidak mengulangi perbuatannya lagi, apabila teguran dan nasihat yang dilakukan WH membuat individu tidak lagi mengulangi perbuatannya, maka penyelesaian dipadai pada tahap teguran dan nasihat, tetapi apabila tidak didengarkan maka pengawas menyerahkan kasusnya pada penyidik dan Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

selanjutnya diserahkan kepada jaksa dan untuk dilimpahkan ke Mahkaman Syari’ah. Dalam Surat Keputusan Gubernur Prov. NAD. No.01 Tahun 2004 disebutkan tugas Wilayatul HIsbah adalah melakukan pengawasan, pembinaan dan advokasi spiritual dan melimpahkan kasus pada penyidik (Abubakar, 2008). Abubakar (2008) menyatakan bahwa sebagai salah satu badan pengawas yang bertindak sebagai polisi Syariah Wilayatul Hisbah mempunyai tiga kelompok tugas. 1. Tugas pokok yaitu : a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang undangan di bidang Syariat Islam b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syariat Islam c. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan, WH perlu memberitahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada keuchik/Kepala Gampong dan keluarga pelaku d. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syariat Islam kepada penyidik 2. Tugas yang berhubungan dengan pengawasan meliputi : a. Memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya peraturan perundangundangan di bidang Syariat Islam b. Menemukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan Syariat Islam Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

3. Tugas yang berhubungan dengan pembinaan meliputi : a. Menegur memperingatkan dan menasehati individu yang patut di duga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Syariat Islam b. Berupaya untuk menghentikan kegiatan/perbuatan yang patut diduga telah melanggar peraturan perundangan di bidang Syariat Islam c. Menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui rapat Adat Gampong d. Memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi penyalahgunaan izin penggunaan suatu tempat atau sarana

3. Wewenang Wilayatul Hisbah Abubakar (2008) menyatakan bahwa sesuai dengan keputusan Gubernur Nomor 01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata kerja Wilayatul Hisbah, Wilayatul Hisbah berwenang dalam penanganan setiap pelanggaran dan pembinaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, wewenang tersebut adalah: a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan dan perundangundangan di bidang Syariat Islam b. Menegur, menasehati, mencegah dan melarang setiap orang yang patut diduga telah sedang atau akan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan di bidang Syariat Islam Setiap aparatur Wilayatul Hisbut mempunyai wewenang yaitu : a. Menerima laporan pengaduan dari masyarakat b. Menyuruh berhenti individu yang patut diduga sebagai pelaku pelanggaran Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

c. Meminta keterangan identitas setiap orang yang patut diduga telah dan sedang melakukan pelanggaran d. Menghentikan kegiatan yang patut diduga melanggar peraturan perundangundangan WH juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan WH juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan. WH boleh membakar VCD porno, menyita barang yang ditimbun oleh pedagang sehingga menyengsarakan masyarakat lalu membagi-bagikannya kepada orang miskin, mengancam pencemaran nama baik, memasukkan ke penjara, sampai kepada mengarak si pelanggar keliling kota dan menggantungi tulisan “saya telah melanggar syariat dan tidak akan mengulanginya lagi”. Ketika menjatuhi hukuman, WH harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa individu betul-betul melanggar syari’at (dzahara fi’luhu), atau tampak jelas individu meninggalkan perkara syari’at (dzahara tarkuhu). Karena itu WH tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Hal ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka WH saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

apatis terhadap syariat dan menganggap syari’at mengganggu kebebasan privasi mereka (Furqani, 2007). Namun demikian, wewenang WH hanya mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah bukan termasuk wewenang WH (Furqani, 2007).

D. GAMBARAN COPING STRES PADA WILAYATUL HISBAH YANG DITEMPATKAN DI DESA Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Sejak saat itu kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah itu kental dengan nuansa Islam. Tidak hanya sebatas nuansa, tapi telah merasuk dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Peraturan syariat Islam memang tidak bisa langsung diterapkan secara keseluruhan. Peraturan Daerah atau Qonun misalnya, sampai kini baru empat yang disahkan, yaitu Qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, Qonun 12 soal judi atau maisir, Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, serta Qonun 14 tentang khalwat, larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim. Namun hal ini jauh dari cukup untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Empat Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Qonun itupun dipercepat pemberlakuannya, karena dianggap mendasar dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat (Indosiar.com, 2006). Dua tahun setelah Qonun Syariat Islam diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, lembaga hukum baru sebagai penopang pemberlakuan Qonun Syariat Islam pun satu per satu dibentuk. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang berperan memberikan masukan dalam menentukan kebijakan daerah terkait syariat Islam melalui fatwa hukum, adalah lembaga yang pertama kali dibentuk. Selanjutnya dibentuk Dinas Syariat Islam yang berperan menyiapkan Qonun dan melakukan penyuluhan serta pengawasan. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Dinas Syariat Islam membentuk Wilayatul Hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah). Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar (Furqani, 2007). Tugas dari WH diantaranya adalah menindak perempuan Islam yang tidak menggunakan busana muslim, menangkap pasangan beda kelamin yang berdua-duaan (khalwat), dan meringkus pemabuk (khamar) serta penjudi (maisir). WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat Kabupaten/Kota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan – lingkungan lainnya (Qanun NAD Nomor 11 BAB VI, Pasal 14 ayat (2) (Abubakar, 2008). Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa seringkali Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

terbentur dengan masalah adat kebiasaan masyarakat. Masyarakat desa pada umumnya cenderung memahami ajaran dan tuntunan Islam dalam kerangka budaya dan adat Aceh, dalam arti kata pelaksanaan Islam dilakukan dalam kerangka adat “lokal” (Chaidar, 2008). Hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang sesuai dengan syariat islam, walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tentu saja sangat mengganggu dan menghambat kerja WH. Selain itu, kurangnya dukungan dari pihak pemerintah juga sangat dirasakan oleh WH yang ditempatkan di desa. Kurangnya dukungan ini dirasakan oleh WH karena pemerintah tidak memberikan peralatan yang memadai untuk pelaksanaan tugas WH, seperti mobil untuk patroli dan dana operasional lapangan. Hal lain yang menjadi kendala/hambatan dalam menjalankan tugas di lapangan bagi petugas WH adalah masih terbatasnya kewenangan yang di miliki WH dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran qanun syariat Islam. WH hanya memiliki wewenang untuk menegur atau menasehati. Hal ini membuat wewenang WH sangat lemah dalam menindaklanjuti pelanggar (Abubakar, 2007). Hambatan dan kendala yang dihadapi WH yang ditempatkan di desa ini menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang terlalu berat, konflik, frustasi, jam kerja yang rutin, gaji yang tidak sesuai dengan pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan stress (Ubaidillah, 2007). Kondisi pekerjaan yang terlalu kompleks, overload, terdapatnya kebingungan peran, dan kurangnya dukungan sosial, harapan akan

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

kenaikan karir yang tidak didapatkan, struktur organisasi yang terlihat kaku dan keras juga dapat menyebabkan timbulnya stress (Looker & Gregson, 2005). Stres dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson, 2005). Stress yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam situasi seperti ini, maka individu termotivasi untuk melakukan suatu tindakan yang bisa meredakan stress. Hal ini disebut coping. Coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2006) coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah masalah sebagai penyebab stress (problem focus coping) atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut (Emotion-focused coping). Problem focus coping digunakan dengan mengurangi tuntutan dari situasi atau menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya. Emotion-focused coping digunakan untuk penanganan stress dimana individu memberikan respon terhadap situasi stress dengan cara emosional. Carels, et.al (dalam Passer & Smith, 2007) menyatakan bahwa kegagalan dari fungsi coping yang digunakan dapat saja terjadi, jika individu tidak menggunakan coping skill yang cukup untuk menghadapi situasi yang berbahaya, sehingga hasilnya individu akan mengalami kepercayaan diri yang rendah dan percaya bahwa mereka tidak akan dapat menghadapi permasalahan. Selanjutnya individu Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

akan merasa terganggu dan menyalahkan diri sendiri mengenai permasalahan yang

dihadapinya

dan

berfikir

memang

tidak

akan

pernah

mampu

menghadapinya. Keputusasaan ini menyebabkan resiko yang berbahaya bagi individu yang menyebabkan individu lepas kendali dan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kegagalan total.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

E. Paradigma Penelitian

Pemberlakuan Syariat Islam di NAD

Pembentukan WH

Kategori wilayah penempatan WH

WH Kabupaten

WH Kecamatan

Menghadapi berbagai kendala baik dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat

STRES

COPING

Emotional Focus Coping

Problem Focus Coping

Keterangan: Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

: dibahas dalam penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. PENDEKATAN KUALITATIF Brannen (dalam Alsa, 2004) menyatakan bahwa pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif, yang mempunyai kebebasan kemauan, yang perilakunya hanya dapat dipahami dalam konteks budanyanya, dan yang perilakunya tidak didasarkan pada hukum sebab akibat. Oleh sebab itu logis kalau penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami objeknya, tidak untuk menemukan hukum-hukum, tidak untuk membuat generalisasi, melainkan membuat ekstrapolasi. Apabila merujuk kembali pada masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk mengetahui gambaran coping stress pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa, sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran dan dinamika yang luas tentang coping stress pada masing-masing responden.

B. RESPONDEN PENELITIAN 1. Karakteristik Responden

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Pemilihan responden penelitian didasarkan pada ciri-ciri tertentu. Dalam penelitian ini, yang menjadi responden penelitian adalah Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

2. Jumlah responden Banister (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa dengan fokusnya pada kedalaman dan proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus yang sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti memperoleh kasus lebih banyak, dan bila dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan sekaligus dapat diungkap informasi yang sangat mendalam. Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif bersifat relatif luwes. Oleh sebab itu, tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel pada penelitian kualitatif diarahkan pada kecocokan konteks (Sarantakos, dalam Poerwandari 2007) dan tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 orang Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa. Alasan utama pengambilan jumlah sampel tersebut adalah adanya keterbatasan dari peneliti sendiri, baik itu waktu, biaya maupun kemampuan peneliti.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

3. Prosedur Pengambilan Responden Prosedur pengambilan data dalam penelitian ini berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling), yaitu sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili (bersifat representatif terhadap) fenomena yang diteliti. (Patton, dalam Poerwandari 2007).

4. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Takengon, Aceh Tengah. Pemilihan daerah penelitian bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam mendapatkan dan menemui sampel penelitian.

C. METODE PENGAMBILAN DATA Menurut Poerwandari (2007), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif antara lain: wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisa terhadap karya (tulis, film dan karya seni lain), analisa dokumen, analisa catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup dan sebagainya. Bogdan dan Biklen (dalam Alsa, 2004) menyatakan bahwa metode pengumpulan data yang paling mewakili karakteristik penelitian kualitatif adalah

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

observasi partisipan dan in depth-interview. Prosedur yang digunakan secara runtut adalah: 1. Mengumpulkan data yang berwujud kata-kata (misal teks dari partisipan selama interview). 2. Menganalisa kata-kata tersebut dengan melalui pendeskripsian peristiwaperistiwa dan memperoleh atau menetapkan tema. 3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan umum dan luas 4. Tidak membuat prediksi terhadap yang diamati, tapi menyandarkan diri pada peneliti untuk membentuk apa yang mereka laporkan 5. Tetap dapat dilihat dan ada dalam laporan tertulis. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara. Banister (dalam Poerwandari, 2007) menyatakan bahwa wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan denagn topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalan wawancara dengan pedoman umum, dimana peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput, tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007). Aspek yang ingin diungkap melalui wawancara dalam

penelitian ini adalah hal-hal yang

berhubungan dengan coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa, yang mencakup bagaimana gambaran stres dan coping stres. Selama wawancara berlangsung dilakukan observasi, memperhatikan

secara

akurat,

mencatat

fenomena

yang

yaitu kegiatan muncul,

dan

mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Adapun halhal yang akan diobservasi adalah kondisi fisik, emosional, dan setting lingkungan dan hal-hal yang mengganggu jalannya wawancara.

D. ALAT BANTU PENGAMBILAN DATA Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Alat Perekam (tape recorder dan MP4) Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu, alat perekam dapat merekam nuansa bunyi dan aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, dan sebagainya. 2. Pedoman wawancara Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

(Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya. 3. Lembar observasi Lembar observasi ini berisi hasil observasi peneliti selama melakukan proses wawancara, yang terdiri atas kondisi fisik, emosional, dan setting lingkungan dalam wawancara dan hal-hal yang mengganggu jalannya wawancara.

E. KREDIBILITAS PENELITIAN Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian ini terletak pada keberhasilan peneliti dalam mengungkap gambaran coping stres pada Wilayatul Hisbah. Peningkatan kredibilitas dilakukan dengan cara: 1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, responden, atau hal lain yang terkait. 2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengmpulan data maupun strategi analisanya.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti lainnya dengan mempelajari dan membandingkan langkah-langkah penelitian, serta

melihat

efektifitas

dari

langkah-langkah

tersebut

tanpa

mengesampingkan saran-saran yang dianjurkan secara teoritis. Langkah ini diharapkan dapat menjamin pengumpulan data yang berkualitas. 4. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan peneliti. Partner yang terlibat antara lain dosen pembimbing sebagai professional judgement terhadap alat pengumpulan data dan strategi analisa serta interpretasi data. Selain itu peneliti menyertakan beberapa orang mahasiswa psikologi dan seorang sarjana Sastra Indonesia untuk menilai efektifitas rangkaian cerita pada analisa data. 5. Melakukan pengecekan dan pengeckan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

F. PROSEDUR PENELITIAN 1. Tahap persiapan penelitian Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian, yaitu: a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa. Data yang diperoleh peneliti dapatkan melalui proses Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

wawancara pada 3 orang anggota Wilayatul Hisbah. Peneliti juga mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan coping stress. Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini. b. Menyusun pedoman wawancara Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori yang ada untuk menjadi pedoman wawancara. c. Persiapan untuk mengumpulkan data Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian. Setelah mendapatkannya, peneliti kemudian meminta bantuan kakak peneliti untuk menghubungi calon responden dan

menanyakan kesediaannya untuk

berpartisipasi dalam penelitian. d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara Setelah memperoleh kesediaan dari responden, peneliti kemudian membangun rapport dan mengatur serta menyepakati waktu untuk melakukan wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian. a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan beberapa jam sebelum jadwal wawancara yang disepakati dengan tujuan untuk memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara. b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun. Saat wawancara berlangsung, peneliti juga melakukan observasi terhadap responden. Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara No 1

Responden I

Tanggal 15 Agustus 2009

2

27 Agustus 2009

3

10 Oktober 2009

4

II

16 Agustus 2009

5

30 Agustus 2009

6

08 Oktober 2009

7

30 November 2009 17 Agustus 2009

8

III

9

29 Agustus 2009

10

30 2009

November

Waktu 10.00-11.00 WIB 10.30-11.30 WIB 17.30-18.10 WIB 11.00-12.00 WIB 11.30-11.50 WIB 12.00-12.40 WIB 11.30-12.00 WIB 10-.00-11.00 WIB 17.00-17.30 WIB 17.10-18.15 WIB

Tempat Rumah responden Ruang sebuah kursus komputer di Takengon Teras rumah tetangga responden Rumah teman responden - (Via telepon) Rumah saudara responden Rumah Responden Kantor WH Rumah responden Rumah responden

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memberikan gambaran tentang topik yang diteliti (Poerwandari, 2007). d. Melakukan analisa data Hasil verbatim kemudian ditranskrip dan digunakan dalam menganalisa dan menginterpretasi data sesuai dengan pertanyaan penelitian. e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi terhadap kesimpulan dan seluruh hasil penelitian. Dengan memperhatikan hasil penelitian, kesimpulan data dan diskusi yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran bagi penelitian selanjutnya.

3. Tahap Pencatatan Data Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Data hasil rekaman ini kemudian ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas. 4. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis ataupun bentuk-bentuk non angka lainnya. Walaupun penelitian kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan absolut, tidak berarti penelitian kualitatif tidak memiliki pedomanpedoman atau saran-saran tentang prosedur yang harus dijalani berkenaan dengan analisis dan interpretasi data (Poerwandari, 2007). Menurut Poerwandari (2007) proses analisa data pada penelitian kualitatif meliputi: a. Organisasi data secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. b. Koding dan analisis, dilakukan dengan menyusun transkrip verbatim atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan dan kiri transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip, lalu memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

c. Pengujian terhadap dugaan, berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda mengenai data yang sama. Peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang mungkin tidak disadari. d. Strategi analisa. Proses analisa dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisa. e. Interpretasi, yaitu upaya untuk memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui

apa

yang

secara

langsung

dikatakan

partisipan

untuk

mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkrip wawancara).

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami gambaran coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa, maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-subjek. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara. Kutipan dalam setiap bagian analisa akan diberikan kode-kode tertentu karena satu kutipan dapat saja diinterpretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah: R1.W1.b.10-15.h.2, maksud kode ini adalah kutipan pada responden 1, wawancara 1, baris 10 sampai 15, verbatim halaman 2.

Tabel 2. Gambaran Umum Responden Penelitian Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Identitas Nama Jenis kelamin Usia Status Pendidikan Pekerjaan Lama menjadi WH Wilayah penempatan

Responden I Dina (bukan nama sebenarnya) Perempuan 27 tahun Menikah SI Dosen, WH 3 tahun Kec. Pegasing

Responden II Novi (bukan nama sebenarnya) Perempuan 27 tahun Menikah SI WH 3 tahun Kec. Batu lintang

Responden III Jaya (bukan nama sebenarnya) Laki-laki 32 tahun Menikah SI WH, wiraswasta 6 tahun Kec. Bebesen

A. Analisa Data 1. Responden I a. Hasil observasi 1). Wawancara I Wawancara I dilakukan di sebuah tempat kursus komputer yang berada di pusat Kota Takengon. Tempat kursus ini berupa ruangan lepas dengan panjang sekitar 10 meter dan lebar sekitar 4 meter. Sumber cahaya yang hanya berasal dari depan ruangan membuat ruangan menjadi gelap dan sedikit pengap. Suara deru kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan raya menjadikan suasana terasa bising. Di depan lokasi kursus, terdapat tempat parkir kendaraan dengan lebar ±3 meter sebelum jalan raya. Di sisi kanan bagian depan ruangan, terdapat sebuah meja operator dengan 1 unit komputer di atasnya. Di sisi kiri bagian depan ruangan terdapat sebuah etalase berukuran 2x0,5 meter yang digunakan sebagai tempat meletakkan berbagai alat tulis. Tidak jauh dari samping etalase tersebut, Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

terdapat sebuah mesin fotokopi. Di sepanjang dinding ruangan terletak beberapa unit komputer. Di ujung ruangan terdapat sebuah cermin berukuran 2x1 meter yang tergantung di dinding. Di bawah cermin tersebut terdapat sebuah meja kayu dengan kursi di sisi kiri dan kanannya. Di samping cermin, terdapat sebuah pintu yang menjadi penghubung ruangan kursus dengan ruangan belakang. Saat peneliti masuk ke dalam ruangan, responden sedang membaca sebuah buku sambil duduk menghadap komputer. Responden adalah seorang wanita paruh baya dengan tinggi sekitar 155 cm dan berat sekitar 60 kg. Responden memiliki bentuk wajah oval dan berkulit sawo matang. Responden menggunakan gamis coklat muda dan jilbab krem yang dimasukkan ke dalam jaket yang dikenakan di luarnya. Peneliti kemudian menyapa dan menyalami responden. Setelah berbasa-basi sebentar, responden mengajak peneliti ke arah belakang ruangan untuk melakukan wawancara. Wawancara dilakukan di meja kayu yang terdapat di bawah cermin. Sebelum melakukan wawancara, responden mengatur posisi kursi sehingga responden dan peneliti duduk berhadapan. Responden duduk menghadap ke cermin sedangkan peneliti duduk membelakangi cermin. Selama proses wawancara, responden duduk menyandar ke sisi belakang kursi dan menyilangkan kaki kanan ke kaki kirinya. Sesekali sambil menjawab pertanyaan, responden mencondongkan tubuhnya ke depan sambil memberi penekanan pada beberapa kata yang diucapkannya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dijawab oleh responden dengan lancar dan sesekali disertai dengan gerakan tangan saat ia berbicara. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Tidak ada hal khusus yang menghambat jalannya wawancara. Namun, suara orang-orang yang berada di ruangan dan deru kendaraan di jalan raya membuat peneliti sedikit kesulitan untuk mendengarkan dengan jelas apa yang disampaikan responden. Agar peneliti dapat mendengar dengan jelas apa yang disampaikan responden, peneliti harus sedikit mencondongkan tubuh ke arah responden.

2). Wawancara II Wawancara II dilakukan di teras rumah tetangga responden yang berada tidak jauh dari rumah responden. Teras rumah tetangga responden ini berukuran ± 4x1,5 meter. Di teras tersebut terdapat sebuah kursi kayu sepanjang 2 meter yang disandarkan ke dinding rumah. Antara teras dan jalan di depannya terdapat sebuah pagar tembok setinggi ±0,75 meter. Pada pertemuan ini, responden menggunakan rok dan jilbab biru tua dengan baju biru bercorak bunga-bunga merah muda. Responden duduk di pagar tembok di samping kanan penelit dengan menghadap ke rumah. Responden dan peneliti mengatur posisi tubuh sehingga responden dan peneliti dapat saling berhadapan. Selama wawancara, agar tidak terlalu lelah karena posisi duduk yang kaku, sesekali responden memutar tubuhnya ke depan, kemudian memutarnya kembali ke arah peneliti. Responden terkadang juga melihat ke arah kendaraan dan penduduk yang lewat di jalan di depan rumah sambil memandangi peneliti dan responden yang sedang melakukan wawancara. Seperti wawancara sebelumnya, Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dijawab responden dengan lancar dan sesekali disertai dengan gerakan tangan saat ia berbicara. Tidak ada hal khusu yang menghambat jalannya wawancara, namun wawancara sempat terhenti ketika suami responden mendatangai responden untuk saling menukar sandal yang mereka gunakan. Setelah itu wawancara dapat dilanjutkan kembali.

b. Rangkuman Hasil Wawancara Responden bernama Asdiana. Responden adalah seorang Dosen di Universitas X, di Kabupaten Aceh Tengah. Selain berprofesi sebagai dosen, responden juga merupakan seorang Wilayatul Hisbah (WH) yang ditempatkan di Kecamatan Pegasing sejak April 2006. Awalnya, setelah tamat kuliah, responden mengikuti tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil), namun karena tidak lulus, responden mengikuti tes untuk pegawai kontrak Wilayatul Hisbah yang di buka oleh Dinas Syariat Islam. Saat itu responden tidak mengetahui sama sekali mengenai WH, responden mengikuti tes tersebut karena merasa sesuai dengan latar belakang pendidikannya, yaitu Jurusan Tarbiyah. Setelah lulus menjadi WH, barulah responden memahami tugas dan kewajiban WH, sehingga responden semakin termotivasi untuk bekerja karena ingin beramal dan ingin menyalurkan ilmu yang telah didapatkannya kepada masyarakat. Responden kemudian melaksanakan tugasnya untuk membina, mengawasi, dan mengadvokasi masyarakat yang melanggar Qanun yang telah diatur. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Responden berharap tugasnya tidak akan terlalu berat karena responden menilai religiusitas masyarakat desa masih lebih baik dibandingkan dengan masyarakat kota. Selain itu, responden juga berharap para aparatur desa dapat membantunya menjalankan tugas. Namun, setelah turun ke lapangan responden tidak mendapatkan apa yang diharapkan. Masyarakat yang dinilai religi ternyata masih memberikan tanggapan negatif terhadap responden karena masyarakat lebih berpegang pada budaya dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Budaya dan kebiasaan masyarakat ini kemudian menjadi beban yang mempengaruhi kinerja responden sebagai WH. Beban lain yang responden rasakan adalah berupa minimnya gaji yang diterima dibandingkan dengan beban kerja yang harus dilaksanakan. Gaji yang responden terima masih jauh di bawah UMR (Upah Minimun Rata-rata). Kebijakan pemerintah berupa administrasi pekerjaan, fasilitas yang diberikan dan jaminan keamanan yang masih minim diberikan oleh pemerintah juga dinilai sebagai beban yang dapat menghambat kinerja responden. Menghadapai beban permasalahannya ini, responden mencoba untuk tetap bersabar, ikhlas menghadapi segala beban pekerjaannya, dan memandang dari sisi positif bahwa WH merupakan pekerjaan amal yang akan mendapatkan banyak pahala, sehingga responden tetap bertahan menjadi WH. Walapun demikian, responden juga memiliki keinginan untuk pindah menjadi WH yang ditempatkan di Kabupaten bahkan keluar dari WH dengan mengikuti tes CPNS lagi.

c. Sumber stres, Appraisal dan Coping Stres Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Awalnya, responden termotivasi menjadi WH karena sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Selain itu, responden juga ingin menyalurkan ilmu yang didapatkannya kepada masyarakat. Namun, selama menjalankan tugas, harapan responden untuk mewujudkan syariat Islam terkendala karena kurangnya dukungan pemerintah terhadap WH. Responden merasa pemerintah lebih memihak kepada pelanggar, apalagi pemerintah juga banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Qanun. “Mungkin kalau di Aceh lain, itu PEMDA-nya sangat mendukung kali kerja WH, nah kalau di kita itulah yang kurang,” (R1.W1.b.555-557.h.10) “kalau tugasnya ya..ya udah, cuma aplikasinya yang masih kurang kan, karena mungkin kurang dukungan” (R1.W1.b.579-581.h.11) “kadang-kadang WH di luar dinas, nah ternyata ada tanggapan yang negatif dari masyarakat, sehingga terjadi hal-hal yang seperti itu, nah itu kadangkadang kalau pemimpin yang bertanggung jawab dia akan menyelesaikan tapi ada memang pemimpin yang kurang sehingga masyarakat yang mengadukan pada pihak yang berwajib. Seharusnya kalau pemimpin kita tegas, hal itu tidak akan terjadi.” (R1.W1.b.354-361.h.8) Kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap kurang mendukung kinerja WH juga dianggap sebagai kendala oleh responden. Hak yang terlalu sedikit yang mengakibatkan responden tidak bisa menangkap pelanggar, jenjang kenaikan karir yang tidak disediakan pemerintah bagi WH yang berstatus tenaga kontrak dan masalah administrasi pekerjaan berupa keharusan menggunakan SPJ (Surat Perintah Jalan) jika akan melaksanakan tugas telah menghambat kinerja responden sebagai WH. Responden merasa terlalu dikekang oleh aturan-aturan ini sehingga sulit untuk melaksanakan tugasnya secara maksimal. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“Kalau kendalanya ya, kalau di lapangan mungkin, kalau kita sendiri, kalau semisalnya kita ketemu orang yang apa, gak ada payung hukumnya kalau tidak ada SPJ” (R1.W1.b.215-218.h.5) “misalnya kalau ke lapangan harus ada SPJ nya, kalau gak ada itu kita gak berani, paling kita beraninya secara fardiyah itu tadi” (R1.W1.b.201-204.h.18) “pernah dulu ya kan dek, sosialisai Qanun, seperti itu, itupun harus ada SPJ” (R1.W1.b.216-218.h.18) “jadi kan kita seperti buah simalakama, kerja sedikit turun ke lapangan harus ada SPJ, kalau gak ada ya gak bisa, ni kita naik honda keliling keliling, kalau ada orang yang melanggar paling kita tegur” (R1.W1.b.256-261.h.19) “Sejauh ni udah 3 tahun ni kita gak ada protes, mau gaji kayak tu mau gaji kayak ni, mau yang gak ada naik jabatan, yang namanya kontrak kita kerja dengan pemerintah ya kan? di samping kita memenuhi ma’isyah (pendapatan) keluarga ya kita juga harus bekerja sesuai dengan apa kita kan..kapasitas yang kita punya, kayak gitu, sebenarnya kita gak ngaruh, cuma kita kalau ada tes pegawai negeri kita ikut, kayak gitu” (R1.W1.b.336-342.h.16)

Responden juga merasa terkendala oleh dana operasional yang tidak diberikan pemerintah. Dana operasional yang tidak diberikan pemerintah terhadap WH kecamatan membuat responden harus menggunakan dana pribadinya dalam menjalankan tugas. Hal ini membuat responden merasa kesal karena ketiadaan dana operasional dinilai tidak sebanding dengan beratnya beban pekerjaan yang harus dilaksanakan. Kendala dana ini kemudian menyulitkan responden untuk menjalankan tugasnya, melakukan pengawasan dan pembinaan di desa-desa yang terletak di pedalaman. “Sebenarnya kalau masalah ya....kalau secara apa gak inilah gak terlalu apa...masalahnya mungkin apa namanya...yang pertama masalah dana,” (R1.W1.b.192-195.h.4) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“pernah dulu kita mengisi pengajian di desanya tiap hari jumat, di Tebuk, daerah Pedekok, tapi kan itu menyangkut juga transportasi kan perlu dana, nah kalau misalnya kalau pemerintah mengatakan ini dana transportasi sekian, jadi kita kan bisa pergi ke mana-mana karena ada uang transportasi, kalau uang kita pribadi kan paling yang dekat-dekat ni cuma bisa kita jangkau, kalau yang jauh-jauh kan kita perlu dana” (R1.W1.b.228-238.h.19) “kalau di kota kalau mau keliling bisa pakek mobil dinas, kalau di kecamatan pake tranportasi pribadi, nah kalau semisalnya kita gak punya kendaraan pribadi gimana, jalan sekemampuan kita lah, kan gak bisa jauh-jauh kita jalan ke pelosok-pelosok gak bisa, kalau di kota kalau mau turun ke lapangan ada kendaraan, kita turunnya rame-rame, jadi masyarakat inilah kan, segan dia..” (R1.W2.b.282-291.h.20) “Misalnya kan di Pegasing itu kan ada yang namanya Blang Bebangka, banyak tempat-tempat berkhalwat, cuman kalau kita kurang dana, kalau misalnya gaji kita cuma 700 gitu kan, sementara kerjaan kita berat, kita gak ada uang minyak gak ada segala macam, artinya gara-gara itu mungkin kerjaan WH itu tersendat,” (R1.W1.b.195-202.h.5) Kondisi buruk yang pernah dialami oleh WH lain karena kurangnya dukungan pemerintah membuat responden trauma dalam menjalankan tugas. Dimana dua tahun yang lalu, salah seorang anggota WH yang ditempatkan di desa pernah menangkap pelaku khalwat. Namun, ketika di serahkan kepada pihak kepolisian, pihak kepolisian justru menyalahkan WH tersebut hingga menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara selama 3 bulan tanpa ada yang membela. Hal ini sempat membuat responden apatis dan berencana untuk tidak melaksanakan tugas. “ada yang bahkan yang masuk ke sel, penjara, 3 bulan tanpa ada yang membela, nah kalau di polisi tu bukan khalwat nya yang di angkat, tapi kekerasannya, seharusnya kan khalwat tu, perbuatan mesum tu yang diangkat ke permukaan, ini bukan, karena kekerasan, banyak, gara-gara itu mungkin para anggota WH trauma” (R1.W1.b.257-264.h.6) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“Waktu pertama-tama kawan kita tu kenak seperti itu kita trauma betul, alah gak usah lagi apa segala macam” (R1.W1.b.263-265.h.8)

Responden juga seringkali merasa kesal dengan pemerintah yang tidak menindak pelanggar yang telah diajukan WH. Ketika responden mengusulkan pemberian cambuk terhadap seorang pelanggar, namun ternyata setelah sampai di kepolisian pelanggar tersebut dibebaskan. Hal ini semakin meyakinkan responden bahwa di tubuh aparat sendiri terdapat oknum yang dapat menghambat kinerja responden, dan responden juga sangat

menyayangkan hukum yang hanya

ditegakkan kepada orang kecil. “kita hanya eng.. membina, mengawasi dan mengadvokasi, kemudian kalau terlalu sulit kita laporkan ke polisi, tinggal polisi lagi, makanya kadang sekarang gak da lagi cambuk, sebenarnya kalau di lakukan cambuk, banyak orang yang udah kena cambuk, dulu pernah kita laporkan, nah sampai di kantor polisi, kan wewenag orang tu lagi” (R1.W1.b.517-525.h.11) “tu udah banyak orang-orang yang melanggar qanun itu udah banyak yang kita ajukan ke polisi, tinggal mereka lagi, mereka yang berkomunikasi dengan kejaksaan, mereka yang ee....berkomunikasi dengan pengadilan” (R1.W1.b.534-537.h.11) “kayak kemaren kasus Jon, gitu ya, Jon yang terbukti khamar, yang di pasar impres tu, tu dah besar kali kasusnya tu, itulah sampai sekarang gak terungkap lagi, kalau kemaren tu udah dapat, sekian-sekian botol apa miras tu kan, tu udah kita ajukan ke polisi, ternyata mereka dekingannya kuat, mungkin orangorang dalam, sehingga tidak terexpos lagi kan, udah diam” (R1.W1.b.544-552.h.12) Untuk menghadapi kendala dari kebijakan pemerintah, responden berusaha untuk mengajukannya kepada pemerintah. Namun setelah diajukan, responden

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

merasa tidak ada perkembangan apa-apa, sehingga responden memutuskan untuk menunggu saja kebijakan yang akan dilakukan pemerintah. “Kita hanya menunggu yang pemimpin kita, kita sudah pernah ajukan misalnya kalau rapat” (R1.W1.b.490-491.h.11) “Itu memang udah kita usulkan, bahkan kemaren isunya WH itu... apa.... ee....apa... akan latihan memegang senjata, kemudian baris berbaris apa segala macam” (R1.W1.b.601-604.h.13) Awalnya, responden merasa sangat cocok dengan atasannya, yaitu Dinas Syariat Islam. Namun, ketika atasan WH dipindahkan ke Satpol PP, responden merasa sulit untuk bekerja sama dengan atasannya karena responden merasa kurang cocok dengan atasannya sekarang. Responden merasa WH dan Satpol PP itu bertolak belakang. Apalagi pelanggaran Qanun juga ditemukan pada pemerintah. Namun responden tidak terlalu memperhatikan hal ini, responden berprinsip apapun yang terjadi, responden tetap melakukan apa yang menurutnya benar. “kalau dulu WH ni kan di bawah Dinas Syariat Islam dia, jadi kan matching (sesuai) dia dengan WH ni, kalau sekarang kan udah di bawah satpol PP, kalau syariat Islam dengan satpol PP itu berbanding terbalik kalau kakak pikir kan, wallahu a’lam lah pemerintah kita kenapa di pindah ke satpol PP, kalau dulu kan Dinas Syariat Islam, jadi apa yang kita kerjakan kan nyambung, bisa kita kerja sama, kalau sekarang satpol PP tu pun gak tau Qanun” (R1.W2.b.242-247.h.19) “Satpol PP dengan WH ni kan bertolak belakang, sepertinya kurang sinkron dengan WH, jadi kita yang penting kepada diri pribadi, mau kita mencari pahala silahkan, kalau enggak ya udah, seperti itu” (R1.W2.b.210-215.h.18)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“kendalanya seperti orang makan buah simalakama, gak dikerjakan mati ibu, dikerjakan mati bapak, karena kan kasus yang ada di dalam Qanun tu ternyata banyak di pejabat-pejabat kita” (R1.W1.b.505-511.h.11) ” mereka pun setengah-setengah, kalau itulah buah simalakama tadi, kayak iya, kayak enggak, karena banyak pejabat-pejabat kita yang melakukan halhal seperti itukan” (R1.W1.b.511-514.h.11)

Selain itu, responden juga mengalami masalah dengan jaminan keamanan yang kurang maksimal diberikan pemerintah. Responden merasa takut jika razia ke daerah yang terpencil yang masih sunyi penduduknya, karena responden merasa ada kemungkinan masyarakat yang protes terhadap teguran WH akan melakukan tindakan brutal yang kemudian tidak mendapatkan pembelaan dari pemerintah. Namun responden tetap berharap tidak akan pernah mendapatkan perlakuan buruk dari masyarakat. “kalau secara terang-terangan apa kita juga kurang ada keberanian, karena ketika terjadi masalah ke kita juga tidak ada yang bisa menanggung jawabi” (R1.W2.b.204-208.h.18) “jadi kalau kita ada kawan lebih kurang minimal 3 atau 4 orang, bisa kita menegurnya, kalau kita sendiri atau berdua perempuan dengan perempuan, kan kita gak tau laki-laki, mereka mungkin bawa kawan atau segala macam, nah itu yang kita takutkan sehingga kadang-kadang kita gara-gara itu gak ini, gak terjun ke lapangan secara detail, kita cuma keliling ke kampung, kita cuma menegur secara biasa,” (R1.W1.b.234-241.h.5) “mungkin kadang-kadang yang berkhalwat tu mungkin polisi atau tentara, nah ketika kita katakan, pak jangan ng.... mereka ada perlawanan, nah kalau kita gak kuat mental kan kita jadinya ini takut, gitu.” (R1.W1.b.247-252.h.6) “nah kalau kita menegur orang trus orang gak terima itu bisa berefek ke kita” (R1.W2.b.198-200.h.18) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“mudah-mudahan janganlah ya kena kondisi buruk itu..” (R1.W1.b.379-380.h.7) Hal ini membuat responden harus mengecek dulu kondisi lapangan, jika lapangan serasa membahayakan, maka responden memutuskan untuk tidak turun razia, tetapi jika lapangan serasa tidak membahayakan, responden baru turun ke lapangan untuk melakukan razia. “kalau kendala yang berarti kan kita pun lihat situasi dan kondisi kalau ini membahayakan ya kita gak datang, kalau ini gak membahayakan ya kita jalani” (R1.W1.b.294-298.h.7) Responden beranggapan bahwa jika masyarakat ditegur dengan cara yang kasar dan keras, masyarakat akan melakukan tindakan brutal yang bisa saja mengancam keselamatan responden. Responden juga menilai bahwa para pemuda akan senang dan tidak akan marah jika ditegur dengan cara yang lembut. Sehingga, untuk menghindari perilaku kekerasan dari masyarakat, responden memilih untuk memberikan teguran dengan cara yang halus dan lembut. “nantikan orang tu, tapi mudah-mudahan enggak, pernah nanti orang tu kan kompak, kalau mereka mengeroyok kita apa segala macam kan nah itu kan menyangkut keselamatan kan, makanya kami secara fardiyah aja” (R1.W2.b.223-228.h.19) “kakak tidak menegur mereka dengan kekerasan” (R1.W2.b.268-269.h.19) “Hal ini paling sering kita hanya menasehati saja” (R1.W2.b.385-386.h.22) “Ya, kita harus melakukannya dengan cara yang baik-baik gitu, kalau kita mau mensosialisasikan Qanun maka kita mensosialisasikannya dengan kelembutan, gitu, sesuai dengan kapasitas kita” (R1.W2.b.364-368.h.21)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“apalagi kalau kita yang perempuan kalau pemuda pemuda suka dia kan, maksudnya senang dia dengan lembut-lembut, gak ada “Win! pulang!” gak ada kayak gitu, lembut-lembut kita….” (R1.W2.b.387-391.h.22) Selain merasa kurang mendapat dukungan dari pemerintah, responden juga merasa kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Masyarakat seringkali memberikan protes saat ditegur karena masyarakat masih lebih percaya terhadap ajaran leluhur yang kurang sesuai dengan agama Islam. Rasa kesal yang dialami responden karena masyarakat tidak menerima pengarahan yang diberikan WH ini semakin bertambah ketika masyarakat selalu menyalahkan WH jika terjadi kemaksiatan. Kondisi ini dinilai oleh responden sangat bertolak belakang dengan harapan responden untuk mendapat dukungan dari masyarakat. “kan kadang-kadang massa tu gak terima dengan perlakuan WH, “apa di urus, masalah jilbab kan kami dengan Tuhan, masalah sholat kan kami dengan Tuhan”, kan seperti itu” (R1.W1.b.221-225.h.5) “ada yang memang mereka merasa seolah-oleh merasa di atur, kalau kita bilang secara kasar ngapain di urus,” (R1.W2.b.19-21.h.14) “kayak kemaren tu kakak lewat di Pegasing, pagi-pagi Ibu tu duduk dia di depan rumahnya cari kutu, gak pake jilbab, atau sambil gendong anak nyusukan anak nampak auratnya, berhenti di situ, ada yang memandang kita sinis” (R1.W2.b.134-140.h.17) “kalau masyarakat kita ni orangnya gimana ya, masih percaya kepada leluhur-leluhur dari zaman-zaman, jadi mereka belum punya ilmu kalau ini tidak boleh kalau ini tidak boleh” (R1.W2.b.189-193.h.18) “….sehingga masyarakat kadang-kadang tidak mendengar apa yang kita bilang, tapi masyarakat kalau terjadi kemaksiatan sikit-sikit WH, sikit-sikit WH…” (R1.W2.b.298-301.h.20) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“jadi harapan kakak tu, di dalam kita bertugas, terutama di Pegasing tu kan masyarakat mendukung penuh kerja WH, artinya tidak memandang sebelah mata” (R1.W2.b.652-656.h.14) Menghadapi respon negatif dan protes yang diberikan masyarakat, responden terkadang merasa marah, kesal, geram, jengkel dan kecewa. Namun responden tetap bersabar dan menganggapnya sebagai konsekuensi tugas. Responden menganggap bahwa WH adalah guru pendidik, sehingga harus dewasa dan bersabar menghadapi perlakuan masyarakat. “Ya jelasnya kecewalah, masyarakatnya seperti itu kan” (R1.W1.b.404-405.h.9) “Ya merasa bersalah dek, itu jelas dek” (R1.W1.b.166.h.17) “Pernah secara manusiawi kita kan, kita juga, tapi kita harus memang menegur” (R1.W1.b.432-433.h.9) “ada memang hal-hal semacam itu, lagi kita nasehati dia diem, main hp, apa segala macam, banyak tingkah masyarakat tu kan, tinggal kita lagi harus dewasa menanggapinya” (R1.W1.b.447-451.h.10) “tapi kita harus memang menegur, jadi penasehat pendidik, pendidik itu kan mesti sabar” (R1.W1.b.432-435.h.9) “jadi WH itu kan ternyata guru atau pendidik, orang yang eng....menegakkan amar makruf nahi mungkar itu kan adalah seorang pendidik atau guru, nah guru itu harus bersikap ikhlas, harus sabar” (R1.W1.b.473-478.h.10) Respon negatif yang diberikan masyarakat membuat responden beristighfar dan berdoa agar masyarakat mau membukakan hatinya untuk mendengarkan apa yang disampaikan responden. Selain itu responden juga menginstrospeksi diri, Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

mencoba melihat kesalahan yang mungkin saja dilakukannya sehingga masyarakat memperlihatkan perubahan yang minim. Responden beranggapan bahwa mungkin saja hal ini disebabkan oleh penyampaian responden yang tidak dilakukan dengan hati. Responden juga menilai bahwa keluarganya saja yang setiap hari dijumpainya belum mampu menjalankan arahan responden untuk melaksanakan syariat Islam, apalagi orang lain yang tidak setiap hari menghabiskan wahtu bersama responden. “Ya, sekurang-kurangnya istighfarlah, astaghfirullah, kayak gitu kan” (R1.W1.b.454-455.h.10) “Ya minimal berdoa “ya Allah mudah-mudahan mereka membukakan pintu hatinya, mereka dengar apa yang kita sampaikan” (R1.W2.b.304-309.h.20) “Ya, itu kan masalah bagi kita kan, misalnya adek-adek atau ibu-ibu yang kita bina masih aja kayak gitu, trus kita introspeksi diri, berarti apanya lah yang dari kita kurang, sehingga masyarakat kadang-kadang tidak mendengar apa yang kita bilang” (R1.W2.b.294-299.h.20) “mungkin kakak pribadi mungkin menyampaikannya bukan dari hati mungkin, ya kan, sehingga masyarakat kayak gitu, kalau keluarga aja yang tiap hari liat kita belum lagi tersentuh, apalagi orang lain yang jauh dari kita” (R1.W2.b.173-178.h.18) Responden juga pernah langsung memperlihatkan ayat Al-quran yang mewajibkan muslimah untuk berjilbab agar masyarakat tidak lagi memberikan protes. Namun ketika hal ini belum memperlihatkan perubahan yang berarti, responden merasa tidak mampu melakukan apa-apa lagi, sehingga respondne memilih untuk diam saja dan bersabar. Responden menilai bahwa responden telah berusaha melaksanakan tugas dengan maksimal, sehingga bagaimana pun kondisi

