“Tukulisme'' dan Transformasi Budaya - WordPress.com

50 downloads 823 Views 131KB Size Report
“Tukulisme'' dan. Transformasi Budaya. Makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kebudayaan. Disusun Oleh: Dewanta Wahyu P. M2A 003 008.
“Tukulisme’’ dan Transformasi Budaya Makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kebudayaan

Disusun Oleh: Dewanta Wahyu P

M2A 003 008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007 1

PENDAHULUAN Kita sedang mengalami transformasi kebudayaan yang luar biasa. Dalam waktu yang begitu cepat kita sudah memasuki era yang sebebas-bebasnya (baca: Globalisasi), baik di bidang ekonomi (ketergantungan yang sangat amat pada dunia luar), politik, teknologi dan transpotasi, dan juga peranan media saat ini. Bagi sebagian generasi tua, peristiwa ini bukan saja membuat menghela nafas, tetapi juga membuat mereka takut akan dampak transformasi budaya ini. Ungkapan “kembali ke laptop” dan"Puas, puas, puas?" Inilah salah satu ciri khas Tukul dalam program talk show "Empat Mata". Bisa diduga, pertanyaan tersebut disambut dengan teriakan yang riuh rendah. Kata-kata Tukul yang “seronok” sudah mengakar dalam masyarakat dengan cepat. Mulai dari orang dewasa sampai anak-anak kecilpun sudah mahir menirukan gaya tukul. Mewabahnya secara cepat “budaya” Tukulisme terhadap kehidupan masyarakat kita, jelas merefleksikan betapa hebatnya dampak dari bekerjanya salah satu ruang publik berupa media TV. Merujuk pada paparan McChesney (1997) media, di tangan rezim pasar bebas, bahkan mampu mendikte aneka preferensi publik, mulai dari gaya hidup, pola konsumsi, kebutuhan barang dan jasa, sampai dengan yang bercorak politis, seperti figur pemimpin Media bukan hanya saja sebagai penyampai pesan tetapi media memerangkan peranan penting dalam “agen-agen budaya yang efektif”. Media adalah salah satu alat dalam transformasi budaya saat ini Media masa sebagai penguasa baru yang tidak ragu-ragu melakukan paksaan atas budaya tertentu.”lihatlah banyak remaja pakai jeans, Atau film Hollywood di 21 studio lebih digemari daripada nonton wayang orang Ngesti Pandowo, penyerapan budaya sudah merasuk kesegala lini, jeans sudah bukan saja dipakai untuk kuliah saja tetapi juga untuk ngarit disawah, semua terkena dampak dari pemakaian jeans yang katanya celana rakyat sekarang. Berbagai perilaku yang semula dianggap tabu oleh orangtua kita, sekarang tidak bisa lagi dipergunakan untuk menyatakan seseorang telah melanggar etika, sekarang sulit untuk menentukan perilaku etis dan tidak etis. Sekarang ini “wong wis lali karo parane” (baca:orang sudah lupa leluhur), budaya yang adiluhung mengalami kecenderungan mundur yang kemudian digantikan budaya populer, transformasi budayakah?

2

TINJAUAN PUSTAKA I. Pengertian kebudayaan Budaya (Barnouw dalam Matsumoto hal.25) adalah sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang sama-sama dimiliki oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui bahasa bahasa atau sarana komunikasi lain. Kebudayaan yaitu asil ngremba kaning akalipun manungsa ing dalem nyekapi kekebetahaning agesang ingkang kapurba dening papan saha wekdal. (Hasil dari manusia dari akalnya untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal kebutuhan fisik maupun psikis ;terjemahan bebas) A. Budaya populer dan budaya asli Perbedaan yang mencolok dari budaya populer

dan budaya asli adalah

adanya emik dan etik, Bila kebudayaan asli mempunyai unsur emik dan etik sedangkan budaya populer hanyalah kebudayaan sesaat yang tidak mengakar dimasyarakat dan sifatnya untuk menyenankan audensi. Biasanya

fenomena

kebudayaan populer yang menjadikan ukuran–ukuran kewajaran menjadi porak poranda. Emik adalah temuan-temuan yang tampak berbeda antarbudaya, dengan demikian emik menunjuk pada kebenaran yang bersifat khas budaya. Sedangkan Etik adalah temuan-temuan yang nampaknya konsisten pada berbagai budaya dengan kata lain etik mengacu pada kebenaran atau prinsip universal. (Matsumoto hal.25) Dominic Strinati mengutip pendapat L Gamman dan M Marshment dalam tulisan keduanya berjudul The Female Gaze: Women as Viewer of Popular Culture (1988), mendefinisikan budaya pop sebagai "lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan dan diperdebatkan. Tidak cukup untuk mengecilkan budaya pop sebagai hanya melayani sistem pelengkap bagi kapitalisme dan patriarkhi, membiarkan kesadaran palsu membius masyarakat. (Budaya pop) juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual,

3

kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara apa makna segala sesuatunya, dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung terus-menerus".

II. Media massa dan Budaya A. Media Massa dan pengaruhnya Bittnner(1980) Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Komunikasi massa sebagai jenis komunikasi kepada sejumlah khalayak yang tersebar dan anonim melalui media cetak ataupun elektronis sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Chesney (1997) media di tangan rezim pasar bebas, bahkan mampu mendikte aneka preferensi publik, mulai dari gaya hidup, pola konsumsi, kebutuhan barang dan jasa, sampai dengan yang bercorak politis, seperti figur pemimpin. Dengan demikian, apa yang kita tonton, selera yang kita tentukan, dan pilihan-pilihan kita, sebetulnya telah diformat dan didikte oleh kehendak pasar. Program televisi yang populer adalah sebuah dunia konstruksi dan dekonstruksi berbagai wujud kehidupan sosial, entah bahasa, tata cara bergaul, seks, religi, politik, dan lain-lain. Seperti halnya acara komedi talk show yang dibawakan tukul dalam acara Empat Mata yang dihadirkan setiap hari senin-jumat jam 10 malam, yang sudah membuat masyarakat menjadi tren saat ini khususnya dalam hal bahasa. Media televisi, sebagai ruang publik, justru andil besar dalam penjerumusan masyarakat pada “pendangkalan ruang publik (the swallowness of public sphere) (Piliang, 2005). Ini terjadi ketika ruang publik cenderung dibangun oleh representasi atau tindakan yang menafikan pengetahuan luas, landasan filosofis, dan moral yang kokoh. Kondisi ini juga disebabkan oleh kepentingan penguasaan ruang publik oleh strategi populer, meski popularitas tersebut menafikan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan sesungguhnya. Lebih parah lagi, jika hal tersebut dilengkapi dengan hiburan yang “eksploitatif”. Efek dari Media massa: 1. Efek Kognitif

4

Adanya pembentukan citra dan perubahan citra, Media massa yang cenderung melaporkan

dunia

nyata

secara

selektif,

sudah

tentu

media

massa

mempengaruhi pembentukan sosial yang timpang,bias, dan tidak cermat. 2. Efek Afektif Adanya pembentungan rangsangan bagi penikmat media. Stimuli dari luar akan membuat kita terpengaruh secara emosional. Pada peneitian Schmidt dan Sigusch yang menggunakan slides yang menggambarkan orang bercinta akan menimbulkan rangsangan seksual yang kuat. 3. Efek Behavioral Melalui media kita bisa melakukan belajar sosial menurut Bandura, kita tidak hanya belajar langsung tetapi juga dari peniruan (modeling). Media merupakan modelling yang efektif karena sifatnya yang meluas. Robert K.Merton menyimpulkan, bahwa orang cemas akan pengaruh media itu disebabkan karena: Sifat media yang hadir dimana-mana. Dimana saja, kapan saja, siapa saja pasti melihat media, penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk menguasai media kemerosotan estetis dan etis karena mengejar kompromi(baca:rating) dengan penontonnya.

B. Tukulisme dan Budaya Mengutip ucapan Mujiran (Harian Media Indonesia tanggal 1 Febuari 2007) menyebut penggemar talkshow yang dibawakan secara ngawur oleh Tukul tersebut sebagai Tukulisme. Tukulisme inilah yang dipandang Mujiran sebagai cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis. yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Fenomena Tukul dengan program Empat Mata-nya adalah konstruksi kembali dunia sosio-historis ngobrol-ngobrol di warung kopi dalam kultur tradisi lisan. Yang kemudian, mengalami konstruksi ke dalam dunia tradisi lisan baru, yakni dunia tekno kapital visual yang dipenuhi dunia obrolan. Meminjam istilah Roland Barthes, inilah dunia mitologi masyarakat modern alias sastra rakyat hari ini, yang penyebarannya langsung masuk ke ruang-ruang keluarga. Tukul yang berasal dari Semarang saat ini merupakan agen yang tepat untuk menyemarangkan Indonesia mealului empat matanya. Semarang dalam kebudayaan Jawa disebut sebagai daerah pesisir daerah utara yang nilai-nilai budaya lebih bebas dibanding dengan daerah keraton Solo-Jogja yang merupakan sumber dari nilai-nilai 5

dan norma Jawa. Daerah Semarang yang heterogan membuat

dialek basa

ngoko,ngoko andhap lan madya di semarang saat ini. Kata "Puas" dan ungkapan-ungkapan Tukul lainnya, seperti "kutukupret" hingga "tak sobek-sobek mulutmu",”asem ik”, , "Bang-Jo" sudah biasa dalam budaya Semarangan, sekarang

justru menjadi ruang pertalian akrab dengan masyarakat

Indonesia. Sosok masyarakat yang kini tumbuh menjadi masyarakat televisi, yang dipenuhi berita berbagai bentuk krisis, bencana, penyakit, musibah kecelakaan dan anomali nilai-nilai pascareformasi mendapatkan hiburan yang segar lewat tukul dengan gaya Semarangannya.

6

PEMBAHASAN “Kembali ke Laptop” “Kutu Kupret” “Tak sobek-sobek mulutmu” “Katrok” Dialek diatas bila kita tanya orang saat ini pasti dia akan tahu dan akan menirukannya, Fenomena bahasa serampangan dan vulgar ini berkat adanya budaya ”Tukulisme” yang telah memasuki sendi-sendi kehidupan kita dari orangtua sampai anak-anak TKpun tahu akan bahasa tersebut. Tukulisme yang merupakan hasil dari kebudayaan populer saat ini merupakan budaya yang sifatnya sementara bukannya sifat yang mengakar seperti kebudayaan Jawa atau kebudayaan lainnya. Kebudayaan populer sifatnya untuk memenuhi keinginan audensi walaupun banyak yang melanggar kebudayaan itu sendiri (antagonis kultural). Budaya, media, dan psikologi Kebudayaan populer disebut antagonis kultural bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik bahkan budayapun bisa terusik. Mengutip L Gamman dan M Marshment budaya pop sebagai "lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan dan diperdebatkan. Sekarang ini banyak kalangan yang terbius akan acara Empat Mata bahkan penjualan Laptoppun ikut melonjak drastis setelah adanya acara ini (bidang ekonomi), atau anak-anak dalam perkembangannya yang sekarang ini mahir dalam ucapan Vulgar yang tak lagi malu-malu untuk mengucapkannya. Bandingkan dengan budaya yang njawani, anak-anak cenderung konformitas akan etiknya tinggi, ia tidak akan mengucapkan bahasa yang sevulgar itu. Mengutip omongan Darmanto Jatman tentang”cocot kencono”, bahwa sekarang ini Anak-anak tidak diajarkan omongan kromo apalagi adiluhung. Media sebagai penyampai pesan mempunyai peranan dalam transformasi budaya, media mengenalkan budaya-budaya yang kebanyakan antagonis kultural, seperti adanya gaya pakaian, film, politik, wujud kehidupan sosial, entah bahasa, tata cara bergaul, seks, religi, politik, dan lain-lain. Sebab masyarakat sekarang ini memerlukan media, dan media adalah salah satu komunikasi yang dijangkau di seluruh pelosok negeri. Penelitian APA (American Psychological Associations)

7

tahun 1993 menemukan bahwa anak-anak Amerika sebelum berusia 12 tahun sudah menyaksikan 8000 pembunuhan dan 10.0000 tindak kekerasan lain lewat televisi. “Apa gak ada bekasnya?” Di Indonesia Astrid Susanto juga menemukan “bekas” itu pada anak-anak terutama pada masa sosialisasi mereka. Pengaruh media yang kuat ini akan menimbulkan pergeseran budaya sedikit demi sedikit. Acara empat mata yang disajikan ngawur oleh tukul dan tim kreatifnya telah memorakporandakan rumus bincang-bincang yang selama ini muncul di televisi. Host tiba-tiba boleh memperolok penontonnya dan dengan ringan mengambil alih jawaban tamunya sehingga tamunya tak sempat berbicara. Bahkan, ia menyiapkan diri untuk menjadi olok-olokan bersama. Maka, penonton televisi bisa menikmati aksi Tora Sudiro yang melempar kerupuk ke mulut Tukul, yang tubuhnya siap menelan lemparan makanan tuannya seperti seekor anjing. Media televisi, sebagai ruang publik, justru andil besar dalam penjerumusan masyarakat pada “pendangkalan ruang publik (the swallowness of public sphere) (Piliang, 2005). Dampak media seperti Efek Kognitif adanya pembentukan citra dan perubahan citra, Media massa yang cenderung melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi pembentukan sosial yang timpang,bias, dan tidak cermat. Dalam melihat budaya Tukulisme selalu terkotak dalam sosial yang mengolok-olok tampak melihat hal yang positif. Efek yang paling bahaya sebenarnya adalah Efek Behavioral, kemarin kami menemui anak TK yang ada di jalan, anak itu dengan lantang dan “ora nduwe isin” (gak tahu malu) mengucapkan kata Katrok, atau tak sobek-sobek mulutmu dengan mudahnya, padahal dalam budaya anak itu saya yakin orangtuanya tidak pernah mengajari katakata yang vulgar, inilah salah satu efek modeling seorang anak terhadap budaya “Tukulisme”. Takutnya nantinya ketika orang tuanya menasehati anak, anak malah bilang “tak sobek-sobek mulutmu”, hati orangtua siapa yang tak sakit bila ini terjadi.

Penguatan budaya Tukulisme Tukulisme merupakan cermin dari buah pendidikan yang anti-pluralis, yang mengesampingkan penghargaan terhadap keragaman, baik agama, status sosial, cara hidup dan sebagainya. Satu jenis pendidikan yang memang masih sangat jarang kita dengar, apalagi kita temui, dalam masyarakat yang serba multi; etnis, agama, ras, bahkan kelas sosial. Olok-olokan seperti wong ndeso, katrok, kutu kupret dan sederet

8

sumpah serapah lainnya menegaskan bekerjanya “kekerasan psikologis” terhadap mereka yang lekat dengan istilah-istilah tersebut. Dari sudut pandang pendidikan apapun; keagamaan, etika, apalagi psikologi, Tukulisme jelas tidak mengajak pemirsa dalam berjuang meraih kualitas kehidupan. Justru yang terjadi adalah mewabahnya olok-olokan dan tertawaan tersebut di tengah-tengah masyarakat, tak hanya Jawa, ruang kultural produsen beragam istilah yang meluncur dari mulut Tukul. Bahkan di Lampung, Medan, Samarinda, dan Palu, turut merayakan olok-olokan khas Tukul. Mengutip ucapan

Garin nugroho bila dunia Tukul merupakan dunia

singgah, Tukul dengan program Empat Mata-nya adalah konstruksi kembali dunia sosio-historis ngobrol-ngobrol di warung kopi dalam kultur tradisi lisan. Yang kemudian, mengalami konstruksi ke dalam dunia tradisi lisan baru, yakni dunia tekno kapital visual yang dipenuhi dunia obrolan. layaknya dunia ngobrol warung kopi, ia adalah dunia tempat singgah untuk kumpul-kumpul antarteman. Sebuah dunia katarsis, sebuah waktu yang sejenak, untuk melupakan berbagai persoalan hidup, rutinitas, dan tata nilai sehari-hari maupun berbagai bentuk krisis dan bencana serta politik yang tak memberi harapan atau yang bisa disebut sebagai program lupa. Plesetan dan ucapan vulgar sekarang ini mengalami pergeseran yang mencolok, yang dulunya adanya cuman sastrawan seperti Chairil Anwar dan tidak menyentuh media sekarang ini plesetan dan kata-kata vulgar telah memasuki era baru dalam media, sekarang ini media sudah biasa dengan acara yang vulgar seperti Empat Mata yang mempengaruhi tingkah laku orang yang menontonnya. Untungnya banyak penelitian menemukan bahwa tidak terlalu besar dampaknya, secara teoritis Leon Festinger mengemukakan orang cenderung untuk mempertahankan koherensi kognisinya, artinya orang cenderung untuk tetap mempertahankan sikapnya agar konsisen, kontinyu, dan konsukuen.Dampak dari media khususnya televisi sebenarnya terbatas pada efek alihan yang membuat orang mengatur kembali jadwal kegiatannya disesuaikan acara televisi. Sehingga bila media dijadikan kambing hitam transformasi budaya mestilah ada persyaratan lainnya. Sumbangan media dalam transformasi tidaklah besar dibanding peran pendidikan, keluarga, serta lingkungan aktual lainnya.

9

DAFTAR PUSTAKA

Jatman Darmanto.1995.Solah tingkah orang-orang Indonesia. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang Koentjaraningrat.1984.Kebudayaan Jawa.Balai Pustaka: Jakarta Matsumoto

David.2004.Pengantar

Psikologi

Lintas

Budaya.Pustaka

Pelajar:Yogyakarta Rakhmad Jalaluddin. 2005.Psikologi Komunikasi. PT. Raja Rosdakarya: Bandung Sarwono.W.Sarlito.2002.Teori-teori Psikologi Sosial.PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta --.1988.Pawiyatan Panatacara Tuwin Medhar Sabda. Yayasan Permadani : Semarang http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/11/seni/3372817.htm http://www.tukularwana.com/index.php/archives/25

10