Untitled - Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan

38 downloads 4490 Views 1MB Size Report
Kajian dengan judul “Perilaku supir angkutan kota di Kota Medan”, dilaksanakan oleh Badan ..... bulan (lihat Gambar di bawah). Prakontemplasi Kontemplasi ...
89

KATA PENGANTAR Permasalahan lalu lintas merupakan permasalahan yang dihadapi berbagai kota, termasuk Kota Medan. Dan permasalahan ini perlu mendapat perhatian serius, karena terkait berbagai dampak sosial yang akan terjadi seperti kemacetan. Kajian dengan judul “Perilaku supir angkutan kota di Kota Medan”, dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan, dibantu staf / tenaga ahli dari Universitas Sumatera Utara, dimana salah satu tujuannya untuk memperoleh gambaran tentang pola perilaku berlalu lintas supir angkutan kota di Kota Medan, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku supir angkutan kota tersebut. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat langsung dalam kajian ini dan juga kepada pihak-pihak lain yang telah mendukung terlaksananya kajian ini. Kajian ini tidak luput dari kelemahan-kelemahan, baik dalam metode pendekatan maupun substansinya. Oleh karena itu, berbagai kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaan hasil kajian ini. Walaupun memiliki berbagai kelemahan, hasil kajian ini tetap diharapkan memberikan banyak manfaat, baik bagi Pemerintah Kota Medan, terutama dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan budaya tertib berlalu lintas di Kota Medan. Medan, September 2012 KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KOTA MEDAN

Drs. HASAN BASRI, MM PEMBINA UTAMA MUDA NIP. 19580801 198103 1 007 i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA BALITBANG KOTA MEDAN …………………………….. DAFTAR ISI..................................................................................................... ABSTRAK ....................................................................................................... ABSTRACT …………………………………………………………………………………………………

i ii iv vi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………………. 1.2 Perumusan Masalah …………………………………………………………………………. 1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………………………………………. 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………………………………. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………………………… 2.1 Perilaku Manusia ………………………………………………………………………………. 2.2 Bentuk Perilaku ………………………………………………………………………………… 2.3 Proses Terjadinya Perilaku ………………………………………………………………… 2.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku …………………………………….. 2.5 Transportasi Kota …………………………………………………………………………….. 2.6 Perilaku Berlalulintas ……………………………………………………………………….. 2.7 Landasan Teori …………………………………………………………………………………. BAB III METODE PENELITIAN …………………………………………………………………… 3.1 Jenis Penelitian ………………………………………………………………………………… 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ……………………………………………………….. 3.3 Informan Penelitian …………………………………………………………………………. 3.4 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………………….. 3.5 Analisa dan Interpretasi Data …………………………………………………………… 3.6 Definisi Konsep ………………………………………………………………………………… 3.7 Definisi Operasional …………………………………………………………………………. 3.8 Jadwal dan Kegiatan Penelitian …………………………………………………………. BAB IV ANALISIS DAN INTERPRESTASI DATA …………………………………………….. 4.1 Gambaran Lokasi Penelitian ……………………………………………………………… 4.2 Profil Responden ……………………………………………………………………………… 4.3 Pola perilaku mengemudi supir angkutan kota di Kota Medan …………. 4.4 Pengaruh Pendidikan Terhadap Perilaku Mengemudi ………………………. 4.5 Hubungan Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi …………………………… 4.6 Hubungan Lama Kerja Supir dan Perilaku Mengemudi ……………………… 4.7 Hubungan Armada dan Perilaku Mengemudi …………………………………….

1 1 6 6 7 8 8 11 11 12 13 15 17 20 20 20 24 24 26 26 27 28 30 30 43 53 69 74 84 86

ii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………………….. 95 5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………………….. 95 5.2 Saran …………………………………………………………………………………………………. 98 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………………. 96 LAMPIRAN ………………………………………………………………………………………………. 98

iii

ABSTRAK Perilaku berlalu lintas di Indonesia umumnya, dan di Kota Medan khususnya, sudah memprihatinkan. Buruknya perilaku berlalu lintas ini tampak dari kesemrawutan berlalu lintas sehari-hari dari berbagai jenis kenderaan bermotor, khususnya angkutan kota seperti menerobos lampu merah, menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat, dan menjamurnya terminal ‘bayangan’ di sepanjang jalan-jalan tertentu. Dampak lanjutan perilaku berlalulintas ini adalah meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban kecelakaan lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008. Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Sedangkan di Kota Medan sendiri, berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Sumut, sejak Januari hingga April 2012, korban tewas kecelakaan lalu lintas mencapai 749 orang. Korban tewas ini merupakan bagian dari 2.992 kecelakaan yang terjadi sepanjang periode itu. Kecelakaan tertinggi terjadi Januari, yakni 847 kasus sedangkan Februari menurun hanya 715 kasus. Selanjutnya Maret terjadi 719 kasus kecelakaan dan terakhir April terjadi 711 kasus. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Responden dalam penelitian ini ditetapkan secara purposif dari setiap armada/kesatuan yang jumlahnya 300 orang yang dipilih secara proporsional dari setiap armada. Sedangkan informan utama adalah supir, direksi armada, dan mandor. Alat pengumpul data yang dipakai adalah kuesioner, observasi partisipasi (menaiki mobil angkutan kota), dan wawancara mendalam yang tidak terstruktur. Sedangkan analisa dan interpretasi data digunakan dengan bantuan program SPSS untuk menampilkan tabel tunggal (pola-pola perilaku mengemudi) dan analisis korelasi (variabel pendidikan, etnisitas, lama kerja, dan armada dan perilaku mengemudi). Interpretasi statistik deskriptif dan korelasi ini kemudian dilengkapi dengan konsep-konsep yang ditemukan dari wawancara mendalam. Studi ini menunjukkan bahwa pola-pola perilaku mengemudi supir di kalangan angkutan kota di Kota Medan kurang tertib. Ketidaktertiban ini tampak seperti ngebut begitu keluar stasiun atau pangkalan, ngebut mencari penumpang dan ngebut sesama angkutan kota. Pelanggaran lain yang dilakukan misalnya seperti menyalip dari jalur kiri, mengabaikan hak-hak pengguna jalan seperti pesepeda, dan tidak memasang segitiga pengaman ketika berhenti dalam keadaan darurat. Kendati begitu, tidak dalam semua hal iv

para supir kurang tertib. Perilaku memprioritaskan penumpang pelajar saat penumpang membludak, mengikuti lajur jalan secara umum ketika baru keluar dari stasiun, tidak menagih ongkos saat mengalihkan penumpang ke angkutan kota yang lain merupakan beberapa bukti perilaku tertib di kalangan supir. Temuan lain menunjukkan, bahwa pendidikan tidak mempengaruhi perilaku mengemudi di kalangan supir. Tapi variabel armada, lama kerja, dan kedekatan (internalisasi) etnis mempengaruhi perilaku mereka. Dengan kata lain, semakin lama bekerja menjadi supir dan semakin intens peran armada dalam mendidik supir, maka semakin tertib pula perilaku mereka dalam mengemudi. Dapat disimpulkan pula, ternyata tidak hanya faktor internal dari dalam diri supir (pendidikan, pengalaman, dan etnisitas) yang mempengaruhi perilaku tetapi lebih karena tekanan eksternal dari luar yang memaksa seperti tekanan memenuhi setoran dan penghasilan, trayek yang tumpang tindih, dan menurunnya jumlah penumpang. Tekanan eksternal yang memaksa ini kemudian yang mengkonstruksi konsensus ‘penyimpangan’ di kalangan supir. Dalam artian, internalisasi dan eksternalisasi ‘penyimpangan’ itu telah dianggap sebagai ‘keteraturan’ sebagai senjata bertahan menjadi supir angkutan kota di Kota Medan. Bagai roda angkutan kota berputar, begitu pula otak si supir berputar dalam mengemudi sehari-hari agar mampu bertahan. Kata-kata kunci : Perilaku, faktor internal dan faktor eksternal, afiliasi etnisitas, transportasi umum, dan supir angkutan kota.

v

ABSTRACT An increase in population generates increasing in travel demand for such as working and lessure purposes. Nowadays, Indonesia deals with an explosive growth in vehicle ownership and utilization of public transportation. The increase of population and public transportation need unfortunately contributes to accidents case in Indonesia generally and in Medan particularly due to irregular public transportation (known as ‘angkot’ or angkutan kota) driver habit. Therefore, the main purpose of this research is to explore the pattern of driving of public transportation driver in Medan city. This type of this research is a descriptive quantitativ. The total of sampling are 300 drivers which selected accidently in the bush station (Pinang Baris and Amplas) and interviewed the main informants consist of supervisor in the station (mandor) and staf of public transportation management (armada). Instrument that used in gathering data are questionnaires, open-ended interview, and participation where the researcher for some extent observe the behavior of the driver and to be passanger of the public transportation. Data were analyzed using descriptive and correlation analysis. One main finding reported that most of the drivers abuse a public transportation regulation such as driving in high speed when get out of station, rush driving to pick the passanger up, and have no respect to the bycyle rider. Sum up, the bad behaviour of the driver not morely forced by internal factors such as education, ethnic affiliation, but for most extent imposed by external factors out side of the drivers such as the struggle to afford the payment to the car owner (setoran) and the daily wage, the tough competition among the drivers, and number of public transportation which excedeed designated number (plafon). Key word: behavior, internal and external behaviour, ethnicity, public transportation, and driver of public transportation.

vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Masalah Perilaku berlalu lintas adalah cermin budaya bangsa. Demikian motto

yang tertulis di sudut-sudut jalan Kota Medan sering kita lihat. Membaca itu, kita bisa menyimpulkan betapa budaya bangsa kita secara umum, dan budaya berlalu lintas khususnya sudah pada tahap mencemaskan. Saling adu cepat dan serobot di jalur-jalur padat dan macet, sudah menjadi pandangan dan perilaku sehari-hari sebagian supir di Kota Medan. Bahkan dengan sinis sebagian orang mengatakan, kalau supir-supir di kota ini adalah buta warna, karena tidak hirau dengan aturan lampu lalu lintas. Menerobos pada saat lampu kuning bahkan merah, sudah menjadi pemandangan umum. Kalau mau melihat mental jalan pintas atau mental menerabas dengan menghalalkan segala cara agar tiba di tempat tujuan dengan cepat, perilaku sebagian supir di jalan Kota Medan merupakan bukti konkrit. Salah satu indikator buruknya perilaku berlalulintas adalah tingginya pelanggaran terhadap norma-norma berlalulintas yang ditunjukkan oleh perilaku berlalu lintas yang tidak aman dan mengabaikan sopan santun menggunakan jalan raya. Dampak lanjutannya, angka korban kecelakaan lalu lintas dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan tingginya angka kecelakaan lalu lintas itu sendiri. Menurut Kapolri, pada tahun 2007 terdapat 20.000 orang korban kecelakaan lalulintas. Angka itu naik menjadi 20.188 orang pada tahun 2008. 1

Tahun 2009, lebih tinggi lagi angkanya, mendekati 21.000 orang. Lima persen dari jumlah korban kecelakaan lalu lintas adalah pelajar dan mahasiswa. Kecelakaan ini terjadi karena perilaku berlalu lintas yang buruk di satu sisi dan meningkatnya penggunaan kenderaan (roda empat dan dua) di sisi lain. Sedangkan di Kota Medan sendiri, berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Sumut, sejak Januari hingga April 2012, korban tewas kecelakaan lalu lintas mencapai 749 orang. Korban tewas ini merupakan bagian dari 2.992 kecelakaan yang terjadi sepanjang periode itu. Kecelakaan tertinggi terjadi Januari, yakni 847 kasus sedangkan Februari menurun hanya 715 kasus. Selanjutnya Maret terjadi 719 kasus kecelakaan dan terakhir April terjadi 711 kasus. Sejarah padatnya mobilnya dimulai ketika industri otomotif ditemukan. Pada tahun 1910, 65 persen penduduk di Amerika masih tinggal di inti atau sentra kota. Namun ketika mobil ditemukan Henry Ford pada 1908, komposisi penduduk di sentra kota kemudian menyebar ke pinggiran kota (sub-urban) karena mobil memungkinkan mereka melakukan mobilitas kerja (Spates dan Macionis, 1987:298). Sedangkan di Indonesia sendiri, menurut Kompas (14/4/2012), penjualan mobil pada Maret 2012 mencapai 87.761 unit. Jumlah itu mengalami kenaikan dibandingkan Februari 2012 yang sebesar 86.407 unit dan Januari 2012 76.365 unit. Adapun total penjualan di tiga bulan pertama tahun 2012 adalah 250.533 unit, atau lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 225.739 unit. Penjualan yang terus-menerus meningkat ini pada gilirannya membuat arus lalu-lintas meningkat sementara ketersediaan jalan relatif tidak meningkat. 2

Perilaku lalu-lintas angkutan umum di Indonesia memiliki karakter khas dengan pola-pola budaya berlalu lintas di negara-negara maju. Beberapa karakteristik khas angkutan umum di Indonesia antara lain (Dwi Handoko, 2006) : 1.

Kecepatan tidak teratur, terkadang pelan terkadang cepat sekali.

2.

Berhenti di sembarang tempat, dan dalam waktu yang tidak teratur.

3.

Teknik mengemudi yang pindah jalur secara tidak teratur. Faktor lain yang menyumbang pada kemacetan lalu lintas adalah tundaan

pergerakan mobil angkutan umum yang berimplikasi kepada antrian mobil pribadi di belakangnya sehingga menimbulkan kesemrawutan. Penelitian tentang tundaan pergerakan mobil pribadi (stopping delay) yang ditimbulkan oleh angkutan umum ketika berhenti telah dilakukan oleh Aniek QS (1999) dengan studi kasus jalan Jendral A. Yani, Kota Bandung. Pergerakan mobil pribadi dipelajari dengan membandingkan tundaan yang ditimbulkan oleh angkutan kota dan bis kota, karena kedua jenis kendaraan tersebut mempunyai perbedaan karakteristik antara lain dari sisi ukuran dan kapasitasnya. Tundaan yang ditimbulkan oleh bis kota sebesar 46.191 detik dan tundaan angkutan kota sebesar 6.227 detik. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor rata-rata lama berhenti bis kota yang lebih lama dibandingkan dengan angkutan kota, kecepatan bis kota yang lebih rendah dan batas headway minimum yang diperlukan oleh kendaraan lain untuk mendahului bis kota lebih panjang dibandingkan dengan headway minimum yang diperlukan oleh kendaraan lain untuk mendahului angkutan kota. Selanjutnya, Bastian Wirantono (1999) melakukan penelitian tentang panjang antrian yang ditimbulkan oleh angkutan umum ketika berhenti telah 3

dilakukan dengan studi kasus Jalan Ahmad Yani (arah dalam dan luar kota), jalan Dharmawangsa (depan terminal angkot), Jalan Urip Sumoharjo kota Surabaya. Jenis angkutan umum yang diamati adalah bis dan angkutan kota (angkot), dengan periode pengambilan data pada siang dan sore hari dan pada jam bukan puncak. Metode penelitian yang digunakan mencakup: pengukuran/perhitungan jumlah dan panjang antrian kendaraan, lebar efektif jalan, dan waktu henti. Dianalisa hubungan antara panjang antrian terhadap volume kendaraan, lebar efektif dan waktu henti angkutan umum. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagai berikut (Bastian Wirantono, 1999): 1.

Satu-satunya faktor yang berpengaruh secara signifikan pada panjang antrian hanyalah waktu henti angkutan umum. Semakin lama angkutan umum berhenti semakin panjang antrian kendaraan.

2.

Tidak ada keterkaitan yang berarti antara volume kendaraan, lebar efektif dan waktu henti

3.

Volume kendaraan dan lebar efektif jalan tidak berpengaruh terhadap panjang antrian, karena pengaruhnya terlalu kecil. Secara teoritik sebenarnya lebar efektif jalan berepangaruh terhadap

tundaan, tetapi dalam penelitian ini kemungkinan persimpangan yang diukur mempunyai lebar yang cukup ,sehingga lebar efektif jalan tidak berpengaruh. Balitbang Provinsi Jawa Timur (2006) juga pernah melakukan studi tentang perilaku supir dalam berlalu lintas di Surabaya. Studi ini berupaya mengkaji faktor-faktor internal (individu) maupun eksternal yang menyebabkan rendahnya kepatuhan masyarakat pemakai atau pengguna jalan ketika berlalu lintas. 4

Temuan pokok dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

Kepatuhan masyarakat dalam hal ini pemakai atau pengguna jalan khususnya pengendara kendaraan bermotor terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas di Jawa Timur semakin menurun.

2.

Berdasarkan jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan, yakni mengendarai kendaraan tanpa surat izin mengemudi (SIM), pelanggaran rambu-rambu dan marka jalan, serta tidak dipenuhinya kelengkapan kendaraan bermotor.

3.

Situasi problematik utama yang dihadapi berkaitan dengan faktor sikap dan perilaku pemakai atau pengguna jalan khususnya pengendara kendaraan bermotor adalah menyangkut persepsinya tentang peraturan perundangan lalu lintas yang lebih dilihat dalam perspektif kewajiban yang harus dipenuhi, dan belum dilihat sebagai kebutuhan riil sehingga mendorong mereka untuk berupaya memenuhinya.

4.

Persepsi yang keliru tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat given melainkan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya terhadap peraturan perundangan lalu lintas, pengalaman berlalu lintas, cakrawala, keyakinan, dan proses belajar yang kesemuanya baik secara sendiri-sendiri maupun pada umumnya secara simultan menghasilkan persepsi dimaksud.

5.

Pengetahuan dan pemahaman pemakai atau pengguna jalan khususnya pengendara kendaraan bermotor tentang peraturan perundangan lalu lintas pada umumnya masih bersifat superfisial karena umumnya merupakan hasil dari proses belajar secara otodidak, sehingga dalam implementasinya di lapangan sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai 5

stimulus eksternal baik secara tunggal maupun bergabung dalam bentuk imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. 1.2 Perumusan Masalah Karena begitu pentingnya perilaku tertib berlalu lintas untuk menghindari tingginya angka kecelakaan lalu lintas di samping menumbuhkan kehidupan kota yang lebih berbudaya, maka studi ini berupaya mengeksplorasi beberapa masalah utama dalam berlalu lintas. a.

Bagaimanakah pola perilaku berlalulintas supir angkutan kota Medan?

b.

Bagaimana hubungan tingkat pendidikan supir angkutan kota dengan perilaku berlalu lintas di Kota Medan?

c.

Apakah ada hubungan etnisitas dengan perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?

d.

Apakah ada hubungan antara lama kerja dengan perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?

e.

Apakah kelompok kerja (Armada) mempengaruhi perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota Medan?

f.

Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku berlalu lintas supir angkutan kota di Kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian a.

Memperoleh gambaran tentang pola perilaku berlalulintas supir angkutan kota Medan di Kota Medan.

b.

Mengukur hubungan antara tingkat pendidikan dengan perilaku berlalu lintas supir angkutan kota Medan di Kota Medan.

c.

Mengukur hubungan antara etnisitas dengan perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan. 6

d.

Mengukur hubungan antara lama kerja dengan perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.

e.

Mengukur hubungan antara kelompok kerja (Armada) dengan perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota Medan di Kota Medan.

f.

Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku supir angkutan kota di Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada Pemerintah Kota Medan, dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota Medan, untuk menyusun strategi penanggulangan masalah lalu lintas, seperti kemacetan. Hasil kajian ini, diharapkan dapat menjadi data dasar yang mendasari pengambilan keputusan (better information for better policy) dalam penanggulangan masalah lalu lintas di Kota Medan yang lebih baik.

7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Manusia Apakah yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan atau perilaku tertentu? Mengapa suatu perilaku dilakukan berulang-ulang, sementara tindakan yang lain dihindari atau tidak dilakukan lagi? Pada dasarnya, manusia memberikan respon atas stimulus yang diterimanya dari luar. Karena itu pula, B.F. Skinner mengatakan, seorang individu cenderung mengulang sebuah tindakan bila tindakan itu mendapat pujian atau ganjaran, sementara tindakan yang mendapat hukuman (punishment) akan dihindari. Karena itu, teori perilaku seringkali dipakai dalam teori pembelajaran dan instruksi dalam kelas. Teori ini menyimpulkan, guru-guru yang sering memberi pujian kepada perilaku siswa-siswinya, maka perilaku itu akan cenderung diulangi, demikian pula sebaliknya. Salah satu asumsi lanjutan dari aliran perilaku ini adalah bahwa pada dasarnya tidak ada tindakan manusia yang benar-benar didorong kehendak individu itu sendiri, melainkan karena kombinasi tekanan-tekanan eksternal. Teori ini selanjutnya menjelaskan bahwa perubahan perilaku manusia disebabkan tekanan dan kontrol lingkungan eksternal, bukan karena proses internal dalam diri manusia itu sendiri. Sederhananya, individu akan cenderung memilih perilaku yang digemari dan dilakukan berulang-ulang karena lingkungan eksternal menghargainya. Aspek lain dari teori perilaku adalah pilihan alternatif untuk mengulang tindakan. Seorang individu memilih tindakan perilaku tertentu biasanya 8

berdasarkan ganjaran tindakan yang akan dilakukan. Ini berarti bahwa perilaku tidak hanya diatur oleh konsekuensi atau ganjaran dari tindakan itu tapi juga oleh ganjaran-ganjaran yang ada untuk alternatif tindakan lain. Selanjutnya, mengapa individu merubah perilakunya? Menurut teori perilaku, ada empat komponen tahapan yang dilakukan individu dalam perubahan tindakannya. Ini dimuat dalam Tahapan-Tahapan Teori Perubahan (Stages of Change Theory), yakni

prakontemplasi (precontemplation),

kontemplasi (contemplation), tindakan (action) dan mempertahankan perilaku yang terlah berubah (maintenance). Ini bisa kita lihat ketika seseorang diduga terinveksi penyakit HIV misalnya. Pada tahap precontemplation misalnya individu yang sakit tadi mengalami masalah (apakah dia tahu atau tidak tahu sudah sakit HIV) dan tidak ingin berubah. Tapi dengan munculnya kesadaran si individu, apakah melalui informasi dan pengetahuan tentang HIV dan mulai melakukan evaluasi dan refleksi pada dirinya (bagaimana dampak HIV pada dirinya) ia memasuki tahap contemplation (ia menyadari ia telah kena HIV dan mulai berpikir untuk berubah) ia kemudian melakukan evaluasi diri dan memikirkan perubahan yang akan dilakukannya. Pada tahap berikutnya, individu memasuki tahap Preparation for Action (individu menyadari masalah penyakitnya dan ingin berubah pada bulan berikutnya). Beberapa perilaku yang mau dirubah misalnya sudah dicatat, seperti pemakaian kondom yang tidak konsisten, tapi bentuk nyata perubahan perilaku belum ditemukan. Pada tahap ini, ia mulai meyakinkan diri, bahwa ia yakin untuk berubah.

9

Pada saat inilah ia memasuki tahap action (ia menegaskan perubahan perilaku) misalnya dengan memakai kondom secara konsisten setidaknya selama 6 bulan dengan harapan bahwa tindakannya akan menyembuhkannya. Ia kemudian mendapat dukungan dari kelompok dan menghindari seks bebas. Pada tahap maintenance (ia menjaga perilakunya yang berubah) selama 6 bulan (lihat Gambar di bawah).

Tahap-tahap Perubahan Prakontemplasi Kontemplasi Persiapan

Aksi

Pemeliharaan

- Meningkatnya Kesadaran - Penyembuhan Dramatis - Re-Evaluasi Lingkungan - Re-Evaluasi Diri - Pembebasan Diri - Meningkatkan Pengelolaan (Manajemen) Diri - Membenahi Hubungan - Melawan Kondisi - Mengontrol Stimulus Gambar 2.1. Tahapan Perubahan Perilaku Manusia. Lalu, apakah yang disebut dengan perilaku? Leonard F. Polhaupessy menjelaskan bahwa perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan mengendarai motor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain. 10

Ahli lain menjelaskan lebih lanjut bahwa perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Karena itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh– tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing–masing. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, tertawa, bekerja,kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dengan begitu, yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo: 2003, 114). 2.2 Bentuk Perilaku Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, menurut Notoatmodjo, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu. Pertama, yakni perilaku tertutup. Perilaku ini adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. Selanjutnya, kedua adalah perilaku terbuka, yakni perilaku atas respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan. 2.3 Proses Terjadinya Perilaku Rogers (dalam Notoatmojo, 2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu (1) awareness atau kesadaran, yakni orang 11

tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus atau objek terlebih dahulu interest, yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus; (2) evaluation adalah menimbang–nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi dan (3) yakni trial dimana seseorang telah mulai mencoba perilaku baru. Dan (4) adoption, di mana subjek atau pelaku telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadikebiasaan atau bersifat langgeng (Notoatmodjo 2003, 122). 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menurut L.W.Green, faktor pendorong perilaku manusia adalah faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku yang terbuka dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : a. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors) Adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, kayakinan, niali-nilai dan juga variasi demografi, seperti: status ekonomi, umur, jenis kelamin dan susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu tersebut. b. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors) Adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, termasuk di dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misalnya : dana, transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. c. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)

12

Faktor-faktor ini meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas, undang-undang peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah. 2.5 Transportasi Kota Kota merupakan magnit utama bagi pencari kerja ketika kondisi sosial ekonomi penduduk desa mengalami proses pemiskinan. Ini diperparah pembangunan di negara-negara berkembang pada banyak hal dianggap bias kota. Untuk mendukung kegiatan penduduk di perkotaan, maka alat transportasi sebagai pendukung mobilitas warga sangat penting. Atmodirono mengemukakan, kegiatan manusia yang berbagai macam di perkotaan menyebabkan mereka perlu saling berhubungan. Untuk itu diperlukan alat penghubung, salah satu di antaranya dan yang paling tua umurnya adalah angkutan. Jadi pengangkutan adalah bukan tujuan akhir melainkan sekedar alat untuk melawan jarak. Banyak negara berkembang menghadapi permasalahan transportasi dan beberapa di antaranya sudah berada dalam tahap sangat kritis. Permasalahan yang terjadi bukan saja disebabkan oleh terbatasnya sistem prasarana transportasi yang ada, tetapi ditambah permasalahan lainnya. Pendapatan rendah, urbanisasi yang sangat cepat, terbatasnya sumber daya, khususnya dana, kualitas dan kuatintas data yang berkaitan dengan transportasi, kualitas sumber daya manusia, tingkat disiplin yang rendah, dan lemahnya sistem perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi semakin parah (Tamin, 2000). Dalam perkembangan literatur transportasi kota, Tamin, membedakan dua konsep sistem transportasi. Pertama, ciri pergerakan tidak spasial (tanpa 13

batas ruang) di dalam kota, misalnya yang menyangkut pertanyaan mengapa orang melakukan perjalanan, kapan orang melakukan perjalanan, dan jenis angkutan apa yang digunakan. Kedua, ciri pergerakan (dengan batas ruang) di dalam kota, termasuk pola tata lahan, pola perjalanan orang dan pola perjalanan. Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri pergerakan yang berkaitan dengan aspek tidak spasial, seperti faktor terjadinya pergerakan, waktu terjadinya pergerakan dan jenis angkutan umum yang digunakan. Terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud perjalanan sebagai berikut. Pertama, aktivitas ekonomi, seperti mencari nafkah dan mendapatkan barang serta pelayanan. Kedua, aktivitas sosial, seperti menciptakan dan menjaga hubungan pribadi. Klasifikasi perjalanannya berupa ke dan dari rumah teman, ke dan dari tempat pertemuan bukan di rumah. Dalam aktifitas ini kebanyakan fasilitas terdapat dalam lingkungan keluarga dan tidak menghasilkan banyak perjalanan serta terkombinasi dengan perjalanan hiburan. Ketiga, aktivitas pendidikan, klasifikasi perjalanan ini adalah ke dan dari sekolah, kampus dan lain-lain. Aktivitas ini biasanya terjadi pada sebagian besar penduduk yang berusia 5-22 tahun, di negara sedang berkembang jumlahnya sekitar 85 % penduduk. Keempat, aktivitas rekreasi dan hiburan. Klasifikasi perjalanannya adalah ke dan dari tempat rekreasi atau yang berkaitan dengan perjalanan dan berkendaraan untuk berekreasi. Aktifitas ini biasa terjadi seperti mengunjungi restoran, kunjungan sosial. Kelima, aktivitas kebudayaan, klasifikasi perjalanannya adalah ke dan dari daerah budaya serta pertemuan politik. Aktivitas ini berupa perjalanan kebudayaan dan hiburan dan sangat sulit dibedakan.

14

2.6 Perilaku Berlalulintas Jalan raya yang awalnya berfungsi mempelancar pergerakan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lain, ternyata akhir-akhir ini jalan menjadi sumber kecelakaan.Jalan sudah tidak aman. Kecelakaan lalu lintas merupakan suatu tragedi manusia.(EC.,1996) kecelakaan di jalan raya penyebabkan kematian manusia di bawah umur 40 tahun dan merupakan penyebab kehilangan umur kehidupan yang terbesar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 1998 tabrakan di jalan merupakan penyebab terbesar luka atau kematian dini (early death) pada pria antara umur 15 sampai 44 di seluruh dunia. Juga, urutan kedua terbesar penyebab luka atau kematian dini pada pria semua golongan umur di negara berkembang (BTS 2000). Keamanan lalu lintas (traffic safety) tetap merupakan suatu keprihatian kesehatan publik yang serius di negara maju dan di negara berkembang (Sinha, 2002) . Semua pemakai jalan mempunyai peran penting dalam pencegahan dan pengurangan kecelakaan. Walaupun kecelakaan cenderung terjadi tidak hanya oleh satu sebab, tetapi pemakai jalan adalah pengaruh yang dominan. Pada beberapa kasus tidak adanya pengalaman untuk menginterprestasi hal-hal yang penting dari serangkaian peristiwa waktu mengendara sering mengambil keputusan atau tindakan yang salah. Kesalahan yangpaling sering dilakukan oleh pemakai jalan adalah kecepatan yang berlebihan, lengah, salah anggapan, sikap panik karena tidak punya pengalaman. Para pengemudi muda yang tidak berpengalaman dan kematangan emosial belum stabil, sikap suka pamer dan sifat-sifat lain yang menyebabkan kelompok ini mempunyai laju kecepatan yang tinggi. 15

Menurut Hobbs, (1995) pengemudi digolongkan antara pengemudi yang aman dan tidak aman. Empat kategori pengemudi diindentifikasi setelah mengamati kinerja merekadalam mengendarai kendaraan pada suatu rute pengujian. Observasi-observasi ini mencakup kecelakaan di dekat lokasi, pandangan ke kaca spion, gerakan kendaraan, dan respon didahului dan mendahului. Kategori setiap pengemudi dapat dilihat pada bagian uraian berikut : a. Safe (S, aman): sangat sedikit kecelakaan, memakai sinyal dengan baik, tidak melaksanakan gerakan yang tidak umum. Frekuensi menyalip sama dengan frekuensi tersalip. b. Dissociated active (DA, aktif terpisah): banyak mendapat kecelakaan dan gerakannya berbahaya, mengemudi dengan cara seenaknya, sedikit memberi sinyal dan jarang melihat kaca spion. Tersalip lebih sering dari pada menyalip. c. Dissociated passive (DP, pasif terpisah): sering mendapat kecelakaan, kesadaran rendah, mengemudi di daerah median, dan dengan hanya sedikit penyesuai dengan kondisi sekitar. Tersalip lebih jarang dibanding menyalip. d. Injudicious (I, kemampuan menilai kurang) : sering mendapat kecelakaan, estimasi jarak tidak baik, dan gerakann yang tidak umum, terlalu sering melihat kaca spion, Gerakan menyalip tidak baik. Uji psikologis yang telah dipakai untuk membedakan antara pengemudi yang aman dan yang tidak aman. Biasanya pengemudi yang aman berasal dari kelompok yang introvert . Pengemudi yang tidak aman biasanya dari kelompok yang ekstrovert.

16

2.7 Landasan Teori Perilaku manusia merupakan respon terhadap stimulus. Dalam memberikan respon, manusia biasanya mempertimbangkan faktor internal (dalam diri individu itu sendiri) dan faktor internal (di luar individu). Faktor internal yang mempengaruhi perilaku manusia biasanya adalah pendidikan, pengalaman, nilai-nilai dan orientasi yang dianut seseorang. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi tindakan individu adalah penegakan hukum, kompetisi, dan aturan yang ditegakkan oleh atasan atau lingkungan dimana individu bekerja. Jadi, pada dasarnya, tidak ada individu yang benar-benar bertindak yang hanya didorong kehendak bebas (free will) si individu, tapi pada banyak hal, mempertimbangkan faktor eksternal. Selanjutnya, dalam perubahan perilaku manusia dikenal teori TahapanTahapan Teori Perubahan (Stages of Change Theory), yakni precontemplation, contemplation, action dan maintenance. Dengan kata lain, perubahan perilaku manusia mengikuti tahap-tahap ini. Ini bisa kita lihat ketika seseorang diduga terinveksi penyakit HIV misalnya. Pada tahap precontemplation misalnya individu yang sakit tadi mengalami masalah (apakah dia tahu atau tidak tahu sudah sakit HIV) dan tidak ingin berubah. Tapi dengan munculnya kesadaran si individu, apakah melalui informasi dan pengetahuan tentang HIV dan mulai melakukan evaluasi dan refleksi pada dirinya (bagaimana dampak HIV pada dirinya) ia memasuki tahap contemplation (ia menyadari ia telah kena HIV dan mulai berpikir untuk berubah) ia kemudian melakukan evaluasi diri dan memikirkan perubahan yang akan dilakukannya.

17

Pada tahap berikutnya, individu memasuki tahap preparation for action (individu menyadari masalah penyakitnya dan ingin berubah pada bulan berikutnya). Beberapa perilaku yang mau dirubah misalnya sudah dicatat, seperti pemakaian kondom yang tidak konsisten, tapi bentuk nyata perubahan perilaku belum ditemukan. Pada tahap ini, ia mulai meyakinkan diri, bahwa ia yakin untuk berubah. Dan pada saat inilah ia memasuki tahap action (ia menegaskan perubahan perilaku) misalnya dengan memakai kondom secara konsisten setidaknya selama 6 bulan dengan harapan bahwa tindakannya akan menyembuhkannya. Ia kemudian mendapat dukungan dari kelompok dan menghindari seks bebas. Pada tahap maintenance (ia menjaga perilakunya yang berubah) selama 6 bulan.

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran dan Perilaku Mengemudi Berdasarkan model di atas, penelitian ini memfokuskan perhatian pada beberapa variabel bebas, yakni: pendidikan, etnisitas, lama kerja dan 18

pembinaan armada, sehingga model hubungan yang akan diteliti adalah sebagai berikut : PENDIDIKAN ETNISITAS PERILAKU LAMA KERJA

ARMADA

Gambar 2.3. Hubungan Variabel dan Perilaku Mengemudi

19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Nawawi mengatakan metode deskriptif memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah yang bersifat aktual, kemudian menggambarkan faktafakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi yang akurat. Penelitian ini berupaya menjelaskan perilaku supir angkutan kota di Kota Medan. Deskripsi ini akan menjelaskan hubungan antara tingkat pendidikan, etnisitas, jenis armada dengan perilaku sopan-santun dalam berlalu lintas. Juga akan dieksplorasi lebih jauh faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota Medan. Paradigma kuantitatif ini dalam banyak hal diupayakan akan mengikuti asumsi, ontologi, epistimologi, aksiologi dan metode paradigma kuantitatif (Creswell 2001, 12). Meski dalam metode pengumpulan data, pendekatan kualitatif juga digunakan. Dengan kata lain, penelitian ini lebih dominan (moreless dominant) menggunakan pendekatan kuantitatif 3.2. Populasi dan Sampel 3.2.1. Populasi Penelitian Populasi adalah objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang disetarakan oleh peneliti untuk dipelajari, dan kemudian ditarik kesimpulan. Sedangkan sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Populasi dalam penelitian 20

ini adalah keseluruhan supir angkutan kota yang armadanya di bawah pengaturan Dinas Perhubungan Kota Medan. Ini biasanya ditandai dengan Ijin Trayek yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan Kota Medan. Jumlah populasi secara keseluruhan berdasarkan data jumlah armada angkutan kota di Kota Medan mencapai 16.736 armada. Ini berarti bahwa di atas kertas, setidak-tidaknya terdapat 16.736 supir. Namun, berdasarkan informasi dari lapangan diperoleh gambaran bahwa dari keseluruhan jumlah armada tersebut, maksimal yang beroperasi di lapangan rata-rata 80 %, sehingga dengan demikian banyaknya populasi untuk penelitian ini diperkirakan 80 % x 16.736= 13.889 orang. 3.2.2. Sampel Penelitian Menurut Arikunto sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Porposive Sampling, dengan menggunakan ketentuan yang dikemukakan oleh Isaac dan Michael (dalam Sugiyono, 2008: 126), sebagai berikut : 2 N. P. Q S= ----------------------D2 (N-1) +  2. P.Q  dengan dk = 1, taraf kesalahan optional 1%, 5%, atau 10% P=Q= 0,5 D=0,05

S= Ukuran sampel

Berdasarkan rumus di atas, Isaac dan Michael selanjutnya menyusun sebuah tabel yang memuat jumlah sampel terpillih untuk sejumlah populasi tertentu.

21

Tabel 3.1. Tabel Isaac dan Michael Penentuan Jumlah Sampel Berdasarkan Rumus Isaac dan Michael dengan Taraf Signifikansi 95 %. N

S

N

S

N

S

10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200

10 14 19 24 28 32 36 40 44 48 52 56 59 63 66 70 73 76 80 86 92 97 103 108 113 118 123 127 132

220 230 240 250 260 270 280 290 300 320 340 360 380 400 420 440 460 480 500 550 600 650 700 750 800 850 900 950 1000

140 144 148 152 155 159 162 165 169 175 181 186 191 196 201 205 210 214 217 226 234 242 248 254 260 265 269 274 278

1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2200 2400 2600 2800 3000 3500 4000 4500 5000 6000 7000 8000 9000 10000 15000 20000 30000 40000 50000 75000

219 297 306 309 310 313 317 320 322 327 331 335 338 341 346 351 354 357 361 364 367 368 370 375 377 379 380 381 382

22

210 Catatan:

136 N= S=

1100 Populasi Sampel

285

100000

384

Berdasarkan tabel di atas jumlah sampel yang disarankan adalah 300. Dengan demikian, penelitian ini selanjutnya mengambil sampel sebanyak 300 orang supir yang akan dipilih secara proporsional dari setiap arrmada dengan memperhitungkan prosentasenya terhadap keseluruhan jumlah sampel. Tabel 3.2. Nama dan Jumlah Armada Angkutan Kota di Medan. No Perusahaan

Jumlah

Direktur

1

CV Mitra

750 Drs OK. Khaidir

2 3

PT Rahayu Medan Ceria CV Medan Bus

4

PT Kobun

5

Kop Medan Raya Ekspers

290 T Ferdinand Simangunsong

6

CV Laju Deli Sejahtera

150 H Khairudinsyah

7

PT Nasional

605 Drs Baskami Ginting

8

PT Mars

9

CV Hikma

250 H Abdul Hasyim Hasibuan

10

PT Povri

443 Novi Meliala

11

CV Desa Maju

294 Christoper Aritonang

12

KPUM

6.081 T Ferdinand Simangunsong

13

PTU Morina

1.670 J. Sitindaon

2.623 Drs Mont Gomery Munthe 1.020 Jumongkas Hutagaol 84 Drs B Surbakti

1.055 Daud Sitepu SE

23

Ket

14

CV Mekar Jaya

315 Kushendra

15

PT Gajah Mada

310 J. Sitindaon

16

CV Wampu Mini

733 H. NG Brahmana

TOTAL

16.736

3.3. Informan Penelitian Di samping para supir, informan dalam penelitian ini juga berasal dari pemiliki angkutan umum (toke) dan pengurus Organda. Dari informan kunci ini, akan digali lebih dalam informasi terkait dengan perilaku berlalu lintas para supir. Untuk menggali informasi lebih dalam dari informan ini, akan dilakukan wawancara mendalam dengan panduan wawancara terbuka (open-ended interview guide). Wawancara akan dihentikan sepanjang permasalahan penelitian dianggap telah terjawab ditandai dengan pengulangan jawabanjawaban responden. Untuk menjaga validitas dalam wawancara ini akan dilakukan triangulasi data ke berbagai informan lain. 3.4. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan jenis data dan unit analisis yang direncanakan, maka proses penggalian data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik yaitu : 3.4.1. Penyebaran kuesioner (angket) Pengumpul data dalam penelitian ini adalah kuesioner semi terbuka (semi-open-ended questioner) yang akan disebarkan kepada para supir angkutan kota yang ada di Kota Medan. Kuesioner disebarkan oleh para pewawancara dan dipandu langsung pengisiannya karena diasumsikan, para supir akan enggan mengisi sendiri karena jam kerja mereka yang tak terduga24

duga. Sebelum penyebaran kuesioner dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji kuesioner terhadap 30 orang responden. Setelah dilakukan perbaikan atas sistematika dan substansi beberapa pertanyaan maka akhirnya dilakukan penyebaran kuesioner. 3.4.2. Wawancara Selain kuesioner, alat pengumpul data yang digunakan adalah wawancara mendalam yang dilakukan langsung oleh peneliti. Wawancara ini akan dilakukan di tempat-tempat pangkalan angkutan kota tempat para supir biasanya mangkal. Wawancara juga mungkin dilakukan di rumah supir dengan perjanjian sebelumnya. Karena itu, penjajakan dan pendekatan dengan para supir juga penting selama proses penelitian ini berlangsung. Dalam melakukan wawancara digunakan instrumen penelitian sebagai pedoman wawancara dan alat bantu seperti kamera, tape recorder dan buku catatan. 3.4.3. Pengamatan (observasi) Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara langsung ke lokasi penelitian. Pengamatan ini dilakukan dengan melakukan wawancara langsung di pangkalan dan kantor direksi armada. Pengamatan juga dilakukan dengan menaiki angkot sebagaimana layaknya penumpang biasa dengan memilih duduk di bangku samping supir dengan wawancara bebas dan tak terstruktur pada trayek-trayek tertentu. 3.4.4. Studi Dokumen Mengingat bahwa sebagian data primer hanya bisa dijelaskan dengan bantuan data sekunder, maka dalam penelitian ini juga dilakukan penggalian data dengan menggunakan teknik studi dokumen, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah/Daerah, Renstra, buku dan lain-lain. 25

3.5. Analisis dan Interpretasi Data Data dari kuesioner akan dianalisa dalam tabel tunggal dan tabel silang untuk melihat prosentase dan kecenderungan (median) variabel-varibel (pendidikan, etnisitas, armada, lama kerja jadi supir, misalnya) dari hasil olahan statistik (SPSS atau Excell). Juga akan dilihat hubungan antar variabel dengan menggunakan uji korelasi. Sedangkan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara mendalam akan dikategorisasi dan dikonseptualisasi untuk melengkapi analisis kuantitatif dari hasil olahan statistik yang merupakan hasil entri data kuesioner. Data ini diharapkan akan menajamkan analisa sekaligus interpretasi data selama proses penelitian berlangsung. 3.6. Definisi Konsep a.

Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku berlalu lintas yang dilakukan supir yang dapat diamati baik yang dilakukan karena tekanan dari luar (eksternal) maupun karena kesadaran sendiri (internal). Dengan demikian, perilaku berlalulintas didefinisikan sebagai kecenderungan yang ditampilkan oleh supir angkutan kota dalam mengendarai kendaraan sejak dari pangkalan keberangkatan, dalam perjalanan, hingga pangkalan tujuan. Perlu ditambahkan, bahwa yang dimaksud dengan angkutan kota dalam penelitian ini adalah terbatas untuk “sudako” (yang berarti taksi, becak bermotor, damri, ojek tidak masuk dalam penelitian ini). Angkutan kota ini antara lain : KPUM, CV Mitra, PT Rahayu, CV Medan Bus, PT Kobun, dan lain-lain.

b.

Sementara itu, yang dimaksud dengan supir adalah orang yang mengendarai angkutan kota yang ditandai dengan merk armada dengan 26

ciri tersendiri untuk setiap armada (kesatuan) baik yang tidak memiliki SIM yang berlaku maupun yang berlaku. c.

Lama kerja adalah durasi dalam mengemudi yang diperankan seorang supir berdasarkan hitungan bulan dan tahun.

d.

Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal dan nonformal yang dicapai.

e.

Etnisitas adalah penyebutan suku yang diakui dan ditandai dengan bahasa, adat-istiadat maupun lingkungan tradisi yang dianut oleh seseorang.

f.

Kesatuan (aArmada) adalah organisasi/perusahaan pengelola trayek dimana angkutan kota bergabung.

3.7 Definisi Operasional a.

Perilaku berlalulintas diteliti melalui indikator-indikator sebagai berikut :

1) Kepatuhan terhadap peraturan armada. 2) Kepatuhan terhadap rambu-rambu lalu-lintas. 3) Kecenderungan dalam hal kecepatan. 4) Kecenderungan dalam hal penggunaan alat isyarat (sign) kendaraan. 5) Sopan-santun berkendaraan di antara kedaraan lainnnya. b.

Pendidikan diteliti melalui indikator-indikator :

1) Ijazah terakhir yang diperoleh. 2) Pengalaman mengikuti pendidikan nonformal. 3) Terpaan media (media exposure). 4) Frekuensi membaca buku. 5) Frekuensi berdiskusi dengan teman sepergaulan. c.

Etnisitas diteliti menurut indikator-indikator :

1) Lingkungan etnis tempat bermukim. 27

2) Lingkungan adat yang diikuti. 3) Bahasa yang digunakan dengan pasangan. d.

Lama Kerja diukur dengan indikator : Durasi waktu (dalam satuan tahun) yang telah dilalui bekerja sebagai supir.

e.

Kesatuan (Armada) diteliti melalui indikator-indikator :

1) Ketersediaan peraturan tata-tertib. 2) Kepatuhan terhadap peraturan tata-tertib. 3) Kebijakan organisasi menyangkut pengawasan. 4) Pendidikan sopan-santun lalulintas. 3.8. Jadwal dan Tahap Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu dimulai pada bulan Juli 2012 sampai dengan bulan September 2012. Untuk lebih jelasnya kegiatankegiatan yang dilakukan selama penelitian, dapat dilihat di table di bawah ini. Tabel 3.3. Jadwal dan Kegiatan Penelitian. Tahun 2012 / Bulan NO

KEGIATAN

Juli

1

Penyusunan Proposal

2

Diskusi Proposal

3

Pengumpulan Data

4

Penyeleksian Data

5

Uji Keabsahan Data

6

Penulisan Laporan Kajian

7

Membuat Draft Laporan Penelitian 28

Agustus

September

8

Diskusi Draft Laporan

9

Penyempurnaan Draf Laporan

10.

Seminar hasil

29

BAB IV ANALISIS DAN INTERPRESTASI DATA 4.1. Gambaran Lokasi Penelitian 4.1.1. Kondisi umum Lokasi Penelitian Kota Medan sebagai sebuah kota metropolitan mempunyai posisi yang sangat strategis baik sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, pintu gerbang bagian barat Indonesia bagi kegiatan jasa perdagangan dan keuangan domestik dan regional dan pusat pelayanan jasa dan industri. Kota Medan juga kota nomor tiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya, yang memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6 % dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Sebagian besar penduduk Kota Medan bekerja pada lapangan pekerjaan perdagangan (35,34 %) diikuti dengan lapangan pekerjaan jasa (20,38 %), lapangangan pekerjaan listrik, gas dan air minum (16,92 %), lapangan pekerjaan angkutan/komunikasi (13,59 %) dan lain-lain sebesar (13,77 %). 4.1.2. Geografi Kota Medan sebagai

ibukota dari Provinsi Sumatera Utara secara

geografis terletak di antara 03⁰.30’ - 03⁰.48’ LU dan 98⁰.39’.00” - 98⁰.47’.36” BT, dengan ketinggian 3,0 s/d 30,0 meter dari permukaan air laut. Letak geografis beberapa daerah di Kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut di bawah ini.

30

Tabel 4.1. Letak Geografis beberapa daerah Kota Medan. Garis Lintang Garis Bujur (LU) (BT) Sampali 03⁰.62’ 98⁰.78’ Polonia 03⁰.32’ 98⁰.39’ Belawan 03⁰.48’ 98⁰.42’ Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011 Nama Daerah

Tinggi Dari Permukaan Laut (m) 25 27 3

4.1.3 Administrasi Secara administratif, Kota Medan memiliki wilayah seluas 265,10 km² yang terdiri dari 21 kecamatan dengan 151 kelurahan, secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.2. Luas Kota Medan menurut kecamatan No Kecamatan Luas(km²) Persentase 1 Medan Tuntungan 20,68 7,80 2 Medan Johor 14,58 5,50 3 Medan Amplas 11,19 4,22 4 Medan Denai 9,05 3,41 5 Medan Area 5,52 2,08 6 Medan Kota 5,27 1,99 7 Medan Maimun 2,98 1,12 8 Medan Polonia 9,01 3,40 9 Medan Baru 5,84 2,20 10 Medan Selayang 12,81 4,83 11 Medan Sunggal 15,44 5,82 12 Medan Helvetia 13,16 4,96 13 Medan Petisah 6,82 2,57 14 Medan Barat 5,33 2,01 15 Medan Timur 7,76 2,93 16 Medan Perjuangan 4,09 1,54 17 Medan Tembung 7,99 3,01 18 Medan Deli 20,84 7,86 31

19 20 21

Medan Labuhan Medan Marelan Medan Belawan Total Kota Medan Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011 4.1.4. Demografi

36,67 23,82 26,25 265,10

13,83 8,99 9,90 100

Jumlah penduduk Kota Medan sampai dengan tahun 2011 sebesar 2.097.610 jiwa dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,87 % dan jumlah kepadatan penduduk per kilometer rata-rata sebesar 7.798 jiwa/km². Angka pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk dan jumlah penduduk per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. berikut. Tabel 4.3. Jumlah penduduk Kota Medan menurut kecamatan dan jenis kelamin. .No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Kecamatan Medan Tuntungan Medan Johor Medan Amplas Medan Denai Medan Area Medan Kota Medan Maimun Medan Polonia Medan Baru Medan Selayang Medan Sunggal Medan Helvetia Medan Petisah Medan Barat Medan Timur Medan Perjuangan Medan Tembung Medan Deli

Laki-laki 39.414 61.085 56.175 71.181 47.813 35.239 19.411 25.989 17.576 48.293 55.403 70.705 29.367 34.733 52.635 45.144 65.391 84.520 32

Perempuan 41.528 62.766 56.968 70.214 48.731 37.341 20.170 26.805 21.940 50.024 57.341 73.552 32.382 36.038 55.998 48.184 68.188 82.273

Jumlah 80.942 123.851 113.143 141.395 96.544 72.580 39.581 52.794 39.516 98.317 112.744 144.257 61.749 70.771 108.633 93.328 133.579 166.793

19 20 21

Medan Labuhan Medan Marelan Medan Belawan

56.676 71.287 48.889 1.039.926 Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011

54.497 69.127 46.617 1.060.684

111.173 140.414 95.506 2.097.610

Tabel 4.4. Luas wilayah dan jumlah penduduk serta kepadatan penduduk/km² menurut kecamatan. Luas Penduduk Kepadatan Wilayah (jiwa) penduduk (km) per Km2 1 Medan Tuntungan 20,68 80.942 3.914 2 Medan Johor 14,58 123.851 8.495 3 Medan Amplas 11,19 113.143 10.111 4 Medan Denai 9,05 141.395 15.624 5 Medan Area 5,52 96.544 17.490 6 Medan Kota 5,27 72.580 13.772 7 Medan Maimun 2,98 39.581 13.382 8 Medan Polonia 9,01 52.794 5.859 9 Medan Baru 5,84 39.516 6.766 10 Medan Selayang 12,81 98.317 7.675 11 Medan Sunggal 15,44 112.744 7.302 12 Medan Helvetia 13,16 144.257 10.962 13 Medan Petisah 6,82 61.749 9.054 14 Medan Barat 5,33 70.771 13.278 15 Medan Timur 7,76 108.633 13.999 16 Medan Perjuangan 4,09 93.328 22.819 17 Medan Tembung 7,99 133.579 16.718 18 Medan Deli 20,84 166.793 8.004 19 Medan Labuhan 36,67 111.173 3.032 20 Medan Marelan 23,82 140.414 5.895 21 Medan Belawan 26,25 95.506 3.638 Total Kota Medan 265,10 2.097.610 Sumber: Kota Medan dalam Angka 2011 No

Kecamatan

33

4.1.5. Arah dan Perkembangan Kota Medan Perkembangan Kota Medan yang sangat pesat, terutama terjadi di pusat kota ke arah Timur dan Barat kota. Sementara itu, bagian Utara dan Selatan kota, relatif kurang berkembang. Berdasarkan sejarah umur dan kepadatan bangunan/lingkungan, unsur-unsur lingkungan kota yang menjadi daya tarik, serta kendala-kendala fisik, diduga perkembangan fisik Kota Medan bermula dari Kecamatan Medan Kota dan Kecamatan Medan Area yang saat ini menjadi wilayah pusat kota. Daerah ini terdiri dari kawasan permukiman, kawasan perdagangan, dan pusat pemerintahan, yang radius perkembangannya saat ini mencapai 6 km. Perkembangan selanjutnya secara linier mengikuti kegiatan perangkutan regional Medan-Binjai (ke arah Barat) dan Medan-Tebing Tinggi (ke arah Timur). Tarikan perkembangan ke arah Barat dan Timur sangat kuat sejalan dengan peningkatan kegiatan perangkutan di jalan arteri primer tersebut (RUTR Kota Medan, 2005, hal 2-6). Perkembangan kota yang linier ini kurang diharapkan karena, antara lain : a. Mengganggu kelancaran lalu lintas regional b. Bercampurnya kegiatan/lalu lintas lokal dan regional, dan c. Berkembangnya sistem jaringan yang kurang efisien. 4.1.6. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 4.1.6.1. Kenderaaan Bermotor Jumlah kenderaan bermotor dan pertumbuhannya adalah sebagaimana ditampilkan pada tabel berikut :

34

Tabel 4.5. Pertumbuhan kenderaan bermotor menurut jenis kenderaan di Kota Medan Jenis Kenderaan Penumpang Truck Bus 1 2002 128.882 93.989 11.424 2 2003 138.179 99.464 11.815 3 2004 149.302 104.776 12.108 4 2005 164.314 112.001 12.406 5 2006 175.198 116.184 12.619 Sumber: Satlantas Poltabes MS, Ditlantas Poldasu, 2007 No

Tahun

Motor 558.236 657.460 756.569 833.406 895.745

Jumlah 792.531 906.918 1.022.755 1.172.128 1.289.746

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa pertambahan jumlah kendaraan bermotor mobil penumpang rata-rata per tahun (sebesar 6,51 %) lebih tinggi daripada pertumbuhan angkutan bus rata-rata per tahun (sebesar 3,91) dan juga pertumbuhan mobil barang (sebesar 5,29 %). Tetapi pertumbuhan tertinggi terjadi pada sepeda motor yang mencapai 20,92 %. Secara keseluruhan didapat pertumbuhan kendaraan bermotor sebesar 9,16 % per tahun. 4.1.6.2 Angkutan Umum Angkutan umum yang memberikan pelayanan dalam trayek tetap dan teratur di Kota Medan terdiri dari jenis mobil penumpang umum, bus kecil, bus sedang dan bus besar dengan perincian sebagaimana tertera dalam tabel berikut. Tabel 4.6. Jenis angkutan umum di Kota Medan

