tesis 2011 - Universitas Udayana

45 downloads 233 Views 1000KB Size Report
atau mengolahragakan masyarakat dengan tujuan untuk melakukan aktivitas ... Olahraga berdasarkan sifat dan tujuannya dapat dibagi menjadi olahraga.
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sebuah bangsa dapat berdiri tegak di antara bangsa-bangsa lain di dunia, salah satunya dengan pencapaian prestasi yang tinggi di bidang olahraga. Prestasi olahraga memiliki nilai yang sangat tinggi bagi suatu bangsa. Prestasi olahraga di Indonesia secara makro sekarang ini belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan apabila dilihat dari segi peringkat, perolehan medali pada kegiatan-kegiatan seperti: Sea Games, Asean Games, dan Olimpiade serta pada kejuaraan-kejuaraan dunia untuk masing-masing cabang olahraga prestasinya perlu ditingkatkan. Prestasi olahraga Indonesia dapat berjaya kembali di Asean dan mulai bicara di Asia melalui kerja keras selama 8 hingga 12 tahun lagi (Paulus, 2000). Pemerintah Indonesia selalu menggaungkan semboyan memasyarakatkan olahraga atau mengolahragakan masyarakat dengan tujuan untuk melakukan aktivitas bergerak badan (Nala, 1992). Olahraga merupakan suatu aktivitas yang banyak dilakukan oleh masyarakat, keberadaannya sekarang ini tidak lagi dipandang sebelah mata tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, sebab olahraga dewasa ini sudah dikenal oleh masyarakat baik orang tua, remaja, maupun anak-anak. Hal ini terbukti pada hari-hari libur di lapangan-lapangan serta tempat–tempat lainnya yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan olahraga.

2

Olahraga berdasarkan sifat dan tujuannya dapat dibagi menjadi olahraga prestasi, olahraga pendidikan, serta olahraga kesehatan (Kanca, 2006). Bentuk pelaksanaan latihan olahraga yang dilakukan berbeda-beda disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Olahraga prestasi merupakan olahraga yang lebih menekankan pada peningkatan prestasi seorang atlet pada cabang olahraga tertentu. Sejak delapan tahun yang lalu, pada tahun 2002, Piala Thomas dan Piala Uber tak pernah lagi digenggam Indonesia. Kemampuan atlet Indonesia pun tampak jauh ketinggalan dibanding pemain negara lain. Padahal dulu jawara di bidang olahraga ini, mengalahkan raksasa bulu tangkis seperti Cina atau Malaysia. Indonesia pernah juara Thomas 13 kali. Kejayaan ini seolah tanpa bekas. Keterpurukan ini dibuktikan dengan perolehan peringkat Taufik Hidayat dan ganda Markis kido/Hendra peringkat 10 besar (BWF, 2011). Dengan terjadinya kemerosotan ini pembenahan yang paling krusial dirombak adalah sistem pembinaan atlet (Tangkudung, 2006). Prestasi

olahraga

dihasilkan

melalui

program

pembinaan

dan

pengembangan secara bertahap dan berkesinambungan, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia dan sumber daya alam mempengaruhi pencapaian prestasi. Dalam suatu pelatihan pencapaian prestasi secara maksimal tidak lepas dari aspek fisik, tehnik, taktik dan mental. Menurut Bompa (2000), faktor-faktor dasar latihan yaitu meliputi persiapan fisik, tehnik, taktik dan kejiwaan (psikologi). Disamping itu juga komponen penting yang menentukan keberhasilan seorang atlet untuk berprestasi adalah kesegaran jasmani. Tanpa kesegaran jasmani yang prima atlet tidak akan berhasil memperoleh prestasi

3

walaupun memiliki keterampilan tehnik dan taktik yang baik. Kenyataan menunjukkan bahwa kesegaran jasmani yang baik berhubungan dengan prestasi olahraga. Latihan fisik dalam rangka memperbaiki dan mengembangkan kesegaran jasmani merupakan jawaban yang tepat untuk menghadapi keadaan darurat dan tekanan-tekanan yang datang mendadak dalam kehidupan (Setijono, 2001). Proses pelatihan fisik yang terprogram dengan baik sehingga faktor-faktor tersebut dapat dikuasai. Bompa (1999) menyatakan bahwa pelatihan merupakan sebuah aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu lama yang ditingkatkan secara progresif dan individual, yang mana mengarah kepada ciri-ciri fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Program pelatihan sebaiknya direncanakan dengan baik dan sempurna. Menurut Harsono (1988), program latihan kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik dan sistematis yang bertujuan untuk meningkatkan kebugaran fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga memungkinkan atlet mencapai prestasi yang lebih baik. Aktivitas yang teratur memantapkan fungsi sistem kekebalan, sedangkan aktivitas marathon yang melelahkan bersifat menekan kekebalan sehingga aktivitas yang teratur memiliki kontribusi terhadap kesehatan (Sharkey, 2003). Permainan bulutangkis sarat dengan berbagai kemampuan dan keterampilan gerak yang kompleks. Sepintas lalu dapat diamati bahwa pemain harus melakukan gerakan-gerakan seperti lari cepat, berhenti dengan tiba-tiba dan segera bergerak lagi, gerak meloncat, menjangkau, memutar badan dengan cepat, melakukan langkah lebar tanpa pernah kehilangan keseimbangan tubuh sehingga aspek kondisi fisik dapat memegang peranan penting untuk permainan bulutangkis yang

4

membutuhkan kualitas kekuatan, daya tahan, kelentukan, kecepatan, kelincahan, dan koordinasi gerak yang baik. Aspek-aspek tersebut sangat dibutuhkan agar individu mampu bergerak dan bereaksi untuk menjelajahi setiap sudut lapangan selama permainan. Karena itu, pebulutangkis sangat penting memiliki derajat kondisi fisik prima. Berdasarkan hal tersebut salah satu komponen biomotorik dalam permainan bulutangkis tidak lepas dari daya ledak otot lengan karena melibatkan pukulan-pukulan di atas untuk menghasilkan pukulan yang keras, dibutuhkan tenaga yang maksimal, yang bersumber dari kekuatan otot-otot bagian tubuh, yang melibatkan segmen-segmen otot lengan dalam suatu rangkain gerakan memukul yang utuh. Daya ledak merupakan kemampuan otot untuk mengerahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang sangat cepat. Menurut Harsono (1988), cabang-cabang olahraga yang gerakannya didominasi gerakan meloncat seperti dalam bola voli, bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Setiap individu yang memiliki daya ledak seyogyanya memiliki derajat kekuatan otot, derajat kecepatan, dan derajat keterampilan yang tinggi dalam keterampilan. Bentuk pelatihan daya ledak ditandai adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, seperti tubuh terdorong ke atas, terdorong ke depan, atau melempar, memukul atau menyemes bola serta menendang (Nala, 2002). Dalam kenyataan di lapangan atau sering ditemukan di tempat pelatihan yang sering dilakukan seperti push up, angkat barbell dengan gerakan naik turun dengan arah vertikal serta pelatihan weight trainning seperti incline press, standing press up righ row, triceps extension, revers curl,bench press kebanyakan pelaksanaan dilakukan dalam posisi duduk, berbaring, padahal dalam

5

permainan bulutangkis dilakukan posisi berdiri. Tipe pelatihan hendaknya menyerupai gerakan memukul atas (overhead) pada olahraga bulutangkis sehingga komponen

biomotorik

yang

dilatih

(spesifikasinya)

tepat

sasaran

yaitu

meningkatkan daya ledak otot lengan. Tetapi akibat yang ditimbulkan otot lengan semakin besar dan kuat sehingga hasilnya otot lengan yg besar bukan untuk melakukan pukulan yg cepat dan tepat tetapi untuk mengangkat barang atau hanya untuk sekedar keindahan. Sinkronisasi unit motorik, kelompok otot antagonis dan sinergis pada lengan bahu dan dada serta kelompok tubuh lainnya belum terbina (Nala, 2002), sehingga perlu dikembangkan tipe pelatihan yang posisinya disesuaikan dengan karakteristik permainan bulutangkis pada saat melakukan pukulan atas (overhead). Berdasarkan dari kenyataan di atas timbul keinginan untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan meningkatkan daya ledak otot lengan khusus bagi pemain bulutangkis melalui pelatihan menarik katrol beban yang posisi gerakannya mirip

dalam keadaan memukul overhead pada pukulan bulutangkis. Pelatihan

menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah gerakan lengan seperti sikap menyemes bola sesungguhnya merupakan cara yang tepat untuk melatih kekuatan otot lengan (Nala, 2002). Pukulan smash dalam bulutangkis merupakan bagian dari pukulan atas (overhead). Bentuk pelatihan menarik katrol merupakan salah satu bentuk pelatihan beban dengan memberikan tahanan eksternal, berupa karung pasir berbeban yang ditarik dengan menggunakan katrol. Cara pelatihan dengan menarik lengan dari belakang, atas kepala setinggi jangkauan tangan dengan arah gerakan dari atas ke bawah, posisi tubuh berdiri.

6

Untuk pelatihan menarik katrol melibatkan beberapa jenis otot. biseps braki, otot brakialis, otot karoko brakiali, otot pectoralis major, otot deltoid, otot supra spinatus, otot infra spinatus, otot teres major, otot muskulas triceps braki, muskulas ekstensor karpi radialis longus, muskulas ekstensor karpi radialis brevis, muskulas ekstensor karpi ulnaris, digitonum karpi radialis, muskulas ekstensor policis longus yang sesuai dengan pukulan overhead pada permainan bulutangkis (Syaifuddin, 1996). Alat yang digunakan dirancang sesuai dengan posisi dan arah gerakan. Bentuk alat sederhana dapat dibuat sendiri, diharapkan dapat menghemat waktu dan biaya karena bisa dilakukan di rumah. Takaran pelatihan untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan beban bervariasi, kontraksi cepat, dalam repetisi kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan (Satriya, dkk., 2007). Repetisi merupakan bentuk pengulangan. Dalam teori takaran beban dalam pelatihan daya ledak 40%-80% dari kemampuan maksimal (Satriya, dkk., 2007), sedangkan repetisi 12-15 dan set 3-5 (Harsono, 1988). Pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu sesuai untuk pemula yang akan menghasilkan peningkatan yang berarti (Fox, 1983). Pelatihan yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan menarik katrol beban yang menekankan pada perbedaan jumlah repetisi dan set dengan beban yang sama. Pengulangan yang tinggi (Nala, 2002), akan menjadikan suatu pelatihan sangat efektif dan hal ini sangat baik dalam mengembangkan tipe serabut otot, terutama tipe otot putih yang sangat dibutuhkan dalam anggota gerak atas. Dari penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran dan hasil yang diperoleh mampu melakukan menarik beban dari belakang, atas kepala samping ke bawah

7

sebanyak 12 repetisi dengan beban maksimal yang mampu ditarik duabelas kg. Hasil maksimal beban duabelas kg dari beban ini diambil 40 % dari kemampuan maksimal yaitu lima kg. Sedangkan repetisi dan set diperoleh antara 12-15 kali dengan tiga set, karena pelatihan ini diberikan kepada pemula sehingga takaran diambil dari yang terendah supaya semua sampel yang terpilih dapat melakukan pelatihan. Berdasarkan hasil ini diperoleh repetisi, set, dan beban dalam pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan repetisi, empat set dalam meningkatkan daya ledak otot lengan yang jumlah totalnya tigapuluhenam kali. Penelitian dilakukan terhadap siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK dengan beberapa pertimbangan seperti siswa menguasai tehnik dasar bermain bulutangkis, ditinjau dari umurnya berada pada masa remaja (adolescence), dimana pada masa tersebut keterampilan secara maksimal dapat tercapai. Pertimbangan lainnya siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK kurang bermunculan dilihat dari prestasi tingkat PORJAR Denpasar sehingga perlu diberikan pelatihan menarik katrol beban yang digunakan untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan beban yang sama tetapi set dan repetisi yang berbeda. 1.2

Rumusan masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang

disampaikan sebagai berikut:

1.

Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu dapat

8

meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1? 2.

Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, dan empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu dapat meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1?

3.

Apakah pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan tiga set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam minggu lebih baik dari pada pelatihan menarik

katrol beban lima kg, sembilan

repetisi, dan empat set dengan frekuensi tiga kali seminggu selama enam

minggu

dalam

meningkatkan

daya

ledak

otot

lengan

ekstrakurikuler bulutangkis siswa SMK-1? 1.3

Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1.3.1

Tujuan Umum Mendapatkan tipe pelatihan menarik katrol beban serta takaran pelatihan

yang lebih baik dalam meningkatkan daya ledak otot lengan. 1.3.2

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan pada pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan duabelas repetisi, tiga set dalam meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.

9

2. Untuk mengetahui peningkatan daya ledak otot lengan menarik katrol beban lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1. 3. Untuk mengetahui bahwa pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan duabelas repetisi, tiga set lebih baik dibandingkan dengan pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan sembilan repetisi, empat set dalam meningkatkan daya ledak otot lengan pada siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1. 1.4

Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Memperoleh data empirik tentang tipe dan takaran pelatihan untuk meningkatkan daya ledak otot lengan demi perkembangan kasana ilmu pengetahuan di bidang olahraga. 2. Sebagai pedoman bagi pelatih, guru dan pembina olahraga dalam upaya meningkatkan prestasi cabang olahraga khususnya yang memerlukan daya ledak otot lengan.

10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1

Pelatihan Olahraga Pelatihan adalah suatu proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja yang

dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari meningkatkan jumlah beban latihan atau pekerjaan, dan salah satu yang paling penting dari latihan harus dilakukan secara berulang-ulang dan meningkatkan beban atau tahanan untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot yang diperlukan untuk pekerjaannya (Hairy, Junusul, 1989). Pelatihan dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang (repetitive) dalam jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progressive, memiliki tujuan untuk memperbaiki sistema serta fungsi fisiologi dan psikologi tubuh agar pada waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal (Nala, 1998). Menurut Nossek (1982) pelatihan adalah suatu proses atau dinyatakan dengan kata lain periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun sampai atlet tersebut mencapai standar penampilan yang tertinggi. Nossek (1982) menyatakan pelatihan adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur dengan prinsip-prinsip yang bersifat ilmiah, khususnya prinsip-prinsip paedagogis. Proses ini direncanakan dan sistematis, yang meningkatkan kesiapan untuk melakukan dan kepastian penampilan atlet.

11

Pelatihan adalah sebuah aktivitas olahraga yang sistematik dalam waktu yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual, yang mana mengarah kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan (Bompa, 1999). Pelatihan juga merupakan aktivitas fisik yang dilakukan secara berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang benar. Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat beberapa kesamaan dalam mendefinisikan pelatihan antara lain: 1. Aktivitas yang dilakukan secara sistematis. 2. Bentuk suatu proses 3. Dilaksanakan dengan waktu yang relatif lama. 4. Berkesinambungan. 5. Adanya pembebanan secara bertahap 6. Untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga. Dengan demikian pengertian pelatihan dapat disimpulkan sebagai suatu proses penyempurnaan kemampuan olahraga, yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelatihan yang benar, untuk mencapai tujuan peningkatan kemampuan atau prestasi olahraga. 2.1.1

Tujuan Pelatihan Tujuan pelatihan dalam bidang olahraga adalah untuk memperbaiki

kemampuan teknik (keterampilan) atau penampilan atlet sesuai dengan kebutuhan dalam bidang olahraga spesialisasi atau yang digeluti, dan bertujuan untuk meningkatkan kebugaran, jasmani dan menjaga kesehatan (Nala, 1998).

12

Berdasarkan atas hal ini maka pelatihan ditujukan untuk meningkatkan pengembangan fisik baik menyeluruh maupun khusus perbaikan terhadap teknik, pematangan strategi, dan teknik permainan sesuai dengan kebutuhan cabang olahraga, menanamkan kemauan dan disiplin yang tinggi, pengoptimalan persiapan tim dan olahraga beregu, meningkatkan serta memelihara kebugaran jasmani dan kesehatan serta mencegah kemungkinan cedera. Menurut Bompa (1999), untuk mencapai tujuan dalam latihan, yaitu memperbaiki prestasi tingkat terampil maupun unjuk kerja dari atlet, diarahkan oleh pelatihnya untuk mencapai tujuan umum latihan. Adapun tujuan-tujuan latihan sebagai berikut: 1. Untuk mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh. 2. Untuk menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai suatu kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktik olahraga. 3. Untuk memoles atau menyempurnakan teknik olahraga yang dipilih. 4. Memperbaiki dan menyempurnakan strategi yang penting yang dapat diperoleh dari belajar teknik lawan berikutnya. 5. Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta disiplin

untuk

tingkah

laku,

ketekunan,

dan

keingginan

menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis. 6. Menjamin dan mengamankan persiapan tim secara optimal. 7. Untuk mempertahankan keadaan sehat setiap atlet.

untuk

13

8. Untuk mencegah cedera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan juga meningkatkan fleksibelitas di atas tingkat ketentuan untuk melakukan gerakan yang penting. 9. Untuk menambah pengetahuan seorang atlet dengan sejumlah pengetahuan teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan, pencernaan gizi, dan regenerasi. Beberapa kesimpulan tersebut tidak menyarankan untuk dipakai secara kaku dalam upaya latihan yang dilakukan, hal tersebut harus disesuaikan dengan ciri-ciri khusus pada kecabangan olahraga yang dilakukan dan juga memperhatikan kondisi atlet itu sendiri. Pendekatan yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai tujuan pelatihan utama adalah

mengembangkan dasar-dasar latihan secara fungsional

yang diarahkan untuk mencapai tujuan khusus sesuai dengan kebutuhan cabang olahraga itu sendiri. Pada cabang olahraga bulutangkis kebutuhan yang digunakan kekuatan, kecepatan, dayatahan disesuaikan dengan kebutuhan cabang olahraganya. Jenis Pelatihan menarik katrol berbeban merupakan salah satu tipe pelatihan yang digunakan dalam penelitian ini. Menurut Nala (2002) cara pelatihan yang paling tepat untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat atau pukulannya keras yang dilakukan dengan pelatihan menarik beban berulang-ulang dengan sikap dan arah gerakan lengan seperti melakukan smash atau melakukan pukulan overhead. Apabila diberi pelatihan, efek pada otot terjadi pada unit motorik (saraf dan otot), ko-kontraksi otot antagonis, sinkronisasi. Adaptasi neural akan meningkatkan kekuatan dan meningkatkan koordinasi. 2.1.2

Prinsip-Prinsip Pelatihan

14

Pelatihan yang modern harus direncanakan secara berhati-hati. Sebuah rancangan pelatihan mencakup semua tindakan yang diperlukan untuk mencapai sasaran-sasaran latihan (Nossek, 1982). Tujuan pelatihan yang telah dijelaskan akan memberikan arah dari suatu pelatihan olahraga, dan untuk mencapai tujuan tersebut secara maksimal, suatu pelatihan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pelatihan. Adapun prinsip-prinsip pelatihan adalah: a. Prinsip Pelatihan beraturan (the principle of arrange ment of exercise). Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilakukan yaitu; pemanasan, latihan inti serta pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari kelompok otot besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot kecil (Fox, dkk., 1993). Pemanasan bertujuan menyiapkan kondisi fisik dan psikis sebelum latihan atau pertandingan/ perlombaan. Pemanasan juga bertujuan meningkatkan suhu tubuh dan aliran darah pada otot sekelet yang aktif (Nala, 1998). Dalam pelaksanaannya pemanasan tidak harus selalu lama dilakukan, pemanasan yang berkisar lima sampai limabelas menit sudah cukup untuk membuat tubuh berkeringat dan bernafas dalam, sebagai tanda metabolisme meningkat dan tubuh siap untuk mengikuti latihan berikutrnya. Selanjutnya latihan inti, gerakan inti olahraga merupakan gerakan atau aktivitas yang pokok dalam suatu pelatihan atau kecabangan olahraga. Kegiatan ini merupakan utama untuk mencapai tujuan dari pelatihan. Pendinginan bertujuan untuk mengembalikan kondisi fisik dan psikis pada keadaan semula. Pendinginan dilakukan setelah aktivitas fisik atau pelatihan selesai dilaksanakan. Pendinginan akan bermanfaat

15

untuk pulih asal (recovery) setelah aktivitas fisik yang berat. Latihan-latihan pendinginan mengikuti urutan yang sebaliknya dari urutan latihan pemanasan (yaitu latihan aerobik ringan, kalistenik dinamis, dan peregangan statis) (Giam dan Teh, 1993). Lamanya pendinginan tergantung pada tingkat kelelahan yang diperoleh dari latihan inti atau tergantung pada cepatnya asam laktat dirubah, lama pendinginan bisa dari 10 sampai 30 menit. b. Prinsip Kekhususan (the principle of speciafity). Adalah latihan untuk cabang olahraga mengarah pada perubahan morphologis dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga tersebut (Bompa, 1999). Untuk itu, sebagai bahan pertimbangan dalam menerapkan prinsip kekhususan, antara lain ditentukan oleh:(a) spesifikasi kebutuhan energi, (b) spesifikasi bentuk dan model latihan, (c) spesifikasi ciri gerak dan kelompok otot yang digunakan, dan (d) waktu periodisasinya. c. Prinsip Individualisasi (the principle of individuality). Pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan atlet untuk mencapai hasil yang baik. Menurut Bompa (1999) faktor individu harus diperhatikan, karena pada dasarnya setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis. Sukadiyanto (2005) menjelaskan, hal yang harus diperhatikan dalam prinsip individualisasi adalah faktor keturunan, kematangan, status gizi, waktu istirahat dan tidur, tingkat kebugaran, pengaruh lingkungan, cidera, dan motivasi.

16

d. Prinsip Beban Bertambah (the principle of progressive resistance). Adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan psikologis setiap individu olahragawan. Pelatihan dengan penambahaan beban secara bertahap merupakan suatu keharusan, untuk mencapai hasil dari pelatihan tersebut. Menurut Bompa (1999) untuk menyiapkan fungsi dan reaksi sistem-sistem syaraf,

koordinasi

neuromuskular,

dan

kapasitas

psikologi

untuk

menanggulangi stres peningkatan beban latihan, atlet membutuhkan waktu, dan pendapat Astrand (1986) bahwa; “Peningkatan kinerja olahragawan memerlukan latihan dan penyesuaian dalam waktu yang panjang, disamping itu peningkatan kemampuan organisme secara morphologis, fisiologis dan psikologis bergantung pada peningkatan beban latihan. Dalam pembebanan latihan, tuntutan ini adalah bahwa beban latihan harus berkelanjutan jika harus ditingkatkan secara regular (progressive overload). Dalam mendisain pelatihan overload, Bompa (1999) menyarankan untuk memakai the step type approach system atau sistem tangga yang tampak pada gambar 1.

11 10 9

7 6 3 2 1

8

5 4 PRESTASI

Gambar 2.1 The Step Type Approach System ( Bompa, 1999). Setiap garis vertikal menunjukan perubahan (penambahan) beban, sedangkan garis horisontal adalah fase adaptasi terhadap beban yang baru.

17

Beban latihan tiga tangga (cycle) pertama ditingkatkan secara bertahap. Pada cycle ke empat beban diturunkan (ini adalah yang dimaksud unloading fase) yang maksudnya adalah untuk memberi kesempatan kepada organorgan tubuh untuk melakukan regenerasi (Harsono, 1988). The step type approach atau sistem tangga berlaku untuk pelatihan olahraga yang bertujuan untuk prestasi maupun kesehatan. e. Prinsip Beban Berlebih (the overload principle). Pelatihan untuk komponen kebugaran membutuhkan berkali-kali kondisi-kondisi overload yang diikuti dengan kesempatan untuk istirahat untuk mendapatkan efek pelatihan (Rushall dan Pyke, 1992). Menurut Sukadiyanto (2005), beban latihan harus mencapai atau melampaui sedikit di atas batas ambang rangsang. Sebab beban yang terlalu berat akan mengakibatkan tidak mampu diadaptasi oleh tubuh, sedangkan bila terlalu ringan tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas, sehingga beban latihan harus memenuhi prinsip moderat. Untuk pembebanan dilakukan secara progresif dan diubah sesuai dengan tingkat perubahan yang terjadi pada olahragawan. Apabila tubuh sudah mampu mengatasi beban latihan yang diberikan, maka beban berikutnya harus ditingkatkan secara bertahap. Irianto (2002) mengatakan apabila tubuh ditantang dengan beban latihan maka terjadi proses penyesuaian. Penyesuaian tersebut tidak saja seperti pada kondisi awal namun secara bertahap mengarah pada tingkat yang lebih tinggi yang disebut overkompensasi. Overkompensasi (peningkatan prestasi) akan terjadi bila pembebanan yang diberikan pada

18

latihan tepat di atas ambang rangsang (threshold), disertai dengan pemulihan (recovery). Menurut Martens dalam Sukadiyanto (2005) tingkat penambahan beban latihan berkaitan dengan tiga faktor, yaitu frekuensi, intensitas, dan durasi. Penambahan frekuensi dapat dilakukan dengan cara menambah sesi latihan. Untuk intensitas latihan dapat dengan cara meningkatkan kualitas pembebanan. Sedangkan durasi dapat dilakukan dengan cara menambah jam latihan atau bila jam latihan tetap dapat dengan cara memperpendek waktu recovery dan interval, sehingga kualitas latihan menjadi meningkat. f. Prinsip Beragam (variety principle). Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang, hal ini sering menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan pelatih menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam bentuk latihan (Bompa, 1999). g. Prinsip Pulih Asal (revercible principle) Kualitas yang diperoleh dari latihan dapat menurun kembali apabila tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu. Proses adaptasi yang terjadi sebagai hasil dari latihan akan menurun bahkan hilang bila tidak dipraktekkan dan dipelihara melalui latihan yang kontinyu. Dengan demikian latihan harus berkesinambungan. 2.1.3

Volume Pelatihan Sebagai komponen utama latihan, volume adalah prasarat yang sangat

penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi, taktik dan khususnya pencapaian

19

fisik. Volume latihan disebut juga jangka waktu yang dipakai selama sesion latihan, yang melibatkan beberapa bagian secara integral sebagai berikut: (1) waktu atau jangka waktu yang dipakai dalam pelatihan, (2) jarak atau jumlah tegangan yang dapat ditanggulangin atau diangkat per satuan waktu, (3) jumlah pengulangan bentuk latihan atau elemen teknik yang dilakukan dalam waktu tertentu. Jadi diperkirakan bahwa volume terdiri jumlah keseluruhan dari kegiatan yang dilakukan dalam latihan. Volume diartikan sebagai jumlah kerja yang dilakukan selama satu kali latihan atau selama fase latihan (Bompa, 1999). Menurut Nala (1998), bahwa volume latihan merupakan jumlah seluruh aktivitas yang dilakukan selama latihan. Sering secara tidak tepat, volume latihan ini disamakan dengan durasi atau lama latihan. Padahal durasi ini merupakan bagian dari volume latihan. Pada umumnya volume latihan ini terdiri atas: a.

Durasi atau lama waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu atau bulan).

b.

Jarak tempuh (meter), berat beban (kilogram) atau jumlah angkatan dalam satuan waktu (berapa kilo-gram dapat diangkat dalam waktu satu menit).

c.

Jumlah repetisi, set atau penampilan unsur teknik dalam satu kesatuan waktu (berapa kali ulangan dapat dilakukan dalam waktu semenit). Penggunaan repetisi dan set ini amat penting dalam meningkatkan kemampuan komponen biomotorik. Volume ini juga menunjukkan jumlah kerja atau aktivitas yang dapat dilakukan selama phase latihan (Bompa, 1999).

20

Sedangkan menurut Sukadiyanto (2005) adalah ukuran yang menunjukkan kuantitas (jumlah) suatu rangsangan atau pembebanan. Adapun dalam proses latihan yang digunakan untuk meningkatkan volume latihan dapat dilakukan dengan cara latihan itu: (1) diperberat, (2) diperlama, (3) dipercepat, atau (4) diperbanyak. Untuk itu dalam menentukan besarnya volume dapat dilakukan dengan cara menghitung: (a) jumlah bobot berat per sesi, (b) jumlah ulangan per sesi, (c) jumlah set per sesi, (d) jumlah pembebanan per sesi, (e) jumlah seri atau sirkuit per sesi, dan (f) lama-singkatnya pemberian waktu recovery dan interval. Dalam penelitian ini volume pelatihan terhadap beban dan repetisi ditentukan berdasarkan pengukuran sampel yang dilakukan pada penelitian pendahuluan. Hasil penelitian pendahuluan bahwa kemampuan menarik katrol berbeban dengan beban duabelas kg. Dari beban duabelas kg diambil 40% dari kemampuan maksimal (Satriya, dkk., 2007) yaitu lima kg. Beban yang diberikan dari terendah karena melibatkan anak pemula dalam penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan. Untuk menentukan repetisi dan set dilakukan menarik katrol berbeban lima kg hasil yang diperoleh berkisar 12-15 kali dengan tiga set. Sehingga dalam penelitian daya ledak otot lengan dengan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi dan tiga set dengan istirahat lima menit yang ditentukan dari denyut nadi istirahat. 2.1.4

Intensitas Pelatihan Intensitas pelatihan adalah dosis pelatihan yang harus dilakukan seseorang

menurut program yang telah ditentukan (Sajoto, 1995). Intensitas merupakan salah satu komponen terpenting dari latihan. Intensitas menunjukan komponen kualitatif pada penampilan kerja dalam suatu periode. Menurut Bompa (1999) bahwa

21

intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Intensitas adalah faktor terpenting dalam pengembangan maksimal pemasukan oksigen (VO2max), intensitas merefleksikan kebutuhan energi dan kalor energi yang dikeluarkan (Sherkey, 2003). Intensitas juga merupakan ukuran yang menunjukan kualitas suatu rangsangan atau pembebanan. Menurut Harsono (1988) tingkatan intensitas beban pelatihan yang dianjurkan untuk pelatihan kondisi fisik: rendah: 30-50%, ringan: 51-60%, sedang: 61-75%, submaksimal: 76-85%, maksimal: 86-100% dan super maksimal: 100%. Sedangkan kondisi fisik untuk daya ledak (Satriya, dkk., 2007) pelatihan dengan tahanan beban yang digunakan 40-80% kemampuan maksimal, kontraksi cepat, repetisinya kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan karena dalam daya ledak ada kekuatan terdapat pula kecepatan (Harsono, 1988). Derajat intensitas dapat diukur berdasarkan kepada bentuk latihan yang dilakukan untuk pelatihan yang melibatkan kecepatan diukur dalam satuan meter/detik, atau intensitas untuk kekuatan diukur dengan satuan kg, sedangkan untuk jarak contohnya jauh dan tinggi diukur dalam satuan meter (Bompa, 1999). Dalam meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan kecepatan, pembebanannya submaksimal dengan lama waktu berkontraksi 7-10 detik. Pembebanan berkisar 6090% dari kekuatan maksimal berdasarkan Oshea (1976). Sedangkan meningkatkan kecepatan tanpa mengabaikan kekuatan, intensitas pembebanannya berskala ringan dan sedang dari kemampuan maksimal, demikian pula waktu rangsangan saraf dan

22

kontraksi diperpendek (Jensen dan Fisher, 1983). Manfaat dari pemberian beban untuk melatih kecepatan atau kemampuan maksimal dapat dipertahankan karena penyediaan energi dari sistem phospagen berlangsung cepat atau dua kali lipat kecepatan dalam sistem asam laktat (Guyton dan Hall, 2007). 2.1.5

Repetisi dan Set Repetisi adalah jumlah ulangan pada waktu pelatihan sedangkan set adalah

suatu rangkaian kegiatan dari suatu repetisi. Menurut Widana (1983) mensitir pelatihan dari De Lorme dan Watkins, bahwa pelatihan meningkatkan kekuatan otot dapat terujud melaui program dengan menggunakan 1-3 repetisi untuk 3-4 set dengan menggunakan beban maksimum. Sedangkan pelatihan yang menggunakan daya tahan otot hendaknya menggunakan program 10-12 repetisi dan 3-4 set. Dalam Harsono (1988) untuk meningkatkan daya ledak menggunakan 12–15 repetisi, 3-5 set. Menurut Oshea, (1976) dalam meningkatkan daya ledak

antara

repetisi 8-10 repetisi dan 3-4 set. Menurut Fox (1984) manfaat pengulangan yang tinggi untuk mengembangkan serabut otot tipe cepat yang sangat dibutuhkan dalam kecepatan. 2.1.6

Densitas dan Frekuensi Pelatihan Suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah rangsangan per

satuan waktu disebut densitas latihan. Jadi densitas latihan berkaitan dengan suatu hubungan yang dinyatakan dalam waktu kerja dan pemulihan latihan. Suatu densitas yang seimbang akan mengarah kepada pencapaian rasio optimal antara rangsangan latihan dan pemulihan (Bompa, 1999). Berdasarkan hal tersebut, padat atau tidaknya densitas ini sangat tergantung oleh lamanya pemberian waktu

23

pemulihan yang diberikan. Semakin pendek waktu pemulihan maka densitas latihan makin tinggi, sebaliknya semakin lama waktu pemulihan maka densitas pelatihan semakin rendah (kurang padat). Menurut Harre (Bompa, 1999) untuk membangun komponen biomotorik dalam daya tahan otot misalnya densitas pelatihan yang optimal antara waktu kerja dan waktu istirahat perbandingannya berkisar antara 1:½, atau 1:1. Sedangkan untuk rangsangan yang itensif, perbandingannya 1:3 atau 1:6. Sehingga dalam melakukan aktivitas menyemes bola atau memukul shuttle terus menerus untuk meningkatkan daya tahan otot lengan dan otot bahu bagi pemain bulutangkis diperlukan selama satu menit maka waktu yang digunakan selama 3-6 menit ( selama 3 x 1 menit =3 menit sampai 6 x 1 menit= 6 menit). Setelah itu dilanjutkan kembali dengan gerakan menyemes atau memukul selama 1 menit. Untuk komponen kekuatan kekuatan otot waktu istirahat selama 2-5 menit, bukan ½-1 menit. Lama istirahat untuk meningkatkan kekuatan tergantung pada berat ringannya beban, jumlah repetisi, banyak set dan kecepatan irama angkatannya. Bila beban ringan waktu istirahat cukup 2 menit tapi bila bebannya berat, waktu istirahat sampai 5 menit. Densitas latihan menunjukkan kepadatan (densitas) atau kekerapan (frekuensi) dari suatu seri rangsangan per satuan waktu yang terjadi pada atlet ketika sedang berlatih sedangkan Frekuensi adalah kekerapan atau kerapnya latihan per-minggu. Menetapkan frekuensi latihan amat tergantung pada tipe olahraganya dan jenis komponen biomotorik yang akan dikembangkan. Frekuensi latihan untuk mengembangkan komponen kekuatan otot, jika dilakukan sebanyak tujuh kali

24

dalam seminggu dianggap densitasnya terlalu tinggi. Bila dilakukan sekali seminggu dianggap densitasnya terlalu rendah. Frekuensi latihan merupakan jumlah latihan yang dilakukan dalam periode waktu tertentu. Pada umunya periode waktu yang digunakan untuk menghitung jumlah frekuensi tersebut adalah dalam satu minggu. Frekuensi latihan bertujuan untuk menunjukkan jumlah tatap muka latihan pada setiap minggunya. Frekuensi latihan misalnya: a.

Untuk meningkatkan kekuatan otot dianggap cukup baik bila dilakukan sebanyak 2-3 kali seminggu.

b.

Sebaliknya

untuk

meningkatkan

komponen

daya

tahan

kardiovaskular atau kesegaran jasmani (physical fitness), maka frekuensi latihannya sebanyak 4-5 kali seminggu, dengan selingan istirahat maksimal selama 48 jam atau tidak lebih dari dua hari berturutan. c.

Sedangkan untuk daya tahan perenang dan pelari jarak jauh frekuensi lat i h an n ya l eb i h k erap , t i d ak c u k u p s eb an yak 3 -4 k al i s em i n g gu , t et ap i sebanyak 6-7 kali seminggu.

d.

Frekuensi latihan bagi atlet non-daya tahan aerobik (nonendurance) atau anaerobik, cukup sebanyak 3 kali per minggu, dengan durasi latihan selama 8-10 minggu (Nala, 1998). Frekuensi tergantung dari jenis komponen yang akan dikembangkan,

untuk menjalankan program latihan tiga kali setiap minggu, agar tidak terjadi kelelahan yang kronis dan lama latihan diperlukan selama enam minggu atau

25

lebih (Sajoto, 1995). Dalam penelitian ini menggunakan frekuensi pelatihan tiga kali setiap minggu dan dilaksanakan selama enam minggu. Manfaat gerakan pelatihan yang dilakukan berulang-ulang selama enam minggu akan terpola pada sistem saraf sebagai pengalaman sensoris (Guyton dan Hall, 2007). 2.2

Pelatihan Fisik Kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang

tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan maupun pemeliharaannya. Artinya bahwa didalam usaha peningkatan kondisi fisik maka seluruh komponen tersebut harus dikembangkan. Walaupun dilakukan dengan sistem prioritas tiap komponen dan untuk keperluan apa keadaan atau status yang dibutuhkan. (Sajoto, 1988). Kondisi fisik adalah satu prasyarat yang sangat diperlukan dalam usaha peningkatan prestasi seorang atlet, bahkan dapat dikatakan sebagai keperluan dasar yang tidak dapat ditunda atau ditawar-tawar lagi. Menurut Harsono (1988), jika kondisi fisik baik maka: (1) akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja jantung. (2) akan ada peningkatan dalam kekuatan, kelentukan, stamina, kecepatan dan lain-lain komponen kondisi fisik. (3) akan ada ekonomi gerak yang lebih baik pada waktu latihan. (4) akan ada pemulihan yang lebih cepat dalam organ-organ tubuh setelah latihan. (5) akan ada respon yang cepat dari organisme tubuh apabila sewaktu-waktu respon demikian diperlukan. Proses latihan kondisi fisik dalam olahraga, adalah suatu proses yang harus dilakukan dengan hatihati, dengan sabar dan dengan penuh kewaspadaan terhadap atlet. Melalui latihan yang berulang-ulang dilakukan, yang intensitas dan kompleksitasnya sedikit demi

26

sedikit bertambah, lama kelamaan atlet akan berubah menjadi seseorang yang lebih pegas, lebih lincah, lebih terampil dan lebih berhasil menurut Harsono (1988). Kondisi fisik memegang peranan yang sangat penting. Program latihan kondisi fisik haruslah direncanakan secara sistematis yang ditunjukkan untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan demikian dapat mencapai prestasi yang lebih baik haruslah direncanakan secara sistematis yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi fisik dan kemampuan fungsional dari sistem tubuh sehingga dengan demikian dapat mencapai prestasi yang lebih baik. 2.3

Komponen Biomotorik Komponen biomotorik merupakan kemampuan dasar gerak fisik atau

aktivitas fisik dari tubuh manusia (Nala, 2002). Menurut Sajoto (1995) komponen kondisi fisik adalah satu kesatuan utuh dari komponen-komponen yang tidak dapat dipisahkan baik peningkatan maupun pemeliharanya. Komponen biomotorik yakni kekuatan, daya tahan, daya ledak, kecepatan, kelentukan, kelincahan, ketepatan, waktu reaksi, keseimbangan, dan koordinasi (Nala, 2002). Menurut Jensen dan Fisher (1983) daya ledak merupakan unsur biomotorik yang sangat penting untuk melakukan berbagai aktivitas dan menentukan seberapa cepat dapat berlari dan berenang, seberapa tinggi dapat melompat, seberapa jauh dapat melempar, dan seberapa keras seseorang dapat memukul. Dari kesepuluh komponen biomotorik ini salah satu komponen biomotorik yaitu daya ledak yang akan digunakan dalam pelatihan bulutangkis. 2.4

Daya Ledak

27

Daya ledak merupakan komponen biomotorik. Daya ledak adalah kemampuan otot untuk menggerahkan kekuatan maksimal dalam waktu yang sangat cepat (Juliantine, dkk., 2007). Daya ledak sering disebut eksplosif atau daya otot. Menurut Sajoto (1995) daya otot (muscular power) adalah kemampuan seseorang untuk mempergunakan kekuatan maksimum yang dikerahkan dalam waktu yang sependek-pendeknya. Daya ledak sangat penting untuk cabang-cabang olahraga yang memerlukan eksplosif, seperti lari sprint, nomor-nomor lempar dalam atletik, atau cabang-cabang olahraga yang gerakannya didominasi oleh meloncat, dalam olahraga voli dan juga pada bulutangkis serta olahraga sejenisnya. Otot yang kuat otot yang mempunyai daya ledak yang besar, sebaliknya otot yang mempunyai daya ledak yang besar hampir dapat dipastikan mempunyai nilai kekuatan yang besar (Boosey, 1980). Daya ledak ialah kemampuan sebuah otot atau sekelompok otot untuk mengatasi tahanan beban dengan kekuatan dan kecepatan tinggi dalam satu gerakan yang utuh (Suharno, 1993). Daya ledak merupakan hasil dari kekuatan maksimum dan kecepatan maksimum (Bompa,1999, Bosco, dan Gustafson, 1983). Daya ledak adalah kemampuan seseorang mengatasi tahanan dengan kecepatan yang tinggi dalam gerak yang utuh (Harre, 1982). Bosco dan Gustafson (1983) menyatakan bahwa, daya ledak adalah kemampuan melakukan gerakan secepat mungkin dengan kekuatan maksimum. Jensen (1983) menyatakan bahwa daya ledak merupakan komponen yang penting untuk melakukan aktivitas yang berat seperti meloncat, melempar, memukul dan sebagainya.

28

Bompa (1999), daya ledak merupakan hasil dari kekuatan dalam waktu yang singkat. Menurut Bucher (Harsono, 1988) dikatakan bahwa seorang individu yang mempunyai power adalah orang yang memiliki (a) derajat kekuatan otot yang tinggi, (b) derajat kecepatan yang tinggi, dan (c) derajat yang tinggi dalam keterampilan menggabungkan kecepatan dan kekuatan otot. Menurut Suharno (1993), beberapa faktor yang menentukan daya ledak otot adalah: 1) banyak sedikitnya fibril otot putih dalam tubuh atlet, 2) tergantung banyak sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP), 3) kekuatan dan kecepatan, 4) waktu rangsangan dibatasi secara konkrit lamanya, 5) Koordinasi gerakan yang harmonis. Menurut Brandon (2004) daya ledak adalah kemampuan untuk menghasilkan kekuatan dengan cepat, diistilahkan dalam matematis sebagai kekuatan dikalikan kecepatan. Berdasar pada definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dua unsur penting yang menentukan kualitas daya ledak adalah kekuatan dan kecepatan. 2.4.1 Jenis Daya Ledak Bompa (1999) membagi daya ledak berdasarkan gerakan olahraga yang dilakukan yaitu: a. Daya ledak asiklik, biasanya dilakukan pada olahraga yang gerakannya tidak sama. Contoh olahraga atletik, lompat, lempar. Pada olahraga permainan bolavoli, sepakbola, bola basket, bulutangkis dll. b. Daya ledak siklik, ini biasanya digunakan pada olahraga yang gerakannya sama dan berulang-ulang. Contoh pada olahraga lari cepat, berenang, balap sepeda, dan olahraga yang memerlukan kecepatan

29

tinggi. Nossek (1982) membagi daya ledak menjadi dua bagian berdasarkan aktivitas yang dilakukan yaitu: a. Kekuatan eksplosif ini diterapkan untuk mengatasi atau menanggulangi perlawanan yang lebih rendah dari pada perlawanan yang maksimum, tetapi dengan kekuatan akselarasi maksimum. b. Kekuatan Kecepatan, ini dilakukan melawan perlawanan dengan akselarasi di bawah maksimum. Penggunaan tenaga oleh otot atau sekelompok otot secara eksplosif berlangsung dalam kondisi dinamis. Ini terjadi pada melemparkan benda, pemindahan tempat sebagian atau seluruh tubuh, dan sebagainya hal ini untuk gerakan tunggal atau satu pengulangan. Kekuatan maksimum dan eksplosif atau perkembangan kekuatan kecepatan hendaknya dilatih sejajar (Nossek, 1982). Faktor yang mempengaruhi daya ledak otot lengan bila dilihat lebih mendalam potensi daya ledak seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor ekternal (Berger, 1982). a.

Faktor internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet

sendiri diantaranya: jenis kelamin, berat badan, panjang anggota gerak atas, kebugaran fisik, umur, menunjukkan tingkat kematangan yang dikaitkan dengan pengalaman. Perbedaan dan penambahan umur sangat menentukan kekuatan otot, selain itu dimensi anatomis dan diameter otot (Astrand, 1986).

30

Tenaga mencapai puncak pada umur 20 tahun (Sharkey, 2003). Adapun beberapa faktor internal yaitu:

1.

Jenis Kelamin. Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan dan kecepatan karena adanya hormone testosterone pada laki-laki dan wanita. Perbedaan terjadi sangat mencolok setelah mengalami pubertas karena adanya perbedaan proporsi dan besar otot dalam tubuh. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan dua kali lebih besar daripada wanita (Powers dan Howleys 2004).

2. Berat Badan Berat badan menentukan penampilan. Persen lemak adalah presentasi keseluruhan berat badan yang berlemak. Berat badan seseorang menyebabkan pembesaran massa otot dan juga akan meningkatkan kekuatan. Makin tebal otot makin kuat otot tersebut. Sehingga tebal otot mempengaruhi berat badan. Kekuatan otot erat kaitannya dengan berat badan. Semakin berat badan seseorang karena otot makin tebal maka kekuatan akan bertambah. Tetapi otot kuat belum menjamin akan mempunyai daya ledak tinggi tetapi dengan memiliki otot kuat merupakan modal utama untuk dapat meraih daya ledak yang tinggi. 3. Tinggi badan Tinggi badan adalah jarak dari alas kaki sampai titik

31

tertinggi pada posisi kepala dalam posisi berdiri. Tinggi badan yang lebih tinggi dapat menpengaruhi pertumbuhan organ tubuh lainnya yaitu panjang lengan dan panjang tungkai (Hadi, 2005) 4. Kesegaran jasmani Kesegaran

jasmani

seseorang,

merupakan

salah

satu

parameter dalam memeberikan pembebanan pelatihan, karena tingkat kesegaran jasmani yang kurang dapat mengakibatkan kelelahan sehingga tidak dapat melakukan pelatihan secara maksimal. Semakin baik kapasitas aerobik sesorang akan makin baik pula kebugaran fisiknya (Soekarman, 1986). Kebugaran fisik dapat diukur melalui lari 2,4 km diukur menggunakan stopwatch, yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit dengan

ketelitian

0,01

menit.

Penilaian

kebugaran

fisik

berdasarkan umur dan jenis kelamin dalam tabel (Sajoto, 2002). b.

Faktor Eskternal 1. Suhu lingkungan Suhu

lingkungan

yang

panas

akan

berpengaruh

terhadap aktivitas kerja otot karena akan mempercepat terjadinya pengeluaran keringat. Sebagaian dari volume darah akan dibawa kekulit untuk mengkompessasi kelebihan panas. Hal ini berarti bahwa telah terjadi kekurangan kerja otot didalam melakukan pelatihan. Begitu juga sebaliknya, pada suhu lingkungan yang dingin tubuh akan bereaksi untuk mengimbangi kosentrasi panas

32

tubuh dengan reaksi menggigil, gerakan mengigil memerlukan energi tambahan (Manuaba, 1983).

2. Kelembaban relatif Kelembaban relatif menentukan proses pelatihan karena perbandingan udara basah dan kering sangat menentukan kenyamana dalm pelatihan. Apabila kelembaban udara cukup tinggi atau diatas 90%, maka akan sangat mempengaruhi kesanggupan pengeluaran panas tubuh akibat aktivitas pelatihan melalui evaporasi. Apabila kelembaban udara dibawah 80%, maka

akan

mempengaruhi

keseimbangan

panas

tubuh,

metabolism meningkat akibat aktivitas tubuh untuk mengimbangi suhu dingin sehingga tubuh mengeluarkan energi yang lebih besar untuk

menyesuaikan

suhu

tubuh

dan

suhu

lingkungan.

Kelembaban relatif Indonesia berkisar antara 70-80% (Manuaba, 1983). 2.4.2

Penggunaan Daya ledak dalam olahraga bulutangkis Bulutangkis merupakan olahraga prestasi yang mampu membawa bangsa Indonesia ke prestasi tingkat dunia. Untuk mencapai prestasi seseorang harus menguasai teknik dasar, teknik pukulan dan pola pukulan dari tingkat kesukaran masing-masing. Teknik dasar merupakan penguasaan yang pokok yang harus dikuasai oleh setiap pemain. Adapun teknik pukulan menurut Tohar (1992) terdiri atas (1) pukulan

33

service, (2) pukulan lob, (3) pukulan drive, (4) pukulan dropshot, (5) pukulan pengembalian service, (6) pukulan smash. Dilihat dari teknik pukulan dalam bulutangkis seperti dropshot, lob dan smash, gerakannya diawali dari atas kepala (overhead). Pukulan overhead (atas) yang diarahkan ke bawah. (Tahir, dkk 2004). Dalam Faktor fisik diperlukan adalah daya ledak. Gerakan pukulan overhead lebih banyak didominasi oleh gerakan otot lengan. Oleh karena itu, perlu koordinasi gerak yang baik dari gerakan pukulan lob secara cepat diubah menjadi pukulan dropshot dan berubah ke pukulan smash. Dengan demikian semakin cepat perubahan itu dilakukan maka semakin banyak pula komponen gerakan yang harus dikoordinasikan. Mekanisasi gerakan tubuh yang sama, terjadi pada tiga jenis pukulan clear (pukulan bersih), drop (pukulan jatuh), dan smash (pukulan keras) menurut James (2009). Agar faktor daya ledak otot lengan dapat berkembang optimal, seorang pebulutangkis perlu latihan rutin dan mengarah pada kekhususan dengan memperhatikan pola latihan. Salah satunya dalam pelatihan menarik beban dengan katrol yang gerakannya sama dengan gerakan bulutangkis pada saat melakukan pukulan atas (overhead).

Gerakan melakukan

pukulan overhead yang sesuai dengan pelatihan menarik katrol berbeban dalam bulutangkis: 1. Berat badan berpindah dari kaki kanan ke kaki kiri pada saat badan berputar sehingga menghadap kedaerah sasaran 2. Lengan bergerak keatas mulai dari siku dan lengan bawah serta serta

34

pergelangan tangan berputar ke arah dalam 3. Pada saat raket menyentuh shuttle, pergelangan berubah menjadi lurus 4. Kepala raket mengayun ke bawah dengan pergelangan tangan setinggi dada, sehingga terjadi suatu putaran ayunan penuh dan gerakan akhir ayunan raket menyilang sebelah kiri tubuh (James, 2009).

