TIGA PARADIGMA FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN SOSIAL.pdf

65 downloads 102 Views 198KB Size Report
TIGA PARADIGMA FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN SOSIAL. Oleh: Mohammad Adib ([email protected]). Dalam Filsafat Sosial dikenal sekurang-kurangnya ...
TIGA PARADIGMA FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN SOSIAL Oleh: Mohammad Adib ([email protected]) Dalam Filsafat Sosial dikenal sekurang-kurangnya tiga paradigma ontologik/ epistimologik yang bisa saling bertentangan dan berada dalam gerakan saling menggeser untuk ”merebut posisi mainstream”, namun bisa pula bisa bersifat komplementer untuk saling mengisi. Ketiga paradigma itu ialah (1) yang moral-teologikal (Aristotelian), (2) yang rasional (Cartesian), dan (3) yang saintifik (Galilean). Pokok-pokok pikiran ketiga paham paradigmatik tersebut, adalah sebagai berikut. 1. Paradigma Moral-Teologik-Kausatif Aristotelian Aristoteles (384-322 s.M.) lahir di Stagira, Yunani Utara dari ayah seorang dokter di Macedonia. Pada usia 18 tahun Aristoteles belajar di Akademi Plato di Athena dan tetap di akademi ini sampai meninggalnya Plato, kemudian kembali ke Athena mendirikan sekolah Lyceum. Karya Aristoteles antara lain tentang logika (Organon): Kategoriai; Peri Hermeneias; Analytika Protera; Analytika Hystera; Topika; dan Peri Spohistikoon. Paradigma moral-teologik Aristoteles berpangkal pada pandangan ontologikmetafisika yang kental dengan—pengaruh gurunya yakni—pandangan idealistis dan teleologis dari Plato1. Aristoteles menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh sang pencipta, penyebab pertama (causa prima) yang dilengkapi oleh seperangkat sistem keteraturan dan ketertiban (order). Alam semesta merupakan adalah suatu dunia ideal, keseluruhan organis yang saling berhubungan, suatu sistem idea-idea (forms) yang abadi dan tetap. Ketertiban alam telah ditetapkan sebelumnya (pre-established) yang kesemua realitas terpusat dan ditentukan, diprogram, dan ditata oleh serba keserasian2 oleh sang pencipta; keserasian yang sempurna (perfect harmony), ini ditentukan oleh sang pencipta (teologik). Kesemua realitas juga tunduk kepada keselaran dan keserasian. Dalam kenyataan dunia makhluqi, wujud kenyataan Sang Causa prima adalah dalam keselaran, keharmonisan, dan keseimbangan. Realitas adalah universal. Ia merupakan obyek yang dipilahkan dalam form (bentuk) dan matter (materi). Menurut Aristoteles, objek-objek adalah partikular sebagai substansi yang nyata: (i) meteri mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda tetapi bentuk permulaan tidak berubah; (ii) materi merupakan asas kebolehjadian sedangkan bentuk merupakan asas kenyataan atau actual: materi dan bentuk itu menyatu. Aristoteles menyatukan materi dan bentuk ini. Ia memasukkan sebab ke dalam tindakan (estelechy) pendekatan terhadap kesatuan dari semua benda menjadi tujuan (teleology) dari alam semesta; bentuk-bentuk adalah kekuatan yang bertujuan—yang diciptakan oleh pikiran itu sendiri; setiap organisme menjadi suatu hal melalui tindakan dari idea tujuan; bentuk dan materi merupakan suatu yang abadi.3 Karenanya haruslah materi tunduk pada hukum kausalitas, yang mutlak berlaku pada ciptaan tuhan, tetapi tidak berlaku pagi sang pencipta. Dengan demikian sebab (causa) itu sarat (padat) dengan nilai-nilai (values loaded).

1

Mudhofir, Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:24-25. Gordon, The History and Philosophy of Social Science, 1993: 213. 3 Mudhofir, Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:26-27. 2

madib.blog.unair.ac.id/philosophy/tiga-paradigma-filsafat-ilmu-pengetahuan-sosial/

1

Realitas makhluk di alam semesta ini, telah menjadi anggapan aksiomamtik bagi Aristoteles yang dipahaminya sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut nomos atau ‘order’ dalam bahasa Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti ‘sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya’. Paradigma Aristotelian ini bertolak dari anggapan aksiomatik bahwa seluruh kenyataan alam semesta itu pada hakikatnya adalah suatu totalitas kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang sempurna, dan serba berkeselarasan (harmony) sejak awal mulanya. Rancang bangun ontologik Aristotelian didasarkan atas satu kausa utama (kausa prima) yang diimplementasikan dalam empat kausa. Kausa prima ada pada diri Tuhan sedangkan empat kausa lainnya berada dalam realitas selain tuhan (makhluk). Keempat kausa atau sebab itu adalah4: (i) sebab bahan (material) berupa materi yakni bahan-bahan untuk membuat bangunan konstruksi rumah misalnya; (ii) sebab bentuk (forma) berupa ide tentang benda-benda alam dan juga yang dipahami oleh pikiran; (iii) sebab kerja (efisien) berupa aktivitas manusia; dan (iv) sebab tujuan (final) berupa target yang hendak dicapai atas suatu rencana kegiatan. Kaualitas ini berlaku bagi semua realitas makhluk kecuali sang causa prima. Causa prima yang menciptakan empat kausa tersebut, tetapi ia sendiri tidak perlu tunduk kepada kausalitas yang ia ciptakan. Episteme Aristotelian—yang memahamkan semesta sebagai suatu tertib tunggal yang pre-established, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik (