Wacana Kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma - Universitas ...

50 downloads 438 Views 710KB Size Report
... dalam tubuh jika sudah tidak berfungsi akan dipulangkan pada semesta. ..... Latar Siwaisme inilah diungkapkan mewarnai kegiatan keagamaan di Bali. Pemujaan ..... yang di dalamnya menggunakan kalimat atau gambar (Semi, 1993 :247;.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikrokosmos bentuk analog dari makrokosmos, segala yang ada dalam makrokosmos itu pun terdapat dalam mikrokosmos. Tubuh adalah mikrokosmos, sedangkan semesta adalah makrokosmosnya. Segala yang ada dalam tubuh jika sudah tidak berfungsi akan dipulangkan pada semesta. Proses pengembalian zat aktif pembentuk tubuh ke dalam bentuk-bentuknya di alam, sekaligus proses penyeimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos itu sendiri. Penyatuan antara tubuh (aku), semesta, dan pencipta (Tuhan) adalah proses melepas, membebaskan diri, memenuhi pikiran dengan kesadaran dan keikhlasan (Bdk. Zoetmulder, 1991:3). Manusia lebih biasa mencari jalan ke luar untuk dapat ke luar dari kegelapan pikiran. Hanya jalan yang ada di luar yang terlihat sementara jalan yang ada di dalam tidak terlihat sama sekali. Manusia justru menganggap mencari jalan di dalam diri adalah melepaskan diri dari ikatan (mati raga). Anggapan seperti itu telah mengakar bahwa mencari jalan ke dalam diri identik dengan masuk ke aliran-aliran spiritual tertentu yang cenderung fanatik. Kalepasan sering didengar, bahkan sering pula dilakukan. Namun, sayang tidak banyak tulisan yang mengulas kalepasan secara utuh, jika pun ada, itu hanya berupa anak sub bab saja. Ada kalanya kalepasan dipandang sebagai sebuah ajaran hanya menjadi milik para pendeta Hindu (sulinggih) atau para penekun spiritual. Kemungkinan ini terjadi karena para penafsir teks kalepasan lebih

 

1  

memfokuskan pada kasulinggihan. Padahal, kalepasan tidak sesempit itu, siapa pun boleh mendalami ajaran ini. Kalepasan bukanlah barang ekslusif milik mereka para pendeta Hindu. Kakawin 1 Panca Dharma yang terdiri atas Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan Dharma Putus adalah lima kakawin yang menjelaskan kalepasan. Dikatakan sebagai Kakawin Panca Dharma karena disusun dari lima teks kakawin. Kelima teks kakawin ini terdapat dalam satu keropak disimpan di Perpustakaan Pusat Dokumentasi Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, tersusun sedemikian rupa dengan Kakawin Dharma Sunya yang ditaruh paling atas. Secara utuh Kakawin Panca Dharma yang selanjutnya disingkat dengan KPD berisi tentang ajaran kalepasan. KPD memiliki satuan naratif yang terpola, antara satu teks dan teks lainnya mempunyai benang merah dalam menguraikan kalepasan. Komposisi kakawin ini lebih banyak membicarakan ajaran keikhlasan, misalnya mencari ketenangan dengan mengembara dalam pikiran, memuja dewa kesunyian, dan melepaskan ikatan. Gedong Kirtya Singaraja Bali juga menyimpan teks KPD pada keropak bernomor tujuh dalam golongan karya sastra kakawin. Seorang pemangku asal Songan Kintamani Bangli 2 menegaskan bahwa kelima teks kakawin yang                                                                                                                 1

Kata Kakawin berasal dari kata Sanskerta kavya, jenis epik kerajaan Sanskerta klasik yang berkembang pesat di India khususnya antara abad ke-5 sampai dengan ke-14. Kakawin adalah sebuah bentuk nominal yang berasal dari akar kata Kawi (“penyair”; “bahasa puisi”). Ortografi bahasa Sanskerta v, umumnya diterjemahkan sebagai w dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, kavya Sanskerta menjad kawya dalam bahasa Jawa Kuno (Creese, 2012:5). Kakawin diikat oleh metrum atau aturan bunyi yang dikenal dengan Guru atau suara berat dan Laghu atau suara ringan (Suarka, 2009:9). 2 Pemangku asal Songan Kintamani Bangli ini tidak sengaja bertemu dengan penulis tanggal 21 Agustus 2008 sewaktu penulis melakukan wawancara untuk Bali Orti Bali Post. Penulis tidak menemukan jejaknya sampai tesis ini dibuat, karena penduduk sekitar tidak mengetahui siapa dan di mana pemangku tersebut.

 

2  

berbicara kalepasan disebut Kakawin Panca Dharma. Kelima teks tersebut terdiri atas Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan Dharma Putus. I Nyoman Suarka dalam diskusi juga menegaskan Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan Dharma Putus disebut dengan Kakawin Panca Dharma. Palguna, 1999:3 menyatakan, bahwa “seorang pembaca Dharma Sunya jangan berharap menemukan kisah yang digerakkan oleh konflik seorang protagonis yang kemudian selesai entah happy ending atau sad ending”. Artinya, seorang pembaca KPD, tidak akan menemukan kisah naratif yang berakhir dengan kebahagiaan ataupun kesedihan. Hal yang bisa ditemukan adalah berbagai ajaran yang berdasar atas kalepasan. Ajaran tersebut tidak begitu saja ada dalam teks kakawin. Pembaca harus terus menerus menafsirkan, memberikan interpretasi terhadap kata-kata yang dimaksudkan si pengarang kakawin. Pengelompokan kelima naskah kakawin berdasarkan kelompok ajaran atau wacana besar di dalamnya. Susunan lima kakawin ini dalam satu keropak mengisyaratkan tahapan-tahapan sebuah ajaran kalepasan. Jika berbicara tentang tahapan, tentu tidak bisa diabaikan tahapan yang disebut dasar sampai dengan tahapan yang disebut akhir. Kakawin Dharma Sawita yang diletakkan paling bawah pada keropak, bertutur tentang seorang guru yang sedang memberikan petuah kepada muridnya. Petuah itu berupa hakikat mengolah Sadrasa (enam rasa) untuk mencapai titik kebebasan. Titik kebebasan ini didapatkan dengan cara melakukan yoga yang tanpa harus dipersiapkan berlebihan. Maksudnya jalan ini diperoleh ketika sedang

 

3  

berbicara, bercakap, atau melakukan kegiatan sehari-hari yang didasari dengan keikhlasan. Susunan berikutnya, di atas Dharma Sawita adalah Kakawin Dharma Wimala. Kekhasan Kakawin Dharma Wimala, yaitu terletak pada pengarang kakawin mengibaratkan jalan kebebasan itu seperti perjuangan antara kebajikan melawan kebatilan. Karakter Panca Pandawa dan Korawa dipinjam untuk melukiskan bahwa dalam diri ada dua hal yang berbeda kutubnya. Keseluruhan isi Dharma Wimala, yaitu tentang pengendalian indria atau nafsu melalui jalan memuja Sanghyang Maheswara. Sanghyang Maheswara dipuja dengan cinta kasih dan pemuja Sanghyang Maheswara menebarkan cinta kasih untuk mencapai kebebasan tertinggi. Kakawin Dharma Niskala diletakkan setelah Kakawin Dharma Wimala. Secara utuh Dharma Niskala mendeskripsikan kemanunggalan ketika seseorang menempuh jalan agar menyatu dengan Siwa yang disebut Sanghyang Licin. Menyatu dengan cara menumbuhkan rasa kehampaan terhadap suka dan duka. Dharma Niskala lebih banyak menekankan ikhlas dengan cara menggunakan alam pikiran. Kakawin ini menyebutkan bahwa pikiranlah sebagai alam niskala. Selanjutnya, setelah Dharma Niskala, baik pengarang maupun penyalin, meletakkan Kakawin Dharma Sunya mendeskripsikan kalepasan adalah bentuk pencarian dalam perjalanan seseorang. Jalan akan ditemukan oleh orang yang berjalan, seseorang yang memilih jalan kalepasan, tidak harus melakukan tapa fisik. Ditekankan bahwa pengendalian terhadap pikiranlah yang sangat

 

4  

diperlukan. Kenikmatan yang paling tinggi adalah pada saat seseorang mengikhlaskan segala yang terjadi. Susunan terakhir, yaitu Kakawin Dharma Putus, mengungkapkan pencapaian paling tinggi adalah lepas. Titik tertinggi adalah nihilium. Pembebasan pikiran menuju kekekalan jiwa menuju pembebasan tertinggi. Pembebasan tidak hanya dilakukan dengan jalan tapa, tetapi juga dengan melapangkan hati, memahami hakikat hidup dengan jalan mengikhlaskan segala apa pun. Penekun sastra tradisional tentu lebih akrab mendengar jika ajaran apa pun, termasuk kalepasan biasanya ditulis dalam genre yang lain, yaitu tutur3. Hadirnya kalepasan dalam bentuk kakawin memberikan bentuk yang berbeda. Kalepasan dituturkan dengan puitik, ajaran ditembangkan dengan metrum, dan diresapi dengan pemaknaan. Karya sastra adalah produk olahan rasa, karenanya ia dapat memberikan rasa, dan mengangkat manusia atau pembacanya ke tingkat pengalaman keindahan dan kenikmatan tertentu (Agastia, 1994:55--56). Pengalamanpengalaman estetik antara pengarang dan pembaca terjalin melalui komunikasi kode-kode bahasa, sastra, dan budaya. Tersublimnya rasa seorang pengarang yang kemudian menggubahnya menjadi kakawin merupakan puncak kontemplasi seorang penikmat rasa. Komunikasi pengarang dengan pembaca terjadi berabadabad lewat interpretasi rasa seorang reseptor, yaitu pembaca.

                                                                                                                3

Tutur sering juga disebut tattwa merupakan genre sastra berbentuk prosa yang memakai bahasa Tengahan. Ciri khas sastra tutur ini terletak pada isi naskahnya yang sering menjelaskan ajaranajaran, petuah-petuah tertentu (Sastrawan, 2009:4).

 

5  

Membaca KPD seolah-seolah mendengar suara kumbang yang ngerem4 membisikkan suara Pencipta. Lalu samar-samar seperti ada pesan peradaban silam yang disampaikan melalui lima kakawin ini. Menuntun hati, memuja dengan tubuh dan pikiran tanpa sarana yang lain. Keadaan ini bisa dibandingkan pula dengan teks Jñanasiddhanta atau Tutur Adhyatmika, yang mengajarkan ajaran serupa. Seseorang yang belajar hakikat melepas tidak akan berhenti untuk senantiasa mengikhlaskan yang terjadi. Menerima sesuai dengan kadar ikhlas dalam dirinya dan berusaha mengatasi apa pun dengan memaksimalkan dirinya serta tidak mencari kambing hitam. Rasa seperti ini yang menjadi dasar dari yadnya (korban suci yang tulus ikhlas), yang pada masa sekarang sering dilakukan dengan besar-besaran, tetapi membuat pelaku yadnya menderita kemudian terlilit utang. Zoetmulder, 1991:57-58 menjelaskan, bahwa praktikpraktik matiraga berusaha memeroleh daya magis tanpa mempersembahkan korban. Sumbernya bukan lagi suatu tata upacara yang lepas dari kemauan manusia, yang dijabarkan dalam peraturan-peraturan yang baku, melainkan dalam daya upaya pribadi, perbuatan manusia itu sendiri. Diri merupakan kuil pemujaan, dalam olah tapa-brata itu konsentrasi batin merupakan salah satu praktik yang paling penting sehingga lambat laun “diri pribadi” atau Atman makin diutarakan. Dalam lingkungan kehidupan pribadi sang                                                                                                                 4

Suara kumbang yang sedang mengisap sari atau kelopak bunga dalam Kakawin Dharma Putus dianalogikan seperti suara Om yang panjang dan bergetar sehingga timbullah suara yang ngerem. Om merupakan aksara suci Tuhan, pusat dari segala yang meng-Ada dunia. Kumbang dan padma begitulah metafor yang dipakai melambangkan Padma Asta Dala dengan delapan sifat kemahakuasannya (Palguna, 1999:246).

 

6  

Atman-lah menjadi pusat yang memancarkan segala daya kekuatan, sama seperti Brahman yang menjadi pusat semesta (Zoetmulder, 1991:58). Tidak usah pergi ke mana-mana untuk memuja siapa-siapa jika berakhir dengan ketidakikhlasan. Siwa yang ditujunya ada pada pusat di dalam tubuhnya, pada hulu hatinya sehingga diri menjadi tempat bernaung semesta. Cukup pujalah semua yang ada dalam diri karena di setiap tempat tubuh manusia adalah tempat para dewa. Segala sesuatu (dalam tubuhmu) merupakan hidup yang keramat (Sanghyang Hurip), merupakan Ciptaan Tertinggi (Wisesa-Karya), tubuhmu: dalam tangan, dalam kaki, kulit, daging, otot, tulang, pembuluh utama, buah pelir, jantung, empedu, pangkal tenggorokan (Soebadio, 1985:111). Setiap titik pada tubuh adalah aksara yang hidup dan selalu bergerak ke segala penjuru menghidupkan sudut-sudut pikiran. Bukankah tubuh dikatakan Bhuwana Alit yang merupakan bentuk analog dari Bhuwana Agung. Tubuh sebagai lautan luas yang penuh gejolak, tetapi semakin diselami jauh ke dalam, ketenangan akan didapati. Lautan yang tenang adalah tempat segalanya bermula dan bermuara. Demikian pula tubuh yang selalu membebaskan diri untuk menjadi apa pun. Kalepasan bukanlah sesuatu yang mistis, melainkan sesuatu yang realistis. Setiap orang dari usia berapa pun tidak menutup kemungkinan telah melakukan ajaran ini, tidak perlu menjadi tua untuk menekuni kalepasan. “Barang siapa mendaras Sanghyang Siddhanta akan menjadi masak, biarpun ia masih seorang anak, karena ia masak, apa pun usia, kelakuan atau laku tapanya” (Soebadio, 1985:267). Ketenangan akan diperoleh ketika seseorang berusaha untuk tidak pernah mencari pelampiasan ke luar dari dirinya, tetapi melakukan segala sesuatu

 

7  

dengan senang hati, riang gembira, tanpa mengeluh atau cemberut. Tindakantindakan nyata dan sederhana yang dilakukan sehari-hari adalah bentuk nikmat dari kesunyian itu. Mengikhlaskan, meniadakan segala hal, artinya membuat diri senyaman mungkin dengan keadaan yang tentunya melahirkan kebahagiaan. Ketertarikan penulis melakukan penelitian terhadap KPD adalah keinginan untuk menjelaskan kalepasan. Kelima teks kakawin ini merupakan ajaran, baik secara dasar maupun lanjut, untuk menekuni kalepasan. KPD akan membantu memberikan sumbangan penjelasan tentang kalepasan, agar masyarakat tidak terburu-buru menjadikan diri berpenampilan spiritualis, tetapi tidak tahu dasar pijakannya. Seseorang dikatakan menjadi matang (masak), apabila dia mengetahui hakikat dari Sanghyang Siddhanta, tidak karena orang itu berkumis, berambut putih, atau hanya dia dilahirkan saja (Soebadio, 1985:267). Berdasarkan pengamatan penulis, fenomena masyarakat sekarang justru cenderung lari ke jalan spiritual untuk melarikan diri dari tuntutan zaman. Bermunculannya kelompokkelompok spiritual baru, seolah menegaskan bahwa dunia spiritual merupakan tempat ketenangan. Entah ketenangan yang bersifat sejenak atau selamanya karena kontemplasi tidak didapatkan dengan cara yang instan. Sebelum membaca KPD, seorang pembaca atau peneliti harus membekali dirinya dengan berbagai bacaan tentang kalepasan. Beberapa teks yang merupakan jalan penghubung adalah Tutur Kamoksan, Kalepasan, dan Kadyatmikan. Teks-teks ini dibaca untuk memberikan batasan tentang kalepasan, bentuk-bentuk kalepasan, dan syarat-syarat kalepasan. Teks-teks lain yang membantu adalah Wraspatitattwa, Andabhuana, dan Bhuwana Kosa. Teks-teks

 

8  

tersebut memuat ide, analogi, metafor, juga istilah-istilah tertentu yang ada dalam KPD.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk wacana kalepasan dalam KPD? 2. Bagaimanakah fungsi wacana kalepasan dalam KPD? 3. Bagaimanakah makna wacana kalepasan dalam KPD?

1.3 Tujuan Tentunya penelitian memiliki suatu harapan dan tujuan tertentu, demikian pula dengan penelitian ini. Secara garis besar penelitian ini memiliki dua garis besar tujuan yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang ajaran kalepasan dalam KPD agar pembaca memiliki tambahan pengetahuan tentang ajaran kalepasan. Selain itu, juga untuk menambah khazanah penelitian dalam bidang sastra, khususnya sastra Jawa Kuno.

 

9  

1.3.2 Tujuan khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. 1. Untuk mengetahui bentuk wacana kalepasan dalam KPD. 2. Untuk mengetahui fungsi wacana kalepasan dalam KPD. 3. Untuk mengetahui makna wacana kalepasan dalam KPD.

1.4 Manfaat Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan kepraktisan. Manfaat pertama bersifat teoretis dan manfaat yang kedua bersifat praktis dapat dijelaskan seperti di bawah ini.

1.4.1 Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi penelitian sejenis pada masa mendatang. Artinya, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membina dan mengembangkan pemahaman terhadap karya sastra kakawin di bidang wacana.

1.4.2

Manfaat praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan agar bermanfaat bagi masyarakat

dalam memahami ajaran kalepasan yang multitafsir sehingga tidak ada lagi penyempitan makna kalepasan itu sendiri.

 

10  

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian-penelitian tentang wacana kalepasan memang belum terlalu banyak. Namun, penelitian terhadap kakawin yang memuat katattwan SiwaBudha sudah banyak yang melakukannya, baik berupa tesis, disertasi, maupun buku-buku hasil proyek pengembangan bahasa, sastra, dan budaya. Dua di antaranya berupa disertasi yang dilahirkan di Belanda, yaitu (1) Haryati Soebadio tahun 1971 yang dialihbahasakan tahun 1985 dengan judul “Jñanasiddhanta”, dan (2) I.B.M. Dharma Palguna tahun 1999 dengan judul “Dharma Sunya: Memuja dan Meneliti Siwa”. “Jñanasiddhanta” karya Haryati Soebadio yang diterbitkan oleh Penerbit Djambatan tahun 1985, mengulas dengan cermat dan teliti tentang teks Jñanasiddhanta. Penelitian ini menguraikan panjang lebar suntingan teks Jñanasiddhanta atau yang juga dikenal dengan judul Tutur Adhyatmika. Teks-teks lain yang berkaitan menjadi acuan ajaran kemanunggalan Siwa-Buddha dalam teks Jñanasiddhanta diuraikan pula dalam disertasi ini. Ajaran tentang yoga, mudra, analog tubuh dan semesta serta konsep-konsep kemanunggalan difokuskan dalam penelitian ini. Sayangnya Haryati Soebadio berhenti pada tahap terjemahan bagian akhir dari teks Jñanasiddhanta yang menyatakan bahwa yang melakukan ajaran kemanunggalan ini tidak memandang usia. Haryati Soebadio tidak menguraikan bagaimana ajaran kemanunggalan dipahami, diresapi, bahkan dilaksanakan.

 

11  

Penelitian Haryati Soebadio dengan judul Jñanasiddhanta dijadikan pintu masuk dalam penelitian yang dilakukan peneliti. Gagasan-gagasan pemikiran kemanunggalan merupakan awal peletakan konsep tentang kalepasan. Memang terlalu dini untuk mengatakan demikian, tetapi semuanya akan terjawab dalam penelitian ini. Jika penelitian Haryati Soebadio dikatakan sebagai pintu masuk, maka penelitian I.B.M. Dharma Palguna (Dharma Sunya: Memuja dan Meneliti Siwa) diterbitkan oleh Yayasan Dharma Sastra tahun 1999 merupakan jembatan penghubung pada penelitian terhadap kalepasan. Dharma Sunya yang ditelitinya menitikberatkan pada gagasan-gagasan kasunyatan, keheningan, kenirmalaan yang mampu melahirkan segalanya termasuk karya sastra. Tentunya pemikiran I.B.M. Dharma Palguna juga menjadi acuan, pembanding, dan pemutar dalam penelitian kalepasan. Kendatipun Dharma Sunya telah diteliti, tetapi fokus yang akan diambil dalam penelitian ini berbeda, yaitu bagaimana porsi dan posisi kalepasan itu. Hal ini berkaitan dengan fenomena masyarakat yang menganggap kalepasan hanya milik para sulinggih. Jika I.B.M. Dharma Palguna menelitinya pada posisi kasunyatan dalam teks, maka penelitian kalepasan yang dilakukan mengambil posisi pada aplikasi kalepasan pada era sekarang. Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita Telaah Konsep-konsep Keagamaan karya I Nyoman Weda Kusuma, yang diterbitkan oleh Pustaka Larasan bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar tahun 2012 juga dijadikan kajian pustaka dalam penelitian ini. Konsep-konsep keagamaan dengan latar Siwaisme di

 

12  

dalam buku ini membantu peneliti mengungkapkan juga membandingkan ajaran kalepasan yang diresepsi peneliti dan masyarakat luas. Latar Siwaisme inilah diungkapkan mewarnai kegiatan keagamaan di Bali. Pemujaan terhadap Bhatara Siwa dengan berbagai manifestasi mendasari pelaksanaan upacara-upacara yadnya di Bali. Bhatara Siwa disebut Yang Mahatinggi, sama seperti isi teks KPD.

2.2 Konsep Konsep merupakan hasil abstraksi dan sintesis teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian yang dihadapi untuk menjawab dan memecahkan masalah penelitian (Buku Pedoman Usulan Penelitan, Tesis, dan Disertasi Program Pascasarjana Universitas Udayana). Berdasarkan pengertian di atas, penelitian ini menggunakan konsep kalepasan dan Siwa-Buddha.

2.2.1

Kalepasan Kalepasan dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (2006:589) mengacu pada

kebebasan dari ikatan keduniawian, dari kelahiran kembali. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:450) dinyatakan bahwa kalepasan mengacu pada keikhlasan yang berasal dari kata ‘ikhlas’ berarti tulus hati. Kata itu mendapat awalan ke- dan akhiran –an sehingga keikhlasan berarti ketulusan hati dan kerelaan. Dalam Tutur Adhyatmika, yaitu bagian teks Jñanasiddhanta dikatakan bahwa Siddhanta demikian besar saktinya sehingga seseorang yang

 

13  

memahaminya akan dianggap dewasa biarpun ia baru seorang anak kecil. Kedewasaan sejati tidak tergantung pada usia, kelakuan, atau tapa brata. Tutur Adhyatmika menegaskan bahwa kalepasan tidak memandang usia. Tentunya ini berbeda dari pemahaman masyarakat bahwasanya ajaran kalepasan hanya milik sulinggih. Tutur Kamoksan dan Tutur Kalepasan merujuk pada kalepasan yang dikatakan sebagai perwujudan perasaan yang ikhlas, ning, nir. Tidak ada paksaan dalam segala apa pun yang kemudian melahirkan kesadaran mahatinggi. Mereka (siapa pun) yang melakukan apa pun harus didasari dengan kalepasan yang berarti keikhlasan. Ikhlas dalam segala hal serta sadar melakukan apa pun. Pembebasan jiwa, menyatunya atma dengan semesta, dan hilangnya keterikatan jiwa pada tubuh adalah pengertian tentang kalepasan. Begitu banyak sebutan dan pemahaman terhadap kalepasan. Acuan pemahaman itu tergantung pada jalan mana yang dipilih oleh penekun spiritual, tingkatan yoga seseorang, dan letak titik pada tubuh saat pembebasan jiwa. Jalan pembebasan jiwa dapat dilakukan sedari dini dari hal-hal yang kecil, semisal mengatur napas mengendalikan indra. Berbagai ajaran yoga menjadi dasar untuk menuju pembebasan jiwa 5 . Jñānasiddhânta memang lebih banyak menguraikan jalan kematian, jalan kematian yang benar sesuai dengan ajaran yoga. Kemanunggalan adalah tujuan akhir, tetapi sesungguhnya kemanunggalan merupakan kehidupan yang kekal, bukan sebuah kematian.                                                                                                                 5

Beberapa ajaran yoga seperti Astangga Yoga, Sad Angga Yoga, yang diadopsi dari India ini, menjadi dasar-dasar ajaran kalepasan. Baik Astangga Yoga maupun Sad Angga Yoga sama-sama mengajarkan betapa tiap tahap ajaran yoga menjadi penentu bebasnya jiwa (Soebadio, 1985:8--9).

 

14  

2.2.2

Siwa-Buddha Siwa-Buddha merupakan cerminan karakter dalam diri manusia yaitu

feminim dan maskulin. Lebih lanjut kemudian, Siwa-Buddha dipahami sebagai evolusi sinkritisme antara dua ajaran besar yang pernah berkembang di Nusantara. Siwa-Buddha bukan agama barat atau agama timur, melainkan agama tengah yang melebur bersama tradisi agama Hindu di Bali. Widnya, 2007 dalam makalah yang berjudul “Siwa-Buddha: Realitasnya dalam Masyarakat Hindu di Bali”, yang makalahnya dibawakan dalam Seminar Mandala Buddhisme Esoterik (Tantra; Vajrayana): Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia, menyatakan, bahwa sinkritisme Siwa-Buddha di Bali sudah ada sejak zaman Bali Kuno (abad 8--14 M), seperti yang dibuktikan melalui tinggalan-tinggalan arkeologi dan literatur. Prasasti Blanjong, misalnya, menjelaskan bahwa raja mencari perlindungan Buddha untuk kesejahteraan negerinya. Buddha pada zaman Bali Kuno dikenal dengan berbagai nama, seperti Jina, Sakyamuni, dan Sogata. Sementara dalam Prasasti Landih terdapat doa pemujaan terhadap Siwa dan Buddha. Pada teks Kidung Pamancangah, misalnya, sinkritisme Siwa-Buddha terlihat kuat ketika diadakannya homa yadnya pada zaman Dalem Waturenggong. Upacara tersebut dilaksanakan oleh pendeta Siwa dan pendeta Buddha. Sinkritisme tersebut diwarisi sampai sekarang oleh Hindu di Bali. Siwa-Buddha dalam penelitian ini akan menguatkan konsep kalepasan. Atma berada pada pikiran yang dikotomis, yaitu melepas yang ada menjadi ada

 

15  

juga melepas yang ada menjadi tidak ada. Pikiran yang dikotomis itulah merupakan peleburan karakter Siwa-Buddha dalam diri.

2.3

Landasan Teori Penelitian ini memakai beberapa teori untuk mendapatkan hasil akhir

berupa bentuk, fungsi, dan makna wacana kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma. Teori-teori yang dimaksud adalah teori semiotika dan teori rasa.

2.3.1

Teori semiotika Semiotika lahir dari perkembangan teori strukturalisme. Semiotika juga

merupakan jembatan menuju dunia poststrukturalisme. Saussure yang seorang ahli bahasa meletakkan konsep pertama semiotika, yaitu penanda dan petanda. Kemudian, seorang ahli logika, yaitu Pierce menyatakan bahwa tanda adalah logika. Hasil pemaknaan tanda dikatakannya adalah hal yang logis. Perpaduan pemikiran keduanya dapat dikatakan bahwa semiotika adalah suatu bidang ilmu yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi melalui sarana tandatanda dan berdasarkan sistem tanda. Semiotika memfokuskan penelitiannya pada tanda. Tanda dihasilkan melalui proses signifikasi yang merupakan proses yang memadukan antara penanda atau hal sebenarnya dan petanda atau hal yang diacu (Barthes dalam Young, 1981:37--38; Budiman, 1999:108; Sunardi, 2002:49; Suarka, 2007:23). Tanda dikatakan sebagai segala apa yang menyatakan sesuatu yang lain daripada dirinya. Contoh: ‘mawar merah’, jika sebagai penanda ‘mawar

 

16  

merah’ adalah bunga itu sendiri, sementara jika sebagai petanda, ‘mawar merah’ bermakna cinta. Apa pun memiliki tanda. Jadi hidup dan kehidupan ini penuh dengan tanda. Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan atas: (1) representamen, ground, tanda itu sendiri sebagai perwujudan umum: (a) qualisigns, terbentuk oleh kualitas, misalnya warna hijau; (b) sinsigns, tokens, terbentuk melalui realitas fisik, misalnya rambu lalu lintas; (c) legisigns, types terbentuk dari hukum, misalnya suara pluit wasit pertandingan sepak bola; (2) object (designatum, denotatum, refernt) diacu pada (a) ikon yaitu hubungan penanda dan petanda karena kemiripan, misalnya foto, atau jika dalam teks karya sastra berupa lukisan watak tokoh; (b) indeks, yaitu hubungan penanda dan petanda karena sebab akibat, misalnya asap-api, siang-malam; (c) simbol, yaitu hubungan penanda dan petanda yang bersifat konvensional, misalnya Widhi mengacu pada Tuhan agama Hindu; (3) interpretant, tanda-tanda yang terjadi dalam batin penerima: (a) rheme, yaitu tanda sebagai kemungkinan, semisal konsep; (b) decisigns, dicent signs, yaitu tanda sebagai fakta, semisal pernyataan deskriftif; (c) argument, yaitu tanda tampak sebagai nalar, semisal proposisi6. Tanda tidak akan bermakna apabila tidak ada yang menginterpretasinya. Manusia merupakan makhluk pencari makna7. Kaitannya dengan teks Kakawin Panca Dharma adalah bahasa teks dijadikan lahan untuk memproduksi tanda. Sederhananya bahasa teks kakawin adalah tanda itu sendiri. Hasil yang diperoleh                                                                                                                 6

Bandingkan dengan buku Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Ratna, 2004:101--104). Bandingkan dengan buku Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Hoed, 2011:99--108), disebutkan bahwa manusia adalah mesin memproduksi tanda. 7

 

17  

dari penelitian bukanlah struktur, melainkan proses semiosis yang memberikan makna unsur kebudayaan yang dipandang sebagai tanda. Ketika tanda dalam teks KPD telah diinterpretasikan dengan multitafsir peneliti, maka didapatkanlah wacana kalepasan dalam teks KPD. Dari hasil penelitian semiotika KPD ini diperoleh pengetahuan dan pemahaman atas gejala kebudayaan yang diteliti. Tujuan utamanya, yaitu memahami kemampuan pikiran manusia untuk memproduksi dan memahami tanda.

2.3.2

Teori rasa Mpu Kanwa dalam gubahannya, yaitu Kakawin Arjuna Wiwaha,

merepresentasikan keunggulan pengalaman estetik Jawa Kuno (Zoetmulder, 1985:312). Istilah rasa yang dikemukakan oleh Mpu Kanwa tampaknya erat kaitannya dengan rasa yang dikemukakan pula oleh Muni Bharata dalam bukunya Natyasastra. Bharata diperkirakan hidup di antara abad ke-1 sampai dengan abad ke-4 Masehi (Suamba, 2005:224). Natyasastra disebut-sebut sebagai ensiklopedia kesenian tersebut, semula hanya dipandang sebagai buku teoretis untuk seni drama, tetapi kemudian difungsikan juga untuk memahami karya seni lain, termasuk sastra. Natyasastra terdiri atas 37 bab dan 5.569 ayat. Teksnya berbentuk sutra ‘metris’, tetapi juga ada beberapa bab yang berbentuk prosa (Suamba, 2005:224). Salah satu bab, yakni bab 6 secara khusus membahas rasa. Hartoko (1991:68) ketika membicarakan estetika India menyatakan penghargaan bahwa hal yang menarik dalam buku ini ialah tentang pengertiannya yang

 

18  

mendalam mengenai seluk-beluk batin manusia serta gelombang-gelombang emosinya, mulai dari kesadaran praktis sampai dengan perenungan estetik.8 Perdebatan tentang estetika sudah dimulai sejak zaman Aristoteles sekitar abad 5-4 Sebelum Masehi. Paham lama menyatakan bahwa keindahan terdapat pada setiap objek. Seiring dengan berkembangnya zaman keindahan tidak lagi berada pada objeknya tetapi ada pada subjek atau penikmatnya. Dinamika pemahaman baru tentang aspek estetis itu berpindah-pindah, dipandang sebagai perubahan struktur pemikiran penikmatnya. Jadi, antara penikmat satu dan penikmat lainnya tidak akan memiliki pandangan yang sama pada sebuah objek, kendatipun pada hakikatnya setiap objek itu indah. Ketidaksamaan inilah yang memunculkan pemikiran baru bahwa keindahan hanya ada dalam pikiran manusia, dengan kata lain hanya manusia (individu) yang tahu tentang pikirannya. Kesadaran jiwa individu yang menikmatinya memungkinkan dalam penikmatan aspek. Objek tidak akan bergerak, tetapi yang bergerak dinamis adalah subjek (Bdk. Teeuw, 1988:191). Tentunya estetika merupakan bagian dari rasa. Rasa lebih jauh lebih luas jangkauannya dibandingkan dengan estetika. Estetika dapat dicapai dengan panca indra, yaitu melalui mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Rasa tidak terjangkau pencapaiannya. Rasalah yang menciptakan estetika itu. Kata rasa berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari urat kata ras yang berarti mengerang; menangis; berteriak; bergema; dan berkumandang (Astra, 2001:348). Rasa dibangkitkan

                                                                                                                17

 

Bandingkan dengan Teori Rasa Memahami Taksu, Ekspresi, dan Metodenya (Yasa, 2007:3).

19  

melalui kreativitas imajinatif dengan bhawa sebagai dasarnya. Rasa dalam karya sastra dikenal dengan rasa bhasa. Rasa atau pengalaman estetik diakibatkan oleh kemampuan seniman menyublimkan bhawa (emosinya) dari tataran psikologis ke tataran estetik. Bhawa adalah konsep utama yang melahirkan rasa. Dalam kreativitas imajinatif (emosi individual) ditransformasikan menjadi rasa: pengalaman estetik yang nonindividual, universal, mengatasi ruang dan waktu, serta keadaan partikular (Wiryamartana, 1990:356; Yasa, 2007:5). Rumusan tentang rasa yang ditulis Bharata kemudian diterjemahkan oleh Sharma (1987:95; Yasa, 2007:5--6), dirumuskan bahwa rasa dibawa bersama dengan pengalaman melalui hubungan antara wibhawas (keadaan atau situasi dan objek yang membangkitkan emosi), anubhawa/sthayibhawa (emosi dasar yang ada dalam diri manusia), dan wyabhicaribhawas (emosi atau keadaan mental yang bersifat sementara yang timbul sebagai penyerta dalam proses bangkitnya rasa). Sederhananya, emosi yang ada dalam diri kemudian menyublim menjadi rasa. Rasa sebagai bentuk konkret sekaligus abstrak dari emosi. Pencapain terhadap rasa diperoleh dengan cara yoga sastra sehingga rasa dimiliki oleh setiap individu atau karya-karya individu. Teori rasa membantu penelitian ini untuk memecahkan sejauh mana pengaruh rasa pengarang Kakawin Panca Dharma dalam menggubah karyanya. Teori rasa lebih dalam akan mengungkapkan bentuk-bentuk pengalaman estetik tentang kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma.

 

20  

2.4 Model Penelitian          

Teori Semiotika Teori Rasa

Kakawin Panca Dharma

 

Bentuk Kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma

Fungsi Kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma

Makna Kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma

Keterangan model penelitian

Teori yang dipakai dalam penelitian.

Objek penelitian.

Hasil penelitian.

Garis penghubung dari teori ke objek dan dari objek ke hasil penelitian.

Kakawin Panca Dharma dikaji dengan dua teori, yaitu teori semiotika dan teori rasa untuk mendapatkan wacana kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma. Wacana tersebut berupa bentuk, fungsi, dan makna kalepasan dalam Kakawin

 

21  

Panca Dharma. Hasil akhir berupa pemahaman kalepasan secara utuh menurut Kakawin Panca Dharma yang tersusun atas lima teks kakawin.

 

22  

BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang umumnya digunakan pada jenis-jenis penelitian ilmu sosial, humaniora. Penelitian terhadap sebuah karya sastra merupakan penelitian dalam ranah ilmu humaniora, sehingga metode kualitatif tepat digunakan dalam proses penelitian terhadap KPD. Selain itu, metode kualitatif dapat memberikan perincian secara detail terhadap fenomena yang belum diketahui dalam objek penelitian.

3.1 Rancangan Penelitian Mekanisme kerja dalam penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yakni persiapan, tugas lapangan, dan tahap analisis. Tahap persiapan dalam hal ini meliputi pemilihan judul, studi pustaka, perumusan masalah, perumusan tujuan, penentuan model penelitian, dan penetapan waktu penelitian. Pemilihan judul dilakukan dengan terlebih dahulu membaca KPD, Tutur Kalepasan, Tutur Kamoksan, dan Tutur Adhyatmika. Setelah membaca dan memahami teks, lalu mencari permasalahan yang ada dalam KPD. Tentu saja fenomena yang berusaha dicari di sini adalah fenomena yang belum pernah diteliti dalam penelitian sejenis sebelumnya. Langkah selanjutnya dalam tahap persiapan adalah studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan-bahan serta literatur yang menunjang proses penelitian. Pemilihan dan pengumpulan bahan-bahan serta

 

23  

literatur penunjang tentu saja dikaitkan dengan rumusan masalah serta tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Tahap tugas lapangan merupakan tahap selanjutnya. Pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan bahan-bahan pustaka berupa teks KPD, Tutur Kalepasan, Tutur Kamoksan, dan Tutur Adhyatmika, wawancara dengan informan dari kalangan biasa dan sulinggih. Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi sejauh mana interpretasi informan terhadap ajaran kalepasan. Tahapan analisis, bertujuan menganalisis, memecahkan masalah sesuai dengan data yang ada. Pada tahapan ini, isi pikiran penulis dieksplorasi, kemudian digabungkan dengan data yang telah tersedia.

3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif berupa teks Kakawin Panca Dharma koleksi Pusat Dokumentasi Budaya Provinsi Bali. Sumber data primer adalah Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Putus, dan Dharma Sunya yang disebut Kakawin Panca Dharma. Sementara data sekunder berupa informan serta buku-buku penunjang yang berkaitan dengan penelitian.

3.3 Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan instrumen kartu data yang dibuat peneliti, tape recorder, kamera, serta media internet. Kartu data menggunakan pengodean terbuka, yaitu pengumpulan data dengan pemberian nama serta pengelompokan

 

24  

data dan fenomena-fenomena yang relevan dengan masalah penelitian. Tape recorder adalah instrumen penelitian yang digunakan untuk menyimpan informasi yang diperoleh dari informan. Media internet dimanfaatkan untuk mengumpulkan data penunjang dalam penelitian ini.

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Penyediaan data dengan studi kepustakaan menggunakan teknik membaca berulang-ulang yang disertai dengan menerjemahkan objek penelitian dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Teknik lain yang membantu adalah teknik catat dan wawancara. Teknik catat digunakan untuk menulis atau mencatat hal-hal penting yang ditemukan dalam penelitian. Sementara itu, hasil wawancara direkam dalam alat perekam (tape recorder). Teknik wawancara yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara bebas terbuka. Wawancara dengan terbuka memberikan kemungkinan responden untuk menjawab sesuai dengan keinginan penulis.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data Metode deskriptif-analitik digunakan dalam penelitian ini. Metode ini membantu mendeskripsikan hasil penelitian sesuai dengan analisis yang dilakukan. Tujuan analisis dalam penelitian ini adalah menyempitkan dan membatasi penemuan-penemuan hingga menjadi satu data yang teratur dan lebih berarti. Data yang telah ditemukan lalu dideskripsikan kemudian dianalisis

 

25  

dengan teori semiotika dan teori rasa. Langkah awal teori semiotika diharapkan dapat menemukan wacana kalepasan dalam KPD. Sementara teori rasa digunakan untuk memeroleh bentuk pengalaman-pengalaman estetik kalepasan dalam KPD. Hasil akhir berupa pemahaman kalepasan dengan dasar Siwa-Buddha secara utuh menurut KPD. Pendeskripsian terhadap data yang telah dianalisis akan memperlihatkan sejauh mana wacana kalepasan dalam KPD. Selanjutnya hasil tafsir dari wacana kalepasan akan mengungkapkan pula pengalaman-pengalaman estetik kalepasan.

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Data yang telah dianalisis disajikan dengan metode informal. Metode informal, yaitu metode yang menyampaikan hasil penelitian secara verbalitas yang di dalamnya menggunakan kalimat atau gambar (Semi, 1993:247; Sastrawan, 2005:10). Analisis dituangkan dalam enam bab. Bab I terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, serta manfaat penelitian. Bab II terdiri atas kajian pustaka, konsep, landasan teori, serta model penelitian. Bab III merupakan metode penelitian yang terdiri atas rancangan penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, serta metode dan teknik penyajian hasil analisis. Bab IV menguraikan bentuk wacana kalepasan dalam KPD. Sementara, Bab V mendeskripsikan fungsi wacana kalepasan dalam KPD. Bab VI menjelaskan makna wacana kalepasan dalam KPD. Bab VII adalah bagian akhir yang berisi

 

26  

simpulan atas proses analisis yang telah dilakukan serta saran-saran yang berkaitan dengan hasil analisis.                

   

 

27  

BAB IV BENTUK WACANA KALEPASAN DALAM KAKAWIN PANCA DHARMA

4.1 Identifikasi Teks Kakawin Panca Dharma Teks KPD yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks yang berasal dari berbagai daerah di Bali. Teks tersebut tersimpan di Pusat Dokumentasi Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Teks tersebut terdapat dalam satu keropak (K/9/Ka/Dokbud). Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang penelitian ini bahwa teks KPD terdiri atas lima teks kakawin. Kelima teks kakawin diletakkan dalam satu keropak serta berurutan, mulai dari teks Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, sampai dengan Dharma Putus. Kakawin Dharma Sawita dan Dharma Wimala merupakan teks dasar ajaran kalepasan. Sementara teks Kakawin Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan Dharma Putus merupakan teks ajaran kalepasan tingkat lanjut. Keunikan KPD, selain berbicara tentang kalepasan, pada manggala tiap-tiap teks selalu ditemukan kata amběk, manah, rasa, nirmmala. Keempat kata itu mewakili dimensi personal, baik dari dalam maupun dari luar diri. Tiap-tiap kata (nirmmala, manah, rasa, amběk) diterjemahkan sesuai dengan konteksnya dalam kakawin, yaitu nirmmala (suci), manah (pikiran, hati), rasa (perasaan), dan amběk (batin). Pikiran, hati, perasaan, batin, dan suci itulah sebuah persembahan keindahan. Manggala masing-masing kakawin yang menunjukkan kata ambek, manah, rasa, nirmmala adalah sebagai berikut.

 

28  

Amběk Saŋ Sura mārtha riŋ raşa nahan pariñci lokeŋ jagat/ ndatan siŋsala mastwaniŋ surasa dur raşa tutus niŋ raşa/ sidhaniŋ raşa moksa rasa lěpasing raşa luput cininan tkeŋ paŋuwus uwusan/ ya tikanaŋ amběk maha purusa// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-1). Sěmbah niŋ wwaŋ-amurşite pada maheswara saphala kitā srayeŋ maŋo/ wyāpiwyāpaka mūrtti kita sarwwa gata wimala yoga lakşana/ ONG kārātmaka mantra nirmala sūkşma wěkasing aganal maweh licin/ suña sthana ri sari niŋ samaya nirbbhana wěkas i panandi niŋ smrtti// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-1). Āmběk saŋ kawi siddha sūddha kadi sāgara gumawaŋaŋeka nirmmala/ iccha nispriya sāra ni kaleŋoŋan ya tika pasamudaya nirasa/ tatwajñana wěkas niŋ kaŋ parama sāstra sira ta pinakadi pandhita/ saksat liŋga nikaŋ sarāt pinakadī payasa nira huwus prakasita// (Kakawin Dharma Niskala, Kakawin Dharma Sunya, Bait ke-1). Wenten dharma putus kinubdanira sang purusa tinemu tan sakeng lekas/ rengen de nira sang wwang utama mangungsi ri karegepaning nirasraya/ apan tan sakaring kriyagama samadi tinaki-taki tan kapanditan/ anging biakta jugeka nispraba Batara Sinamaya sujati nirmmala// (Kakawin Dharma Putus, Bait ke-1). Manggala-manggala tiap teks kakawin mengisyaratkan satu tujuan utama yaitu persembahan atas dasar ketulusan dengan hati, pikiran, perasaan yang suci tanpa noda. Meneliti dan membaca KPD memerlukan ketelitian serta kecermatan wawasan untuk masuk lalu melangkah dari bait ke bait kakawin. Sebelum masuk pada analisis, dicoba diberikan gambaran isi tiap-tiap kakawin serta substansinya, yang tertuang dalam tabel di bawah ini.

Tabel I Esensi Kakawin Panca Dharma No 1

 

Judul Kakawin Dharma Sawita

Arti

Isi

Dharma

(perbuatan Bertutur tentang seorang

saleh;

kebajikan; guru

29  

yang

sedang

jasa).

memberikan petuah kepada

Sawita (matahari).

muridnya. Petuah itu berupa hakikat mengolah Sadrasa (enam rasa) untuk mencapai titik

kebebasan.

Titik

kebebasan ini didapatkan dengan yoga

cara yang

melakukan tanpa

dipersiapkan

harus

berlebihan.

Maksudnya jalan kalepasan diperolah

ketika

sedang

berbicara, bercakap, atau melakukan kegiatan seharihari yang didasari dengan keikhlasan. (Samaŋkana gati nikaŋ raşa maněmwa raşa sudha ta yā/ ndhyan kiyatiŋ rat ikaŋ parab Mpu Sura riŋ raşa mapageh sthana/ wenten sisyaniran bhisekanira Saŋ Sadraşa satyo malap/ tan len prih prihiŋ tata tata guru sasrusa kasatyanen// Wirama I, Bait ke-2). 2

 

Dharma Wimala

Dharma

(perbuatan Kakawin ini mengibaratkan

saleh;

kebajikan; jalan

30  

kebebasan

seperti

jasa).

perjuangan antara kebajikan

Wimala

(tidak

ternoda; suci).

melawan

kebatilan.

Karakter Panca Pandawa dan Korawa dipinjam untuk melukiskan bahwa dalam diri ada dua hal yang berbeda

kutubnya.

Keseluruhan Wimala,

isi

Dharma

yaitu

tentang

pengendalian

indria

atau

nafsu melalui jalan memuja Sanghyang

Maheswara.

Sanghyang

Maheswara

dipuja dengan cinta kasih dan

pemuja

Maheswara

Sanghyang menebarkan

cinta kasih untuk mencapai kebebasan tertinggi. (Nā liŋ Yudhistira rikaŋ twas atīta dibya/ göŋ dharma buddhi sirā nitya nurāga riŋ rat/ sātwā dhama pituwi bhakti pinūñakěn sih/ na margga niŋ parama nindya magöŋ kapaŋguh// Wirama II, Bait ke-7).

 

31  

3

Dharma Niskala

Dharma

(perbuatan Mendeskripsikan

saleh;

kebajikan; kemanunggalan

jasa).

ketika

seseorang menempuh jalan

Niskala

(tidak

terlihat;

tidak

terpisah-pisahkan).

agar menyatu dengan Siwa yang disebut Sang Hyang Licin. Menyatu dengan cara menumbuhkan

rasa

kehampaan terhadap suka dan duka. Dharma Niskala lebih banyak menekankan ikhlas

dengan

cara

menggunakan alam pikiran. Kakawin ini menyebutkan bahwa pikiranlah sebagai alam niskala. (Sāmpun labdha guru praboddha ri rěgěp satata pinaku muŋgu ri hati/ rākşan cupwana sāri-sāri nika hapini ŋakena ri sandhi niŋ těpět/ byakta waspa hilaŋ nikaŋ tiga rahasya ri paměsat ika ri niskala/ norāŋ sabdha hidhěp ndatan pahamoŋan prannawa huwusa mindha niskala// Wirama I, Bait ke7).

 

32  

4

Dharma Sunya

Dharma

(perbuatan Mendeskripsikan kalepasan

saleh;

kebajikan; adalah

jasa). Sunya

bentuk

pencarian

dalam perjalanan seseorang. (kosong;

Jalan akan ditemukan oleh orang

hampa).

yang

seseorang

berjalan,

yang

memilih

jalan kalepasan, tidak harus melakukan

tapa

Ditekankan

bahwa

pengendalian pikiranlah diperlukan.

fisik.

terhadap yang

sangat

Kenikmatan

yang paling tinggi adalah pada

saat

seseorang

mengikhlaskan segala yang terjadi. (Yeki mukya ni sandhi saŋ maněmu bhoga Paramasiwa tan patuduhan/ tuŋgal saŋ maŋucap kalāwan ika saŋ winuwusa pinakana tan kalen/ niŋ pwakeŋ pati len hurup ya ŋuniweha hala hayu suka duhka tan hana/ nis sandeha madeg maka sma mepek iŋ bhuwana sira wibhuh ya suksma ta// Wirama I, Bait ke-8).

 

33  

5

Dharma Putus

Dharma

(perbuatan Mengungkapkan

saleh;

kebajikan; pencapaian

jasa).

paling

tinggi

adalah lepas. Titik tertinggi

Putus (lepas, hilang).

adalah

nihilium.

Pembebasan menuju

pikiran,

kekekalan

menuju

jiwa

pembebasan

tertinggi. Pembebasan tidak hanya jalan

dilakukan tapa,

dengan

tetapi

juga

dengan melapangkan hati, memahami hakikat hidup dengan

jalan

mengikhlaskan segala apa pun. (Sakwehniŋ sakaton karěŋö kahucap karasa kaŋěn-aŋěn pwa tan hana/ mwaŋ sanddha wikalpa trěsna pada tan hanari sira wisirna muksaha/ aŋiŋ jagra sabawa astana manuŋgal i iděp ira nitiasa padaŋ/ lila lwir gaganawa tan jalada matra ri patemunikaŋ kajatmikan// Wirama I, Bait ke-3).

 

34  

4.2 Pengertian Kalepasan Kalepasan dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (2006:589) mengacu pada kebebasan dari ikatan keduniawian, dari kelahiran kembali. Kalepasan sebagai jalan kebebasan jiwa adalah titik yang dipilih jiwa untuk ke luar dari tubuh (dalam hal ini pusar). Ubun-ubun (kamoksan), ujung hidung (kanirbanan), mulut (kamuktan), dan pusar (kalepasan) menjadi jalan yang dengan sadar dipilih jiwa untuk membebaskan diri dari keterikatan pada tubuhnya. Sementara kalepasan, kamoksan, kanirbanan, kamuktan sebagai ajaran memiliki tujuan yang sama yaitu pembebasan jiwa (Kamus Jawa Kuna-Indonesia, 2006:589;672;701;678). Proses pembebasan tersebut tidak didapatkan begitu saja, artinya ada beberapa tahapan yang sadar atau tidak sadar dilakukan oleh jiwa. Lepasnya ikatan jiwa dengan tubuh menuju kebebasan tertinggi, yaitu semesta yang kosong9. Pembebasan jiwa, menyatunya atma dengan semesta, dan hilangnya keterikatan jiwa pada tubuh adalah pengertian tentang kalepasan. Begitu banyak sebutan dan pemahaman terhadap kalepasan. Acuan pemahaman itu tergantung pada jalan mana yang dipilih oleh penekun spiritual, tingkatan yoga seseorang, dan letak titik pada tubuh saat pembebasan jiwa. Jalan pembebasan jiwa dapat dilakukan sedari dini dari hal-hal yang kecil, semisal mengatur napas mengendalikan indra. Berbagai ajaran yoga menjadi dasar untuk menuju

                                                                                                                9

Ada empat tingkatan untuk mencapai tujuan Tertinggi yang disebut Catur Paramaartha. Adhisthana—Pratistha—Santi—Santyatita yang berpadanan dengan Kalepasan—Kamoksan— Kamuktan—Kanirbanan. Tingkat-tingkat yang dicapai tergantung pada tempat dalam tubuh yang pada saat meditasi dijadikan batu loncatan oleh jiwa. Atma dapat berangkat dari ubun-ubun, ujung hidung, mulut, dan pusar (Soebadio, 1985:18--19).

 

35  

pembebasan jiwa10. Jñānasiddhânta memang lebih banyak menguraikan jalan kematian, jalan kematian yang benar sesuai dengan ajaran yoga. Kemanunggalan adalah tujuan akhir, tetapi sesungguhnya kemanunggalan merupakan kehidupan yang kekal, bukan sebuah kematian (bdk. Agastia, 2010:10). Segala sesuatu di semesta ini bersifat dikotomis. Setiap yang ada akan menjadi tiada dan yang tiada menjadi ada kembali. Menyelam ke dasar mencari ketiadaan kemudian melesat ke permukaan menemukan yang ada. Hakikat kalepasan diibaratkan seperti menyelam ke dasar samudra. Atma menyelam ke dasar lalu berenang ke permukaan mencari tepi menemukan tujuannya. Dasar dan permukaan merupakan dualisme, seperti sebuah keyakinan semua memiliki dua sisi, tidak ada dasar tanpa permukaan, begitu pula sebaliknya. Jika dasar adalah awal, maka permukaan adalah tujuan. Jika permukaan adalah awal, maka dasar menjadi tujuan. Tentunya, tidak ada perkara yang permukaan lebih bagus, yang dasar kurang bagus. Semua karena dualisme sudut pandang. Bukankah, tidur pun mata tidak selalu terpejam? Seperti yang diungkapkan dalam kutipan di bawah ini. Hana ta lěkas apurwā de saŋ pandita mawuwus/ ri sěděŋ ika harip niŋ nidrā lina těŋětakěn/ paměsat ira hilaŋ niŋ swapnā tan paŋěn-aŋěnan/ ya tika hupaya sandhi saŋ wus labdha warah ikā// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama I, Bait ke-10). Terjemahannya Ada cara kuno dikatakan oleh Sang Pendeta/ rahasiakan, ketika sedang mengantuk, dalam tidur yang mati/ adalah saat-saat melesat hilangnya mimpi tanpa dipikirkan/ itulah upaya rahasia bagi orang yang telah                                                                                                                 10

Beberapa ajaran yoga seperti Astangga Yoga, Sad Angga Yoga, yang diadopsi dari India ini, menjadi dasar-dasar ajaran kalepasan. Baik Astangga Yoga maupun Sad Angga Yoga sama-sama mengajarkan betapa tiap tahap ajaran yoga menjadi penentu bebasnya jiwa (bdk. Soebadio, 1985:8--9).

 

36  

berhasil melakoni ajaran itu// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama I, Bait ke-10). Seorang penekun ajaran kalepasan tidak langsung memeroleh ajaran kebebasan seperti yang menjadi tujuannya. Proses merupakan suatu hal yang selalu melekat dalam diri seorang hamba yang mengabdi pada jalur kebebasan. Tahap demi tahap dilalui dari merangkak, berdiri, berjalan, berlari, sampai kemudian merangkak kembali. Sederhananya, seperti yang telah dikutip dalam Kakawin Dharma Sunya Bait 10, tidur dengan kesadaran pikiran, menyublimkan kesadaran pikiran yang kemudian terlelap. Dengan demikian, jiwa dengan sadar meninggalkan tubuh melesat sesaat dalam kelelapan tidur. Kepergian

atma yang

sesaat

memengaruhi

bawah

sadar

untuk

mendatangkan bayangan yang disebut mimpi. Ketika mimpi, tubuh sedang dipinjam oleh keinginan atau bawah sadar. Peristiwa sebelum bermimpi dengan tubuh yang pelan-pelan lemas (tertidur) adalah waktu ketika atma itu melesat sesaat. Maka, tidur dikatakan sebagai bentuk sederhana dari kalepasan dalam bait-bait awal Kakawin Dharma Sunya. Devi, 1967:56 dalam Palguna, 1999:151--152, menguraikan, bahwa tradisi mengajarkan keberadaan atma ada lima tingkatan yang disebut Pañcapada (lima alam). Teks Wrhaspatitattwa menjelaskan bahwa pada saat terjaga, keberadaan atma sangat jelas. Dicontohkan, dengan sarana tubuh atma bisa menggenggam atau melihat. Keadaan ini disebut Jagrapada (alam jaga). Ketika tertidur dan bermimpi keadaan atma dilukiskan “seperti bentuk bayang-bayang pada air” (kadyangga ning maya hana ring wwai). Bila air itu beriak bayangan itu pun kabur. Keberadaan atma ini disebut Swapnapada (alam mimpi). Pada saat tidur

 

37  

lelap tanpa mimpi ingatan atma disebutkan hilang dalam maya. Keberadaan atma ini disebut susuptapada (alam lelap). Tingkatan keberadaan atma selanjutnya disebut

Turyapada

(alam

jnana).

Jnana diartikan

‘pengetahuan

yang

membebaskan’. Pada tingkat ini atma disebut setingkat dengan Sadasiwa atau juga disebut dengan Atmasiddhi (atma penuh). Tingkatan terakhir disebut Turyantapada (alam akhir jnana), yaitu atma yang sudah moksa atau mencapai tingkatan Paramasiwa. Atma yang ada dalam tiga tingkatan pertama, terjaga– mimpi–lelap disebut Atma Sangsara (atma sengsara). Karena kesadarannya berputar-putar antara kesadaran dewa (terjaga), manusia (mimpi), dan binatang (lelap). Atma dalam tingkatan itu masih mengalami suka dan duka. Kalepasan yang ditempuh dengan cara ‘tidur yang mati’, artinya menghilangkan bayu, kata, dan pikiran dengan memejamkan mata. Mata yang terpejam seolah menghentikan atau mendiamkan segala macam bentuk, baik gerak fisik maupun gerak pikiran. Diam melahirkan pencarian ke dalam diri si atma dengan pendakian-pendakian yoga. Ajaran yoga ditempuh sebagai fondasi yang kuat untuk mencapai kebebasan tersebut. Jika ‘tidur yang mati’ dikatakan pendakian dengan cara mata terpejam, maka yoga olah tubuh dikatakan pendakian dengan mata terbuka. Kedua jalan yoga, baik dengan mata terpejam maupun terbuka adalah cara yang dipakai secara sadar oleh jiwa dan tubuh. Kesadaran pencarian ke dalam diri adalah pencarian kekosongan. Semakin dalam semakin kosong, hilang, sirna. Mencari untuk menghilangkan, artinya mencari sampai merasa tidak menemukan serta menghilangkan sampai tidak lagi merasa kehilangan. “Bila berhasil dengan jalan menghilangkan, maka orang tidak

 

38  

lagi merasa kehilangan (hana hilang tan inaku). Bila berhasil dengan jalan mencari, maka orang tidak lagi merasa sampai atau menemukan” (Palguna, 1999:152). Pendakian jalan dengan kekosongan akan merasakan bahwa kosong itu merupakan Tuhan. Zoetmulder, 1991:213-214, menegaskan bahwa “kata mulih yang sering dipakai untuk melukiskan terleburnya manusia di dalam Tuhan (atma dengan brahman), di sini mempunyai hati yang padat ialah menuju ke tempat ia harus berada, sekalipun dalam hal ini arti kembali termuat di dalamnya karena tempat itu sekaligus merupakan asal-usul manusia”. Jika yang kosong dicari di dalam diri, maka dalam diri manusia ada Tuhan. Hakikat Tuhan dalam diri, tidak berarti memuja diri sendiri, tetapi memuja Tuhan dalam bentuk manifestasi yang lain. Sesungguhnya antara aku (atma) dan Tuhan tersusun atas zat-zat yang sama sehingga memiliki sifat-sifat yang sama pula. Pencapaian akhirnya tetap sama, yaitu kosong, bebas, lepas dari segala macam ikatan duniawi, Karmaphala (hasil perbuatan), serta Punarbhawa (kelahiran kembali, reinkarnasi). Berarti aku (atma) dengan dia (Tuhan) telah melebur menjadi satu11. Sederhananya kalepasan adalah pencarian kebebasan dengan pendakian jalan yoga. Dasar-dasar yoga, ajaran tentang pengendalian, juga keikhlasan menjadi fondasi untuk mencapai pembebasan jiwa, menuju kekekalan yang Mahatinggi.

                                                                                                                11

Moksa (kalepasan) berarti pencapaian kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari Karmaphala (hasil perbuatan), dan Punarbhawa (kelahiran kembali, reinkarnasi). Bertolak dari keyakinan terhadap keberadaan Siwa dengan berbagai nama, maka konsep yang terkandung adalah bersifat Pantheisme-Monisme atau Manunggaling Kawula Gusti (Kusuma, 2012:204).

 

39  

4.3 Bentuk-bentuk Wacana Kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma Kalepasan dalam KPD dijabarkan pada setiap teks di tiap-tiap kakawin. Susunan KPD, yaitu Kakawin Dharma Sawita, Dharma Wimala, Dharma Niskala, Dharma Sunya, Dharma Putus. Kalepasan dalam kakawin satu dengan kakawin yang lainnya dikombinasikan sesuai dengan formula pengertian kalepasan di sub-bab sebelumnya. Artinya, kutipan dalam satu kakawin dengan kakawin lainnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Kelima teks kakawin ini akan menjelma berupa ajaran kalepasan dengan kebebasan berdasarkan kesadaran, kesederhanaan, dan keikhlasan. Kakawin Dharma Sawita bertutur tentang seorang guru yang sedang memberikan petuah kepada muridnya. Petuah itu berupa hakikat mengolah Sadrasa (enam rasa) untuk mencapai titik kebebasan. Titik kebebasan ini didapatkan dengan cara melakukan yoga fisik. Maksudnya, jalan ini diperolah ketika sedang berbicara, bercakap, atau melakukan kegiatan sehari-hari yang didasari dengan kesadaran. Perihal tersebut dapat ditemukan dalam bait-bait awal tepatnya bait kedua dari Kakawin Dharma Sawita, sebagai berikut. Samaŋkana gati nikaŋ rasa maněmwa rasa suddhā ta yā/ ndhyān kiyat iŋ rāt ikaŋ parab Mpu Surā riŋ rasa mapagěh sthanā/ wentěn sisya nirā n bhiseka nira Saŋ Sadrasa satyo malap/ tan len prih prihniŋ tata-tata guru susrusā kasatyaněn// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-2). Terjemahannya Demikianlah sesungguhnya rasa yang membawa pikiran ke dalam sucinya rasa itu/ adalah seorang yang berada di dunia bernama Mpu Sura memegang teguh rasa dan men-sthana-kannya/ ada seorang muridnya yang telah diangkatnya bernama Sang Sadrasa, sungguh setia/ tidak pernah lalai dalam melaksanakan tata krama kesetiaan bakti kepada guru// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-2).

 

40  

Sungguh menarik teks Kakawin Dharma Sawita apabila dibaca secara keseluruhan. Perdebatan-perdebatan kemudian muncul di dalam hati, bertanya siapa sejatinya ‘Mpu Sura’ dan siapa pula ‘Sang Sadrasa’. Pada bait kedua mereka berdua dijelaskan sebagai guru dan murid, tetapi setelah dibaca sampai bait terakhir, mereka berdua adalah dua personifikasi dalam diri manusia. Keduanya perwujudan aku (atma) dan Dia (Tuhan). Hubungan keduanya selaras membentuk harmonisasi yang berjalan beriringan menuju ke dalam diri. Mpu Sura sebagai guru, Dia yang mengada segalanya, simbol makrokosmos dengan setiap isinya. Sementara Sang Sadrasa adalah murid, aku (atma) yang berada di dalamnya, simbol mikrokosmos dengan segala analog makrokosmos (bdk. Zoetmulder, 1991:3). Tampaknya, Kakawin Dharma Sawita mengisyaratkan ajaran kalepasan dengan cara sederhana. Pergolakan menuju pembebasan jiwa diibaratkan seperti pergi belajar ke sekolah kehidupan. Semakin sering datang, semakin tekun, maka semakin dekatlah tanda kelulusan itu. Sekolah kehidupan mengajarkan kesadaran penuh pada diri sendiri dan luar diri. Pencapaian kebebasan dalam sekolah kehidupan juga dengan jalan yoga12. Keutamaan yang menjadi penekanan dalam Kakawin Dharma Sawita terletak pada Sadrasa (enam rasa yang utama)13. Pengendalian mendasar justru datang dari satu indra, yaitu lidah. Jihwěndriya14 adalah pusat indra rasa fisik.                                                                                                                 12

Jalan yoga merupakan pengabdian karena suatu dorongan jiwa untuk pengembangan diri mencapai pembebasan. Setiap langkah yoga adalah proses pencarian diri. Semesta akan selalu setia dengan segala macam bentuk ujiannya kepada penekun yoga (yogin), sehingga sekolah sesungguhnya adalah sekolah alam kehidupan (Saraswati, 2005:4--5). 13 Sadrasa dalam Lontar Wŗhaspatitattwa dijelaskan sebagai enam rasa utama yang terdiri atas lawana (asin), amla (masam), katuka (pedas), tikta (pahit), kasaya (sepat), madhura (manis). 14 Panca Buddhindriya dalam Lontar Wŗhaspatitattwa dijelaskan sebagai lima indra perasa yang terdiri atas srotendriya (ada di telinga), twagindriya (ada di kulit), cakswendriya (ada di mata), jihwendriya (ada di lidah), ghranendriya (ada di hidung).

 

41  

Lidahlah tempat awal rasa itu dirasa, maka sungguh mulia apabila seseorang yang baru menekuni dunia spiritual mengendalikan lidahnya. Selain sebagai perasa, lidah merupakan organ vital manusia yang membantu melahirkan suara final dari pita suara. Tidak salahlah jika pengendalian dasar ada pada lidah, karena dari lidah yang tidak terkendali bisa mendatangkan petaka. Kombinasi lidah, mulut, pita suara melahirkan bunyi bebas selanjutnya menjadi bahasa kesepakatan peradaban. Bahasa, seperti yang ada dalam Kakawin Nitiçastra15 sangat menentukan karakter serta nasib seseorang. Oleh karena itu, di akhir Kakawin Dharma Sawita pengarang kakawin menjelaskan dasar kalepasan adalah tapa bahasa. Seseorang harus mengendalikan ucapannya agar tidak menimbulkan penderitaan (ndon waspadha riŋ ŋolahan rasa surasa dur rasa wasana, Kakawin Dharma Sawita, Wirama I, Bait ke-3b). Berbicara tentang karakter serta tujuan akhir seseorang, agaknya lebih banyak dituturkan dalam Kakawin Dharma Wimala. Secara letak susunan dalam keropak, Kakawin Dharma Wimala tepat berada di atas Kakawin Dharma Sawita. Tidaklah jauh berbeda dengan Kakawin Dharma Sawita, Kakawin Dharma Wimala juga memaparkan pengendalian indra. Namun, pada Kakawin Dharma Wimala pengendalian indra kemudian lebih mengerucut tentang kebebasan tertinggi dengan memunculkan karakter kebajikan dalam diri. Kekhasan Kakawin Dharma Wimala, yaitu terletak pada pengarang kakawin mengibaratkan jalan kebebasan itu seperti perjuangan antara kebajikan melawan kebatilan. Karakter                                                                                                                 15

Sebait kutipan dari Kakawin Nitiçastra yang sering dijadikan pedoman untuk selalu berhati-hati dalam memilih kata, menggunakan bahasa: Wasita nimittanta maněmu laksmi/ wasita nimittanta maněmu duhka/ wasita nimittanta pati kapaŋguh/ wasita nimittanta maněmu mitra// Artinya: karena bahasalah bisa menemukan bahagia/ karena bahasalah bisa menemukan derita/ karena bahasa menyebabkan kematian/ karena bahasa bisa menemukan sahabat//

 

42  

Panca Pandawa dan Korawa dipinjam untuk melukiskan bahwa dalam diri ada dua hal yang berbeda kutubnya. Panca Pandawa dan Korawa merupakan penggambaran aku (atma) yang masih dihinggapi dengan kemelekatan duniawi. Panca Pandawa dan Korawa dipandang sebagai dualisme berseberangan dalam diri manusia. Karakter baik dan buruk selalu berdampingan, bahkan hanya dipisahkan oleh jarak sekecil ukuran atom. Kalepasan dalam Kakawin Dharma Wimala didasari atas pemahaman terhadap dua karakter tersebut. Pengolahan rasa dan pengendalian indra ditujukan agar dapat memaksimalkan kemunculan karakter kebajikan. Memang tidak bisa langsung meniadakan karakter buruk dalam diri, tetapi meminimalisasi kemunculan karakter kebatilan itu. Kakawin Dharma Wimala menegaskan bahwa atma hendaknya memiliki karakter seperti Yudhistira, yaitu dengan memiliki jalan kebajikan. Karakter kebajikan (sadhu) tersebut dimunculkan oleh pengarang dalam kutipan sebagai berikut. Nā liŋ Yudhistira rikaŋ twas atīta dibya/ göŋ dharma buddhi sirā nitya nurāga riŋ rat/ sātwā dhamā pituwi bhakti pinūñakěn sih/ nā margga niŋ parama nindya magöŋ kapaŋguh// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama II, Bait ke-4). Terjemahannya Beginilah diceritakan Yudhistira yang sungguh telah melampaui kemuliaan/ kebesaran akan budi baik beliau senantiasa menyusup di dunia/ setiap makhluk sungguh bakti akan kebaikan dan cinta kasih/ inilah jalan terbaik menemukan kebesaran// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama II, Bait ke-4).

 

43  

Yudhistira, bentuk karakter kebaikan yang dipinjam oleh pengarang. Kebaikan dijadikan jalan untuk mendapat pembebasan jiwa. Kebaikan itu sendiri pun dapat ditempuh dengan berbagai cara yang dianggap baik dan benar sesuai dengan ajaran (tattwa). Justru dalam Kakawin Dharma Wimala kebebasan sejati adalah ketika aku (atma), senantiasa menumbuhkan kesadaran untuk melakukan kebajikan. Sikap pamrih dan dendam adalah godaan dalam memunculkan kebajikan. Godaan-godaan tersebut mampu ditaklukkan dengan cinta kasih yang selalu dimunculkan dari dalam diri. Kebimbangan dan godaan negatif selalu datang dari pikiran. Pembebasan sejati adalah mampu melepas segala godaan (bdk. Zoetmulder, 1991:86--87). Perwujudan karakter kebajikan dalam Kakawin Dharma Wimala dinyatakan sebagai bentuk lanjutan dari Kakawin Dharma Sawita. Kebajikan merupakan ajaran lanjutan dari pengendalian Sadrasa. Bentuk-bentuk sederhana pengendalian Sadrasa dijelaskan bisa dilakukan dengan memunculkan karakter kebajikan. Tindakan nyata yang dipaparkan dalam Kakawin Dharma Wimala menegaskan bahwa ketika seseorang telah dinyatakan mampu mengendalikan Sadrasa mereka, maka pelan-pelan karakter kebajikan mereka muncul. Jalan kebebasan yang ditempuh dalam Kakawin Dharma Wimala adalah jalan cinta kasih (wah riŋ rum kalaŋöña nirmala tatan rěměŋa ri wijiliŋ dinākara, Kakawin Dharma Wimala, Wirama I, Bait ke-14b). Kalepasan diperoleh atma yang diselimuti cinta kasih dan telah berhasil menaklukkan kebimbangan dalam dirinya. Selubung cinta kasih ini mengantarkan atma tahap demi tahap ke alam akhir jnana (turyantapada). Tampaknya pengaruh Budhisme Esoterik atau ajaran

 

44  

Tantra atau Tantrisme16 sangat kuat dalam teks ini bahwa cinta kasih adalah sebuah kemuliaan untuk pembebasan jiwa. Energi cinta kasih diyakini sebagai energi pencerahan dalam penyatuan tertinggi. Kalepasan dengan cara Budhisme ini menguatkan betapa koalisi ajaran Siwa dan Buddha dipandang sebagai jalan berbeda dengan satu tujuan. Pembebasan jiwa yang halus menjadi senyawa atom di udara, tentu tidak terasa apabila hati tidak diliputi cinta kasih karena cinta kasih melepaskan segala ikatan kemelekatan diri terhadap jiwa. Teks-teks kalepasan lain, seperti Jñānasiddhânta pun menyajikan koalisi (hubungan) antara Siwa dan Buddha. Kedua ajaran ini diumpamakan seperti mendaki gunung yang sama melalui jalur pendakian yang berbeda17. Jalur pendakian cinta kasih menuju puncak tertinggi kehampaan alam pikiran dituangkan dalam teks Kakawin Dharma Niskala. Seperti tangga yang terdapat di dalam kompleks candi pemujaan, seperti itu pula teks Kakawin Panca Dharma. Setelah berhasil memunculkan karakter kebajikan dengan meruapkan cinta kasih ke segala penjuru dalam Kakawin Dharma Wimala, maka kini cinta kasih adalah jalan yang mengantar aku (atma) menuju kehampaan.                                                                                                                 16

Ajaran Buddhisme Esoterik kerap disebut ajaran Tantra atau Tantrisme. Paham Buddhisme Esoterik menganggap nafsu yang dimiliki manusia diaplikasikan menjadi energi untuk mencapai keadaan pencerahan sehingga akhirnya menyatu dengan Sang Buddha sebagai tujuan tertinggi. Lebih jauh Buddhisme Esoterik meyakini bahwa makhluk yang menjalani kehidupan di dunia ini memiliki sifat yang sama seperti Buddha. Ajaran Buddhisme Esoterik sama seperti ajaran Buddha Mahayana yang meyakini bahwa pencerahan tercapai bukan setelah melalui waktu yang tiada batas (Matsunaga Keishi “Buddhisme Esoterik: Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia”, makalah Seminar Buddhisme Esoterik (Tantra; Vajrayana): Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia”). 17 Istilah sinkretisme tidak digunakan oleh Soebadio (1985:50--51), karena sinkretisme memberikan kesan seolah-olah kedua sistem itu dicampurbaurkan sama sekali. Bila kita menganggap istilah denotasi mempunyai denotasi memperjuangkan tujuan akhir yang sama dengan menggunakan jalan-jalan yang berbeda-beda, bahkan tumbuh bersama-sama.

 

45  

Kakawin Dharma Niskala diletakkan di atas teks Kakawin Dharma Wimala. Bila dikaitkan dengan teks Kakawin Dharma Wimala, urutan dari Kakawin Dharma Niskala menunjukkan bahwa seorang pencari kesunyian telah berada pada tahapan kehampaan (ri sikaran ikaŋ adri Hyaŋ Siwa wus pralabdha, Kakawin Dharma Niskala, Wirama VII, Bait ke-1d). Kehampaan dalam teks ini ditekankan pada pengolahan pikiran. Saat aku (atma) mampu mengolah pikirannya merupakan kebebasan tertinggi dalam teks ini. Pengolahan pikiran didasari dengan memuja Sanghyang Śiwa18. Kakawin Dharma Niskala dan Dharma Sunya merupakan kakawin yang hampir mirip jika dilihat dari isi teksnya. Dharma Sunya terdapat dalam Dharma Niskala, begitu pula sebaliknya. Setelah penulis membaca berulang-ulang, tiga teks kakawin yang terakhir (Dharma Niskala, Dharma Sunya, Dharma Putus) dalam KPD merupakan satu unsur dari dunia yang tidak terlihat. Terlebih lagi dalam Dharma Niskala terdapat dua teks kakawin. Satu teks berjudul Dharma Niskala yang isi teksnya sama dengan Dharma Sunya dan satu teks lain dengan judul Dharma Sunya Keling. Jika Dharma Sunya dan Dharma Sunya Keling dibaca secara terperinci, maka semuanya terdapat dengan singkat, jelas, dan padat dalam Dharma Putus. Saŋ siddhā labdha yogi hati nira kapadaŋ tulya candrāwa pūrna/ riŋ wāhyādhyātmikā tan katunan ira rikaŋ sarwa śāstrârtha śabda/ tan limbak tan laku n nirwisaya juga sirā n kewala janma śuddha/ lilā-lilā n                                                                                                                 18

Dalam teks-teks Jawa Kuno, baik prosa maupun puisi (kakawin), Śiwa memiliki banyak gelar sesuai dengan kemahakuasaan-Nya. Śiwa Mahakama dan Mahakala, menggoda diri sendiri untuk mencipta (kuasa Śiwa). Bhatara Pasupati merupakan salah satu manifestasi Śiwa. Begitu pula dalam kitab Markandya Purana yang mengungkap kelahiran Rudra disebutkan bahwa Brahma memberikan tujuh nama selain Rudra, yaitu Pasupati, Bhawa, Sarwa, Isana, Bhima, Ugra, dan Muliadewa (bdk. Rao, 1986:45 dalam Kusuma, 2012:185).

 

46  

panonton wulat ira wěkas iŋ sandhi ŋ ācintya labda// (Kakawin Dharma Niskala, Wirama IX, Bait ke-5). Terjemahannya Seorang yogi yang berhasil sempurna, hatinya bersinar benar seperti bulan purnama/ lahir dan batin ia tidak pernah tidak tahu segala makna ajaran pustaka dan kata/ tidak bergolak, tidak goncang, ia bebas dari ikatan, ia semata-mata manusia suci/ pandang matanya bersinar bahagia sisa hasil persatuan yang tidak terpikirkan// (Kakawin Dharma Niskala, Wirama IX, Bait ke-5). Ketiga teks kakawin terakhir menegaskan bahwa berkonsentrasi dengan memusatkan pikiran pada satu titik, yaitu Śiwa, dituturkan sebagai jalan menuju kehampaan. ‘Niskala’, ‘sunya’, ‘putus’, hampa, kosong, sunyi, nol merupakan kata yang memiliki padanan yang berdekatan di dalam kamus. Sanghyang Niskala penguasa yang tidak berbentuk, tidak terlihat, dan segala yang “tidak” secara fisik. Kekuatan niskala hanya bisa dirasakan melalui getaran dalam hati yang kemudian menyusup ke setiap pori-pori tubuh sehingga kebebasan tertinggi dengan merasakan nikmat di dalam diri. Kenikmatan yang lepas ketika pori-pori terbuka, lalu tertutup melesatkan aku (atma) melesap terserap kekuatan semesta. Śiwa mahatinggi (Paramaśiwa) dipuja melalui berbagai cara. Tujuan si aku (atma) hanyalah memuja dengan jalan pikiran. Śiwa dalam diri, bentuk segala metafora aku (atma) dan Dia yang sesungguhnya tunggal. Percikan yang menjiwai si aku (atma) merupakan sulur-sulur api yang memantik si aku untuk memuja-Nya. Menyerahkan diri secara total dengan segala bakti yang tulus, tanpa paksaan, tanpa keinginan, tanpa imbalan, apalagi merayu19. Penyerahan diri total

                                                                                                                19

Totalitas bakti merupakan kerinduan untuk segera bertemu, berkorban, dan bersatu (anonim, tt:3--15).

 

47  

melalui segala bentuk kepolosan20 menjadi persembahan paling murni dari si aku. Kutipan di bawah ini menegaskan bahwa Paramaśiwa sebagai tujuan tertinggi. Yêki mukya ni sandhi saŋ maněmu bhoga paramaśiwa tan patūduhan/ tuŋgal saŋ maŋucap kalāwan ika saŋ minuwus apan ikā datan kalen/ nir pwêkaŋ pati len hurip ya ŋuniweh ala hayu suka duhka tan hana/ nirsandeha maděg mawas maměpěk ing bhuwana sira wibhuh ya suksma ya// (Kakawin Dharma Niskala, Bait ke-8, Kakawin Dharma Sunya, Bait ke-8). Terjemahannya Inilah keutamaan persatuan orang yang menemukan kenikmatan Paramaśiwa, Śiwa mahatinggi, tidak terperikan/ Yang Mengatakan dan Yang Dikatakan itu tunggal karena memang tidak berbeda/ Tiada lagi perbedaan antara mati dan hidup, terlebih lagi antara baik-buruk, sukaduka tidak ada/ tidak merasa khawatir, berdiri kokoh memenuhi dunia, Ia menguasai segalanya, Ia bersifat halus rahasia// (Kakawin Dharma Niskala, Bait ke-8, Kakawin Dharma Sunya Bait ke-8). Kesadaran memuja sangat terasa apabila seseorang telah sampai pada tahap tidak lagi merasa ada perbedaan antara hidup mati, suka duka. Batas rasa pelan-pelan terkikis oleh nikmatnya penyatuan antara aku (atma) dan Dia (Paramaśiwa). Kenikmatan dan kesadaran tersebut, ketika atma ingat kepada dirinya sendiri, maka sebuah penyatuan yang halus dan rahasia itu sedang berlangsung21. Paramaśiwa itu suci 22 karena sesungguhnya dia tidak memiliki sifat. Namun, jika kesadaran tanpa sifat dirasuki oleh Maya, maka akan menurun                                                                                                                 20

Kepolosan adalah istilah yang dipakai penulis untuk menggambarkan rasa bakti yang tulus tanpa keinginan apa pun. Maksudnya, memuja bukan untuk merayu Tuhan agar mendapatkan sesuatu yang diharapkan, terlebih memuja Tuhan pada saat keadaan sedang susah saja. 21 Dalam kesadaran tingkat Paramaśiwa tidak ada ruang bagi ketidaksadaran. Itulah yang disebut dengan Kesadaran Tertinggi. Śiwa pada dasarnya adalah kesadaran (Palguna, 1999:140). 22 Tentang Paramaśiwa yang tanpa sifat itu dijelaskan sebagai berikut: na rupam, ia tanpa rupa; na warnnam, tanpa warna; na rasam, tanpa rasa; na gandham, tanpa bau; na sadnam, tanpa suara; asparam, tidak teraba; anamayam, tidak terkena sakit; acintyam, tidak terpikirkan; anadi madhyantam, tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, tanpa batas; asangkirnnam, tidak

 

48  

kesuciannya menjadi kesadaran yang memiliki sifat. Śakti merupakan sifat kesadaran. Kesadaran bersifat sakti ini disebut Sadaśiwa sehingga ada empat jenis sakti kesadaran yang disebut Caduśakti23. Semakin besar pengaruh Maya, maka semakin menurun pula sifat sakti itu. Oleh karena itu, ia menjadi kesadaran yang bersifat wiśesa yang berarti ada di mana-mana, tetapi tidak terlihat. Kesadaran tingkatan ini disebut dengan Śiwa. Maya menjadi pengaruh tingkatan antara kesadaran, Śiwa, Sadaśiwa, dan Paramaśiwa. Tiga tingkatan kesadaran tersebut dikenal dengan sebutan Śiwatattwa. Aku (atma) sangat terpesona terhadap Maya dalam bentuk unsur materi, baik yang halus maupun kasar. Atma yang terus-menerus terpesona terhadap Maya akan lupa pada jati dirinya. Maya yang telah menjadi unsur materi tersebut bercampur dengan atma melahirkan tiga sifat, yaitu Tri Guna yang terdiri dari satwam (murni), rajah (aktif), tamah (pasif). Tiga sifat pokok inilah yang seterusnya melekat dalam diri si aku (atma). Kemurnian akan keluar apabila atma ingat terhadap jati dirinya. Kalepasan dalam                                                                                                                                                                                                                                                                                                               tercampuri; agatham, tanpa wujud; aracanam, tanpa rupa dan warna; adwityam, tidak ada yang melebihi dalam hal keunggulannya; na calitam, tidak goyah; alinggakam, tanpa lingga; acyutam, tanpa susut; aksayam, tidak berkurang; anirgatam, tanpa perbuatan; aspreham, tanpa keinginan; agarbbhajanma maranam, tidak lahir dari kandungan dan tanpa kematian; arogam, tanpa sakit; asokam, tanpa susah; awedhanam, tanpa penderitaan; asangsaram, tanpa sengsara; nirmala, tanpa noda; na kalam, tanpa waktu; na kasam, tanpa angkasa; na samwatsara, tanpa tahun, tanpa musim, tanpa bulan, tanpa siang dan malam; asandhyangsam, tanpa senja kala; na muhurta, tanpa kurun waktu; na welangkastam, tanpa matahari berjalan ke arah utara, di tengah-tengah; na daksinayam, tanpa matahari berjalan di garis khatulistiwa; animepyam, tanpa kerdip, tenang; śūnyam, sepi, sunyi; dhyawam, selalu ingat; waram, utama; satyam, benar; witam, sangat sepi dan hampa; swaccam, bersih; kewalyam, hampa; nirasrayam, tanpa bantuan, perlindungan; Śiwam, Ia juga disebut Śiwa; mokșam, ia itu kebebasan sejati (Mirsha dan Anggota, 1994:15 dalam Palguna, 1999:140--141). 23 Caduśakti yaitu empat jenis kesadaran yang memiliki sifat terdiri atas: kesadaran itu menyusup, tetapi tidak terikat oleh yang disusupinya disebut Wibhuśakti. Kesadaran itu mengendalikan segala, tetapi tidak dikendalikan oleh apa pun disebut Prabhuśakti. Kesadaran itu mengetahui semuanya disebut Jñānaśakti. Kesadaran yang mengerjakan semua yang diketahuinya disebut Kriyaśakti (Palguna, 1999:141).

 

49  

Kakawin Dharma Niskala diawali dengan mengenali amběk (perilaku batin) melalui media pikiran. Paramaśiwa yang Maharahasia dan halus menjadi metafor pikiran yang utama sekaligus tujuan Mahatinggi. Sungguh sangat terperinci ajaran kalepasan dalam KPD ini. Pengarang setiap kakawin seolah-olah turut menyertai karya yang digubahnya. Hal itu terjadi karena pada setiap peradaban zaman, pesan purba ini tetap tersampaikan kepada mereka yang merasa terpilih dan dipilih oleh teks ini. Jika kalepasan diibaratkan seperti pergelaran, maka Dharma Sawita (bagian awal), Dharma Wimala (bagian pertengahan atau konflik), Dharma Niskala, Dharma Sunya, Dharma Putus (bagian akhir atau klimaks). Pergelaran yang berkualitas adalah pergelaran yang bagian awalnya juga berkualitas. Begitu pula dengan para pencari kesunyian, dasar mereka harus kuat, pengendalian rasa, memunculkan karakter kebajikan, barulah kemudian memuja dengan pikiran.

4.4 Kakawin Panca Dharma: Bentuk Nikmat Diri Pencari Sunyi Kadi śaśadara wimbā riŋ dyun mêsi jala śuci/ sahana hana nikaŋ dyun byaktā těka kinahanan/ wulatana sira wāswās tuŋgal riŋ ghata sawiji/ dinělě ri ruhur aŋhiŋ tuŋgal hyaŋ śaśi suměnö// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XV, Bait ke-4). Terjemahannya Seperti bayangan bulan pada tempayan berisi air jernih/ seluruh tempayan yang ada benar-benar ditempati/ perhatikan dengan saksama, bayangan itu satu dalam setiap tempayan/ tolehlah ke atas, hanya satu Dewi Malam bersinar// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XV, Bait ke-108).  

Apabila becermin, bayangkan yang terpantul adalah bayangan yang

becermin. Siapa pun yang becermin dia memiliki bayangan. Cermin tidak hanya

 

50  

kaca dengan pigmentasi gelap pada alasnya, tetapi di setiap benda yang memiliki sifat seperti cermin, yaitu air jernih. Cermin (baca air jernih) tidak akan berfungsi sempurna jika tidak ada cahaya 24 , baik cahaya yang ditimbulkan dari sinar maupun cahaya yang dipancarkan dari tubuh (baca aura) dari yang becermin. Diri, cermin, dan bayangan menjadi satu kesatuan dalam peristiwa becermin. Media cermin akan membantu si (aku) pencermin melihat bayangannya sendiri, mulai dari seperti apa rupa hingga melihat adakah cacat dalam rupa. Cermin hanya memantulkan yang terlihat oleh mata, hanya fisik, dan penampilan luar. Kendatipun demikian, cermin tidak pernah berbohong dalam hal menampilkan bayangan. Jika cermin diibaratkan memiliki mata, maka matanya selalu awas, tajam, dan teliti. Mata cermin sesungguhnya mata si (aku) pencermin, keinginan dan pikiran si (aku) pencermin juga akan dipantulkan dalam bayangan yang dihasilkan. Percaya atau tidak, mari sejenak renungkan, ketika becermin untuk melihat apakah rambut sudah rapi, tetapi dalam pikiran sudah terbentuk bahwa rambut belum rapi, maka secara refleks tangan akan mengambil sisir lalu menyisirnya sambil bercermin. Padahal, rambut sudah rapi sebelum bercermin dan disisir ulang. Itulah yang dimaksudkan penulis bahwa pikiran dan keinginan juga dapat dipantulkan oleh bayangan di cermin. Kakawin Panca Dharma yang dikutip pada awal subbab ini adalah bait ke-108 Kakawin Dharma Sunya. Kutipan tersebut membuat pikiran bergerak                                                                                                                 24

Cahaya adalah suatu spektrum gelombang elektromagnetik sehingga dapat merambat dengan atau tanpa medium perantara. Sifat-sifat cahaya, antara lain (1) memiliki energi; (2) arah getarnya tegak lurus terhadap arah rambat gelombang; (3) dapat merambat lurus; (4) dapat dipantulkan; (5) dapat dibiaskan; (6) dapat dibaurkan (Yulliawati dkk., 2010:89).

 

51  

kembali ke dalam diri. Semua hal bermula dan berakhir di dalam diri. Apa pun itu, baik yang positif maupun negatif, yang terlihat dan yang tidak terlihat, lahir dan bermuara di dalam diri. Seperti bayangan yang terlihat lalu keinginan yang tidak terlihat karena terbungkus fisik mampu dilihat hanya dengan becermin. Keinginan akan muncul bersama dengan bentuk bayangan yang dipantulkan dalam cermin. Sifat dan karakter yang sedang dilakoni oleh si (aku) pencermin saat bercermin juga terlihat. Jika si (aku) pencermin sedang ingin berbuat kurang baik akan terlihat dari sunggingan senyum di bibir kendatipun terlihat manis, dirasa nyinyir. Indikator yang bisa mengukur hanya diri sendiri, cermin hanya membantu mengingatkan. Kadi śaśadara wimbā riŋ dyun mêsi jala śuci (seperti bayangan bulan pada tempayan berisi air jernih). Kutipan ini mengisyaratkan bayangan hanya dapat dipantulkan apabila ada cahaya dan media yang bening. Bulan dalam hal ini yang diibaratkan memenuhi tempayan merupakan sifat dari bulan itu sendiri. Bayangan bulan akan dipantulkan oleh air jernih berupa bayangan itu sendiri. Tentunya air jernih berfungsi sebagai media pemantul bertindak jujur sejujurjujurnya dalam hal memantulkan bayangan dari bulan. Tempayan yang dipenuhi oleh bayangan bulan mengubah bentuk dari air jernih menjadi bulan. Sahana hana nikaŋ dyun byaktā těka kinahanan (seluruh tempayan yang ada benar-benar ditempati). Kejujuran air jernih adalah penyerahan mahaikhlas dirinya untuk membiarkan dirinya berubah menjadi bulan, kendatipun itu hanya bayangan. Wulatana sira wāswās tuŋgal riŋ ghata sawiji (perhatikan dengan saksama, bayangan itu satu dalam setiap tempayan) Pada

 

52  

akhirnya bulan dan air jernih terlihat satu, menjadi satu, itulah yang dimaksudkan kejujuran air dan keikhlasan air. Sesungguhnya tidak hanya air yang jujur ikhlas, bulan juga memiliki hal yang sama. Keduanya (air jernih dan bulan) sama-sama jujur dan ikhlas untuk melebur menjadi satu, maka terjadilah pemantulan bayangan bulan pada air. Bulan melihat dirinya dalam air karena air seketika berubah menjadi dirinya. Dinělě ri ruhur aŋhiŋ tuŋgal hyaŋ śaśi suměnö (tolehlah ke atas, hanya satu Dewi Malam bersinar), lalu air melihat bulan menyadari bahwa dirinya (air) seperti yang dilihatnya (bulan). Seperti inilah yang dimaksud dengan melihat diri sendiri. Bayangan hasil pantulan itulah diri kita sendiri. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, si aku (individu) manusia terkadang tidak hanya menggunakan cermin itu untuk becermin, tetapi juga becermin pada individu manusia lain. Bayangan yang dipantulkan tentu bukan bayangan serupa bayangan pada saat becermin. Akan tetapi yang dipantulkan adalah karakter dan sifat individu lain pada diri atau sebaliknya, yaitu diri kita terhadap mereka. Diri sendiri adalah rumah tempat berlindung. Semua hal ada dalam diri sendiri, semua hal pula bisa diciptakan di dalam diri sendiri. Kenikmatan itu pula ada dalam diri, pencarian ke dalam diri merupakan bentuk-bentuk jalan kalepasan. Mencari ke dalam diri dikatakan sebagai jalan kenikmatan untuk menemukan segala kenikmatan dalam diri. Seperti halnya keinginan bertemu dengan lawan jenis, seperti itu pula keinginan untuk menyatu dengan Yang Mahatinggi. Keinginan penyatuan tidak hanya ditemukan di luar diri, tetapi juga di dalam diri. Kalepasan dikatakan

 

53  

sebagai puncak kenikmatan dengan ukuran atau takaran tiap-tiap si pencari sunyi. Seorang pencari sunyi merasa telah mengalami orgasme berkali-kali ketika berhasil merasakan getaran-getaran halus sarafnya yang melemah, tetapi tetap sadar akan tujuan utamanya, yaitu melakukan penyatuan dengan Yang Mahatinggi di dalam dirinya, seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini. Sěmbah niŋ wwaŋ amūrsite pada maheswara saphala kitā srayeng mangö/ wyāpiwyāpaka mūrtti kita sarwwa gata wimala yoga laksana/ ONG kārātmaka mantra nirmala sūksma wěkasiŋ aganal maweh licin/ śūnyā sthana ri sāri niŋ samaya nirbbhana wěkas i pañandi niŋ smrtti// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama I, Bait ke-1). Terjemahannya Sembah sujud kepada engkau penguasa segala keindahan/ engkau berada di mana-mana dalam setiap yang suci dan melakukan jalan yoga pengendalian/ kekuatan mantra, kesucian diri, sungguhlah disebut licin/ bertempat dalam sari kesunyian yang kosong dan menyatu dalam penciptaan// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama I, Bait ke-1). Akumulasi getaran-getaran halus tersebut membentuk sebuah jaringan di dalam pikiran si aku para pencari sunyi. Mereka yang mengatakan diri pencari sunyi memang melabuhkan dirinya pada dermaga dalam dirinya. Pencarian mereka berakhir setelah menemukan yang hilang dan dicari di dalam dirinya. Tempat yang paling sepi adalah diri, rasakanlah ketika tubuh diam, memerintahkan kepada semua anggota tubuh diam, maka pikiran juga diam. Pikiran yang diam inilah nantinya memengaruhi bagian-bagian dalam dan anggota gerak untuk tidak bergerak. Pelan-pelan, kesunyian akan muncul, kehangatan bergetar di hulu hati. Hakikat kesucian dalam Kakawin Dharma Wimala dikatakan sebagai kesucian tingkat pikiran, itu artinya segala hal dikendalikan oleh pikiran.

 

54  

Perenungan akan kesucian tersebut akan didapatkan hanya ketika si pencari kesunyian merasa sudah waktunya kembali ke dalam diri karena sebelumnya si pencari sunyi terus-menerus melakukan pengembaraan di luar dirinya. Segala yang tanpa noda dengan pendakian yang penuh tantangan justru mendaki gunung yang bernama ‘gunung hati’ dalam diri. Belajar inti dari kalepasan senantiasa mendorong si pencari sunyi untuk selalu melakukan introspeksi diri. Kemampuan dan kepekaan terhadap keadaan yang terjadi dengan yang dirasakan oleh hati akan membantu proses menemukan nikmat sunyi dalam diri itu. Beberapa hal yang kemudian dikaitkan dengan nikmat sunyi dalam diri itu adalah termasuk saat si pencari sunyi merasakan betapa hebatnya keinginan untuk bertemu dengan Yang Mahatinggi. Justru keinginan bertemu dan menyatu dengan Yang Mahatinggi dirasakan lebih menggebu-gebu karena sesungguhnya si pencari sunyi merasa jatuh cinta ribuan kali kepada Yang Mahatinggi. Cinta yang mendorong pertemuan. Sebagaimana seseorang yang sedang jatuh cinta, seperti itulah diibaratkannya sikap si pencari sunyi tersebut. Getaran-getaran di hulu hati seperti api yang memantik sulur-sulur saraf sehingga lama-lama getaran halus pun memanas menjadi energi dan memencarkan sinar sesuai dengan karakter si pencari sunyi. Konteks antara kesunyian, cinta, dan pencari sunyi adalah bentuk persembahan yang akan dipersembahkan. Ketulusikhlasan akan dilahirkan di sini, di tempat yang bernama sunyi dengan dasar cinta dan tujuannya bernama sunyi. Setidaknya, seseorang yang sudah merasa bisa merumuskan tujuan akhirnya, akan membuat diri merasa lebih terarah. Tujuan yang pasti walaupun

 

55  

dengan cara yang berbeda. Kalepasan dalam Kakawin Dharma Wimala seperti yang sudah dikatakan pada subbab sebelumnya menekankan pada perlawanan karakter kebajikan melawan kebatilan. Hakikat nikmat sunyi dalam diri pada Kakawin Dharma Wimala terletak pada esensi pengolahan pikiran si pencari sunyi yang mampu mengumpulkan serta mengolah indranya untuk diam dan merasakan getaran halus yang timbul di hulu hatinya. Getaran halus yang bernama nikmat tanpa bersentuhan. Kutipan Kidung Rasmi Sancaya di bawah ini dijadikan metafora getaran halus yang menimbulkan keindahan. Nusaña ramya kinasut iŋ jalada yaya samir iŋ apum/ paŋhreŋ iŋ ali tan waspada sareŋi-renih dalěm iŋ sayana jaŋganyaŋol/ iŋ taru aŋayuh padapa miŋguh tinub iŋ aŋin lwir paŋesah iŋ dyah wahw akayuh rinajasan iŋ kakuŋ (Kidung Rasmi Sancaya, Bait ke-7). Terjemahannya Pulau-pulau yang indah diselimuti oleh embun bagaikan tirai di tempat tidur/ dengungan kumbang bunga sungguh tiada lain bagaikan rayuan di dalam peraduan/ pohon gadung yang membelit pohon kayu, membelit pucuk-pucuk daun yang berputar karena ditiup angin bagaikan desahan sang istri yang baru pertama kali dipeluk oleh seorang jejaka// (Kidung Rasmi Sancaya, Bait ke-7).   Kekuatan cinta itu menakjubkan sekali dapat mengubah yang kasar menjadi lembut, yang mati menjadi hidup, dan yang tiada menjadi ada. Cinta yang lahir atas dasar keyakinan akan mengokohkan serta menguatkan jalan yang dipilih oleh cinta itu sampai menemukan tujuan. Ibarat si pencari sunyi yang telah jatuh cinta pada Yang Mahatinggi, maka dia akan selalu ingin mewujudkan cintanya dengan melakukan pertemuan dan penyatuan. Pemahaman penulis bahwa kalepasan itu cinta pada diri sendiri. Memuja Yang Mahatinggi sama dengan memeluk Tuhan dalam diri. Segala nikmat memang berawal dan berakhir di

 

56  

dalam diri, semacam amutěr tutur pinahayu (tahu benar salah) yang dimasukkan kemudian dijalankan oleh pikiran. Terkadang kalepasan dengan jalan cinta pada diri sendiri dipikirkan lebih mudah dibandingkan dengan jalan bakti yang lain. Sesungguhnya bagi penulis sendiri justru jalan cinta kembali ke dalam diri itu yang sungguh susah. Berbagai godaan akan muncul termasuk merasa diri sudah hebat, sakti, bahkan fatalnya menganggap diri adalah Tuhan. Pemahaman ini perlu diluruskan, jalan kembali ke dalam diri adalah jalan terakhir ketika semua jalan di luar diri telah ditempuh dan dirasakan nikmatnya. Jalan di luar diri banyak contohnya, misalnya fenomena kehidupan spiritual yang terjadi pada masa sekarang. Berdasarkan pengamatan penulis, fenomena masyarakat sekarang justru cenderung lari ke jalan spiritual untuk melarikan diri dari tuntutan zaman. Bermunculannya kelompok-kelompok spiritual baru, seolah menegaskan bahwa dunia spiritual merupakan tempat ketenangan. Entah ketenangan yang bersifat sejenak atau selamanya karena kontemplasi tidak didapatkan dengan cara yang instan. Kelompok-kelompok spiritual ini membuat kegiatan-kegiatan sendiri sesuai dengan keinginan yang dianggap bisa mendatangkan kenyamanan sejenak. Masalah yang sedang melanda tidak dihadapi, tetapi dilupakan sekejap saat, saat itu juga, tanpa memikirkan penyelesaiannya. Cara-cara singkat untuk memeroleh kenyamanan dan kebahagiaan justru menjamur belakangan. Kelompok spiritual ini tidak ubahnya seperti wisata spiritual memberikan paket-paket tertentu pada pengunjungnya. Tidak heran jika

 

57  

sekarang menjamur kelompok spiritual. Semua mengklaim dirinya sebagai jalan yang paling suci. Padahal, bukan ini yang dimaksud jalan di luar diri. Belajar tentang hakikat kalepasan dengan jalan di luar diri merupakan proses alamiah waktu, itulah yang dimaksudkan jalan di luar diri. Proses alamiah waktu meliputi menemukan nikmat di luar diri dengan memuaskan indra, tetapi tetap dalam batas norma yang berlaku di masyarakat. Mata dipuaskan dengan keindahan yang dilihat. Telinga dipuaskan dengan kemerduan suara. Lidah dipuaskan dengan berbagai rasa. Hidung dipuaskan dengan berbagai aroma. Kulit dipuaskan dengan sentuhan. Pemuasan dan kenikmatan indra dikatakan kenikmatan duniawi. Semisal ada lendir yang menetes ketika disentuh, ada ludah yang tertahan ketika mencecap rasa enak, atau ada tetap terbelalak ketika melihat keindahan, dan masih banyak bentuk pemuasan yang lain. Tingkat-tingkatan kehidupan memang sudah mengatur setiap peristiwa alamiah

waktu.

Namun,

ada

kalanya

seperti

yang

dikatakan

dalam

Jñānasiddhanta seseorang tidak perlu menjadi tua untuk baru kemudian menekuni ajaran kalepasan. “Rasiki saŋ maŋaji Saŋ Hyaŋ Siddhanta, matuha sira, yadyapi rare kuněn, apan tan wayah, tan śíla, tan tapa matuha. Artinya barang siapa mengetahui ajaran Siddhanta, biarpun ia masih muda, hai Wanita yang berwajah Indah, Ia menjadi masak karena pengetahuannya itu, tidak karena kelakuan, usia, atau laku tapa” (Soebadio, 1985:266--267). Ketika semua rasa duniawi telah dirasakan maka barulah kemudian beranjak untuk kembali menapaki jalan di dalam diri.

 

58  

Sesungguhnya ada hal yang penting diingat jikalau tidak semua orang yang ingin menyatu dengan Yang Mahatinggi harus melewati jalan di luar diri baru kemudian kembali ke dalam diri. Alangkah baiknya jika dari awal sudah menyiapkan diri untuk menempuh jalan di dalam diri karena jalan di luar diri terkadang mudah dilalui, tetapi sering membuat tersesat. Sederhananya, lebih berbahaya tersesat di luar diri dibandingkan dengan di dalam diri. Pemilik tubuh itu adalah kita sendiri, tidak mungkin tersesat menjelajahi tubuh sendiri. Hasil dari penjelajahan dalam diri bisa langsung dirasakan karena tempat-tempat di dalam diri lebih tahu tentang dirinya sendiri. Pemahaman yang kemudian muncul setelah berulang-ulang membaca KPD adalah konsep kesederhanaan yang ditanamkan di dalam tiap-tiap teks. Penulis tekankan bahwa antara satu bab dan bab yang lain dalam penelitian ini sangat berkaitan, bukan pengulangan, melainkan kesamaan isi tiap-tiap teks. Ada hal yang begitu menyentuh pada bait-bait dari bait ke-124 sampai dengan ke-130 dalam Kakawin Dharma Sunya. Bagaimana seorang aku (wiku) begitu menyederhanakan dirinya, begitu kembali ke dalam diri. Seorang wiku diidealkan menjadikan kesetiaan seorang ibu, sifat murah hati sebagai ayah, dharma sebagai janji diri, kesempurnaan sebagai adik, kelembutan sebagai istri, sifat memaafkan sebagai anak, pikiran sebagai kerabat, amarah sebagai musuh, ketekunan sebagai milik, keengganan sebagai duka, kekotoran sebagai kepapaan, kesucian sebagai surga, sifat tamah sebagai lawan, pikiran yang suci sebagai jalan, kesadaran sebagai cahaya, nirwana sebagai rumah, turyapada sebagai tempat tidurnya.

 

59  

Model konsep keluarga diterapkan oleh wiku. Konsep ini selain menjadi model tapa seorang wiku juga sebagai jalan untuk menjadi wiku. Kesetiaan yang tidak tergoyahkan menjalani hidup demi cinta pada hidup itu sendiri adalah ibu seorang aku (wiku). Kesetiaan itulah yang menenangkan hati seorang wiku yang terkadang letih dalam perjalanan sunyi yang panjang. Kerelaan berkorban adalah ayah. Hal itu terjadi karena batin hanya hidup untuk memberikan, melepaskan, merelakan, mengikhlaskan, mengorbankan. Berbeda dengan tubuh yang hidup dengan mengambil, menerima, memakan, meminum, menelan. Kesempurnaan adalah adik. Kelembutan adalah istri. Sifat memaafkan adalah anak. Pikiran adalah kerabat. Seorang wiku adalah orang yang senantiasa merenung-renungkan semua itu. Bahkan, setelah menjadi wiku, itu pulalah yang dilakukannya setiap hari.

 

60  

BAB V FUNGSI WACANA KALEPASAN DALAM KAKAWIN PANCA DHARMA

5.1 Kalepasan sebagai Tujuan Yoga Sastra dalam Kakawin Panca Dharma Pikiran bermuara pada perkataan dan tingkah laku, seperti dalam KPD, setiap teks mengisyaratkan bahwa pikiran merupakan pusat segalanya. Isi pikiran diwujudkan dengan yoga yang bermacam-macam bentuknya. Yoga sastra 25 merupakan jalan yang dipilih pengarang teks kakawin untuk menemukan jalan kalepasan lalu membiarkan hilang dan menyatu dalam karyanya. Semesta dan penyair merupakan dualisme yang tidak dapat dipisahkan. Setiap musim memiliki keindahannya masing-masing. Pada manggalamanggala26 kakawin puja seorang penyair dan keindahan alam dipadukan menjadi sebuah persembahan. Kalepasan dalam tiap-tiap kakawin tidak hanya dilukiskan dengan mati raga, bahkan dalam beberapa kakawin di luar KPD hampir keseluruhan manggala menunjukkan pembebasan jiwa penyair. Rasa atau pengalaman estetik diakibatkan oleh kemampuan seniman menyublimkan bhawa (emosinya) dari tataran psikologis ke tataran estetik. Bhawa adalah konsep utama yang melahirkan rasa. Dalam kreativitas imajinatif                                                                                                                 25  Yoga Sastra adalah cara memuja dengan men-sthana-kan Dewa yang dipuja dan memusatkan pikiran kepada-Nya. Menulis kakawin merupakan suatu latihan yoga dan untuk memahami hal tersebut kita harus memahami ajaran yoga yang dianut oleh kawi wiku tersebut. Para kawi wiku dikenal sebagai penganut yoga yang mencari sang dewa lewat sarana-sarana yang menghadirkan seorang dewa atau ke dalam mana dewa turun, berhubung sarana-sarana tersebut termasuk lingkungan yang khas bagi sang kawi, maka praktik-praktik itu dengan tepat dinamakan sebagai yoga sastra (Agastia, 2010:26--27). 26 Manggala adalah bagian awal kakawin, biasanya berisikan tentang puja-puji sang penyair terhadap Bhatara yang dipujanya dan dipercayai memberikan anugerah kepada sang penyair.

 

61  

(emosi individual) ditransformasikan menjadi rasa: pengalaman estetik yang nonindividual, universal, mengatasi ruang dan waktu, serta keadaan partikular (Wiryamartana, 1990:356; Yasa, 2007:5). Pembebasan jiwa penyair berupa penyerahan diri secara total kepada semesta dan penguasa-Nya. Misalnya dalam penelitian ini diambil contoh dalam manggala Kakawin Smaradahana, penyerahan diri sepenuhnya penyair menggambarkan betapa tulusnya batin penyair itu. Berikut kutipannya. Pujaniŋ kawi saŋgraheng kalaŋěnan maŋde kadirgghya yusan/ muŋgwiŋ padma měkar pratiśta siniram dening rěrěb niŋ kapat/ wijañaksara lambaŋ endah riŋ tětoniŋ yasa/ dhupa kara liput magěnta panaŋis niŋ sadpada riŋ sěkar// (Kakawin Smaradahana, Wirama I, Bait ke-1). Terjemahannya Sembah sujudku sebagai penyair yang menginginkan keindahan agar dapat berusia panjang/ berada dan bersemayam di lubuk hati yang mekar disirami gerimis musim keempat/ beras kuningnya adalah aksara dalam kakawin yang indah yang ditebar dalam paviliun/ [menyalakan] dupa hempasan salju, [menyuarakan] genta bersuara kumbang di atas bunga// (Kakawin Smaradahana, Wirama I, Bait ke-1). Mpu Dharmaja penggubah Kakawin Smaradahana juga menunjukkan indentitas kepengarangan yang biasa dilakukan para kawi terdahulu. Di awal, Mpu Dharmaja mengucap dirinya tidak bisa menyamai kemahakuasaan pencipta, karenanya Mpu Dharmaja memuja Bhatara dan memuji semesta. Kekuatan Bhatara dan kekuatan semesta dianggapnya kekuatan mahaabadi yang bersemanyam di tiap makluk hidup. [Pujaniŋ kawi saŋgraheng kalaŋěnan maŋde kadirgghya yusan], terlihat jikalau sang penyair sangat hati-hati dalam kata pertama. Kata pujaning dikaitkan dengan kata selanjutnya membentuk kesatuan ide pikiran bahwasanya pemujaan tidak hanya dilakukan dengan upacara besar,

 

62  

tetapi penyair memuja dengan hatinya. Berikut di bawah ini merupakan daftar bulan dalam kalender Saka. Tabel II Daftar Bulan Menurut Penanggalan Matahari-Bulan serta Penanggalan Barat dan India27

Penanggalan Barat

Penanggalan

Bali Penanggalan

(Kaum Tani)

Matahari-Bulan

Juli

Kasa

Srawana

Agustus

Karwa (Karo)

Bhadra (-pada,

Penanggalan Musim

Warsa ‘hujan’

-wada) September

Katelu/ Katiga

Asuji (aswayuja)

Oktober

Kapat

Karttika

November

Kalima

Margasirsa

Sarat ‘rontok’

Hemanta ‘dingin’

Desember

Kanem

Posya

Januari

Kapitu

Magha

Februari

Kawulu

Phalguna

Maret

Kasanga

Cetra

April

Kadasa

Wesakha

Basanta ‘semi’

Mei

Hapit (lemah)

Jyestha

Grisma ‘panas’

Juni

Hapit (kayu)

Sadha

                                                                                                                27

 

Zoetmulder, 1994:244--245.

63  

Sisira ‘sejuk’

Zoetmulder, 1994:245, menjelaskan, bahwa pada bulan Srawana musim kering mencapai puncaknya. Pohon-pohon kehilangan kesegarannya, daun-daun menjadi merah, dan rontok sehingga dalam bulan karwa “bulan kedua” beberapa pohon menjadi gundul. Bulan Asuji juga panas, air hanya sedikit, dan jalan-jalan penuh dengan debu. Pada permulaan bulan kapat awan-awan mulai tampak. Hujan pertama membangunkan pohon-pohon dari tidurnya dan mereka mulai mengeluarkan ranting-ranting baru. Pada bulan kalima biji-biji terlepas dari kelopaknya (meltik wijanya), tetapi sesudah awan-awan lewat, terik matahari makin terasa. Pada bulan kanem ladang-ladang menjadi basah, tetapi belum kuyup. Sementara pada bulan Magha maka dengan tepat seseorang dapat melakukan mati raga dengan mandi karena hujan turun siang dan malam, sedangkan matahari dan bulan tetap bersembunyi. Selama Phalguna kandang lembu penuh dengan lumpur. Bila hujan tidak turun, para rahib meninggalkan pertapaan, mengemis susu. Akan tetapi, dalam bulan Kasanga (sembilan) langit menjadi cerah dan hujan hanya turun secara adil. Dalam Wesakha bunga-bunga kelihatan di mana-mana, kecuali bunga asana yang belum tampak, seolah-olah mau mengejek hujan terakhir; bila hujan itu dengan sia-sia mencari bunga asana, maka ia lenyap sambil mengucurkan air mata. Dalam bulan Jyestha hutan untuk kedua kalinya mengeluarkan bunganya, tetapi setelah hujan hilang, banyak yang gugur: gemuruh guntur terakhir menyerupai kata perpisahan seorang kekasih.

 

64  

Dalam bulan Asadha keindahan merana dan para kawi berkeluh menggigil kedinginan dan karena sakit panas atau demam (Zoetmulder, 1994:246). Ketika menyebut kata kapat28, di baris berikutnya dalam bait pertama Kakawin Smaradahana, muŋgwiŋ padma měkar pratiśta siniram dening rěrěb niŋ kapat (berada dan bersemayam di lubuk hati yang mekar disirami gerimis musim keempat), tergambar betapa lembut dan indahnya musim itu. Dikatakannya awan tersusun dari asap dupa menyamai lembutnya salju, gemuruh dalam hati menyerupai suara kumbang yang bergetar seolah menimbulkan suara genta. Ada kalanya pula penyair memberikan metafora dengan menggunakan kata sekar. Sekar tidak hanya berarti bunga biasa. Sekar dihubungkan dengan padma, yaitu bunga dengan delapan kelopak yang senantiasa menguasai segala arah. Sekar dikaitkan pula pada mati, bukanlah mati secara raga, tetapi mematikan rasa atau indra untuk mencapai kebahagiaan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan kata sebelumnya, sekar merupakan tujuan akhir dari penulisan kakawin ini. Timbul pertanyaan di bait ke-1 ini di baris pertama tertulis dirghgayusa (panjang umur), bukanlah sang penyair itu yang panjang umur, melainkan karyanya bisa dinikmati sepanjang masa dan oleh siapa saja (sekar, padma). Rumusan tentang rasa yang ditulis Bharata kemudian diterjemahkan oleh Sharma (1987:95; Yasa, 2007:5--6), dirumuskan bahwa rasa dibawa bersama dengan pengalaman melalui hubungan antara wibhawas (keadaan atau situasi dan objek yang membangkitkan emosi), anubhawa/sthayibhawa (emosi dasar yang                                                                                                                 28

Kapat adalah bulan keempat dalam perhitungan tahun Saka atau sekitar bulan Oktober tahun Masehi. Kapat juga disebut dengan Karttika. Karttika merupakan bulan yang dinanti oleh para pendamba keindahan (para kawi) yang senang menikmati keindahan (aŋdon laŋö). Karena Kartika adalah bulan penuh keindahan (kalaŋwan), bulan yang dihiasi hujan gerimis (riris), dan suara guntur yang lemah di kejauhan (Agastia, 1999:39--43).

 

65  

ada dalam diri manusia), dan wyabhicaribhawas (emosi atau keadaan mental yang bersifat sementara yang timbul sebagai penyerta dalam proses bangkitnya rasa). Sederhananya, setiap penyair menginginkan karyanya bisa dibaca, dipahami, ditafsirkan sepanjang waktu. Demikian pula dalam KPD, setiap teks mengisyaratkan keinginan penyair untuk memberikan jiwa pada karyanya sehingga karyanya dapat dinikmati pada setiap zaman. Karya yang abadi menunjukkan betapa hebatnya pencarian diri seorang kawi. āmběk saŋ kawi siddha śuddha kadi sāgara gumawaŋa těka nirmala/ icchā nispriya sāra niŋ kalěŋěŋan yakita pasamudāya riŋ raşa/ tatwajñāna wěkas nikaŋ paramaśāstra sira ta pinakâdipandita/ sākşat liŋga nikaŋ sarat pinaka dīpa yasa nira huwus prakāśita// (Kakawin Dharma Sunya Bait ke-1, Kakawin Dharma Niskala Bait ke-1). Terjemahannya Batin sang pujangga jernih bagaikan samudra, bersinar suci tanpa noda/ hendak bebas dari saripati keindahan yang menjadi kumpulan segala rasa/ pengetahuan tertinggi merupakan puncak ajaran tertinggi. Beliau merupakan pendeta utama/ bagaikan lingga dunia, seperti lampu, karyanya memancar ke mana-mana// (Kakawin Dharma Sunya Bait ke-1, Kakawin Dharma Niskala Bait ke-1). Batin seorang penyair diibaratkan seperti samudra yang jernih, suci, tanpa noda. Samudra sebagai kedahsyatan dan samudra sebagai kenirmalaan. Samudra digambarkan cadas, kokoh, mampu menghantam karang, namun tidak pernah dipakai dalam istilah peperangan. Samudra tidak lain pertanda gejolak dalam batin penyair yang melakukan ritual kepengarangannya. Jika diselami batin dan samudra, dianalogikan seperti ini. Pada permukaan samudra terlihat ganas, buas, garang dahsyat, tetapi pada kedalaman samudra jernih, tenang, dan damai. Itulah batin sang kawi yang bergejolak.

 

66  

Pengarang

kakawin

umumnya

memuja,

melumpuhkan

ego,

mengembalikan diri menjadi kosong, dan siap menerima anugerah penguasa semesta. Keindahan semesta atau keadaan alam (alamkara)29 adalah jalan yang mengantarkan penyair menuntaskan upacara kepengarangannya dalam bentuk yoga sastra. Tepi laut, puncak gunung dipilih sang penyair untuk menggubah hakikat karyanya. Lautan adalah air, air merupakan sumber kehidupan, air laut menguap, menjadi awan mendung berarak menuju gunung, mendung menurunkan hujan, air hujan jatuh ke sungai, diserap tanah, menjadilah air tanah. Begitulah siklus sebenarnya, di mana pun sang kawi mengarang pastilah beliau memilih berdekatan dengan air, di tepi laut, di dasar gunung, di bawah air terjun. Hal ini dilakukan karena air adalah asal dan tujuan. Gunung dan laut sering muncul dalam teks-teks kakawin. Keduanya menggambarkan kekokohan dan kedahsyatan yang luar biasa. Gunung metafor dari ayah, sementara laut metafor dari ibu. Penyair mengawinkan gunung dan laut melalui pengembaraannya selama melakukan yoga sastra. Kekokohan gunung adalah kesejukan jika dilihat oleh mata, tetapi apabila mendakinya, kesejukan itu tidak akan dilihat lagi, tetapi dirasakan.

                                                                                                                29

Alamkara/alangkara merupakan penggambaran keadaan dalam kakawin, alangkara sesungguhnya pelukisan keindahan yang dieksplorasi oleh sang penyair. Secara leksikal Alangkara berarti hiasan, hiasan bahasa, bahasa artistik. Dengan kata lain Alangkara berarti hiasan atau permainan bunyi atau kata-kata dalam syair kakawin Jawa Kuno. Alangkara merupakan bunga-bunga puisi yang dapat membangkitkan rasa estetis, lebih-lebih lagi ketika dinyanyikan dengan alunan suara yang merdu seperti biasa yang dilakukan dalam tradisi “mabebasan” di Bali. Oleh sebab itu, aspek Alangkara memegang peranan penting dalam sebuah kakawin. Aspek Alangkara dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu Sabdalangkara adalah hiasan atau permainan kata-kata atau bunyi dan Arthalangkara merupakan hiasan atau permainan arti (Suarka, 2009:9).

 

67  

Saŋ kşěpaña kalaŋwan iŋ giri wanāśrama pinaka parantya niŋ tapa [Pencari sunyi mengagumi keindahan gunung dengan asrama di tengah hutan sebagai pengantar tapanya, Kakawin Dharma Wimala Bait ke-15, baris 1]. Setiap jalur pendakiannnya menjadi pengalaman pengembaraan si aku (atma, penyair). Begitu pula dengan laut, kedahsyatan dan ketenangannya akan dirasakan begitu diselami ke dalam. Oleh karena itu, tidak semua hal harus dilihat oleh mata, tetapi oleh hati. Mata hati, padma hati yang ada dan senantiasa mekar, baik disirami keteduhan maupun diperciki sinar gemerlapan ketika masa pengembaraan yoga30. Gunung yang konon ada di pusat lingkaran mandala sebagai poros jagat raya. Mura yang ada di kaki gunung dan Wisnu (Janardhana) yang ada di pusat gunung menggelarkan yoga persatuan dan bersamadi tertuju pada Hyang Iswara yang ada di puncak. Disebutkan ada sebuah jalan membujur dari dasar sampai puncak gunung itu. Di puncaknya terdapat sebuah telaga dengan air sangat jernih memancar tidak putus-putusnya bagai permata. Di dasar telaga itu terdapat air kehidupan sebagai asal dan tujuan segala yang ada dan yang akan didapatkan bila berhasil melaksanakan yoga. Aliran kecil mengalir digerakkan oleh bayu jatuh ke dalam api sehingga tetesan berkembang menular menjadi kegelapan. Keberhasilan mengalahkan kegelapan itu disebut Jayendriya yang berarti jaya menaklukkan indra (Palguna, 1999:154--155). Jayendriya merupakan pengolahan indra seorang

                                                                                                                30

Memang hutan, gunung, pantai, laut adalah bagian-bagian yang sangat pokok dalam kakawin. Tempat-tempat itu senantiasa dicari oleh para Kawi. Di tempat itu mereka mendapatkan kepuasan bagi kerinduannya akan keindahan. Di tempat itu mereka mendapatkan ilham. Tempat sepi yang dapat menggetarkan perasaan itu, (aŋětěr raras twas iŋ kawi), adalah tempatnya mendirikan sebuah pertapaan, sebuah tempat memelihara keindahan (patapan anar tarukan niŋ kajěněkan amagantakěn laŋö). Di tempat sepi ini pula para Kawi, dinyatakan telah menyatu dengan sepi (Agastia, 1999:20--21).

 

68  

kawi untuk melakukan kalepasan, seperti yang dikutip dalam Kidung Jayendriya di bawah ini. Rakryan saŋ saksat ajöŋ tānurideŋ kawi maŋö bhranti raga kinuncaŋ iŋ masa Kartika maŋun hyun-hyun bhramita maŋö raśmi niŋ asaŋwa lěpihin lamlam mihat ri kahayontānuksma ri sakalaŋön pamiśran iŋ imāsmu riris lwir weninta maŋun arsa ŋhriti mar maranta nuksmeŋ rumrum niŋ patěr akětěr ri duk kilyan matrālon baŋun larap niŋ tatit aŋědap iŋ hima limunan liriŋtāŋde harsa rumta lwir panjrah niŋ sari sumar priyaka měmbang paŋras nikiŋ tanu sridanta minda ri waja raśmi niŋ andul lwir gisi-gisyāŋde ragi. Terjemahannya Duhai Tuan bagaikan Dewi Keindahan yang membangkitkan cinta birahi sang kawi sebagai pecinta keindahan, dikuasai oleh kekuatan masa Kartika yang mahaindah, yang membuat hati sang kawi gelisah sehingga pergi mengembara dengan berbekal alat tulis, terpesona menyaksikan keindahanmu, menyusup dan bersatu dengan segala keindahan, bersatu padu dengan kabut. Hujan gerimis tampak bagaikan rambutmu yang membangkitkan kesenangan, membawa diri semakin dekat dengan perjalananmu menyusup ke dalam keindahan guntur yang menggelegar di arah barat, sayup-sayup bersama kilat berkelebat di kumpulan awan, lirikan matamu sungguh-sungguh membuat hati jatuh cinta, kecantikanmu bagaikan tunas bunga priyaka merambat menyayat ke dalam lubuk hati ini, gigimu bagaikan bunga srigading, keindahan bunga andul ibarat gusimu yang membuatku tergila-gila. Ada yang menarik pada kutipan Kidung Jayendriya di atas, yaitu kata sekar (bunga) kembali muncul berdampingan dengan kawi (penyair) dan kartika masa (bulan keempat Saka). Sekar (bunga) memiliki peranan dan fungsi analog dengan peranan dan fungsi Dewa Kama, terutama ketika Dewa Kama diidentikkan dengan Dewa Agni sebagai perantara yang menghubungkan manusia dengan para dewa melalui upacara korban atau yadnya. Bandingkan Manu, 1987:113 dalam Suarka, 2007:145, menyatakan, bahwa bunga sebagai perwujudan Dewa Kama di alam fana atau alam sakala menjadi perantara jiwa manusia untuk mencapai pembebasan sempurna dari ikatan keduniawian dan

 

69  

kemudian bersatu dengan asalnya di alam kosong yang kekal, abadi, dan damai. Bunga dalam hakikatnya sebagai kama atau indra dijadikan inspirasi dan sekaligus hal yang akan ditundukkan sang kawi dalam melepaskan diri dari ikatan keduniawian untuk dapat mencapai alam kalepasan atau moksa. Wiryamartana, 1990:358 dalam Suarka, 2007:146, mengutarakan, bahwa Kidung Jayendriya yang telah dikutip pada halaman sebelumnya melukiskan alam dan manusia menjadi satu keindahan. Berhadapan dengan alam yang begitu menarik dan memesona, sang kawi sebagai pencinta keindahan (maŋö) tenggelam (nuksma) dalam segala objek keindahan, ditatap hingga segala sesuatu yang lain lenyap dan terlupakan. Keindahan yang terwujud dalam alam, kecantikan wanita, dan rasa cinta, membuat sang kawi tergila-gila (ragi) dan hanyut ke dalamnya (nuksma). Semua itu harus dikuasai dengan penuh kesadaran oleh sang kawi sehingga ia mampu mencapai alam pembebasan sempurna. Sang Kawi harus mampu menaklukkan nafsu indra atau jayendriya sebagaimana yang diindikasikan oleh judul Kidung Jayendriya tersebut. Jalan yang ditempuh sang kawi adalah dengan cara menggubah karya, dalam hal ini kidung (Sěkar Madia) mengenai bunga-bunga (sěkar) sebagai persembahan, dipersembahkan kembali pada sumber asalnya, Dewa Kama. Sejalan dengan itu, maka bunga (kembang) dan karyanya berupa kidung (tembang) dalam hakikatnya sebagai sěkar digunakan sebagai sarana melepas dan sekaligus mengantar jiwa atma untuk kembali ke sumber asalnya, Paramatma (bdk. Suarka, 2007:146).

 

70  

Menggubah karya sastra merupakan bentuk pemujaan tertinggi penyair. Ritual

kepengarangan

membuat

semesta

menjadi

tempat

yang

paling

mengagumkan. Seorang penyair mengeksplorasi imajinasinya dalam bentuk penggabungan isi pikiran, keadaan alam, dan puja terhadap Bhatara yang diinginkan dalam proses penciptaan karyanya. Bahasa dimainkan lewat rima, pilihan kata, serta permainan bunyi lalu menghasilkan gaya bahasa yang menjadikan ciri khas penyair. Sungguh mulia keinginan penyair dalam ritual kepengarangan, yaitu mewujudkan rasa bakti kepada Pencipta dengan mempersembahkan yang dimilikinya. Persembahan sederhana, yaitu kemampuan diri sendiri, melalui penggubahan sebuah karya. Seorang penyair juga dikatakan sebagai pendeta dalam upacara karangmengarang, bahkan penyair secara keseluruhan pada setiap gubahannya disebutsebut sebagai para pencari kesunyian dengan menjalankan Karma Yoga 31 . Pemujaan tidak hanya dilakukan dengan mencakupkan tangan, menyembahkan dengan upakara atau mengadakan upacara. Penyair melakukan pemujaan dengan pikirannya, di mana tubuh adalah upakara, kata adalah mantra, dan getaran hati adalah suara genta. Penyair menjalankan titah Sanghyang Paramawisesa sebagai pencatat dunia, sekaligus menjadi penyelamat zaman, dan pembawa pesan sebuah peradaban. Kalepasan dijadikan tujuan penyatuan penyair dengan dewa keindahan. Penyatuan dewa keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas                                                                                                                 31

Karma Yoga adalah bagian dari ajaran catur marga (empat jalan) memuja kekuasaan pencipta. Ajaran Karma Yoga dipahami sebagai memuja kebesaran beliau dengan cara bekerja, bekerja, dan bekerja. Mereka yang menempuh jalan ini memakai ‘tubuh’ atau dirinya sebagai sarana pemujaan (Soebadio, 1985:48).

 

71  

bagi penyair yakni yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa keindahan sebagai Yang Mutlak dalam alam niskala (transenden), berkat semadi sang kawi berkenan turun dan bersemayam di alam sakala-nişkala (imanen-transenden), di atas padma (muŋgw iŋ sarasija) di dalam hati atau jiwa sang kawi (twas, jñāna, hiděp, tutur). Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan dewa yang tampak dalam alam sakala (imanen) dalam segala sesuatu yang indah. Dengan menyadari kesatuannya dengan dewa di dalam aneka ragam pernyataannya itu, sang kawi pun menyadari kesatuannya dengan dewa di alam niskala (transenden), yang menjadi tujuan akhir yoga (bdk. Agastia, 2010:38--39). Penyair dikatakan pengembara, pemuja keindahan, pencari kesunyian. Batin penyair yang diibaratkan seperti samudra itu akan terus bergejolak gelisah sebelum mencari yang hilang. Pengembaraan menuju gunung (wukir), pantai, hutan, dan sungai dijalankan sambil berlaku tapa. Penyatuan antara semesta dan penyair kemudian menjelma dalam bentuk karya. Selalu ada kerinduan untuk melakukan penyatuan. Betapa uniknya penyatuan ini, sungguh mepesona dengan bebasnya

jiwa

pada

saat

melakukan

ritual

kepengarangan.

Penyair

menggabungkan pengalaman estetik dan religiusnya ke dalam karya. Pengalaman-pengalaman pengembaraan penyair tidak selalu tenggelam ke dalam keindahan alam, sesuatu yang sensual, dan fenomena belaka, tetapi tenggelam dalam Yang Mutlak, di mana penyair mengatasi segala nafsu dan godaan. Dalam arti penyair sudah menjalani tahap-tahap dhyana dan dharana, lalu sampai pada Samadhi. Hal itu diterapkan dalam hubungan kakawin dengan pembaca dan pendengarnya sehingga dapat dikatakan bahwa kakawin

 

72  

menyebabkan para pembaca atau pendengarnya akan merasakan pengalaman penyair, yaitu tenggelam ke dalam alam fenomenal, tembus sampai ke hakikatnya, bertemu dengan Sang Keindahan sendiri (bdk. Agastia, 2010:41--42). Inilah yang penulis pahami tentang penyair kakawin, yaitu sebagai pembawa pesan peradaban. Kekuatan pemujaan penyair merupakan kerinduan untuk selalu melakukan bakti dengan cara menuangkannya ke dalam karya. Bakti adalah cinta yang selalu mendorong keinginan penyair untuk membuktikannya. Kerinduan menjadi penggerak dalam setiap karya yang digubahnya. Besarnya kerinduan terlihat dan tersebar di seluruh teks. Ritual kepengarangan pada hakikatnya adalah aktivitas bersastra bagi penyair yang berpusat kepada ajaran yoga. Yoga merupakan proses menyatukan diri dengan Paramasiwa. Dengan demikian dalam setiap karya selalu tertuang bukan hanya nilai keindahan, melainkan juga nilai religius. Nilai-nilai ini tidak akan habis dikupas dari waktu-waktu karena karya sastra (kakawin) yang digubah merupakan tujuan akhir penyair, yaitu mencapai pembebasan jiwa (kalepasan). Kenikmatan dan keindahan tertinggi adalah kumpulan segala rasa. Baris pertama bait ke-3 dari Kakawin Dharma Putus menegaskan sakwehniŋ sakaton karěŋö kakocap karasa kāŋěn-aŋěn pwa tan hana, [semua yang dilihat, didengar, diucapkan, dirasakan, dipikirkan adalah sesuatu yang tidak ada]. Penyair (aku atau atma, pencari sunyi, pemuja keindahan) dikatakan tenang apabila seseorang mulai mengabaikan segala yang didengar, dilihat, dan dirasakannya. Hal itu terjadi karena apa pun yang didengar, dilihat, dan dirasakan adalah sesuatu yang tidak

 

73  

ada (Paramasiwa raja diraja semesta). Keheningan, diperoleh apabila telah melakukan jalan yoga, mematikan semua rasa lalu menggubah karya. Para pencari kesunyian sejatinya adalah mereka yang memiliki kesetiaan tanpa perlu diragukan. Kesetiaan tidak menuntut untuk berkorban, tetapi menuntun ke arah pembebasan jiwa. Pencarian akan berakhir ketika telah menemukan sesuatu yang hilang. Mencari yang tidak ditemukan, menemukan yang tidak dicari. Hilang, lepas, menyatu seiring dengan meningkatnya bakti kepada-Nya Yang Mahatinggi. Tan trěsna ri sukmaña tan hana sinaŋsayanira ri patiŋgaliŋ sarat, [dia tidak cinta pada dirinya, tidak ada keraguan untuk meninggalkan dunia], (Kakawin Dharma Putus Bait ke-5). Sesungguhnya kerinduan akan penyatuan membuat aku (atma, penyair) melakukan persembahan, yaitu dirinya sendiri. Tidak sayang kepada diri sendiri merupakan ungkapan untuk menyatakan betapa besarnya keinginan untuk bersatu. Pengembaraan melahirkan pengalaman, lalu kemudian menumbuhkan rasa ingin mengorbankan diri. Pengorbanan dilandasi kesetiaan tertinggi dari dalam diri. Para penyair kakawin dalam mencurahkan kreativitasnya, selalu berusaha membangkitkan keinginan, rasa terpesona, dan spiritualitas dalam karya-karyanya dengan menghubungkan cerita imajiner tentang masa lalu, tetapi nyata (bdk. Creese, 2012:269). Kalepasan dijalani dengan menciptakan karya sastra. Menulis merupakan jalan pengendalian diri yang paling tinggi. Oleh karena itu, baik menggubah, mencipta, maupun menulis kakawin merupakan cara yang dipilih untuk mencapai kebebasan diri.

 

74  

Palguna, 1999:193, menegaskan, bahwa perjalanan terakhir seorang penyair adalah perjalanan menghilangkan semua yang telah dicapai dalam perjalanan (pengembaraan) sebelumnya. Melepaskan jñāna atau sakti berarti menghancurkan semua wujud kenyataan yang diketahui. Apabila berhasil menghancurkan semua itu, seorang penyair akan menjadi mukti, yaitu merasakan jiwanmukta atau moksa.

5.2 Kalepasan sebagai Tujuan dan Jalan Pemujaan Sederhana dalam Kakawin Panca Dharma Saŋksěpania hilaŋ tikaŋ krětawara ri sira wuwus atiŋgal ing kriya/ ya deniŋ ya tatan hana guru kasisya ri sira natimuddha ņirguna/ ngka teŋgwan katěmu ŋ rasa ta ya warah kadi winarahi saŋkaniŋ warah/ maŋke pwa katěkan wěkasniŋ amiweka ri hilaŋanikaŋ tutur hiděp// (Kakawin Dharma Putus, Wirama I, Bait Ke-4). Terjemahannya Pendeknya, tiada anugerah dari beliau yang telah meninggalkan upacara religi/ makanya adalah tidak ada guru tidak ada murid, bagi beliau tidak ada kebodohan, tidak ada kekurangan/ itulah tempat pertemuan perasaan yang disadari bagaikan diberi tahu oleh sabda Ilahi/ kini hingga di kemudian hari manakala memperlakukan dengan hati-hati hilangnya kesadaran batin// (Kakawin Dharma Putus, Wirama I, Bait ke-4). Sesungguhnya sesuatu yang dicari ke luar akan ditemukan dan hilang di dalam diri. Tidak ada yang lebih bodoh atau lebih pandai, tidak ada guru pun tidak ada murid. Semua sama, lahir dari kekosongan berakhir dengan kehampaan. Tubuh aku (atma, penyair) adalah kumpulan rasa yang dipertemukan oleh keinginan penyaatuan. Kerinduan pemujaan sama dengan keperihan yang indah. Bukankah, semua bermula dari dalam diri, maka tetaplah kembali ke dalam diri.

 

75  

Diri merupakan kuil pemujaan, “alam olah tapa-brata itu konsentrasi batin merupakan salah satu praktik yang paling penting sehingga lambat laun “diri pribadi” atau Atman makin diutarakan. Dalam lingkungan kehidupan pribadi sang Atman-lah menjadi pusat yang memancarkan segala daya kekuatan, sama seperti Brahman yang menjadi pusat semesta” (Zoetmulder, 1991:58). Paramasiwa yang dituju ada pada pusat di dalam tubuh, pada hulu hati sehingga diri menjadi tempat bernaung semesta. Cukup pujalah semua yang ada dalam diri karena di setiap tempat tubuh manusia adalah tempat para dewa. “Segala sesuatu (dalam tubuhmu) merupakan hidup yang keramat (Sang Hyang Hurip), merupakan Ciptaan Tertinggi (WisesaKarya), tubuhmu: dalam tangan, dalam kaki, kulit, daging, otot, tulang, pembuluh utama, buah pelir, jantung, empedu, pangkal tenggorokan” (Soebadio, 1985:111). Oleh karena itu, setiap titik pada tubuh adalah aksara yang hidup dan selalu bergerak ke segala penjuru menghidupkan sudut-sudut pikiran. Bait ke-4 dari Kakawin Dharma Putus yang telah dikutip di awal subbab di atas mewakili kesederhanaan jalan kalepasan. Kesederhanaan yang dimaksudkan bukanlah tanpa usaha, melainkan tanpa upacara. Justru ritual yang terpenting adalah ritual perkumpulan rasa (ngka teŋgwan katěmu ŋ rasa ta ya warah kadi winarahi saŋkaniŋ warah/ itulah tempat pertemuan perasaan yang disadari bagaikan diberi tahu oleh sabda Ilahi). Tubuh adalah tempat pertemuan rasa, setiap rasa berkumpul di hulu hati. Pusat yang dikatakan menjadi bagian tengah-tengah tubuh, baik secara vertikal maupun horizontal ialah hulu hati.

 

76  

Soebadio, 1985:45--48, menjelaskan aksara-aksara yang dimiliki di setiap titik pada tubuh akan hidup dan berputar di dalam hulu hati. Setiap aksara yang terdiri atas sepuluh aksara (SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, WA, YA disebut dasaksara), kemudian menjadi lima aksara (SA, BA, TA, A, I disebut pancaksara), lalu menjadi tiga aksara (ANG, UNG, MANG disebut tryaksara), dan terakhir menjadi (OM disebut ekaksara). Ekaksara menyuarakan OM dengan sebutan ongkara. Penghuni hulu hati adalah ongkara ngadeg dan ongkara nyungsang. Keduanya perwujudan lingga-yoni yang mewakili karakter maskulin dan feminis dalam diri. Jika ongkara ini diputar, maka timbullah getaran yang menciptakan kehangatan, kenikmatan, dan kebahagiaan yang luar biasa. Analog tubuh dengan semesta beserta para dewa yang bersemayam dipaparkan dalam Kidung Ajikembang (bait 1—10). Dikatakan bahwa sinar suci Sanghyang Widhi dalam wujud sembilan dewa, menghuni kesembilan penjuru alam semesta dan organ vital dalam tubuh manusia dalam rangka memberikan kekuatan dan perlindungan demi kesempurnaan hidup manusia. Kesembilan dewa penguasa tubuh dan semesta disebut dengan dewata nawa sanga, terdiri atas Dewa Iswara, Dewa Maheswara, Dewa Brahma, Dewa Rudra, Dewa Mahadewa, Dewa Sangkara, Dewa Wisnu, Dewa Sambu, dan Dewa Siwa (Suarka, 2007:157). Suarka, 2007:157 menegaskan, bahwa di alam semesta, Dewa Iswara berada di alam timur. Di dalam tubuh (manusia), Dewa Iswara bersemayam di jantung bertugas memberikan keselamatan dan perlindungan, kekayaan, serta menumbuhkan rasa bakti kepada Tuhan. Dewa Maheswara berada di alam tenggara. Di dalam tubuh manusia, Dewa Maheswara bersemayam di paru-paru,

 

77  

memberikan kepandaian sehingga manusia mahir dalam kehidupan. Dewa Brahma berada di alam selatan, bersemayam di hati, memberikan kekuatan dan perlindungan sehingga manusia menjadi sempurna, panjang umur, dan mampu menguasai pengetahuan suci. Dewa Rudra berada di alam barat daya, bersemayam di usus, memberikan kesadaran akan kebenaran, mendidik manusia berperilaku baik, dan menjadi teladan di muka bumi. Dewa Mahadewa berada di alam barat. Di dalam tubuh, Dewa Mahadewa bersemayam di ginjal, memberikan kekuatan dan perlindungan kepada manusia serta menumbuhkan sifat dan sikap keberanian pada diri manusia. Dewa Sangkara bersemayam di alam barat laut, dalam tubuh bersemayam di limpa, memberikan kekuatan dan perlindungan kepada manusia dalam mengendalikan diri dan memiliki kesetiaan. Dewa Wisnu menguasai alam utara, bersemayam di empedu, memberikan kekuatan dan perlindungan sehingga manusia memiliki keteguhan hati, sopan dalam bertingkah laku, bijaksana, dan rupawan. Dewa Sambu berada di timur laut, bersemayam di katup jantung, memberikan kekuatan dan perlindungan serta menumbuhkan rasa kedamaian dan cinta kasih pada diri manusia. Dewa Siwa berada di alam tengah, bersemayam dalam tumpukan hati, memberikan kekuatan dan perlindungan serta menumbuhkan kewibawaan, tingkah laku luhur, kesetiaan, kejujuran, dan kegemaran untuk melakukan semadi pada diri manusia (Suarka, 2007:157). Kekuatan para dewa dalam tubuh manusia beserta aksara-aksaranya juga terdapat dalam Jnanasiddhanta. Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang bahwasanya kalepasan dalam KPD tidak didapatkan hanya dengan membaca

 

78  

KPD, tetapi harus dibekali pengetahuan lain tentang teks-teks lain dengan ajaran yang sama. Berikut ini merupakan tabel dasabayu yang dibentuk dari pemahaman dasaprana dan dasa-atma (Soebadio, 1985:26--27). Setiap angin dikaitkan dengan sebuah suku kata dari dasaksara. Hal ini menunjukkan bahwa setiap angin (angin-angin) itu dianggap satu kesatuan.

Tabel III Dasabayu32

No

Nama angin

Tempat dalam

Sifat khusus

Suku kata

Dewa

tubuh 1

prāna

Dari

Sepuluh sakti UŃ

Paramasiwa

64 windu



Sadāsiwa

Langit-langit,

Pradhāna

KUŃ

Iswara

mulut, jantung

vasatkāra SUŃ

Rudra

dvādasaŋgula turun ke pusat tengkorak, telinga,

alis, mata,

hidung, lidah. 2

udāna

Kepala, tenggorokan, dada.

3

4

samāna

apāna

Lambung, dubur, pradhāna

                                                                                                                32

 

Soebadio, 1985:26--27.

79  

kelamin. 5

byāna

Semua tiga

anggota, Jīva, mrtyu

MUŃ

Mahādewa

pembuluh

darah. 6

nāga

Langit-langit

serdawa

RUŃ

mulut. 7

8

kūrma(ra)

krkara

Langit-langit

Mengedipkan LUŃ

mulut.

mata

Tulang belulang, Melahap limpa,

VUŃ

hati,

langit-langit mulut. 9

dewadatta

Daging, liku-liku Berdehem

YUŃ

perut (usus). 10

dhanañjaya

Darah,

daging, suara

kulit,

seluruh

tubuh,

ujung

tubuh,

ruang-



ruang di dalam tubuh.

Perwujudan kebahagiaan yang tiada tara itu dibentuk dari kesadaran terhadap tubuh sendiri, bahwa tubuh tiada lain adalah tempat yang paling suci,

 

80  

liŋga33 pemujaan. Organ-organ vital, setiap rongga, dan setiap yang ada serta menjadi pembentuk tubuh memiliki aksara. Para manifestasi Pencipta mengambil tempatnya masing-masing di setiap titik pada tubuh. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian penyatuan antara aku (atma) dan pencipta terjadi di dalam tubuh. Perdebatan terjadi di paru-paru dekat hulu hati yang sering disebut Padma Hati (kamala atau teratai). Paru-paru disebut kamala (teratai) dan itu juga praņāla (arus air). Empedu yang pahit dinamakan liŋga. Tubuh disebut tempat yang suci, yang paling baik di antara yang disebut ilahi. Di situlah Bhatara Siwa bersemayam (Soebadio, 1985:201). Penyatuan melibatkan kala (waktu), dimensi antara mikrokosmos dan makrokosmos, ruang antara manusia dan pencipta34. Dengan demikian, proses menciptakan dikatakan sebagai suatu perbuatan aktif. Bila dipandang sebagai sudut Tuhan, merupakan suatu cetusan dari kehendak-Nya yang bersifat langgeng karena sesuatu dalam Tuhan adalah langgeng. Tuhan terus-menerus menciptakan alam dunia. Zoetmulder, 1991:10, menyatakan, bahwa “andaikata Ia seolah-olah beristirahat, maka buah ciptaan-Nya akan kembali ke nihilium, ketiadaan”. Proses penyatuan antara aku (atma, penyair) dan Dia (Tuhan), bermula dari dimensi tempat yang berbeda, antara alam dan pencipta. Tidak memiliki sebutan, tidak memiliki bagian, semuanya masih begitu saja tanpa ada apa,                                                                                                                 33

Lingga adalah titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu; Lingga Siwa adalah tiang batu berbentuk kemaluan laki-laki (Zoetmulder, 2006:601). 34 Penyatuan tersebut terjadi dalam proses panjang yang memakan waktu lama. Seperti dalam Kalatattwa, simbolisme dari Bhatara Kala sebagai penguasa waktu dikaitkan kemanunggalan antara aku (manusia) dan semesta. Selain itu, juga kemanunggalan tersebut memberikan pengertian pada manusia tentang berbagai macam proses yang akan dilaluinya bersama waktu. Manusia kemudian mulai mengenali dirinya setelah diajarkan waktu, lewat berbagai jalan seperti diupacarai, diruwat, dan dirawat. Waktu mencatat setiap tahap yang dilakukan oleh manusia, tahapan kejadian adalah proses yang dilalui manusia (Dwijayanthi, 2010:69).

 

81  

kecuali perubahan dari kecil ke besar, yang selanjutnya jika dihubungkan dengan proses penciptaan, matahari (surya) sebagai poros, maka perubahan itu dari terang ke gelap, dari gelap ke terang atau lebih dikenal kemudian dengan siang dan malam. Bakker, 1995:113--115, menegaskan, bahwa Waktu adalah suatu tatanan di luar hal dan manusia dan peristiwa. Ada suatu waktu asali dan primordial (mistis), dan semua peristiwa berikut berakar dalam waktu asali itu, dan mendapat identitas dan mutu dari sana. Berlaku bagi peristiwa-peristiwa sentral dalam hidup manusia seperti kelahiran, kematian, inisiasi, pernikahan, tetapi juga bagi pengalaman alami seperti banjir dan gempa bumi Newton (1642--1727), waktu dikatakan realitas matematis yang absolut, tanpa tergantung dari relasi dengan suatu hal lain. Waktu sedemikian itu adalah penampung bagi gerak absolut pada substansi-substansi kosmis. Waktu itu tanpa awal dan tanpa akhir, dan berlandaskan langsung pada keterbatasan dan keabadian Tuhan. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Einstein (1889--1955) waktu ‘melekat’ pada materi dan gerak, merupakan dimensi tersendiri di dunia. Memahami waktu sebagai bentuk pencipta yang menguasai setiap ciptaanNya. Sehingga waktu dan Tuhan adalah tunggal. Monisme dianggap paham ketunggalan pencipta dengan ciptaan-Nya. Monisme dalam ketunggalan adalah segala sesuatu berpangkal pada Tuhan dan mengembalikan segala sesuatu pada Tuhan. Segala hal terlebur menjadi satu dalam kekuatan Tuhan serta tidak pernah menempatkan Tuhan di tempat yang nomor dua. Kemutlakan Tuhan dianggap kemanunggalan antara “aku”, semesta, dan Tuhan (bdk. Zoetmulder, 1935:3).

 

82  

Waktu menemani proses penyatuan yang pelan-pelan menuju ke kebebasan. Kesadaran dan kebebasan tertinggi adalah sunya yang sama dengan Siwatattwa yang pada intinya adalah kebahagiaan tiada tara (anandam). Kebahagiaan tertinggi itu bercirikan kesucian, kemurnian, ketiadaan, kenirmalaan, kebebasan, ketidakterbatasan, kesempurnaan, lebur luluh dalam keindahan sejati, tidak tercampur lagi dengan apa pun, tidak ada lagi yang telah dikonsepkan sebagai rasa, nama, rupa, pikiran dualis dikotomis hilang tanpa sisa. Palguna, 1998:35--38, Sunya adalah Siwa itu sendiri, atau Siwa adalah sunya itu sendiri seperti yang dikutip dalam bait kakawin di bawah ini. ŋke ŋhawan kinati kacěŋka tlěŋiŋ hŗedayā lumaku aŋawaŋ-ŋawaŋ/ jějěbuganā rum arum tāta tāta bya pwaka bun akniŋ kawiśwarā/ kěliŋ ŋlaŋanakěn kabeh krana ira n saram hana parā labdha paņdithā/ suksma śūnyā karāma cintya mahā ņirbhana tan hana mban awak nira// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-26). Terjemahannya Demikianlah kesungguhan hati yang digerakkan oleh pikiran/ yang kotor kemudian dibuat wangi dengan susunan yang dibuat oleh Kawiswara/ peperangan [dalam diri] hendak dilaksanakan, karena beliau adalah wiku yang termasyhur/ jiwa menyatu dalam kesunyian, menjadi satu dengan Maha Nirbhana, tidak ada yang tersisa dalam dirinya// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-26). Maha Nirbhana, sebutan beliau penguasa alam kekosongan. Seseorang tetap merasakan dirinya penuh hina, penuh dengan lumpur dosa, dan berlumuran keinginan apabila belum menemukan kebebasan dalam dirinya. Kawiswara ditemukan juga dalam beberapa bait di antara puluhan bait Kakawin Dharma Sawita. Kawiswara adalah metafora jalan si aku untuk melakukan penyatuan dengan penguasa kosong. Jalan kalepasan yang sederhana itu justru ditempuh

 

83  

dengan memantapkan hati sebelum kemudian siap menjadi individu yang tanpa rupa, kekayaan, kecerdasan, bahkan kesaktian. Kesiapan dan kesungguhan hati itu dimulai dari menyadari betapa hinanya si aku35. Terkadang dalam praktiknya, godaan tertinggi justru datang dari hal yang paling tidak bisa ditanggalkan dan ditinggalkan oleh si aku, yaitu identitas. Betapa tidak mudah kemudian dari si aku menanggalkan identitas ‘sebagai’; ‘paling’ tersebut. Selalu ada keinginan untuk kembali tancap taring sesaat setelah si aku mengalami pencerahan. Ilham yang sesaat tersebut muncul setelah si aku tanpa sadar mengingat dirinya (manutur atma ri jatinya). Kesadaran ini dilatih dengan ketidaksadaran karena menuju-Nya, menyatu dengan-Nya adalah tujuan yang hanya bisa dituju jika berjalan atau sederhananya, jalan hanya akan ditemukan oleh siapa pun yang berjalan36. Kalepasan menyatukan aku dan semesta diyakini sebagai hukum jagat raya yang kekal oleh waktu. Barang siapa yang memahami hakikat dirinya sebagai individu akan selalu merasa nyaman dan lega dalam keadaan apa pun. Mereka yang memahami hakikat dirinya akan siap menyatu dengan-Nya kapan saja. Bukan lagi bergantung pada kehendak waktu, melainkan waktu hanya akan menjadi media yang menyaksikan. Sementara ruang menyediakan dirinya untuk mengabdi pada yang sudah menemukan hakikat dirinya karena Dia (semesta, Brahman) itulah kenyataan tertinggi yang tidak diselami oleh akal budi dan panca

                                                                                                                35

Papa atau hina adalah predikat bagi mereka yang dibelenggu oleh indra dan objek indranya, sehingga mereka disebut sebagai orang-orang yang aturu atau tidur, lupa akan hakikat dirinya (tan meŋět ri jatinya). Untuk membebaskan diri dari belenggu tersebut diajarkan untuk melakukan tapa brata (Agastia, 1998:168--171). 36 Ibid.

 

84  

indra (bdk. Zoetmulder, 1991:56--60). Tidak terbayangkan betapa semuanya kemudian lepas di dalam ruang (kehendak) si aku sendiri. Tidak ada sesuatu yang ada, pernah tidak ada; tidak ada sesuatu yang tidak ada, pernah ada. Kekekalan menjadi keabadian pada setiap masa atau waktu. Kelanggengan begitu disebutkan. Zaman kelanggengan adalah ruang besar yang diciptakan Tuhan untuk ciptaan-Nya. Pencipta (Siwa) memiliki Ada (sat) dalam arti kata sepenuhnya, sedangkan aku memiliki Ada dengan sangat terbatas. ‘Sat’ dipandang sebagai Ada yang mandiri. Siwa merupakan sumber dari segala sumber, termasuk pembaharuan dan evolusi (bdk.  Zoetmulder, 1991:85). Manakala si aku mengalami evolusi dalam dirinya, kesungguhan dan kateguhan hati mendorongnya untuk terus-menerus berproses melakukan penyatuan. Kelak menjadi apa pun tidak lagi dipikirnya, semua kemelekatan lepas sedikit demi sedikit. Dalam konteksnya, pada Kakawin Dharma Sawita, kalepasan difungsikan sebagai media penggerak hati dan pikiran. Gerak ke dalam diri juga dikaitkan dengan tapa sepi dalam ‘gunung hati’, seperti yang dikutip di bawah ini. Tan deniŋ mara riŋ gunuŋ/ maněmu ŋ moksa tan padon/ tan deniŋ mamaŋan gaŋan/ tan siddha yan taya ŋ těpět// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XVI, Bait ke-8). Terjemahannya Bukan karena datang ke gunung/ menemukan moksa tanpa tujuan/ bukan karena makan sayur-sayuran/ tidak akan berhasil bila tidak tepat// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XVI, Bait ke-8). Penyatuan tidak dicari di luar diri seperti yang dinyatakan dalam bait di atas. Kawi Kakawin Dharma Sunya memberikan kritik terhadap laku tapa yang

 

85  

terjadi saat itu (kemungkinan saat sekarang pun tapa masih ditafsirkan demikian). Jalan di luar diri begitu orang menyebutnya sehingga berlomba-lombalah mencari gunung memuja lingga, berlomba-lomba juga hanya memakan sayuran, tetapi pikiran tidak dikendalikan dengan yoga usaha yang benar. Keadaan demikian dipicu tafsir dangkal terhadap beberapa ajaran yoga yang berkembang pada zaman itu (dan sangat poluler pada abad sekarang). Sesungguhnya matapa těpět iŋ hati [bertapa dengan benar di dalam hati, Kakawin Dharma Sunya, Wirama XVI, Bait ke-1]. Sarana yang ada di luar hendaknya dicari persamaannya dalam diri. Misalnya, jika harus ke gunung maka gunung dicari di dalam diri. Wirama XVI, bait-bait ke-1--7 Kakawin Dharma Sunya menjelaskan bahwa tubuh itu gunung. Budi baik sebagai perdukuhan di dalam gunung. Pikiran adalah rumah. Pengetahuan sebagai api. Sifat tamah sebagai kayu bakar. Hati yang kukuh sebagai pelindung. Atma sebagai sanggar pemujaan. Hidup ini adalah pilar penyangga sanggar itu. Bayu sebagai pengikatnya. Cadusakti sebagai altar. Yang diketahui sebagai persembahan. Padma hati yang telah mekar sebagai bunga persembahan. Cita yang suci sebagai airnya. Mantranya adalah getaran nada halus di dalam hati. Kesadaran sebagai sapu. Kelembutan sebagai sifat. Kebenaran sebagai tongkat. Kemuliaan sebagai busana. Perkataan yang benar sebagai pintu gerbang. Ketiadaan sebagai milik. Persembunyian di dalam pikiran. Siang dan malam menjaga kesadaran. Jangan jahat membunuh-bunuh. Itulah yang bernama tapa (bdk. Palguna, 1999:166). Kamalanatha (kawi Kakawin Dharma Sunya) membukakan pikiran penulis untuk sejenak merenung. Kritik yang disampaikan melalui Wirama VI

 

86  

bait-bait 1--7 menumbuhkan pikiran bahwasanya gunung yang didaki itu adalah gunung dalam diri. Sebelumnya dalam pikiran penulis, tapa selalu dilakukan di gunung-gunung lain di luar diri. Di gunung tersebut didirikan semacam asrama, berteman dengan sesama yang mencari sunyi. Melakukan ritual-ritual dengan membuat api pemujaan, menggunakan sarana air, menggunakan mantra, lengkap dengan busana tertentu. Tidak semua jalan ke luar ada di luar. Tidak semua jalan masuk ada di dalam. Yang ada menjadi tiada. Yang tiada menjadi ada. Yang ada dalam diri adalah yang kemudian hilang dan lepas. Setidaknya usaha menjadi sederhana, tetapi dengan cara yang benar akan menyatukan aku dengan semesta.

5.3 Kalepasan sebagai Tujuan Kesadaran Jiwa dalam Kakawin Panca Dharma ya don ikaŋ prih wěkas i kaśūñatan/ wulat rikiŋ mūla wulat pamātyana/ acintya riŋ citta wěkas niŋ aksara/ tělas mucap sāra ŋ acintya niskala// (Kakawin Dharma Sunya, Kakawin Dharma Niskala, Wirama XX, Bait ke-14). Terjemahannya Itulah tujuan perjuangan, puncak kekosongan/ perhatikan awalnya, perhatikan sarana mematikannya/ Yang Tidak Terpikirkan di dalam cita. Akhir dari aksara/ selesai berbicara tentang intisari Yang Tidak Terpikirkan, niskala// (Kakawin Dharma Sunya, Kakawin Dharma Niskala, Wirama XX, Bait ke-14). Kesadaran menjadi sebuah keadaan saat jiwa telah mencapai cita-cita akhirnya. Sadar dalam keadaan yang sadar atau dengan kata lain, sadar sesadarsadarnya. Kesadaran paling tinggi adalah saat jiwa mengingat dirinya lalu

 

87  

menyatu dengan Paramasiwa. Para pencari sunyi yang menekuni jalan kalepasan sesuai dengan kata hatinya akan menemukan tahapan-tahapan kesadaran jiwa itu. Proses mencapai kesadaran tersebut didapatkan melalui tahap-tahap yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Proses dari maya menuju Paramasiwa. Ya don ikaŋ prih wěkas i kaśūñatan (itulah tujuan perjuangan, puncak kekosongan). Tujuan perjuangan yang juga disebut sebagai cita-cita akhir, tidak lain adalah puncak kekosongan. Sunya, putus, niskala, wimala, sawita, merupakan kata-kata yang memiliki tingkat makna kekerabatan yang sangat dekat. Katakanlah seperti yang diilustrasikan penulis, seseorang yang ingin mencapai titik nol harus mengetahui hakikat kosong itu dengan sifat-sifat kosong, yaitu tanpa noda (wimala), dengan terlebih dahulu mendapat pencerahan jiwa (sawita). Wulat rikiŋ mūla wulat pamātyana (perhatikan awalnya, perhatikan sarana mematikannya). Proses mematikan sarana maksudnya adalah ketika jiwa telah sadar di puncak kesadaran, tidak lagi jiwa berkeinginan yang lain. Sarana atau jalan yang dipakai untuk melakukan penyatuan telah dihilangkan dengan kata lain dimatikan karena jiwa telah mengalami kesadaran yang luar biasa. Perjalanan berakhir dengan datangnya kesadaran penuh bersama hilangnya keinginan. Kontemplasi yang melahirkan kesadaran mendorong jiwa untuk lepas. Jika kemudian dikaitkan dengan wiku sebagai penyair, tentunya saat jiwa lepas inilah wiku menggubah karya. Tidak hanya sebagai seorang penyair, seniman apa pun (perupa, penari, pemusik), tetapi setiap pekerjaan yang dilakukan jiwa tiap individu. Kaitannya kalepasan dengan keseharian (kita) adalah kesadaran untuk

 

88  

mencintai yang dilakukan. Tindakan sederhana ini akan menuntun jiwa ke arah yang tingkatannya lebih tinggi. Spiritualisme tidak hanya dilakukan dengan mencakupkan tangan di tempat suci, tetapi mencintai yang dilakukan. Acintya riŋ citta wěkas niŋ aksara (Yang Tidak Terpikirkan di dalam cita. Akhir dari aksara), yang dicita-citakan sudah tidak ada lagi, akhirnya semua aksara dalam jiwa menyatu. Tělas mucap sāra ŋ acintya niskala (selesai berbicara tentang intisari Yang Tidak Terpikirkan, niskala), saat jiwa telah pada tahap kesadaran penuh, maka tidak ada lagi yang dipikirkan. Segala yang dilakukan, diucapkan, dipikirkan menjadi satu dalam kekosongan dan kehampaan. Jiwa-jiwa yang mendapat kesadaran penuh adalah jiwa-jiwa yang tidak tersentuh oleh keinginan, kelakuan, dan perkataan. Jiwa yang lepas bersama di alam penuh kekosongan, nirwana. Melepas keinginan menuju kesadaran jiwa tertinggi selalu berpegang teguh pada ajaran yang dikatakan dalam tattwa-tattwa dengan ajaran kalepasan. Kutipan di bawah ini merupakan kutipan yang menjadi semacam pengingat untuk selalu berada di alam kesadaran penuh. Banannikaŋ wiakti wisesa yan hana/ riŋ arga uŋgwani ranuksma tan katon/ ri kang bayu, sabda, iděp manuksma ya/ yan ton-toněn ri wulata pamagaña// (Kakawin Dharma Putus, Bait ke-17). Terjemahannya Beginilah sesungguhnya kesaktian yang ada/ merasuk dalam jiwa tidak terlihat/ di bayu, sabda, idep (tenaga, ucapan, pikiran) yang menyatu/ jika dilihat-lihat (dipikir-pikirkan) begitulah keadaannya// ((Kakawin Dharma Putus, Bait ke-17).

 

89  

Zoetmulder, 1995:62—63 dalam Suarka, 2007:359 mengungkapkan, bahwa kesatuan atau kemanunggalan dengan kesadaran yang menjadi inti dalam konsepsi andiwasraya (kalepasan dalam Kidung Tantri Pisacarana), sebenarnya juga dapat dimaknai sebagai kesatuan jiwa (purusa) dan badan (prakriti). Ajaran Sangkhya membedakan dengan tegas antara dunia spiritual dan dunia material, antara purusa dan prakriti. Purusa adalah jiwa yang tunggal dan tidak pernah berubah. Prakriti meliputi segala sesuatu yang berubah dan bersifat nisbi. Prakirti mencapai determinasi dan keanekaan setelah dipengaruhi oleh ketiga sifat atau unsur dasar (guna), yaitu sattva merupakan unsur keselarasan, terang, kesempurnaan, dan kemurnian; rajas merupakan unsur perkembangan, gerak, dan nafsu; serta tamas merupakan unsur kegelapan, kelambanan, kemusnahan. Purusa memengaruhi dunia prakirti dan membangkitkan daya-daya perkembangan yang tertanam dalam alam prakirti sehingga terjadi dunia gejala. Dunia gejala mengurung jiwa dalam suatu lingkaran kelahiran kembali yang mutlak. Setelah memaklumi keadaan yang sebenarnya, maka orang bisa membebaskan diri dari kelahiran itu dan mencapai kebebasan. Alam wisesa adalah alam Siwa, Sunya, karena Siwa adalah Sunya. Ketika jiwa selesai menikmati suka maka selesai pula merasakan duka karena yang satu tidak bisa ada tanpa yang lain. Suka duka telah menjadi hal yang dikotomis. Jiwa yang berhenti menikmati suka dan duka adalah jiwa yang bebas dari pikirannya sendiri yang selalu memilah-milah. Barangkali keadaan seperti ini disebut keadaan yang sampai.

 

90  

Sampai berarti awor. Sampai tidak hanya untuk tiba. Tiba tidak hanya untuk datang. Datang tidak sekadar demi pulang. Pulang tidak hanya untuk bersatu. Dikatakan demikian karena sampai, tiba, datang, pulang, dan bersatu berarti merasakan kenikmatan tertinggi, terdalam, terhalus, tiada tara, puncaknya puncak tidak terpuncak. Konon tidak ada yang bisa dikatakan tentang kenikmatan itu, karena tidak terbayangkan, tidak terpikirkan, tidak terperikan. Pendakian spiritual adalah perjalanan dari banyak kenyataan menuju kenyataan yang kosong. Hal itu terjadi karena, kesadaran telah jatuh ke dalam maya, dan oleh maya, maka dari maya, dan dengan maya itulah kesadaran dikembalikan pada keadaan sejatinya yang suci. Kata lainnya, karena kesadaran jatuh ke dalam tubuh dan lupa pada sejatinya, maka dengan sarana tubuhlah kesadaran itu dikembalikan. Tubuh adalah bumi yang merupakan kumpulan segala kenyataan dan karenanya adalah representasi utuh dari maya. Perjuangan spiritual adalah membalikkan kesadaran. Membalikkan kesadaran berarti membalikkan aliran dari atas ke bawah menjadi dari bawah ke atas, seperti mendaki, pasti dari bawah ke atas (Palguna, 1999:145). Kesadaran tertinggi adalah kenikmatan tertinggi itu sendiri. Lima unsur halus (panca tan matra) menyebabkan adanya lima unsur materi kasar (panca mahabutha). Bunyi yang halus menyebabkan adanya udara (akasa). Sentuhan yang halus menyebabkan adanya kenyataan angin (bayu). Rupa yang halus menyebabkan adanya sinar (teja). Rasa yang halus menyebabkan adanya air (apah). Bau yang halus menyebabkan adanya kenyataan tanah (pertiwi). Udara, angin, sinar, air, dan tanah itulah yang disebut lima unsur materi kasar. Kelima selanjutnya mengambil kelima unsur halus tersebut adalah sifatnya.

 

91  

Bayu, sabda, idep, menjadi kunci pembuka untuk mencapai kesadaran tertinggi (paramasiwa) yang teramat halus. Tidak seperti kunci pada umumnya, ini kunci hanya berguna kalau hilang. Pintu terakhir terbuka saat kuncinya hilang. Begitu masuk orang tidak akan kembali. Bukan karena tidak ingin atau tidak bisa, melainkan karena kata ingin dan bisa tidak ada lagi. Itulah mengembara untuk hilang, tidak untuk pulang. Trilogi (bayu, sabda, idep) adalah kunci yang harus dihilangkan karena si aku (atma) yang ada di dalam bayu melahirkan kata. Kata pada gilirannya melahirkan pikiran. Ketiganya tidak bisa dipisahkan dengan cara yang sederhana, karena ketiganya adalah satu kesatuan. Ketiganya terjadi bersamaan dan saling memengaruhi serta ketiganya pula bersama-sama menyebabkan adanya kenyataan. Kenyataan yang diciptakan oleh bayu, sabda, idep itu menutupi si aku sehingga lupa pada jati dirinya. Bayu, sabda, idep dikatakan kunci yang harus dihilangkan. Bukan kenyataan

yang

diciptakannya

yang

dihilangkan,

melainkan

langsung

penyebabnya. Evolusi dalam atma itu menyebabkan adanya kenyataan manah (manah), budi (buddhi), dan ego atau keakuan (ahangkara). Ego yang berkembang menyebabkan aktifnya lima indra halus menjadi lima indra kasar (gerak, pelaku). Pertemuan sepuluh indra menyebabkan lahirnya ikatan. Ikatan menyebabkan indra selalu ingin kembali atau untuk datang dan datang lagi. Ikatan pula melahirkan karma yang membuat atma selalu ingin kembali. Ego, intelek menjadi musuh utama yang lahir dari bayu, sabda, idep. Oleh karena itu, atma

 

92  

harus melewati batas keinginan intelek untuk menaklukkan godaan identitas aku yang melekat.

 

93  

BAB VI MAKNA WACANA KALEPASAN DALAM KAKAWIN PANCA DHARMA

6.1 Kalepasan: Sinar, Tanpa Noda, Tidak Terlihat, Sunyi, Lepas Apabila berbicara tentang kalepasan, maka memang tidak ada hentihentinya, tidak bisa pula dipisahkan hanya ke dalam bentuk, fungsi, dan makna semata. Kalepasan adalah sesuatu yang utuh, sambung menyambung dari awal dan akhir, dari dasar sampai tujuan. Selama masih ada kehidupan (baca kelahiran dan kematian), selama itu pula kalepasan menjadi jalan yang dipilih untuk meniadakan diri, baik dalam suka maupun duka. Kakawin Panca Dharma memiliki semacam kekuatan untuk dilirik, dibaca, diteliti, dihayati, dan dilaksanakan. Kekuatan itu seperti magnet yang siap menarik kutub yang berlawanan. Tidak semua peneliti bisa menelitinya, hanya jalan hidup yang membuat teks ini bertemu dengan penelitinya. Penulis yakin bahwa meneliti KPD menjadi semacam obat sekaligus jawaban tentang segala yang terjadi di dunia penulis. Meneliti KPD, sama halnya dengan menulis buku harian, yang dari hari ke hari selalu berbeda yang ditemukan dan dialami. Justru karena itulah, penulis merasakan kerinduan yang luar biasa apabila tidak menulis dalam waktu sehari tentang kalepasan dalam KPD. Kalepasan memiliki rumah yang bernama kesunyian, yang menjadi tujuan setiap insan, termasuk penulis. Sesungguhnya keterlibatan emosional antara teks dan penulis harus dibatasi dalam koridor penelitian ilmiah karena hanya akan menimbulkan subjektivitas. Penulis menyadari hal itu, tetapi penelitian ini tidak hanya

 

94  

berdasarkan penelitian teks dengan mengamati seseorang, tetapi juga penelitian penulis terhadap diri sendiri. Penelitian ini juga jalan yang penulis temukan ketika berjalan di jalan sunyi dan menemukan nikmat setelah merasakan kesunyian yang luar biasa. Kesunyian selalu menimbulkan kerinduan untuk lepas dan menyatu. Bukankah kerinduan adalah keperihan yang indah? Oleh karena itu, penelitian ini juga perjalanan jiwa yang dialami penulis. Hari yang penuh dengan hura-hara, sekaligus hari yang penuh haru hanyalah bagian dari bentuk penyatuan kekuatan dan kelembutan dalam diri. Tidak pantas pula penulis menyamakan diri dengan si aku dalam KPD karena si aku dalam KPD adalah penyair yang sekaligus penekun jalan kalepasan. Dalam Kakawin Dharma Sunya, dikatakan bahwa pengarang Dharma Sunya adalah seorang kawi-wiku (penyair pendeta) hanya seekor kunang-kunang, yang ingin tidak bisa menyaingi rembulan. Dengan demikian, penulis hanyalah kotoran kecil di ujung kuku yang hanya mendatangkan penyakit, namun apabila kotoran itu tidak ada, maka pemilik kuku tidak akan memotong ujung kukunya dan membentuknya menjadi indah? Penulis rasakan, tidak selamanya yang dilihat kotor itu juga dirasakan kotor. KPD merupakan juru selamat, hadir begitu saja pada waktu yang tepat. Kakawin Dharma Sawita adalah bagaikan sinar matahari. Sawita sendiri memang berarti matahari, sehingga matahari selalu memiliki kekuatan yang bernama sinar. Sinar sangat diperlukan dalam kehidupan, sinar sebagai sumber energi yang dibutuhkan, baik secara fisik maupun mental. Sinar memercikkan cahaya menjadi pelita pada saat mengalami kegelapan. Dharma Sawita dimaksudkan kebenaran

 

95  

selalu menjadi sinar. Kebajikan selalu menjadi cahaya pada saat gelap. Seorang pencari sunyi menjadikan sinar sebagai dasar tuntunan, energi cahaya selalu menjadi penerang dan penguat terhadap godaan yang datang. Terkadang, godaan tidak selalu datang dalam bentuk nyata, godaan pun datang dalam bentuk yang tidak nyata. Godaan tertinggi justru datang dari pikiran sendiri sehingga dalam Kakawin Dharma Wimala dijelaskan bahwa kebenaran itu pula tidak ternoda oleh apa pun. Kesetiaan untuk menekuni jalan kalepasan merupakan kebenaran rasa, senantiasa menumbuhkan keinginan untuk selalu melakukan kebenaran. Sesuatu yang tidak ternoda melahirkan kemurnian yang tiada tara. Kemurnian akan melahirkan kesucian yang tidak terlihat, seperti dalam Kakawin Dharma Niskala, kebenaran adalah hal yang tidak terlihat. Pencari sunyi tidak memperlihatkan setiap hal yang dilakukannya ke luar diri, tetapi selalu menyatukannya dengan hatinya. Kebenaran yang tidak terlihat, bukanlah kebenaran yang disimpan untuk diri sendiri, melainkan kebenaran yang selalu dilakukan tanpa ada keinginan untuk mendapatkan pahala. Keinginan mendapatkan pahala hanya menghalangi keinginan untuk menemukan tempat yang paling sunyi itu. Dalam Kakawin Dharma Sunya dinyatakan bahwa kebenaran adalah hal yang bersifat sunyi. Kesunyian mengungkapkan kehampaan dan kekosongan sebagai tujuan penyatuan. Bukan hanya sebagai kebenaran tertinggi melainkan kekosongan yang tanpa batas. Kebenaran selalu diungkapkan dengan cara-cara sunyi dan sederhana, yaitu selalu berjalan di jalan yang telah dilakoni.

 

96  

Jalan sunyi yang dilakoni menuju ke arah lepas, kebenaran mengantarkan ke alam sunyi lalu melepas segala yang melekat dengan pelan-pelan. Kakawin Dharma Putus, menuntun si aku untuk senantiasa terus berjalan di jalan kebenaran agar tiada lagi kemelekatan yang tersisa. Segala hal diputus dengan kebenaran yang dirasakan selalu menjadi penuntun. Putus dengan segala hal seperti saat pencari sunyi menemukan dirinya, lalu hilang secara pelan-pelan yang membuat dirinya ada. Dunia putus, merupakan dunia yang tidak memiliki tujuan lagi, karena putus berarti telah menyatu dengan Hyang Tunggal. Sawita-Wimala, merupakan pemahaman dasar kalepasan, artinya pencari sunyi masih bergolak dengan dirinya tentang hal yang ditujunya. Yoga pengendalian diri, pemahaman terhadap sadrasa dan karakter dibahas di awal, untuk mendapatkan hasil akhir yang diinginkan. Kendatipun demikian, sawitawimala-niskala-sunya-putus merupakan satu rangkaian mata rantai. Kelimanya merupakan jalan yang didaki menuju puncak pembebasan jiwa. Niskala-Sunya-Putus merupakan tiga kata yang mengikuti kata dharma dalam judul kakawin. Ketiganya memiliki arti yang hampir sama, serupa. Namun hendaknya disadari bahwa niskala-sunya-putus diletakkan pada tingkat lanjut karena telah merepresentasikan keadaan jiwa pencari sunyi. Keadaan-keadaan yang sudah tidak terlihat, sunyi, dan lepas adalah keadaan yang dituju oleh para pencari sunyi. Niskala-sunya-putus, tidak dibedakan begitu mencolok dalam isinya, tetapi ketiganya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan sebagai ajaran kalepasan tingkat lanjut (niskala). Misalnya kutipan dalam Jñānasiddhanta di

 

97  

bawah ini yang mengatakan, bahwa kalepasan merupakan jalan yang dipilih untuk pembebasan jiwa, serta tempat di tubuh yang dipilih untuk pembebasan. Om namah siwāya Ikaŋ pinaka mārga niŋ kapralinan de saŋ pandita tiga lwirnya Nistha Madhya Uttama

: riŋ Siwa-dwara : riŋ tuŋtuŋ iŋ ghrana : riŋ tutuk

Ika ta katiga nora mulih riŋ janma muwah, yan kěna karěgěpan iŋ Niskala-Jñāna. Nkāna sinaŋguh Parama-Kaiwalya, liŋ saŋ pandita. Sira Acintya-pada. Acintya ŋa, tan kěna deniŋ aŋěn-aŋěn. Ya sinaŋguh Acintya-pada sira. Ya ta mataŋhyan tutuh iŋ paŋawruh saŋ bhujaŋga. Ika riŋ kina-kina, ri saŋ Siwa-Buddha. Maŋkana tan hana waněh kumawruhi lawan ta saŋ bhujaŋga, tan kagawokana riŋ paŋawruh iŋ apaŋawruh; aŋhiŋ Siwa-Buddha juga, ya tutěn paŋawruhira. Apan ta sira aŋwruhi kinaruhan, hinan iŋahisi lawan tan pesi (Soebadio, 1985:92). Terjemahannya Om Hormat kepada Siwa Adapun tiga jalan bagi sang bijak yang menuju peleburan: (jalan lewat) upacara nistha (jalan lewat) upacara madhya(ma) (jalan lewat) upacara uttama

: (jiwa ke luar) lewat ubun-ubun. : (jiwa ke luar) lewat ujung hidung. : (jiwa ke luar) lewat mulut.

Ketiga (jalan) ini semuanya tidak menuju kelahiran kembali lagi, asal seseorang telah menguasai pengetahuan mengenai Dunia yang tidak tampak (Niskala-Jñāna). Di sana terdapat Kesunyian Tertinggi (ParamaKaiwalya), menurut sang bijak. Di sana terdapatlah Takhta Acintya (Acintya-pada). Acintya berarti tidak dapat ditangkap oleh akal budi atau pikiran. Itu disebut Acintya-pada, tempat bagi Dia yang tidak terkurung oleh konsep-konsep. Itulah puncak pengetahuan bagi seorang murid. Sejak zaman dahulu tempat ini diketahui oleh pendeta-pendeta Siwa dan Buddha. Dengan demikian, tidak seorang pun tahu, kecuali orang-orang bijak, tidak seorang pun pantas dikagumi karena mengetahui mereka yang mempunyai pengetahuan, hanya pemujapemuja Siwa dan Buddha, merekalah hendaknya diikuti dalam

 

98  

pengetahuan mereka. Karena mereka tahu, apa yang (pantas) diketahui termasuk yang ada isinya dan yang tidak ada isinya (Soebadio, 1985:93). Sejatinya jalan yang dimaksudkan itu merupakan jalan yang ada di dalam tubuh. Pengetahuan dan ajaran berperan sangat penting dalam pembentukan kekuatan jiwa atau keteguhan hati pencari sunyi. Memang ajaran kalepasan sangat bersifat rahasia karena pengetahuan tingkat tinggi ini hanya bisa diterima dan dijalani oleh seseorang yang bijak. Kecerdasan, intelektual bukanlah ukuran yang menjadi dasar seseorang memiliki sikap bijak. Justru sikap bijak hanya dimiliki oleh seseorang yang sederhana, penuh penerimaan, dan selalu berusaha menggapai tujuan yang kosong. Tiga jalan di atas terkadang lebih dikenal dengan tiga jalan kematian. Jalan kematian tersebut dipahami sebagai jalan pembebasan total. Pembebasan total diartikan sebagai menyatunya aku (atma) dengan Pencipta, bukan sebagai pertemuan dengan yang menjadi dewa-dewa yang diharapkan hadir pada saat pemujaan. Pembebasan total adalah cara membimbing jiwa yang sedang berangkat menuju ke kesunyian. Pemusatan pikiran merupakan cara sederhana yang dikatakan oleh seorang bijak. Pembebasan jiwa ini tentu tidak mengharapkan keinginan mendapatkan imbalan, pembebasan jiwa adalah jalan untuk memutus reinkarnasi. Seseorang yang dikatakan telah mencapai titik sunyi tidak akan bisa kembali untuk bereinkarnasi ke alam sakala. Seorang pencari sunyi tidak hanya dinilai dan ditentukan oleh fisik semata, terkadang banyak yang berpura-pura sebagai pencari sunyi. Mereka yang berpurapura kadang tidak menyadarinya. Kepura-puraan justru disebabkan oleh ingin

 

99  

menunjukkan diri, seolah paling sunyi, paling tahu segalanya, termasuk paling tahu tentang sastra. Kepura-puraan ini cenderung akan mengakibatkan penderitaan terlebih lagi tidak akan mampu mencapai pembebasan total tersebut. Sastra adalah sikap, sastra bukanlah jalan yang dilakoni untuk mencapai sebuah ketenaran. Sastra lebih kepada ajaran menjadi seorang yang sederhana, guna dusun. Kesopanan, dinilai bukan dari luar (orang lain), melainkan dari diri sendiri dengan becermin pada sikap orang lain. Sikap atau perilaku seseorang dapat dilihat dari seberapa jauh mereka memahami dan mengamalkan sastra dalam hidupnya karena hidup adalah sastra dan sastra adalah sikap. Ketika seseorang (pencari sunyi) telah memantapkan dirinya untuk menekuni jalan sunyi, maka pencari sunyi harus menanggalkan kecerdasan intelektualnya. Kecerdasan intelektual hanya mengantarkan pada gerbang identitas popularitas, tidak sampai pada gerbang spiritual. Namun, kecerdasan spiritual pun harus ditanggalkan. Jika segala macam kecerdasan tersebut masih melekat, maka tidak ada yang akan menemukan jalan sunyi. Terkadang pencari sunyi lupa akan tujuannya. Mereka yang masih menganggap diri cerdas sesungguhnya hamba yang bodoh karena dalam kesunyian tidak ada hal-hal yang bersifat dikotomis lagi. Artinya semua hal memiliki sifat yang sama. Rumah sunyi merupakan rumah kosong yang terakhir. Rumah yang tidak akan membuat yang memasukinya bisa kembali pulang. Artinya, jika pencari sunyi: aku (atma) sudah masuk ke rumah ini, dia tidak akan bisa bereinkarnasi kembali. Memasuki rumah sunyi sama artinya dengan memasuki rumah yang

 

100  

diinginkan selama pencarian. Rumah yang ditemukan, kemudian bersama-sama hilang setelah ditemukan. Kalepasan menghendaki penekunnya bisa mencapai rumah sunyi tersebut karena rumah sunyi selalu kosong dan menanti pencari-pencari sunyi yang berhasil menemukannya lalu menghilang (lepas) bersama. Ini tidak hanya berupa jalan kematian bagi pencari sunyi yang menghendaki mati raga untuk penyatuan. Kalepasan ini lebih ditekankan pada cara pandang tentang hidup, hal yang berbeda, tujuan yang sama, kesederhanaan, kepolosan yang dimiliki oleh diri. Pribadi yang bebas, sederhana, santun adalah bentuk-bentuk yang secara kasar bisa dilihat dan dinilai oleh mata. Namun, ada kalanya mata memiliki hati yang selalu bisa membedakan antara palsu dan asli. Tiga jalan yang disebutkan dalam Jñānasiddhanta dijadikan pilihan oleh pencari sunyi, tingkat kesadaran, bentuk ikatan yang masih melekat untuk membebaskan jiwa. Penyatuan tidak hanya terjadi ketika akan mati (dengan mengetahui cara mati, waktu mati, dan bagaimana cara mati), tetapi penyatuan dapat juga dilakukan ketika tidur tanpa mimpi dengan kesadaran. Tidak hanya tiga jalan yang diungkapkan, lebih lanjut ada lima jalan yang bisa dipilih aku (jiwa) untuk lepas dari tubuh, seperti yang telah dijelaskan dalam Bab IV penelitian ini. Sesungguhnya apabila dipikirkan ulang banyak proses yang dijalani dan dilalui aku (atma) untuk menjadi manunggal. KPD semacam pencapaian titik ke titik. Jika seorang aku telah mendapatkan sinar (sawita), dia akan mencoba meningkatkan baktinya menuju wimala. Bakti yang tanpa cela, bakti yang tanpa

 

101  

noda. Begitu baktinya tanpa cela dan tanpa noda, dia akan mencoba naik ke titik niskala-sunya-putus, titik yang dianggap paling tinggi, titik yang selalu menjadi tujuan. Sinar, tanpa noda, tidak terlihat, sunyi, lepas merupakan proses yang selalu disediakan oleh waktu untuk pencari sunyi. Aku (atma) menemukan dirinya sebagai pencari sunyi dengan penuh kesadaran, maka kesadaran tertinggi adalah kesadaran itu sendiri: Siwa (Hyang Tunggal).

6.2 Kalepasan: Aku (Kawi), Semesta, dan Pencipta Aku wiku ya tan hana kāku/ ikā iki ya tan hana winulatan/ wulatana ri wulatta tinon/ wěkas iŋ wulat ika patitis (Kakawin Dharma Sunya, Kakawin Dharma Niskala, Bait ke-153). Terjemahannya Aku wiku tidak ada milikku/ ini itu tidak ada kupandang/ pandangan dilihat dalam kau memandang/ ujung pandangan, itulah arah pandangan (Kakawin Dharma Sunya, Kakawin Dharma Niskala, Bait ke-153). Kawi umumnya diartikan orang yang menciptakan kakawin, namun ada pula yang menyebutkan bahwa kawi merupakan sebutan bagi orang yang pekerjaannya berhubungan dengan pustaka, sastra, dan seniman. Kawi dalam KPD merupakan seorang kawi dan seorang wiku. Wiku sebagaimana diketahui adalah seorang pendeta pertapa. Kawi-wiku adalah seorang penyair juga seorang pertapa. Keduanya memiliki peran yang bersamaan dalam penciptaan. Tidak semua nama kawi bisa diidentifikasi dalam KPD, hanya dalam Kakawin Dharma Niskala, Dharma Sunya, dan Dharma Putus, nama kawi dapat diidentifikasi. Masing-masing menyebut Kamalanatha sebagai kawi-wiku kakawin tersebut. Pembicaraan tentang Kamalanatha sangat jelas diceritakan

 

102  

dalam Kakawin Dharma Niskala dan Dharma Sunya. Kamalanatha tampak bebas menggunakan dua atribut tersebut, yaitu sebagai kawi dan wiku. Kamalanatha seorang kawi, tidak ada satu pernyataan pun yang menyebut demikian, yang ada justru sebaliknya, yaitu sebuah pernyataan yang meniadakan “…iki tan uluh ni saŋ kawi (ini bukan oleh seorang kawi, Kakawin Dharma Sunya, Bait ke-180)”. Itu dikatakan sebagai sebuah permohonan maaf atas hasil pekerjaan yang menurut Kamalanatha sendiri tidak memperlihatkan rasa sebuah kakawin yang indah. Oleh karena itu, disarankan agar rasa itu dicari dalam persatuan niskala yang diceritakannya. Persatuan niskala atau pembebasan jiwa seperti yang telah diuraikan sebelumnya, berarti pembersihan, penyucian, dan pengosongan atau pemadaman bayu, sabda, idep. Saran Kamalanatha dapat dipahami bahwa yang disebut rasa tidak cukup dicari dengan pemahaman teks belaka, tetapi pada pelaksanaan ajaran yang disampaikannya. Kakawin dalam hal ini KPD, khususnya Dharma Sunya, adalah suatu sarana pembersihan, penyucian, pengosongan, atau pemadaman bayu, sabda, idep. Bukan kakawin itu sendiri, melainkan pengalaman keindahan yang diadakannya. Jadi, menurut Kamalanatha, kakawin adalah salah satu manifestasi pengalaman keindahan sekaligus salah satu alat mengadakan pengalaman keindahan. Keindahan hanya mungkin dilahirkan oleh keindahan. Kamalanatha menyatakan bahwa seorang kawi menginginkan intisari pengalaman keindahan yaitu bebas dari keinginan. Kebebasan atau keindahan itulah pertemuan rasa. Pertemuan segala rasa dapat dipahami sebagai puncak rasa. Puncak rasa adalah

 

103  

persatuan niskala atau kebahagiaan yang tidak terlukiskan. Oleh karena itu, persatuan niskala disebut intisari keindahan37. Lewat pernyataan “ini bukan oleh seorang kawi”, Kamalanatha justru menyatakan diri seorang kawi. Memang begitulah sepatutnya seorang kawi menyatakan diri menurut konvensi. Paling tidak ada dua cara seorang kawi menyebut dirinya. Pertama, menghindari dari penggunaan gelar tertentu bila berbicara tentang dirinya sendiri pada bagian epilog. Gelar-gelar yang dihindari antara lain kawiswara (raja kawi), kawi siddha (kawi yang telah mencapai kepenuhan), kawi nipuna (kawi mahir), karena sebutan itu biasanya digunakan untuk kawi yang menjadi pujaannya, yang mengilhaminya, pada siapa seorang kawi mempersembahkan kakawin-nya. Kedua, apabila seorang kawi menyebutkan identitas kawi-nya dia akan menyatakan diri sebagai kawi yang malang, kawi tanpa karas, kawi yang belum tentu bertemu dengan keindahan, kawi yang ditinggalkan oleh kawiswara (kawi utama), dan sebagainya. Seni pengungkapan diri seperti itu kemudian disusul permohonan maaf. Ditambahkan harapan mogamoga para kawiswara mengampuni kelancangannya yang berani meniru-niru tanpa pengetahuan yang cukup. Permohonan maaf juga ditujukan ke hadapan para pembaca yang budiman dan para pandita yang bijaksana serta tidak ketinggalan para pertapa yang sakti38. Permohonan maaf semacam ini telah menjadi aturan, tidak hanya dalam satu kakawin, tetapi pada setiap kakawin. Bahkan, setiap kawi menuturkan keadaan dirinya, di mana pun dalam teks, ia selalu menggunakan permohonan                                                                                                                 37 38

 

Palguna, 1999:176. Zoetmulder, 1983:156-157; dalam Palguna, 1999:177.

104  

maaf. Sepertinya ada semangat yang melatarbelakangi adanya aturan tersebut. Semangat yang tampak di balik aturan (konvensi) permohonan maaf itu adalah perasaan kurang berarti, bahkan tidak berarti di hadapan keindahan. Kamalanatha pun ikut mengadakan aturan itu, bahkan tampak lebih ekstrem lagi karena mengatakan kakawin-nya bukan pekerjaan seorang kawi berarti “aku bukan seorang kawi”. Kamalanatha tidak memakai kata-kata permohonan maaf seperti pengarang kakawin lainnya “gadung yang bergelantungan berharap mencapai rembulan”, “kawi yang lupa menulis syair”, atau “kawi yang ditinggalkan kawi utama.” Kamalanatha justru memilih kalimat yang lugas “ini bukan oleh seorang kawi”. Dengan demikian, dua cara penyebutan diri yang disebutkan Zoetmulder pada paragraf sebelumnya, sekarang bisa ditambahkan dengan satu cara lagi, yaitu seorang kawi bahkan tidak mengaku kawi. Bukan karena ia bukan kawi, melainkan betapa tidak pentingnya sebutan, identitas, nama dalam konteks pengalaman keindahan. Terlebih lagi dalam persatuan niskala39. Kawi adalah orang yang dilahirkan oleh kakawin, sementara kakawin sendiri sebagaimana adanya sekarang, tidak jelas lagi diciptakan oleh siapa. Mungkin oleh seorang kawi, dua orang, atau barangkali lebih karena dalam tradisi berikutnya (sekarang) seorang kawi memiliki kewenangan, yaitu memperbaiki, menambahkan, atau menambahi sebuah kakawin. Keadaan meniadakan diri tersebut dilembagakan dalam bentuk aturan. Jadi terlalu dini menyebutkan bahwa seorang kawi memiliki tiga cara dalam penyebutan dirinya sesuai dengan suara

                                                                                                                39  Palguna, 1999:179.  

 

105  

nurani para kawi. Artinya, suara nurani kawi merupakan semangat berapi-api yang mendorong terjadinya penggubahan karya. Memaknai aku (kawi), semesta, dan Pencipta seperti melakukan rekreasi ke dalam diri. Memahami diri sebagai aku, melihat keteguhan hati seorang kawi, memandang semesta, dan terakhir merindukan Pencipta. Kerendahan hati menjadi sebuah pandangan hidup dan dasar yang utama dalam proses penyatuan. Tidak ada pemisahan antara aku, kawi, semesta, dan pencipta jika kaitannya dengan pemaknaan secara keseluruhan dalam KPD. Hal itu terjadi karena seperti yang talah dikatakan berulang-ulang, bahwa keseluruhan adalah proses dan jalan menuju sunyi. Jika kemudian berbicara tentang teks dan konteks, penulis ingin memberikan penekanan pada pemaknaan bahwa kesatuan makna yang utuh terbangun atas konsistensi kawi kakawin melakukan penggubahan dalam KPD. Konsistensi ini berupa wacana kalepasan di dalamnya, wacana itu sendiri menyangkut bentuk, fungsi, dan makna. Tidak ada cara yang lebih mudah meneliti dan menuliskan kalepasan dengan cara yang sederhana, mengalir, tentu dengan bingkai ilmiah sebuah penelitian. Aku, kawi, semesta, dan Pencipta merupakan metafora yang dihadirkan kawi KPD untuk memudahkan pembaca memahami kalepasan. Kawi KPD melakukan ini karena Dia menyadari bahwa sebagai seorang Kawi, Dia tidak memiliki apa-apa, tidak juga berhak pada karyanya. Begitulah kawi KPD menyebut dirinya, “Aku wiku ya tan hana kāku (Aku wiku tidak ada milikku).”

 

106  

Hal ini memang karena sebuah kerendahan hati, ketiadaan keinginan untuk mendapatkan apa pun. Ketiadaan keinginan ini dikatakan sebagai bentuk sederhana kalepasan yang begitu kompleks ajarannya. Kalepasan jika dikerucutkan tidak ada ujungnya karena ujung sesungguhnya adalah ketiadaan, kekosongan, dan kehampaan. Seorang kawi menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, sebagai sajjana (orang bijak), Dia memilih menyelamatkan dunia dengan karyanya. Karya itu sendiri adalah wujud dari kalepasan itu, seperti kutipan di bawah ini. Swadharmma saŋ sājjana masihiŋ dadi/ ndatan hana tyakta ri jīwa niŋ sarat/ yawat ya māsih drda bhakti nityasa/ lanā nurāgeki huripnya tan běsur// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama XIII, Bait ke-16). Terjemahannya Kewajiban seorang bijak adalah mengasihi (setiap orang)/ tidak ada meninggalkan jiwa (hidup) di dunia/ karena ketulusan baktinya/ kekal abadi hidupnya yang selalu mengalir// (Kakawin Dharma Wimala, Wirama XIII, Bait ke-6). Seorang bijak juga merupakan sebutan untuk seorang kawi, hanya orang bijak yang dapat menuliskan kebajikan dan ketidakbajikan secara bersama sebagai cerminan ataupun tuntunan. Swadharmma saŋ sājjana masihiŋ dadi (kewajiban seorang bijak adalah mengasihi sesama). Hal itu berarti bahwa artinya setiap yang melahirkan cinta dan kasih sayang merupakan cara untuk mengobati kerinduan bertemu (baca menyatu) dengan Pencipta. Bakti yang tulus tanpa meninggalkan jejak di dunia adalah kekekalan seorang kawi karena hidup seorang kawi selalu mengalir dan menemukan muara lalu lebur menjadi satu dalam samudra kesunyian.

 

107  

Seorang kawi tidak hanya menuturkan dirinya, tetapi menuturkan aku (atma) sebagai kekuatan karyanya. Aku yang bisa saja berarti dirinya (kawi) adalah bagian yang penuh romantika dalam KPD. Dia (kawi) seolah tidak terlibat, tetapi terlibat. Cara menyembunyikan diri di setiap kata merupakan keistimewaan yang dimiliki. Ketika karya KPD dibaca, pembaca (penulis) merasa menjadi aku (atma), aku (kawi), aku (semesta para kawi atau tubuh). Sungguh KPD penuh misteri, setiap kalimatnya adalah nyanyian sunyi yang datang dari beberapa abad silam. Nyanyian sunyi menjadi nyanyian pengiring dalam segala kehidupan aku (atma). Rumah sunyi dapat ditemukan dengan iringan nyanyian sunyi yang konstan, terus menerus didengar, dinyanyikan, dan dilaksanakan. Suara merdu nyanyian sunyi berasal dari hati seorang sunyi. Nyanyian sunyi itu adalah Kakawin Panca Dharma. Sāmpun labdha guru praboddha karěgěp satata lana humuŋgu riŋ hati/ raksan cupwana sāri-sāri nika homiděŋakěna ri sandhi niŋ těpět/ byaktāwās pahilaŋ nikaŋ tiga rahasya ri paměsat ikā ri niskala/ nora ŋ śabda hiděp ndatan pahaměŋan pranawa huwus amindha niskala// (Kakawin Dharma Sunya, Dharma Niskala, Bait ke-7). Terjemahannya Sesudah berhasil ajaran (guru) yang telah bangun kesadarannya diresapi, selalu ada dalam hati/ jaga di dalam cupu hati, terus-menerus itu tujukan pada persatuan dengan benar/ terbukti jelas itu penghilang tiga yang rahasia saat sirnanya di alam niskala/ tiada kata, pikiran tidak meninggalkan bekas, aksara suci telah berpadu niskala// (Kakawin Dharma Sunya, Dharma Niskala, Bait ke-7). Sārwwatma wrěddhi sakariŋ taya sūnya ŋuni/ māntuk ta riŋ taya ta rakwa wěkasnya teki/ yan saŋ putus tan umale-mūla saŋka niŋ rat/ māryya sarira hana tan tumuti wipātha// (Kakawin Dharma Putus, Bait ke-7).

 

108  

Terjemahannya Setiap atma yang datang (masuk) ke alam sunyi/ tidak akan pulang kembali meninggalkan bekas di sini/ jika memang telah putus, maka tidak akan bisa kembali ke dunia asalnya/ tubuhnya pun tidak diliputi kejahatan// (Kakawin Dharma Putus, Bait ke-7). Sěmbah niŋ wwaŋ amūrsite pada maheswara saphala kitā srayeng mangö/ wyāpiwyāpaka mūrtti kita sarwwa gata wimala yoga laksana/ ONG kārātmaka mantra nirmala sūksma wěkasiŋ aganal maweh licin/ śūnyā sthana ri sāri niŋ samaya nirbbhana wěkas i pañandi niŋ smrtti// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-1). Terjemahannya Sembah sujud kepada engkau penguasa segala keindahan/ engkau berada di mana-mana dalam setiap yang suci dan melakukan jalan yoga pengendalian/ kekuatan mantra, kesucian diri, sungguhlah disebut licin/ bertempat dalam sari kesunyian yang kosong dan menyatu dalam penciptaan// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-1).

ŋke ŋhawan kinati kacěŋka tlěŋiŋ hŗedayā lumaku aŋawaŋ-ŋawaŋ/ jějěbuganā rum arum tāta tāta bya pwaka bun akniŋ kawiśwarā/ kěliŋ ŋlaŋanakěn kabeh krana ira n saram hana parā labdha paņdithā/ suksma śūnyā karāma cintya mahā ņirbhana tan hana mban awak nira// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-26). Terjemahannya Demikianlah kesungguhan hati yang digerakkan oleh pikiran/ yang kotor kemudian dibuat wangi dengan susunan yang dibuat oleh Kawiswara/ peperangan [dalam diri] hendak dilaksanakan, karena beliau adalah wiku yang termasyhur/ jiwa menyatu dalam kesunyian, menjadi satu dengan Maha Nirbhana, tidak ada yang tersisa dalam dirinya// (Kakawin Dharma Sawita, Bait ke-26). Keseluruhan bait yang dikutip di atas merupakan bait yang mengandung kata kesunyian. Kesunyian merupakan pilihan kata yang tidak terlupakan dalam tiap-tiap teks KPD, seolah-olah kesunyian menjadi penekanan penting kawi KPD.

 

109  

Kesunyian (sunya, putus, nirbhana), apa pun yang disebut tetaplah ia adalah kehampaan, tidak bisa dibayangkan (tan paŋěn-aŋěn), tidak terperikan (tan patuduhan), dan di luar jangkauan pikiran (acintya). Jika digambarkan dalam bentuk tabel, maka kesunyian letaknya paling dalam. Sementara para pencari sunyi berada di sisi luar seperti molekul-molekul yang kemudian bersenyawa dengan kesunyian saat penyatuan itu telah terjadi. Kutipan bait di atas selain sebagai bentuk konsistensi kakawin tentang kalepasan, juga mengingatkan penulis pada sebuah kejadian yang dapat dikatakan wujud sederhana aku (atma) melakukan kalepasan. Perilaku atau kejadian tanpa sadar itu adalah ketika sedang dalam keadaan penat maka mata akan terpejam sejenak, lalu ketika mata dibuka kembali, semua kepenatan sejauh mata terasa hilang. Tentu ada pertanyaan, apa penyebabnya? Semua penyebabnya adalah keinginan untuk menemukan tempat yang sunyi. Berkali-kali penulis ingin tuliskan bahwa rumah yang bernama kesunyian hanya dapat ditemukan oleh kesunyian (keheningan) pula. Kesunyian itu: Hyang Tunggal.

6.3 Kalepasan: Penyatuan Kutub-kutub Jiwa Menuju Hyang Tunggal  

Kalepasan dikatakan sebagai pengetahuan suci yang menuntun dan

mengajarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, kebenaran tertinggi atau yang biasa disebut dengan moksa sehingga kalepasan sering juga disebut dengan kamoksan. Tujuan utama kalepasan adalah para dewa yang merupakan dewa pujaan (Ista Dewata) tiap-tiap pencari sunyi dari ajaran yang ditekuni. Terkadang Hyang Siwa menjadi tujuan tertinggi, begitu pula dengan Hyang

 

110  

Buddha menjadi tujuan tertinggi pencari sunyi. Oleh karena itu, berkembanglah aliran yang bernama Siwaisme (Siwatattwa) dan Buddhisme (Buddhatattwa). Aliran Siwa memuja kebesaran Hyang Siwa sebagai tujuan akhir, sementara aliran Buddha memuja kebesaran Hyang Buddha sebagai tujuan akhir40. Ada kalanya Hyang Siwa dan Hyang Buddha sebagai Yang Tertinggi seakan-akan ditempatkan pada dua kutub yang berpasangan. Namun, kadang kala pula ditempatkan dalam satu titik persekutuan kemanunggalan. Kedudukan keduanya dilukiskan seperti mendung dengan hujan. Keduanya tampak seperti dua hal, tetapi sejatinya adalah tunggal. Bisa juga tampak tunggal, tetapi sesungguhnya bertentangan. Asumsinya, mendung mendatangkan hujan, tetapi juga dapat dikatakan hujan melukis mendung. Namun sesungguhnya mendung dan hujan berasal dan berakhir pada satu kata, yaitu air41. Pertemuan antara Siwatattwa dan Buddhatattwa dipahami sebagai bentuk penunggalan dua hal yang terpilah kembali ke wujud asalnya, yaitu Hyang Tunggal. Kesadaran dalam tingkat Sadasiwatattwa, Hyang Tunggal memilah dirinya menjadi dua bagian, yaitu Siwatattwa dan Buddhatattwa yang sama-sama dipengaruhi oleh unsur Panca Mahabhuta dan Panca Tan Matra, yang merupakan asalusul alam semesta.

                                                                                                                40

Bdk. Suarka dkk., 2005:310--311. Dalam teks Siwagama disebutkan bahwa kedudukan antara Hyang Siwa dan Hyang Buddha dikatakan ibarat kutub yang berpasangan dan satu titik yang tunggal sehingga dalam teks dilukiskan seperti yang dialami tokoh-tokoh teks Siwagama. Melalui kejadian dan peristiwa yang dialami dan dilakukan oleh Maharaja Yudistira yang mengikuti ajaran Siwa dan Maharaja Nilacandra (Maharaja Candrabhanu, Maharaja Candrawicandra, dan Maharaja Purnawijaya) selaku penganut aliran Buddha. Dalam posisi berpasangan tentu tidak tertutup kemungkinan adanya pertentangan antara keduanya. Akan tetapi, pada akhirnya keduanya berdamai karena dalam teks Siwagama keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Bhatara Guru (Suarka dkk., 2005:311). 41

 

111  

Wujud penunggalan terjadi dalam berbagai tingkat kesadaran (Siwa, Sadasiwa, Paramasiwa). Teks Siwagama lebih lanjut menyebutkan ketika penyatuan berada pada Pretiwtattwa, Dia (Hyang Tunggal) disebut Indra. Disebut Iswara di dalam Siwatattwa, dan disebut Aksobhya dalam Buddhatattwa, Dia berada dalam kulit dan segala yang berwujud kasar di dalam tubuh manusia. Dia menyusup di dalam unsur apah (zat cair), sebagai Mahadewa dalam Siwatattwa, dan sebagai Amitabha dalam Buddhatattwa. Daging dan segala bentuk rasa merupakan tempat-Nya di dalam tubuh manusia. Di dalam unsur teja (panas), Dia bergelar Wisnu dalam Siwatattwa dan Amogasiddhi dalam Buddhatattwa. Segala sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia merupakan tempat-Nya di dalam tubuh. Di dalam unsur bayu (angin atau gas), Dia bergelar Brahma dalam Siwatattwa dan bergelar Ratnasambhawa dalam Buddhatattwa. Setiap anggota gerak peraba merupakan tempat-Nya di dalam tubuh. Di dalam unsur akasa (eter), Dia bergelar Rudra dalam Siwatattwa dan bergelar Wairocana dalam Buddhatattwa42. Hakikat penunggalan Siwa dan Buddha juga dijelaskan melalui pemahaman hakikat ganitri sebagai simbol, baik secara imanen maupun transenden. Bagi yogi agung, ganitri itu disebut uswasa dan prasaswa. Pada ajaran Buddha, lintas ke luar masuknya adalah buddha: bu adalah lintas masuk dan ddha adalah lintas ke luarnya. Ya adalah antaranya, di antara lintas ke luar masuknya, yang disebut amilang (sebagai tempat menghitung). Dia bebas lepas, bergerak dengan bebas tanpa tujuan. Bagi aliran Siwa, si merupakan lintas masuk,                                                                                                                 42

 

Bdk. Suarka dkk., 2005:311--312.

112  

wa adalah lintas ke luar, dan ya adalah antaranya. Dia Siwa sejati. Oleh karena itulah, Siwa dan Buddha disebut tunggal adanya. Na adalah Aksobhya; mo adalah Ratna Sambhawa; bu adalah Amitabha; ddha adalah Amoghasiddhi; ya adalah Wairocana; si adalah Brahma; wa adalah Wisnu; dan ya adalah Sangkara. Itulah Siwa. Bu adalah Lokeswara; ddha adalah Bajrapani. Beliau sangat istimewa. Beliau disebut sebagai tali ganitri. Beliau merupakan titik persekutuan dua sisi kehidupan. Si adalah Brahma; Wa adalah Wisnu; Ya adalah Jiwa. Beliau adalah batin immanen dan transendental bagi alam semesta. Dialah Siwa-Buddha. Hrih adalah lintas masuknya. Hring adalah lintas ke luarnya. Krih adalah antaranya43. Tabel di bawah ini merupakan persamaan konsep Siwa-Buddha.

Tabel IV Konsep Siwa-Buddha44 No

Konsep Siwa

Konsep Buddha

I

Paramasiwa

Paramabuddha

II

Siwa-Uma/Shakti

Pradnya Paramitha

III

Brahma-Wishnu-Rudra/Siwa

Wairocana-Amitabha-Aksobhya

IV

Panca Dewata

Panca Dhyani Buddha/Panca Tatagatha

1. Iswara (Timur)

1. Aksobhya (Timur)

2. Brahma (Selatan)

2. Ratnasambhawa (Selatan)

                                                                                                                43 44

 

Suarka dkk., 2005:312. Phalgunadi, 2013:11.  

113  

3. Mahadewa (Barat)

3. Amitabha (Barat)

4. Wishnu (Utara)

4. Amogasiddhi (Utara)

5. Siwa (Tengah)

5. Wairocana (Tengah)

Konsep Siwa-Buddha menjadi semacam jalan penyatuan, setiap manusia memiliki dan mewakili karakter Siwa-Buddha dalam dirinya. Karakter ini dimunculkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuklah harmonisasi yang dirasakan selalu berjalan beriringan. Siwa-Buddha juga sangat penting dalam setiap tatanan upacara yadnya yang dilaksanakan pencari sunyi (yang melakukan bakti melalui jalan Bhakti Marga). Upacara tentu tidak bisa lepas dengan upakara. Upakara juga tidak bisa lepas dari pangider-ider Ista Dewata. Tabel di bawah memuat Pangider-ider Siwa Sidhanta dan Buddha Mahayana.

Tabel V Pangider-ider Siwa Sidhanta45 No Dewa 1

Siwa

Shakti

Senjata

Arah

Warna

Bija Mantra

Durga

Padma

Tengah

Panca

Ing (I)/

warna

Yang (Ya)

2

Iswara

Umadewi

Bajra

Timur

Putih

Sang (Sa)

3

Brahma

Saraswati

Gada

Selatan

Merah

Bang (Ba)

                                                                                                                45

 

Phalgunadi, 2013:12.

114  

4

Mahadewa Sachi

Nagapasa

Barat

Kuning

Tang (Ta)

5

Wisnu

Cakra

Utara

Hitam

Ang (A)

Shri

Tabel di atas merupakan tabel pangider-ider Siwa Sidhanta. Dikatakan Siwa Sidhanta tentunya sudah tidak asing di mata penulis dan peneliti lainnya. Jikalau dari ribuan sekte Siwa yang berkembang ketika itu, yang masuk dan berkembang di Nusantara adalah sekte atau aliran Siwa Sidhanta. Sementara itu, untuk aliran Buddha yang masuk dan berkembang di Nusantara adalah Buddha Mahayana dengan sentuhan Tantra. Berikut ini merupakan tabel pangider-ider Buddha Mahayana (Panca Buddha).

Tabel VI Pangider-ider Buddha Mahayana46 No

Dewa

Shakti

Arah

Warna

Bija Mantra

1

Wairocana

2

Wajradateswari

Tengah

Putih

OM/A

Ratnasambhawa Mamaki

Selatan

Kuning

SWA

3

Amitabha

Pandara

Barat

Merah

AH

4

Amogasiddhi

Tara

Utara

Hitam

I

5

Aksobhya

Locana

Timur

Biru

HUM

                                                                                                                46

 

Phalgunadi, 2013:12.

115  

Siwa-Buddha bukanlah bentuk fanatisme sekte yang dieluk-elukan oleh para pencari sunyi dalam Kakawin Panca Dharma. Baik Siwa maupun Buddha tetap satu tujuan, yaitu Paramasunya (Sunya). Seseorang yang menghendaki kasunyatan membiasakan dirinya untuk menyeimbangkan karakter Siwa-Buddha dalam dirinya. Kekuatan dan kelembutan akan senantiasa menjadi sahabat dalam diri. Tiada kekuatan yang bisa berjalan tanpa kelembutan. Sebaliknya, tiada kelembutan bisa berjalan dengan kekuatan. Keduanya bisa dikatakan dikotomis sehingga untuk mencapai kasunyatan, dua kutub tersebut disatukan dengan tujuan, yaitu kalepasan. Hyang Tunggal dapat dicapai dengan menyatukan kutub positif dan negatif dalam tubuh lalu pelan-pelan menghilangkan jarak antara keduanya. Bila berbicara tentang Siwa dan Buddha, dalam penelitian ini tentu tidak bisa diporsikan sama dengan kalepasan. Dalam penelitian ini ditulis beberapa hal tentang Siwa dan Buddha karena merupakan pembuka dari bab ini. Siwa-Buddha bukanlah sekte, melainkan karakter. Hal itu yang ingin ditekankan, seperti kutipan Kakawin Dharma Sunya di bawah ini, yang menyebutkan bahwa kekuatan dan kelembutan menyatu dalam hati menuju sunya. Manah ira saŋ munīśwara lěwih sudhīra matěguh sanitya matěpět/ tan upir-upir masimpěn atutur mulat ri hati jagra nirmala maho/ pinatitisan lěyěp nika manūksma riŋ pada bhatāra muksa mapisan/ ya tika ginuhya gupta matěměn wěkas niŋ aŋituŋ paminda winuwus// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XIX, Bait ke-1). Terjemahannya Manah Sang Raja Pertapa hebat, berani, teguh tetap di jalan yang benar/ tidak lengah mengendalikan, mengingat, memandang hati yang terjaga

 

116  

nirmala suci/ diarahkan tempat reda-lenyapnya manah itu di kaki Bhatara lebur menyatu/ Itu benar sangat dirahasiakan, hasil merenungkan kemanunggalan tersebut// (Kakawin Dharma Sunya, Wirama XIX, Bait ke-1). Seorang pencari sunyi adalah seorang panglima perang yang senantiasa menggunakan kekuatan dan kelembutan (baca strategi) dalam peperangan. Perang yang dimaksudkan bukanlah perang di medan laga, melainkan perang terhadap diri sendiri. Kekuatan adalah keteguhan hati untuk selalu bertahan pada tujuan manunggal, sedangkan kelembutan adalah strategi untuk melawan berbagai macam bentuk godaan yang muncul. Perjalanan mencari sunyi tiada lain dikatakan perang dahsyat dalam diri. Manah ira saŋ munīśwara lěwih sudhīra matěguh sanitya matěpět (Manah Sang Raja Pertapa hebat, berani, teguh tetap di jalan yang benar). Jalan yang dianggap benar muncul dari hati sebagai sumber dari segala sumber hredaya (hati). Tidak ada jalan yang lebih hebat selain jalan hati. Setiap jalan yang penuh keteguhan merupakan jalan yang selalu mendapat godaan, tetapi berakhir sebagai jalan penyatuan kepada Hyang Tunggal. Jalan hati, yang penuh dengan godaan selalu menyimpan rahasia yang siap dikatakannya sewaktu-waktu oleh hati. Hati penuh kekuatan dan kelembutan selalu berusaha melalukan pengendalian terhadap segala macam bentuk godaan, tan upir-upir masimpěn atutur mulat ri hati jagra nirmala maho (tidak lengah mengendalikan, mengingat, memandang hati yang terjaga nirmala suci). Hati yang selalu terjaga menjadi satu hal penting untuk mencapai sunya. Kesucian hati akan senantiasa terpancar dari hati yang selalu terjaga kenirmalaannya.

 

117  

Pinatitisan lěyěp nika manūksma riŋ pada bhatāra muksa mapisan (diarahkan tempat reda-lenyapnya manah itu di kaki Bhatara lebur menyatu). Pengendalian pikiran selalu diarahkan ke tempat yang paling sunyi di dalam hati. Para pencari sunyi mengetahui tempat-tempat di mana lubuk paling dalam dan sunyi itu berada. Para pencari sunyi akan meletakkan diri pada keteguhan yang bersumber pada kekuatan hati. Tempat paling sunyi yang dikatakan penuh dengan kesucian itu adalah tempat di hati yang tidak ternodai, tempat meleburnya pencari sunyi dengan Mahasunyi. Ya tika ginuhya gupta matěměn wěkas niŋ aŋituŋ paminda winuwus (Itu benar sangat dirahasiakan, hasil merenungkan kemanunggalan tersebut). Tempat sunyi itu dicapai juga dengan ajaran sunyi, yang sangat dirahasiakan. Hanya aku (atma) yang tahu sebab jalan dan tempat itu masing-masing berbeda antara aku dan yang lain. Memetakan jalan sunyi sama seperti memasang obor di hutan belantara yang lebat, sungguh sulit. Kendatipun demikian, seorang aku tidak akan pernah tersesat bila menemukan jalan bercabang karena aku memiliki keteguhan pikiran. Kutub-kutub tarik-menarik tersebut membuat semacam aliran sungai dalam diri. Karakter kekuatan dan kelembutan menjadi satu dan berkumpul di pusat tubuh, yaitu hati. Aliran sungai itu akan membentuk bendungan di hati. Bendungan itu menjadi jalan untuk menyeberang ke alam sunya. Aku (atma) selalu sadar bahwa aliran sungai harus terjaga airnya agar kelak menjadi bendungan. Deras ataupun sedikitnya aliran air tergantung dari keteguhan pikiran si aku. Setidaknya, kekuatan adalah dasar, sementara kelembutan adalah cara

 

118  

pengendalian. Tidak selamanya kekuatan mengantarkan ke arah tujuan, begitu pula sebaliknya. Kekuatan dan kelembutan adalah satu, sama halnya dengan Siwa-Buddha. Sesungguhnya Hyang Tunggal yang dituju merupakan bentuk yang tidak berbentuk, berada di tempat yang sunyi. Kesunyian adalah rumah selalu setia menunggu, seperti kutipan Kakawin Dharma Wimala di bawah ini. Kastā tibra lara panas niŋ āti mopěk/ těŋrā niŋ pati ya kaniścayeŋ swa citta/ hyaŋ tattwā jñana ri něgěp nirān panādhya/ ONG kārātma huwus amūrtti nāda śūnya// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-72). Terjemahannya Sungguh menyedihkan jika penderitaan memenuhi hati/ tanda bahwa kematian harus disambut dengan suka cita (bukan kesedihan)/ yang tahu akan setiap ajaran, maka beginilah/ perkataan yang terhembus, adalah suara sunyi// (Kakawin Dharma Wimala, Bait ke-72). Penderitaan menjadi hal yang harus pertama-tama disingkirkan jika ingin melakukan penyatuan. Penderitaan dikatakan godaan yang selalu menggoda pencari sunyi di awal keinginan pencari sunyi untuk menyatukan kutub-kutub di dalam dirinya. Sungguh, penderitaan itu hanya membuat hati sedih, kastā tibra lara panas niŋ āti mopěk (sungguh menyedihkan jika penderitaan memenuhi hati). Segala penyebab penderitaan hendaknya dienyahkan, apa pun bentuknya. Těŋrā niŋ pati ya kaniścayeŋ swa citta (tanda bahwa kematian harus disambut dengan suka cita (bukan kesedihan)). Kematian salah satu di antaranya, jika kematian menyebabkan penderitaan, seharusnya tidak ada kematian. Kelahiran akan mengganti kematian. Namun jika hanya ada kelahiran tanpa kematian, maka

 

119  

ketimpangan besar akan terjadi. Sesungguhnya, kematian dan kelahiran disambut dengan suka cita, yang datang pastilah pergi, memang begitu hukumnya. Begitu pula dengan ajaran-ajaran yang menjadi dasar menuju sunya, ajaran yang dipahami merupakan ajaran yang bersifat rahasia dan sunyi. Setiap yang belajar kesunyian, belajar pula hakikat keramaian, sama halnya kebahagiaan setiap menyambut kelahiran demikian pula selalu bersuka cita menyambut kematian. Kematian seperti yang telah dikatakan, bukan hanya kematian yang bersifat ragawi, melainkan kematian terhadap rasa yang dicapai melalui jalan pengendalian. Hyaŋ tattwā jñana ri něgěp nirān panādhya (yang tahu akan setiap ajaran, maka beginilah), bisa dikatakan bahwa yang mengetahui ajaran atau hakikat sunyi adalah yang selalu bersyukur atas anugerah dan musibah. Kegembiraan tidak selalu meluap, kesedihan tidak terlalu tersedu, semua biasa, yang biasa akan menjadi luar biasa. Jika sudah demikian, tidak ada lagi kata yang terembus, kata yang terembus hanyalah sunyi. Kesunyian adalah rumah yang selalu dituju. ONG kārātma huwus amūrtti nāda śūnya (perkataan yang terembus adalah suara sunyi). Tempat paling sunyi adalah hati yang paling sunyi.

 

120  

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Kakawin Panca Dharma merupakan kakawin yang bertutur tentang kalepasan. Kakawin ini unik karena menjadi kakawin yang isinya seperti tutur atau tattwa. Kalepasan dalam KPD merupakan sebutan untuk menyebut bebasnya jiwa dari salah satu titik di dalam tubuh (dalam hal ini pusar), ubun-ubun (kamoksan), ujung hidung (kanirbanan), mulut (kamuktan), dan pusar (kalepasan). KPD memiliki ikatan antara satu dan lainnya membentuk wacana kalepasan yang terangkum dalam bentuk, fungsi, dan makna. Kakawin Dharma Sawita bagaikan sinar matahari. Sawita sendiri memang berarti matahari sehingga matahari selalu memiliki kekuatan yang bernama sinar. Sinar memercikkan cahaya menjadi pelita pada saat mengalami kegelapan. Dharma Sawita dimaksudkan kebenaran selalu menjadi sinar. Sawita mengacu pada Siwa Raditya. Kakawin Dharma Wimala menuturkan bahwa kebenaran itu pula tidak ternoda oleh apa pun. Kesetiaan untuk menekuni jalan kalepasan merupakan kebenaran rasa, senantiasa menumbuhkan keinginan untuk selalu melakukan kebenaran. Sesuatu yang tidak ternoda melahirkan kemurnian yang tiada tara. Kemurnian akan melahirkan kesucian yang tidak terlihat, seperti dalam Kakawin Dharma Niskala, kebenaran adalah hal yang tidak terlihat. Pencari sunyi tidak memperlihatkan setiap hal yang dilakukannya ke luar diri, tetapi selalu menyatukannya dengan hatinya. Kebenaran yang tidak terlihat, bukanlah

 

121  

kebenaran yang disimpan untuk diri sendiri, melainkan kebenaran yang selalu dilakukan tanpa ada keinginan untuk mendapatkan pahala. Keinginan mendapatkan pahala hanya menghalangi keinginan untuk menemukan tempat yang paling sunyi itu. Dalam Kakawin Dharma Sunya dinyatakan bahwa kebenaran adalah hal yang bersifat sunyi. Kesunyian mengungkapkan kehampaan dan kekosongan sebagai tujuan penyatuan. Bukan hanya sebagai kebenaran tertinggi, melainkan kekosongan yang tanpa batas. Kebenaran selalu diungkapkan dengan cara-cara sunyi dan sederhana, yaitu selalu berjalan di jalan yang telah dilakoni. Jalan sunyi yang dilakoni menuju ke arah lepas. Kebenaran mengantarkan ke alam sunyi lalu melepas segala yang melekat dengan pelan-pelan. Kakawin Dharma Putus, menuntun si aku untuk senantiasa terus berjalan di jalan kebenaran agar tiada lagi kemelekatan yang tersisa. Segala hal diputus dengan kebenaran yang dirasakan selalu menjadi penuntun. Putus dengan segala hal seperti saat pencari sunyi menemukan dirinya, lalu hilang secara pelan-pelan yang membuat dirinya ada. Dunia putus, merupakan dunia yang tidak memiliki tujuan lagi, karena putus berarti telah menyatu dengan Hyang Tunggal. Proses pembebasan tersebut tidak didapatkan begitu saja, artinya ada beberapa tahapan yang sadar atau tidak sadar dilakukan oleh atma. Lepasnya ikatan atma dengan tubuh menuju kebebasan tertinggi, yaitu semesta yang kosong. Proses untuk mencapai pembebasan jiwa dilakukan dengan jalan tapa, yoga, samadi. Tapa, yoga, samadi di sini tidaklah berupa tindakan fisik saja, tetapi lebih ditekankan pada hati.

 

122  

Teks KPD secara intrinsik berfungsi untuk memahami lebih dalam bahwa segala jalan yang ditempuh didasari atas keikhlasan, ketulusan. Sang Kawi teks menggelar yoga sastra sebagai sebuah persembahan terdalamnya. Kesadaran pemahaman kesederhanaan difokuskan dalam teks KPD. Sawita-Wimala merupakan pemahaman dasar kalepasan, artinya pencari sunyi masih bergolak dengan dirinya tentang hal yang ditujunya. Yoga pengendalian diri, pemahaman terhadap sadrasa dan karakter dibahas di awal, untuk mendapatkan hasil akhir yang diinginkan. Kendatipun demikian, sawitawimala-niskala-sunya-putus, adalah satu rangkaian mata rantai. Kelimanya merupakan jalan yang didaki menuju puncak pembebasan jiwa. Niskala-Sunya-Putus merupakan tiga kata yang mengikuti kata dharma dalam judul kakawin. Ketiganya memiliki arti yang hampir sama, serupa. Namun hendaknya disadari bahwa niskala-sunya-putus diletakkan pada tingkat lanjut karena telah merepresentasikan keadaan jiwa pencari sunyi. Keadaan-keadaan yang sudah tidak terlihat, sunyi, dan lepas adalah keadaan yang dituju oleh para pencari sunyi. Niskala-sunya-putus tidak dibedakan begitu mencolok dalam isinya, tetapi ketiganya memiliki hubungan yang tidak terpisahkan sebagai ajaran kalepasan tingkat lanjut (niskala). KPD semacam pencapaian titik ke titik. Jika seorang aku (atma) telah mendapatkan sinar (sawita), dia akan mencoba meningkatkan baktinya menuju wimala. Bakti yang tanpa cela, bakti yang tanpa noda. Begitu baktinya tanpa cela dan tanpa noda, dia akan mencoba naik ke titik niskala-sunya-putus, titik yang dianggap paling tinggi, titik yang selalu menjadi tujuan. Sinar, tanpa noda, tidak

 

123  

terlihat, sunyi, lepas merupakan proses yang selalu disediakan oleh waktu untuk pencari sunyi. Aku (atma) menemukan dirinya sebagai pencari sunyi dengan penuh kesadaran, maka kesadaran tertinggi adalah kesadaran itu sendiri: Siwa (Hyang Tunggal). Kalepasan adalah cara memahami diri dengan benar (amuter tutur pinahayu) melalui jalan sunyi untuk menuju kesunyian dan menuju Hyang Tunggal. Kalepasan hanya bisa diresapi ketika dilaksanakan bukan hanya sebatas kata sebab kalepasan berdasarkan sastra dan sastra adalah sikap.

7.2 Saran Penelitian ini tentu masih harus diperbaiki agar kelak dapat memberikan kontribusi dalam bidang wacana sastra khususnya Sastra Jawa Kuno. Penulis mohon saran dan kesediaan penulis lainnya untuk memperbaiki kekurangan dalam penelitian ini.

 

124  

DAFTAR PUSTAKA Agastia, Ida Bagus Gede. 1994. Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar). Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Agastia, Ida Bagus Gede. 1999. Di Kaki Pulau Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Agastia, Ida Bagus Gede. 2010. Yoga Sastra. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Alwi, Hasan dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Anonim. t.t. Bhakti Marga. t.p. Astra dkk., I Gede Semadi. 2001. Kamus Sanskerta-Indonesia. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama. Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Baried, Siti Baroroh. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Barry, Peter. 2010. Beginning Theory; Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Creese, Helen. 2012. Perempuan dalam Dunia Kakawin; Perkawinan dan Seksualitas di Istana Indic Jawa dan Bali. Denpasar: Pustaka Larasan. Dwijayanthi, Ni Made Ari. 2010 “Kalatattwa Sebuah Analisis Hermeneutika” (skripsi). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: AspekAspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Penerjemah Asruddin Barori Tou. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. Kleen, De Tyra. 1970. Mudras The Ritual Hand-Poses of the Buddha Priests and the Shiva Priests of Bali. New York: University Books. Kusuma, I Nyoman Weda. 2012. Kakawin Usana Bali Mayantaka Carita; Telaah Konsep-konsep Keagamaan. Denpasar: Pustaka Larasan.

 

125  

Mershon, Edson Katharane. 1971. Seven Plus Seven Mysterious Life Rituals In Bali. New York: Vantage Press. Nabeshima, Mari. 2009. Sri Tanjung; The Scent of Innocence. Denpasar: Arti Foundation. Palguna, I.B.M. Dharma. 1998. Ida Pedanda Ngurah Pengarang Besar Bali Abad ke-19. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Palguna, I.B.M. Dharma. 1999. Dharma Sunya Memuja dan Meneliti Siwa. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Phalgunadi, I Gusti Putu. 2013. “Perkembangan Shiwa-Buddha di India dan Indonesia”. Denpasar: Makalah Rembug Sastra Purnama Badrawadha. Panuti-Sudjiman dan Aart van Zoest (ed.). 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricoueur, Paul. 1996. Teori Penafsiran Wacana dan Makna Tambah. Penerjemah Hani’ah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Saraswati, Swami Satya Prakas. 2005. Patanjali Raja Yoga. Penerjemah Mayor Polak. Surabaya: Paramita. Soebadio, Haryati. 1985. Jnanassiddhanta. Jakarta: Djambatan. Suarka, I Nyoman dkk. Kajian Naskah Lontar Siwagama 2. Denpasar: Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan. Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Widnya, I Ketut. 2007. “Siwa-Buddha dalam Masyarakat Hindu di Bali”. Denpasar: Makalah Seminar Mandala Buddisme Esoterik (Tantra; Vajrayana) Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia.

 

126  

Yasa, I Wayan Suka. 2007. Teori Rasa: Memahami Taksu, Ekspresi, dan Metodenya. Denpasar: Widya Dharma. Yulliawati, Teti dkk. 2010. Ringkasan Lengkap IPA (Fisika-Biologi-Kimia) SMP. Jakarta: Kawan Pustaka. Zoetmulder, P.J. 1991. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Zoetmulder, P.J. 1994. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (cetakan ketiga). Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan. Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2006. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

   

 

127