Gambar 2.2 Gerakan Pukulan overhead (James, 2009) 2.4.3

Pengukuran Daya Ledak Otot Lengan a. Melempar menggunakan bola softball Alat yang digunakan bola softball dengan 198,45 gr dan lingkaran 30,80 cm. Pada tahap pelaksanaan orang coba berdiri melempar bola soptball gerakannya seperti gerakan dalam bulutangkis pukulan atas kepala (overhead). Lemparannya sejauh-jauhnya yang dimulai dari belakang garis batas. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan tiga kali melempar. Skor lemparan diambil dari lemparan terjauh. Jarak diukur diukur dengan satuan sentimeter (Nurhasan, 2000). b. Melempar two hand mendicine ball put. Alat yang digunakan bola medicine dengan berat 6 pound atau 2,7 kg. dan seutas tali. Pada tahap pelaksanaan orang coba duduk tegak

35

dengan punggung menyentuh dinding, sambil kedua tangannya memegang bola medicine sehingga bola tersebut menyentuh dada. Kemudian tangan mendorong bola medicine sejauh-jauhnya. Sebelum orang coba mendorong bola medicine, badan bersandar pada dinding. Hal ini untuk mencegah agar orang coba padawaktu mendorong tidak dibantu oleh badan ke depan. Dalam pelaksanaan diberi kesempatan melempar tiga kali. Skor jarak tolakan terjauh dari tiga kali percobaan, yang diukur mulai dinding tembok, tempat bersandar

sampai batas

tanda dimana bola tersebut jatuh. Jarak diukur dalam satuan sentimeter (Nurhasan, 2008). 2.5

Pelatihan Pembebanan Latihan otot untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya perlu

menggunakan beban yang berupa berat badan sendiri atau beban yang berasal dari luar. Pemberian beban disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki dalam menjalani pelatihan, sesuai dengan tujuan pelatihan, dan juga sesuai dengan cabang olahraganya. (Giriwijoyo, 2008). Pada pelatihan yang menggunakan beban hendaknya berpedoman pada empat prinsip yaitu prinsip overload, prinsip penggunaan beban secara progresif, prinsip pengaturan latihan dan prinsip kekususan program latihan menurut Sajoto (1995). Pada permainan bulutangkis, untuk pelatihan otot lengan menggunakan beban pada daerah 1/3 bawah minimal karena kebutuhan akan daya tahan dalam melakukan pukulan secara beulang-ulang (Giriwijoyo, 2008). Sedangkan (Satriya, dkk., 2007) penggunaan beban untuk daya ledak otot lengan yaitu

36

40-80% dari kemampuan maksimal. 2.5.1. Alat yang digunakan pada pelatihan menarik katrol berbeban a. Beban dengan menggunakan karung berpasir b. Katrol yang digunakan untuk menarik beban c. Tali

Gambar 2.3 Pelatihan menarik katrol 2.5.2. Pelatihan menarik katrol Pelaksanaan pelatihan menarik katrol. Posisi berdiri selebar bahu membelakangi, kaki kiri maju didepan, kedua tungkai sedikit ditekuk kemudian pelaksanaan tangan kanan lurus vertikal yang berada di atas kepala samping dan tangan yang melakukan tarikan memegang pegangan tali. Kemudian menarik katrol/mengayun lengan dengan hentakan sampai di depan dada. Kemudian diulang lagi.

Beban yang digunakan lima kg repetisi

duabelas dan tiga set, istirahat setiap set lima menit. Dan beban lima kg,

37

sembilan repetisi dan empat set. 2.5.3. Struktur angggota gerak atas. 2.5.3.1.Struktur Otot Bahu Menurut Syaifuddin (1996), otot bahu hanya meliputi sebuah sendi saja dan membungkus tulang lengan dan tulang belikat akromion yang teraba dari luar. 1. Muskulus Deltoid (otot segi tiga), otot ini untuk membentuk lengkung bahu dan berpangkal di sisi tulang selangka ujung bahu, balung tulang belikat dan diafise tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan sampai mendatar. 2. Muskulus Subskapularis (otot depan tulang belikat) otot ini mulai dari depan tulang belikat menuju taju kecil pangkal lengan. Fungsinya menengahkan dan memutar tulang humerus ke dalam. 3. Muskulus Suprasuspinatus (otot atas tulang belikat) otot ini berpangkal dilekuk sebelah atas menuju tulang pangkal lengan fungsinya mengangkat lengan. 4. Muskulus. Infraspinatus (otot bawah tulang belikat) otot ini berpangkal di lekuk sebelah bawah tulang belikat dan menuju ke taju besar tulang pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan keluar. 5. Muskulus Teresmayor (otot lengan bulat besar)otot ini berpangkal di siku bawah tulang belikat dan menuju ke taju kecil tulang pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan ke dalam.

38

6. Muskulus Teres minor (otot lengan belikat kecil) otot ini berpangkal di siku sebelah luar tulang belikat dan menuju ka taju besar tulang pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan keluar

Gambar 2.4 Anatomi anggota gerak badan (Widiastuti, 2011) 2.5.3.2. Struktur Otot Lengan Atas Menurut Syaifuddin (1996), otot-otot lengan atas terdiri dari: 1. Otot-otot ketul (fleksor). a. Muskulus Biseps braki (otot lengan kepala dua) kepala yang panjang melekat pada sendi bahu, kepala yang pendek melekat di sebelah luar dan yang kedua di sebelah dalam. Otot itu kebawah menuju tulang pengumpil. Di bawah uratnya terdapat kandung lender. Fungsinya membengkokkan lengan bawah siku, merata hasta dan mengangkat lengan.

39

b. Muskulus Brakialis (otot lengan dalam). Otot ini berpangkal di bawah otot segitiga di tulang pangkal lengan dan menuju taju di pangkal tulang hasta. Fungsinya membengkokkan lengan bawah siku. c. Muskulus korako brakialis. Otot ini berpangkal pada prosesuskorakoid dan menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsinya mengangkat lengan. 2.Otot-otot kedang (ekstensor). Muskulus triseps braki (otot lengan berkepala tiga). a. Kepala luar berpangkal di sebelah belakang tulang pangkal dan menuju ke bawah kemudian bersatu dengan yang lain. b. Kepala dalam di mulai di sebelah dalam tulang pangkal lengan. c. Kepala panjang di mulai pada tulang di bawah sendi dan ketiga-tiganya mempunyai sebuah urat yang melekat di olekrani 2,5.3.3. Struktur Otot Lengan Bawah 1. Otot-otot kedang yang memainkan peranannya dalam pengetulan di atas sendi siku, sendi-sendi tangan dan sendi-sendi jari dan sebagian dalam gerak silang hasta. a. Muskulus ekstensor karpi radialis longus. b. Muskulus ekstensor karpi radialis brevis. c. Muskulus ekstensor karpi ulnaris. d. Digitonum karpi radialis, fungsinya ekstensi dari jari tangan kecuali ibu jari. e. Muskulus ekstensor policis longus, fungsinya ekstensi dari ibu jari D. Gerakan Sendi Bahu

40

Damiri (1994) gerakan-gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu adalah sebagai berikut: 1. Mengayun lengan ke depan (swing forward anteflexion/flexion) 2. Mengayun lengan ke belakang (swing backward/flexion) 3. Mengangkat lengan ke samping menjahui badan (abduction) 4. Menarik lengan dari samping mendekati badan (addunction) 5. Memutar lengan ke arah dalam (inward rotation) 6. Memutar lengan ke arah luar (outward rotaion) 7. Sirkumduksi lengan (circumduction) 8. Menarik lengan dari posisi abduksi ke arah depan (horizontal adduction) 9. Menarik lengan dari posisi antefleksi ke posisi abduksi lengan (horizontal adduction) Pada saat melakukan overhead merupakan gerakan rotasi yang berpangkal pada bahu. Sesuai dengan gerakan yang dapat dilakukan pada sendi bahu yaitu mengayun lengan kebelakang (swing backward atau extention), maka untuk melakukan gerakan overhead tersebut dibutuhkan ruang gerak sendi bahu yang luas, serta elastisitas otot-otot disekitarnya.

41

Gambar 2.5 Anatomi lengan (Anonim. 2011) 2.6. Sistem Energi Latihan Energi didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan. Kerja kita artikan sebagai penerapan tenaga sehingga tenaga dan kerja tidak dapat dipisahkan (Foss dan Keteyian, 1998). Energi diperoleh dari pemecahan glukosa. Karbohidrat glukosa merupakan karbohidrat terpenting dalam kaitannya dengan penyediaan energi di dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena semua jenis karbohidrat baik, monosakarida, disakarida maupun polisakarida yang dikonsumsi oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati. Banyak energi yang digunakan untuk kerja otot tergantung pada intensitas, densitas, frekuensi, dam jenis latihan. Energi yang diperlukan untuk suatu kegiatan

42

atau kontarsi otot tidak dapat diserap langsung dari makanan yang kita makan, akan tetapi melalui proses oksidasi yang terjadi di dalam sel-sel tubuh, karbohidrat ataupun lemak kemudian akan digunakan untuk mensintesis molekul ATP (adenosine triphosphate) yang merupakan molekul-molekul dasar penghasil energi di dalam tubuh. ATP terdiri dari satu molekul adenosine dan tiga molekul phosphate. Energi dibutuhkan untuk kontraksi otot diperoleh dari pembebasan dengan merubah ATP menjadi ADP + Pi (Bompa, 1999). Persediaan ATP dalam sel otot sangat terbatas, walaupun begitu suplai ATP harus secara berkesinambungan diganti lagi untuk memudahkan aktivitas fisik secara berkelanjutan. Jumlah ATP yang terdapat dalam otot, bahkan didalam otot seorang atlet yang berlatih baik, hanya cukup untuk mempertahankan daya tahan otot yang maksimal yang baru terus menerus dibentuk (Guyton dan Hall 2008). ATP diperlukan untuk menyediakan energi kontraksi otot dan daur cross bridge selama kontraksi. Pemecahan ATP yang disebabkan oleh enzim ATPase akan menghasilkan sejumlah energi, dimana energi tersebut akan memberikan kesempatan pada cross bridge yang merupakan kepala dari filamen miosin untuk berputar dan membentuk sudut baru dimana sebelumnya pada fase eksitasi cross bridge saling tertarik dengan filamen aktin, sehingga filamen aktin akan meluncur melewati filamen miosin mengakibatkan kedua filamen tersebut saling tumpangtindih dan terjadilah kontraksi otot. Tanpa ATP filamen aktin tidak akan bisa meluncur melewati filamen miosin. Tetapi persedian ATP di dalam otot hanya sedikit, cukup untuk kontraksi

43

maksimal otot yang berlangsung dalam satu detik. Untungnya tubuh mampu mengisi/melengkapi ATP hampir secepat waktu yang dibutuhkan untuk memecahkannya. Pengisian ATP ini terjadi apabila cadangan molekul bahan bakar seperti karbohidrat dan lemak dipecah untuk menyediakan energi bebas yang dapat dipergunakan bersama-sama ADP dan Pi untuk membentuk ATP (Hairy, Junusul, 1989). ATP senantiasa digunakan setiap kali otot berkontraksi, oleh karena itu ATP harus selalu tersedia. Sedangkan untuk menyediakan ATP saja diperlukan energi. Untuk itu tiga macam proses menghasilkan ATP (Hairy, Junusul, 1989): 1. ATP-PC atau sistem fosfagen. Dalam sistem ini energi untuk resintesis ATP berasal dari hanya satu persenyawaan creatin phosphate (PC). Creatin phosphate akan dipecah yang akan menghasilkan energi untuk mensintesis ADP + P menjadi ATP dan selanjutnya ATP akan dipecah lagi menjadi ADP + P yang akan menyebabkan pelepasan energi yang akan digunakan untuk kontraksi otot. Menurut David (1984) sistem ini sangat penting ketika melakukan latihan yang berat, seperti lari sprint dan angkat berat. 2. Glikolisis anaerobik atau sistem asam laktat (LA) penyediaan ATP berasal dari glukosa atau glikogen. Sistem ini dilakukan dengan memecahkan glukosa atau glikogen yang disimpan dalam sel otot dan hati. Sistem ini akan melepaskan energi untuk meresintesi ADP + P menjadi ATP. Selama glikolisis anaerobik hanya beberapa mol ATP yang dapat diresintesis dari glikogen, jika dibandingkan dengan adanya oksigen. Melalui proses glikolisis ini 4 buah molekul ATP akan dihasilkan serta pada awal tahapan prosesnya akan

44

mengkonsumsi 2 buah molekul ATP sehingga total 2 buah ATP akan dapat terbentuk. 3. Sistem aerobik (O2). Bila suplai oksigen berlimpah dan otot tidak bekerja berat, maka pemecahan glikogen atau glukosa dimulai dengan cara yang sama pada glikolisis anaerobik. Bagaimanapun juga, dalam kondisi aerobik molekul asam piruvat tidak dikonversi menjadi asam laktat, tetapi melewati sarkoplasma masuk ke mitokondria, tempat rangkaian reaksi pemecahan. Di dalam mitokondria asam piruvat hasil proses glikolisis akan teroksidasi menjadi produk akhir berupa H2O dan CO2 di dalam tahapan proses yang dinamakan respirasi selular (Cellular respiration). Proses respirasi selular ini terbagi menjadi 3 tahap utama yaitu produksi Acetyl-CoA, proses oksidasi Acetyl-CoA dalam siklus asam sitrat (Citric-Acid Cycle) serta Rantai Transpor Elektron (Electron

Transfer

Chain/Oxidative

Phosphorylation).

Sistem

aerobik

memerlukan kira-kira dua menit untuk memulai memproduksi energi dalam meresintesis ATP dari ADP + P. Sistem aerobik memecahkan glikogen berdasarkan hadirnya oksigen, sehingga denyut jantung dan pernapasan harus ditingkatkan secara memadai untuk membawa sejumlah oksigen yang dibutuhkan sel otot. Sistem aerobik merupakan sumber energi utama untuk aktivitas olahraga yang berjangka waktu 2 menit sampai 2-3 jam. Aktivitas yang lebih dari 3 jam akan mengakibatkan pemecahan lemak dan protein untuk menggantikan cadangan glikogen yang mendekati habis. Secara umum proses metabolisme secara aerobik akan mampu untuk menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan proses secara anaerobik. Dalam

45

proses metabolisme secara aerobik, ATP akan terbentuk sebanyak 36 buah sedangkan proses anaerobik hanya akan menghasilkan dua buah ATP. Ikatan yang terdapat dalam molekul ATP ini akan mampu untuk menghasilkan energi sebesar 7.3 kilokalor per-molnya. Kebanyakan cabang olahraga dalam kaitannya dengan penggunaan sistem energi sering secara kombinasi. Kegiatan fisik dalam waktu singkat dan eksplosif sebagian besar energi diperoleh dari sistem energi anaerobik (ATP-PC dan LA). Sedangkan kegiatan fisik dalam jangka waktu yang lama, energinya dicukupi dari sistem aerobik. Tabel 2.1 Karakteristik Sistem Energi (Fox, Bower, dan Foss, 1993) Sistem ATP-PC Sistem Asam Laktat (LA) • Anaerobik (tanpa • Anaerobik oksigen) • Sangat cepat • Cepat • Bahan bakar dari : • Bahan bakar dari: PC glikogen • Produksi ATP • Produksi ATP sangat terbatas terbatas • Dengan simpanan • Dengan di otot yang terbatas memproduksi asam laktat, menyebabkan kelelahan otot • Menggunakan • Menggunakan aktivitas lari cepat aktivitas dengan atau berbagai power durasi antara 1-3 yang tinggi dengan menit aktivitas pendek

Sistem Oksigen (O2) • Aerobik • • • •



Lambat Bahan bakar dari: glikogen Produksi ATP bukan tak terbatas Dengan memproduksi kembali, tidak melelahkan Menggunakan daya tahan atau aktivitas dengan durasi yang panjang

Pemahaman setiap pelatihan olahraga dalam menggunakan sistem energi sangat diperlukan. Menurut Nala, (2002) bahwa dalam dunia olahraga kebanyakan atlet menggunakan kedua sistem tersebut baik aerobik maupun anaerobik.

46

Penelitian ini tentang pelatihan menarik katrol berbeban yang menekankan pada perbedaan jumlah set dan repetisi (pengulangan). Pengulangan yang tinggi menurut Nala, (2002) akan menjadikan suatu pelatihan sangat efektif dan sangat baik dalam mengembangkan tipe serabut otot putih yang sangat diperlukan dalam daya ledak eksplosif.

47

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dibuat suatu kerangka konsep sebagai berikut: faktor daya ledak otot lengan sangat diperlukan dalam cabang olahraga bulutangkis. Daya ledak otot lengan dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Program pelatihan harus dilakukan secara sistematis, terencana, teratur, dan berkelanjutan, salah satunya dengan pelatihan beban. Tipe pelatihan yang digunakan sebelumnya memilih komponen biomotorik yang dominan dengan melibatkan semua kelompok otot yang ingin dilatih dan menyesuaikan dengan cabang olahraga. Komponen biomotorik yang dominan dalam cabang bulutangkis adalah daya ledak otot lengan. Daya ledak merupakan kemampuan untuk melakukan aktivitas secara tiba tiba dan cepat mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat. Daya ledak dalam olahraga bulutangkis adalah daya ledak eksplosif, yang melibatkan komponen biomotorik yaitu kecepatan dan kekuatan. Dalam pelatihan daya ledak otot lengan melibatkan beban karung pasir dengan mengayunkan lengan dari belakang atas kepala ke bawah dengan tangan menarik katrol. Daya ledak dipengaruhi baik oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, dan kesegaran

48

jasmani, sedangkan faktor eksternal, seperti suhu lingkungan dan kelembaban relatif. Selain itu untuk mendapatkan daya ledak yang baik kekuatan dan kecepatan harus baik. Upaya untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan pelatihan ayunan lengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan sembilan repetisi, empat set. Pelatihan ini menggunakan frekuensi tiga kali dalam seminggu selama enam minggu.yang disesuaikan dengan takaran jumlah set dan jumlah repetisi. Mengacu pada beberapa landasan teori yang digunakan sebagai acuan dalam membuat kerangka konsep, yaitu: Takaran beban dalam pelatihan daya ledak 40%-80% dari kemampuan maksimal. Pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu sesuai untuk pemula akan menghasilkan peningkatan yang berarti. Takaran pelatihan untuk meningkatkan daya ledak otot lengan dengan bervariasi, kontraksi cepat, dalam repetisi kalau kecepatan berkurang pengulangan dihentikan. Pelatihan daya ledak menggunakan repetisi 12-15 dan set 3-5. Mekanisasi gerakan tubuh yang sama terjadi pada tiga jenis pukulan yaitu pukulan clear, drop dan smash. Dengan melakukan pukulan overhead yang diarahkan ke bawah. Cara yang paling tepat untuk melatih kekuatan otot agar smesannya kuat dengan menarik beban berulangulang mempergunakan katrol.

49

3.2

Konsep Penelitian Berdasarkan uraian dan pendapat tersebut diatas, maka dapat dibuat

bagan:

FAKTOR EKSTERNAL Suhu Kelembaban Penonton Keadaan Lapangan

PELATIHAN Pelatihan menarik beban katrol 5kg, 12 R, 3 set Pelatihan menarik beban katrol 5kg, 9 R, 4 set

Daya Ledak Otot Lengan

FAKTOR INTERNAL Umur Jenis kelamin Berat badan Tinggi badan Indek massa tubuh Kebugaran Fisik

Gambar. 3.1 Konsep 3.3. Hipotesis Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan konsep di atas, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut:

50

1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dua belas repetisi dan tiga set dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1. 2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi dan empat set, dalam tiga kali seminggu selama enam minggu meningkatkan daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1. 3. Pelatihan menarik katrol berbeban lima kg, duabelas repetisi dan tiga set dalam tiga kali seminggu selama enam minggu lebih baik daripada sembilan repetisi, empat set, tiga kali seminggu selama enam minggu dalam meningkatkan daya ledak otot lengan siswa ekstrakurikuler bulutangkis SMK-1.

51

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1

Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan The

Randomized Pre and Post Test design (Pocock, 2008). Rancangan ini memiliki skema sebagai berikut: P1 O1

P

R

O2

S P2 O3

O4

Bagan 4.1 Rancangan Penelitian P

: Populasi

R

: Random

S

: Sampling

O

: observasi daya ledak otot lengan

P1

: Kelompok perlakuan I, pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set

52

P2

: Kelompok perlakuan II, pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set

O1

: observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sebelum pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set

O2

: observasi daya ledak otot lengan kelompok-1 sesudah pelatihan menarik katrol beban lima kg, 12 repetisi, tiga set

O3

: observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 sebelum pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set

O4

: observasi daya ledak otot lengan kelompok-2 setelah pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set

4.2

Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1

Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di lapangan Lumintang Denpasar, karena aktivitas

olahraga SMK-1 dilakukan dilokasi Lumintang selain tempatnya luas. 4.2.2

Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2011.

Waktu pengambilan data dilakukan selama enam minggu, dilakukan tiga kali seminggu, mulai pukul 05.30-07.00 Wita. 4.3

Populasi Dan Sampel

4.3.1

Populasi Populasi penelitian adalah semua siswa kelas I SMK Denpasar yang

memilih kegiatan ekstrakurikuler bulutangkis berjumlah 40 siswa. 4.3.2

Sampel Sampel dalam penelitian ini dari populasi yang memenuhi kreteria inklusi

dan eksklusi sebagai berikut:

53

4.3.2.1 Kriteria inklusi: 1. Bersedia sebagai subjek penelitian dari awal sampai selesai, dengan menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel. 2. Berbadan sehat dan tidak cacat, berdasarkan pemeriksaan dokter. 3. Jenis kelamin laki-laki. 4. Umur 15-16 tahun. 5. Siswa kelas I SMK yang memilih ekstrakurikuler bulutangkis. 6. Berat badan 48,1-68,3 kg. 7. Tinggi badan 152,2-173,5 cm. 8. Indeks Masa Tubuh 18,5-24,9. 9. Kebugaran fisik 10,49-12.10. 4.3.2.2 Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi adalah subjek yang berdomisili di luar Kota Denpasar. 4.3.2.3 Kreteria tidak dilanjutkan sebagai subjek Kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk membatalkan keterlibatan seseorang sebagai sampel: a. Jika dalam pengambilan data orang tersebut tidak masuk atau tidak datang ke lokasi pengambilan data b. Jika selama penelitian orang tersebut tiba–tiba jatuh sakit atau cedera karena kecelakaan c. Jika selama penelitian orang tersebut pindah sekolah d. Jika selama penelitian orang tersebut mengundurkan diri sebagai subjek penelitian.

54

4.3.3

Besar Sampel Besar sampel ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan daya ledak

otot lengan terhadap tujuh siswa kelas SMK yang berumur 15-16 tahun, diperoleh data dengan rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan adalah 26,16 m dengan standar deviasi 3,42. Harapan peningkatan daya ledak otot lengan sebesar

2δ 2 = f (α , β ) kedalam rumus Pocock (2008) sebagai % sehingga besar nsampel disubstitusikan 2

(µ 1 − µ 2 )

berikut: Keterangan: n= jumlah sampel δ = standar deviasi (SD) daya ledak otot lengan=3,42 f(α, β)=7,9 table velue µ 1=rata-rata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan=26,16 m µ 2=harapan peningkatan daya ledak setelah pelatihan (15%)=30,084 m Berdasarkan perhitungan dengan rumus di atas, maka diperoleh hasil = 12, untuk mengantisipasi subjek tidak melanjutkan penelitian ini, maka jumlah sampel untuk tiap kelompok ditambah 15% dari jumlah (n) sehingga jumlah sampel menjadi 14 orang untuk masing-masing kelompok. Total keseluruhan sampel sebanyak 28 (2 kelompok x 14 orang). 4.3.4

Teknik Pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Mengadakan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi berdasarkan kreteria inklusi dan eksklusi dengan cara acak sederhana (simple random sampling) 2. Melakukan pembagian kelompok penelitian sebanyak dua kelompok dengan masing-masing kelompok berjumlah 14 orang. Pembagian kelompok

55

dilakukan dengan cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok I akan menerima perlakuan pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set, dan kelompok II akan menerima perlakuan pelatihan menarik katrol dengan beban lima kg, sembilan repetisi, empat set.

4.4

Variabel Penelitian 4.4.1

Identifikasi variabel

4.4.1.1 Variabel bebas (independent variable). Pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set dan pelatihan lima kg, sembilan repetisi, empat set. 4.4.1.2 Variabel tergantung (dependent variable) Daya ledak otot lengan 4.4.1.3 Variabel kendali (kontrol) adalah umur, berat badan, tinggi badan dan indeks masa tubuh( IMT). 4.4.1.4. Variabel Random adalah kondisi lingkungan 4.4.2

Definisi Operasional Variabel Untuk

menghindari

terjadinya

penyimpangan-penyimpangan

dalam

pengambilan data, maka berikut diuraikan definisi variabel sebagai berikut: 1. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan dua belas repetisi, tiga set. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan 12 kali ulangan yang diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan dengan duabelas kali ulangan menarik katrol sampai pada tiga set.

56

2. Pelatihan menarik katrol beban lima kg dengan sembilan repetisi, empat set. Pelatihan menarik katrol beban lima kg, dengan sembilan kali ulangan yang diselingi dengan istirahat selama lima menit (disebut 1 set), lalu dilanjutkan dengan sembilan kali ulangan menarik katrol sampai pada empat set.

3. Daya ledak otot lengan Kemampuan otot lengan untuk melakukan gerakan secara sentakan tiba-tiba dan cepat dengan mengerahkan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat. Daya ledak otot lengan diukur dengan melempar menggunakan bola softball dengan mengukur jauhnya lemparan dalam satuan sentimeter (cm). Alat yang digunakan bola softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80 cm yang diukur dari garis batas sampai titik jatuh bola dengan meteran Kinglon buatan Jepang dalam satuan centimeter. Dengan cara subjek melemparkan bola softball sejauh jauhnya. Pelaksanaan adalah posisi kaki berdiri dibelakang garis batas, dengan jarak kaki selebar bahu, kaki kiri di depan dan kedua tungkai sedikit ditekuk, lengan dan tangan kanan lurus vertikal di belakang atas kepala memegang bola dengan cara di genggam, lengan dan tangan kiri dalam keadaan bebas, posisi menghadap bentangan tali yang apabila disentuh tepat mengenai pergelangan tangan, kalau lengan kanan diayun ke depan dalam posisi bentuk 300 dari sikap semula. Tes dilakukan selama tiga kali diambil dari jarak terjauh. Hasil yang digunakan sebagai data penelitian dan dicatat dengan ketelitian 0,1 mm. Pelaksanaan

57

pengukuran sebelum dan sesudah pelatihan. Jarak lemparan bola softball merupakan hasil yang menunjukkan seberapa besar kemampuan daya ledak otot lengan. 4. Umur Umur adalah usia dalam tahun berdasarkan tanggal, bulan kelahiran yang tercatat dalam data administrasi sesuai dengan akte kelahiran yang berusia sekitar 15-16 tahun. 5. Jenis kelamin Jenis kelamin laki-laki yaitu jenis kelamin yang telihat penampakkan luar (phenotif) dan kesesuaian yang tertulis dalam administrasi sekolah. 6. Berat badan Berat badan adalah bobot tubuh subjek yang diukur dengan timbangan berat badan merk Tanita dengan ketelitian 0.1 kg. Saat penimbangan tidak menggunakan alas kaki. 7. Tinggi badan Tinggi badan adalah ukuran tinggi badan yang diukur dengan antropometer merk Super buatan Jepang dengan ketelitian 0.1 cm. Subjek berdiri tegak membelakangi alat ukur dan pandangan lurus ke depan. Tinggi badan diukur melalui panjang dari lantai tempat berpijak sampai ubun-ubun (vertex). 8. Indeks Masa Tubuh ( IMT) Indeks masa tubuh adalah nilai komposisi tubuh atau berat badan ideal yang ditentukan dengan berat tubuh (kg) dan kuadrat tinggi badan (m).

58

9. Kebugaran Fisik Kebugaran fisik adalah kategori kebugaran jasmani subjek yang diperoleh melalui kemampuan melakukan lari 2,4 km dengan hasil yang dicatat berdasarkan satuan menit yang dikonversikan dalam skor berdasarkan penilaian Cooper. Waktu yang digunakan menggunakan stopwatch merk Q&Q buatan Jepang dengan tingkat ketelitian 0,01 detik.

10. Suhu udara Suhu adalah suhu kering yang rata-rata yang diukur setiap melakukan penelitian dengan termometer elektronik. Merek Extech buatan Jerman dengan tingkat ketelitian 0.10C. 11. Kelembaban Relatif udara Kelembaban relatif adalah presentase uap air dalam udara yang diukur dengan hygrometer elektronik digital merek Exctech buatan Jerman dengan tingkat ketelitian 1%. 4.5

Alat Pengumpul data Alat ukur atau instrument yang digunakan dalam penelitian: 1. Alat katrol beban yang dirancang khusus untuk pelatihan menarik katrol berbeban. 2. Alat pelatihan dengan katrol dari bahan besi dengan lebar 200 cm dan tinggi 200 cm dan bola soft ball.

59

3. Timbangan berat badan merk Tanita untuk mengukur berat badan yang digunakan pada pelatihan menarik katrol beban dengan ketelitian 0.1 kg. 4. Karung pasir dengan berat lima kg sebagai beban yang ditarik pada pelatihan menarik katrol beban. 5. Antropometer Super buatan Jepang untuk mengukur tinggi badan dalam satuan centimeter (cm) dengan ketelitian 0,1 cm. 6. Stop watch digital merk Q&Q untuk mengukur kecepatan lari 2,4 km, lama waktu istirahat tiap set, dan lamanya pelatihan dalam satu kali pelatihan, denagn ketelitian1/100 detik. 7. Meteran merk Kinglon buatan Jepang. 8. Metronom merk Nikko buatan Jepang untuk mengukur irama gerakan menarik katrol dengan arah gerakan dari belakang atas kepala ke bawah supaya irama gerakan setiap mengangkat beban sama. 9. Norma penilaian tes lari 2,4 km Cooper, untuk mengukur status kebugaran fisik subjek. 10. Termometer merk Extech buatan Jerman untuk mengukur suhu kering lingkungan, satuan 0C, ketelitian 0,1 0C. 11. Higrometer elektronik digital merk Extech buatan Jerman untuk mengukur kelembaban relative udara, ketelitian 1%. 12. Alat-alat tulis untuk mencatat data 13. Kamera digital merk Nikon buatan Jepang yang digunakan untuk mendokumentasikan setiap kegiatan yang berkaitan dengan penelitian ini.

60

4.6

Prosedur Penelitian Prosedur penelitian terdiri dari tahap-tahap penelitian, yang dapat dijelaskan

sebagai berikut: 4.6.1 Tahap Persiapan Tahap persiapan menyangkut : 1. Studi kepustakaan dari buku, jurnal, proseding, internet dan lain-lain yang relevan dengan topik penelitian ini. 2. Mengurus surat-surat penelitian. 3. Meminta

persetujuan

penelitian

kepada

kepala

sekolah

dan

mengkoordinasikan dengan wali kelas serta guru olahraga yang menyangkut jadwal penelitian dan persiapan. 4. Membuat jadwal pelaksanaan penelitian. 5. Menyiapkan alat ukur yang baku dan memiliki ketelitian yang dapat dipercaya dan diakui secara ilmiah. 6. Melakukan uji coba terkait alat yang dirancang khusus yang digunakan pelatihan menarik katrol. Dalam bentuk beban (berupa karung pasir lima kg) digantungkan dengan seutas tali melalui tiga buah katrol. Ujung tali terhubung dengan beban, lengan kanan yang akan menarik. Subjek berdiri dalam posisi tegak dengan sedikit tungkai ditekuk, kaki kiri maju kedepan kemudian tangan kanan menarik katrol berbeban lima kg dari atas kepala di arahkan ke bawah dan kembali ke posisi semula sesuai dengan takaran pelatihan. Posisi tangan kiri bebas. 4.6.2. Tahap Penelitian Pendahuluan

61

1. Memberikan penjelasan tentang pelaksanaan penelitian 2. Menentukan subjek yang akan dilibatkan 3. Melakukan pengukuran pada beberapa variabel, seperti umur, berat badan, tinggi badan dan daya ledak otot lengan 4. Mengolah hasil penelitian pendahuluan untuk menentukan besar sampel dalam penelitian selanjutnya. 5. Pengukuran Kebugaran fisik. Kebugaran fisik diukur dengan tes lari 2.4 km, yaitu subjek berlari dengan menempuh jarak 2.4 km sesuai dengan kemampuan tanpa henti. Waktu tempuh dikonversikan dengan table tingkat kebugaran fisik menurut Cooper. Subjek yang dipilih adalah subjek yang memiliki kategori fisik sedang. 6. Pengukuran berat badan. 7. Pengukuran tinggi badan. 8. Pengukuran daya ledak anggota gerak atas dilakukan dengan bola softball dengan berat 198,45 gr dan lingkaran 30,80 cm. Pengukuran dari garis batas

sampai titik jatuh bola dengan meteran Kinglon buatan

Jepang dalam satuan sentimeter. Pelaksanaan adalah posisi kaki berdiri dibelakang garis batas, dengan jarak kaki selebar bahu, kaki kiri didepan dan kedua tungkai sedikit ditekuk, lengan dan tangan kanan lurus vertikal di belakang atas kepala memegang bola dengan cara di genggam, lengan dan tangan kiri dalam keadaan bebas, lengan kanan diayun ke depan dalam posisi bentuk 300 dari sikap semula. Tes dilakukan selama tiga kali diambil dari jarak terjauh.

62

4.6.3 Tahap Pemilihan dan Penentuan Sampel Prosedur pemilihan dan penentuan sampel menyangkut: 1. Semua siswa yang memenuhi kreteria inklusi dan eksklusi sebagai sampel diberikan dengan nomor urut yang berbeda. 2. Selanjutnya sampel dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan teknik undian sebanyak dua kelompok, yaitu masing-masing kelompok beranggotakan 14 orang.

4.6.4 Tahap Pelaksanaan Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebelum pelaksanaan subjek di berikan penjelasan tentang tujuan, manfaat, jadwal, tempat penelitian, tatalaksana penelitian, dan hak-hak subjek dalam pelaksanaan penelitian. 2. Pengukuran suhu lingkungan dilakukan mulai dari awal pelatihan sampai akhir dengan termometer elektronik merk Excetch buatan Jerman dengan ketelitian 0,1oC. Termometer diaktifkan, kemudian dilihat suhu kering dalam derajat Celcius. Suhu dicatat awal dan diakhir pelatihan kemudian dihitung rata-ratanya. 3. Pengukuran kelembaban relatif udara diukur pada awal sampai akhir dengan menggunakan hygrometer digital. Caranya hygrometer diaktifkan pada saat pelatihan berlangsung dan hasilnya dicatat dalam satuan %.

63

4. Subjek datang 15 menit ke tempat penelitian sebelum pelatihan dimulai. Sesudah istirahat selama lima menit kemudian dilakukan pengukuran denyut nadi dengan metode 1 menit. 5. Subjek dipisahkan menjadi dua kelompok. 6. Melakukan pemanasan selama 15 menit, berupa peregangan, kalistenik dan gerakan spesifik yang dimulai dari leher, bahu, lengan, tangan, badan, pinggul dan anggota gerak atas. 7. Subjek pada kedua kelompok melakukan pelatihan dalam waktu yang sama secara bergantian, selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat). 8. Pada hari Senin kelompok satu (pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, dan tiga set melakukan pelatihan pertama, kemudian selanjutnya pelatihan dilakukan oleh kelompok dua (pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, dan empat set). 9. Pada hari Rabu pelatihan pelatihan pertama dilakukan oleh kelompok II dan dilanjutkan oleh kelompok I 10. Pada hari Jumat pelatihan pertama dilakukan oleh kelompok I, dan dilanjutkan oleh kelompok II, demikian seterusnya pelatihan ini sampai pada enam minggu yang dilakukan secara bergiliran. 11. Selama pelatihan subjek diarahkan oleh rekan-rekan guru olahraga. 12. Setelah enam minggu dilakukan pengukuran daya ledak anggota gerak atas pada kedua kelompok perlakuan dengan mempergunakan bola softball. Hasilnya jauhnya lemparan dengan dicatat dalam satuan

64

sentimeter. Pelaksanaan sama seperti pada saat pengambilan data (awal pretest). 4.7

Prosedur Pengukuran 1. Pengukuran Kebugaran Fisik Kebugaran fisik diukur dengan tes lari 2,4 km, yaitu subjek berlari dengan menempuh jarak 2,4 km sesuai dengan kemampuan tanpa henti. Waktu tempuhnya dicatat kemudian dikonversikan dengan table tingkat kebugaran fisik menurut Cooper. Subjek yang dipilih adalah subjek yang memiliki kategori kebugaran fisik sedang. 2. Pengukuran Berat badan Berat badan diukur dengan timbangan merk Tanita dengan satuan kilogram (kg) dan ketelitian 0,1 kg. Subjek berdiri tegak diatas timbangan memakai pakaian tanpa alas kaki. 3. Pengukuran tinggi badan Pengukuran ini menggunakan antropometer merk Super buatan Jepang dengan ketelitian 0,1 cm dalam satuan centimeter. Subjek berdiri tegak membelakangi alat ukur dan pandangan lurus ke depan. Tinggi badan diukur melalui panjang dari lantai tempat berpijak sampai ubun-ubun (vertex). 4. Pengukuran suhu lingkungan Pengukuran suhu lingkungan dilakukan mulai awal sampai akhir penelitian dengan thermometer elektronik merk Extech buatan Jerman

65

dengan ketelitian 0.1 oC. Termometer diputar selama kurang lebih tiga menit, kemudian dilihat suhu basah dan kering dalam derajat celcius. 5. Pengukuran daya ledak anggota bagian atas (lengan) Pengukuran daya ledak otot lengan atau anggota gerak atas dilakukan dengan menggunakan bola softball. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali dan nilai yang dipakai adalah nilai yang tertinggi. 4.8

Analisis data Berdasarkan data yang diperoleh dianalisis dengan langkah-langkah sebagai

berikut: 1. Statistik deskriptif untuk menganalisa umur, tinggi badan, berat badan, indeks massa tubuh, dan kebugaran fisik, daya ledak otot lengan. 2. Uji Normalitas data (daya ledak otot lengan sebelum perlakuan) dengan Shapiro-Wilk Test yang bertujuan untuk mengetahui distribusi data masing masing kelompok perlakuan. Batas kemaknaan 0,05 atau tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%. 3. Uji homogenitas data (daya ledak otot lengan sebelum

dan sesudah

perlakuan) dengan Lavene Test, bertujuan untuk mengetahui variasi data. Batas kemaknaan 0,05 atau tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%. 4. Uji Beda a. Uji t paired digunakan untuk menganalisis rerata peningkatan daya ledak otot lengan antara sebelum dan sesudah perlakuan pada masingmasing kelompok, untuk data yang berdistribusi normal.

66

b. Untuk data yang tidak berdistribusi normal dianalisis menggunakan Uji Wilcoxon. c. Data berdistribusi normal menggunakan uji statistik parametrik yaitu One Way ANOVA (Analisis Of Varians) pada taraf kemaknaan p = 0,05 untuk membandingkan pengaruh pelatihan pada kelompok kontrol, pelatihan a, pelatihan b.

4.9. Alur Penelitian Populasi

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

Sampel

Alokasi acak sederhana

Kelompok I (P1)

Tes awal

Kelompok II (P2)

Tes awal

67

Perlakuan selama enam minggu Pelatihan menarik beban katrol lima kg, dua belas repetisi, tiga set

Perlakuan selama enam minggu Pelatihan menarik beban katrol lima kg, sembilan repetisi, empat set set

Tes akhir

Tes akhir

Analisis data

Penyusunan Tesis Gambar. 4.2 Alur penelitian

BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan di SMK Negeri-1 Denpasar selama enam minggu. Subjek penelitian berjumlah 28 orang, yang terdiri dalam dua kelompok perlakuan dengan masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Kelompok perlakuan satu diberikan pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi tiga set, sedangkan kelompok dua diberikan pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi empat set. Hasil penelitian disajikan dalam pembahasan berikut. 5.1

Analisis Deskriptif Karakteristik subjek Penelitian Karakteristik subjek penelitian yang meliputi: umur, berat badan, tinggi

badan, indeks masa tubuh, dan kebugaran fisik sebelum pelatihan pada kedua kelompok. Karakteristik dapat dilihat pada Tabel 5.1.

68

Tabel 5.1 Karakteristik Fisik siswa SMK Negeri -1 Denpasar Karakteristik Subjek

KLP-1 Rerata ±SB

KLP- 2 Rentang

Rerata ±SB

Rentang

Umur (th)

16,21 ± 0,30

15,66-16,83

16,12 ± 0,41

15,58-16,75

Berat badan (kg)

57,36 ± 13,61

41-82

55,00 ± 9,44

41-76

Tinggi badan (cm)

168,21 ± 6,12

158-180

165,79 ± 8,08 153-178

IMT (kg/m2)

20,62 ± 3,61

17,14-27,86

20,76 ± 2,54

17,31-25,4

Kebugaran Fisik (mnt)

12,07 ± 1,30

10.30-14.56

11,91 ± 1,33

10.10-14.14

Keterangan: SB

= Simpangan Baku

KLP-1= Kelompok-1 (pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set) KLP-2= Kelompok-2 (pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set) 5.2

Lingkungan Penelitian Kondisi lingkungan yang diukur selama pelaksanaan penelitian adalah suhu,

dan kelembaban relatif udara. Hasilnya dicantumkan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Karakteristik Suhu dan Kelembaban Relatif Udara Lingkungan Pelatihan Keadaan lingkungan

Rerata ± SB

Maksimum

Minimum

Suhu (0C)

25,89 ± 117

28,40

24,30

Kelembaban (%)

69,78 ± 4,82

79,00

65,00

Berdasarkan Tabel 5.2 maka rentang suhu berkisar antara 24,3-28,4°C sedangkan kelembaban relatif berada pada 65% sampai 79%. Kondisi lingkungan selama pelatihan dan pengukuran dapat diadaptasi oleh subjek penelitian karena mereka bertempat disekitar lokasi tersebut dan juga digunakan sebagai tempat latihan

69

olahraga. Dengan demikian kondisi lingkungan nyaman untuk pelaksanaan pelatihan. 5.3

Uji Normalitas Data dan Homogenitas Daya Ledak Otot Lengan Sebagai prayarat untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan maka

dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas data hasil daya ledak otot lengan dengan menggunakan tes melempar bola softball sebelum dan sesudah pelatihan. Uji Normalitas dengan menggunakan uji Saphiro Wilk Test, sedangkan uji homogenitas menggunakan Levene Test, semua variabel bebas dan tergantung. Berdasarkan hasil uji normalitas (Saphiro Wilk-Test) dan uji homogenitas (LeveneTest) data daya ledak otot lengan bahwa sebelum dan sesudah pelatihan pada kedua kelompok menunjukkan bahwa dari kedua uji tersebut memiliki nilai p lebih besar dari 0,05 yang berarti data ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan berdistribusi normal dan homogen (lampiran XIII), oleh karena itu maka uji yang dilakukan adalah uji parametrik. 5.4.

Data Hasil Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah Pelatihan, Siswa SMK-1 Denpasar Data hasil daya ledak bertujuan untuk membandingkan rerata daya ledak

otot lengan antar kelompok pelatihan sebelum dan sesudah pelatihan. Dengan hasil analisis kemaknaan dengan uji t berpasangan, yang disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Data Hasil Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah Pelatihan siswa SMK-1 Denpasar No

1

Kelompok

I

Sebelum

Sesudah

Mean

SD

Mean

SD

29,56

5.37

35,79

5.78

70

2

II

29,52

4.40

31,80

4.19

Tabel 5.. diatas, menunjukkan bahwa data hasil daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan kedua kelompok pelatihan memiliki nilai p lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti pada masing-masing kelompok terjadi peningkatan daya ledak otot lengan secara bermakna. Dengan demikian pelatihan menarik katrol beban lima kg, duabelas repetisi, tiga set dan pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set dapat meningkatkan daya ledak otot lengan. Rerata peningkatan daya ledak otot lengan pada kelompok-1 lebih besar daripada kelompok-2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan kelompok satu menghasilkan peningkatan daya ledak otot lengan lebih besar daripada pelatihan kelompok-2. 5.5.

Perbedaan Peningkatan Daya ledak Otot Lengan Sesudah Pelatihan antara kelompok I dan kelompok II Perbedaan peningkatan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan pada

masing-masing kelompok disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Perbedaan Peningkatan Daya Ledak Otot Lengan Sebelum dan Sesudah Pelatihan antar kelompok-1 dan kelompok-2 Pelatihan

I

II

Sebelum

29,56

29,52

Sesudah

35,79

31,80

Selisih

6,23 m ( 21,07%)

2,28 m (7,73%)

71

Tabel 5.4 menunjukkan perbedaan peningkatan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan pada masing masing kelompok. Berdasarkan persentase rerata peningkatan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan selama enam minggu tmenunjukkan bahwa persentase rerata peningkatan daya ledak otot lengan pada kelompok satu yaitu pelatihan menarik katrol beban lima kg, dua belas repetisi, tiga set

lebih besar daripada kelompok

pelatihan menarik katrol beban lima kg,

sembilan repetisi, empat set. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelatihan menarik katrol beban beban lima kg, dua belas repetisi, tiga set menghasilkan peningkatan daya ledak otot lengan lebih baik dibandingkan dengan pelatihan menarik katrol beban lima kg, sembilan repetisi, empat set. 5.6 Analisis Efek Perlakuan Antar Kelompok Analisis perbedaan efek perlakuan diuji berdasarkan gain score (selisih nilai pretes dan postes) daya ledak otot lengan antar kelompok pelatihan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada tabel 5.5 berikut. Tabel 5.5 Hasil Uji perbedaan Gain Score daya ledak otot lengan kelompok 1 dan kelompok 2 Kelompok

Rerata

SD

Kelompok 1

6,23

2,03

Kelompok 2

2,28

1,16

t

p

6,299

0,000

Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata gain score daya ledak otot lengan kelompok 1 sebesar 6,23 dan rerata gain score daya ledak otot lengan kelompok 2 adalah 2,28. Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan nilai t =

72

6,299 dan nilai p = 0,000. Hal ini berarti bahwa antara kelompok 1 dan kelompok2 setelah diberi perlakuan, rerata daya ledak otot lengannya berbeda secara bermakna (p0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian memiliki karakteristik tinggi badan dan berat badan yang tidak berbeda bermakna. Dengan demikian rerata berat badan ini berada pada mal nutrisi ringan sampai normal yang diambil pada persentil ke-50 standar WHO (Soetjiningsih, 1995) sehingga berdasarkan berat badan dan tinggi badan subjek tidak ada kekurangan gizi yang berarti aktivitas pelatihan dapat dilakukan dengan baik. Indeks masa tubuh subjek penelitian pada kelompok-1 adalah 20,62 kg/m2 sedangkan kelompok-2 adalah 20,76. Kg/m2. Indeks massa tubuh merupakan rasio berat dan tinggi badan yang sering digunakan untuk mengukur komposisi tubuh, khususnya menggunakan skala pada battery fitnesgram. Berdasarkan indeks masa tubuh pada kedua kelompok, subjek penelitian berada dalam kategori normal yang berkisar antara 18,5-24,9 (Atmojo, 2007). Rentang waktu tempuh tes lari 2,4 km subjek penelitian pada kelompok-1 adalah 12,07.dan kelompok-2 adalah 11,91. Subjek penelitian pada kedua kelompok menunjukkan bahwa kebugaran fisik

74

berada pada kategori sedang untuk usia 15-16 tahun. Berdasarkan Cooper, 1980 ditinjau dari umur termasuk dalam usia 13-19 tahun dengan rentangan waktu 10:4512:10 untuk putra. Derajat kesegaran jasmani seseorang sangat menentukkan kemampuan fisiknya dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, semakin tinggi derajat kesegaran jasmani seseorang semakin tinggi pula kemampuan kerja fisiknya (Satriya, dkk 2007). Dengan memiliki kebugaran fisik kategori sedang diasumsikan subjek mampu melakukan pelatihan yang akan diberikan dengan baik. Selain itu atlet yang memiliki kesegaran jasmani yang baik akan terhindar dari kemungkinan cidera yang biasanya terjadi jika melakukan kerja fisik yang berat. 6.2

Karakteristik Lingkungan Penelitian

Pelatihan dilaksanakan di SMK-1 Denpasar pada pukul 05.30-07.00 wita dengan variasi suhu 24,3-28,4°C, dan kelembaban relatif berada pada 65%-79%. Berdasarkan data kelembaban relatif tempat pelatihan berlangsung masih dalam batas nyaman. Daerah yang nyaman bagi orang Indonesia untuk melakukan aktivitas pelatihan adalah pada kelembaban relatif yang berkisar antara 70-80% (Manuaba,1983). Dengan demikian subjek penelitian terbiasa dengan lingkungan tempat pelatihan. Lingkungan yang nyaman akan berdampak mengurangi pengeluaran keringat berlebihan sehingga subjek dapat melakukan pelatihan dengan baik. 6.3. Distribusi dan Varians Subjek Penelitian Distribusi subjek penelitian kedua kelompok sebelum dan sesudah pelatihan, dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk Test dan uji homogenitas dengan Levene Test. Data Daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan pada

75

kedua kelompok menunjukkan nilai p lebih besar dari 0,05. Dengan demikian data daya ledak otot lengan sebelum dan sesudah pelatihan pada kedua, sehingga uji selanjutnya digunakan uji parametrik (Dahlan, 2004). 6.4. Perbedaan Daya ledak Otot lengan Sebelum Pelatihan Perbedaan daya ledak otot lengan sebelum pelatihan diantara kedua kelompok pelatihan diuji dengan uji t-tidak berpasangan. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p untuk daya ledak otot lengan sebelum pelatihan di antara kedua kelompok pelatihan lebih besar dari 0,05 tercantum pada lampiran XIV. Hal ini berarti rerata daya ledak sebelum pelatihan di antara kedua kelompok pelatihan tidak berbeda bermakna. Dengan demikian daya ledak otot lengan sebelum pelatihan diantara kelompok-1 dan kelompok-2 adalah sebanding. Oleh karena itu, apabila terjadi perbedaan daya ledak otot lengan sesudah pelatihan, hal ini disebabkan oleh pelatihan yang diterapkan.

6.5 Pengaruh Pelatihan terhadap daya ledak otot lengan Berdasarkan hasil tes daya ledak otot lengan selama pelatihan selama enam minggu dari tes awal sampai test akhir diperoleh rerata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan 29,56 m dan setelah pelatihan 35,79 m dengan selisih 6,23 m daya ledak otot lengan pada kelompok-1. Rerata daya ledak otot lengan sebelum pelatihan pada kelompok-2 adalah 29,52 m dan 31,80 setelah pelatihan 31,80 m dengan selisih daya ledak 2,28 m.

76

Analisis data tes daya ledak antara tes awal dan tes akhir pada masing masing kelompok dengan menggunakan paired t test (tabel 5.4), didapatkan bahwa rerata daya ledak sebelum dan sesudah pelatihan diperoleh nilai p15'13"

>16'01"

>16'31"

>17'31"

>19'01"

>20'01"

>18'21"

>19'01"

>19'31"

>20'01"

>21'31"

>21'01

12'11"-15'30" 14'01"-16'00" 14'44"-16'30"

15'36"-17'30"

17'01"-19'00"

19'01"-20'00"

16'55"-18'30" 18'31"-19'00" 19'01"-19'30"

19'31"-20'00"

20'01"-20'30"

20'31"-21'00"

10'49"-12'10" 12'01"-14'00" 12'31"-14'45"

13'01"-15'35"

14'31"-17'00"

16'16"-19'00"

11'31"-16'54" 15'55"-18'00" 16'31"-19'00"

17'31"-19'30"

19'0"-20’00"

19'31"-20'30"

09'41"-10'48" 10'46"-12'00" 11'01"-12'30"

11'31"-13'00"

13'31"-14'30"

14'00"-16'16"

12'30"-14'30" 13'31"-15'54" 14'31"-16'30"

15'56"-17'30"

16'31"-19'00"

17'31"-19'30"

08'37"-09'40" 09'45"-10'45" 10'00"-11'00"

10'30"-11'30"

11'00"-12'30"

11'15"-13'59"

11'50"-12'29" 12'30"-13'30" 13'00"-14'30"

13'45"-15'55"

14'30"-16'30"

16'30"-17'30"