STRATEGI MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER ... - File UPI

12 downloads 202 Views 217KB Size Report
10 Nov 2010 ... Namun, penerapan pendidikan karakter di sekolah memerlukan pemahaman ... konsep, teori, metodologi dan aplikasi yang relevan dengan ...
Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010

STRATEGI MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER (Membangun Peradaban Berbasis Ahlaqul Kharimah) DR. H. Yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd. (Adpend-FIP-Universitas Pendidikan Indonesia) Abstrak Sudah sepuluh tahun reformasi pendidikan dilakukan, dan hampir seluruh kebijakan pembaharuan pendidikan telah diupayakan, namun sepertinya seluruh tatanan hidup dan kehidupan masyarakat malah berubah ke arah yang tidak menentu. Secara tidak disadari, kehidupan masyarakat malah melunturkan sendi-sendi keimanan yang nya turut mempengaruhi kualitas kelangsungan peradaban bangsa. Penyebab utamanya tidak lain pendidikan karakter bangsa yang ‘amburadul’. Karena itu, sejalan dengan Renstra Kemendiknas 2010-2014 yang telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter, maka diperlukan kerja keras semua pihak, terutama terhadap program-program yang memiliki kontribusi besar terhadap peradaban bangsa harus benar-benar dioptimalkan. Namun, penerapan pendidikan karakter di sekolah memerlukan pemahaman tentang konsep, teori, metodologi dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character building) dan pendidikan karakter (character education). Permasalahan yang perlu diungkap antara lain: Bagaimana kiprah pendidikan dalam peradaban bangsa? Apa makna pendidikan moral-nilai-ahlaq dan karakter? Bagaimana peranan yang perlu dilakukan sekolah? Bagaimana strategi implementasinya dalam konteks pembelajaran di persekolahan? Dari pengalaman ada dua pendekatan dalam pendidikan karakter, yaitu: (1) Karakter yang diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri; dan (2) Karakter yang built-in dalam setiap mata pelajaran. Sampai saat ini, pendekatan pertama ternyata lebih efektif dibandingkan pendekatan kedua. Salah satu alasannya ialah karena para guru mengajarkan masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran mencakup aspek konsep (hakekat), teori (syare’at), metode (tharekat) dan aplikasi (ma’rifat). Jika para guru sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif melalui konsep, teori, metodologi dan aplikasi setiap bidang studi, maka kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektifi dalam menunjang pendidikan karakter. Strategi pembelajaran yang berkenaan dengan moral knowing akan lebih banyak belajar melalui sumber belajar dan nara sumber. Pembelajaran moral loving akan terjadi pola saling membelajarkan secara seimbang di antara siswa. Sedangkan pembelajaran moral doing akan lebih banyak menggunakan pendekatan individual melalui pendampingan pemanfaatan potensi dan peluang yang sesuai dengan kondisi lingkungan siswa. Ketiga strategi pembelajaran tersebut sebaiknya dirancang dengan sistematis agar para siswa dan guru dapat memanfaatkan segenap nilai-nilai dan moral yang sesuai dengan potensi dan peluang yang tersedia di lingkungannya. Dengan

379

demikian, hasil pembelajarannya ialah terbentuknya tabi’at reflektif dalam arti para siswa memiliki pengetahuan, kemauan dan keterampilan dalam berbuat kebaikan. Melalui pemahaman yang komprehensif ini diharapkan dapat menyiapkan polapola manajemen pembelajaran yang dapat menghasilkan anak didik yang memiliki karakter yang kuat dalam arti memiliki ketangguhan dalam keilmuan, keimanan, dan perilaku shaleh, baik secara pribadi maupun sosial. Kata kunci: moral, value, ahlaq, character building, character education, tabi’at reflektif. Permasalahan “Nelengnengkung-nelengnengkung, geura gede geura jangkung, geura sakola sing jucung, sangkan bisa makayakeun Indung (Nelengnengkung-nelengnengkung, cepatlah besar cepatlah tinggi, cepatlah selesaikan sekolah, agar dapat memuliakan Sang Ibu)” “Ku lihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati, air matanya berlinang…..hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan, kini Ibu sedang lara…..” Itulah penggalan-penggalan “dangding” (syair) pada saat Sang Ibu mengayun saya (anak). Dengan segenap kasih sayang, harapan, dan do’a, Sang Ibu berusaha membesarkan saya agar menjadi gede dan tinggi, dan berharap kembali memuliakan Sang Ibu yang mengadung, membesarkan dan mendidiknya, serta sang Ibu Pertiwi yang telah memberi saya lahan kehidupan. Sekarang, sang Ibu sedang bersedih karena anakanaknya walaupun telah besar dan tinggi namun hasil dari sekolah tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita Sang Ibu. Apa yang dilakukan sekolah terhadap anak-anaknya sehingga tidak semua cita-cita dan harapan Sang Ibu dapat dipenuhi oleh sekolah? Padahal, hampir seluruh kebijakan yang terkait dengan pembaharuan pendidikan diarahkan sesuai dengan standar pendidikan yang telah ditetapkan. Namun, sepertinya seluruh tatanan hidup dan kehidupan masyarakat malah berubah ke arah yang tidak menentu. Ketidakmenentuan yang paling berbahaya ialah lunturnya keimanan sebagai masyarakat yang agamis. Penurunan budi pekerti, maraknya penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, sex bebas dan tuna-susila, meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan derajat kesehatan masyarakat yang buruk, turut mempengaruhi kualitas kelangsungan peradaban masyarakat di masa depan. Penyebab utamanya tidak lain adalah pendidikan karakter bangsa yang ‘amburadul’. Walaupun visi, misi, prinsip, tujuan, strategi, program pembangunan pendidikan dirumuskan dengan sangat hebat, namun tidak ada maknanya manakala hasil-hasil pendidikan tidak dapat meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat dan berbangsa. Apabila pembangunan pendidikan dilaksanakan seperti itu terus-menerus, maka bangsa ini selamanya tidak akan mendapat hidayah untuk bangkit menuju kehidupan yang lebih baik. Gambaran di atas bukan hanya sekedar cerita, bahwa permasalahan mendasar bagi pendidikan ialah bagaimana menyiapkan generasi yang cerdas dan memiliki karakter yang kuat untuk membangun bangsanya ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, sejalan dengan Rencana Strategis Kemendiknas 2010-2014 yang telah mencanangkan visi penerapan pendidikan karakter,1 maka diperlukan kerja keras semua pihak, terutama terhadap program-program yang memiliki kontribusi besar terhadap peradaban bangsa harus benar-benar dioptimalkan. Namun demikian, visi penerapan pendidikan karakter di lingkungan satuan-satuan pendidikan memerlukan pemahaman yang jelas tentang konsep, teori, metodologi dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character building) dan pendidikan karakter (character education). Bagaimana 380

