Tesis - Universitas Udayana

65 downloads 326 Views 4MB Size Report
rahmat-Nya, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan pada waktunya untuk memenuhi ... Keberadaan Tempat Pembuangan Akrhir (TPA) memang diperlukan oleh.
TESIS

RESPONS MASYARAKAT SETEMPAT TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR DI DESA TEMESI KABUPATEN GIANYAR

I MADE PUTRA ARIANA NIM 0890261030

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

i

RESPONS MASYARAKAT SETEMPAT TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR DI DESA TEMESI KABUPATEN GIANYAR

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana

I MADE PUTRA ARIANA NIM 0890261030

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

ii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 27 JULI 2011

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Ir. I D.K Harya Putra, M.Sc.,Ph.D. NIP. 19480813 197503 1 001

Dr. Putu Sukardja, M.Si NIP. 19520622 198503 1 001

Mengetahui

Ketua Program S2 Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Direktur, Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S NIP. 19430521 198303 2 001

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 19590215 198510 2 001

iii

TESIS INI TELAH DIUJI Oleh Panitia Penguji Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana pada Tanggal 27 Juli 2011

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No : 1170/UN.14.4/HK/2011 tanggal 11 Juli 2011

Panitia Penguji Usulan Penelitian Tesis adalah : Ketua : Prof. Ir. I D.K Harya Putra, M.Sc.,Ph.D. Anggota : 1. Dr. Putu Sukardja, M.Si 2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S 3. Prof. Dr. I Gde Semadi Astra 4. Dr. I Gede Mudana, M.Si

iv

UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena rahmat-Nya, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan pada waktunya untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi Strata-2 pada Program Studi Magister Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, dengan judul tesis Respons Masyrakat Setempat Terhadap Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Tulisan ini dapat terselesaikan berkat bantuan maupun kerja sama berbagai pihak. Sehubungan dengan itu penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus semoga Tuhan membalas segala budi baik yang telah diberikan kepada penulis, secara khusus kepada : (1)

Prof. Ir. I D.K Harya Putra, M.Sc.,Ph.D. selaku pembimbing I yang telah

memotivasi

kekeluargaan, dan

dan

mengarahkan

penulis

dengan

penuh

Dr. Putu Sukardja, M.Si, selaku pembimbing

II yang memberi arahan dalam penyelesaian tesis ini. (2)

Terima kasih para penguji tesis kepada Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S, Prof. Dr. I Gde Semadi Astra dan Dr. I Gede Mudana, M.Si yang telah memberikan arahan untuk kesempurnaan tesis.

(3)

Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S, Ketua Program Studi Magister Kajian Budaya Program Studi Pascasarjana Universitas Udayana dan Sekretaris Dr. I Wayan Redig yang telah memberikan peluang seluas-luasnya kepada penulis untuk menempuh pendidikan Program Studi Magister Kajian Budaya di Universitas Udayana ini.

v

(4)

Para informan anggota Masyarakat Desa Temesi

dan Anggota

Subak Temesi Gianyar serta informan pendukung lainnya yang sangat membantu penulisan ini. (5)

Kepada staf administrasi dan staf perpustakaan S2 Kajian Budaya yang

telah

memberikan

kemudahan

dalam penulis

sebagai

karyasiswa di program Kajian Budaya. (6)

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman Angkatan "de ngaden awak blog" Kajian Budaya Bali 2008, temanteman seperjuangan kelas sore dan pagi, yang selalu memberikan masukan dan dorongan moral kepada penulis.

(7)

Terima

kasih

yang

tidak

terhingga

kepada

istri

tercinta

Ni Nyoman Budiani atas kesabaran dan dukungan moral selama penulis menempuh studi di Program Kajian Budaya. Kepada semua keluarga yang selalu memberi rasa nyaman dan mendoakan penulis. Akhirnya, meski dengan kerja keras untuk mewujudkan satu karya terbaik, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan yang menjadi tanggung jawab penulis sendiri, semoga pembaca dapat memaklumi. Dengan rendah hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembaca budiman untuk memberikan masukan dan saran yang konstruktif untuk penyempurnaannya. Semoga tulisan ini memberikan sumbangan ilmiah serta bermanfaat bagi pengembangan keilmuan secara umum, khususnya kajian budaya. Denpasar , 06 Juni 2011Penulis

vi

ABSTRAK Manusia dalam aktivitasnya tidak terlepas dari kebutuhan terhadap ruang. Ruang tersebut diperlukan dalam usaha meningkatkan status kualitas hidupnya, yaitu dengan mengolah sumber daya, baik itu sumber daya alam ataupun sumber daya manusia itu sendiri. Disadari atau tidak, dalam proses pemanfaatan sumber daya itu, manusia menghasilkan sampah, dan sampah akan menyebabkan pencemaran lingkungan Keberadaan Tempat Pembuangan Akrhir (TPA) memang diperlukan oleh suatu daerah karena sampah senantiasa diproduksi oleh masyarakat. Selama masyarakat terus berkembang maka produksi sampah pun semakin besar. TPA sebagai terminal akhir sampah memerlukan ruang dalam menampungnya. Penempatan ruang itu tentunya memerlukan perencanaan dan pemikiran yang sangat matang dari pengelola serta sudah barang tentu pemerintah daerah sebagai pemilik dan penyedia fasilitas itu. Dibangunnya TPA Desa Temesi merupakan usaha pemerintah Kabupaten Gianyar dalam memberi pelayanan pengelolaan sampah kepada seluruh masyarakat Gianyar. Akan tetapi, hal tersebut telah menjadikan masyarakat desa Temesi mengalami keterpinggiran dan keterpurukan. Akibatnya timbul berbagai respons dari masyarakat setempat. Respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Ganyar menarik untuk diteliti secara kajian budaya. Permasalahan yang dibahas mencakup pertanyaan-pertanyaan bagaimana, mengapa muncul dan apa dampak dan makna respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan-permasalan tersebut yaitu dengan menggunakan teori hegemoni, teori praktik, dan teori ekologi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui teknik analisi deskriptif-kualitatif dan interpretatif yang dibantu oleh teknik pengumpulan data yang mencakup wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penelitian respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar mencakup respons positif, respons negatif, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat setempat, ketidaksiapan masyarakat setempat dalam menerima TPA yang merupakan bentuk pelayanan pemerintah kepada masyarakat Gianyar, upaya pemerintah kabupaten menciptakan suasana bersih, indah dan lestari serta kekawatiran masyarakat setempat akan ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan di Desa Temesi. Respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar baik yang positif maupun negatif muncul dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor sosialbudaya, faktor ekonomi dan faktor kesehatan. Semua faktor tersebut berfungsi untuk mendorong timbulnya berbagai respons dari masyarakat setempat terkait keberadaan TPA di Desa Temesi. Respons masyarakat setempat terhadap Keberadaan TPA Temesi menghadirkan dampak dan makna yaitu, sosial-budaya, ekonomi dan ekologi. Kata Kunci: TPA Temesi, dampak, respons, masyarakat setempat

vii

ABSTRACT Man during their activities can not be separated from their needs of land or space. The land is needed in their effort to improve their quality of life, such as by processing the available resources – the natural and human resources. Unavoidably, such processes generate wastes or garbage, which in turn, may cause environmental pollution. The presence TPA in any region is really required; wastes are continually produced by community. As the community undergo massive grow, more and more wastes must be disposed or processed accordingly. TPA is the final place to dispose wastes or garbage; its placement and construction should be planned accurately and then be managed properly. It is considered as a property belonging to local government. The construction and operation of TPA in the village of Temesi, Gianyar Region is actually a kind of effort of the local government of Gianyar to solve garbage problem facing by various communities in this region; the ultimate target is to keep Gianyar clean. It is a wise and good decision of the local government. However, how the local people of Temesi respond to the presence of final depot of garbage in their area? The garbage depot certainly brings so many inconveniences to the local people in addition to positive impacts that may occur. The response of the local people of Temesi towards the presence of TPA is interested to study or discover from cultural study point of view. The issues discussed include how and why they responded, what sort of impacts faced by them, and what are the meanings of responses shown by the local people. In the present study, theories of hegemony, conflict, practices, and unorthodox ecology were employed. Furthermore, a qualitative approach through descriptive-qualitative analysis and interpretative was used. Data collection was done by following interview, observation, and documentation techniques. From the current study, we discovered responses including positive and negative ones, perceptions, attitudes, and behavior of the local people. The local people are indeed aware that the construction and operation of TPA Temesi is an effort of the government of Gianyar to create and maintain Gianyar as a clean and beautiful region in Bali. It is an important task in order to keep Gianyar as one of the popular tourist destination. Nevertheless, the response of the local people are related or influenced by many factors, such as social, cultural, economy as well as health consideration. These in turn resulted in impacts and their meanings in the field of social, cultural and ecology. Key words: TPA Temesi, impacts, responses, local community

viii

RINGKASAN Jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat telah meningkatkan jumlah volume sampah, jenis dan keberagaman karakteristik sampah. Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi serta meningkatnya usaha atau kegiatan penunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan. Meningkatnya volume sampah memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah yang tidak menggunakan metode dan teknik pengelolaan sampah yang ramah lingkungan selain akan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan juga akan sangat mengganggu kelestarian fungsi lingkungan baik lingkungam pemukiman, persawahan, sungai, dan yang lainnya Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya, sampah dapat digolongkan menjadi: 1) sampah yang mudah membusuk, yang terdiri atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan, dan lain-lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan 4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit, yang mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya. Untuk mewujudkan Kabupaten Gianyar bersih dan hijau, Pemerintah telah mencanangkan berbagai program yang pada dasarnya bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sampah. Salah satunya adalah pendirian TPA. Pembangunan TPA di Desa Temesi telah mampu membantu pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar; terbukti dari beberapa kali mengantarkan Kota Gianyar meraih Tropi Adipura. Walaupun telah mendapat Tropi Adipura, bukan berarti tidak terdapat permasalahan sampah, dan pencemaran lingkungan, khususnya di sekitar TPA Desa Temesi. Keberadaan

ix

TPA Desa Temesi Kabupaten Gianyar telah menimbulkan berbagai respons dari masyarakat setempat, yang tidak jarang menimbulkan konflik berkepanjangan, baik dengan pengelola, pemerintah Daerah, dan juga dengan masyarakatnya sendiri. Respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar menjadi menarik untuk diteliti dengan tiga rumusan masalah yang dinyatakan dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar? 2. Faktor- faktor apa yang menyebabkan munculnya respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar ? 3. Apa dampak dan makna respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar? Penelitian ini dirancang sebagai sebuah penelitian kualitatif yang pengumpulan datanya menggunakan teknik wawancara, observasi, dokumentasi, dan perpustakaan dengan analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan interpretatif dengan tiga teori yang digunakan secara efektif, yaitu teori hegemoni, teori praktik, dan teori ekologi. Berbicara mengenai hegemoni tentu tidak bisa lepas dari nama Antonio Gramsci. Menurut Gramsci, konsep hegemoni dipahami sebagai berikut: hegemoni sebuah kelas politik mengandung pengertian bahwa kelas tersebut telah berhasil membujuk kelas-kelas lainnya dalam masyarakat untuk menerima nilainilai moral, politik, maupun kulturalnya (Strinati, 2003: 189). Dinyatakannya, bahwa hegemoni merupakan sebuah upaya pihak elite penguasa yang mendominasi untuk menggiring cara berpikir, bersikap, dan menilai masyarakat agar sesuai kehendaknya. Sebuah kelas dikatakan telah berhasil, jika ia berhasil mempengaruhi kelas masyarakat yang lain untuk menerima nilai-nilai moral, politis, dan kultural. Konsep ini mengasumsikan sebuah konsen sederhana oleh mayoritas populasi untuk arah tertentu yang diusulkan oleh mereka dengan kekuatan. Bagaimanapun juga konsen ini tidak selalu aman dan damai, malahan

x

dapat mengkombinasikan kekuatan psikis atau koersi dengan pancingan atau dorongan intelektual, moral dan kultural. Konsen ini dapat dipahami sebagai “common sense”, sebuah alam budaya di mana ideologi dominan dipraktekkan dan tersebar. Sesuatu yang muncul dari perlawanan kelas sosial dan membentuk serta mempengaruhi pikiran orang. Keberadaan TPA Temesi telah menyebabkan terjadinya berbagai respons dari masyarakat setempat, dan tidak jarang menimbulkan konflik di masyarakat akibat berbagai dampak negatif yang ditimbulkan. Keinginan masyarakat setempat terbebas dari hegemoni kekuasan pemerintah terkait keadaan lingkungan yang kotor, kumuh, dan kerusakan lingkungan di sekitar TPA, serta keinginan masyarakat membebaskan diri dari bentuk ketepurukan konflik

telah menimbulkan

di kalangan masyarakat. Teori hegemoni mengupas permasalahan

respons masyarakat

setempat terkait keberadaan TPA Temesi, dibantu teori

praktik sosial dan teori ekologi. Pemikiran Pierre Bourdieu boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam wacana sosiologi. Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya Bourdieu yang ditopang oleh ide lain, seperti kekuasaan simbolik, strategi, dan perebutan (kekuasaan simbolik dan material), beserta berbagai jenis modal (ekonomi, budaya, dan simbolik). Habitus adalah konsep kunci dalam memahami pemikiran Bourdieu, yang diartikan sebagai struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial (Harker 1990 : xviii). Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang berada dalam ruang sosial. Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antarposisi objektif dalam tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individual. Ranah mengisi ruang sosial, yang mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Sebaliknya praktik adalah produk dari relasi antara habitus dengan ranah, yang keduanya merupakan produk sejarah. Dalam ranah inilah ada pertaruhan kekuatan antarorang yang memiliki modal. Konsep modal dari Bourdieu lebih luas dari pada sekadar modal material, yakni bisa juga berupa modal ekonomi, modal intelektual maupun modal kultural. Karena itu, secara

xi

ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Rumus ini menggantikan setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal. Teori Bourdieu ini, bisa dijadikan rujukan teori yang sesuai manakala peneliti melihat realitas kehidupan sosial dalam masyarakat di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Dalam pengelolaan lingkungan

misalnya, mengapa para

pengambil kebijakan tidak begitu peduli terhadap isu-isu kesehatan dan kelestarian lingkungan, serta

pemberdayaan masyarakat setempat khususnya

kelas bawah. Teori Bourdieu inilah akan sangat relevan

untuk membahas

permasalahan yang kedua yaitu : faktor-faktor yang menyebabkan munculnya respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi. Hasil penelitian respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di desa Temesi ada beberapa hal, yang mencakup berbagai respons masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, persepsi masyarakat setempat baik positif dan negatif, serta berbagai sikap dan perilaku masyarakat setempat. Respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi, yang selama ini diiringi dengan protes dan konflik, tetapi tidak sampai pada tingkat yang membahayakan apalagi sampai menimbulkan kekacauan. Sebenarnya masyarakat setempat tidak siap dalam menerima keberadaan TPA tersebut, meskipun semua itu merupakan bentuk pelayanan Pemerintah Kabupaten Gianyar kepada seluruh maayarakat, tidak terkecuali masyarakat Desa Temesi itu sendiri. Di samping itu, itu merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan Kabupaten Gianyar yang bersih, asri dan indah. Akan tetapi sebagian besar

masyarakat setempat

menganggap TPA tersebut sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup mereka, karena akan menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Masyarakat setempat dalam memberikan responnya terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi disebabkan oleh beberapa faktor baik positif maupin negatif di antaranya faktor sosial-budaya, faktor ekonomi dan faktor kesehatan. Semua faktor tersebut saling terkait satu sama lainnya dan berfungsi untuk mendorong memunculkan respons masyarakat setempat. Munculnya

xii

berbagai respons

masyarakat setempat yang terkait keberadaan TPA di Desa Temesi merupakan penggambaran teori praktik sosial melalui konsep habitus, ranah, serta modal sebagai faktor pembentukan respons, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat setempat di Desa Temesi . Dampak dan makna respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar baik yang positf maupun negatif adalah dampak sosial-budaya, dampak ekonomi, dampak ekologi, makna sosisal-budaya, makna ekonomi, dan makna ekologi. Dampak dan makna respons masyarakat setempat itu dianalisis dengan menggunakan teori ekologi.

xiii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL................................................................................................i PRASYARAT GELAR...........................................................................................ii LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................iii UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................................v ABSTRAK.............................................................................................................vii ABSTRACT..........................................................................................................viii RINGKASAN.........................................................................................................ix DAFTAR ISI.........................................................................................................xiv DAFTAR TABEL..................................................................................................xx DAFTAR GAMBAR............................................................................................xxi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................7 1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................7 1.3.1 Tujuan Umum.................................................................................................7 1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................................8 1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................8 1.4.1 Manfaat Teoretis.............................................................................................8 1.4.2 Manfaat Praktis...............................................................................................9

xiv

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KONSEP DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka..................................................................................................10 2.2 Konsep ............................................................................................................16 2.2.1 Respons Masyarakat Setempat......................................................................16 2.2.1.1 Respons......................................................................................................16 2.2.1.2 Masyarakat.................................................................................................21 2.2.1.3 Masyarakat Setempat.................................................................................23 2.2.2 Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)...........................................25 2.2.2.1 Keberadaan.................................................................................................26 2.2.2.2 Tempat Pembuangan Akhir (TPA)............................................................28 2.3 Landasan Teori.................................................................................................31 2.3.1 Teori Hegemoni............................................................................................31 2.3.2 Teori Praktik.................................................................................................33 2.3.3 Teori Ekologi ...............................................................................................35 2.4 Model Penelitian..............................................................................................39

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian.......................................................................................44 3.2 Lokasi Penelitian..............................................................................................44 3.3 Jenis dan Sumber Data ....................................................................................45 3.4 Instrumen Penelitian .......................................................................................46 3.5 Teknik Penentuan Informan.............................................................................47

xv

3.6 Teknik Pengumpulan Data...............................................................................48 3.6.1 Wawancara....................................................................................................48 3.6.2 Obsevasi........................................................................................................49 3.6.3 Studi Dokumen..............................................................................................49 3.7 Teknik Analisis Data.......................................................................................50 3.8. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data.............................................................50

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Geografi Desa Temesi.....................................................................52 4.2.Sejarah Desa Temesi ......................................................................................56 4.3 Demografi........................................................................................................58 4.4 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Temesi ....................................60 4.4.1 Desa Adat (Pakraman)..................................................................................60 4.4.2 Subak.............................................................................................................62 4.2.3 Sekaha...........................................................................................................63 4.5 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Temesi....................................65 4.6 Aktivitas Pengelolaan Sampah........................................................................66 4.6.1 Pemanfaatan Tempat Pembuangan Akhir di Desa Temesi...........................67 4.6.2 Aktivitas Pemulung di TPA Temesi...........................................................77

BAB V RESPONS MASYARAKAT SETEMPAT TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR DI DESA TEMESI KABUPATEN GIANYAR 5.1 Respons Positif Masyarakat Setempat Terhadap Keberadaan TPA...............84

xvi

5.1.1

Persepsi Positif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA............96

5.1.2

Sikap dan Perilaku Positif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA ........................................................................99

5.2 Respons Negatif Masyarakat Setempat Terhadap Keberadaan TPA ...........106 5.2.1

Persepsi Negatif Masyarakat Setempat Terhadap Keberadaan TPA.......115

5.2.2

Sikap dan Perilaku Negatif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA ......................................................................122

BAB VI FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA RESPONS MASYARAKAT SETEMPAT TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR DI DESA TEMESI KABUPATEN GIANYAR

6.1 Faktor Penyebab Munculnya Respons Positif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA ...........................................................................................132 6.1.1 Faktor Sosial-Budaya..................................................................................132 6.1.1.1 Kehadiran Penduduk Pendatang Mampu Kurangi Sampah di TPA........132 6.1.1.2 Peningkatan Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat Setempat terkait Keberadaan TPA......................................................................................135 6.1.2 Faktor Ekonomi...........................................................................................139 6.1.2.1

Terbukanya Lapangan kerja..................................................................139

6.1.2.2

Adanya kegiatan Daur ulang Sampah...................................................140

6.1.2.3

Pemanfaatan Kompos oleh Petani.........................................................144

6.2 Faktor Penyebab Munculnya Respons Negatif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA.......................................................................147

xvii

6.2.1

Faktor Sosial-Budaya...............................................................................147

6.2.1.1 Ketidakbiasaan Masyarakat Setempat terhadap Lingkungan Bising, Kotor dan Gangguan Keindahan Lingkungan........................................148 6.2.1.2 Kurang Konsistennya Pemerintah dalam Melaksanakan Kesepakatan terkait Keberadaan TPA ..........................................................................151 6.2.1.3 Berkembangnya Rumah-rumah Kumuh di Sekitar TPA ........................155 6.2.1.4 Ketidaknyamanan Masyarakat Setempat terkait Keberadaan TPA........158 6.2.1.5 Kehidupan Agraris di Desa Temesi semakin Terancam..........................160 6.2.2

Faktor Ekonomi........................................................................................164

6.2.2.1 Menurunnya Hasil Pertanian Masyarakat Setempat................................164 6.2.2.2 Kecilnya Penghasilan sebagai Pemulung di TPA ...................................168 6.2.3

Faktor Kesehatan......................................................................................169

6.2.3.1 Menurunnya Kesehatan Lingkungan Hidup di Desa Temesi..................169 6.2.3.2 Terancamnya Kesehatan Masyarakat Setempat.......................................173

BAB VII DAMPAK DAN MAKNA RESPONS MASYARAKAT SETEMPAT TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR DI DESA TEMESI KABUPATEN GIANYAR 7.1 Dampak Respons Positif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA ............................................................................179 7.1.1 Dampak Sosial-Budaya............................................................................179 7.1.2

Dampak Ekonomi.....................................................................................181

7.2 Dampak Respons Negatif Masyarakat Setempat terhadap Keberadan TPA...............................................................................182

xviii

7.2.1 Dampak Sosial-Budaya............................................................................182 7.2.2

Dampak Ekonomi....................................................................................187

7.2.3

Dampak Ekologi......................................................................................188

7.3 Makna Respons Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA............................................................................ 194 7.3.1 Makna Sosial-Budaya.................................................................................194 7.3.2 Makna Ekonomi..........................................................................................196 7.2.3 Makna Ekologi............................................................................................197 7.5 Refleksi..........................................................................................................200

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan........................................................................................................203 8.2 Saran...............................................................................................................207 DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................209 LAMPIRAN ........................................................................................................215

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin......................................58 Tabel 4.2 Penduduk Digolongkan Menurut Tingkat Pendidikan...........................59 Tabel 4.3 Jenis-jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Temesi........................66

xx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Penelitian................................................................................40 Gambar 4.1 Peta Kabupaten Gianyar.....................................................................54 Gambar 4.2 Peta Desa Temesi................................................ ..............................55 Gambar 4.3 Denah Menuju TPA ..........................................................................69 Gambar 4.4 Fasilitas Taman Bermain................................................................... 71 Gambar 4.5 Fasilitas Rumah Demo Hemat Listrik................................................72 Gambar 4.6 Peralatan Demo Bioreaktor................................................................73 Gambar 4.7 Tumpukan Sampah Organik...............................................................74 Gambar 4.8 Tempat Pembuangan Sampah Rumah Tangga...................................74 Gambar 4.9 Tempat Pengumpulan Sampah Sementara di Pool Container...........75 Gambar 4.10 Pengangkutan Sampah oleh Petugas DKP Kabupaten Gianyar.......76 Gambar 4.11 Kegiatan Pemilahan Sampah di TPA...............................................76 Gambar 4.12 Tempat Tinggal Pemulung...............................................................77 Gambar 4.13 Aktivitas Pemulung Lokal di TPA...................................................79 Gambar 5.1 Aktivitas Masyarakat Setempat Membuang Sampah di TPS.............87 Gambar 5.2 Aktivitas Pemulung Memilah Sampah Plastik Bernilai Ekonomi.....88 Gambar 5.3 Sampah Plastik Aqua Gelas Bernilai Ekonomi Tinggi......................94 Gambar 5.4 Kerusakan Lingkungan di sekitar TPA........,...................................107 Gambar 5.5 Limbah Cair Masuk ke Sungai di depan TPA..................................108 Gambar 5.6 Truk Pengangkut Sampah dibiarkan Terbuka Menuju TP...............113 Gambar 5.7 Tumpukan Sampah yang Menggunung di TPA ..............................117

xxi

Gambar 5.8 Bupati Gianyar Menerima Adipura dari Presiden RI di Istana Negara.................................................................................127 Gambar 6.1 Aktivitas Seorang Pengepul Barang Bekas di TPA.........................141 Gambar 6.2 Kompos Produksi TPA Temesi........................................................145 Gambar 6.3 Meluasnya Permukiman Kumuh di Sekitar TPA.............................155 Gambar 6.4 Lalat mengerubuti haturan yang dipersembahkan masyarakat........162 Gambar 6.5 Petani Kembali Mengerjakan Sawah yang Terbengkalai................167

xxii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat terus berjalan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam proses pembangunan tersebut, di samping manfaat positif sebagai hasil pembangunan yang dinikmati sekarang ini, pada kenyataannya juga banyak kegiatan pembangunan yang telah mengakibatkan kemerosotan serta kerusakan lingkungan, kemudian menimbulkan kerugian

dan mengancam kelestarian

lingkungan, yang akhirnya menjadi ancaman pembangunan dan kehidupan manusia itu sendiri. Meminjam istilah Emil Salim, manusia hidup di perahu yang sama yang bernama Bumi. Jika sebagian kelompok melubangi perahu tersebut, tidak hanya si pembuat lubang itu yang akan tenggelam, tetapi semuanya. Banyak orang yang ingin memberikan andil yang berarti dalam memelihara perahu tersebut. Namun, banyak yang tidak tahu caranya, banyak yang tidak bisa membedakan tindakan mana yang membahayakan dan mana yang aman bagi lingkungan. Sehubungan dengan itu, ada sebuah pedoman yang praktis, sangat berguna bagi masyarakat agar mereka bisa memberikan

andilnya dalam menjaga lingkungan. Namun,

pedoman itu tidak akan banyak berguna tanpa dilandasi kesadaran dan kedisiplinan dalam menjaga lingkungan (Giyarto, 2007 :13). Bali juga menghadapi berbagai dampak negatif pembangunan. Salah satu dampak negatif tersebut adalah degradasi lingkungan hidup. Pada saat ini, yang

xxiii

sangat dirasakan adalah masalah sampah. Hampir seluruh kabupaten/kota di Bali mengalami masalah seperti itu, tidak terkecuali Kabupaten Gianyar juga mengalami masalah sampah, yang merupakan hasil sampingan kegiatan atau usaha yang dilakukan masyarakat. Disadari atau tidak, sampah sudah menjadi masalah bagi kelestarian lingkungan di Kabupaten Gianyar. Dengan demikian, sangat diperlukan upaya pemecahan masalah sampah yang ramah lingkungaan dan berkelanjutan berupa pengolahan sampah, sehingga bermanfaat positif bagi lingkungan. Kabupaten Gianyar yang menjadi salah satu tujuan utama kunjungan pariwisata dan menjadi salah satu pusat perekonomian di Bali sudah tentu menjadi tujuan banyak pendatang yang ikut mengadu nasib dan bahkan menetap di sana. Berdasarkan data statistik (angka sementara), dalam Tahun 2007 jumlah penduduk di Kabupaten Gianyar sebanyak 433.158 jiwa, yang terdiri atas 217.107 jiwa atau 50,12 persen penduduk laki-laki dan 216.051 jiwa atau 49,82 persen penduduk perempuan. Dengan luas wilayah 368 km2, maka kepadatan penduduk di kabupaten Gianyar telah mencapai 1.177 jiwa/km2. Adapun laju pertumbuhan dalam Tahun 2007 adalah sebesar 1,38 persen. Menurut WHO, kepadatan penduduk yang ideal di suatu wilayah adalah 240 orang per km2 (Dalem, 2007: 150). Jadi, kepadatan penduduk di kabupaten Gianyar telah mencapai lebih dari 4 kali lipat dari ketentuan tersebut. Dari tujuh kecamatan yang ada, kepadatan penduduk tertinggi di atas rata-rata kabupaten adalah kecamatan Sukawati, Gianyar, Blahbatuh, dan Ubud. Semakin tinggi kepadatan penduduk dan semakin meningkat kegiatannya, dampaknya tidak hanya

xxiv

pada peningkatan perekonomian, tetapi juga pada masalah lingkungan hidup yang dihadapi juga semakin kompleks. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya jumlah volume sampah, baik dari sampah rumah tangga, sampah pasar, sampah sapuan jalan, sampah perkantoran, dan sampah daerah komersial. Berdasarkan laporan pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar tahun 2008, menunjukkan, sampah yang terangkut dan dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan adalah sebanyak 180 m3 per hari, dan sampah rumah tangga sangat dominan dibandingkan sampah lainnya. Melihat gambaran di atas, volume sampah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas masyarakat Gianyar dapat dikatakan cukup besar. Jadi diperlukan pengelolaan atau pengolahan sampah yang baik, tepat, cepat untuk meminimalkan pencemaran lingkungan. Masalah sampah merupakan masalah lingkungan yang sangat penting, dan menjadi tanggung jawab semua masyarakat, seluruh bangsa Indonesia. Negara mempunyai kewajiban mengelola lingkungan sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 33 (ayat 3) UUD 1945 yang berbunyi: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran

rakyat.

Selanjutnya,

kewenangan

Negara

menguasai dan mengatur pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 10 (ayat 3) UU No.4 Tahun 1982, yaitu tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa Negara memiliki kewenangan untuk: (a) mengatur peruntukan, pengembangan, penggunaan, penggunaan kembali, daur ulang, pengelolaan, dan pengawasan, (b) mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang

xxv

atau subyek hukum lainnya terhadap sumber daya, dan (c) mengatur pajak dan retribusi lingkungan. Pengelolaan lingkungan hidup seperti dikutip dari UU No. 23 Tahun 1997 Pasal 1 angka 2, adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk melestarikan lingkungan hidup agar dapat dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lain secara berkesinambungan. Pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan azas tanggung jawab negara, azas berkelanjutan, dan azas manfaat. Adapun sasaran pengelolaan lingkungan hidup meliputi: (1) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup, (2) terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan melindungi dan membina lingkungan hidup, (3) terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan masa depan, (4) tercapainya fungsi lingkungan hidup, (5) terkendalinya pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana, (6) terlindungunya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan (Dalem dkk, 2007: 111-112). Berkaitan dengan kewenangan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan, Pemerintah Kabupaten Gianyar telah menyediakan fasilitas pembuangan sampah di TPA Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Tempat pembuangan akhir ini dikatakan dapat menjadi model, karena menyediakan fasilitas pengelolaan sampah perkotaan

xxvi

untuk Bali bahkan Indonesia, yang berskala menengah, terdesentralisasi, ramah lingkungan, dan dengan biaya rendah. Proyek ini merupakan proyek kerjasama antara pemerintah Kabupaten Gianyar dan Rotary club international-Bali FokusBORDA. TPA seperti ini diharapkan menjadi salah satu contoh solusi yang dapat diterapkan di Indonesia, karena TPA ini memiliki fasilitas untuk

mengolah

sampah secara sederhana, yaitu memilah sampah kemudian mengolah sampah organik menjadi kompos. Barang - barang daur ulang dijual ke lapak. Fasilitas ini juga melakukan riset untuk mendapatkan hasil kompos terbaik. Selanjutnya, Tempat Pembuangan Akhir di Desa Temesi yang dikaitkan dengan pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar, menurut Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat II Gianyar, Nomor 12 Tahun 1992, selain Pemerintah Daerah, pengelolaan sampah dapat juga dilakukan oleh badan swasta lainnya, dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin kepada Kepala Daerah. Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

dengan fasilitas

pengolahan sampah yang dimilikinya dapat memberi pengaruh yang cukup baik terhadap kebersihan kota, pasar-pasar, dan lingkungan di Kabupaten Gianyar, serta diharapkan dapat menciptakan Desa Temesi menjadi Desa Ekologis. Menurut pandangan Robert Gilman, Desa Ekologis itu

merupakan sebuah

permukiman yang; (1) berskala manusiawi, (2) berfasilitas lengkap, (3) kegiatan di dalamnya tidak membahayakan alam, (4) mendukung kesehatan manusia dan dapat berlanjut ke masa depan yang tidak terhingga (Corall, S & Rangkin, W.1997: 143). Namun, hal yang bertolak belakang berlangsung di Desa Temesi Kabupaten Gianyar, semakin lama tumpukan sampah semakin meningkat, upaya

xxvii

penanganan sudah dilakukan, yaitu dengan menambah luas areal pembuangan sampah di TPA itu. Akibatnya, mungkin terus meningkat kekawatiran masyarakat Desa Temesi Kabupaten Gianyar akan semakin hebatnya terjadi pencemaran lingkungan di desa mereka. Aspek sosial budaya dalam implementasi program itu kelihatannya kurang melibatkan warga dalam perencanaan bersama, dan lebih berorientasi pada teknik dan ekonomis sehingga suatu kebutuhan warga sekitar kurang diperhatikan atau terabaikan. Akibatnya, masyarakat menjadi apatis dan cenderung kurang merasa memiliki, dan bahkan merasa terancam kehidupannya. Sampah yang ada di TPA Desa Temesi Kabupaten Gianyar bila dikelola dengan kurang baik akan menimbulkan pencemaran, membentuk lingkungan yang tidak menyenangkan bagi masyarakat; terutama bau yang tidak sedap dan pemandangan yang tidak baik, dapat menjadi sumber pencemaran tanah dan air, menjadi tempat yang cocok dan menarik bagi kuman-kuman, lalat, kecoak, tikus dll, yang pada gilirannya berakibat membahayakan kesehatan manusia, mengakibatkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Satu hal yang mungkin patut mendapat perhatian adalah kerugian yang sangat besar bagi petani karena, TPA di DesaTemesi Kabupaten Gianyar lokasinya berada di tengah-tengah atau dikelilingi oleh lahan pertanian yang masih produktif. Dalam hal ini, masyarakat dapat merasa terancam kehidupannya, kemungkinan besar tidak dapat memenuhi standar kehidupan yang layak dan manusiawi, serta terancam tidak dapat terpenuhinya kebutuhan yang bersifat non material; keteraturan, kenyamanan, keamanan, ketenangan, kesehatan, dan sebagainya.

xxviii

Melihat dari kenyataan di atas maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang bagaimana respons masyarakat setempat terhadap lingkungannya yang ditetapkan sebagai Tempat Pembuangan Akhir

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan munculnya respons

masyarakat

setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar ? 3. Apa dampak dan makna respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai didalam penelitia in adalah meliputi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan respons masyarakat setempat, dalam hal ini masyarakat Desa Temesi terhadap keberadaan TPA yang didirikan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar.

xxix

1.3.2

Tujuan Khusus Penelitian ini dilakukan untuk beberapa tujuan khusus. 1. Untuk mengetahui respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Temesi Kabupaten Gianyar. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar 3. Untuk mengetahuai dampak dan makna respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1

Mafaat Teoretis Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Menambah khasanah penelitian pengendalian masalah sosial mengenai respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai referensi dalam meningkatkan pemahaman tentang upaya melestarikan lingkungan.

1.4.2

Manfaat Praktis 1. Secara praktis, penelitian ini dapat memberi manfaat, yang nantinya dapat

dijadikan

bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam

xxx

mengambil keputusan yang berhubungan dengan penetapan suatu kawasan sebagai TPA 2. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan acuan oleh masyarakat yang lingkungannya dijadikan fasilitas pengolahan sampah sehingga mereka bisa memahami dampak dan perubahan yang mungkin terjadi.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka

xxxi

Penelitian tentang respons masyarakat terhadap keberadaan Tempat Pembuanangan Akhir (TPA) belum banyak di lakukan. Walaupun telah banyak dilakukan penelitian tentang masalah lingkungan di Bali, tidak ditujukan kepada masalah respons masyarakat, yang mencakup persepsi, sikap dan prilaku dari masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Penelitian ini dilakukan berpijak dari keadaan dan kondisi nyata yang terdapat di TPA Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Maka dari itu, peneliti merasa tergugah untuk mencoba membuat suatu kajian yang dapat membuka segala permasalahan yang ada di sana. Sesuai dengan laporan pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar, yang diterbitkan tahun 2008 oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar, diharapkan di masa yang akan datang Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kabupaten Gianyar perlu mengembangkan jangkauan pelayanan sampah agar segenap masyarakat terlayani kebutuhannya dalam pengelolaan persampahan. Untuk tujuan itu dapat dilakukan pengembangan armada angkutan secara swadaya yang dikelola oleh desa dinas ataupun desa adat, sehingga dari sisi operasional tidak terbebani anggaran pemerintah dalam pengelolaannya. Dengan demikian, diharapkan kebersihan lingkungan di masing-masing wilayah dapat terlayanai dengan baik. Selanjutnya, adanya kepedulian desa dinas/desa adat dalam pengembangan armada angkutan sampah secara swadaya merupakan bentuk partisipasi dan kepedulian masyarakat untuk mengelola sampah secara mandiri, sehingga hal ini perlu didorong oleh pemerintah agar desa–desa lainnya dapat mengembangkan

xxxii

armada layanan sampahnya secara swadaya. Apa yang diharapkan oleh pemerintah daerah bahwa, masing masing desa dinas/desa adat yang ada di Gianyar untuk menyediakan armada sendiri sangatlah baik. Akan tetapi, perlu diperhatikan daya tampung dan fasilitas yang ada di TPA Temesi, apakah sudah memadai atau belum. Maka semakin banyak volume sampah yang dikirim ke TPA, semakin tinggi juga dampak negatif yang akan diterima oleh masyarakat dan lingkungan Desa Temesi. Maka dari itu, semua ini akan dapat memberi manfaat yang sangat berguana bagi peneliti untuk menggali lebih dalam tentang respons masyarakat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Aditjondro (2003) dalam bukunya yang berjudul “Pola-pola Gerakan Lingkungan”, refleksi untuk menyelamatkan lingkungan dari ekspansi modal. Buku ini menggambarkan perusakan lingkungan lidup, atas nama apa pun dan dilakukan oleh siapa pun, harus segera diakhiri, jika keberadaan makhluk hidup (termasuk manusia) hendak dipelihara. Tentu saja gerakan penyelamatan lingkungan ini akan berbenturan dengan berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Selanjutnya, diperlukan strategi yang baik dan gerakan yang simultan untuk menanggapi kelompok-kelompok yang berorientasi pada keuntungan. Selain itu, juga memaparkan berbagai dampak destruktif akibat dari alih teknologi yang tidak sadar lingkungan. Fenomena seperti di atas erat kaitannya dengan permasalahan yang hendak diteliti, dimana ketidaksadaran akan lingkungan yang terjadi, pada akhirnya akan membuat masyarakat kecil bertambah sengsara, dan

xxxiii

terancam keselamatan hidupnya akibat dari keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Dalem dkk (2007) dalam bukunya ”Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup” dijelaskan permasalahan lingkungan hidup merupakan hal yang serius mengancam keberlanjutan

pembangunan. Penanganannya sering

tidak memberi hasil yang maksimal, karena pendekatan penanganannya kurang tepat dan tidak holistik. Sering tidak ada sinkronisasi antara teknologi yang diterapkan dengan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat setempat. Secara umum, kearifan lokal merupakan bagian dari realitas moral atau etika lingkungan. Kearifan lokal dapat diartikan sebagai sejumlah karakteristik budaya yang telah menjadi kebiasaan orang secara meluas sebagai hasil pengalaman hidup mereka di masa lalu. Menghadapi pilihan-pilihan moral yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup, masyarakat dan semua pihak semestinya melakukan revitalisasi terhadap kearifan lokal sehingga pengelolaan lingkungan hidup dapat memberi hasil secara lebih berdaya guna. Pada intinya buku ini mengungkap permasalahan filosofi maupun implementasi konsep kearifan lokal dalam mengelola lingkungan hidup, serta membahas contoh-contoh kasus yang ditemukan di lapangan terkait dengan kehidupan sehari-hari dilingkungan desa pakraman, dunia industri, termasuk industri pariwisata yang merupakan sektor unggulan dalam pembangunan Bali. Apa yang ditulis oleh Dalem dkk dalam bukunya tersebut relevan digunakan untuk mengkaji

respons masyarakat

setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar, dalam pengertian bahwa memanfaatkan kearifan lokal dalam menangani permasalahan-

xxxiv

permasalahan yang terjadi khususnya di Desa Temesi sangat diperlukan, dengan mengacu kepada cara penanganan lingkungan yang telah mengakar dan tumbuh pada masyarakat setempat. Sonny Keraf (2002) dalam buku Etika Lingkungan. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama membahasa tentang teori-teori Etika Lingkungan. Sebelum masuk ke teori etika lingkungan, terlebih dahulu dibahas mengenai teori Etika dan perkembangannya. Teori-teori Etika Lingkungan yang dibahas dalam buku

ini

adalah:

Antroposentrisme,

Biosentrisme,

Ekosentrisme,

dan

Ekofeminisme. Di bagaian pertama ini juga dibahas tentang Hak Asasi Alam dan Prinsip-prinsip Etika Lingkungan Hidup. Bagian kedua fokus kepada Etika Lingkungan dan Politik Lingkungan, membahas isu lingkungan sebagai isu global dan terkait juga dengan politik global. Jadi, permasalahan lingkungan yang bersifat holistik, semua aspek termasuk politik, kebijakan ekonomi, hutang luar negeri, dan lain-lain semuanya berpengaruh terhadap lingkungan. Bagian ketiga, yaitu dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kembali ke Kearifan Tradisional, mengungkapkan bahwa suku-suku terasing yang selama ini anggap rendah, ternyata justru mereka yang punya kepedulian tinggi terhadap lingkungan. Seseorang tidak dituntut untuk menerima secara total adat-istiadat ataupun prinsip hidup mereka, namun setidaknya bisa belajar dari Etika Masyarakat Adat bahwa manusia, hutan, binatang, serta makhluk lain yang ada di bumi adalah setara (menyangkut hak asasi alam) karena sama-sama ada/tercipta. Artatik (2004) dalam tesisnya yang berjudul ” Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Menuju Kota Dempasar yang

xxxv

Berbudaya Bersih: Tinjauan

Perspektif Budaya” menjelaskan bahwa bentuk pengelolaan sampah rumah tangga dilakukan oleh masyarakat dan Pemerintah Kota Denpasar melaui Dinas Kebersihan dan Pertamanan

yaitu dengan cara

menanam dan membakar,

menyewa pihak lain, membuang ditempat yang telah ditentukan oleh DKP Kota Denpasar. Sementara pemerintah melakukan dengan cara, mulai dari penyapuan, pengumpulan, pengangkutan, dan pemusnahan. Selain itu, tesis ini juga memberi penjelasan bahwa pengelolaan sampah rumah tangga di Kota Denpasar mempunyai fungsi kebersihan, kesehatan, keindahan, ketentraman, dan fungsi alih guna. Di samping itu juga bermakna kesejahteraan, estetika, keagamaan dan keharmonisan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa penelitian tersebut mempunyai relevansi dengan penulisan tesis ini terutama dampak negatif dan positif yang akan ditimbulkan dari keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar yang pada akhirnya menimbulkan respons dari masyarakat setempat di sana. Suarja (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ” Respon Masyarakat Terhadap Tragedi Ledakan Bom di Jimbaran”, menyatakan bahwa respons merupakan semua sistem psikologi yang menekankan gejala reaksi-reaksi atau tanggapan-tanggapan suatu objek, kejadian, atau peristiwa. Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penulisan tesis ini dan bermanfaat bagi peneliti untuk mengkaji respons atau reaksi masyarakat sehinnga dapat dipakai sebagai pijakan dalam pemahaman konsep respons dalam proses penulisan tesisi ini.

xxxvi

Waga (2007) dalam penelitiannya berjudul ”Respons Masyarakat Terhadap Keberadaan Obyek dan Daya Tarik Wisata Kokokan di Desa Petulu, Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar,” menyebutkan bahwa dimanfaatkannya Desa Petulu sebagai daerah wisata dengan burung kokokan yang menjadi daya tarik, tentu menambah keunikan obyek yang dimiliki, dan meningkatkan kunjungan wisata ke daerah tersebut. Namun terus bertambahnya jumlah atau populasi burung

di daerah tersebut dan karena obyek itu menyatu dengan

pernukiman masyarakat, membuat Desa Petulu menjadi kumuh, kotor dan tidak sehat sebagai akibat dari kotoran burung yang berserakan di mana–mana. Dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi terganggu. Walaupun merasa terganggu dan terancam kesehatannya

masyarakat Desa Petulu tidak melakukan suatu

tindakan yang begitu berarti. Padahal apa yang ada dalam hati masyarakat di sana ada sesuatu yang tidak cocok. Penelitian yang telah dilakukan di Desa Petulu tersebut, pada intinya mengungkap mengenai respons yang terjadi di masyarakat baik positif maupun negatifnya atas sebuah objek wisata di daerah Ubud. Apa yang telah termuat dalam penelitian tersebut juga terdapat relevansi dengan tesis ini terutama pada hal-hal yang menyebabkan munculnya berbagai respons masyarakat, dampak respons masyarakat setempat serta makna respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar.