Jenis MPU Bus Kecil

Jumlah Trayek Plafon Realisasi % 146 98 67,12 60,08% 60,87% 83 55 66,26 35

Jumlah Armada Plafon Realisasi % 8.789 5.283 60,10 63,34% 65,90% 4593 2517 54,80

34,16% 34,16% 33,10% Bus 6 5 83,3 290 sedang 2,47% 3,11% 2,09% Bus 8 3 37,5 204 Besar 3,29% 1,86% 1,47% Jumlah 243 161 66,25 13.876 Sumber: Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012

31,40% 155 11,93% 62 0,77% 8.017

53,44 30,4 58,0%

Jaringan trayek dan detail data untuk masing-masing perusahaan yang beroperasi di Kota Medan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.7. Angkutan umum dalam trayek tetap di Kota Medan. Nama Perusahaan No 1 KPUM 2 PT.U.Morina 3 PT.Rahayu.MC 4 CV.Wampu Mini 5 CV.Mekar Jaya 6 PT.Gajah Mada 7 CV.Mitra 8 PT.Mars 9 CV.Medan Bus 10 PT.Kobun 11 CV.Hikma 12 PT.Nasional MT 13 PT.Povri 14 CV.Desa Maju 15 CV.Laju Deli S 16 KPUM(MRX) 17 Damri Jumlah

Jenis Armada MPU MPU MPU MPU MPU MPU B.Kecil B.Kecil B.Kecil B.Kecil B.Kecil B.Kecil B.Kecil B.Kecil B.Kecil B.Sedang B.Besar

Plafon

Jumlah Trayek Realisasi

%

93 19 23 8 4 4 11 20 13 4 4 10 5 7 6 6 5 242

53 11 16 7 3 3 6 11 6 0 0 4 3 3 1 2 2 131

56,98 57,89 69,56 87,50 75,00 75,00 54,54 55.00 46,15 0,00 0,00 40,00 60,00 52,85 16,66 33,33 40,00 54,13

Jumlah Armada Plafon Reali% sasi 6.081 2.862 47,06 1.670 522 31,25 2.623 1.548 59,01 733 264 36,01 315 176 55,87 310 193 62,25 750 234 31,20 1.055 263 24,92 1.020 217 21,27 84 0 0,00 250 0 0,00 605 167 27,60 443 23 5,19 294 137 46,59 150 8 5,33 290 137 47,24 60 20 33,33 16.736 6.771 40,45

Sumber : Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012 Sementara itu, untuk trayek tidak tetap dapat dilihat sebagaimana tertera pada tabel berikut ini. 36

Tabel 4.8. Angkutan umum dalam trayek tidak tetap di Kota Medan. Jenis Armada

Jumlah Armada Plapond Realisasi 1 Beca Bermotor 5.000 4.968 2 Beca Bermotor 4.000 4.000 3 Beca Bermotor 250 250 4 Beca Bermotor 300 300 5 Beca Bermotor 1.300 1.300 6 Beca Bermotor 300 300 7 Beca Bermotor 750 750 8 Beca Bermotor 500 500 9 Beca Bermotor 300 300 10 Beca Bermotor 600 600 11 Beca Bermotor 750 750 12 Beca Bermotor 3.200 3.200 13 Beca Bermotor 2.000 1.456 14 Beca Bermotor 300 300 15 Beca Bermotor 1.000 1.000 16 Beca Bermotor 1.000 1.000 17 Beca Bermotor 500 500 18 Beca Bermotor 950 950 19 Beca Bermotor 300 300 20 Beca Bermotor 150 150 21 Beca Bermotor 500 142 22 Beca Bermotor 1.000 1.000 23 Beca Bermotor 200 200 24 Beca Bermotor 300 300 25 Beca Bermotor 750 15 26.200 24.531 Sumber: Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota Medan, 2012 Nama Perusahaan PT.Mandiri Karya S. KPUM YPSA Bahumas Kosgoro CV.Mitra CV.Batang Gadis KPSM FA.Mekar Jaya Koperasi Opsi SU Kop.HABSU UD.MILTAR CV.Sinar Cahaya Duta CV.Sinar Cahaya Duta Yayasan T. Deli Indah CV.Indah Ceria Medan HABSSU(Sejahtera M.) YAPABSU PABM Bestari Transport Serikat Beca Merdeka Perhimpunan A.B Win CV.Laju Deli S. Baja Pulau Samosir HIPKAMSI Trans CV.Permana Putra Jumlah

37

% 99,36 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 72,80 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 28,40 100,00 100,00 100,00 1,86 93,62

KPS 632 686 25 86 108 10 71 36 50 50 70 39 33 40 4 38 112 50 4 23 2.167

Tabel 4.9. Angkutan umum taksi di Kota Medan Jenis Kendaraan Taksi Taksi Taksi Taksi Taksi Taksi Taksi Taksi Taksi Taksi

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jumlah Armada Plapond Realisasi 275 76 50 50 100 100 500 120 100 21 170 82 500 131 650 69 500 300 50 5

Nama Perusahaan PT.Deli Cepat Taksi Kokapura II PT. Angkasa Bhakti PT. Express Limo N. PT. Yuki Kostar Taksi Matra Taksi(KPUM) PT. Karsa PT. Blue Bird PT. Ridha Almunawarrah 11 CV. Eka Prasetya Taksi 150 6 Jumlah 3.045 960 Sumber: Rekapitulasi Data Dinas Perhubungan Kota medan, 2012

% 27,63 100,00 100,00 24,00 21,00 48,23 26,20 10,61 60,00 10,00 4,00 31,52

Kebijaksaan angkutan umum di Kota Medan adalah: 1. Mengatur kembali sistem angkutan umum yang telah beroperasi dengan melihat faktor-faktor sistem jaringan jalan yang ada, faktor efisiensi dan dampak yang ditimbulkan seperti kemacetan, kerusakan jalan dan lain-lain. 2. Menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan sistem angkutan umum agar perkembangannya dapat lebih terkendali dan dapat melayani penduduk secara efisien serta terjangkau oleh masyarakat. 3. Menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung sistem angkutan umum seperti tempat pemberhentian, shelter dan terminal.

38

4. Memisahkan fungsi terminal yang bersifat lokal dengan regional agar terjamin pelayanan angkutan umum yang optimal. 5. Meningkatkan pelayanan angkutan dalam rangka menarik minat masyarakat untuk lebih menggunakan angkutan umum. 6. Mengembangkan jenis angkutan umum yang lebih sesuai dengan karakteristik jaringan jalan kota. 4.1.7 Prasarana 4.1.7.1 Jaringan Jalan Kota Medan memiliki pola jaringan jalan yang berbentuk grid/kisi-kisi pada daerah pusat kota dan bentuk radial pada daerah pinggiran kota. Jalan utama sebagai koridor dalam kota adalah Jalan Thamrin, Jalan Pandu, Jalan Sutomo, Jalan Pemuda, Jalan Ahmad Yani, Jalan Balai Kota, Jalan MT Haryono, Jalan Cirebon, Jalan Raden Saleh, Jalan Guru Patimpus, dan Jalan Perintis Kemerdekaan, serta Jalan Prof. H.M. Yamin. Sedang koridor luar yang menghubungkan daerah pinggiran kota dengan pusat kota yaitu Jalan KL. Yos Sudarso, Jalan Putri Hijau, dan Jalan Krakatau sebagai jalan yang menghubungkan daerah Utara dengan pusat kota, Jalan Letda Sujono sebagai jalan yang menghubungkan daerah bagian Barat dengan pusat kota, Jalan Gatot Subroto sebagai jalan yang menghubungkan daerah bagian Timur dengan pusat kota, Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Brigjend Katamso serta Jalan Jamin Ginting, merupakan jalan yang menghubungkan daerah bagian Selatan dengan pusat kota. Untuk menghubungkan daerah pinggiran kota secara langsung, tanpa harus melalui pusat kota disediakan jalan lingkar Utara, yaitu Jalan Kapten Sumarsono, Jalan Asrama, Jalan Gagak Hitam, Jalan Industri, dan Jalan 39

Ngumban Surbakti, yang menghubungkan daerah bagian Utara dengan bagian Timur, sedangkan daerah bagian Selatan dengan daerah bagian Timur dihubungkan oleh jalan lingkar Selatan yaitu Jalan Bunga Sedap Malam, Jalan AH. Nasution dan Jalan Karya Jasa. Selain itu juga terdapat jalan Tol Belmera (Belawan-Medan-Tanjung Morawa) yang menghubungkan daerah bagian Selatan Kota Medan yaitu Tanjung Morawa dengan daerah bagian Utara Kota Medan yaitu Belawan yang dibangun memanjang pada daerah bagian Barat. Keberadaan Jalan Lingkar dan Jalan Tol ini sangat membantu dalam mengalihkan arus kendaraan menerus yang melalui pusat kota, sehingga mengurangi kepadatan volume lalu lintas dalam kota serta merangsang pertumbuhan daerah pinggiran kota. Untuk memperlancar arus lalu lintas dilakukan beberapa manajemen lalu lintas seperti jalan satu arah terutama pada daerah pusat kota yaitu pada Jalan Ahmad Yani, Jalan Balai Kota, Jalan Putri Hijau, Jalan Diponegoro, Jalan Imam Bonjol (sebagian), Jalan Kartini, Jalan Teuku Daud, Jalan Kapten Maulana Lubis, Jalan MT Haryono, Jalan Gajah Mada (sebagian), Jalan Zainul Arifin, Jalan Sutoyo, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan HM. Yamin, Jalan Thamrin, Jalan Merbabu, Jalan Sutomo, Jalan Pandu, Jalan Cirebon, Jalan Gaharu, dan hampir seluruh jaringan jalan dalam wilayah pusat kota. Kota Medan memiliki jalan sepanjang 3.078,94 km dengan perincian sebagai berikut : Tabel 4.10. Panjang jalan (km) menurut kondisi di Kota Medan. Kondisi Baik Sedang Rusak

Penanggung Jawab Negara Provinsi Kab./Kota 140,70 33,40 2.980,30 15,80 20,10 40

Jumlah 3.154,30 15,80 20,10

Rusak Berat Tidak Diperinci Jumlah 56,86 Sumber : Kota Medan dalam Angka 2011

70,70

1,30 00,00 2.951,38

1,30 00,00 3.078,94

Tabel 4.11. Panjang jalan menurut jenis permukaan di Kota Medan. Penanggung Jawab Permukaan Negara Provinsi Kab./Kota Aspal 56,86 70,70 2.548,89 Kerikil Tanah 8,95 Tidak Diperinci 393,54 Jumlah 56,86 70,70 2.951,38 Jumlah 56,86 70,70 2.951,38 Sumber : Kota Medan dalam Angka 2011

Jumlah 2.676,45 8,95 393,54 3.078,94 3.078,94

4.1.7.2 Terminal Penumpang Terminal sebagai salah satu sarana pelayanan kepada masyarakat pemakai jasa angkutan umum dan merupakan awal pemberangkatan dan akhir perjalanan angkutan umum sekaligus tempat pergantian (interchange) moda transportasi sangat berperan dalam menentukan tingkat kinerja dari pelayanan angkutan umum dalam suatu kota. Pengaturan lokasi terminal bus ditentukan berdasarkan sifat dan syarat lokasi dari terminal. Untuk terminal bus angkutan komuter (Kota Medan ke kota-kota terdekat) lokasinya harus berada pada jalur utama, paling optimal pada wilayah transisi atau pinggiran (Terminal Terpadu Amplas, Terminal Terpadu Pinang Baris dan Terminal Tuntungan. Dimensi kendaraan (bus) yang besar menuntut pelayanan fungsi jaringan tingkat tinggi (arteri) dan mempunyai kemudahan pencapaian (accessibility) yang mempunyai paling banyak jalur alternatif ke luar kota. 41

Kota Medan telah menyediakan 5 (lima) buah terminal dengan kelas pelayanan seperti Tabel 4.12, antara lain : 1.

Terminal Terpadu Amplas, di wilayah Selatan memiliki kapasitas sebesar 80 unit bus dan 160 unit mobil penumpang umum dengan luas sebesar 26.580 m².

2.

Terminal Pinang Baris, di wilayah barat memiliki kapasitas sebesar 60 unti bus, dan 120 unit mobil penumpang umum dengan luas 19.940 m².

3.

Terminal Sambu, di pusat kota berkapasitas sebesar 200 unit mobil penumpang umum dengan luas 3.000 m².

4.

Terminal Veteran, di pusat kota berkapasitas sebesar 20 unit bus dan 60 unit mobil penumpang umum dengan luas 2.600 m².

5.

Terminal Belawan, di wilayah Utara memiliki kapasitas sebesar 24 unit bus dengan luas 1.080 m². Tabel 4.12. Terminal di Kota Medan

No

Terminal

Kelas Pelayanan Melayani angkutan umum untuk antar kota antar provinsi 1 Amplas (AKAP), angkutan antar kota dalam provinsi (AKDP), angkutan kota dari wilayah Timur/Selatan ke Kota Medan. 2 Pinang Melayani angkutan umum untuk angkutan antar kota dalam Baris provinsi (AKDP), angkutan kota dari wilayah Barat/Selatan ke Kota Medan. 3 Sambu Melayani kendaraan umum (mobil penumpang) dalam Kota Medan ke inti kota. 4 Veteran Melayani kendaraan umum (mobil bus) dalam Kota Medan yang menuju inti kota. 5 Belawan Melayani kendaraan umum (mobil bus) dalam Kota Medan yang menuju inti kota (Belawan – Medan). Sumber : Dinas Perhubungan Kota Medan, 2007

42

4.2 Profil Responden 4.2.1 Klasifikasi jenis supir Sebagian besar jenis atau kategori supir yang diteliti dalam penelitian ini adalah supir tetap (66 %) diikuti kemudian supir tembak (19 %) dan yang terakhir supir sekaligus pemilik (15 %). Ini merupakan konsekuensi logis karena memang sebagian besar supir (35 %) yang diteliti merupakan supir KPUM. Karena memang armada KPUM senantiasa menetapkan regulasi yang ketat dalam menetapkan supir di dalam armadanya, yakni dengan memberikan Kartu Pengenal Supir bagi setiap supir yang mengemudi dan menyimpan data dasar supir di kantor. Ini diperkuat lagi, karena Armada KPUM mewajibkan supir membayar setoran untuk STM (Rp 5.000 per hari) yang dikelola supir secara independen. Dengan demikian, KPUM jarang sekali atau tidak pernah mempekerjakan supir tembak, sebagaimana terjadi di armada yang lain. Kategori supir di armada ini biasanya adalah supir satu atau supir dua, yang semuanya terdaftar resmi di kantor dan wajib membayar setoran. Grafik 4.1. Kategori / Jenis Supir

43

Supir Sekaligus Pemilik 15%

Supir Tembak 19% Supir Tetap 66%

Temuan observasi dan wawancara mendalam mengungkapkan, bahwa secara umum, supir sekaligus pemilik yang biasanya relatif lebih taat mengikuti peraturan lalu lintas karena mereka tidak terlalu ditekan untuk mengejar setoran. Di samping itu, mereka juga menjaga mobilnya agar tidak cepat rusak kalau dikemudikan sembrono untuk menjaga daya tahan suku cadang mobil yang harganya terus melonjak di tengah menurunnya jumlah penumpang.

Selanjutnya, kategori supir tembak (supir cadangan) kerap kali dianggap kurang mematuhi peraturan lalu lintas. Supir tembak ini, selama proses wawancara mendalam di kalangan supir dan mondor, memiliki beberapa sebutan lain seperti supir raun (memutar), supir kain lap atau supir door-smeer, dan supir pocokan. Supir raun adalah supir yang mengambil alih kemudi angkot begitu tiba di pangkalan untuk mencari sewa di sekitar pangkalan. Sedangkan supir kain lap adalah supir-supir yang biasanya masih relatif muda dan biasanya bekerja di tempat pencucian mobil (door-smeer) sebelumnya untuk mencuci dan melap angkutan kota. Karena di tempat 44

pencucian mobil biasanya mereka ikut memajukan dan memundurkan angkutan kota, lambat laun mereka menjadi supir dengan mengurus SIM tembak (SIM yang diurus melalui calo). Kategori supir kain lap yang masih muda dan mengurus SIM tembak inilah yang cenderung mengemudi di luar aturan-aturan lalu lintas. Ini terbukti suatu ketika peneliti menaiki angkutan kota dari Simpang Selayang menuju Marelan. Sang supir, bermarga Simangunsong mengemudikan kendaraannya ugal-ugalan sepanjang perjalanan. Pria berusia 20 tahun yang tidak menyelesaikan pendidikan sampai SMP ini malah ‘memuntahkan’ katakata kotor kepada supir angkutan kota lain, ketika dia menaikkan penumpang di Jambur Namaken (Jalan Jamin Ginting) dan mengajak berduel dengan sang supir. Saling kejar dan saling potong sambil zig-zag dari lajur kiri-dan kanan ditambah suara klakson yang tiada henti terjadi mulai dari Jambur Namaken sampai ke Sumber USU. Ibu-ibu penumpang di bangku belakang bahkan berteriak sambil memohon, agar sang supir jangan terlalu nekat, tapi sang supir tak peduli dan mengatakan, “Armada ini (menyebut salah satu merek armada) memang selalu cemburu kalau kita menaikkan penumpang. Walaupun Padang Bulan ini ‘dimerahkannya” (maksudnya cat armada yang disebutnya) dan mobilnya banyak, tak bisa sesuka hatinya” ujar si supir dengan nada memaki. Kekacauan belum berhenti, tatkala si supir ‘mengoceh’ lagi dengan pengendara sepeda motor perempuan yang kebetulan menjemput anak sekolah. Persis lewat Simpang Kampus, sang supir memaki si pengendara motor dengan kata-kata “Hai perempuan bodoh” sambil merapatkan angkutan kotanya ke samping pengendara motor. Supir yang lima tahun menjadi kenek 45

(kondektur) Borneo ini saling kejar dan saling potong. Bahkan di perlimaan lampu merah Iskandar Muda dan Monginsidi, nyaris saja angkutan kota ini menubruk perempuan yang mengendarai sepeda motor tadi dari belakang. Peneliti yang tadi hanya diam mengobservasi akhirnya mengingatkan sang sopir agar lebih lambat dan hati-hati. Apalagi mengingat di boncengan sepeda motor itu ada anak perempuan yang masih berseragam TK. Tapi sang supir menjawab, “Dia yang mancing-mancing. Masak di depan kita ia ngegas keretanya. Ngajak balap dia itu. Perempuan seperti apa itu,” gerutu supir yang berasal dari Sidikalang ini. Saling adu kejar dan potong ini baru berakhir di Jalan Gajah Mada, karena angkutan kota ini memutar ke kiri ke arah sekolah Raksana, sementara pengendara motor terus melaju lurus ke ujung jalan Gajah Mada. Kendala dalam menertiban supir ini menurut para direksi armada disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pergantian supir dalam satu angkutan kota sangat tinggi. Kalau manajemen direksi armada menetapkan aturan yang ketat, belum tentu si pemilik angkutan kota setuju. Karena pemilik angkutan kota kadang kurang peduli dengan perilaku supir mengemudi, yang penting setoran disetor rutin setiap hari. Pergantian supir ini semakin tinggi, karena memang jumlah angkutan kota banyak dan profesi supir itu adalah profesi sampingan, yang akan mudah ditinggalkan ketika ada tawaran pekerjaan yang lebih menjanjikan. Kedua, mental supir yang cenderung ‘ngakali’ pemilik angkutan kota. Seorang informan menuturkan cerita menarik terkait perilaku ini. Ia mengisahkan, otak supir itu ibarat putaran ban angkutan kota itu sendiri. Supir itulah yang memutar otak untuk ‘ngolah’ pemilik angkutan kota. Otak si supir 46

senantiasa berputar ‘ngakali’ si pemilik. Pada hal tertentu sang supir itu sesungguhnya yang menjadi toke pertama. Kenapa? Karena begitu si supir membawa angkutan kota ke pangkalan dia sudah disediakan teh susu, rokok, dan sarapannya oleh pemilik warung di pangkalan, sementara si pemilik angkutan kota belum dapat apa-apa. Karena itu, si supir disebut sebagai toke pertama. Begitu juga kalau dia pulang ke rumah, dia lebih dulu memikirkan uang yang akan dibawanya pulang, bukan setoran kepada pemilik. Ambil misal, kalau gajinya biasanya Rp 60 ribu, sementara setoran Rp 80 ribu. Kalau gajinya belum cukup, setoran yang dikurangi. Padahal kalau ada kerusakan sedikit pun tidak menjadi tanggungan supir. Beda dengan supir dulu. Supir dulu lebih memikirkan setoran dulu kepada pemilik. Bahkan sering memberi lebih dari setoran yang telah ditetapkan. Jarang memberi setoran ‘belah jengkol’ (bagi dua secara merata antara pendapatan supir dan setoran yang harus diberikan kepada pemilik angkutan kota). Begitu juga kalau mobil rusak, supir kadang malah bertingkah. Ketika angkutan kota telah diperbaiki dan siap jalan, si supir malah tidak masuk. Mobil sehat, supir sakit. Direksi armada ini mengaku, memiliki mobil tiga tapi tidak pernah jalan semua karena ada saja supir yang tidak masuk. “Kita pecat supir yang tidak masuk, datang lagi supir yang lebih buruk” tuturnya dengan nada kesal.

47

4.2.2. Lama Kerja Supir Grafik 4.2. Lama Kerja Supir

Di atas 20 tahun 15%

Di bawah 5 tahun 23%

16 – 19 tahun 7%

11 – 15 tahun 20% 5 – 10 tahun 35%

Dilihat dari lama bekerja, sebagian besar (35 %) bekerja antara 5-10 tahun, disusul masa kerja di bawah 5 tahun (23 %) dan masa kerja 11-15 tahun (20 %). Hanya 14 % yang bekerja di atas 20 tahun. Lama bekerja ini merefleksikan beberapa asumsi. Pertama, sebagian besar supir masih baru bekerja dan diasumsikan angkatan kerja berusia muda. Usia muda ini juga diperkirakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perilaku supir yang kurang taat berlalu lintas. Kedua, masa kerja antara 11-15 tahun dan di atas 20 tahun kalau digabungkan mencapai sekitar 34 % mengasumsikan bahwa pekerjaan supir sekarang ini bukan lagi profesi yang menjanjikan seperti supirsupir dulu. Dalam artian lain, profesi supir bisa saja ditinggalkan kalau ada pekerjaan yang lebih menjanjikan. Ini dibuktikan saat wawancara di kalangan supir dan direksi armada. Seorang supir mengatakan, nasib supir sekarang ini tak lebih ibarat budak karena harus bekerja dari pagi sampai malam, tapi kadang tetap juga kurang 48

setoran. Ini yang membuat supir kurang taat berlalu lintas karena semata untuk mengejar setoran dan mencari sekaligus menambah penghasilan. Menurut supir yang kadang berprofesi sebagai supir truk lintas Sumatra ini, ia kadang mengemudikan truk ke Jakarta membawa jeruk, karena penghasilannya lebih baik. Dalam seminggu pulang pergi Medan-Jakarta, ia bisa menghasilkan Rp 1 juta. Ia menyerahkan kepada istrinya Rp 800.000 dan Rp 200.000 lagi digunakan untuk uang jalannya. Dengan nada putus asa, ia melanjutkan, kalau pekerjaan supir sekarang tidak menjanjikan lagi dan hanya bisa hidup bertahan ala kadarnya. Ini diperkuat lagi lewat pengakuan seorang direksi salah satu armada, yang sebelumnya pernah bekerja sebagai supir di Jakarta dulu semasa kepemimpinan Ali Sadikin. Mantan supir yang mengemudikan bus Saudaranta pada 1973 di Jakarta ini menuturkan sekaligus membandingkan, penghasilana supir dulu sangat menjanjikan dan masih terpandang. Hanya bekerja sehari bisa membeli 2-3 meter tanah di Jakarta. Karena itu, dulu profesi supir masih diminati dan dianggap terpandang. Bahkan untuk menjadi supir dulu relatif sulit. Sebelum menjadi supir harus menjadi cincu (kernek), ngelap ban mobil sampai mengkilap, bahkan kadang-kadang harus mencuci pakaian supir. Ironisnya sekarang, profesi supir dianggap rendahan dan kurang menjanjikan. Menurut supir ini, menurunnya pendapatan supir sekarang salah satu faktornya adalah berlebihnya, baik plafon maupun trayek angkutan kota di Kota Medan (tanpa bisa menjelaskan ukuran kuantitatif kelebihannya ketika ditanya lebih lanjut). Kalau ijin diberikan, kan uang masuk bagi Dinas Perhubungan dan setoran untuk mandor akan berlipat. Bayangkan kalau ada 49

armada 7.000 unit dan setiap angkutan kota harus setor Rp 14.500, berapa per hari dan per bulannya? Kami supir ini yang jadi korbannya. 4.2.3. Jenis Kesatuan Armada Grafik 4.3. Kesatuan armada angkutan kota. Mekar Jaya Hikma 4% 0%

Povri 0% Medan Raya Express 9%

Lainnya 0% Gajah Mada 0%

Mars 6%

KPUM 35%

Morina 8% Desa Maju 6% Kobun 0% Medan Bus 11%

Rahayu 19%

Nasional 2%

Sebagian besar armada yang diteliti adalah KPUM (35 %), Rahayu (19 %), Medan Bus (11 %), Medan Raya Express (9 %), Morina (8 %), dan terakhir Desa Maju (6 %). Besaran ini juga pada tingkatan tertentu merefleksikan besaran armada angkutan kota di Kota Medan.

50

4.2.4. Keberlakuan Surat Ijin Mengemudi (SIM) Grafik 4.4. Keberlakuan Surat Izin Mengemudi (SIM).

Tidak 6%

Berlaku 94%

Sebagian besar responden (94 %) dalam mengemudikan angkutan kotanya memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang masih berlaku, hanya sebagian kecil (6 %) yang memiliki SIM yang tidak berlaku. Pengemudi dengan SIM yang tidak berlaku ini biasanya adalah jenis supir raun yang biasanya hanya mengemudikan angkutan kota di sekitar pangkalan-pangkalan kecil di pinggiran Kota Medan. Kendati sebagian besar supir masih memiliki SIM yang masih berlaku, namun sebagian (19 %) supir dalam mengurus SIM melalui calo (lihat Grafik di bawah). SIM tembak yang diperoleh dari calo ini pulalah yang kerap dilakukan supir-supir muda atau supir door-smeer karena mereka sebenarnya kadang belum memiliki kapasitas dalam mengemudikan angkutan umum, baik dari segi usia dan persyratan khusus seperti ujian teori dan praktik (lihat UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pasal 77).

51

4.2.5 Cara mengurus SIM Grafik 4.5. Cara memperoleh SIM

Calo 19%

Cara lain 0%

Resmi 81%

Selanjutnya, jika dilihat dari jenis SIM yang dimiliki supir, sebagian besar (44 %) adalah SIM A Umum (berlaku untuk mengemudikan kendaraan bermotor umum dan barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan tidak melebihi 3.500 kilogram; disusul 34 % SIM B1 Umum (berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang dan barang umum dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih dari 3.500 kilogram; dan 12 % SIM B Umum.

52

4.3 Pola perilaku mengemudi supir angkutan kota di Kota Medan 4.3.1 Pola antri berangkat dari stasiun Grafik 4.6. Antrian berangkat dari Stasiun

Tidak 24%

Ya 76%

Mayoritas (76 %) setiap armada menetapkan antrian setiap berangkat dari terminal/pangkalan menuju pangkalan berikutnya. Dalam hal ini, setiap armada menetapkan repass. Hanya sebagian kecil yang tidak menetapkan sistem repass ini dengan membiarkan supir untuk berangkat sesuka hati.

53

4.3.2 Pola Kepatuhan Antri Grafik 4.7. Kepatuhan Antri

Sangat sering 18%

Sering 9%

Tidak pernah 47%

Kadang-kadang 26%

Kendati peraturan antri ditetapkan, hanya sebagian (27 %) supir yang patuh (gabungan antara sangat sering dan sering) mengikuti antrian. Bahkan sebagian besar (47 %) tidak pernah mematuhi antrian dan sebagian lagi (26 %) kadang-kadang mematuhi antrian. Ini menunjukkan betapa sejak berangkat dari terminal atau pangkalan, sesungguhnya supir sudah kurang tertib dalam mengemudikan angkutan kotanya.

54

4.3.3 Pola keluar dari Stasiun Grafik 4.8. Perilaku Ngebut Keluar Stasiun Tidak pernah 4% Kadang-kadang 9%

Sangat sering 34%

Sering 53%

Perilaku kurang tertib supir juga tampak dari tindakan ngebut mereka begitu keluar dari stasiun. Lebih dari setengah (53 %) responden mengaku sering ngebut bahkan sebagian (34 %) mengaku sangat sering ngebut. Hanya sebagian kecil (9 %) yang menjawab kadang-kadang ngebut dan hanya sedikit sekali (4 %) yang tidak pernah ngebut begitu keluar dari terminal. Ini menunjukkan sekali lagi, betapa perilaku kurang tertib yakni dengan ngebut sudah menjadi perilaku setiap supir angkutan kota di Kota Medan. Ketika ditanya mengapa ngebut, sebagian besar supir mengatakan bahwa mereka harus adu cepat untuk memperebutkan penumpang, karena sebagian besar sepanjang jalan trayek baik antar maupun intra armada saling ‘tabrakan’ satu sama lain. Trayek tabrakan ini, yang disebut informan lain sebagai trayek ‘kamar mandi’, yakni trayek yang dibicarakan dan diputuskan di luar prosedur, antara petugas Dinas Perhubungan Kota Medan dengan Direksi armada tertentu 55

sekaligus penyalur mobil. Trayek kamar mandi ini bahkan kadang bisa menghasilkan trayek yang menghubungkan antar kota seperti Kota Binjadi dan Kota Medan yang dimiliki oleh armada tertentu. Trayek jenis ini yang disinyalir informan ini kemudian membuat kelebihan armada di sebagian trayek dan sekaligus menyingkirkan armada yang lebih kecil. Namun ‘tabrakan’ trayek dan trayek ‘kamar mandi’ ini dibantah informan yang lain. Tidak ada tabrakan trayek, yang ada ada adalah trayek ‘bersinggungan.’ Trayek bersinggungan ini terjadi karena semua angkutan kota memang berangkat awal (start) dari terminal yang sama. Misalnya, trayek dari Amplas pasti bersinggungan di Jalan Sisingamangaraja. Karena nyatanya pada trayek tersebut, memang itu satu-satunya jalan. Jadi persinggungan trayek itu mungkin terjadi. Persinggungan ini lebih mungkin karena armada yang lain membuka trayek yang sudah dilalui armada yang lain. Ini dimungkinkan karena armada tertentu merasa trayek ini adalah yang utama sehingga memulai trayek baru di trayek yang sudah dilalui armada yang lain. Ini terjadi karena setelah mengantongi ijin trayek baru, belum tentu langsung mengoperasikan semua ijin trayek tersebut, tapi membuka trayek secara bertahap dan membuka trayek yang lebih menguntungkan dulu, yang mungkin belum dilalui oleh armada yang lain. Mitra dan Rahayu misalnya memiliki 5 ijin trayek, tapi memulai operasinya berbeda. Rahayu membuka trayek pertama dari trayek x menuju y, sementara Nitra mulai trayek dari A menuju B. Kemudian Rahayu akan membuka trayek baru lagi dari A menuju B, ini yang sering disebut timpa menimpa. Padahal sebetulnya tidak. Trayek dikatakan tumpang tindih, jika dari mulai berangkat sampai ke 56

tujuan akhir melalui jalur jalan yang sama. Jalur Medan-Siantar misalnya, bisa dilalui 5 merek seperti Intra, Sentosa, dan lain-lain. Begitu juga trayek Medan Kabanjahe yang awal titik berangkat dan tujuan akhirnya sama yang dilalui beberapa merek seperti Sinabung Jaya, Borneo, Sutra, dan Murni Exspress. 4.3.4 Pola Perilaku mencari Penumpang Grafik 4.9. Perilaku Ngebut mencari Penumpang

Tidak pernah 5%

Sangat sering 23%

Kadang-kadang 15%

Sering 57%

Perilaku ngebut dalam mencari penumpang juga diakui sebagian besar responden (80 %) yakni 23 % mengaku sangat sering ngebut dan 57 % sering ngebut. Hanya sebagian (15 %) yang menjawab kadang-kadang ngebut dan hanya sebagian kecil (5 %) yang tidak pernah ngebut. Perilaku ngebut ini disebabkan terutama oleh dua faktor utama. Pertama, sebagaimana dijelaskan terdahulu, yakni trayek yang ‘bersinggungan’ baik antar maupun intra armada. Kedua, menurunnya jumlah penumpang. Menurunya jumlah penumpang ini, menurut responden baik dari kalangan supir maupun direksi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah hand phone (HP). Kalau dulu, sebelum masyarakat mengenal HP, maka 57

kemungkinan besar orang akan menggunakan jasa angkutan kota, misalnya dalam mengantarkan undangan nikah. Tapi seiring dengan meningkatnya penggunaan HP, setiap orang mengurangi mobilitasnya karena cukup dengan bertelepon atau mengirim SMS kalau mau memberi kabar. Faktor kedua adalah sepeda motor. Kemudahan memiliki sepeda motor dengan kredit mudah dan bunga kredit yang rendah, mendorong setiap keluarga memiliki sepeda motor. Satu sepeda motor bisa digunakan satu keluarga dan bisa melakukan perjalanan dengan cepat di jalan raya dan memasuki gang-gang kecil di permukiman padat. Penggunaan sepeda motor sangat ekonomis dan praktis. Bila seseorang misalnya mengeluarkan uang transport Rp 15.000 per hari maka sebulan ia menghabiskan Rp 450.000. Dengan kalkulasi demikian, akan lebih menguntungkan membeli sepeda motor baru dengan kredit Rp 500.000 per bulan dengan uang muka bervariasi mulai dari Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000. Faktor ketiga adalah kehadiran betor (beca bermotor) yang kadang ‘dibiarkan’ berkeliaran memasuki jalur perkotaan tanpa sanksi yang tegas. Padahal, dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab X Bagian Kesatu Angkutan Orang dan Barang Pasal 141 tentang Standar Pelayanan Angkutan Orang disebutkan, bahwa setiap Angkutan Orang harus memenuhi standar pelayanan minimal seperti keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. Faktanya, betor ini sesungguhnya belum memenuhi persyaratan teknis dan kelaikan jalan. Tapi penumpang tetap meminati moda transportasi ini karena di samping tarifnya murah dan bisa mengangkut beberapa orang, juga praktis karena bisa mengantar sampai ke depan rumah penumpang. 58

Faktor

keempat,

yakni

menjamurnya

angkutan

umum

dengan

menggunakan mobil pribadi (plat hitam). Ketua Organda Kota Medan, Montgomery, bahkan mengancam melakukan mogok massal di kalangan armada angkutan kota jika armada plat hitam dan terminal liar atau terminal bayangan di sepanjang jalan Sisingamangaraja dan Jamin Ginting tidak ditertibkan. Dampak beroperasinya armada dan terminal bayangan ini, penurunan jumlah penumpang angkutan kota selama menjelang dan pasca lebaran barusan semakin menurun. Sebab, keberadaan pangkalan liar itu menyebabkan supir angkutan umum yang tergabung dalam Organda saat ini resah dan menjerit. Penghasilan mereka drastis jauh berkurang akibat keberadaan pangkalan liar ini. Tidak hanya penumpang Angkutan Kota Antar Propinsi (AKAP) dan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP), angkutan dalam kota juga diserobot oleh angkutanangkutan plat hitam. Diungkapkan Munthe, kondisi ini sudah berlarut-larut tanpa ada tindakan tegas. Karenanya, seluruh pengemudi angkutan umum resmi yang berada di bawah naungan Organda sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi. “Jika dalam waktu sebulan ini tidak dilakukan penertiban, maka seluruh pengemudi AKAP, AKDP dan angkutan kota sepakat menghentikan operasi selama 7 hari. Sebab, ini sudah menyangkut masalah perut,” tegas Munthe. Penegasan senada disampaikan Sekretaris DPC Organda Medan, M. Ambarita, seluruh pengemudi angkutan umum saat ini menjerit akibat terminal tidak digunakan lagi sebagai tempat transit akibat adanya pangkalan liar. Yang menggunakan terminal hanya pengemudi angkutan resmi, sedangkan pengemudi angkutan plat hitam milik pangkalan liar tidak pernah 59

menggunakannya sama sekali. “Untuk itu kami minta jadikan terminal sebagai tempat transit dan trotoar sebagai tempat pejalan kaki,” tegasnya (Waspada, 10 September 2012). Faktor terakhir adalah kenaikan ongkos. Dulu orang dengan ringan hati membayar ongkos dengan Rp 1.000. Di sisi lain, dulu supir masih senang menerima ongkos sebesar ini, tapi kalau sekarang dibayar begitu mata supirnya akan mendelik. Sementara bagi ibu-ibu, jumlah uang Rp 2.000 cukup berarti untuk uang jajan anak-anak, sehingga untuk jarak-jarak dekat tertentu (misalnya dari Sumber-Pajak Sore) ibu-ibu memilih jalan kaki daripada naik angkutan kota. 4.3.5 Perilaku mengemudi dengan angkutan kota lain Grafik 4.10. Perilaku Ngebut dengan angkutan kota lain