kiprah pendidikan dalam peradaban bangsa? Apa makna pendidikan moral-nilai-ahlaq dan karakter? Bagaimana peranan yang perlu dilakukan sekolah? Bagaimana strategi implementasinya dalam konteks pembelajaran di persekolahan? Melalui pemahaman yang komprehensif ini diharapkan dapat menyiapkan pola-pola pembelajaran untuk menghasilkan anak didik yang memiliki ketangguhan keilmuan, keimanan, dan keshalehan pribadi maupun sosial. Insan-insan yang shaleh ini sangat diperlukan untuk menjadi ‘kader’ yang siap ‘berjihad’ membangun kembali bangsanya agar bangkit dari keterpurukan. Tanpa pijakan dan pemahaman tentang konsep, teori, metode yang jelas dan komprehensif tentang pendidikan karakter, maka misi pendidikan karakter pada sekolah-sekolah akan menjadi sia-sia. Pendidikan dan Peradaban Bangsa Menengok sejarah peradaban manusia, telah begitu banyak upaya untuk mewariskan pengetahuan dan keterampilan kepada generasinya. Bahkan pada akhirnya para orang tua menunjukkan ketidaksanggupan lagi untuk mengajarkan semua pengetahuan dan keterampilan kepada anak-anaknya. Sejak saat itu, mulailah ada upaya pembelajaran yang tidak formal sesuai pengetahuan yang diinginkan anaknya. Selanjutnya, seiring pengetahuan dan keterampilan yang harus dipelajari semakin kompleks, upaya pembelajaran tersebut mulai diformalkan dalam bentuk persekolahan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang hakiki tentang harkat dan martabat kemanusiaan. Namun, belakangan lembaga pendidikan yang namanya ‘sekolah’ ini cenderung menganggap sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Ahirnya, manakala membicarakan pendidikan cenderung yang dibahas adalah sekolah; Akibatnya, paradigma pendidikan yang begitu universal hanya dipandang secara adaptif daripada inisiatif. Ivan Illich2 telah mengkritik persekolahan ini dengan pertanyaan: “Apakah sekolah itu sesuatu yang perlu dalam pendidikan?” Bahkan, Everet Reimer3 pun menganggap bahwa pendidikan persekolahan telah ‘mati’ (school is dead). Tentu saja, saya tidak akan terperangkap dalam konsep yang ekstrim seperti Reimer. Tetapi kritikan Illich dan Reimer setidaknya mengingatkan kita bahwa pendidikan persekolahan bukanlah satusatunya lembaga pendidikan. Idealnya, pendidikan seharusnya merupakan gambaran kondisi masyarakat seperti yang pernah diungkapkan Nicolas Hans bahwa “pendidikan adalah watak nasional suatu bangsa”. Bahkan dalam kelakarnya dia berkata: “ceritakan sekolahmu, maka akan dapat kuceritakan keadaan masyarakat dan negaramu”.4 Padangan tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan bukan saja hanya sekedar etika dalam arti ‘baik’ atau ‘tidak baik’, namun lebih ditekankan pada tujuan mengapa perlu ada pendidikan. Kemajuan iptek seharusnya dapat membimbing manusia untuk mempunyai tujuan. Seperti yang manusia yang diibaratkan ‘penumpang’ kapal yang bernama Bumi, berputar di jagat kosmos, melancong ke seberang lautan waktu yang tidak terbatas. “Mereka bersenang dengan riang gembira dan makan layaknya binatang…”5 “Mereka punya hati, tetapi tidak bisa memahami; mereka punya mata, tetapi tidak melihat; mereka punya telinga, tetapi tidak mendengar. Benar-benar mereka mirip binatang peliharaan, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang lalai”.6 Dengan kemajuan iptek manusia menjadi terserang kebingungan serta tidak tahu lagi identitasnya, sehingga muncullah absurdisme, nihilisme, dan hipiisme menyerang pikiran dan ruh manusia beradab hingga menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Saya yakin bahwa nilai dan tujuan pendidikan hanya akan ada apabila pendidikan itu dapat menciptakan sesuatu yang memberikan manfaat bagi kehidupan 381

masa kini dan masa mendatang. Jika kebijakan dalam pendidikan harus dibuat, menunjukkan bahwa dalam praktek-praktek pendidikan ada sesuatu yang salah atau kurang bermanfaat. Dengan kata lain, kesalahan atau dalam pelaksanaan pendidikan harus dapat ditemukan, dianalisis, disintesa, kemudian dipraktekkan kembali sampai menunjukan hasil yang lebih bermanfaat. Berdasarkan amanat undang-undang,7 pendidikan harus dilihat sebagai human investment dalam bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik. Dalam perspektif sosialbudaya, pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas vertikal dan horisontal masyarakat yang mengarah pada pembentukan konstruksi sosial baru yang terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion). Pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai warga mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.8 Dalam perspektif ekonomi, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang pengembangan education for the knowledge economy (EKE).9 Satuan pendidikan harus pula berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan yang menghasilkan produk-produk unggulan yang mendukung knowledge based ekonomy (KBE). Oleh karena itu, pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang memadai, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas kemampuan berwirausaha untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa. Sedangkan dalam perspektif politik, pendidikan harus mampu mengembangkan kapasitas dan kapabilitas individu untuk menjadi warganegara yang baik (good citizens), yang memiliki tingkat kesadaran tinggi terhadap hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Alfred & Carter10 menegaskan bahwa visi dan idealisme itu haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi nasional, yang dianut oleh seluruh komponen bangsa. Dengan demikian, pendidikan dalam dimensi yang integratif merupakan usaha seluruh komponen masyarakat dan bangsa untuk menumbuhkembangkan kekuatann kolektif (collective power) dengan meletakkan landasan sosial-budaya, ekonomi dan politik yang kokoh bagi terciptanya masyarakat sipil (civil society) yang memiliki kekokohan budaya dan karakter tanpa menutup diri dari perkembangan jaman. Pendidikan Moral, Nilai, Ahlaq, dan Karakter Pendidikan moral (moral education) dalam keseharian sering dipakai untuk menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan etika. Pembelajarannya lebih banyak disampaikan dalam bentuk konsep dan teori tentang nilai benar (right) dan salah (wrong). Sedangkan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari tidak menyentuh ranah afektif (apresiatif) dan psikomotorik (tidak menjadi kebiasaan) dalam perilaku siswa. Pendidikan ahlaq lebih ditekankan pada pembentukan sikap batiniyah agar memiliki spontanitas dalam berbuat kebaikan. Nilai benar dan salah diukur oleh nilai-nilai agamawi. Dalam Islam, nilai-nilai itu harus merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Itulah moralitas yang dijungjung tinggi oleh kaum Muslim. Jika perilaku kaum Muslim sudah tidak merujuk lagi pada Al-Qur’an dan Sunnah, dapat dikatagorikan kaum yang tidak berahlaq sekaligus dapat disebut kaum yang tidak bermoral. Dalam terminologi tasawuf, pendidikan ahlaq bertujuan menanamkan karakter-karakter yang melekat pada zat, sifat, asma dan af’al Tuhan YME pada perilaku siswa.11 Namun dalam implementasinya masih sama halnya dengan pendidikan moral. Walaupun beberapa lembaga pendidikan sudah menyatakan berbasis moral dan ahlaq, tetapi masih berbanding lurus dengan 382

naiknya angka kriminalitas dan denkadensi moral di kalangan anak sekolah. Sedangkan pendidikan karakter merupakan upaya pembimbingan perilaku siswa agar mengetauhi, mencintai dan melakukan kebaikan. Fokusnya pada tujuan-tujuan etika melalui proses pendalaman apresiasi dan pembiasaan. Secara teoritis, karakter seseorang dapat diamati dari tiga aspek, yaitu: mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).12 Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah, tetapi mencakup proses pembiasaan (habituation) tentang perilaku yang baik sehingga siswa dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik. Sehingga tebentuklah tabi’at yang baik. Menurut ajaran Islam, pendidikan karakter identik dengan pendidikan ahlaq. Walaupun pendidikan ahlaq sering disebut tidak ilmiah karena terkesan bukan sekuler, namun sesungguhnya anatara karakter dengan spiritualitas memiliki keterkaitan yang erat. Dalam prakteknya, pendidikan ahlaq berkenaan dengan kriteria ideal dan sumber karakter yang baik dan buruk, sedangkan pendidikan karakter berkaitan dengan metode, strategi, dan teknik pengajaran secara operasional. Unsur-unsur ideal dalam pendidikan karakter berkenaan dengan moral knowing, moral loving dan moral doing (acting).13 Moral knowing berkenaan dengan kesadaran (awareness), nilai-nilai (values), sudut pandang (perspective taking), logika (reasoning), menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral loving berkenaan dengan kepercayaan diri (self esteem), kepekaan terhadap orang lain (emphaty), mencintai kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Moral doing berkenaan dengan perwujudan dari moral knowing dan moral loving yang berbentuk tabi’at reflektif dalam perilaku keseharian. Prinsip-prinisip dalam penerapan pendidikan karakter, Character Education Quality Standards merekomendasikan sebelas prinsip untuk dijadikan panduan masyarakat dunia untuk dijadikan landasan pendidikan karakter yang efektif.14 Unsurunsur dan prinsip-prinsip tersebut sebetulnya dalam ajaran Islam berkenaan dengan nilai-nilai dan moral mengenai mukasyafah, musyahadah, dan muqarabah, dalam bentuk tahaqquq, ta’alluq, dan takhalluq.15 Jadi, tidak ada bedanya dengan konsep dan teori yang dikembangkan di dunia barat. Mengapa kita tidak kembali ke nilai-nilai dan moral yang diajarkan agama? Bukankah ajaran agama sudah tidak diragukan lagi kebenarannya? Peranan Pendidikan Sekolah Tujuan utama pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang good and smart.16 Atau dalam Islam mengupayakan agar manusia memiliki karakter yang baik (good character).17 Dengan bahasa sederhana adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahun, sikap dan keterampilan. Namun, pada prakteknya lebih ditekankan pada aspek prestasi akademik (academic achievement), sehingga mengabaikan pembentukan karakter siswa. Walaupun dalam teori sosiologi menyebutkan bahwa pembentukan karakter menjadi tugas utama keluarga, namun sekolah pun ikut bertanggung terhadap kegagalan pembentukan karakter di kalangan para siswanya, karena proses pembudayaan menjadi tanggungjawab sekolah. Pendidikan karakter bagi sekolah bukan lagi sebagai sebuah opsi, tetapi suatu keharusan yang tak terhindarkan.18 Saya setuju dengan pandangan itu, karena pendidikan di mana pun akan berkenaan dengan tugas olah pikir (pengetahuan), olah rasa (apresiasi), dan olah raga (keterampilan) dalam konteks kehidupan psikologis, sosial dan kultural. Dari konteks inilah nilai-nilai (value), lingkungan, dan spiritual akan menjadi bahan untuk membentuk karakter anak didik. Perhatikan Gambar-1 berikut. 383

Gambar-1 Posisi Karakter dalam Ranah Pendidikan Berdasarkan gambar di atas, maka pembangunan pendidikan mempunyai tanggung jawab dalam memprioritaskan pendidikan nilai, lingkungan dan spiritual yang sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis kelembagaan satuan pendidikan. Artinya, proses pengenalan diri, aprsiasi diri dan pembiasaan diri tentang nilai dan moral harus berlanjut di lingkungan sekolah setelah lingkungan keluarga. Lingkungan sekolah harus menjadi tempat untuk pertumbuhan nilai dan moralnya sehingga terjadi proses pembiasaan yang membudaya. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang diperjuangkan di Indonesia sebetulnya tidak harus meniru kehidupan negara lain, karena nilai-nilai, lingkungan dan spiritualitasnya pun berbeda. Dalam konteks ini, sistem persekolahan di Indonesia dituntut untuk dapat berkontribusi secara signifikan dalam pembentukan karakter warga negaranya agar memiliki jati diri dan harga diri bangsanya, serta dapat tetap bisa hidup sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kerangka dan Strategi Manajemen Pembelajaran Untuk sampai kepada bentuk tabi’at reflektif diperlukan strategi manajemen pembelajaran yang logis dan sistematis. Berdasarkan pengamatan saya pada sekolahsekolah berbasis ahlaq,19 terdapat dua pendekatan dalam proses pendidikan karakter, yaitu: (1) Ahlaq yang diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri; dan (2) Ahlaq yang built-in dalam setiap mata pelajaran. Sampai saat ini, pendekatan pertama ternyata lebih efektivitas dibandingkan pendekatan kedua. Salah satu alasan pendekatan kedua kurang efektif, karena para guru mengajarkan masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran mencakup aspek konsep, teori, metode dan aplikasi. Sama halnya dalam pengajaran dalam ajaran Islam yang mensyaratkan unttuk memahami hakekat, syare’at, tharekat, dan ma’rifat dari setiap aspek yang dipelajarinya. Atau dalam pandangan nilai dan moral tentang kepribadian harus memahami zat, sifat, asma dan af’al-nya. Jika para guru sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif melalui konsep, teori, metodologi dan aplikasi setiap mata pelajaran atau bidang studi, maka kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektifi dalam menunjang pendidikan karakter. Perhatikan Gambar-2 berikut. 384

Gambar-2 Pendekatan dan Muatan Kurikulum Pendidikan Karakter Berdasarkan ilustrasi di muka, maka siswa pada dasarnya “teu harta...teu harti, mung gitek nu rupi-rupi” dalam arti miskin dari sisi pendapatan (harta) dan pengetahuan (harti), namun memiliki potensi (gitek) yang beraneka-ragam (rupi-rupi). Merujuk karakteristik ini maka kegiatan memotivasi siswa menggunakan pendekatan kelompok. Pembelajaran yang berkenaan dengan moral knowing akan lebih banyak belajar melalui sumber belajar dan nara sumber. Pembelajaran yang berkenaan dengan moral loving akan terjadi pola saling membelajarkan secara seimbang di antara siswa. Sedangkan pembelajaran yang berkenaan dengan moral doing akan lebih banyak menggunakan pendekatan individual melalui pendampingan pemanfaatan potensi dan peluang yang sesuai dengan kondisi lingkungan siswa. Ketiga pola pembelajaran tersebut sebaiknya dirancang dengan sistematis agar para siswa dan guru/tutor/pendamping dapat memanfaatkan segenap nilai-nilai dan moral yang sesuai dengan potensi dan peluang yang tersedia di lingkungannya. Dengan demikian, hasil pembelajarannya ialah terbentuknya tabi’at reflektif dalam arti para siswa memiliki pengetahuan, kemauan dan keterampilan dalam berbuat kebaikan. Keterkaitan antara kondisi peserta didik, pola pembelajaran, dan hasil pembelajaran dapat diilustrasikan pada Gambar-3 berikut. MURID/SISWA/MAHASISWA (dengan segala potensinya)

POLA POSES PEMBELAJARAN (Memanfaatkan potensi diri dan alam, serta peluang yang ada di lingkungan) Moral Knowing Moral Loving Moral Doing (Belajar dari Orang Lain) (Belajar Bersama Orang Lain) (Belajar dari Diri Sendiri)

TABI’AT REFLEKTIF (Tahu, Mau dan Terampil Berbuat Kebaikan)

Gambar-3 Pola Pembelajaran Pendidikan Karakter Merujuk kepada pendekatan dan kerangka pembelajaran di atas maka strategi pembelajaran dalam pendidikan karakter cukup dilakukan dengan tiga langkah, yaitu: 385

(1) membekali siswa dengan alat dan media untuk memiliki pengetahuan, kemauan dan keterampilan; (2) membekali siswa pemahaman tentang berbagai kompetensi tentang nilai dan moral; (3) membiasakan siswa untuk selalu melakukan keterampilan-keterampilan berperilaku baik. Secara sederhana, keterkaitan setiap langkah pembelajaran tersebut dapat diilustrasikan pada Gambar-4 berikut. Langkah ke-1 (Membekali alat dan media untuk tahu dan mau)

Langkah ke-2 (Membekali pemahaman tentang kompetensi nilai dan moral)

Langkah ke-3 (Membiasakan untuk melakukan keterampilan berperilaku baik)

Mengenal, mengetahui dan memahami nilai-nilai dan moral yang baik dan buruk

Apresiatif terhadap nilainilai dan moral yang baik

Mampu mecari peluang untuk melakukan dan mengamalkan perilaku yang baik

Gambar-4 Strategi Manajemen Pembelajaran Pendidikan Karakter Langkah ke-1, dimaksudkan agar siswa memahami secara benar dan menyeluruh tentang potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Potensi diri difokuskan kepada nilai dan moral yang dapat didayagunakan untuk belajar, berhubungan dan berusaha. Sedangkan peluang yang ada di lingkungan dijadikan sumber motivasi agar siswa mau melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran atau merekayasa sendiri proses pembelajaran yang dibutuhkannya. Potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitar meliputi segenap nilai dan moral yang ada dan diperkirakan dapat dicapai dan didayagunakan untuk pembelajaran dan penerapan hasil pembelajaran yang diikutinya. Berdasarkan pemahaman ini, peserta didik difasilitasi untuk memiliki dan mengembangkan kerangka atau pola pikir yang komprehensif tentang pendayagunaan dan pengembangan potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya bagi perilakunya kesehariannya. Dalam tahapan ini tujuan pembelajaran di arahkan pada kompetensi dalam membedakan nilai-nilai ahlaq mulia dan ahlaq tercela, memahami secara logis tentang pentingnya ahlaq mulia dan bahayanya ahlaq tercela dalam kehidupan, mengenal sosok manusia yang berahlaq mulia untuk diteladai dalam kehidupan. Kegiatan utama guru pada tahap ini adalah: (1) merancang proses pembelajaran yang diarahkan pada pemahaman tentang klarifikasi nilai (value clarification), dan (2) membekalinya berbagai alat (instrument) dan media yang dapat digunakan secara mandiri baik secara individual ataupun kelompok. Langkah ke-2, diarahkan pada kepemilikan kepekaan kemampuan dalam mendayagunakan dan mengembangkan potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Kompetensi dalam arti nilai-nilai dan moral yang dituntut untuk dimiliki oleh para siswa yang sesuai dengan kondisi dan peluang yang dihadapinya. Berbagai kompetensi itu perlu dikaji dan diapresiasi oleh para siswa sampai mereka memiliki cukup pilihan dalam menetapkan keputusan kompetensi mana yang paling dibutuhkan sesuai kondisi potensi dan peluang yang sedang dihadapinya. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai ahlaq mulia. Sasarannya ialah dimensi-dimensi emosional siswa yaitu qolbu dan jiwa, sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, kebutuhan dan kemauan untuk memiliki dan mempraktekan nilainilai ahlaq tersebut. Melalui tahap ini pun siswa diharapkan mampu menilai dirinya sendiri (muhasabah), semakin tahu kekurangan-kekurangannya. Proses pembelajaran 386

yang perlu dikembangkan oleh guru ialah belajar menemukan (learning discovery) sehingga nilai-nilai dan moral yang dipelajari itu dapat dihayati. Proses penemuan dan penghayatan itu akan membentuk kedalaman apresiasi, sehingga nilai-nilai dan moral yang dimilikinya itu benar-benar dibutuhkan dalam kehidupannya. Langkah ke-3, merupakan muara penerapan kompetensi-kompetensi yang telah dimiliki para siswa melalui proses pembelajaran pada tahapan sebelumnya. Arah pembelajaran pada tahap ini adalah pendampingan kemandirian siswa agar memiliki kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai dan moral dalam perilaku keseharian sampai berbentuk tabi’at reflektif pribadi. Ruang lingkup nilai dan moral yang perlu dikuasai murid pada tahap ini erat kaitannya dengan instrumen pendukung dalam berperilaku bagi para siswa. Pendampingan terutama diarahkan untuk menguatkan kemampuan mereka tentang nilai dan moral dalam berperilaku sehingga berdampak positif terhadap sikap dan kemandiriannya di lingkungan hidup dan kehidupannya. Kesimpulan Pada bagian ahir tulisan ini, saya ingin menegaskan kembali sekolah memiliki tanggungjawab dalam membentuk karakter bangsa, memiliki tugas dalam menyiapkan potensi diri dan peluang lingkungan agar siswa memiliki pengetahuan yang luas, memiliki kedalaman apresiasi, dan terampil dalam membiasakan perilaku-perilaku yang sesuai nengan nilai-nilai, moral dan ahlaq yang dianut masyarakat dan bangsanya yang beradab. Pembangunan pendidikan yang sedang kita lakukan seharusnya menyentuh paradigma sistem pendidikan yang universal. Pembangunan pendidikan yang tidak berbasis pendidikan karakter telah terbukti hanya menghasilkan SDM yang bersifat mekanis dan kurang kreatif. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk secepatnya mempersiapkan generasi yang sesuai dengan peradaban yang diinginkan, yaitu generasi yang serba siap dalam menghadapi segala tantangan kehidupan di masa depan. Generasi yang serba siap tersebut, harus diupayakan secara sistematis, terutama dalam membentuk tabi’at reflektif yang bercirikan: (1) Besarnya rasa memiliki warga negara (termasuk kelembagaannya) terhadap nilai-nilai, moral dan ahlaq yang dianut masyarakat dan bangsa yang beradab; (2) Kepercayaan diri warga negara terhadap potensi diri, sumber daya dan kemampuan untuk menerapkan nilai-nilai, moral dan ahlaq dalam membangun pribadi, masyarakat, bangsa dan negaranya; (3) Besarnya kemandirian atau keswadayaan warga negara baik sebagai penggagas, pelaksana maupun pemanfaat dari hasil-hasil dalam menerapkan nilai-nilai, moral dan ahlaknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui pola-pola manajemen pembelajaran yang dirancang secara komprehensif dan sistematis di lingkungan sekolah diharapkan dapat menghasilkan generasi-generasi yang memiliki ketangguhan dalam keilmuan, keimanan, dan perilaku shaleh, baik secara pribadi maupun sosial. Insan-insan yang shaleh ini sangat diperlukan untuk menjadi ‘kader-kader tenaga pembangunan’ yang siap ‘berjihad’ membangun kembali masyarakat dan bangsanya agar bangkit dari keterpurukan. Referensi Al-Qur’an Alfred & Carter dalam: www.smc.edu/policies/pdf/EduPlan.7_04.pdf Aristotle’s dalam Edward J. Power, Philosophy of Education: Studies in Philosophies, Schooling, and Educational Policies, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1982), atau dapat dilihat pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Aristotle 387

Everet Reimer dalam Amazon.co.uk: http://www.amazon.co.uk/Books/s? i e = U T F 8 & r h = n % 3 A 2 6 6 2 3 9 % 2 C p _ 2 7 % 3 A E v e r e t t + R e i m e r & fi e l d author=Everett+Reimer&page=1 Ivan Illich, dalam INFED (Ideas-Thinking-Practice): http://www.infed.org/thinkers/etillic.htm Kementrian Pendidikan Nasional, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014: Rancangan RPJMN tahun 2010-2014, (Jakarta: Biro Perencanaan Setjen Kemendiknas, 2010). Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003). Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, opcit. Nicolas Hans, dalam Plaxo: http://www.plaxo.com/profile/show/8590144815?pk=e3a7 ac34e0206b1388c4a0970d7e14821dface93 Thomas Lickona, The Return of Character Education, (Journal of Educational Leadership, Vol.3/No.3/November 1993, hal.6-11), dalam: http://www.ascd.org/ publications/educational-leadership/nov93/vol51/num03/The-Return-of-CharacterEducation.aspx Tom Lickona; Eric Schaps & Catherine Lewis, “Eleven Principles of Effective Character Education”, The Character Education Partnership, dalam: http://www.cortland. edu/character/articles/prin_iii.htm Yoyon Bahtiar Irianto, “Perencanaan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota: Studi Evaluatif Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Bandung Menuju Tahun 2025”, Disertasi, (Bandung: SPS UPI, 2009), hal.416-417 dan “Pengembangan Model SMK Berbasis Potensi Wilayah”, Laporan Penelitian, (Bandung: Bappeda Kabupaten Bandung, 2009). Yoyon Bahtiar Irianto, ibid, hal.60 dan dapat pula dilihat pada: www.amazon.com/ Leading-Learning-Organization-Communication-Competencies/dp/0791443671 Yoyon Bahtiar Irianto, Pembangunan Manusia dan Pembaharuan Pendidikan, (Bandung: Laboratorium Administrasi Pendidikan UPI, 2006), hal.143

388