2.2 Konsep

xxxvii

Agar tidak terjadi

salah tafsir dalam penelitian ini, perlu dijelaskan

batasan pengertian judul dengan mengedepankan beberapa istilah yang bersifat operasional sebagai berikut ini

2.2.1

Respons Masyarakat Setempat Keberadaan TPA di desa Tememsi Kabupaten Gianyar telah menerima

berbagai tanggapan dari masyarakat setempat. Tanggapan tersebut muncul karena adanya sesuatu yang dirasakan, diketahui, dan diteriman oleh masyarakat setempat melaui panca idera mereka.

2.2.1.1 Respons Menurut Chaplin (1989) dalam Kamus Lengkap Psikologi, bahwa response/respons merupakan semua sistem psikologi yang secara primer menekankan gejala reaksi-reaksi atau tanggapan-tanggapan sebagai sebarang tingkah laku, baik yang kelihatan atau yang lahiriah maupun yang tersembunyi atau tersamar. Lebih lanjut, Marbun (2003) dalam Kamus Politik menyebutkan bahwa respons adalah tanggapan, reaksi, jawaban. Sementara reaksi adalah kegiatan berupa aksi, protes, dan sebagainya, yang timbul akibat suatu gejala atau peristiwa dan tanggapan atau respons terhadap satu aksi. Dalam berkomunikasi dengan dunia luar, orang menggunakan kelima indranya untuk menerima tanda-tanda dan pesan-pesan . Cara orang menerima dengan indra dan respons yang ditimbulkan berbeda-beda karena respons (persepsi, sikap, dan perilaku) seseorang dibentuk oleh budaya ( Eilers, 1995:

xxxviii

93). Apabila dikaji beberapa definisi kebudayaan maka akan dijumpai ada tiga konsep penting yang mencakup: (1) sistem gagasan, (2) tindakan, dan (3) hasil karya. Kebudayaan dalam wujud gagasan (idea) terdiri atas nilai, norma, hukum, dan adat istiadat sifatnya sangat abstrak. Meskipun abstrak, ia berfungsi sebagai pedoman yang menata tindakan atau tingkah laku manusia. Dengan kata lain apa pun yang dilakukan oleh manusia akan berpedoman kepada nilai, norma, hukum, dan adat istiadat. Seperti apa yang telah diputuskan pemerintah Kabupaten Gianyar dengan menetapkan TPA dibangun di Desa Temesi, yang mana memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat Gianyar untuk dengan mudah memanfaatkan fasilitas tersebut dengan kontribusi yang sangat murah. Namun, di lain pihak, sebagian masyarakat Desa Temesi akan menerima ancaman berbahaya sebagai akibat tumpukan sampah yang ada di TPA.

a. Persepsi Persepsi merupakan salah satu bagian dari kognisi, yaitu suatu proses pembentukan kesan (impresi) tentang karakteristik dari sesuatu atau orang lain. (Faturochman, 2006: 30). Berkaitan dengan keberadaan TPA di Desa Temesi, apa dan bagaimana kesan masyarakat setempat terhadap Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dibangun di daerah mereka, setelah melewati suatu proses pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Persepsi merupakan proses interpretasi psikologis, yaitu kegiatan khusus pada susunan syaraf penerima sebagai akibat adanya rangsang yang masuk. Konsep ini, yang mengartikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, proses seseorang

xxxix

mengetahui beberapa hal melalui panca indranya, melalui kesadaran yang tajam, dan daya pemahaman atau pengamatan. Ketika sejumlah sensasi masuk ke dalam struktur yang lebih dalam dari sistem susunan saraf (syaraf otak), maka sensasi ini akan diolah; proses pengolahan sensasi ini disebut sebagai persepsi (Sukmana, 2002: 51).

b. Sikap Sikap dalam bahasa Inggris disebut attitude pertama kali digunakan oleh Hebert Spencer (1862), yang menggunakan kata ini untuk menunjukkan status mental sesorang. Konsep sikap secara populer digunakan oleh para ahli sosiologi dan psikologi. Bagi para ahli psikologi sikap berakar pada perbedaan individual. Sedang bagi para ahli sosiologi sikap memiliki arti yang besar untuk menerangkan perubahan sosial dan kebudayaan. Jadi sikap adalah sesuatu hal yang menentukan sifat, hakikat, baik perbuatan sekarang, maupun perbuatan yang akan datang (Ahmadi, 2007: 148). W.J Thomas (dalam Ahmadi, 2007 : 149) memberi batasan sikap sebagai suatu kesadaran individu yang menentukan perbutan-perbuatan yang nyata maupun yang mungkin akan terjadi di dalam kegiatan-kegiatan sosial. Lebih lanjut, Thomas menyatakan bahwa sikap selalu diarahkan terhadap sesuatu hal atau suatu objek tertentu. Tidak ada satu sikap pun yang tanpa objek. "Sikap", adalah organisasi yang relatif menetap dari perasaan, keyakinan, dan kecendrungan perilaku terhadap orang lain, kelompok, ide-ide, atau obyekobyek tertentu (Fisdhein & Ajzen dalam Faturochman, 2006: 43). Dari pengertian tersebut, ada tiga hal penting yang terkandung dalam sikap, yaitu aspek afeksi

xl

(perasaan), aspek kognisi (keyakinan), dan aspek perilaku (dalam bentuk nyata ataupun kecendrungan). Aspek afeksi dari sikap terlihat dari adanya penilaian dan perasaan terhadap sesuatu objek bila seseorang bersikap. Perasaan yang ditujukan kepada objek tertentu bisa positif (senang atau setuju), bisa negatif (tidak senang atau tidak setuju). Menurut Ajzen (dalam Faturochman, 2006: 44), respons kognisi merupakan ekspresi dari keyakinan (belief). Sesuai dengan sifat dari keyakinan, maka keyakinan itu tidak semata-mata berisi pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan atau fakta, tetapi pengetahuan yang dimaksud terutama adalah opini tentang sesuatu hal yang belum tentu sesuai dengan kenyataan. Aspek kognisi sikap bisa berupa kecendrungan perilaku, keinginan (niat), komitmen, dan perbuatan reflektif keadaan objek sikap. Aspek ini bisa dalam bentuk yang positif dan bisa dalam bentuk negatif

c. Perilaku "Perilaku" (tindakan), menurut Weber (dalam

Ritzer,

2003:

40),

dikemukakan bahwa atas dasar rasionalitas, tindakan dibedakan menjadi empat tipe berikut ini (1) Zwerk rational, tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri,

xli

(2) Werktrational aktion. Antara tindakan, tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional. (3) Affectual action. Tindakan yang dibuat-buat, yang dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. (4) Traditional action, tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja. Teori aksi ini menerangkan bahwa organisasi masyarakat manusia merupakan kerangka yang di dalamnya terdapat tindakan-tindakan yang bukan ditentukan oleh kelakuan individunya. Fakta yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan, bahwa perilaku manusia dikontrol oleh beberapa norma, nilainilai serta sekian alat pengendali sosial lainnya, menentukan tingkah laku manusia. Dengan demikian, manusia tidak mempunyai sifat-sifat aktif dan kreatif, tetapi tingkah lakunya ditentukan oleh kendala-kendala dari luar dirinya. Apa yang dikatakan tentang tindakan sosial oleh para pakar yang dihubungkan

dengan respons masyarakat terhadap keberadaan TPA di Desa

Temesi Kabupaten Gianyar merupakan tindakan atau perilaku yang tidak ditentukan oleh kelakuannya sendiri melainkan dikontrol atau dipengaruhi oleh kendala-kendala dari luar dirinya. Masyarakat Desa Temesi Kabupaten Gianyar tidak mempunyai keberanian yang kuat untuk menentang ataupun menolak keberadaan TPA di desa mereka tersebut, karena itu adalah program pemerintah yang bertujuan positif untuk masyarakat Gianyar. Bagi siapa yang menolak bisa di anggap melawan pemerintah

dan melanggar

xlii

hukum. Pemerintah yang oleh

masyarakat di anggap sebagai Guru Wisesa, yang patut di hormati, dihargai, menjadi inspirator, serta bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya.

2.2.1.2 Masyarakat Menurut Koentjaraningrat (1990: 143-144), istilah masyarakat berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Selanjutnya, yang dimaksud dengan masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang diikat oleh pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Lagi pula, pola itu harus bersifat mantap dan sinambung, dengan kata lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas. Jadi, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat sinambung, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Krech, crutchfield dan Ballachey (dalam Setiadi, Elly. 2006:75) mengatakan masyarakat sebagai ‘a society is that it is an organized collectivity of interacting people whose activies become centered around a set of common goals, and who tend to shere common beliefs, attitudes, and of action”. Unsur masyarakat berdasarkan definisi ini adalah : 1. Kolektivitas interaksi manusia yang terorganisir 2. Kegiatannya terarah pada sejumlah tujuan yang sama 3. Memiliki kecenderungan untuk memiliki keyakinan, sikap dan bentuk tindakan yang sama

xliii

Pada konsep ini, masyarakat lebih dicirikan oleh interaksi, kegiatan, tujuan dan tindakan sejumlah manusia yang sedikit banyak berkecenderungan sama. Selain itu ada juga pendapat dari Fairchild, et al (dalam Setiadi, Elly.M. 2006: 76) memberikan batasan masyarakat sebagai berikut: Society is a group human beingscooperating in the pursuit of several of their major interest, in variably including self maintenance and self-perpetuation. The concept of cociety includes continuity, complex associational relationships, and a composition including representatives of fundamental human types, specifically mem, women, and children. Unsur masyarakat menurut definisi tadi adalah: 1.

Kelompok manusia

2.

Adanya keterpaduan atau kesatuan diri berdasarkan kepentingan utama

3.

Adanya pertahanan dan kekekalan diri

4.

Adanya kesinambungan

5.

Adanya hubungan yang pelik diantara anggotanya

Menurut konsep ini, karakteristik dari masyarakat itu adalah adanya sekelompok manusia yang menunjukkan perhatian bersama secara mendasar, pemeliharaan kekekalan bersama, perwakilan manusia menurut jenisnya yang berhubungan satu sama lainnya secara berkesinambungan. Diantara istilah (konsep) masyarakat yang telah disebutkan di atas tidak ada perbedaan ungkapan yang mendasar, justru yang ada yaitu mengenai persamaannya. Yang utama, masyarakat itu merupakan kelompok manusia

xliv

melakukan sesuatu antarhubungan, sedikit banyak bersifat kekal, berlandaskan perhatian

dan

tujuan

bersama,

serta

telah

melakukan

jalinan

secara

berkesinambungan dalam waktu yang relatif lama. Bagaimanapun, kelompok yang melakukan jalinan sosial dalam waktu yang relatif lama itu pasti menempati kawasan tertentu.

2.2.1.3 Masyarakat Setempat Pemakaian

kata

masyarakat

sehari-hari

biasanya

meliputi

juga

”Community”dalam bahasa Inggris atau pada masyarakat berbahasa Ingris. Menurut Fairchild, et al (dalam Setiadi, Elly.M. 2006: 80), Community is adaptasi sub-group many of the characteristic of society, but on adaptasi smallerscale, and with lessextensive and cordinated common interest. Implicit in the concept of “community” is adaptasi territorial area, adaptasi considerable degree of interpersonal acquaintance and contact, and some special basic of coherence that separates itfrom neigbouring groups. The Community has more limited self sufficiency than society, but within those limits has closerassociation and deeper sympathy. Community (masyarakat setempat) atau komunitas merupakan bagian dari kelompok masyarakat (Society) dalam lingkup yang lebih kecil, serta mereka lebih terikat oleh tempat (teritorial). Dengan mengambil uraian diatas dapat dikatakan masyarakat setempat menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan batas – batas tertentu, dimana faktor utama yang menjadi

xlv

dasarnya adalah interaksi yang lebih besar diantara anggota-anggotanya, dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayahnya. Dapat disimpukkan bahwa masyarakat setempat (community) adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh derajat hubungan sosial yang tertentu. Dasar-dasar masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan masyarakat setempat. Jadi unsur pertama dari komunitas adalah adanya wilayah atau lokalitas, kedua adalah perasaan saling ketergantungan atau saling membutuhkan. Perasaan bersama antara anggota masyarakat setempat itu disebut Community sentiment yang memiliki tiga unsur diantaranya; seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan. Menurut Dasman (dalam Primack dkk. 1998 : 232), masyarakat setempat yang hidup secara tradisional dikenal dengan istilah-istilah trible people, indigenius people, native people, atau traditional people. Masyarakat ini membangun berbagai sistem penggunaan sumber daya setempat, yang kadang kala telah diakui oleh pemerintah setempat pula. Masyarakat asli hampir di seluruh dunia telah meningkatkan hubungan dengan dunia modern, yang mengakibatkan perubahan dan tata cara dan gaya hidup (terutama pada kaum muda), diiringi meningkatnya penggunaan produk impor. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem norma dan adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Sama juga dengan masyarakat Desa Temesi Kabupaten Gianyar yang merupakan kesatuan sosial dan juga sebagai native people. Para warganya terikat oleh tradisi yang disepakati bersama yang

xlvi

menuntun mereka dalam kehidupan bermasyarakat, bagaimana ia harus bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya yang wilayahnya dimanfaatkan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar sebagai TPA.

2.2.2

Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Masalah sampah merupakan masalah yang sangat pelik dan sulit didalam

pengelolaannya, dimana masyarakat hanya ingin membuangnya, namun tidak ingin melakukan pengelolaan atau pengolahan sampah untuk menjadi kompos atau barang lainnya. Sampah yang bersumber dari wilayah kabupaten Gianyar dibuang ke TPA yang bertempat di Desa Temesi dengan jarak 6.5 Km dari pusat Kota Gianyar dengan luas 4 hektar. Jadi, TPA itu merupakan sebuah lokasi atau area sebagai tempat pembuangan sampah atau digunakan untuk menampung dan memilah dan mengolah sampah yang berasal dari berbagai daerah di kabupaten Gianyar. Ada beberapa failitas yang di miliki oleh TPA

dalam mendukung

kegiatannya seperti Unit Pemilahan dan Composting, Unit Pengelolaan Energi, dan Aktivitas wisata lingkungan yang bisa dikunjungi baik dari kalangan peneliti, mahasiswa, instansi swasta maupun pemerintah.

2.2.2.1 Keberadaan Menurut Ali, M (dalam kamus lengkap bahasa Indonesia moderen) kata “keberedaan” mempunyai arti keadaan yang mununjukkan ujud atau kenyataan. Dalam penelitian ini, keberadaan yang dimaksud adalah kenyataan tentang lokasi berdirinya tempat pembuangan akhir (TPA) yaitu TPA sampah yang bertempat

xlvii

di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Lokasi TPA sampah ini terletak pada ketinggian lebih dari 250 meter dari permukaan air laut diapit oleh dua sungai yaitu sungai Sang-sang dan Sungai Cangkir. Di samping itu, keberadaannya sebenarnya berada di tengah-tengah kawasan pertanian (persawahan) yang masih produktif, dan jaraknya sekitar 450 meter dari permukiman penduduk tetempat. Untuk memenutukan lokasi atau keberadaan TPA sampah pemerintah daerah seharusnya melakukan penelitian dan menetukan daerah alternatif yang layak. Secara operasional terdapat peraturan yang juga perlu dijadikan acuan terkait keberadaan TPA sampah yaitu

Keputusan Dirjen Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan Pemukiman Departemen kesehatan No. 281 tahun 1989 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan lampiran

Keputusan

Dirjen

tersebut

dijelaskan

Sampah. Dalam

persyaratan

kesehatan

pengelolaan sampah untuk Tempat Pembuangan Akhir Sampah yang dinyatakan antara lain: 1. Lokasi untuk TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: (a) Tidak merupakan sumber bau, asap, debu, bising, lalat, binatang pengerat bagi pemukiman terdekat (minimal 3 KM), (b) Tidak merupakan pencemar bagi sumber air baku untuk minum dan jarak sedikitnya 200 meter dan perlu memperhatikan struktur geologi setempat, (c) Tidak terletak pada daerah banjir, (d) Tidak terletak pada lokasi yang permukaan airnya tinggi, (e) Tidak merupakan sumber bau, kecelakaan serta memperhatikan aspek estetika, (f ) Jarak dari bandara tidak kurang dari 5 KM

xlviii

2. Pengelolaan sampah di TPA harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: (a) Diupayakan agar lalat, nyamuk, tikus, kecoa tidak berkembang biak dan tidak menimbulkan bau, (b) Memiliki drainase yang baik dan, (c) Leachate harus diamankan sehingga tidak menimbulkan masalah pencemaran, (d) TPA yang digunakan untuk membuang bahan beracun dan berbahaya, lokasinya harus diberi tanda khusus dan tercatat di Kantor Pemda, (e) Dalam hal tertentu, jika populasi lalat melebihi 20 ekor per blok gril atau tikus terlihat pada siang hari atau nyamuk Aedes, maka harus dilakukan pemberantasan dan perbaikan cara-cara pengelolaan sampah. 3. TPA yang sudah tidak digunakan: (a) Tidak boleh untuk pemukiman, (b) Tidak boleh mengambil air untuk keperluan sehari-hari. Keberadaan suatu TPA sampah seharusnya tetap mengacu pada aturan yang telah ditentukan, termasuk juga keberadaan TPA sampah yang ada di desa Temesi, sehingga pada akhirnya dapat meminimalkan dampak negatif yang mungkin terjadi. 2.2.2.2 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berada di desa Temesi Kabupaten Gianyar adalah TPA sampah, yaitu sarana fisik yang dibangun oleh pemerintah kabupaten Gianyar untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah. TPA sampah ini digunakan untuk menyimpan, memilah, mengelola, dan memusnahkan sampah yang berasal dari seluruh kabupaten Gianyar dengan cara tertentu sehingga diharapkan dampak negatif yang ditimbulkan dapat dihilangkan atau dikurangi. Jadi, keberadaan TPA itu merupakan sebuah lokasi atau area

xlix

yang ada di desa Temesi Kabupaten Gianyar, sebagai tempat pembuangan sampah dengan jarak 6.5 Km dari pusat Kota Gianyar dengan luas 4 hektar yang digunakan untuk menampung dan memilah,

mengolah, dan memusnahkan

sampah. Secara spesifikasi teknis Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya, diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik. TPA di Desa Temesi ini memiliki beberapa fasilitas dalam mendukung kegiatannya seperti Unit Pemilahan dan Composting, Unit Pengelolaan Energi, dan Aktivitas wisata lingkungan yang bisa dikunjungi baik dari kalangan peneliti, mahasiswa, instansi swasta maupun pemerintah. a. Sampah Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembuatan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembuatan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan (Kamus istilah Lingkungan 1994 dalam Iskandar, 2006: 1). Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber asil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nialai ekonomis (Iskandar, 2006: 1). Menurut Tandjung (dalam Iskandar, 2006: 1) menyatakan

l

sampah adalah sesuatu yang tidak berguna lagi, dibuang oleh pemiliknya atau pemakai semula. Dari semua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sampah adalah bahan atau barang selain zat cair dan gas, yang sudah dibuang karena tidak terpakai lagi, tidak berguna lagi atau tidak dikehendaki. Sampah yang tidak berguna lagi itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Sampah merupakan tempat bertumbuhnya berbagai bibit penyakit. Oleh karena itu, Sangat penting memanfaatkan sampah untuk sedapat mungkin diproses kembali menjadi barang/bahan yang bermanfaat bagi manusia; didaur ulang dan juga dijadikan kompos. Sampah dari berbagai macam bentuk dapat di pisahpisahkan sesuai dengan kegunaannya. Sampah bahan organik bisa diolah menjadi kompos dan sampah bahan nonorganik diolah menjadi biji pelet yang digunakan sebagai bahan baku pembuat plastik untuk alat-alat rumah tangga dan mainan anak-anak.

b. Pengelolaan Sampah Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008, pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Keinginan yang muncul tentang pengelolaan sampah adalah mengenai keindahan yang tampak akibat pengelolaan sampah yang dilaksanakan secara harmonis antara rakyat dan pengelola atau pemerintah secara bersama-sama. Artinya sistem

li

pengelolaan sampah yang disepakati pemerintah dan pengusaha pengelola untuk melaksanakan pengelolaan sampah tersebut harus didukung oleh rakyat. Jadi dalam pengelolaan sampah terdapat empat strategi pengolahan sampah, yaitu (a) mulai pengolahan di rumah, (b) pengolahan di tempat pembuangan sementara (TPS), (c) pengolahan di pangkalan, (d) pengolaan di tempat pembuangan akhir (TPA) (Neolaka, 2008: 66-67). Terkait pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar, untuk wilawah Kota dilakukan oleh DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar). Personil yang bertugas mengelola kebersihan kota mencapai 272 orang. Sedangkan dukungan dari instansi terkait adalah sebanyak 35 orang dan pihak swasta sebanyak 40 0rang. Bagi wilayah yang belum mendapatkan pelayanan sampah dari DKP, dilakukan secara individual oleh masyarakat dengan membakar, menimbun, atau membuang ditempat terbuka (DKP. 2008: III-1). Dengan demikian pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar adalah upaya yang dilakukan secara sadar dalam melakukan penanganan terhadap sampah yang bersumber dari aktivitas rumah tangga, sampah sapuan jalan, sampah pasar, kegiatan swasta komersial lainnya dan aktivitas perkantoran/instansi pemerintah, sehingga kebersihan lingkungan di Kabupaten Gianyar dapat diwujudkan.

2.3 Landasan Teori Landasan teori merupakan uraian tentang teori – teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah penelitian. Maka dari itu, teori yang digunaka dalam

lii

penelitian ini adalah menjadi petunjuk dalam menyelesaikan permasalahan permasalahan yang timbul. Terkait dengan penggunaan teori dalam penelitian ini, maka teori yang dianggap mampu untuk menganalisis respons masyarakat terhadap tempat pembuangan akhir yang berada di Desa Temesi Kabupaten Gianyar antara lain: teori hegemoni, teori praktik dan teori ekologi. Penjabaran dari masing-masing teori tersebut akan diuraikan sebagai berikut ini.

2.3.1

Teori Hegemoni Konsep hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, salah seorang

teoritis Marxis penting pada abad XX. Hegemoni menurut Gramsci (dalam Strinati, 2003: 189), merupakan sarana kultural maupun ideologis dimana kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat dasarnya,

tetapi

bukan

secara

eksklusif

termasuk

pada

kelas penguasa, berupaya

melestarikan dominasinya dengan cara mengamankan "persetujuan spontan" dari kelas lain dalam masyarakat atau kelompok-kelompok subordinate termasuk kelas pekerja melalui penciptaan negosiasi konsensus yang menyangkut nilai moral, ideologi maupun kultural ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang didominasi. Meskipun hegemoni mengimplikasikan tingkat konsensus yang tinggi, bukanlah berarti bahwa masyarakat senantiasa berada pada situasi tanpa konflik (Storey, 2004 : 173). Hegemoni secara inheren bersifat labil atau kemapanannya bersifat sementara. Oleh karenanya hegemoni harus senantiasa diperjuangkan dan

liii

direnegosiasikan, karena tidak tertutup kemungkinan adanya perlawanan yang bersifat kontrahegemoni. Termasuk ke dalam perlawanan kontrahegemoni adalah berbagai bentuk subversi yang dilakukan terhadap konsepsi yang telah berlaku umum sebagai upaya untuk mengubah pemahaman terhadap ideologi yang sedang berlaku

(Barker, 2005: 80-82). Menurut Strinati (2003: 191), ada kesulitan dan kerancuan makna yang

berkenaan dengan pemisahan hegemoni secara terang-terangan dari paksaan, karena hegemoni dengan sendirinya bisa bersifat paksaan (koersif). Perluasan konsep hegemoni oleh Gramsci dapat dilihat juga melalui cakupan dan fungsinya. Bagi Gramsci, hegemoni melalui kekuatan maupun melalui budaya bukan hanya meliputi partai tapi semua lembaga masyarakat. Sedangkan dari segi fungsinya, hegemoni bukan hanya terarah pada pembentukan kehendak kolektif untuk mencapai perubahan masyarakat, tetapi juga pada penyebarluasan sebuah konsepsi baru tentang dunia. Hegemoni diartikan sebagai dominasi penuh dalam masyarakat madani, sebagai faktor yang menjembatani antara dasar dan suprastruktur. Hegemoni merupakan

kekuatan penengah yang menyatukan

bersama dua aspek di dalamnya; yaitu dominasi kondisi obyektif dan dominasi aktual kelompok yang bekuasa

(Culla, 1999:112-113).

Hegemoni dalam penelitian ini berkaitan dengan pengaplikasian sikap pemerintah setempat sebagai penguasa (decision maker) didalam mengelola dan memperlakukan semua komponen termasuk masyarakat sebagai sebuah sistem dengan menerapkan aturan yang hanya menguntungkan pihak-pihak yang terlibat dan sangat merugikan masyarakat yang ada di sekitar TPA. Teori ini relevan

liv

untuk menganalisis permasalahan bagaimana renspons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar

2.3.2 Teori Praktik Tokoh sosiologi, Pierre Bourdieu nampaknya sudah tidak asing lagi. Sosiolog berdarah Perancis ini bahkan menjadi ikon gerakan anti globalisasi di negara asalnya. Salah satu pemikirannya yang cukup terkenal adalah teori praktik. Ada tiga aspek utama yang menjadi inti teori ini, habitus, modal, dan ranah. Habitus adalah sekian produk perilaku yang muncul dari berbagai pengalaman hidup manusia. Habitus bisa dikatakan akumulasi dari hasil kebiasaan dan adaptasi manusia, yang bahkan bisa muncul tanpa ia sadari. Habitus bisa dikatakan ketitadaksadaran-kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tidak sadar dianggap alamiah. Artinya habitus bukan pengetahuan bawaan. Habitus adalah pruduk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus bukan kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologi maupun secara biologi. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktifitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu secara halus, tidak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam (Harker dkk, 1990: xix). Modal adalah segala aspek kebutuhan yang harus dimiliki dan diusahakan oleh setiap manusia demi menjaga kelangsungan hidupnya, baik yang bersifat fisik maupun tidak.

lv

Bagi Bourdieu modal ini sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namunmemiliki signifikasi secara kultural, misalnya prestise, status, dan otoritas serta modal budaya (Harker dkk, 1990: 16). Sedangkan ranah adalah ruang dan kesempatan yang melingkupi kehidupan manusia. Bourdieu merumuskan teori praktik sosial berdasarkan rumusannya sendiri. Rumusan tersebut mengganti setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah. Rumusan generatif yang menerangkan praktik sosial berbunyi : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Alih-alih, pemakaian rumusan ini adalah untuk menyediakan perlengkapan penjelas bagi upaya pemaparan, dan bagaimanapun solusi universal untuk tindakan sosial yang akan menjadi antitesis bagi metode umum. Dalam hal rumusan ini yang perlu dilakukan adalah membongkar elemen-elemen rumusan ini sebelum beralih kepada sebuah deskripsi tentang berbagai dinamika yang mengerakkannya (Harker dkk, 1990: 9). Praktik sosial merupakan akumulasi proses dari berbagai macam bentuk habits manusia, baik yang berupa pola pikir maupun tingkah laku. Habitus yang dikalikan dengan beragam modal yang dimiliki, dalam suatu ranah tertentu akan menghasilkan produk berupa praktik sosial. Pierre Bourdieu, melalui teori praktik dinilai mampu digunakan untuk membahas permasalahan kedua yaitu faktor pendorong munculnya respons masyarakat setempat terkait keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Semua ini tidak terlepas dari habitusnya, strategi serta perjuangannya dalam mendapatkan modal, berupa peningkatan ekonomi masyarakat setempat, kesehatan lingkungan dan masyarakat setempat,

lvi

dengan sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat Desa Temesi dalam ranah tertentu.

2.3.3 Teori Ekologi Ekologi adalah ilmu yang mempelajari saling keterkaaitan antara organisme dengan lingkungan, termasuk lingkungan fisik dan berbagai organisme (Poerwanto, 2008: 67). Julian H. Steward memakai istilah Cultural Ecology, dimana manusia sebagai mahluk hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan geografi tertentu. Atas dasar itu perlu dikaji keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya; antara lain dengan menganalisa hubungan pola, tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang dipergunakan sehingga, warga dari suatu kebudayaan dapat melakukan aktivitas mereka dan akhirnya mampu bertahan hidup terus. Menurutnya juga, ada bagian inti dari sistem budaya yang sangat responsif terhadap adaptasi ekologis. Karenanya, berbagai proses penyesuaian terhadap tekanan ekologis, secara langsung akan dapat mempengaruhi unsur-unsur inti dari suatu struktur sosial. Dan akhirnya, Julian H. Steward sampai pada suatu pendapat bahwa pertama, ada hubungan antara teknologi yang dipergunakan dengan keadaan suatu lingkungan tertentu; kedua pola-pola kelakuan dalam rangka mengeksploitasi suatu daerah erat kaitannya

dengan suatu bentuk yang diciptakan; dan ketiga

pola-pola

kelakuan yang berpengaruh terhadap berbagai aspek dari kebudayaan (Poerwanto, 2008: 68-69).

lvii

Lingkungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah berasal dari kata lingkung yaitu sekeliling, sekitar. Lingkungan adalah bulatan yang melingkungi atau melingkari, sekalian yang terlingkung dari suatu daerah sekitar (Poerwadarminta, 1976. dalam Neolaka, 2008: 25). Menurut Ensiklopedia Umum (1977) lingkungan adalah alam sekitar termasuk orang-orangnya dalam hidup pergaulan yang mempengaruhi manusia sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan dan kebudayaannya. Encyclopedia Amerika (1997) menyatakan bahwa lingkungan adalah berbagai faktor

yang membentuk lingkungan sekitar

organisme, terutama komponen-komponen yang mempengaruhi perilaku, reproduksi dan kelestarian lingkungan. Dalam Undang–undang RI No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang – undang RI No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya (Neolaka, 2008: 25-27). Emil Salim (1985) dalam bukunya: Lingkungan Hidup dan Pembangunan menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah semua benda, daya, dan kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempunyai hal-hal yang hidup termasuk kehidupan mnusia. World Commission on Enviroment and Development (1987) dalam bukunya berjudul: Our Common Future mengemukaan berbagai hal mengenai pembangunan berwawasan lingkungan. Di dalam menghadapi tantangan global, maka lingkungan adalah

lviii

segala kondisi, keadaan, benda ruang yang mempengaruhi pembangunan berkelanjutan, menghadapi krisis lingkungan global juga. Komisi ini memberikan perhatian yang memfokuskan pada bidang populasi/penduduk, makanan, keamanan, musnahnya spesies dan sumber genetik, energi industri, kesadaran manusia untuk saling berhubungan yang harmonis antara satu bidang, dengan bidang lainnya, walaupun tidak menyenangkan dalam bersosialisasi (Neolaka, 2008: 27). Deep Ecology suatu teori etika lingkungan yang di perkenalkan oleh Arne Naess, menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep Ekology lebih berusaha untuk melihat akar permasalahan kerusakan dan pencemaran lingkungan secara komprehensif dan holistik, untuk kemudian mengatasinya secara lebih mendalam (Keraf, 2002: 78). Bagi Naess, krisis lingkungan sesungguhnya disebabkan oleh faktor yang lebih fundamental, suatu sebab filosofis. Kesalahan fundamental pada cara manusia tentang dirinya, alam, dan tempat manusia dalam alam. Atas dasar itu, Naess tidak menyerahkan sepenuhnya perubahan-perubahan yang dibutuhkan kepada Negara atau Pemerintah. Perubahan politik dalam bentuk komitmen dan kebijakan serta implementasinya memang diperlukan dan sangat penting. Tetapi, yang juga diperlukan adalah cara pandang, sikap, mental, perilaku dan gaya hidup sebagai individu ataupun kelompok budaya. Bryant (dalam Bruce, 2007: 145) mengajukan konsep ”ekologi politik” yang telah dikembangkan untuk membantu memahami dimensi, kondisi, dan

lix

kompleksitas politik dari perubahan lingkungan, terutama di negara berkembang. Menurut pandangan Bryant, politik ekologi mempunyai tiga dimensi penting. Pertama, sumber politik, yaitu: kebijakan negara hubungan antarnegara, dan kapitalisme global, yang semuanya mengacu pentingnya tekanan nasional dan global terhadap lingkungan. Kedua, kondisi: konflik - konflik yang timbul dari perlawanan masyarakat lokal. Dimensi ini menekankan pada bagaimana sekelompok masyarakat dengan kekuasaan terbatas dapat dan terus berjuang mempertahankan kondisi suatu lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Ketiga, ramifikasi: konsekwensi politik perubahan lingkungan, dengan penekanan pada dampak sosial-ekonomi dan proses politik. Dalam kerangka ekologi politik, kebijakan negara mempunyai potensi besar untuk mengatur hubungan karena kebijakan tersebut akan membantu mengembangkan prioritas dan praktek-praktek yang harus dijalankan oleh negara, termasuk juga kerangka diskusi tentang perubahan lingkungan. Dengan demikian asal-usul, isi, implementasi dan dampak suatu kebijakan sangat penting untuk dipahami. Bertitik tolak dari uraian di atas, maka keterkaitan teori ekologi dengan penelitian ini adalah bagaimana manusia sebagai makhluk hidup dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, serta dapat memanfaatkan teknologi untuk mengekploitasi lingkungan

tanpa harus merugikan lingkungan dan

masyarakat itu sendiri. Teori ekologi ini akan digunakan untuk membahas permasalahan yang ke tiga yaitu dampak dan makna yang ada di balik respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar.

lx

2.4 Model Penelitian Tempat pembuangan akhir di Desa Temesi Kabupaten Gianyar adalah TPA sampah terbesar di Kabupaten Gianyar. TPA ini dapat menerima semua sampah yang berasal dari Kabupaten Gianyar, baik sampah organik maupun unorganik. Jadi anggota masyarakat manapun dari Gianyar bisa dengan mudah membuang sampah ke sana dengan retribusi yang sangat murah. Begitu mudahnya untuk membuang sampah di TPA Temesi pada akhirnya menyebabkan terjadinya penumpukan sampah dengan volume yang besar dan tanpa diimbangi oleh pengelolaan yang memadai dan tidak mampu mengolah sampah tersebut secara tuntas. Selanjutnya, muncul permasalahan terjadinya pencemaran lingkungan yang sangat merugikan masyarakat setempat. Respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi dapat digambarkan kedalam model penelitian seperti Gambar 2.1 berikut ini

Pemeritah Kabupaten Gianyar (Dinas Kebersihan dan Pertamanan ) dan Pengelola TPA

-

Perda No. 7 Th. 1990 Perda No. 12 Th. 1992 Perda No. 5 Th. 2001 SK Bupati No. 121 Th. 2001 SK Bupati No. 343 Th. 1993 SK Bupati No.993 Th. 1996

Pengelolaan Sampah di TPA DesaTemesi Kabupaten Gianyar

Respons masyarakaat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar lxi

Budaya dan Masyarakat Gianyar

Masyarakat Desa Temesi, Petani, Subak.

Pendatang (Pemulung)

Respons masyarakaat setempat

Faktor yang menyebabkan munculnya Respons masyarakaat setempat

Dampak dan Makna Respons masyarakat setempat terhadap

Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan: 1.

Hubungan satu arah. Unit yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi

2.

Hubungan dua arah. Unit yang satu mempengaruhi unit yang lain

Kabupaten Gianyar tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu tujuan wisata terbaik di Bali, mengakibatkan banyak wisatawan baik nusantara maupun manca negara bekunjung dan menginap disana. Pada akhirnaya, dapat memberikan berbagai peluang ekonomi yang sangat menguntungkan bagi masyarakat. Begitu besarnya daya tarik yang dimiliki oleh Kabupaten Gianyar mengakibatkan banyak masyarakat yang ingin menetap dan tinggal di sana untuk mengadu nasib. Semakin tinggi jumlah penduduk Kabupaten Gianyar, sudah barang tentu meningkatkan segala aktivitas yang dilakukan selanjutnya mendorong terjadinya berbagai bentuk pencemaran lingkungan, salah satunya adalah hasil sampingan dari aktivitas masyarakat tersebut berupa sampah.

lxii

Sampah memang merupakan masalah utama di berbagai tempat termasuk di Kabupaten Gianyar. Masyarakat Gianyar yang semakin maju dan berkembang, kebutuhan sehari-harinya pun semakin bertambah. Setiap masyarakat Gianyar pasti menghasilkan sampah, di rumah, di kantor, di pasar, di pabrik bahkan di jalan sekalipun. Masalah sampah merupakan masalah yang cukup pelik dan cukup sulit didalam pengelolaannya, dimana sebagian besar masyarakat hanya ingin membuangnya namun tidak ingin mengelolanya menjadi suatu barang yang bernilai. Selanjutnya,

Pemerintah Kabupaten Gianyar mengambil sebuah

kebijakan yang bertujuan mengatasi permasalahan sampah tersebut

dengan

membangun TPA di Desa Temesi. Selanjutnya guna menunjang petugas kebersihan dan pengelolaan sampah, maka telah ditetapkan peraturan-peraturan yang mendukung antara lain 1. Perturan Daerah Nomor 7 Tahun 1990 Tanggal 3 Juli 1997 Juntco No.2 Tahun 1995 Tanggal 31 Januari 1995 Tentang Retribusi Sampah 2. Peraturan Daeran Nomor 12 Tahun 1992 tanggal 23 Juli 1992 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum 3. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas- Dinas di Kabupaten Gianyar 4. Keputusan Bupati Gianyar Nomor 121 Tahun 2001 tanggal 9 April 2001 tentang Uraian tugas pada Dinas-Dinas di lingkungan Pemerntah Kabupaten Gianyar

lxiii

5. Keputusan Bupati Gianyar Nomor 343 Tahun 1993 tanggal 21 Agustus 1993 tentang Pembentukan Susunan Tugas Operasional Kebersihan, Keindahan, Ketertiban Umum ( K3U) Kabupaten Daerah Tngkat II Gianyar. 6. Keputusan Bupati Gianyar Nomor 993 Tahun 1996 Tanggal 10 Mei 1996 tentang Pembentukan Tim Operasional Yusti Pemda Tk. II Gianyar.

Tempat Pembuangan Akhir di Desa Temesi ini cukup memberi angin segar bagi seluruh masyarakat Gianyar, karena sudah mempunya lokasi khusus yang dipergunakan

untuk mengelola dan membuang sampah. Di lain pihak,

sistem penanganan atau pengelolaan sampah belum mengalami kemajuan yang begitu berarti, sehingga menyebabkan volume sampah terus mengalami peningkatan. Upaya–upaya pengurangan sampah dari sumber penghasil sampah masih belum banyak memberikan hasil. Kesadaran masyarakat Gianyar untuk berperilaku mengurangi sampah apalagi memilah sampah, masih jauh dari harapan. Akibatnya semua jenis sampah harus terangkut ke lokasi TPA. Masalah lain yang lebih sulit dihadapi selanjutnya adalah ketika volume sampah semakin bertambah dan kondisi TPA sudah jenuh, mencari lokasi baru sering berbenturan dengan masyarakat yang tidak setuju wilayahnya dijadikan lokasi TPA. Terkait dengan TPA yang sudah di bangun lebih dari lima tahun di Desa Temesi, menjadi suatu ancaman tersendiri bagi kehidupan masyarakat setempat, mengingat telah terjadi perubahan lingkungan, dimana TPA yang sudah jenuh, pemandangan yang kumuh, bau yang tidak enak, dan kemungkinan

lxiv

timbulnya bibit penyakit sangatlah besar, seperti yang disebabkan oleh lalat, tikus, kecoak, nyamuk dll, yang dapat menjangkitkan penyakit berbahaya. Kondisi nyata

masyarakat terkait dengan keberadaan TPA

di Desa

Temesi Kabupaten Gianyar menarik untuk diteliti dengan tiga rumusan masalah yang dinyatakan dalam bentuk pertayaan sebagai berikut (1) Bagaimana respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar?, (2) Faktor-faktor apa yang

menyebabkan munculnya respons

masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar ?, (3) Apa dampak dan makna respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar ?. Berdasarkan permasalahan di atas akan dibahas pada bab V, VI, dan VII, melalui metode, acuan, konsep dan landasan teori yang bertujuan untuk mendapatkan temuan yang valid.

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1995: 3). Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi

lxv

kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Menggunakan

metode

kualitatif

interpretatif

merupakan

strategi untuk memperoleh data atau keterangan deskriptif mengenai makna dari suatu tindakan dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan masyarakat. Tujuan yang ingin didapatkan dari penelitian ini adalah menyusun laporan yang bersifat deskriptif dan naratif tentang aspek sosiokultural yang berkaitan dengan respons masyarakat setempat dalam hubungannya dengan keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar.

3.2

Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Temesi, Kabupaten Gianyar. Pemilihan

lokasi

penelitian ini

atas pertimbangan kondisi nyata dari lokasi penelitian

sebagai berikut ini. 1)

Sebagian masyarakat setempat terganggu oleh keberadaan sampah yang begitu banyak di TPA.

2)

TPA tidak memberikan manfaat secara langsung dan merata kepada masyarakat setempat di Desa Temesi Kabupaten Gianyar.

3)

Terjadi pencemaran

lingkungan, pemandangan yang kumuh, bau

busuk begitu hebat di Desa Temesi Kabupaten Gianyar . 4)

Kemungkinan timbulnya bibit penyakit sangatlah besar, sangat cocok bagi binatang seperti lalat, tikus, nyamuk dll, untuk hidup dan berkembang sehingga dapat menjangkitkan penyakit.

5)

Meskipun tingkat pencemaran kian hari semakin tinggi dan

lxvi

masyarakat Desa Temesi tidak masyarakat

mendapat

manfaat yang nyata,

tidak bereaksi dengan keras karena takut untuk

melakukan protes keras dan menentang kebijakan

pemerintah,

padahal setidaknya ada anggota masyarakat yang mempunyai respons kurang baik terhadap keberadaan TPA

3.3

Jenis dan Sumber Data Jenis data adalah terdiri atas data kualitatif dan data kuantitatif. Sedangkan

jika dilihat dari sumbernya data itu bersumber dari sumber data primer dan sumber data sekunder (Marzuki, 1983: 55). Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif (non angka) yang diperoleh melalui penelitian langsung ke lapangan, sebagai data primer yaitu data dalam bentuk narasi, dikemukakan oleh informan yang merupakan anggota masyarakat Desa Temesi Kabupaten Gianyar, dipilih secara sengaja (purposif), dengan pertimbangan informan mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang TPA. Selain itu, pegawai dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupten Gianyar juga akan dijadikan informan dalam penelitian ini. Data sekunder juga dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu sebagai data yang mendukung data primer. Data sekunder itu bersumber dari dokumen dan referensi lainnya yang relevan, seperti buku-buku, skripsi, jurnal, makalah, laporan penelitian, artikel, dan karya tulis lainnya.

3.4

Instrumen Penelitian

lxvii

Instrumen penelitian yang diperlukan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara (interview guide) yang mengacu kepada tujuan penelitian. Selain itu, untuk mendapatkan data sekundernya diperoleh dengan cara mencatat data yang diperlukan, yang bersumber dari berbagai dokumen yang relevan dengan tujuan penelitian. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif sangat rumit, karena si peneliti bertindak selaku perencana, pelaksana pengumpulan data, menganalisis, menginterpretasi data, dan terakhir sebagai pelapor hasil penelitian. Dengan demikian, peneliti sekaligus sebagai instrumen utama dalam penelitian. Pengertian instrumen atau alat penelitian di sini tepat karena ia (peneliti) menjadi segalanya dari keseluruhan proses penelitian (Moleong, 2004: 121).

3.5

Teknik Penentuan Informan Di kalangan peneliti kualitatif, istilah responden atau subjek penelitian

disebut dengan istilah informan, yaitu orang yang memberi informasi tentang data yang diinginkan oleh peneliti berkaitan dengan penelitian yang dilakukan (Idrus, 2007: 120). Penentuan subjek penelitian atau informan dalam penelitian ini adalah ditentukan

dengan

teknik

purposive

sampling, yaitu teknik sampling yang

digunakan peneliti jika memiliki pertimbangan–pertimbangan tertentu dalam pengambilan sampelnya (Idrus, 2007: 124). Cara pengambilan informan seperti ini didasarkan kepada informan yang mempunyai pengetahuan tentang keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Karena subyek yang diteliti terdiri atas beberapa kelompok, maka pengambilan informan didasarkan atas ciri-

lxviii

ciri dan sifat-sifat dari subyek yang diteliti. Masyarakat yang diambil sebagai informan adalah: 1. Masyarakat dari kelompok yang tempat tinggalnya tidak berdekatan secara langsung dengan TPA dalam hal ini masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari TPA, tetapi masih berada di lingkungan Desa Temesi Kabupaten Gianyar 2. Masyarakat tempat tinggalnya dekat dan juga para anggota petani / anggota Subak Temesi 3. Pemerintah yang dimaksud adalah Pemerintahan Desa, baik Desa Dinas maupun Desa Adat, serta Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar.

3.6

Teknik Pengumpulan Data

3.6.1 Wawancara Wawancara dalam kaitannya dengan penelitian ini merupakan

usaha

untuk mengumpulkan keterangan-keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat beserta pandangan-pandangannya yang sekaligus dipakai sebagai alat bantu observasi (Kuntjaraningrat, 1985: 129). Menurut Burhan Bungin (2004: 143), wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan dan sebagainya yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara ( interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (interviewee).

lxix

Wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian adalah wawancara secara mendalam dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara mendalam bersifat terbuka melaui informan kunci yang memahami situasi dan kondisi objek penelitian. Pelaksanaan wawancara tidak hanya sekali atau dua kali melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi. Peneliti tidak hanya percaya dengan begitu saja pada apa yang dikatakan informan, melainkan perlu mengecek dalam kenyataan melalui pengamatan (Bungin, 2001: 62). Teknik wawancara tidak berstruktur yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung, kemudian mengembangkan dan menggali data dari gejala sosial budaya, sosial ekonomi, dan masalah ekologi, serta data-data lain yang dibutuhkan.

3.6.2

Observasi Metode observasi juga digunakan sebagai metode utama selain wawancara

tidak terstruktur, untuk mengumpulkan data. Pertimbangan digunakan teknik ini adalah bahwa apa yang orang katakan, sering kali berbeda dengan apa yang orang itu lakukan (Bungin, 2001: 94). Dengan metode ini peneliti secara langsung melihat peristiwa-peristiwa, kejadian-kejadian yang terjadi di masyarakat, serta perilaku masyarakat, gejala-gejala yang terjadi terutama yang berkaitan dengan variabel penelitian. Metode observasi digunakan dengan tujuan untuk mengecek data yang diperoleh dari informan tentang keadaan di lapangan yang sebenarnya. Bersamaan dengan observasi dilakukan juga pencatatan hasil pengamatan di

lxx

lapangan, pengambilan gambar, pemakaian alat bantu perekam (Bungin, 200: 94).

3.6.3

Studi Dokumen Dokumen merupakan salah satu media yang merupakan rekaman terhadap

proses dan fenomena sosial. Dokumen seringkali mencakup hal-hal yang sifatnya khusus, yang sukar untuk ditangkap melalui observasi langsung. Akan tetapi dokumen hanya memuat sebagian kecil dari proses dan fenomena sosial. Oleh karena itu diperlukan analisis internal dan eksternal terhadap dokumen yang akan dikaji sebagai sumber data (Kartodirjo, 1994: 22). Dokumen-dokumen yang diperlukan sebagai sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen yang dapat memberi informasi mengenai objek penelitian melalui literatur, tulisan, hasil penelitian, koran, majalah dan lainnya yang ada hubungannya dengan TPA, pembuangan sampah dan teknik pengelolaan sampah, serta sikap masyarakat terhadap tempat pembuangan sampah. Dokumen–dokumen tersebut peneliti dapatkan dari kantor Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar, kantor Perbekel Desa Temesi dan laporan hasil penelitian yang tersimpan di berbagai perpustakaan

3.7 Teknik Analisis Data Penelitian

ini

menggunakan

analisis

deskriptif

kualitatif

dan

interpretatif. Data yang dideskripsikan adalah data yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data. Pendeskripsiannya bersifat interpretatif dengan acuan teori dan

lxxi

kerangka berpikir, sehingga diperoleh pemahaman terhadap data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis dengan memakai metode kualitatif adalah menguraikan

dan

menjelaskan

sifat

atau

karakteristik data yang

sebenarnya serta mampu melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi sifat-sifat data yang diperoleh. Lebih lanjut Miles dan Huberman (1992: 15) mengatakan bahwa analisis kualitatif terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi yaitu penarikan kesimpulan.

3.8

Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data akan disajikan secara formal dan informal. Secara

formal akan disajikan tabel, foto dan juga grafik, sedangkan secara informal disajikan dalam bentuk naratif, artinya hasil analisis data yang menggunakan kata-kata atau kalimat sebagai sarananya.

lxxii

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Geografi Desa Temesi Temesi adalah sebuah desa yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Gianyar, Kabupaten Giayar. Letak Desa Temesi hanya sekitar 6,5 km dari keramaian kota Gianyar, dengan waktu tempuh perjalan dari pusat kota sekitar 15 menit. Desa Temesi merupakan wilayah yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung (Profil Desa Temesi 2009). Luas wilayah Desa Temesi mencapai sekitar 310 km2. Luas lahan pertanian di Desa temsi mecapai 193.8 ha. Sisanya yaitu sebanyak 116.2 ha merupakan lahan kering dan lahan lainnya. Sebagaimana daerah lainnya, Desa

lxxiii

Temesi yang merupakan bagian dari Kabuaten Gianyar dikenal dengan dua musim yaitu musim hujan dan kemarau. Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di kawasan Indonesia. Pada bulan Juni sampai September arus angin berasal dari Australia tidak banyak mengandung uap air. Hal ini mengakibatkan musim kemarau. Bulan Desember sampai Maret arus angin banyak membawa uap air karena berasal dari Asia dan Samudra Pasifik setelah melewati beberapa lautan dan biasanya terjadi musim hujan (Gianyar dalam angka 2008). Curah

hujan

antara

lain

dipengaruhi

oleh

keadaan

iklim

dan

perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan letak stasiun pengamat. Di Kabupaten Daerah Tk. II Gianyar ada 4 (empat) stasiun pengamat curah hujan yaitu di Gianyar sendiri No : 443, di Tampaksiring No. 440 C di Celuk Sukawati No. 440 F dan di Ubud. Berdasarkan hasil pengamatan curah hujan, sepanjang tahun 1997 berkisar antara 963 sampai dengan 1547 milimeter. Curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, Oktober, Nopember, dan Desember. Sedangkan bulan-bulan yang terkering adalah bulan Agustus dan September 1997 untuk kawasankawasan Kota Gianyar termasuk Desa Temesi pada bulan September 1997 nyaris tidak pernah turun hujan (Gianyar dalam angka 2008). Desa Temesi memiliki wilayah alam topografi datar memanjang dari selatan ke utara, meliputi tiga Banjar Dinas diantaranya : Banjar Temesi, Banjar Pegesangan dan Banjar Peteluan, Desa Temesi memiliki batas-batas sebagai berikut.

lxxiv

-

Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sidan

-

Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tulikup

-

Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Lebih

-

Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Samplangan

Lokasi Desa Temesi dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan 4.2

PETA KABUPATEN GIANYAR

lxxv

Gambar 4.1 Peta Kabupaten Gianyar Sumber : Selayang Pandang Kabupaten Gianyar 2008

lxxvi

Gambar 4.2 Peta Desa Temesi Sumber: Profil Desa Temesi 2009

Desa Temesi tidak memiliki areal hutan. Akan tetapi, di pinggir sungai kecil yang melintasi desa, tumbuh tanaman yang membentuk hutan kecil. Selain itu di sepanjang telajakan dan pekarangan rumah penduduk juga ditanami berbagai tanaman sehinga dapat berfungsi sebagai area konservasi alam. Sementara itu sawah-sawah sampai saat ini masih dapat dipertahankan kelestariannya, selain mampu mempertahankan kultur agraris juga menjadi daya dukung perekonomian masyarakat setempat 4.2. Sejarah Desa Temesi

lxxvii

Sebagaimana dimaklumi adanya suatu nama desa dapat diyakini mempunyai suatu latar belakang atau sejarah terhadap berdirinya suatu desa, sehingga nama tersebut dipakai. Namun untuk mengungkap sejarah Desa Temesi secara pasti belum bisa dipastikan, karena belum adanya lontar yang bisa menjadikan patokan dalam menyusun sejarah Desa Temesi. Tetapi berdasarkan ceritera yang diproses di masyarakat yang disampaikan oleh para tokoh di dalam acara pertemuan dan dapat dipercaya sebagai sejarah desa kelahiran Desa Temesi dapat diuraikan sebagai berikut; Menurut pendahulu Desa Temesi yang patut dipercaya, kata “Temesi” berasal dar kata “ Lateng Besi ”. Jaman dahulu kala daerah ini hanya ditumbuhi oleh tanaman sejenis semak/pohon Lateng Besi. Di dalam semak-semak tersebut ditemukan “Subatah” yaitu sejenis binatang kecil berupa serangga. Serangga yang disebut subatah tersebut dapat digunakan sebagai obat manjur. Obat inilah yang dipakai mengobati para penduduk yang pada saat itu sebagian besar dalam keadaan sakit (gering agung). Para penduduk yang sakit tersebut segera sembuh dengan diberi obat yang terbuat dari

subatah,

yang mana sebenarnya subatah tersebut

ditemukan di dalam pohon lateng besi, sehingga tempat ini dinamakan Tambe wesi / Tambe besi, kemudian digabungkan menjadi Tembesi, dan lama kelamaan menjadi Temesi sampai sekarang. Sebelum menjadi Desa Temesi yang terdiri dari 3 (tiga) banjar dinas dan juga merupakan satu desa Adat (pakraman), Desa Temesi dahulunya adalah termasuk wilayah Desa Sidan. Melihat situasi dan kondisi perkembangan daerah, ada inisiatif untuk memisahkan (pemekaran) diri dari Desa Induk. Setelah

lxxviii

mengajukan permohonan kepada pihak pemerintah, dengan berbagai persyaratan administrasi, kemudian Pemerintah Kabupaten Gianyar melakukan berbagai pembinaan dan monitoring yang diperlukan dalam hal pemekaran desa. Kemudian pada tanggal 13 Juni 1995 Gubernur KepalaDaerah Tingkat I Bali mengeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 264 Tahun 1995 tentang penetapan desa persiapan Temesi desa Sidan Kecamatan Gianyar Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar Dalam kurun waktu dua tahun, Desa Temesi berstatus desa persiapan. Banyak hal yang telah dilakukan selama kurun waktu dua tahun tersebut antara lain: pembelian tanah untuk dijadikan lokasi membangun kantor Kepala Desa dengan biaya dari swadaya masyarakat, menata administrasi desa maupun banjar dinas serta menata lingkungan desa. Semua itu tidak terlepas dari pembinaan oleh pemerintah Desa Sidan sebagai desa induk, Pemerintah Kecamatan Gianyar dan Pemerintah Kabupaten Gianyar serta Pemerintah Propinsi Bali Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1997 Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 68 Tahun 1997 tentang penetapan desa difinitif Temesi Kecamatan Gianyar, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar Sejak saat itu, desa persiapan Temesi menjadi desa difinitif yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dengan desa lainnya yang ada di Indonesia.

4.3 Demografi

lxxix

Berdasarkan statistik (angka sementara), dalam Tahun 2009, jumlah penduduk di Desa Temesi sebanyak 3.248 jiwa yang terdiri dari 1.666 jiwa atau 51,29% penduduk laki-laki dan 1.582 jiwa atau 48,70 persen penduduk perempuan. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin selengkapnya disajikan dalam tabel 4.1 berikut ini Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No

Indikator

Jumlah Penduduk Tahun 20009

Keterangan

1

Jumlah Penduduk

3.248 jiwa

2

Jumlah Laki-laki

1.666 jiwa

51,29%

3

Jumlah Perempuan

1.582 jiwa

48,70%

4

Jumlah Kepala Keluarga

636 kk

Sumber Data: Profil Desa Temesi Tahun 2009

Dari tiga Banjar yang ada, kepadatan penduduk tertinggi adalah banjar Temesi dengan 1.378 jiwa, kemudian banjar Pegesangan dengan jumlah penduduk 1089 jiwa dan banjar Peteluan dengan jumlah penduduk 800 jiwa. Jumlah penduduk, Desa Temesi yang cukup besar, sangatlah wajar bila itu dijadikan sumber daya untuk membangun dan mengembangkan potensi desa. Namun semua itu tidak akan terjadi jika tanpa didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang tinggi, selanjutnya akan dapat menjadi bumerang, atau bisa menjadi beban, bahkan sebagai penghambat kemajuan desa. Untuk beberapa tahun terahir ini tingkat kesadaran masyarakat Desa Temesi cukup tinggi terhadap pentingnya manfaat pendidikan. Sebagian besar masyarakat Desa Temesi sudah sadar dengan pentingnya pendidikan bagi mereka.

lxxx

Masyarakat Desa Temesi telah banyak merasakan manfaat pendidikan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dapat memberi warna baru pada kehidupan berbangsa dan negara. Pendidikan merupakan modal dasar yang sangat bermanfaat dan dapat dipetik hasilnya di kemudian hari. Pendidikan merupakan salah satu jalan meraih sukses. Program pendidikan yang telah dicanangkan diharapkan mampu melahirkan manusia-manusia

yang berkualitas untuk

kemajuan Desa Temesi. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Temesi dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut ini. Tabel 4.2 Penduduk Desa Temesi Digolongkan Menurut Tingkat Pendidikan No

Indikator

Jumlah

1.

Perguruan Tinggi/Sederajat

74 orang

2.

Akademi/Sederajat

55 orang

3.

SLTA/Sederajat Pernah

639 orang

4.

SLTP/Sederajat

767 orang

5.

SD /Sederajat

6.

Lainnya

1107 orang 632 orang

Sumber : RPJM Desa Temesi 2010.-2015

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa, sekarang ini tingkat pendidikan masyarakat Desa Temesi sudah cukup tinggi, dan peluang untuk terus meningkat sangat besar mengingat pemerintah Kabupaten Gianyar telah membuat program unggulan yang memberikan keringan yaitu dengan SPP gratis untuk siswa SD dan SMP di seluruh Kabupaten Gianyar 4.4 Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Temesi

lxxxi

Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Temesi dilandasi filsafah Tri Hita Karana. Secara rafia konsef Tri Hita Karana artinya tiga penyebab kesejahteraan atau kebahagiaan yang perlu diseimbangkan dan diharmoniskan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), dan manusia dengan lingkungan (Palemahan) (Bali Mandara, Edisi II: 31). Perilaku kehidupan masyarakatnya dilandasi oleh falsafah “Karmaphala”, yaitu keyakinan akan adanya hukum sebab-akibat antara perbuatan dengan hasil perbuatan. Sebagian besar kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan berbagai upacara agama/adat, sehingga kehidupan spiritual mereka tidak dapat dilepaskan dari berbagai upacara ritual yang didukung oleh kelembagaan yang bersifat tradisional diantaranya desa Adat ( pakraman), subak, dan sekaha 4.4.1 Desa Adat (Desa Pakraman) Kabupaten Gianyar sebagai salah satu icon Bali dalam menata kehidupan sosial budaya yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan daerah lain di luar Bali. Di dalam tata pemerintahan, di samping adanya pemerintahan yang bersifat administratif juga ada kelembagaan yan bersifat adat sesuai dengan sosio – kultural masyarakatnya. Kelembagaan adat yang dikenal dengan sebutan desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun, dalam kaitan Khayangan Tiga, atau Khayangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangga sendiri (Perda No. 3 Tahun 2001, Pasal 1, ayat 4 ). Desa

lxxxii

adat (Pakraman) merupakan salah satu bentuk pemerintahan yang khusus dan sudah terstruktur. Tata pemerintahan yang terdapat di Desa Temesi tidaklah jauh berbeda dengan desa-desa lain di Kabupaten Gianyar. Selain pemerintahan administratif Desa Temesi juga merupakan kelembagaan yang bersfat adat. Kegiatan yang dilakukan dalam desa adat (pakraman) meliputi bidang adat dan keagamaan. Selain itu, desa adat Temesi memiliki aturan adat tersendiri yang dituangkan dalam awig-awig desa (aturan hukum adat). Dari segi pemerintahan, desa Adat (pakraman ) Temesi bersifat otonom, dalam arti desa adat Temesi mempunyai aturan tersendiri yang berlaku bagi desanya, yang sama sekali tidak bertentangan dengan sistem pemerintahan desa administratif. Disamping itu aturan-aturan yang tertuang dalam awig - awig yang ada di Desa Temesi sama sekali juga tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku baik di tingkat daerah maupun nasional. Desa adat (pakraman ) Temesi terdiri dari tiga banjar adat yang merupakan stuktur terendah dalam desa adat tersebut, diantaranya banjar adat Pegesangan, Temesi dan Peteluan. Masing-masing banjar adat tersebut merupakan bentuk kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat, yang mempunyai landasan dasar adalah berupa konsep Tri Hita Karana Tiga banjar adat yang ada di Desa Temesi sebagai satu kesatuan sosial yang lebih kecil ruang lingkupnya, menyebabkan hubungan sosial yang terjadi diantara warganya lebih intensif dibandingkan tingkat Desa. Prinsif utama yang

lxxxiii

melandasi ikatan kesadaran sosial di tingkat banjar adat yang ada di desa adat Temesi adalah ikatan pasuka-dukaan, sebab dalam prinsif ini semua warga yang tergabung di dalamnya akan merasa sepenanggungan, baik dalam suka maupun duka. Di dalam ikatan kesadaran sosial di tingkat banjar adat inilah masyarakat Desa Temesi melakukan berbagai macam kegiatan baik berupa kegiatan sosial maupun keagamaan. Kegiatan sosial misalnya gotong-royong memperbaiki dan membersikan jalan, memperbaiki atau mendirikan tempat suci dan sarana sosial lainnya. Dibidang agama misalnya melaksanakan upacara agama secara kolektif. Di samping itu, ada pula kegiatan yang dilakukan tiap-tiap keluarga sebagai satu kesatuan sosial yang paling kecil dalam masyarakat, seperti upacara perkawinan, potong gigi, dan upacara lainnya. Jika dirasakan perlu bisa saja keluarga yang bersangkutan meserah ke banjar artinya mohon kepada banjar untuk menyelesaikan pekerjaan atau tugas-tugas tertentu

4.4.2 Subak Selain desa adat Temesi, terdapat pula lembaga adat yang tidak kalah berartinya bagi kehidupan masyarakat Desa Temesi, yaitu subak. Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosioagraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah (Peraturan-daerah pemerintah daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972). Subak yang ada di Desa Temesi bernama Subak Temesi. Subak ini seolah-olah lepas dari desa ataupun banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga Subak Temesi tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi

lxxxiv

anggota Desa Temesi. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang menerima air irigasinya dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak Temsi tadi hidup dalam lingkungan Desa Temesi. Sebaliknya ada beberapa seorang warga yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh Subak Temesi. Dengan demikian warga tersebut akan menggabungkan diri dengan Subak Temesi. Subak Temesi dengan luas 165,055 Ha, beranggotakan 305 orang dengan batas wilayah di sebelah utara adalah Banjar Temesi, disebelah timur adalah Sungai Gelulung, sebelah selatan adalah Sungai Sangsang, dan sebelah barat adalah Sungai Sangsang merupakan potensi yang sangat penting bagi masyarakat Desa Temesi yang sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai petani. Subak Temesi ini telah mempunyai susunan organisasi kerja yang jelas dalam menjalankan kegiatannya, ini dapat dibuktikan dengan keberhasilan Subak Temesi mewakili Kabupaten Gianyar dalam Lomba Subak Tingkat Provinsi Bali Tahun 2009.

4.4.3

Sekaha Dalam kehidupan kemasyarakatan di Desa Temesi, ada organisasi-

organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. Organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenaan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris),

lxxxv

sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. Sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi Desa Temesi Organisasi adat yang yang perannya cukup penting di Desa Temesi adalah Sekaa Taruna. Sekaa Taruna ini adalah organisasi yang mewadahi aktivitas kepemudaan di Desa Temesi. Ruang lingkup kegiatannya erat kaitannya dengan seni, adat, budaya, dan agama Hindu. Namun, tidak tertutup kemungkinan Sekaa Taruna yang ada di masing-masing banjar di lingkungan Desa Temesi juga menjadi wadah pengembangan bakat, minat dan kepedulian pemuda dalam berbagai bidang kehidupan lainnya seperti, olahraga dan aktivitas-aktivitas lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat di Desa Temesi dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitas di sawah (seperti menanam,

menyiangi,

panen,

dan

sebagainya),

sekitar

rumah

tangga

(memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. Nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. Selain nguopin, di Desa Temesi masih ada acara gotong-royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut

lxxxvi

ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu odalan (upacara). Bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keperluan agama, masyarakat maupun pemerintah.

4.5 Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Temesi Struktur perekonomian Desa Temesi masih bercorak agraris yang menitik beratkan pada sektor pertanian. Hal ini didukung oleh

penggunaan lahan

pertanian masih mempunyai porsi yang terbesar sebanyak 60% dari total penggunaan lahan desa (RPJM Desa Temesi 2010-2015). Beberapa sektor ekonomi yang tergolong economic base dan menonjol di samping sektor pertanian adalah, perdagangan, industri rumah tangga dan pengolahan. Pada sektor perdagangan di Desa Temesi hanya berupa warungwarung kecil yang menyediakan keperluan sehari-hari. Sedangkan fasilitas pasar sama sekali tidak ada di Desa Temesi. Pada sektor industri rumah tangga dan pengolahan termasuk didalamnya adalah kerajinan, seni lukis, dan seni ukir. Pada sektor jasa, yang menonjol adalah tumbuhnya lembaga/institusi keuangan mikro berupa Koperasi, dan LPD sebagai pendukung ekonomi desa. Hal ini diharapkan akan membawa dampak positif dalam perkembangan ekonomi desa secara keseluruhan. Disamping itu sektor jasa yang lain adalah angkutan umum pedesaan dan penyewaan mobil (rent car). Berikut ini tabel 4.3 yang memberikan petunjuk mata pencaharian masyarakat Desa Temesi

lxxxvii

Tabel 4.3 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Temesi No.

Mata Pencaharian

Jumlah

1

Petani + buruh tani

2

Tukang + Buruh

3

Pengrajin

4

Jasa

5

Pengusaha

6

PNS

138 orang

7

ABRI

31 orang

8

Swasta

989 orang

9

Lainnya

488 orang

1.188 orang 225 orang 28 orang 165 orang 22 orang

Sumber : RPJM Desa Temesi 2010

4.6 Aktivitas Pengelolaan Sampah di TPA Temesi Sampah dari berbagai Tempat Pembuangan Sementara (TPS) maupun Transfer Depo (TD) yang berasal dari seluruh wilayah Kabupaten Gianyar, akan dikumpulkan di TPA Desa Temesi yang diharapkan menjadi tempat sampah akhir dari seluruh proses pengelolaan sampah. Sampah yang dihasilkan dari aktivitas penduduk Kabupaten Gianyar ini perlu penanganan yang benar agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembuangannya, sehingga hal yang sekiranya dapat mengganggu kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan tidak akan terjadi. Dengan penempatan TPA secara terpusat ini diharapkan

lxxxviii

dapat melakukan

penanganan sampah secara terpadu, sehingga akibat atau dampak negatif yang ditimbulkan dapat ditekan serendah mungkin berdasarkan teknologi yang ada.

4.6.1

Pemanfaatan Tempat Pembuangan Akhir di Desa Temesi

Pengelolaan sampah di Desa Temesi adalah bentuk pengelolaan sampah dengan sistem terpadu yang berorientasi pada teknologi. Pengelolaan sampah di TPA Temesi dengan menggunakan teknologi ini diharapkan

penanganannya

dapat menjadi cepat, evektif dan efesien, sehingga tidak merusak lingkungan, dan justru sebaliknya dapat memberikat manfaat yang lebih baik. Tempat pembuangan akhir (TPA) di Desa Temesi merupakan TPA open dumping yang wilayah kerjanya mencakup daerah Kabupaten Gianyar. Sedangkan aktivitas pengelolaan sampah di wilayah Kabupaten Gianyar sendiri dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap penampungan, tahap pengangkutan, tahap pembuangan di TPA. Pada tahap penampungan ini, setiap rumah tangga menyediakan tempat sampah tertutup yang dilapisi kantong plastik, untuk menampung sampah yang tidak dapat dimanfaatkan. Adanya kesadaran masyarakat menampung sampah dengan kantong plastik ini adalah untuk mempermudah petugas pada saat proses pengangkutan dan tidak ada sampah yang tercecer atau tertinggal dari tempat penampungan. Selain itu mengumpulkan sampah dengan kantong plastik adalah untuk mengurangi bau yang tidak sedap yang dikeluarkan oleh sampah tersebut. Dari tempat penampungan rumah tangga sampah kemudian diangkut dengan menggunakan gerobak ke tempat penampungan sementara. Pemerintah

lxxxix

Kabupaten Gianyar telah menyediakan Pool Container

sebagai tempat

penampungan sementara. Pool Container biasanya di letakan di pinggir jalan di sekitar permukiman, kawasan komersial seperti pasar, yang memiliki ukuran kurang lebih 6 sampai dengan 10 meter kubik, berbentuk sebuah bak penampung yang terbuat dari plat besi. Untuk sampah rumah tangga biasanya diangkut setiap 2 hari sekali oleh petugas kebersihan ke tempat penampungan sementara. Sedangkan untuk sampah yang berasal dari limbah pasar diangkut setiap hari oleh petugas kebersihan pasar ke tempat penampungan sementara. Selain sampah yang berasal dari rumah tangga dan pasar, ada pula sampah yang berasal dari ruas-ruas jalan. Sampah tersebut dikumpulkan dan diangkut langsung oleh petugas dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar. Sampah-sampah yang telah terkumpul di tempat penampungan sementara akan diangkut langsung dengan menggunakan truk hidrolik, selanjutnya dibawa ke TPA di Desa Temesi. Lokasi TPA ini dapat dilihat dari denah pada gambar 4.3 berikut ini.

xc

Gambar 4.3 Denah Menuju TPA di Desa Temesi ( Dokumen: Putra. 2010 )

Setibanya di TPA Temesi, sampah-sampah tersebut langsung dihamparkan di lahan seluas 2400 m². Setelah dihamparkan di TPA Temesi kemudian sampahsampah tersebut dipilah-pilah, kemudian antara sampah organik dengan sampah anorganik dipisahkan. Sampah yang bersifat organik dikupulakan untuk dimanfaatkan sebagai pupuk atau kompos, sedangkan sampah yang bersifat anorganik dimanfaatkan untuk didaur ulang menjadi barang-barang yang lebih berharga.

(sumber:

Tempat

Pembuangan

Akhir

TPA

Temesi,

http://mydiplog.blogspot.co/2009/06/tempat-pembuangan-akhir-tpa-temesi.html, diakses 8 November 2010) TPA Temesi saat ini

dikelola oleh Rotary-Act International. Setiap

harinya kapasitas sampah yang di tampung di TPA Temesi adalah kurang lebih 50 ton. Kondisi TPA Temesi tampak dari depan tidak terlihat seperti TPA lainnya.

xci

Karena pastinya orang sudah membayangkan bahwa TPA adalah tempat yang kotor, bau, gersang, panas, dan kondisi buruk lainnya. Namun usaha keras dilakukan untuk merubah citra tersebut, karena pada dasarnya

TPA Temesi

memang dibuat untuk kampanye dan sosialisasi kepada masayarakat sekaligus sebagai percontohan tentang pengelolaan sampah yang baik dan bersih. Oleh karena itu pada area depan TPA Temesi dibuat gedung yang berisi media-media sosialisi, bahkan ada museum dan tempat bersantai karena memang harapannya TPA di Desa Temesi ini bisa menjadi tempat yang ramah lingkungan. Pada area belakang adalah tempat pengumpulan dan pengolahan disana terdapat fasilitas pemilahan sampah, pencacahan sampah organik dan tempat pembuatan kompos dari sampah organik. Memang di area terlihat tidak seperti pada area depan yang cukup bersih dan asri, karena pada area pengolahan ini memang tempat sampah diturunkan dan diolah, jadi pada area ini tampak kotor, masih banyak lalat dan agak bau. Namun setidaknya TPA Temesi kondisinya tidak seperti TPA konvesional di kota besar di Indonesia lainnya yang kotor kumuh dan bau yang sangat menyengat. Hal yang berbeda dari TPA Temesi dibandingkan dengan TPA lainnya di Indonesia, disana bukan saja terdapat lahan untuk menampung sampah. Di TPA Temesi juga dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas seperti taman bermain, pusat pendidikan lingkungan, dan peralatan demonstrasi pengolahan sampah menjadi limbah yang bermanfaat. (Sumber: Temesi menarik warga lokal jadi pemulung, http://temesirecycling.com/?p=9, diakses 8 November 2010)

xcii

Fasilitas-fasilitas yang tersesedia di TPA Temesi terdiri dari : taman bermain, fasilitas pendidikan lingkungan, fasilitas pengolahan sampah menjadi kompos 1. Taman bermain Didirikannya theme park sebagai fasilitas di TPA Desa Temesi tujuannya untuk menghilangkan kesan TPA yang kumuh, kotor dan gersang. Di sekitar area tersebut dikelilingi pepohonan yang teduh, memberikan kesan sejuk, dengan harapan taman bermain tersebut dapat menarik masyarakat untuk berkunjung. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.4 berikut ini

Gambar 4.4 Fasilitas taman bermain (Dokumen: Putra. 2010) 2. Fasilitas pendidikan lingkungan Pendidikan lingkungan dan kesadaran masyarakat adalah kunci utama dalam mengatasi masalah lingkungan dan merubah iklim. Di fasilitas ini tersedia berbagai informasi, solusi dan alternatif dalam menangani masalah lingkungan yang terjadi. Di dalam fasilitas pendidikan lingkungan dilengkapi dengan fasilitas antara lain:

xciii

a. Rumah demo hemat listrik Fasilitas ini diadakan untuk menunjukan kepada masyarakat cara-cara menghemat listrik dalam kehidupan sehari-hari, tujuannya adalah selain untuk menghemat energi juga untuk mengurangi proses pembetukan gas rumah kaca yang terlepas ke atmosfir akibat dari pemborosan energi, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5 berikut ini

Gambar 4.5 Fasilitas rumah demo hemat listrik (Dokumen: Putra. 2010)

b. Peralatan demo bioreaktor Bioreaktor skala kecil untuk menunjukan tentang proses terbentuknya gas metan dari sampah padat dan cair yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Tujuan disediakannya peralatan ini untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang bahan bakar alternative yang ramah lingkungan. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.6 berikut ini

xciv

Gambar 4.6 Peralatan Bioreaktor (Dokumen: Putra. 2010)

3. Fasilitas pengolahan sampah menjadi kompos Hal yang paling utama dalam pengelolaan sampah di TPA Desa Temesi ini adalah pengolahan sampah organik menjadi kompos. Kegiatan yang dilakukan dalam pengolahan sampah menjadi kompos ini terdiri dari : a) pemilahan sampah organik dan anorganik, b) proses pembuatan kompos. Tujuan dari pengolahan sampah menjadi kompos ini adalah untuk memanfaatkan sampah-sampah organik sehinga dapat digunakan sebagai pupuk untuk pertanian., seperti ditunjukkan pada gambar 4.7

xcv

Gambar 4.7 Tumpukan sampah organik ( Dokumen: Putra. 2010) 1. Tiap-tiap rumah tangga menyediakan tempat pembuangan sampah tertutup dilapisi kantong plastik, sampah tersebut dikumpulkan pada wadah kantong plastik tersebut, tujuannya untuk mempermudah petugas kebersihan pada saat proses pengangkutan.seperti pada gambar 4.8

Gambar 4.8 Tempat pembuangan sampah rumah tangga (Dokumen: Putra.2010) 2. Sampah tersebut untuk kemudian diangkut oleh petugas kebersihan ke tempat penampungan sementara pool container, yang disediakan Dinas Kebersihan, seperti terlihat pada gambar 4.9

xcvi

Gambar 4.9 Tempat pengumulan sampah sementara di pool container ( Dokumen: Putra. 2010) 3.

Sampah yang telah terisi penuh di pool container kemudian di angkut dengan menggunakan truk menuju ke tempat penampungan samapah di Desa Temesi. Pelayanan penganggukat sampah dilakaukan oleh dinas kebersihan sebanyak 2 kali dalam sehari yaitu pagi hingga siang dan sore hingga malam.seperti tertera pada gamgar 4.10 berikut ini

Gambar 4.10 Pengangukatan sampah oleh Petugas DKP Gianyar ke lokasi TPA (Dokumen: Putra. 2010)

4. Setibanya di TPA Desa Temesi sampah kemudian dihamparkan pada tempat penumpukan sampah terakhir.

xcvii

5. Di TPA Temesi sampah kemudian dipilah antara sampah organik dan anorganik. Samapah organik nantinya akan diolah untuk dijadikan kompos. Sedangkan sampah anorganik biasanya dikumpulakan oleh pemulung untuk dijual kepada pengepul barang bekas, seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.11 berikut ini

Gambar 4.11: Kegiatan pemilahan sampah di TPA Temesi ( Dokumen: Putra. 2010) 4.6.2 Aktivitas Pemulung di TPA Temesi Kegiatan pengolahan sampah di TPA Temesi mempekerjakan ratusan orang yang kebanyakan berasal dari Jawa. Para pekerja tersebut disediakan tempat tinggal temporal yang terbuat dari bambu dan papan serta MCK (mandi, cuci, kakus) seadanya, seperti terlihat pada gambar 4.12 berikut ini

xcviii

Gambar 4.12 Tempat tinggal para pemulung yang sangat sederhana dan tampak kumuh ( Dokumen: Putra. 2010) Mereka bertugas memilah sampah organik dan sampah anorganik, mecacah sampah organik membuat kompos dan lain-lain. Bagi para pekerja yang bertugas memilah sampah, jam kerja mereka adalah selama tujuh jam dalam sehari, dengan sistem upah borongan. Dalam sehari rata-rata mereka dapat menghasilkan uang sekitar Rp 10.000,- s/d Rp.20.000,-

dari hasil

mengumpulkan sampah organik sebanyak 250 s/d 500 Kg. Selain itu, mereka juga mendapat penghasilan dari mengumpulkan barang bekas yang masih mempunyai nilai ekonomi. Di samping para pemilah sampah ada juga para pekerja yang bertugas mencacah sampah organik, pembuat kompos, dan para pekerja yang bertugas mengemas kompos yang telah jadi. Selain para pekerja yang ada di TPA Temesi, di sana juga tampak aktivitas pemulung yang berasal dari berbagai daerah. Mereka saling berdatangan dan berebut ketika sampah baru diturunkan dari truk pengangkut sampah. Para pemulung tersebut memungut sampah-sampah seperti kardus, kemasan air mineral dan bahan-bahan yang terbuat dari plastik lainnya.

xcix

Menurut mereka barang-barang tersebut masih bernilai ekonomis, karena masih bisa dijual kepada penampung-penampung atau pengepul barang bekas. Dari hasil pekerjaan yang mereka lakukan bisa digunakan untuk menafkahi diri dan keluarga mereka. Di samping penduduk pendatang, banyak penduduk lokal atau masyarakat setempat di Desa Temesi mau bekerja untuk menjadi pemulung. Penduduk Temesi kini tidak lagi malu bekerja di TPA tersebut. Mereka memilah dan mengumpulkan botol atau barang bekas anorganik lainnya untuk dijual seperti yang dilakukan pemulung lainnya yang berasal luar daerah Desa Temesi. Untuk saat ini terdapat 12 warga masyarakat Desa Temesi yang menjadi pemulung di TPA, seperti yang terlihat pada gambar 4.13 berikut ini.

c

Gambar 4.13 Aktivitas pemulung lokal di TPA Temesi (Dokumen: Putra. 2010) Keadaan seperti gambar 4.13 di atas, menunjukan masyarakat setempat tidak segan-segan lagi mengambil pekerjaan apapun, menjadi pemulung sekalipu tidak menjadi masalah, yang terpenting adalah menghasilan uang. Tidak perduli dengan lingkungan yang sangat kotor, bau busuk dan banyak lalat. Mereka sekarang telah terbiasa dengan keadan seperti itu, dan mereka berpandangan setiap sampah yang datang adalah anugerah yang harus dimanfaatkan. BAB V RESPONS MASYARAKAT SETEMPAT TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR DI DESA TEMESI KABUPATEN GIANYAR

Menurut laporan pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar, pada tahun 2008 volume sampah yang terangkut oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan setiap harinya mencapai 180 m3, dari jumlah tersebut sebagian besar adalah sampah yang berasal dari limbah rumah tangga. Lebih lanjut, IB. Kesawa, selaku Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar menyatakan volume sampah semenjak musim hujan di Gianyar mencapai 200 kubik per hari. Akibatnya, TPA di Desa Temesi kewalahan menampung tumpukan sampah tersebut (Dewata Post, 7 Mei 2010). Kesawa juga menyampaikan volume sampah di TPA meningkat karena disebabkan musim hujan, berupa kiriman sampah dari hulu. Bahkan banyak juga desa-desa di Kabupaten Gianyar yang membuang sampah langsung ke TPA Temesi. Tingginya volume sampah di Kabupaten Gianyar setiap harinya merupakan ancaman bagi lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai

ci

daerah

kunjungan wisata tuntutan agar terciptanya lingkungan yang bersih, lestari dan asri merupakan suatu keharusan bagi wilayah Kabupaten Gianyar, semua itu bertujuan untuk memberikan rasa nyaman baik bagi wisatawan yang berkunjung maupun bagi penduduk setempat. Untuk itu masalah sampah merupakan suatu pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kabupaten Gianyar terutama masalah sampah kota.

Pada dasarnya, masalah sampah dan pengelolaannya bukan hanya menjadi tanggung jawab dari Pemerintah atau aparat kebersihan akan tetapi menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat. Pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar memerperlukan kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat secara harmonis agar didalam pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik. Namun, untuk membangun kerjasama itu tidak mudah. Pada kenyataannya masih ditemukan kurangnya kesadaran dan partisipasi dari masyarakat untuk mendukung pemerintah dalam pengelolaan sampah secara baik, sehingga menciptakan lingkungan yang bersih di Kabupaten Gianyar. Kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat tersebut terbukti dengan masih adanya masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempat-tempat yang dianjurkan pemerintah. Seperti di bantaran sungai, pinggir jalan, atau di tempattempat lainnya yang tidak selayaknya menjadi tempat membuang sampah atau menimbun sampah. Menghadapi tantangan ini upaya pemerintah untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tersebut adalah dengan memberikan pendidikan, penyuluhan-penyuluhan, himbauan melalui iklan atau papan

cii

pengumuman, bahkan ada juga peringatan sangksi bagi yang melanggar. Perilaku dan budaya hidup bersih yang disertai rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya memerlukan proses pendidikan panjang dari generasi ke generasi. Dengan demikian untuk menuju kemandirian dan keberlanjutan kegiatan pengelolaan sampah, maka unsur peran serta masyarakat maupun program pendidikan lingkungan harus terus didorong (Lengkung Lensa Lingkungan, Maret 2009: 2). Pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar yang diselengarakan pemerintah setempat adalah menggunakan konsep ramah lingkungan, artinya mulai dari proses pengumpulan hingga sampai pada pembuangan di TPA diharapkan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. TPA di Desa Temesi sebagai tempat pembuangn terakhir sampah merupakan TPA yang dirancang secara modern. Semua sampah yang di tampung dari seluruh wilayah Kabupaten Gianyar diolah dengan baik sehingga diharapkan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan atau pencemaran. Keberadaan TPA di Desa Temesi tidak seperti TPA lainnya. TPA ini pada awal berdirinya merupakan TPA pertama yang dikelola sacara modern dan ramah lingkungan. Selain kondisi yang tidak begitu gersang sebagaimana kesan TPA pada umumnya di Indonesia. TPA Temesi juga dilengkapi fasilitas-fasilitas yang tidak umum tersedia di TPA lainnya di Indonesia. Untuk itu pengelolaan TPA di Desa Temesi sejak pertama berdirinya selalu dijadikan percontohan bagi TPA lainnya.

ciii

Dibangunnya TPA di Desa Temesi merupakan bukti keseriusan Pemerintah dalam menanggulangi permasalahan sampah di Kabupaten Gianyar. Harapan Pemerintah Kabupaten Gianyar dengan strategi pengelolaan sampah yang telah dilakukan saat ini adalah keinginan menciptakan lingkungan yang bersih, lestari, dan asri dapat tercapai. Akan tetapi keberadaan pengeloaan sampah di TPA Desa Temesi sejak awal beroperasinya hingga sekarang menimbulkan juga berbagai respons dari masyarakat baik yang bentuknya positif dan negatif. Berdasarkan hasil penilaian peneliti, berdirinnya TPA di Desa Temesi sebagian besar menimbulkan

respons yang negatif dari masyarakat setempat

terutama yang tinggal di sekitar wilayah Desa Temesi. Konflik yang terjadi terhadap keberadaan TPA tersebut karena adanya perbedaan kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan pendapat storey (2004:173) bahwa hegemoni mengimplikasikan tingkat konsesus yang tinggi, bunkanlah berarti bahwa masyarakat senantiasa berada pada situasi tanpa konflik. Hegemoni secara inheren bersifat labil atau kemapanannya bersifat sementara. Oleh karenanya hegemoni harus senantiasa diperjuangkan dan direnegosiasikan, karena

tidak

tertutup

kemungkinan

adanya

perlawanan

yang

bersifat

kontrahegemoni. Termasuk ke dalam perlawanan kontrahegemoni adalah berbagai bentuk subversi yang dilakukan terhadap konsepsi yang telah berlaku umum sebagai upaya untuk mengubah pemahaman terhadap ideologi yang sedang berlaku (Barker, 2005 : 80-82 ). Adanya perlawanan akibat perbedaan kepentingan jelas menimbulkan konflik. Pitana & Gayatri ( 2005 : 20-21), menerangkan bahwa ada tiga asumsi

civ

dasar yang menjadi panduan konflik; (1) Setiap orang (kelompok) mempunyai kepentingan (interest) yang sering berbeda bahkan bertentangan dengan orang (kelompok) lain dalam sesuatu masyarakat. (2) Sekelompok orang mempunyai power (kekuatan) yang lebih dibandingkan kelompok-kelompok lainnya, sehingga lebih mudah memenuhi kepentingannya, yang pada akhirnya bermuara pada ketidakadilan. Timbul kelompok yang mengeksploitasi dan kelompok yang tereksploitasi. (3) Kepentingan dan penggunaan kekuatan (power)

untuk

mencapai kepentingan tersebut dilegitimasi dengan sistem ide dan nilai-nilai yang disebut ideologi, sehingga pada akhirnya yang berkembang adalah ideologi kelompok dominan. Oleh karena itu di dalam bab ini akan membahas mengenai bagaimana respons positif dan negatif, persepsi positif dan negatif serta sikap dan prilaku positif dan negatif, masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi. Aspek-aspek ini akan di analisis menggunakan teori hegemoni . Dasar pertimbangan penulis menggunakan teori tersebut karena telah terjadi keterpinggiran yang dialami oleh masyarakat setempat terkait dengan keberadaan TPA di Desa Temesi.