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

masyarakat responden menyerahkan kembali kepada masyarakat tersebut. Kondisi ini juga terkadang membuat responden merasa malas untuk melaksanakan tugas. “kita bawa terus Al-Quran surat sekian..kita kasih sama mereka sehingga mereka terdiam” (R1.W1.b.395-397.h.9) “sekarang intinya apa yang mampu kita kerjakan di dalam melaksanakan tugas WH itu, mampu mengawasi, mampu mengisi pengajian, itu yang udah kita niatkan untuk kerjaan WH” (R1.W1.b.210-214.h.5) “yang penting kita selalu menyampaikan, terserah perkara orang terima atau tidak ya terserah mereka” (R1.W1.b.179-181.h.18) “Kalau datang itu nya mau kayak gitu ya kan dek, misalnya “halah kayak mana ini, ah ya udahlah yang penting kita udah menjalankan tugas, mau dengar ya terserah, mau enggak ya udah” kayak gitu, pernah juga ya kan, manusiawi lah kalau hal-hal semacam itu” (R1.W2.b.309-314.h.20) Menghadapi kendala yang dialainya dari masyarakat, responden juga sering mencoba berbagi dengan teman-temannya sesama WH yang ditempatkan di desa. Mencoba untuk mengetahui beban yang dialami oleh rekan-rekannya dan mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Dukungan dan penguatan yang diberikan teman-teman responden membuat responden tetap bertahan dan tetap berusaha untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. “Dengan kawan-kawan sesama WH kecamatan yang lain, sharing (berbagi) lah gitu kan, jadi mereka bilang “oh, gak di Pegasing aja masalahnya kayak gitu, semua kecamatan, jadi kita pande-pande aja” (R1.W2.b.272-276.h.19) Untuk mengurangi beratnya beban tugas membina masyarakat, responden menyiapkan rencana untuk selalu melakukan pendekatan kepada masyarakat khususnya kepada kaum ibu, dengan harapan bahwa ibu-ibu yang menjadi Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

pendidik di dalam keluarga akan mampu mendidik keluarganya agar selalu menjalankan syariat Islam. ”Kakak juga punya planning-lah untuk dekat terus dengan masyarakat, minimal kan dengan ibu-ibunya, karena ibu-ibu lebih berperan penting dalam keluarga” (R1.W2.b.395-398.h.22) Untuk masalah-masalah ringan seperti khalwat atau busana muslim, responden berusaha menyelesaikannya sendiri, tetapi jika masalahnya dinilai agak berat seperti mesum, maka responden akan meminta bantuan dari aparat kampong dan orang tua pelaku agar masalah ini diselesaikan secara adat. Responden kemudian berusaha untuk menjaga agar kasus yang berat ini tidak tersebar luar ke masyarakat lain. “mm…tergantung masalahnya, kalau berat masalahnya ya kita adukan ke yang lebih tinggi, kalau masalahnya masih bisa kita atasi ya no problem gitu” (R1.W2.b.349-352.h.21) “rata-rata kalau kasus yang berat kita panggil kepala desa, pak geuchik atau orang tuanya, kita selesaikan secara adat, kita tidak expose ke luar” (R1.W1.b.413-416.h.9) “tapi kalau hanya sekedar berdua-duaan, berkhalwat tanpa ini ya kita bubar aja..kita larang kayak gitu orang tu bubar terus walaupun nanti dia balik lagi ke situ kan kita gak tau lagi kan, yang penting kita sudah bekerja..” (R1.W1.b.421-426.h.9) Jika responden merasa jalan keluar yang dilakukannya berhasil, maka ke depan responden akan melakukan jalan keluar yang sama. “nanti besok-besok kita kalau hal ini berhasil, orang tu gak melawan, apa segala macam besok-besok hal seperti itu yang sama kita lakukan lagi” (R1.W1.b.468-471.h.10) Selain mendapatkan respon negatif, responden juga mendapatkan respon positif dari masyarakat. Respon positif ini kemudian menjadi penguat bagi Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

responden untuk menjalankan tugas, sehingga responden menjadi tetap bersemangat dan bertanggung jawab dalam bekerja. “itu yang membuat kita bersemangat untuk bekerja, karena mereka merespon apa yang kita bilang” (R1.W2.b.22-24.h.15) “pahit manisnya adalah ya, itulah yang membuat kita semakin itu kan, menjalankan tugas penuh tanggung jawab…” (R1.W2.b.29-31.h.15) “cuma sukses atau tidaknya kita kerja, biar ke depan kita lebih ini kan, meningkatkan kinerja” (R1.W2.b.324-326.h.20) Memandang beratnya beban pekerjaannya, responden mencoba untuk ikhlas dan lebih memandang sisi positifnya saja. Responden menganggap bahwa bekerja sebagai WH akan mendapatkan banyak pahala. Namun, responden juga pernah berniat untuk menjadi WH Kabupaten, karena responden menilai WH yang ditempatkan di kabupaten memiliki beban yang lebih ringan dari pada WH Kecamatan, dimana wilayah tugas WH kabupaten berada lebih dekat dengan rumah responden dan WH kabupaten diberi fasilitas yang lebih lengkap. “Cuma kita ikhlas beramal aja, walaupun gajinya minim, kan di bawah target minimum, target minimumnya kan 8,5, semua karyawan, kita di bawah target minimum, walaupun itu dari PEMDA setempat, di bawah” (R1.W1.b.480-483.h.10) “kalau kita lihat-lihat memang pekerjaan WH tu berat, cuma di sisi lain banyak pahala” (R1.W2.b.331-333.h.21) “Pernah, selain dekat dengan rumah, juga enak gitu, kalau mau razia kelilingkeliling ada transportasi, kan WH tu seyogyanya dari pemerintah ada 2 motor, 1 mobil dinas, kalau di kota kalau mau keliling bisa pakek mobil dinas, kalau di kecamatan pake tranportasi pribadi” (R1.W2.b.279-285.h.20) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“sebenarnya kita gak ngaruh, cuma kita kalau ada tes pegawai negeri kita ikut” (R1.W2.b.343-345.h.21)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Tabel 3. Sumber Stres, Appraisal, dan Coping Stres Responden I No 1

Sumber Stress Job Complexity a. physical danger

b. decision making, responsibility, and stress

Appraisal

Ketakutan terhadap Dinilai sebagai bahaya tindakan brutal yang yang akan mengancam akan dilakukan keselamatan fisiknya. masyarakat

Coping Stres Emotional Focus Problem Focus

a. Merasa kurang sinkron Menganggap sebagai beban Merasa tidak dengan atasan. Atasan yang dapat menghambat melakukan apa-apa dinilai memiliki cara kinerjanya. memimpin yang keras, sementara WH bekerja dengan cara yang lembut. b. Atasan kurang mendukung kinerja WH c. Atasan tidak memahami Qanun. d. Atasan tidak

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

a. Tidak terjun ke lapangan jika kondisi dirasa membahayakan b. Memberikan teguran dengan cara yang lembut c. Merazia secara fardiyah (pendekatan personal) saja.

-

mampu

Membiarkan pimpinan melakukan apa yang dilakukannya dan tetap melakukan hal yang dianggap benar,

menindaklanjuti pelanggar yang telah ditangkap WH e. Atasan juga banyak terlibat kasus pelanggaran Qanun

c.work overload

d. organizational structure and development

Merasa pekerjaannya berat

beban sangat Menerima sebagai konsekuensi pekerjaan

a. Merasa hak dan kewajibannya kurang. WH tidak berhak Menerima sebagai menagkap pelanggar konsekuensi pekerjaan yang kedapatan melakukan pelanggaran Qanun. b. Merasa ribet dengan administrasi yang memerlukan SPJ jika akan turun ke lapangan

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

a. Mencari sisi positif, dengan menganggap bahwa walaupun tugas WH berat, namun memiliki banyak pahala. b.Sharing dengan rekanrekan sesama WH kecamatan. -

Menyiapkan rencana untuk melakukan pendekatan personal terhadap masyarakat khususnya kaum ibu.

a. Jika dilaksanakan rapat dengan atasan, responden mengajukan tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH. b. Jika tidak ada SPJ, responden melakukan tugas secara fardiyah (pendekatan personal) saja.

-

-

Role ambiguity

1. Masyarakat kurang Menganggap mendukung kinerja beban. WH. 2. Masyarakat kurang menghargai WH 3. Masyarakat protes terhadap teguran WH 4. Masyarakat selalu menyalahkan WH

2.

Interpersonal stress

sebagai Sharing dengan rekan-rekan sesama WH kecamatan, bersabar, ikhlas,

3.

Career development

Merasa karir di WH tidak Menerima sebagai bisa meningkat konsekuensi pekerjaan

4.

Dana

1. Merasa gaji yang Menganggap diberikan tidak sesuai beban. dengan beban kerjanya. Gaji yang diterima masih di bawah UMR (Upah Minimum Rata-rata) 2. Tidak diberikan dana transportasi oleh pemerintah untuk melakukan

sebagai Menganggap untuk amal.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

pekerjaannya

a. Menunjukkan ayat AlQuran untuk meyakinkan masyarakat b. Menegur masyarakat dengan lembut c. Melakukan razia secara fardiyah saja.

Mengikuti tes CPNS agar bisa mendapatkan pekerjaan lain yang memiliki jenjang kenaikan karir. a. Mengajukan tuntutan penambahan gaji kepada atasan b. Melaksanakan tugas ke daerah-daerah yang dapat dijangkau saja.

pengawasan daerah-daerah .

ke

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

2. Responden II a. Hasil Observasi 1). Wawancara I Wawancara I dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2009. Awalnya, peneliti hendak mengkonfirmasi kesediaan responden untuk melakukan wawancara di hari tersebut sesuai dengan jadwal yang telah disepakati sebelumnya, namun pada kesempatan ini, responden tidak mengizinkan peneliti untuk datang ke rumah responden dengan alasan rumah responden terlalu jauh ke pelosok dan responden tidak mau merepotkan peneliti. Setelah disampaikan kesediaan peneliti untuk datang ke rumah responden, responden tetap tidak mengizinkan dan meminta wawancara dilakukan melalui telepon saja. Untuk menghargai responden, peneliti kemudian menyetujui proses wawancara dilakukan melalui telepon saja. Pada awal wawancara, peneliti mendengar gurauan-gurauan yang diberikan oleh suami responden kepada responden yang mengakibatkan proses wawancara sedikit tersendat. Responden kemudian berusaha menenangkan suaminya sehingga gurauan tersebut tidak kedengaran lagi, dan wawancara kemudian berjalan dengan lancar. Secara garis besar, pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan dijawab responden dengan singkat.

Hal ini sedikit menyulitkan peneliti untuk

mengelaborasi jawaban-jawaban responden. Karena wawancara dilakukan melalui telepon, peneliti tidak dapat melihat ekspresi dan gerakan tubuh responden, namun peneliti berusaha untuk mendengarkan dengan baik-baik bagaimana intonasi suara responden. Saat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai beban Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

pekerjaannya, responden cenderung menjawab dengan intonasi suara yang tinggi, terkesan responden sedang memendam perasaan marah. Ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai kebijakan pemerintah, responden cenderung menurunkan intonasi suaranya, sehingga kedengaran seperti orang yang putus asa.

2). Wawancara II Wawancara II dilakukan di rumah saudara responden di daerah pasar Takengon. Rumah saudara responden ini merupakan sebuah ruko yang kemudian direnovasi menjadi sebuah rumah sederhana tanpa teras. Rumah ini berbentuk balok dengan panjang sekitar 30 meter dan lebar sekitar 3,5 meter. Pada sisi kiri bagian depan rumah, terdapat sebuah pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan jalan berlantai tembok di luarnya. Ruang tamu tersebut berukuran 3,5x3,5 meter dengan 2 (dua) sofa coklat yang disusun menjadi bentuk segi di sudut kanan ruangan. Di depan kedua sofa tersebut diletakkan sebuah meja kayu dengan sebuah vas bunga kecil diatasnya. Di dinding belakang ruang tamu, diletakkan sebuah televisi. Selain memiliki ruang tamu, rumah tersebut juga memiliki 2 kamar tidur, 1 dapur dan 1 kamar mandi yang tersusun memanjang ke belakang. Pada pertemuan ini, responden yang memiliki tinggi badan sekitar 150 cm dan berat sekitar 60 kg ini mengenakan sarung coklat bermotif kotak-kotak dengan baju daster lengan pendek berwarna merah bercorak bunga-bunga. Responden memiliki bentuk wajah bulat dan kulit hitam manis, terlihat cantik dengan jilbab coklat muda yang dikenakannya. Responden terlihat sangat ramah dan humoris walaupun masih belum terlalu lama mengenal peneliti. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Wawancara dilakukan di ruang tamu, dimana responden duduk di samping kanan peneliti. Selama proses wawancara, responden duduk bersandar ke sisi belakang kursi dan menekuk kaki kirinya ke bawah lutut kanannya. Tidak seperti wawancara sebelumnya, pada wawancara kali ini pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan dijawab responden dengan lebih detail. Sekitar satu menit setelah wawancara di mulai, wawancara terhenti sejenak karena anak responden yang berumur 1,5 tahun terbangun dari tidurnya. Saat wawancara

dilanjutkan

kembali,

responden

mendudukkan

anaknya

di

pangkuannya. Hal ini sedikit mengganggu jalannya wawancara karena anak responden memaksa memegang alat perekam yang peneliti gunakan. Namun beberapa menit kemudian adik responden datang dan mengajak anak responden untuk bermain di ruang lain sehingga wawancara dapat dilanjutkan kembali. Selama wawancara berlangsung, responden yang awalnya menekukkan kaki kiri ke bawah lutut kanannya mengubah posisi kakinya hingga kedua kakinya menginjak lantai rumah, responden kemudian duduk sambil bersandar ke sisi belakang

kursi. Sesekali responden menegakkan tubuhnya dan sedikit

mencondongkan tubuhnya ke depan sambil memberi penekanan pada kata-kata yang diucapkannya dengan diiringi gerakan tangan.

3). Wawancara III Wawancara ketiga dilakukan di ruang santai di rumah responden. Ruang santai responden ini berbentuk ruangan lepas berukuran sekitar 3x2,5 meter tanpa

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

kursi, hanya terdapat sebuah TV di salah satu dinding dan sebuah kasur tanpa tempat tidur yang diletakkan memanjang di dinding di depan sisi kanan TV. Saat pertemuan ini, responden menggunakan sarung coklat bermotif kotakkotak dengan baju daster lengan pendek berwarna hijau muda, dan jilbab berwarna coklat muda. Responden ditemani oleh anaknya yang berusia 1,5 tahun. Responden dan peneliti duduk berhadapan dengan jarak sekitar satu meter di tengah ruangan. Pada awal wawancara dimulai, wawancara dapat berjalan dengan lancar. Pertanyaan-pertanyaan yang peneliti ajukan dijawab dengan santai dan lancar, walaupun sesekali sebelum menjawab responden terdiam sambil berfikir, melihat ke arah lantai dan bergumam pada dirinya sendiri dengan mengucapkan “ee…gimana tu ge (mm…gimana tu ya)”. Beberapa menit setelah wawancara berlangsung, wawancara terhenti sejenak karena anak responden yang sebelumnya bermain sendiri datang menghampiri responden dan meminta alat perekam yang dipegang oleh responden. Responden kemudian membujuk anak responden untuk kembali bermain sendiri dan memberikan sebuah pisang sebagai alternatif alat permainan agar anak responden tidak meminta alat perekam yang digunakan. Namun anak responden tidak mau bermain sendiri dan tetap berada di sekitar peneliti dan responden. Kemudian kami memutuskan untuk melanjutkan wawancara. Suara anak responden yang menyahut kata-kata yang didengarnya membuat peneliti sedikit kesulitan untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh responden.

Peneliti harus sedikit

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

mencondongkan badan kearah responden agar peneliti dapat mendengarkan dengan jelas apa yang disampaikan oleh responden.

b. Ringkasan Hasil Wawancara Responden bernama Novi (bukan nama sebenarnya). Responden menempuh pendidikan tingginya di Universitas X di Kota Padang-Sumatera Barat. Saat kuliah, responden merasakan nuansa islam yang sangat kuat di sana, sehingga responden ingin mewujudkannya juga di tempat kelahirannya, yaitu di Kabupaten Aceh Tengah. Setelah menamatkan kuliahnya, responden kembali ke Kabupaten Aceh Tengah dan mendaftar sebagai pegawai kontrak Wilayatul Hisbah. Responden benar-benar ingin mewujudkan harapannya yaitu menciptakan nuansa islami yang kuat. Namun harapan responden ini belum mampu direalisasikannya, karena

ternyata

responden

mendapatkan

berbagai kendala

yang

dapat

menghambat kinerjanya. Beberapa kendala yang dihadapi responden diantaranya adalah adanya perasaan kurang mampu bekerja sama dengan atasannya, kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah dan masyarakat, serta konflik yang dialaminya dengan rekan sekantornya. Responden merasa kurang mampu bekerja sama dengan atasannya, yaitu Satpol PP karena responden menganggap WH dan Satpol PP itu bertolak belakang, cara bekerja Satpol PP yang keras, arogan dan seperti militer dinilai bertolak belakang dengan cara kerja WH yang menggunakan perkataan dan dengan cara yang lembut. Apalagi responden menganggap bahwa dari segi pendidikan saja Satpol PP lebih rendah dibandingkan dengan WH. Untuk Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

menghadapi kendala ini responden hanya bersabar dan mendiamkannya, namun tetap berusaha melaksanakan tugasnya sebagai WH. Kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah terhadap WH dirasakan responden karena pemerintah kurang memberikan fasilitas yang maksimal terhadap WH. Kekuatan hukum, perlindungan dan gaji yang dirasa minim dinilai sebagai kendala yang menghambat kinerja responden. Para pelanggar yang telah ditangkap responden namun dilepaskan oleh pemerintah membuat responden merasa kesal dan jengkel. Hal ini dihadapi responden dengan mengajukan tuntutan akan pertambahan hak dan kewajiban WH, namun Karena belum juga mendapatkan tanggapan yang positif dari pemerintah, responden mencoba untuk bersabar saja, karena responden merasa tidak mampu melakukan apa-apa terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Kurangnya dukungan yang diberikan masyarakat dirasakan responden karena masyarakat seringkali memberikan protes terhadap nasihat-nasihat

yang

responden berikan. Masyarakat juga belum menunjukkan perubahan yang berarti walaupun telah seringkali dinasihati. Responden merasa marah, kesal dan jengkel terhadap masyarakat. Apalagi yang menjadi WH di wilayah tersebut hanya responden sendiri. Namun untuk menghadapi permasalahan tersebut responden hanya diam saja dan menyenangkan diri dengan beranggapan bawha yang penting responden telah melaksanakan tugas dengan maksimal, terserah bagaimanapun tanggapan masyarakat. Apalagi responden menilai bahwa untuk mengatur manusia itu tidaklah semudah mengatur benda mati.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Konflik yang dialami responden dengan rekan sekantornya juga seringkali membuat responden merasa malas untuk masuk ke kantor. Responden merasa jika hadir di kantor justru lebih banyak mudharat-nya, karena pembicaraan yang ada hanya seputar gosip saja. Namun responden mengesampingkan rasa malas ini jika responden memang diwajibkan untuk hadir di kantor. Beban yang dialami responden seringkali membuat responden merasa jenuh dan bosan, bahkan tidak jarang responden berfikir untuk keluar dari WH dan mencari pekerjaan lain, karena menurut responden, WH adalah pekerjaan yang paling berat di Aceh Tengah, karena WH harus berhadapan dengan mental.

c. Sumber stres, appraisal, dan coping stres Pada awalnya, responden sama sekali tidak mengetahui apa-apa mengenai WH. Setelah mengetahui tugas, kewajiban dan hak WH, responden kemudian termotivasi untuk menjadi WH karena responden ingin membantu terwujudnya syariat Islam di Aceh Tengah. Responden kemudian juga berencana untuk melaksanakan tugasnya dengan baik agar syariat Islam dapat tegak di Aceh Tengah. “Gak ada, cuma merazia yang kakak tau” (R2.W1.b.5-6.h.1) “Namanya kita apa ya, orang islam, pokoknya ingin membantu terwujudnya syariat Islam, itu cuman” (R2.W1.b.10-12.h.1) “Ya kakak sangat berkeinginan syariat Islam di sini bagus, berkeinginan sekurang-kurangnya orang tu khususnya ibu-ibunya lah kan, bisa dekat ke anak-anak, jadi kan agak terbantu dikit, sekurang-kurangnya bisalah dia ngayomi remajanya, suaminya,” Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

(R2.W3.b.122-123.h.14) “Selalu melaksanakan tugas dengan bagus lah kan, pokoknya dulu ya kayak mana biar syariat Islam di Aceh ni bagus gitu kan, kalau di Padang kan nuansa islamnya bagus, tapi kalau di Aceh ni kan kenapa nggak...” (R2.W1.b.17-22.h.1) Saat pertama kali menjadi WH, responden sangat berharap mampu bekerja maksimal untuk membantu mewujudkan syariat Islam di Aceh, namun keinginan ini tidak bisa diwujudkan ketika responden merasa tidak mampu bekerja sama dengan baik dengan atasannya, responden merasa kurang cocok dengan atasannya, yaitu Satpol PP. Responden memandang WH dan Satpol PP itu berbeda, dimana Satpol PP bekerja dengan menggunakan fisik, mendidik dengan cara militer, sementara WH bekerja dengan cara lemah lembut. Apalagi responden memandang tingkat pendidikan Satpol PP berada di bawah WH, sehingga terkadang responden juga mengalami konflik dengan atasannya. “Kalau konflik bentrokan fisik enggak lah, cuman konfliknya tersinggungtersinggung mungkin masalah sepele kan” (R2.W3.b.55-58.h.13) “bisa dibayangkan Satpol PP dan WH itu berbeda, kalau Satpol PP tu mungkin agak arogan, mereka tu mungkin menindak atau apa kan dengan fisik, kalau WH ni kan dengan perkataan perkataan, yah kalau dengan satpol PP yah kurang lebih kayak tentera lah cara didikannya kan, maunya kayak gini gini, kalau WH kan dengan lemah lembut” (R2.W2.b.84-92.h.6) “masak disamakan antara tamatan SMA dengan tamatan SI, itu pun kan berbeda” (R2.W2.b.97-100.h.5) “contohnya penulisan surat kayak gitu, kalau Satpol PP, yah…balik lagi ke masalah pendidikan kan, orang tu kan….ya…bikin suratnya tidak sesuai dengan EYD bisa jadi, yang namanya WH kan SI jadi semuanya tau, kayak gitu” (R2.W3.b.58-64.h.13) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Menghadapi perbedaan dengan atasannya, responden hanya bersabar terhadap apapun yang dikatakan atasannya, walaupun responden merasa kurang nyaman, karena responden merasa bahwa responden hanyalah bawahan yang tidak memiliki kekuasaan. “kalau untuk Satpol PP ya kakak jarang lah berhubungan sama mereka, cuman ya kakak orangnya ya terserah kalau orang tu ngomong apa, cuman kita kan enggak, gitu..” (R2.W2.b.151-156.h.7) “jadi Satpol PP, karena kita tinggal di kantornya, jadi kurang lebih mereka itu lebih menguasai, apalagi ketuanya dari orang itu…” (R2.W3.b.64-67.h.13) Responden juga terkadang mengalami konflik dengan rekan sekantornya. Responden merasa malas untuk duduk bersama-sama dengan rekan-rekan di kantor, karena menurut responden di kantor lebih banyak hal mudharat (kurang baik)-nya, pembicaraan yang ada hanya seputar gosip saja. “Konfliknya kalau sama kawan-kawan yang lain tu paling ya selisih-selisih faham lah” (R2.W2.b.132-134.h.7) “nanti ntah apa dia ngomong, trus tesinggung, gitu-gitu ntah apa kan” (R2.W2.b.136-138.h.7) “kalau di kantor tu banyak mudharat (hal buruk)-nya kakak pikir, gosip…gosip…,gak gabung kita gak enak gitu kan” (R2.W2.b.251-254.9) Konflik dengan atasan dan rekan di kantor ini terkadang terlampiaskan ke keluarganya, walaupun responden mengusahakan agar urusan di kantor tidak di bawa ke rumah. Konflik tersebut juga membuat responden merasa malas untuk datang ke kantor, merasa malas untuk bekerja, namun rasa malas itu responden singkirkan ketika responden merasa memang diwajibkan untuk hadir di kantor. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“Mau lah juga kadang sampek ke rumah, cuman ya kita usahakan urusan kantor ya di kantor, urusan rumah ya dirumah” (R2.W2.b.123-125.h.6) “mm..kadang adalah jadi malas kerja tu, mmck..malas, adalah malas malas tu, cuman kayak mana lah, kalau namanya wajib masuk ya masuk,” (R2.W2.b.144-147.h.11) Ketidakhadiran

responden

di

kantor

ini

dinilai

responden

sebagai

ketidakmaksimalan responden dalam menjalankan tugas. Karena menurut responden, jika melaksanakan tugas dengan maksimal, maka seharusnya responden hadir di kantor dan juga turun ke lapangan. “Belum, belum, kakak gak masuk kantor, orang tu kan ada yang masuk kantor, tergantung kecamatannya lah, kalau kecamatan kakak yang dipelosok ni enaklah, lebih ke pengajiannya, bukan ke kantornya, sering ke lapangan lah, padahal kan sebenarnya ke pengajian iya ke kantor iya” (R2.W2.b.294-301.h.10) Keinginan untuk mewujudkan syariat Islam juga dirasakan terkendala karena responden merasa pemerintah kurang mendukung kinerja WH. Responden merasa sangat terbebani dan sangat kesal karena WH hanya dijadikan tameng, tidak dihargai keberadaannya, hukum perlindungannya belum jelas, bahkan seringkali pemerintah tidak menindaklanjuti pelanggar yang telah ditangkap oleh responden. “dari pemerintah nya maupun masyarakatnya kayaknya gak mendukung adanya WH...” (R2.W2.b.25-27.h.1) “Ya kayaknya WH tu gak dianggap, gak di hargai, hanya sebagai tameng aja” (R2.W1.b.29-30.h.1) “Dan juga kayak kakak bilang kemaren tu kan dari PEMDA nya pun kurang kalau masalah itu nya, kurang misalnya udah ketangkap ini udah ketangkap itu, kenapa lepas? berarti kan ada juga orang dalamnya, orang dalamnya tu kan berarti dekat juga dengan PEMDA tu” (R2.W2.b.194-200.h.8) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“Ya WH ni gak dianggap, kayak gak ada aja, hanya sebagai tameng, hukumnya belum jelas, perlindungannya gak ada, kayak dulu ada kasus kawan kakak yang bertugas trus di tangkap sampek 4 bulan gitu, yang ditonjolkannya hukum pidananya, bukan hukum syariat Islamnya...” (R2.W2.b.71-78.h.2) Hal ini seperti kasus yang pernah dialami oleh responden, dimana responden telah menangkap seseorang yang meminum-minuman keras, setelah di bawa ke kantor polisi, ternyata pelaku tersebut di bebaskan. Ketika responden menanyakan hal ini kepada polisi, responden mendapat jawaban pelaku tersebut telah dilepaskan. Responden mengadukan hal ini kepada atasannya, kemudian responden hanya mendapat jawaban bahwa kasus ini akan ditindaklanjuti, namun sampai sekarang kasus tersebut masih belum ditindak lanjuti. Tindak lanjut yang tidak diberikan oleh atasan terhadap hasil kerjanya ini membuat responden merasa sangat jengkel. “Coba lihat, kita udah pengen begini begini, abis tu ntah kemana, ilang, jujur kayak gitu, kayak kami dulu pernah razia dapat orang minum minuman keras, diantar ke kantor polisi, trus tanya ke kantor polisi tu, udah lepas katanya, ntah kenapa lepas, ntah kenapa lepas ntah, ndak diikatnya gak taulah, pokoknya udah jengkel-jengkel kayak gitu pulang WH ni, ngomong sama kepala kan, ya nanti akan kita selidiki, akan kita tindak lanjuti, ntah kayak mana, tindak lanjutnya, kita tunggu sampai sekarang udah 3 tahun kakak jadi WH entah di mana lanjutnya” (R2.W3.b.74-89.h.13) “kita udah pengen begini begini, iya iya…abis tu ntah kemana orangnya, yang di tangkap pun ilang orangnya..kita udah capek-capek…” (R2.W2.b.362-365.h.11) “Kan jengkel ya, kakak jengkel, udah di bilang sama atasan gini gini yuk kita tindak lanjuti, ya kalau cuma sampai di situ kemampuan atasan ya kan kita tunggu,” (R2.W2.b.205-210.h.8)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Kebijakan pemerintah berupa hak dan kewajiban WH yang masih sangat minim juga dirasakan oleh responden sebagai beban yang dapat menghambat kinerjanya. Wewenang WH yang masih terbatas dalam menangkap pelanggar membuat responden merasa tidak mampu melakukan apa-apa terhadap pelanggar yang terbukti melakukan pelanggaran syariat Islam, Responden juga merasa kesulitan memainkan perannya karena tidak berhak menentukan hukuman terhadap pelanggar. Selain itu, gaji yang diterima dinilai masih sangat minim dibandingkan dengan beban pekerjaan yang harus dilakukan. “kekuatan hukumnya gak jelas, kan WH gak bisa nangkap segala macam” (R2.W1.116-118.h.3) “Pengennya kan iya, cuma balek lagi ke negara hukum, Qanun itu kalah kekuatannya dari pada hukum perdata pidana tu, jadi kalau kedapatan orang misalnya kan, ini hukumannya, kalau kita pikir cambuk segala macam gitu kan, nanti kalau udah di bawanya ke konstitusi umum, kadang-kadang menang orang tu, gitu tu makanya susah WH ni…” (R2.W2.b.216-224.h.8) “ya kita bersyukur ya, ada masuk, cuman ya kalau dilihat itu...kurang memadai lah memang....” (R2.W1.b.125-127.h.3) Responden juga memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan kenaikan karir, namun karena status WH hanyalah tenaga kontrak, maka responden hanya diam saja karena tidak mampu berbuat apa-apa. “Kalau kakak kan mau, jadi presiden pun kakak mau, cuman kan kalau untuk jenjang-jenjang kayak gitu kan harus jadi pegawai dulu, kalau gak mana bisa dari WH nya, kalau kakak sendiri sih pengen, cuman gimana lagi, belum ada jalurnya” (R2.W2.b.76-81.h.5) Menghadapi kendala yang berasal dari kebijakan pemerintah, melalui rekanrekannya, responden berusaha untuk menyampaikannya kepada atasan, namun Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

responden merasa kesal karena setelah beberapa kali disampaikan ternyata belum mendapat tanggapan positif dari pemerintah, responden kemudian mencoba untuk menunggu kebijakan pemerintah dan tetap berusaha melaksanakan apa yang bisa dilaksanakannya. “kalau untuk pemerintahnya ya....udah coba disampaikan ke atasan, udah coba disampaikan ke atasan, trus ke wakil bupatinya juga, cuma ya respon mereka ya nanti-nanti aja...,” (R2.W1.b.136-139.h.3) “Kalau kakak pribadi enggak, cuma kami kan kolektif sama kawan-kawan, kawan-kawan nanti yang menyampaikan sama kepala, kepala nanti menyampaikan disampaikan disampaikan dari dulu sampai sekarang masih disampaikan, ntah kemana sampainya gak taulah, disampaikan, ntah sampai ntah enggak….” (R2.W2.b.227-234.h.9) “Ya apa yang bisa kami laksanakan ya kami laksanakan” (R2.W2.b.96-07.h.6) “pokoknya udah jengkel-jengkel kayak gitu pulang WH ni, ngomong sama kepala kan,” (R2.W3.b.82.84.h.13) “jadi ya kalau kata pimpinan begini ya kita laksanakan, selama kalau menurut kita gak bertentangan kan ya..apa..yang namanya tugas ya kan kita laksanakan” (R2.W2.b.99-103.h.6) “ya kalau cuma sampai di situ kemampuan atasan ya kan kita tunggu, kalau WH ni kan cuma menunggu, kepastiannya belum tau… jadi di tunggu“ (R2.W2.b.207-210.h.8) Selain merasa kurang mendapat dukungan dari pemerintah, responden juga merasa kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Masyarakat tidak mau menerima teguran WH, seringkali memberikan protes terhadap WH dan selalu menyalahkan WH jika terjadi kemaksiatan. Hal ini membuat responden merasa sangat kesal dan dinilai sebagai beban dalam melaksanakan tugasnya. Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“kalau yang nggak tu kan ada yang protes dia, ngapain kamu urus-urus, ini kan urusan saya, kalau mau masuk neraka kan cuma saya yang masuk neraka, ngapain kamu urus-urus...” (R2.W1.b.53-57.h.2) “kalau bebannya ya, kalau orang gak terima itu beban sebenarnya, kayak yang kemaren tu, kemaren tu kita udah bilang gini gini tapi kadang kadang orang melawan kan, jadi beban kan,” (R2.W2.b.6-8.h.4) “tapi ada juga yang nggak, kalau dibilangin bandel... “ (R2.W1.b.33-34.h.1) “Ya misalnya kan ada ibu-ibu yang pulang dari kebun, gak pakek jilbab, cuma pake kelubung aja, trus kalau di tegur ya jawabnya gak bisa, panas, payah gitu” (R2.W1.b.36-40.h.1-2) “namanya masyarakat kadang kadang ada yang cuek, kadang-kadang ada yang melawan, kan macam-macam” (R2.W2.b.188-191.h.8) “orang pun trus kalau ada kejahatan apa mmh, WH nya gak kerja, katanya kan, padahal tiap-tiap kecamatan tu pasti ada program masing-masing kayak gitu, nanti kalau apa WH…WH...sikit sikit WH..WH…tah hapa!” (R2.W2.b.173-179.h.7-8) “padahal kalau di pikir-pikir ada penyuluh agama, ada peradilan syariat islam, orang tu pun…ckh..menyudutkan WH juga kadang-kadang begitu, WH begini-begini!” (R2.W2.b.184-188.h.8) Respon negatif yang diberikan masyarakat ini membuat responden menjadi marah, kesal dan jengkel. Tidak jarang responden mengungkapkan kemarahannya kepada masyarakat. Responden merasa wajar-wajar saja jika ia mengungkapkan kemarahannya pada masyarakat karena marah merupakan hal yang manusiawi. “Ya kadang kakak marah, gondok kan, ya disini kan ada syariat islam, udah pindah aja dari sini kalau gak mau, kadang udah sampek kasar kayak gitu kakak bilangnya,” (R2.W1.b.60-64.h.2) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“Ya namanya juga kita manusia kan, kalau digituin siapa yang gak marah” (R2.W1.b.67-68.h.2) “cuman kadang-kadang ada lah juga, hiiihh kenapa ga bisa, kenapa gak mau dibilangin, gitu kan, ya sebatas kayak gitu cuman jengkel nya kan” (R2.W2.b.126-129.h.6-7) Namun terkadang responden juga hanya bersabar karena merasa tidak mampu berbuat apa-apa terhadap masyarakat yang tidak memakai jilbab saat pulang dari kebun, responden melihat kelelahan yang sangat dari wajah-wajah masyarakat tersebut sehingga responden menjadi tidak tega untuk terlalu menuntutnya menggunakan jilbab. “Ya kita mau gimana lagi, dari mukaknya nampak memang capeknya, kadang jilbabnya cuma di tarok di sendangnya aja, ya kita mau gimana lagi, yang penting kita udah melaksanakan tugas kita ya kan, kita udah negur..” (R2.W2.b.43-48.h.2) “lagian mereka tu alasannya ada, ke kebun katanya, kalau pakek jilbab kami payah, kalau pakek kelubung ini aja enak, kayak gitulah alasan mereka,” (R2.W3.b.40-44.h.12) Hal ini membuat responden merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Responden merasa tidak mampu untuk memaksa masyarakat agar mau menjalnkan syariat Islam, karena menurut responden masyarakat belum mendapatkan hidayah (petunjuk dari Allah SWT) sehingga responden mendiamkannya saja. Apalagi responden menilai bahwa manusia bukanlah benda mati yang bisa diatur sesuka hati. “cuman mungkin yang namanya kepala ya kalau kita larang pun kan, ada yang dari kebun, kayak mana gitu ya, gak bisa kita tekan kali pun,” (R2.W2.b.25-31.h.4-5) “Karena kalau untuk jilbab susah lah, kalau kejahatan-kejahatan yang lain bisa kita keras-keras, tapi kalau untuk jilbab kayak susah…” (R2.W3.b.47-50.h.13) Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“Itulah, kalau ke orang kita tekankan kali pun gak bisa, oh A kata kita harus A mereka ga bisa, harus ada prosesnya, prosesnya tu harus sampai kapan, maunya cepat-cepat masuk hidayah Allah tu ke kepalanya baru bisa,” (R2.W3.b.35-40.h.12) “kalau gak mau ya gak bisa kita paksa lah dek, kecuali kita berhadapan dengan benda yang bersifat mati, bisa kita atur, kalau orang gimana ngaturnya” (R2.W2.b.307-313.h.10) Perubahan masyarakat yang juga dirasakan minim menjadi beban tersendiri bagi responden. Responden merasa jengkel, malas dan bosan terhadap masyarakat yang tidak menunjukkan perubahan walaupun telah berulang kali dinasehati, walaupun telah berulang kali diingatkan saat mengisi pengajian. “Kalau bosan tu pastilah ada, kayak sekarang pun kakak bosan, kita udah ngasih pengarahan gini gitu, pengajian segala macam, masih aja di buatnya kan kadang-kadang jengkel, males di buatnya, bosan juga” (R2.W2.b.160-165.h.7) “kita udah tiap minggu itu…terus, yang dianya kayak gitu…juga, jengkel..lagi” (R2.W2.b.305-307.h.10) Untuk memahamkan syariat Islam kepada masyarakat, responden mencoba untuk selalu memberikan pengarahan kepada masyarakat, baik melalui pengajian maupun pertemuan langsung. Selain itu responden juga berusaha mendekati para orang tua terutama para ibu. Jika hal ini juga belum memberikan jalan keluar, maka responden akan mendiamkannya saja. “Kalau kakak pribadi pengarahan banyaknya, pengarahan-pengarahan, kalau memberikan jilbab kan gak mungkin ya, padahal kan kita pengen ngasih jilbab” (R2.W2.b.344-347.h.11) “Kakak masuknya dari pengajian-pengajian, tapi pengajian di sini kayak pengajian biasa cuma modelnya, kayak…apa….ta’lim, ta’lim biasa, jadi kalau Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

ngisi pengajian tu kakak sampaikan begini-begini, kalau kita cerita tentang Qanun gak ngerti orang tu, Qanun kan banyak pasal sekian pasal sekian ntah hapa, kalau kita sampaikan ke orang tu gak ngerti orang tu, jadi kakak bilangnya menurut Al-Quran….baru ngerti orang tu, abis jelasin materi gitu baru kakak masukkan aturan-aturan gitu, baru sosialisasi segala macam, gitu,” (R2.W3.b.140-154.h.14) “Ya kakak bilang aja, seandainya dukun itu bagus, sesuai syariat, ga papa lah, cuman kalau seandainya kurang sesuai dengan syariat ya kita kan tau, kalau seandainya ada bahasa arab yang aneh-aneh atau yang lain yang aneh-aneh kan berarti ada kemungkinan, kalau kita make brarti kita syirik, gitu” (R2.W3.b.102-109.h.14) “jadi kalau solusi dari kakaknya ya kalau gak Bapaknya ya Ibunya yang kita dekati, ya berusaha kita pecahkan, kalau gak bisa ya udah, gitu, kalau kakak pendekatannya kebanyakan ke yang perempuan…” (R2.W2.b.333-338.h.11) “itulah kalau kakak disini kalau masuk ke bapak-bapak tu agak susah, kalau masuk ke ibu-ibu agak mudah kakak, karena kita perempuan kan, jadi kan agak mudah dikit kerja kita, dari pada kita sendiri ke rumah-rumah” (R2.W3.b.131-136.h.14) Menghadapi kasus-kasus dalam pekerjaannya, untuk kasus yang ringan seperti jilbab, maka responden berusaha menyelesaikannya sendiri dengan memberikan pengarahan, walaupun sebenarnya responden sangat ingin memberinya jilbab. Untuk kasus yang berat, seperti minuman keras, judi dan zina, responden akan menyerahkan kepada masyarakat mengenai tindak lanjutnya. “kalau jilbab tadi ya kalau kedapatan kita kasih pengarahan, atau kita kasih jilbab, ya sampek situ cuman, kalau kelanjutannya itu ya gak tau kita… kalau yang besar-besar baru ada kelanjutannya, yang besar-besar kayak khamar, judi, zina, kalau kedapatan sama WH kita kasih sama masyarakat kampungnya, nanti mau dinikahkan atau apa ya ditindaklanjuti” (R2.W2.b.55-63.h.5) Responden juga seringkali merasa putus asa terhadap kasus-kasus yang tidak mampu diselesaikannya. Namun responden berprinsip apapun yang dilakukan masyarakat, yang penting responden telah berusaha menjalankan tugas dengan Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

baik. Karena responden merasa mengatur manusia memang tidak semudah mengatur benda mati. “kalau kakak prinsipnya ya terserah, udah kita laksanakan semampu kita gak mau orang tu laksanakan ya terserah” (R2.W2.b.191-194.h.8) “Itulah kayak mana lagi, udah kita kasih tau udah, terserah mereka gimana lagi,” (R2.W3.b.117-118.h.14) “cuma ya, balik-balik nya kayak gitu udah, kita udah laksanakan tugas kita, kalau gak mau ya gak bisa kita paksa lah dek, kecuali kita berhadapan dengan benda yang bersifat mati, bisa kita atur, kalau orang gimana ngaturnya” (R2.W2.b.307-313.h.10) Beban ini kemudian dirasakan semakin berat oleh responden karena responden harus bertugas sebagai WH di Kecamatan X sendirian. Responden tidak memiliki rekan sesama WH di kecamatan X tersebut. Hal ini membuat responden merasa sulit melaksanakan tugas dengan maksimal. “Ya kan jadi susah, kalau sendiri kan payah, kita susah pergi jauh-jauh...” (R2.W1.b.110-111.h.3) “di sini kakak paling cuma melakukan pembinaan aja, ngisi pengajian ibu-ibu gitu kan, itupun cuma 2 kampung yang bisa kakak kerjain, di sini kan ada 9 kampung, karena kan jauh-jauh...” (R2.W1.b.95-100.h.3) “kalau di kabupaten kan banyak ya, jadi enak, kalau di sini kakak cuma sendiri, jadi paling ya kakak tegur kalau jumpa-jumpa di jalan gitu” (R2.W1.b.91-94.h.3) Terkadang responden menganggap masalah yang dihadapinya sebagai tantangan. Misalnya saat responden akan membina kelompok pengajian yang baru, responden merasa tertantang untuk benar-benar mampu membinanya dengan baik.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“Kalau tantangan….mm…gimana ya, kalau tantangan kadang-kadang ada tantangannya, kadang-kadang enggak juga, kayak ngisi pengajian lah misalnya, kalau ngisi pengajian baru ya kakak merasa ini tantangan, kayak mana ya, bisa gak nanti, gitu” (R2.W2.b.322-328.h.10-11) Responden juga berusaha untuk bersabar menghadapi permasalahan yang dihadapinya, karena menurut responden WH ini berada di dalam lingkaran setan, jadi permasalahan yang ada akan terus berputar tanpa ada penyelesaian. Hal ini karena responden menganggap bahwa syariat Islam tidak akan bisa diwujudkan jika mengharapkan kerja WH saja, responden menganggap diperlukannya dukungan semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama maupun masyarakat untuk mewujudkan syariat Islam. “paling kita sabar aja, yang penting kita udah melaksanakan tugas” (R2.W1.b.134-135.h.3) “mmch, ibarat nya WH ni udah dalam lingkaran setan, itu itu…” (R2.W2.b.201-202.h.8) “Sebenarnya harus aplikatif kalau memang mau diberantas maksiat-maksiat nya tu, kalau pengarahan-pengarahan tu gak bisa, pokoknya harus kuat..misalnya, masyarakatnya tu gak suka dengan itu, adat nya pun gak suka, pemuka adatnya gak setuju, pemda nya pun gak setuju, baru bisa maksiat tu di berantas…..tapi kalau cuma mengharapkan WH aja gak bisa, mengharapkan masyarakat aja gak bias” (R2.W2.b.352-361.h.11) Kemudian responden berusaha melupakan permasalahan yang dihadapi karena menganggap bahwa masalah tersebut akan terlupakan seiring dengan berjalannya waktu. “Eleh, lama-lama nanti kan hilang bosan tu, nanti pengen lagi gabung, udah kayak gitu aja” (R2.W2.b.237-239.h.9)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Beban berat dan rasa malas untuk bekerja terkadang membuat responden merasa bosan dan ingin keluar dari WH. Responden merasa WH adalah pekerjaan yang paling berat di Kabupaten Aceh Tengah, karena WH berhubungan dengan konsekuensi mental. “Kadang-kadang ada, jujur ya, gak mungkin WH ni pengen terus di WH, sebanyak tu kerja di Aceh Tengah ni yang paling berat tu lah WH, mental WH ni lho, mental di kenak nya kan?” (R2.W2.b.169-173.h.7) Segala keluh kesah yang dirasakan responden didiskusikan dengan teman di kantor dan dengan suami responden. Responden sharing dengan suami dan rekanrekan di kantor mengenai permasalahan yang dihadapinya. “Ada, ada cerita-cerita sama orang tu, tapi kakak jarang masuk kantor…” (R2.W2.b.242-243.h.9) “kalau cerita sama teman-teman di kantor ada yang positif tanggapannya ada yang pesimis, tulah” (R2.W2.b.261-263.h.9) “Kakak WH sendirian di Batu Lintang, curhatnya sama suami” (R2.W2.b.257-258.h.9)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

113

Tabel 4 Sumber Stres, Appraisal, dan Coping Stres Responden II No 1.

Sumber stress Job Complexity a. decision making, responsibility, and stress

Appraisal

Coping stress Emotion focus Problem Focus

terkadang Membiarkan pimpinan a. Merasa kurang Menganggap sebagai Bersabar, dapat melampiaskan ke melakukan apa yang sinkron dengan beban yang menghambat keluarga. dilakukannya dan tetap atasan. Atasan kinerjanya. melakukan hal yang dinilai memiliki cara dianggap benar, memimpin yang keras, arogan, dan mendidik dengan cara militer, sementara WH bekerja dengan perkataan dan cara yang lembut. b. Atasan kurang mendukung kinerja WH c. Atasan tidak menindaklanjuti pelanggar yang telah ditangkap WH d. Tingkat pendidikan WH lebih tinggi dari a. Mengisi pengajian

114

b. Work overload

c. Organizational structure and development

Menerima sebagai Ingin melupakan segala konsekuensi pekerjaan permasalahan, ingin smenghindari situasi ini a. Merasa beban dengan berhenti dari WH pekerjaannya sangat

pada atasan.

berat b. Merasa sulit bekerja maksimal karena hanya Menganggap sebagai Merasa tidak mampu sendirian di beban yang dapat melakukan apa-apa kecamatan X menghambat kinerjanya.

a. Merasa hak dan kewajibannya kurang. WH tidak berhak menagkap pelanggar yang kedapatan melakukan pelanggaran Qanun. b. Pelanggar yang telah ditangkap dengan susah payah ternyata kemudian dilepaskan oleh atasan c. Mengalami konflik dengan rekan di kantor

di daerah yang dapat dijangkau saja b. Melakukan razia secara fardiyah saja. a. Melalui rekanrekan sesama WH, responden mengajukan tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH. b. Menunggu kebijakan pemerintah terhadap WH c. Mengurangi jam ke kantor, sehingga lebih banyak ke lapangan agar tidak banyak menghabiskan waktu dengan

115

-

-

rekan-rekan kantor

Role ambiguity

di

2.

Interpersonal stress

a. Masyarakat kurang Menganggap sebagai mendukung kinerja beban dan tantangan WH. b. Masyarakat kurang menghargai WH c. Masyarakat protes terhadap teguran WH d. Masyarakat selalu menyalahkan WH e. Tidak mampu terlalu memaksa masyarakat desa yang berkelubung untuk menggunakan jilbab

a. Sharing dengan rekan-rekan di kantor dan dengan suami. b. Mengungkapkan kemarahannya pada masyarakat

3.

Career development

Merasa karir di WH Menerima sebagai Merasa tidak mampu tidak bisa meningkat konsekuensi pekerjaan melakukan apa-apa

4.

Dana

Merasa gaji yang Menganggap diberikan tidak sesuai beban. dengan beban kerjanya. Gaji yang diterima

sebagai Mensyukuri apa yang ada

Memberikan pengarahan kepada masyarakat melalui pengajian dan melakukan pendekatan terhadap para orang tua, terutama pada para Ibu.

-

Mengajukan tuntutan penambahan gaji kepada atasan

116

masih minim

117

3. Responden III a. Hasil Observasi 1). Wawancara I Responden adalah seorang laki-laki paruh baya yang berkulit sawo matang dengan tinggi sekitar 160 cm dan berat sekitar 56 kg. Responden memiliki bentuk wajah bulat dan mata sipit. Responden membiarkan jambang tipisnya tumbuh di sekitar pipinya. Saat pertemuan ini, responden menggunakan sarung coklat bermotif kotak-kotak, kaus oblong coklat muda dan peci putih yang menutupi sebagian kepalanya. Wawancara pertama dilakukan di ruang tamu rumah responden. Ruang tamu responden berukuran sekitar 3x4 meter, dengan sofa coklat susu yang diletakkan di setiap dindingnya. Di tengah ruangan, di depan masing-masing sofa, diletakkan sebuah meja tamu dari kaca berukuran 0,5x1 meter dengan sebuah vas bunga kecil di atasnya. Responden dan peneliti duduk dibatasi oleh meja dengan jarak sekitar 1,5 meter, dengan membentuk sudut 30º. Pada awal wawancara, responden duduk bersandar ke sisi belakang sofa, dengan kaki kanannya disilangkan ke kaki kirinya sambil digoyang-goyangkan, tangan kiri responden memegang siku lengan kanan, untuk menopang tangan kanan yang di angkat ke arah mulut untuk merekam suaranya. Responden menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan dengan tersenyum, sambil melihat ke berbagai sisi rumahnya, dan sesekali melihat ke arah peneliti. Setelah beberapa saat wawancara berlangsung, responden menyilangkan kaki kiri ke kaki kanannya dan memperbaiki posisi sarungnya sambil tetap

118

menggoyang-goyangkan kakinya. Selain itu, responden juga memindahkan alat perekam ke tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang siku lengan kirinya. Selama proses wawancara berlangsung, tidak ada hambatan yang terjadi, hanya saja responden sering kali mengganti posisi kakinya dan memperbaiki posisi sarungnya sambil tetap menggoyang-goyangkan kakinya. Responden juga terlihat sering memandangi berbagai sisi rumahnya dan hanya sesekali melihat ke arah peneliti.

2). Wawancara II Wawancara kedua dilakukan di ruang tamu rumah responden. Pada pertemuan ini responden menggunakan celana jeans coklat tua dan baju kaus coklat muda. Seperti pertemuan sebelumnya, peneliti dan responden duduk dibatasi oleh meja dengan jarak sekitar 1,5 meter, dengan membentuk sudut 30º. Pada pertemuan ini, selama wawancara berlangsung, responden duduk bersandar ke sisi belakang kursi dan menyilangkan kaki kanannya ke kaki kirinya sambil

sesekali

menggoyang-goyangkannya,

sementara

tangan

kanannya

memegang bantalan kursi yang diletakkan di samping kanannya dan tangan kirinya memegang alat perekam. Saat menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan, responden menjawab dengan tenang sambil memain-mainkan ujung bantalan kursi yang dipegang oleh reponden, dan sesekali responden meletakkan bantalan kursi tersebut di pangkuannya. Namun responden lebih sering melihat ke arah pintu dan hanya sesekali melihat ke arah responden.

119

Lima puluh menit setelah wawancara berlangsung, wawancara sempat terhenti sejenak karena anak responden yang awalnya duduk di samping kanan responden berusaha mengambil alat perekam yang ada di tangan kiri responden. Wawancara dapat dilanjutkan kembali ketika istri responden datang dan mengajak anak responden untuk main di ruang belakang. Tidak ada hal khusus yang menghambat jalannya wawancara. Walaupun beberapa kali anak responden menghampiri responden untuk meminta alat perekan yang digunakan responden, responden tetap melanjutkan wawancara, dan anak responden yang menangis dapat ditenangkan oleh istri responden.

b. Ringkasan Hasil Wawancara Beberapa tahun setelah menamatkan pendidikannya di jurusan Teknik Mesin di salah satu Universitas ternama di Pulau Jawa, responden pindah ke Aceh Tengah dan mendaftar menjadi pegawai kontrak Wilayatul Hisbah setelah mendapat informasi mengenai lowongan ini dari salah seorang temannya yang bekerja di kantor Dinas Syariat Islam. Awalnya responden tidak mengetahui apaapa mengenai WH. Setelah responden mengetahui tugas dan kewajiban WH, responden semakin termotivasi untuk menjalankan tugasnya karena keinginan untuk berbuat baik terhadap masyarakat dan berusaha agar masyarakat memahami syariat Islam. Responden kemudian mempelajari buku-buku Qanun yang diberikan kepadanya. Setelah menjadi WH, responden merasa kesulitan untuk menjalankan tugasnya karena responden merasa tugas WH tidak memiliki kekuatan hukum

120

yang kuat dan tupoksi yang jelas, sehingga responden seringkali merasa ragu-ragu dalam menjalankan tugasnya, responden takut jika ternyata responden melakukan tugas orang lain yang dapat memunculkan penilaian negatif dari masyarakat, walaupun responden yakin apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. Ketidakjelasan tugas juga dirasakan semakin menjadi beban ketika responden mendapatkan tugas yang berbeda dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) WH dari atasannya, Satpol PP. Responden menilai Satpol PP tidak memahami tupoksi WH yang menyebabkan Satpol PP seringkali memberi tugas yang tidak sesuai dengan tupoksi WH. Hal ini membuat responden merasa tidak nyaman sehingga melaksanakan tugasnya dengan setengah hati. Menghadapi hal ini responden berusaha untuk memberi pemahaman kepada Satpol PP mengenai tugas WH yang sebenarnya, namun responden menilai tingkat pendidikan Satpol PP yang rendah mengakibatkan Satpol PP tidak mampu memahami apa yang responden sampaikan. Hal ini membuat responden merasa kesal, namun responden memilih untuk mendiamkannya saja. Rasa ketakutan dialami responden ketika responden menindak pelaku pelanggar syariat Islam yang berasal dari tentara atau polisi. Responden menilai bahwa responden siap untuk melaksanakan tugas namun belum siap mati. Hal ini dirasakan responden karena responden menilai tentara atau polisi yang ditindak bisa saja melakukan tindakan balas dendam terhadap responden suatu saat nanti. Ketakutan ini menyebabkan responden memutuskan untuk tidak menindak tentara atau polisi yang melakukan pelanggaran syariat Islam jika sedang melakukan pengawasan seorang diri.

121

Selain itu, responden juga merasa ketakutan ketika menindak pelaku khamar. Responden menilai pelaku khamar adalah orang-orang yang arogan yang bisa saja melakukan kekerasan terhadap responden sebagai bentuk balas dendam terhadap penangkapan yang pernah responden lakukan. Hal ini menyebabkan responden memutuskan untuk menyerahkan pelaku khamar kepada pihak kepolisian. Dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap busana muslim, responden seringkali

mendapatkan

protes

dari

masyarakat

yang

kedapatan

tidak

menggunakan pakaian muslim. Walaupun merasa kesal terhadap protes yang diberikan oleh pelaku, responden tetap berusaha melaksanakan tugasnya dengan memberi pengarahan dengan cara yang lembut. Responden berusaha membina pelaku dengan memberi pengarahan dan pengertian kepada orang tua pelaku agar lebih berhati-hati menjaga dan membimbing anaknya. Kondisi masyarakat yang belum sesuai dengan syariat Islam membuat responden merasa malu karena responden merasa belum mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Responden merasa ketidakjelasan tugas dan faktor keamanan yang mempengaruhi kinerja responden menyebabkan responden merasa takut sehingga tidak mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Apalagi responden merasa kesulitan melaksanakan tugasnya dengan jumlah personil WH yang hanya 3 (tiga) orang di kecamatannya. Responden merasa mengalami beban mental menghadapi kondisi ini. Kendala-kendala yang dialami responden kemudian responden sampaikan pada atasannya dan pada pemerintah. Walaupun belum ada perubahan positif yang responden dapatkan, responden mencoba untuk memahami bahwa tugas

122

pemerintah bukan hanya mengurusi WH, masih banyak tugas lain yang juga menuntut perhatian pemerintah. Hal ini kemudian menyebabkan responden mendiamkan saja apa yang terjadi. Walaupun demikian, responden tetap menyampaikan usulan-usulannya mengenai kebijakan-kebijakan yang sebaiknya dilakukan pemerintah kepada paman responden yang memiliki jabatan lebih tinggi. Responden berharap paman responden inilah yang akan menyampaikan usulan responden kepada pemerintah.

c. Sumber stress, appraisal, dan coping stres Beberapa tahun setelah menamatkan pendidikannya di jurusan Teknik Mesin di salah satu Universitas ternama di Pulau Jawa, responden pindah ke Aceh Tengah dan mendaftar menjadi pegawai kontrak Wilayatul Hisbah setelah mendapat informasi mengenai lowongan ini dari salah seorang temannya yang bekerja di kantor Dinas Syariat Islam. Awalnya responden tidak mengetahui apaapa mengenai WH. “Sebelumnya wallahu a’lam saya gak mengetahui terlalu dalam, apa segala macam tentang WH itu gak tau, karena saya baru datang juga waktu itu ya, dari Jogja, saya gak paham” (R3.W1.b.9-13.h.1) “Dari, ada yang kerja di dinas syariat islam, tetangga, katanya buka lowongan untuk polisi islam, ya coba aja lamar, gitu, kemudian melamar, alhamdulillah lulus” (R3.W1.b.3-6.h.1) Setelah bergabung menjadi WH, responden kemudian memahami bahwa tugas WH adalah untuk memperbaiki akhlak masyarakat, responden kemudian mempelajari Qanun-Qanun dan berharap dapat merubah dan memperbaiki kondisi

123

masyarakat Aceh Tengah. Responden juga termotivasi untuk berbuat baik pada masyarakat dan berusaha agar masyarakat mengetahui syariat Islam. “di kasih buku-buku tentang Qanun, nah terus saya belajar” (R3.W1.b.13-15.h.1) “Ya, harapannya sebenarnya ya bisa memperbaiki masyarakat yang ada di Aceh Tengah khususnya ya, karena tugas WH itu ya untuk memperbaiki akhlak lah gitu ya, harapannya ya untuk masyarakat, bisa merubah” (R3.W1.b.19-24.h.1) “Ya itu tadi, sebenarnya ingin mencegah...ya berbuat baiklah untuk masyarakat, tugas utamanya gitu ya, gimana biar masyarakat Aceh Tengah itu tau gimana syariat Islam,” (R3.W1.b.27-31.h.1) “bagi saya, mudah-mudahan masyarakat Aceh ini bisa mengetahui gimana syariat Islam yang sebenarnya” (R3.W1.b.207-210.h.5) Responden semakin termotivasi untuk menjadi WH karena responden merasa WH memiliki kekuatan hukum jika ingin menindak orang-orang yang melanggar syariat Islam. WH akan mendapatkan perlindungan jika melaksanakan tugasnya. Berbeda seandainya responden tidak berprofesi sebagai WH, responden tidak akan memiliki kekuatan hukum jika menegur orang yang melanggar syariat Islam. “trus kita sendiri...kan kenapa mesti masuk WH? Kalau bukan WH kan juga bisa, itu kan gak ada payung hukumnya, kalau kita masuk WH kan jelas ada payung hukumnya, jelas, kemudian kalau kita ada pelanggar, kita bisa menegakkannya langsung, dan ada badan hukumnya,” (R3.W1.b.31-38.h.1) “kalau di daerah lain kita nangkap orang yang gak berjilbab kan gak dilindungi, kalau disini kan dilindungi, lho kamu kenapa gak pakek jilbab? Lho kamu siapa? Saya penegak hukum” (R3.W1.b.212-217.h.5) Namun setelah menjadi WH, responden merasa kurang nyaman bekerja karena harapan responden akan kekuatan hukum yang dimiliki WH tidak

124

responden dapatkan. Responden menilai kekuatan hukum mengenai tugas WH belum jelas. Qanun yang mengatur tugas WH belum sempurna, masih setengahsetengah, antara iya dan tidak. Responden menilai tugas WH hanya menunggu, namun responden juga merasa tidak nyaman jika hanya bekerja dengan menunggu. Responden merasa WH berhak mengawasi pelanggaran Syariat Islam, dan berhak menangani pelanggarnya, namun responden tidak boleh menindak pelanggar yang melanggar syariat Islam karena bukan tugas responden sebagai WH, tapi merupakan tugas polisi. “Kendalanya itu, belum sempurna, misal, dalam penangkapan kami gak boleh, kecuali tertangkap tangan, misal kami ada orang naik motor ya, gak berjilbab, itu gak boleh kami tangkap, harus sama polisi, kenapa gak boleh, karena gak ada Qanunnya, kendalanya yang terbesar itu sebenarnya. Qanunnya belum sempurna” (R3.W2.b.110-117.h.3) “misal, orang yang boncengan tanpa apa…tanpa mengenakan busana muslim, katakan gitu ya, trus bepergian dengan yang bukan mahramnya, nah itu kan salah, itu salah sebenarnya menurut syariat Islamnya kan, nah tapi tidak bisa..WH itu tidak bisa menyetop, tidak bisa menyetop itu kekuatan hukumnya gak ada, hukum untuk itu tidak ada, jadi gak boleh WH itu nyetop, ha…itu, jadi yang boleh nyetop itu polisi, polisi juga harus polantas, gitu,” (R3.W2.b.11-23.h.8) “sekarang ini kan umum masih dia, antara ia dan tidak, masih ditengah-tengah lah, kalau seandainya ada Qanun tersendiri untuk WH ini, seperti penangkapan tadi ya, misal, kita lebih..lebih baguslah” (R3.W1.b.184-189.h.4) “Sebenarnya kalau sendiri WH itu kendalanya itu ya, jadi seperti setengahsetengah, yah, merasa seperti masih setengah-setengah, atau memang Qanunnya masih di revisi, kan gitu, kita belum mengetahui, cuman memang gitu” (R3.W2.b.27-33.h.8) “kalau sekarang inilah, menunggu, menunggu laporan orang, kan gitu, kalau tugasnya sekarang, tupoksinya sekarang gitu lho, kan membina, membimbing, mensosialisasikan, kan gitu kan, nah berarti kan menunggu, menunggu orang, oh ini..ini melakukan seperti ini, ini sini ni, nah kami membina, kan seharunya seperti itu, tapi kan gak mungkin orang kita….ya…gak mungkin…susah lah

125

seperti itu kan, orang mau kerja seperti itu, kita hanya nungguin…jadi kan seakan-akan gak bekerja, kok kita pun bekerja kita stop juga salah…kan, harus sama polisi,” (R3.W2.b.108-123.h.10) “terus ya…itulah beban….beban pekerjaan itu, tapi kalau seandainya hukumnya kuat tadi ya enaklah mengerjakannya kan, kita gak kerja juga gimana gitu kan, sebenarnya kalau sekarang kan kami nunggu seharusnya, nunggu dari pihak kepolisian, atau pihak mana yang membawa ke kantor terus kami nasehati, ini ini kesalahannya, itu yang tugas kami kan, kan membina, kan itu sebenarnya kan, bukan ini, nah itu kira-kira kekuatan hukumnya,” (R3.W2.b.285-297.h.14-15) “Ya…ya..itu, maksudnya, kan nanti di keluarkan tugas-tugas WH tu, tupoksinya keluar, jelas, nah tu kan enak gitu ya, enak melaksanakannya gak setengah-setengah” (R3.W2.b.87-91.h.9) “jadi kalau ada kekuatan hukumnya, Qanun-nya, Qanun tersendiri WH itu, ada tugasnya, ni ini ini…seperti ini tugasnya, jelas, jadi enak kerjanya,” (R3.W2.b.126-130.h.10) Ketidakjelasan Qanun dan kekuatan hukum yang lemah ini dinilai responden sebagai beban dalam pekerjaannya, karena responden seringkali ragu-ragu untuk bertugas karena takut melakukan sesuatu yang dinilainya benar, namun ternyata bukanlah tugasnya sebagai WH, yang kemudian dikhawatirkan akan memancing respon negatif dari masyarakat. Hal ini menyebabkan responden bekerja dengan setengah hati. “perasaannya melaksanakan tugas itu menjadi beban, bebannya kita melaksanakan benar tapi takut-takut gitu, sebenarnya itu benar kan? Kita kerjakan itu benar, tapi kita takut, kita melarang orang seperti ini sebenarnya kita benar, nah tapi kita takut, takutnya ya disalahkan, bukan wewenang kamu katanya, jadi perasaan itu…apa ya…ya seperti itu, seperti saya bilang setengah-setengah lah, setengah hati gitu” (R3.W2.b.154-165.h.11) “tapi kalau…kalau sampai ke razia-razia gitu, kita harus liat-liat juga, oh ini benar gak, gitu” (R3.W2.b.297-300.h.15)

126

“Kendala terbesar nya yang seperti tadi, misalnya liat orang naik kendaraan gitu ya, ada yang gak menutup aurat, atau ada yang boncengan dengan yang bukan mahramnya, nah itu kan kita takut-takut, takut melakukan yang bukan tugas kita, kita, ini salah gak ya, ini melanggar hukum gak ya, kalau kita melaksanakn tugas ini kita melanggar hukum gak ya, seperti naik motor orang gitu kan, sebenarnya itu salah, mestinya saya negor, tapi gak boleh, kan kendalanya besar tu ya, seharusnya ini tugas saya, saya di bayarnya untuk itu, biar orang berbusana muslim, akhlak nya bagus, kan jiwa itu kan gimana gitu ya, perasaan, tapi gak boleh, gak boleh dilaksanakan, gak boleh di tegor, gak boleh di stop” (R3.W2.b.632-650.h.20-21) “tapi kalau kami turun ke lapangan apa kata orang gitu kan, alah WH juga itu kerjaannya, nah gitu” (R3.W2.b.413-416.h.16) Bekerja dengan setengah hati dan kurang nyaman juga dialami responden ketika responden harus melaksanakan perintah atasannya, Satpol PP. Responden merasa tugas yang diberikan Satpol PP kepada WH tidak sesuai dengan tupoksi WH. “Ya…sebenarnya kalau mereka ke kami bisa, tapi kami ke mereka sebenarnya kan berat, karena ini tadi, bukan berat apa…ya bukan tugas kami, tupoksi kami bukan untuk membongkar lapak orang gitu kan, bukan itu tupoksi kami, nah tapi mereka karena merasa udah satu kantor, harus dilaksanakan juga, kan, dengan rasa berat hati sebagian orang gak enak sama pimpinan, gak enak sama ini gak enak sama ketua, gak enak sama sapa, jadi kadang-kadang ngikut, nah ikut itu, sebagian orang kan gak setuju, sebagian WH itu kan gak setuju, sebagian itu gak enak” (R3.W2.b.359-374.h.15) “Yang gak enak tho, he…maksudnya gak enak melaksanakan tugas tu bukan karena gak…karena bukan tugas kami, gitu” (R3.W2.b.377-380.h.15) Ketidak sesuaian instruksi Satpol PP terhadap WH dinilai oleh responden karena Satpol PP tidak memahami WH dan Qanun. Apalagi Satpol PP dan WH itu bertolak belakang. Satpol PP bekerja dengan cara militer, sementara WH tidak

127

dengan cara militer, Satpol PP menghadapi pekerjaan manusia, sementara WH menghadapi akhlak manusia. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi responden. “Kalau sekarang itu…gak tau ke depannya ya, sekarang itu bertolak belakang, bertolak belakang antara WH dengan Satpol PP, karena tugas dan fungsinya kan beda, nah seharusnya WH itu kan ada Kasi tersendiri dia, nah Kasi nya itu seharusnya bukan dari Satpol PP, bukan orang Satpol PP, atau….seharunya yang ngerti WH, seperti itu, jangan orang yang berada di dalam kantor Satpol PP, sementara ini kan yang sekarang ini kan yang dalam Satpol PP ini untuk Kasi-nya, berarti untuk panutan kan itu” (R3.W2.b.305-319.h.14) “nah kenapa saya bilang bertolak belakang? Sama….ee…sama Pamong Praja ya, Satpol PP, mereka itu setengah militer, kerjaannya, kenapa setengah militer? Orang seperti tadi, pokoknya kamu mau tidak mau seperti ini, salah digusur, nah itu, seperti itu, sedangkan kami bukan,” (R3.W2.b.319-327.h.14) “mereka menghadapi manusia itu…apa namanya…pekerjaannya, misal pedagang kaki lima tadi, pedagang kaki lima kerjaannya kan berdagang, nah berdagang kalau dia tempatnya benar, gak masalah kan, tapi kalau dia tempatnya salah, berarti itu yang dikasih tau sama Satpol PP kan, kerjaannya itu, sedangkan WH itu perbaikan akhlak, memperbaiki akhlak, akhlak manusia itu, bukan pekerjaannya” (R3.W2.b.327-339.h.14) “sebenarnya juga gak masalah kalau mereka pimpinannya, maksudnya di bawah Satpol PP juga gak masalah, tapi Kasi nya seharunya tau agamalah, tau tentang WH lah” (R3.W2.b.346-350.h.15) Hal ini membuat responden merasa tidak mampu bekerja sama dengan baik dengan Satpol PP, bahkan menyebabkan terjadinya konflik antara WH dengan Satpol PP. “tapi kan…ya itu, kan bertolak belakang gak sama-sama gitu ya, jadi gak berbarengan bekerja itu gak sekalian dengan WH” (R3.W2.b.400-403.h.16) “Ya…sebenarnya kalau mereka ke kami bisa, tapi kami ke mereka sebenarnya kan berat” (R3.W2.b.359-361.h.15)

128

“jadi kan gak matching lah gitu kan, saling gak enak lah gitu, masak kami bantu WH itu, kan gitu kira-kira perasaan orang Satpol PP kan, orang tu gak membantu kami, nah kan ada perasaan seperti itu, kami juga tau itu kan,” (R3.W2.b.407-413.h.16) “Satpol PP nya juga enggak, paling mereka bilang anu tadi, masak mereka kerja kami bantu mereka tapi kami kerja mereka gak bantu kami, gitu” (R3.W2.b.519-522.h.18) “kalau kita ya…ini, memang gak enak gitu kan, sedangkan pimpinan mereka” (R3.W2.b.526-528.h.18) Menghadapi kondisi ini, responden mencoba untuk memberi penjelasan kepada Satpol PP mengenai tupoksi WH. Responden berharap setelah diberi penjelasan Satpol PP akan memahami tugas WH dan tidak akan memberikan instruksi yang berbeda dengan tupoksi WH. Namun perbedaan tingkat pendidikan antara WH dan Satpol PP dinilai oleh responden menyebabkan Satpol PP salah memahami apa yang responden sampaikan. Hal ini membuat responden merasa kesal. Namun karena responden tidak mampu melakukan apa-apa responden memilih untuk diam saja. “terakhirnya ya gimana usaha nya mereka tau tupoksi kami, tugas WH ini apa, nah gitu aja, tapi walaupun sudah disampaikan mereka tidak memahami, kan kebanyakan mereka tamat SMP, SD, SMA, ya, kebanyakan tamat MP, jadi mereka kadang-kadang susah kita bilang seperti ini mereka menanggapinya bukan itu gitu, mereka orang lapangan kan gitu, kita bilang o seperti ini dengan cara yang halus, kita memang gimana mereka tidak tersinggung, tidak sakit hati, mereka tidak…perasaan mereka tidak tersakiti, menyampaikan dengan kata-katanya yang bagus, tapi mereka tidak mengartikan seperti yang kita maksud” (R3.W2.b.529-546.h.19-20) “Ya terkendala, kendalanya itu tadi, untuk menyerap apa yang kita kasih tau ke dia, jadi mereka salah mengartikan apa yang kita kasih tau” (R3.W2.b.549-522.h.19) “Ya…ya udahlah, seperti itu aja” (R3.W2.b.559.h.11)

129

Walaupun menghadapi kendala seperti itu, responden tetap berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan maksimal. Responden pernah menangkap pelaku judi, minuman keras, pelaku khalwat, membina dan memantau pelaksanaan syariat Islam, seperti yang tertuang dalam Qanun nomor 12, 13, dan 14. “Ya, kami kan tugas kami seperti Qanun 12, 13, 14, judi udah pernah kami bina dan kami lakukan ...pernah juga cambuk, minuman keras, khalwat, itu yang udah pernah dilakukan, tugas WH itu kan untuk pembinaan, trus pemantauan gimana pelaksanaan syariat islam, yang udah itu Qanun 12, 13, 14” (R3.W1.b.41-48.h.2) “Membina masyarakat ya seperti itu tadi, kita datangkan orang tuanya, didatangkan orang tuanya, di kasih tau ke orang tuanya, Bapak seharusnya seperti inilah, anak Bapak ini jangan seperti ini, kalau kami mengawasi selalu kan bisa, nah Bapak yang selalu bersama dia, Bapak yang membimbing dia” (R3.W2.b.655-663.h.21) “sebenarnya awalnya itu tugasnya sosialisasi Qanun, kita memberitahu bahwa Aceh itu sudah berlaku syariat Islam, jadi perbuatan yang gak baik itu di larang, nah itu kemasyarakat gitu ya, kedua ke sekolah-sekolah” (R3.W1.b.126-131.h.3) “kemudian kalau memang ada razia gabungan, kita ngasih tau ke mereka itu bahwa di sini sudah berlaku syariat islam, bahwa mereka itu salah, itu aja” (R3.W1.b.58-61.h.2) “datang dari Bener Meriah, datang ke sana, mungkin acaranya gak tau, entah acara main-main atau apa, nah kalau seandainya bukan mahramnya, kita tindak, kita kasih surat tilang, atau kita bawa ke kantor, di situ kita nasehati, kalau memang dia betul-betul udah melewati batas, itu mereka harus lapor setiap hari” (R3.W1.b.175-183.h.11) Namun saat menjalankan tugas, selain mendapatkan respon positif, responden juga seringkali mendapat respon negatif berupa protes dari masyarakat. Hal ini seringkali membuat responden merasa kesal, geram dan tidak sabar pada masyarakat yang tidak mendengarkan pengarahan yang diberikan WH. “Ada positif ada negatif, ada yang seneng ada yang gak”

130

(R3.W1.b.73-74.h.2) “Ya protesnya paling.... itu kenapa gak?” (R3.W1.b.83.h.2) “Sering, seringnya itu protesnya, orang itu kemarin berbuat seperti ini, kenapa mereka gak di tangkap,” (R3.W1.b.87-89.h.2) “Ya protesnya…ya minta jangan di bawa ke kantor, jangan di panggil orang tuanya, paling itu protesnya” (R3.W1.b.494-496.h.18) “Ya…mereka protesnya gini, alah orang seperti ini orang kemaren tu di situ juga iya” (R3.W1.b.200-202.h.12) “Ya jengkel juga, hehe, ini manusia kok seperti ini gitu kan, dinasehati kok gak mau gini,” (R3.W1.b.474-476.h.17) “Oh, ya ada sih, ada gerem gitu ada, kok seperti ni sih, gak sabar gitu ya, ada, gak sabar, di nasehatin kok kayak bukan dia gitu ya, ada” (R3.W1.b.100-103.h.3) Untuk menghadapi protes dari masyarakat ini, responden mencoba untuk melihat dari sisi lain. Responden menganggap bahwa merupakan suatu hal yang wajar jika manusia yang terganggu kesenangannya memberikan protes. Responden juga mencoba untuk bersabar dalam menghadapi protes masyarakat ini. “Ya biasalah, namanya juga manusia ya, uda memang sifatnya gitu ya, ya gak masalah saya itu gak itu ya, bukan masalah besar” (R3.W1.b.93-96.h.3) “Ya macam-macam, namanya manusia ya, terganggu kesenangannya kan, mereka berontak” (R3.W1.b.51-53.h.2) “Ya harus sabar, menasehati lagi bahwa dia itu salah, ya memang harus sabar, kerjaan WH ini” (R3.W1.b.106-108.3)

131

“Kalau dari masyarakat tadi ya, ya kita harus sabar, harus melakukan terus sosialisasinya, membina orang itu kan memang gak segampang membalikkan telapak tangan” (R3.W1.b.5.220-224) “Ya kita hanya…gak…gak anu…yang penting kita melaksanakan tugas, mereka besok-besok tidak melaksanakan itu lagi gitu, jadi mereka tau itu dulu gitu, mereka tau bahwa itu salah gitu, jangan besok-besok datang lagi, itu lagi kita anu kan” (R3.W1.211-218.h.12) Selain sering mendapatkan protes dari masyarakat, responden juga sering mendapatkan protes dari tentara atau polisi yang ditegur oleh WH karena melakukan pelanggaran syariat Islam. Namun berbeda hal nya jika menghadapi protes yang diberikan oleh seorang tentara atau polisi. Jika responden menghadapi protes dari tentara atau polisi yang meakukan pelanggaran syariat Islam, maka responden akan mencoba untuk memanggil POM (Polisi Militer) atau rekan-rekan WH yang lain. Jika memang tidak bisa meminta bantuan kepada pihak lain, maka responden memutuskan untuk mundur saja, tidak menindak mereka. Hal ini disebabkan karena responden merasa takut jika menindak tentara atau polisi tersebut seorang diri. Responden merasa takut seandainya tentara atau polisi tersebut melakukan tindakan balas dendam terhadap responden jika mereka bertemu di lain waktu. Responden merasa responden siap untuk melaksanakan tugas, tapi belum siap untuk mati. “kalau yang marah-marah itu paling, kalau yang melaksanakan itu melakukan anggota, polisi, atau dari tentara, gitu, itu biasanya marah-marah” (R3.W1.b.203-207.h.12) “Ya adalah, namanya dimarahin gitu, haha…masak…duh kok seperti ini ya…” (R3.W1.b.230-232.h.12)

132

“Ya…ya lumayan anu juga, tapi kan kita…kita punya nomor teleponnya kayak POM (Polisi Militer), kalau memang terlalu marah-marah, kita panggil dia, biasanya mereka cepat datang” (R3.W1.b.222-227.h.12) “memang kita siap melakanakan tugas, tapi kita belum siap mati, kan gitu, gitu kira-kira ya, hehehe, kan kita siap melaksanakan tugas, tapi kita belum siap mati, mereka kan…ya kita tau kan, mereka…gak hari itu ya besok, bisa aja kita ketemu di…jalan…gitu kan, kan itu yang kita takutkan, ketemu di jalan kita kan, kan mereka gak peduli siapa kita,” (R3.W1.b.232-242.h.12) “Ya…kan rame-rame bukan sendiri gitu ya, semuanya itu menasehati dia, kalau sendiri teru terang saya gak berani, kan ada…apa ya..lebih besar ini nya, mudharat-nya lah hehe gitu kan, sisi negatifnya gitu kan, kalau sendiri kalau tau dia oh mereka itu anggota gitu ya, nah itu lebih baik kita mundur aja, mundur aja dulu, trus atau kita inikan teman-teman, apa namanya, kita koordinasikan sama teman-teman untuk datang ke sana, paling itu anu nya kan, kalau sendiri gak berani, karena itu tadi, siap melaksanakan tuga tapi belum siap mati” (R3.W1.b.247-262.h.13) “kalau sendiri ya itu tadi kan, liat, duh anggota gitu kan, tapi kalau yang lain beranilah kita, maih anak-anak, masih lajang, gak masalah, tapi kalau itu tadi, kan mereka punya kekuatan penuh, tinggal tunjuk, ituloh orangnya, kan gitu kan, oh itu orangnya, besok-besok kita ya ketemu di jalan pun bisa aja mereka bertindak arogan gitu kan, kalau tentara kan tau kita” (R3.W1.b.271-282.h.13) Begitu juga dengan pelaku khamar. Responden merasa tidak berani untuk menindak pelaku khamar, karena responden menilai pelaku khamar adalah orangorang yang arogan yang bisa saja melakukan tindakan balas dendam terhadap responden. Responden merasa siap untuk melaksanakan tugas, namun belum siap mati. Hal ini menyebabkan responden untuk sering menyerahkan kasus khamar kepada pihak kepolisian. “Kalau yang khamar itu…dia harus sabar, harus sabar, intinya dia kan gak boleh kita interogasi waktu pas hari itu pas jam itu, mesti kita tunggu lagi kan, kita harus nunggu dia sampai dia itu sadar, kalau kita langsung kamu ini ginigini, gak ada efeknya, karena memang dia gak tau, gak sadar, jadi kita tahan

133

dulu, kita bawa ke kantor, sampai kira-kira 2 jam baru dinasehati, atau dilimpahkan ke kepolisian, kalau khamar sering dilimpahkan ke kepolisian” (R3.W1.b.479-481.h.17) “dan biasanya orang yang melakukan khamar ini orang yang arogan, orang yang preman, gitu lah biasanya, gak mungkin orang-orang biasa yang melakukannya, jadi kita limpahkan ke polisi, kenapa dengan polisi ya karena itu tadi, siap melaksanakan tugas tapi belum siap mati” (R3.W1.b.505-513.h.18) Beban mental semakin dirasakan kuat ketika responden merasa pemerintah kurang mendukung kinerja WH. Responden merasa pemerintah tidak serius dan tidak membantu WH dalam mewujudkan Syariat Islam, sehingga WH bekerja sendiri. Apalagi pemerintah belum mengeluarkan Qanun tentang WH yang menyebabkan WH tidak mampu bekerja maksimal. Hal ini menyebabkan responden merasa kecewa. “Ya, perhatian Pemda Aceh terhadap WH itu kurang, kenapa kurang? Ya kalau seandainya Pemda Aceh itu mendukung sepenuhnya, berarti bukan kami aja yang bekerja, semuanya, semuanya mengatakan bahwa kita itu harus bersyariat Islam, harus berpakaian sesuai dengan syariat Islam, berperilaku sesuai dengan syariat Islam, bupatinya sendiri yang ngomong seperti itu, dan beliau sendiri juga melaksanakan, melaksanakan mereka seperti apa? Yang kami tangkap itu diberitahu ke masyarakat, bahwa itu salah, ini hukumannya, bukan menutup-nutupi,” (R3.W1.b.168-181.h.4) “trus kenapa Qanun untuk WH itu gak dikeluarkan sampai sekarang, kan mereka berhak untuk mengeluarkan Qanun tentang WH, sekarang ini kan umum masih dia, antara ia dan tidak, masih ditengah-tengah lah” (R3.W1.b.182-187.h.4) “kalau dari PEMDA itu ya kalau mereka serius ya insya Allah akan diperhatikan lah WH ini” (R3.W1.b.224-226.h.5) “ya itu tadi namanya kurang perhatian” (R3.W1.b.267.h.6) “makanya saya gak terlalu kecewa gak diperhatikan, tapi kecewanya juga ada sih”

134

(R3.W1.b.210-212.h.5) “Ya kecewa sih sebenarnya, cuma ya mereka kan juga petugas ya” (R3.W1.b.156-157.h.4) Ketidakseriusan pemerintah dalam memperhatikan WH dinilai oleh responden menyebabkan pemerintah tidak memberikan fasilitas yang memadai untuk WH yang menyebabkan kinerja WH terkendala dan terhambat. Jumlah personil yang sedikit, transportasi dan dana yang tidak diberikan pemerintah menyebabkan WH tidak bisa bekerja maksimal untuk mewujudkan harapannya menegakkan syariat Islam di Aceh Tengah. Apalagi pemerintah juga seringkali tidak menindaklanjuti pelanggar yang telah di tangkap oleh WH. “trus kendala yang lain itu....fasilitasnya lah, karena kan fasilitas seperti mobilisasi, kan kita butuh kendaraan, ke mana gitu ya” (R3.W1.b.122-125.h.3) “Besar, besar nya kami mau pergi, kami mau pergi, kan beberapa orang ya, itukan butuh biaya, misal pergi satu hari, sedang dia punya keluarga, kalau seandainya gak ada anggaran, ya dia pergi, keluarga di rumahnya kan sengsara gitu ya, hehe, merana lah gitu ya, nah jadi kan butuh dana semua, kalau dana gak dikeluarkan kan kerja kami pasti mandeg, misal ni ada mobil mobil di kasih ya, tapi gak ada minyak, sapa yang mau mengeluarkan untuk minyak? Kan gak mungkin pribadi gitu ya, sedangkan ini kan termasuk tugas negara kan, tugas daerah, ya kan gak mungkin pribadi...” (R3.W1.b.273-287.h.6) “Ya mandeg juga, jadi kami seandainya gak ada uang bensin gitu ya, kami gak pergi jauh” (R3.W1.b.293-295.h.7) “kan, harus sama polisi, polisi juga kita bayar, bayarnya dari mana? Kan gak mungkin dari kantong sendiri” (R3.W1.b.123-126.h.10) “Nah itu dari PEMDA, nah PEMDA itu seharusnya…apa istilahnya, memplotkan dana untuk hal-hal seperti itu” (R3.W2.b.52-55.h.9)

135

“termasuk orangnya juga dikit, saya di kecamatan Bebesen itu cuma 3 orang, kecamatan Bebesen itu besar, jalan yang kita lalui itu jauh” (R3.W1.b.119-123.h.3) Selain itu, responden juga merasa gaji yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai dengan beban kerja yang ada, namun responden mencoba untuk menganggapnya bukan sebagai kendala dengan menerima kondisi ini sebagai konsekuensi dari pilihannya bekerja sebagai WH. “trus ya memang kesejahteraan WH itu kalau saya nilai ya masih kurang, jadi tolong diperhatikan” (R3.W1.b.306-309.h.7) “Kalau dari gaji namanya tenaga honor itu kan….memang kita honor gitu kan, jadi ya udah, gitu aja” (R3.W2.b.567-569.h.19) “Bukan suatu kendala lah, kan kita udah tau, kita melamar suatu pekerjaan itu kita udah tau duluan, kalau memang gak siap dengan seperti itu jangan melamar, oh kita udah tau gajinya misalkan gajinya 200, kerjaannya lebih berat, ya jangan melamar ke situ, kan gitu kan” (R3.W2.b.573-581.h.19) Menghadapi kondisi seperti ini, responden mencoba untuk menyampaikannya kepada atasan dan berharap atasanlah yang akan menyampaikannya kepada pemerintah, karena menurut responden atasan lah yang berhak memutuskan. “klo untuk keluhan tadi ya harapan kami ya cuma ngasih tau ke pimpinan, kan mereka yang berhak untuk memutuskan, kami kan gak berhak, kami menyampaikan ke pimpinan, ya pimpinan yang menyampaikan ke atasannya, nanti pimpinan kami mempertemukan dengan wakil bupati” (R3.W1.b.243-250.h.6) “Sudah sering, sudah sering kami ketemu udah sering, DPR juga udah pernah, sama Bupati sendiri juga sudah pernah, sama Wakil Bupati sering sekali,” (R3.W1.b.261-264.h.6) Selain itu responden juga mencoba untuk menyampaikannya kepada paman responden yang memiliki jabatan lebih tinggi di pemerintahan. Responden

136

berharap paman responden inilah yang akan menyampaikan kepada pemerintah, karena menurut responden jika menunggu pertemuan dengan pemerintah langsung akan menunggu waktu yang lama. “Kebetulan saya punya Pak Cik (paman) yang memiliki jabatan yang lebih tinggi, jadi saya berdiskusi dengan beliau, saya berharap nanti beliau yang akan menyampaikan pada yang lebih di atas lagi, karena kalau kita mengharapkan pertemuan dengan Bupati atau Wakil Bupati bisa makan waktu lama, ntah kapan-kapan bisanya” (R3.W2.b.794-803.h.22) Walapun belum mendapatkan perkembangan yang berarti dari pemerintah, responden mencoba untuk memahami situasi ini dengan berpikir positif bahwa pemerintah juga masih belajar dalam menerapkan Syariat Islam. Pemerintah masih bingung dan belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai bagaimana menerapkan syariat Islam, apalagi pemerintah belum memiliki tempat atau wilayah lain yang dapat dijadikan contoh dalam menerapkan syariat Islam. Kemudian responden juga berfikir bahwa pemerintah juga memiliki program lain yang juga menuntut perhatian dari pemerintah, sehingga pemerintah kurang memperhatikan WH. Menghadapi hal ini responden memutuskan untuk bersabar saja menunggu kebijakan pemerintah. “Ya, mereka bilang sih akan ditindak lanjuti, tapi seperti yang saya sampaikan tadi kan tugas mereka banyak ya, bukan hanya ngurusin WH aja, jadi ya, kita tunggu ajalah” (R3.W2.b.811-815.h.23) “kemudian pimpinan kita juga bingung ya, WH ini mau studi banding kemana ya? Mereka ini mau dikasih pelatihan ke mana? Kan di daerah lain gak ada, nah mereka masih belajar, kita juga masih belajar” (R3.W1.b.227-232.h.5) “mungkin bukan kita sendiri yang diperhatikan” (R3.W1.b.268-269.h.6)

137

“tapi kan kita juga tau, bukan hanya untuk WH saja, kita harus mengetahui di Takengon itu bukan hanya WH, bukan hanya program WH yang harus dijalankan, kan gitu, maih banyak program-program yang lain, jadi kita harus mengerti juga lah” (R3.W1.b.55-62.h.9) “makanya saya bilang tadi harus sabar, kalau mintak sekarang harus dapat sekarang, kan gak mungkin, harus nunggu ABPD tahun sekian, gitu, jadi bukan berarti sabar saya diem, enggak, ya...sabar menunggulkah, gitu, hehe..” (R3.W1.b.252-258.h.6) Belum terwujudnya syariat Islam di Aceh Tengah membuat responden merasa memiliki beban mental karena malu jika dilihat orang orang-orang di luar Aceh. Responden merasa malu karena belum bisa melaksanakan tugasnya dengan maksimal, karena belum bisa mewujudkan Syariat Islam di Aceh tengah. “Nah itu tadi, beban mental, beban, karena sebenarnya saya ini di bayar untuk itu” (R3.W2.b.672-674.h.21) “Ya saya malu ya, saya malu, karena sebenarrnya ini kan tugas saya, tapi saya belum bisa melaksanakannya” (R3.W1.b.784-786.h.22) “Kalau misalnya datang orang sekarang, kayak adeklah gitu ya, saya malu, o kayak gini ya syariat Islam di Aceh, kok sama aja dengan di Medan yang gak ada syariat Islamnya? Orang di jalan juga bisa peluk-pelukan? Gak ada bedanya? Saya sebenarnya malu” (R3.W1.b.199-206.h.5) “Ya, pengennya kan melaksanakan syariat Islam, jadi kita pengennya orang itu tau bahwa di Aceh itu syariat Islam, ada bedanya, kalau kita misalnya dari sini pergi ke Jogja, sama aja dengan di sini, pergi ke Makassar, sama juga dengan di sini, nah gitu, jadi belum ada bedanya, tapi coba kalau kita pergi ke Arab, beda dengan di Indonesia, apa bedanya? Mereka menjalankan Syariat Islam, maunya gitu, jangan seperti sekarang, kalau kita pergi ke Lampung katakan gitu, sama dengan masyarakat Aceh Tengah” (R3.W2.b.678-692.h.21) Beban yang responden rasakan semakin berat karena responden merasa WH bukanlah pekerjaan inti responden karena tidak sesuai dengan latar belakang

138

pendidikan responden. Hal ini menyebabkan responden mencoba untuk menyegarkan kembali ilmu yang didapat dari pendidikan tingginya dengan mengajar menjadi dosen. Selain itu, untuk menghilangkan kejenuhannya, responden mencoba untuk memanfaatkan waktu luangnya dengan memiliki usaha kerambah. Responden juga berusaha untuk keluar dari WH dengan mendaftarkan data base nya untuk mendapatkan SK dari WH dan kemudian setelah keluar SK responden berharap akan ditempatkan di bagian lain yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. “Ya, adanya ya ada sih, kan di pemerintah itu bukan hanya di WH kan, ada juga yang sesuai pendidikan kan ada, misal seperti PU, atau perindutrian, kan ada” (R3.W2.b.607-611.h.20) “tapi saya berbenturan dengan pendidikan saya, saya kan teknik ya, teknik kok masuk ke sini, hehe, seharusnya yang bagus itukan sarjana-sarjana agama....” (R3.W1.b.316-320.h.7) “tapi ya itu tadi, beban saya itu ilmu saya bukan di situ...” (R3.W1.b.322-323.h.7) “waktu 2004 itu kan ada data base, nah saya udah masukkan data itu, SK nya SK WH, kan gitu” (R3.W2.b.592-594.h.20-21) “Ya, kalau WH ini kan suatu kerjaan umat ya, jadi bukan kerjaan inti menurut saya, jadi selama ini saya juga ngajar, dosen, untuk menyegarkan kembali ini kan” (R3.W2.b.615-619.h.20) “Ya yang sesuai dengan pendidikan saya, kayak sekarang juga bukan itu kerjaan inti saya, karena kalau gak ke kantor saya cari kegiatan lain” (R3.W2.b.622-625.h.20) “Buka usaha, buka usaha kerambah” (R3.W2.b.628.h.20)

139

Tabel 5 Sumber Stres, Appraisal, dan Coping Stres Responden III No 1.

Sumber stress

Appraisal

Coping stress Emotion focus Problem Focus

Job Complexity Merasa takut Menganggap mendapatkan beban perilaku kekerasan dari tentara atau polisi atau pelaku khamar yang ingin balas dendam terhadap responden.

a. Physical danger

Merasa bertolak b. decision making, belakang dengan responsibility, and atasan. Atasan stress tidak memahami agama dan Qanun. b. Merasa tidak bisa bekerja sama dengan atasan.

sebagai

-

a.

Menganggap sebagai Bersabar, beban yang dapat mendiamkannya saja. menghambat kinerjanya.

a. Tidak menindak tentara atau polisi yang melakukan pelanggaran jika sedang melakuakn razia sendirian. b. Memanggil POM untuk membantu menindak polisi atau tentara yang melakukan pelanggaran. c. Menyerahkan pelaku khamar kepada pihak kepolisian. a. Mencoba memberi penjelasan pada atasan mengenai tupoksi WH yang sebenarnya.

140

c. Merasa kesal karena atasan member instruksi tugas yang tidak sesuai dengan tupoksi WH d. Atasan kurang mendukung kinerja WH e. Atasan tidak menindaklanjuti pelanggar yang telah ditangkap WH f.Tingkat pendidikan WH lebih tinggi dari pada atasan. c. Work overload

b. Tetap melaksanakan instruksi atasan walaupun dengan setengah hati.

Menganggap sebagai Mengalihkan Merasa memiliki tugas beban yang dapat pikirannya ke kegiatan a. Berusaha yang sulit. menghambat kinerja lain. melaksanakan Merasa WH bukan responden. tugas semaksimal merupakan inti mungkin. pekerjaannya.

d. Organizational structure and a. Merasa bekerja development

Merasa tidak mampu

sulit melakukan apa-apa maksimal

Bersabar

b. Bekerja sebagai dosen c. Mengembangkan usaha kerambah. a. Mengajukan

141

karena jumlah personil WH hanya 3 orang di kecamatan X b. Merasa hak dan kewajibannya kurang. WH tidak berhak menangkap pelanggar yang kedapatan melakukan pelanggaran Qanun. e. Role ambiguity

Menilai sebagai beban yang dapat menghambat kinerja a. Merasa Qanun dan hukum yang responden.

mengatur tugastugas WH belum jelas, di tengahtengah, masih setengah-setengah b. Merasa tugas-tugas WH belum jelas, antara iya dan tidak. 2.

Interpersonal stress

a. Masyarakat

kurang Menganggap

sebagai Bersabar

tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH kepada pemerintah. b. Menyampaikannya kepada paman yang memiliki jabatan lebih tinggi dengan harapan akan disampaikan kepada pemerintah c. Menunggu kebijakan pemerintah terhadap WH Melaksanakan tugas dengan hati-hati, sebelum menindak, memikirkan dengan baik-baik apakah yang akan dilakukannya benarbenar tugas WH atau tidak, agar terhindar dari tanggapan negatif masyarakat. Tetap

melaksanakan

142

3.

Career development

4.

Dana

mendukung kinerja beban WH. b. Masyarakat kurang menghargai WH c. Masyarakat protes terhadap teguran WH d. Masyarakat menganggap WH tidak bekerja

tugasnya dengan memberikan pengarahan kepada masyarakat dengan cara yang lemah lembut,

Merasa karir di WH tidak bisa meningkat Merasa gaji yang diberikan tidak sesuai dengan beban kerjanya. Gaji yang diterima masih minim

Mengikuti data base.

Menerima sebagai konsekuensi pekerjaan Menganggap sebagai Mencari rasionalisasi beban. bahwa WH menang tenaga kontrak, jadi sudah sewajarnya memperoleh gaji seperti itu.

-

143

B. Interpretasi 1. Responden I a. Sumber Stres Masalah-masalah yang di alami oleh responden secara garis besar dapat digolongkan pada sumber stres dari pekerjaan. Sarafino (2006) menyatakan bahwa banyak orang-orang yang mengalami stres yang berhubungan dengan pekerjaannya. Greenberg (2006) menyatakan bahwa occupational stress adalah kombinasi dari sumber stres yang berasal dari pekerjaan, karakteristik individu, dan sumber stres yang berasal dari luar organisasi.

Stres yang dialami oleh

responden adalah ketakutan responden akan keselamatan fisiknya saat menjalankan tugas, ketiadaan jenjang kenaikan karir, ketidaksesuaian dengan atasan, beban pekerjaan berat, ketiadaan dukungan dari atasan dan pemerintah, dan gaji yang dinilai tidak sebanding dengan beban pekerjaannya yang berat. Mengenai ancaman fisik dalam pekerjaannya, responden merasa ketakutan jika seandainya pelaku pelanggaran syariat Islam yang ditegur oleh responden melakukan tindakan kekerasan terhadap responden sebagai bentuk balas dendam. Karena menurut responden laki-laki bisa saja melakukan kekerasan jika kesenangannya terganggu. Ketidakmampuan responden untuk mengontrol ketakutan akan kekerasan ini (low controllability) menyebabkan responden merasa tidak mampu mengatasi situasi menekan ini sehingga selanjutnya menimbulkan stres pada responden. Lazarus (dalam Wangsadjaya) menyatakan bahwa penilaian individu mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan (Coping-potential) merupakan salah satu cara yang digunakan individu

144

untuk menentukan apakah situasi tersebut merupakan sumber stres atau tidak. Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa sesuatu dinilai sebagai sumber stres jika dianggap mengancam atau berbahaya bagi individu. Greenberg (2006) juga meletakkan physical danger sebagai salah satu sumber stres dalam pekerjaan. Seperti orang-orang lain, responden juga memiliki keinginan untuk mendapatkan kenaikan karir. Ketiadaan jenjang kenaikan karir pada WH dicoba diterima sebagai konsekuensi pekerjaan, namun hal ini tetap menyebabkan responden mencoba untuk mencari pekerjaan lain di luar WH. Responden berusaha untuk mengikuti tes CPNS untuk mendapatkan pekerjaan lain. Lazarus (dalam Wangsadjaya) menyatakan bahwa penilaian individu yang mengacu pada tidak sesuainya kondisi suatu situasi dengan keinginan yang dimiliki individu (goal incongruence) merupakan salah satu bentuk penilaian individu terhadap situasi yang dapat memunculkan stres. Wolfe dan Kolb (1984) menyatakan bahwa perkembangan karir tidak hanya mempengaruhi pekerjaan seseorang, tetapi juga mempengaruhi hidup seseorang secara keseluruhan. Stenmetz (1979) menyatakan bahwa persepsi seseorang terhadap orang lain dalam suatu hubungan pekerjaan sangat mempengaruhi kualitas kerja yang dihasilkan. Dalam persepsinya, responden menilai bahwa responden sulit untuk bekerja sama dengan atasannya karena responden menilai WH dan Satpol PP itu bertolak belakang. Satpol PP yang bekerja dengan arogan dan dengan cara militer bertolak belakang dengan WH yang bekerja dengan perkataan dan kelembutan. Penilaian yang responden miliki terhadap atasannya sangat mempengaruhi kinerja responden dalam bekerja sama dengan atasannya. Lazarus (dalam Musbikin,

145

2005) menyatakan bahwa terdapatnya kesenjangan antara realita dengan idealita, antara keinginan dengan kenyataan dapat menimbulkan stres pada individu. Responden menilai beban pekerjaannya sebagai WH sangat berat karena responden harus mewujudkan syariat Islam di Aceh Tengah. Padahal responden menilai bahwa syariat Islam tidak akan terwujud jika hanya mengharap WH saja. Syariat Islam baru akan terwujud jika ada partisipasi semua pihak, baik dari pemerintah maupun seluruh elemen masyarakat. Beban pekerjaan yang berat ini dinilai oleh responden sebagai salah satu sumber stres. Greenberg (2006) juga meletakkan beban kerja sebagai salah satu sumber stres. Keadaan yang dialami ketika terdapat ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya dapat menyebabkan timbulnya stres (Looker & Gregson, 2005). Beban pekerjaan responden dinilai semakin berat ketika responden merasakan kurangnya dukungan pemerintah terhadap WH. Pemerintah tidak memberikan peran yang cukup luas terhadap responden agar bisa bekerja dengan maksimal. Hak WH yang dinilai minim karena WH tidak bisa menangkap pelanggar membuat responden sulit untuk melaksanakan tugasnya mewujudkan Syariat Islam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stenmetz (1979) bahwa pemerintah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pekerja. Pemerintah berperan terhadap pekerja yang merasa kurang nyaman dalam pekerjaannya, pemerintah juga berpengaruh terhadap perkembangan karir pekerja, apakah pekerja tersebut akan bertahan, depresi, merasa kurang nyaman atau bahkan merugikan orang lain.

146

Jumlah gaji yang juga dinilai minim dirasakan responden sangat menyulitkan pelaksanaan tugasnya. Responden merasa jumlah gaji yang tidak sesuai dengan beban kerja dan kebutuhan kerjanya menyebabkan responden menjadi tidak bisa mengawasi dan membina seluruh wilayah tugas responden. Jumlah gaji yang minim ini juga menjadi salah satu sumber stres pada responden. Lazarus dan Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa secara umum stres memiliki proses penilaian yang disebut cognitive appraisal. Cognitive appraisal ini dibedakan menjadi 2 tipe penilaian, yaitu penilaian primer dan penilaian sekunder. Penilaian primer merupakan penilaian individu mengenai pengaruh situasi terhadap well being individu, sedangkan penilaian sekunder merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi, mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian. Masalah-masalah yang

muncul dinilai responden sebagai hal yang

menimbulkan ketidaknyamanan, ketakutan, kekecewaan, dan kejengkelan. Penilaian primer dilakukan responden terhadap semua permasalahan yang dihadapinya. Responden mencoba untuk menilai efek dari permasalahan yang dialaminya terhadap kondisi diri dan pekerjaannya. Penilaian primer yang dilakukan responden juga terlihat dari penilaian responden terhadap perilaku massa yang dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan responden dan penilaian terhadap ketiadaan kenaikan karir pada WH.

147

Selain melakukan penilaian primer, responden juga melakukan penilaian sekunder. Responden menilai kemampuannya untuk melakukan coping, beserta efektifitas sumber daya yang dimilikinya untuk digunakan menghadapi permasalahan. Responden tetap berusaha memikirkan alternatif tindakan yang harus dilakukan responden terhadap setiap situasi. Hal ini terlihat dari rencanarencana yang responden susun dalam melaksanakan tugasnya.

b. Coping Stres Lazarus & Folkman (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2006) coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah masalah sebagai penyebab stress (problem focus coping) atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut (emotional coping stress). Permasalahan-permasalahan yang responden alami dihadapi dengan berbagai macam bentuk coping. Sebagian besar dihadapi dengan kedua bentuk coping, namun terdapat juga beberapa permasalahan yang dihadapi responden hanya dengan problem focus coping. Kekhawatiran terhadap keselamatan fisiknya saat menjalankan tugas dihadapi responden hanya dengan problem focus coping, yaitu menyiapkan semacam

148

rencana untuk menyelesaikan masalah penyebab stres, dan mengambil tindakan untuk melaksanakan rencana tersebut. Hal ini dilakukan responden dengan planful problem solving, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis dengan memperkirakan kondisi situasi yang dialaminya, jika responden menilai situasinya tidak terlalu berbahaya, maka responden akan melanjutkan tugasnya, namun jika ternyata situasi yang ada dinilai berbahaya, maka responden berencana untuk tidak terjun ke lapangan, atau memberikan teguran dengan cara yang lembut, dan merazia secara fardiyah (pendekatan personal) saja agar terhindar dari bentrokan dengan masyarakat. Permasalahan mengenai minimnya hak WH dan ribetnya administrasi pekerjaannya yang harus menggunakan SPJ jika akan bertugas juga dihadapi responden hanya dengan problem focus coping, berupa planful problem solving, dimana responden akan mengajukan tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH jika melaksanakan rapat dengan atasannya. Selain itu responden juga berencana untuk hanya melaksanakan tugas secara fardiyah saja jika tidak menggunakan SPJ. Selain kedua permasalahan di atas, permasalahan mengenai ketiadaan jenjang kenaikan karir di WH juga dihadapi responden hanya dengan problem focus coping, dimana responden mencoba untuk mengikuti tes CPNS agar dapat memperoleh pekerjaan lain yang memiliki jenjang kenaikan karir. Jika ketiga permasalahan di atas dihadapi responden dengan hanya menggunakan problem focus coping, maka untuk permasalahan yang lain dihadapi responden dengan menggabungkan antara problem focus coping dengan

149

emotional

focus coping. Misalnya dalam menghadapi permasalahan dengan

atasannya, walaupun responden menghadapinya dengann accepting responsibility, yaitu usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik, dimana responden merasa bahwa responden tidak mampu melakukan apa-apa karena memang konsekuensi dari posisinya sebagai bawahan, responden tetap berusaha untuk melakukan apa yang bisa dilakukannya dan membiarkan atasannya melakukan apa yang dilakukan atasan selama menurut responden hal tersebut adalah benar. Selain itu, dalam menghadapi permasalahan beratnya beban pekerjaannya, responden menggunakan emotional focus coping berupa positive reappraisal yaitu usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius, yaitu dengan mencoba untuk mencari sisi positif dari pekerjannya, dengan menganggap bahwa walaupun tugas WH berat, namun di sisi lain memiliki banyak pahala, selain itu responden juga mencoba untuk mencari dukungan emosional dengan berbagi dengan teman-temannya, mencoba untuk bersama mencari jalan keluar dari permasalahannya. Namun responden juga menggunakan problem focus coping, berupa planful problem solving dengan menyiapkan rencana untuk melakukan pendekatan personal terhadap masyarakat khususnya kaum ibu, agar kaum ibu mampu menjaga dan membimbing anak-anaknya, sehingga beban pekerjaan WH tidak terlalu berat.

150

Untuk permasalahan mengenai kurangnya dukungan masyarakat terhadap WH, dihadapi responden dengan self-control yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan dengan bersabar dan mengikhlaskannya, selain itu responden juga menggunakan seeking social support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dengan mencari dukungan emosional dari rekan-rekannya. Namun responden juga menggunakan problem focus coping berupa planful problem solving yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis, dengan berusaha untuk menegur masyarakat dengan lembut, melakukan razia secara fardiyah saja untuk menghindari respon negatif yang diberikan masyarakat. Responden juga pernah langsung menunjukkan ayat Al-Quran mengenai wajibnya menutup aurat agar masyarakat tidak lagi memberikan protes terhadap responden.

2. Responden II a. Sumber stres Dari beberapa dimensi pekerjaan, dimensi pekerjaan yang menjadi sumber stres bagi responden adalah kerja sama yang kurang baik dengan atasannya. Kerja sama yang kurang baik ini disebabkan karena responden merasa kurang mampu bekerja sama dengan atasannya, yaitu Satpol PP karena responden menganggap WH dan Satpol PP itu bertolak belakang, cara bekerja Satpol PP yang keras, arogan dan seperti militer dinilai bertolak belakang dengan cara kerja WH yang menggunakan perkataan dan dengan cara yang lembut. Apalagi responden menganggap bahwa dari segi pendidikan saja Satpol PP lebih rendah

151

dibandingkan dengan WH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stenmetz (1979) bahwa persepsi seseorang terhadap orang lain dalam suatu hubungan pekerjaan sangat mempengaruhi kualitas kerja yang dihasilkan. Penilaian negatif yang responden miliki terhadap atasannya menyebabkan responden tidak dapat melakukan kerja sama yang baik dengan atasannya, dan hal ini ternyata menimbulkan stres tersendiri bagi responden. Kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah terhadap WH juga dirasakan responden sebagai salah satu sumber stres. Pemerintah kurang memberikan fasilitas yang maksimal terhadap WH. Kekuatan hukum, perlindungan dan gaji yang dirasa minim dinilai sebagai kendala yang menghambat kinerja responden. Para pelanggar yang telah ditangkap responden namun dilepaskan oleh pemerintah membuat responden merasa kesal dan jengkel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stenmetz (1979) bahwa pemerintah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pekerja. Pemerintah berperan terhadap pekerja yang merasa kurang nyaman

dalam

pekerjaannya,

pemerintah

juga

berpengaruh

terhadap

perkembangan karir pekerja, apakah pekerja tersebut akan bertahan, depresi, merasa kurang nyaman atau bahkan merugikan orang lain. Selain merasa kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah, kurangnya dukungan yang diberikan masyarakat juga dirasakan sebagai salah satu sumber stres, karena responden menilai masyarakat seringkali memberikan protes terhadap nasihat-nasihat yang responden berikan. Masyarakat juga belum menunjukkan perubahan yang berarti walaupun telah seringkali dinasihati. Responden merasa marah, kesal dan jengkel terhadap masyarakat. Hal ini sesuai

152

dengan pernyataan Greenberg (2006) bahwa lingkungan di luar organisasi juga dapat mempengaruhi pekerjaan seseorang. Lingkungan masyarakat yang mempengaruhi pekerjaan responden menjadi beban tersendiri bagi responden. Responden juga mengalami konflik dengan rekan sekantornya. Greenberg (2006) menyatakan bahwa hubungan yang kurang baik dengan rekan sekantor merupakan salah satu sumber stres dalam pekerjaan. Konflik yang dialami dengan rekan sekantornya ini disebabkan karena perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh responden dan rekan responden tersebut. Konflik ini kemudian menyebabkan responden merasa malas untuk datang ke kantor. Responden menilai beban pekerjaannya sebagai WH sangat berat karena pekerjaan WH berhubunagn dengan konsekuensi mental. Responden menilai bahwa WH merupakan pekerjaan yang terberat di Aceh Tengah. Apalagi yang menjadi WH di wilayah tersebut hanya responden sendiri. Tugas yang terlalu banyak (work overload) karena harus responden kerjakan sendiri juga dinilai sangat menyulitkan responden. Greenberg (2006) meletakkan beban kerja sebagai salah satu sumber stres. Beban kerja merupakan tuntutan terhadap pekerjaan yang dirasa tidak mampu untuk diselesaikan. Perasaan tidak mampu ini akan dapat berkembang menjadi stres. Semua permasalahan yang responden alami dinilain oleh responden sebagai beban yang dapat menghambat kinerjanya. Walaupun demikian, untuk beberapa permasalahan, seperti permasalahan beban kerja yang terlalu berat dan ketiadaan jenjang karir di WH dinilai responden sebagai konsekuensi dari pekerjaannya, dan responden mencoba untuk menerima konsekuensi tersebut.

153

b. Coping Stres. Permasalahan-permasalahan yang responden alami dihadapi dengan berbagai macam bentuk coping. Sebagian besar dihadapi dengan kedua bentuk coping, namun terdapat juga beberapa permasalahan yang dihadapi responden hanya dengan emotional focus coping. Permasalahan yang hanya responden hadapi dengan emotional focus coping adalah permasalahan mengenai ketiadaan jenjang kenaikan karir di WH. Walaupun responden memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh kenaikan karir, namun status WH yang hanya tenaga kontrak mengharuskan responden untuk menerima kondisi ini. Menghadapi kondisi ini, responden menggunakan emotional focus coping berupa accepting responsibility, yaitu usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Untuk permasalahan hubungan dengan atasannya, responden menggunakan emotional focus coping berupa self-control, yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan dengan cara bersabar. Walaupun responden menghindari membawa urusan kantor ke rumah, terkadang responden tidak mampu menahan emosinya hingga permasalahan yang dialami di kantor dilampiaskan kepada keluarganya. Namun, responden juga menggunakan problem focus coping berupa planful problem solving, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan

154

analitis. Hal ini dilakukan responden dengan tetap melakukan hal yang dianggap benar dan membiarkan atasannya melakukan apapun yang diinginkan atasannya. Permasalahan berupa beratnya beban pekerjaan, responden hadapi dengan emotion focused coping dan problem focused coping. Emotion focused coping yang

digunakan

berupa

avoidance,

yaitu

keinginan

untuk

melupakan

permasalahan yang ada dan menghindari diri darinya. Hal ini dilakukan responden dengan berusaha melupakan permasalahan yang dihadapinya dan menghindari kondisi ini dengan mencoba untuk mencari pekerjaan lain. Walaupun demikian, responden juga menggunakan problem focused coping berupa planful problem solving, yaitu dengan mengisi pengajian di daerah yang dapat dijangkau saja dan melakukan razia secara fardiyah saja. Menghadapi permasalahan mengenai hak dan kewajiban WH yang minim, responden menggunakan emotional focused coping berupa self-control dan problem focused coping berupa planful problem solving, yaitu dengan mengajukan tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH kepada pemerintah. Setelah menyampaikan tuntutannya, walaupun responden belum mendapatkan perkembangan yang berarti, responden mencoba untuk bersabar menunggu kebijakan pemerintah. Emotion focused coping berupa avoidance dilakukan responden ketika responden menghadapi permasalahan dengan rekan sekantornya. Responden berusaha untuk menghindari situasi konflik dengan rekan sekantornya dengan tidak datang ke kantor dan lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan. Ketidakhadiran responden ke kantor diharapkan dapat menghindar dari berkumpul

155

bersama rekan-rekan kantornya yang dinilai lebih banyak mudharat-nya dari pada hal positifnya.

3. Responden III a. Sumber stres Ketika aspek dari pekerjaan dirasakan tidak jelas, maka frustasi dan stres dapat timbul pada diri individu (Greenberg, 2006). Hal ini sesuai dengan apa yang dialami oleh responden. Responden merasa tugas WH tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan tupoksi yang jelas, sehingga responden seringkali merasa ragu-ragu dalam menjalankan tugasnya, responden takut jika ternyata responden melakukan tugas orang lain yang dapat memunculkan penilaian negatif dari masyarakat, walaupun responden yakin apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. Permasalahan yang responden alami ini dinilai sebagai beban terberat dari pekerjaannya. Beban yang dirasakan responden semakin kuat ketika responden mendapatkan tugas yang berbeda dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) WH dari atasannya, Satpol PP. Responden menilai Satpol PP tidak memahami tupoksi WH yang menyebabkan Satpol PP seringkali memberi tugas yang tidak sesuai dengan tupoksi WH. Hal ini membuat responden merasa tidak nyaman sehingga melaksanakan tugasnya dengan setengah hati. Selain menilai Satpol PP tidak memahami tupoksi WH, responden juga menilai bahwa Satpol PP tidak memahami agama dan Qanun. Hal ini ditambah dengan tingkat pendidikan Satpol PP yang lebih rendah dari pada WH. Penilaian responden terhadap atasannya ini

156

sangat mempengaruhi kinerja responden. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stenmetz (1979) bahwa persepsi seseorang terhadap orang lain dalam suatu hubungan pekerjaan sangat mempengaruhi kualitas kerja yang dihasilkan. Penilaian negatif yang responden miliki terhadap atasannya menyebabkan responden tidak dapat melakukan kerja sama yang baik denagn atasannya, dan hal ini ternyata menimbulkan stres tersendiri bagi responden. Dalam melaksanakan tugasnya, responden mengalami ketakutan ketika responden menindak pelaku pelanggar syariat Islam yang berasal dari tentara atau polisi. Responden menilai bahwa tentara dan polisi bisa saja balas dendam dan melakukan tindakan berbahaya terhadap responden yang bisa mengamcam keselamatan jiwa responden. Responden merasa siap untuk melaksanakan tugasnya namun belum siap mati. Rasa ketakutan juga dialami responden ketika responden menindak pelaku khamar, dimana responden merasa bahwa pelaku khamar adalah orang-orang yang arogan yang bisa saja melakukan tindakan kekerasa terhadap responden sebagai bentuk balas dendam atas penangkapan yang responden lakukan. Dan kondisi ini menimbulkan stres bagi responden. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lazarus dan Folkman (1984) bahwa sesuatu dinilai sebagai sumber stres jika dianggap mengancam atau berbahaya bagi individu. Greenberg (2006) juga meletakkan physical danger sebagai salah satu sumber stres dalam pekerjaan. Kondisi masyarakat yang belum sesuai dengan syariat Islam membuat responden merasa malu karena responden merasa belum mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Responden merasa ketidakjelasan tugas dan faktor

157

keamanan yang mempengaruhi kinerja responden menyebabkan responden merasa takut sehingga tidak mampu menjalankan tugasnya dengan maksimal. Apalagi responden merasa kesulitan melaksanakan tugasnya dengan jumlah personil WH yang hanya 3 (tiga) orang di kecamatannya. Responden merasa mengalami beban mental menghadapi kondisi ini. Greenberg (2006) menyatakan bahwa keyakinan bahwa pekerjaan telah dilakukan dengan benar merupakan salah satu bentuk motivasional factor yang berpengaruh terhadap kenyamanan dalam bekerja. Jika seseorang tidak memiliki keyakinan bahwa pekerjaannya telah dilakukan dengan benar, maka hal ini akan berpengaruh terhadap motivasi kerjanya yang dapat menimbulkan job dissatisfaction yang merupakan salah satu sumber stres dalam pekerjaan.

b. Coping stres. Permasalahan-permasalahan yang responden alami dihadapi dengan berbagai macam bentuk coping. Sebagian besar dihadapi dengan kedua bentuk coping, namun terdapat juga beberapa permasalahan yang dihadapi responden hanya dengan problem focus coping atau hanya dengan emotional focus coping. Permasalahan yang dihadapi hanya dengan problem focused coping adalah permasalahan ketakutan mendapatkan perilaku kekerasan dari tentara atau polisi atau pelaku khamar yang ingin balas dendam terhadap responden. Untuk menghadapi permasalahan ini, responden mengunakan problem focused coping berupa planful problem solving, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis. Hal ini

158

dilakukan responden dengan tidak menindak tentara atau polisi yang melakukan pelanggaran jika sedang melakukan razia sendirian. Atau responden akan memanggil POM (Polisi Militer) untuk membantu menindak polisi atau tentara yang

melakukan

pelanggaran.

Untuk

pelaku

khamar,

responden

akan

menyerahkan pelaku khamar tersebut kepada pihak kepolisian, karena responden menilai pihak keepolisian memiliki kekuatan hukum yang lebih untuk menindak pelaku khamar. Permasalahan lain yang dihadapi responden hanya dengan problem focused coping adalah permasalahan ketidak jelasan tugas dan hak WH. Untuk menghadapi permasalahan ini, responden menggunakan problem focused coping berupa planful problem solving, yaitu dengan melaksanakan tugas penuh hati-hati, sebelum menindak responden akan memikirkan dengan baik-baik apakah yang akan dilakukannya benar-benar tugas WH atau tidak, agar terhindar dari tanggapan negatif masyarakat. Selain kedua permasalahan di atas, permasalahan lain yang dihadapi responden hanya dengan problem focused coping adalah permasalahan ketiadaan jenjang tingkatan karir di WH. Menghadapi permasalahan ini, responden menggunakan problem focused coping berupa planful problem solving dengan mendaftarkan diri pada program data base yang disediakan pemerintah. Responden berharap denagn mengikuti program data base ini, responden akan memperoleh SK dari WH sehingga responden dapat mencari pekerjaan lain. Permasalahan yang responden alami dengan atasannya dihadapi responden dengan menggabungkan emotion focused coping dan problem focused coping.

159

Responden mencoba untuk memberi penjelasan pada atasan mengenai tupoksi WH yang sebenarnya. Dengan memberi penjelasan ini, responden berharap atasannya akan memahami tupoksi WH sehingga tidak akan memberi instruksi yang berlawanan dengan tupoksi WH. Tetap melaksanakan instruksi atasan walaupun dengan setengah hati. Setelah responden member penjelsan kepada atasannya, ternyata atasannya tidak memahami apa yang responden sampaikan. Hal ini membuat responden merasa kesal dan kecewa, namun responden berusaha untuk mengatur dirinya (Self-control) dengan mengatur perasaannya untuk bersabar menghadapi kondisi ini. Beban pekerjaan yang dirasa sangat berat dihadapi responden dengan menggabungkan emotion focused coping dan problem focused coping. Responden berusaha untuk tetap melaksanakan tugas semaksimal mungkin. Namun responden juga berusaha untuk mengalihkan perhatiannya dengan mencari kegiatan lain seperti mengembangkan usaha kerambah dan bekerja sebagai dosen untuk menghilangkan kejenuhannya dan menyegarkan kembali ingatan pada ilmu teknik yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Menghadapi permasalahan kurang maksimalnya hak dan kewajiban WH, responden mencoba untuk mengajukan tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH kepada pemerintah. Selain itu responden juga mencoba untuk menyampaikannya kepada paman responden yang memiliki jabatan lebih tinggi dengan harapan akan disampaikan kepada pemerintah. Namun setelah menunggu beberapa waktu dan responden belum mendapatkan perkembangan yang berarti

160

dari pemerintah, responden mencoba untuk menunggu saja kebijakan pemerintah dan mengontrol emosinya dengan bersabar menghadapi kondisi ini. Menghadapi permasalahan dari masyarakat, responden mencoba untuk tetap melaksanakan tugasnya dengan memberikan pengarahan kepada masyarakat dengan cara yang lemah lembut, responden berharap dengan diperlakukan seperti ini, masyarakat tidak akan memberikan protes pada responden. Jika masyarakat masih memberikan protes, maka responden mencoba untuk bersabar saja. Responden juga menghadapi permasalahan yang dihadapinya dengan hanya menggunakan emotional focus coping. Hal ini terlihat dari cara responden menghadapi permasalahan minimnya gaji yang diberikan pemerintah untuk WH dengan rasionalisasi, yaitu mencari alas an logis dari situasi yang terjadi. Dimana responden berfikir bahwa dengan posisi WH sebagai tenaga kontrak, maka adalah suatu hal yang wajar jika WH memiliki jumlah gaji yang minim.

161

Rangkuman Analisa Antar Responden Berdasarkan analisa masing-masing responden yang telah dilakukan, maka pada tabel berikut ini akan dijelaskan dengan lebih ringkas rangkuman analisa antara ketiga responden. Tabel 6. Rangkuman Analisa Antar Responden N o

1.

Sumber Stres

physical danger Ketakutan terhadap tindakan brutal yang akan dilakukan masyarakat

Responden I Emotional Problem Focus Focus Coping Coping a. Tidak terjun ke lapangan jika kondisi dinilai membahay akan b. Memberika n teguran dengan cara yang lembut, dengan intonasi suara yang lembut. c. Merazia

Sumber Stres

-

Responden II Emotional Focus Coping -

Problem Focus Coping -

Responden III Emotional Problem Focus Focus Coping Coping takut a. Tidak

Sumber Stres

Merasa mendapatkan perilaku kekerasan dari tentara atau polisi atau pelaku khamar yang ingin balas dendam terhadap responden.

menindak tentara atau polisi yang melakukan pelanggara n jika sedang melakuakn razia sendirian. b. Memanggil POM untuk membantu menindak

162

secara fardiyah (pendekata n personal) saja.

2.

Merasa tidak decision mampu making, responsibility melakukan apa-apa , and stress a. Merasa kurang sinkron dengan atasan. Atasan dinilai memiliki cara memimpin yang keras,

polisi atau tentara yang melakukan pelanggara n. c. Menyerahka n pelaku khamar kepada pihak kepolisian.

Membiarkan a. Merasa pimpinan kurang melakukan sinkron apa yang dengan dilakukannya atasan. dan tetap Atasan melakukan hal dinilai yang dianggap memiliki benar,

cara memimpin yang keras, arogan, dan mendidik

Bersabar, terkadang melampiaskan ke keluarga.

Membiarkan a. Merasa bertolak Bersabar, pimpinan mendiamka belakang melakukan dengan atasan. nnya saja apa yang Atasan tidak dilakukannya memahami dan tetap agama dan melakukan Qanun. hal yang b. Merasa tidak dianggap bisa bekerja benar,

sama dengan atasan. c. Merasa kesal karena atasan memberi instruksi tugas

a. Mencoba memberi penjelasan pada atasan mengenai tupoksi WH yang sebenarnya. b. Tetap melaksanak an instruksi atasan walaupun dengan setengah

163

sementara WH bekerja dengan cara yang lembut. b. Atasan kurang mendukung kinerja WH c. Atasan tidak memahami Qanun. d. Atasan tidak menindakla njuti pelanggar yang telah ditangkap WH e. Atasan juga banyak terlibat kasus pelanggaran Qanun

dengan cara militer, sementara WH bekerja dengan perkataan dan cara yang lembut. b. Atasan kurang mendukun g kinerja WH c. Atasan tidak menindakl anjuti pelanggar yang telah ditangkap WH d. tingkat pendidika n WH lebih

yang tidak sesuai dengan tupoksi WH d. Atasan kurang mendukung kinerja WH e. Atasan tidak menindaklanjut i pelanggar yang telah ditangkap WH f. Tingkat pendidikan WH lebih tinggi dari pada atasan.

hati.

164

tinggi dari pada atasan. 3.

work overload a.Mencari Merasa beban sisi pekerjaannya positif, sangat berat dengan

Menyiapkan rencana untuk melakukan pendekatan mengangg personal terhadap ap bahwa masyarakat walaupun khususnya tugas WH kaum ibu.

berat, namun memiliki banyak pahala. b. Sharing dengan rekanrekan sesama WH kecamata n. 4.

organizational structure and

-

a. Jika dilaksanaka

a. Merasa beban pekerjaan nya sangat berat b. Merasa sulit bekerja maksimal karena hanya sendirian di kecamata nX

Ingin a. Mengisi melupakan pengajia segala n di permasalahan daerah dan yang menghindari dapat situasi ini dijangka dengan u saja berhenti dari b. Melakuk WH

Merasa tidak a. Merasa hak dan mampu

Merasa memiliki tugas yang sulit. Merasa WH bukan merupakan inti pekerjaannya.

Mengalihka a. Berusaha n melaksanak pikirannya an tugas ke kegiatan semaksimal lain.

an razia secara fardiyah saja.

a. Melalui rekan-

a. Merasa bekerja

sulit Bersabar

mungkin. b. Bekerja sebagai dosen c. Mengemban gkan usaha kerambah.

a. Mengajukan tuntutanny

165

development a. Merasa hak dan kewajibann ya kurang. WH tidak berhak menagkap pelanggar yang kedapatan melakukan pelanggaran Qanun.

b. Merasa ribet dengan administras i yang memerluka n SPJ jika akan turun ke lapangan

n rapat dengan atasan, responden mengajukan tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH. b. Jika tidak ada SPJ, responden melakukan tugas secara fardiyah (pendekatan personal) saja.

kewajiban nya kurang. WH tidak berhak menagkap pelanggar yang kedapatan melakuka n pelanggar an Qanun. b. Merasa tidak mampu melakuka n apa-apa jika pelanggar yang ditangkap ternyata kemudian dilepaska n oleh atasan c. Mengala

melakukan apa-apa. Menghindari situasi berkumpul dengan rekanrekannya.

rekan sesama WH, responde n mengaju kan tuntutan nya untuk menamb ah hak dan kewajiba n WH. b. Menung gu kebijaka n pemerint ah terhadap WH c. Mengura ngi jam ke kantor, sehingga

maksimal karena jumlah personil WH hanya 3 orang di kecamatan X b. Merasa hak dan kewajibannya kurang. WH tidak berhak menagkap pelanggar yang kedapatan melakukan pelanggaran Qanun.

a untuk menambah hak dan kewajiban WH kepada pemerintah . b.Menyampai kannya kepada paman yang memiliki jabatan lebih tinggi dengan harapan akan disampaik an kepada pemerintah c. Menunggu kebijakan pemerintah terhadap WH

166

mi konflik dengan rekan di kantor

5.

Role ambiguity

-

-

-

lebih banyak ke lapangan agar tidak banyak mengha biskan waktu dengan rekanrekan di kantor -

-

a. Merasa Qanun dan hukum yang mengatur tugas-tugas WH belum jelas, di tengah-tengah, masih setengahsetengah b. Merasa tugastugas WH belum jelas,

Melaksanakan tugas dengan hati-hati, sebelum menindak, memikirkan dengan baikbaik apakah yang akan dilakukannya benar-benar tugas WH atau tidak, agar terhindar dari

167

antara iya dan tidak. 6.

Interpersonal stress a. Masyarakat kurang mendukung kinerja WH. b. Masyarakat kurang menghargai WH c. Masyarakat protes terhadap teguran WH

d. Masyaraka t selalu menyalahkan WH

Sharing a. Menunjukka a. Masyarakat dengan n ayat Alkurang rekan-rekan Quran untuk mendukun meyakinkan sesama WH g kinerja masyarakat kecamatan, WH. bersabar, b. Menegur b. Masyarakat ikhlas, masyarakat kurang dengan mengharg lembut ai WH c. Melakukan c. Masyarakat razia secara protes fardiyah saja. terhadap

teguran WH d. Masyarakat selalu menyalah kan WH e. Tidak mampu terlalu memaksa masyarak at desa yang

a. Sharing dengan rekanrekan di kantor dan dengan suami. b. Mengung kapkan kemaraha nnya pada masyarak at

Memberikan pengarahan kepada masyarakat melalui pengajian dan melakukan pendekatan terhadap para orang tua, terutama pada para Ibu.

a. Masyarakat Bersabar kurang mendukung kinerja WH. b. Masyarakat kurang menghargai WH c. Masyarakat protes terhadap teguran WH d. Masyarakat menganggap WH tidak bekerja

tanggapan negatif masyarakat. Tetap melaksanakan tugasnya dengan memberikan pengarahan kepada masyarakat dengan cara yang lemah lembut,

168

berkelubu ng untuk mengguna kan jilbab 7.

Career development Merasa karir di WH tidak bisa meningkat

Mengikuti tes CPNS agar bisa mendapatkan pekerjaan lain yang memiliki jenjang kenaikan karir.

Merasa karir di WH tidak bisa meningkat

8.

Dana

a. Mengajuka n tuntutan penambaha n gaji kepada atasan b. Melaksana kan tugas ke daerahdaerah yang dapat dijangkau saja.

Merasa gaji Menyukuri yang diberikan apa yang ada tidak sesuai dengan beban kerjanya. Gaji yang diterima masih minim

Menganggap

pekerjaannya a. Merasa gaji yang untuk amal. diberikan tidak sesuai dengan beban kerjanya. Gaji yang diterima masih di bawah UMR

Merasa tidak mampu melakukan apa-apa

Mengajukan tuntutan penambahan gaji kepada atasan

Merasa karir di WH tidak bisa meningkat

Merasa gaji yang diberikan tidak sesuai dengan beban kerjanya. Gaji yang diterima masih minim

Mengikuti data base.

Mencari rasionalisasi bahwa WH menang tenaga kontrak, jadi sudah sewajarnya memperoleh gaji seperti itu.

169

(Upah Minimum Rata-rata) b. Tidak diberikan dana transportas i oleh pemerintah untuk melakukan pengawasa n ke daerahdaerah .

170

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Pada BAB ini, peneliti akan menyimpulkan jawaban-jawaban dari permasalahan penelitian. Selanjutnya, kesimpulan didiskusikan berdasarkan teori dan hasil penelitian sebelumnya. Pada akhir BAB ini juga dikemukakan saransaran praktis dan metodologi yang berguna bagi peneliti selanjutnya yang meneliti tema coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data dan interpretasi, maka diambil kesimpulan bahwa: 1. Sumber stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa pada penelitian ini adalah sumber stres yang berasal dari pekerjaan. Adapun dimensi dari pekerjaan yang menimbulkan stres adalah physical danger, decision making, responsibility and stress, work overload, role ambiguity, interpersonal stress, career development, organizational structure and development. Pada responden I, responden tidak menganggap dimensi role ambiguity sebagai sumber stres, namun responden menanggap keenam dimensi pekerjaan lainnya sebagai sumber stres. Pada responden II, responden tidak menganggap physical danger dan role ambiguity sebagai sumber stres, namun responden menganggap dimensi pekerjaan lainnya sebagai sumber stres. Pada

171

responden III, responden menanggap seluruh dimensi pekerjaan adalah sumber stres. 2. Untuk beberapa permasalahan, ketiga responden menggunakan emotion focused coping dan problem focused coping untuk menyelesaikan masalah, namun untuk beberapa permasalahan lainnya responden menggunakan emotion focused coping atau problem focused coping saja. Responden I menggunakan emotion focused coping dan problem focused coping pada sumber stres berupa decision making, responsibility and stress, work overload, dan interpersonal stres. Namun hanya menggunakan problem focused coping pada sumber stres berupa physical danger, career development, organizational structure and development. Responden II menggunakan emotion focused coping dan problem focused coping pada sumber stres berupa decision making, responsibility and stress, work overload, interpersonal stress, organizational structure and development. Namun responden hanya menggunakan emotion focused coping pada sumber stres berupa career development. Responden III menggunakan emotion focused coping dan problem focused coping pada sumber stres berupa physical danger, decision making, responsibility and stress, work overload, role ambiguity, interpersonal stress, career development, organizational structure and development, namun hanya menggunakan problem focused coping pada sumber stres physical danger, role ambiguity, dan career development.

172

3. Jika merasa tidak mampu melakukan apa-apa lagi, maka ketiga orang responden memilih untuk diam saja dan bersabar menghadapi kondisi yang ada. Namun perilaku diam dan sabar yang dilakukan oleh ketiga orang responden memiliki bentuk yang berbeda-beda. Responden I memilih untuk diam dengan mengikhlaskan semua yang terjadi dan menganggapnya sebagai amal yang akan mendatangkan pahala, sedangkan responden II memilih untuk diam dan menganggap bahwa yang penting responden telah berusaha melaksanakan tugas dengan maksimal. Responden III memilih untuk diam karena memang merasa tidak mampu melakukan apa-apa lagi dan menganggap bahwa keinginannya belum bisa tepenuhi. 4. Walaupun ketiga mengetahui adanya ancaman fisik terhadap WH, namun hanya responden I dan III saja yang menganggapnya sebagai sumber stres. Responden II tidak menganggapnya sebagai sumber stres karena responden II menganggap bahwa tindakan brutal yang dilakukan pelanggar yang dapat mengancam keselamatan WH hanya akan terjadi jika WH memberikan pengarahan dengan cara arogan yang biasanya dilakukan oleh WH laki-laki yang menangkap pelaku zina. Sementara responden II adalah seorang wanita yang berusaha untuk memberikan pengarahan dengan cara yang lemah lembut dan tidak menangani kasus zina, sehingga akan terhindar dari kekerasan. Berbeda hal nya dengan responden II, walaupun responden I juga menilai tindakan brutal akan dilakukan oleh masyarakat jika WH memberikan pengarahan dengan cara yang kasar dan arogan, responden I tetap memandang bahwa tindakan brutal tetap saja dapat dilakukan oleh pelanggar

173

jika pelanggar merasa kesenangannya di ganggu, walaupun WH memberikan pengarahan dengan cara yang lembut, sehingga hal ini tetap dinilai sebagai sumber stres oleh responden I. Begitu juga dengan responden III. Responden III menilai ancaman terhadap keselamatan fisik merupakan salah satu sumber stres karena responden menilai pelanggar yang terganggu kesenangannya akan marah dan akan melakukan tindakan balas dendam terhadap WH walaupun WH memberikan pengarahan dengan cara yang lembut. 5. Walaupun ketiga orang responden memiliki tupoksi yang sama, hanya responden III yang menganggap bahwa tupoksi WH belum jelas sehingga menyebabkan timbulnya stres, sementara responden I dan II menganggap bahwa tupoksi WH telah jelas sehingga tidak menganggapnya sebagai sumber stres. Responden III menganggap tupoksi WH sebagai sumber stres karena responden menilai Qanun yang mengatur WH belum jelas, masih setengahsetengah, antara iya dan tidak, sehingga responden III seringkali merasa ketakutan jika akan melaksanakan tugas, responden III merasa takut jika ternyata apa yang dilakukannya sebenarnya bukanlah tupoksi WH. Berbeda hal nya dengan responden III, responden I dan II merasa bahwa tupoksi WH telah jelas, sehingga tidak menganggapnya sebagai sumber stres.

B. Diskusi 1. Dalam bukunya Personal Psychology for Life, Rita (1983) menyatakan bahwa pimpinan yang baru berarti orang yang berbeda, dan hubungan yang baru terhadap pimpinan yang baru selalu membutuhkan penyesuaian. Hal ini bisa

174

menjadi suatu kesulitan untuk di terima dan membutuhkan perubahan terhadap penerimaan orang lain. Perubahan atau penggantian pimpinan dalam sebuah instansi dapat menjadi penyebab timbulnya stres bagi karyawan. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami ketiga responden. Pada awalnya ketiga responden merasa dapat melakukan kerja sama yang baik dengan atasannya yaitu Dinas Syariat Islam, namun ketika atasan mereka diganti menjadi Satpol PP yang dinilai bertolak belakang dengan WH, ketiga responden merasa kurang nyaman dan merasa sulit untuk bekerja sama dengan baik. 2. Ketiga responden umumnya memilih menggunakan strategi problem focused coping untuk menyelesaikan masalah di awal timbulnya stressor. Namun saat usaha

tersebut

tidak

berhasil,

akhirnya

masing-masing

responden

menggunakan emotion focused coping. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984) bahwa saat suatu kondisi dinilai dapat dirubah, individu cenderung melakukan problem focused coping, namun saat seseorang menilai bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah kerusakan, ancaman, atau kondisi lingkungan, individu akan cenderung menggunakan emotion focused coping. 3. Pada ketiga orang responden, responden wanita menggunakan emotional focus coping lebih sering dari pada responden pria. Hal ini sesuai dengan penelitian Billings dan Moos dalam Sarafino (2006) yang menemukan bahwa walaupun wanita dan laki-laki sama-sama menggunakan problem focus coping dan emotional focus coping, ternyata wanita lebih sering menggunakan emotional focus coping dibandingkan dengan laki-laki.

175

4. Dari ketiga orang responden, responden I dan II yang merupakan WH wanita menilai tupoksi WH sudah jelas dan tidak ambigu, sementara responden III yang merupakan WH laki-laki menganggap tupoksi WH belum jelas, masih setengah-setengah, antara iya dan tidak. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan French dkk (dalam Greenberg, 2004) yang menyatakan bahwa wanita cenderung untuk mempersepsikan suatu tugas tersebut ambigu dibandingkan dengan laki-laki.

C. Saran 1. Saran Praktis a. Bagi para WH yang ditempatkan di desa, diperlukan pembekalan diri dengan pengetahuan yang cukup mengenai coping stres dan mempersiapkan diri baik secara mental maupun material agar dapat tetap menjalankan tugas dengan maksimal. b. Bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan perlakuan yang lebih baik terhadap WH agar beban berupa perlakuan buruk yang diberikan masyarakat terhadap WH tidak lagi menjadi kendala bagi WH dalam menjalankan tugas, sehingga kedepannya WH dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal, agar syariat Islam benar-benar dapat ditegakkan di NAD. c. Bagi Satpol PP, diharapkan agar dapat memberikan pola kepemimpinan yang sesuai pada WH dan memberikan dukungan yang penuh terhadap WH. d. Bagi pemerintah, diharapkan agar meninjau kembali kebijakan mengenai hak dan kewajiban WH dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.

176

2. Saran penelitian lanjutan Agar penelitian selanjutnya yang menggunakan tema yang sama memiliki hasil yang lebih komprehensif, diharapkan agar: a. Penelitian selanjutnya menggunakan metode observasi sebagai alat pengumpul data. b. Peneliti mengambil data tambahan yang diperoleh dari orang-orang yang signifikan

dengan

responden

dalam

bentuk

heteroanamnesa,

yaitu

mengumpulkan informasi dari pihak-pihak lain yang terkait, seperti keluarga, teman, serta dokumentasi pribadi seperti surat-surat ataupun catatan harian responden.

177

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar. 2008. Konsep Penerapan Syariat Islam dalam Pencegahan Prilaku menyimpang Pada Remaja SMA Kota Banda Aceh.

Afrida, nani. 2006. Konvoi Razia. AcehFeature_org - Peutroek Nyang Keubit, Ta Jagaa Damee.htm Alsa, Asmadi. 2004. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Cooper, L. Cary & Michael. 1985. Job Stress and Blue Collar Work. Great Britain: John Willey & Sons Ltd. Davison, G., Neale, J., & Kring, A. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Furgani, Hafadz. 2007. Beberapa Catatan Tentang Wilayatul Hisbah. http://www.acehinstitute.org/opini_250407_hafas_furqani_tentang_wh.htm Gilmer, Von Haller. 1966. Industrial Psychology. Tokyo: Kogakusha Company Greenberg, Jerrold. 2004. Comprehensive Stress Management. New York: Mc. Graw Hill Himpunan Peraturan Daerah (Perda) Qanun-Qanun Instruksi Gubernur berkaitan dengan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh Tengah: Dinas Syariat Islam Indosiar.com. 2006. Cinta Terlarang di Nergeri Syari’at. http://www.indosiar.com/news/jejak-kasus/54123/cinta-terlarang-di-negerisyariat. Jamhuri. 2005. Wilayatul Hisbah Bukan Polisi Syariat. http://www.serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=338. Kolb, David dkk. 1984. Organizasional Psychology. New Jersey: Prentice-Hall Lahey, B. 2004. Psychology An Introduction. New York: Mc. Graw Hill Looker, T., & Gregson, O. 2005. Managing Stress: Mengatasi Stress Secara Mandiri. Surabaya: Baca Musbikin, Imam. 2005. Kita-kiat Sukses Melawan Stress. Surabaya: Jawara

178

Mu’tadin, Zainun. 2002. /remaja/220702 .htm).

Strategi

Coping.

(http://www.e-psikologi.com

Ubaidilah, AN.2007. Mengantisipasi Stress http://sutrisno.wordpress.com/2007/03/12/mengantisipasi-stress-kerja/.

Kerja.

Passer, M.W,. Smith, R.E. 2007. Psychology, The Science of Mind and Behavior. New York: Mc Graw Hill Poerwandari, K. 2007. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: Perfecta Rice, Philip L. 1987. Stress and Health: Principles and Practice for Coping and Wellness. California: Pasivic Grove Sarafino, Edward. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. USA: John Wiley & Sons Wangsadjaja, Reina. (http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/stres.html).

Stress.

Widiyanto, Anton. Dkk. 2007. Menyorot Nanggroe. Aceh Tengah: Yayasan PeNA & Ar-Raniry Press.

179

LAMPIRAN PEDOMAN WAWANCARA

1. Kondisi awal sebelum menjadi WH a. Dari mana anda mengenal WH? b. sejak kapan anda menjadi WH? c. Apa motivasi anda menjadi WH? d. Apa harapan awal anda saat memutuskan untuk menjadi WH? e. Apakah anda memiliki pekerjaan sampingan? 2. Masalah-masalah yang muncul a. Apa yang anda rasakan pertama sekali saat menjadi WH? b. Apa yang anda pikirkan saat pertama sekali menjadi WH? c. Bagaimana anda mengatur waktu antara pekerjaan dengan keluarga? d. Masalah apa yang sering anda hadapi saat menjadi WH? e. Bagaimana perasaan anda saat mengalami masalah tersebut? f. Apakah masalah-masalah tersebut mengganggu aktivitas anda? g. Apakah masalah-masalah tersebut mengganggu hubungan anda dengan orang lain terutama keluarga anda? 3. Appraisal a. Bagaimana penilaian anda terhadap masalah-masalah tersebut? b. Apa yang anda pikirkan saat menghadapi masalah tersebut? c. Apakah anda merasa masalah tersebut menjadi ancaman bagi hidup anda? 4. Coping yang dilakukan

180

a. apa yang anda lakukan saat menghadapi masalah yang muncul? b. Bagaimana cara anda melakukan pemecahan masalah? c. Apakah anda pernah meminta bantuan orang lain? d. Apakah anda berhati-hati dalam mengambil keputusan? e. Apakah anda ingin melupakan masalah? f. Apakah anda menyalahkan diri sendiri? g. Apakah anda mencari hikmah di balik masalah yang anda hadapi?

181

LAMPIRAN VERBATIM Responden 1 Wawancara I Tanggal: 27 Agustus 2009 Pukul : 10.30 – 11.33 WIB Durasi : ± 60 Menit Subjek : Asdiana No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Pelaku Iter Itee Iter Itee

Verbatim Sejak kapan kakak jadi WH? Bulan April tahun 2006 Apa yang memotivasi kakak untuk jadi WH kak? Kemaren tu kan tamat kuliah kan tes CPNS gak lewat, gitu kan... trus ada buka dari dinas syariat Islam untuk pegawai kontrak, kebetulan kakak ikut tes alhamdulillah lewat...kayak gitu, dulu ga tau apa kerja apa...ya belum tau cuma ikut tes...siap tu baru masuk ke dalam oh, ternyata WH tu adalah polisi syariat Islam yang tugasnya itu terutama menjalankan Qanun yang telah dibuat oleh Pemda NAD, gitu kan, siap itu baru tugas-tugas berikutnya, ternyata Qanun itu tidak bisa di tegakkan dengan paksa, harus tugas WH yang membina, mengawasi, kemudian mengadvokasi, ga boleh menangkap, nah kalau menangkap tu kan tugas polisi atau segala macam, artinya WH itu bekerja harus ada yang mendampingi, baik dia dari polres atau danpol....ga boleh kita sembarangan, kalau misalnya menegur secara fardiyah boleh, misalnya kan dek...”kenapa gak pakai jilbab?” Tapi kalau misalnya tentang khamar, tentang maisir...kalau kita sendiri mana bisa...harus dengan berkelompok, artinya kalau kita bekerja sendiri memang kalau dalam Islam tu kan atakmuruna bil ma’ruf wayan hauna ‘anil munkar..semua kita punya kewajiban, cuma WH itu punya apa tersendiri, peraturan tersendiri, nah kalaupun merazia harus ada SPJ, surat perintah jalan, kalau gak ada kita gak bisa, artinya

Pemaknaan

Awalnya responden tidak tau apa-apa tentang WH

Koding

182

33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74

Iter

Itee

Iter

Itee

makanya kadang-kadang orang bilang WH tu ga ada kerja....ga punya kredibilitas...ya karena itu tadi...kalau kita gak punya kawan...misalnya kayak gini kan...ada orang yang gak pakai jilbab, kita gak boleh....kita cuma fardiyah aja, klo misalnya kita ngomong “kenapa gak pakai jilbab?!”, o gak bisa...harus secara ahsan (baik)... dan itupun harus... memang... harus ada ininya kan....ada SPJ nya. Jadi kan waktu awal kakak jadi WH kakak kan belum tau WH ini apa, tugastugasnya apa, jadi pas waktu awalnya itu kak yang memotivasi kakak untuk menjadi WH tu apa kak? Kebetulan kita tu kan ijazahnya tarbiyah, nah ini tepat sekali, maksudnya walaupun yang diterima jadi WH ni direkrut dari semua jurusan, ya jurusan kehutanan, pertanian, semua jurusan S1, dan yang terdekat itu sarjana hukum dengan sarjana agama, nah itu yang termotivasi...oh ini memang kerjaan kita, sebelum-sebelumnya pun ikut kerja kita, memang ikut pengajian atau rohis atau apa di kampus kan memang itu.. itu motivasi pertamanya... Jadi sejak kakak udah tau oh...WH itu ini...tugasnya ini....gini...dari kakak pribadi ada gak kak rencana pribadi kakak setelah jadi WH...oh saya akan gini...gini.....ada ga kak? Ada, tujuan pertamanya memang kan yang kita pahami sekarang, apa yang kita miliki, ilmu apa yang kita pahami sekarang mudah-mudahan kita bisa menyalurkan atau mengapliksikan pada orang lain...nah...tapi kan...rencana itukan perlu usaha, perlu waktu yang panjang, ada memang, pas kali waktu di wawancara, waktu tes wawancara, kakak tesnya itu kebetulan ada sebagai simulasinya ada bapakbapak yang sedang mabuk, kebetulan kakak WH dan kakak apa namanya mempraktekkan bagaimana kita mengatasi atau menghentikan orang yang mabuk tu dengan cara yang ahsan (baik), kebetulan itu prakteknya, oh ternyata

Responden termotivasi menjadi WH karena sesuai dengan latar belakang pendidikannya

Setelah jadi WH, responden ingin menyalurkan ilmu yang didapatnya pada orang lain

183

75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116

Iter

Itee

Iter Itee

gitu WH tu...memang kalau mengikuti pengajian-pengajian itu udah kerja kita, udah sering...g terlalu kaku lagi, kayak gitu... Ada gak kak motivasi lain yang membuat kakak tetap kekeuh (bertahan) ingin menjadi WH ini? Motivasinya apa ya...ya ini aja...apa....kalau kita lihat kerjanya memang untuk amal kan kalau kita kuat, nah sampai sekarang mungkin semua anggota WH itu masih bertahan, walaupun ada satu dua anggota WH tu kadang-kadang dia merasa bertolak belakang dengan apa yang dia lihat, di kantor dia berpakaian seperi ini di luar ternyata dia harus berpakaian lain, kalau kita kan yang diapakan oleh WH itu kan contoh...kayak polisi misalnya, kalau polisi itu kan kewajiban pertamanya menuruti peraturan, misalnya dibidang satlantas, harus pakai helm, harus pakai SIM, nah WH juga seperti itu. Ternyata polisi juga di luar itu harus tertib, WH juga seperti itu, nah kakak memang sudah ada dasar, jadi ya biasa aja gitu...kalau di kantor harus memakai pakaian kayak gitu di luar juga gitu, kan ada kadang personil WH yang di kantor di pake pakaian bagus, pakek jilbab, di luar ternyata dia pakek celana jeans, atau segala macam, tergantung pribadi masing-masing, kalau kakak ya motivasinya kayak gitu....o..semasa diberikan tugas, ya kita menjalankan tugas, tapi ya kalau ini mungkin motivasinya karena kerja, kalau gak ada kerja walaupun mungkin pemahaman itu tidak dilaksanakannya, tapi sebahagian besar WH inilah, insya Allah memahami, walaupun ada satu dua oknum yang sama juga kayak polisi sama tentara ya kan, jangan berjudi, jangan main khamar, ternyata orang tu yang apa ya kan, kita tidak bisa bilang tentara atau polisisnya, tetapi oknumnya. WH juga seperti itu kan? Waktu kakak jadi WH ni tanggapan keluarga kakak gimana kak? mendukung....karena ga ada ini

Motivasi responden yang lain adalah untuk beramal

Keluarga

184

117 118 Iter 119 Itee 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157

Iter

Itee

Iter Itee

kan...ga ada ini....apa segala macam.. Selain jadi WH, kakak ada pekerjaan sampingan kak? Ada di kampus, dosen kan, karena WH tu kan tidak seperti pegawai negeri...kita di luar dinas pun, kalau misalnya kita mau menegur apa itu sudah bahagian dari kerja WH karena kan misalnya Qanun tentang no 70 tahun 2002, menjalankan syariat Islam aqidah ibadah, kan seperti itu, jadi kalau misalnya pakaian, ternyata pakaian wanita itu tidak ada dalam Qanun, cuma dia dikatakan aqidah, jadi pemahaman aqidah yang kita tanamkan, seperti itu... seperti pengajian, kita tekankan terus, kalau maisir, khamar... tu kan memang kan harus ada tempat-tempat tertentu, nah kalau misalnya pakaian, akhlak atau etika itu kan tidak memerlukan tempat, dia semuanya, di semua lini misalnya kan, klo di kantor itu, kadang-kadang dengan adanya WH orang-orang kantor segan untuk berkhalwat, karena Qanun tentang khalwat ada, segan, walaupun mungkin ada diluar pantauan WH Cara kakak membagi waktu antara bertugas sebagai WH dengan sebagai Dosen itu gimana kak? Kan kalau dosen itu kan gak setiap hari seperti pegawai negeri, paling seminggunya satu kali atau dua kali, di kantor di kantor pun ga di kantor duduk gitu, pas di kantor isi absen, berbasa basi dengan orang-orang kantor, siap tu kita ke lapangan, mengawasi.. Selama kakak jadi WH, tugas-tugas apa aja yang udah kakak laksanakan kak? Setelah jadi WH tugasnya ya itu tadi, melaksanakan tugas dari atasan, misalnya seminggu sekali itu ada pengajian rutin, misalnya kan, kalau kakak kan ditempatkan di kecamatan, WH ini di aceh tengah ini ada 9 kecamatan, eh 14 kecamatan, di 14 kecamatan itu semua ada WH nya, personil WH nya, di kantor camat minimal 2 orang, maksimal 4 orang, seperti itu, kemudian ada di kabupaten

mendukung profesi responden sebagai WH Responden memiliki pekerjaan lain yaitu sebagai dosen

Responden merasa mampu membagi waktu untuk pekerjaannya sebagai WH dan dosen

Responden telah melaksanakan tugasnya sebagai WH, yaitu merazia, membina, dan mengadvokasi

185

158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 Iter 187 188 Itee 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199

juga, nah kalau kita di kecamatan, paling tugas kita dari kantor camat itu mengikuti program kantor camat misalnya BKMT, Badan Kontak Majelis Ta’lim ibu-ibu itu setiap bulan sekali setiap tanggal 12 kalau di kecamatan Pegasing, kalau itu kita ikut, kemudian kalau ada di KUA misalnya kalau ada acara misalnya tentang catin, calon pengantin tu, itu kita mau dipanggil untuk mengarahkan, maksudnya mendampingi ketua KUA, kepala KUA, ikut mendampingi, bagaimana cara kita kalau WH perempuan ya sama perempuan, kalau WH laki-laki sama laki-laki gitu, kemudian di hari-hari besar, kalau misalnya kantor camat melibatkan WH kita ikut, di samping tugas WH sendiri, nah kalau tugas WH yang pertama kan itu tadi, cuma membina pelanggaran syariat, mengawasi pelanggaran syariat, kemudian mengadvokasi, mengadvokasi itu artinya kita berhak menulis sapa nama, di mana alamat atau segala macam, kemudian kita berhak kalau melanggar sekali lagi kita akan menahan mereka, kalau seandainya bisa diselesaikan secara adat ya kita selesaikan secara adat, kalau ga ya, kita bawa ke polisi, kemudian polisi yang melanjutkan ke kejaksaan, ke pengadilan dan sebagainya.. Trus kak, selama menjalankan tugas, masalah-masalah apa aja yang sering kakak alami kak? sebenarnya kalau masalah ya....kalau secara apa gak inilah gak terlalu apa...masalahnya mungkin apa namanya...yang pertama masalah dana, kalau misalnya kita pergi, misalnya kan di Pegasing itu kan ada yang namanya Blang Bebangka, banyak tempat-tempat berkhalwat, cuman kalau kita kurang dana, kalau misalnya gaji kita cuma 700 gitu kan, sementara kerjaan kita berat, kita gak ada uang minyak gak ada segala macam, artinya gara-gara itu mungkin kerjaan WH itu tersendat, kita hanya

Responden mengalami masalah dana, ketakutan menegur pelanggar jika sedang sendirian,

186

200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 Iter 240 241

mengharapkan yang 700 itu per bulan, jadi kalau misalnya kita pergi ke sana ke mari segala macam, memang lah itu tugas negara ya kan, tugas kita sebagai anggota WH, tapi ada yang lebih besar dari situ, orang yang hengkang-hengkan di kantor kok gajinya sekian, nah kita bukan, kalau kita pribadi kita bukan mengharapkan seperti itu, sekarang intinya apa yang mampu kita kerjakan di dalam melaksanakan tugas WH itu, mampu mengawasi, mampu mengisi pengajian, itu yang udah kita niatkan untuk kerjaan WH. Kalau kendalanya ya, kalau di lapangan mungkin, kalau kita sendiri, kalau misalnya kita ketemu orang yang apa, gak ada payung hukumnya kalau tidak ada SPJ, nah kalau ada SPJ, kalau semisalnya kita mendapatkan kecelakaan atau apa masalah, misalnya kalau kita menangkap misalnya kan, kan kadang-kadang massa tu gak terima dengan perlakuan WH, “apa di urus, masalah jilbab kan kami dengan Tuhan, masalah sholat kan kami dengan Tuhan”, kan seperti itu, masalah berkhalwat atau segala macam, nah yang banyak di jumpai di lapangan itu masalah khalwat, kadang-kadang remaja sekarang kan, udah sore-sore itu, memang udah keluar dari etika, udah gak ini lagi ya kan, kadang-kadang sempat seperti mau berhubungan suami istri, naudzubillah, kayak-kayak gitu kan, jadi kalau kita ada kawan lebih kurang minimal 3 atau 4 orang, bisa kita menegurnya, kalau kita sendiri atau berdua perempuan dengan perempuan, kan kita gak tau laki-laki, mereka mungkin bawa kawan atau segala macam, nah itu yang kita takutkan, sehingga kadang-kadang kita gara-gara itu gak ini, gak terjun ke lapangan secara detail, kita cuma keliling ke kampung, kita cuma menegur secara biasa, Jadi tadi kakak bilang ada rasa ketakutan-ketakutan untuk menegur mereka gitu kak ya, jadi kalau selain dari

Sumber stres : dana operasional yang tidak diberikan pemerintah

Sumber stress: gaji yang dinilai minim, tidak sesuai dengan beban kerja

Sumber stress: tidak ada payung hukum jika tidak ada SPJ

187

242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283

Itee

Iter

Itee

Iter

rasa ketakutan-ketakuatn itu perasaan apa lagi yang kakak rasakan kak? Ng..gak ada, cuma itu, itupun gak sering, gak terus menerus, kita lihat kondisinya, mungkin kadang-kadang yang berkhalwat tu mungkin polisi atau tentara, nah ketika kita katakan, pak jangan ng.... mereka ada perlawanan, nah kalau kita gak kuat mental kan kita jadinya ini takut, gitu. Pernah gak kak mendapatkan perlawanan dari masyarakat ketika kakak menegur mereka? Kalau kakak pribadi belum, tapi kalau personil WH yang lain ada, ada yang bahkan yang masuk ke sel, penjara, 3 bulan tanpa ada yang membela, nah kalau di polisi tu bukan khalwat nya yang di angkat, tapi kekerasannya, seharusnya kan khalwat tu, perbuatan mesum tu yang diangkat ke permukaan, ini bukan, karena kekerasan, banyak, gara-gara itu mungkin para anggota WH trauma, ya biarin ajalah apa yang mampu kita kerjakan itu, kayak gitu kan, seharusnya kan ga, karena dek, pelaksanaan syariat itu bukan WH saja, semua kita bertanggung jawab, jadi seharusnya kita semua yang bertanggung jawab, kita hanya seperti polisi lah, kalau diinstruksikan polisi pakek helm dua, misalnya satu kereta bonceng sepeda motor harus pakek helm dua, ya tinggal kita yang menaatinya, nah kalau gak kita kan dapat hukuman kan, kalau gak pake helm denda 30 ribu, nah kalau WH tu kan gak, gak pake jilbab denda, gak pake apa kan gak mungkin, itu kan persoalan seseorang dengan Allah nya, kita cuma menjalankan perintah aja.. Tadi kan kakak bilang waktu sedang bertugas itu kakak merasa gajinya kurang, kita butuh dana besar, untuk terjun ke masyarakat, ke kecamatankecamatan, sementara gaji yang diberikan pemerintah cuma sekian, kemudian kalau mau menegur ada rasa ketakutan-ketakutan, nanti kalau diapaapakan nanti gimana, gitu kan, nah kirakira kak kendala-kendala yang kakak

Responden tidak selalu merasa ketakutan saat bertugas, tergantung pelakunya siapa Sumber stres: jumlah personil WH yang minim

Responden belum Problem Focus Coping: pernah planful problem solving mendapatkan perlawanan dari masyarakat

Responden sempat trauma melihat kasus yang menimpa WH lain

188

284 285 286 Itee 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 Iter 298 299 300 301 302 303 Itee 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325

alami ini mempengaruhi loyalitas kakak terhadap pekerjaan kakak sebagai WH gak kak? sebenarnya gak, kalau kita turuti apa ya kan, kita sepakat kalau seminggu sekian kali ke kantor, sekian kali ke lapangan, nah itu, kalau kendala yang berarti kan kita pun lihat situasi dan kondisi kalau ini membahayakan ya kita gak datang, kalau ini gak membahayakan ya kita jalani, seperti itu, karena dek, kalau pekerjaan WH ini kan gak nampak, walaupun kita misalnya ada di sini, kita tegur orang, itukan salah satu tugas WH, cuma kan kalau di permukaan kan gak nampak, Tadi kakak bilang kalau seandainya kirakira kondisinya membahayakan, kakak gak akan turun, kalau kondisinya ga membahayakan kakak akan turun, nah dari kondisi ini kondisi mana yang paling sering kakak alami kak? Yang kira-kira serasa membahayakan atau yang tidak? Yang selama ini di rasakan yang kurang membahayakan, karena kan yang dilihat itukan cuma orang yang kadang berkhalwat, kalau masalah judi atau masalah segala macam itu kan masyarakat tau betul tempatnya, atau tersembunyi, ga nampak, kalau misalnya kita ga ada mata-mata dikampung itu kita ga bisa mendeteksi kalau di situ ada khamar, ada maisir, nah tapi kalau berkhalwat tadi itu mungkin kebanyakan anak-anak muda atau siapa sajalah yang melakukan itu di tanah-tanah terbuka, di lapangan-lapangan terbuka di memang tempat-tempat memang tempat rekreasi, misalnya kalau kita sering razia ke Wayang Koro ke Ujung Kuna pokoknya keliling danau laut tawar lah, atau kalau ke Toa di Blang Bebangka ya kan, kita jalan di Blang Bebangka tu nampak di situ dah berdua-duaan, jadi kita sambil lewat “dek ngapain?”, tanya kayak gitukan, “ga ada kak, duduk-duduk”, “pacaran ya?”, apa segala macam dengan etika kita yang manis, kayak gitukan, “udah, pulang aja, gak bagus kayak gini” apa segala macam, “kami

Responden memperhatikan situasi dan kondisi sebelum bertugas

Responden lebih sering mengalami kondisi yang kurang membahayakan

Problem Focus Coping, planful problem solving

189

326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366 367

Iter

Itee Iter

Itee

Iter

personil WH lah ni, nanti kami calling (telpon) kawan-kawan”, nah takut dia kan...pulang, kayak itu, tapi kalau yang tragis-tragis yang terlalu vulgar-vulgar kali belum pernah, kakak kecuali razia rutin, semua personil WH dari kabupaten sama kecamatan itu sering, itu ngeringeri permasalahan masyarakat kita kan, remaja-remaja kita. Berarti kak secara umum penilaian kakak terhadap permasalahan-permasalahan yang kakak hadapi itu tidak terlalu mengganggu aktivitas kakak gitu kak? Tidak... Kalau seandainya kakak melihat kejadian-kejadian rekan WH yang lain, apa yang kakak rasakan? Pernah berimpact gak terhadap kakak sendiri, oh seandainya aku juga mengalami itu nanti gimana... Itu jelas, semua kita berfikiran seperti itu, karena kan kalau misalnya keamanan itu orang tu ga terlalu ini, kalau semisalnya itulah yang kakak bilang tadi, SPJ nya, kadang-kadang WH di luar dinas, nah ternyata ada tanggapan yang negatif dari masyarakat, sehingga terjadi hal-hal yang seperti itu, nah itu kadangkadang kalau pemimpin yang bertanggung jawab dia akan menyelesaikan tapi ada memang pemimpin yang kurang sehingga masyarakat yang mengadukan pada pihak yang berwajib. Seharusnya kalau pemimpin kita tegas, hal itu tidak akan terjadi. Waktu pertamatama kawan kita tu kenak seperti itu kita trauma betul, alah gak usah lagi apa segala macam, ternyata sekarang udah pulih, trauma itu rasa itu udah pulih kembali, udah dua tahun berlalu, udah setahun yang lalu kan, insya Allah udah gak ada lagi, cuma kita harus hati-hati lah, karena kan setiap orang ternyata harus berhati-hati, walaupun... bukan WH saja, semua orang, walaupun di kantor, apa segala macam, ya kan, harus ada kehati-hatian, ga boleh ceroboh... Kakak ada mempersiapkan rencanarencana pribadi kakak, kalau semisalnya

Responden juga merasa takut seandainya mengalami kejadian buruk.

Responden sempat trauma melihat kejadian yang menimpa salah seorang WH

190

368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409

Itee Iter

Itee

Iter

Itee

ada kondisi buruk yang kena ke kakak, rencana apa yang akan kakak lakukan untuk mengatasi kondisi itu ada gak kak? mm....belum terfikir, mudah-mudahan janganlah ya kena kondisi buruk itu.. Trus kak, biasanya kak kalau seandainya kakak mengalami kondisi buruk kayak kakak sedang menegur di lapangan tapi gak bisa, jalan keluar apa yang kakak lakukan kak? Hal ini paling sering kita hanya menasehati saja, “daerah kita kan syariat Islam, kita patuhilah syariat Islam, kalau kamu tidak mau ada syariat Islam di aceh ya pindah aja ke medan yang g ada syariat Islamnya”, kita bicara kayak gitu aja, sehingga orang itu diam, banyak hal ya memang, ternyata protes masyarakat itu kan tidak masuk akal, “kalau ibu melanggar peraturan, tidak mau memakai pakaian yang bagus, tidak menutup aurat, berarti ibu menentang peraturan Allah”, kita bawa terus Al-Quran surat sekian..kita kasih sama mereka sehingga mereka terdiam, nantilah di rumah, kadang-kadang jilbabnya di tarok di tas, mana jilbabnya? Dikeluarin, “pakek, pakek”, walaupun di depan kita aja, di luar wallahu a’lam. Kita gak tau kan, Waktu mendapatkan protes-protes dari masyarakat itu apa yang kakak rasakan kak? Ya jelasnya kecewalah, masyarakatnya seperti itu kan, cuman ya, maklumlah remaja, dia merasa kalau lagi berdua dunia ini milik berdua, yang lain numpang, kan kayak gitu, jadi kan ya, banyak sedikitnya dia menentang, seperti kitalah, kita kemauan kita maunya makan ini, kemauan kita misalnya makan ini, tapi di tentang oleh orang, apa alasannya, gitu kan, tapi kalau orang tua, kalau misalnya kita bawa ke masyarakat, rata-rata kalau kasus yang berat kita panggil kepala desa, pak geuchik atau orang tuanya, kita selesaikan secara adat, kita tidak expose ke luar, nah kalau kita expose ke luar kan nanti orang

Responden belum membuat rencana untuk menghadapi kondisi buruk yang mungkin saja dialaminya Jalan keluar yang dilakukan responden hanya menasehati Sumber stres: pemimpin yang kurang mendukung kinerja WH

Responden merasa kecewa menghadapi protes dari masyarakat Problem Focus Coping: planful problem solving

191

410 411 412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438 439 440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451

Iter

Itee

Iter

Itee

tu denda, bisa penjara atau segala macam, nah kalau misalnya diselesaikan secara adat dinikahkan silahkan, kalau misalnya udah mesum, tapi kalau hanya sekedar berdua-duaan, berkhalwat tanpa ini ya kita bubar aja..kita larang kayak gitu orang tu bubar terus walaupun nanti dia balik lagi ke situ kan kita gak tau lagi kan, yang penting kita sudah bekerja.. Waktu dapat protes dari masyarakat tu pernah ga kak kakak merasa, iihhh pengen lah membentak orang ini, menampar cewek ini kok mulutnya kasar kali ya...atau pernah gak kak ada keinginan keinginan kayak gitu kak? Pernah secara manusiawi kita kan, kita juga, tapi kita harus memang menegur, jadi penasehat pendidik, pendidik itu kan mesti sabar, walaupun apa sikap tingkah laku muridnya dia kan mesti sabar, walaupun kadang-kadang di rumah sama keluarga kita keras, tapi karena di luar kita harus memang meredam hal-hal kayak gitu, nah kalau semisalnya kita kasar, pernah ada kawan-kawan yang kadang-kadang sampek kasar ngomong sampai apa kan, ada orang yang memang gak takut sama sekali, dia merasa dia cuek-cuek, kalau semisalnya kayak gini aja, kalau kita sekolah, kita lagi ngajar anak-anak tu cuek, cengengesan segala macam, kita kan gondok, jengkel, ada memang hal-hal semacam itu, lagi kita nasehati dia diem, main hp, apa segala macam, banyak tingkah masyarakat tu kan, tinggal kita lagi harus dewasa menanggapinya. Trus biasanya kalau kakak lagi jengkel atau lagi kecewanya apa yang kakak lakukan kak? Ya, sekurang-kurangnya istighfarlah, astaghfirullah, kayak gitu kan, dah, trus balik lagi, jadi sekarang maunya kayak mana? Tu lah akhirnya minta maaf, “besok-besok jangan lagi dek ya, kita kan tulis catatan, nanti kalau besokbesok di ulang, kami akan bawa ke kantor”, kayak gitu...

Problem Focus Coping, Responden juga planful problem solving terkadang marah pada masyarakat yang protes saat ditegur, namun tetap berusaha untuk bersabar

Problem Focus Coping, planful problem solving

Responden hanya beristighfar jika merasa marah atau jengkel

Problem Focus Coping, planful problem solving

192

452 453 454 455 456 457 458 459 460 461 462 463 464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493

Iter

Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Iter

Kira-kira dari jalan keluar yang kakak lakukan tadi udah bisa menyelesaikan masalah tadi gak kak? Kalau secara keseluruhan belum, gitu, tapi kalau secara yang kita hadapi sekarang misalnya kayak adik-adik, kayak remaja-remaja, itukan sudah sedikit ada ketenangan, nanti besokbesok kita kalau hal ini berhasil, orang tu gak melawan, apa segala macam besok-besok hal seperti itu yang sama kita lakukan lagi, Jadi menurut kakak jalan keluar apa yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan masalah yang seperti itu tadi? Ternyata yang pertama harus ada kesabaran dan keikhlasan, kemudian sikap dewasa, jadi WH itu kan ternyata guru atau pendidik, orang yang eng....menegakkan amar makruf nahi mungkar itu kan adalah seorang pendidik atau guru, nah guru itu harus bersikap ikhlas, harus sabar, nah kalau misalnya kita tuntut gaji cuma sekian kerja sekian mana mau kerja kita kan? Cuma kita ikhlas beramal aja, walaupun gajinya minim, kan di bawah target minimum, target minimumnya kan 8,5, semua karyawan, kita di bawah target minimum, walaupun itu dari PEMDA setempat, di bawah, dan Aceh Tengah berbeda dengan Bener Meriah, bener meriah 8,5 mereka udah mencapai target minimum, kalau kita belum, Itu gimana tanggapan kakak kak terhadap perbedaan itu? Kita hanya menunggu yang pemimpin kita, kita sudah pernah ajukan misalnya kalau rapat, misalnya ada kemaren kepala dinas syariat Islam Banda Aceh yang datang ke Aceh Tengah, mungkin di Banda Aceh kadang satu juta pun gaji WH kan, terserah APBD, APBD daerah kita, mungkin APBD daerah Aceh Tengah mungkin mampu 700 ya seperti itu, kalaupun kita desak apa segala macam ya mereka gak terima, seperti itu, Tadi kakak bilang kendala yang kakak

Responden merasa jalan keluar yang dilakukannya belum mampu menyelesaikan Problem Focus Coping, masalah planful problem solving

Menurut responden kesabaran dan keikhlasan adalah jalan keluar terbaik Emosional

Focus

Coping: self control

Setelah mengadukan keluhannya pada Emosional Focus pimpinan, Coping: self control responden hanya menunggu kebijakan pimpinan

193

494 495 496 497 498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535

Itee

Iter

Itee

Iter

hadapi dari masyarakatnya, kemudian dari segi fasilitas yang diberikan pemerintah, kalau dari sikap pemerintah terhadap WH nya sendiri kakak merasakan ada kendala gak kak? Banyak, kendalanya seperti orang makan buah simalakama, gak dikerjakan mati ibu, dikerjakan mati bapak, karena kan kasus yang ada di dalam Qanun tu ternyata banyak di pejabat-pejabat kita, tentang korupsi, tentang khalwat, tentang maisir, dan segala macam, mereka pun setengahsetengah, kalau itulah buah simalakama tadi, kayak iya, kayak enggak, karena banyak pejabat-pejabat kita yang melakukan hal-hal seperti itukan, Pejabat-pejabat yang ketahuan melakukan hal itu tadi pernah di tindak gak kak? Ee.....itulah seperti itu tadi, kita hanya eng.. membina, mengawasi dan mengadvokasi, kemudian kalau terlalu sulit kita laporkan ke polisi, tinggal polisi lagi, makanya kadang sekarang gak da lagi cambuk, sebenarnya kalau di lakukan cambuk, banyak orang yang udah kena cambuk, dulu pernah kita laporkan, nah sampai di kantor polisi, kan wewenag orang tu lagi, mau denda ee...kalau maisir tu 12 juta atau penjara 2 tahun, atau ng..apa... di cambuk, jadi kan orang-orang yang....makanya hukum itu hanya berlaku bagi orang yang kecil, orang yang besar tu kan mau-an bayar dia, berapalah cuma 12 juta, kita 2 tahun, umpamakan gitu, tergantung ini nya kan, jadi kan ternyata berkas-berkas yang kita ajukan dari dinas syariat Islam, sekarang gak di dinas syariat Islam, satpol PP, tu udah banyak orang-orang yang melanggar Qanun itu udah banyak yang kita ajukan ke polisi, tinggal mereka lagi, mereka yang berkomunikasi dengan kejaksaan, mereka yang ee....berkomunikasi dengan pengadilan, seperti itu.. Berarti kakak sudah pernah melaporkan oh ini pejabat-pejabat yang mesti

Emosional Focus Coping: self control

Responden mengalami kendala mengenai kebijakan pemerintah

Problem Focus Coping: Planful Problem Solving

Responden pernah melaporkan pejabat yang melanggar syariat Islam Emosional Focus Coping: self control

Emosional Focus Coping: self control

Emosional Focus Coping: self control

194

536 537 538 539 540 541 542 543 544 545 546 547 548 549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577

Itee

Iter Itee

Iter

Itee

ditindak gitu, sudah pernah kakak lakukan ya kak? Pernah, tapi bukan kakak pribadi, tapi anggota WH seluruhnya, kayak kemaren kasus Jon, gitu ya, Jon yang terbukti khamar, yang di pasar impres tu, tu dah besar kali kasusnya tu, itulah sampai sekarang gak terungkap lagi, kalau kemaren tu udah dapat, sekiansekian botol apa miras tu kan, tu udah kita ajukan ke polisi, ternyata mereka dekingannya kuat, mungkin orang-orang dalam, sehingga tidak ter-expose lagi kan, udah diam, Bagaimana pandangan kakak mengenai dukungan pemerintah terhadap WH kak? Mungkin kalau di Aceh lain, itu PEMDA-nya sangat mendukung kali kerja WH, nah kalau di kita itulah yang kurang, misalnya kan ketegasan..., ini kan kita bawahan, ketegasan kepalanya, misalnya kepala dinas-kepala dinas nya kan, seperti MTQ kemaren kan kita cuma topeng, WH tu kerja biar dilihat masyarakat dari luar, karena MTQ kemaren tu kan orang luar semua datang, jadi WH tu kerja, sehingga kesan masyarakat hangat-hangat taik ayam. Tu kan kita tergantung oo..pemimpin kita ya kan, kalau kerja pribadi itulah itu tadi cuma mengawasi, apa yang diawasi cuma jalan-jalan keliling Pegasing aja udah....terhitung mengawasi, kalau membina tu misalnya mengisi satu pengajian ibu-ibu, itu udah kita hitung membina, hehehe, tapi kalau target besar, ee...pergerakan besar, itu belum, kita perlu waktu kan, Pandangan kakak terhadap tugas-tugas WH yang ada gimana kak? Apakah itu sudah cukup melingkupi tugas-tugas yang seharusnya atau seperti apa kak? ee...kalau tugasnya ya..ya udah, cuma aplikasinya yang masih kurang kan, karena mungkin kurang dukungan, atau kurang apa, ya kan, karena kan, kita, ee...WH itu diibaratkan sebuah keluarga, nah anak itu akan bisa bekerja dan bisa dimotivasi karena ada motivasi dari orang tuanya, dan orangtuanya

Problem Focus Coping: Planful Problem Solving Responden bersama rekanrekan WH melaporkan pejabat yang melakukan pelanggaran Qanun

Responden merasa Pemda kurang mendukung kerja WH Sumber pemerintah

stres: kurang

mendukung kerja WH, pemerintah

melakukan

pelanggaran Qanun

Problem Focus Coping: Planful Problem Solving

Responden merasa tugas-tugas WH sudah cukup, hanya saja kurang mendapat

195

578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598 599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614 615 616 617 618 619

Iter

Itee

Iter

Itee Iter

Itee

Iter

Itee

Iter

memerintahkan dia bekerja, nah kalau misalnya enggak, anaknya tidur dibiarin, anaknya malas dibiarin, g sholat dibiarin, itukan tergantung kepada kedua orang tuanya, begitu juga WH, WH itu kan ee...anak ya kan, orang tuanya adalah PEMDA setempat atau kepala dinas, nah kalau misalnya kepala dinasnya tidak menginstruksikan WH seperti ini, ya....ga pa...ga ada ini kan....hepeng. Pernah terbersit gak kak, kalau bisa WH ni jangan hanya mengawasi atau hanya mengadvoksilah, WH ni juga punya hak untuk menangkaplah, atau pernah terbersit ga kak untuk punya peningkatan.... Itu memang udah kita usulkan, bahkan kemaren isunya WH itu... apa.... ee....apa... akan latihan memegang senjata, kemudian baris berbaris apa segala macam, itupun tergantung dana lagi, orang tu kalau hal-hal seperti itu harus ada dana, gak ada dana gak mungkin, nah terbenturnya di dana, Berarti kebijakan pemerintah juga menjadi kendala WH untuk bekerja maksimal ya kak? Ya.... Trus kak, ini kakak udah sekian tahun jadi WH berencana untuk lanjut, untuk tetap jadi WH sampai kapanpun atau bagaimana kak? Pinginnya kan tetap, dan kredibilitas kerjanya pun ditingkatkan, kalau sekarang kan, mungkin.. ya, kayak ginilah, yang kita rasakan sehari-hari, Memang gak pernah terbersit aduh capek, udahlah, atau ingin istirahatlah, males ke lapangan... Nggak, kalau itu gak, tu memang kewajiban kita kan, seperti mengajarlah, kan gak mungkin kita gak ngajar satu hari atau satu jam, anak-anak yang terbengkalai, kayak gitu juga tugas kita ya kan, itu mungkin tergantung kepada pribadi masing-masing akhirnya kan, Ini pertanyaan terakhir untuk hari ini kak, menurut kakak, tugas WH yang kakak harapkan, yang akan cukup

dukungan

Responden pernah mengusulkan penambahan wewenang WH

Problem Focus Coping: Planful Problem Solving

Responden ingin tetap bekerja sebagai WH

Sumber stres: Responden tidak pernah merasa pemerintah kurang lelah dengan tugas-tugasnya mendukung kerja WH

196

620 621 Itee 622 623 624 625 626 627 628 629 630 631 632 633 634 635 636 637 638 639 640 641 642 643 644 645 646 647 648 649 650 651 652 653 654 655 656 657 658 659 660 661

maksimal untuk dapat menyelesaikan masalah masyarakat ini apa kak? ee...yang pertama kan WH tu sudah melaksanakan tugas yang itu tadi, yang membina, mengawas dan mengadvokasi, ee...kakak tu kepingin masyarakat itu mendukung penuh tugas WH dan ternyata di kampung-kampung, imam mukim, kemudian apa namanya, ada imam imam tu..e...apa istilahnya, pokoknya udah ada mereka tu, cuma kan mereka juga bekerja tergantung kepada gaji, nah kalau mereka sebulannya seratus ribu mungkin mereka gak kerja, padahal kan WH tu kan banyak di masyarakat, pak imam, pak geuchik, trus kepala lorongnya itu juga jadi WH ternyata ya kan, kemudian karena sedikit mereka gajinya, jadinya mereka gak maksimal kerjanya di masyarakat, ternyata di semua kampung, di semua kepala desa ada WH nya, walapun mereka tidak baju dinas WH, tapi tugasnya ya tugas WH juga, ya kan, jadi harapan kakak tu, di dalam kita bertugas, terutama di Pegasing tu kan masyarakat mendukung penuh kerja WH, artinya tidak memandang sebelah mata, karena kita bekerja itu kan tidak dengan kekerasan, karena seperti kata Rasulullah kan, perlu kesabaran, perlu keihkhlasan, karena tugas WH ya yang itu tadi, mengajak ke kemakrufan, mencegah kemungkaran...

Responden merasa kinerja WH sudah cukup maksimal, hanya saja membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.

Sumber pemerintah

stres: kurang

mendukung kerja WH

197

662 663 664 665 666 667 668 669 670 671 672 673 674 675 676 677 678 679 680 681 682 683 684 685 686 687 688 689 690 691 692 693 694 695 696 697 698 699 700 701 702 703 704

Sumber stres: hak dan kewajiban WH minim

Sumber stres: kurangnya dana dalam pelaksanaan tugas WH

198

705 706 707 708 709 710 711 712 713 714 715 716 717 718 719 720 721 722 723 724 725 726 727 728 729 730 731 732 733 734 735 736 737 738 739 740 741 742 743 744 745 746 747 748 749 750 751 752 753 753

199

754 755 756 757 758 759 760 761 762 763 764

Wawancara II Hari/tanggal: Sabtu/ 10 oktober 2009 pukul: 17.30-18.10 waktu: 40 menit Tempat: rumah responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29

Pelaku Iter

Itee Iter

Itee

Verbatim Katanya kalau di kampung-kampung biasanya masyarakatnya kalau ke kebun hanya memakai kelubung, kalau di Pegasing gimana kak? Sama, sama, pake kelubung kalau ke kebun, Salah satu tugas kakak sebagai WH kan semestinya menindak wanita-wanita yang tidak memakai jilbab, nah kalau kondisi masyarakat di sana kayak gitu, gimana kakak menjalankan tugas kakak kak? Kalau sejauh ini mungkin kalau mereka ke kebun kan kita gak bisa awasi terus mereka ke kebun, paling kalau kita sedang melakukan pengawasan yang kena-kena di mata kita, kita berhenti sebentar, “assalamu’alaikum buk, lagi ngapain buk? kami dari petugas dinas syariat Islam bagian WH nya, tolonglah ibu memakai jilbab”. Ada yang memang penduduk di situ merespon, ada yang memang mereka merasa seolah-oleh merasa di atur, kalau kita bilang secara kasar ngapain di urus, ada satu dua orang yang paham, mereka merespon, itu yang membuat kita bersemangat untuk bekerja, karena mereka merespon apa yang kita bilang, minimal mereka

Pemaknaan

Kebiasaan wanita desa menggunakan kelubung

Responden akan menegur jika melihat wanita desa menggunakan kelubung. Responden mendapat respon positif dan negatif

Kondisi yang dialami responden membuat

200

30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79

Iter Itee

Iter

Itee

bilang“o ya dek, makasih dek ya”. tapi kalau mereka di dalam rumah, keluar sebentar, itu mereka banyak aja alasannya, itulah…pahit manisnya adalah ya, itulah yang membuat kita semakin itu kan, menjalankan tugas penuh tanggung jawab… Kalau di Pegasing adat perkumpulan pemuda pemudi saat pesta masih ada kak? Masih, kalau pesta pernikahan di kota ni kan agak lebih modern, gak ada lagi perkumpulan pemuda pemudinya, kalau di desa tu kan 2 hari sebelum hari H itu muda mudinya udah mulai berkumpul, biasa mereka tu cari kayu bersama atau cari sayur bersama, buat teratak-teratak, kalau di kota kan udah pake teratak sewaan, tapi kalau di pedalaman ini mereka ada perkumpulannya, seng misalnya, atap-atap tu, tiang-tiang, ada perkumpulan mereka, trus papan lagi untuk orang-orang pesta pernikahan itu kan, itu memakan waktu lama, jadi mereka muda mudi, kemudian setelah malam, setelah penganten nyampe situ, mereka udah ada acara lagi, misalnya seperti putar kaset, memang kalau dilihat dari apa memang kurang syar’i, cuma itulah kebiasaan mereka, nah kalau yang punya rumah tidak melakukan hal seperti itu mereka secara tidak langsung seperti dikucilkan, kalau di kota kan gak lagi, kalau misalnya kita menikah hari ini, sore ini, udah, besok pagi lagi orang teratak tu datang beresin lagi, malamnya kita gak ada lagi acara apa-apa, kalau di desa tu memang mereka tu ada acara terus mereka, misalnya dibuat untuk nanti malam, makan nasi goreng, nasi gurih, kayak gitu dia, trus paginya lagi kan nyuci tikar rame-rame, kalau pemuda pemudi itulah kesempatan mereka kan, Kondisi pemuda pemudi yang tadi itu seharusnya menjadi wilayah garapan WH tidak kak? Ya, yang namanya Pegasing, berapa geuchik nya, berapa kampungnya, kalau di Pegasing kalau kakak tidak silap itu

responden tertantang untuk menjalankan tugas lebih baik

Di desa masih ada kebiasaan masyarakat mengadakan acara pemuda pemudi yang kurang syar’i

Perkumpulan pemuda-pemudi merupakan tugas WH untuk menindaknya Responden berharap tugasnya dibantu oleh perangkat desa, namun tidak terpenuhi

201

80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129

Iter Itee

Iter

Itee Iter Itee

Iter

23 kampung, jadi kan untuk membantu kinerja WH ada di situ Imam Mukim, Pak Mukim tu membidangi 5 desa dia, berarti kalau 23 desa, barang ada 3 mukim, di bawah Mukim itu ada lagi Imam Kampung, Imam Kampung tu lah yang disebut Sarakopat, nah seharusnya WH tu kan gak terlalu ini lagi kerjanya kan, karena udah ada sama mereka, itulah mereka pun kadang terbentur dana, mereka dapat 100 ribu tiap bulan, jadi ya dengan 100 ribu orang tu tadi mendingan…… ya kayak gitu tadi, kalau misalnya kalau pemahaman dakwah kita kan gak ada pake uang segala macam, tapi kalau orang-orang awam, sedikit dia melontarkan kata-kata dia perlu duit, sedikit dia mengorbankan waktunya, dia perlu duit, nah seperti itu, jadi itulah ketimpangan-ketimpangannya, padahal kalau misalnya kan kita disini dengan dinas syariat Islam tu diundang para imam kampung tu, sarakopatnya, di situ kita terangkan, kalau maisir, berjudi tadi kan, kemudian khamar (minum minuman keras), berkhalwat (berduaduaan dengan lawan jenis), tugas mereka juga, Acara pemuda pemudi tadi kakak memandangnya gimana kak? Kalau dilihat dari sisi Islam itu kan lihat juga acaranya, kalau mereka acaranya sekedar bersilaturrahmi tidak ada hal-hal yang melanggar syariat itu sah-sah saja, cuman kan kebanyakan kita lihat setelah acara-acara seperti itu orang pemuda pemudi tu bikin acara lain, nah itulah yang tidak kita inginkan, tapi kalau masyarakat biasanya kalau udah ada acara pemuda pemudi mamakmamaknya di dapur, mereka gak tau kalau pemuda pemudi antara laki-laki dan perempuannya berhimpit-himpitan duduk, trus ada yang nyanyi-nyanyi, pokoknya kalau kita lihat secara agama kurang syar’i lah, kalau ada personel WH yang bisa malam-malam hari kan bisa, cuma kita kurang mengawasi halhal seperti itu, Kalau kakak pribadi juga belum pernah

Responden memandang acara perkumpulan pemuda pemudi kurang syar’i, namun tidak mampu menindaknya karena sulit untuk keluar mengawasi di malam hari

Responden berharap perkumpulan pemuda pemudi ditangani oleh perangkat desa

202

130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179

Itee

Iter Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

terjun ke kondisi itu kak? maksudnya sengaja datang ke sana untuk menindaknya gitu kak, Kalau sejauh ini yang acara pemuda pemudi yang malam hari belum, Kenapa kak? Memang di situ kan udah ada perangkat desanya, jadi mereka lebih tau kalau ada warga nya yang berbuat maksiat jadi mereka lebih tau, nah nanti kita serahkan ke mereka, karena kan tidak semua kampung tu bisa kita jajaki, Itu gimana kak pemberian informasi kepada aparat desanya kalau adat atau kebiasaan masyarakat yang pake kelubung dan acara pemuda pemudi tu gak sesuai dengan syariat Islam? Pernah kita informasikan, sering, itu kan setiap ada acara misalnya dari dinas syariat Islam tentang penyuluhan ee..sosialisasi Qanun, itu udah dari dulu, jadikan tinggal kesadaran masyarakat lah, gitu, kayak kemaren tu kakak lewat di Pegasing, pagi-pagi Ibu tu duduk dia di depan rumahnya cari kutu, gak pake jilbab, atau sambil gendong anak nyusukan anak nampak auratnya, berhenti di situ, ada yang memandang kita sinis, Dari tugas-tugas WH menurut kakak kakak udah melaksanakan semuanya kak? Kalau secara apanya sudah, Insya Allah sudah, cuman kan kita lihat hasilnya, kalau membina, mengawasi, kakak udah punya pengajian Ibu-ibu di Kayukul sana, udah ada 1 pengajian yang udah kita bina, setiap pertemuan itu kita bilang tentang syariat, mudah-mudahanlah dari keluarga dulu, kemudian anak-anaknya, Melihat kondisi masyarakat yang belum sesuai dengan syariat Islam, gimana perasaan kakak sebagai WH nya kak? Ya kan merasa kecewa gitu kan, artinya mungkin masyarakat kita belum sadar, walaupun ada satu dua, minimal yang satu dua ini lah kita berharap yang membentengi masyarakat yang lain tu, kalau masyarakat kampung-kampung sana kan tau kita WH, jadi kalau liat kita

Kepada perangkat desa sering dijelaskan Qanun. Di desa, responden mendapatkan kasus wanita yang tidak menutup auratnya

Responden merasa telah menjalankan semua tugas nya, bahkan telah memiliki kelompok pengajian ibu-ibu

Responden kecewa melihat kondisi masyarakat yang belum sesuai dengan syariat Islam

Responden merasa bersalah dan sedih melihat kondisi masyarakat yang belum sesuai dengan syariat Islam

203

180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229

Iter

Itee

Iter

Itee

dia cepat-cepat masuk ke rumah trus pake jilbab, gitu, ada yang….ya bermacam-macam corak lah… Gimana perasaa kakak melihat kondisi masyarakat yang belum sesuai dengan syariat Islam kak? Ya merasa bersalah dek, itu jelas dek, karena kan banyak sedikitnya kita merasa Ya Allah….kalau Rasulullah dulu coba kita lihat secara Rasulullah dulu, kan Rasulullah udah 1436 tahun namanya tetap wangi kan tetap harum, trus ajarannya tu kan, berarti Rasulullah menyampaikannya tu dari hatinya, kita, mungkin kakak pribadi mungkin menyampaikannya bukan dari hati mungkin, ya kan, sehingga masyarakat kayak gitu, kalau keluarga aja yang tiap hari liat kita belum lagi tersentuh, apalagi orang lain yang jauh dari kita, jadi kita merasa sedihlah kan, yang penting kita selalu menyampaikan, terserah perkara orang terima atau tidak ya terserah mereka, O ya kak, kelubung dan acara pemuda pemudi tadi kan udah menjadi adat kebiasaan masyarakat, kakak pernah merasa kalau itu menghambat kinerja kakak kak? Iya, cuman ya kayak itu tadi, kita gak pernah terjun ke masyarakat waktu acara pemuda pemudi itu, kemudian kita harus memahami juga masyarakat kita, kalau masyarakat kita ni orangnya gimana ya, masih percaya kepada leluhur-leluhur dari jaman-jaman, jadi mereka belum punya ilmu kalau ini tidak boleh kalau ini tidak boleh, Tadi kakak bilang kakak belum mampu untuk menyisir semua wilayah Pegasing, itu kenapa kak? Di Pegasing itu WH ada 3 orang, 2 perempuan 1 laki, nah kalau kita menegur orang trus orang gak terima itu bisa berefek ke kita, jadi kita bekerjanya kan sesuai dengan tupoksi masingmasing, misalnya kalau ke lapangan harus ada SPJ nya, kalau gak ada itu kita gak berani, paling kita beraninya secara fardiyah itu tadi, kalau secara terang-

Responden merasa kepercayaan masyarakat menghambat kinerjanya

Responden belum mampu menyisir seluruh wilayah Pegasing karena mempertimpangka n faktor keselamatan pribadi dan dana

Responden merasa kurang sinkron dengan pimpinannya

204

230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281

Iter

Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Iter Itee

terangan apa kita juga kurang ada keberanian, karena ketika terjadi masalah ke kita juga tidak ada yang bisa menanggung jawabi, pemerintah kita juga apa, misalnya pemimpin apa..apalagi WH ni udah bergabung dengan satpol PP, satpol PP dengan WH ni kan bertolak belakang, sepertinya kurang sinkron dengan WH, jadi kita yang penting kepada diri pribadi, mau kita mencari pahala silahkan, kalau enggak ya udah, seperti itu, tapi kalau misalnya kita ke kampung-kampung, pernah dulu ya kan dek, sosialisai Qanun, seperti itu, itupun harus ada SPJ, kalau kita gak ada SPJ, kalau terjadi sesuatu, misalnya kan kita berdakwah ke pemuda, apalagi pemuda-pemuda dia lagi senang-senangnya trus kita teriak “hey sini sini…” memanglah secara ahsan (baik), nantikan orang tu tapi mudah-mudahan enggak pernah nanti orang tu kan kompak, kalau mereka mengeroyok kita apa segala macam kan nah itu kan menyangkut keselamatan kan, makanya kami secara fardiyah aja, pernah dulu kita mengisi pengajian di desanya tiap hari jumat, di Tebuk, daerah Pedekok, tapi kan itu menyangkut juga transportasi kan perlu dana, nah kalau misalnya kalau pemerintah mengatakan ini dana transportasi sekian, jadi kita kan bisa pergi ke mana-mana karena ada uang transportasi, kalau uang kita pribadi kan paling yang dekat-dekat ni cuma bisa kita jangkau, kalau yang jauh-jauh kan kita perlu dana, Tadi kakak bilang pimpinan kakak satpol PP, nah hubungan kakak dengan satpol PP itu gimana kak? Tu lah pemerintah ni, kalau dulu WH ni kan di bawah syariat Islam dia, jadi kan matching (sesuai) dia dengan WH ni, kalau sekarang kan udah di bawah satpol PP, kalau syariat Islam dengan satpol PP itu berbanding terbalik kalau kakak pikir kan, wallahu a’lam lah pemerintah kita kenapa di pindah ke satpol PP, kalau dulu kan dinas syariat Islam, jadi apa yang kita kerjakan kan nyambung, bisa

Responden merasa tidak dapat bekerja sama dengan atasannya

Responden terkadang sharing dengan rekan

205

282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter

Itee

Iter Itee

kita kerja sama, kalau sekarang satpol PP tu pun gak tau Qanun, tapi pokoknya kita kan WH, mereka tu satpol PP, terserahlah, ya itulah tadi lah, kita bekerja niat kita bagus tapi orang menanggapi gak bagus, jadi kan kita seperti buah simalakama, kerja sedikit turun ke lapangan harus ada SPJ, kalau gak ada ya gak bisa, ni kita naik honda keliling keliling, kalau ada orang yang melanggar paling kita tegur, Biasanya kak masalah-masalah yang kakak hadapi di kerjaan jalan keluarnya dari kakak sendiri gimana kak? mm…kalau misalnya ee…tapi kalau sejauh ini kakak belum mengalami ke lapangan itu yang kekerasan, kakak tidak menegur mereka dengan kekerasan, Kalau curhat masalah kerjaan biasanya kakak dengan siapa kak? Dengan kawan-kawan sesama WH kecamatan yang lain, sharing (berbagi) lah gitu kan, jadi mereka bilang “oh, gak di Pegasing aja masalahnya kayak gitu, semua kecamatan, jadi kita pande-pande aja” Kakak pernah berniat untuk pindah jadi WH yang ditempatkan di kota kak? Pernah, selain dekat dengan rumah, juga enak gitu, kalau mau razia kelilingkeliling ada transportasi, kan WH tu seyogyanya dari pemerintah ada 2 motor, 1 mobil dinas, kalau di kota kalau mau keliling bisa pakek mobil dinas, kalau di kecamatan pake tranportasi pribadi, nah kalau semisalnya kita gak punya kendaraan pribadi gimana, jalan sekemampuan kita lah, kan gak bisa jauh-jauh kita jalan ke pelosok-pelosok gak bisa, kalau di kota kalau mau turun ke lapangan ada kendaraan, kita turunnya rame-rame, jadi masyarakat inilah kan, segan dia.. Pernah gak kak masalah-masalah yang kakak hadapi ini menjadi beban pikiran kakak? Ya, itu kan masalah bagi kita kan, misalnya adek-adek atau ibu-ibu yang kita bina masih aja kayak gitu, trus kita instrospeksi diri, berarti apanya lah yang

sesama kecamatan

WH

Responden pernah berniat untuk pindah menjadi WH yang ditempatkan di Kabupaten, karena lebih dekat, mudah dan aman

Masalah yang dihadapi responden seringkali menjadi beban pikiran

Responden juga berdoa untuk masyarakat

Responden terkadang merasa putus asa menghadapi kondisi masyarakat

Responden tidak pernah mencampurkan masalah kantor dengan masalah

206

332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381

Iter Itee

Iter

Itee

Itee

Iter

Itee

itee

dari kita kurang, sehingga masyarakat kadang-kadang tidak mendengar apa yang kita bilang, tapi masyarakat kalau terjadi kemaksiatan sikit-sikit WH, sikitsikit WH, Setelah kayak gitu apa yang kakak lakukan kak? Ya minimal berdoa “ya Allah mudahmudahan mereka membukakan pintu hatinya, mereka dengar apa yang kita sampaikan” Mm…lihat masyarakat yang kayak gitu pernah merasa putus asa kak? Kalau datang itu nya mau kayak gitu ya kan dek, misalnya “halah kayak mana ini, ah ya udahlah yang penting kita udah menjalankan tugas, mau dengar ya terserah, mau enggak ya udah” kayak gitu, pernah juga ya kan, manusiawi lah kalau hal-hal semacam itu Waktu merasa kayak gitu kakak pernah mencoba untuk melupakannya dan mengalihkannya ke hal yang lain kak? Kalau kakak orangnya itu, gak ngaruh sama hal-hal kayak itu, gak terlalu open, kalau masalah rumah ya dirumah, kalau masalah kantor ya kantor gitu, gak ngaruh, tidak berefek, kecuali kita menyakiti hati orang lain baru kita kepikiran terus, kalau ini kan kita tidak menyakiti hati orang lain, cuma sukses atau tidaknya kita kerja, biar ke depan kita lebih ini kan, meningkatkan kinerja, cuma kalau untuk pribadi Insya Allah gak ada berefek apa-apalah, Trus rencana kakak pribadi sampai kapan kakak akan menjadi WH kak? Semasih ada WH, gitu, hehe, kalau kita lihat-lihat memang pekerjaan WH tu berat, cuma di sisi lain banyak pahala, kayak gitu Untuk kenaikan karir di WH, gimana kakak memandangnya kak? Sejauh ni udah 3 tahun ni kita gak ada protes, mau gaji kayak tu mau gaji kayak ni, mau yang gak ada naik jabatan, yang namanya kontrak kita kerja dengan pemerintah ya kan? di samping kita memenuhi ma’isyah (pendapatan) keluarga ya kita juga harus bekerja

rumah Responden merasa tertantang untuk meningkatkan kinerja

Responden mencoba untuk mencari hikmah di balik pekerjaannya Responden tidak menganggap masalah ketiadaan jenjang karir di WH, hanya saja tetap berharap mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan karir

Untuk menghindari tindakan kekerasan dari masyarakat, responden menjalankan tugas dengan kelambutan

207

382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 396 398

Iter

itee

sesuai dengan apa kita kan..kapasitas yang kita punya, kayak gitu, sebenarnya kita gak ngaruh, cuma kita kalau ada tes pegawai negeri kita ikut, kayak gitu, Untuk masalah-masalah yang kakak hadapi sebagai WH ni kakak memandangnya gimana kak? mm…tergantung masalahnya, kalau berat masalahnya ya kita adukan ke yang lebih tinggi, kalau masalahnya masih bisa kita atasi ya no problem gitu, Gimana pandangan kakak mengenai pengaruh pekerjaan terhadap keselamatan fisik kakak kak? Kalau sampai sejauh ini belum pernah dapat masalah-masalah kayak gitu, jadi kita enjoy aja kalau mau pergi gitu kan, Tadi kakak bilang kalau kakak takut kalau seandainya para pemuda tu kompak bikin gerakan massal misalnya kak, nah kalau menurut kakak jalan keluar untuk menghadapi kondisi ini gimana kak? Ya, kita harus melakukannya dengan cara yang baik-baik gitu, kalau kita mau mensosialisasikan Qanun maka kita mensosialisasikannya dengan kelembutan, gitu, sesuai dengan kapasitas kita, kalau misalnya kita melakukannya dengan kekerasan ya mereka juga menerimanya dengan kekerasan, gitu, nah orang-orang kampung tu kan bilang “dia baik kita baik, dia jelek kita jelek”, seperti itu prinsipnya, jadi kalau kayak gitu insya Allah kejadian kayak gitu gak ada, kecuali kita dengan ..ee…biasanya dengan laki-laki yang kadang-kadang mungkin keras gitu kan, seperti kemaren ada kejadian di Pantai Menye, ada pemuda yang lagi pacaran, rupanya yang punya lokasi tu udah di bayar sama dia, kan kita suruh pulang, jadi yang punya tempat tu kan membela yang pacaran tadi, nah bawa parang dia, sampai berkelahi orang tu, nah tu para lelaki yang kesabarannya masih minim, orang keras dia pun keras, tapi kalau kita yang perempuan ni insya Allah lah mereka…apalagi kalau kita yang

Responden berencana untuk meningkatkan pendekatan pada masyarakat

208

perempuan kalau pemuda pemuda suka dia kan, maksudnya senang dia dengan lembut-lembut, gak ada “Win! pulang!” gak ada kayak gitu, lembut-lembut kita…. Rencana kakak, apa yang akan kakak laksanakan untuk menyikapi penyakitpenyakit masyarakat ini kak? Kakak juga punya planning-lah untuk dekat terus dengan masyarakat, minimal kan dengan ibu-ibunya, karena ibu-ibu lebih berperan penting dalam keluarga,

LAMPIRAN VERBATIM Responden III Wawancara I Tanggal: 30 Agustus 2009 Pukul : 11.30 – 11.50 WIB Durasi : ± 20 Menit Subjek : Nofri

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Pelaku Iter Itee Iter Itee Iter

Itee

Iter

Itee

Verbatim Awalnya kakak tau WH dari mana kak? Dari kawan kakak yang di Takengon, Trus waktu awal itu apa aja yang kakak ketahui tentang WH kak? Gak ada, cuma merazia yang kakak tau, Trus setelah kakak tau tugas-tugas kakak, apa yang memotivasi kakak untuk menjadi WH kak? Namanya kita apa ya, orang islam, pokoknya ingin membantu terwujudnya syariat islam, itu aja cuman, Trus setelah kakak tahu tugas-tugas WH, apa rencana pribadi kakak tentang apa yang akan kakak lakukan terkait tugas kakak sebagai WH kak? Selalu melaksanakan tugas dengan bagus lah kan, pokoknya dulu ya kayak mana biar syariat islam di Aceh ni bagus gitu kan, kalau di Padang kan nuansa islamnya bagus, tapi kalau di Aceh ni kan kenapa nggak...kalau di Aceh ni kenapa gak bisa di wujudkan..

Pemaknaan Responden mengenal WH dari temannya. Awalnya yang diketahui responden mengenai WH hanya merazia. Motivasi awal responden adalah untuk membantu terwujudnya syariat islam

Responden ingin melaksanakan tugas dengan baik dan syariat islam tegak di Aceh

Koding

209

23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee Iter Itee

Iter

Gak bisa diwujudkan gimana kak? Ya payah gitu kan, dari pemerintah nya maupun masyarakatnya kayaknya gak mendukung adanya WH... Respon masyarakatnya gimana kak? Ya kayaknya WH tu gak dianggap, gak di hargai, hanya sebagai tameng aja, kalau dari masyarakat kampung-kampung kayak gini ya bagus, mereka nurut aja, tapi ada juga yang nggak, kalau dibilangin bandel... Bandel gimana maksudnya kak? Ya misalnya kan ada ibu-ibu yang pulang dari kebun, gak pakek jilbab, cuma pake kelubung aja, trus kalau di tegur ya jawabnya gak bisa, panas, payah gitu, Trus tanggapan kakak dapat respon kayak gitu gimana kak? Ya kita mau gimana lagi, dari mukaknya nampak memang capeknya, kadang jilbabnya cuma di tarok di sendangnya aja, ya kita mau gimana lagi, yang penting kita udah melaksanakan tugas kita ya kan, kita udah negur.. Biasanya respon yang gimana lagi yang kakak terima dari masyarakat kak? Respon? Ya ada yang baik ada yang jelek, kalau yang baik tu kan ya iya iya aja dia, kalau yang nggak tu kan ada yang protes dia, ngapain kamu urus-urus, ini kan urusan saya, kalau mau masuk neraka kan cuma saya yang masuk neraka, ngapain kamu urus-urus... Trus gimana tanggapan kakak dapat respon yang kayak gitu kak? Ya kadang kakak marah, gondok kan, ya disini kan ada syariat islam, udah pindah aja dari sini kalau gak mau, kadang udah sampek kasar kayak gitu kakak bilangnya, Oh, kakak sering marah sama mereka kak? Ya namanya juga kita manusia kan, kalau digituin siapa yang gak marah, Kalau dari kebijakan pemerintah ada yang menjadi kendala gak kak? Ya WH ni gak dianggap, kayak gak ada aja, hanya sebagai tameng, hukumnya belum jelas, perlindungannya gak ada, kayak dulu ada kasus kawan kakak yang bertugas trus di tangkap sampek 4 bulan gitu, yang ditonjolkannya hukum pidananya, bukan hukum syariat islamnya... Gimana kakak memandang kondisi itu kak?

Responden merasa pemerintah dan masyarakat kurang mendukung kinerja WH Responden merasa bahwa WH itu kurang dihargai

Responden mendapatkan kasus ibu-ibu yang protes ditegur karena hanya menggunakan kelubung Responden hanya diam saja ketika mendapat protes dari masyarakat

Responden mendapatkan respon yang positif dan negative dari masyarakat

Responden terkadang juga marah mendapatkan protes dari masyarakat

Responden merasa pemerintah juga kurang menghargai WH,

210

73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123

Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter

Itee Iter

Itee

Iter Itee

Iter

Ada rasa ketakutan gak kak kalau seandainya kondisi yang sama juga menimpa kakak? Kalau ketakutan sih enggak, cuma ya itulah, hukumnya diperjelas lagi, perlindungannya ditingkatkan lagi.. Biasanya kakak razia berapa kali dalam seminggu kak? Kalau razia yang resminya kakak gak ada, karena kan kakak cuma sendiri di sini, beda dengan yang di kabupaten, kalau di kabupaten kan banyak ya, jadi enak, kalau di sini kakak cuma sendiri, jadi paling ya kakak tegur kalau jumpa-jumpa di jalan gitu..jadi ya bisa dibilang kakak tiap hari razianya, hehe, di sini kakak paling cuma melakukan pembinaan aja, ngisi pengajian ibu-ibu gitu kan, itupun cuma 2 kampung yang bisa kakak kerjain, di sini kan ada 9 kampung, karena kan jauh-jauh... Biasanya kakak kelapangan gimana kak? Ya diantar suami, kadang ada kegiatan dari kantor camat ikut, ada BKMT ikut, kalau katanya ada acara-acara apa ya kakak ikut, ada di suruh ngisi pengajian ibu-ibu ya kakak laksanakan.... Trus kalau cuma kakak 1 orang WH nya di sana itu gimana dampak nya terhadap kinerja WH kak? Ya kan jadi susah, kalau sendiri kan payah, kita susah pergi jauh-jauh... Apalagi kak kalau dari kebijakan pemerintah yang serasa menjadi kendala saat kakak bertugas? Mm...apa ya? Ya itu tadi lah, kekuatan hukumnya gak jelas, kan WH gak bisa nangkap segala macam, kalau ada kasus ya kalau bisa pemerintah memenangkan WH nya, bukannya memenangkan hukum pidananya, kan hukumnya syariat islam Dari segi fasilitas yang diberikan pemerintah gimana kak? Kalau fasilitas...gaji lah misalnya itu... gimana ya...ya kita bersyukur ya, ada masuk, cuman ya kalau dilihat itu...kurang memadai lah memang.... Trus kak, tadi kan kakak ada bilang kalau kakak menghadapi kendala dari sikap masyarakatnya, trus dari pemerintahnya, nah untuk menghadapi kendala-kendala itu apa yang kakak lakukan kak?

Responden berharap hukum dan perlindungan terhadap WH diperjelas Responden tidak melakukan razia resmi, tetapi razia secara fardiyah saja, karena lokasi kampungnya jauh. Responden hanya melaksanakan tugas pembinaan

Responden melaksanakan tugas dengan diantar suami

Responden sulit melaksanakan tugas sendirian

Responden merasa kekuatan hukum WH tidak jelas

Responden merasa gaji yang diberikan pemerintah kurang memadai

211

124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151

Itee

Iter Itee Iter

Itee

Kalau dari masyarakatnya ya...gimana lagi, paling kita sabar aja, yang penting kita udah melaksanakan tugas, kalau untuk pemerintahnya ya....udah coba disampaikan ke atasan, trus ke wakil bupatinya juga, cuma ya respon mereka ya nanti-nanti aja..., Trus gimana tanggapan kakak terhadap respon pemerintah itu kak? Ya gimana lagi, kita cuma bisa nunggu... Menurut kakak, jalan keluar yang kakak lakukan itu udah bisa menyelesaikan masalah yang kakak hadapi gak kak? Kalau secara keseluruhan ya belum ya, cuman kan memang gak bisa berubah cepat, perlu waktu, jadi ya kita tunggu aja...

Responden menanggapi protes dari masyarakat dengan bersabar, menghadapi kendala dari pemerintah dengan mengadukan keluhannya kepada pimpinan

Responden

merasa

jalan keluar yang dilakukannya belum mampu menyelesaikan masalah

Wawancara II: Tanggal: 08 Oktober 2009 Pukul : 12.00-12.30 WIB Durasi : ± 30 Menit Subjek : Nofri No 1 2 3 4 5 6 7 8

Pelaku Iter

Itee

Verbatim Pandangan kakak terhadap kerja WH gimana kak? sangat kompleks, bebannya beran, atau gimana kak? mm…gimana ya, ya namanya secara umum kita orang islam kan kewajibannya mengawasi, abis tu melindungi, kalau bebannya ya, kalau orang gak terima itu beban sebenarnya, kayak yang kemaren tu, kemaren tu kita udah bilang gini gini

Pemaknaan

Menurut responden yang menjadi beban di dalam pekerjaannya adalah ketika masyarakat

Koding

212

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58

Iter Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

tapi kadang kadang orang melawan kan, jadi beban kan, jadi mikir gitu kayak mana lah caranya lagi, cuman ya itu, yang namanya kewajiban kan kita laksanakan, cuman kalau orang g mau ngapain kita paksa pun, negara kita bukan negara islam, ya balik balik ke situ lagi Untuk waktu kerja nya gimana kak? Kalau kakak di kecamatan bisa dibilang santai lah, kapan ada kegiatan, masuk, kayak gitu kan, mungkin yang rutin Jumat sama Senin, itu kan pengajian ibu-ibu kan, kalau ibu-ibu di kampung tau lah kan, kalau masyarakat yang lain kalau di Batu Lintang gak lah terlalu apa kali, bisa di bilang cukup alim, cuman mungkin yang namanya kepala ya kalau kita larang pun kan, ada yang dari kebun, kayak mana gitu ya, gak bisa kita tekan kali pun, kalau orang-orang kampung pun kayak gini lah cuman model jilbabnya, nutup rambut cuma, pakek kelubung aja, Kak, kayak kakak bilang tadi kakak kan gak bisa nekan mereka kali untuk berjilbab, sementara pekerjaan kakak seharusnya mewajibkan kepada mereka untuk berjilbab, nah gimana kakak memandang pertentangan antara situasi yang kakak hadapi ini dengan yang seharusnya kak? Yang jelas kalau dari masalah hukumnya kalau dari qanunnya masalah menutup aurat tidak terlalu berat hukumannya, yang berat tu kan zina, judi, itu memang ada sanksi-sanksinya, cuma kalau untuk menutup aurat belum ada, jadi yang namanya shalat, puasa juga gak, itu yang masalahnya qanunnya tu, ada qanunnya, cuma gak ada hukumannya, kayak gitu, cuman kalau judi tadi ada hukumannya, kalau misalnya dia begini berapa cambuknya, kalau mau dicambuk.., Untuk qanun-qanun yang gak ada hukumannya ini gimana pandangan kakak kak? Gak ada hukumannya itu maksudnya gak ada efek jeranya, kalau jilbab tadi ya kalau kedapatan kita kasih pengarahan, atau kita kasih jilbab, ya sampek situ cuman, kalau kelanjutannya itu ya gak tau kita… kalau yang besar-besar baru ada kelanjutannya, yang besar-besar kayak khamar, judi, zina, kalau kedapatan sama WH kita kasih sama masyarakat kampungnya, nanti mau dinikahkan atau apa ya ditindaklanjuti, tapi kalau misalnya sholat, jilbab, ya gimana kita menindaklanjutinya, kan susah, karena orang tu kan mm….umum sifatnya,

tidak terima di tegur

Itee merasa tidak mengalamai masalah dengan waktu kerjanya.

213

59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108

Iter Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee Iter

Kalau untuk jenjang kenaikan karir di WH gimana kakak memandangnya kak? WH ni kontrak, hehe, ada katanya masuk database, cuman…alah kayak gitu lah, atas nama kontrak aja, Biasanya manusia kan selalu ingin naik ke tingkatan yang lebih tinggi, nah kalau kakak pribadi ada keinginan gak kak untuk naik tingkatan kak? Kalau kakak kan mau, jadi presiden pun kakak mau, cuman kan kalau untuk jenjang-jenjang kayak gitu kan harus jadi pegawai dulu, kalau gak mana bisa dari WH nya, kalau kakak sendiri sih pengen, cuman gimana lagi, belum ada jalurnya, Kalau dari pola kepemimpinan atasan kakak, gimana kakak memandangnya kak? Kakak kerja dengan satpol PP, bisa dibayangkan satpol PP dan WH itu berbeda, kalau satpol PP tu mungkin agak arogan, mereka tu mungkin menindak atau apa kan dengan fisik, kalau WH ni kan dengan perkataan perkataan, yah kalau dengan satpol PP yah kurang lebih kayak tentera lah cara didikannya kan, maunya kayak gini gini, kalau WH kan dengan lemah lembut, Trus menghadapi sikap satpol PP yang kayak gitu kakak gimana kak? Ya apa yang bisa kami laksanakan ya kami laksanakan, masak disamakan antara tamatan SMA dengan tamatan SI, itu pun kan berbeda, jadi ya kalau kata pimpinan begini ya kita laksanakan, selama kalau menurut kita gak bertentangan kan ya..apa..yang namanya tugas ya kan kita laksanakan, Kakak pernah ada bentrok atau konflik dengan atasan kakak kak? Kalau kakak gak ada lah…, Menurut kakak, gimana pengaruh pekerjaan kakak sebagai WH terhadap keselamatan kakak secara fisik kak? Yah sebenarnya tergantung penyampaian kita ya, kalau kita ngomongnya arogan otomatis orang pun marah ya kan? kalau kakak pribadi sih belum ada, kalau yang laki mungkin ada ya, kalau ada orang yang ketahuan zina atau apa kan orang tu ditangkapnya langsung, yang kedapatan langsung tu pun mana mau ketangkap dia kan, lari dia, jadi bentrokan kayak gitu lah, tapi kalau cewek sih gak ada,

Itee dapat menerima kondisi pekerjaannya yang tidak memiliki jenjang kenaikan karir

Iter merasa kurang cocok dengan pola kepemimpinan atasannya

Itee tidak pernah mengalami konflik dengan atasannya

214

109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158

Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Iter

Itee

Iter

Kalau menghadapi masalah atau konflik di kantor itu pernah kebawa sampek di rumah kak? Mau lah juga kadang sampek ke rumah, cuman ya kita usahakan urusan kantor ya di kantor, urusan rumah ya dirumah, kayak gitu kan, cuman kadang-kadang ada lah juga, hiiihh kenapa ga bisa, kenapa gak mau dibilangin, gitu kan, ya sebatas kayak gitu cuman jengkel nya kan, Dengan rekan WH yang lain pernah konflik gak kak? Konfliknya kalau sama kawan-kawan yang lain tu paling ya selisih-selisih faham lah, kalau kerjaan kan sama, sanksinya sama, cuman ya masalah selisih-selisih gitu kan sifatnya individu, nanti ntah apa dia ngomong, trus tesinggung, gitu-gitu ntah apa kan, Trus kak masalah-masalah yang kakak alami tadi, kayak konflik dengan masyarakat, dengan atasan, atau dengan sesama WH tadi tu mempengaruhi kerja kakak secara keseluruhan gak kak? mm..kadang adalah jadi malas kerja tu, mmck..malas, adalah malas malas tu, cuman kayak mana lah, kalau namanya wajib masuk ya masuk, cuman kalau kakak kan masuk paling kalau ada acara-acara besar, sama camatnya pun udah di bilang “pak, saya gak masuk, saya ke masyarakat langsung”, “gak papa” katanya, kalau untuk satpol PP ya kakak jarang lah berhubungan sama mereka, cuman ya kakak orangnya ya terserah kalau orang tu ngomong apa, cuman kita kan enggak, gitu.. Kakak pernah merasa capek atau bosan gak kak melaksanakan tugas-tugas sebagai WH? Kalau bosan tu pastilah ada, kayak sekarang pun kakak bosan, kita udah ngasih pengarahan gini gitu, pengajian segala macam, masih aja di buatnya kan kadang-kadang jengkel, males di buatnya, bosan juga, Bosannya udah nyampe titik ekstrim gak kak? sampai pengen keluar dari WH misalnya, gimana kak? Kadang-kadang ada, jujur ya, gak mungkin WH ni pengen terus di WH, sebanyak tu kerja di Aceh Tengah ni yang paling berat tu lah WH, mental WH ni lho, mental di kenak nya kan? orang pun trus kalau ada kejahatan apa mmh, WH nya gak kerja, katanya kan, padahal tiap-tiap kecamatan tu pasti ada program masing-

Itee merasa pekerjaannya tidak mengancam fisiknya

Terkadang itee membawa masalah kantornya ke rumah

Iter terkadang mengalami konflik dengan rekan sekantornya

Masalah yang dihadapi di pekerjaannya terkdang membuat itee malas untuk bekerja

Itee merasa

terkadang bosan

215

159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208

Itee

Iter

Itee

Iter Itee

masing kayak gitu, nanti kalau apa WH…WH..sikit sikit WH..WH…tah hapa..padahal dalam masyarakat islam gak ada WH, tugas WH tu kan hanya mengawasi, yang penting kan tidak lebih atau sama dengan masyarakat, ini ni kan cuma karena ada lembaga, itu cuma bedanya, padahal kalau di pikir-pikir ada penyuluh agama, ada peradilan syariat islam, orang tu pun ckh..menyudutkan WH juga kadang-kadang begitu, WH begini begini, WH tu pun kadang yah, namanya masyarakat kadang kadang ada yang cuek, kadang-kadang ada yang melawan, kan macam-macam, kalau kakak prinsipnya ya terserah, udah kita laksanakan semampu kita gak mau orang tu laksanakan ya terserah. Dan juga kayak kakak bilang kemaren tu kan dari PEMDA nya pun kurang kalau masalah itu nya, kurang misalnya udah ketangkap ini udah ketangkap itu, kenapa lepas? berarti kan ada juga orang dalamnya, orang dalamnya tu kan berarti dekat juga dengan pemda tu, mmch, ibarat nya WH ni udah dalam lingkaran setan, itu itu… Untuk pelanggar yang udah ketangkap trus lepas lagi gimana perasaan kakak kak? Kan jengkel ya, kakak jengkel, udah di bilang sama atasan gini gini yuk kita tindak lanjuti, ya kalau cuma sampai di situ kemampuan atasan ya kan kita tunggu, kalau WH ni kan cuma menunggu, kepastiannya belum tau… jadi di tunggu, Kalau di lihat dari tugasnya kan WH ni hak nya dangkal, gitu ya kak, nah kalau dari kakak ada keinginan biar WH ini bisa… Memberi hukuman terus? mm..ya lah kak punya hak yang lebih lah.. Pengennya kan iya, cuma balek lagi ke negara hukum, qanun itu kalah kekuatannya dari pada hukum perdata pidana tu, jadi kalau kedapatan orang misalnya kan, ini hukumannya, kalau kita pikir cambuk segala macam gitu kan, nanti kalau udah di bawanya ke konstitusi umum, kadangkadang menang orang tu, gitu tu makanya susah WH ni… Kakak pernah mengajukan tentang penambahan hak-hak WH ni kak? Kalau kakak pribadi enggak, cuma kami kan kolektif sama kawan-kawan, kawan-kawan nanti yang menyampaikan sama kepala, kepala nanti menyampaikan disampaikan disampaikan dari

dengan pekerjaannya

Terkadang terbersit keinginan untuk mengundurkan diri, karena merasa beban pekerjaan yang sangat berat.

Responden WH disudutkan

merasa selalu

Responden merasa jengkel terhadap pelanggar yang tidak ditindak

216

209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258

Iter

Itee Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

dulu sampai sekarang masih disampaikan, ntah kemana sampainya gak taulah, disampaikan, ntah sampai ntah enggak…., Untuk masalah-masalah yang kakak hadapi ni jalan keluanya gimana kak? Eleh, lama-lama nanti kan hilang bosan tu, nanti pengen lagi gabung, udah kayak gitu aja, Pernah gak kak, waktu lagi bosan tu sharing dengan teman-teman yang lain? Ada, ada cerita-cerita sama orang tu, tapi kakak jarang masuk kantor, kalau kakak pikir-pikir kan masuk kantor tu sapa yang mau kita bina di kantor tu? kan kayak gitu, paling staf-staf nya, pak camatnya mungkinkah kita bina? kan gak mungkin, lagian kalau orang tu ke kantor kan gak mungkin gak nutup aurat, makanya kakak ambil solusi kemaren tu bagus ke masyarakat aja, ngasih pengajian, kalau di kantor tu banyak mudharatnya kakak pikir, gosip…gosip…,gak gabung kita gak enak gitu kan, Biasanya kalau ada masalah di kerjaan kakak curhat sama siapa kak? Kakak WH sendirian di Batu Lintang, curhatnya sama suami, hehe, paling suami ya bilang, ya laksanakan aja semampunya, kalau gak bisa mau gimana lagi, kita kan udah berusaha maksimal, kalau cerita sama teman-teman di kantor ada yang positif tanggapannya ada yang pesimis, tulah, kalau kita ngisi pengajian ke masyarakat kan sekurang-kurangnya kita bisa sosialisasi, itulah yang bisa kakak lakukan baru, kalau yang berat-berat umpamanya langsung menindak ke hadapan orang-orang yang bermasalah tu belum pernah kakak, Kenapa kak? Ya kadang-kadang kalau di Batu Lintang udah kedapatan, udah kedapatan sama aparatnya duluan, kalau kita kan kalau udah kedapatan sama aparat kampung tu kan diam aja kita, asal tidak melewati batas, asal tidak brutal, kayak kemaren tu ada kedapatan entah judi entah khamar, kemudian di denda, Dukungan keluarga kakak terhadap posisi kakak sebagai WH gimana kak? Mm…gimana ya, kalau dukung ya dukung lah, cuma kalau liat kerja kita ngeluh ngeluh gitu, ya udah…., katanya, kayak gitu cuma, Pernah ada yang bilang “ya udah, berhenti aja” gitu kak? Enggak, di keluarga ni 3 orang kami WH,

Responden ingin memiliki hak yang lebih

Seiring berjalannya waktu rasa bosan yang responden rasakan mulai hilang Responden terkadang sharing dengan sesama WH

217

259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

kompak kami, kalau gak selesai ya udah, gitu, Kalau dari kakak pribadi kira-kira kakak udah melaksanakan tugas kakak sebagai WH secara maksimal kak? Belum, belum, kakak gak masuk kantor, orang tu kan ada yang masuk kantor, tergantung kecamatannya lah, kalau kecamatan kakak yang dipelosok ni enaklah, lebih ke pengajiannya, bukan ke kantornya, sering ke lapangan lah, padahal kan sebenarnya ke pengajian iya ke kantor iya, Kakak pernah merasa gak kak, ni kakak udah berusaha maksimal, tapi masyarakat kok gak berubah-berubah juga…gitu kak, Kan iya, hehe, kayak mana enggak, kita udah tiap minggu itu…terus, yang dianya kayak gitu…juga, jengkel..lagi, cuma ya, balik-balik nya kayak gitu udah, kita udah laksanakan tugas kita, kalau gak mau ya gak bisa kita paksa lah dek, kecuali kita berhadapan dengan benda yang bersifat mati, bisa kita atur, kalau orang gimana ngaturnya, Kakak memandang masalah-masalah ni gimana kak? Maksudnya? Misalnya oh masalah ini bisa mengancam saya nih, ato masalah ini tantangan nih buat saya, harus saya hadapi, jadi kayak batu loncatan untuk menjadi lebih baiklah gitu, itu gimana kak? Kalau tantangan….mm…gimana ya, kalau tantangan kadang-kadang ada tantangannya, kadang-kadang enggak juga, kayak ngisi pengajian lah misalnya, kalau ngisi pengajian baru ya kakak merasa ini tantangan, kayak mana ya, bisa gak nanti, gitu, Kalau dari kakak pribadi gimana penyelesaian semua masalah-masalah ini kakak? Ya kayak masalah apa tu ya, kalau dulu di Batu Lintang tu judi kan kuat ya kan, jadi kalau solusi dari kakaknya ya kalau gak Bapaknya ya Ibunya yang kita dekati, ya berusaha kita pecahkan, kalau gak bisa ya udah, gitu, kalau kakak pendekatannya kebanyakan ke yang perempuan… Untuk masyarakat, gimana rencana-rencana kakak mengenai cara-cara yang akan kakak lakukan terkait masalah-masalah yang kakak hadapi dengan masyarakat ini kak? Kalau kakak pribadi pengarahan banyaknya,

Responden belum pernah menindak pelaku pelanggaran berat karena telah ditindak oleh aparat kampung.

Responden mendapat dukungan dari keluarga

Responden merasa belum maksimal melaksanakan tugasnya

Responden jengkel terhadap masyarakat yang belum menunjukkan perubahan

218

309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358

Iter Itee Iter

Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

pengarahan-pengarahan, kalau memberikan jilbab kan gak mungkin ya, padahal kan kita pengen ngasih jilbab, Menurut kakak pengarahan-pengarahan yang diberikan kemasyarakat udah bisa menyelesaikan masalah-masalah masyarakat tu gak kak? Sebenarnya harus aplikatif kalau memang mau diberantas maksiat-maksiat nya tu, kalau pengarahan-pengarahan tu gak bisa, pokoknya harus kuat..misalnya, masyarakatnya tu gak suka dengan itu, adat nya pun gak suka, pemuka adatnya gak setuju, pemda nya pun gak setuju, baru bisa maksiat tu di berantas…..tapi kalau cuma mengharapkan WH aja gak bisa, mengharapkan masyarakat aja gak bisa, kita udah pengen begini begini, iya iya…abis tu ntah kemana orangnya, yang di tangkap pun ilang orangnya..kita udah capek-capek… Gimana pengaruh pekerjaan kakak sebagai WH dengan kehidupan pribadi kakak kak? Kayak mana ya, pengaruh mungkin iya ya, mm…kayak kita misalnya kan udah tau, cuman kadang kan lupa, jadi pas lupa tu, eh..kita kan WH, jadi kadang-kadang akan terbersit..trus kadang keluarga juga di bilang, saya kan WH, kadang keluarga kan susah ya, kalau dibilangin gini kata kita, nanti iya iya di depan kita, kalau udah pergi kita ntah kayak mana kan gak tau kita,

Responden merasa terkadang pekerjaannya menjadi tantangan yang harus dihadapi

Responden melakukan pendekatan terhadap pihak wanita untuk menyelesaikan masalah

Responden juga memberikan pengarahan kepada masyarakat

Responden merasa penyelesaian penyakit masyarakat harus aplikatif, dan didukung semua pihak

Responden jengkel jika terdapat pelanggar yang lepas begitu saja

219

359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 372 374 375 376 377

Pekerjaan responden sebagai WH menjadi pengingat ketika responden lupa

Iter Itee

Tanggal: 30 November 2009 Pukul : 11.00 - 11.33 WIB Durasi : ± 20 Menit

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Pelaku Iter

Itee

Iter Itee

Iter Itee

Verbatim analisis Kemaren tu kakak bilang di Pegasing ni pelanggaran yang paling sering dilakukan masyarakat tu pelanggaran jilbab sama judi, pelanggaran lainnya masih ada kak? Orgen disini woy, kencang, tiap-tiap ada pesta, seandainya ada orang pesta pakek keyboard apa, mau anak-anak mudanya tu keluar, ngumpul semua di situ, Gimana kondisi masyarakatnya waktu ada orgen itu kak? semua ngumpul, mulai dari anak bayi nya pun di bawa, trus bapak-bapak ibu-ibu ngumpul semua, kayak layar tancap lah kakak bilang, cuman kakak lihat disini gak berani mereka macam-macam, duduk nya nggak sempit-sempit, kayak gitu, ntah karena ada kakak takut mereka gak tau juga kita kan, Biasanya kapan-kapan aja ada orgennya kak? kalau ada pesta, abis tu kalau ada perayaan apa-apa gitu, kalau ada 17-an mau kadang-

220

23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

kadang, tapi yang paling sering kalau ada pesta Apa yang kakak rasakan waktu ngeliat kondisi itu kak? Secara apa memanglah kurang bagus, cuman gimana lagi ya, itulah hiburan mereka, Kalau terhadap pemakaian kelubung tu pandangan kakak gimana kak? Itulah, kalau ke orang kita tekankan kali pun gak bisa, oh A kata kita harus A mereka ga bisa, harus ada prosesnya, prosesnya tu harus sampai kapan, maunya cepat-cepat masuk hidayah Allah tu ke kepalanya baru bisa, lagian mereka tu alasannya ada, ke kebun katanya, kalau pakek jilbab kami payah, kalau pakek kelubung ini aja enak, kayak gitulah alasan mereka, Jadi kakak bisa menerima alasan mereka gitu ya kak? Karena kalau untuk jilbab susah lah, kalau kejahatan-kejahatan yang lain bisa kita keras-keras, tapi kalau untuk jilbab kayak susah… Kemaren tu kakak bilang kakak merasa mengalami konflik dengan atasan kakak Satpol PP, gimana tanggapan kakak dengan kondisi ini kak? Kalau konflik bentrokan fisik enggak lah, cuman konfliknya tersinggung-tersinggung mungkin masalah sepele kan, contohnya penulisan surat kayak gitu, kalau Satpol PP, yah…balik lagi ke masalah pendidikan kan, orang tu kan….ya…bikin suratnya tidak sesuai dengan EYD bisa jadi, yang namanya WH kan SI jadi semuanya tau, kayak gitu, jadi Satpol PP, karena kita tinggal di kantornya, jadi kurang lebih mereka itu lebih menguasai, apalagi ketuanya dari orang itu… Kalau tanggapan kakak terhadap masyarakat yang tidak menjalankan Qanun gimana kak? Yang namanya di Aceh ni, nama nya aja yang Serambi Mekah, ntah di mananya yang bolong, gak tau kakak, betul eh…! Coba lihat, kita udah pengen begini begini, abis tu ntah kemana, ilang, jujur kayak gitu, kayak kami dulu pernah razia dapat orang

Responden merasa tidak mampu menyelesaikan pelanggaran masyarakat terhadap kegiatan orgen Responden merasa tidak mampu untuk memaksakan pemakaian jilbab terhadap masyarakat

Responden merasa susah menghadapi permasalahan jilbab

Responden mengalami konflik dengan atasannya

Responden merasa jengkel dengan pelanggaran syariat Islam dan dengan dilepaskannya pelanggar

221

73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee Iter

Itee

minum minuman keras, diantar ke kantor polisi, trus tanya ke kantor polisi tu, udah lepas katanya, ntah kenapa lepas, ntah kenapa lepas ntah, ndak diikatnya gak taulah, pokoknya udah jengkel-jengkel kayak gitu pulang WH ni, ngomong sama kepala kan, ya nanti akan kita selidiki, akan kita tindak lanjuti, ntah kayak mana, tindak lanjutnya , kita tunggu sampai sekarang udah 3 tahun kakak jadi WH entah di mana lanjutnya, Selain itu, ada pelanggaran lain lagi kak? Pelanggaran apa ya? Di sini mistik-mistik tu masih ada lah, kayak tanggal lahir, hari baik, menentukan hari pernikahan, gitu, dukun-dukun tu pun masih kuat lah, tapi dukun beranak paling banyak, dukun beranak tu pun kalau pengajian Jumat datang dia, Gimana kakak menjelaskan ke masyarakat tentang hal-hal mistik ini kak? Ya kakak bilang aja, seandainya dukun itu bagus, sesuai syariat, ga papa lah, cuman kalau seandainya kurang sesuai dengan syariat ya kita kan tau, kalau seandainya ada bahasa arab yang aneh-aneh atau yang lain yang aneh-aneh kan berarti ada kemungkinan, kalau kita make brarti kita syirik, gitu, Trus tanggapan masyarakat gimana kak? Itulah, mereka bilang kalau dokter-dokter tu lambat buk, katanya, kalau dukun-dukun tu kan agak cepat gitu, Kalau tanggapan kakak terhadap kondisi ini gimana kak? Itulah kayak mana lagi, udah kita kasih tau udah, terserah mereka gimana lagi, Kalau dari kakak pribadi, keinginan kakak terhadap pelaksanaan syariat islam di masyarakat gimana kak? Ya kakak sangat berkeinginan syariat Islam di sini bagus, berkeinginan sekurangkurangnya orang tu khususnya ibu-ibunya lah kan, bisa dekat ke anak-anak, jadi kan agak terbantu dikit, sekurang-kurangnya bisalah dia ngayomi remajanya, suaminya, walaupun anaknya atau suaminya ntah kayak mana kan, kayak gitu, itulah kalau kakak disini kalau masuk ke bapak-bapak tu agak susah, kalau masuk ke ibu-ibu agak

yang telah ditangkap oleh pemerintah

Responden memahamkan mistik masyarakat.

berusaha perilaku kepada

Responden merasa tidak mampu melakukan apaapa setelah memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai perilaku syirik Responden sangat berkeinginan akan terwujudnya syariat Islam

222

123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164

Iter itee

Iter

Itee

mudah kakak, karena kita perempuan kan, jadi kan agak mudah dikit kerja kita, dari pada kita sendiri ke rumah-rumah, Terhadap kondisi-kondisi masyarakat ni jalan keluar apa yang kakak lakukan kak? Kakak masuknya dari pengajian-pengajian, tapi pengajian di sini kayak pengajian biasa cuma modelnya, kayak…apa….ta’lim, ta’lim biasa, jadi kalau ngisi pengajian tu kakak sampaikan begini-begini, kalau kita cerita tentang Qanun gak ngerti orang tu, Qanun kan banyak pasal sekian pasal sekian ntah hapa, kalau kita sampaikan ke orang tu gak ngerti orang tu, jadi kakak bilangnya menurut Al-Quran….baru ngerti orang tu, abis jelasin materi gitu baru kakak masukkan aturan-aturan gitu, baru sosialisasi segala macam, gitu,

Kalau kakak pribadi, prediksi kakak terhadap kondisi keislaman masyarakat gimana kak? Kondisi keislaman, gimana ya, kayaknya makin baguslah, karena disini kayaknya makin banyak penyuluh-penyuluh agama, trus di sini juga banyak anak pesantren, trus di sini masih ada orang yang dihormati, kayak tokoh-tokoh masyarakat kan, gitu,

LAMPIRAN VERBATIM Responden 1II Wawancara I Tanggal: 29 Agustus 2009 Pukul : 17.00 – 17.30 WIB

Responden merasa lebih mudah mendekati kaum ibu

Responden memberikan penjelasan mengenai syariat islam melalui pengajian-pengajian

Responden yakin syariat islam akan dapat ditegakkan di kecamatannya.

223

Durasi : ± 30 Menit Subjek : Jamaah

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44

Pelaku Iter Itee

Iter Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Iter Itee

Verbatim Pak, awalnya Bapak tau tentang WH dari mana pak? Dari, ada yang kerja di dinas syariat islam, tetangga, katanya buka lowongan untuk polisi islam, ya coba aja lamar, gitu, kemudian melamar, alhamdulillah lulus, Waktu awal itu pak, apa yang Bapak ketahui tentang WH pak? Sebelumnya wallahu a’lam saya gak mengetahui terlalu dalam, apa segala macam tentang WH itu gak tau, karena saya baru datang juga waktu itu ya, dari Jogja, saya gak paham, di kasih buku-buku tentang Qanun, nah terus saya belajar, Setelah Bapak tau tentang WH, Bapak punya harapan tersendiri gak pak untuk WH ini? Ya, harapannya sebenarnya ya bisa memperbaiki masyarakat yang ada di Aceh Tengah khususnya ya, karena tugas WH itu ya untuk memperbaiki akhlak lah gitu ya, harapannya ya untuk masyarakat, bisa merubah, Motivasi awal Bapak menjadi WH apa pak? Ya itu tadi, sebenarnya ingin mencegah...ya berbuat baiklah untuk masyarakat, tugas utamanya gitu ya, gimana biar masyarakat Aceh Tengah itu tau gimana syariat Islam, trus kita sendiri...kan kenapa mesti masuk WH, kalau bukan WH kan juga bisa, itu kan gak ada payung hukumnya, kalau kita masuk WH kan jelas ada payung hukumnya, jelas, kemudian kalau kita ada pelanggar, kita bisa menegakkannya langsung, dan ada badan hukumnya, Selama Bapak jadi WH, tugas-tugas apa aja yang udah Bapak laksanakan pak? Ya, kami kan tugas kami seperti qanun 12, 13, 14, judi udah pernah kami bina dan kami lakukan ...pernah juga cambuk, minuman keras, khalwat, itu yang udah pernah dilakukan, tugas WH itu kan untuk pembinaan, trus pemantauan gimana

Pemaknaan

Sebelumnya responden tidak tahu apa-apa mengenai WH

Setelah jadi WH, responden berharap dapat memperbaiki akhlak masyarakat

Motivasi awal responden menjadi WH adalah untuk berbuat baik pada masyarakat

Responden telah melaksanakan tugasnya sebagai WH, seperti yang tertera di Qanun 12, 13, dan 14

224

45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee Iter Itee

Iter Itee

Iter

pelaksanaan syariat islam, yang udah itu qanun 12, 13, 14. Kondisi apa aja yang pernah Bapak alami saat melaksanakan tugas pak? Ya macam-macam, namanya manusia ya, terganggu kesenangannya kan, mereka berontak, yang jelas masyarakat udah tau kalau kita WH itu, udah tau, mereka akan sadar, sekarang udah takutlah gitu ya, yang parah itu orang-orang mungkin seperti aparat, kita harus anu... polres, misalnya, kemudian kalau memang ada razia gabungan, kita ngasih tau ke mereka itu bahwa di sini sudah berlaku syariat islam, bahwa mereka itu salah, itu aja, mereka mungkin sadar, sekarang kan udah, artinya bukan hukum islam aja, ada hukum adat, hukum islam, ada juga KUHP.., misal di suatu tempat itu ada ketangkep orang lagi khalwat, bisa diselesaikan di sarakopat, sarakopat itu ada gheuchik, imam, orang tua masyarakat, itu yang menyelesaikan, tanpa diserahkan ke yang lain, bisa, Saat terjun ke lapangan ke masyarakat itu bagaimana respon masyarakat pak? Ada positif ada negatif, ada yang seneng ada yang gak, sebenarnya masyarakat itu seneng, yang gak seneng itu ya yang senang melakukan yang salah, sebenarnya masyarakat Aceh Tengah itu senang dengan diberlakukannya syariat Islam, kenapa mereka senang, karena mereka terkontrol, Pernah gak dapat protes dari masyarakat pak? Ya protesnya paling.... itu kenapa gak? Paling itu... Sering gak dapat protes kayak gitu dari masyarakat pak? Sering, seringnya itu protesnya, orang itu kemarin berbuat seperti ini, kenapa mereka gak di tangkap, orang kita gak di sana, ya kan, paling banyak kayak gitu.. Gimana perasaan Bapak dapat protes kayak gitu pak? Ya biasalah, namanya juga manusia ya, uda memang sifatnya gitu ya, ya gak masalah saya itu gak itu ya, bukan masalah besar, Waktu mendapat protes itu pernah gak pak, merasa sedih, kecewa, gerem gitu pak?

Responden mengalami pemberontakan dari masyarakat dan aparat yang melakukan pelanggaran syariat islam

Respon masyarakat ada yang positif dan negatif

Responden sering mendapat protes dari masyarakat

Responden tidak menganggap masalah protes yang diberikan masyarakat

225

95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144

Itee

Iter Itee

Iter Itee

Oh, ya ada sih, ada gerem gitu ada, kok seperti ni sih, gak sabar gitu ya, ada, gak sabar, di nasehatin kok kayak bukan dia gitu ya, ada, hehe.. Trus apa yang Bapak lakukan waktu merasa kayak gitu pak? Ya harus sabar, menasehati lagi bahwa dia itu salah, ya memang harus sabar, kerjaan WH ini, Kendala apa yang Bapak alami selama melaksanakan tugas pak? Kendalanya itu, belum sempurna, misal, dalam penangkapan kami gak boleh, kecuali tertangkap tangan, misal kami ada orang naik motor ya, gak berjilbab, itu gak boleh kami tangkap, harus sama polisi, kenapa gak boleh, karena gak ada Qanunnya, kendalanya yang terbesar itu sebenarnya. Qanunnya belum sempurna. Kendala lain apa ya, termasuk orangnya juga dikit, saya di kecamatan bebesen itu cuma 3 orang, kecamatan Bebesen itu besar, jalan yang kita lalui itu jauh, trus kendala yang lain itu....fasilitasnya lah, karena kan fasilitas seperti mobilisasi, kan kita butuh kendaraan, ke mana gitu ya, sebenarnya awalnya itu tugasnya sosialisasi Qanun, kita memberitahu bahwa Aceh itu sudah berlaku syariat Islam, jadi perbuatan yang gak baik itu di larang, nah itu kemasyarakat gitu ya, kedua ke sekolahsekolah, kami dulu pertamanya itu 16 orang, 16 orang itu yang kami bagi biar efektif, pertama ke masyarakat dulu kemudian ke sekolah-sekolah, nah ke sekolah-sekolah ini sampai ke yang pelosok-pelosok itu ya, trus ke mesjidmesjid, mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat, setelah itu baru kami lanjutkan ke kepolisian, setelah 8 bulan sosialisasi barulah kami lakukan razia-razia, setelah itu mereka udah tau, yang nangkap kan haknya polisi, sebenarnya dilaksanakan oleh sarakopat, kedua diserahkan ke polisi, polisi juga bisa meng-cut itu gak usah di lanjutkan ke kejaksaan, kan dari kami ke polisi, dari polisi ke kejaksaan, dari kejaksaan baru ke pengadilan, mereka yang memutuskan di cambuk atau gak, sebenarnya juga ada

Responden terkadang merasa marah, kecewa saat mendapat protes masyarakat Responden hanya bersabar jika mendapat protes dari masyarakat Responden merasa terkendala dengan kurang sempurnanya Qanun yang mengatur WH

226

145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194

Iter

Itee

Iter Itee

Iter

Itee

yang ditangkap gitu, cuma kalau sekarang lebih banyak ke pembinaan. Trus gimana perasaan Bapak waktu udah nangkap orang tapi nyampe di atas gak ditindak lanjuti? Ya kecewa sih sebenarnya, cuma ya mereka kan juga petugas ya, mungkin pertimbangannya gimana gitu ya, yang jelas harapan kami bukan di cambuknya gitu ya, tapi kesadaran orang itu untuk bersyariat islam, harapan kami kan dia sadar, atau mungkin ditahan 2 hari di kantor polisi dia sadar, nah kalau gitu ya syukur, kalau udah sadar kan gak di cambuk juga gak papa, gitu, Trus dari kebijakan pemerintah sendiri ada yang jadi kendala gak pak? Ya, perhatian Pemda Aceh terhadap WH itu kurang, kenapa kurang? Ya kalau seandainya Pemda Aceh itu mendukung sepenuhnya, berarti bukan kami aja yang bekerja, semuanya, semuanya mengatakan bahwa kita itu harus bersyariat Islam, harus berpakaian sesuai dengan syariat Islam, berperilaku sesuai dengan syariat Islam, bupatinya sendiri yang ngomong seperti itu, dan beliau sendiri juga melaksanakan, melaksanakan mereka seperti apa? Yang kami tangkap itu diberitahu ke masyarakat, bahwa itu salah, ini hukumannya, bukan menutup-nutupi, trus kenapa Qanun untuk WH itu gak dikeluarkan sampai sekarang, kan mereka berhak untuk mengeluarkan Qanun tentang WH, sekarang ini kan umum masih dia, antara ia dan tidak, masih ditengah-tengah lah, kalau seandainya ada Qanun tersendiri untuk WH ini, seperti penangkapan tadi ya, misal, kita lebih..lebih baguslah, Kendala-kendala yang Bapak hadapi tadi mempengaruhi kinerja Bapak sebagai WH gak pak? Kalau saya pribadi gak, masalahnya saya tu bekerja tu sebenarnya bukan untuk pemerintah, bukan untuk pimpinan, tapi saya bertugas itu memang untuk memperbaiki masyarakat Aceh Tengah, gimana sih syariat Islam itu? Kalau misalnya datang orang sekarang, kayak adeklah gitu ya, saya malu, o kayak gini ya

Responden merasa kecewa pelanggar yang ditangkap tidak dihukum

Responden merasa perhatian PEMDA terhadap WH kurang

Responden merasa kinerja nya tidak terpengaruh oleh kendala-kendala yang dihadapinya

227

195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243

Iter Itee

Iter

Itee

syariat Islam di Aceh, kok sama aja dengan di Medan yang gak ada syariat Islamnya? Orang di jalan juga bisa peluk-pelukan? Gak ada bedanya? Saya sebenarnya malu, jadi saja kerja bukan untuk pimpinan, bagi saya, mudah-mudahan masyarakat Aceh ini bisa mengetahui gimana syariat Islam yang sebenarnya, makanya saya gak terlalu kecewa gak diperhatikan, tapi kecewanya juga ada sih, tapi saya pribadi ya udah dilindungi aja udah syukur, kalau di daerah lain kita nangkap orang yang gak berjilbab kan gak dilindiungi, kalau disini kan dilindungi, lho kamu kenapa gak pakek jilbab? Lho kamu siapa? Saya penegak hukum, Bagaimana Bapak memandang kendalakendala yang Bapak alami itu pak? Kalau dari masyarakat tadi ya, ya kita harus sabar, harus melakukan terus sosialisasinya, membina orang itu kan memang gak segampang membalikkan telapak tangan, kalau dari pemda itu ya kalau mereka serius ya insya Allah akan diperhatikan lah WH ini, tapi saya yakin, WH ini akan diperhatikan, kemudian pimpinan kita juga bingung ya, WH ini mau studi banding kemana ya? Mereka ini mau dikasih pelatihan ke mana? Kan di daerah lain gak ada, nah mereka masih belajar, kita juga masih belajar, kami juga sering melakukan pertemuan dengan wakil bupati, nah wakil bupati juga mengatakan seperti ini lho kodisi kami pak, Kira-kira jalan keluar yang Bapak lakukan dalam menghadapi kendala-kendala tadi sudah bisa menyelesaikan masalah belum pak? Ya belum sih, belum, kita kan masih pembelajaran, ya gak mengatasi masalah ya sebenarnya, klo untuk keluhan tadi ya harapan kami ya cuma ngasih tau ke pimpinan, kan mereka yang berhak untuk memutuskan, kami kan gak berhak, kami menyampaikan ke pimpinan, ya pimpinan yang menyampaikan ke atasannya, nanti pimpinan kami mempertemukan dengan wakil bupati, nah, wakil bupati juga sudah lumayan merespon lah, cuman kan wakil bupati juga gak bekerja sendiri, makanya

Responden memandang bahwa membina masyarakat itu tidak mudah

Responden merasa jalan keluar yang dilakukannya belum mampu menyelesaikan masalah

228

244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268’ 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293

Iter Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

saya bilang tadi harus sabar, kalau mintak sekarang harus dapat sekarang, kan gak mungkin, harus nunggu ABPD tahun sekian, gitu, jadi bukan berarti sabar saya diem, enggak, ya...sabar menunggulkah, gitu, hehe.. Sudah berapa kali Bapak menyampaikan keluhan ini ke pimpinan pak? Sudah sering, sudah sering kami ketemu udah sering, DPR juga udah pernah, sama Bupati sendiri juga sudah pernah, sama Wakil Bupati sering sekali, tapi tanggapannya juga, ya namanya juga bukan kita sendiri gitu ya, perhatiannya, ya itu tadi namanya kurang perhatian, hehe, mungkin bukan kita sendiri yang diperhatikan, Seberapa besar pengaruh kurangnya fasilitas yang diberikan dengan kinerja Bapak pak? Besar, besar nya kami mau pergi, kami mau pergi, kan beberapa orang ya, itukan butuh biaya, misal pergi satu hari, sedang dia punya keluarga, kalau seandainya gak ada anggaran, ya dia pergi, keluarga di rumahnya kan sengsara gitu ya, hehe, merana lah gitu ya, nah jadi kan butuh dana semua, kalau dana gak dikeluarkan kan kerja kami pasti mandeg, misal ni ada mobil mobil di kasih ya, tapi gak ada minyak, sapa yang mau mengeluarkan untuk minyak? Kan gak mungkin pribadi gitu ya, sedangkan ini kan termasuk tugas negara kan, tugas daerah, ya kan gak mungkin pribadi... Trus pak, seberapa mandeg pak? Artinya apakah karena kurangnya dana itu tugas Bapak yang mestinya turun setiap hari seminggu jadi cuma sekian hari misalnya gitu pak, Ya madeg juga, jadi kami seandainya gak ada uang bensin gitu ya, kami gak pergi jauh, kalau pergi jauh itu gak terjangkau gitu ya, yang ketemu saja, atau bisa jadi kami melakukannya, kalau dulu ya, dulu pernah kami lakukan, kami panggil seluruh imem-imem dari kampung, tu kan ada kami panggil, kasih arahan sedikit, jadi kan gak memakan uang banyak, paling kami kasih uang ongkos mereka.

Responden sudah sering menyampaikan keluhannya kepada atasan

Responden

merasa

kurangnya

fasilitas

yang

diberikan

pemerinta berpengaruh

besar

terhadap kinerja WH

Responden merasa kurangnya fasilitas yang diberikan pemerintah menyebabkan kemandegan kerja WH

229

294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328

Iter Itee

Iter

Itee

Iter

Itee

Harapan Bapak mengenai WH ke depan gimana pak? Itu tadi harapannya, ada Qanun tentang WH, yang mengatur tupoksinya WH, trus ya memang kesejahteraan WH itu kalau saya nilai ya masih kurang, jadi tolong diperhatikan, ya itulah kira-kira harapannya untuk WH ya.... Bagaimana rencana Bapak ke depan pak? Apakah akan tetap lanjut sebagai WH atau bagaimana pak? Saya pengen WH tetap lanjut, saya juga pengen kerja di WH terus, karena berbuat baik itu kan kerja yang mulia gitu ya, tapi saya berbenturan dengan pendidikan saya, saya kan teknik ya, teknik kok masuk ke sini, hehe, seharusnya yang bagus itukan sarjana-sarjana agama....tapi saya cukup positif terhadap WH, saya pengen kerja di sana terus, tapi ya itu tadi, beban saya itu ilmu saya bukan di situ... Berarti pengen keluarnya karena pendidikan pak? Bukan karena kendalakendala tadi pak? Oh bukan, kalau kendala-kendala tadi kan masih bisa di atasi, lambat laun kan bisa berubah...

Tanggal: 30 November 2009 Pukul : 17.10 – 18.15 WIB Durasi : ± 65 Menit Subjek : Jamaah

Responden berharap Qanun yang mengatur WH lebih diperhatikan

Responden berencana berhenti dari WH karena kurang sinkron dengan latar belakang pendidikannya

Responden merasa kendala-kendala yang dialami masih bisa diatasi

230

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47

Pelaku Iter

Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Verbatim Pada pertemuan kemaren Bapak bilang beban Bapak yang terbesar itu adalah kekuatan hukum WH yang belum jelas, bisa dijelaskan pak, maksud belum jelasnya seperti apa pak? Sekarang kita lihat orang berkenderaan, sepeda motor gitu ya, nah orang melakukan pelanggaran syariat Islam kan bisa aja di sepeda motor, misal, orang yang boncengan tanpa apa…tanpa mengenakan busana muslim, katakan gitu ya, trus bepergian dengan yang bukan mahramnya, nah itu kan salah, itu salah sebenarnya menurut syariat Islamnya kan, nah tapi tidak bisa..WH itu tidak bisa menyetop, tidak bisa menyetop itu kekuatan hukumnya gak ada, hukum untuk itu tidak ada, jadi gak boleh WH itu nyetop, ha…itu, jadi yang boleh nyetop itu polisi, polisi juga harus polantas, gitu, O gitu ya Pak, kalau dengan kondisi seperti itu, pandangan Bapak sebagai WH gimana pak? Seperti apa ya? Sebenarnya kalau sendiri WH itu kendalanya itu ya, jadi seperti setengah-setengah, yah, merasa seperti masih setengah-setengah, atau memang Qanun-nya masih di revisi, kan gitu, kita belum mengetahui, cuman memang gitu, tapi memang udah berapa tahun ini kan, sejak 2004, syariat Islam itu kan, ini udah 2009, berarti udah 5 tahun, masih tetap seperti itu, kan gitu, jadi kita gak ngerti di mana kesalahannya sebenarnya, dalam menjalankan tugas itu jadi kami harus berkoordinasi dengan kepolisian, dengan POM, polisi militer, gitu kan, dengan…ya pihak terkait lah kan, kejaksaan gitu, nah itu kan butuh biaya, mereka kan gak mungkin kita ajak, yuk ajak gitu, gak mungkin, kok mereka ada surat perintah tugas, itu ada uangnya gitu, ada bayarannya untuk mereka, nah jadi itu kendalanya, Memberikan dana untuk tugas itu kewajiban siapa pak? Nah itu dari PEMDA, nah PEMDA itu

Interpretasi

Responden merasa beban terberat dari pekerjaanya adalah mengenai kekuatan hukum WH yang belum jelas

Kendala yang dialami responden menyebabkan responden menjalankan tugas setengahsetengah Responden juga merasakan dana sebagai kendala dalam pekerjaannya

231

48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97

Iter

Itee

Iter

Itee

seharusnya…apa istilahnya, memplotkan dana untuk hal-hal seperti itu, tapi kan kita juga tau, bukan hanya untuk WH saja, kita harus mengetahui di Takengon itu bukan hanya WH, bukan hanya program WH yang harus dijalankan, kan gitu, maih banyak program-program yang lain, jadi kita harus mengerti juga lah, harus paham gimana kondisi di Takengon itu, kalau kita maunya kan di plot kan dananya untuk WH itu, trus kita laksanakan semuanya bisa, kan gitu, dengan memberi gaji kepolisian, semuanya..udah, setiap hari gitu, kita maunya seperti itu, Selama ini menghadapi kondisi seperti ini gimana Bapak menjalankan tugas Bapak pak? Ya…..gimana ya? Hehe….ya…seperti….kalau itu gak bisa gitu ya, seperti itu gak bisa, mungkin kita hanya..yang kira-kira pantes aja kita lakukan, misal, ada orang di laut gitu katakan, di laut, kan itu khalwat, katakan, khalwat itu kan gak di dalam di atas motor, ada yang ke bawah entah kemana, nah itu yang kita laksanakan, kemudian kita tegor, itu yang kita tindak, seperti itu, Dengan kondisi seperti itu, harapan Bapak terhadap WH ke depannya seperti apa pak? Ya…ya..itu, maksudnya, kan nanti di keluarkan tugas-tugas WH tu, tupoksinya keluar, jelas, nah tu kan enak gitu ya, enak melaksanakannya gak setengahsetengah, misal kayak kepolisian, di kasih tugas terus di kasih wewenang, oh ini tugas kamu, ini, nah di sekolahkan aja, kenapa orang tu bisa kenapa kita tidak, kan seperti itu, atau perekrutannya sekarang seperti perekrutan polisi, katakan, atau sekolahnya seperti sekolah polisi, misal, gimana cara menyetop mobil, gimana tata tertib di jalan, nah seperti itu, kalau seperti ini kan seakanakan WH itu tidak bekerja, padahal WH itu tugasnya hanya membina, membimbing, kan seperti itu, jadi seharusnya yang ditangkap, misal si A, ditangkap di bawa ke WH, WH itu yang

Responden mencoba untuk memahami masalah dana yang dialami pemerintah

Menurut responden, kendala dana yang dialami tidak akan bias diatasi, sehingga responden hanya melaksanakan tugas yang mampu dilaksanakannya

Responden berharap tupoksi WH dapat diperjelas, sehingga responden dapat bekerja dengan ngaman.

232

98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147

Iter Itee

membimbing, kan seperti itu, kalau sekarang inilah, menunggu, menunggu laporan orang, kan gitu, kalau tugasnya sekarang, tupoksinya sekarang gitu lho, kan membina, membimbing, mensosialisasikan, kan gitu kan, nah berarti kan menunggu, menunggu orang, oh ini..ini melakukan seperti ini, ini sini ni, nah kami membina, kan seharunya seperti itu, tapi kan gak mungkin orang kita….ya…gak mungkin…susah lah seperti itu kan, orang mau kerja seperti itu, kita hanya nungguin…jadi kan seakan-akan gak bekerja, kok kita pun bekerja kita stop juga salah…kan, harus sama polisi, polisi juga kita bayar, bayarnya dari mana? Kan gak mungkin dari kantong sendiri, jadi kalau ada kekuatan hukumnya, Qanun-nya, Qanun tersendiri WH itu, ada tugasnya, ni ini ini…seperti ini tugasnya, jelas, jadi enak kerjanya, misal kayak satpol PP gitu ya, ada Qanun-nya untuk misal pedagang kaki lima, seperti apa tugasnya? Oh misal di sini gak boleh, misal kaki lima di daeran ini gak boleh, oh, udah, dia sosialisasikan, gak mau dilaksanakan pedagang kaki lima itu udah, di gusur aja, jelas tugasnya, gitu kan, jelas, oh ini tugasnya ini, jelas, gitu kan, karena ada Qanun-nya, kalau seandainya dia memproteslah istilahnya gitu, ada kekuatan hukumnya dia, kalau seandainya kami WH itu, untuk meng-inikan…apa namanya….seperti ini tadi, melaksanakan tidak…tidak seperti ininya…kan orang bisa mengadukan ke yang lain gitu kan, oh WH itu bukan itu kerjanya, seperti itu kan, nah itu, itu yang kendalanya sebenarnya, Menghadapi kondisi seperti ini apa yang Bapak rasakan pak? Ya merasa apa ya? Hehe…perasaannya melaksanakan tugas itu menjadi beban, bebannya kita melaksanakan benar tapi takut-takut gitu, sebenarnya itu benar kan? Kita kerjakan itu benar, tapi kita takut, kita melarang orang seperti ini sebenarnya kita benar, nah tapi kita takut, takutnya ya disalahkan, bukan wewenang

233

148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197

Iter

Itee

Iter Itee Iter

Itee

Iter Itee

Iter

Itee

kamu katanya, jadi perasaan itu…apa ya…ya seperti itu, seperti saya bilang setengah-setengah lah, setengah hati gitu, Ketika Bapak menghadapi kasus khalwat di lapangan, kondisi-kondisi seperti apa yang biasa Bapak temui pak? Ya…berdua-duaan..,misal di laut, yang sering di sini tu di Patan Terong, di atas sana, di gunung, kan, nah trus di Toa, nah itu biasanya mereka datang dari Bener Meriah, ada dari sini juga, datang dari Bener Meriah, datang ke sana, mungkin acaranya gak tau, entah acara main-main atau apa, nah kalau seandainya bukan mahramnya, kita tindak, kita kasih surat tilang, atau kita bawa ke kantor, di situ kita nasehati, kalau memang dia betulbetul udah melewati batas, itu mereka harus lapor setiap hari, Bapak sering menjumpai kasus seperti ini pak? sering, Waktu Bapak memberi pengarahan kepada mereka gimana tanggapan mereka pak? Tanggapan dari mereka…ya mereka takut, mereka juga…mungkin, kalau masyarakat biasa ya, bukan masyarakat yang itu…itu nafkahnya, nafkahnya di itu gitu ya, katakanlah seperti PSK kalau anu nya ya, kecuali yang itu, tapi kalau yang lain itu biasanya dia tidak mau mengulanginya lagi, Pernah dapat protes dari mereka pak? Ya protesnya…ya minta jangan di bawa ke kantor, jangan di panggil orang tuanya, paling itu protesnya, kalau yang marahmarah itu paling, kalau yang melaksanakan itu melakukan anggota, polisi, atau dari tentara, gitu, itu biasanya marah-marah, Biasanya waktu dapat protes dari masyarakat yang memohon-mohon itu tanggapan dari Bapak gimana pak? Ya kita hanya…gak…gak anu…yang penting kita melaksanakan tugas, mereka besok-besok tidak melaksanakan itu lagi gitu, jadi mereka tau itu dulu gitu, mereka tau bahwa itu salah gitu, jangan besok-besok datang lagi, itu lagi kita anu

Responden merasa melaksanakan tugas sebagai beban, responden merasa takut dalam menjalankan tugas.

234

198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247

Iter

Itee

Iter Itee

Iter Itee Iter Itee

Iter Itee

kan, Kalau dari yang polisi tadi Pak, waktu dapat protes dari mereka tanggapan Bapak sendiri gimana Pak? Ya…ya lumayan anu juga, tapi kan kita…kita punya nomor teleponnya kayak POM (Polisi Militer), kalau memang terlalu marah-marah, kita panggil dia, biasanya mereka cepat datang, Waktu dimarahin gitu, ada perasaan kesel atau gondok pak? Ya adalah, namanya dimarahin gitu, haha…masak…duh kok seperti ini ya…karena kita gak punya…memang kita siap melakanakan tugas, tapi kita belum siap mati, kan gitu, gitu kira-kira ya, hehehe, kan kita siap melaksanakan tugas, tapi kita belum siap mati, mereka kan…ya kita tau kan, mereka…gak hari itu ya besok, bisa aja kita ketemu di…jalan…gitu kan, kan itu yang kita takutkan, ketemu di jalan kita kan, kan mereka gak peduli siapa kita, Sering dapat kasus seperti ini pak? Sering, Ketika dalam kondisi seperti itu apa yang Bapak pikirkan pak? Ya…kan rame-rame bukan sendiri gitu ya, semuanya itu menasehati dia, kalau sendiri teru terang saya gak berani, kan ada…apa ya..lebih besar ini nya, mudharat-nya lah hehe gitu kan, sisi negatifnya gitu kan, kalau sendiri kalau tau dia oh mereka itu anggota gitu ya, nah itu lebih baik kita mundur aja, mundur aja dulu, trus atau kita inikan teman-teman, apa namanya, kita koordinasikan sama teman-teman untuk datang ke sana, paling itu anu nya kan, kalau sendiri gak berani, karena itu tadi, siap melaksanakan tuga tapi belum siap mati, Kalau menurut Bapak beban pekerjaan Bapak gimana pak? Sebenarnya kalau bebannya itu, kalau saya sendiri beban mental, misalnya gini, saya pergi, ke Bintang, ke mana, liat orang, itu sebenarnya pekerjaan saya, tapi kok saya biarkan gitu ya, kalo dikoordinasikan sama teman-teman wah kapan nyampenya, kalau sendiri ya itu

Responden terkadang mendapatkan protes dari pelaku pelanggaran syariat Islam

Walaupun mendapatkan protes, responden berusaha untuk tetap menjalankan tugas dengan baik.

Jika mendapat protes dari aparat yang melakukan pelanggaran, responden meminta bantuan dari pihak lain Responden merasa gondok dan kesal saat dimarahi oleh aparat yang melakukan pelanggaran syariat Islam. Responden juga merasa takut jika aparat tersebut balas dendam terhadap responden

Responden tidak berani menegur aparat jika sedang razia sendirian.

235

248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297

iter

Itee

tadi kan, liat, duh anggota gitu kan, tapi kalau yang lain beranilah kita, maih anakanak, masih lajang, gak masalah, tapi kalau itu tadi, kan mereka punya kekuatan penuh, tinggal tunjuk, ituloh orangnya, kan gitu kan, oh itu orangnya, besokbesok kita ya ketemu di jalan pun bisa aja mereka bertindak arogan gitu kan, kalau tentara kan tau kita, dari pada-dari pada, ya masyarakat lain dulu lah gitu, hehe.. nah itu yang sebenarnya kendala, kalau bebannya ya, terus ya…itulah beban….beban pekerjaan itu, tapi kalau seandainya hukumnya kuat tadi ya enaklah mengerjakannya kan, kita gak kerja juga gimana gitu kan, sebenarnya kalau sekarang kan kami nunggu seharusnya, nunggu dari pihak kepolisian, atau pihak mana yang membawa ke kantor terus kami nasehati, ini ini kesalahannya, itu yang tugas kami kan, kan membina, kan itu sebenarnya kan, bukan ini, nah itu kira-kira kekuatan hukumnya, tapi kalau…kalau sampai ke razia-razia gitu, kita harus liat-liat juga, oh ini benar gak, gitu Kalau sekarang atasan WH itu kan Satpol PP ya pak ya, nah tanggapan Bapak terhadap Satpol PP ini sebagai pimpinan Bapak gimana pak? Kalau sekarang itu…gak tau ke depannya ya, sekarang itu bertolak belakang, bertolak belakang antara WH dengan Satpol PP, karena tugas dan fungsinya kan beda, nah seharusnya WH itu kan ada Kasi tersendiri dia, nah Kasi nya itu seharusnya bukan dari Satpol PP, bukan orang Satpol PP, atau….seharunya yang ngerti WH, seperti itu, jangan orang yang berada di dalam kantor Satpol PP, sementara ini kan yang sekarang ini kan yang dalam Satpol PP ini untuk Kasi-nya, berarti untuk panutan kan itu, nah kenapa saya bilang bertolak belakang? Sama….ee…sama Pamong Praja ya, Satpol PP, mereka itu setengah militer, kerjaannya, kenapa setengah militer? Orang seperti tadi, pokoknya kamu mau tidak mau seperti ini, salah digusur, nah itu, seperti itu, sedangkan kami bukan,

Atau responden akan memanggil temantemannya.

Responden mengalami mental melaksanakan pekerjaannya.

merasa beban saat

236

298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347

Iter Itee

Iter Itee

mereka menghadapi manusia itu…apa namanya…pekerjaannya, misal pedagang kaki lima tadi, pedagang kaki lima kerjaannya kan berdagang, nah berdagang kalau dia tempatnya benar, gak masalah Responden merasa kan, tapi kalau dia tempatnya salah, bertolak belakang berarti itu yang dikasih tau sama Satpol dengan atasannya. PP kan, kerjaannya itu, sedangkan WH itu perbaikan akhlak, memperbaiki akhlak, akhlak manusia itu, bukan pekerjaannya, misal orang seperti khalwat tadi, kalau mereka kedapatan, udah, kamu jangan gini sana, udah, selesai pekerjaannya, tapi kita besok jangan seperti itu lagi, itu salah, gitu, jadi sama manusianya kita, gitu, sedang mereka kerjaannya, sebenarnya juga gak masalah kalau mereka pimpinannya, maksudnya di bawah Satpol PP juga gak masalah, tapi Kasi nya seharunya tau agamalah, tau tentang WH lah, misal dari missal pertama dulu kan dari Syariat Islam, Syariat Islam tu lah siapa di situ, untuk atasan langsung, bukan atasan anu…bukan atasan lagi gitu kan, bukan ketuanya atau kepala kantornya bukan, atasan langsung WH itu, Dengan kondisi seperti ini kerja sama Bapak dengan Satpol PP gimana pak? Ya…sebenarnya kalau mereka ke kami bisa, tapi kami ke mereka sebenarnya kan berat, karena ini tadi, bukan berat apa…ya bukan tugas kami, tupoksi kami bukan untuk membongkar lapak orang gitu kan, bukan itu tupoksi kami, nah tapi mereka karena merasa udah satu kantor, harus dilaksanakan juga, kan, dengan rasa berat hati sebagian orang gak enak sama pimpinan, gak enak sama ini gak enak sama ketua, gak enak sama sapa, jadi kadang-kadang ngikut, nah ikut itu, sebagian orang kan gak setuju, sebagian WH itu kan gak setuju, sebagian itu gak enak, Bapak termasuk bagian yang mana pak? Yang gak enak tho, he…maksudnya gak enak melaksanakan tugas tu bukan karena gak…karena bukan tugas kami, gitu, nah sekarang ini mungkin mereka gak tau, tetapi sekarang ini udah mulai

237

348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397

Iter Itee

Iter

Itee

Iter Itee

Iter

Itee

Iter Itee Iter

mempelajari, oh ini lho tupoksi kami pak, udah pernah kami bilang seperti itu, Tanggapan mereka waktu Bapak sampaikan seperti itu gimana pak? Yah sekarang udah mulai…mulai apa…mulai belajarlah, tapi bukan Kasi nya yang belajar, Kasat nya, haha.., maksudnya kepala kantornya, jadi diperintahkan ke Kasi seharusnya kan Kasi nya yang mempelajari oh ini tupoksi WH itu, berarti saya memerintahkan mereka itu untuk ini, bukan yang ini, gitu… Jadi pak, waktu diperintahkan oh WH harus begini begini, bongkar lapak orang, itu WH terpaksa menjalankan pak? Iya, iya, tapi kan…ya itu, kan bertolak belakang gak sama-sama gitu ya, jadi gak berbarengan bekerja itu gak sekalian dengan WH, sedangkan WH tu ada Satpol PP yang direkrut untuk ke WH, untuk kita razia, jadi Satpol PP bisa membantu WH, tapi WH gak bisa membantu Satpol PP, jadi kan gak matching lah gitu kan, saling gak enak lah gitu, masak kami bantu WH itu, kan gitu kira-kira perasaan orang Satpol PP kan, orang tu gak membantu kami, nah kan ada perasaan seperti itu, kami juga tau itu kan, tapi kalau kami turun ke lapangan apa kata orang gitu kan, alah WH juga itu kerjaannya, nah gitu, Kalau untuk waktu kerja gimana pak? Kalau untuk waktu kerja bisa di bilang cukup santai lah, kan dibagi-bagi, ada yang malam, ada yang siang, ada yang pagi, kalau misalnya hari ini kita jadwalnya sore, berarti besok pagi kita gak masuk, jadi kita 2 hari sekali paling, Dalam pengawasan pagi siang dan malam itu kondisi seperti apa yang paling sering dijumpai pak? Kalau siang itu khalwat, kalau pagi itu busana muslim biasanya, kalau malam itu khamar, Bapak pernah menjumpai ketiga kasus ini pak? Pernah, Kalau yang pagi, yang pakaian tadi kondisi masyarakat seperti apa yang

Responden merasa berat untuk bekerja sama dengan atasannya

Responden merasa tidak nyaman bekerja dengan pimpinannya.

Responden merasa terpaksa menjalankan

238

398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438 439 440 441 442 443 444 445 446 447

Itee Iter Itee

Iter Itee Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Iter Itee

Bapak jumpai pak? Biasanya ibu-ibu yang ke pasar, biasanya gitu, Biasanya Bapak memberi pengarahannya gimana pak? Ya ngasi pengarahan, ya mereka alasannya buru-buru, anak ini, gitu, banyak lah alasannya, tapi kita tetap bilang bahwa ini salah, sebenarnya kalau syariat Islam itu seperti ini lho buk, nanti kita kasih surat tilang, udah, gitu, kalau melaksanakan lagi wajib lapor, gitu, Pernah dapat kasus yang dilakukan berulang oleh orang yang sama pak? Mm….pernah, pernah, Tanggapan dari mereka gimana pak? Itu yang seperti itu masih gadis, bukan ibu-ibu, jadi di panggil orang tuanya, trus orang tuanya juga dinasehati, nah kalau ibu-ibu biasanya udah tau oh itu ada WH, kalau kita kan gak bisa mengawasi semua ya, jadi kalau misalnya kita pas mengawasi satu titik, trus orang tu lihat, eh ada WH, lari…mereka, kan gak mungkin kita kejar, Menghadapi kondisi kayak gini perasaan Bapak sebagai WH itu gimana pak? Ya sebenarnya ini, oh berarti orang udah tau ini WH ini, gitu, trus dia tau oh dia itu salah, gitu, sebenarnya saya seneng kalau orang itu gak usah sampai ke WH itu lah gitu ya, mereka pulang, ambil jilbab, seneng gitu, Kalau yang protes tadi gimana tanggapan Bapak pak? Ya jengkel juga, hehe, ini manusia kok seperti ini gitu kan, dinasehati kok gak mau gini, Kalau yang khamar kondisi yang seperti apa yang Bapak jumpai pak? Kalau yang khamar itu…dia harus sabar, harus sabar, intinya dia kan gak boleh kita interogasi waktu pas hari itu pas jam itu, mesti kita tunggu lagi kan, kita harus nunggu dia sampai dia itu sadar, kalau kita langsung kamu ini gini-gini, gak ada efeknya, karena memang dia gak tau, gak sadar, jadi kita tahan dulu, kita bawa ke kantor, sampai kira-kira 2 jam baru dinasehati, atau dilimpahkan ke

perintah dari atasan

Responden tidak menganggap waktu kerjanya sebagai beban

239

448 449 450 451 452 453 454 455 456 457 458 459 460 461 462 463 464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493 494 495 496 497

Iter Itee

Iter Itee

Iter

Itee Iter Itee

Iter Itee

kepolisian, kalau khamar sering dilimpahkan ke kepolisian, Ketika mendapat kondisi seperti ini tanggapan mereka gimana pak? Ya…mereka protesnya gini, alah orang seperti ini orang kemaren tu di situ juga iya, itu paling protes mereka, tapi kalau protes uh anu gak, gak berani, orang ada bukti, ada bukti baru kita bisa nangkap kan, Menghadapi kasus seperti ini apa yang Bapak pikirkan pak? Ya…saya tu merasa dia tu gak sadar gitu ya, gak sadar bahwa mereka itu salah, nah setelah itu baru kita kasih tau, dan biasanya orang yang melakukan khamar ini orang yang arogan, orang yang preman, gitu lah biasanya, gak mungkin orang-orang biasa yang melakukannya, jadi kita limpahkan ke polisi, kenapa dengan polisi ya karena itu tadi, siap melaksanakan tugas tapi belum siap mati, Selama ini kalau di kantor Bapak ada mengalami konflik dengan teman-teman pak? Kalau selama ini saya sendiri gak, ya, Dengan satpol PP pernah konflik pak? Satpol PP nya juga enggak, paling mereka bilang anu tadi, masak mereka kerja kami bantu mereka tapi kami kerja mereka gak bantu kami, gitu, Waktu mereka bilang gitu tanggapan Bapak gimana pak? Enggak kan orang lain yang menyampaikan ke kita, kalau kita ya…ini, memang gak enak gitu kan, sedangkan pimpinan mereka, terakhirnya ya gimana usaha nya mereka tau tupoksi kami, tugas WH ini apa, nah gitu aja, tapi walaupun sudah disampaikan mereka tidak memahami, kan kebanyakan mereka tamat SMP, SD, SMA, ya, kebanyakan tamat MP, jadi mereka kadang-kadang susah kita bilang seperti ini mereka menanggapinya bukan itu gitu, mereka orang lapangan kan gitu, kita bilang o seperti ini dengan cara yang halus, kita memang gimana mereka tidak tersinggung, tidak sakit hati, mereka tidak…perasaan mereka tidak tersakiti,

Responden merasa senang jika ada orang yang memahami WH

Responden merasa jengkel terhadap pelanggar yang tidak mendengan nasehat yang diberikan responden Responden merasa harus bersabar jika menghadapi kondisi pelaku khamar

Responden juga mendapatkan protes dari pelaku khamar

Menurut

reponden

240

498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540 541 542 543 544 545 546 547

Iter Itee

Iter

Itee Iter Itee Iter

Itee Iter Iter

Itee

Iter

Itee Iter

Itee Iter

menyampaikan dengan kata-katanya yang bagus, tapi mereka tidak mengartikan seperti yang kita maksud, Perbedaan jenjang pendidikan ini gimana Bapak menanggapinya pak? Ya terkendala, kendalanya itu tadi, untuk menyerap apa yang kita kasih tau ke dia, jadi mereka salah mengartikan apa yang kita kasih tau, Dengan tanggapan mereka yang seperti itu pernah merasa kesal atau gondok gitu pak? Ya ada pasti, Dalam kondisi seperti itu apa yang Bapak pikirkan pak? Ya…ya udahlah, seperti itu aja, Kalau seandainya mereka mampu memahami apa yang Bapak sampaikan gimana pak? Ya seneng gitu, Kalau dari gaji yang diberikan gimana pak? Kalau dari gaji namanya tenaga honor itu kan….memang kita honor gitu kan, jadi ya udah, gitu aja, Kalau dibandingkan antara beban kerja dengan gaji yang di dapat gimana Bapak memandangnya pak? Bukan suatu kendala lah, kan kita udah tau, kita melamar suatu pekerjaan itu kita udah tau duluan, kalau memang gak siap dengan seperti itu jangan melamar, oh kita udah tau gajinya misalkan gajinya 200, kerjaannya lebih berat, ya jangan melamar ke situ, kan gitu kan, kalau saya seperti itu, Kendala-kendala yang Bapak alami tadi pernah Bapak ajukan ke atasan pak? Gak ada saya ajukan, cuma keinginan aja, keinginan tiap orang itu kan beda-beda, oh saya pengennya gini, kalau gak terlaksana ya seperti apa, Pernah mencoba mencari pekerjaan yang lain pak? Saya itu sebenarnya gini, oh kamu di sini aja, waktu 2004 itu kan ada data base, nah saya udah masukkan data itu, SK nya SK WH, kan gitu, seandainya pindah ke tempat lain, kecuali kalau di pemerintahan ya, kalau di pemerintahan

pelaku khamar itu tidak menyadari kesalahan mereka, responden juga merasa takut menghadapi pelaku khamar.

Responde merasa kurang nyaman terhadap penilaian Satpol PP terhadap WH. Responden mencoba untuk memahamkan tugastugas WH kepada Satpol PP dengan cara yang lembut. Responden juga merasa terkendala karena kesulitan untuk berkomunikasi dengan Satpol PP karena perbedaan jenjang pendidikan.

Responden menganggap perbedaan jenjang pendidikan sebagai kendala kerjasama dengan

241

548 549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598

Itee Iter

Itee

Iter

Itee Iter

Itee Iter Itee

Iter

Itee

kan gak mungkin ada mutasi, kontrak itu atau honor gak ada mutasi, ya udah ikuti aja, pertahankan itu, kalau swasta ya kalau tergiur uangnya ya ke swasta, tapi karena ada data base tadi, kita udah komit ke situ, ya udah tahankan di situ aja, Ada keinginan untuk pindah ke tempat lain pak? Ya, adanya ya ada sih, kan di pemerintah itu bukan hanya di WH kan, ada juga yang sesuai pendidikan kan ada, missal seperti PU, atau perindutrian, kan ada, Bagaimana adaptasi Bapak terhadap pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan Bapak pak? Ya, kalau WH ini kan suatu kerjaan umat ya, jadi bukan kerjaan inti menurut saya, jadi selama ini saya juga ngajar, dosen, untuk menyegarkan kembali ini kan, Jadi menurut Bapak yang kerjaan inti seperti apa pak? Ya yang sesuai dengan pendidikan saya, kayak sekarang juga bukan itu kerjaan inti saya, karena kalau gak ke kantor saya cari kegiatan lain, Kegiatan apa aja biasa yang Bapak lakukan pak? Buka usaha, buka usaha kerambah, Jadi dari sekian banyak tugas Bapak kendala terbesar yang Bapak rasakan yang seperti apa pak? Kendala terbesar nya yang seperti tadi, misalnya liat orang naik kendaraan gitu ya, ada yang gak menutup aurat, atau ada yang boncengan dengan yang bukan mahramnya, nah itu kan kita takut-takut, takut melakukan yang bukan tugas kita, kita, ini salah gak ya, ini melanggar hukum gak ya, kalau kita melaksanakn tugas ini kita melanggar hukum gak ya, seperti naik motor orang gitu kan, sebenarnya itu salah, mestinya saya negor, tapi gak boleh, kan kendalanya besar tu ya, seharusnya ini tugas saya, saya di bayarnya untuk itu, biar orang berbusana muslim, akhlak nya bagus, kan jiwa itu kan gimana gitu ya, perasaan, tapi gak boleh, gak boleh dilaksanakan, gak boleh di tegor, gak boleh di stop, Kalau untuk tugas WH membina gimana

Satpol PP. Responden merasa kesal terhadap Satpol PP yang tidak bisa memahami apa yang responden sampaikan, namun responden mendiamkan saja.

Responden menerima jumlah gaji yang diberikan pemerintah karena responden memahami status WH hanya sebagai tenaga honor. Responden tidak menganggap gaji sebagai kendala karena responden telah mengetahui konsekuensi terhadap pekerjaan sebagai WH.

Responden mengajukan kendalanya atasannya.

tidak terhadap

Responden mengajukan permohonan data base untuk mendapatkan SK agar dapat bekerja di tempat lain dengan menggunakan SK WH. Responden juga berencana untuk tetap bertahan di WH jika tidak dapat bekerja di tempat lain.

Responden memiliki keinginan untuk bekerja di tempat lain

242

599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614 615 616 617 618 619 620 621 622 623 624 625 626 627 628 629 630 631 632 633 634 635 636 637 638 639 640 641 642 643 644 645 646 647 648

Iter

Itee

Iter Itee Iter Itee Iter

Itee

Iter

Bapak melaksanakan tugas pak? Membina masyarakat ya seperti itu tadi, kita datangkan orang tuanya, didatangkan orang tuanya, di kasih tau ke orang tuanya, Bapak seharusnya seperti inilah, anak Bapak ini jangan seperti ini, kalau kami mengawasi selalu kan bisa, nah Bapak yang selalu bersama dia, Bapak yang membimbing dia, Waktu awal Bapak bilang motivasi Bapak untuk menegakkan syariat Islam gitu ya pak, nah kira-kira menurut Bapak sekarang harapan Bapak ini sudah tercapai atau seperti apa pak? Belum, belum, Gimana tanggapan Bapak pak? Nah itu tadi, beban mental, beban, karena sebenarnya saya ini di bayar untuk itu, Melihat kondisi sekarang, gimana harapan Bapak terhadap masyarakat pak? Ya, pengennya kan melaksanakan syariat Islam, jadi kita pengennya orang itu tau bahwa di Aceh itu syariat Islam, ada bedanya, kalau kita misalnya dari sini pergi ke Jogja, sama aja dengan di sini, pergi ke Makassar, sama juga dengan di sini, nah gitu, jadi belum ada bedanya, tapi coba kalau kita pergi ke Arab, beda dengan di Indonesia, apa bedanya? Mereka menjalankan Syariat Islam, maunya gitu, jangan seperti sekarang, kalau kita pergi ke Lampung katakan gitu, sama dengan masyarakat Aceh Tengah, Jadi kalau menurut Bapak, jalan keluar apa yang bisa di lakukan untuk mewujudkan harapan Bapak pak? Maunya kan di semua tempat syariat Islam itu di tegakkan, oh orang turun dari bandara, ada peraturannya di situ, harus menggunakan busana muslim, oh orang datang dengan bus ke sini, harus ada peraturannya di sana harus menggunakan busana muslim, cuman kan memang konsekuensinya kita harus bayar orang untuk bisa 24 jam di sana, siapa yang mau, trus biaya untuk bayar orang itu, kan gak kecil, trus kalau bisa kan semuanya dari kita, jangan kayak sekarang, bajubaju semua dari medan, coba liat di tokotoko, toko mana yang jual busana muslim

yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

Responden juga bekerja sebagai dosen untuk menyegarkan kembali ilmu yang sesuai dengan jenjang pendidikannya. Responden memandang WH bukan merupakan pekerjaan inti responden, sehingga responden berusaha mencari kegiatan lain, misalnya dengan membukan usaha kerambah. Responden merasa sangat terkendala dengan ketakutannya terhadap pelaksanaan tugasnya yang dinilai belum jelas. Responden juga merasa terkendala karena tidak bisa melakukan apa yang diinginkannya.

Responden melaksanakan tugas pembinaan dengan member penjelasan kepada orang tua pelaku pelanggar syariat Islam.

243

649 650 651 652 653 654 655 656 657 658 659 660 661 662 663 664 665 666 667 668 669 670 671 672 673 674 675 676 677 678 679 680 681 682 683 684 685 686 687 688 689 690 691 692 693 694 695 696 697 698

itee

Iter

itee

iter

itee Iter Itee Iter Itee Iter

semua, kan sikit cuma, kebanyakan toko pasti ada baju ketatnya, coba kalau kita semua yang bikin, baju muslim semuanya, tapi untuk mencapai kondisi ini gak bisa dalam waktu yang singkat, prosesnya akan sangat lama, Berarti bapak memandang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh ini akan tercapai dalam waktu yang lama, gitu ya pak, nah bagaimana kondisi ini mempengaruhi motivasi bekerja baak pak? Ya saya malu ya, saya malu, karena sebenarrnya ini kan tugas saya, tapi saya belum bisa melaksanakannya, tapi yang jelas apa yang bisa kita lakukan ya kita lakukan, membina, mengawasi, kita berusaha untuk melaksanakannya, Biasanya dalam menghadapi kendalakendala ini bapak sharing nya dengan siapa pak? Kebetulan saya punya Pak Cik (paman) yang memiliki jabatan yang lebih tinggi, jadi saya berdiskusi dengan beliau, saya berharap nanti beliau yang akan menyampaikan pada yang lebih di atas lagi, karena kalau kita mengharapkan pertemuan dengan Bupati atau Wakil Bupati bisa makan waktu lama, ntah kapan-kapan bisanya, Kalau dengan kakak pernah sharing juga Pak? Pernah, pernah juga, Dengan Bupati atau Wakil Bupati pernah mengadakan pertemuan Pak? Pernah, tapi baru dua kali, Itu gimana tanggapan mereka Pak? Ya, mereka bilang sih akan ditindak lanjuti, tapi seperti yang saya sampaikan tadi kan tugas mereka banyak ya, bukan hanya ngurusin WH aja, jadi ya, kita tunggu ajalah,

Responden merasa harapannya untuk mewujudkan syariat Islam belum tercapai, dan ini dinilai sebagai beban mental

Responden berharap masyarakat dapat menjalankan syariat Islam dengan benar, sehingga dapat terlihat perbedaan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dengan daerah lain yang tidak melaksanakan Syariat Islam.

Menurut responden jalan keluar terhadap kondisi masyarakat adalah dengan membuat peraturan ketat di semua lini dan dengan memproduksi barang sendiri.

244

699 700 701 702 703 704 705 706 707 708 709 710 711 712 713 714 715 716 717 718 719 780 781 782 783 784 785 786 787 788 789 790 791 792 793 794 795 796 797 798 799 800 801 802 803 804 805 806 807 808

Responden merasa malu karena belum mampu melaksanakan tugasnya dengan maksimakl, namun responden tetap berusaha melakukan apa yang bisa dilakukannya. Responden biasanya menyampaikan keluhannya kepada paman responden yang memiliki jabatan yang lebih tinggi, responden berharap paman responden inilah yang akan menyampaikan keluhannya kepada pemerintah. Responden juga pernah sharing dengan istri responden. Responden berusaha memahami kondisi pemerintah yang belum dapat maksimal terhadap WH

245

809 810 811 812 813 814 815