Tidak pernah 17%

Sangat sering 5%

Sering 31%

Kadang-kadang 47%

Perilaku ngebut di kalangan supir angkutan kota juga terjadi ketika mereka sedang di jalan. Sebagian supir (36 %) mengaku sangat sering dan sering ngebut sesama mereka dan hampir separuh (47 %) kadang-kadang 60

ngebut dan hanya sebagian kecil (17 %) yang tidak pernah ngebut. Ini sekali lagi mencerminkan perilaku kurang tertib berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota Medan cukup tinggi. Kendati ngebut ini lebih dikarenakan faktor eksternal (seperti trayek yang tabrakan atau bersinggungan dan penurunan jumlah penumpang), bukan faktor internal seperti pendidikan, agama, suku, dan pengalaman, tetap harus diupayakan pembenahannya secara komprehensif oleh pemangku kepentingan di sektor transportasi umum. 4.3.6 Pola mengemudi dengan Pesepeda Grafik 4.11. Perilaku supir terhadap pesepeda

Sa nga t menguta ma ka n 2%

Ti da k menguta ma ka n sa ma s eka l i 28%

Menguta ma ka n 10%

Kura ng menguta ma ka n 60%

Perilaku kurang tertib berlalu lintas ini juga kelihatan saat supir memperlakukan pengguna jalan lain seperti orang yang bersepeda. Hak pesepeda, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 dalam pasal 131 ayat 2, berhak 61

mendapat prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Namun sebagaimana terungkap dalam penelitian ini hanya sekitar 12 % (gabungan

yang

sangat

mengutamakan

dan

mengutamakan)

yang

mengutamakan pesepeda. Lebih dari separuh (60 %) supir kurang mengutamakan dan lebih seperempat (28 %) yang sama sekali tidak mengutamakan pesepeda. Kondisi perlalulintasan ini mencerminkan bahwa badan jalan pada tingkatan tertentu telah menjadi arena pertarungan antara yang ‘kuat’ dan yang ‘lemah.’ Mobil pribadi dan angkutan kota ‘menggusur’ pengguna sepeda motor, sepeda motor selanjutnya ‘menggusur’ pesepeda dan pejalan kaki. Ini tampak dari trotoar yang mestinya digunakan oleh pejalan kaki malah dilalui pengendara sepeda motor. 4.3.7 Pola menyalip dari Kiri Grafik 4.12. Perilaku menyalip dari jalur kiri Sangat sering 2% Sering 15%

Tidak pernah 31%

Kadang-kadang 52%

Dalam hal mendahului kendaraan di depan dari jalur kiri, yang semestinya tidak dibenarkan kecuali untuk kondisi tertentu, memang hanya 17 62

% supir yang melakukannya. Namun bila digabungkan dengan yang kadangkadang menyalip dari jalur kiri yang mencapai 52 %, maka perilaku menyalip dari jalur kiri ini juga relatif tinggi. Dengan kata lain, perilaku berlalu lintas di kalangan supir kurang tertib. Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan jalan pasal 109, pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan melewati Kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan dari Kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup. Dalam keadaan tertentu, pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan lajur Jalan sebelah kiri dengan tetap memperhatikan Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jika kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati kendaraan tersebut.

63

4.3.8 Pola mengemudi saat pindah Jalur Grafik 4.13. Memberi isyarat saat berpindah jalur Sangat sering 4% Sering 12%

Tidak pernah 36%

Kadang-kadang 48%

Bahkan ketika pindah jalur, hanya 16 % (sangat sering dan sering) memberikan isyarat. Hampir setengah (48 %) kadang-kadang memberi isyarat bahkan sebagian (36 %) mengaku tidak memberi lampu isyarat saat mau berpindah jalur. Ini lagi-lagi mencerminkan kurang tertibnya perilaku berlalu lintas di kalangan supir angkutan kota di Kota Medan. Bahkan dalam wawancara seorang supir mengatakan, menyalip dari jalur kiri dan tanpa lampu isyarat itu belum cukup. Kalau bisa dan perlu, mobilnya diterbangkan untuk mendahului kenderaan yang ada di depan untuk mencari penumpang. Lebih jauh lagi, baik supir maupun direksi armada mengatakan baik supir angkutan kota maupun mobil pribadi sama saja perilaku mengemudinya. Supir dan direksi ini juga menyangkal kalau biang kemacetan dituduhkan kepada supir angkutan kota yang kurang tertib. Menurut mereka, kemacetan lalu lintas justru disebabkan parkir yang berlapis, pelajar yang memarkirkan mobilnya di badan jalan, pedagang kagetan atau kaki lima, dan meningkatnya 64

jumlah mobil pribadi. Hasil studi Bank Dunia tahun 1994 menyebutkan akibat pencemaran udara dari sumber bergerak di kota-kota di Indonesia telah membawa dampak kerugian ekonomi dan dampak kesehatan. Saat itu, diperkirakan kerugian ekonomi di Jakarta saja sudah mencapai Rp. 500 milyar. Angka tersebut diperoleh dengan perhitungan terjadinya 1.200 kematian prematur, 32 juta masalah pernapasan, dan 464.000 kasus asthma (Republika 20 Juni 2012). Pusat Penelitian Ekonomi LIPI memaparkan bahwa masyarakat menderita kerugian sosial akibat kemacetan sebesar lebih dari Rp 17,2 triliun per tahun akibat biaya pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan terutama bahan bakar. Bahkan pada perhitungan lain memperkirakan kerugian dari kemacetan lalu lintas ini mencapai Rp 43 triliun. Tidak hanya itu, kemacetan juga dapat berdampak pada menurunnya produktivitas ekonomi kota dan merosotnya kualitas hidup warga kota. Selain dampak ekonomi dan sosial, kemacetan juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan di DKI Jakarta.

65

4.3.9 Pola mengemudi melewati objek tertentu Grafik 4.14. Perilaku supir melewati objek tertentu

Tidak pernah 24%

Sangat sering 6% Sering 23%

Kadang-kadang 47%

Tampaknya, perilaku berlalu lintas yang tertib sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan masih jauh dari harapan. Hanya sebagian supir (29 %) supir yang memperlambat laju angkutan kotanya, saat melewati objek tertentu seperti pejalan kaki, lintasan rel kereta api dan genangan air (sesuai dengan UndangUndang Lalu Lintas Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 116 ayat 2). Hampir separuh (47 %) responden hanya kadang-kadang yang memperlambat laju kenderaannya. Bahkan hampir seperempat responden (24 %) tidak pernah memperlambat.

66

4.3.10 Perilaku supir saat Berhenti Darurat Grafik 4.15. Perilaku memasang segi tiga pengaman

Sangat sering 10%

Tidak pernah 20%

Sering 15%

Kadang-kadang 55%

Bahkan saat berhenti darurat pun hanya seperempat (25 %) supir yang sangat sering dan sering memasang segi tiga pengaman (apakah meletakkan daun-daun, roda angkutan kota, atau segi tiga pengaman). Hanya lebih dari separuh (55 %) yang kadang-kadang memasang segi tiga pengaman, dan ironisnya lagi bahkan sebagian (20 %) supir tidak memasang segi tiga pengaman dalam keadaan berhenti darurat. Bisa dibayangkan, dalam keadaan darurat saja, para pengemudi angkutan kota ini masih kurang hirau dengan keselamatan orang lain, termasuk keselamatan dirinya sendiri termasuk angkutan kota yang dikemudikannya. 4.3.11 Perilaku supir mengangkut Penumpang Pelajar Kendati begitu, tidak dalam semua hal supir angkutan kota kurang tertib. Dalam hal memprioritaskan pelajar di saat penumpang penuh, sebagian besar supir (62 %) tetap mengutamakan kalangan pelajar ini. Hanya sebagian (29 %) yang kadang-kadang mengutamakan dan hanya sedikit supir (9 %) yang tidak 67

pernah mengutamakannya. Ini tentu patut dihargai, karena meski tarif ongkos pelajar lebih rendah, mereka tetap mengutamakannya. Terkait kondisi ini, seorang direksi mengatakan, bahwa angkutan kota sebenarnya telah memberikan ‘subsidi’ ke sektor pendidikan (kepada anak-anak sekolah) padahal mereka tidak pernah mendapat subsidi suku cadang bahkan subsidi minyak. Subsidi minyak tidak pernah diperoleh angkutan kota, dengan alasan harga minyak yang mereka bayarkan sama dengan harga minyak mobil pribadi. Grafik 4.16. Perilaku supir terhadap penumpang pelajar

Tidak pernah 9%

Sangat sering 11%

Kadang-kadang 29%

Sering 51%

4.3.12 Perilaku supir memungut ongkos saat mengoper penumpang Begitu juga dalam hal meminta ongkos saat ‘mengoper’ (mengalihkan) penumpang ke angkutan kota lain saat angkutan kotanya mengalami kerusakan misalnya, sebagian besar supir tidak pernah melakukannya. Ini tentu perilaku yang tertib, sebagaimana diharuskan dalam tata tertib berlalu lintas. Karena kendati supir mungkin sudah hampir di tujuan tapi tanpa diduga mengalami kendala, apakah rusak atau kena tilang si supir tidak memungut ongkos dari para penumpang. Bahkan menurut pengakuan seorang supir, kadang-kadang 68

malah penumpang yang membayar ongkos tanpa diminta karena merasa iba melihat si supir. Grafik 4.17. Perilaku supir memungut ongkos ketika mengoper penumpang Sangat seri ng 1% Sering 5% Kadang-kadang 17%

Ti dak pernah 77%

4.4. Pengaruh Pendidikan Terhadap Perilaku Mengemudi Berdasarkan perhitungan yang dilakukan melalui aplikasi SPSS R.15 diperoleh hasil korelasi sebagaimana tercantum pada tabel di bawah berikut ini.

69

Tabel 4.13. Korelasi Variabel Pendidikan dan Perilaku Mengemudi. Correlations PS PS

Pend

Et

LK

Kes

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

1 300 ,003 ,952 300 ,146* ,012 300 ,208** ,000 300 ,204** ,000 300

Pend ,003 ,952 300 1 300 ,272** ,000 300 -,023 ,696 300 ,046 ,424 300

Et ,146* ,012 300 ,272** ,000 300 1 300 ,115* ,047 300 ,233** ,000 300

LK ,208** ,000 300 -,023 ,696 300 ,115* ,047 300 1 300 -,001 ,989 300

Kes ,204** ,000 300 ,046 ,424 300 ,233** ,000 300 -,001 ,989 300 1 300

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hasil di atas menunjukkan bahwa koefisien korelasi antara variabel pendidikan dengan perilaku supir adalah 0,003. Ini memperlihatkan rendahnya korelasi atau asosiasi antara variabel pendidikan dengan perilaku supir. Asosiasi tersebut juga bahkan tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan statistik korelasi, tidak ada hubungan antara pendidikan dengan perilaku supir dalam berlalulintas di jalan raya. Dengan kata lain, level pendidikan apa pun yang dimiliki seorang supir tidak mempengaruhi tertib tidaknya mereka dalam mengemudi. Perilaku mengemudi yang kurang tertib di kalangan supir, sebagaimana tampak dalam pola-pola perilaku mengemudi lebih disebabkan oleh tekanan struktural eksternal yang ada dalam diri seorang supir, seperti target kejar setoran, tumpang tindih trayek dan menurunnya jumlah penumpang. Perilaku kurang 70

tertib ini semakin terbentuk, karena dalam keseharian mengemudi, setiap supir ‘dipaksa’ untuk tidak tertib agar mereka bisa bertahan menjadi supir angkutan kota. Sebagian besar (60 %) supir yang diteliti dalam penelitian ini tingkat pendidikannya pada level menengah atas (tamat atau tidak tamat SMA) disusul kemudian seperempat (25 %) tingkat menengah pertama (tamat atau tidak tamat SMP) dan yang terakhir sebagian kecil (6 %) hanya pada tingkat pendidikan dasar (tamat atau tidak tamat SD). Grafik 4.18. Tingkat pendidikan supir angkutan kota.

Tidak sekolah 1% Tamat atau tidak tamat SD 6%

Tamat atau tidak tamat Sarjana 3% Tamat atau tidak tamat Sarjana Muda/Diploma 5%

Tamat atau tidak tamat SMP 25% Tamat atau tidak tamat SMA 60%

Level pendidikan responden ini menunjukkan profesi supir memang hanya diminati angkatan kerja dengan pendidikan menengah atas ke bawah karena profesi ini dianggap kurang menjanjikan bahkan sering dianggap hanya pekerjaan sampingan. Dengan kata lain, kondisi pendidikan demikian, memperlihatkan kemampuan angkatan kerja supir dan implikasinya terhadap 71

baik terhadap pendapatan yang diperoleh dan kesetiaan kepada pilihan pekerjaan.

Tingkat pendidikan menengah atas dan pertama yang dimiliki responden dalam penelitian ini diasumsikan pula yang memengaruhi perilaku mereka yang kurang tertib di jalanan. Meski bukan jaminan pula kalau pendidikan yang lebih tinggi (diploma atau sarjana) akan membuat mereka lebih tertib berlalu lintas. Melalui kuesioner diperoleh informasi menyangkut kebiasaan membaca para supir angkutan kota di Kota Medan. Kebiasaan membaca ini merupakan indikator lain yang menunjukkan dimensi wawasan para supir terkait dengan variabel pendidikan. Gambaran tentang kebiasaan membaca yang dimaksud termuat pada grafik berikut ini. Grafik 4.19. Kebiasaan membaca supir angkutan kota.

Tidak pernah 4%

Sangat sering 18%

Kadang-kadang 27%

Sering 51%

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa 51 % dan 18 % responden menyatakan sering dan sangat sering membaca buku. Gambaran ini menunjukkan bahwa mereka memiliki tingkat literasi yang baik yang sekaligus 72

memberikan gambaran bahwa mereka bukanlah kelompok yang buta perkembangan atau buta informasi. Kebiasaan membaca sudah tentu memberikan kesempatan bagi mereka untuk senantiasa memperoleh informasi baru berbagai perkembangan dalam kehidupan. Peluang mereka untuk senantiasa memperoleh tambahan pengetahuan tidak hanya dari kegiatan membaca buku. Kegiatan lain yang juga relatif dapat memberikan tambahan pengetahuan adalah membaca koran. Namun berdasarkan hasil penelitian ini, ternyata kebiasaan membaca koran tidak begitu meluas di kalangan supir. Grafik 4.20. Kebiasaan membaca koran supir angkutan kota.

Tidak pernah 18%

Sangat sering 1% Sering 18%

Kadang-kadang 63%

Berdasarkan grafik di atas ternyata sebagian besar yakni 63 % dan 18 % responden menyatakan kadang-kadang dan tidak pernah membaca koran. Angka ini sebenarnya agak mengejutkan melihat bahwa di setiap pangkalan perhentian angkutan kota terdapat warung kopi yang sekaligus menyediakan koran bacaan. Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar mereka ternyata mengisi waktu di saat berhenti istirahat di kedai dengan mengobrol 73

sesama teman. Koran ternyata hanya disentuh sebagian kecil yang kebetulan tidak ngobrol. Sementara itu, dilihat dari aktivitas menonton TV yang juga dianggap dapat menambah pengetahuan, ternyata sebagian besar yakni 52 % dan 22 % hanya kadang-kadang dan tidak pernah menonton TV. Grafik 4.21. Kebiasaan menonton TV supir angkutan kota.

Tidak pernah 22%

Sangat sering 0%

Sering 26%

Kadang-kadang 52%

Berdasarkan wawancara, diperoleh informasi bahwa sepulang “narik” (beroperasi) mereka kebanyakan telah lelah secara fisik. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak berminat lagi menonton TV, lebih memilih sesegera mungkin istirahat, dengan pengecualian jika terdapat acara yang menarik seperti pertandingan sepak bola klub kesayangan, acara semi final atau final kompetisi liga sepak bola atau acara lainnya. 4.5. Hubungan Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi. Sementara itu koefisien korelasi antara keeratan pada adat dengan perilaku adalah 0,146. Sebagaimana digambarkan dengan simbol bintang (*), maka angka ini signifikan pada tingkat kepercayaan 95 %. Hal ini menunjukkan 74

bahwa hubungan antara keeratan pada nilai adat-istiadat dengan perilaku supir ternyata signifikan, sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.14. Korelasi Variabel Etnis dan Perilaku Mengemudi Correlations PS PS

Pend

Et

LK

Kes

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N

1 300 ,003 ,952 300 ,146* ,012 300 ,208** ,000 300 ,204** ,000 300

Pend ,003 ,952 300 1 300 ,272** ,000 300 -,023 ,696 300 ,046 ,424 300

Et ,146* ,012 300 ,272** ,000 300 1 300 ,115* ,047 300 ,233** ,000 300

LK ,208** ,000 300 -,023 ,696 300 ,115* ,047 300 1 300 -,001 ,989 300

Kes ,204** ,000 300 ,046 ,424 300 ,233** ,000 300 -,001 ,989 300 1 300

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Hal ini tidak berarti bahwa etnis tertentu lebih sopan dari etnis yang lain, melainkan keeratan seorang supir dengan nilai-nilai dan ritual adat berhubungan dengan perilakunya dalam mengemudikan kenderaan. Jika diinterpretasi lebih lanjut, fakta itu menunjukkan bahwa keeratan seseorang supir dengan adat memiliki hubungan dengan sopan-santunnya ketika mengemudi di jalan raya. Ternyata sopan-santun yang pasti diajarkan melalui nilai-nilai adat akan menentukan bagaimana seseorang pengemudi angkutan kota menjalankan kegiatannya di lapangan. Kenyataan ini setidak-tidaknya mengandung pesan 75

bahwa nilai-nilai adat tetap memiliki relevansi dengan penegakan harmoni ditengah-tengah

masyarakat,

sehingga

dalam

menata

kesemrawutan

perlalulintasan setidak-tidaknya juga perlu didekati melalui pendekatan nilainilai adat istiadat yang berlaku pada diri para pengemudi angkutan kota. Grafik 4.22. Etnis Supir Minang 1% Nias 0%

Lainnya 5%

Pakpak 2%

Karo 20%

Simalungun 2% Mandailing 4%

Toba 66%

Sebagian besar responden yang diteliti adalah etnis Toba (66 %), disusul kemudian etnis Karo (20 %), dan Mandailing (4 %). Ini menggambarkan pada tingkatan tertentu, garis-garis etnis berkaitan dengan pilihan pekerjaan (okupasi). Dengan kata lain, identitas etnis (Batak Toba dan Karo) memiliki preferensi dengan pilihan pekerjaan (supir), kendati tidak secara keseluruhan demikian. Realitas lain misalnya, kita bisa mengidentikkan pekerjaan berdagang 76

itu cenderung dilakukan entis Padang atau Tionghoa. Menjahit dan rumah makan juga dilakukan orang-orang Minang. Pilihan pekerjaan ini juga biasanya terkait dengan sejarah etnis tertentu mulai memilih pekerjaan pada awalnya dalam perkembangan kota pada awalnya. Pekerjaan yang dipilih dan ditekuni generasi pertama etnis yang bermigrasi ke kota ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi di tengah-tengah persaingan mendapatkan pekerjaan di antara etnis-etnis yang majemuk di perkotaan. Grafik 4.23. Tempat Tinggal Supir Angkutan Kota.

Tidak 48%

Ya 52%

Keeratan mereka terhadap adat pada tahap yang paling dini dapat dilihat dari pilihan tempat tinggal. Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner, diperoleh informasi bahwa sebanyak 52 % ternyata tinggal di lingkungan yang mayoritas dihuni oleh suku mereka sendiri. Grafik 4.24. Pemahaman Adat di Kalangan Supir Angkutan Kota.

77

Sangat menguasai 4% Tidak menguasai 15%

Menguasai 28%

Kurang menguasai 53%

Di sisi lain, 48 % responden ternyata tinggal di luar komunitas adatnya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa keeratan dengan komunitas adat relatif terjadi pada para supir angkutan kota. Namun, realitas tersebut ternyata tidak diiringi dengan penguasaan terhadap adat. Grafik berikut ini menunjukkan bahwa 53 % dan 15 % responden menyatakan tidak

menguasai adat

istiadat.

Realitas

ini sebenarnya

memunculkan pertanyaan baru tentang proses sosialisasi dan pendidikan adat pada komunitas-komunitas yang tinggal diperkotaan seperti Kota Medan. Grafik 4.25. Kebanggaan terhadap adat di kalangan supir

78

Sangat bangga 1% Bangga 2%

Tidak bangga 46% Kurang bangga 51%

Demikian juga, dari segi kebanggaan terhadap adat ternyata 51 % dan 46 % responden menyatakan kurang bangga dan tidak bangga terhadap adat. Dari sudut komunitas adat, ini menjadi tanda-tanda yang memprihatinkan. Komunitas adat sendiri mulai tergerus kebanggaan terhadap adatnya sendiri. Sementara itu, jika dilihat dilihat dari segi kehadiran dalam acara-acara adat ternyata terdapat perimbangan antara yang menghadiri dengan yang tidak menghadiri. Berdasar grafik berikut, terlihat bahwa 42 % dan 5 % yang sering dan sangat sering menghadiri acara/ritual adat. Sebaliknya, 44 % dan 9 % hanya kadang-kadang dan tidak pernah menghadiri. Responden yang kadangkadang, terutama yang tidak pernah menghadiri ritual adat ini sebagian besar adalah para supir yang belum menikah. Sehingga belum ada kewajiban moral dan adat bagi mereka untuk menghadirinya. Berdasarkan data di atas, terlihat kecenderungan komunitas supir secara perlahan meninggalkan kebiasaan hidup di tengah komunitas adatnya. Pergaulan mereka dengan komunitas lainnya diperkirakan memiliki hubungan dengan kecenderungan tersebut. Ditambah lagi dengan persoalan-persoalan 79

kehidupan keseharian seperti aktivitas ekonomi dalam mencari dan memperoleh pendapatan untuk konsumsi keluarga termasuk biaya pendidikan sekolah telah mengurangi aktivitas dalam komunitas adat. Seorang informan menjelaskan bahwa kehadiran ke pesta adat membutuhkan uang yang tidak sedikit bahkan sering melampaui penghasilan yang diperoleh seharian narik. Ditambah lagi, dengan absen bekerja berarti mengurangi pendapatan. Sehingga, “sudah tidak mendapat penghasilan, juga harus mengeluarkan uang lagi!” Pertimbangan seperti menyebabkan mereka mengurangi aktivitas kehadiran dalam acara-acara adat.

Grafik 4.26. Frekuensi menghadiri acara adat di kalangan supir.

Tidak pernah Sangat sering 5% 9%

Sering 42% Kadang-kadang 44%

Kendati label etnis tidak mempengaruhi perilaku dalam mengemudi, namun sebagaimana diakui salah satu direksi armada, dalam hal memberikan pengarahan di armada yang dipimpinnya, etnis Batak Toba dan Karo biasanya relatif sulit diarahkan dan biasanya cenderung ‘melawan.’ Informan direksi salah satu armada lebih menegaskan terkait perilaku 80

kurang tertibnya etnis Toba mengemudikan angkutan kota. Direksi armada yang pernah lama menjadi supir di Jakarta ini menjelaskan karakter budaya ‘kasar’ dan ‘pemberani’ Batak Toba membuat mereka cenderung kurang tertib, bahkan ugal-ugalan. Orang Batak mau menjadi ‘ketua’ semua. Karena itu, orang Batak sulit bekerjasama dan cenderung kasar, termasuk kurang tertib mengemudi. Agar bisa menjadi ‘ketua’ orang Batak cenderung saling menyalahkan. Karena 90 persen supir adalah orang Batak bisa dibayangkan bagaimana perilaku dalam berlalu lintas. Kadang bukan karena rebutan penumpang, hanya karena ‘palakan-palakan’ (merasa terusik harkat dan martabatnya karena persoalan sepele saja) sesama supir bisa ugal-ugalan dan kebut-kebutan di jalan. Lebih lanjut informan ini menuturkan, perilaku ‘damai’ di tempat awalnya diduga dilakukan oleh polisi dan supir Batak Toba di Jakarta. Orang Medan jago nego dan pintar ‘mengolah’. Orang Batak dari Medan diduga pertama sekali menjadi calo penumpang di Jakarta dan kemudian berkembang di seluruh Jakarta. Termasuk ‘ngeremani’ halte-halte dan terminal di Jakarta.” Terkait keberanian dan pintar mengolah ini bisa dibandingkan dalam hal bepergian jauh antara orang Batak dan Jawa. Orang-orang Jawa kalau bepergian dan menyeberang jalan senantiasa sambil berpegangan dan berkelompok, tapi kalau orang Batak berani bepergian sendirian. Contohnya, informan ini menjelaskan lebih lanjut, neneknya yang tidak bisa baca tulis dan berbahasa Indonesia berani bepergian ke Kalimantan sendirian. Padahal ia cuma bisa berbahasa Karo. Kalau suku Jawa mungkin tidak seberani itu. Sebaliknya, informan lain menjelaskan bahwa etnisitas tidak mempengaruhi perilaku dalam mengemudi. Dengan kata lain, kultur internal yang 81

inheren dalam diri seseorang (apakah Batak, Jawa, Karo dan sebagainya) tidak menjadi determinan yang mempengaruhi perilaku seorang supir. Faktor eksternal dari luar individu malah yang menjadi faktor utama yang mempengaruhi perilaku supir. Pada awalnya, setiap supir mengemudi dengan baik, yakni berupaya menaati peraturan lalu lintas, tapi ketika mengemudi setiap hari ia menemui penyimpangan dan menjadi ‘korban’ dari pelanggaran itu sendiri, ia akhirnya kemudian ikut ugal-ugalan, sebagai mekanisme mempertahankan diri sebagai supir. Jadi, ada budaya saling ‘isi-mengisi’ sesama supir dalam perilaku mengemudi. Karena itu, ada istilah ‘Karoja’ atau Karo-Jawa. Jadi etnisitas itu kemudian melebur dan tidak mempengaruhi perilaku. Tekanan eksternal dari luar, yakni praktik kurang tertib yang dilihat setiap hari, itu yang memaksa mereka akhirnya kurang tertib. Karena dalam kondisi demikian, kekurangtertiban itu sendiri sudah menjadi ‘ketertiban.’ Supir yang mengikuti aturan lalu lintas, malah dianggap tidak mendukung dan tidak mengikuti ‘aturan’ supir kebanyakan. Kendati begitu, segregasi etnisitas itu pada tingkatan tertentu tampak dalam kepemilikan mobil dalam setiap armada angkutan kota. Dalam kaitan ini, kepemilikan setiap jenis armada angkutan kota mengikuti garis-garis etnisitas. Armada Rahayu didominasi etnis Karo; Nasional (Karo); Medan Bus (Tapanuli Utara); Nitra (campuran beberapa etnis); Hikma (Mandailing) dan Mekar (Melayu-Karo). Segregasi atau pengelompokan etnis dan agama justru menguat dalam pemilihan tempat dan berteman di terminal karena terminal memang pada tingkatan tertentu kurang aman. Supir yang beragama Islam kadang malas dan jarang duduk di terminal, karena terminal pada banyak hal telah berubah fungsi 82

menjadi sarang minuman dan judi, termasuk makanan-makanan yang tidak halal. Mereka berkawan satu sama lain sebagai supir, tapi tersegrasi dalam memilih teman dan tempat ketika menunggu giliran mau ‘narik’ angkutan kota masing-masing. Tempat duduk para supir di terminal biasanya secara struktural juga mengelompok berdasarkan ikatan-ikatan etnis dan agama. Pengelompokan atau segregasi ini terbentuk bagai air mengalir dan terkondisikan secara alamiah. Selanjutnya, dilihat dari dimensi etnisitas, kepemilikan mobil bagi orang Karo dianggap sebagai simbol kekayaan dan kemakmuran. Karena itu, kelompok etnis ini kadang-kadang tetap bertahan untuk memiliki mobil meski merugi bahkan memiliki orientasi budaya untuk senantiasa menambah jumlah angkutan kotanya. Bagi kelompok ini, mobil dipandang sebagai simbol ‘erjilejile’. ‘Erjile-jile’ atau memiliki mobil itu dipandang sebagai simbol status kekayaan dan kemakmuran. Seorang dianggap sudah sukses dan makmur bila sudah menjadi toke angkutan kota. Jadi grafiti bere biringna (dilahirkan ibu beru Sembiring) dan anak si nguda (anak bungsu) adalah teks-teks yang hendak menceritakan konteks kekayaan orang Karo. Kalau sudah punya mobil dianggap sudah sukses (jore). Trayek 04, jurusan Bangun Purba - Pinang Baris adalah contoh mobil dipertunjukkan sebagai status simbol kekayaan. Pemiliknya adalah seorang kaya yang memiliki kebun sawit dan karet. Trayek ini tetap beroperasi, kendati kadang-kadang merugi. Pada tingkatan yang lebih tinggi, budaya erjile-jile ini ditanamakan dalam keluarga pemilik armada Nitra dari generasi ke generasi. Pendiri awal armada ini berpesan kepada generasi penerusnya untuk tetap mempertahankan 83

keberadaan armada ini. “Bila Nitra ini tidak jalan (beroperasi) lagi itu berarti marga Sembiring Kembaren juga sudah hilang. Angkutan kota Nitra merupakan simbol keluarga Sembiring Kembaren. 4.6. Hubungan Lama Kerja Supir dan Perilaku Mengemudi Pada sisi lain, perhitungan korelasi menemukan angka koefisien korelasi sebesar 0,208 disertai dengan simbol dua bintang (**) untuk asosiasi antara variabel lama kerja dengan perilaku supir. Berdasarkan angka dan simbol tersebut dapat diinterpretasikan bahwa hubungan antara lama kerja dengan perilaku supir adalah signifikan. Hubungan ini setidaknya bisa memberikan penjelasan tentang betapa lama waktu yang sudah dijalani dalam profesi sebagai supir memiliki hubungan dengan perilaku yang ditampilkan sehari-hari dalam mengemudikan kenderaan. Dengan angka positif yang diperoleh oleh koefisien tersebut, berarti semakin lama seseorang bekerja sebagai supir, maka semakin positif perilaku sopan santun yang ditampilkannya pada saat mengemudi kenderaan. Grafik 4.27. Lama Kerja Supir

Di atas 20 tahun 15%

Di bawah 5 tahun 23%

16 – 19 tahun 7%

11 – 15 tahun 20% 5 – 10 tahun 35%

84

Dilihat dari lama bekerja, sebagian besar (35 %) bekerja antara 5-10 tahun, disusul masa kerja di bawah 5 tahun (23 %) dan masa kerja 11-15 tahun (20 %). Hanya 14 % yang bekerja di atas 20 tahun. Lama bekerja ini merefleksikan beberapa asumsi. Pertama, sebagian besar supir masih baru bekerja dan diasumsikan angkatan kerja berusia muda. Usia muda ini juga diperkirakan salah satu faktor yang melatarbelakangi perilaku supir yang kurang taat berlalu lintas. Kedua, masa kerja antara 11-15 tahun dan di atas 20 tahun kalau digabungkan mencapai sekitar 34 % mengasumsikan bahwa pekerjaan supir sekarang ini bukan lagi profesi yang menjanjikan seperti supirsupir dulu. Dalam artian lain, profesi supir bisa saja ditinggalkan kalau ada pekerjaan yang lebih menjanjikan. Ini dibuktikan saat wawancara di kalangan supir dan direksi armada. Seorang supir mengatakan, nasib supir sekarang ini tak lebih ibarat budak karena harus bekerja dari pagi sampai malam, tapi kadang tetap juga kurang setoran. Ini yang membuat supir kurang taat berlalu lintas karena semata untuk mengejar setoran dan mencari sekaligus menambah penghasilan. Menurut supir yang kadang berprofesi sebagai supir truk lintas Sumatra ini, ia kadang mengemudikan truk ke Jakarta membawa jeruk, karena penghasilannya lebih baik. Dalam seminggu pulang pergi Medan-Jakarta, ia bisa menghasilkan Rp 1 juta. Ia menyerahkan kepada istrinya Rp 800.000 dan Rp 200.000 lagi digunakan untuk uang jalannya. Dengan nada putus asa, ia melanjutkan, kalau pekerjaan supir sekarang tidak menjanjikan lagi dan hanya bisa hidup bertahan ala kadarnya. Ini diperkuat lagi lewat pengakuan seorang direksi salah satu armada, yang sebelumnya pernah bekerja sebagai supir di Jakarta dulu semasa 85

kepemimpinan Ali Sadikin. Mantan supir yang mengemudikan bus Saudaranta pada 1973 di Jakarta ini menuturkan sekaligus membandingkan, penghasilana supir dulu sangat menjanjikan dan masih terpandang. Hanya bekerja sehari bisa membeli 2-3 meter tanah di Jakarta. Karena itu, dulu profesi supir masih diminati dan dianggap terpandang. Bahkan untuk menjadi supir dulu relatif sulit. Sebelum menjadi supir harus menjadi cincu (kernek), ngelap ban mobil sampai mengkilap, bahkan kadang-kadang harus mencuci pakaian supir. Ironisnya sekarang, profesi supir dianggap rendahan dan kurang menjanjikan. Menurut supir ini, menurunnya pendapatan supir sekarang salah satu faktornya adalah berlebihnya baik plafon maupun trayek angkutan kota di Kota Medan (tanpa bisa menjelaskan ukuran kuantitatif kelebihannya ketika ditanya lebih lanjut). Kalau ijin diberikan, kan uang masuk bagi Dinas Perhubungan Kota Medan dan setoran untuk mandor akan berlipat. Bayangkan kalau ada armada 7.000 unit dan setiap angkot harus setor Rp 14.500, berapa per hari dan per bulannya. Kami supir ini yang jadi korbannya. 4.7. Hubungan Armada dan Perilaku Mengemudi Selanjutnya, angka koefisien korelasi antara armada/kesatuan dengan perilaku supir adalah 0,204. Angka ini sebagaimana ditunjukkan melalui simbol dua bintang (**) adalah signifikan pada tingkat kepercayaan 99 %. Dengan demikian, hubungan antara armada/kesatuan dengan perilaku supir adalah terbukti. Lebih jauh dapat pula diartikan bahwa dengan semakin baik pembinaan dan pengorganisasian dilakukan oleh armada, maka semakin positif pula perilaku sopan santun yang ditampilkan supir di saat mengemudikan kenderaan. 86

Fakta lain sehubungan dengan interaksi antara pengemudi dengan armada kenderaan, ternyata para supir cenderung tidak merasa bangga terhadap armada tempat mereka bernaung dan bekerja. Grafik 4.28. Kebanggaan Supir Terhadap Armada Sangat bangga 1% Bangga 4% Tidak bangga 36%

Kurang bangga 59%

Grafik di atas menunjukkan bahwa hanya 4 % dan 1 % supir yang merasa bangga dan sangat bangga terhadap armadanya. Selebihnya yakni sebanyak 95 % cenderung kurang bangga dan tidak bangga. Fakta ini meneguhkan kesan yang diperoleh pada saat observasi di lapangan bahwa perilaku supir di lapangan cenderung tidak dapat dikendalikan oleh pengurus armada. Pada banyak hal, manajemen armada kurang bisa mengendalikan karena posisi tawar pemilik angkutan kota lebih kuat dalam relasi ini. Armada sebagai pemegang merek, mendapat iuran dari si pemilik angkutan kota untuk membiayai seluruh biaya operasional armada. Jadi, bila pemilik angkutan kota tidak membayar, itu berarti mengurangi pendapatan manajemen armada itu sendiri. Situasi ini terkesan kian kurang terkendali, karena faktanya sebagian besar armada tidak memiliki kenderaan patroli di lapangan untuk mengontrol 87

perilaku supir selama di perjalanan. Berdasarkan wawancara di lapangan diperoleh informasi bahwa satusatunya armada yang masih memiliki kenderaan patroli adalah Koperasi Pengangkutan Umum Medan (KPUM). Sementara itu, sebagian armada lainnya dulu memilikinya tetapi saat ini tidak beroperasi lagi. Kenyataan ini terespons melalui data yang diperoleh melalui kuesioner yang tergambar pada grafik berikut. Grafik 4.29. Kepemilikan mobil patroli

Ya 49%

Tidak 51%

Grafik di atas menunjukkan bahwa dengan komposisi yang hampir berimbang 51 % responden menyatakan bahwa armada mereka tidak memiliki patroli, dan selebihnya (49 %) menyatakan memiliki patroli. Ini tidak mencerminkan fakta. Angka ini muncul karena supir KPUM yang lebih banyak didata sehingga memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap angka yang menyatakan memiliki patroli di atas. Di samping itu, sebagian supir intensitas komunikasinya relatif kurang dengan pihak armada, sehingga tidak 88

mengetahui bahwa armadanya tidak lagi memiliki kenderaan patroli lapangan. Fakta lain yang diperoleh melalui penelitian ini adalah bahwa sebesar 21 % dan 36 % responden menyatakan bahwa armada sering dan sangat sering menyelenggarakan

pendidikan

tentang

sopan

santun

terhadap

para

pengemudi. Namun, selebihnya yakni sebesar 43 % menyatakan hanya kadangkadang dan tidak pernah. Grafik 4.30. Pendidikan sopan santun

Tidak pernah 8% Sangat sering 36% Kadang-kadang 35%

Sering 21%

Untuk mendapatkan arti yang lebih mendalam atas data di atas, juga diperoleh

informasi

melalui

wawancara

bahwa

setiap

tahun

Dinas

Perhubungan Kota Medan menyelenggarakan kursus terhadap para supir yang dirangkaikan dengan kegiatan memilih “awak teladan” (supir teladan) yang biasanya melibatkan seluruh perusahaan angkutan kota yang ada di Kota Medan. Maka dapat dipahami bahwa sebagian besar supir menyatakan bahwa pendidikan sopan santun diselenggarakan oleh armada. Fakta di lapangan, hanya KPUM yang secara rutin melaksanakan pendidikan sopan santun dan pemberian motivasi terhadap supir dengan mengundang orang-orang yang 89

dianggap berkompeten dan ahli dalam hal tersebut. Informasi lain sehubungan dengan interaksi supir dengan armada adalah menyangkut pengawasan lapangan terhadap supir yang dilakukan oleh armada. Berdasarkan informasi yang digambarkan pada grafik berikut, terlihat bahwa 27 % dan 39 % responden menyatakan bahwa armada melakukan pengawasan di lapangan. Pengawasan yang dimaksud dilakukan dengan menggunakan kenderaan patroli ataupun kenderaan pribadi pengurus armada, termasuk pengawasan yang dilakukan oleh mandor lapangan. Grafik 4.31. Pengawasan lapangan oleh armada

Tidak pernah 5%

Sangat sering 39%

Kadang-kadang 29%

Sering 27%

Jika sebagian responden yakni sebesar 29 % dan 5 % menyatakan hanya kadang-kadang dan tidak pernah dilakukan pengawasan lapangan, maka ini merupakan gambaran dari para supir yang termasuk dalam kategori supir yang kurang berkomunikasi dengan pihak pengurus armada, atau secara psikologis merasa bahwa dia memang tidak diawasi oleh siapa-siapa. Informasi lainnya adalah menyangkut pemberian sanksi terhadap supir yang tertangkap mengendarai kenderaannya secara ugal-ugalan. 90

Grafik 4.32. Sanksi terhadap supir ugal-ugalan

Tidak pernah 7% Sangat sering 35% Kadang-kadang 30%

Sering 28%

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa 63 % reponden menyatakan bahwa para supir yang ugal-ugalan dikenakan sanksi oleh armada. Hal ini menunjukkan bahwa armada memiliki upaya untuk meningkatkan sopan santun berkenderaan terhadap awaknya. Namun perlu dicatat bahwa daya jangkau armada dalam mengawasi supirnya juga terbatas mengingat fluiditas pergerakan kenderaan angkutan kota di lapangan. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, ternyata 49 % responden menyatakan bahwa mereka dilindungi oleh armada. Perlindungan ini hanya terasa kadang-kadang oleh 42 % responden, dan bahkan tidak pernah terasakan oleh 9 % responden lainnya.

91

Grafik 4.33. Perlindungan terhadap supir

Tidak pernah 9%

Sangat sering 20%

Kadang-kadang 42% Sering 29%

Angka 42 % yang hanya kadang-kadang merasakan perlindungan pada grafik di atas, menunjukkan sebagian besar responden merasa belum sepenuhnya selama masa bekerja mendapat perlindungan. Namun, kondisi ini belum sampai menyebabkan para supir untuk memutuskan untuk pindah ke armada lainnya, sebagaimana dimuat dalam grafik berikut.

92

Grafik 4.34. Bersedia pindah ke armada lain Sangat bersedia 2% bersedia 19%

Tidak bersedia 59%

Kurang bersedia 20%

Berdasarkan grafik di atas ternyata sebagian besar yakni 59 % responden menyatakan tidak bersedia untuk pindah ke armada lain walaupun ada tawaran. Jumlah tersebut menjadi lebih besar jika digabungkan dengan 20 % lainnya yang menyatakan kurang bersedia pindah. Sehingga terdapat kesan bahwa kekurangan dalam perlindungan seperti pada grafik sebelumnya ternyata masih dapat ditolelir oleh supir, sehingga mereka tidak mengambil keputusan untuk pindah.

93

Grafik 4.35. Pembatasan jumlah kenderaan sesuai plafon

Tidak membatasi 7%

Sangat membatasi 20%

Membatasi 20%

Kurang membatasi 53%

Salah satu perlakuan lain yang dilaksanakan oleh armada dan dianggap penting adalah menyangkut pembatasan jumlah kenderaan dalam armada yang menjalani trayek yang telah ditentukan. Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa 40 % responden yang menyatakan bahwa armada membatasi dan sangat membatasi jumlah kenderaan sesuai plafon. Selebihnya, sebanyak 60 % menyatakan kurang membatasi dan tidak membatasi jumlah kenderaaan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa armada tertentu yang secara ketat mengawasi jumlah kenderaan pada trayeknya. Ada pula armada yang tidak terlalu memperdulikan tentang jumlah kenderaan dalam trayek ini, namun lebih cenderung hanya mempertimbangkan jumlah iuran yang dapat ditarik setiap harinya. Kemungkinan lainnya adalah untuk satu armada tertentu, ternyata perlakukan pengawasan jumlah kenderaan berbeda antartrayek. Ada trayek yang diawasi secara ketat, dan ada pula trayek yang tidak diawasi secara ketat 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan tidak memengaruhi perilaku mengemudi supir angkutan kota di Medan. Kendati begitu, variabel armada, lama kerja dan kedekatan (internalisasi budaya) seorang supir secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku mengemudi. Terkait dengan variabel etnisitas, perlu ditekankan dan dipahami bahwa perilaku seorang supir tidak berhubungan dengan identitas etnis yang dimilikinya, tetapi lebih kepada kedekatan atau internalisasi sekaligus eksternalisasi (identifikasi diri dengan identitas etnis dan kemudian diekspresikan melalui tindakan) identitas atau nilai-nilai tradisi yang disandangnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa label etnisitas tidak berhubungan dengan perilaku mengemudi, tapi lebih kepada kedalaman seseorang dalam menginternalisasikan identitas etnis masing-masing. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa perilaku kurang tertib para pengemudi angkutan kota bukan sepenuhnya dipengaruhi faktor-faktor internal dari dalam dirinya (seperti antara lain pendidikan dan etnisitas) tetapi lebih disebabkan faktor eksternal seperti tekanan memenuhi setoran dan pendapatan yang akan dibawa ke rumah. Tekanan memenuhi setoran ini kian sulit disebabkan tekanan struktural dalam trayek yang dilalui seorang supir baik intra-armada maupun antar-armada. Tekanan struktural itu adalah tumpang tindih trayek armada bahkan sampai kelebihan plafon di trayek-trayek basah yang dimiliki armada tertentu. Masalah ini sebetulnya dapat dianggap sebagai masalah pokok, tetapi untuk memberikan evaluasi tentang kelebihan angkutan, 95

maupun kelebihan beban pada satu trayek, tentu memerlukan suatu penelitian yang komprehensif yang terkait dengan analisa kawasan bangkitan maupun tarikan lalu lintas seluruh Kota Medan. Trayek tumpang tindih yang dihasilkan lewat trayek kamar mandi terjadi karena perilaku pemburu rente (rent seeker) antara penguasa (Dinas Perhubungan Kota Medan) dan pengusaha (penyedia dan penyalur mobil dan direksi armada). Faktor eksternal yang lebih kuat ini sebagaimana diakui para supir membuat mereka terpaksa mengemudi di luar peraturan (UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan) dan kadang merasa sudah menjadi ‘budak.’ Kondisi ini juga, menurut direksi armada membuat persaingan ‘hukum rimba’ antara armada yang besar dan armada yang (lebih) kecil. Faktor eksternal yang lain adalah menurunnya jumlah penumpang yang disebabkan beberapa faktor penting sebagai berikut. Faktor pertama adalah hand phone (HP) yang membuat mobilitas manusia berkurang dalam menggunakan moda transportasi karena cukup dengan mengirim kabar lewat hand phone. Faktor kedua adalah sepeda motor. Kemudahan memiliki sepeda motor dengan kredit mudah dan bunga kredit yang rendah, mendorong setiap keluarga memiliki sepeda motor. Faktor ketiga adalah kehadiran betor (beca bermotor) yang kadang ‘dibiarkan’ berkeliaran memasuki jalur perkotaan tanpa sanksi yang tegas. Faktor keempat, yakni menjamurnya angkutan umum dengan menggunakan mobil pribadi (plat hitam) dan terminal bayangan. Dan faktor terakhir adalah kenaikan ongkos. Tekanan eksternal yang demikian besar membuat sebagian besar supir mengemudi di luar aturan seperti ngebut begitu keluar stasiun atau pangkalan, ngebut mencari penumpang dan ngebut sesama angkot. Pelanggaran lain yang 96

dilakukan misalnya seperti menyalip dari jalur kiri meski melanggar peraturan, mengabaikan hak-hak pengguna jalan seperti pesepeda, dan tidak memasang segitiga pengaman ketika berhenti dalam keadaan darurat. Menghadapi tekanan eksternal yang demikian berat, pada tingkatan tertentu memaksa supir ‘memutar’ otak seperti roda angkutan kota yang berputar ‘mengolah’ pemilik angkutan kota dengan mengurangi jumlah setoran. Karena itu, jarang sekali angkutan kota yang dikredit lunas di satu tangan pemilik karena cenderung merugi terus. Sebuah mobil angkutan kota yang dikredit biasanya baru lunas bisa sampai 4 (empat) pemilik. Kendati begitu, dalam beberapa hal, perilaku supir masih patut dipuji karena masih tertib. Perilaku memprioritaskan penumpang pelajar saat penumpang membludak, mengikuti lajur jalan secara umum ketika baru keluar dari stasiun, tidak menagih ongkos saat mengalihkan penumpang ke angkutan kota yang lain merupakan beberapa bukti perilaku terpuji dari para supir angkutan kota di Kota Medan. Faktor lain yang berkontribusi dalam kekurangtertiban mengemudi ini adalah manajemen internal armada angkutan kota di Kota Medan. Sejauh ini, kriteria dan standarisasi supir termasuk standar prosedur operasional belum baku antara manajemen armada dan pemilik angkutan kota. Manajemen armada sebagai penyedia jasa merek kadang belum bisa menetapkan standar dan kriteria yang ketat karena tekanan pemilik angkot. Pemilik angkutan kota, pada tingkatan tertentu, masih lebih mementingkan setoran ketimbang kapasitas dan kualifikasi supir. Apalagi hubungan kekerabatan antara supir dan pemilik angkutan kota memungkinkan supir mudah berpindah-pindah dari satu angkutan kota ke angkutan kota yang lain. Ini diperparah lagi karena 97

perbandingan antara mobil angkutan kota yang sangat banyak dibandingkan jumlah supir yang tersedia. Sejauh pengamatan di lapangan, hanya satu armada yang relatif memiliki standarisasi dan data dasar supir yang tersimpan di kantor sehingga angkutan kota tidak mungkin dikemudikan supir yang tidak terdata di manajemen armada. Apalagi, setiap supir yang terdata akan memiliki simpanan wajib di koperasi armada tersebut. Untungnya lagi, koperasi ini independen dan beroperasi di luar manajemen internal armada yang bersangkutan. Secara umum dapat disimpulkan sebagian besar armada tidak memiliki standar operasional yang baku bagaimana seorang supir mengemudikan angkutan kotanya sepanjang hari kerja. Manajemen armada juga belum menetapkan kriteria minimum (kecuali lewat SIM) sebelum seseorang menjadi supir di armada tertentu. Lebih jauh lagi, tidak ada pelatihan yang berkala yang dilakukan internal armada masing-masing untuk memberikan penertiban kepada supir. Begitu juga Dinas Perhubungan Kota Medan sebagai regulator dan fasilitator hanya memberikan pelatihan melalui program AKUT (Awak Kenderaan Umum Teladan) yang di mata para direksi kadang dianggap lebih bersifat seremonial. 5.2 Saran 1.

Standar minimum dan standar operasional dalam mengemudikan angkot perlu ditetapkan. Regulasi ini perlu dirumuskan antara pemilik angkot, manajemen armada, Dinas Perhubungan Kota Medan, dan Satlantas.

2.

Kerentanan hidup supir perlu diatasi dengan memberikan jaminan atau asuransi kesehatan dan perumahan bagi para supir sehingga mereka memiliki kenyamanan dalam bekerja. 98

3.

Memperketat pemberian SIM kepada pengemudi dan menegakkan dengan tegas UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Mengurangi kalau bukan menghapuskan perilaku tilang atau ‘damai’ di tempat merupakan langkah yang tidak boleh ditawar lagi. Kalau tilang dilakukan konsisten dan tanpa pandang bulu (termasuk kepada mobil pribadi), pasti pengemudi dan pemilik angkutan kota akan jera.

4.

Dinas Perhubungan Kota Medan mestinya memberikan pengarahan langsung kepada para supir langsung di pangkalan, termasuk dalam memberikan pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada supir.

5.

Mengoperasionalkan trans Medan dengan dukungan infrastruktur pendukung dan sumber daya yang memadai. Dari segi sejarah, Medan lebih dahulu mengenal bus (besar) daripada Jakarta. Dulu ada bus besar namanya Doby.

6.

Menetapkan regulasi pemberian ijin trayek dan plafon armada dengan transparan dan akuntabel dengan memperhitungkan load factor.

7.

Menyediakan infrastruktur pendukung (rambu lalu lintas, terminal, halte dan sebagainya) untuk mendukung implementasi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan termasuk dukungan sumber daya manusia (Dinas Perhubungan Kota Medan dan Satlantas) sehingga undangundang ini bisa dijalankan. Sebenarnya kita bukan kekurangan undangundang Lalu Lintas Angkutan Jalan yang baik, tapi kekurangan orang-orang yang baik untuk menjalankan Undang-Undang ini dengan konsisten.

8.

Koordinasi dan harmonisasi antara Organda Provinsi Sumut dan Kota Medan harus disinergikan, misalnya dalam kasus pengelolaan terminal, seperti Terminal Amplas. Dalam pandangan Organda Kota Medan, terminal 99

Amplas sebaiknya dan harus dimasuki oleh baik angkutan kota maupun bus AKAP/AKDP. Armada ini tidak boleh beroperasi permanen di terminal bayangan.

9.

Jika petugas menindak supir, maka SIM yang harus disita, bukan STNK. Karena kalau STNK yang ditahan, supir akan pindah ke angkutan kota lain dan akan memberatkan pemilik karena mobil tidak akan ‘jalan’ sehingga terkendala membayar kredit angkutan kotanya. Kalau SIM supir yang ditindak yang ditandai (misalnya diberi kode dengan dibolongi), si supir akan jera.

10. Pihak armada dan mandor kurang tepat menindak supir dan pemilik, aparat Polantas yang mestinya harus jelas dan tegas menegakkan aturan sesuai dengan UU LLAJ. 11. Subsidi untuk moda transportasi umum (apakah dalam bentuk suku cadang dan BBM) seharusnya diberikan oleh pemerintah. 12. ‘Monopoli’ penyediaan angkot sebaiknya dihapuskan. Membuka kesempatan yang sama bagi semua pemilik merek untuk menyediakan armada angkutan kota kemungkinan akan melahirkan beberapa pilihan dan harga yang bersaing. 13. Diperlukan penelitian yang komprehensif, kebutuhan armada, dan kebutuhan operasional dari seluruh trayek, agar dapat dilakukan penyempurnaan tentang trayek lalu lintas angkutan kota di kota Medan. 14. Perlu dilakukan diskusi kelompok terarah (FGD) untuk menentukan skala prioritas saran untuk jangka pendek, menengah,dan panjang di kalangan pemangku kepentingan (stakeholder) transportasi angkutan publik agar 100

saran dalam kajian ini lebih tepat guna dan dapat diimplementasikan dengan baik.

101

DAFTAR PUSTAKA Aniek QS, 1999, Pengaruh Perilaku Angkutan Umum Terhadap Kinerja Lalulintas, Bandung. Anonim, Surabaya Macet, Bagaimana Solusinya?, Tempo Interaktif, 16 Februari 2006. Adrian, Thomas, 2008, Evaluasi Kinerja Angkutan Kota Medan, Jenis Mobil Penumpang Umum (MPU): Studi Kasus MPU Trayek 64, Tesis Sekolah Pasca Sarjana USU Medan. Aminah, Siti, 2006, Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan, Jurusan Ilmu Politik FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya. Arikunto, Suharsimi , 1996, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. B.F., Skinner, 1932, Science and Human Behaviour McGraw Publicaion Company, California, Amerika. Borgotta F., Edgar, dan Marie L. Borgotta, 1992, Encyclopedia of Sociology, McMillan Publishing Company. Creswell, Jhon, 1989, Quantitative and Qualitative Research, London, Sage Publication Ltd. Glaser, Barney G and Anselm L Strauss, 1967, The Discovery of Grounded Theory: Stategies for Qualitative Research, Chichago, Aldine Publishing Company. Hadiz, Vedi R & Richard Robison, 2004, Organizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets London: Routledge Curzon. Lulie, Johannes, Jhon Tri Handoko, 2005, Perilaku Agresif Menyebabkan Resiko Kecelakaan Saat Mengemudi, JURNAL TEKNIK SIPIL ITB (Website dikunjungi pada 20 September 2012). 102

Macionis, 1987, Sociology Of Cities McGraw Publication, California, Amerika. Nawawi, Hadari ,1990, Metode Penelitin Sosial, Gajah Mada Press, Yogyakarta. Notoatmodjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Ofyar Z. Tamin, 1997, Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, ITB, Bandung. Ofyar Z. Tamin, 2007, Pemilihan Moda Angkutan Umum Penumpang (AUP) Puslit Undip, Semarang. Pelly, Usman, 1984, Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, LP3ES, Jakarta. Polhaupessy, Leonard F. 1999, Perilaku Manusia, Rineka Cipta, Jakarta. Sugiyono, 2004, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung. Swarjono, Warpani, 1985, Rekayasa Lalu Lintas, Bhatara Karya Aksara, Jakarta. _______________, 1990, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Penerbit ITB. Triani, Novia, Hendro Prabowo, 2008 “Perilaku Agresif Pengemudi Angkutan Umum di Jalan Raya dengan Kepadatan Lalu-lintas yang Tinggi” dalam JURNAL PENELITIAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNA DARMA, 2008. Wirantono, Bastian, 1999, Hubungan Panjang Antrian Kendaraan Terhadap Berhentinya Angkutan Umum, Skripsi S1 Teknik Sipil Universitas Petra Surabaya.

103