5.1 Respons Positif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA Dibangunnya TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar, adalah untuk menampung sampah di wilayah seluruh Kebupaten Gianyar. Alasan dipilihnya Desa Temesi sebagai lokasi TPA di wilayah Kabupaten Gianyar, karena akses menuju tempat tersebut dekat dengan pusat Kota Gianyar dan daerah-daerah lainnya. Selain itu, desa tersebut merupakan daerah pertanian, hal ini sejalan

cv

dengan konsep pengolahan sampah yaitu mendaur ulang sampah menjadi kompos sehingga dapat bermanfaat bagi kesuburan pertanian di daerah tersebut. Keberadaan TPA di Desa Temesi secara umum disambut baik oleh masyarakat

di

seluruh

wilayah

Gianyar.

Mereka

beranggapan

dengan

dibangunnya TPA tersebut berarti masalah sampah sudah dapat di atasi. Namun hal ini berbeda bagi masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Desa Temesi. Dari hasil penelitianyang dilakukan peneliti menunjukan bahwa hanya sebagian masyarakat setempat merespon positif terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi tersebut. Masyarakat menganggap dengan berdirinya TPA di Desa Temesi, berarti sudah ada tempat untuk menampung sampah-sampah yang selama ini berada di lingkungan Desa Temesi. Kini tidak ada lagi

masyarakat yang membuang

sampah sembarangan, atau menimbun sampah secara tradisional pada lahanlahan kosong di lingkungan rumah atau lingkungan desa. Selain itu kini tidak ada lagi kegiatan pembakaran sampah yang dilakukan oleh masyarakat yang menimbulkan polusi dan merusak lingkungan. Semua ini sejalan dengan pendapat seorang pengamat lingkungan Najdjamudin Ramly dalam Em Forum Indonesia (Juli 2008 : 5) mengatakan bahwa paradigma memahami lingkungan adalah bagaimana lingkungan sebagai teman hidup yang harus dirawat sesuai dengan norma, agam hukum negara, dan etika masyarakat, bukan sebaliknya malah merusak. Pemanfaatan untuk keuntungan materi memang sah-sah saja, namun semua itu harus berdasarkan pada ketentuan yang berlaku, sebab lingkungan hidup merupakan bagian tak terpisahkan dari jagat raya dan keberlangsungan

cvi

kehidupan alam semesta yang pantas diperlakukan secara manusiawi. Pandangan seperti itu sejalan dengan konsep keaifan lokal yang telah dimiliki dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Temesi yaitu Tri Hita Karana. Dan ketika berbicara mengenai Tri Hita Karana, sebagian besar orang masih terfokus pada hubungan manusia dengan Tuhan. Artinya programnya adalah meningkatkan sarada dan bakti umat terhadap Ida Sang Hyang Widhi, dengan memperbaiki parahyangan dan menggelar yadnya. Namun ada hal lain yang semestinya mulai saat ini menjadi fokus adalah kelestarian lingkungan (Taksu, Agustus 2010: 22). Maksudnya adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama menciptakan lingkungan yang asri, lestari di wilayahnya tanpa mengorbankan lingkungan yang lainnya. Keharmonisan dan keseimbangan lingkungan di sekitar TPA Desa Temesi akan memberi nilai tambah, dan citra baik kepada Pemerintah Kabupaten Gianyar didalam memberi pelayanan terhadap masyarakat serta mendapat respons yang positif dari sebagian masyarakat setempat. Dibangunnya TPA di Desa Temesi juga memberi kemudahan kepada masyarakat setempat, misalnya sampah-sampah sebagian besar dihasilkan dari rumah tangga dapat langsung diangkut oleh petugas kebersihan yang telah dimiliki oleh desa tersebut dan masyarakat itu sendiri. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Gianyar melaui progran PNPM Mandiri Pedesaan telah membantu dengan membangun beberapa bak-bak sampah di sepanjang jalan menuju TPA, serta di lingkungan Desa Temesi. Jadi masyarakat Temesi telah diberikan fasilitas untuk menampung sampah sementara, sebelum dianggkut ke TPA. Masyarakat tidak perlu lagi membuang atau membakar

cvii

sampahnya sembarangan di sekitar pekarangan rumahnya. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.1 berikut ini

Gambar 5.1 Masyarakat setempat membuang sampah di TPS di Desa Temesi (Dokumen, Putra. 2010) Menurut pendapat salah seorang informan I Made Sumadi

yang

disampaikan kepada peneliti: ” sane mangkin lingkungan diriki sampun ngawit bersih, lulu sane akeh, taler muyag dumun, mangkin sampun medikang. sampun wenten tongus lulu, dirika sampun kutang lulune, acolohan titiang punuki becik pisan” (wawancara tanggal 12 Januari 2010). ( kini lingkungan Desa Temesi sudah mulai bersih, karena sampah yang sebelumnya berserakan di wilayah tersebut, tak tahu mau dibawa kemana, berangsur-angsur sudah mulai berkurang. Sudah ada bak sampah, bisa dibuang disana menurut saya ini baik sekali ). Dari hasil wawancara di atas, dapat dianalisis bahwa informan merasa senang, karena selain dibangunnya TPA di desanya, pemerintah juga membantu menyediakan fasilitas kebersihan lingkungan. Adanya bantuan pendirian tempat pembuangan sampah sementara di sepanjang ruas jalan di Desa Temesi,

cviii

menyebabkan masyarakat setempat tidak terlau sulit untuk membuang sampah dari hasil buangan keluarga. Keberadaan TPA di wilayah Desa Temesi bukan hanya menguntungkan bagi masyarakat dari sisi kebersihan lingkungan, akan tetapi dari segi ekonomi. Rano Karno (dalam EM Forum Indonesia. Juli 2008:9), menyatakan sampah adalah uang, jika mampu mengelolanya kompos. Ada sebagian

dengan tepat dan menjadikannya

masyarakat setempat mendapatkan berkah dari

keberadaan TPA tersebut. Kegiatan memproduksi kompos di TPA Desa Temesi, sedikitnya dapat pendapatan menyerap tenaga kerja masyarakat setempat sehingga dapat membantu meningkatkan keluarga. Selain itu,

keberadaan tumpukan

sampah di TPA Temesi memberi kesempatan kepada sebagian

masayarkat

setempat berprofesi sebagai pemulung dan pengepul barang bekas, yaitu mengumpulkan sampah atau barang bekas yang masih memiliki nilai ekonomi, seperti seperti pada gambar 5.2 di bawah ini

Gambar. 5.2 Pemulung memilah sampah plastik

cix

yang bernilai ekonomi tinggi (Dokumen: Putra. 2010) Terkait dengan aktivitas tersebut di atas seorang informan yang bernama I Nyoman Pusut mengatakan : “ Dumun titiyang mekarya ring pariwisata dados supir, nganter tamu, aluh ngerereh jinah daweg punika. Bom Bali satu meledak, tamune bedik, kapah polih luas, krisis dadosne, nangin nenten sue tamune akeh malih rauh ke Bali. Bom bali II meledak suwung sajan, tenpolih megai, lantas tiyang meburuh ngaryaning bata merah, wenten suwecan widhi nanging anggen ring dapur kemanten, raris cobak ngalih barang sisa minakadi palstik, uwek- uwean kertas, kalengkaleng, dados pemulung ceritane ring TPA, kirang langkung telung tiban dados pemulung, titiyang ngontrak tanah akidik driki samping TPA anggon tempat usaha dados pengepul barang bekas. Sane mangkin titiyang numbas barang-barang bekas sakeng pemulung, adol tianya malih ke perusahaan ring jawa, indik hasil, genep anggen hidup tiyang sareng keluarga”(wawancara tanggal 26 Oktober 2010 ). (Dulu saya bekerja di bidang pariwisata, jadi supir mengantar tamu kemana-mana, mencari uang rasanya gampang waktu itu. Ketika bom Bali I meledak terjadi krisis, sedikit tamu yang datang ke Bali, jarang sekali dapat kerja. Tetapi situasi tersebut tidak berlanggsung lama, tamu kembali banyak datang ke Bali. Ketika Bom Bali II meledak, tamunya sangat sepi tidak pernah dapat kerja, lalu saya bekerja menjadi buruh membuat batu bata merah, hasilnya tidak seberapa, hanya cukup untuk keperluan dapur. Lantas saya mencoba–coba mencari barang bekas, seperti plastik, kertas sisa, kaleng, ceritanya jadi pemulung. Kurang lebih tiga tahun jadi pemulung, saya bisa ngontrak tanah sedikit dekat TPA, dipakai tempat usaha jadi pengepul barang bekas, sekarang saya membeli barang bekas dari pemulung selanjutnya saya jual kembali ke perusahaan di Jawa). Wawancara yang dilakukan peneliti dengan informan di atas menunjukkan bahwa untuk mencari penghidupan tidak hanya bekerja di sektor pariwisata atau yang lainnya. Menjadi pengepul barang bekas di TPA Temesi juga menghasilkan uang yang lumayan. Bahkan, jauh lebih menjanjikan dari pada bekerja di sektor pariwisata yang hanya sekedar menjadi sopir.

cx

Pengalaman serupa juga dikatakan seorang infoman yang bernama Nyoman Tewel, yang memberi respons positif terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi “sedurung titiyang dados pengepul barang bekas, tiang mekarya ring bengkel montor, medue kebisan akidik menahin montor keweh pesan ngerereh jinah, upahne akidik, teler joh tongos tiyange megai, bolakbalik sakeng Gianyar – Denpasar, pemuputne tiyang suud megai di benggkel. Memodal jengah tiyang dados pemulung, durung nanggehang lek ati berskeliwat ring nyame brayene. Medue tabungan akidik, nike anggen tiyang nyewa tongos, punika teler nyilang jinah ring LPD Desa Temesi anggen modal usaha nyantos mangkin” ( wawancara tanggal 26 Oktober 2010 ). ( sebelum menjadi seorang pengepul barang bekas saya bekerja di bengkel sepeda motor, meski memiliki sedikit keahlian mengotak-atik sepeda motor, bukan membuat saya mudah mendapatkan penghasilan yang cukup, upahnya tidak sepadan, disamping itu saya harus bolak balik gianyar- denpasar untuk bekerja, akhirnya saya berhenti Hanya bermodalkan semangat tinggi untuk menjadi pemulung, serta menahan rasa malu yang sangat berat mencari barang bekas. Berkat kebiasaan hemat dan tabungan sedikit saya memberanikan diri menyewa sedikit lahan didekat TPA Temesi, serta meminjam uang dari LPD Desa Temesi untuk usaha jual beli barang bekas sampai sekarang ). Dari apa yang dituturkan informan

tersebut di atas

menunjukkan,

keberadaan TPA direspon dengan baik, karena secara ekonomi juga membantu masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan, walaupun hanya sekedar menjadi pemulung. Selain itu keberadaan TPA di Desa Temesi sebenarnya telah memacu masyarakat setempat lebih kreatif dan inovatif dalam menangkap peluang ekonomi. Berdasarkan hasil data yang ditemukan oleh peneliti dilapangan terbukti, muncul beberapa pelaku usaha kecil dari masyarakat setempat menjadi pengepul, yaitu menekuni bisnis barang bekas atau rongsokan. Mereka tak memandang bau, kotor dan jorok, terpenting menghasilkan uang. Berkat sikap dan mentalnya yang tak lekas putus asa, mereka berhasil menemukan solusi mengatasi

cxi

kesulitan hidup. Mereka telah mampu melihat kesempatan dalam kesempitan. Kondisi tersebut membuktikan bahwa keberadaan TPA ini cukup menjanjikan tersedianya lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Selain itu, dapat menolong masyarakat yang sedang terhimpit persoalan ekonomi. Bisa juga dijadikan sandaran hidup bagi yang gagal memperoleh pekerjaan di sektor formal. Jadi, tidak keliru jika sektor tersebut dianggap ikut berkontribusi sebagai salah satu katup pengaman sosial. Di samping itu, keberadaan TPA di Desa Temesi juga menghadirkan penduduk pendatang yang berasal dari Jawa dan Madura untuk bekerja sebagi pemilah sampah dan pemulung di tempat pengolahan sampah TPA Temesi. Dari segi ekonomi juga menguntungkan bagi Desa Temesi, khususnya banjar Temesi karena para penduduk pendatang tersebut diharuskan membayar uang retribusi ke Banjar Temesi. Seperti penuturan seorang informan I Nyoman Slamat (Kelian Dinas Banjar Temesi) sebagai berikut

“wenten 50-an kk penduduk pendatang sakeng Jawa lan Madura sane wenten mekarya dados pemulung, suang- suang kk punika naur Rp 20.000 a bulan ring banjar, jinah punika kaanggen ngewantu pembangunan ring banjar. Lianan punika wenten taler wantuan sakeng pemerintah kabupaten Gianyar Rp.5000.000,- a warsa, jinahe punika sami kaangen mecikan banjar deriki lan anggen upakara” (wawancara tanggal 26 November 2010) ( ada sekitar 50 KK penduduk pendatang dari Jawa dan Madura yang bekerja sebagai pemulung di TPA Temesi. Masing-masing KK wajib membayar retibusi ke Banjar Temesi sebesar Rp. 20.000 per bulan. Selain itu, ada juga bantuan dari Pemerintah Kabupaten Gianyar sebesar Rp. 5.000.000 per tahun. Uang tersebut dipergunakan pembangunan dan upacara yang ada di Desa Temesi). Hal senada juga disampaikan Bendesa Pakraman

Temesi Gusti yang

bernama I Gst. Ketut Suwija, terkait bantuan dari Pemerintah Kabupaten Gianyar yang berhubungan dengan keberadaan TPA di Desa Temesi:

cxii

” pastika wenten wantuan sakeng Pemerintah Kabupaten Gianyar ring desa pekaraman iriki, akehnyane Rp. 10.000.000 a warsa, sane kaanggen kewantu prebia upakara sane kelaksanayang ring desa pakraman Temesi piniki, minekadi mecaru, miwah piodalan ring kayangan tiga iriki” ( wawancara, tanggal 26 November 2010) (memang benar ada bantuan dari Pemerintah Kabupaten Gianyar kepada desa pakraman di sini, yang jumlahnya sebesar Rp.10.000.000 per tahun. Semua itu dipergunakan untuk membantu biaya pengeluaran untuk kegiatan upacara seperti mecaru, dan juga odalan di Pura Khayangan Tiga di sini) Adanya pendapatan dan bantuan yang diterima oleh Banjar Temesi, dan juga Desa Pakraman Temesi, cukup menguntungkan masyarakat karena membantu pembangunan dan meringankan pengeluaran dari masyarakat untuk biaya upacara yang rutin dilaksanakan setiap enam bulan, seperti piodalan di pura kayangan tiga dan upacara pecaruan. Ini membuktikan, keberadaan TPA setidak tidaknya juga dapat membantu beban masyarakat setempat untuk keperluan upacara dan segala pembangunan yang ada di Desa Temesi. Sehinga masyarakat setempat tidak terlalu banyak mengeluarkan dana pribadinya untuk keperluan tersebut.

Dari segi pendidikan keuntungan yang didapat menurut pendapat masyarakat setempat, fasilitas pendidikan lingkungan yang dibangun di TPA tersebut dapat menambah pengetahuan masayarakat mengenai pengolahan sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, misalnya bagaimana cara pengurangan volume sampah sejak dari sumbernya melaui peningkatan upaya pemeliharaan, pemanfaatan, daur ulang sampah dan pembuatan kompos dengan skala individu

cxiii

Kegiatan 3R (reduce, reuse & recycling) yang dilakukan di TPA Temesi ditujukan untuk memanfaatkan kembali sampah untuk sedapat mungkin diproes kembali menjadi barang/bahan yang bermanfaat kembali bagi manusia (DKP, 2008: III-11). Jadi masyarakat setempat bisa memperoleh tambahan pengetahuan tentang jenis material apa yang selama ini di buang percuma sebenarnya bisa dimanfaatkan kembali menjadi sesuatu yang lebih berguna, seperti (a) jenis plastik : plastik kresek, plastik bening, plastik aqua botol, plastik aqua gelas, plastik ember (b) jenis kertas: kertas duplex, kertas arsip, kertas putih (c) jenis botol: botol minuman / beling (d) jenis logam: besi kalengan, material besi, tembaga, kuningan dll. (DKP, 2008: III-13). Salah seorang informan yang bernama I Nyoman Pusut juga menambahkan: “Sampah plastik sane paling becik kualitasne inggih punika plastik aqua gelas, ajine paling mael, ngadolne aluh. Yening plastik sane lenan sekadi ember plastik mudahan ajine, sawireh kadar plastikne akedik.” ( wawancara 12 November 2010) (Sampah plastik yang paling baik kualitiasnya adalah plastik aqua gelas, harganya mahal, menjualnya juga gampang. Kalau yang lainnya seperti ember plastik harganya lebih murah, karena kadar kemurnian plastiknya lebih sedikit). Dari pernyataan Nyoman Pusut di atas menunjukkan bahwa masyarakat setempat yang menjadi pemulung dapat mengetahui barang-barang bekas yang mempunyai nilai jual yang cukup tinggi. Padahal, sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa plastik aqua gelas itu tidak berguna, tidak bernilai, sehingga sering dibuang percuma dan menggangu lingkungan. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.3

cxiv

Gambar 5.3 Sampah plastik aqua gelas yang bernilai ekonomi relatif tinggi (Dokumen: Putra. 2010) Dari pernyataan informan di atas menunjukkan masyarakat setempat memberi respons positif terhadap keberadaan TPA yang di bangun oleh pemerintah Kabupaten Gianyar. Respons Positif masyarakat setempat dapat dianalisi dengan teori hegemoni. Antonio Gramsci (dalam Strinati, 2003: 189) menyatakan hegemoni merupakan sarana kultural maupun ideologis dimana kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat dasarnya,

tetapi

bukan

secara

eksklusif

termasuk

pada

kelas penguasa, berupaya

melestarikan dominasinya dengan cara mengamankan"persetujuan spontan" dari kelas lain dalam masyarakat atau kelompok-kelompok subordinate termasuk kelas pekerja melalui penciptaan negosiasi konsensus yang menyangkut nilai moral, ideologi maupun kultural ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang didominasi.

Tampak hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan

cxv

melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi. Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa .

Respon positif masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi, memberi petunjuk bahwa Pemerintah Kabupaten Gianyar melakukan penguasaan kepada kelas bawah yaitu masyarakat setempat menggunakan ideologi, merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung pembangunan TPA yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai contoh upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para tokoh masyarakat, agama dan intelektual dalam birokrasi pemerintah daerah dan pemerintah Desa serta intervensi terselubung melalui pemberian bantuan- bantuan, fasilitas serta kemudahan-kumudahan kepada masyarakat setempat. Jadi teori ini sangat tepat digunakan untuk menganalisa bagaimana masyarakat Desa Temesi bisa merasa rela ketika penguasa atau pemerintah Kabupaten Gianyar membangun TPA di daerahnya tersebut.

5.1.1

Persepsi Positif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA

cxvi

Peningkatan jumlah penduduk di wilayah Gianyar memberi dampak terhadap peningkatan volume sampah dan kerusakan lingkungan sekitarnya, seperti yang diungkapkan oleh Alikodra (dalam Karbi, dkk. 2004: 70), bahwa pada umumnya masalah lingkungan hidup timbul karena berbagai sebab: (1) Urbanisasi yang cepatdan teknologi yang kurang bijaksana. (2) Konsentrasi sampah yang melebihi lingkungan ( tanah, udara, air dab biologis). (3) Pertumbuhan

ekonomi dan industri. (4) Pertambahan jumlah penduduk dan

peningkatan jumlah kegiatan pembangunan sehingga terjadi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah penataan ruang serta kemampuan lahan, sehingga terjadi lahan kritis, hilangnya lingkungan pertanian yang subur dan pencemaran tanah. Keperdulian terhadap lingkungan sangat erat kaitannya dengan tindakan yang secara sadar dilandasi oleh pertimbangan yang rasional dan bertanggung jawab. Ini berarti pemanfaatan lingkungan harus berlangsung secara bijaksana dengan mempertimbangkan resiko yang akan terjadi. Pembanguna TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar selalu berorientasi pada pembentukan lingkungan yang berkualitas demi kepentingan generasi mendatang dan kesejahteraan masyarakat setempat. Maka dari itu tidak salah masyarakat setempat juga memberi persepsi yang positif terhadap keberadaan TPA tersebut. Joyomartono (1991: 31) mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat adalah upaya merealisasikan potensi yang terdapat dalam masyarakat sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, meningkatkan pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya manusia, meningkatkan kemampuan menciptakan sarana hidup dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi serta penyesuaian tata

cxvii

kemasyarakatan dan perubahan kehidupan sebagai kebudayaan. Penerimaan masyarakat terhadap inovasi merupakan langkah awal dan kunci dari keberhasilan pembangunan sehingga akan terjadi perubahan masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi dan kebudayaan. Hal ini didukung oleh pernyataan dari informan yang bernana I Nyoman Pusut:

“ sane uningayang titiang TPA punika sinah sampun pacang ngeranayang jagat Temesi piniki ngancan becik, santukan krama iriki pacang polih kekaryan, sekadi titiang dados pengepul Barang Bekas” ( wawancara tanggal 22 Januari 2011) ( Sepengetahuan saya, TPA di Desa Temesi ini pasti akan membawa desa ini kearah yang lebih baik, karena keberadaan TPA ini jelas akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat, seperti saya menjadi pengepul barang bekas ). Sesuai dengan apa yang disampaikan informan tersebut di atas menunjukkan bahwa informan tersebut juga memberikan persepsi yang positif terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi. Karena pembangunan TPA ini merupakan sebuah upaya dari Pemerintah Kabupaten Gianyar, yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pendayagunaan potensi lingkungan yang ada di Desa Temesi. Sehingga pada akhirnya, menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Jadi persepsi positif masyarakat setempat tersebut adalah harapan yang ada dalam angan dan pikiran masyarakat supaya keberadaan TPA dapat memperbaiki taraf hidup dan kualitas kehidupan masyarakat setempat. Dengan adanya TPA di desa Temesi diharapkan masyarakat tidak hanya mengandalkan hidup dari pertanian, mereka juga bekerja menjadi pegawai, di TPA, menjadi pengepul barang bekas, menjadi pemulung juga tidaklah masalah yang terpenting menghasilkan uang.

cxviii

Pendapat serupa juga disampaikan seorang informan I Gusti Ketut Suwija ( Bendesa Adat Temesi): “ pembagunan TPA di desa Temesi ini merupakan ide terobosan yang cukup baik dari pemerintah Kabupaten Gianyar, untuk meningkatkan kebersihan lingkungan dan meningkatkan kesejateraan masyarakat setempat. Banyak masyarakat setempat yang tak punya pekerjaan tetap, mulai menjadi pemulung di TPA Temesi, karena kerjanya gampang, dan terpenting menghasilkan uang. (wawancara tangga 12 Januari 2011) Sesuai dengan keterangan informan di atas menunjukkan persepsi positif masyarakat setempat terkait Pembangunan TPA Temesi. Masyarakat mempunyai pemikiran bahwa pembangunan TPA merupakan inovasi dan terobosan baru dari pemerintah Kabupaten Gianyar dalam upaya menangani masalah sampah. Dengan adanya TPA Temesi tersebut dapat mempermudah menangani masalah sampah sehingga kebersihan lingkungannya dapat terjaga.

Selain itu, masyarakat

setempat yang menganggur juga diuntungkan karena terbuka lapangan kerja yang mudah tanpa keterampilan yang tinggi yaitu menjadi pemulung. Masyarakat setempat berpandangan menyandang status pengangguran memang tidak nyaman dan cenderung terhina, bagi siapapun dan di mana saja di muka bumi ini. Sayangnya, untuk memperoleh pekerjaan sangat sulit. Maka dari itu, bekerja serabutan tidak kuasa ditolak, termasuk menjadi pemulung barang bekas di TPA Temesi. Yang penting, keluarga bisa makan dan dapur tetap mengebul.

5.1.2

Sikap dan Perilaku Keberadaan TPA

Positif

Masyarakat

Setempat

Terhadap

Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu

cxix

dalam lingkungannya. Komponen-komponen sikap itu adalah pengetahuan, perasaan-perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak (van den Ban, AW.1999:106 ). Lebih mudahnya sikap adalah kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan objek sikap. Menurut para ahli psikologi; Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood (dalam Azwar 1995: 4-5), sikap didefinisikan sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut (Berkowitz, 1972 dalam Azwar, 1995:51). Menurut Petty & Cacioppo, 1986 (dalam Azwar 1995: 6), definisi sikap lebih ditekankan pada aspek evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek dan isu-isu. Kerangka pemikiran suatu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu obyek. Sehingga definisi sikap yang dihasilkan dari pandangan tersebut adalah ketentraman tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitarnya. Perilaku ditentukan tidak saja oleh sikap individu, akan tetapi merupakan fungsi dari faktor kepribadian individual dan lingkungannya. Pada dasarnya sikap memang lebih bersifat pribadi, sedangkan tindakan atau kelakuan lebih bersifat umum atau sosial, karena itu tindakan lebih peka terhadap tekanan-tekanan sosial.

cxx

Dikaitkan dengan lingkungan, perilaku masyarakat diharapkan dapat berpedoman pada prinsip etika lingkungan hidup. Keraf (2002: 143) mengatakan prinsip-prinsip tersebut adalah (1) sikap hormat terhadap alam (respect for nature) yang mendasarkan pada teori etika lingkungan atau DE (Deep Ecology) yang menyatakan bahwa manusia dituntut untuk menghormati dan menghargai benda non-hayati, karena alam semesta punya hak sama untuk berada, hidup dan berkembang; (2) tanggung jawab (moral responsibility for nature) kolektif, karena secara ontologis, manusia merupakan bagian integral dari alam semesta. Melalui prinsip kedua ini diharapkan tidak akan terjadi tragedi milik bersama (the tragedy of the commons) yang akan terjadi jika setiap manusia bersikap eksploitatif tanpa tanggung jawab; (3) solidaritas kosmis (cosmie solidarity), sebagai sikap moral untuk penyelamatan lingkungan; (4) kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (earing for nature); (5) no harm yang berarti dengan kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam, manusia tidak mau berlaku merugikan alam; (6) prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, karena yang terpenting dalam hidup adalah mutu kehidupan yang berkualitas; (7) prinsip keadilan yang mempunyai implikasi harus ada jaminan keadilan prosedural yang memungkinkan ada partisipasi publik dibidang lingkungan serta ada perlakuan yang proporsional antara laki-laki dan perempuan; (8) prinsip demokrasi yang mencakup beberapa prinsip moral yaitu menjamin keanekaragaman dan pluralitas, menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat, menjamin masyarakat dalam berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik, menjamin hak masyarakat memperoleh informasi akurat dan terjaminnya akuntabilitas publik; (9) prinsip integritas moral

cxxi

yang menuntut pejabat publik bersikap dan berperilaku terhormat dan berpegang teguh mengamankan kepentingan publik. Keberadaan TPA di wilayah Desa Temesi Kabupaten Gianyar sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat di Desa Temesi. Sistem pengelolaan sampah secara modern di TPA Temesi dapat mengubah kebiasaan masyarakat setempat memperlakukan sampah di sekitar mereka menjadi lebih baik. Dahulu sebelum ada sistem pengolahan sampah yang modern seperti di TPA Temesi, masyarakat setempat memiliki kebiasaan yang kurang baik dalam mengumpulkan atau membuang sampah. Aktivitas mayarakat Desa Temesi dalam mengelola sampah di sekitar mereka sangatlah memprihatinkan. Mereka memiliki kebiasaan memanfaatkan lahan-lahan kosong di sekitar tempat tinggal mereka untuk menimbun sampah-sampah dan limbah rumah tangga. Dapat dibayangkan, jika lahan terbuka yang berada dekat dengan permukiman, setiap hari dijadikan tempat penampungan sampah secara kolektif

oleh masyarakat, maka lama–

kelamaan timbunan sampah di lahan tersebut akan semakin menggunung. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan bahaya kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan di pemukiman tersebut. Pada akhirnya,

potensi

adanya ancaman berbagai macam penyakit suatu saat bisa mengancam kesehatan masyarakat setempat. Bagaimana cara mengurangi tumpukan sampah yang selalu bertambah setiap harinya, menurut keterangan dari masyarakat sekitar Desa Temesi yang bernama Nyoman Puja:

cxxii

”sane dumun lulue punika entungan kemanten ring teba, yaning panes banteng dados mase tunnyel dados masi tanem gaenang bambang, nanging sane mangkin sanpun wenten TPA ,mawinan becikan lulune puniku kutang irika.”( wawancara Tanggal 12 November 2010). (Dahulu sampah itu dibuang saja ke halaman belakang, pada saat musing kemarau bisa juga dibakar dan juga dibuatkan lubang lalu di tanamatau dikubur. Tetapi sekarang sudah ada TPA, lebih baik dibuang saja sampah itu di sana). Berdasarkan apa yang disampaikan oleh informan tersebut di atas menunjukkan pengelolaan sampah secara tradisional seperti yang dilakukan masyarakat Desa Temesi dinilai kurang baik. Apabila melakukan pembakaran sampah akan mengakibatkan polusi udara. Pembakaran sampah yang dilakukan masyarakat Desa Temesi hanya bisa dilakukan pada sampah-sampah yang kering. Apalagi saat musim hujan tiba aktivitas pembarakan untuk mengurangai timbunan sampah tentu saja tidak bisa dilakukan. Pada akhirnya, sampah tersebut dibiarkan begitu saja sampai membusuk. Kemudian secara tidak sadar menimbulkan masalah bagi masyarakat sekitar seperti bau busuk, sehingga jutaan lalat-lalat akan berdatangan hinggap di atas timbunan sampah.

Hal ini tentu akan

mendatangkan potensi penyakit yang akan menyerang masyarakat setempat. Potensi kerusakan lingkungan yang akan mengancam masyarakat akibat dari pengelolaan sampah yang kurang baik ini terdiri dari kerusakan terhadap strutur tanah, pencemaran udara, dan tidak menutup kemungkinan timbulnya pencemaran air.

Sedangkan ancaman kesehatan yang akan terjadi akibat

pengelolaan sampah yang kurang baik yaitu, akan timbul penyakit diare, typus, dan juga demam berdarah yang dapat dengan cepat menyerang masyarakat.

cxxiii

Keberadaan pengelolaan sampah di TPA Temesi merupakan bentuk kebijakan Pemerintah Kabupaten Gianyar untuk menciptakan lingkungan yang bersih asri, sehat dan lestari di seluruh Gianyar. Pemerintah Kabupaten Gianyar bekerjasama pihak pengelola TPA Temesi melakukan upaya menghimbau kepada masyarakat tidak kecuali yang berada di wilayah Desa Temesi untuk dapat mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi lebih teratur. Dan saat ini sikap dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah secara bertahap menjadi lebih baik. Kini keadaan lingkungan di Desa Temesi menjadi lebih bersih, asri. Hal ini bukan karena mereka tinggal lebih dekat dengan letak pengelolaan TPA, akan tetapi karena mulai adanya kesadaran setiap masyarakat dan juga himbauan dari pemerintah sehingga berperilaku membuang sampah secara tertib. Fenomena tersebut didukung Weber (dalam Ritzer 2003), bahwa didalam perilaku atau tindakan dengan istilah Zwerk rational, yaitu tindakan sosial murni, aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Sebagian masyarakat setempat sudah mempunyai inisiatif sendiri disamping himbauan dari pemerintah untuk melakukan sesuatu yang berguna, untuk menanggulangi permasalahan sampah yang dihadapi selama ini. Pendapat senada juga disampaikan seorang informan yang bernama Bapak Sang Made Sumitra, : ”sekarang sudah gampang menangani sampah di rumah, tinggal bawa saja ke TPA, kan sudah ada himbauan dari perbekel untuk memjaga kebersihan dan memanfaatkan TPA, kalau desa sudah bersih siapa tahu Desa Temesi bisa mewakili kecamatan Gianyar dalam lomba desa tingkat kabupaten yang akan datang” ( wawancara tanggal 12 januari 2011)

cxxiv

Dari pernyataan informan di atas menunjukkan bahwa tindakan masyarakat Desa Temesi tersebut didorong oleh himbauan dari pemerintah desa setempat dan adanya keinginan supaya Desa Temesi bisa tampil di dalam kegiatan Lomba Desa Tingkat Kabupaten Gianyar. Pernyataan di atas juga didukung oleh pendapat Setiadi, Elly. M, (2006: 63) menyatakan dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, perilaku manusia selalu terkait dengan orang lain. Perilaku manusia dipengaruri orang lain, ia melakukan sesuatu dipengaruhi faktor dari luar dirinya, seperti tunduk pada aturan, tunduk pada norma masyarakat, dan keinginan untuk mendapat respons positif dari orang lain. Perubahan sikap dan perilaku positif masyarakat setempat dapat dilihat dari cara mereka mengumpulkan dan membuang sampah yang sesuai dengan peraturan dan himbauan pemerintah. Sebagian besar masyarakat setempat kini melakukan cara membuang sampah berbeda dengan sebelumnya. Sampah-sampah tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kantong plastik

sebelum dibuang ke

penampungan sementara. Ada pula masyarakat yang sebelumnya memilah antara sampah organik dengan sampah anorganik. Kemudian sampah-sampah tersebut diangkut oleh petugas kebersihan menuju ke temapat penampungan semantara. Bila sampah terlanjur banyak terkumpul namun belum diangkut oleh petugas kebersihan, masyarakat sendiri berinisiatif untuk membuangnya langsung ketempat penampungan sementara atau langsung ke TPA. Budaya membuang sampah seperti ini masih terus dilakukan sebagian besar masyarakat Desa Temesi hingga sekarang. Meskipun masih ada saja sebagian kecil masyarakat melakukan kebiasaan lama dalam hal membuang

cxxv

sampah. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi aparat dan petugas kebersihan di Desa setempat untuk terus memberikan pengertian kepada masyarakatnya untuk membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Keberadaan TPA di Desa Temesi dapat mengubah sikap dan prilaku masyarakat setempat kearah yang positif khususnya terkait dengan pengelolaan sampah. Hal ini tidak terlepas dari upaya yang dilakukan pemerintah dalam melakukan penyuluhan-penyuluhan mengenai bagaimana mengelola sampah yang ada di lingkungan masyarakat. Kesadaraan masyarakat dalam memperlakukan sampah di lingkungan sekitarnya sangat diperlukan. Hasil positif yang didapat adalah kini kebiasaan masayarakat untuk membuang sampah atau menumpuk sampah secara tidak teratur, secara bertahap mulai ada pengurangan, dan bahkan memunculkan

kegiatan yang menjadikan sampah sebagai sumber kehidupan

seperti menjadi pemulung dan juga menjadi pengepul barang bekas.

5.2 Respons Negatif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA

Pada awal berdirinya TPA di Desa Temesi dengan pengelolaan sampah yang dimiliki sebagian besar masyarakat setempat dapat menerimanya cukup baik. Semua itu diperoleh tidak lepas dari

berbagai usaha pendekatan yang

dilakukan pihak pemerintah. Sayangnya

keberhasilan

pihak

pemerintah

melakukan pendekatan melalui berbagai cara, khususnya kepada para tetua adat pada saat sekarang diterjemahkan sebagai suatu kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah.

Pembangunan TPA di Desa Temesi saat ini juga menimbulkan

cxxvi

respons negatif dari masayarakat setempat. Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar masyarakat setempat menentang keberadaan TPA tersebut. Menurut mereka, keberadaan TPA di wilayahnya

mengundang

pemandangan tidak sedap terhadap tampilan wajah Desa Temesi, dan lahan yang luas tertutup sampah yang dikelola dengan tidak tuntas. Sehingga, selanjutnya tidak dapat dipergunakan untuk tujuan lain. Selain itu, keberadaan TPA di Desa Temesi dapat mengundang kesan kumuh, bau, dan kotor. Masyarakat setempat khawatir dengan keberadaan TPA di wilayah Desa Temesi nantinya mengakibatkan kerusakan lingkungan, seperti pada gambar 5.4 berikut ini

Gambar 5.4 Kerusakan lingkungan di sekitar TPA Temesi (Dokumen: Putra. 2010 )

cxxvii

Tumpukan sampah

di TPA Temesi

akan mengakibatkan pembusukan

kemudian menimbulakan bau tidak sedap, banyaknya lalat dan tikus, pada akhirnya menjadi hama yang akan menyerang tanaman petani disekitar TPA, serta mengganggu masyarakat. Selain itu, limbah cair yang timbul dari kegiatan pembuangan sampah terutama pada musim hujan mencemari sawah dan air irigasi di sekitar TPA. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.5 dibawah ini

Gambar 5.5 Pada musim hujan limbah cair akan mengalir menuju sungai di depan TPA (Dokumen: Putra. 2010) Keadaan seperti yang ditunjukkan gambar di atas juga dibenarkan oleh seorang informan I Nyoman Suparta (Pekaseh Subak Temesi) mengatakan : ” ritatkala ujan punika, yeh limbah saking TPA ulung sampun ke klabah puniki, punika taler ke sawah pisaga keni masi , keweh titiang dados rakyat kecil, sing nyidang ngomong” ( wawancara tanggal 12 November 2010) (ketika hujan turun, limbah cair (leachate) yang berasal dari TPA mengalir ke sungai ini, dan juga sampai ke sawah yang ada disekitar TPA, susah jadi rakyat kecil tidak bisa berbuat apa-apa)

cxxviii

Apa yang dikatakan informan kepada peneliti menunjukkan kekawatiran masyarakat setempat terhadap pencemaran air tanah, air irigasi dan sungai itu sendiri. Sungai adalah salah satu dari sumberdaya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang di hilir (opportunity valeu), pencemaran di hulu akan menimbulkan biaya sosial di hilir (externality effect) dan pelestarian di hulu akan memberi manfaat dihilir (Kodoatie, R.J. dkk. 2002 : 121). Terkait dengan pencemaran air suangai yang diakibatkan limbah cair yang berasal dari TPA akan berdampak negatif di wilayah lainnya terutama di daerah hilir. Semua itu sangat disayangkan oleh para petani yang lokasi sawahnya berada di hilir (sebelah selatan TPA), karena sudah pasti kualitas air sungai yang dipergunakan sebagai irigasi akan menurun. Pada akhirnya, sudah tentu petani di Desa Temesi akan mengalami kerugian, selanjutnya akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup pada kehidupan manusia, khususnya masyarakat Desa Temesi. Maka dari itu, tidaklah mengherankan jika muncu respons negatif dari masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA Temesi tersebut. Hal senada juga di katakan oleh Menteri Lingkungan Hidup RI Rahmat Witular dalam EM Forum Indonesia (Edisi Juli 2008: 5), bahwa kearifan lingkungan hidup kini sedang mengalami proses eliminasi yang ditandai dengan perubahan tatana sosial, berkurangnya nilai kemanusiaan, berkurangnya kemandirian masyarakat, kemiskinan etika lingkungan, sehingga menyebabkan terdegradasinya sumber alam dan lingkungan pendukung kehidupan manusia Untuk mendukung hidupnya, manusia harus menggunakan unsur-unsur dalam

cxxix

lingkungan hidupnya, udara untuk bernafas, air untuk munum, keperluan rumah tangga, pengairan dan industri; tumbuhan untuk makan; obat-obatan, dan pembersih udara yang kotor; hewan untuk dimakan, dan dipakai tenaganya; mikroba untuk membuat makanan, obat-obatan, kompos, dan pembersih air; minyak untuk bahan bakar, dan berbagai macam mineral untuk industrinya (Soerjani, dkk. 1987: 191). Sejalan dengan hal di atas, lingkungan hidup masyarakat Desa Temesi bukan hanya tempat hidup, melainkan juga sebagai sumberdaya, yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mesti harus dijaga mutu dan kualitasnya. Sebelumnya, kekhawatiran dari masyarakat setempat terhadap ancamananacaman yang timbul dari pengelolaan sampah di TPA Temesi menimbulkan terjadinya respons negatif masyarakat

Desa Temesi terhadap rencana

dibangunnya TPA di wilayah desanya. Berdasarkan keterangan dari tokoh masyarakat setempat rencana pembangunan TPA di wilayah Desa Temesi pada saat itu menimbulkan aksi protes warga. Aksi Protes ini adalah bentuk upaya masyarakat setempat kepada pemerintah agar membatalkan rencana pembangunan TPA tersebut. Aksi protes masyarakat ini dilakukan hingga sampai ke tingkat DPRD Tingkat II, namun hasilnya pemerintah tetap menjalankan rencana tersebut mengingat adanya kebutuhan mendesak dari pemerintah mengenai keberadaan TPA di Wilayah Kabupaten Gianyar. Perlunya dibangun TPA yang baru adalah untuk mengatasi masalah sampah di wilayah Gianyar, karena keberadaan TPA lama yang selama ini dijadikan tempat pembuangan sampah terakhir dari seluruh

cxxx

wilayah Gianyar kondisinya dinilai tidak layak lagi. TPA lama dianggap tidak sanggup lagi menampung volume sampah. Munculnya respons negatif masyarakat setempat terhadap Keberadaan TPA di Desa Temesi dapat dianalisis dengan teori hegemoni yang dinyatakan storey (2004), bahwa meskipun hegemoni mengimplikasikan tingkat konsensus yang tinggi, bukanlah berarti bahwa masyarakat senantiasa berada pada situasi tanpa konflik. Hegemoni secara inheren bersifat labil atau kemapanannya bersifat sementara. Oleh karenanya hegemoni harus senantiasa diperjuangkan dan direnegosiasikan, karena tidak tertutup kemungkinan adanya perlawanan yang bersifat kontrahegemoni. Termasuk ke dalam perlawanan kontrahegemoni adalah berbagai bentuk subversi yang dilakukan terhadap konsepsi yang telah berlaku umum sebagai upaya untuk mengubah pemahaman terhadap ideologi yang sedang berlaku (Barker, 2005 : 80-82). Munculnya berbagai protes dari masyarakat setempat terkait TPA di Desa Temesi memberi petunjuk, bahawa respons masyarakat setempat bisa saja berubah – ubah. Semuanya sangat ditentukan oleh kemampuan dari pihak penguasa yaitu pemerintah dalam

mempertahankan dan memperjuangkan

hegemoninya. Sampah seperti api. Sampah dalam volume kecil akan lebih mudah mengelolanya dibandingkan sampah dalam volume yang banyak. Sampah dalam volume banyak akan sulit di kendalikan dan akan membawa bencana (Iskandar, A. 2006:48). Ketakutan masyarakat Desa Temesi akan kemungkinan bencana

cxxxi

yang lebih besar yang akan mereka terima terkait pembangunan TPA, menyebabkan terjadi protes bahkan penolakan dari kalangan masyarakat setempat. Upaya pemerintah dalam mengatasi aksi protes dan penolakan dari masyarakat setempat terhadap

pembangunan TPA di Desa Temsesi adalah

melakukan pendekatan, negoisasi dengan

perwakilan tokoh-tokoh masyarakat

setempat. Dalam negosiasi ini pemerintah memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat mengenai pentingnya dibangun TPA di Desa Temesi. Pemerintah juga melakukan sosialisasi mengenai konsep pengelolaan TPA di Desa Temesi yang lebih baik dan ramah lingkungan, serta manfaat yang akan diperoleh masyarakat.

Selain itu, pemerintah juga menghimbau kepada

masayarakat Desa Temesi untuk berperan aktif melakukan pengawasan selama beroperasinya kegiatan pengelolaan sampah di TPA Desa Temesi. Situasi yang terjadi seperti yang dipaparkan di atas, sangat tepat jika dianalisi dengan teori hegemoni yang diungkapkan Antonio Gramsci (dalam Ritzer. 2008: 176) bahwa hegemoni sebagai kepemimpinan kultural yang dijalankan oleh penguasa. Dan membedakan hegemoni dari penggunaan paksaan yang digunakan oleh kekuasaan legislatif atau eksekutif atau yang diwujudkan melalui intervensi kebijakan. Terkait dengan keberadan TPA di Desa Temesi yang sering mendapat protes dan respons negatif dari masyrakat setempat, Pemerintah Kabupaten Gianyar tidak pernah menggunakan kekerasan dalam meredam hal tersebut. Pemerintah daerah tetap mempergunakan cara-cara halus dan sopan, seperti adanya kunjungan kerja Bupati beserta jajarannya ke lokasi TPA.

cxxxii

Sehingga, kunjungan kerja tersebut diharapkan meredam protes keras, akhirnya tidak menimbulkan konflik yang hebat. Meskipun pada akhirnya TPA di Desa Temesi masih dapat beroperasi, akan tetapi respons negatif dari masyarakat masih tetap muncul. Kerugian yang dialami masyarakat terhadap aktivitas yang dilakukan di TPA tersebut sangat dirasakan oleh mereka yang tinggal di pemukiman berdekatan dengan lokasi TPA. Bau busuk yang berasal dari tumpukan sampah, serta aktivitas truk-truk pengangkut sampah yang berlalu-lalang di sekitar Desa Temesi sangat menganggu kenyaman warga dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Sering kali truk-truk pengangkut sampah dibiarkan terbuka, tidak dilengkapi tutup pengaman oleh para petugas. Hal ini juga menjadi keluhan masyarakat, pasalnya selain membahayakan pengendara di belakangnya juga tidak jarang sampah yang ada di atas truk jatuh berserakan di jalan. Seperti yang tampak pada gambar dibawah

Gambar 5.6 Truk pengangkut sampah yang dibiarkan terbuka tanpa penutup pada waktu menuju ke TPA Temesi (Dokumen: Putra. 2010)

cxxxiii

Gambar 5.6 menunjukkan bahwa masih ada petugas pengangkut sampah atau masyarakat umum lainnya yang secara sengaja maupun tidak melakukan tindakan yang dapat membahayakan orang lain yaitu mengangkut sampahnya ke TPA tanpa mengunakan penutup pengaman. Situasi seperti itu juga disampaikan oleh Nyoman Sukat seorang petani dari Desa Temesi sebagai berikut: “ sampun biasa nika truk pengankut sampah nika ten metekep duurne ritatkala ngirim sampah, yen tingalan tiyang anak makte nika jaring, nangin pepesan ten pasange, ngekoh minab tiyang masang. Titiang newek puniki merasa meweh, lan nenten jumpu ring pemargi asapunika ( wawancara 12 Desember 2010) (sudah biasa truk pengangkut sampah tidak memakai penutup pada saat mengangkut sampah ke TPA Temesi. Akan tetapi kalau saya perhatikan, para petugas tersebut memang membawa jaring penutup tetapi jarang di pakai, mingkin malas menggunakannya. Secara pribadi saya merasa susah melihatnya dan tidak setuju atas tindakan seperti itu) Dari hasil wawancara dengan Nyoman sukat diatas dapat dianalisis bahwa keadaan yang sangat mengkawatirkan bagi masyarakat Desa Temesi, karena kurang disiplinnya petugas pengangkut sampah. Sering mobil pengangkut sampah dibiarkan terbuka pada saat melewati Desa Temesi, dan pada gilirannya masyarakat setempat

meresponnya secara negatif. Keadaan seperti itu bisa

membahayakan keselamatan masyarakat serta merusak lingkungan ketika sampah terjatuh kembali dari truk. Keadaan ini telah menimbulkan kekawatiran dan kecurigaan tentang manfaat keberadaan TPA di Desa Temesi terhadap kehidupan dan kesejahteraan sosial masyarakat setempat. Peristiwa demi pristiwa telah menjadi penyebab yang mengarah pada situasi konfik antara pemerintah dan pengelola dengan masyarakat setempat. Di samping itu, juga terjadi konflik antara masyarakat yang mendukung

cxxxiv

dengan masyarakat yang tidak mendukung keberadaan TPA di Desa Temesi. Situasi konflik ini bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bertikai untuk kepentingan–kepentingan tertentu. Nilai-nilai sosial yang ada dalam budaya masyarakat Desa Temesi yang diyakini merupakan pedoman untuk mendamaikan konflik terasa telah tidak berguna lagi akibat hegemoni pemerintah dan tuntutan ekonomi dari masyarakat. Keadaan ini dapat dilihat, seperti sifat cemburu timbul sebagai akibat perebutan lahan pekerjaan sebagai tenaga terdidik (pegawai) pada pengelolaan sampah di TPA Temesi. 5.2.1

Persepsi Negatif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA Walaupun kita hidup di dunia yang sama dan menerima kesan yang serupa

melalui mata dan telinga serta panca indera lainnya, tetapi terjadi penafsiran pengalaman yang berbeda. Persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya kedalam kesadaran psikologi (Van den Ban, A,W.1999: 83). Memahami psikologi persepsi manusia yang rumit memaang sulit, menghargai timbulnya tafsiran mengenai lingkungan yang berbeda, serta bagaimana perbedaan tersebut mempengaruhi prilaku komunitasnya. Lebih lanjut van den Ban (1999 : 84) menyatakan persepsi kita bersifat relatif, walaupun suatu objek tidak dapat kita perkirakan yang tepat tetapi setidaknya kita dapat mengatakan yang satu melebihi yang lainnya. Saat ini sebagian besar warga masyarakat Gianyar masih memiliki persepsi bahwa segala urusan pembangunan adalah dan pemberian semua fasilitas kota adalah Pemerintah Daerah. Kerena itu mereka tidak segan – segan mengeritik, menyatakan protes, dan menekan Pemda untuk melakukan mulai dari

cxxxv

pengangkutan sampah, kebersihan, perbaikan jalan, pemasangan lampu, penyediaan trasportasi, hingga berbagai urusan kehidupan yang remeh-temeh (Hikmat, H. 2004 :143). Keadaan yang serupa juga dialami Pemerintah Kabupaten Gianyar. Pembangunan TPA sangat dibutuhkan, tetapi sekaligus tidak diinginkan kehadirannya di ruang pandang. Kegiatan TPA Temesi juga menimbulkan berbagai gangguan terhadap masyarakat setempar antara lain: kebisingan, ceceran sampah, debu, bau, dan binatang-binatang vektor. Belum terhitung ancaman bahaya yang tidak kasat mata, seperti kemungkinan ledakan gas akibat proses pengolahan yang tidak memadai. Lebih lanjut, sampah juga berpotensi menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat yang ada di sekitarnya akibat penguasaan lahan pekerjaan oleh kelompok orang tertentu. Konflik bisa memuncak pada protes dari masyarakat kepada pengelola TPA untuk menutupnya dan memindahkannya ke tempat yang lain. Berbagai hal yang merugikan telah dilihat, dirasakan dan dialami oleh masyarakat setempat, membuat masyarakat setempat kawatir dan merasa tidak siap dalam menerima keberadaan TPA, sehingga meninbulkan persepsi yang negatif, walaupun semau yang dilakukan pemerintah itu untuk kepentingan masyarakat Gianyar keseluruhan. Berdasarkan

hasil

pengamatan

peneliti,

persepsi

sebagian

besar

masyarakat setempat terhadap keberada TPA di Desa Temesi adalah negatif. Sebagian besar masyarakat Desa Temesi menilai aktivitas pengelola sampah di TPA tersebut belum di lakukan secara maksimal. Meskipun pada awalnya pengelolaan sampah di Desa Temesi dapat berjalan dengan baik, namun dalam 5

cxxxvi

tahun terakhir pemerintah dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan dinilai masyarakat kurang serius melakukan pengelolaan sampah di TPA. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin meningkatnya volume sampah di lokasi pembuangan di TPA Temesi yang belum mengalami proses pengolahan, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 5.7 Tumpukan sampah yang terus mengunung di lokasi TPA Desa Temesi ( Dokumen: Putra. 2010) Sampah yang terus menumpuk tersebut akibat dari tidak seimbangnya kegiatan produksi kompos dengan debit sampah yang masuk di TPA tersebut setiap harinya. Tumpukan sampah yang dapat menggangu kesehatan dan keindahan lingkungan merupakan jenis pencemaran yang bisa digolongkan dalam degradasi lingkungan yang bersifat sosial (R Bintaro, 1983: 57). Usulan masyarakat kepada pemerintah agar menambah fasilitas pengolahan sampah untuk

cxxxvii

menghindari terus meningkatnya tumpukan sampah, sampai saat ini belum mendapat perhatian. Dulu yang dilakukan pihak pengelola untuk mengurangi volume sampah yang belum diolah adalah dengan melakukan kegiatan pembakaran terhadap sampah tersebut. Kegiatan pembakaran sampah yang dilakukan pihak pengelola, sangat meresahkan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan TPA. Polusi udara yang dihasil dari pembakaran sampah selama ini mengganggu kenyamanan aktivitas masyarakat sehari-hari. Namun, sekarang masyarakat sedikit lega karena pembakaran sampah sudah tidak dilakukan lagi. Kekhawatiran yang sangat mengganggu masyarakat setempat ketika musim hujan datang, sampah-sampah belum sempat diolah akan mengalami proses pembusukan alami. Akibatnya, bau busuk akan tibul dari tumpukan sampah tersebut. Hal yang paling dikhawartirkan masyarakat adalah ketika musim hujan air yang menyerap ke dalam tanah di sekitar tumpukan sampah akan membawa zat-zat yang merugikan sehingga sumber mata air di dalam tanah dapat tercemar. Selain itu, populasi lalat sangat banyak, seperti penuturan informan, Ni Nyoman Kemong : ” sane mewasta TPA pastika sampun jelek, buyunge akeh, napi malih ritatkala ujan–ujan tan keni ban ngoranga akehnyane. Penyeprotane kapah-kapah, a bulan ten karwan, disagete wenten, jek pang kuala kemanten. Ten manut ring ature sane dumun duang minggu apisan” (wawancara tanggal 12 November 2010) ( yang namanya TPA pasti jelek, lalatnya banyak, apalagi saat musim hujan tak bisa dibilang, banyak sekali pokoknya. Penyemprotan yang dilakukan bisa dikatakan jarang satu bulan sekali belum tentu ada penyemprotan, seandainya pun ada hanya sekedar saja. Jadi tidak sesuai dengan apa yang katakan terdahulu satu minggu sekali )

cxxxviii

Dari pernyataan yang disampaikan ibu kemong tersebut di atas menunjukkan persepsi sebagian masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA dapat dikatakan negatif, karena apa yang di rasakan oleh panca indera mereka memang tidak baik. Lingkungan yang baik bisa dikatakan jauh dari harapan masyarakat, bau busuk yang menyengat dan lalat yang tidak terhitung banyaknya. Selain itu, limbah cair atau air genangan di TPA yang masuk dengan mudah ke sungai pada musim hujan sangat mengganggu kehidupan masyarakat yang berada di hilir sungai. Selain itu penyemprotan terhadap lalat yang semestinya di lakukan paling sedikit dua minggu sekali hanya tinggal janji belaka. Apa yang disebut Hobbes (dalam Saifuddin, 2005: 344-345) sebagai keadilan, yaitu menunutut manusia untuk memenuhi kesepakatan. Sekali telah sepakat dengan hal ihwal bersama mengenai hak-hak atau kebebasan tertentu, manusia diwajibkan untuk menghomati kesepakatan mereka. Yang menjadi persoalan adalah dalam alam tidak semua orang memenuhi janjinya, dan apabila seseorang menolak untuk memenuhi janjinya dengan orang lain, maka orang lain tersebut akan menjadi ancaman bagi kelangsungan dirinya. Ancaman kerusakan lingkungan akibat keberadaan TPA Temesi menimbulkan keresahan pada masyarakat setempat. Meskipun pengelolaan sampah yang dilakukan di TPA Temesi dikatakan sudah dilakukan dengan ramah lingkungan, akan tetapi masyarakat tetap saja khawatir suatu saat kerusakan lingkunngan akan terjadi di wilayah Desa Temesi. Apabila hal itu sampai terjadi tentu masyarakat Desa Temesi belum siap menerima konsekwensi kerusakan lingkungan tersebut, mereka masih mengiginkan desanya tetap menjadi desa yang

cxxxix

bersih, asri dan lestari. Untuk itu, masyarakat menghimbau kepada pemerintah agar memberikan perhatiaan yang lebih kepada TPA Temesi untuk mengantisipasi bila suatu saat terjadi kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas pengelolaan sampah di Desa Temesi. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gianyar sebagai pemegang kekuasaan di wilayah Kabupaten Gianyar dalam upaya menciptakan Gianyar sebagai kota yang bersih, asri dan lestari adalah dengan melakukan pengelolaan sampah modern dan ramah lingkungan. Untuk itu, salah satu bukti keseriusan pemerintah dalam menaggulangi masalah sampah di Kabupaten Gianyar adalah dengan di bangunnya TPA di Desa Temesi. Namun, pada kenyataannya mulai dari perencaan pembangunan hingga telah beroperasinya TPA tersebut selalu menimbulkan pertentangan dari masyarakat setempat. Aksi-aksi protes yang dilakukan masyarakat menolak berdirinya TPA di Desa Temesi karena masyarakat merasa dirugikan dari kerusakan lingkungan yang ditimbulka oleh penglolaan sampah di Desa Temesi tersebut. Seperti yang disampaikan oleh informan yang bernama Bapak Regig: “Tetujon pemerintah Gianyar ngewangun TPA di Temesi punika bejik pisan, santukan kaangge olih krame kabupaten Gianyar sami. Nanging perlu peolahan sane patut, tur ngelantur, mangda nenten sekadi mangkin lingkungan iriki sampun nenten becik, sane polih nampedang wantah krama Desa Temesi kemanten, nika nenten adil wastane” ( wawancara tanggal 12 januari 2011). ( Tujuan pemerintah membangun TPA memang baik untuk kepentingan seluruh masyarakat Gianyar, tapi perlu pengelolaan yang tepat dan berkelanjutan, agar tidak seperti sekarang dampak negatif dan kerusakan lingkungan yang hanya dirasakan oleh kami yang ada di Desa Temesi, itu tidak adil namanya )

cxl

Dari ungkapan di atas dapat dianalisis dengan prinsip etika lingkungan (Deep Ecology) (dalam Keraf, 2002: 153) dimana prinsip keadilan lebih berbicara tentang bagaimana manusia harus berperilaku satu terhadap yang lainnya dalam kaitan dengan alam semesta dan bagaimana sistem sosial harus diatur agar berdampak positif pada kelestarian lingkungan hidup. Dalam hal ini, prinsif keadilan berbicara tentang akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian, dan ikut menikmati pemanfaatan sumber daya alam. Dengan demikian prinsip keadilan ini telah masuk kedalam wilayah politik ekologi, dimana pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Gianyar di tuntut untuk membuka peluang dan akses yang sama bagi seluruh kelompok masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan khususnya di bidang lingkungan. Termasuk didalamnya prinsip bahwa semua kelompok masyarakat harus secara porposional menanggung beban yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan yang telah terjadi. Kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat lebih besar harus menanggung beban yang yang lebih besar pula

dalam upaya pemulihan, pelestarian,

perawatan dan

pengelolaan lingkungan. Menurut UU Republik Indonesia No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup yaitu; masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup, oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Demikian pula dengan lingkungan di

cxli

sekitar TPA Temesi yang dapat pula tercemar karena masuknya sampah yang tidak terkekola dengan baik dan tuntas, selanjut akan menimbulkan pencemaran, membahayakan masyarakat, dan mengancam kelestarian lingkungan.

5.2.2

Sikap dan Perilaku Keberadaan TPA

Negatif

Masyarakat

Setempat

terhadap

Selain sisi positif, sisi negatif dari keberadaan TPA di Desa Temesi masih tetap ada. Sikap penolakan masyarakat terhadap keberadaan TPA tersebut masih sering kali muncul. Sikap penolakan tersebut diwujudkan dengan masih adanya aksi-aksi protes dari masyarakat akibat dampak negatif yang timbul dari kegiatan pengolahan sampah di TPA Temesi. Terkait dengan tidakan protes yang dilakukan oleh masyarakat disekitar TPA, menandakan mereka merasa telah menerima kekerasan. Dalam hal ini kereasan berarti mengandung kekuatan paksaan, tekanan, desakan yang keras (Windu, 1992: 63 dalam Yuda Triguna, 2008: 113). Kekerasan terjadi bukan hanya semata-mata karena faktor karakteristik individu, tetapi juga oleh faktor ekternal seperti perkembangan peradaban manusia dan lingkungannnya. Untuk itu, dalam masyarakat modern muncul konsep kekerasan dengan berbagai karakteristik seperti kekerasan budaya, ekonomi, sosial politik dll (Triguna, 2008:113). Masyarakat Desa Temesi yang sebagian besar hidup dari bertani, berkebun, dan beternak sudah tentu menjunjung tinggi budaya graris, yang penuh

cxlii

dengan keindahan alam, kebersihan dan ketenangan, merasa telah mengalami kekerasan. Semua itu telah dirampas oleh suasana yang kumuh, kotor, berdebu, busuk disekitar TPA, serta lalat dan tikus ada dimana-mana, hasil panen jauh dari harapan. Keadaan itu diperparah lagi dengan semakin banyaknya tenaga pemilah sampah yang datang dari luar Bali untuk berkerja menambah sempit kesempatan kerja yang dimiliki masyarakat setempat, yang pada akhirnya menjadi ancaman serius bagi kehidupan masyarakat Desa Temesi. Faktor ketimpangan dalam distribusi aset ekonomi maupun pembagian pendapatan yang menimbulkan kemiskinan dalam masyarakat khususnya masyarakat marjinal, sehingga memicu munculnya tindakan kekerasan (Yuda Triguna, 208: 113). Sampai saat ini koflik yang terjadi antara masyarakat setempat disekitar TPA dan para petani dengan pemerintah kabupaten Gianyar masih dalam tahap kewajaran, tidak sampai menimbukan kekerasan fisik dan anarki, konfik masih dapat dikelola secara baik sehingga diharapkan mencapai kemajuan dan perbaikan dalam pengelolaan sampah di TPA Berdasarakan hasil penelitian bahwa aksi-aksi protes masyarakat tersebut timbul dari mereka yang tinggal dekat dengan lokasi TPA, dan juga masyarakat yang tempat tingglanya dilewati jalur truk atau mobil pengangkut sampah serta para petani di sekitar TPA. Mereka merasa pemerintah kurang cepat tanggap terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh TPA, pemerintah terkesan bertindak jika sudah ada protes dari masyarakat setempat, sehingga masyarakat tidak nyaman lagi

karena adanya aktivitas yang dilakukan di TPA tersebut.

Mereka menuntut kepada pemerintah dan pihak pengelola TPA agar masalah

cxliii

tumpukan sampah yang setiap hari semakin menggunung bisa secepatnya ditangulangi, karena dampak dari penumpukan sampah tersebut sangat merugikan masayarakat setempat, terutama yang tinggal di pemukiman dekat lokasi TPA. Dalam pengimplementasian Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Gianyar, diperlukan suatu strategi tertentu, sehingga visi, misi yang diemban pemerintah daerah tersebut benar-benar terwujud, strategi tersebut berupa kebijakan–kebijakan yang nantinya dapat dijadikan payung

dalam

perumusan progran dan kegiatan pembangunan yang bersasaran (DKP, 2008:II-5). Salah satu misinya tersebut adalah memastikan keletarian lingkungan hidup, yaitu dengan cara mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya tampung dan daya dukungnya melalui peran serta aktif masyarakat Kebijakan strategi dan program serta kegiatan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan di Kabupaten Gianyar sebagaimana tertuang dalam Rencana Progran Investasi Jangka Menengah Kabupaten Gianyar salah satunya berupa program prioritas yang dapat mendukung pengembangan sistem pengelolaan sampah, serta pada intinya dapat memastikan kelestarian lingkungan. Terkait dengan hal itu, Pembangunan TPA Temesi dengan pengelolaan sampah yang dimiliki memberikan fungsi pelayanan dan memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat di seluruh Gianyar untuk dapat memanfaatkannya. Namun, peran serta masyarakat sangatlah diperlukan untuk pengurangan produksi sampah mulai dari rumah tangga

cxliv

Aktivitas pengelolaan sampah di TPA Temesi tidaklah sesederhana yang di bayangkan, sampai dengan sekarang sebagian masyarakat setempat masih belum siap menerima berdirinya TPA di Desa Temesi. Masyarakat masih merasa terganggu dengan aktivitas yang berlangsung di lokasi TPA tersebut. Truk-truk pengangkut sampah yang keluar masuk di lokasi TPA seringkali menimbulkan kemacetan. Selain itu, truk- truk yang membawa tumpukan sampah mengeluarkan aroma tidak sedap dan sangat mengganggu kenyamanan para pengendara yang lain. Hal ini diakui oleh salah seorang warga Desa Temesi yang bernama I Made Murtia, yang mengatakan: ”titiang merasa inguh ritatkala negakin sepeda motor dorin truk sampah, bone jelek, kanti keweh meangkian, bon jelek punike menggangu sajan. Acolohan, titiang nenten setuju wenten TPA iriki ( wawancara tanggal 16 november 2010 ) (Saya suka merasa tidak nyaman apabila sedang mengendarai sepeda motor di belakang truk pengangkut sampah. Alasannya, karena bau tidak sedap yang dikeluarkan oleh truk pengangkut sampah tersebut sangat menggangu saya dalam berkendaraan sampai susah bernafas. Pendapat saya pribadi, tidak setuju adanya TPA di sini.) Dari pernyataan di atas dapat dianalisis pemerintah telah menjalankan fungsi intelektual dan mereka yang mengontrol instrumen materi dapat menjalankan kekuasaan atas masyarakat setempat. Pemerintah dapat mendikte masyarakat setempat, karena menyadari pentingnya pelaksanaan program pengelolaan sampah demi kepentingan masyarakat Gianyar. Berdasarkan pengamatan peneliti ditunjukkan bahwa keberadaan TPA di Desa Temesi ditentang oleh masyarakat setempat karena menganggu masyarakat setempat dan pengguna jalan terutama sepeda motor. Di samping itu, banyaknya truk penganggkut sampah yang lalu-lalang melewati jalan desa yang mengangkut

cxlv

sampah menuju TPA dengan bau yang sangat busuk dan tidak jarang banyak sampah yang beterbangan ke jalan dari atas truk sampah yang tidak tertutup. Hal itu, membuat masyarakat setempat merasa terdominasi ketika, beriringan dengan truk pengangkut sampah. mereka tidak dapat berbuat apa-apa dengan bau busuk yang tercium dari truk, karena pengangkut sampah tersebut sedang melakukan tugas dan fungsinya.

Sejak tahun 2002 Kementian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia telah memulai kembali program Adipura untuk mengevaluasi pengelolaan sampah, ruang terbuka hijau. Pengendalian pencemaran air, dan fasilitas publik di kawasan perkotaan (Sigid dkk, 2008: 32). Jika dilihat secara cermat, Adipura bisa dikatakan merupakan suatu program yang cerdas dan komprehensif dalam mendukung pengelolaan lingkungan hidup dibidang pengelolaan sampah / limbah domestik

(Lengkung Lensa Lingkungan,

Maret 2009: 2). Upaya pengelolaan dan perbaikan kualitas lingkungan esensinya harus berbasis masyarakat, karena masyarakat secara keseluruhan yang akan menanggung akibat dari rusaknya lingkungan (Lengkung Lensa Lingkungan, Maret 2009: 23). Terkait dengan hal tersebut Pemerintah Kabupaten Gianyar mengambil peran selaku fasilitator dan stimulator dalam pengembangan inisiatif dan peran serta masyarakat untuk kelestarian dan perbaikan lingkungan. Saat ini sebagian besar masyarakat masih memiliki persepsi bahwa segala urusan pembangunan dan semua pemberian fasilitas kota adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah. Kerena itu mereka tidak segan – segan mengeritik, menyatakan protes, dan menekan Pemda untuk melakukan mulai dari

cxlvi

pengangkutan sampah, kebersihan, perbaikan jalan, pemasangan lampu, penyediaan trasportasi, hingga berbagai urusan kehidupan yang remeh-remeh (Hikmat, 2004: 143). Dari satu segi, hal itu memang merupakan tuntutan yang wajar, yang dapat diajukan oleh warga masyarakat kepada pemerintahnya. Namun, dari segi lain hal ini merupakan indikasi adanya ketergantungan yang tinggi dari masyarakat kepada Pemerintah Daerah. Sebenarnya masyarakat dapat berpartisipasi langsung dalam kegiatan pembangunan, tanpa harus menunggu komando dari Pemerintah Daerah Dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa masyarakat Gianyar sepenuhnya mendukung adanya upaya pemerintah Kabupaten Gianyar menciptakan lingkungan bersih, asri dan lestari. Masyarakat Gianyar telah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Semua itu terbukti Kota Gianyar beberapa kali meraih Tropi Adipura yang tidak lepas dari dukungan penuh dari pemerintah dan seluruh masyarakat Gianyar. Terakhir pada tahun 2010, Kota Gianyar juga meraih Tropi Adipura tersebut seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.8 berikut ini

cxlvii

Gambar 5.8 Bupati Gianyar, DR. Ir. Tjok Oka Arhta Ardhana Sukawati, M.Si menerima penghargaan Adipura Oleh Presiden RI di Istana Negara ( Dokomen: Humas & Protokol Setda Kabupaten Gianyar 2010) Diraihnya Tropi Adipura membuktikan bahwa kinerja Pemerintah Daerah dalam menyediakan, menjaga kebersihan dan keteduhan pasilitas publik, perumahan, sungai dan sistem drainase, fasilitas kebersihan dan lokasi-lokasi wisata sudah baik. Semua itu tidak bisa lepas dari peran penting dari keberadaan TPA Temesi. Namun di sisi lain, masyarakat Desa Temesi masih menentang dan merasa keberatan terhadap keberadaan TPA di desanya. Mereka menganggap kehadiran TPA ini dapat merusak tampilan wajah Desa Temesi menjadi tampak buruk. Upaya pemerintah Kabupaten Gianyar untuk menciptakan lingkungan bersih asri, dan lestari justru bagaikan mimpi buruk bagi masyarakat Temesi. Imbas dari program pemerintah tersebut yaitu dengan dibangunnya TPA di Desa Temesi sangat meugikan masyarakat setempat. Seperti apa yang disampaikan saat wawancara langsung dengan

informan yaitu I Made Artayasa, ketua BPD

Temesi, bahwa masyarakat Temesi merasa menentang terhadap keberadaan TPA di desa mereka: ”napi sane dados program Pemeritah Gianyar punika becik pisan, lakar mecikan gumi Gianyar, mangde bersih, asri, nanging sane nerima jelekne wantah masyarakat driki, sane lianan tenang ipun, kotorkotorne manten driki polih, dolarne anak len sane polih. Mangde adil tegarang pindahang TPA punike ke Ubud utawi daerah sane tiyosan, apang sami polih ngerasayang” ( wawancara tanggal 16 November 2010) (apa yang menjadi program Pemerintah Kabupaten Gianyar adalah sangat baik, semua itu bertujuan memperbaiki Daerah Gianyar, supaya bersih, asri, akan tetapi yang menerima dampak jeleknya adalah warga

cxlviii

di sini, masyarakat Temesi. Masyarakat yang lain merasa tenang, kotor-kotoran kami yang dapat, dolarnya yang lain dapat. Biar adil, coba saja pindahkan TPA ke daerah Ubud atau kedaerah lain, supaya semua dapat merasakannya. ) Dari uraian di atas dapat dianalisi bahwa telah terjadi konflik kepentingan terkait keberadaan TPA di Desa Temesi. Kelompok dominan yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu yang arah dan substansinya saling bertentangan (Ritzer 2008: 155). Di dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada posisi dominan berusaha mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada di posisi subordinat berupaya mengadakan perubahan. Tujuan Pemerintah Kabupaten Gianyar yang begitu mulia untuk merebut Adipura, menciptakan wajah Kabupaten Gianyar yang bersih dan indah dengan membangun dan mempertahankan TPA di Desa Temesi sampai sekarang masih menjadi kekhawatiran yang mendalam bagi masyarakat setempat. Masyarakat Desa Temesi juga mempunyai kepentingan yang berbeda, yaitu keadaan yang nyaman dan lingkungan yang baik. Pada akhirnya, masyarakat setempat merasa belum siap dengan keberadaan TPA, mereka tampaknya belum siap untuk menerima dampak negatif yang akan terjadi. Mereka sangat kawatir akan terjadi kerusakan lingkungan yang parah, sawah–sawah mereka terancam tidak menghasilkan hasil pertanian yang memadai. Selain itu, ada kekawatiran akan timbulnya bibit penyakit yang bisa saja disebarkan oleh lalat yang begitu banyak di TPA. Maka dari itu, tidak mengherankan ada keinginan masyarakat setempat agar TPA tersebut dipindahkan dari desa mereka. Soemarwoto lingkungan

(2001:

93)

menyarankan

perencanaan

pembangunan

secara dini perlu dikembangkan untuk dapat memberi petunjuk

cxlix

pembangunan apa yang sesuai di suatu daerah, tempat pembangunan itu dilakukan dan bagaimana pembangunan itu dilaksanakan. Karena sifatnya disini koflik antara lingkungan dengan pembangunan dapat dihindari atau dikurangi dengan mencarikan pemecahan secara dini. Bahkan pembangunan itu dapat direncanakan untuk mengambil manfaat lingkungan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian akan menjadi jelas pengelolaan lingkungan bukanlah hambatan pembangunan, melainkan mendukung pembangunan.

cl

BAB VI FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA RESPONS MASYARAKAT SETEMPAT TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR DI DESA TEMESI KABUPATEN GIANYAR

Faktor-faktor yang memunculkan respons masyarakat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar dapat disebutkan atas dua hal, diantaranya adalah faktor penyebab munculnya respons positif dan faktor penyebab munculnya respons negatif masyarakat setempat terhadap keberadaan tempat pembuangan akrir di Desa Temesi Kabupaten Gianyar. Kedua faktor penyebab munculnya respons masyarakat setempat seperti yang disebutkan diatas terdiri dari faktor sosial, faktor budaya, faktor ekonomi dan faktor kesehatan. Faktor-faktor ini berinteraksi dan membentuk respons positif dan respons negatif masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA. Faktor-faktor ini akan dianalisa oleh peneliti dengan mengunakan Teori Praktik Sosial. Pemikiran Pierre Bourdieu yang sangat terkenal adalah teori praktik. Ada tiga hal utama yang menjadi inti teori ini yaitu habitus, modal dan ranah. Bourdieu memanfaatkan konsep-konsep metodologis dan teoretis tentang habitus dan ranah, dengan tujuan untuk menciptakan jeda epistemologis dari antinomi obyektif-subyektif dalam ilmu-ilmu sosial yang terkenal itu. Ia secara efektif ingin menyatukan fenomenologi sosial dan strukturalisme Bourdieu ingin mendamaikan antara yang material dan simbolik, kesadaran dan ketidaksadaran, kebebasan manusia dan keterikatan oleh struktur,

cli

serta ekonomi dan budaya. Bourdieu mencoba mempertemukan antara konsep dan praktik kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, dan dengan demikian mengatasi kesenjangan antara teori dan praktik, antara pikiran dan tindakan, serta antara ide dan realitas konkret. Praktik sosial merupakan akumulasi proses dari berbagai macam bentuk habits manusia, baik yang berupa pola pikir maupun tingkah laku. Habitus yang dikalikan dengan beragam modal yang dimilki, dalam suatu ranah tertentu akan menghasilkan produk berupa praktik sosial. Pierre Bourdieu, melalui teori praktik dinilai mampu digunakan untuk membahas permasalahan kedua yaitu faktor pendorong munculnya respons masyarakat setempat terkait keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar.

6.1 Faktor Penyebab Munculnya Respons Positif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA 6.1.1

Faktor Sosial-Budaya

6.1.1.1 Kehadiran Penduduk Pendatang Mampu Kurangi Sampah di TPA Menurut Pengamatan peneliti di lapangan, kehadiran penduduk pendatang yang sebagian besar dari Jawa yang berprofesi sebagai pemulung seolah-olah menimbulkan kecurigaan bagi sebagian masyarakat Desa Tememsi Kabupaten Gianyar. Kurang jelas didasari alasan apa sehingga pendatang yang menjadi pemulung seakan-akan oknum yang perlu diwaspadai. Jangan-jangan pemulung adalah kedok seorang pencuri. Jangan-jangan pemulung adalah mata-mata yang berniat menculik anak seorang kaya. Jangan-jangan pemulung adalah teroris yang sedang mengintai mangsa. Dan masih segudang jangan-jangan lainnya

clii

yang mengharuskan masyarakat harus tetap waspada terhadap gerak-gerik pemulung. Sebetulnya kecurigan yang berlebih terhadap pemulung ini kurang tepat. Betapa tidak, selama belum terbukti alasan-alasan atas kekhawatiran tindakan yang tidak-tidak oleh pemulung, maka hal tersebut tergolong berlebihan. Alasan keamanan dan sikap preventif barangkali boleh-boleh saja. Seperti yang disampaiakan oleh Kepala Seksi Kebersihan dan Pemusnahan, DKP Kabupaten Gianyar I Wayan Suardana

“kehadiran penduduk pendatang yang mau bekerja menjadi pemilah sampah sebenarnya sangat membantu dalam mengurangi tumpukan sampah di TPA. Bisa dilihat berapa banyak penduduk setempat yang mau menjadi pemulung? Masih bisa dihitung dengan jari. Rasanya sangat berlebihan jika ada yang menolak pendatang yang mau menjadi pemulung di Desa Temesi” (wawancara tanggal 12 maret 2011) Dari apa yang disampaiakan oleh informan di atas menunjukkan bahwa kehadiran penduduk pendatang yang menjadi pemulung di desa Temesi merupakan keuntungan yang sangat besar bagi masyarakat setempat, karena sampah sampah yang ada di TPA akan diolah dengan cepat sehingga tidak terjadi pembusukan yang hebat di TPA, dan pada akhirnya tidak mengganggu masyarakat setempat. Bisa dibayangkan seandainya tidak ada pemulung dari Jawa di TPA Temesi, pastilah tumpukan sampah sangat banyak. Diperparah lagi sedikitnya masyarakat setempat yang mau bekerja menjadi pemulung. Hal serupa juga disampaikan oleh Kelian Banjar Temesi I Wayan Selamat ” yen ten wenten pendatang sane dados pemulung iriki lakar kenkenan sampah ring TPA punike, pastika sampun uruge desa iriki sami olih sampah. Sekadi titiang untung pesan sampun wenten pendatang punike sane dados pemulung” ( wawancara tanggal 12 januari 2011)

cliii

( kalau tidak ada pendatang yang jadi pemulung di TPA disini, akan kita apakan sampah yang begitu banyak di TPA. Pasti saja bisa mengubur desa ini. Saya pribadi sangat beruntung sudah ada pendatang yang mau jadi pemulung di sini)

Dari penuturan informan tersebut diatas dapat disimak bahwa penduduk pendatang yang berprofesi pemulung sangat dibutuhkan dalam pengelolaan sampah di TPA Desa Tememsi Kabupaten Gianyar. Kehadirannya juga diterima oleh masyarakat setempat. Masih banyak mayarakat setempat yang mempunya rasa hormat dan saling menghargai sesama, walaupun berbeda keyakinan. Selain itu, mereka inilah aset utama kegiatan daur ulang, dan pemilah sampah. Mereka inilah yang punya keahlian khusus menyortir antara sampah organik dan nonorganik. Dalam sehari, jika diakumulasi, para pemulung dapat megumpulkan berton-ton sampah non-organik (plastik, alumunium dll) untuk selanjutnya didaur ulang. Bisa dibayangkan jika sampah tersebut tak didaur ulang. Sampah tersebut dapat mengganggu kesuburan tanah lantaran sifatnya yang tak bisa diurai oleh bakteri pengurai. Padahal sampah non-organik semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi terus bertambah. Jika dibiarkan, dalam jangka panjang justru akan menjelma menjadi bencana seperti banjir, ketidakseimbangan ekosistem tanah dan semacamnya. Kalau sudah begini siapa yang akan dirugikan kalau bukan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, adanya

masyarakat setempat

yang menilai negatif para pendatang yang menjadi pemulung sebetulnya patut disayangkan. Akan lebih bijak jika masyarakat setempat

tidak serta-merta

berupaya meniadakan para pemulung. Profesi itu bukanlah hina hanya karena

cliv

bidang garapan mereka adalah sampah. Bagaimanapun, penanganan yang tepat terhadap sampah akan berkorelasi positif terhadap kehidupan masyarakat setempat. Dengan demikian, tak ada alasan untuk menghalau aktivitas pendatang yang bekerja sebagai pemulungan. Meski sikap hati-hati terhadap pemulung yang nakal adalah wajar, Sekarang masyarakat setempat telah mengetahi dan memahami, keberadaan TPA memerlukan orang lain. 6.1.1.2 Peningkatan Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat Setempat terkait Keberadaan TPA Harus disadari sampah yang ada di TPA Temesi

masih menyimpan

persoalan yang untuk menanganinya diperlukan keseriusan dan energi yang besar pula. Artinya pola/gaya penanganan yang selama ini masih dilakukan yaitu hanya dengan memanfaatkan lahan produktif untuk dijadikan TPA sampah bergaya petani nomaden dan dikelola dengan teknik open dumping mesti segera dihentikan dan diubah dengan gaya yang lebih elegan. Sebelum membuang sampah, mula-mula harus dikaji dan diteliti secara saksama aspek sosialbudayanya. Upaya demikian pada gilirannya akan lebih berdampak positif bagi pembangunan masyarakat (society development) secara keseluruhan. Mencermati keadaan di atas, tidak ada lain bahwa sesegera mungkin pemerintah harus melakukan pengelolaan lingkungan hidup hendaknya berpegang pada pelestarian lingkungan hidup. Selain itu melakukan identifikasi potensi dan permasalahan serta langkah-langkah yang ditempuh dalam penanganan sampah dari aspek-aspek sosial-budaya. Namun, mengingat mengubah paradigma masyarakat dan birokrat dirasakan penting dan perlu dilakukan terlebih dahulu, sehingga pengetahuan dan partisipasi aktif masyarakat setempat dalam

clv

pengelolaan sampah yang dilakukan di TPA Temesi terus meningkat. Seperti apa yang disampaiakan oleh Wayan Suardana, Kepala Seksi Kebersihan dan Pemusnahan, DKP Kabupaten Gianyar, ”Sehari-hari saya bertugas di TPA Temesi, saya melihat sudah ada peningkatan partisipasi masyarakat setempat dalam menjaga kebersihan liangkungan di sekitar dan sebagian besar sudah mengetahui pengelolaan sampah yang baik walaupun masih dalam tingkat sederhana, misalnya dalam memilah sampah, mana sampah organik dan mana sampah nonorganik serta mana sampah yang masih bernilai ekonomi.Walaupun demikian saya beserta staf pemerintah akan terus berupaya memberikan pemahaman agar masyarakat tetap berperan aktif menjaga kebersihan lingkungan, dan memanfaat sampah yang masih berguna” ( wawancara tanggal 12 maret 2011)

Seperti yang disampaiakan oleh informan di atas memberi petunjuk bahwa masyarakat setempat sudah mengetahui penanganan masalah sampah yang terjadi selama ini terkait kenetadaan TPA di Desa Temesi. Di sampaing itu, peran serta masyarakat juga sudah meningkat dalam menjaga kebersihan lingkungan di sekitar TPA. Meskipun peranserta dan pengetahuan masyarakat dalam pengelulaan sampah sudah mengalami peningkatan, menurut pengamatan penliti di lapangan perlu pengkajian aspek sosial dan budaya, misalnya penanganan sampah sebaiknya lebih menitikberatkan kepada dua hal. Pertama, harus diketahui terlebih dahulu sejauhmana masyarakat desa Temesi mengetahui secara komprehensif permasalahan sampah, serta dampak positif atau negatifnya bagi kesehatan diri dan lingkungan sekitar. Diramu dalam pertanyaan sederhana, apakah masyarakat desa Temesi sendiri di level rumah tangga telah mengetahui jenis-jenis sampah? Dampak positif/negatif dari masing-masing jenis sampah? Lalu bagaimana mestinya

clvi

perlakuan terhadap masing-masing jenis sampah tersebut? Maka dari itu diperlukan peran lebih aktif dari pihak pengelola TPA dan DKP Kabupaten Gianyar untuk terus memberikan pembinaan kepada masyarakat setempat, mengingat pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam dimensi sosial budaya merupakan suatu konsep kehidupan sekelompok orang maupun beberapa kelompok, yang membuat keputusan hidup bersama melalui usaha memanfaatkan lingkungan untuk keperluan bersama (Djamin, 77: 2007). Maka dari itu, keberadaan TPA Temesi bukan hanya untuk kepentingan pengelola dan pemerintah tetapi juga kepentingan masyarakat setempat di Desa Temesi. Pendapat yang senada juga disampaikan Wayan Slamet Kelian Dinas Temesi ”Sane mangkin krama iriki sampun uning sapunapi cara ngolah sampahe sane wenten ring pekarangan lan ring lingkungan iriki, mangda nenten percuma, santukanwenten pengarahan sakeng pemerintah. Punika taler krama iriki sampun sumanggem sapunapi antuk ngaryaning banjar iriki bersih. Minekadi ngelaksanayang gotongroyong miwah kerja bakti ring lingkungan banjar irik. ” ( wawancara tanggal 12 Maret 2011) (sekarang ini masyarakat di Banjar Temesi sudah mengetahui bagaimana cara mengelola sampah yang ada di pekarangan maupun di lingkungannya agar tidak dibuang percuma, semua itu karena sudah ada pengarahan dan petunjuk dari pemerintah daerah. Di samping itu, masyarakat di sini juga sudah sepakat bagaimanapun caranya supaya desa dalam keadaan bersih. Seperti melakukan gotong royong ataupun kerja bakti. ) Dari penuturan informan di atas menunjukkan bahwa sudah ada peningkatan pengetahuan masyarakat setempat di Desa Temesi terkait pengelolaan sampah. Semua itu tidak terlepas dari upaya pemerintah daerah dalam memberikan pengarahan dan petunjuk untuk pengolah sampah secara benar. Di samping itu,

partisipasi masyarakat sudah lebih meningkat untuk

clvii

menjaga kebersihan karena mereka sudah menyadari pentingnya kebersihan lingkungan disekitar TPA. Keadaan di atas sesuai dengan teori habitus yang di ungkapkan oleh Bourdieu (dalam Harker dkk, 1990: xix) bahwa habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran cultural yakni pengaruh sejarah yang tidak disadari dianggap alamiah. Oleh karena itu habitus bukanlah pengetahuan ataupun ide bawaan. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu teretentu. Habitus menurut Bourdieu merupakan hasil pembelajaran melalui pengasuhan aktivitas bermain, belajar, dan pendidikan masyarakat di dalam arti luas. Pembelajaran yang dilakukan terkadang tidak kita sadari dan secara halus dan tampil sebagai sesuatu yang wajar, sehingga akan kelihatan alamiah atau berasal dari sananya. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai dunia yang memberikan konstribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Hal ini akan memberikan konstribusi baru untuk membangun sebuah prinsip baru untuk memunculkan sebuah praktik di dalam individu. Terkait dengan teori ini, apa yang terjadi pada masyarakat desa Temesi yang telah mempunyai pengetahuan baru dalam pengelolaan sampah adalah suatu pembelajaran yang tidak datang begitu saja akan tetapi merupakan konstruksi dari pemerintah dengan memberi penyuluran-penyuluhan sehingga menghasilkan praktik baru dalam masyarakat desa Temesi.

6.1.2

Faktor Ekonomi

clviii

6.1.2.1 Terbukanya Lapangan Kerja Keberadaan TPA Temesi seperti membawa berkah bagi sebagian kecil masyarakat Desa Temesi. Mereka merasa diuntungkan dari adanya pengelolaan sampah di TPA Temesi, mereka merasa memiliki pendapatan dari aktivitas TPA Temesi tersebut.

Sampai saat ini ada sekitar 30 warga Desa Temesi yang

memiliki penghasilan karena bekerja di tempat pengelolaan

sampah di TPA

Temesi, dan sekitar 12 orang warga Desa Temesi bekerja menjadi buruh pemilah sampah di TPA, 8 orang menjadi pemulung lepas dan 4 orang menjadi pengepul barang-barang bekas dan 6 orang yang menjadi tenaga teknis di TPA Temesi. Pendapatan mereka dari memilah dan mengumpulkan sampah yaitu menjadi pemulung

di TPA Temesi rata-rata dalam sehari mencapai

Rp. 25.000,-

meskipun masih terbilang kecil akan tetapi dapat membantu ekonomi keluaga. Seperti penuturan seorang pemulung I Wayan Meja “ dados pemulung hasilne ten je akeh, mekarya ane lenan teleh keweh, tiang sube tua, carik ten medue, kangeang pang wenten angge numbas beras kemanten ( wawancara tanggal 12 desember 2010). ( jadi pemulung hasilnya memang tidak seberapa, bekerja yang lainnya juga berat, apalagi saya sudah berumur, kerja kesawah, tapi sawah tidak punya. Terima sajalah, yang penting bisa beli beras) Dari pernyataan informan tersebut menunjukkan walaupun bekerja jadi pemulung dia juga tetap merasa bersyukur, karena semua itu tetap menjadi tumpuan hidupnya, mengingat keterbatasan yang ada pada dirinya sepeti fisik sudah tidak kuat lagi serta tiadanya modal lainnya. Sesuai dengan pengamatan peneliti di TPA Temesi, bau menyengat, kotor, apalagi musim hujan, lalat yang notabene sumber berbagai penyakit tidak mereka hiraukan. Sisa makanan yang

clix

terkadang sudah berulat juga diambil oleh para pemulung, dipilah kemudian dimasukkan kedalam wadah untuk pakan ternak yang dijadikan investasi rumah tangga. Dapat dikatakan, bahwa bagi para pemulung TPA Temesi adalah sumber kehidupan mereka yang sangat membantu mereka untuk mendapatkan sesuap nasi.

6.1.2.2 Adanya Kegiatan Daur Ulang Sampah Zero Waste merupakan rencana dan konsep pemerintah Kabupaten Gianyar didalam melakukan pengelolaan sampah di masa-masa yang akan datang. Rencana tersebut dilakukan dengan mengembangkan konsep daur ulang sampah. Istilah daur ulang sampah sendiri sebetulnya digunakan untuk menyebut semua kegiatan yang bisa mengurangi produksi sampah. Bentuknya, seperti mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse), mendaur ulang (recycle) ( BLH Kab. Gianyar, 2008: III-14 ). Dari aspek pengelolaan persampahan, daur ulang membantu meringankan beban penanganan sampah karena mampu mengurangi volume sampah. Sedangkan dari aspek lingkungan, kegiatan ini termasuk usaha pelestarian sumber daya alam dari dampak negatif pencemaran yang muncul akibat pembuangan sampah. Selain itu, aspek lain yang cukup menonjol adalah aspek ekonomi yakni penciptaan lapangan kerja dan peluang usaha (income generating) dengan mendaur ulang sampah sehingga menghasilkan uang.

Apa yang dilihat dan diketahui oleh peneliti, bahwa pada dasarnya ada 3 tingkatan pelaku kegiatan daur ulang yang terkait kegiatan pengelolaan sampah di Desa Temesi. Pencari dan pengumpul barang, merupakan ujung tombak karena di

clx

tingkat inilah dimulai peredaran barang bekas. Mereka ini sering disebut pemulung, yaitu pencari barang bekas atau rombengan, yang biasanya di bawah koordinasi

pengepul yang menampung dan membeli barang pulungan.

Penampung dan penyalur barang atau dikenal pula sebagai agen atau suplier, yaitu penampung di tingkat akhir yang menyalurkan barang ke pabrik pengolah, seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 6.1 Seorang pengepul barang bekas memanfaatkan sampah plastik dan kertas serta barang lainnya sehingga menghasilkan uang (Dokumen: Putra. 2010) Bau menyengat sampah serta air yang menggenang di sana-sini akibat atap asbes yang bocor mewarnai pemandangan di sebuah lokasi usaha pengumpulan barang bekas yang terletak tidak jauh dari TPA Temesi. Adalah I Nyman Pusut, wiraswastawan yang telah giat menekuni bidang usaha ini selama 7 tahun. Menurut bapak dua anak ini

“usaha niki dumun Cuma cobak-cobak kemanten, nanging ten dados takut. Apang sing terus dados pemulung, kenten manahe. Napi mawinan titiang mekarya asapuniki tenwenten tiwos ngerereh pengupe jiwa sane patut. Nganinin indik untung sane polih dados pengepul nenten je akeh, sane

clxi

pasti tiang meresidang nampung pemulung 10 dirisami sakeng Jawi” ( wawancara tanggal 26 Oktober 2010 ). (Usaha ini dirintis awalnya hanya mencoba semua itu karena saya tidak mau menjadi pemulung terus-menerus. Alasan menggeluti usaha ini, semata-mata mencari penghidupan dari segala sesuatu asal mendapatkan uang secara halal. Lebih lanjut lagi menegnai keuntungan yang diperoleh sebagai pengepul barang bekas tidaklah banyak, yang jelas saya mampu menampung sepuluh pemulung dari daerah Jawa ). Dari penuturan informan tersebut di atas dapat disimak bahwa barangbarang rongsokan atau barang bekas seperti plastik, kertas, tembaga, dan sebagainya banyak melimpah di sekitar kita. Hal tersebut tanpa disadari menjadi sebuah peluang bisnis yang tidak hanya menggiurkan, tetapi juga akan mendatangkan keuntungan cukup besar bagi masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan konsep habitus yang disampaikan oleh Bourdieu (dalam Harker. 1990), bahwa Habitus merupakan hasil pembelajaran melalui pengasuhan aktivitas bermain, belajar, dan pendidikan masyarakat di dalam arti luas. Pembelajaran yang dilakukan terkadang tidak kita sadari dan secara halus dan tampil sebagai sesuatu yang wajar, sehingga akan kelihatan alamiah atau berasal dari sananya. Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai dunia yang memberikan konstribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Habitus juga berubah-ubah yang mengupayakan adanya kompromi dengan kondisi material. Hal ini akan memberikan konstribusi baru untuk membangun sebuah prinsip baru untuk memunculkan sebuah praktik di dalam individu. Meskipun terkesan ‘jorok’, bekerja ditempat yang kotor di TPA, telah memberikan pelajaran kepada sebagian masyarakat setempat untuk terus berjuang

clxii

mencapai kehidupan ekonomi yang lebih baik. Hal itu juga tidak bisa lepas dari modal fisik dan mental yang kuat serta keberanian yang tangguh. Lebih lanjut, Bourdieu mengatakan habitus juga merupakan sebuah sifat yang tercipta karena kebutuhan. Dan pada kenyataannya, perputaran uang dalam bisnis barang bekas ini lebih cepat dari pada usaha-usaha lainnya. Kegiatan ekonomi ini bagi kebanyakan orang dikatakan bisnis “pemulung”, menunjukkan suatu kegiatan yang terbentuk karena kebutuhan individu, namun hasil dari bisnis ini bisa disejajarkan dengan usaha-usaha lainnya yang lebih mentereng. Terbukti bapak Pusut warga Desa Temesi itu mampu menampung pemulung sampai 10 orang. Menjadi pengepul barang bekas seperti Bapak Pusut memang memerlukan tekad dan berani malu, karena tidak sedikit pula orang yang ragu dan merasa rendah diri dengan usaha semacam ini

6.1.2.3 Pemanfaatan Kompos oleh Petani Manfaat positif lainnya dari aktivitas pengelolaan TPA di Desa Temesi adalah adanya kegiatan pengolahan sampah menjadi kompos yang dapat dipergunakan untuk pupuk tanaman. Produksi kompos di TPA Temensi sangat bermanfaat terutama bagi para petani disekitar TPA tersbut. Sebagian masyarakat yang berprofesi petani sangat duntungkan karena bisa memporoleh pupuk kompos dengan harga murah. Dengan adanya pupuk kompos yang diproduksi oleh

clxiii

pengelola TPA Temesi, masyarakat kini tidak lagi merasa kesulitan memproleh pupuk. Seperti penuturan seorang petani dan juga pekerja di TPA: ”Kompos punika becik taler anggen rabuk ring carike, ngranayang tanahe subur nanging hasilne nenten meresidang prejani, sekadi pupuk kimia, hasilne enggal, nanging kompose ngranayang tanahe susbur ngantos sue. Punika teler ngrereh kompose sampun nampek sane mangkin (wawancara tanggal 12 desember 2010) ( kompos itu juga baik untuk pupuk di sawah, membuat tanah menjadi subur, tetapi hasilnya tidak tampak dengan cepat seperti pupuk kimia. Akan tetapi kompos mempunyai kelebihan membuat tanah subur lebih tahan lama, selain itu sekarang mendapatkan kompos tidak begitu sulit.) Dari penuturan informan tersebut, ada keuntungan yang didapat masyarakat khususnya petani di Desa Temesi, mereka mempunyai pilihan lain selain menggunakan pupuk kimia mereka juga mempunuyai kesempatan yang cukup mudah untuk mempergunakan kompos sebagai pupuk jika mereka mau, tidak perlu mencari kompos jauh-jauh sampai ke kota kabupaten, masyarakat setempat sudah bisa memdapatkannya di desanya sendiri. Dengan keberadaan pengelolaan kompos di TPA Temesi kini masyarakat setempat tidak perlu lagi cemas mengenai mahalnya pupuk-pupuk kimia buatan pabrik. Produksi kompos oleh TPA Temesi juga membantu masayarakat setempat dalam mengembangkan jenis pertanian organik di Desa Temesi. Dibawah ini adalah gambar pupuk kompos aerobik yang diproduksi di TPA Desa Temsi Kabupaten Gianyar, seperti Gambar 6.2 berikut ini

clxiv

Gambar 6.2 Kompos hasil produksi TPA Temesi (Dokumen: Putra. 2010) Menurut pengamatan peneliti di lapangan, pemanfaatan pupuk organik oleh petani di Desa Temesi bisa dikatakan masih kurang. Itupun hanya dilakukan satu dua orang saja. Semua itu memang tidak mengherankan karena kebijakan yang digaungkan Pemerintah Kabupaten Gianyar tentang seruan untuk menggunakan kembali pupuk organik dalam produksi pertanian nyaris tidak terdengar, padahal pemanfaatan pupuk organik dapat membantu pemerintah itu sendiri dalam mengurangi biaya pemberian subsidi pupuk kepada petani. Selain itu pupuk organik untuk usaha pertanian persediaannya sangat besar. Keuntungan dari pemakaian bahan organik dalam usaha pertanian sangatlah menanjikan. Apalagi kalau ditinjau dari nilai ekonomis, keamanan, lingkungan dan kesehatan, peluang pupuk berbahan baku organik ini sangat menguntungkan. Seperti apa yang dituturkan oleh Nyoman Suparta Pekaseh Subak Temesi : sawatara 2 warsa sampun lewat, tiyang nandur mako iriki, daweg punika tyang ngangge pupuk kompos produksi TPA temesi kenten. Mejanten sampun tetanduran mako tiyang becik pisan. Mokoh donne gede-gede, nanging lacur rugitiyang santukan harga makone mudah pesan. ( wawancara tanggal 12 Januari 2011)

clxv

(sekitar 2 tahun yang lau pada saat saya mencoba menanam sesuatu yang baru yaitu menanam tembakau, saya menggunakan pupuk morganik, pertumbuhannya cukup baik, tetapi sang secara ekonomi saya rugi bukan karena tembakaunya jelek tapi harga tembakau sangat murah. )

Informan Nyoman Suparta sangat menyayangkan rendahnya harga tembakau pada saat itu, sehingga membuatnya menjadi rugi besar, akan tetapi menurutnya penggunaan pupuk kompos sangat baik untuk tanaman tembakaunya terbukti tanaman tembakaunya tumbuh subur. Jika memakai pupuk kimia belum tentu hasilnya seperti itu, bahkan bisa saja lebih jelek ditambah lagi harganya lebih mahal. Dengan keberhasilan TPA Temesi memproduksi kompos, itu merupakan sebuah modal yang telah dimiliki masyarakat setempat. Modal adalah segala aspek kebutuhan yang harus dimiliki dan diusahakan oleh setiap manusia demi menjaga kelangsungan hidupnya, baik yang bersifat fisik maupun tidak. Bagi Bourdieu modal ini sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik ) dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun memiliki signifikasi secara kultural, misalnya prestise, status, dan otoritas serta modal budaya (Harker dkk, 1990: 16) Kemudahan yang dimiliki masyarakat setempat untuk mendapatkan kompos adalah sebuah modal awal yang harus disyukuri. Bisa dibandingkan dengan masyarakat dari daerah lain yang sangat susah mendapatkan pupuk.

6.2 Faktor Penyebab Munculnya Respons Negatif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA

clxvi

6.2.1

Faktor Sosial-Budaya Keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) seharusnya tidak akan

mempengaruhi pola kehidupan masyarakat sekitarnya baik secara fisik ataupun sosial, juga tidak mempengaruhi kondisi ekologis lingkungan disekitar lokasi TPA seperti adanya pencemaran atau kerusakan lingkungan. Masyarakat di lokasi sekitar TPA sudah sepantasnya mendapatkan hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, juga hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup, serta hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya keberadaan TPA diharapkan akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar misalnya seperti nilai pendapatan atau ekonomi keluarga dari hasil pengolahan sampah. Akan tetapi pada kenyataannya hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya akibat dampak negatif yang banyak ditimbulkan. Karenanya tidak jarang terjadi sikap menentang / oposisi dari masyarakat dan munculnya keresahan. Termasuk juga masyarakat Desa Temesi, sikap oposisi ini secara rasional akan terus meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan taraf hidup mereka, tanpa diimbangi perbaikan pengelolaan sampah di TPA, sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan keberadaan TPA tersebut dan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah aktif untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi.

clxvii

6.2.1.1 Ketidakbiasaan Masyarakat Setempat Terhadap Lingkungan Bising, Kotor, dan Gangguan Keindahan Lingkungan Masyarakat

Desa

Temesi

yang

merupakan

masyarakat

agraris,

kesehariannya berada di sawah yang subur dan telah terbiasa dengan suasana yang tenang, merasa terganggu dengan suasana bising dan kotor yang ditimbulkan dari TPA Temesi. Kebisingan akibat lalu lintas kendaraan berat / truk timbul dari mesin-mesin, bunyi rem, gerakan bongkar muat sampah, dan lain-lain yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat di sekitarnya.

Menurut pengamatan langsung yang dilakukan peneliti, di TPA Temesi kebisingan timbul akibat lalu lintas kendaraan truk sampah disamping akibat bunyi mesin pengolahan (tertutama bila digunakan mesin pencacah sampah). Kebisingan di sekitar lokasi TPA timbul akibat lalu lintas kendaraan pengangkut sampah menuju dan meninggalkan TPA di samping operasi alat berat yang ada. Hal serupa juga di katakan seorang informan yang bermana Wayan Polos:

”sekadi pabrik pastika sampun bising, napi malih sami mesine iriki megae. Titinag sane namping iriki janten sampun terganggu. Yan dados tunas apang ten wenten kebisingan punike malih. Jawat pindahan lokasi TPA niki, ten kenapi yening banjar titiang, ring temesi puniki nenten polih bantuan jinah sakeng pemerintah Gianyar. Sane pinih utama antuk titiang mangda karama iriki sami tenang”( wawancara tanggal 12 Januari 2011) ( seperti pabrik, sudah jelah sangat bising, apalagi semua mesin dioperasikan. Saya yang mendampingi disini sudah pasti terganggu oleh suara mesin-mesin tersebut. Kalau boleh, bagaimana caranya supaya tidak ada suara bising seperti itu.Jadi pindahkan saja lokasi TPA ini ketempat lain. Tidak menjadi masalah banjar Temesi tidak lagi mendapat bantuan berupa uang konvensasai dari pemerintah kabupaten Gianyar, yang terpenting bagi kami masyarakat disini adalah supaya kami mendapat ketenangan, tidak ada lagi gangguan kebisingan)

clxviii

Dari ungkapan informan diatas peneliti ditunjukkan fakta berupa sikap masyarakat setempat yang merasa sangat terganggu oleh suara bising di TPA. Disamping itu, masyarakat setempat yang terbiasa tenang tampaknya sudah tidak lagi melihat pemerintah sebagai pihak yang bisa memberi pengayoman, kesejahteraan dan ketenangan bagi warganya, bahkan pemerintah sudah dianggap sebagai pihak yang merepotkan dan memberi ancaman bagi mereka, terutama gangguan terhadap lingkungan desa mereka. Masyarakat setempat seperti merasa diacuhkan oleh pemerintah daerah dan Pemerintah

dianggap terlalu

menyepelekan kepentingan rakyatnya.

Konsep Habitus dari Bourdieu dapat digunakan peneliti dalam menganalisis ketidakbiasaan masyarakat setempat terhadap lingkungan bising, kotor dan gangguan keindahan lingkungan. Menurut Bourdieu (dalam Ritzer 2008: 522), habitus adalah struktur mental atau kognif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatu habitus. Dengan demikian, habitus adalah merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu.

clxix

Masyarakat setempat menyadari dan memahami bahwa lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat terjadi baik di lingkungan permukiman atau juga lahan pembuangan sampah lainnya. Di sini, terlihat kebiasaan dan kemampuan tindakan masyarakat setempat yang sebagian besar penghidupannya sebagai petani menghadapi tantangan dari keadaan lingkungan yang sudah tidak baik lagi. Proses pembongkaran dan pemuatan sampah di sekitar lokasi TPA sangat mungkin menimbulkan tumpahan sampah yang bila tidak segera diatasi akan menyebabkan gangguan lingkungan. Demikian pula dengan ceceran sampah dari kendaraan pengangkut sering terjadi bila kendaraan tidak dilengkapi dengan penutup yang memadai.

Di sekitar TPA Temesi ceceran sampah terutama berasal dari kegiatan pembongkaran yang tertiup angin atau ceceran dari kendaraan pengangkut. Pembongkaran sampah di dalam area pengolahan yang dibiarkan menggunung, dan ceceran sampah dari truk pengangkut akan mengangu estetika lingkungan sekitarnya. Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik merupakan sumber pandangan yang tidak baik bagi daerah yang dilalui. Dengan keadaan yang seperti itu masyarakat setempat sangat merasa telah terjadi sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan apa yang telah mereka lakukan selama ini, yaitu menciptakan suasana yang tentram, damai dan penuh dengan keindahan dalam kehidupan mereka, dan sekarang sudah jauh dari harapan

6.2.1.2 Kurang Kosistennya Pemerintah dalam Melaksanakan Kesepakatan terkait Keberadaan TPA

clxx

Keberadaan TPA memang diperlukan oleh suatu daerah karena sampah senantiasa di produksi oleh penduduk dalam segala aktivitasnya. Selama penduduk terus berkembang maka produksi sampah pun semakin besar. TPA sebagai terminal akhir sampah memerlukan ruang dalam menampungnya. Penempatan ruang itu tentunya memerlukan perencanaan dan pemikiran yang sangat matang dari pengelola serta sudah barang tentu pemerintah daerah sebagai pemilik dan penyedia fasilitas itu. Salah satu lokasi yang dipilih dijadikan TPA adalah Desa Temesi. Secara administratif Desa Temesi berada di Kecamatan Gianyar dan Kota Gianyar serta daerah lain di sekitarnya seperti Kecamatan Ubud, Blahbatuh dan Sukawati mempunyai andil besar menjadi pemasok sampah di TPA Temesi. Kerena itu sangat dibutuhkan strategi dalam pengelolaan sampah di mulai ari pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan serta peranserta masyarakat khususnya masyarakat setempat yang daerahnya dijadikan lokasi TPA. Jika melihat awal berdirinya TPA di Desa Temesi, memang sebenarnya terjadi penolakan dari sebagian besar masyarakat, tetapi Pemerintah Kabupaten Gianyar terus melakukan pendekatan terhadap para tokoh masyarakat dan memberi penjelasan kepada semua lapisan masyarakat bahwa TPA Temesi adalah pengelolaan sampah yang modern dan ramah lingkungan. Artinya tidak menggunakan sistem open dumping dalam pengelolaan TPA, namun seminimal mungkin dapat dilakukan dengan sistem sanitary landfiil ( DKP. 2008: 1). Maksudnya adalah untuk mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih baik di TPA, dimana sampah di TPA tidak lagi di jemur atau dilapukkan melalui

clxxi

penyinaran matahari, tetapi dilakukan dengan pengurugan/penutupan permukaan sampah dengan tanah. Walau masih terus terjadi pro dan kontra dikalangan masyarakat akhinya diperoleh kesepakatan

untuk mendirikan TPA tersebut.

Seiring perjalan waktu banyak terjadi keluhan–keluhan dari masyarakat akan dampak negatif yang ditimbukan dari TPA. Seperti penuturan seorang informan yang bernama. Bapak cekeg : ”Sakeng dumun titiang sampun ten setuju indik ngewangu TPA ring Desa Temesi, sane mangking sanpun uninge jelekne, nanging sampun wenten kesumanggeman sakeng dumun jagi nerima TPA, ten presisa ngomong napi malih, cutetne terima kemanten yadiastun lingkungan diriki ngancan kaon”( wawancara tenggal 12 januari 2011) (Dari dulu saya sudah tidak menerima akan dibangunnya TPA disini, sekarang lah diterima jeleknya, tetapi sudah terklanjur sepakat untuk menerima, bisa ngomong apa lagi terima saja meskipun lingkungan di sisni semakin rusak. ) Apa yang disampaikan informan tersebut diatas menandakan ketidak setujuannya terhadap pembentukan dari TPA di Desa Temesi. Harus diakui tidak semua

orang

atau

masyarakat

setempat

mempunya

keberanian

untuk

mengeluarkan pendapatnya pada waktu rencana pembentukan TPA. Maka dari itu masyarakat akan memendam rasa kecewanga terus dan bisa saja meledak jika terjadi tekanan yang begitu berat kepadanya dengan cara menutup jalan menuju ke TPA. Nampanya masyarakat merasa menyesal akan adanya kesepakat yang terbentuk dahu tersebut, apa yang mereka terima sangat tidak sebanding dengan apa mereka korbankan. Masyarakat setempat telah mengorbankan lingkungan mereka menjadi tempat yang sangat menjijikkan dan jauh dari keindahan dan kebersihan. Dari kenyataan tersebut menunjukkan Pemerintah Kabupaten Gianyar

clxxii

kurang konsisten dalam menjaga kesepakatan yaitu untuk menciptakan dan mewujudkan lingkungan yang baik di TPA Temesi. Hal yang paling mengkawatirkan selama ini adalah kurangnya konsistensi pihak pengelola dan pemeritah mengetrapkan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. TPA tersebut akhirnya menjadi sembrawut, bau, dan lindinya menyebar ke segala arah. Pencemaran air tanah dan air pemukaan sekitar TPA oleh lindi, merupakan masalah yang paling serius, disamping masalah lain yang ditimbulkan yaitu, masalah gas bio yaitu gas methana yang disebabkan karena tidak adanya upaya penangkapan gas tersebut, serta masalah kehadiran vektor penyakit berupa lalat di atas timbunan sampah terbuka. Konsep ranah atau lingkungan yang di kemukakan oleh Bourdieu (dalam Ritzer 2008 : 524) dapat dijadikan acuan untuk menganalisa fenomena diatas. Bourdieu melihat ranah atau lingkungan dalam hal ini TPA di Desa Temesi sebagai sebuah arena pertarungan, sebagai pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Hal ini menunjukan bahwa realitas masyarakat setempat yang terdiferensiasi itu, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena itu, pemikiran Bourdieu yang mengatakan bahwa dalam semua masyarakat ada yang mengusai dan dikuasai, menjadi bermakna. Dalam pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun, menurutnya dominasi ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku.

clxxiii

Apa yang diamati oleh peneliti di lapangan menunjukkan bahwa dominasi Pemerintah Kabupaten Gianyar terkait keberadaan TPA memang benar terjadi, karena kondisi masyarakat Gianyar yang sangat membutuhkan TPA tersebut. Dominasi itu dapat terjadi dengan mudah tidak terlepas dari sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat yang kurang, disamping itu strategi yang di gunakan pemerintah dengan melakukan pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat sehingga protes keras masyarakat setempat dapat diredam.

6.2.1.3 Berkembang Rumah-rumah Kumuh di Sekitar TPA

Timbulnya bibit penyakit dan penularanya dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko lingkungan, diantaranya lingkungan biotik dan abiotik. Faktor risiko lingkungan abiotik terutama lingkungan kumuh yaitu kawasan permukiman kumuh atau daerah slum (slums), merupakan daerah yang sifatnya kumuh tidak beraturan. Hal ini merupakan salah satu dampak dari perencanaan, pengembangan yang tidak beraturan atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Lingkungan kumuh yang ada di sekitar TPA Desa Temesi merupakan salah satu penyebab mulculnya berbagai respons dari masyarakat setempat. Penyebaran lingkungan kumuh di sekitar TPA begitu cepat, disebabkan oleh pemanfaatan lahan permukiman oleh para pemulung dan tempat penyimpanan barang bekas, seperti ditunjukkan pada gambar 6.3 dibawah ini

clxxiv

Gambar 6.3 Meluasnya permukiman kumuh disekitar TPA Desa Temes (Dokumen: Putra. 2010) Masalah permukiman kumuh selalu menarik perhatian, karena dimensi kemanusiaan dan lingkungan yang terkait padanya. Pemukiman kumuh adalah pemukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis. Suatu pemukiman kumuh dapat dikatan sebagai pengejawantahan dari kemiskinan, karen apada umumnya di pemukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal. Jadi dapat dikatakan pemukiman ini sering diidentikkan dengan perkampungan orang miskin dengan lingkungan kotor menjijikkan. Meskipun diketahui bahwa konsepsi kemiskinan

clxxv

adalah relatif, tetapi paling tidak dapat dikatakan bahwa penghuni ini adalah mereka dari golongan berpenghasilan rendah dan kehidupan yang tidak teratur.

Pemukiman kumuh, tidak teratur yang ada di sekitar TPA Temesi merupakan habitat yang cocok untuk kehidupan tikus. Karena pada pemukiman ini terdapat tempat-tempat yang dapat dijadikan tempat tinggal reservoir terutama tikus. Disamping itu keadaan sanitasinya yang buruk, kemungkinan besar mengakibatkan

perkembangbiakan tikusdan hama lainnya sangat cepat dan

kontaminasi berbagai penyakit bisa terjadi dengan mudah. Keadaan ini diperparah dengan banyaknya tikus-tikus yang menyerang tanaman padi para petani. Keadaan seperti ini terus dikeluhkan masyarakat setempat, terutama para petani yang tanamanya diserang hama tikus sehingga hasil pertanian terus menurun. Para tetani yang ada diskitar TPA harus bekerja keras untuk membasmi hama tikus tersebut. Seperi penuturan Bapak

I Nyoman Suparta, pekaseh Subak

Temesi

”Utsaha sane kemargiang olih krama Subak Temesi iriki mangda bikule ngemedikan, sami tedun gotong royong, ngejuk bikul tur kematiang. Punika taler ngemargiang pengemposan, nunjel briket belerang, asep beracun belerang punika ke semprotang ring tongos bikule mengkeb lan meumah. Sapunika ngranayang bikule lengeh melaib pesu, aluhang sampun matiang ipun” ( wawancara tanggal 10 Januari 2010) (Untuk mengurangi hama tikus itu, warga Subak Temesi dan sekitarnya bergotong-royong membasmi hama pengerat itu. Selain pengropyokan (memburu dan menangkap tikus untuk dibunuh), juga dilakukan dengan pengemposan yakni dengan membakar tiran (briket belerang). Asap belerang beracun itu diarahkan ke lubang-lubang tempat persembunyian tikus. Begitu tikus tak tahan dan ke luar sarang, langsung diburu dan dibunuh.

clxxvi

Apa yang di ungkapkan oleh pekaseh Subak Temesi nampak jelas menunjukkan

usaha keras yang harus dilakukan anggota subak dalam

mengurangi hama tikus. Semua itu tidak lah mudah karena jumlah tikus begitu banyak, dan bisa lari dengan cepat dan menghilang. Hal senada juga disampaikan seorang petani bernama Wayan sudarta:

”Jakti, mangkin akeh pesan bikule, lingkungan TPA niki sampun ngeranayang. Sane dumun wenten masi bikul nanging nenten sekadi mangkin akehne. Meweh manah titiange. Ngejuk bikul niki sanpunje wenten kapah-kapah wantuan sakeng dinas pertanian kabupaten Gianyar. Yening terus sapuniki jek rugi sampun dadus petani” ( wawancara tanggal 12 Januari 2011) (Sekarang ini memang benar-benar banyak tikus. Lingkungan TPA inilah penyebabnya. Kalau dulu memang ada tikus tapi tidak sebanyak sekarang ini. Gerakan pembasmian hama tikus juga dibantu pihak Dinas Pertanian kabupaten Gianyar, tetapi kadang kadang saja. Kalau terus keadaanya begini jadi petani pasti rugi. ) Dari uraian di atas dapat dianalisi bahwa faktor sosial yaitu berkembangnya rumah–rumah kumuh disekitar TPA menyebabkan munculnya respons negatif masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA Desa Temesi. Tidaklah mengherankan kalau para petani terus mengeluh terhadap keberadaan TPA tersebut, karena tempat tersebut menjadi tempat yang nyaman bagi tikus untuk berkembang dan beranak-pinak. Betapa tidak, padi yang sudah dipelihara baik selama tiga bulan dan siap panen, habis diserang hama tikus.

Dilain pihak, bagi penduduk pendatang yang bekerja menjadi pemulung atau pemilah sampah di TPA Temesi, permukiman kumuh umumnya mempunyai ciri lokalitas yang strategis terhadap lapangan pekerjaan, menyebabkan permukiman ini memberi kesempatan mendapatkan perumahan yang bukan saja

clxxvii

harga sewanya rendah, tetapi biaya hidup juga luar biasa rendahnya. Bagi pendatang pemula yang miskin perumahan memberi banyak peluang untuk dapat mencari tempat yang pas dan murah. Bermukim di tempat seperti ini menyebabkan uang hasil kerja dapat ditabung cukup besar untuk dikirim ke tempat asalnya. Sedangkan bagi penduduk yang ingin menetap, permukiman ini mempercepat tabungannya sehingga mampu membeli rumah yang layak dan sah.

6.2.1.4 Ketidaknyamanan Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA Terjadinya kasus tentang lingkungan, sama artinya dengan terjadinya suatu pencemaran atau kerusakan terhadap lingkungan hidup sebagai akibat dari suatu aktivitas (Djamin, 2007: 60 ). Terkait dengan kasus lingkungan yang terjadi di Desa Temesi merupakan akibat dari kegiatan yang ada di TPA Temesi diharapkan tidak menyebabkan pencemaran lingkungan yang parah. Lebih-lebih keberadaan TPA di suatu tempat harus bisa memberikan kenyamanan bagi masyarakat sekitarnya. Namun pada kenyataannya keberadaan TPA Temesi

membuat

sebagian besar warganya merasa menjadi tidak nyaman. Seperti penuturan informan yang bernama Pak. Meja: “Semenjak ada TPA disini desa saya menjadi rusak, bising, rasa senang punya rumah berdekatan dengan TPA sudah tidak ada. Kalau sudah punya uang mungkin saya mau pidah rumah saja, mungkin yang agak jauh dari TPA. Selain itu mencium bau busuk sampah yang dibawa truk pengangkut sampah seringkali membuat saya merasa mual dan pusing” (wawancara tanggal 19 Januari 2011) Truk–truk yang lalu lalang di sekitar pembuangan sampah mengeluarkan bau busuk bagi warga yang sedang berkendara di sekitarnya. Selain itu mayarakat yang tinggal di dekat TPA merasa terganggu oleh deru mesin truk dan alat alat pengolah sampah. Belum lagi bau tak sadap yang dilepaskan oleh sampah yang

clxxviii

menumpuk di TPA membuat warga merasa resah dan menggagu kenyamanan. Tergangunya kenyamanan masyarakat yang tinggal di sekitar TPA Temesi ini menimbulkan respons negatif bagi masyarakat Desa Temesi terutama bagi masyarakat yang tinggal berdekatan dengan lokasi TPA. Mereka sampai sekarang masih merasa keberatan terhadap keberadaan TPA, karena menurut mereka sangat menggangu aktivitas keseharian mereka. Selain itu, tidak mengherankan kalau sempat mencium aroma menyengat menusuk hidung ketika lewat atau mendekati TPA Temesi. Di sana, puluhan truk pengangkut sampah dari DKP Kabupaten Gianyar dan kendaraan masyarakat umum membuang ratusan kubik sampah setiap hari. Tak hanya sampah dari limbah rumah tangga, melainkan sampah di sejumlah pasar tradisional, pusat perbelanjaan atau limbah industri lainnya. Semuanya berkolaborasi menjadi satu. Tidak harus disortir atau dipisahkan dulu antara limbah cair, sampah kering dan padat, kecuali langsung dibuang petugas DKP ke TPA itu. Gundukan sampah mengunung itulah yang kerap membuat masyarakat setempat merasa tidak nyaman dalam kehidupannya. Masyarakat setempat, para petani dan pengguna jalan merasa tak nyaman bila melintas di sana. Kadang bau tak sedap itu membuat perut mual

6.2.1.5 Kehidupan Agraris di Desa Temesi semakin Terancam Di lain hal

keberadaan TPA Temesi memberi pengaruh yang besar

terhadap alih fungsi lahan pertanian terutama untuk kepentingan pembangunan TPA dan banyaknya lahan pertanian produktif yang berubah fungsi menjadi

clxxix

tempat pemilahan barang bekas yang dilakukan oleh pengepul barang bekas. Tanah adalah filosfi hidup, harga diri, penjelajahan kemasa lampau, arah ke depan, tuntunan agar seseorang tidak kehilangan pegangan dan selalu melangkah kejalan lurus (Soethama, G.A. 2000: 44). Tanah dengan pura-pura di atasnya memiliki arti sakral bagi masyarakat Temesi, karena berhubungan dengan penghormatan kepada nenek moyang, simbol agama, tradisi, dan adat istiadat lainnya. Alih fungsi lahan pertanian menyebabkan eksodus petani dari Desa Temesi ke kota, masyarakat khususnya generasi muda Desa Temesi sudah tidak tertarik lagi menjadi petani, berusaha mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan, semua itu dapat dimengerti mengingat penghasilan para petani di sekitar TPA menurun karena tanaman mereka sering diserang lalat, tikus serta hewan liar lainnya. Andaikata menjadi pemulung juga tidak memberi penghasilan yang lumayan. Selanjutnya akan timbul kevakuman di desa, mendorong serta mengancam lenyapnya kehidupan yang merupakan ciri khas masyarakat petani di Temesi, berikut semua adat istiadat, ritual, dan upacara terkait. Dengan hilangnya tanah untuk pertanian, berkurangnya petani, menjadi ancaman serius hilang pula pilar-pilar kebudayaan masyarakat Desa Temesi. Seperti apa yang dituturkan oleh seorang informan yang merupakan pekaseh Subak Temesi bernama I Nyoman Suparta (Pak Belek)

“krama subak iriki sane mangkin ngancan ngewehang, tetegenane ngancan maatang, krame subak ngancan medikan sawireh tanah ipun sampun kaadol kaanggen lahan TPA, miwah genah pemulunge nongos, taler anggen usaha ngulak rerongsokan. Dadosne penyungsung pura ngancan medikan. wenten petang pura sane kasungsung olih karama Subak Temesi iriki, nika mawinan krama Subak Temesi sami merasa meweh” ( wawancara tanggal 12 desember 2010)

clxxx

( Keadan para petani semakin susah, bebannya semakin berat, serta jumlah anggota subak semakin sedikit, karena lahan mereka sudah terjual untuk lahan TPA , tempat para pemulung serta tempat usaha jual beli barang bekas. Jadi anggota petani yang sekaligus bertanggung jawab terhadap pura semakin berkurang, dan jumlah pura ada empat, itulah sebabnya anggota subak semakin sengsara ) Dari apa yang disampaikan oleh informan menunjukkan kehidupan masyarakat khusunya masyarakat petani di lingkungan Subak Temesi semakin menderita akibat berkurangnya lahan dan anggotanya (penyungsung pura) yang semakin kerkurang. Tidak ada yang bisa meramal berapa dasyat tragedi yang akan menimpa masyarakat Desa Temesi, kerena tanah - tanah semakin berpindah ketangan orang - orang yang tidak begitu perduli terhadap lingkungan. Pendapat sama juga disampaikan pengamat politik Universitas Warmadewa AA Oka Murti, bahwa tanah di Bali itu memiliki karakter yang khas, di samping memiliki fungsi ekonomi, juga memiliki fungsi sosial Budaya. Tanah Bali adalah penyangga budaya Bali. Jika ini terus tergerus dan beralih fungsi apalagi kepemilikan tanah tersebut beralih hak kepada yang berbeda budaya, tentu ini akan menjadi ancaman kebudayaan Bali di masa kini dan masa datang (Sabda, 05 Desember 2010: 22). Beban moral juga ditanggung oleh masyarakat Desa Temesi, seperti saat piodalan di pura, baik di pura desa, pura dadia maupun saat menghaturkan sesajen yang di pakai yadnya sehari hari, terlihat lalat banyak sekali mengerubuti sesajen ( haturan ) tersebut, apalagi di musim hujan lebih banyak lagi, sehingga masyarakat setempat merasa sangat terganggu didalam melaksanakan yadnya. Seperti di tunjukkan pada gambar di bawah ini.

clxxxi

Gambar 6.4 Lalat mengerubuti haturan / banten sehari-hari yang dipersembahkan oleh masyarakat (Dokumen: Putra. 2010)

Fenomena seperti yang disampaiakan di atas dapat dianalisis dari konsep teori Praktik Bouedieu (dalam Harker, 1990) bahwa praktik merupakan produk dari relasi habitus dan ranah. Dalam sebuah ranah ada pertaruhan, kekuatankekuatan serta orang-orang yang memiliki banyak modal. Modal merupakan konsentrasi kekuatan, beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Kadaan masyarakat Desa Temesi yang tidak mempunyai keahlian pertanian yang baik, hanya bersifat tradisional serta tidak mempunyai modal kultural yang kuat, sehingga tidak akan dapat memenagkan pertaruhan didalam kehidupan sosial.

Keterdesakan kehidupan dan budaya agraris dengan segala ritualnya yang di usung oleh para petani di Desa Temesi menurut pengamatan peneliti kenyataan memang terjadi demikian. Masyarakat petani di Desa Temesi sudah terbiasa

clxxxii

menerima keadaan dengan lapang dada dan jarang mau berpikiran untuk mencoba melakukan sesuatu yang sedikit beresiko. Tidak mau melakukan protes keras terhadap sesuatu yang merugikan.

Asalkan bisa panen sudah merasa sangat

senang. Berapa biaya produksi yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang didapat jarang mau menghitungnya. Masyarakat cenderung menerima kehidupan apa adanya dengan dalih suatu kehidupan telah diatur oleh Yang Mahakuasa (Suwecan Widi). Pola pikir semacam ini tentu saja tidak akan memacu pekembangan kehidupan manusia.

Di samping pengetahuan yang rendah serta tekanan dari luar menyebabkan kehidupan masyarakat petani di Desa Temesi dengan kehidupan agrarisnya semakin terancam dan terdesak. Menurut pengamatan langsung peneliti kelihatannya masyarakat petani di Desa Temesi sedikit terbuka terhadap pendatang.

Masyarakat setempat tidak lagi mempermasalahkan status sosial

dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Tidak lagi terlalu mempersalahkan dari mana asalnya, dari suku apa dan apa agamanya Hal ini membuka kesempatan kepada para pendatang untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya, ini ditunjukan banyaknya pendatang dari luar yang bekerja menjadi pemulung dan tenaga pemilah sampah di TPA Temesi. yang sedikit tidak juga memberi tekanan terhadap kehidupan agraris

masayarakat setempat yang selama ini sangat

dominan.

clxxxiii

6.2.2

Faktor Ekonomi

6.2.2.1 Menurunnya Hasil Pertanian Masyarakat Setempat Keberadaan TPA di Desa Temesi Kabupaten Gianyar pada kenyataannya memang berada ditengah-tengah lahan pertanian yang masih produktif. Maka dari itu, tidak dapat dipungkiri segala kativitas petani yang ada di sekitar TPA akan tertimpa dampak negatifnya. Menurut pengamatan peneliti, dari sudut ekonomi memang benar tidak sedikit masyarakat setempat yang diuntungkan dari beroperasinya TPA Temesi. Namun, tak sedikit pula masyarakat setempat yang merasa dirugikan. Tidak hanya itu saja, masyarakat setempat yang sebagian besar adalah

petani

yang bertani di sekitar TPA selama tiga tahun terakhir ini

mengeluhkan menurunnya hasil padinya setiap kali panen yang disebabkan karena adanya lalat dan hama tikus yang ditimbulkan sampah tersebut. Sehubungan dengan hal demikian, pemanfaatan segala sumberdaya yang ada di Desa Temesi baik lahan berupa tanah, udara, dan air untuk pembangunan TPA semestinya tetap memperhatikan interaksi antara manusia khusunya masyarakat setempat dengan lingkungan, jangan sampai pembangunan TPA yang dikatakan untuk kesejahteraan malah membuat masyarakat setempat dan petani di Desa Temesi yang sudah miskin dibuat semakin menderita. Pernyataan seorang petani yang bernama Pande Ngentir yang lahan sawahnya berbatasan langsung dengan lokasi TPA membenarkan bahwa keberadaan TPA membuat petani di Desa Temesi menjadi semakin sulit. Selama tiga tahun terakhir ini mengeluhkan menurunnya hasil pertaniannya yang disebabkan karena adanya lalat dan hama yang ditimbulkan sampah tersebut.

clxxxiv

”Sawah tiyange sanpun teluang tiban neng, ten taen mupu, rugi kemanten, meabian teler keweh, buyunge akeh pisan, metaluh sampun di mulan – mulane, nika sampun dados uled, kerengan ban nyemprot dogen, obate taler mael, jek keweh” ( wawancara tanggal 19 Januari 2011) ( sawah kami sudah tiga tahun tidak kami tanami, tak pernah mendapat hasil panen baik, terus saja merugi. Menanam palawija juga sulit, masalahnya lalatnya banyak sekali, sering bertelur di tanaman akhirnya menetas menjadi ulat, yang merugikan. Sering disemprot sajalah, tapi pestisida juga mahal. Ya.. susah ) Berdasarkan penuturan petani di atas menunjukkan bahwa keberadaan TPA masyarakat telah menerima kekerasan secara tidak langsung dari pemerintah yang membiarkan TPA Temesi menjadikan tempat yang sempurna bagi lalat dapat berkembang biak dengan cepat dalam jumlah banyak. Akhirnya, timbul kerugian ekonomi yang besar bagi para petani, tanaman mereka menjadi tidak produktif karena lalat menghasilkan telur yang akan berubah menjadi ulat yang kemudian

menyerang

tanaman

petani.

fungsionalinya (dalam Saifuddin 2005)

Parsons

dengan

teori

struktur

menerangkan bahwa penggunaan

kekuasaan secara kekerasan bukanlah alat yang bisa menghasilkan ketertiban sosial, karena kekerasn itu sendiri dapat menimbulkan gejolak atau kekacauan. Para petani disekitar TPA seakan tidak tahu lagi apa yang mesti mereka tanam dan apa yang harus mereka kerjakan, terpaksa mereka membiarkan saja sawah mereka tanpa mengisi dengan tanaman. Dari kenyataan yang ada, daya dukung lingkungan untuk kegiatan pertanian dan kehidupan di sekitar TPA sudah tidak mendukung lagi untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat setempat. Peneliti dapat mengamati lingkungan pertanian di sekitar TPA yang tidak ditanami untuk waktu sekian lama karena pemiliknya sudah merasa putus asa akibat seringnya

clxxxv

gagal panen yang disebabkan banyaknya lalat dan tikus yang mengganggu pertanian masyarakat. seperti ditunjukkan pada gambar 6.6 berikut ini

Gambar 6.5 Seorang petani di Desa Temesi berusaha kembali mengerjakan sawahnya yang sudah terbengkalai (Dokumen: Putra. 2010) Gambar 6.5 menunjukan situasi lahan pertanian terbengkalai yang sebelumnya subur, hama pengganggu sedikit. Namun, kini menjadi lahan yang tidak produktif. Adalah mutu lingkungan yang kurang mendukung pertanian sebagai penyebab menurunnya hasil pertanian masyarakat setempat, sehingga terjadi pembiaran lahan pertanian yang lokasinya berdampingan dengan TPA Temesi. Lebih lanjut Soemarwoto (2001: 159) mengatakan dalam usaha memperbaiki mutu hidup, harus dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi tidak menjadi rusak. Sebab kalau kerusakan terjadi, bukannya perbaikan mutu hidup yang akan dicapai, melainkan kemerosotan. Bahkan bila terlalu parah, dapatlah terjadi kepunahan kehidupan kita sendiri. Hal inilah yang menjadi kekawatiran masyarakat Desa

clxxxvi

Temesi, lebih-lebih terbatasnya sarana dan prasarana pemantauan lingkungan (termasuk laboratorium lingkungan) serta sistem informasi lingkungan. Lemahnya fungsi pengendalian, sebagai akibat kurang efektifnya kegiatan pemantauan, dan juga akibat rendahnya penegakan hukum (law enforcement), sehinnga pada akhirnya masyarakat setempat secara ekonomi terus mengalami kerugian.

6.2.2.2 Kecilnya Penghasilan sebagai Pemulung di TPA Keberadaan TPA di Desa Tememsi Kabupaten Gianyar memang disadari telah memberi peluang usaha dan lapangan pekerjaan salah satunya adalah menjadi pemulung. Kalau ada yang bertanya siapa yang ingin jadi pemulung mungkin jawabannya adalah tidak ada atau hampir tidak ada. Sebab, bekerja sebagai pemulung barang bekas dan sampah bukanlah pilihan, melainkan sebuah “keterpaksaan” hidup. Ungkapan itu senada dengan apa yang disampaikan oleh informan I Wayan Meja “ dados pemulung kuda san polih penghasilan, paling banter duang dasa tali ropiah. Saget luung nasibe bisa lebian bin bedik. Dijeleke bisa ten maan napi, sawireh akeh ajak megarang sampak iriki, kageang pang ten dados nak idih idih gen. kangeang mekepu ajak lulu, endut kin uled. ( menjadi pemulung berapa sih dapat penghasilan, paling banyak dapat dua puluh ribu rupiah. Kalau ada nasib baik bisa lebih sedikit. Kalau nasibnya jelek tidak dapat apa-apa, karena banyak yang diajak berebut. Tapi tak apa biar tidak jadi pengemis saja, terima saja berkgelut dengan sampah, lumpur dan cacing) Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh informan tersebut menunjukkan bahwa ada keterpaksaan dalam diri informan tersebut bekerja menjadi pemulung. Mereka telah berbuat sesuatu yang sangat beresiko bagi dirinya. Akan tetapi, pengorbanan yang dia lakukan tidak sebanding dengan apa yang dia raih. Terkait

clxxxvii

dengan keberaadan TPA Temesi yang hanya bisa memberikan banyak peluang kerja kepada masyarakat setempat yang hanya sekedar menjadi pemulung yang penghasilannya sangat rendah. Hal itu tidak sebanding dengan pengorbanan masyarakat setempat yang merelakan lingkungannya menjadi kotor dan komuh akibat pengelolaan TPA Temesi yang kurang maksimal. Keadaan seperti itu menyebabkan masyarakat setempat memberi respons yang negatif terhadap keberadaan TPA di Desanya.

6.2.3

Faktor Kesehatan

6.2.3.1 Menurunnya Kesehatan Lingkungan Hidup di Desa Temesi Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) secara tersirat mengamanatkan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang dapat menjamin kesejahteraan generasi masa kini dan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan dicapai dengan mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Syarat untuk mencapai pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan berwawasan lingkungan Pembangunan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gianyar dengan mendirikan TPA di Desa Temesi telah terjadi kerusakan lingkungan. Kerusakan tersebut akibat dari kegiatan pengolahan sampah yang kurang maksimal di TPA Desa Temesi, sehinga menjadi faktor penyebab terjadinya respons negatif sebagian besar masayarakat setempat. Mereka merasa resah terhadap timbulnya

clxxxviii

polusi udara akibat kegiatan pembakaran sampah, dan bau busuk yang menyengat akibat tumpukan sampah di lokasi TPA tersebut. Keresahan masyarakat bertambah karena dikhawatirkan terjadi pencemaran sumber air dalam tanah dan air irigasi. Bila hal itu sampai terjadi masyarakat tidak dapat lagi hidup tergantung dari mengkonsumsi air tanah. Mereka tentunya akan membayar mahal untuk mendapat air bersih bila sumber mata air yang mereka miliki sudah tercemar. Seperti apa yang dikatakan Perbekel Desa Temesi, I Nyoman Gede Separta Putra, ST : ”Baru-baru ini sekitar awal bulan Desember 2010, pekaseh Subak Temesi beserta anggotanya datang ke kantor desa, mereka mengeluh mengenai keadaan di TPA, pada saat hujan lebat banyak lumpur dari TPA yang meluber ke sungai dan jalan sehinnga mencemari air irigasi, dan untuk lewat saja sangat susah para petani sulit lewat kesawah mereka karena itu adalah satu-satunya jalan menuju ke areal persawakan” (wawancara tanggal 22 desember 2010) Dari pernyataan informan di atas menunjukan bahwa masyarakat setempat khususnya para petani merasa sangat tidak puas dan terganggu katika air limbah dari TPA mencemari irigasi di wilayah subak Temesi. Selain menggangu pertanian, dikawatirkan juga dapat mengganggu kesehatan lingkungan di desa tersebut. Untuk mencegah hal tersebut terus terjadi, upaya yang dilakukan warga setempat adalah melakukan aksi protes menuntut kepada pemerintah serta pengelola TPA untuk memperhatikan dampak-dampak yang telah terjadi dan yang akan terjadi dari kegiatan pengelolaan sampah di TPA tersebut. Aksi protes masyarakat tersebut bertujuan untuk mempertahankan kondisi lingkungan agar tetap bersih sejuk dan nyaman. Namun berdasarkan hasil peneliatian aksi protes

clxxxix

warga tersebut belum ada tanggapan yang serius dari pemerintah maupun pihak pengelola TPA. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kegiatan pengelolaan sampah yang dilakukan belum secara maksimal. Tumpukan sampah yang terus meningkat masih terjadi hingga sekarang. Bila hal ini

tidak mendapat perhatian dari

pemerintah maka kerusakan lingkungan akan terus terjadi dan mutu lingkungan yang baik akan sulit terwujud di wilayah Desa Temesi. Seperti yang dikatakan Soemarwoto (200: 56) mutu lingkungan yang baik membuat orang kerasan hidup dalam lingkungan tersebut. Perasaan kerasan itu disebabkan karena orang mendapat rezeki yang cukup, iklim alamiah lainnya yang sesuai dan masyarakat yang cocok pula. Terkait dengan mutu lingkungan ini seorang informan yang berekerja sebagai pemulung,

warga desa setempat yang bernama Nyoman

Kemong menyampaikan: ”yening wenten anake nakenang seneng kekarya diriki?, sampun pasti nenten sautan titiang. Rasane meweh wenten diriki mekelo. Sami lingkungane kotor, indik bone jelek nenten dados masalamalih sampun biasa titiang. Santukan titiang ten ngelah kebisan napi malih, kanggeang sampun dados pemulung, pang nyidang idup menten. ( wawancara tanggal 19 Januari 2011) ( kerasan bekerja disina jelas tidak, bagaimana bisa ada disi berlama lama dengan perasaan yang nyaman, keadaan kotor, bau mungkin tak terasa lagi karena sudah terbiasa. Karena saya tidak punya keterampilan, tak apalah menjadi pemulung asal bisa menyambung hidup.) Hal senada juga dikatakan oleh seorang pemilik warung kecil kadek Sulastri yang berjualan di dekat TPA: Tiang meadolan diriki sampun 3 tiban, kanggeang pak ten ngelak gae napi, diriki akeh anak jawe-jawe ne sane dados pemulung meblanje diriki, bates numbas wedang, es, lanjaran,sarimi miwah sane lenan. indik

cxc

sampahe ring ujan-ujane neke, meweh rasang tiyang, buyung lan bone ten kodag ben. Niki sampun pak kewentenane. (wawancara 19 Januari 2011) (saya serjualan disini sudah tiga tahun lamanya, beginilah pak, tidak punya kerjaan lain. Disini bayak orang- orang dari jawa yang bekerja jadi pemulung, belanja ketempat saya, sekedar beli kopi, es, rokok, sarimi dan yang lainnya. Mengenai sampah yang ada disini pada musim hujan yang paling berat, lalat begitu banyak dan bau menyenat, yaaa beginilah pak keadaanya ) Sesuai dengan apa yang disampaikan informan tersebut di atas menunjukkaan perasaan yang tidak nyaman dan tidak kerasan bekerja sebagai pemulung di TPA Temesi, yang kotor dan kumuh, kesehatan lingkungan yang sangat kurang,

meskipun secara ekonomi dia merasa terbantu, mendapat

penghasilan dari bekerja jadi pemulung dan berjualan tapi hanya sekedar untuk menyambung hidup dan tidak lebih dari itu. Semua itu dilakukannya kerena keterpaksaan, ketidakberdayaan untuk mencari kerja lain dan tiadanya keterampilan yang dimiliki, sedangkan perut terus menuntut, semua itu tetap dilakukan walau sadar suasana lingkungan yang tidak sehat dan nyaman. Gramsci (dalam Strinati, 2003: 199) menganggap hegemoni merupakan suatu bentuk kontrol sosial yang ampuh. Yang diabaikan oleh teori semacam ini adalah persetujuannya dengan tatanan umum yang tidak perlu ada karena orang-orang diindoktrinasi atau dipaksa untuk menyetujui, bukan karena mereka secara spontan menyetujuinya. Orang dapat menerima tatanan umum karena mereka dipaksa untuk melakukannya dengan cara mencurahkan waktu mereka untuk mencari “nafkah”, atau karena mereka tidak mampu menangkap cara lain dalam pengorganisasian masyarakat, dan karenanya secara fatalistik menerima dunia sebagaimana adanya.

cxci

Menurut pengamatan peneliti dilapangan, pembangunan TPA Temesi membuat lingkungan di sekitarnya mengalami penurunan kualitas, dan kesehatan lingkungan yang buruk. Akan tetapi, TPA itu masih diperlukan keberadaannya. Lebih lanjut Soemarwoto (dalam Poerwanto 2008: 240-241) megatakan guna memenuhi kebutuhan sekarang, seyogyanya jangan mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan hidup generasi mendatang. Pembangunan adalah mengelola sumberdaya alam dan manusia serta interaksi keduanya. Ini artinya pengelolaan sumberdaya alam yang secara ekplisit yang untuk memenuhi kebutuhan manusia itu harus memperhatikan interaksi keduanya agar dapat digunakan selama mungkin

6.2.3.2 Terancamnya Kesehatan Masyarakat Setempat Sebagian besar masyarakat tentunya sangat berharap dalam hidunya selalu diberikan kesehatan, karena kesehatan menjadi modal utama bagi masyarkat untuk melanjutkan hidup atau melaksanakan aktivitas sehari-hari. Hal ini tentunya perlu didukung dengan lingkungan yang sehat. Namun, pada kenyataanya keberadaan pengolahan sampah di TPA Desa Temesi belum dilakukan secara maksimal, sehingga menimbulkan kekhawatiran warga akan terjadinya ancaman bagi kondisi kesehatan lingkungan dan masayaralat setempat. Menentukan lokasi TPA, termasuk juga TPA Desa Temesi harus memperhatikan beberapa hal seperti dibawah ini sesuai dengan keputusan Dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyakit pemukiman Departemen Kesehatan No. 182 tahu 1989 tentang persyaratan kesehatan pengelolaan sampah

cxcii

yaitu; (1) pengelolaan sampah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu upaya untuk mencapai derajat keehatan yang mendasar, (2) masyarakat perlu dilindungi dari kemungkinan

gangguan kesehatan

akibat

pengelolaan sampah sejak awal dan hingga tempat pembuangan akhir. Dapat dikatakan bahwa keberadaan TPA semestinya tidak sampai menyebabkan terganggunya kesehatan masyarakat sekitar serta lingkungannya Moos (dalam Kodoatie, 2002 : 78) menyatakan bahwa kesehatan individu salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, seperti suhu, hujan, polusi, gas beracun, dan lingkungan yang tidak bersih. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan

tempat

pembuangan

sampah,

tempatnya

kotor,

terdapat

mikroorganisme yang patologis, dan banyak gas beracun. Individu yang berada dalam lingkungan tersebut rentan terhadap berbagai penyakit. Tumpukan sampah yang terus meningkat di TPA Desa Temesi merupakan sumber penyakit tidak menutup kemungkinan akan menularkan kepada masayarakat yang tinggal di lingkungan terutama di pemukiman dekat lokasi TPA dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan kematian. Penyebab meningkatnya penyakit dan kematian di dunia sekarang ini antara lain oleh perubahan yang dibuat manusia dalam lingkungannya (Soerjani, M. 1987: 128). Potensi-potensi penyakit yang akan ditularkan

kepada masyarakat akibat dari tumpukan sampah adalah

penyakit diare, kolera, tifus akibat dari virus yang bersumber dari tumpukan sampah di lokasi TPA. Keberadaan tumpukan sampah di TPA Temesi merupakan tempat yang cocok bagi keberadaan mikroba dan menarik bagi berbagai binatang lainnya lalat

cxciii

dan anjing yang dapat menjangkitkan penyakit. Selain itu, penyakit demam berdarah juga dapat dengan cepat meningkat. Hal ini menibulkan kehawatiran dan kecemasan dari masyarakat setempat Pengelolaan sampah yang tidak memadai menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Hal penting di sini adalah meningkatnya pembiayaan secara langsung (untuk mengobati orang sakit) dan (secara tidak langsung rendahnya produktivitas) (Iskandar, 2006: 27). Terkait dengan rendahnya tingkat kesehatan seperti yang dituturkan oleh seorang informan yang bernama Wayan Sudarta sebagai berikut: “ Ipidan karame driki manjus di tukade tebenan, delodan TPA puniki akeh pisan, sane mangkin sami nenten purun, santukan akeh sane keni sakit kulit genit-genit ring awak ipune toyane mangkin ten becik sampun tercemar limbah saking TPA, yaning ujan –ujan nyangetan malih ”(wawancara tanggal 19 Januari 2011) (dulu, banyak masyarakat Desa Temesi yang mandi di hilir sungai, disebelah selatan TPA, tetapi sekaran tidak ada yang berani karena banyak yang menderita gatal-gatal sehabis mandi, sekarang airnya sudah tidak baik, sudah tercemar limbah cair dari TPA apalagi di musim hujan tambah parah)

Atas dasar seperti itu masyarakat setempat merasa terancam, kawatir dan resah, karena rembesan air dari tumpukan sampah yang ada di TPA mencemari air sungai, sehingga dapat menimbulkan penyakit kilit yang diderita sehabis mandi di sungai. Kondisi seperti ini tidaklah mengherankan kalau masyarakat setempat sangat terganggu. Walaupun hanya sekedar penyakit kulit, tetapi mesti juga diobati karena bisa saja menjadi penyakit yang membahayakan, seperti kangker

cxciv

kulit.

Selanjutnya, masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan dalam

hidupnya untuk keperluan pengobatan dan kesehatan, sudah tentu menjadi beban yang memberatkan masyarakat. Tumpukan sampah

yang terjadi

di TPA Temesi akan mengundang

bakteri, virus dan hewan-hewan merugikan lainnya yang akan mengancam kesahatan masyarakat dan hewan ternak di wilayah sekitar TPA, seperti penuturan seorang informan Wayan Cekeg: “ akeh wenten asu sane tanpa runguan ngalih mamaan ring TPA, ngantosan montor treke nuwunang sampah, megarang sareng pemulunge, taler wenten asu sane ngoyong driki, kanti memanakan asunepunika, tenwnten anak ngelahan. Titiang merase takut nuju lewat TPA wenten asu gudid sane maekin, sapunika taler sakit rabies napi wastane sampun wenten ring sejebag Bali ( wawancara tanggal 19 Januari 2011 ). ( cukup banyak ada anjing liar yang berkeliaran di sekitar TPA untuk mencari makanan, tak jarang anjing tersebut beranak pinak disekitar TPA, tiap hari hanya menunggu kedatangan truk- truk menurunkan sampah seolah olah berlomba dengan para pemulung, takut juga rasanya di dekati anjing tidak terurus tersebut apalagi sekarang rabiaes sudah menyebar ke seluruh Bali )

Sesuai dengan apa yang dituturkan oleh para informan, dapat disimak bahwa mereka merasa terganggu dan takut dengan banyaknya anjing liar yang tak bertuan yang berkeliaran di TPA. Masyarakat merespon negatif situasi seperti itu karena berdampak membahayakan masyarakat. Anjing yang hidupnya di tempat yang kotor makanannya didapat dari sisa-sisa yang ada di TPA Temesi berpeluang besar terserang penyakit dan bisa menular ke manusia. Tetapi, bersukurlah beberapa waktu yang lalu Dinas Peternakan Kabupaten Gianyar sudah bertindak

cxcv

dengan melakukan kegiatan eliminasi terhadap anjing liar yang ada di sekitar TPA Temesi. Menurut Iskandar (2006: 28) bakteri pantogen dan virus yang dibawa oleh hewan yang beraktivitas di atas tumpukan sampah akan menularkan kepada manusia dalam hal ini hewan menularkan kepada manusia yang kemudian akan terjangkit penyakit. Hewan-hewan ternak seperti ayam dan sapi dan juga anjing berkeliaran yang mencari makan di antara tumpukan sampah di TPA Temesi, besar kemungkinan tertular penyakit bahkan bisa sampai pada kematian. Selain itu salah satu masalah yang dihadapi adalah terancam menurunnya sanitasi atau kesehatan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan banyaknya penduduk pendatang yang bekerja di TPA Temesi yang kekerja sebagai pemilah sampah dan pemulung menyebabkan lingkungan desa khususnya disekitar TPA bertambah kumuh dan kotor. Jumlah rumah yang disediakan oleh pengelola TPA untuk para pemulung tidak cukup. Rumah untuk pemulung sangat sederhana, yang sering tidak dapat disebut

sebagai rumah. Misalnya ada rumah yang

besarnya hanya beberapa meter pesegi saja, dihuni oleh puluhan orang, tingginya hanya satu setengah meter, terbuat dari plastik yang menempel dan bambu sebagai penyangga. Tempat tinggal permukiman yang demikian tentulah tidak manusiawi. Rumah itu tidak mempunyai jamban, dan sumber air bersih. Mereka sudah terbiasa untuk MCK (mandi, cuci, kakus) di sungai kecil terdekat yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Penurunan sanitasi dan tidak tersedianya minum

air

yang bersih, sangat besar kemungkinan terjadinya ledakan penyakit.

cxcvi

Apabila dilihat bagaimana para memulung dan juga masyarakat setempat menggunakan air sungai yang tercemar untuk mandi, cuci mulut, mencuci piring, dan irigasi pertanian tidaklah mengherankan betapa mudahnya peluang terjadi penyakit muntah berak dan penyakit perut lainnya akan muncul Apa yang terjadi terkait keberadaan TPA di Temesi menunjukkan tidak dilaksanakannya peraturan yang juga perlu dijadikan acuan berupa Keputusan Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular

dan Penyehatan Pemukiman

Departemen kesehatan No. 281 tahun 1989 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah yaitu (1) Pengelolaan sampah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu upaya untuk mencapai derajat kesehatan yang mendasar. (2) Masyarakat perlu dilindungi dari kemungkinan gangguan kesehatan akibat pengelolaan sampah sejak awal hingga tempat pembuangan akhir. Meskipun selama ini ada perhatian dari pemerintah terhadap jaminan kesehatan bagi masayarakat, namun pemerintah kurang memperhatikan sumber yang menjadi penyebab dari timbulnya penyakit tersebut, yaitu tumpukan sampah yang terjadi di lokasi TPA Temesi. Potensi bahaya mengancam kesehatan masyarakat setempat akibat keberadaan pengeloaan sampah di TPA Temesi yang kurang baik menjadi faktor penyebab munculnya respons negatif dari masyarakat di sekitar Desa Temesi.

cxcvii

BAB VII DAMPAK DAN MAKNA RESPONS MASYARAKAT SETEMPAT TERHADAP KEBERADAAN TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR DI DESA TEMESI KABUPATEN GIANYAR 7.1 Dampak Respons Positif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA

cxcviii

7.1.1 Dampak Sosial-Budaya Pembangunan TPA di Desa Temesi harus diakui warga merupakan niat baik Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam upaya menanggulagi masalah sampah di seluruh wilayah Gianyar. Menciptakan lingkungan yang bersih, asri dan lestari, merupakan

cita-cita

meningkatkan

Pemerintah

kegiatan

pariwisata

Kabupaten di

daerah

Gianyar tersebut

tujuannya

untuk

sehingga

dapat

meningkatkan pendapatan daerah dan juga meningkatkan taraf hidup masyarakat Kabupaten Gianyar Keberadaan TPA di Desa Temesi dalam hubungan dengan kesejahteraan masyarakat setempat sudah menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai kompensasi dari perubahan lingkungan yang terjadi akibat dari pembangunan TPA tersebut. Selama ini Pemerintah Kabupaten Gianyar telah melakukan peningkatan pembangunan fisik di daerah Desa Temesi dalam bentuk perbaikan dan pelebaran jalan, peningkatan sarana kesehatan, jaminan pelayanan kesehatan kepada warga sekitar Desa Temesi, serta perbaikan sarana-sarana umum lainnya. Selain itu, pemerintah melalui lembaga swadaya masyarakat telah berupaya meningkatkan taraf hidup masyarakat di Desa Temesi yaitu dengan membentuk kelompok-kelopok usaha terutama yang lebih kepada pemanfaatan limbah sampah menjadi barang kerajinan yang memiliki nilai ekonomi, serta memberikan bantuan pinjaman modal kepada kelompok kelompok atau sektor-sektor usaha lainnya. Pada akhirnya, masyarakat setempat memberi respons yang posiif terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi.

cxcix

Dampak sosial dari respons positif masyarakat setempat

adalah

meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Hal ini diwujudkan dengan sering dilakukan kegiatan gotong-royong membersihkan lingkungan. Seperti yang diungkapkan oleh I Wayan Selamat

(Kelian Banjar

Temesi) “indik mebersih-bersih sampun kelaksanayang olih krama iriki ritatkala purmana lan tilem. Rutin sapunika ritatkala semeng. Titiang ngayah dados prejuru diriki sampun meutsaha mangda kegiatan niki terus memargi” ( wawancara tanggal 12 Maret 2011) (Terkait kegiatan beresih-bersih sudah rutin dilaksanakan di banjar kami, setiap purnama dan tilem. Kegiatan itu dilaksanakan pada waktu pagi hari. Saya selaku petugas di banjar sudah berusaha supaya kegiatan ini terus berjalan) Dari pernyataan informan di atas menunjukkan masyarakat banjar Temesi sudah berusaha menciptakan kebersih terutama di lingkungannya. Ini sesuai dengan prinsip etika lingkungan hidup yaitu sikap hormat terhadap alam. Setiap anggota komunitas sosial mempunyai kewajiban untuk menghargai kehidupan bersama (kohesivitas sosial), demikian pula setiap anggota komunitas ekologi harus menghargai dan menghormati setiap kehidupan dalam komunitas ekologis itu (Keraf, 2002: 145). Kegiatan gotong-royong yang sering dilakukan menyebabkan semakin eratnya keakraban yang terjalin antar sesama anggota masyarakat setempat dan juga antar penduduk pendatang yang ada di desa Temesi yang bekerja sebagai pemulung di TPA. Hal lain yang tidak kalah pentingnya perlu disampaikan oleh peneliti adalah dampak budaya dari respons positif masyarakat setempat terkait TPA yang ada di Desa Temesi yaitu masyarakat Desa Temesi saat ini memiliki budaya dan

cc

kebiasaan baru dalam mengelola sampah yang ada di sekitarnya. Untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan akibat dari sampah, masayarakat saat ini mulai melakukan pemilahan sampah antara sampah organik dan anorganik di tingkat rumah tangga walau masih bersifat sederhana. Sampah organik yang dikumpulkan warga dijadikan kompos. Selain itu, masyarakat Desa Temesi saat ini pula gemar mengumpulkan barang-barang yang yang tidak mudah diurai seperti botol, plastik kemasan aqua, kertas koran, dan kardus karena masih bisa dimanfaatkan.

7.1.2

Dampak Ekonomi Selain itu terdapat juga dampak ekonomi yang timbul dari respons positif

masyarakat setempat terkait keberadaan TPA di desa Tememsi Kabupaten Gianyar yaitu timbulnya pemikiran masyarakat bahwa keberadaan TPA juga dapat memberikan kehidupan kepada masyarakat setempat. Masyarakat setempat bisa memanfaatkan TPA sebagai tempat mencari nafkah, seperti bekerja menjadi pemilah sampah/pemulung, menjadi pegawai di TPA dan juga menjadi pengepul barang bekas. Respons positif ini juga memberikan ide kreatif kepada sebagian masyarakat setempat untuk mengelola sampah plastik menjadi hal yang bernilai ekonomi, seperti membuat tas yang terbuat dari sampah plastik. Walaupun pepanjang penelitian yang dilakukan peneliti usaha tersebut tidak berjalan dengan baik, paling tidak telah memberikan ide-ide ekonomis kepada masyarakat setempat.

7.2 Dampak Respons Negatif Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA

cci

7.2.1 Dampak Sosial-Budaya TPA di Desa Temesi juga menimbulkan respons negatif pada kehidupan sosial masyarakat setempat, keberadaan TPA dengan pemulung yang semakin hari semakin bertambah mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat setempat. Masyarakat setempat mulai merasakan ketidak nyamanan dengan kehadiran para pendatang dari luar Desa Temesi yang belum lagi sebagian dari mereka yang mendirikan rumah-rumah sementara di sekitar area TPA. Kondisi ini dinilai warga sekitar bahwa keberadaan aktivitas pemulung di lokasi TPA membuat wajah Desa Temesi terkesan kumuh. Masyarakat setempat juga menganggap keberadaan para pemulung tersebut dinilai sebagai penduduk liar karena sebagian tidak tercatat resmi dalam data kependudukan di Desa Temesi. Aparat desa sering kecolongan dengan kehadiran para pemulung. Meraka sering datang dan pergi tanpa melapor. Seperti penuturan dari seorang hansip Desa Temesi yang bernana I Wayan Agus Pertama: ”akeh warga pendatang sane dados pemulung sane meneng iriki, teke mulih ten ngapor ring bapak kelian, ritatkala titiang ngecek, nikange sampun usan mekarya, wenten sane tan madue KTP, yening ten cek, nenten sampun melapor” ( wawancara tanggal 15 Januari 2011) ( banyak warga pendatang yang bekerja jadi pemulung yang tinggal disini pulang balik banyak yang tidak melapor ke kelian banjar Temesi, ketika saya melakukan pengecekan, katanya ada yang sudah berhenti atau sudah pulang, ada juga yang baru datang tidak melapor, ada juga yang tidak punya KTP, kalau tidak di cek pastinya tidak melapor ) Penuturan informan di atas mengindikasikan bahwa masih ada beberapa pendatang yang bekerja menjadi pemulung sedikit nakal yaitu tidak melaporkan diri tinggal di Desa Temesi, serta main kucing-kucingan dengan para petugas

ccii

desa. Hal yang paling dikhawatirkan warga sekitar adalah masalah keamanan lingkungan, Karena terkadang aktivitas pemulung tersebut yang pada mulanya hanya berada di lokasi TPA sekarang ini

mereka mulai memasuki area

lingkungan warga. Warga saat ini merasa perlu meningkatkan kewaspadaannya dari kehadiran para pemulung. Hal ini sesuai dengan penuturan warga yang bernama I Wayan Cekeg sebagi berikut: ” Mangkin sampun akeh krame tamiu sakeng luar mekarya dados pemulung iriki, nika mawinan krame iriki merasa kawatir, santukan ipun sampun ngerereh barang bekas ring pedesan, titiang jejeh wenten sinalih tungil maling arta brana iriki. Sapunika mawinan krame iriki nincapang keamanan iriki.” ( wawancara 25 januari 2011) (Banyaknya orang luar yang berdatangan yang bekerja sebagai pemulung di TPA, membuat kami menjadi resah karena aktivitas mereka kini sudah masuk ke perkampungan untuk mencari barang-barang bekas. kami khawatir mereka melakukan pencurian terhadap barang-barang milik kami. Sehingga saat ini kami harus meningkatkan kewaspadaan dengan mengawasi mereka apabila berada di lingkungan warga)

Hasil wawancara peneliti dengan warga di atas menunjukkan respons negatif yang timbul mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Desa Temesi terkait dengan keberadaan TPA di wilayahnya, adalah berdirinya TPA di Desa Temesi menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Aktivitas kehidupan mereka merasa tergangu akibat aktivitas pengelolaan sampah area TPA Temesi. Perilaku masyarakat

kini

berubah

menjadi

gampang

emosi

karena

merasakan

ketidaknyamanan dalam menjalani hidup akibat polusi yang dihasilkan dari TPA dan semakin banyaknya pendatang yang bekerja sebagai tenaga pemilah sampah dan pemulung yang sebagian besar berasal dari luar Bali. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Setiadi (2006:68), karena manusia adalah mahluk sosial,

cciii

mereka berinteraksi dengan yang lain.

Tidak selamanya interaksi tersebut

berjalan dengan baik, terkadang dan menimbulkan hal-hal lain yang negatif. Dalam hubungan antar anggota dan kelompok masyarakat sering dihadapkan dengan perbedaan-perbedaan, terkadang ada sikap negatif yang diperlihatkan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya membuat sering terjadinya konflik. Burhanudin (2008: 98) mengatakan meningkatnya permasalahan sosial yang ada terkait dengan keberadaan pendatang membuat mayarakat bereaksi. Dulu masyarakat Bali menyebut orang islam sebagai nyama selam

(saudara

islam), kini diakui atau tidak, disadari atau tidak disadari, sebutan tersebut menjadi jelema slam (orang islam). Perbedaanya kata nyama slam menunjukkan kedekatan yang sangat, sedangkan jelema slam menunjukkan kejauhan. Begitu juga dengan kata nyama Jawa yang kini berrubah menjadi nak Jawa. Ini tentu merupakan reaksi spontan masyarakat akibat permasalahan-permasalahan sosial yang ditimbulkan oleh pendatang. Menurut pengamatan peneliti keberadaan pendatang di Desa Temesi khususnya yang bekerja sebagai pemilah dan pemulung di TPA dianggap saingan oleh sebagian masyarakat, ditambah lagi adanya kesan di masyarakat bahwa nak jawa berpredikat sebagai pencuri, pencopet, pemulung, kakilima, PSK, pengacau keamanan, dan sejenisnya. Respons negatif masyarakat setempat juga berdampak pada kehidupan budaya masyarakat setempat, yaitu menimbulkan perasaan terganggunya budaya setempat oleh budaya pendatang yang dibawa oleh pemulung di TPA. Orang yang datang dari daerah luar Bali yang bekerja di TPA Temesi sebagai pemulung

cciv

atau pemilah sampah umumya adalah orang yang mempunyai pendidikan rendah dan tidak terampil, bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Mereka kurang mempunyai etika dan budaya

dalam kehidupan sehari hari,

misalnya, memjemur pakaian sembarangan, sangat menganggu pemandangan, dan masyarakat setempat menganggap hal itu adalah sesuatu yang tabu (leteh ), selain itu mereka buang air dan mandi di sungai sembarangan, tidak jarang mandi telanjang bulat. Di samping itu, respons negatif masyarakat setempat menimbulkan dampak yaitu suatu pertentangan budaya yang bersifat religius yang terjadi dalam masyarakat Desa Temesi terkait dengan keberadaan TPA di desa Mereka. Misalnya pada aktivitas masyarakat setempat yaitu ngelawang barong kedingkling. Dari segi religius barong kedingkling diyakini memiliki kekuatan niskala (Gaib). Banyak bukti dan kisah nyata, terjadi dimana gerakan pasukan wenara (barong kedingkling) menaiki pohon yang mati, penyakitan, gereres tanpa daun dan buah bisa menjadi berbunga dan berbuah menjadi pohon yang subur. Namun dilain hal mayarakat pendatang tidak pernah memperhatikan hal-hal seperti itu, mereka seolah-olah titak perduli. Ketika barong yang dianggap sakral pentas, mereka tidak perduli seakan tidak menunjukkan rasa hormat, diperparah lagi suasana kumuh, jemuran pakaian sembarangan, menunjukkan pertentangan budaya telah terjadi di desa Temesi. Masyarakat setempat masih sangat percaya dengan ngelawang barong kedingkling maka segala hama penyakit yang menggerogoti tanaman akan hilang. Maka dari itu, setiap hari raya Galungan dan

ccv

Kuningan tiba masyarakat Desa Temesi menyambut dengan antusias kedatangan barong tersebut ke desa mereka. Barong kedingkling menari (ngelawang) keluar masuk tegalan dan sawah atau tempat yang banyak pohonnya. Dengan harapan yang sangat sederhana bahwa semua tanaman yang ada di tegalan dan sawah masyarakat Desa Temesi akan menjadi tumbuh subur dan berbuah yang lebat, bebas dari hama penyakit. Selain itu, pengendalian hama yang dilakukan para petani setempat dengan upacara keagamaan seperti nangluk merana rutin setiap tahun dilaksanakan. Kapan mulai mengolah tanah, kapan harus membuat persemaian, menandur, panen, dan sebagainya sedapat mungkin mengikuti hari-hari baik sesuai dengan kalender Bali. Setiap memulai suatu pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan di sawah maupun ladang petani senantiasa mengawali dengan melakukan ritual keagamaan yang untuk menjaga keharmonisan. Kegiatan dan keyakinan masyarakat Desa Temesi menunjukkan mereka sangat menjunjung tinggi budaya setempat dalam usaha melestarian linkungan mereka, karena jelas sekali segala sumber kehidupan mereka tergantung dari kelestarian lingkungan mereka. Sedangkan di lain pihak masyarakat setempat meyakini keberadaan TPA telah menjadi sumber hama dan sumber berbagai penyakit yang dapat menyerang tanaman serta masyarakat Desa Temesi. Soerjani, M dkk, (1987:12) menyatakan bahwa makhluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan dalam sistem kehidupan. Tetapi semenjak dahulu kala, kecuali manusia, makhluk hidup yang lain itu menjadi penyebab timbulnya perubahan secara alami, yang

ccvi

bercirikan keajegan, keseimbangan dan keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk merubahnya secara berbeda karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya, serta perkembangan kebudayan pada umumnya. Bahkan perubahan itu secara sadar ditimbulkannya, walau dia tahu hal itu akan menimbulkan kerugian pada pada orang lain serta makhluk hidup lainnya, atau kerusakan lingkungan pada umumnya, asalkan menurut perhitungan

hal itu dalan jangka pendek akan

menguntungkan dirinya.

7.2.2. Dampak Ekonomi Pengamatan yang dilakukan peneliti terkait dengan dampak respons negatif masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi menunjukkan secara ekonomi masyarakat setempat kurang bisa bersaing secara sehat dengan para pendatang misalnya dalam hal lapangan pekerjaan di TPA. Itu artinya, masyarakat setempat kalah bersaing dalam menghasilkan uang dibandingkan dengan pendatang. Masyarakat setempat tidak jarang mengandalkan diskursus lokal lebih berhak dari pada non lokal, lokal lebih mampu dari non lokal. Masyarakat setempat juga pada kenyataannya memilih-milih pekerjaan. Artinya tidak semua pekerjaan mau diambil oleh masyarakat, seperti bekerja sebagai pemulung di TPA Temesi. Masyarakat setempat merasa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang menjijikan, padahal dari segi hasil cukup lumayan. Selain itu, juga ditambah ”faktor gengsi”, banyak yang beranggapan bahwa bekerja sebagai pemulung menurunkan status dan kalas yang bersangkutan di

ccvii

masyarakat. Kekosongan inilah yang diisi oleh para pendatang di Desa Temesi, mereka bekerja sewajarnya dalam pengertian pekerjaan konvensional menjadi pemulung bukanlah pekrajaan yang hina. Mereka adalah perantau yang bertarung untuk hidup dan mengubah nasib. Tuduhan masyarakat setempat tentang permukiman kumuh yang ditempati oleh para pemulung dari Jawa adalah gambaran perebutan ruang sempit yang ada di level bawah. Ini yang kemudian menjadi stereotip bahwa orang Jawa yang menjadi pemulung adalah hanya bikin kumuh, merusak keindahan alam dan halhal negatif lainnya. Selain itu, dampak respons negatif keberadaan TPA sering kali menimbulkan ketegangan antara warga sekitar Desa Temesi dengan pihak pengelola ataupun dengan pemerintah. Pengelolaan sampah yang dilakukan pihak TPA yang belum maksimal membuat warga sangat dirugikan akibat pencemaran lingkungan yang terjadi. Sejak saat itu warga sering melakukan protes kepada pemerintah maupun kepada pengelola TPA menuntut adanya perbaikan dan ganti rugi dari pencemaran yang timbul. Padahal sebelum berdirinya TPA di Desa Temesi, masyarakat setempat hidup dalam suasana yang damai dan hampir tidak ada konflik yang besar baik dengan sesama warga maupun dengan pemerintah. 7.2.3

Dampak Ekologi Inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan mahluk hidup,

khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. Oleh karena itu, permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalahan ekologi. Menurut Soemarwoto (2001: 22) dalam pengelolaan lingkungan pandangan orang bersifat antroposentris, yaitu melihat permasalahannya dari sudut kepentingan manusia.

ccviii

Pengelolaan lingkungan hidup oleh manusia itu adalah bagaimana manusia melakukan upaya agar kualitas manusia semakin meningkat sementara kualitas lingkungan semakin membaik. Soemarwoto (2001:102-103) juga berpendapat bahwa berkenaan dengan interaksi manusia dengan lingkungannya manusia memiliki gambaran tertentu tentang lingkungan hidupnya, yang disebut citra lingkungan. Citra lingkungan merupakan anggapan orang mengenai struktur lingkungan, bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya terhadap tindakan manusia dengan lingkungannya. Citra lingkungan pada masyarakat modern lebih banyak dilandasi oleh pangetahuan ilmiah, sedangkan pada masyarakat tradisional citra lingkungan lebih banyak dilandasi oleh kepercayaan mistik. Meskipun terkesan tidak rasioal, namun didalamnya terkandung prinsip dan praktik pengelolaan lingkungan yang baik yang pada dasarnya merupakan suatu kearifan ekologi. Hal yang senada juga di katakan Kodoatie

(2002: 114-115) bahwa

manusia secara ekologi merupakan bagian integral dari lingkungan hidupnya. Manusia terbentuk oleh lingkungan hidupnya dan sebaliknya manusia membentuk lingkungan hidupnya. Kelangsungan hidupnya hanya mungkin dalam batas kemampuan untuk menyesuaikan dirinya terhadap perubahan dalam lingkungan hidupnya. Pembangunan dalam bentuk apapun jenisnya adalah gangguan terhadap keseimbangan lingkungan, yaitu usaha sadar manusia untuk mengubah keseimbangan lingkungan dari tingkat kualitas yang dianggap kurang baik ke keseimbangan baru pada tingkat kualitas yang dianggap lebih baik. Untuk itu diperlukan etika lingkungan dimana tidak saja mengimbangi hak dengan

ccix

kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan juga membatasi tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap berada dalam batas kepentingan lingkungan hidup

(Soerjani dkk, 1987:12).

Pembangunan TPA di Desa Temesi merupakan salah satu program pemerintah dalam melakukan pengelolaan sampah secara modern sehingga tidak merusak

lingkungan.

Namun,

pada

kenyataannya

keberadaan

fasilitas

penampungan sampah dan intensitas pengolahan sampah di TPA tersebut yang tidak seimbang dengan volume sampah setiap harinya. Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan sampah yang terus menerus, sehingga menimbulkan berbagai dampak pada linkungan. Lingkungan sekitar Desa Temesi semakin hari kian merasakan dampak dari adanya penumpukan sampah di lokasi TPA. Masyarakat Desa Temesi yang sebagian hidup dari hasil bercocok tanam mulai nampak resah dan terganggu tehadap keberadaan tumpukan sampah di lokasi TPA. Lahan pertanian mereka terancam gagal panen akibat hama yang menyerang tanaman buah, palawija dan padi mereka. Hal ini diakui salah seorang pekaseh Subak Temesi I Nyoman Suparta: ”tumpukan sampah sane akeh wenten ring TPA punika manah titiang sane mekrane akeh wnten merana sane ketibe ring tetanduran iriki. Buyung sane wenten ring TPA ngancan ngerusuh ring tetanduran iriki, minekadi melon, tabia, taler tomat. Yaening tan runguang sinah sami tetandurane pacang berek, tur gagal panen. Subak iriki sampun meutsaha nyemprot ngange pestisida” ( wawancara tanggal 15 Januari 2011) (Tumpukan sampah di lokasi TPA, menurut saya menjadi penyebab berkembangnya hama penyakit yang menimpa tanaman kami. Lalat-lalat yang berkembang di tumpukan sampah tersebut mulai menyerang tanaman buah, cabai dan tomat milik kami. Apabila hal ini diabiarkan maka buah-

ccx

buahan dan tanaman lainnya akan terancam busuk, dan gagal panen. Selama ini kami cukup bekerja keras bangaimana penanggulangi hama tersebut dengan melakukan penyemprotan obat anti hama.) Ketika wawancara dengan peneliti informan merasa sangat kecewa akibat suatu hal sangat menyedihkan dialaminya masyarakat Desa Temesi, terkait pembangunan

TPA di desa mereka, suasana yang jauh dari harapan etika

lingkungan dialami masyarakat setempat akibat pengelolaan sampah di TPA yang kurang memadai. Hal ini menunjukkan pengaturan pembangunan berwawasan lingkungan belum berkembang sesuai harapan. Pembanguna berwawasan lingkungan belum ditunjang tata laksana yang memadai. Sering kali hal itu membuat timbulnya ketidak pastian tata ruang,

tata guna lingkungan dan

kesimpang siuran dalam tata cara pelaksanaannya. Dari fenomena di atas, masyarakat setempat merespon negatif terhadap keberadaan TPA di wilayah Desa Temesi. Pada akhirnya, dampak yang ditimbulkan oleh respons negatif masyarakat tersebut adalah rasa tidak percaya terhadap pemerintah dan pengelola TPA. Apa yang terjadi dilapangan adalah kerusakan lingkungan yang sangat mengganggu aktivitas masyarakat setempat. Sudah tidak ada kesuaian lagi dengan cita- cita pemerintah untuk menciptakan suasana lingkungan yang nyaman di Desa Temesi. Seperti ungkapan Soemarwoto (2001: 55) bahwa manusia hidup dari unsur-unsur lingkungan hidupnya : udara untuk pernafasannya, air untuk minum, keperluan rumah tangga dan kebutuhan lain, tumbuhandan hewan untuk makanan tenaga dan kesenangan, serta lahan untuk tempat tinggal. Terkait dengan polusi udara, bisa terjadi bila tumpukan sampah di TPA Temesi tidak segera dapat di atasi. Sampah yang belum diolah

ccxi

terdiri dari sampah organik dan anorganik yang menumpuk di area Penimbunan sampah mengakibatkan terjadinya pembusukan dan mengeluarkan bau tidak sedap, gas metana yang dilepaskan oleh tumpukan sampah memberikan sumbangan pencemaran udara

serta memicu kerusakan lapisan ozon yang

mengakibatkan pemanasan global. Selain penanganan pihak pengelola TPA mengurangi sampah yang belum diolah dengan cara memadai dapat mengakibatkan polusi udara juga bisa menimbulkan pencemaran terhadap mata air di dalam tanah dan sangat merugikan masyarakat setempat di Desa Temesi. Karena air dibutuhkan oleh masyarakat untuk melangsungkan kehidupan sehari – hari dengan sendirinya mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan. Air hujan yang turun akan membasai tumpukan sampah di TPA, menyerap ke dalam tanah membawa zat-zat kimia yang merugikan dan dapat mencemari mata air di dalam tanah. Masyarakat Desa Temesi kebanyakan memanfaatkan mata air yang berasal dari tanah akan merasa dirugikan bila mata air terbut telah tercemar oleh zat-zat berbahaya yang berasal dari tumpukan sampah. Pada akhirnya, masyarakat setempat tidak lagi dapat mengkonsumsi air dari dalam tanah untuk kehidupan sehari-hari, mereka kawatir akan kualitas air yang buruk dapat menganggu kesehatannya. Sehingga untuk mendapatkan air yang bersih masyarakat harus membayar mahal untuk mendapatkan air bersih. Air merupakan salah satu sumber alam yang mulai terasa pengaruhnya pada usaha memperluas kegiatan pertanian, termasuk juga keperluan akan air yang mempunyai kualitas baik bagi para petani di Desa Temesi terasa sulit.

ccxii

Pencemaran air pertanian akibat rembesan limbah cair dari TPA terutama di musim hujan tidak saja merusak lingkungan pertanian dan lingkungan hidup, tetapi juga memberi pukulan berat kepada para petani yang tergabung dalam Subak Temesi. Pencemaran air juga menyinggung dimensi pemerataan dan keadilan dalam membina kesejahteraan masyarakat Desa Temesi Pencemaran air akibat dari resapan limbah cair dari TPA Temesi yang masuk ke sungai dan tidak jarang sampai ke lahan pertanian terdekat, semua itu tidak bisa diukur hanya dari perbandingan biaya manfaat, tetapi perlu diperhitungkan di sini pengaruh pencemaran itu terhadap menurunnya pendapatan para petani di Desa Temesi Kerusakan struktur tanah bisa terjadi akibat keberadaan tumpukan sampah dia area pembuangan sampah yang membusuk terutama sampah plasti tidak dapat diurai dalam waktu cepat oleh mikroba dalam tanah, akibatnya kualitas tanah menjadi menurun. Belum lagi dengan adanya rencana penambahan area pembuangan sampah akan menambah jumlah tanah yang akan mengalami kerusakan, selain itu penambahan area tersebut akan mengurangi lahan pertanian produktif karena beralih fungsinya. Selain terjadinya kerusakan lingkungan akibat aktivitas pembuangan sampah di area TPA,

tumpukan sampah yang terjadi di area tersebut akan

mengancaman mahluk hidup di wilayah sekitar TPA. Tumpukan sampah yang terjadi akan mengundang bakteri, virus dan hewan-hewan merugikan lainnya yang akan mengancam kesehatan manusia dan hewan ternak di wilayah sekitar TPA. Bakteri pantogen dan virus yang dibawa oleh hewan yang beraktivitas di atas tumpukan sampah akan menularkan kepada manusia dan hewan menularkan

ccxiii

kepada manusia yang kemudian akan terjangkit penyakit. Hewan-hewan ternak seperti ayam dan bebek yang mencari makan di antara tumpukan sampah, besar kemungkinan tertular penyakit bahkan bisa sampai pada kematian. Berdasarkan uraian di atas bahwa keberadaan TPA di Desa Temesi sangat mengangu keseimbangan ekositem yang ada disekitarnya, terutama disebabkan oleh polusi. Sehingga pada gilirannya masyarakat setempat merespon negatif keberadaan TPA tersebut. Pada akhirnya respons negatif tersebut berdampak menimbulkan

perasaan terancam bagi kehidupan masyarakat

setempat karena melihat kenyataan lingkungannya mengalami polusi yang parah.

7.3 Makna Respons Masyarakat Setempat terhadap Keberadaan TPA 7.3.1 Makna Sosial - Budaya Sebagai anggota masyarakat istilah sosial sering dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan manusia dalam masyarakat, seperti kehidupan kaum miskin di kota, kehidupan kaum berada, kehidupan nelayan dan seterusnya. Dan juga sering diartikan sebagai suatu sifat yang mengarah pada rasa empati terhadap kehidupan manusia sehingga memunculkan sifat tolong menolong, membantu dari yang kuat terhadap yang lemah, mengalah terhadap orang lain, sehingga sering dikataka sebagai mempunyai jiwa sosial yang tinggi terhadap sesama dan juga lingkungan. Makna budaya yang dipetik dari respons masyarakat setempat terkait keberadaan TPA di Desa Temesi adalah perubahan budaya lama dari masyarakat

ccxiv

setempat yang masih dinilai kurang baik, terutama budaya membuang sampah. Dengan adanya kesadaran, dan anjuran dari pemerintah masyarakat mengetahui pentingnya menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, masyarakat kini dalam membuang sampah dinialai tertib dan baik. Semua itu tidak terlepas dari dukungan sistem sosial yang mapan. Sisten sosial itu berwujud lembaga-lembaga tradisional antara lain desa adat Temesi, organisasi subak dalam hal ini Subak Temesi yang masing masing mempunyai fungsi tertentu dalam kehidupan masyarakat Desa Temesi. Dan lembaga tradisional yang terbentuk di Desa Temesi berdasarkan konsep Tri Hita Karana, (Parhyang = Tempat menuju Tuhan, Pawongan =

manusia, Palemahan = wilawah

hubungan manusia dengan

lingkungan). Tri Hita Karana mengandung filsafat keselarasan, yaitu keselarasan hubungan antara

manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan

manusia dengan lingkungannya (Mantra, IB. 1990 : 14). Terkait dengan keadan lingkungan yang ada di sekitar TPA Temesi, manakala keserasian hubungan manusia yaitu masyarakat Desa Temesi dengan lingkungan hidupnya terganggu, maka terganggu pula kesejahteraan manusia tersebut. Seperti yang disampaikan oleh informan yang bernama, I Wayan Meja ” titiang puniki dados petani, nanging yening wenten galah, di kapahkapahe titiang ngadu nasib masi ring TPA dados pemulung, apang wenten tambahan akidik”( wawancara tanggal 12 Januari 2011) (saya ini adalah seorang petani, tapi kadang kadang, ketika ada waktu senggang saya juga merusaha mengadu nasip menjadi pemulung di TPA Temesi, biar ada tambahan penghasilan walaupun kecil). Selain itu, muncul budaya baru dari masyarakat setempat di Desa Temesi memperlakukan sampah dengan baik. Di samping sebagai petani yang bergelut

ccxv

dengan tanah di sawah, sebagian dari masyarakat sudah mempunyai kemampuan memisahkan sampah organik dan anorganik serta memanfaatkan sampah tersebut menjadi hal yang lebih berguna. Adanya budaya baru dan inovasi dalam kehidupan masyarakat desa Temesi akan memenuhi daya suai (adapabilitas) terhadap lingkungan, selanjutnya memiliki ketangguhan dan ketahanan bagi lingkungan hidup masyarakat. Di samping itu pula, lingkungan baik sosial budaya maupun fisik geografis secara potensial akan memiliki daya dukung bagi kehidupan masyarakat setempat di desa Temesi.

7.3.2

Makna Ekonomi Keberadaan TPA di Desa Temesi juga disadari mengemban makna ekonomi

(kesejahteraan masyarakat). Hal ini secara nyata dilihat dari terbukanya lapangan kerja akibat dibangunnya TPA. Sehingga diharapkan keadaan ekonomi masyarakat setempat menjadi meningkat. Sebagian besar masyarakat setempat bermata pencaharian sebagai petani dan buruh serta beberapa diantaranya sebagai wiraswasta. Akan tetapi mata pencaharian tersebut dinilai tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masing-masing keluarga. Karena itu, desakan kebutuhan ekonomi membuat sebagian kecil

masyarakat

beralih profesi menjadi pemulung sampah bahkan

menjadikan kegiatan mencari sampah sebagai pekerjaan sampingan. Dalam kaitan dengan prinsip keadilan, kepentingan masyarakat setempat harus mendapat perhatian extra. Perhatian extra perlu diperhatikan karena dibandingkan dan berhadapan dengan masyarakat

modern yang berusaha

mendapatkan sumber daya alam disekitar masyarakat setempat, dan masyarakat setempat ini sangat tidak berdaya ( Keraf, 2002: 154). Mereka tidak berdaya dari segi

ccxvi

modal, teknologi, keterampilan dan sebagainya. Ini menyebabkan kepentingan masyarakat setempat baik ekonomi maupun yang lainnya sangat rentan dan terancam.

7.3.3

Makna Ekologi

Alam lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia, tidak lagi dipandang sebagai faktor penentu. Manusia dengan kemampuan budayanya dapat memilih kegiatan yang cocok dengan sesuai dengan kemungkinan dan peluang yang diberikan oleh alam lingkungannya. Bagi Chris Baker (2006: 78) mengatakan kebudayaan adalah peta saling tumpang tindih dari makna yang saling silang yang membentuk kawasan titik temu sementara (temporal coherency) sebagai suatu milik bersama namun memiliki arti penting dalam ruang sosial. Produksi dan pertukaran makna, atau praktik pemaknaan yang membentuk hal-hal yang bersifat khas dalam cara hidup manusia. Pengertian budaya tersebut memberikan tekanan pada budaya sebagai sesuatu yang tidak tetap namun berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat. Budaya dan konteks masyarakat budaya saling mempengaruhi satu dengan lain. Makna ekologi dari respon masyarakat setempat terkait keberadaan TPA di Desa Temesi adalah kesadaran individu dalam masyarakat masyarakat setempat mengenai lingkungan hidup dan kelestariannya merupakan hal yang amat penting dewasa ini di mana pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan hal yang sulit dihindari. Kesadaran masyarakat yang terwujud dalam berbagai aktivitas lingkungan maupun aktivitas kontrol lainnya adalah hal yang sangat diperlukan

ccxvii

untuk mendukung apa yang dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan penyelamatan lingkungannya. Prinsif yang dianut oleh Deep Ecology yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan mahluk hidup anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. (Keraf, 2002: 91). Pengakuan ini menunjukkan adanya sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di alam semesta. Ini menyangkut suatu pengakuan dan penghargaan terhadap hak yang sama untuk hidup dan berkembang. Kesadaran terhadap lingkungan tidak hanya bagaimana menciptakan suatu yang indah atau bersih saja, akan tetapi ini sudah masuk pada kewajiban manusia untuk menghormati hak-hak orang lain. Hak orang lain tersebut adalah untuk menikmati dan merasakan keseimbangan alam secara murni. Sehingga kegiatan-kegiatan yang sifatnya hanya merusak saja, sebaiknya dihindari dalam perspektif ini. Oleh karena itu, tindakan suatu kelompok yang hanya ingin menggapai keuntungan pribadi saja sebaiknya juga harus meletakkan rasa toleransi ini. Dengan begitu bisa mengatakan bahwa kesadaran masyarakat akan lingkungannya adalah suatu bentuk dari toleransi ini. Toleransi atau sikap tenggang rasa adalah bagian dari konsekuensi logis dari

hidup bersama sebagai makhluk sosial. Melanggar

konsekuensi ini juga berarti melanggar etika berkehidupan bersama. Keberadaan lingkungan di sekitar TPA desa Tememsi pada hakekatnya mesti dijaga dari kerusakan yang parah. Suatu kehidupan lingkungan akan sangat tergantung pada ekosistemnya. Oleh karena itu, masyarakat setempat dan seluruh masyarakar Gianyar secara terus-menerus harus didorong untuk mencintai,

ccxviii

memelihara dan bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan. Sebab untuk menjaga semuanya itu tidak ada lagi yang bisa dimintai pertanggungjawaban kecuali manusia sebagai pemakai / pengguna itu sendiri. Kerusakan suatu lingkungan akan berakibat pada manusia itu sendiri, dan demikian pula sebaliknya. Lingkungan merupakan unsur penentu dari kehidupan mendatang. Lingkungan alam merupakan prasyarat pokok mengapa dan bagaimana pembangunan itu diselenggarakan. Bagi program pembangunan itu sendiri, apabila pelaksanaannya sesuai dengan program yang telah dijalankan, maka orientasi untuk menjaga lingkungan semesta pun akan bisa dilakukan. Sebaliknya, jika pembangunan dilakukan hanya digunakan untuk mencapai tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi semata, maka hal itu akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup serius. Salah satu produk dari kerusakan lingkungan itu adalah pencemaran, baik air, tanah maupun udara. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran bahwa setiap kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perlu memperkirakan pada perencanaan awal suatu pembangunan yang akan dilakukan. Sehingga dengan cara demikian maka dapat dipersiapkan pencegahan maupun penanggulangan

dan mengupayakan dalam

bentuk pengembangan positif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan.

7.4 Refleksi Keengganan masyarakat Kabupaten Gianyar mewujudkan suatu sistem pendekatan akhir/hilir dalam pengelolaan sampah, yaitu sampah dikumpulkan, dibuang, dan diangkut ke TPA. Minimnya pengolahan yang dilakukan oleh

ccxix

masyarakat itu sendiri menyebabkan volume sampah yang dibuang dan kemudian menumpuk di TPA Temesi, bahkan lama kelamaan menjadi semakin besar bahkan menggunung. Keadaan tersebut menimbulkan pelaksanaan pengelolaan sampah yang menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten Gianyar semakin berat.

Permasalahan tersebut diperparah dengan minimnya kemampuan SDM dan anggaran dana pemerintah daerah terkait sebagai pelindung hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat khususnya masyarakat di sekitar TPA Temesi. Apalagi saat ini, masyarakat terlalu menyerahkan tanggung jawab permasalahan sampah kepada pemerintah, padahal masalah sampah merupakan masalah bersama. Masyarakat merupakan produsen sampah, oleh sebab itu masyarakat Gianyar semestinya memiliki kewajiban untuk membantu pemerintah dalam pengelolaan sampah. Dampak komulatifnya yakni, belum terwujudnya pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan di TPA Temesi. Keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) di Desa Temesi mambuat sebagian besar mayarakat Desa Temesi merasa keberatan tehadap keberadaan TPA tersbut.

Aksi penolakan timbul dari masyarakat karena mereka menilai

tumpukan sampah dan aktivitas pengelolaan TPA tersebut akan secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan masyarakat setempat. Aktivitas yang terjadi di TPA Temesi membuat masyarakat merasa tergangu dan merasa tidak nyaman dalam menjalani aktifitas hidup. Selain itu keberadaan tumpukan samapah di TPA Temesi dapat rusak lingkungan di desanya seperti, polusi udara, kerusakan struktur tanah, dan pencemaran air. Dan yang paling dirugiakan adalah adanya bahaya penyakit yang berpotensi mengancam

ccxx

kesehatan masyarakat setempat dan mahluk hidup lainnya di sekitar pemukiman dekat TPA. Selain dampak negatif yang timbul dari keberadaan TPA Temesi adalah adanyan manfaat yang diperoleh masyarakat, seperti sebagian kecil masyarakat Desa Temesi memperoleh pengasilan dari bekerja sebagai pemulung dan pembuat kompos. Kompos yang diproduksi oleh TPA tersebut dimanfaaatkan oleh warga sebagi pupuk untuk pertanian, sehingga secara bertahap kini para petani disekitar Desa Temesi telah meninggalkan ketergantungan dengan pupuk buatan pabrik yang dijual di pasaran. Dampak positif lainnya yang diperoleh dari keberadaan TPA di Desa Temesi adalah timbulnya kesadaran warga betapa pentingnya memelihara lingkungan menjadi bersih dan sehat, sehingga saat ini warga telah mengubah kebiasaan membuang dan mengelola sampah menjadi lebih baik. Hal ini dilakukan untuk mencagah timbulya kerusakan lingkungan yang dapat merugiakan warga dan hewan peliharaan yang dimilikinya. Keberadaan TPA di Desa Temesi merupakan wujud upaya pemerintah untuk menciptakan lingkungan kabupaten Gianyar yang bersih asri dan lestari. Untuk itu, perlu adanya dukungan dari masayarakat dan pihak swasta lainnya untuk bersama-sama dan bahu membahu agar keinginan dan cita-cita menjadika Kabupaten Gianyar sebagai kabupaten yang bersih asri dan lestari bisa terwujud. Sabagai langkah utamanya adalah mengelola sampah yang berada di lingkungan Kabupaten Gianyar dengan sistem yang baik dan ramah lingkungan. Semua itu

ccxxi

hanya dapat diwujudkan apabila ada kemauan bagi seluruh masyarakat Gianyar termasuk pemerintah, perseorangan, dan kalangan dunia usaha.

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ini. 1. Keberadaan

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Temesi yang

diselenggarakan aktivitasnya

Pemerintah

Kabupaten

Gianyar

dengan

segala

menimbulkan respons positif dan respons negatif dari

masyarakat setempat. Selanjutnya, kedua respons tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut ini. a. Respons positif masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA ditunjukkan dengan persepsi positif serta sikap dan perilaku positif masyarakat setempat. Dalam persepsi tersebut, masyarakat setempat mempunyai pandangan bahwa TPA akan mendatangkan kesejahteraan

ccxxii

kehidupannya. Lebih lanjut, dalam sikap dan perilakunya, masyarakat setempat telah mempunyai kebiasaan baik dalam mengelola sampah. b. Keberadaan TPA di Desa Temesi juga menimbulkan respons negatif . Respons negatif tersebut juga ditunjukkan oleh persepsi negatif masyarakat setempat, yaitu adanya rasa kekhawatiran

timbulnya

kerusakan lingkungan dan sumber penyakit bagi masyarakat setempat. Selain itu, suasana kumuh, kebisingan, kotor, bau busuk, dan aktivitas di TPA dipersepsikan akan sangat mengganggu kenyamanan aktivitas masyarakat setempat. Respons negatif masyarakat juga ditunjukkan dengan sikap dan perilaku protes terhadap pelayanan dan cita-cita pemerintah untuk menciptakan Kabupaten Gianyar yang bersih, indah, dan lestari. Akan tetapi, di lain pihak semua itu

menimbulkan

kerusakkan lingkungan di Desa Temesi. 2

Munculnya berbagai respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut ini a. Faktor yang menyebabkan munculnya respons

positif masyarakat

setempat terdiri atas faktor sosial-budaya dan faktor ekonomi. Secara sosial-budaya, masyarakat setempat telah mengalami perubahan menuju pada kebiasaan yang baik dalam menangani sampah. Secara ekonomi, keberadaan TPA telah memberikan sebagian masyarakat setempat lapangan kerja, kemampuan mendaur ulang sampah, dan kemudahan memanfaatkan kompos. Secara sosial budaya dan

ccxxiii

ekonomi, masyarakat telah mendapatkan keuntungan dan kemudahan sehingga muncul respons positif dari sebagian masyarakat setempat. b. Faktor yang menyebabkan munculnya respon negatif masyarakat setempat juga terdiri atas faktor

kesehatan.

Secara

faktor sosial-budaya, ekonomi dan juga sosial-budaya,

mayarakat

setempat

mengalami sesuatu yang tidak biasa terhadap lingkungannya seperti suasana bising, kotor, dan jauh dari keindahan. Selain itu, masyarakat setempat juga merasakan kekecewaan karena kurang konsistennya pemerintah dalam

melaksanakan kesepakatan. Berkembangnya

rumah–rumah kumuh juga menambah rasa kecewa dari masyararakat setempat, sehingga muncul ketidaknyamanan masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA. Di samping itu,

kehidupan agraris

masyarakat setempat semakin terancam. Secara ekonomi, keberadaan TPA mengakibatkan penurunan hasil pertanian, dan seandainya mereka beralih menjadi pemulung, penghasilan yang diperoleh sedikit. Secara kesehatan, lingkungan desa Temesi mengalami penurunan, yang

pada akhirnya, mengancam kesehatan masyarakat setempat.

Keadaan

seperti itu menyebabkan munculnya

respons negatif

masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA. 3. Dampak respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA akan dijabarkan dalam dampak respons positif dan negatif seperti berikut ini a. Dampak respons positif dari keberadaan TPA di Desa Temesi secara sosial budaya adalah menimbulkan kesadaran masyarakat setempat

ccxxiv

betapa pentingnya memelihara lingkungan menjadi bersih dan sehat. Hal itu ditunjukkan dalam mengubah kebiasaan membuang dan mengelola sampah menjadi lebih baik. Hal ini dilakukan untuk mencegah timbulya kerusakan lingkungan yang dapat merugikan warga dan hewan peliharaan yang dimilikinya. Timbulnya pemikiran masyarakat bahwa keberadaan TPA juga dapat memberikan kehidupan kepada masyarakat setempat, seperti bekerja menjadi pemilah sampah/pemulung, menjadi pegawai di TPA dan juga menjadi pengepul barang bekas. b. Respons negatif masyarakat setempat juga berdampak pada kehidupan sosial

budaya

masyarakat

setempat,

yaitu

ketidaknyamanan

masyarakat karena semakin banyaknya pendatang dari luar. Selain itu, juga timbul perasaan terganggunya budaya setempat oleh budaya pendatang yang bekerja di TPA. Secara ekonomi, dampaknya pada kemampuan

kurang mampu bersaing secara sehat dengan para

pendatang. Artinya masyarakat setempat kalah dalam menghasilkan uang dengan pandatang. Selain itu, dampak respons negatif masyarakat secara ekologi adalah berupa keresahan dalam masyarakat setempat yang bekerja sebagai petani, karena kerusakan lingkungan yang terjadi mengganggu pertanian mereka. 4. Makna respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA juga dijabar seperti berikut ini. Makna respons mayarakat setempat yang dijelaskan dengan kehidupan sosial budaya, adalah perubahan budaya masyarakat

ccxxv

setempat. Semua itu,

ditandai adanya kesadaran, dan juga anjuran

pemerintah sehingga masyarakat punya pengetahuan akan pentingnya kelestarian lingkungan. Semua itu didukung oleh sistem sosial yang mapan. Selain itu, juga terkandung makna ekonomi (kesejahteraan masyarakat).

Makna ekologi dari respons positif masyarakat setempat adalah kesadaran individu dalam

masyarakat setempat mengenai lingkungan hidup dan

kelestariannya yang merupakan hal yang amat penting.

8.2 Saran Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, terkait dengan respons masyarakat setempat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi dapat disampaikan saran sebagai berikut ini 1. Untuk

menghindari

semakin

menumpuknya

sampah

di

area

penimbunan sampah, pihak pengelola TPA disarankan untuk melakukan penambahan fasilitas pemilahan sampah serta tenaga kerja yang bertugas memilah sampah sesegera mungkin supaya pengelolaan sampah di TPA Temesi tersebut dapat dilakukan secara maksimal dan dampak negatif yang ditimbulkan dapat diminimalisasi. 2. Pembangunan TPA

diharapkan tidak bersifat menguntungkan satu

pihak saja, yaitu untuk kepentingan pemerintah dan pengelola saja. Namun,

itu

menguntungkan

juga

harus

masyarakat

ccxxvi

memperhatikan setempat

kepentingan

dengan

dan

menyediakan

sumberdaya yang cukup dan lingkungan yang sehat sehingga dapat mendukung kehidupan masyarakat Desa Temesi dalam meningkatkan kesejahteraannya. 3. Hal terpenting harus dilakukan oleh pemerintah dan pengelola TPA adalah bagaimana mencapai dan menjaga kualitas lingkungan serta kualitas hidup yang baik bagi masyarakat di sekitar. 4. Keikutsertaan seluruh masyarakat Gianyar sangat diperlukan dalam mengelola sampah, sebab semua itu merupakan cara terbaik dalam memecahkan permasalahan sampah yang menggunung di TPA Temesi. Salah satu caranya adalah dengan mendaur ulang sampah yang masih dapat dimanfaatkan di masing-masing rumah tangga di seluruh Kabupaten Gianyar. Lebih lanjut, jika memiliki lahan yang cukup, sampah dapat dibuat kompos yang sangat bermanfaaat bagi kelestarian lingkungan, dan tentunya dapat memperoleh penghasilan tambahan. 5. Sebaiknya dilakukan upaya pemanfaatan

sampah oleh masyarakat

setempat bukan hanya sekedar untuk kompos. Akan tetapi, sampah yang lain seperti plastik, kertas,

bisa dimanfaatkan pula secara

maksimal, tidak hanya sekedar dijual kepada pengepul barang bekas. Caranya dengan mendaur ulang sampah tersebut menjadi hasil kerajinan, misalnya tas, dompet, vas bunga, mainan anak-anak dan lain-lain.

ccxxvii

6. Kepada Pemerintah Kabupaten Gianyar diharapkan

membantu

mengembangkan teknologi pengolahan sampah menjadi energi, yaitu teknologi Insinerasi. Insinerasi dengan energy recovery adalah salah satu teknologi sampah menjadi energi (waste-to-energy, WtE). Teknologi ini diharapkan mampu memanfaatkan sampah yang ada di TPA Temesi sehingga menghasilkan energi listrik. Sebagai contoh, fasilitas insinerasi SYSAV di Malmö, Swedia

mampu mengatasi

sampah dan juga menghasilkan energi.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. 1993. Kebudayaan dan Lingkungan. Bandung : Ilham Jaya Aditjondro,G.J. 2003. Pola- Pola Gerakan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Agger, Ben. 2009. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana Ahmadi, Abu, H. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta Artatik, Pande, M,S. 2004. ”Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Menuju Kota Denpasar Yang Berbudaya Bersih: Tinjauan Perspektif Budaya”. Tesis Magister Pada Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana Astika, Sudana. 1994. Dinamika Kebudayaan Bali. Denpasar : Bali Post Azwar, Saifudin, 1995. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bali Mandara, Edisi II. 2010

ccxxviii

Baker, Chris. 2006. Cultural Studies Teori & Praktik , Yogyakarta : Kreasi Wacana Beilharz, Peter. 2003. Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Peajar. Bintaro, R. 1977. Geografi Kota, Pengantar. Yogyakarta: Spring Bruce, Mitchell. 2007. Resources and Enviromental Management: (Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan). (Penerjemah B Setiawan dan Dwita Hadi Rahmi). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Burgin, Burhan. 2004. Metodologi Kuantitatif, komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik, Serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Surabaya: Prenda Media Burhanuddin, Y.M. 2008. Bali yang Hilang Yogyakarta: Penerbit Kanisius Croall, S & Rangkin, W. 1997. Ekology for Beginners ( Mengenal Ekologi) (penerjemah Zulfahmi dan Nelly Nurlaeli ). Bandung : Mizan Culla, Adi, S. 1999. Masyarakat Madani, Pemikiran, Teori, dan Relwvansinya dengan Cita –cita Reformasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Chaplin, C.P. 1989. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta : Renika Cipta Dalem, Raka, Dkk. 2007. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar: UPT Penerbit Universitas Udayana Dewata Post, 7 Mei 2010. Djamin, D. 2007. Pengawasan dan Pelaksanaan Undang-undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. DKP Gianyar, Laporan Pengelolaan Persampahan di Kabupaten Gianyar Tahun 2008. Elmirzanah, dkk. 2002. Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Eilers, J, F. 1995. Berkomunikasi antar Budaya. Nusa Indah. EM Forum Indonesia, Edisi I , Juli 2008 Faturochman, 2006. Pengantar Psikologi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

ccxxix

Gianyar Dalam Angka 2008 Giyarto, 2007. Mari Bersahabat Dengan Alam, Mataram, Nusa Tenggara Barat: Cakra Darma Aksara Gore Al. 1994. Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit (Bumi dalam Keseimbangan Ekologi dan Semangat Manusia) (penerjemah Hira Jhamtani). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Gumbira Said E, Murtadho, 1987, Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat , Jakarta : Mudiyatama Sarana Perkasa. Harker,Richard,dkk. 1990. An Untroduction to the Work of Pierre Bourdeu: the Practice Theory ( Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdeu) ( penerjemah: Pipit Maizeir ). Yogyakarta : Jalasutra Hikmat, H. 2004. Pengarusutamaan Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan. Jakarta :CV Cipruy )

Idrus, Muhammad. 2007. Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta: UII Press Iskandar, Agus. 2006. Daur Ulang sampah, Jakarta: Azka Mulia Media Joyomartono, M. 1991. Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang Lengkung Lensa Lingkungan, Edisi Maret, 2009 Karbi, S dkk. 2004. Model Pengelolaan Sampah Berwawasan Lingkungan. Bandung: Jurnal Pendidikan Geografi FPIPS UPI Kartodirjo, S. 1994. Metode Penggunaan Bahan Dokumen Dalam Koentjaraningrat (ede) : Metode-metode Penelitian Masyarakat, jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Keraf, Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Kodoatie, R.J.2002. Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah. Yogyakarta : Penerbi Andi Koentjaraningrat, 1985. Aspek Manusia Dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

ccxxx

_____________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Mantra, IB. 1990. Bali Masalah Sosial Budaya dan Moderenisasi. Denpasar : PT Upada Sastra. Marbun. 2003. Kamus Politik. Jakarta : PT Gramedia Marzuki. 1983. Metodologi Risert. Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas EkonominUniversitas Islam Indonesia. Miles, MB & A Michael Huberman, 1992. Analisa Data Kualitatif. Jakarta UI Press Moleong, Lexy J, 1991. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Jakarta : PT Ramaja Rosdakarya Narwoko, D J. 2004. Sosiologi Teks dan Prenada Media

Pengantar dan Terapan. Jakarta:

Neolaka, Amos.2008. Kesadaran Lingkungan. Jakarta : PT Rineka Cipta Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan. Yogyakarta : Jalasutra Pitana & Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi. Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Primack, B.R., dkk. 1998. A Primer Of Conservation Biology ( Biologi Konservasi ). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Profil Desa Temesi. 2009 Progres Media Komunikasi Tim Nasional Kemiskinan. Edisi 15 November 2010

Percepatan

Penanggulangan

Ritzer, G. 2008. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Kencana Prendra Media Group RPJM Desa Temesi Tahun 2010-2015 Sabda: Majalah Budaya & Spiritual Edisi 05 Desember 2010

ccxxxi

Saifuddin, A.F. 2005. Antropologi Kontenporer SuatunPengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta : Prenada Media. Santoso, Thomas. (editor) 2002. Teori-teori Kekerasan. PT Ghalia Indonesia Sardar Zainudin dan BorinVan Loon. 2001. Cultural Studies for Beginner (Mengenal Cultural Studies For Beginners.) ( Penerjemah: Alfathri). Bandung: Mizan. Setiadi, Elly. M. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana Sigid, Sasongko,dkk. 2008. Ubah Prilaku dan Cegah Pencemaran. Jakarta Timur: Kementerian Lingkungan Hidup Soemarwoto, Otto. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Karya Unipress Soerjani, M, Ahmad,M &Munir, R. 1987. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Soethama, A.G. Basa Basi Bali. Denpasar : Arti Foundation. Storey, John. 2008. Cultural Studies and the Study of Popular Culture: Theories and Methods (Cutural Studies dan Kajian Budaya Pop). (Penerjemah Lyli Rhmawati ). Yogyakarta dan Bandung : Jalasutra. Strinati, Domonic. 2003. An Introduction to Theories of Popular Culture. (Popular Culture Pengantar Menuju Teori Budaya Populer) (Penerjemah Abdul Mukhid )Yogyakarta: Bentang Budaya Sukerti, Ni Made. 2006. Pengendalian Limbah Hotel di Industri Pariwisata Dikecamatan Kuta Kabupaten Badung. Tesis Magister Pada Program studi Kajian Budaya Universitas Udayana Sukmana, Oman. 2003. Dasar-dasar Psikologi Lingkungan , Jakarta : Bayu Media Sumaatmaja, N. 1996. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan. Bandung : Alfabeta. Suarja I Wayan, 2006.” Respons Masyarakat Terhadap Tragedi Ledakan Bom di Jimbaran”, Tesis Magister Pada Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana

ccxxxii

Taksu : Majalah Kebudayaan Bali, Agustus/XI/ 2010 Triguna, Yudha, IBG. 2008. Kebudayaan dan Modal Budaya Bali Dalam Teropong Lokal, Nasional, Global. Denpasar: Widya Dharma. Van Den Ban, A.W & Hawkins, H.S.1999. Agricultural Extention (Penyuluhan Pertanian ) ( Penerjemah: Agnes Dwina Herdiasti). Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Waga, I Nyoman. 2007. Respon Masyarakat terhadap Keberadaan Obyek dan Daya Tarik Wisata Kokokan Di Desa Petulu Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar. Tesis Magister Pada Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana Wiryawan, K.G. 2006. Tri Hita Karana Ekologi Ajaran Hindu Benih-benih Kebenaran. Surabaya: Paramita http://mydiplog.blogspot.co/2009/06/tempat-pembuangan-akhir-tpa-temesi.html http://temesirecycling.com/?p=9 http://www.depsos.go.id/unduh/Bambang_Rudito%20.pdf

ccxxxiii

DAFTAR INFORMAN 1. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Gusti Ketut Suwija 48 Tahun Banjar Temesi Bendesa Adat / Tokoh Masyarakat

2. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Nyoman Gede Separta Putra, ST 41 Tahun Banjar Temesi Perbekel Temesi

3. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Wayan Selamat 40 Tahun Banjar Temesi Kelian Dinas Banjar Temesi

4 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Nyoman Suparta (Belek ) 60 Banjar Temesi Pekaseh Subak Temesi

5 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Sang Made Sumitra 50 Tahun Banjar Temesi PNS

6. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Wayan Sudarta 45 Tahun Banjar Temesi Pembuat Batu Bata

7. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Ni Wayan Kerti 40 Tahun Banjar Temesi Pedagang/pemilik warung

8. Nama

:

Pande Ngentir

ccxxxiv

Umur : Alamat : Pekerjaan :

65 Tahun Banjar Temesi Petani/ anggota Subak Temesi

9. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Pande ardana 35 Tahun Banjar Temesi Petani/anggota Subak Temesi / Pekerjan di TPA

10. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Made Sumadi 35 Tahun Banjar Temesi Petani/anggota Subak Temesi

11. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Wayan Suardana 55 Th Banjar Sengguan Gianyar Kapala Seksi Kebersihan dan Pemusnahan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Gianyar

12. Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Regig 63 Tahun Banjar Temesi Petani/anggota Subak Temesi ( pensiunan Guru )

13 Nama Alamat Umur Pekerjaan

: : : :

Kemong Banjar Temesi 60 Tahun Pemulung

14 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Meja 50 Tahun Banjar Temesi Pemulung

15 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Sari Nadi 30 Tahun Banjar Pegesangan Kariawan /staf di lokasi pemilahan sampah

17 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Nyoman Pusut 38 Tahun Banjar Temesi Pengepul Sampah/Barang bekas

ccxxxv

18 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Nyoman Tewel 45 Tahun Banjar Temesi Pengepul Sampah/Barang bekas

19 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Made Murtia 40 Tahun Banjar Temesi Petani

20 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Kadek Sulastri 25 Banjar Temesi Pedagang/ pemilik warung

21 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Agus Pertama 32 Banjar Temesi Hansip

22 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Wayan Cekeg 54 Banjar Temesi Petani

23 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Nyoman Sukat 50 Banjar Temesi Petani

24 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

Nyoman Puja 50 Banjar Temesi Petani

26 Nama Umur Alamat Pekerjaan

: : : :

I Made Artayasa 45 Banjar Temesi Ketua BPD Desa Temesi

ccxxxvi

PEDOMAN WAWANCARA

A. pertanyaan Umum 1. Apakah bapak / ibu anggota masyarakat Desa Temesi ? 2. Sudah berapa lama bapak/ibu tinggal disini ? 3. Apa pekerjaan bapak / ibu ? 4. Apa bapak /ibu mempunyai pekerjaan sampingan lainnya? 5. Siapa saja yang membantu bapak/ibuk dalam bekerja? 6. Apa yang bapak/ibu ketahui tentang TPA di Desa Temesi ini? 7. Apa tempat tinggal bapak/ibu jaraknya jauh /dekat dengan TPA? 8. Darimana bapak/ibu mengetahuai akan ada TPA di Desa Temesi? 9. Adakah sebelumnya pemberitahuan dari pemeritah / instansi lainnya terkait dengan pembuatan TPA ini?

B Pertanyaan untuk Menjawab Rumusan Masalah I 1. Bagaimana pandangan bapak/ ibu tentang keberadaan TPA di Desa Temesi 2. Apa pendapat bapak/ibu tentang TPA di Desa Temesi yang sudah beroperasi selama enam tahun ini 3. Apakah telah direncanakan dengan sepatutnya pembentukan TPA di Desa Temesi ? 4. Apakah sampah telah dikelola secara maksimal di TPA Desa Temesi? 5. Bagaimana tanggapan masyarakat sebelum dibuat TPA di Desa Temesi?

ccxxxvii

6. Adakah masyarakat yang menentang rencana Pembentukan TPA sebelumnya? 7. Apakah pemerintah telah melakukan sosialisasi sebelum penbentukan TPA ini? 8. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap TPA saat ini? 9. Apa keuntungan yang diharapkan oleh masyarakat Desa Temesi setelah terbentuknya TPA ini? 10. Apa keuntungan yang telah di dapat oleh masyarakat Desa Temesi setelah terbentuknya TPA ini?

C Pertanyaan Untuk menjawab Rumusan Masalah II 1

Apa pendapat bapak / ibu pada saat akan dibuatnya TPA di Desa Temesi ini?

2

Apa pendapat bapak / ibu setelah dibuatnya TPA di Desa Temesi ini ?

3. Bagaimana sikap bapak/ibu setelah dibuatnya TPA di Desa Temesi ini ? 4.

Adakah keluhan dari masyarakat terhadap keberadaan TPA di Desa Temesi? kalau ada, apa saja ?

5. Apa bapak/ibu mengetahui setelah terbentuknya TPA di sini keadaan sosial ekonomi masyarakat menjadi lebih baik atau lebih buruk?

D Pertanyaan untuk Menjawab Rumusan Masalah III

ccxxxviii

1. Apa bapak/ibu tahu TPA ini bermanfaat bagi masyarakat Desa Temesi? kalau tahu dalam hal apa saja ? 2. Adakah manfaat secara langsung TPA ini terhadap kehidupan bapak/ibu selama ini ? kalau ada dalam bentuk apa ? 3. Apakah ibu/bapak tahu ada retribusi yang diterima oleh desa Temisi terkait keberadaan TPA ini? Kalau ada, dipakai untuk apa saja? 4. Apakah ibu/bapak mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan TPA ini terhadap desa dan lingkungan? Kalau ada apa saja bentuknya ? 5. Bila bapak /ibu menganggap TPA berdampak buruk bagi masyarakat Desa Temesi, apa tindakan selanjutnya dari anda ? 6. Bila bapak /ibu menganggap TPA berdampak baik bagi masyarakat Desa Temesi, apa tindakan selanjutnya dari anda ?

ccxxxix

ccxl